bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi ini banyak terjadi kemajuan luar biasa dalam persediaan
informasi dan kecepatan komunikasi dalam berbagai bidang, terutama dalam bisnis
atau pemasaran yang tidak lepas dari kedua hal tersebut. Disamping itu, kemajuan
tekhnologi membantu perubahan dari pemasaran yang sederhana menjadi maju.
Pada mulanya suatu badan usaha yang dibentuk oleh lebih dari satu orang
tersebut merupakan kumpulan orang. Dengan menyerahkan sejumlah harta kekayaan
mereka kedalam kumpulan tersebut yang menjadi badan usaha, mereka dapat
melakukan usaha secara bersama-sama dengan mempergunakan harta kekayaan yang
dimasukkan dalam badan usaha tersebut. Dengan penyerahan harta kekayaan
tersebut, sesungguhnya orang-orang ini masih bebas untuk mempergunakan harta
kekayaan tersebut, selama dan sepanjang diperlukan untuk menjalankan usaha yang
telah mereka sepakati secara bersama.1
Suatu bisnis atau proyek akan memberikan berbagai manfaat atau keuntungan
terutama bagi pemilik usaha. Disamping itu keuntungan dan manfaat lain dapat pula
dipetik oleh berbagai pihak dengan kehadiran suatu usaha, misalnya bagi masyarakat
1 Gunawan Widjaja, Persekutuan Perdata , (Jakarta: PT. Kencana, 2004 ),h. 5.
2
luas, baik yang terlibat langsung dalam proyek maupun yang tinggal disekitar usaha,
termasuk bagi pemeritah.
Keuntungan dengan adanya kegiatan bisnis baik bagi perusahaan, pemerintah
maupun masyarakat antara lain :
1. Memperoleh keuntungan keuangan.
2. Memberi peluang kerja.
3. Manfaat Ekonomi :
a. Menambah jumlah barang dan jasa.
b. Meningkatkan mutu produk.
c. Meningkatkan devisa untuk Eksport.
d. Menghemat devisa untuk barang Import
4. Tersedia sarana dan prasarana
5. Membuka isolasi wilayah.2
Kemudian penetapan harga harus dilakukan dengan seadil-adilnya
maksudnnya adalah kompetitif yaitu ditetapkan setelah perusahaan memonitor harga
yang ditetapkan pesaing. Hal ini dilakukan agar harga tidak terlalu tinggi atau
sebaliknya.3
Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar
2 Kasmir dan Jakfar, Studi kelayakan Bisnis, ( PT Prenada Media, 2003 ),h.16. 3 Hendra Teguh dan Ronny A. Rusli, Manajemen Pemasaran, ( Jakarta: Prehalindo, 1997 ), h.
171.
3
harga yang telah dijanjikan, demikianlah rumusan Pasal 1457 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan
kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud
dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang
oleh pembeli kepada penjual.4
Crude Palm Oil (CPO) adalah usaha jual beli dan pemasaran yang bergerak di
bidang komoditi hasil bumi minyak kelapa sawit.
Peluang investasi bisnis kelapa sawit di Indonesia, yang peluang investasi
untuk perluasan areal kelapa sawit diperkirakan berkisar antara 74000-117000 ha per
tahun, dengan kebutuhan dana investasi berkisar antara 1.1-1.7 triliun per tahun. Dari
sisi peremajaan, peluang investasi adalah berkisar antara 20.000-50.000 ha per tahun
dengan kebutuhan invstasi berkisar antara Rp. 300 – Rp. 750 miliar pr tahun. Pada
lima tahun terakhir, ketika Indonesia mengalami krisis multi-dimnsial dan tingkat
persaingan pasar minyak nabati yang dihadapi CPO semakin ketat, laju pertumbuhan
Industri CPO mulai melambat. Sebagai ilustrasi, laju perluasan areal pada periode
1991-2001.5
Hasil analisis yang dilakukan FAO (2001), Mielke (2001), dan Susila (2002)
menunjukan bahwa proyek pasar CPO di pasar international relatif masih cerah. Hal
ini antara lain tercermin dari sisi konsumsi yang diperkirakan masih terbuka dengan
4 Gunawan Widjaja Dan Kartini Muljadi, Jual Beli, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 7.
5 http;//www.mail-archive.com/[email protected]/msg00219.html.h. 1-2.
4
laju pertumbuhan konsumsi CPO dunia diproyeksikan mencapai skitar 3.5%-4.5%
per tahun sampai dengan tahun 2005.
Malaysia dan Indonesia tetap merupakan negara pengekspor utama dengan
peluang peningkatan ekspor masing-masing sekitar 3.2% dan 6.5% per tahun. Dari
sudut alokasi pangsa pasar, Indonesia diperkirakan masih menguasi pasar untuk
Negara-negara di beberapa Eropa Barat seperti Inggris, Italia, Belanda, dan Jerman.
Malaysia lebih banyak menguasai pasar China (1.8 juta ton), India (1.7 juta ton), EU
(1.5 juta ton), Pakistan (1.1 juta ton), Mesir (0.5 juta ton), dan Jepang (0.4 juta).
Harga CPO relatif sulit untuk diprediksi dengan akurasi yang tinggi. Harga
cenderung fluktuatif dengan dinamika yang perubahan yang relatif sangat sangat
cepat. Dengan kesulitan tersebut, maka proyeksi harga yang dilakukan lebih pada
menduga kisaran harga untuk periode 2000-2005. Jika tidak ada stock dalam
perdagangan dan produksi, maka harga CPO di pasar Internasional pada periode
tersebut diperkirakan lebih tinggi bila dibandingkan dengan situasi harga 2001 yang
dengan rata-rata sekitar US$ 265/ton, sedangkan harga CPO sampai dengan 2005
diperkirakan akan berfluktuasi sekitar US $ 350-450/ton (Susila dan Supriono 2001).
Selanjutnya, untuk periode 2005-2010, laju peningkatan konsumsi diperkirakan
adalah 3%-5% pertahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka konsumsi
domestik pada tahun 2005 dan 2010 masing-maing adalah 3.92 juta ton dan 4.58 juta
ton.6
6 http : //www. Mail-archive. Com/agromania yahoogroups.com/msg00219.html.h.3-5.
5
Melihat dari bisnis CPO yang didalam pemasarannya terdapat beberapa
tindakan penggelapan yang terselubung pada saat pendistribusian dan juga didalam
pemasaran penjualan binis CPO. Didalam pendistribusian dan pemasaran, pihak-
pihak yang terkait dalam kasus penggelapan bisnis CPO antara lain sopir truk tengki
didalam transportasi dan pihak pengelola yang ingin memperoleh sejumlah uang.
Dengan melihat keterangan dan uraian diatas maka penulis merasa tertarik
untuk meneliti dan mengkaji Tindak Pidana Penggelapan dalam Bisnis CPO menrurut
Hukum Islam. Untuk mendapatkan jawaban diatas tersebut maka penulis melakukan
penelitian pada PT Multi Business.
Perusahaan PT. Multi Business bergerak dibidang perdagangan commodity,
hasil bumi khususnya CPO (Crude Palm Oil ). Pada prinsipnya perusahaan ini
didasari dengan jual beli CPO atau minyak sawit untuk pasar commodity local dan
Eksport,7 maka penulis mencoba memberanikan diri untuk mengadakan penelitian
terhadap persoalan ini. Adapun judul yang diajukan penulis dalam penulisan skripsi
ini yaitu “Kajian Hukum Islam Tentang Tindak Pidana Penggelapan Bisnis
Komoditi CPO”.
Dengan melihat karakter yang dimiliki, bisnis islami hanya akan hidup secara
nyata dalam sistem dan lingkungan yang islami pula. Bila bisnis islami hidup dalam
lingkungan yang non islami sebagaimana terjadi saat ini, disadari atau tidak disadari
pelaku bisnis akan mudah terseret dan sukar sekali menghindari hal-hal yang dilarang
7 Leo Krishna Adiputra, Wawancara Direktur PT. Multi Business, Tgl 10 Maret 2007.
6
oleh agama dan hukum. Sebagai contoh Tindak Pidana Penggelapan Di Dalam Bisnis
CPO.
Dalam jual beli terdapat pemasaran yang tahap perencanaannya merupakan
tahap paling penting. Mengkoordinasikan tindakan agar menghindari dari tindak
penggelapan didalam aktifitas-aktifitas yang tidak efisien. Maka sebuah bisnis harus
merencanakan, mengkoordinasikan, dan mengontrol segala aktifitasnya secara
spesifik. Karena pemasaran merupakan upaya yang sangat membantu perusahaan
dalam berhubungan dan mempengaruhi lingkungan bisnis.
Didalam hukum perekonomian telah dikenal organisasi perusahaan yang
dijalankan oleh beberapa orang. Badan hukum atau perseroan dianggap dapat
melakukan perbuatan pidana ekonomi yang berdasarkan hubungan kerja atau
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan tersebut.8
Pada waktu terjadi kemerosotan dan krisis ekonomi, akan timbul masalah
dalam bidang produksi dan perdagangan yang sekaligus terjadi perubahan pasar
penawaran-permintaan, dan perubahan kebutuhan logistik. Dalam keadaan yang
demikian itu pemerintah harus mempengaruhi jalannya proses perekonomian dengan
membuat berbagai perdagangan. Peraturann perekonomian itu berupaya mengatur
produksi, perdagangan, dan logistik barang-barang ekonomi yang apabila terjadi
8 Bambang Poernomo SH, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum
Pidana, (Jojakarta: Bina Aksara, 1984), Cet. Pertama, h. 109.
7
pelanggaran harus diberikan sanksi yang tegas, antara lain ditegakan dengan sanksi
pidana untuk mengatasi keadaan perekonomian tersebut.9
Ajaran Islam mendorong manusia untuk meningkatkan produktifitas semua
sektor yang dihalalkan Allah dalam bidang perdagangan. “ Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu ... QS. An – Nisaa’ : 29.
Islam bukanlah agama yang asing dengan dunia perdagangan, bahkan
Rasulullah SAW adalah seorang pedangang, inilah bukti bahwa sangat menghargai
kegiatan perniagaan. Islam masuk dan tersebar di Indonesia melalui perdagangan.
