bab i, ii udah di edit

Upload: randyantonio

Post on 09-Oct-2015

74 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jjj

TRANSCRIPT

BAB I

PAGE 50

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.Sistem hukum waris adat yang saat ini berlaku dilandaskan atas sistem kekeluargaan dalam kehidupan masyarakat adat yang senantiasa tidak dapat dipisahkan dan dilepaskan begitu saja kaitannya dengan hukum kekeluargaan dalam masyarakat hukum adat itu sendiri. Dalam pewarisan adat Batak masyarakat masih berpegang teguh pada adat istiadatnya, yaitu menganut sistem kebapaan, maka hal utama yang menonjol adalah anak laki-laki yang meneruskan kehidupan keturunan keluarga. Dalam hal ini dapat dilihat dari kedudukan perempuan maupun janda dalam pewarisan, dimana perempuan dalam kewarisan adat Batak, dalam kenyataannya tidak berhak mewaris. Oleh karena itu kedudukan janda terhadap warisan sangatlah lemah bahkan dianggap tidak berhak atas warisan yang ditinggalkan almarhum suaminya.Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti asalnya, sebab terjadinya waris tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia tetapi selagi masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat mewariskan kepada warisnya.Hukum waris adat atau ada yang menyebutnya dengan hukum adat waris adalah hukum adat yang pada pokoknya mengatur tentang orang yang meninggalkan harta atau memberikan hartanya (Pewaris), harta waris (Warisan), waris (Ahli waris dan bukan ahli waris) serta pengoperan dan penerusan harta waris dari pewaris kepada warisnya, oleh karena hal tersebut maka sering muncul permasalahan kepada siapa harta peninggalan dari orang yang meninggal tersebut akan di wariskan. Hal ini yang menyebabkan betapa pentingnya hukum waris adat di kalangan masyarakat adat itu sendiri.Cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan.Menurut Hukum Adat Batak (Simalungun), seorang wanita yang telah kawin maka wanita tersebut dengan sendirinya karena hukum akan tunduk dan mengikuti ketentuanketentuan pertalian kekeluargaan menurut garis suami. ia dianggap menjadi bagian anggota keluarga termasuk dalam tanggung jawab sang suami. Bilamana si wanita menjadi janda setelah lewat masa-masa berkabung bagi keluarga, tibalah waktunya untuk memikirkan kelanjutan hidup si janda. Dengan musyawarah keluarga masih merasa perlu memberikan kesempatan kepada janda untuk menerima pemeliharaan lanjutan dengan anak-anaknya.Perkembangan awal seorang janda bukan ahli waris, dalam kenyataannya kemudian janda menjadi menderita sepeninggal suaminya, kemudian timbul praktek pemberian hibah oleh suami kepada istrinya untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan sosial ekonomi sepeninggal suaminya, praktek demikian semakin lama semakin melembaga.Perkembangan hukum waris adat berikutnya adalah, janda sebagai ahli waris bersama-sama dengan anak-anak almarhum suaminya. Selanjutnya janda sebagai ahli waris yang kedudukannya sama dengan ahli waris anak. Perkembangan selanjutnya janda sebagai ahli waris kelompok keutamaan, yang menutup ahli waris lainnya.Perkembangan mengenai kedudukan janda sebagai ahli waris di tandai dengan keputusan Mahkamah Agung No.54K/Sip/1958 mengenai hukum adat di daerah Padangsidempuan yang menyatakan janda mempunyai hak memakai seumur hidup terhadap harta mendiang suaminya selama harta itu diperlukan untuk kehidupannya. Dengan adanya hak memakai itu, janda memiliki hak menuntut terhadap barang-barang mendiang suaminya dan kemudian ditandai dengan putusan Mahkamah Agung No.284 K/Sip/1975 mengenai hukum adat di daerah Pematang Siantar yang intinya adalah menurut hukum waris adat boru, istri dan anak-anak perempuan adalah ahli waris.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai masalah kedudukan janda terhadap harta warisan dalam masyarakat batak khususnya pada masyarakat batak simalungun yang kemudian penulis tuangkan ke dalam bentuk karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Janda Terhadap Harta Warisan Menurut Hukum Waris Adat Batak Simalungun (Pada Kasus : Putusan Pengadilan Negeri Nomor.15/Pdt.G/2006/PN-PMS).B. Pokok Permasalahan

Dalam penelitian ini akan dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah putusan hakim Pengadilan Negeri, Nomor 15/Pdt.G/2006/PN-PMS telah sesuai dengan hukum waris adat Batak Simalungun?

