bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan
di masyarakat adalah bertutur kata atau berbicara. Kegiatan bertutur kata atau
berbicara mempunyai kedudukan dan fungsi yang penting dalam aktivitas manusia
berbangsa, bermasyarakat, dan berperadaban,1 serta menyebar luaskan Islam.
Islam adalah agama dakwah, yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk
menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia. Sebagai rahmat
seluruh alam, Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan
umat manusia, apabila ajaran Islam yang mencakup segenap aspek kehidupan itu
dijadikan sebagai pedoman hidup serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh
umat manusia. Usaha untuk menyebar luaskan Islam dan realisasi ajarannya adalah
dakwah. Sebagaimana Firman Allah SWT.
������ ���� ������ ������
���☺���������� ��� �"#�☺�$���%
���&'(������ ) *,�$�-.�/�%
0123$���� 4��5 6'(78%9 � :;��
��<��� �#=5 >*?7%9 6�☺�� :�'@
6� A�9������� ) �#=5�% >*?7%9
�BC�-�D7,☺�$���� E@F�
Artinya:“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. (Q.S. An-Nahl: 125).2
1 Wahidin Saputra, Buku ajar Retorika Dakwah Lisan [Teknik Khithabah], (Fakultas Dakwah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2006), h.1. 2 Muhammad Rifa’i, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: CV. Wicakscana. 1991), cet. Ke-1
hal. 254
Bila dilihat dari kehidupan psikologi masing-masing golongan masyarakat
yang berbeda, maka sistem dan pendekatan yang digunakan dalam penyampaian
dakwah dan penerangan berbeda pula antara satu dengan yang lainnya. Sistem
pendekatan dan penerangan yang didasari dengan prinsip-prinsip psikologi yang
berbeda, merupakan suatu keharusan dan bilamana kita menghendaki efektivitas dan
efesiensi, dalam program kegiatan dakwah dan Penerangan agama dikalangan
masyarakat.
Banyak sekali cara penyampaian dakwah yang digunakan para da’i untuk
mengajak umat manusia, khususnya muslimin dan muslimat menuju jalan ridho Allah
SWT. Salah satu yang khas dalam dakwah adalah ceramah di atas mimbar dan
panggung-panggung, yang mana para orang awam memahami dakwah hanya sebatas
ini. Padahal masih banyak cara dakwah yang dapat dilakukan, yang diantaranya
melalui perbuatan, atau tingkah laku akhlak yang baik dengan pendekatan psikologis
dan masih banyak berbagai macam cara lainnya, karena sebagai umat Islam muslim
dan muslimat diwajibkan untuk berdakwah.
Dalam pelaksanaan dakwah peran da’i sangat menentukan dalam hasil dakwah
tersebut, maka dari itu diperlukan teknik yang baik dan dapat diterima oleh
masyarakat sebagai penerima pesan dakwah Islam. Kegagalan pesan dakwah sering
kali terjadi disebabkan oleh ketidak mengertian, dan kurang telitinya para da’i dalam
memilih strategi untuk menyampaikan pesan-pesan dakwahnya.
Banyak sekali orang yang pandai berbicara sehigga pidatonya panjang lebar,
akan tetapi tidak memperoleh apa-apa dari padanya selain kelelahan dan kebosanan,
hal ini disebabkan pembicara banyak mempunyai bahan materi tetapi tidak mampu
mengorganisasikannya. Bila pengetahuan orang itu tidak teratur, maka makin banyak
pengetahuan yang dimilikinya, semakin besar pula kekacauan pikirannya. Oleh karena
itu, bila seseorang mau menjadi ahli pidato, maka perlu memperhatikan dan
memahami tahap penyusunan pidato.3
Dalam dunia komunikasi cara berbicara (seni berbicara) disebut retorika yaitu
ilmu yang mengajarkan cara berbicara yang baik, dengan menggunakan berbagai
macam disiplin ilmu pendukung. Sering kali retorika disamakan dengan public
speaking, yaitu suatu bentuk komunikasi lisan yang disampaikan kepada kelompok
orang banyak tetapi sebenarnya retorika itu tidak hanya sekedar berbicara di hadapan
umum, melainkan ia merupakan sebuah gabungan antara seni bicara dan pengetahuan
atau suatu masalah tertentu untuk meyakinkan pihak orang banyak melalui
pendekatan persuasif. Dikatakan seni karena retorika menuntut keterampilan dalam
penguasaan atas bahasa dan dikatakan pengetahuan disebabkan adanya materi atau
masalah tertentu yang harus disampaikan kepada pihak orang lain.4
Dakwah akan diterima dengan baik apabila para da’i mengetahui secara tepat
kepada siapa dakwah itu di tujukan, dikarenakan setiap manusia itu tidak sama, baik
dari segi usia, tingkat kecerdasan, status sosialnya dalam masyarakat dan dalam hal
lainnya. Yang kesemuanya itu menuntut agar penyeru dakwah arif dan bijaksana akan
siapa dan bagaimana ia harus menghadapinya.5
Sebagai juru dakwah, pembawa risalah agama Islam bagi seluruh manusia.
Jika kehidupan para Rasul merupakan standard (uswatun hasanah) bagi ummatnya
untuk meniru Nabinya, disamping mengetahui cara-cara mereka berdakwah. Juga
karena semangat dakwah sangat menentukan dalam sejarah Islam.
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa adalah seorang muballigh yang semangat dalam
mensyiarkan agama Islam, cukup dikenal dan terbilang sukses dalam menyampaikan
dakwahnya dapat mempengaruhi pendengarnya. Setiap beliau berdakwah selalu
3 Wahidin Saputra, Buku ajar Retorika Dakwah Lisan [Teknik Khithabah], hal. 1.
4 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet, ke-2 hal. 136
5 M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), cet ke-1 hal. 2
berusaha supaya jama’ahnya atau mad’unya mudah menangkap atas segala apa yang
beliau sampaikan maksud dan tujuannya. Dengan sistem penyampaian yang bagus,
beliau mampu merekrut begitu banyak mad’u atau jama’ah dari berbagai macam
kalangan dan status sosial masyarakat. Terbukti setiap jadwal pengajian yang
diadakannya banyak para jama’ah yang datang dari berbagai pelosok wilayah.
Menuju majelis Ta’lim Darul Hikmah yang beliau pimpin, yang terletak di Jalan
Srengseng, Kembangan Jakarta Barat.
Berdasarkan pemaparan di atas, retorika begitu sangat penting bagi para da’i
dan da’iah dalam proses pelaksanaan penyampaian dakwahnya agar apa yang menjadi
tujuan dakwahnya dapat tercapai.
Maka dari itu penulis mengangkat judul skripsi ini dengan judul “Retorika
Dakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan penulisan sripsi ini, maka masalah yang akan
dibahas dalam penulisan skripsi ini dibatasi pada Retorika Dakwah KH. Ahmad
Syafi’i Mustawa ketika beliau menyampaikan ceramah di Majelis Ta’lim Daarul
Hikmah Srengseng, Jakarta Barat.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan permbatasan masalah di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apa Konsep Retorika Menurut KH. Ahmad Syafi’i Mustawa?
b. Bagaimana Penerapan Retorika Oleh KH. Ahmad Syafi’i Mustawa
Dalam Berdakwah?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran suatu Pandangan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa
Tentang Retorika dalam Berdakwah dan Bagaimana Penerapan Retorika dakwah KH.
Ahmad Syafi’i Mustawa, sehingga dapat mampu dalam mengemban misi agama
Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Memberikan kontrubusi bagi pengembangan penelitian melalui
pendekatan Ilmu Komunikasi. Sebagai alat Bantu utama pada Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan akan menjadi sebuah panduan
tambahan bagi para juru dakwah untuk dapat menyampaikan dakwanya dengan
cara yang efektif dan se-efesien mungkin. Dalam menyingkapi perkembangan
dakwah di Indonesia, khususnya berkenaan dengan retorika dakwah KH. Ahmad
Syafi’i Mustawa dalam dakwahnya terhadap perkembangan dakwah Islami di
Indonesia ini.
E. Metodologi penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Riset Lapangan (field
reseach), yaitu mencari dan mengumpulkan informasi tentang masalah-masalah
yang dibahas dari lapangan (tempat melakukan penelitian tersebut).
2. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan representatif dalam penelitian
ini, maka penulis menggunakan pendekatan kualitatif Yang bersifat Deskriftif
Analisis. Dimana ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
secara sistematis, factual dan akurat megenai factor-faktor, sifat, serta hubungan
fenomena yang diteliti.
Adapun secara deskriftif adalah bahwa data yang dikumpulkan berupa
kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya
penerapan metode kualitatif.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi adalah pengambilan data yang didapatkan melalui
pengamatan, pencatatan dengan sistematik dan fenomena-fenomena yang
diselidiki langsung kepada objeknnya. Dalam hal ini penulis mengamati
selama tiga bulan setiap malam sabtu tentang Penerapan RetorikaDakwah
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa ketika beliau menyampaikan ceramah di
Majelis Ta’lim Daarul Hikmah, Srengseng, Jakarta Barat.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan tanya jawab, dengan menggunakan alat panduan
wawancara.6 wawancara yang penulis lakukan dalam hal ini secara langsung
6 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Gaila Indonesia, 1988), cet. Ke-3 hal. 234.
dengan bapak. KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dan Ketua Majelis yang berada
di lokasi majelis ta’lim tersebut selama lima kali pertemuan, guna
mendapatkan informasi tentang konsep retorika KH. Ahmad Syafi’i Mustawa
dalam ceramahnya.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu pengambilan data yang diperoleh melalui
dokumen- dokumen. Pengumpulan data ini diperoleh dari dokumen-
dokumen yang berupa catatan-catatan formal, adapun studi dokumentasi
berproses dan berawal dari penghimpunan dokumen sesuai dengan tujuan
penelitian, menerangkan dan mencatatat serta menafsirkannya dan
menghubung- hubungkannya sesuai dengan fenomena yang lain.7
F. Tinjauan Pustaka
Untuk menentukan judul skripsi ini, penulis melakukan tinjauan pustaka
(Library reserch) di Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (PFDK) dan di
Perpustakaan Umum (PU) dan buku-buku yang berkaitan dengan judul untuk
menambah kelengkapan dalam skripsi ini.
Skripsi ini memang banyak kemiripan judul dengan skripsi yang ada
sebelumnya, yang telah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi
(FDK), yang sama-sama meneliti tentang Retorika Dakwah, seperti:
1. “Penerapan Retorika Dakwah Ustadz Yusuf Mansur” Oleh Sulnah Safitri.
Nim: 103051028556. Tahun 2007.
7 Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), cet. Ke-1,
hal.77.
2. “Retorika Dakwah Ustadzah Hj. Dedeh Rosyidah (Mamah Dedeh)” Oleh
Wanti Sumanti. Nim: 103051028603. Tahun 2007.
Dalam penelitian sebelumnya, seluruhnya mengatakan bahwa didalam
penerapan retorika dakwah pesan yang disampaikan mengandung tiga kategori pesan
dakwah, yaitu mengandung kategori pesan dakwah Aqidah, Syari’ah dan Akhlak.
Walaupun mengandung tiga kategori pesan dakwah tersebut, tetapi cara penyampaian
dari para muballigh dalam retorika gaya bicara ceramah mereka itu berbeda-beda.