Sehingga Yusuf Kalla sampai menyatakan bahwa “orang Islam adalah masyarakat
pedagang”. Perdagangan bebas adalah sesuatu mau tidak mau harus dihadapi umat
Islam yang terdapat aspek mu’amalah. Sikap yang baik yang harus diteladani oleh
umat Islam dalam menghadapi perdagangan bebas adalah mencontoh sikap yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam melakukan kegiatan bisnisnya beliau
meletakkan dasar-dasar moral, manajemen dan etos kerja.10
9 Bambang Poernomo SH, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum
Pidana, h.103. 10 Yusuf Kalla, Orang Islam Adalah Masyarakat Pedagang, Ekonomi Syari’ah, Ekaba-
Usakti, Vol. 2 No. 3, 2003, h. 7.
8
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari perbedaan dan menentukan persepsi tentang masalah yang
dibahas, penulis menganggap perlu untuk menyajikan penulisan skripsi ini dengan
membatasi tentang teori Tindak Pidana Penggelapan Bisnis CPO yang mencakup
spesifikasi dari CPO, masalah loading dan surat-surat resmi.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan-rumusan masalah penulisan skripsi ini, tertuang dalam
pertanyaan-pertanyan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah terjadinya Tindak Pidana Penggelapan Bisnis CPO ?
b. Bagaimana Tindak Pidana Bisnis CPO Menurut Hukum Islam ?
c. Bagaimana sanksi Tindak Pidana Penggelapan Bisnis CPO Menurut Hukum
Islam ?
9
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mmahami dan mengerti secara lebih baik tentang jual beli
Bisnis CPO
b. Untuk mengetahui terjadinya kegiatan penggelapan dalam pemasaran
Bisnis CPO sehingga penulis dapat memperoleh Teori dan aplikasinya
Tindak Pidana Penggelapan menurut Hukum Islam
c. Penulis ingin mengetahui, bagaimanakah tinjauan hukum Islam
terhadap Tindak Pidana Pidana Penggelapan dalam binis CPO?
d. Penulis ingin mengetahui, bagaimana sanksi Tindak Pidana
Penggelapan Bisnis CPO Menurut Hukum Islam ?
Sedangkan manfaat penelitian dalam penulisan adalah untuk menambah
wawasan ilmu pengetahuan dan menambah khasanah ilmu yang terdapat dalam
hukum Islam terhadap kasus tindak pidana penggelapan dalam perkembangan
ekonomi khususnya pada bisnis CPO.
10
D. Metode Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif melalui studi
kasus, yakni berupa: penelitian lapangan dan studi kepustakaan (library reaserch).
Penelitian lapangan digunakan untuk analisa data kulaitatif dan deskriptif. Dilakukan
dengan mengumpulkan data dari PT. Multi Business yang menjadi objek penelitian.
Studi kepustakaan digunakan untuk menunjang pengetahuan Hukum Islam.
Tekhnik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
2. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam konteks penelitian yang dilakukan, maka metode pengumpulan data
pada skripsi ini adalah dengan menggunakan : (1) Studi dokumentasi (2)
Wawancara.
3. Tekhnik Analisis Data
Tekhnik analisis ini menggunakan tekhnik analisis kualitatif.
11
E. Sistematika Penulisan
Agar karya ilmiah tersusun dengan rapi dan sistematis, maka penulis
membagi pembahasan dalam lima bab yang secara garis besar adalah sebagai berikut
:
BAB I Pendahuluan.
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan dan pembatasan
masalah,tujuan dan manfaat penulisan serta metode penelitian.
BAB II Kerangka teori.
Bab ini terdiri dari tinjauan umum sekilas tentang Tindak Pidana
Penggelapan.
BAB III Tindak Pidana Penggelapan dalam perspektif hukum Islam.
Bab ini terdiri pengertian Tindak Pidana Penggelapan, unsur-unsur
Penggelapan, jenis-jenis Penggelapan dan sanksi Tindak Pidana
Penggelapan perspektif hukum Islam.
BAB IV Analisis Hukum Islam terhadap Tindak Pidana Penggelapan Bisnis
Komoditi CPO.
Bab ini meliputi analisis penggelapan : Pemasaran dalam jual beli,
penetapan harga, distribusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi Tindak
Pidana Penggelapan dalam tinjauan Hukum Islam.
BAB V Penutup.
Bab ini terdiri dari kesimpulan, saran-saran, daftar pustaka dan lampiran
12
BAB II
SEKILAS TENTANG TINDAK PIDANA PENGGELAPAN
A. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan.
Istilah “penggelapan” sebagaimana yang lazim dipergunakan orang untuk
menyebut jenis kejahatan yang diatur didalam buku yang ke II Bab XXIV Kitab
Undang-undang Hukum Pidana itu adalah suatu terjemahan dari perkataan
“Verduestering” dalam bahasa Belanda.
Istilah “penggelapan” yang dipakai didalam KUHP kita adalah suatu
terjemahan secara harfiah dari itilah “verduestering” , yang sesungguhnya didalam
bahasa Belandanya sendiri telah diberikan arti secara kias.
Kejahatan “penggelapan” itu sendiri, seperti yang dikenal didalam
Wetboek van Strafrecht Belanda dewasa ini dan kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia dngan istilah “penggelapan” didalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dahulu kala berasal dari hukum Germania.
Di dalam hukum Germania dahulu orang memperbedakan kejahatan yang
berupa pencurian dengan kejahatan yang disebut “diebische behalten” atau
“diefachtig be houden” ataupun “menguasai secara jahat”, dimana jenis yang terakhir
ini kemudian ditinjau lagi dari segi sebagaimana seseorang itu mengusai suatu benda,
yaitu apakah orang tersebut menguasai sesuatu benda, yaitu apakah orang tersebut
13
mengusai barang yang bersangkutan karena dipercayakan kepadanya ataupun apakah
barang tersbut secara kebetulan berada didalam kekuasaannya.
Dengan demikian kemudian hukum Jerman telah membuat
“unterschlagung” atau “verduestering” sebagai suatu kejahatan yang berdiri sendiri,
yang kemudian ternyata dicontoh oleh hukum Belanda.11
Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan (Verduestering),
terdiri dari 6 pasal (372 s/d 377).
Ada beberapa bentuk penggelapan yakni :
1. Penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372);
2. Penggelapan dalam bentuk-bentuk yang diperberat (pasal 374 dan 375);
3. Penggelapan ringan (pasal 373);
4. Penggelapan dalam kalangan keluarga (pasal 376);
Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam pasal 372 yang
dirumuskan sebagai berikut :
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang
seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4
tahun atau denda paling banyak Rp. 900,00.
11 Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, (Bandung: Tarsito, 1979).h. 174-176.
14
Rumusan itu disebut kualifikasi penggelapan. Rumusan diatas tidak memberi
arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang
sebenarnya. Perkataan Verduistering yang kedalam bahasa kita diterjemahkan secara
harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas
(figurlijk ), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membuat
sesuatu menjadi terang atau tidak gelap.
Pada contoh seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena
memerlukan uang, sepeda itu dijualnya. Tampak sebenarnya penjual ini
menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda
itu dibikinnya menjadi gelap atau tidak terang. Lebih mendekati pengertian bahwa
petindak tersebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda, hak
mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan
untuk menguasai atau memegang sepeda itu.12
12 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayumedia, 2004),h. 69.
15
B. Jenis-Jenis Penggelapan.
1. Penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372) :
Kejahatan penggelapan didalam bentuknya yang pokok diatur di dalam pasal
372 Kitab Undang-undang Hukum pidana, yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatau
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana
penjara empat tahun atau pidana paling banyak sembilan ratus rupiah”.
2. Penggelapan dalam bentuk yang diperberat (pasal 374 dan 375) :
“Faktor yang menyebabkan lebih berat dari bentuk pokoknya, disandarkan
pada lebih besarnya kepercayaan yang diberikan pada orang yang menguasai benda
yang digelapkan”.
a. Penggelapan yang diperberat pertama, ialah yang ada dalam pasal 374 KUHP
merumuskan sebagai berikut :
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasanya terhadap benda
disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena suatu pencarian atau karena
mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun”.
16
Adapun unsur-unsur dari kejahatan penggelapan seperti yang diatur di dalam
pasal 374 KUHP tersebut diatas adalah :
1. pengelapan;
2. dilakukan oleh seseorang;
3. ada dibawah kekuasaannya;
4. benda;
5. dikarenakan :
a. hubungan kerja pribadinya;
b. mata pencariannya atau pekerjaan;
c. mendapat imbalan jasa.13
b. Penggelapan bentuk yang diperberat kedua, diatur dalam pasal 375 yang
rumusannya sebagai berikut :
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi benda
untuk disimpan atau yang dilakuakan oleh wali, pengampu, kuasa, atau pelaksana
surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap benda yang dikuasainya
selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun”.
Unsur-unsur dari kejahatan penggelapan seperti yang diatur di dalam pasal
375 KUHP tersebut adalah :
1. penggelapan;
2. benda; 13 Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, h .211.
17
3. yang berada di bawah kekuasaanya;
4. orang yang melakukan penggelapan itu adalah :
a. seorang kepada siapa benda itu karena terpaksa telah dititipkan;
b. seorang wali;
c. seorang kurator;
d. seorang pelaksana dari sebuah wasiat;
e. seorang pengurus dari sebuah badan amal atau yayasan.14
3. Penggelapan Ringan (pasal 373) :
Penggelapan yang dikualifikasikan sebagai penggelapan ringan dirumuskan
dalam pasal 373, yang berbunyi :
“Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372 apabila yang digelapkan bukan
ternak dan harganya tidak lebih dari Rp 250,00 dikenai sebagai penggelapan ringan
dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 900,00”.
Apa sebabnya disebutkan, bahwa yang digelapkan itu haruslah bukan ternak,
karena pencurian ternak merupakan unsur yang memberatkan seperti yang diatur di
dalam pasal 373 KUHP, sehingga Pembentuk Undang-undang memandang ternak itu
sebagai “benda khusus”.
Mr. J.E. JONKERS di dalam bukunya yang berjudul “Geschiedenis van het
Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie”, mengenai “pencurian ternak”, yaitu
disebabkan karena pencurian ternak itu banyak terjadi di Indonesia seehingga banyak 14 Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus,h. 214.
18
kerugian bagi rakyat, sedangkan ternak itu termasuk “milik utama” dari sebagian
harta kekayaan penduduk yang berupa benda bergerak.15
4. Penggelapan dalam kalangan keluarga :
Dalam kejahatan terhdap harta benda, pencurian, pengancaman, pemerasan,
penggelapan, penipuan apabila dilakukan dalm kalangan keluarga maka dapat
menjadi :
1. Tindak dapat dilakukan penuntutan baik terhadap petindaknya maupun
terhadap pelaku pembantunya (pasal 367 ayat 1);
2. Tindak pidana aduan. Tanpa ada pengaduan, baik terhadap petindaknya
maupun pelaku pembantunya tidak apat dilakukan penuntutan (pasal 367 ayat
2).