2. Hambatan-hambatan apa saja yang muncul dalam pelaksanaan pewarisan terhadap janda?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut di muka, di bawah ini dikemukakan tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk memggambarkan kedudukan janda dalam hal pewarisan menurut Hukum Waris Adat Batak Simalungun.

2. Untuk menggambarkan bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 15/Pdt.G/2006/PN-PMS apabila dikaitkan terhadap hukum waris adat Batak simalungun yang berlaku.

D. Metode Penelitian

1. Obyek Penelitian

Penelitian mengenai kedudukan janda terhadap harta warisan merupakan suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisa norma hukum ,baik hukum dalam arti hukum waris adat, maupun hukum dalam arti putusan-putusan pengadilan,dengan demikian obyek yang di analisa adalah norma hukum adat dan juga tahap tahap sinkronisasi hukum antara putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum waris adat yang berlaku.

2. Data dan Sumber Data

Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Namun, untuk melengkapi atau mendukung analisis data sekunder, tetap diperlukan, yaitu :a. Data primer, data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.b. Data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Namun demikian, untuk melengkapi atau mendukung analisis data sekunder, tetap diperlukan wawancara dengan beberapa informan yang dinilai memahami konsep atau pemikiran yang ada dalam data sekunder, sejauh dalam batas-batas metode penelitian normatif, sumber data sekunder yang digunakan yaitu:

1) Bahan hukum primer

Yaitu data yang diperoleh dari bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang terdiri dari :

a) Undang-undang Dasar 1945

b) Kitab undang-undang Hukum Perdata

c) Putusan Pengadilan Negeri Nomor 15/Pdt.G/2006/PN-PMS

2) Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer atau tulisan dari pakar ahli hukum, berupa hasil penelitian dan hasil karya hukum yang terdiri dari :a) Buku Hukum Adat Indonesia oleh Soerjono Soekanto , buku ini menjelaskan hukum adat di Indonesia secara umum

b) Buku Hukum Waris Adat oleh Hilman Hadikusuma S,H, buku ini menjelaskan mengenai sistem pewarisan adat di Indonesia

c) Buku Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat oleh Surojo Wignjodipuro,S.H. buku ini menjelaskan mengenai asas-asas yang terdapat dalam hukum adat di Indonesia.

d) Buku Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum oleh Sulistyowati Irianto, buku ini menjelaskan berbagai strategi perempuan batak untuk mendapatkan akses kepada harta waris melalui proses penyelesaian sengketa.e) Buku Jalannya Hukum Adat Simalungun oleh Jahutar Damanik, buku ini menjelaskan keadaan hukum adat simalungun di Indonesia.f) Buku Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat oleh Soerjono Soekanto dan Yusuf Usman, buku ini menjelaskan kedudukan seorang janda dalam pewarisan menurut sistem garis keturunan adatnya masing-masing.

g) Buku Masyarakat dan Hukum Adat Batak oleh J.C.Vergouwen buku ini menjelaskan kehidupan masyarakat adat batak serta hukum adat batak di Indonesia.

h) Buku Pengantar Penelitian Hukum oleh Soerjono Soekanto, buku ini menjelaskan mengenai metode penelitian hukum.

i) Putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung3. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan adalah dengan cara sebagai berikut :

a. Penelitian kepustakaan

Penelitian kepustakaan yaitu suatu cara pengadaan penelitian berdasarkan pada literature yang ada atau yang sudah diterbitkan baik berupa buku-buku, majalah, laporan-laporan ilmiah, naskah ilmiah, informasi online via internet maupun catatan kuliah, putusan-putusan serta peraturan perundangan yang mempunya hubungan dengan penulisan skripsi ini. Bahan kepustakaan dilakukan di beberapa tempat yang diperoleh dari universitas Trisakti, Universitas Indonesia dan Universitas Sumatera Utara.

b. Penelitian lapangan

Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara dengan ahli-ahli dan tokoh-tokoh hukum adat Batak untuk memperoleh data-data yang benar dan selanjutnya diadakan pencatatan yang sangatberguna sebagai bahan penulisan skripsi. Metode ini penulis mempunyai kebebasan dalam tingkat kewajaran sehingga secara maksimal dapagt memperoleh data yang diperlukan, tetapi unsur terpimpin masih dipertahankan sehingga pembicaraan tetap dapat diarahkan pada pokok permasalahan.4. Analisis Data