Namun dari sekian banyak skripsi yang ada di Fakultas Dakwah dan
Komunikasi (FDK), peneliti belum menemukan skripsi mahasiswa yang meneliti
retorika dakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa. Perbedaannya Ustadz Yusuf Mansur
dan Ustadzah Hj. Dedeh Rosyidah (Mamah Dedeh) adalah seorang muballigh yang
berada di televisi yang mendapatkan pendidikan tentang retorika, sehingga wajar
banyak para jama’ah yang menghadirinya dikarenakan pengetahuan dan ketenaranya.
Sedangkan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa adalah seorang muballigh biasa yang
tidak berada dimedia massa, yang tidak mempelajari ilmu retorika tetapi dalam
penerapannya beliau sesuai dengan kajian ilmu retorika. Dalam susunan ceramah
yang beliau sampaikan tidak berbelit-belit cukup diawali dengan salam, hamdalah dan
shalawat dan akhiri pula dengan shalawat, hamdalah dan salam.Pesan yang dikemas
dan disampaikan sedemikian rupa secara simpel sehingga mudah untuk diterima dan
dimengerti. Bahasa yang beliau gunakan betawi dan dicampur dengan bahasa arab
dimanapun dan kapanpun beliau berdakwah. Pesan yang disampaikan diiringi dengan
gerakan anggota tubuh. Setelah selesai ceramah beliau tak lupa selalu menyuruh para
mad’u untuk menuntut ilmu di pengajian-pengajian atau majelis ta’lim. Selalu
menggunakan pakaian yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW memakai baju gamis
dan dilapisi juba serta bersorban. Hal inilah yang menjadi kelebihan KH. Ahmad
Syafi’i Mustawa sebagai seorang muballigh sehingga banyak para jama’ah yang
berdantangan menghadiri, karena senang dengan gaya bahasa retorika penyampaian
ceramah beliau.
Untuk lebih beragamnya imformasi, penulis mencantumkan juga perjuangan
beliau KH. Ahmad Syafi’i Mustawa. Untuk mendalami tentang dakwah ataupun
sejarah beliau dalam menekuni dakwah melalui dari semenjak beliau masih berada di
pesantren As-Saqafah Al-Habib Umar As-Segaf beliau sudah mulai berdakwah
sampai sekarang di majelis ta’lim Daarul Hikmah, majelis beliau sendiri banyak
berdatangan jama’ah dari berbagai macam golongan, ini dapat dikatakan sebuah
kesuksesan yang diantaranya dalam retorika.
Dalam hal ini alat yang digunakan dalam retorika sangat bagus untuk itu
sebagai pustaka primer atau sumber utama penulis ingin mengetahui langsung kepada
beliau yaitu dengan cara mewawancarai kepada beliau KH. Ahmad Syafi’i Mustawa
dan sumber informasi lainnya tentang beliau. Ini merupakan langkah awal penulis
prioritaskan dalam penelitian ini.
Menarik perhatian bagi penulis untuk mengangkatnya menjadi suatu karya
ilmiah, selain itu penulis menganggap semua ini sesuai dengan latar belakang objek
yang diteliti maupun peneliti yakni sebagai peminat dakwah. Itulah yang kemudian
menginspirasikan penulis dan menarik perhatian untuk mengangkat penelitian dengan
judul “Retorika Dakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa”, sesuai latar belakang penulis
sebagai mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan Penelitian ini, peneliian laporan hasil hasil
penelitian dibagi kedalam lima bab, yang terdiri dari sub-sub. Adapun sistematika
penulisannya sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metodologi penelitaian, Tinjauan Pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori, tentang Retorika dan Ruang Lingkupnya, Definisi
Retorika, Tujuan Retorika, Fungsi Retorika, Dakwah dan Ruang
Lingkupnya, Pengertian Dakwah, Ruang Lingkup Dakwah, Da’i,
Materi Dakwah, Metode Dakwah, Media Dakwah, Objek Dakwah
dan Tujuan Dakwah.
BAB III Gambaran umum tentang Profil KH. Ahmad Syafi’i Mustawa,
Riwayat Hidup KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, Pendidikan KH.
Ahmad Syafi’i Mustawa dan Sejarah Berdirinya Majelis Ta’lim
Daarul Hikmah.
BAB IV Gambaran umum tentang Konsep KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dan
Penerapan Retorika Oleh KH. Ahmad Syafi’i Mustawa Dalam
Berdakwah.
BAB V Penutup, merupakan kesimpulan dan saran-saran, serta dilengkapi
daftar pustaka, dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.
BAB II
LANDASAN TEORI TENTANG RETORIKA DAN DAKWAH
A. Ruang Lingkup Retorika
1. Pengertian Retorika
Retorika dalam artian sempit, yaitu “rede kunst” (seni berpidato) atau
kemahiran berbicara dan retorika dalam artian luas, yaitu seni menggunakan bahasa
dengan cara mana untuk menghasilkan kesan yang diinginkan terhadap pendengar dan
pembaca.8
Ditinjau dari segi bahasa, perkataan retorika berasal dari bahasa yunani, yaitu
“Rhetor” yang mengandung arti seorang juru pidato yang mempunyai sinonim
Orator”,9 dalam bahasa inggris “Rhetoric” bersumber dari perkataan “Rhetorica yang
berarti ilmu bicara”10
dan dalam bahasa arab disebut “Fannul Khithaabah”.11
Retorika adalah bagian dari ilmu bahasa (Linguistik), khususnya ilmu bina
bicara (Sprecherziehung). Retorika sebagai bagian dari ilmu bina bicara ini
mencakup:
a. Dialogika
8 T. A Lathief Rousydy, Dasar-dasar Retorica Komunikasi dan Informasi, (Medan: PT.
Firma Rimbow, 1989), h. 37. 9 MH. Isror, Retorika dan Dakwah Islam Era Modern, (Jakarta: CV. Firdaus, 1993), h. 10
10 Onong Uchjana Effendi, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002), h. 53. 11
T. A Lathief Rosydy, Dasar-dasar Retorica Komunikasi dan Informasi, h. 40.
Dialogika adalah ilmu tentang senia berbicara secara dialog, dimana dua
orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan.
Bentuk dialogoka yang penting adalah diskusi, tanya jawab, perundingan, percakapan
dan debat.
b. Pembinaan teknik bicara
Efektivitas monologika dan dialogika tergantung juga pada teknik bicara.
Teknik bicara merupakan syarat bagi retorika. Oleh karena itu pembinaan teknik
bicara merupakan bagian yang penting dalam retorika. Dalam bagian ini perhatian
lebih diarahkan pada pembinaan teknik bernafas, teknik mengucap, bina suara, teknik
membaca dan bercerita.12
Adapun menurut istilah ada beberapa pendapat yaitu:
1. Gusti Ngurah Oka, mengatakan bahwa retorika adalah ilmu yang
menganjurkan tindakan dan usaha efektif dalam persuasi penataan dan
penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerja sama serta
kedamaian dalam kehidupan masyarakat.13
2. Syekh Datuk Tombak Alam, mengatakan bahwa retorika adalah seni
mempergunakan bahasa untuk menghasilkan kesan yang diinginkan
terhadap pendengar dan pembaca.14
3. Wahidin Saputra, mengatakan bahwa retorika adalah ilmu yang mempelajari
tentang bagaimana bertutur kata dihadapan orang lain dengan sistematis,
logis, untuk memberikan pemahaman dan meyakinkan orang lain.15
12
P. Rudi Wuwur Hendrikus, Retorika, (Jakarta: CV. Firdaus, 1993), h. 16-17 13
I Gusti Ngurah Oka, Retorika Sebuah Tinjauan Pengantar, (Bandung: Tarate, 1976), h. 44 14
Syeh Datuk Tombak Alam, Kunci Sukses Penerangandan Dakwah, (Jakarta: Rineka Cipta,
1990), h. 36. 15
Wahidin Saputra, Retorika Dakwah Lisan, (Teknik Khithabah), (Buku Ajar Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Dakwah Pres 2006), h. 2.
4. Jalaludin Rakhmat, mengatakan dalam bukunya Retorika Modern, bahwa
retorika adalah pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan
cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk komunikasi dalam medan
pikiran.16
Dan bahwasannya pidato adalah peristiwa khas. Semua orang
dapat menyampaikan pidato dengan baik jika mereka mengetahui dan dapat
mempraktekkan tiga prinsip pidato atau yang biasa disebut Trisila Pidato,
yaitu :
a. Pelihara kontak visual dan kontak mental dengan khalayak
(kontak)
b. Gunakan lambang-lambang audiktif atau usahakan agar suara
anda memberikan makna yang lebih baik kaya pada bahasa anda
(olah vocal)
c. Berbicaralah dengan seluruh kepribadian anda: dengan wajah,
tangan dan rubuh anda (olah visual).17
Menurut Aristoteles, mengatakan retorika adalah “the art of persuasion”
adalah ilmu kepandaian berpidato atau teknik atau seni berbicara di depan umum,18
lalu dia mengatakan bahwa ada tiga cara untuk mempengaruhi manusia.
“Pertama (ethos), harus sanggp menunjukkan kepada khalayak bahwa anda
memilki pengetahuan yang luas. Kepribadian yang terpercaya, dan status yang
terhormat. Kedua (pathos), harus menyentuh hati khalayak: perasaan, emosi, harapan,
kebencian dan kasih sayang mereka. Ketiga (logos), meyakinkan khalayak dengan
16
Jalaludin Rahmat, Rhetorika Modern Pendekatan Praktis (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1998), h. v. 17
Ibid, h. 78 18
A.H. Hasanuddin, Rhetorika Dakwah dan Publisistik dalam Kepemimpinan, (Surabaya: PT.
Usaha Nasional, 1982), h. 11-12
mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti, di sini mendekati khalayak lewat
otaknya.”19
Dari itu kita dapat memperoleh lima tahap penyusunan pidato yang dikenal
dengan (The Five Konnons Rehoric) yang sering diterjemahkan dengan “Lima hukum
retorika”, yaitu :
1. Menemukan bahan (Inventio), pada tahap ini da’i atau muballigh menggali
topik dan meneliti khalayak yang akan hadir mendengarkan ceramah kita,
kemudian menentukan metode yang tepat.
2. Penyusunan bahan/materi yang akan disampaikan (Dispositio), dalam
tahap ini da’i atau muballigh menyusun materi dakwah yang akan
disampaikan, misalnya: Pendahuluan, Pembahasan dan Penutup.
3. Memilih bahasa yang indah (Elocutio), pada tahap ini da’i atau muballigh
memilih kata-kata yang tepat, kalimat yang jelas dan bahasa yang indah
sesuai dengan kemampuan khalayak pendengar.
4. Mengingat materi yang akan disampaikan (Memoria), pada tahap ini da’i
atau muballigh harus mengingat-ingat dalam pikiran materi yang akan
disampaikan kepada khalayak pendengar sesuai dengan susunan yang telah
dibuat sebelumnya.
5. Menyampaikan dakwah lisan (Pronuntiatio), pada tahap ini da’i atau
muballigh menyampaikan materi perhatikan suara (vocal), gerak tubuh,
dan pelihara kontak mata dengan khalayak pendengar.20
2. Tujuan Retorika dan Fungsi Retorika
a. Tujuan Retorika
19
Jalaluddin Rahmat, Rhetoeika Modern Pendekatan Praktis, h. 7 20
Wahidin Saputra, Buku ajar, Retorika Dakwah Lisan, (Teknik Khithabah), hal. 1.
Ketika Aristoteles di sekitar abad ke-4 SM. Menampilkan retorika sebagai
sebuah ilmu yang berdiri sendiri, dikatakan bahwa tujuannya adalah persuasi, yang
dimaksudkan persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya penanggap tutur akan
kebenaran gagasan topik tutur.