5. Penggelapan yang merupakan tindak pidana korupsi :
Undang-undang No.31 tahun 1999 (yang mengganti undang-undang No.3
tahun 1971) tentang Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan undang-undang
No.20 tahun 2001, disamping memberikan rumusan sendiri tentang perbuatan-
perbuatan tertentu yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, juga
merumuskan tindak pidana korupsi yang mengadopsi dari beberapa pasal dalam
KUHP dengan mengubah (memperberat) ancaman pidanannya. Tindak pidana yang 15 Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, h. 209.
19
ditarik dari dalam KUHP tersebut ialah : tindak pidana sebagaimana yang dirumuskan
dalam pasal : 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435 KUHP,
dan 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP.16
Berdasarkan ketentuan undang-undang yang dimaksud dengan tindak pidana
korupsi adalah :
a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang scara langsung atau tidak langsung
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, atau diketahui atau
patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara.
b. barangsiapa menguntungkan diri sendiri atau badan, menyalah gunakan
kewenangan,
kesempatan-kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang
secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara.
c. barangsiapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388,
415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana.17
16 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, h. 95.
17 Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, h. 242.
20
6. Penggelapan sebagai delik aduan :
Kejahatan penggelapan sebagai delik aduan itu tersimpul di dalam ketentuan
seperti yang diatur dalam pasal 376 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
berbunyi : “ Ketentuan-ketentuan menurut pasal 367 Kitab Undang-undang Pidana
berlaku juga terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur di alam bab ini “.
Dengan adanya ketentuan seperti diatas, berarti jika seorang suami
melakukan sendiri penggelapan atau membantu orang lain melaukan penggelapan
terhadap harta benda istrinya ataupun jika seorang istri melakukan terhadap
suaminya.
7. Penggelapan oleh pegawai negeri didalam jabatanya :
Jenis kejahatan penggelapan ini tidak diatur di dalam bab ke XXIV Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, melainkan diatur secara tersendiri di dalam bab ke-
XXVIII yang mengatur mengenai kejahatan jabatan. Penglapan yang dilakukan oleh
seorang pegawai negeri di dalam jabatannya disebut “Ambtelijke veruistering” atau
penggelapan jabatan.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur soal “Ambtelijke veruistering” itu kita
jumpai di dalam pasal-pasal 415 dan 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Penggelapan oleh pegawai negeri itu merupakan suatu kejahatan yang berarti
sendiri dan terhadap kejahatan ini diberikan ancaman hukuman yang lebih berat
21
daripada ancaman hukuman terhadap kejahatan penggelapan seperti yang diatur di
dalam pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum pidana.18
C. Unsur-Unsur Penggelapan.
Dalam rumusan tindak pidana penggelapan jika dirinci terdiri dari unsur-
unsur sebagai berikut:
1. Unsur-unsur objektif, adalah:
a. Perbuatan memiliki (zich toaegenen);
b. Suatu benda (eenig goed );
c. Yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain;
d. Yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan;
2. Unsur-unsur subjektif, adalah:
a. Dengan sengaja (opzettelijk );
b. Melawan hukum (wderrchtelijk).19
1. Unsur-Unsur Objek
a. Perbuatan memliki
Perbuatan memiliki yaitu menganggap sebagai milik, atau adakalanya
menguasai secara melawan hak, atau mengaku sebagai milik. Mahkamah Agung
dalam putusannya tanggal 25-2-1958 No. 308 k/Kr/1957 mnyatakan bahwa perkataan
18 Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, h. 219-222.
19 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, h. 70.
22
Zich toaeigenen dalam bahasa Indonesia belum ada terjemah resmi sehingga kata-
kata itu dapat diterjemahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki.
Apakah yang dimaksud dengan perbuatan memiliki? Dalam MVT mengenai
pembentukan paal 372 menerangkan bahwa memiliki adalah berupa perbuatan
menguasai suatu benda seolah-olah ia pemilik benda itu. Ia melakukan suatu
perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbutan terhadap benda itu. Menurut
hukum, hanyalah pemilik sajalah yang dapat melakuan sesuatu perbuatan terhadap
benda miliknya.
Mahkamah Agung kita, sebagaimana dalam putusan-putusannya: tanggal 11-
8-1959 No. 69/K/Kr/1959, tanggal 8-5-1957 No. 83/K/Kr/1956, tanggal 19-9-1970
No. 123/K/Sip/1970, yang pada pokoknya menyatakan bahwa “memiliki suatu
benda berarti menguasai sesuatu benda bertentangan dengan sifat dari pada
hak yang dimiliki olehnya atas benda itu”.20
b. Unsur objek kejahatan: sebuah benda
MVT telah membicarakan bahwa Pembentukan pasal 362 diterangkan bahwa
benda yang menjadi objek Pencurian adalah benda-benda bergerak dan berwujud
yang dalam perkmbangan praktik selanjutnya sebagaimana dalam berbagai putusan
pengadilan telah ditafsirkan sedemikian luasnya, sehingga telah menyimpang dari
pengertian semula. Seperti gas dan energi listrik juga akhirnya dapat menjadi objek
pencurian.
20 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, h. 72.
23
Berbeda dengan objek penggelapan, tidak dapat ditafsirkan lain dari berbagai
benda yang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang ada
dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan diatas, tidak mungkin
dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud. Pengertian benda yang berada
dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan
benda itu, sebagaimana indikatornya adalah apabila ia hendak melakukan perbuatan
terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan
perbuatan lain terlebih dulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan
bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan
benda-benda tetap.21
Dengan mempergunakan “wetshistorische interpretatie” akan nyatalah bagi
kita, bahwa yang dimaksud dengan “benda” atau “goed” oleh pembentuk Undang-
undang adalah “stoffelijk on roerend goed” artinya bahwa perbuatan menguasai bagi
dirinya sendiri sara melawan hak itu harus ditujukan kepada “benda-benda yang
berwujud dan bergerak” maka “benda-benda yang tidak dapat bergerak” dan dengan
sendirinya tidak dapat dijadikan objek dari kejahatan penggelapan.
Juga terhadap benda-benda yang tergolong ke dalam “res nullius” dan “res
derelictae” tidak dapat dilakukan penggelapan, karena benda-benda yang tergolong
dalam “res nullius” itu adalah benda-benda yang tidak dimiliki siapapun, seperti
burung-brung yang hidup dialam bebas. Seangkan yang disebut “res derelictae”
21 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda,h. 76-77.
24
benda yang telah dilepas hak miliknya oleh yang memiliki benda tersebut, seperti
kaleng-kaleng atau botol-botol yang ada ditempat sampah.22
c. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain
Benda yang tidak ada pemilknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan
hak miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan
hukum, seperti milik badan negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki
oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik
petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan maupun pencurian.
Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek
penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang
tertentu, melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri
d. Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan
Terdapat dua unsur, yang pertama berada dalam kekuasaannya, dan kedua
bukan karena kejahatan.
Perihal unsur berada dalam kekuasaannya yaitu suatu benda berada dalam
kekuasaannya seseorang apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan
sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala macam perbuatan
terhadap benda itu ia dapat segera melakukan secara langsung tanpa terlebih dulu
harus melakukan perbuatan yang lain, misalnya ia dapat melakukaan perbuatan: 22 Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, h.180.
25
menjualnya, menghibahkannya menukarnya dan lain-lain sebagainya, tanpa ia harus
melakukan perbuatan lain terlebih dulu.23
Hubungan kekuasaan atas benda yang bukan miliknya ini tidak mutlak disyaratkan
terhadap benda yang seluruhnya milik orang lain, tetapi cukup menguasai benda yang
sebagian milik orang lain dan sebagian milik sendiri.
Ciri khusus kejahatan penggelapan ini jika dibandingkan dengan pencurian
adalah terletak pada unsur beradanya benda dalam kekuasaan petindak. Adalah tidak
wajar seseorang untuk disebut sebagai mencuri atas milik orang lain yang telah
berada dalam kekuasaanya sendiri.24
Sesuatu benda itu dapat berada dibawah kekuasaan seseorang itu tidaklah
selalu harus karena kejahatan, misalnya karena adanya perjanjian, sewa menyewa,
perjanjian pinjam meminjam, perjanjian penyimpanaan, perjanjian gadai dan
sebagainya.
Orang dapat mengatakan bahwa sesuatu benda itu telah berada dibawah
kekuasaan seseorang, apabila orang itu telah benar-benar menguasai benda tersebut
secara langsung dan nyata.25
23 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, h. 78-79. 24 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, h. 80.
25 Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, h. 181.
26
2. Unsur-Unsur Subjektif
a. Unsur Kesengajaan
Unsur ini adalah merupakan unsur kesalahan dalam penggelapan.
Sebagaimana dalam doktrin, kesengajaan terdiri dari 2 bentuk, yakni kesengajaan dan
kelalaian.
Mengenai willns en wetens ini dapat diterangkan lebih lanjut ialah, bahwa
orang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, berarti ia mnghendaki
mewujudkan perbuatan dan ia mengetahui, mengerti nilai perbutan serta sadar akan
akibat yang timbul dari perbuatannya itu. Atau apabila dihubungkan dengan
kesengajaan yang terdapat dalam suatu rumusan tindak pidana seperti pada
penggelapan, maka kesengajaan dikatakan ada apabila adanya suatu kehendak atau
adanya suatu pengetahuan atas suatu perbuatan atau hal-hal/unsur-unsur tertentu serta
menghendaki dan atau mengetahui atau menyadari akan akibat yang timbul dari
perbuatan.26
Berdasarkan pada keterangan ini, maka kesengajaan petindak dalam
penggelapan harus ditunjukan pada unsur-unsur sebagai berikut:
- melawan hukum,
- perbuatan memiliki,
- suatu benda
- seluruhnya atau sebagai milik orang lain, dan
26 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, h. 81.
27
- benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.27
b. Unsur Melawan Hukum
Melawan hukum adalah melakukan perbuatan yang mana perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan dan undang-undang dan barang siapa yang
melanggarnya (melakukan perbuatan yang dilarang) maka dikenakan sanksi yang
telah diatur didalam pasal-pasal KUHP ataupun keputusan hakim.28
Perikatan yang lahir karena undang-undang yang disertai dengan perbuatan
manusia, undang-undang menggolongkan lagi ke dalam dua jenis, yaitu perikatan
yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan manusia yang
diperbolehkan oleh hukum; dan perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai
akibat perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Untuk yang terakhir ini
sering kali disebut dengan istilah perbuatan melawan hukum atau perbuatan
melanggar hukum.29
Dengan demikian maka, apabila seseorang yang menguasai suatu benda karena
mendapat kepercayaan dari pemiliknya untuk menyimpan benda tersebut, akan tetapi
telah dijual kepada orang lain tanpa izin pemiliknya, maka orang tersbut telah
melakukan suatu “wederrechtelijke toeigening” (perbuatan melawan hak).30
.