Analisis data dilakukan kualitatif artinya data kepustakaan dan hasil wawancara dikumpulkan, diolah, dan dianalisis secara mendalam berdasarkan penalaran yang logis dan menganalisis secara menyeluruh berdasarkan studi kepustakaan dan studi di lapangan mengenai hak mewaris janda dalam hukum waris adat batak simalungun sehingga di temukan jawaban terhadap pokok permasalahan mengenai hak mewaris janda dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor.15/Pdt.G/2006/PN-PMS5. Cara Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan diambil dengan menggunakan logika deduktif umum ke khusus artinya adalah metode penarikan kesimpulan yang bersifat umum yang diperoleh melalui studi lapangan yang kemudian ditarik kepada asas-asas yang sifatnya khusus. Kajian terhadap konsep yang bersifat umum tersebut akan dianalisis secara khusus terhadap pembatalan pemberian kekuasaan harta warisasn yang dilakukan oleh hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor.15/Pdt.G/2006/PN-PMSE. Kerangka Konsepsional

Untuk mengetahui secara mendalam, berikut ini kemukakan pendapat dari para ahli hukum adat, seperti Soepomo dan Ter Haar BZNMenurut Soepomo :

Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.

Menurut Ter Haar BZN :

Hukum waris adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immateriel dari turunan keturunannya.

Dari pendapat di atas, bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 (empat) unsur pokok, yaitu : 1. Adanya pewaris

2. Adanya ahli waris

3. Adanya harta warisan

4. Adanya pewarisan

Istilah waris ada yang mengartikan dengan harta peninggalan, pusaka atau hutang piutang yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia seluruh atau sebagian menjadi hak para ahli waris atau orang yang ditetapkan dalam surat wasiat. Selain itu ada yang mengartikan waris yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.Hukum adat waris di Indonesia sangat di pengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan yang mungkin merupakan prinsip patrilineal murni, patrilineal beralih-alih matrilineal maupun bilateral , ada pula prinsip unilateral ganda atau ( double-unilateral).Sistem kewarisan adat terbagi dalam 3 (tiga) bentuk,yaitu sistem kewarisan individual,sistem kewarisan kolektif dan sistem kewarisan mayorat, dimana masyarakat adat batak itu sendiri menganut sistem kewarisan individual yaitu Pewarisan dengan system individual atau perseorangan adalah system pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing

Kedudukan janda sebagai ahli waris atau bukan, dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dan bentuk perkawinan yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.Di Indonesia,terdapat 3 (tiga) bentuk sistem kekerabatan, yang sedikit banyak memberi pengaruh terhadap kedudukan janda yaitu janda dalam sistem patrilineal, janda dalam sistem matrilineal dan janda dalam sistem parental. Dimana dalam hal ini janda dalam sistem patrilineal lah yang memberikan sedikit pengaruh dalam masyarakat adat Batak, hal ini disebabkan masyarakat patrilineal di Batak, terikat pada sistem patrilineal yang mutlak bersifat genealogis yaitu menarik garis keturunan dari ayah.Corak utama dari masyarakat patrilineal ini adalah perkawinan dengan jujur Pemberian jujur ini oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan adalah sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan kerabatnya dan masuk ke dalam kerabat suaminya. Oleh sebab itu, sepanjang perkawinan dengan jujur itu masih dianggap sebagai suatu peristiwa memutuskan pertalian hubungan si istri dengan kerabatnya, maka kedudukan setelah wafatnya suami, bahwa janda tetap merupakan bagian dari kerabat suami, sehingga nasibnya tidak akan terlantar, serta tetap akan menikmati harta peninggalan suaminya.Perkawinan jujur mengandung 3 (tiga) segi pengertian :

a. Yuridis, yaitu mengenai perubahan status

b. Sosial, yaitu mempererat hubungan antar klan, hubungan kekeluargaan dan menghilangka permusuhan.

c. Ekonomis, yaitu adanya pertukaran barang.Untuk mengetahui bagaimana asal-usul, kedudukan harta warisan, apakah dapat dibagi atau tidak dapat terbagi, termasuk hak dan kewajiban apa yang terjadi penerusan dari pewaris kepada waris, maka harta warisan itu dapat dibagi dalam 4 bagian yaitu antara lain sebagai berikut:1. Harta asal

2. Harta pencaharian

3. Harta pemberian

4. Hak-hak dan kewajiban yang diwariskan

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia terhadap turunannya.