Secara retorika tujuan berbicara kepada massa itu dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. To inform, yaitu memberikan penerangan dan pengertian kepada massa, guna memberikan penerangan yang mampu menanamkan pengertian dengan
sebaik-baiknya.
2. To convine, yaitu meyakinkan atau menginsafkan
3. To inspire, yaitu untuk menimbulkan inspirasi. Dengan teknik dan sistem
penyampaian yang baik dan bijaksana.
4. To entertain, yaitu mengembirakan , menghibur atau menyenangkan dan
memuaskan.
5. To actuate (to put into action), yaitu menggerakan dan mengarahkan mereka
untuk bertindak merealisir dan melaksanakan ide yang telah
dikomunikasikan oleh orator di hadapan massa.21
b. Fungsi Retorika
I Gusti Ngurah Oka menjelaskan bahwa retorika adalah untuk:
1. Menyediakan gambaran yang jelas tentang manusia terutama dalam
hubungan kegiatan bertuturnya, termasuk ke dalam gambaran ini antara lain gambaran proses kejiwaannya ketika ia terdorong untuk bertutur
kata ketika ia mengidentifikasi pokok persoalan dan retorika bertutur ditampilkan.
2. Menampilkan gambaran yang jelas tentang bahasa atau benda yang biasa
diangkat menjadi topik tutur. Misalnya gambaran tentang hakikatnya,
strukturnya, fungsi dan sebagainya.
3. mengemukakan gambaran terperinci tentang masalah tutur misalya
dikemukakan tentang hakikatnya, strukturnya, bagian-bagian dan
sebagainya.
4. Bersama-sama dengan penampilan gambaran ketiga tersebut di atas
disiapkan pula bimbingan tentang:
a. Cara-cara memilih topik.
b. Cara-cara memandang dan menganalisa topik tutur untuk
menentukan sasaran ulasan yang persuasive dan objective.
c. Pemilihan jenis tutur yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak
dicapai.
21
T. A Lathief Rosydy, Dasar-dasar Retorica Komunikasi dan Informasi, h. 234-235.
d. Pemilihan materi bahasa serta penyusunan menjadi kalimat-kalimat
yang padu, utuh, mantap dan bervariasi.
e. Pemilihan gaya bahasa dan gaya tutur dalam penampilan tuturnya.22
B. Dakwah dan Ruang Lingkupnya
1. Pengertian Dakwah
Dakwah ditinjau dari segi etimologi atau asal kata, dakwah memiliki
makna yang bermacaman-macam yang diantaranya:
1. An-Nida Artinya memanggil
2. Menyeru atau mendorong kepada sesuatu.
3. Menegaskan atau membelanya.
4. Suatu usaha atau perkataan untuk menarik manusia kesuatu aliran
atau agama.
5. Memohon dan meminta, yang sering disebut dengan istilah do’a.23
Sedangkan pengertian Menurut Prof. H. Mahmud Yunus bahwa kata
dakwah mempunyai dua akar kata. Yaitu (da’a – yad’uu – da’watan) yang
artinya menyeru, memanggil, mengajak dan menjamu. Akar kata yang kedua
yaitu (da’a – yad’uu- du’aa an) yang mempunyai arti memanggil, mendoakan
dan memohon.24
Arti kata dakwah seperti ini sering ditemukan atau
dipergunakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diantaranya dalam surat
Yunus/10 ayat 25:
GH���% )�I#7-�J ���� ����
1*.?(($�� L�-"M�-�% 6�N O�H��PQR
���� �>�TUV W2X1��Y([N EF�
Artinya: "Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang
yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang Lurus (Islam). Arti kalimat
darussalam Ialah: tempat yang penuh kedamaian dan keselamatan.
pimpinan (hidayah) Allah berupa akal dan wahyu untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
22
I Gusti Ngurah Oka, Retorika Sebuah Tinjauan Pengantar, h. 65 23
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, (Solo: Intermedia, 1998), Cet. Ke-2, h.26-28. 24
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1998), Cet. Ke-5, h.1.
Agama Islam merupakan agama yang menyeru kepada kebaikan.
Maka kita sebagai umat Islam diwajibkan untuk berdakwah sesuai dengan
firmannya dalam (QS. At-Taubah : 122)
��N�% \]^⌧` �;#&�N��☺�$��
)�%a�bc���$ &�3dH�ef � eg"#?�d
�a⌧b�h 6�N i��` ���^"a�d "jkM�l�mN
n�⌧boH�� )�#,q�⌧b�D���r$ ��B
E6J�i�H�� )�%O�1�c��$�%
*,�N"#�^ ��s�� )�I#=�/��
"jM"T�$�� *,t?�=�$ \]%O�⌧����u
E@FF
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Dakwah merupakan kewajiban seorang muslim, tetapi dakwah tersebut
haruslah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dengan berbagaimacam
cara, maka siapapun dapat berdakwah.
Dakwah adalah suatu proses penyelenggaraan aktivitas atau usaha
yang dilakukan secara sadar dan sengaja dalam upaya meningkatkan taraf dan
tata nilai hidup manusia yang berlandaskan ketentuan Allah SWT dan
Rasulullah SAW yang dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dan
metode-metode tertentu dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang bahagia
di dunia dan akhirat.
2. Ruang Lingkup Dakwah
a. Da’i
Dai berarti adalah orang yang mengajak atau muballigh. Yaitu orang
yang mengajak ke suatu tujuan muballigh sebagai komunikator, berperan
menyampaikan ide-ide tertentu untuk menuju kepada sasaran pokok yaitu
diterimanya ide-ie tersebut sehingga ada perubahan sikap atau adanya
pengukuhan terhadap sikap-sikap tertentu.25
Dengan demikian da’i adalah seorang yang melaksanakan dakwah
baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan baik secara individu, kelompok,
berbentuk organisasi ataupun lembaga. Kata da’i ini secara umum sering
disebut dengan sebutan mauballigh atau muballighoh (orang yang
menyempurnakan agama Islam).26
b. Mad’u
Ada empat golongan objek dalam dakwah yaitu :
a. Golongan Mukmin
Mereka adalah orang-orang yang meyakini kebenaran dakwah Islam,
pengagumi prinsip-prinsip dakwah, dan menemukan kepadanya kebaikan
yang menenangkan jiwanya. Iman takkan punya arti bila tidak disertai
dengan amal. Akidah takkan memberi faedah apabila tidak mendorong
penganutnya untuk berbuat dan berkorban demimenjelmakan menjadi
kenyataan.
b. Golongan yang ragu-ragu
Boleh jadi mereka adalah orang-orang yang belum tahu hakikat kebenaran dan belum mengenal makna keikhlasan serta manfaat di balik ucapan-
ucapan da’i. mereka ragu dan bimbang. Biarkan mereka mengetahui secara jelas dalam keraguannya sambil mengenalkan Islam secara pelan-
pelan melalui tulisan, berkenalan bersama dengan teman-teman para da’i.
c. Golongan yang mencari keuntungan
Boleh jadi mereka kelompok yang tidak ingin memberiakan dukungan
sebelum mereka mengetahui keuntungan materi yang dapat mereka
peroleh sebagai imbalan. Kepada mereka kita hanya mengatakan “
Menjauhlah ! di sini hanya ada pahala dari Allah jika kamu memang
benar-benar ikhlas, dan surganya-Nya jika ia melihat ada kebaikan dalam
hatimu.
d. Golongan yang berprasangka buruk
Barang kali mereka adalah orang-orang yang selalu berprasangka buruk
terhadap para da’I dan hatinya diliputi oleh keraguan. Mereka selalu
melihat dengan kaca mata hitam pekat, dan tidak berbira kecuali dengan
25
Wardi Bachtiar. Metdologi Penelitian Ilmu Dakwah. (Jakarta: Logos, 1997). Cet. Ke-1.h. 57 26
Nurul Badruttamam. Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher. (Jakarta: Grafindo 2005). Cet. Ke-1. h. 101
pembicraan yang sinis. Hanya Allah-lah yang dapat memberiakn mereka
petunjuk27
.
c. Materi Dakwah.
Materi dakwah adalah masalah isi pesan atau materi yang
disampaikan da’i pada mad’u, pada dasarnya bersumber dari al-Qur’an dan
Hadits sebagai sumber utama28
yang meliputi akidah, syariah, dan akhlak. Hal
yang perlu disadari bahwa ajaran yang diajarkan itu bukanlah semata-mata
berkaitan dengan eksistensi dan wujud Allah SWT, namun bagaimana
menumbuhkan kesadaran mendalam agar mampu memanifesatasikan akidah,
syariah, dan akhlak dalam ucapan, pikiran, dan tindakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Materi dakwah yang merupakan isi pesan atau isi dakwah yang
di8komunikasikan secara efektif kepada penerima dakwah harus disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat. Materi yang disampaikan oleh seorang da’i
haruslah sesuai dengan kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu.
Seseorang yang intelektualnya rendah disampaikan dengan bahasa dan contoh
yang dapat dimengerti oleh mereka para mad’u.
d. Metode Dakwah
Metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang
da’i untuk menyampaikan materin dakwah.29 Atau kumpulan kegiatan untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
Sehingga metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan
oleh seorang da’i kepada mad’u yang telah diatur melalui proses pemikiran
27
Hasan Al Bana, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Surakarta : Era Inter Media,
1998), cet. 6. 28
Nurul Badruttamam, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher. h. 109 29
Wardi Bactiar. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, h. 34
untuk mencapai proses pemikiran untuk mencapai suatu tujuan atas dasar
hikmah dan kasih sayang.
e. Media Dakwah
Medi dakwah adalah peralatan yang digunakan untuk menyampaikan
atau menyalurkan materi dakwah.30
Dewasa ini, jenis-jenis media atau sarana
dakwah sangat banyak jumlahnya antara lain, radio, video, rekaman, televisi,
surat kabar, majalah, tabloid dan bahkan jaringan informasi melalui komputer
internet.
Medi dakwah merupakan sarana untuk menyampaikan pesan agama
dengan mendayagunakan alat-alat atau temuan teknologi modern yang ada
pada zaman ini. Dengan begitu banyaknya media dakwah yang tersedia. Maka
seorang dai memilih salah satu atau beberapa media saja sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai sehingga apa yang menjadi tujuannya dapat tercapai
dengan efektif dan efesien.
f. Tujuan Dakwah
Tujuan dakwah dapat dirumuskan dalam dua kerangka, yaitu tujuan
untuk menacapai suatu nilai atau hasil terakhir yang merupakan tujuan utama
(Major objective). Dan tujuan untuk mencapai nilai atau hasil dalam bidang-
bidang khusus yang merupakan tujuan atau sasaran departemential. Tujuan
utama dan tujuan departemential adalah dilihat dari segi hierarchinya. Sedang
bila dilihat dari segi proses pencapaiannya, tujuan utama adalah merupakan
ultimate goal atau tujuan akhir. Sedangkan tujuan departemential merupakan
intermediate goal atau tujuan perantara.
30
Wardi Bactiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, h. 34
Jika ditinjau dari aspek psikologis tujuan dakwah adalah untuk
menumbuhkan pengertian, kesadaran, penghayatan dan pengamalan ajaran
agama yang disampaikan oleh seorang da’i. Sehingga ruang lingkup dakwah
meliputi masalah pembentukan sikap mental dan pengembangan motivasi
yang bersifat positf dalam segala aspek kehidupan.31
Dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia pasti
mempunyai tujuan, tak terkecuali dakwah Islam yang memiliki tujuan urgensi
tersendiri, karena ia merupakan landasan dari seluruh aktivitas. Merupakan
penentu sasaran, strategi dan langkah-langkah oprasioanal dakwah yang
selanjutnya akan dilakukan. Dengan kata lain tanpa adanya tujuan yang jelas
suatu pekerjaan akan terhitung sia-sia. Serta pekerjaan yang dilakukan juga
tergantung kepada niat, karena sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung
pada niatnya.