27 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, h. 82. 28 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, h. 83. 29 Gunawan Widjaja, Persekutuan Perdata, ( Jakarta, PT. Kencana, 2004), h. 2.
30 Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus, h. 179.
28
D. Sanksi Tindak Pidana Penggelapan.
Pada tindak pidana penggelapan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) terdapat dalam pasal 372, yang berbunyi: “Barangsiapa dengan
sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya sebagian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaanya bukan karena
kejahatan, diancam karena pengglapan, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Pasal 373: “Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372, apabila yang
digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah,
diancam sebagai penggelapan ringan dngan pidana pnjara paling lama tiga bulan atau
denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”.
Pasal 374: “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaanya
terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencaharian atau
karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun”.
Pasal 375: “ Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa
diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus
atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga social atau yayasan, terhadap barang
yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam
tahun”.
Pasal 376: “Ketentuan dalam pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang
dirumuskan dalam bab ini”.
29
Pasal 377: (1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kjahatan yang
dirumuskan dalam pasal 372, 374, dan 375, hakim dapat
memerintahkan supaya putusan dapat diumumkan dan
dicabutnya hak-hak brdasarkan pasal 35 No. 1-4.
(2) Jika kejahatan dilakukan dalam menjalankan pencaharian,
maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian.31
31 Andi Hamzah, KUHP Dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 20005), h.144.
30
BAB III
TINDAK PIDANA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Hukum Islam.
Pada dasarnya, pengertian dan istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan
seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang.
Dikalangan fuqaha, perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang
menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqaha menggunakan istilah
tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang menggunakan keselamatan jiwa. Selain
itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada prbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukuman hudud dan qishas serta tidak termasuk perbuatan-perbuatan
yang diancam dengan hukuman ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah
adalah jarimah.32
Hukum tindak pidana menurut Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh
jinayah. Fiqih Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang yang dibebani kewajiban),
sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-qur’an dan
hadits.33 Tindakan kriminal yang dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang
32 Prof. Dr. H. A. Dzajuli, Upaya Penanggulangan Kejahatan Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.1. 33 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), h. 86.
31
mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan
yang bersumber dari Al-qur’an dan hadits.
Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemashlahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syariat Islam
dimakud, secara materil mengandung kewajiban asasi bagi stiap manusia untuk
melaksanakannya.
Al-qur’an merupakan penjelasan Allah tentang syariat, shingga disebut al-
bayan (penjelasan). Allah memberikan penjelasan dalam bentuk nash (tekstual) tentang
syariat sesuatu, misalnya orang yang membunuh tanpa hak, sanksi hukum bagi
pembunuh tersebut adalah harus dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari
pengadilan.34
Sistematika penyusunan persoalan-persoalan pidana terdapat dalam bagian
terakhir dari buku-buku fiqih, demikian juga dalam buku-buku fiqih mazhab Maliki
dan Hambali, tetapi buku-buku fiqih dalam mazhab Hanafi, perubahan pembahasan
persoalan ta’zir, pencurian. dipisah letaknya dari pembahasan persoalan jinayah, yang
pertama dibahas pada bagian depan buku fiqih hukum pidana menurut hukum syari’at
islam, ialah ketentuan-ketentuan hukum syari’at islam yang melarang orang untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dan terhadap pelanggaran ketentuan hukum
tersebut, dikenakan hukuman yang berupa penderitaan badan atau denda pada
pelanggarnya. Pembatasan ini sebenarnya adalah kurang tepat oleh karena adakalanya
34 Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A. Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 1.
32
hukuman denda (diyat) yang dijatuhkan sebagai akibat dari pelanggaran ketentuan
hukum syari’at, tidaklah diberatkan kepada pelanggarnya, tetapi kepada kerabat yang
bertanggung jawab kepadanya yang dinamakan aqilah, ataupun ketidakmampuan
aqilah tersebut untuk melakukan pembayaran diyat, seperti misalnya dalam
pembunuhan yang dilakukan oleh karena kesalahan.
Selanjutnya kita membatasi diri dengan hukuman penderitaan badan atau
denda yang bersifat keduniaan. Pelanggaran ketentuan syari’at yang mengakibatkan
hukuman akhirat, hanyalah akan kita singgung sejauh ada hubungannya dengan
hukuman-hukuman yang bersifat keduniaan, yakni hukuman pidana sebagaimana
yang kita rumuskan.
Jadi pengertian jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan
yang diharamkan adalah tindakkan yang dilarang atau dicegah oleh syara’ (hukum
islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi
membahayakan agama,jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai pencurian dipisahkan dari
pembahasan jinayah, yang hanya membahas kejahatan atau pelanggaran terhadap
jiwa atau anggota badan. Jadi, pembahasan tentang jinayah dikhususkan bagi
kejahatan terhadap jiwa dan anggota badan, sedangkan masalah yang berkaitan
dengan harta benda diatur tersendiri.
Tanpa berusaha memihak aliran yang berbeda, kata jinayah yang berarti
perbuatan jahat, salah, atau pelanggaran sudah inklusif (mencangkup) segala bentuk
kejahatan, baik terhadap jiwa maupun anggota badan. Oleh karena itu, kejahatan
33
terhadap harta benda secara otomatis termasuk dalam pembahasan jinayah, tanpa
perlu diadakan pemisahan dalam pembahasan diantara keduanya.
Disamping itu, pengertian jinayah pada awalnya diartikan hanya bagi semua
jenis perbuatan yang dilarang saja. Jadi, melalaikan perbuatan yang diperintahkan
dalam konteks pengertian tersebut bukanlah jinayah. Padahal suatu perbuatan dosa,
perbuatan salah, dan sejenisnya dapat berupa perbuatan ataupun berupa
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan melakukannya. Hal ini karena
pelanggaran terhadap peraturan dapat berbentuk mengerjakan suatu perbuatan yang
dilarang (bersifat aktif) atau meninggalkan perbuatan yang berdasarkan hukum harus
dikerjakan (bersifat pasif).35
Disamping itu pengertian jarimah merupakan tindak pidana dengan
pengertian larangan-larangan syara’ yang apabila dikerjakan diancam oleh Allah
dengan hukuman had atau ta’zir. Jarimah biasa dipakai sebagai perbuatan dosa atau
sifat dari perbuatan tersebut. Misalnya, pencurian, pembunuhan, perkosaan, atau
perbuatan yang berkaitan dengan politik atau sebagainya pengertian tersebut identik
dengan sebutan hukum positif sebagai tindak pidana atau pelanggaran. Adapun dalam
pemakaian kata jinayah lebih mempunyai makna luas, yaitu ditunjukkan bagi segala
sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditunjukkan
bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqih yang memuat
masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman
35 Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) h. 13.
34
yang diancamkan kepada pelaku perbuatan disebut fiqih jinayah bukan istilah fiqih
jarimah.36
2.Unsur-Unsur Tindak Pidana.
Tindak pidana haruslah mengandung tiga macam unsur yakni :
1. Melawan hukum.
2. Pelaku tindak pidana, yakni orang yang melakukan tindak pidana tersebut.
3. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dapat dihukum.37
Unsur-unsur yang tersebut ini tidak selamanya dapat terlihat dengan jelas dan
terang didalam perumusan ketentuan-ketentuan hukum syari’at islam yang
berhubungan dengan persoalan pidana dan pengertian-pengertian tersebut kita
kemukakan hanyalah untuk memudahkan pengertian dalam mempelajari dan
membahas persoalan-persoalan hukum pidana menurut hukum syari’at islam.
Melawan hukum atau melawan hak ialah pertentangan dengan ketentuan hukum
syari’at islam dan hukum positif .38 Seorang yang melakukan tindak pidana harus
memenuhi syarat-syarat :
a. Berakal.
b. Cukup umur.
36 Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, h. 15. 37 Dr. Haliaman SH. Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlu Sunnah ,( Jakarta:
Bulan Bintang, 1971), h. 66. 38 Dr. Haliaman SH. Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlu Sunnah, h. 111.
35
c. Mempunyai kemampuan bebas.39
3 Jenis-Jenis Tindak Pidana.
Pada umumnya para ulama membagi jenis jarimah dalam tiga bagian, berikut
ini;
A. Jarimah Hudud
Jarimah Hudud adalah suatu jarimah yang bentuknya telah ditentukan syara
sehingga terbatas jumlahnya. Selain ditentukan bentuknya (jumlahnya), juga
ditentukan hukumannya secara jelas, baik melalui Al-Qur’an maupun As-sunah.
Lebih dari itu, jarimah ini termasuk dalam jarimah yang menjadi hak Tuhan. Jarimah-
jarimah yang menjadi hak Tuhan adalah jarimah yang menyangkut masyarakat
banyak, yaitu untuk memelihara kepentingan, ketentraman dan keamanan
masyarakat. Pada jarimah ini tidak dikenal pemaafan atas pembuat jarimah, baik oleh
perseorangan yang menjadi korban jarimah ( mujna alaih ) maupun oleh Negara.
Hukuman jarimah ini sangat jelas diperuntukan bagi setiap jarimah. Karena
hanya ada satu macam hukuman untuk setiap jarimah.
Adapun jarimah yang termasuk dalam kelompok hudud menurut, para Ulama,
ada tujuh macam jarimah, yaitu perzinahan, Qaqdzaf, asyrib (minum-minuman
keras), pencurian, hirabah, al-baghyu, dan riddah40.
39 Dr. Haliaman SH. Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlu Sunnah, h. 67. 40 H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 13.
36
B. Jarimah Qishash/Diyat
Jarimah Qishash/Diyat telah ditentukan jenis maupun besar hukumannya. Jadi
jarimah ini pun terbatas jumlahnya dan hukumanya tidak mengenal batas tertinggi
maupun terendah karena hukuman untuk jarimah ini hanya satu untuk setiap jarimah.
Jarimah Qishash/Diyat menjadi hak perseorangan atau hak adami yang
membuka kesempatan pemaafan bagi sipembuat jarimah oleh orang yang menjadi
korban, wali, atau ahli warisnya. Jadi, dalam kasus jarimah Qishash/Diyat ini, korban
atau ahli warisnya dapat memaafkan perbuatan si pembuat jarimah, meniadakan
qishash dan menggantinya dengan diyat atau meniadakan diyat sama sekali.