Untuk membedakan hukum waris dalam satu sistem hukum dengan hukum waris dalam sistem hukum lainnya,maka dalam hal ini digunakan istilah hukum waris adat.Istilah waris dapat diartikan dengan harta peninggalan,pusaka atau hutang piutang yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia seluruh atau sebagian menjadi hak para ahli waris atau orang yang telah meninggal.Terdapat tiga bagian pokok hukum warisan yang harus dibedakan dengan jelas satu dari yang lain yaitu:1. Hak menggantikan (suksesi) menurut keturunan langsung dalam alur laki2. Pertumbuhan atau percabangan hak ke alur laki yang sejajar

3. Pembagian untuk anak perempuan

Masyarakat batak dalam hal ini Batak Simalungun, merupakan salah satu masyarakat yang mendasarkan garis keturunan melalui faktor geneologis,tentu saja hal ini membawa pengaruh terhadap adat yang ada di dalam masyarakat tersebut.Menurut hukum adat Batak, bahwa janda bukanlah ahli waris dari suaminya. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa janda tidak mempunyai hubungan darah dengan suaminya, sehingga janda tidak mempunyai hak untuk mewaris, karena yang menjadi ahli waris pada masyarakat Batak hanya anak laki-laki.Seiring dengan perkembangan jaman yang bertambah maju dan sifat hukum adat yang dinamis, maka hal tersebut sudah banyak berubah. Menurut hukum adat Batak dimasa sekarang, bahwa kedudukan suami dan istri adalah sama dan seimbang. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Mereka secara bersama-sama berhak dan berkewajiban mengurus keluarga dan anak-anaknya. Oleh sebab itu, dalam penyelesesaian sengketa waris adat batak dilakukannya penghibahan kepada seorang janda oleh pihak keluarga almarhum suami agar penghidupannya selepas ditinggal almarhum suami tidak terbengkalai dan agar dapat menghidupi anak-anaknya. Hal ini dikarenakan sifat perkawinan yang di lakukan masyarakat batak itu sendiri yaitu merupakan perkawinan jujur.F. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab yang akan menggunakan pendahuluan dari penelitian ini, yang membahas mengenai latar belakang penulisan,pemaparan pokok permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian yang digunakan, kerangka konsep dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN MENGENAI KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA WARISAN MENURUT HUKUM WARSI ADAT BATAK SIMALUNGUN

Dalam bab ini akan diuraikan hukum waris adat secara umum, dasar pewarisan, tujuan pewarisan, syarat pewarisan serta obyek pewarisan dan sifat pewarisan.BAB III : DESKRIPSI KEDUDUKAN MEWARIS JANDA DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NOMOR.15/PDT.G/ 2006/PN-PMS

Bab yang berisi pemaparan mengenai kasus posisi dan putusan dari obyek penelitian, yaitu mengenai kedudukan janda terhadap harta warisan dalam putusan nomor.15/Pdt.G/2006/PN-PMS.BAB IV : ANALISIS PUTUSAN KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA WARISAN MENURUT HUKUM WARIS ADAT BATAK SIMALUNGUN

Bab ini berisi uraian yang akan memberikan jawaban atas pokok permasalahan dan secara berurutan satu persatu pokok permasalahan tersebut akan dibahas yaitu mengenai kedudukan janda terhadap harta warisan dalam putusan mahkamah agung Nomor.15/Pdt.G/ 2006/PN-PMS. Ditinjau dari hukum waris adat batak simalungun.

BAB V : PENUTUP

Bab ini menjadi bagian terakhir dari seluruh kegiatan penulisan skripsi ini,yang berisi kesimpulan dari apa yang telah diuraikan penulis,serta saran dan masukan yang mungkin bermanfaat dalam tataran teori dan praktek hukum pengadilan.