C. Hubungan Retorika dengan Dakwah
Untuk tersebar luasnya agama Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh
alam, kepada seluruh umat manusia, maka para da’i atau muballigh semenjak dari
dulu hingga sekarang, dalam setiap kesempatan khutbah atau ceramah, tidaklah hanya
bicara demi bicara. Akan tetapi bagaimana agar pembicaraan tersebut dapat
merangsang mereka yang mendengarkan (mad’u) untuk berbuat sesuatu yang nyata
dalam kehidupannya sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits.
Retorika adalah sebuah seni (sistem) berpidato menggunakan bahasa lisan,
agar dapat menghasilkan kesan terutama para pendengar. Retorika termasuk seni yang
paling tua dalam komunikasi masa. Karena itu berpidato termasuk salah satu cara dari
sekian banyak cara berkomukasi yaitu antara sipembicara (komunikator) dengan
sejumlah orang (komunikan / audiense). Jadi berpidato termasuk untuk
menyampaikan isi hati, pesan (message), ide (butiran pikiran), program, perasaan dan
sebagainya oleh seseorang kepada sejumlah orang. Dengan kata lain pidato merupakan salah satu sarana informasi dan komunikasi yang sangat penting. Karena
31
H. M. Arifin, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bina Aksara, 1997), Cet. Ke-4, h.5.
melalui pidato orang akan dapat menyebarluaskan idenya, data menanamkan
pengaruhnya bahkan dapat memberika arah berfikir yang baik dan sistematis. Jadi
pidato jelas bukan “omong kosong” dan berteriak-riak tidak karuan” melainkan
dengan oral, dan harus didukung oleh rithme, volume, penyajian dan penampilan yang
sempurna.32
Dakwah dengan menggunakan retorika adalah memaparkan sesuatu masalah
agama dan kemudian orang merasa begitu concern (terlibat) dengan masalah yang
dipaparkan tersebut, sama halnya apabila seorang orator penyampaian suatu persoalan
kemudian orang merasa terdorong untuk mencari sebab deviasi (penyimpangan) dan
kemudian membuat keputusan tertentu untuk mencari pemecahannya.
Dengan kata lain, di dalam proses retorika usaha untuk melibatkan emosi dan
rasio dari pihak khalayak agar merasa merlibat dengan masalah atau persoalan yang
disajikan merupakan inti dari pemaparan retorika sebagai sarana menuju tujuan akhir
yaitu suatu tindakan yang sesuai dengan harapan komunikator. Sementara tujuan yang
ingin dicapai dakwah antara lain, agar manusia mengerjakan kebaikan dan
meninggalkan kejahatan, serta memenuhi ktentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT.
Komunikasi kegiatan dan dan retorika memiliki keterikatan, terutama hal ini
dapat dilihat dari segi media yang diperguanakan. Apakah medium yang digunakan
medium lisan, tulisan dan sebagainya. Yang disini unsure bahasa memegang peranan
sangat menentukan.
Hubugungan retorika dengan dakwah, T. A Latief Rosydi dalam bukunya
“Dasar-Dasar Retorika Komunikasi dan Informasi” menyebutkan:
“…kemampuan dalam kemahiran menggunakan bahasa untuk melahirkan
pikiran dan perasaan itulah sebenarnya hakekat retorika. Dan kemahiran serta
32
Efendi M Siregar, Teknik Berpidato dan Menguasai massa (Jakarta: Yayasan Mari Belajar, 1992). Cet. Ke-2, hlm. 29
kesenian menggunakan bahasa adalh masalah pokok dalam penyampaian dakwah.
Karena itu antara dakwah dan retorika tidak bisa dipisahkan. Di mana ada dakwah di
sana ada retorika.33
Kesuksesan para da’i atau muballigh dalam khutbah lebih banyak ditunjang
dan dtentukan oleh kemampuan retorika yang dimiliki oleh da’i tersebut. Dan
kalaulah dakwah belum berhasil menurut yang dicita-citakan dan menurut garis yang
telah ditetapkan semula, mungkin karena cara persuasi (retorika) tidak menjadi
perhatian dan tidak terpenuhi oleh para da’i. dan dalam hal ini diungkapkan oleh T. A
Latief Rosydi dalam buku yang sama:
“Kurangnya keberhasilan kita, baik dalam menanamkan pengertian dan
keyakinan, apalagi dalam menggerakan massa rakyat untuk berbuat, berjuang dan
berkorban (sesuai dengan ajaran Islam), salah satu dari penyebabnya adalah karena
kelemahan kita dalam memanfaatkan retorika dakwah dalam penyampaiannya”.34
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dakwah dan retorika sangat
berhubungan erat, dakwah bertujuan untuk meningkatkan kehidupan umat manusia
kepada keadaan yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits, dan
retorika adalah merupakan sarana untuk mencapai tujuan dakwah tersebut. Dengan
kata lain keberhasilan atau kegagalan dakwah itu sangat bergantung pada retorika,
karena retorika tidak lain adalah seni pidato. Sesuatu yang tidak memiliki nilai seni,
tidak akan terlihat indah, betapapun baik dan mahal harganya.
33
Ibib, hlm. 94 34
Ibib, hlm. 95
BAB III
PROFIL KH. AHMAD SYAFI’I MUSTAWA
A. Riwayat Hidup KH. Ahmad Syafi’i Mustawa
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa adalah seorang Muballigh yang memiliki majelis
ta’lim Daarul Hikmah yang terletak di Srengseng, Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Beliau
dilahirkan pada tanggal 12 Oktober 1967 oleh ibunya yang bernama ‘Aisyah binti
Katik dan ayahnya yang bernama Mustawa bin Buang. KH. Ahmad Syafi’i tergolong
anak yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya. Beliau bukanlah anak pertama
dan bukan pula anak yang terakhir, namun beliau terlahir dengan istilah betawinya
diimpit bangkai, yang terlahir diantara dua kematian karena kakak dan adiknya telah
terlebih dahulu dipanggil oleh Allah SWT, maka dari itu beliau tergolong sebagai
anak yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya.
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa merupakan figur seorang bapak yang sholeh.
Beliau dikenal dimasyarakat sebagai orang baik dan tekun melaksanakan ibadah, yang
semangat berjuang mensyiarkan ajaran Islam dengan segala kemampuannya. Beliau
ingin apabila mempunyai seorang anak, ingin menjadikan anak-anaknya yang sholeh
dan sholehah, dengan memberikan sebuah pendidikan agama mengirimkannya
kepondok pesantren.35
Yang akhirnya berhasil meneruskan perjuangan dakwah beliau
sebagai seorang da’i yang menyiarkan dan menanamkan nilai-nilai keislaman di
masyarakat.
Perjalanan yang cukup panjang beliau lalui untuk menjadi seorang yang
berilmu pengetahuan agama. Selama lima belas tahun lebih dari bendung sampai tebet
35
Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa di Majelis Ta’lim Daarul
Hikmah Srengseng, Kebon Jeruk Jakarta Barat, 10 Februari 2009
Jakarta Selatan, beliau yang tidak ada puasnya akan selalu haus mencari ilmu.
Menjadi perjalanan yang sangat berharga bagi KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, dalam
masa-masa semangatnya menuntut ilmu. Sehingga akhirnya beliua sampai terkenal
sebagai seorang muballigh, yang memiliki jam terbang yang sangat membanggakan
umat Islam, khususnya masyarakat wilayah Jakarta Barat. Beliaupun sering sekali
mengisi ceramah dan mengajar di wilayah Kedoya Selatan Jakarta Barat. Bahkan
jama’ah yang selama ini beliau bimbing, sekarang sebanyak 15 Majelis ta’lim yang
dari jumlahnya hampir setara dengan guru besar.36
B. Pendidikan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa
Sebagaimana umumnya orang-orang yang pintar dan berhasil, itu diawali oleh
sebuah perjalanan hidupnya dalam menuntut ilmu. Tak terkecuali KH. Ahamad
Syafi’i Mustawa memulai pendidikannnya dengan sebuah pendidikan dasar di
Madrasah Ibtidaiyah. Berikut ini sebuah perjalanan pendidikan beliau yang panjang
selama 15 tahun lebih, adalah sebagai berikut.
1. Madrasah Ibtidaiyah Al Islamiyah di Srengseng Jakarta Barat selama 6
tahundari tahun 1974 - 1980
2. Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren Al Jawami Cilenyi Bandung.
Piminan almarhum KH. Ahmad Suja’i selama 3 tahun dari tahun 1981-
1984
3. Memperdalam ilmu Qiroat di Pondok Pesantren Tahsinul Qur’an Cisereh
Lembang. Pimpinan KH. Sahid selama 2 bulan tahun 1985
4. Memperdalam kitab kuning di Pondong Pesantren Assalafiyah-Klasik,
Bogor. Pimpinan KH. Adang selama 3 bulan tahun 1985
36
Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009
5. Memperdalam ilmu alat dan bahasa Arab di Pondok Pesantren Assaqofah
Islamiyah, Bukit Duri Tanjakan Tebet Jakarta Selatan. Pimpinan Habib
Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf selama 12 tahun lebih
dan masih berjalan sampai sekarang memperdalam ilmu fiqih yang
diajarkan oleh putranya Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf yang
bernama Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf.37
Tahun 1986
Disela sebagai satri Assaqofah, beliau telah memulai dunianya sebagai
seorang muballigh. Kepandaian ilmu retorika yang sangat handal, tegas, dan humoris
yang sehingga membuat beliau disenangi oleh banyak jama’ah. Sebagai seorang
muballigh dimulai pada tahun 1987 dan sudah berkisar undangan JABODETABEK.
Di tengah kesibukannya memenuhi undangan jama’ah sebagai seorang
muballigh, ia masih dapat menyempatkan waktunya untuk terus memperdalam
ilmunya dengan hadir di majelis-mejelis ta’lim para gurunya. Banyak majelis ta’lim
yang dihadirinya dengan guru besar beliau. Diantara guru-guru beliau yang masih
panjang umur adalah:
1. Habib Umar bin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf di Tebet
Jakarta Selatan.
2. KH. Bunyamin bin KH. Abdul Karim di Kelapa Dua Kebon Jeruk Jakarta
Barat.