Qishash ditunjukan agar pembuat jarimah dijatuhi hukum yang setimpal,
sebagai balasan atas perbutannya itu. Jadi hukuman bunuh hanya dijatuhkan bagi
pembunuh dan pelukaan dijatuhi bagi orang yang melukai. Untuk menjamin
ketertiban dan keamanan yang berkenaan dengan nyawa dan anggota badan lainnya,
qishash dipandang lebih menjamin dari pada jenis hukum lainnya.
Adapun diyat merupakan hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku jarimah
dengan objek yang sama (nyawa dan anggota badan), tapi dilakukan tanpa sengaja.
Jarimah yang termasuk dalam kelomok jarimah Qishash/Diyat terdiri atas
lima macam. Dua jarimah masuk dalam kelompok jarimah qishash yaitu,
pembunuhan sengaja/pelukaan dan penganiyaan sengaja. Adapun tiga jarimah
termasuk dalam kelompok diyat, yaitu pembunuhan tidak disengaja, pembunuhan
37
semi sengaja, dan pelukaan (penganiyayaan) tidak sengaja. Disamping itu, diyat
merupakan hukuman pengganti dari hukuman qishash yang dimaafkan.
C. Jarimah Ta’zir
Ta’zir menurut arti katanya adalah at-ta’dib artinya memberi pengajaran.
Dalam fiqih jinayah, ta’zir merupakan suatu bentuk jarimah, yang bentuk atau macam
jarimah serta hukuman jarimah ini ditentukan penguasa. Macam dan hukuman pada
jarimah ini tidak ditentukan sebab jarimah ini berkaitan dengan perkembangan
masyarakat serta kemaslahatannya selalu berubah berkembang dari satu waktu kelain
waktu dan dari satu tempat ketempat lain. Jarimah ta’zir ini juga disebut dengan
jarimah kemalahatan umum. Dalam menangani kasus jarimah ini, hakim diberikan
kekuasaan dan keleluasaan. Dia bebas brijtihad untuk menentukan apa yang hendak
dijatuhkan kepada pembuat jarimah, sesuai dengan macam jarimahnya dan keadaan si
pembuat jarimah.
Adapun jarimah ta;zir yang ditentukan syara diantaranya adalah khianat,
suap-menyuap, memasuki rumah orang lain tanpa izin, makan makanan tertentu,
ingkar janji, menipu timbangan, riba, berjudi dan sebagainya. Namun dmikian,
walaupun bentuk dan hukuman jarimah ta’zir ditentukan syara, namun penerapan
sanksinya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.
Dari penjelasan diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa jarimah ta’zir
itu terbagi dalam dua kategori, ta’zir syara dan ta’zir penguasa. Dua bentuk jarimah
ta’zir tersebut memiliki perbedaanya di samping ada kesamaannya. Ta’zir syara
38
ditentukan oleh syara dan bersifat abadi, artinya sejak diturunkan oleh pembuat
syari’at dan sampai kapanpun akan dianggap sbagai jarimah. Ini karena jarimah
ta’zir syara sejak awalnya memang telah dianggap sebagai suatu perbuatan maksiat,
yaitu perbuatan yang dilarang karena perbuatan itu sendiri dan melakukannya
dianggap perbuatan maksiat.
Adapun ta’zir penguasa diturunkan oleh penguasa dan bersifat sementara
bergantung pada keadaan dan dapat dianggap jarimah kalau memang diperlukan,
demikian pula, dapat dianggap bukan jarimah kalau memang menghendaki demikian.
Hal ini karena pada dasarnya ta’zir penguasa itu bukan suatu perbuatan yang dilarang
mengerjakannya, namun keadaan menyebabkan perbuatan itu dilarang41.
4. Sanksi Tindak Pidana
Menurut Kamus Bahasa Indonsia S. Wojowasito, hukuman berarti siksaan
atau pembalasan kejahatan. Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah memberikan
definisi hukuman sebagai berikut: “Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran
perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemashlahatan masyarakat.”.
Dari definisi tersebut, dapat kita kemukakan bahwa hukuman/sanksi
merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang
mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya.
Islam berusaha mengamankan masyarakat dengan berbagai ketentuan, baik
berdasarkan Al-Qur’an, Hadits Nabi, maupun berbagai ketentuan dari ulil amri atau
41 H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, h. 30-32.
39
lembaga legislatif yang mempunyai wewenang menetapkan hukuman bagi kasus-
kasus Ta’zir. Semua itu pada hakikatnya dalam upaya menyelamatkan umat manusia
dari ancaman kejahatan.
Adapun tujuan hukuman, esensi dari pemberian hukuman bagi suatu jarimah
menurut islam adalah pencegahan serta balasan dan perbaikan serta
pengajaran.Sedangkan sanksi tindak pidana, Prof. H. A. Djazuli membaginya
kedalam macam-macam sanksi tindak pidana:
a. Ditinjau dari segi terdapat dan tidak terdapatnya nash dalam Al-
Qur’an atau Al-Hadts, sanksinya dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan
kafarah. Misalnya, hukuman-hukuman bagi pezina, pencuri,
perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang menzihar
istrinya (menyerupakan istrinya dengan ibunya).
2. Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan
hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan jarimah, jarimah-
jarimah hudud dan qishsash/diyat yang tidak selesai, dan jarimah
ta’zir itu sendiri.
b. Ditinjau dari sudut kaitan antara hukuman yang satu dengan
hukuman yang lainnya, terbagi menjadi empat macam:
1. Hukuman pokok, seperti hukuman mati bagi pembunuh yang
membunuh dengan sengaja.
40
2. Hukuman pengganti, seperti hukuman ta’zir dijatuhkan bagi
pelaku karena jarimah had yang didakwakan mengandung unsur
kesamaran atau hukuman diyat dijatuhkan bagi pembunuhan
sengaja yang dimaafkan keluarga korban.
3. Hukuman tambahan, yaitu hukuman yang dikenakan mengiringi
hukuman pokok. Seorang pembunuh pewaris, tidak mendapat
warisan dari harta si terbunuh.
4. Hukuman pelengkap, keberadaannya harus melalui keputusan
tersendiri oleh hakim, seperti pememecatan suatu jabatan bagi
pegawai karena melakukan tindak kejahatan tertentu.
c. Ditinjau dari kekuasan hakim dalam menentukan berat
ringannya hukuman, hukuman terbagi atas dua macam:
1. Hukuman yang mempunyai batas tertentu, artinya hukuman yang
telah ditentukan besar kecilnya.
2. Hukuman yang merupakan alternatif karena mempunyai batas
tertinggi dan terendah. Hakim dapat memilih jenis hukuman yang
dianggap mencerminkan keadilan, hukuman ini termasuk
kelompok ta’zir.
d. Ditinjau dari segi objek yang dilakukannya hukuman terbagi
dalam:
1. Hukuman badan, seperti hukuman potong tangan dan dera.
41
2. Hukuman terhadap jiwa, seperti hukuman mati.
3. Hukuman terhadap hilangnya kebebasan, seperti pengasingan atau
penjara.
4. Hukuman terhadap harta benda si pelaku jarimah, seperti
penyitaan, diyat dan denda42.
42 .H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, h, 66-68.
42
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM
TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN
BISNIS KOMODITI CPO
A. Bentuk Operasional Bisnis Komoditi CPO
Didalam bisnis CPO mempunyai bentuk operasional sebagai berikut:
1. TBS (Tandan Buah Segar)
TBS adalah sebuah hasil dari kelapa sawit murni yang diolah kedalam tungku untuk
proses pemasakan hingga matang menjadi CPO, biasanya dalam proses 5 - 10
ton/jam dalam tungku untuk kapasitas kecil, kapasitas sedang 10 - 30 ton /jam
sedangkan untuk kapasitas besar mencapai 30 - 60 ton/jam.
2. Setelah menjalani proses pemasakan TBS lalu kelapa sawit murni dibawa ke PKS
(Pabrik Kelapa Sawit) yang ada disekitar lahan kelapa sawit, kemudian diolah dan
diproses kembali kedalam tungku yang lebih besar untuk pemanasan proses
kimiawi pemurnian dari CPOnya.
3. Setelah melakukan proses kimiawi maka pagi harinya CPO dibawa dengan truk
tengki kapasitas 6000 - 24000 liter untuk tujuan tengki timbun yang ada didermaga
pelabuhan yang memiliki kapaitas tengki timbun 2500 - 5000 ton.
4. Minyak yang telah masuk ke tengki timbun biasanya diadakan transaksi jual beli
berdasarkan MOU (Memorandum Of Understanding) untuk kespakatan kedua
43
belah pihak, MOU tersebut berdasarkan klausula hukum dengan pasal-pasalnya.
Apabila terjadi penyimpangan terhadap pasal tersebut diadakan pinalti berupa uang
jaminan yang distor ke BANK berkisar Rp 500 juta - 1 milyar.
Bentuk operasional CPO secara garis besar baik untuk lokal maupun eksport
pada umumnya mengikuti pada nilai yang telah ditetapkan yang disebut dengan
Rotterdam untuk penetapan nilai eksport (dari negeri Belanda bisa dilihat pada
Internet dan Koran Bisnis Indonesia). Sedangkan untuk lokal mengikuti dari nilai
PTPN (Pertanian Tanam Perkebunan Negara) Yang menetapkan harga adalah
pemrintahan itu berdasarkan perbandingan dari Kurs mata uang Indonsia terhadap
nilai Rotterdam.
Berikut ini adalah perjanjian jual beli CPO:
Perjanjian jual beli CPO (Crude Palm Oil) ini (selanjutnya disbut “perjanjian”) dibuat
dan ditandatangani pada hari kamis, 16 februari 2006 oleh dan antara :
1. PT. MASTERLINK INTERNATIONAL mewakili penjual yang selanjutnya
disebut “Pihak Pertama”.
2. PT. MULTI BUSINESS (Bp.Leonardus dan Bp, Markus) mewakili pembeli
dan selanjutnya disbut “Pihak Kedua”.
3. Pihak Pertama dan Pihak Kedua selanjutnya secara sendiri-sendiri disebut
pihak, dan secara brsama-sama disebut Para Pihak.
Para Pihak sepakat untuk melakukan perkaitan jual beli CPO (Crude Palm Oil)
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
44
P a s a l 1
Obyek Jual Beli
Para Pihak sepakat untuk melakukan perkaitan jual beli CPO (Crude Palm Oil)
dengan spesifikasi tknis sbagai berikut :
1. FFA (Fre Fat Acid) : 5% max
2. Moisture : 0,45% max
3. Harga : Rp. 3.650,-/ Kg (Include PPN)
4. Review Harga : Pelabuhan Dumai
6. Kontrak selama : 12 Bulan
7. Sistem Pembayaran : COD (CASH ON DLIVRY)
8. Jadwal Loading : Senin 20 Pebruari 2006
P a s a l 2
Hak dan Kewajiban Pihak Kedua
1. Hak-hak yang dimiliki olh Pihak Kedua adalah sebagai berikut :
a. Pihak Kedua berhak menerima barang sesuai dengan kualitas dan
spesifikasi yang dipersyaratkan.
b. Pihak Kedua berhak untuk menguji kualitas CPO sesuai dengan
spesifikasi yang dipersyaratkan.
c. Pihak Kedua berhak untuk mendapatkan konfirmasi pengiriman CPO
secara trtulis dari Pihak Pertama mengenai :
- Jumlah volume CPO yang akan dimuat (loading)
45
- Alamat jelas atau lokasi CPO
- Jadwal tentang pengambilan.
2. Kewajiban Pihak Kedua adalah sebagai berikut :
Pihak Kedua wajib membayar kepada Pihak Prtama atas barang yang selesai
ditimbang sesuai dengan loading saat itu.
P a s a l 3
Hak dan Kewajiban Pihak Pertama
1. Pihak Pertama berhak memperoleh pembayaran atas seluruh barang yang
selesai ditimbamng sesuai dngan yang telah diatur dalam perjanjian ini
2. Kewajiban Pihak Pertama adalah sebagai berikut :
Pihak Pertama wajib memberikan informasi secara tertulis kepada Pihak
Kedua mengenai :
- Jumlah volume CPO yang akan dimuat (Loading)
- Alamat jelas atau lokasi (CPO)
- Jadwal tentang pengambilan.
46
P a s a l 4
Jangka Waktu Perjanjian
1. Perjanjian ini berlaku dan mengikat Para Pihak selama 1 tahun sejak tanggal
perjanjian ini ditandatangani.
2. Perjanjian ini dapat diperpanjang kembali dengan kesepakatan Para Pihak yang
Dilakukan selambat-lambatnya 2 minggu sebelum habis masa berlakunya.
4. Bila habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang kembali, maka segala
ketentuan dalam perjanjian ini dinyatakan tidak berlaku dan tidak mengikat
dengan sendirinya.
P a s a l 5
Jumlah dan Tata Cara Pengiriman Barang
1. Pihak kedua membeli CPO dari Pihak Pertama dengan pemberian alokasi jumlah
Volume adalah sebesar 5.000 ton per bulan.
2. Pihak kedua hanya mengakui hasil penimbangan yang dilakukan di Dumai dan
sekitarnya.
3. Pihak Pertama harus menyiapkan kelengkapan administrasi seperti :
a. Kelengkapan
b. Faktur Pajak
4. Pihak Kedua memberikan Surat Tanda Terima Barang Kepada Pihak Pertama.
47
P a s a l 6
Nilai dan Tata Cara Pembayaran
Pihak Kedua membayar LUNAS pembelian CPO kepada pihak pertama setelah
ditimbang di lokasi penimbangan yang telah ditentukan dan dilakukan dengan Sistem
pembayaran COD (CASH ON DELIVERY).
P a s a l 7
Perselisihan
Perselisihan yang timbul atas pelaksanaan perjanjian ini akan diselesaikan secara
musyawarah.
P a s a l 8
Penutup
1. Setiap perubahan terhadap perjanjian ini harus dilakukan secara tertulis dan
ditanda tangani oleh Para Pihak dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian ini.
2. Pengakhiran dan atau pembatalan perjanjian ini baru dapat dilaksanakan setelah
disepakati oleh para pihak.
Demikianlah, para pihak membuat Perjanjian Jual Beli CPO.43
43 Leo Krishna Adiputra,Wawancara Direktur, PT. Multi Business, Tgl 10 Maret 2007.
48
Berikut ini adalah penentuan harga : Berdasarkan Keputusan Rapat TIM
Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Petani Propinsi
Lampung yang diselennggarakan pada :
Tanggal : Selasa, 5 juli 2005
Tempat : Dinas Perkebunan Propinsi Lampung
Jl. Basuki Rachmat N0. 8A Telukbetung
Yang dihadiri oleh perusahaan inti, wakil dari kelompok tani plasma, wakil
dari Koperasi Unit Desa (KUD) petani plasma, dan Instansi terkait maka dapat
ditetapkan sebagai berikut :
1. - Harga rata-rata CPO bulan : Juli 2005 Rp. 3.227.74,-/kg.
- Harga rata-rata Inti sawit bulan : Juli 2005 Rp. 2,218.25,-/kg.
- Indeks propinsi “K” : = 78.79 %.
2. Berdasarkan butir 1 diatas ditetapkan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa
sawit propinsi petani bulan : Juli 2005 adalah Umur Tanaman 3 tahun,
Perhitungan Harga 76.79 % {( 3.227.74 x 15.620%) + (2,218.25 x 3.70 %)},
maka Harga yang ditetapkan adalah Rp. 461.89/Kg.
Demikianlah Hasil Rapat Penentuan Harga Tandan Buah Segar (TBS) yang
dilaksanakan : Telukbetung, 5 Juli 2005, oleh TIM PENETAPAN HARGA
PEMBELIAN TBS PRODUKSI PETANI PROPINSI LAMPUNG, dengan Sekretaris
Tim : Ir. Bambang G. S. MS.
49
Adapun sistem penjualan CPO pada PT. SHAMELYA UTAMA dengan cara
Tender atau lelang terbuka, sebagai berikut :
PT. SHAMELYA UTAMA
Jakarta, 28 Juli 2005
No. 027/SHU/PROC/VII/05
Kepada Yth.
Bpk. Ronny Sutanto
Business & Deveopment
PT. Buana Indah Mandiri Agung
Di_tempat
Perihal : Prosedur Pembelian CPO
Dengan hormat,
Sehubungan dengan surat Bapak No. : ./BIMA/CPO/VII/05 tgl 20 Juli 2005 prihal
permintaan CPO, dengan ini kami sampaikan bahwa Sistem Penjualan CPO untuk
saat ini dilakukan dengan cara Tender (Lelang Terbuka) yang dilaksanakan pada hari
50
Selasa & Kamis setiap minggunya, adapun mengenai harga dilihat dari penawaran
tertinggi dari peserta lelang dan berpatokan pada harga pasar.
Jika bapak berminat mengikuti lelang tersebut, maka Bapak dapat mengirim Bio Data
Perusahaan terlebih dahulu kepada kami untuk dimasukkan sebagai peserta lelang.
Demikian informasi yang dapat kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya
diucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Syahrul Arifin
Direktur
51
Berikut surat permintaan yang yang dikeluarkan oleh PT. Multi Business kepada
pemilik CPO, adalah:
SURAT PRMINTAAN
Kepada Yth,
Pemilik CPO
Cc : Bp. YONGKI
Menindak lanjuti Pembicaraan kami dengan Bp. Yongki, dengan ini kami PT. Multi
Business mendapatkan Order Langsung dari Pabrik untuk mensuplai CPO (Crude
Palm Oil) dengan Spesifikasi sbb :
1. FFA : 5 % maximal
2. Kadar Air : 1 % maxi,al
3. Moisture : 0,45 % WW Max
4. Harga : Rp. 2500 / Kg
5. Volume : 500 TON / minggu = 2000 Ton / bln
6. Lokasi : Bandar Lampung di Tugu
7. Kontrak : Per-Tahun perpanjang dst….
52
Demikianlah Spesifikasi yang kami minta, & adapun Sistem Pembayaran adalah
Cash & Carry dengan Transfer Rekening.
Besar harapan kami untuk dapat bekerjasama dengan baik & saling membina serta
membangun kepercayaan.
Hormat kami,
Multi Business
Leonardus
53
B. Tindak Pidana Penggelapan Dalam Bisnis CPO
Berdasarkan poin A Transaksi jual beli terjadinya penggelapan berupa:
1. Tindak pidana penggelapan pada tangki timbun didermaga pelabuhan,
mereka mengambil keuntungan dari nilai pinalti, yang dimaksud
dengan nilai pinalti adalah sebuah transaksi jual beli terjadi
penyimpangan (harga yang ditetapkan Pada transaksi berubah
ditunjukan pada pihak pembeli sedangkan pada pihak penjual CPO
dinaik/diturunkan dalam kadar lemak CPOnya itu biasanya dalam
bentuk FFA (Free Fat Acid) pada umumnya penyimpangan tersebut
sampai kepada lima pembeli. Pada poin pertama ini terjadi pada tengki
dermaga plabuhan melalui kapal laut.
2. Tindak pidana penggelapan CPO melalui jalan darat terdiri dari:
a. Pengencingan (mengurangi volume).
b. Kerjasamanya sopir dengan DLLAJR.
c. Kerjasamanya sopir dengan bajing loncat.
a. Pengencingan
Proses pengencingan (dalam istilah pembisnis CPO) terjadi pada
pemberangkatan CPO mulai dari PKS (Pabrik Kelapa Sawit) sampai dipertengahan
jalan (penyemberangan antara bakauni merak ) pada umumnya pihak sopir
mengencingkan (mengambil jumlah volume) CPO antara 10 - 100 liter/truk tengki
54
yang sudah mmpunyai penadah di truk pelabuhan. Untuk menjaga volume truk tengki
biasanya sopir mengganti volume dalam truk tangki, biasanya sopir mengganti
volume CPO dengan air. Hal tersebut diketahui oleh pihak pengelola untuk
mengganti sejumlah materi untuk membayar pungutan-pungutan liar. Proses
pengencingan sangatlah terselubung dimana prakteknya sulit dipertanggung
jawabkan, dikarenakan transaksi atau pengencingan tersebut terjadi didalam
perkebunan yang sangat luas pada saat pengiriman untuk mencapai lokasi tanki
timbun yang berada didermaga pelabuhan.
c. Kerjasamanya sopir dengan DLLAJR
Pada saat diperjalanan terdapat titik yang harus menyerahkan sejumlah uang
bagi DLLAJR, contoh didalam perjalanan terdapat 6 titik. Satu titik Rp 100.000 –
200.000. Namun dalam laporan harga tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga
sejumlah uang yang digelapkan dibagikan pihak sopir dengan DLLAJR. Untuk
laporannya maka pihak DLLAJR membuat keterangan yang tidak sesuai dengan
jumlah harga yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat, hal ini hanya pihak sopir
dan DLLAJR yang mengetahui.
d. Kerjasamanya sopir dengan bajing loncat
Kerjasamanya ini dalam bentuk pengencingan terjadi dipertengahan jalan pada
lahan kelapa sawit sekitar hutan PKS (dari PKS sampai Jalan raya sekitar 15 km),
volume CPO yang digelapakan 7 – 15 liter/truk tengki, perhari hinnga 60 truk.