3. KH. Muhammad Zein di Meruya Kebon Jeruk jakarta Barat.38
Sebagai seorang murid dan muballigh, KH. Ahmad Syafi’i Mustawa termasuk
guru yang semangat dalam menyiarkan Islam. cukup dikenal dan terbilang sukses
dalam menyampaikan dakwahnya dapat mempengaruhi pendengarnya. Setiap beliau
berdakwah selalu berusaha supaya jama’ahnya atau mad’unya mudah menangkap atas
37
Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009 38
Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009
segala apa yang beliau sampaikan maksud dan tujuannya. Dengan sistem
penyampaian yang bagus, beliau mampu merekrut begitu banyak mad’u atau jama’ah
dari berbagai macam kalangan dan status sosial masyarakat. Sehingga banyak para
jama’ah yang menginginkan dalam majelis ta’limnya yang mengajar beliau, yang
sampai saat ini majelis ta’lim yang diasuhnya berjumlah 15 majelis ta’lim, yang
diantaranya adalah:
1. Hari Minggu :
a. Majelis Ta’lim Assa’adah di Kampung Melayu : ba’da Maghrib
b. Majelis Ta’lim Daarus Salam Menteng Atas : ba’da Isya
2. Hari Senin :
a. Majelis Ta’lim Annajah Suka Bumi Utara : ba’da maghrib
b. Majelis Ta’lim Al Huda Srengseng : ba’da Isya
3. Hari Selasa :
a. Majelis Ta’lim Al Anwar Kebon Nanas II : ba’da Isya
4. Hari Rabu :
a. Majelis Ta’lim Rawa Buaya dan Celeduk : ba’da Isya
b. Majelis Ta’lim Darul Hikmah kaum Ibu : ba’da dzuhur
5. Hari Kamis :
a. Majelis Ta’lim Al Anwar I Kebon Jeruk : ba’da maghrib
b. Majelis Ta’lim Al Anwar II Pos Pengumben : ba’da Isya
c. Majelis Ta’lim Daarl Faroh Sukabumi Utara : 21-22 WIB
6. Hari Jum’at :
a. Majelis Ta’lim PLN Gambir : ba’da ashar
b. Majelis Ta’lim Taman Cahaya Kedoya : ba’da maghrib
c. Majelis Ta’lim Daarul Hikmah Srengseng : ba’da Isya
7. Hari Sabtu :
a. Majelis Ta’lim Arridho Meruya : ba’da Isya39
Dari majelis ta’lim tempat beliau KH. Ahmad Syafi’i Mustawa mengajar
sampai sekarang masih aktif, dalam pertemuan seminggu sekali bergantian yang terus
berputar setiap hari.
C. Sejarah Berdirinya Majelis Ta’lim Daarul Hikmah
Awal berdirinya perencanaan Majelis Ta’lim Daarul Hikmah, jauh telah
direncakan oleh Almarhum H. Mustawa bin Buang. Ketika KH. Ahmad Syafi’i masih
di Pondok Pesantren Al Jawami Cilenyi Bandung, ide tersebut muncul berawal dari
obrolan ringan dengan sahabat kental almarhum zaitu bapak Kiming dan H. Samin
bahwa beliau ingin mendirikan majelis ta’lim. Dan diantara maksud dan tujuannya
beliau mendirikan majelis ta’lim tersebut adalah:
1. Sebagai wadah pengamalan ilmu bagi anaknnya yang telah menuntut ilmu
2. Untuk mensyiarkan agama Islam di Srengseng.
3. Sebagai sarana untuk menarik kembali masyarakat yang telah banyak
berbuat kezhaliman ke jalan zang benar.
Namun kemuadian ide tersebut tenggelam seiring dengan kesibukan beliau
sebagai Ta’mir Masjid dengan usia yang beranjak tua. Sampai beliau jatuh sakit,
kemudian istri tercinta beliau ‘Aisyah binti Katik berpulang ke rahmatullah, menzusul
sebulan berikutnya beliau juga dipanggil oleh Allah SWT.
Untuk melanjutkan cita-cita dari almarhum, dan juga karena desakan dari
masyarakat yang sangat kuat agar KH. Syafi’i berperan serta secara aktif dalam
membina moral masyarakat. Akhirnya ide tersebut dimunculkan kembali, Ust. Ahmad
39
Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009
Syafi’i Mustawa sebagai anak tertua dikeluarga, memulai musyawarah keluarga untuk
memeinta pendapat adik-adiknya tentang rencana ayahandanya.
Setelah keluarga sebagai ahli waris menyatakan sepakat, maka hal tersebut
dikonsultasikan kepada tokoh masyarakat setempat. Diantaranya, kepada Bapak H.
Muhammad Nipong selaku orang tua dan Saomun selaku tokoh pemuda. Dan ternyata
masyarakat pun menanggapinya dengan antusias.
Dan dibentuklah panitia sederhana untuk pembangunan majelis ta’lim. Panitia
tersebut adalah :
Penasehat : Drs. H. Rijal Pahlefi
Ketua : Ust. Ahmad Syafi’i H. Mustawa
Sekretaris : Saomun
Bendahara : Erni Jurniyati
Pelaksana lap. : Jamaah
Setelah terkumpul dana secara gotong royong dan swadaya masyarakat, resmi
pada tanggal 20 Desember 2002, dilaksanakan peletakan batu pertama. Dengan
pendanaan murni dari jamaah atau murid-murid dari Ust. Syafi’i, maka pada tanggal 6
bulan majelis ta’lim pun selesai seminggu kemudian di buka ta’lim dan majelis ta’lim
tersebut diberi nama Daarul Hikmah sebagai induk dari beberapa majelis ta’lim yang
beliau asuh.
Sebagai majelis ta’lim induk, majelis ta’lim Daarul Hikmah memiliki
beberapa kegiatan. Selain kegiatan ta’lim ada juga beberapa kegiatan yang telah
dilaksanakan jama’ah Daarul Hikmah, diantaranya adalah olah raga bela diri, pencak
silat cingkrik asal betawi yang dikoordinatori oleh Sya’ dan Nirwansyah Adik
kandung KH. Ahmad Syafi’i Mustawa.
Pengajian yang telah berlangsung di majelis ta’lim Daarul Hikmah ialah
pengajian senin malam dengan membaca kitab nahwu yang diasuh oleh Ustadz.
Muhammad Fitriadi dari Jombang yang merupakan adik seperguruan KH. Ahmad
Syafi’i Mustawa di Alkifahi As-Saqofi. Dan pengajian jum’at malam yang diajarakn
oleh beliau sendiri KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dengan membaca kitab Tanqih Al
Qaul dan Arriyadul Badi’ah.
Dalam menjalankan dakwah Islamiyah demi tegaknya syi’ar Islam, tentunya
kadag kala menemukan berbagai dukungan dan hambatan yang merupakan satu hal
yang biasa akan dialami setiap aktivitas kegiatan. Demikian halnya yang terjadi dasn
dialami oleh KH. Ahmad Syafi’i Mustawa sebagai pengasuh majelis ta’lim Daarul
Hikmah dalam merealisasikan kegiatannya membina moral para remaja di lingkungan
Srengseng Kembangan Jakarta Barat.
Namun demikian, pemasalahan tersebut bukanlah merupakan ancaman yang
harus ditnggalkan apabila berupa hambatan, namun sebaliknya akan dijadikan
motivator untuk mencapai yang terbaik. Karena hambatan dan dukungan merupakan
realita agar mereka yang menekuni suatu aktivitas akan mampu menghadapi dan
menganalisa terhadap segala permasalahan yang dihadapi.
Adapun faktor-faktor pendukung majelis ta’lim Daarul Hikmah adalah:
1. Adanya dukungan dari keluarga sendiri sebagai ahli waris dan dukungan
dari masyarakat unuk mengadakan kegiatan yang bersifat positif dengan
semangat yang besar dan kerja sama yang baik. Dan tentuny berangkat dari
kesadaran mereka untuk tetap merealisasikan nilai-nilai Islam dalam
pergaulan sehari-hari.
2. Adanya satu faktor utama bahwa recana KH. Ahmad Syafi’i Mustawa untuk
membuka majelis ta’lim Daarul Himah sudah ditunggu sejak lama oleh
masyarakat Srengseng sejak mengasuh pengajian mingguan di Masjid Al-
Huda Srengseng.
3. Adanya dukungan penuh dari segenap jama’ah, dari 12 majelis ta’lim yang
beliau pimpin untuk menyukseskan setiap program majelis ta’lim Daarul
Hikmah.
4. Adanya dukungan dari sebagian tokoh masyarakat setempat, khususnya para
asatidz pemimpin majelis ta’lim setempat. Terutama dukungan yang bersifat
moril, dan masukan-masukan berupa pertimbangan terhadap keadaan dan
kondisi masyarakat sekitar lingkungan majelis ta’lim Daarul Hikmah.
Dan adapun beberapa faktor penghambat yang sedikit banyak mempengaruhi
jalannya suatu kegiatan di majelis ta’lim Daarul hikmah yaitu:
1. Masalah sumber dana yang tidak menentu, karena pendanaan majelis ta’lim
Daarul Hikmah dari mulai dana pembangunan sampai pelaksanaan
kegiatannya hanya bersumber dari dana pribadi KH. Ahmad Syafi’i Mustawa
dan dana jama’ah. Padahal prsoalan dana merupakan suatu penggerak roda
utama suatu kegiatan, apabila tidak segera ditanggulangi dikhawatirkan akan
menyebabkan kemacetan jalannya kegiatan aktivitas majelis ta’lim Daarul
Hikmah.
2. Adanya keragaman jenjang pendidikan pada jam’ah, sehingga terkadang sulit
untuk menyamakan visi dan misi dalam setiap kegiatan majelis ta’lim Daarul
Hikmah.
Dalam kegiatan apapun tidak akan selamanya mendapatkan kesuksesan begitu
saja, tetapi juga akan ditemukan banyak kendala atau hambatan, maka dari itu kita
harus selalu siap untuk menghadapinya.
BAB IV
RETORIKA DAKWAH KH. AHMAD SYAFI’I MUSTAWA
A. Konsep KH. Ahmad Syafi’i Mustawa Tentang Retorika
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa mengatakan, retorika adalah setiap ungkapan
atau gaya seni berbicara atau daya penyampaian ilmu, setiap muballigh atau orator
ketika dia menyampaian pesan kepada mad’u yang menjadi sasarannya sehingga
mereka dapat mencerna dengan baik dan apa yang muballigh sampaikan
menyebabkan mad’u menjadi merasa mendapatkan ilmu. Kemudian mad’u bisa
memetik hikmahnya kemudian termotivasi untuk mengamalkannya, kenapa karena
hipnotis daya retorika dakwah itu yang disampaikan oleh muballigh mengena pada
sasarannya.
Dalam hal ini dialektika, kosa kata dan bahasa yang santun itu semua saling
berkaitan atau ada kolaborasinya dalam apa yang disampaikan oleh muballigh,
sehingga mad’u itu bisa memetik hikmah dan manfaat. Jadi dari awal mula berdiri itu
sudah retorika, kemudian dari penyampaian mukoddimah lalu mensitir dari pada
ayat-ayat Allah dan Hadits-Hadits Nabi sehingga apapun yang diungkapkan oleh da’i
tersebut membuat sang mad’u merasa tertarik, maka dengan demikian mad’u tersebut
akan senang berulag-ulang mendengarkan simuballigh tersebut kemanapun dia kejar
karena tepat pada sasarannya.40
Apabila seorang da’i ingin berdakwah haruslah memiliki seni berbicara
yang baik, sehingga materi dakwah yang disampaikan mudah diterima dan
dipahami oleh mad’u atau jama’ah yang medengarkannya. Seni berbicara (retorika)
merupakan rasa atau warna yang melengkapi setiap kata yang terlontar dalam
40
Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa , 10 Februari 2009
komunikasi ketika berdakwah dan berpidato, sehingga setiap kata yang keluar dari
lisan memiliki warna yang indah dan rasa yang enak untuk didengar, serta mampu
mengubah pola pemikiran siapa saja yang mendengarkannya. Maka orang yang
mendengarkannya akan tergerak hatinya untuk menelaah, meresapi, bahkan bisa
membuat mereka ingin menikmati dan melaksanakan apa yang dikatakan atau apa-apa
yang mereka katakan.
Seorang da’i atau muballigh yang ahli retorika, dalam berceramah yang secara
aktif melibatkan bahasa tubuh akan mendapat tempat di hati para pendengarnya,
walaupun ia berdakwah panjang lebar dan memakan waktu yang cukup lama,
namun jama’ah yang mendengarkannya tidak merasa bosan. Waktu yang berjam-jam
akan berlalu begitu saja, tanpa kehilangan perhatian terhadap muballigh tersebut
dengan tidak terasa dikarenakan orang yang menyampaikan pesan dakwah ahli dalam
retorika, begitu hebatnya peranan retorika sehingga orang tetap tertarik dan mau
mendengarkannya.
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa mengatakan, bahwa seorang da’i apabila
berdakwah harus melihat situasi dan kondisi dalam ilmu Mantek disebut Muqtadol
Hal, terkadang kita tampil ditempat yang terdiri dari bebarapa muballigh ditakutkan
materi itu sudah disampaikan oleh yang lain. Jadi untuk dakwah itu harus yang
relepan, dan banyak menghafal hadits dan ayat al Quran agar tidak kehabisan bahan
materi yang disampaikan.41
Apabila seorang muballigh akan melakukan sebuah penyampaian pesan lewat
ceramah-ceramah di atas podium atau panggung, mempunyai persiapan yang matang
secara seksama, karena persiapan adalah setengah dari kesuksesan apabila ada sedikit
saja kesalahan, maka hal itu akan sangat mempengaruhi seorang da’i. Karena dia akan
41
Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009
menjadi barometer tolak ukur seberapa jauh dia sudah mencapai keberhasilan atau
belum, dengan demikian dapat kita akui bersama, bahwa persiapan seseorang itu
sangat mempengaruhi dalam mencapai keberhasilan dakwah dan tujuan yang lebih
baik.
Menurut KH. Ahmad Syafi’I Mustawa bahwa dakwah yang dilakukan asal-
asalan tanpa adanya persiapan atau segala hal yang berkaitan dengan retorika,
tentunya pesan dakwah tersebut tidak akan tersampaikan dengan baik kepada
mad’unya atau orang yang menerimanya. Maka sebelum berdakwah kita terlebih
dahulu mengamalkan apa yang ingin kita sampaikan, Insya Allah akan tepat sasaran
karena Allah SWT akan membuka hati mereka dengan hati yang bersih. Diantaranya
jangan batal wudhu, dengan bahasa yang sopan dan santun serta dengan pakain yang
rapih, karena banyak masyarakat awam melihat dan menilai dari luar. Banyak orang
yang hanya bisa menyampaikan pada orang-orang sementara dia belum
mengamalkannya.42
Dalam hal ini seorang da’i haruslah pandai-pandai menganalisa dan mengenali
mad’unya dengan baik, agar dakwah yang disampaikan tepat pada sasarannya. Dalam
berdakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa mengemas retorikanya dengan mengunakan
bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh mad’unya, ada beberapa tahapan
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam penyusunan pidato yang akan beliau sampaikan
kepada mad’u dan ternyata tahapan tersebut ada yang sama seperti peneliti kaji dalam
ilmu retorika yang diantaranya :
1. Mengetahui keadaan situasi kondisi masyarakat setempat, yang akan
dijadikan sasaran dakwah, dengan menanyakan atau mencari informasi
kepada salah satu warga setempat.
42
Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009
2. Setelah itu baru menyusun pesan-pesan yang akan disampaikan yang
tentunya terdiri dari pendahuluan, isi pesan, ringkasan pesan atau inti sari,
dan terakhir penutup disertai dengan do’a.
3. Mencari bahasa yang indah sehingga mudah dimengerti, dan humor-humor
yang berkaitan dengan pembahasan agar mereka tidak merasa jenuh.
4. Ketika menyampaikan pesan dakwah yang harus diperhatikan adalah para
mad’u, bagaimana caranya ketika mereka mengantuk kita mengeluarkan
pesan dengan suara atau vocal yang akhirnya membuat mereka semangat
lagi.
5. Sambil dalam perjalanan menuju tempat, yaitu mengingat kembali pesan
dakwah yang akan disampaikan sesuai dengan keadaan situasi kondisi
masyarakat setempat, yang akan dijadikan sasaran dakwah.
Apabila dianalisis dengan pendekatan teori, maka retorika yang dilakukan oleh
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dan para waliyullah sudah tepat, karena ajaran dakwah
yang disampaikan harus sesuai dengan daya nalar dan kemampuan mad’u yang
berbeda salah satunya dengan pendekatan retorika, seperti yang diungkapkan oleh
Syekh Datuk Tombak Alam, mengatakan bahwa retorika adalah seni mempergunakan
bahasa untuk menghasilkan kesan yang diinginkan terhadap pendengar dan pembaca.
Artinya seorang da’i harus mampu mengemas apa yang akan disampaikan, sehingga
mudah dicerna atau diterima dan dapat meyakinkan mad’unya sehingga mereka mau
mengamalkan pesan dakwah yang telah disampaikan oleh da’i tersebut dalam
kehidupan sehari-hari, yang juga merupakan tujuan dari dakwah Islam itu sendiri.
Sesuatu yang sederhana akan lebih menarik apabila penyampaian pesannya bagus,
dari pada seorang yang pintar pengetahuan keagamaannya luas akan tetapi
penyampaiannya tidak bagus yang sulit dimengerti oleh mad’u.
Dari uraian diatas penulis berpendapat bahwa definisi yang disampaikan oleh
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, pada hakikatnya sama, dengan definisi-definisi retorika
yang ada. Demikian pula mengenai tahapan penyusunan pidato atau ceramah tidak
ada bedanya dengan pendapat para pakar retorika, yang diantaranya seperti tahap
penyusunan pidato yang dikenal dengan (The Five Konnons Rehoric) yang sering
diterjemahkan dengan “Lima hukum retorika” dan lain sebagainya, yang intinya
bahwa semua da’i sebelum berdakwah mereka mempersiapkan beberapa hal tersebut.
B. Penerapan Retorika, KH. Ahmad Syafi’i Mustawa Dalam Berdakwah
Selama dalam pengamatan penulis mengikuti pengajian yang dilaksanakan
setiap hari Jum’at malam Sabtu ba’da Shalat Isya di Majelis Ta’lim Daarul Hikmah,
tepatnya di daerah Srengseng Jakarta Barat, banyak para jama’ah yang berdatangan
dari daerah-daerah yang jaraknya cukup jauh dari bapak-bapak hingga para remaja
menghadirinya. Inilah suatu bukti kehebatan retorika KH. Ahmad Syafi’I Mustawa
dalam berdakwah, dari kalangan bawah hingga kalangan atas dapat memahami pesan-
pesan dakwah yang telah disampaikannya.
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dakwah merupakan kewajiban
seorang muslim laki-laki dan perempuan, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya
dengan berbagai macam cara, maka siapapun dapat berdakwah. Dalam hal ini
keberadaan retorika itu sangat penting untuk mencapai keberhasilan dalam dakwah.
Dakwah yang dilakukan tanpa adanya pesiapan dan segala macam yang berhubungan
dengan retorika, maka isi dakwah yang disampaikan itu tidak akan sepenuhnya
tersampaikan dengan baik kepada sang mad’u. Namun tidak selamanya dakwah yang
dilakukan oleh seorang da’i selalu diterima berjalan dengan mulus, melainkan ada
beberapa orang yang tidak meresponnya. Tetapi semua itu tantangan, dalam hal ini
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa malah semakin merasa tertantang lebih semangat lagi.
Maka dalam hal ini peranan retorika dalam pelakasanaan dakwah bil-lisan
sangatlah begitu penting, dikarenakan untuk menentukan seberapa besar dalam
keberhasilan dakwah itu sendiri. Dalam hal ini Nabi Muhammad sebagai Rasulullah
SAW adalah seorang manusia yang sempurna, yang diantaranya ahli dalam retorika
yang bisa membuat orang tersenyum dan menangis. Begitu semangatnya Rasulullah
SAW dalam mensyiarkan agama Islam kepada seluruh umat manusia, dengan
demikian menjadikan contoh bagi para da’i untuk tetap semangat dalam mensyiarkan
Islam.
Dalam berdakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa memiliki retorika yang sangat
bagus, kemampuan retorika beliau yang menarik dengan kaya banyaknya kosa kata,
tak heran membuat beliau jadi penceramaah yang handal. Dakwah merupakan
misinya untuk menyebar luaskan Islam dan realisasi ajarannya adalah dakwah
bilhikmah yang beliau lakukan. Sesuai dengan Al Qur’an firman Allah SWT, beliau
berkata :
������ ���� ������ ������
���☺���������� ��� �"#�☺�$���%
���&'(������ ) *,�$�-.�/�%
0123$���� 4��5 6'(78%9 � :;��
��<��� �#=5 >*?7%9 6�☺�� :�'@
6� A�9������� ) �#=5�% >*?7%9
�BC�-�D7,☺�$���� E@F�
Artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. (Q.S. An-Nahl: 125).43
43
Muhammad Rifa’i, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: CV. Wicakscana. 1991), cet. Ke-1 hal. 254
Dan dalam firman Allah SWT yang lain yaitu :
H��N�% ��&d?��"�%9 6�N �v#�w� xg��
;�'(�?�� A�8�N"#�^ \y�mz����$
"j|8} ) ��U~��d GH�� 6�N O�H��PQR
L�-7,�J�% 6�N O�H��PQR � �#=5�%
OLJL�=�$�� >*�U����$�� E
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi
petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Ibrahim: 4)
Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah berarti bahwa Al Qu'an
untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh manusia. disesatkan Allah berarti: bahwa
orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk
Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa
sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi
sesat. Disisnilah pentingnya menggunakan retorika dalam berdakwah yang akan
menjadikan pembicaraan terfokus.
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa ketika beliau sebelum menyampaikan pesan-
pesan dakwah, terlebih dahulu beliau meluruskan niat bahwa semata-mata dakwah
yang beliau lakukan karena Allah SWT. Bukan untuk menjadikan dakwah sebagai
sebuah penghasilan untuk mencari nafkah, dan semua itu bagian dari aktivitas ibadah
seseorang untuk meningkatkan keimanannya. Rasulullah SAW bersabda dalam
sebuah Haditsnya: “ Barang siapa yang melihat sebuah kemungkaran maka haruslah
dia mengubahnya dengan kekuatan tangannya, maka apabila tidak sanggup
lakukanlah dengan ucapan, dan apabila tidak sanggup lakukanlah dengan hati karena
itulah selemah-lemah iman.”
Dalam dakwanya KH. Ahmad Syafi’i Mustawa sudah sangat menguasai
materi dakwahnya kontak visual dan kontak mental beliau dengan khalayak hadir
dengan baik, sehingga jama’ah pun dapat memperhatikan dengan serius. Olah vocal
atau suara yang beliau miliki sangat khas, nada dan irama suara yang turun naik
terkadang mendatar dan terkadang tinggi. Isi ceramah beliau mengalir begitu saja
sehingga setiap kata yang keluar dari mulut beliau memiliki makna yang membuat
pendengar merasa tertarik untuk terus mengikuti ceramah beliau sampai selesai.
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam berbicara di hadapan para jama’ahnya
benar-benar menampilkan kpribadiannya. Beliau berbicara dengan menggunakan
tangan, raut wajah, bahasa tubuh (Body Language), sehingga gaya menyampaikan
beliau yang seperti itu meyakinkan para jama’ah agar tetap fokus mendengarkan
dakwah beliau.