55
Peraktek tindak pidana ini sulit sekali dipertanggung jawabkan dan dibuktikan karena
lihainya pihak bajing loncat dan pihak sopir yang telah menguasai keadaan wilayah
sekitar perkebunan dan jalan menuju tanki timbun yang terdapat didermaga
pelabuhan dari pengawasan pihak perusahaan dan pihak aparat pemerintah.
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tindak Pidana Penggelapan Dalam Bisnis
CPO
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain adalah:
1. Pada perinsipnya semua pihak yang terkait mulai dari penjual, aparat
premerintah dan sopir truk ingin memproleh keuntungan sejumlah uang yang
sangat besar dalam menjalankan bisnis CPO.
2. Terjadinya tindak pidana penggelapan di karenakan kurangnya kesejahteraan
pada aparat pemerintah maka pihak yang terkait bekerjasama dilapangan
melakukan tindak pidana penggelapan.44
D. Analisis Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Bisnis CPO
Melihat dari faktor dan unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana
penggelapan dalam bisnis CPO, terdapat beberapa motif tindak pidana, yaitu seperti
adanya kesepakatan jahat oleh pihak penjual atas proses penjualannya untuk
44Leo Krishna Adiputra, Wawancara Direktur PT. Multi Business, Tgl 10 Maret 2007.
56
mendapatkan keuntungan dari niai pinalti, perbuatan mengurangi zat aslinya, unsur
memanipulasi berat timbangan, dan menentangan kepercayaan. Maka dari unsur dan
motif tersebut yang terjadi dalam bisnis CPO merupakan tindak pidana penggelapan
di karenakan objek tersebut dalam kekuasaannya.
Dari sisi tujuan Syar’i (pembuat hukum) yang mnjadi tujuan perumusan
hukum Islam adalah untuk mewujudkan dan memlihara lima sasaran pokok, yaitu
agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan, serta harta. Lima hal pokok ini, wajib
diwujudkan dan dipelihara jika sesorang menghendaki kehidupan yang berbahagia di
dunia dan di hari kemudian. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima
pokok tadi merupakan amalan saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.45
Adapun tindak pidana penggelapan merupakan kejahatan terhadap harta
dalam perspektif hukum Islam adalah tindakan kejahatan yang mengancam
eksistensi harta-benda. Tindakan itu merupakan tindakan kejahatan yang bisa
menggoncang stabilitas keamanan terhadap harta dan jiwa masyarakat. Oleh karena
itulah, Al-Qur’an melarang keras tindakan kejahatan tersebut dan menegaskan
ancaman hukuman secara rinci dan berat atas diri pelanggarnya.
Larangan melakukan tindakan kejahatan terhadap harta, adalah satu-satu
upaya untuk melindungi harta di kalangan umat. Di dalam ajaran Islam terdapat
sejumlah upaya untuk mewujudkan dan memelihara harta. Yang secara garis besar
dapat dibagi ke dalam dua kategori:
45 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001),h 107.
57
Pertama, upaya untuk mewujudkan harta bagi kelanjutan hidup manusia.
Untuk ini, Islam mewajibkan umat manusia berusaha secara halal untuk memperoleh
mencari rezeki (Lihat Al-Qur’an: Ayat 10 Surah Al-jumu’ah, dan ayat 15 Surah Al-
muluk).
Kedua, upaya pemeliharaan harta dari suatu ancaman, dangan melakukan
berbagai cara:
1. Larangan melakukan penipuan dan penzaliman terhadap harta, seperti terdapat
dalam Ayat 188, dan 279 Surah Al-Baqarah.
2. Larangan berfoya-foya dan menghamburkan uang tidak pada tempatnya.
Larangan seperti ini terdapat dalam Ayat 26 dan 27 Surah Al-Isra’.
3. Larangan pencurian dan perampokan dan ancaman berat atas pelakunya,
sebagaimana dinyatakan dalam Ayat 38 dan 33 Surah Al-Maidah.
4. Kewajiban mengganti rugi bagi siapa yang merusak harta orang lain, seperti
disebutkan dalam ayat 194 Surah Al-Baqarah.
5. Disyari’atkan bagi seseorang berjuang untuk mempertahankan hartanya. Hal
ini seperti diajarkan dalam hadits riwayat imam Bukhari: “Barang siapa
terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid”.
6. Dalam praktek utang piutang dianjurkan supaya memakai bukti tertulis dan
saksi, terdapat dalam Ayat 282 Surat Al-Baqarah.46
46 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan, h.
108-109.
58
Didalam rumusan permasalahan delik penggelapan, timbulnya perselisihan
pendapat, apakah berlaku hukum had pemotongan tangan. Dalam istilah ilmu fiqih,
penggelapan disebutkan sebagai penentangan terhadap kepercayaan ( jahidu wadi’ah,
jahidu ‘arijah). Menurut Ahmad dan Ishaq yang dikutip An Nawawi dalam sejarah
muslim, terhadap delik penggelapan ini berlaku ketentuan hukuman had pemotongan
tangan. Menurut pendapat jumhur ulama, riwayat mengenai penggelapan adalah
ganjil, dan oleh karenanya tidak dapat dijadikan dasar hukum. Demikian juga
pendapat An Nawawi sendiri dalam Matan Minhadj. Adapun mengenai delik
penggelapan tersebut diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai, Abu Daud dan juga oleh
muslim. Menurut riwayat muslim yang bersumber pada ‘Aisyah, beliau telah berkata
: Ada seorang perempuan Machzumiyah telah meminjam barang dan ia telah
menentangnya (maksudnya tidak mau mengembalikannya, atau menggelapkannya)
maka Nabi Muhammad SAW. telah memerintahkan untuk dipotong tangannya.47
Pengertian meminjam barang dalam riwayat ini, ia penerimaan barang yang
dipercayakan kepada seseorang, dan apabila kepercayaan itu dilanggar, dengan
tindakan pemilikan barang yang dipinjam itu untuk kepentingan diri sendiri atau
orang lain, maka telah terjadi delik djuhudul ‘arijah seperti yang disebutkan didalam
riwayat ‘Aisyah tersebut. Menurut pendapat kita, hadits tersebut merupakan
ketentuan yang jelas, dan tidak pula ada yang membantah mengenai kesahannya,
bahwa atas perbuatan penggelapan juga berlaku ketentuan hukuman had pemotongan
47 Dr. Haliaman SH. Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlu Sunnah, h. 441.. .
59
tangan, dan hadits tersebut adalah merupakan dasar hukum yang kuat, sebagai
ketentuan yang mengqiaskan ketentuan Al-Qur’an mengenai pencurian, dengan
tindak mempertimbangkan apakah hadits tersebut, ganjil (syadzah) ataupun tidak.
Akibat dari pada pencurian, menurut ulama-ulama Hanafi, jika pencuri
dipotong tangannya oleh karena seluruh barang curian ataupun sbagiannya, maka ia
tidak mengganti rugi sesuatu dari barang tersebut, dan ia mengganti barang curian itu,
jika ia tidak dipotong tangan. Pendirian ini adalah sama dengan pendirian Abu
Hanifah, seperti yang diutarakan oleh Sarbini Chatib. Menurut imam Malik, jika
pencuri tidak mempunyai apa-apa, ia tidak diwajibkan membayar ganti rugi barang
yang dicurinya. Kalau ia mempunyai banyak harta, ia membayar ganti rugi tersebut,
demikian Malik yang dikutip oleh Syarbini Chatib. Menurut ulama-ulama Syafi’I,
pencuri wajib mengembalikan barang curiannya, didasarkan pada hadits Abu Daud:
terhadap tangan, apa yang diambilnya, sampai ia mengganti rugi. Menurut ulama-
ulama mazhab Syafi’I, pemotongan tangan adalah merupakan hak Allah Ta’ala dan
ganti rugi adalah hak adami, sedangkan hak Allah tidaklah mencegah hak adami dan
tidaklah tercegah orang fakir oleh karena telah menjatuhkan harta orang lain dan
walaupun barang yang dicuri itu tidak memberi manfaat kepada orang kecurian
seperti pada orang yang melakukan pencurian ataupun tidak, diwajibkan membayar
ganti rugi, seperti halnya pada orang yang barangnya dirusakan, dan walaupun harta
orang kecurian itu kembali ketempat simpanannya (semula), tidaklah gugur
pemotongan tangan, dan tidak diganti rugi, demikian yang dikatakan oleh Syarbini
Chatib.
60
Adapun tindak pidana penggelapan yang terjadi dalam bisnis CPO terdapat
unsur khianat(menentang kepercayaan), ingkar janji didalam jual beli, menipu
timbangan, kesepakatan jahat dan sebagainya. Dari keterangan tersebut maka tindak
pidana yang terdapat dalam bisnis CPO adalah tindak pidana penggelapan. Maka
unsur-unsur yang terdapat didalamnya merupakan kategori jarimah ta’zir yang
penerapan sanksinya diserahkan diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Hakim
dapat memilih rangkaian hukuman atas suatu tindak pidana yang pada dasarnya,
semua jarimah telah memiliki aturan, sedangkan pemberi kekuasaan bagi hakim
adalah memilih hukuman yang sesuai dengan keadaan sehingga akan mencerminkan
isi hukuman itu sendiri dan menerapkan keadilan.
Hukum Islam bersifat elastis dan mengikuti perkembangan zaman yang
termasuk tindak pidana pengglapan yang terdapat dalam bidang bisnis dan ekonomi,
khususnya bisnis CPO yang terdapat tindak pidana penggelapan didalam jual beli.