Dalam berbicara dihadapan jama’ah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa benar-
benar menampilkan sosok kepribadiannya tanpa harus meniru satu guru yang
dijadikan contoh dalam gaya dakwah da’i-da’i lain seperti para da’i kondang yang
diantaranya KH. Zainuddin MZ. Ust. Gimnastiar, Ust. Jefri Al Bukhori, dan lainnya.
Melainkan mengkaliborasi dalam megajar gaya Al Habib umar bin Abdurrahman
Asseqaf, jika ceramah di atas panggung meniru sedikit gaya Al Habib Idrus Jamalul
Lail, karena Kiyai ngaji sama bapaknya Habib Idrus kitab tafsir Jalalain. Tanpa
menghilangkan jati diri dan menjadi diri sendri.
Karena jika kita meniru gaya ceramah orang, kita berada di bawah mereka.
Sebagai contoh seorang pemuda yang mengatakan ini guru saya, ini bapak saya, ini
majikan saya tapi katakan inilah diri saya. Itulah perkataan yang harus dia sampaikan
kepada orang lain. 44 KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam dakwahnya menggunakan
bahasa komunikasi Verbal dan Non-Verbal seperti dengan penjelasan lisan perkataan-
perkataan, menggunakan tangan, raut wajah, bahasa tubuh seperti ketika menyebut
44
Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009
lihat abu jahal, firaun tunjuk ketangan kiri dan berdoalah kepada Allah SWT dengan
mengangkat kedua tangan. Sehingga membuat jama’ah yang mendengar dan
melihatnya mengerti dan paham atas apa yang disampaikannya.
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa sebagai seorang da’i keturunan darah betawi
asli mempunyai sebuah ciri khas dalam berdakwahnya, beliau mencampur adukan
bahasa Indonesia dengan bahasa Betawi dan Arab. Maka bahasa merupakan salah satu
simbol komunikasi yang memegang perananan penting agar para mad’u memahami
isi pesan yang disampaikannya, tidak harus dengan bahasa Indonesia yang baku yang
tidak dapat dimengerti oleh mad’u.
Kepandaian KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam menyusun kata-kata dengan
kekayaan bahasa yang beliau miliki yang diantaranya bahasa Indonesia, Arab, Sunda
dan bahasa Betawi, sehingga membuat ceramah yang disampaikan enak didengar dan
mudah dipahami oleh para mad’u yang mendengarkannya. beliau berbicara dengan
bahasa yang jelas, lantang berbicara tanpa ada takut sedikitpun. Karena yang lebih
beliau takuti adalah Allah SWT, apabila beliau tidak menyampaikan ilmu yang beliau
miliki.
Dalam menyampaikan metode ceramah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa
menggunakan humor hanya 30% dan selebihnya 70% ialah pesan dakwah yang berisi
menanamkan akidah, syariat dan akhlak paling bagus-bagusnya muballigh adalah
sebelum menutup dia tanamkan pada jama’ah untuk mengaji kitab kuning/klasik
dengan mengaji kitab karangan ulama salaf, maka akhlaknya jadi bagus dan
pergaulannya bagus. Jangan kebanyakan tawaan, sasaran dakwah yaitu
mengembalikan kepada fitrahnya yang hakiki.
Sebatas 30% humor yang KH. Ahmad Syafi’i Mustawa gunakan dalam
dakwahnya itu saja. Dan selebihnnya70% ialah pesan dakwah agar para mad’u
memperoleh bekal ilmu setelah pulang bukan semata-mata karena humornya saja
yang mengakibatkan mematikan hati, bahkan tidak jarang mereka selesai
menyaksikan ceramah tidak memperoleh apa-apa melainkan gagalnya pesan yang
disampaikan.45
Kehidupan manusia tidak terlepas dari sense of humor, seorang da’i yang
profesional akan menyisipkan pesan-pesan dakwahnya dalam humor tersebut, bahkan
rasa humor dapat digunakan untuk menyajikan suatu masalah yang dianggap serius ,
dan berat menjadi suatu bentuk sajian yang lebih ringan kadang para da’i memakai
humor untuk memikat para mad’uya. Sehingga dengan rangsangan humor tersebut,
ide-ide yang disampaikan akan mengena emosi mad’unya. Namun demikian humor
dalam ceramah bukan sembarang humor seperti halnya pelawak, humor yang
dimaksud adalah humor yang bersifat edukatif dan berisi ceramah.
Menurut beliau dakwah akan berhasil dengan baik apabila para da’i sudah
mengamalkan pesan dakwah yang akan mereka sampaikan, dengan menggunakan
bahasa yang sopan dan santun serta dengan pakain yang rapih, karena banyak
masyarakat awam melihat dan menilai dari luar. Banyak orang yang hanya bisa
menyampaikan pada orang-orang sementara dia belum mengamalkannya. Maka dari
itu sebelum dakwah kita mengamalkan dahulu apa yang ingin kita sampaikan.
Berikut ini merupakan sebagai beberapa contoh dari beberapa penerapan
retorika dakwah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam dakwah bil-lisan pada pengajian
rutin hari Jum’at malam Sabtu di majelis ta’lim Daarul Hikmah, Srengseng, Jakarta
Barat. Pada saat pengajian rutin malam Sabtu itu dilaksanakan diawali dengan
pembacaan shalawat Ya Rabbibil Musthafa tawasul abaib setelah itu shalawat Dustur,
kemuadian do’a pembuka majelis shalawat Fatih sebagai bahan merenung sebelum
45
Hasil Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 10 Februari 2009
menyampaikan ilmu tawasul sebagai golongan ahlus sunnah waljama’ah membaca
do’a futuh.
Kemudian selanjutnya KH. Ahmad Syafi’i Mustawa mengisi pengajian
biasanya beliau memulai dengan mengucapkan salam, membaca hamdalah, dan
shalawat kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW, serta Hadits mukoddimah,
seperti:
“...........Alhamdulillahirabbil ‘Alamin Wal ‘Aqibatul Muttaqin Wala ‘Udwana
Illa‘Alazhzholimin, Asyhadualla ilahaillahu Wahdahula Syarikalah Wa ashaduanna
Muhammadan ‘Abduhu warosuluh, La Nabiya Ba’dah
“...........Fainnaka asdakal hadits kitabullah wakhoirulhadi hadiyu Muhammadin SAW,
Wasarru likulli muhdasatuha wakulla muhdasatin bid’ah wakulla bid’atin dhalalah
wakullah dhalaltin finnar . wafissantil muttashil ilal imami muallif rahimakumullahu
ta’ala waadama nafa bihi wabibarakati ulumih wabikum fiddaroin amin atqol, qala
radiyallahu anhu.46
Berdasarkan observasi penulis, hampir setiap memulai mengajar dengan gaya
ceramah format pembukaan yang digunakan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa seperti
contoh di atas. Dengan memulai bermunajat kepada Allah SWT, dalam bahasa yang
mudah dimengerti supaya apa yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik dan
diamalkan dalam keseharian para jama’ah.
Setelah KH. Ahmad Syafi’i Mustawa membukanya, kemudian beliau
memulai menyampaikan pesan yang akan diberikan kepada para jama’ah yang berada
di majelis ta’lim Daarul Hikmah. Ketika beliau menyampaikan tentang sebuah
kematian, seperti:
“..........Kematian pasti akan datang tidak ada keragu-raguan, kematian adalah laksana sebuah jembatan atau penghubung, untuk berjumpa seorang kekasih kepada
kekasihnya yaitu orang mukmin yang benar dan yang membenarkan. Rasa sakit itu ketika mati merupakan penebus dosa, ketika ia menjumpai rasa sakit tadi yang belum
ia rasakan sebelumnya.”47
46
Hasil Penelitian Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, 23 Januari 2009 47
Hasil Penelitian Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa,30 Januari 2009
Dari penjelasan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa di atas, sesuai dengan
kebenaran bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian tak terkecuali
manusia. Sehingga akan menjadikan mereka berpikir untuk mempersiapkan kematian,
bagaimana caranya agar pada saat mengahadapi kematian mereka tidak terlalu
merasakan kesakitan yang luar biasa, dan mendapatkan tempat yang lebih baik di sisi
Allah SWT. Dapat dilihat dalam contoh yang lain ketika menjelaskan tentang macam-
macam kematian, KH. Ahmad Syafi’i Mustawa menjelaskan secara sistematis, yang
diselingi dengan sedikit humor, seperti:
“............Matinya ulama, orang kaya, fakir miskin dan matinya pemimpin. Yang
pertama matinya Ulama adalah merupakan kegelapan dalam agama seperti para ulama
yang telah meninggal dunia KH. Abdullah di Kebon jeruk, KH. Muhammad Arsyat,
KH. Muhammad jenggot/ Muhammad Jubir dan Mu’allim KH. Syafi’i Hazami di
Kebayoran Pondok Pesantren Al-Arbain, karena mereka semua paku alam.
Sesungguhnya daripada tanda-tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, kebodohan meraja rela, perzinahan meraja rela, minuman
keras terbiasa, laki-laki sedikit dan banyaknya kaum wanita. Kedua matinya orang kaya merupakan penyesalan harta warisan jadi rebutan keturunan. Ketiga matinya
orang fakir miskin merupakan kesenangan karena proses diakhiratnya gampan. Dan yang keempat matinya pemimpin merupakan fitnah. “.......Ulama, orang kaya, fakir
miskin dan pemimpin mereka semua kalau belum mati jangan dikubur ya.” Maka dari itu janganlah jauh dari majelis-majelis ilmu dan jangan jauh dari para ulama datangi
majelis-majelis ta’lim habaib.”
Dari penjesan di atas, KH. Ahmad Syafi’i Mustawa menjelaskan betapa
pentingnya mengingat kematian dan betapa pentingnya sebuah ilmu karena dengan
ilmu kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta akan dapat
melaksakan segala aktivitas ibadah dengan baik dan sempurna.
Setelah dari contoh beberapa pesan yang disampaikan di atas, kemudian
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa menutupnya dengan sebuah harapan kepada para
jama’ah semoga ilmu yang didapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan
membaca shalawat, hamdalah dan salam serta do’a penutup majelis ta’lim, seperti:
“............Mudah-mudahan ilmu yang kita tuntut dimalam ini, baik itu dalam bentuk firman-firman Allah, Hadits-Hadits Nabi ataupu aktsarusshahabah perkataan pra
sahabat butiran-butiran mutiara hikmah rangkaian kata untaian jamur katulistiwa yang
terbentangan dalam kitab ini. Itu semua mungkin adalah kalimat-kalimat yang benar
firman-firman Allah atau Hadits-Hadits Nabi, namun disana sini mungkin ada
kekhilafan atau kesalahan atau mungkin ada hadirin hadirat ada yang tidak memahami
apa yang saya sampaikan, bukan artinya bapak-bapak yang tidak paham atau bapak-
bapak yang tidak cerdas tapi karena memang kemampuan saya yang terbatas. Khut
mashafa wada makadar ambil yang baik dan campakkan yang buruk. Hadanallahu Waiyyakum Ajma’in Tsummas Salamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Dari keseluruhan uraian diatas tentang penerapan retorika dalam dakwah KH.
Ahmad Syafi’i Mustawa secara garis besar bahwa KH. Ahmad Syafi’i Mustawa
adalah salah satu da’i yang propesional yang sudah berdakwah Se-JABODETABEK
cukup terkenal khususnya di daerah Jakarta Barat, bedanya beliau tidak masuk
kedalam media massa. Disamping memiliki wawasan dan pengalaman yang luas, KH.
Ahmad Syafi’i Mustawa adalah sosok yang sangat ramah dan penuh kasih sayang
khususnya pada anak-anak kecil beliau sangat menyayanginya. Selama penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini beliau adalah seorang bapak yang terbuka dan
bersahabat sehingga orang-orang yang mendekatinya tidak merasa takut menemuinya.
Dari segi prakteknya beliau cukup mengerti dan memahami retorika dengan
baik, ini terbukti dalm pelaksanaan dakwahnya sesuai dengan apa yang ada didalam
ilmu retorika yang penulis pelajari, mengembangkan pokok bahasan (isi, materi
dakwah), pembicaraannya menarik selalu dikembangkan dengan ilustrasi dan
percontohan, dan dapat memahami situasi dan kondisi yang ada di masyarakat. Hal ini
dikuatkan dengan penjelasan Toto Tasmara, bahwasannya dalam menerapkan retorika
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya; aktualisasi, analisa persoalan
dan situasi, kekuatan bahasa dan pengalaman, intonasi, analogi dan pribahasa.
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa dalam pelaksanaan dakwahnya beliau memiliki
penampilan yang sempurna, sebagai seorang da’i yang mengemas retorika dalam
pelaksanaan dakwah selalu menyesuaikan daya tangkap mad’unya. Sehingga mad’u
mudah menerima pesan dakwah yang disampaikannya, tidak terlalu monoton
adakalanya menyisipkan humor dan adakalanya bersikap tegas serius. Dari cara
berpakaian, menggunakan pakaian yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW memakai
baju gamis dan dilapisi juba serta bersorban, berakhlak mulia, baik hubungan kepada
Allah SWT maupun hubungan kepada sesama manusia, gaya pelaksanaan dakwahnya
baik, baik itu raut wajah, mimik, penjiwaan, dan kata-kata yang rapih dan bijak serta
membuat para jama’ah Majelis Ta’lim Daarul Hikmah terkesima enak mendengarkan
isi pesan dakwahnya, dalam penyajian dakwah pengajian kitab kuning/ salaf dengan
ekspresi gaya ceramah beliau.
BAB V
PENUTUP
Dari uraian tentang penerapan retorika KH. Ahmad Syafi’I Mustawa dalam
pelaksanaan dakwah bil-lisan dan segala yang berhubungan dengannya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Menurut KH. Ahmad Syafi’i Mustawa, retorika adalah setiap ungkapan atau gaya
seni berbicara atau daya penyampaian ilmu, setiap muballigh atau orator ketika
dia menyampaian pesan kepada mad’u yang menjadi sasarannya sehingga mereka
dapat mencerna dengan baik dan apa yang muballigh sampaikan menyebabkan
mad’u menjadi merasa mendapatkan ilmu. karena ajaran dakwah yang
disampaikan harus sesuai dengan daya nalar dan kemampuan mad’u yang berbeda
salah satunya dengan pendekatan retorika, seperti yang diungkapkan oleh Syekh
Datuk Tombak Alam, mengatakan bahwa retorika adalah seni mempergunakan
bahasa untuk menghasilkan kesan yang diinginkan terhadap pendengar dan
pembaca. Artinya seorang da’i harus mampu mengemas apa yang akan
disampaikan, sehingga mudah dicerna atau diterima dan dapat meyakinkan
mad’unya sehingga mereka mau mengamalkan pesan dakwah yang telah
disampaikan oleh da’i tersebut dalam kehidupan sehari-hari, yang juga merupakan
tujuan dari dakwah Islam itu sendiri.
2. Penerapan retorika dakwah yang dilakukan KH. Ahmad Syafi’i Mustawa adalah
dakwah yang selalu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Karena banyak
para jama’ah atau mad’u dari berbagai macam kalangan, serta daya tangkap
mad’u yang berbeda, sehingga mad’u mudah menerima pesan dakwah yang
disampaikannya, dalam hal ini jama’ah pun dapat memperhatikan dengan serius.
Olah vocal atau suara yang beliau miliki sangat khas, nada dan irama suara yang
turun naik terkadang mendatar dan terkadang tinggi, tidak terlalu monoton
adakalanya menyisipkan humor dan adakalanya bersikap tegas serius. Isi ceramah
beliau mengalir begitu saja sehingga setiap kata yang keluar dari mulut beliau
memiliki makna yang membuat pendengar merasa tertarik untuk terus mengikuti
ceramah beliau sampai selesai. Inilah bukti bahwa dalam praktek penerapan
dakwah yang beliau lakukan sesuai dengan kajian ilmu retorika, namun memang
kekurangan beliau adalah beliau tidak terlalu mengetahui banyak tentang retorika,
dikarenakan beliau tidak belajar secara formal tentang ilmu retorika.
B. Saran-Saran
1. Kepada KH. Ahmad Syafi’I Mustawa jangan pernah berhenti untuk
berdakwah, sekalipun ada tawaran pekerjaan yang mendapatkan imbalan yang
besar. Sekiranya retorika yang KH. Ahmad Syafi’I Mustawa terapkan
hendaknya dipertahankan dan ditingkatkan.
2. Kepada para da’i atau muballigh hendaknya selalu menyampaikan dakwahnya
dengan menggunakan retorika yang tepat sesuai dengan kemampuan sang
mad’u. sehingga dakwah yang disampaikan tepat pada sasaran yang
diinginkan dan dapat tercapai dengan sebaik mungkin.
3. Studi retorika pada Fakulatas Dakwah dan Komunikasi, di samping
mengetengahkan aspek teoritis alangkah baiknya juga diimbangi dengan
praktek secara langsung agar mahasiswa dapat membuktikan dengan
penerapan retorika dalam dakwah dan berpidato akan memperlancar serta
mempermudah pesan yang disampaikan sesuai dengan tujuannya. Apabila
mahasiswa dakwah ada yang bagus dalam cara dakwah atau berpidatonya,
mohon kiranya dikirim ketempat-tempat yang membangun mereka menjadi
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Datuk Tombak, Kunci Sukses Penerangandan Dakwah, (Jakarta: Rineka Cipta,
1990).
Amin, Abdul Aziz Jum’ah, Fiqih Dakwah, (Solo: Intermedia, 1998), cet. Ke-2
Arifin, H. M., Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bina Aksara, 1997), cet. Ke-4
Aziz ,Abdul Jum’ah, Fiqih Dakwah, (Solo: Intermedia, 1998), Cet. Ke-2,
Bachtiar, Wardi, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos, 1997), cet.
Ke-1
Badruttamam, Nurul. Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, (Jakarta: Grafindo 2005).
Cet. Ke-1
Bana, Hasan, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Surakarta : Era Inter Media,
1998), cet. 6.
Effendi, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002).
Ghazali, M. Bahri,, Dakwah Komunikasi, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997), cet.
Ke-1
Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. Metodologi Penelitian Masyarakat. (Jakarta:
Gramedia. 1977)
Hasanuddin, Rhetorika Dakwah dan Publisistik dalam Kepemimpinan, (Surabaya: PT.
Usaha Nasional, 1982).
Hendrikus, P. Rudi Wuwur, Retorika, (Jakarta: CV. Firdaus, 1993).
Isror, Retorika dan Dakwah Islam Era Modern, (Jakarta: CV. Firdaus, 1993).
Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, (Jakarta: Gaila Indonesia, 1988), cet. Ke-3
Oka , I Gusti Ngurah, Retorika Sebuah Tinjauan Pengantar, (Bandung: Tarate, 1976)
Rahmat, Jalaludin , Rhetoeika Modern Pendekatan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1998)
Rifa’I, Muhammad, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: CV. Wicakscana. 1991)
cet. Ke-1
Rousydy, Lathief, Dasar-dasar Retorica Komunikasi dan Informasi, (Medan: PT.
Firma Rimbow, 1989).
Saputra, Wahidin, Buku ajar Retorika Dakwah Lisan Teknik Khithabah, (Jakarta:
Dakwah Press, 2006) cet. Ke-1
Saputra, Wahidin, Ilmu Dakwah Dalam Perspektif Epistimologi Ontologi dan
Aksiologi, (Jakarta: Dakwah Press, 2008)
Sumanti, Wanti, Skripsi Retorika Dakwah Ustadzah Hj. Dede Rosyidah, (Mama
Dedeh, 2007).
Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet. Ke-2
Umari, Barnawi. Azas-Azas Ilmu Dakwah, (Solo: Ramadhani, 1995),
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1998), cet. Ke-
5
Wawancara Pribadi kepada KH. Ahmad Syafi’i Mustawa di Majelis Ta’lim Daarul
Hikmah Srengseng, Kebon Jeruk Jakarta Barat, 10 Februari 2009
KONSEP RETORIKA DAN TAHAP
PENYUSUNAN
No
Aspek Retorika (Teori)
Konsep Retorika KH. Ahmad
Syafi’I Mustawa
Pengertian Retorika :
Syekh Datuk Tombak Alam,
mengatakan bahwa retorika adalah
seni mempergunakan bahasa untuk
menghasilkan kesan yang
diinginkan terhadp pendengar dan
pembaca
Tahap penyusunan pidato “Lima
hukum retorika” :
6. Menemukan bahan (Inventio),
menggali topik dan meneliti
khalayak yang akan hadir
mendengarkan ceramah kita,
kemudian menentukan metode
yang tepat.
7. Penyusunan bahan/materi yang
akan disampaikan (Dispositio),
menyusun materi dakwah yang
akan disampaikan, misalnya: Pendahuluan, Pembahasan dan
Penutup. 8. Memilih bahasa yang indah
(Elocutio), memilih kata-kata yang tepat, kalimat yang jelas dan
bahasa yang indah sesuai dengan kemampuan khalayak pendengar.
9. Mengingat materi yang akan
disampaikan (Memoria),
mengingat-ingat dalam pikiran
materi yang akan disampaikan
kepada khalayak pendengar sesuai
dengan susunan yang telah dibuat
sebelumnya.
10. Menyampaikan
dakwah lisan (Pronuntiatio),
menyampaikan materi perhatikan
suara (vocal), gerak tubuh, dan
pelihara kontak mata dengan
khalayak pendengar
Pengertian Retorika :
KH. Ahmad Syafi’i Mustawa,
mengatakan retorika adalah
setiap ungkapan atau gaya seni
berbicara, atau daya
penyampaian ilmu sehingga
orang lain dapat mencerna
dengan baik artinya sang mad’u betul-betul merasa nikmat, dan
nyaman sehingga apa yang muballigh sampaikan
menyebabkan mad’u menjadi merasa mendapatkan ilmu.
Tahap penyusunan pidato :
6. Mengetahui keadaan situasi
kondisi masyarakat setempat,
yang akan dijadikan sasaran
dakwah, dengan menanyakan
atau mencari informasi kepada
salah satu warga setempat.
7. Setelah itu baru menyusun
pesan-pesan yang akan
disampaikan yang tentunya
terdiri dari pendahuluan, isi
pesan, ringkasan pesan atau inti sari, dan terakhir penutup
disertai dengan do’a. 8. Mencari bahasa yang indah
sehingga mudah dimengerti dan humor-humor yang berkaitan
dengan pembahasan agar mereka tidak merasa jenuh.
9. Ketika menyampaikan pesan
dakwah yang harus diperhatikan
adalah para mad’u, bagaimana
caranya ketika mereka
mengantuk kita mengeluarkan
pesan dengan suara atau vocal
yang akhirnya membuat mereka
semangat lagi.
10. Sambil dalam
perjalanan menuju tempat, yaitu
mengingat kembali pesan
dakwah yang akan disampaikan
sesuai dengan keadaan situasi kondisi masyarakat setempat,
yang akan dijadikan sasaran dakwah.