Disamping itu, untuk jarimah penggelapan yang mempunyai kesamaan dengan
jarimah lain, tidak diperlukan peraturan (asas legalitas) yang khusus. Cukup apabila
jarimah-jarimah tersebut mempunyai kesamaan sifat yang telah ditentukan secara
umum. Oleh karena itu, kemungkinannya jarimah yang berbeda akan mendapat
hukuman yang sama, sebagai contoh jarimah penggelapan dengan jarimah pencurian
yang dasar perbedaanya adalah benda atau objeknya apabila benda tersebut dalam
kekuasaanya maka disebut tindak pidana penggelapan, sedangkan benda tersebut
diluar kekuasannya adalah bentuk tindak pidana pencurian. Hal tersebut merupakan
61
dasar perbedaan kedua jarimah. Namun itulah yang dimaksud dengan jarimah ta’zir
bersifat elastis atau fleksibel.
Adapun persamaan kedua jarimah tersebut adalah tindakan mengambil
sesuatu benda atau barang yang bukan milik sipelaku jarimah, sebagai objek jarimah.
Oleh karena itu, ketentuan sanksi perbuatan tersebut diserahkan kepada penguasa dan
hakim akan memilihnya dari rangkaian hukuman yang ada.
Kadar dan batas dari jarimah penggelapan diqiaskan dengan jarimah
pencurian. Kadar dan batas pencurian adalah: tentang batasan atau nisab tersbut,
menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik mengatakan seperempat dinar, sedangkan
Imam Abu Hanifah mengatakan sepuluh dirham atau satu dinar, berdasarkan Hadits
Nabi:
ال في د ينا ر ا و عشر د ر ا همال تقطع يد ا لسا ر ق ا
) رواه البخا ري و مسلم (
Artinya:
“Tidaklah dipotong tangan pencuri, kecuali pada satu dinar atau sepuluh dirham.”
Di samping itu, ada yang mengatakan (seperti Ibnu Rusyd) batasan tersebut
adalah mpat dinar, seperti Hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim,
melalui perawi siti Aisyah:
62
ال تقطع يد ا لسا ر ق ا ال في ر بع د ينا ر فصا عدا
)رواه البخا ري و مسلم(
Artinya:
“Janganlah dipotong tangan pencuri, kecuali pada empat dinar atau lebih.”
(H.R.BukhariMuslim)
Mengenai batas tangan yang dipotong, Imam Asy-Syafi’I, Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Daud Azh-Zhahiri sepakat
bahwa batas tangan yang dipotong adalah dari pergelangan tangan kebawah.
Jadi apabila benda yang digelapkan dalam bisnis CPO mencapai nisab atau
kadar, maka perspektif hukum islam adalah dikenakan hukuman potong tangan
berdasarkan Hadits Nabi, pendapat para imam dan ulama dan termasuk kedalam
jarimah ta’zir yang hukumannya diserahkan kepenguasa dan hakim yang biasanya
memilih hukum mengqiaskan tindak pidana penggelapan kepada pencurian, yang
keduanya memiliki kesamaan unsur jarimah.
Adapun hukuman untuk tindak pidana pencurian, sebagai tolak ukur sanksi
tindak pidana penggelapan, yaitu apabila delik pidana telah dapat dibuktikan maka
pelaku dapat dikenai dua macam hukuman sebagai bahan pertimbangan hakim,
adalah:
1. Penggantian kerugian (Dhaman).
63
2. Hukuman potong tangan.48
1. Penggantian Kerugian (Dhaman)
Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-miridnya penggantian kerugian dapat
dikenakan terhadap pencuri apabila ia tidak dikenakan hukuman potong tangan. Akan
tetapi, apabila hukuman potong tangan dilaksanakan maka pencuri tidak dikenakan
penggantian kerugian. Dengan demikian menurut mereka, hukum potong tangan dan
penggantian kerugian tidak dapat dilakukan sekaligus bersama-sama. Alasannya
adalah bahwa Al-Qur’an hanya menyebutkan hukuman potong tangan untuk tindak
pidana pencurian, sebagaimana yang tercantum dalam surah Al-Maaidah ayat 38, dan
tidak menerangkan penggantian kerugian.
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, hukuman potangan dapat dilakukan
bersama-sama, Alasan mereka adalah bahwa dalam pencurian terdapat dua hak yang
menyinggung, pertama adalah hak Allah dan kedua hak manusia sebagai pengganti
kerugian.
Menurut Imam Malik dan murid-muridnya, apabila barang yang dicuri sudah
tidak ada dan pencuri adalah orang yang mampu maka ia diwajibkan mengganti
kerugian sesuai dengan nilai barang yang dicuri, disamping ia dikenakan hukuman
potong tangan. Akan tetapi, apabila ia tidak mampu maka ia hanya dijatuhi hukuman
potong tangan dan tidak dikenai penggantian kerugian.
48 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 90.
64
2. Hukuman Potong Tangan
Hukuman potong tangan merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana
pencurian, Ketentuan ini didasarkan pada Firman Allah dalam surah Al-Maaidah ayat
38: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya, sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha perkasa lagi bijaksana”.49
49 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 90-91.
65
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
Dari pembahasan kajian Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana
Penggelapan Dalam Bisnis CPO, maka dapat diambil kesimpulan dan saran-saran
sebagai berikut:
Kesimpulannya adalah:
1. Tindak pidana penggelapan yaitu, barang siapa dengan sengaja dan
melawan hukum mmiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik
orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam
karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 tahum atau denda
paling banyak Rp. 900,00.
2. Tindak pidana penggelapan didalam bisnis CPO terdapat beberapa motif,
yaitu:
1. Tindak pidana penggelapan yang terjadi pada tangki timbun didermaga
pelabuhan, dengan cara mengambil keuntungan dari nilai pinalti.
2. Tindak pidana penggelapan yang terjadi pada jalur darat:
a. Pengencingan (mengurangi volume).
b. Kerjasamanya sopir dengan DLLAJR.
c. Kerjasamanya sopir dengan bajing loncat.
66
3. Tinjauan hukum Islam terhadap tindak pidana dalam bisnis CPO adalah:
Terdapat unsur menentang kepercayaan dan memanipulasi berat
timbangan dan zat dari CPO, maka mengenai delik penggelapan tersebut
diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai, Abu Daud dan juga oleh muslim. Menurut
riwayat muslim yang bersumber pada ‘Aisyah, beliau telah berkata : Ada
seorang perempuan Machzumiyah telah meminjam barang dan ia telah
menentangnya (maksudnya tidak mau mengembalikannya, atau
menggelapkannya) maka Nabi Muhammad SAW. telah memerintahkan
untuk dipotong tangannya.
Menurut pendapat jumhur ulama, riwayat mengenai penggelapan
adalah ganjil, dan oleh karenanya tidak dapat dijadikan dasar hukum,
sehingga adanya perbedaan pendapat mengenai tindak pidana penggelapan.
Sedangkan beberapa pendapat para imam dan ulama dan termasuk
kedalam jarimah ta’zir yang hukumannya diserahkan kepenguasa dan
hakim yang biasanya memilih hukum mengqiaskan tindak pidana
penggelapan kepada pencurian, yang keduanya memiliki kesamaan unsur
jarimah yang sanksinya bila mencapai kadar yang telah ditentukan maka
dijatuhui hukuman potong tangan.Batasan tersebut adalah empat dinar,
seperti Hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim, melalui perawi
siti Aisyah:
67
ال تقطع يد ا لسا ر ق ا ال في ر بع د ينا ر فصا عدا
) رواه البخا ري و مسلم(
Artinya:
“Janganlah dipotong tangan pencuri, kecuali pada empat dinar atau lebih.”
(H.R.BukhariMuslim)50
4. Sanksi Tindak Pidana Penggelapan Bisnis CPO menurut hukum Islam adalah
potong tangan berdasarkan hadits Nabi, yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai,
Abu Daud dan juga oleh muslim. Menurut riwayat muslim yang bersumber pada
‘Aisyah, beliau telah berkata : Ada seorang perempuan Machzumiyah telah
meminjam barang dan ia telah menentangnya (maksudnya tidak mau
mengembalikannya, atau menggelapkannya) maka Nabi Muhammad SAW. telah
memerintahkan untuk dipotong tangannya.
50 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 90.
68
Sedangkan saran-saran sebagai berikut:
1. Pemerintah seharusnya lebih menegakan dan bersifat tegas demi hukum
mengatasi permasalahan dibidang bisnis dan segala bidang, yang
didalamnya terdapat unsur melawan hukum, serta memecahkan
permasalahan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana
penggelapan dengan melihat faktor-faktor penyebabnya.
2. Dalam perkuliahan seharusnya lebih mengangkat hal-hal yang berkaitan
dengan segala aspek kehidupan yang terdapat tindak pidana penggelapan
termasuk dalam ruang lingkup keluarga yang ditinjau oleh hukum Islam,
tidak hanya seputar pencurian dengan hukuman.
69
DAFTAR PUSTAKA
Al – Qur’an dan Terjemahannya, Semarang : CV Wicaksana, cet. Ke-1, 1991.
Adiputra Leo Krishna, Wawancara Direktur PT Multi Business, Tgl 10 Maret
2007.
Ali Zainuddin M.A. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, cet
pertama.
Amin Suma Muhammd, Pidana Islam di Indaonsia, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001, cet pertama.
Aminuddin, Membangun sistem Ekonomi Alternatif : Prespektif Islam, Terj,
Surabaya : Risalah Gusti, 1996.
Chazawi Adami, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Malang : Bayumedia, 2004.
Hakim Rahmat, Drs., Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Haliaman S.H., Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlu Sunnah,
Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1971.
Hamzah Andi, S.H., KUHP Dan KUHAP, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2005.
http: // www.bisnis.com.
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00219.html.
Kasmir dan Jakfar, Studi kelayakan Bisnis, Prenada Media, Kencana, 2003.
Lamintang, S.H. dan Samosir Djisman, S.H., Delik-delik Khusus, Bandung:
Tarsito, 1979.
Majalah Ekonomi Syariah, Ekaba-Usakti, Vol. 2 No. 3, 2003.
70
Poernomo Bambang, SH., Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Diluar Kodifikasi
Hukum Pidana, Jogjakarta :Bina Aksara, 1984.
Rosyada Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Lembaga Studi Islam
dan Kemasyarakatan, 1992.
Schacht Joseph, Pengantar Hukum Islam, Jogjakarta :Islamika, 2003, Cet.
Pertama.
Tanthowi Muhammad, Problematika Pemikiran Muslim, Jogjakarta: Adi
Wacana, 1998.
Teguh Hendra dan Rusli A, Manajemen Pemasaran, Jakarta : Prehalindo, Jilid
I, 1997.
Wardi Muslich Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Widjaja Gunawan, Seri Aspek Dalam Bisnis, Jakarta : Kencana, cet. Ke-1, 2004.
Widjaja Gunawan Dan Muljadi Kartini, Jual Beli, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2004.
.
71