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM ADAT BATAK

A. Hukum waris adat di Indonesia

1. Pengertian hukum waris adat

Struktur masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia tidak memberikan pembatasan jelas tentang adat dan hukum adat itu. Secara umum hanya dikatakan bila berbicara hukum adat dan baku pada masyarakat. Kebiasaan dalam arti adat adalah kebiasaan normative dan telah berwujud aturan tingkah laku, berlaku serta dipertahankan dalam masyarakat.Definisi hukum adat menurut bapak hukum adat yaitu Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah kesuluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunya sanksi dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodofikasi. Dan menurut sarjana Indonesia soerjono soekanto berpendapat bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang tidak dikitabkan (tidak di kodifikasikan) bersifat paksaan. Di dalam hukum adat terdapat hukum waris adat yang masih di gunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai jati diri dalam suatu kebudayaannya. Hukum waris merupakan hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur dalam hukum waris.Hukum waris yang meliputi Hukum Waris Barat (Burgerlijke Wetboek atau lebih dikenal dengan Hukum Waris BW) dan hukum waris islam, yang tentunya apabila dipahami dengan baik, akan sangat berpengaruh terhadap harta seseorang semasa hidupnya. Soepomo menyatakan bahwa hukum waris itu : membuat pengaturan-pengaturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang- barang yang tidak berwujud benda (immateriela goederen) dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Dari defenisi ini menjelaskan bahwa terdapat tiga inti penting :

a. Proses pengoperan atau hibah atau penerusan atau warisan

b. Harta benda materiil dan immaterial

c. Satu generasi ke generasi selanjutnya.

Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya seperti dapat di perhatikan sebagai berikut ini :

a. Waris adalah orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal

b. Warisan adalah berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat

c. Pewaris adalah orang yang member pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat.

d. Ahli waris adalah orang yang menjadi waris, berarti orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris.

e. Mewarisi adalah yang mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.

f. Proses pewarisan adalah istilah proses pewarisan mempunya dua pengertian atau dua makna, yaitu :

1) Penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris berarti masih hidup

2) Pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.

2. Sifat Dan Asas-Asas Hukum Waris Adat

a. Sifat Hukum Waris Adat

Hukum warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris islam atau hukum waris barat.

Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak dapat terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perorangan, tetaqpi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi: Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peningalan itu dalam keadaan tidak terbagi.Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tua-tua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan dalam kerukunan kekerabatan.Hukum waris adat tidak mengenal azas legietieme portie atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUH Perdata.

Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUH Perdata atau juga menurut hukum islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat warisan, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.

b. Asas-Asas Hukum Waris Adat

Pada hukum waris adat, terdapat asas-asas hukum yang berpangkal tolak dari sila-sila pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu:1) Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri

Asas ketuhanan dan pengendalian diri yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimiliki merupakan karunia dan keridhaan Tuhan atas keberadaan harta kekayaan. Oleh karena itu untuk mewujudkan ridha Tuhan bila seseorang meninggal dan meninggalkan harta warisan, maka para ahli waris itu menyadari dan menggunakan hukumnya untuk membagi harta warisan mereka, sehingga tidak berselisih dan saling berebut harta warisan karena perselisihan diantara para ahli waris memberatkan perjalanan arwah pewaris untuk menghadap ke Tuhan. Oleh karena itu terbagi atau tidaknya harta warisan bukan tujuan tetapi yang penting adalah menjaga kerukunan hidup diantara para ahli waris dan semua keturunannya.2) Asas Kesamaan Hak dan Kebersamaan

Asas kesamaan hak dan kebersamaan hak yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya, seimbang antara hak dan kewajiban tanggung jawab bagi setiap ahli waris untuk memperoleh harta warisannya. Oleh karena itu, memperhitungkan hak dan kewajiban tanggung jawab setiap ahli waris bukanlah berarti pembagian warisan mesti sama banyak, melainkan pembagian yaitu seimbang berdasarkan hak dan tanggung jawabnya.

3) Asas kerukunan dan KekeluargaanAsas kerukunan dan kekeluargaan yaitu para ahli waris mempertahankan untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tenteram dan damai, baik dalam menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun dalam menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.

4) Asas Musyawarah dan Mufakat

Asas musyawarah dan mufakat adalah para ahli waris membagikan harta warisannya memlalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang dituakan dan bila terjadi kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang keluar dari hati nurani pada setiap ahli waris.

5) Asas Keadlian

Asas keadilan yaitu keadilan berdasarkan status, kedudukan dan jasa sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan, baik bagian setiap ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan bagian jaminan harta sebagai anggota keliuarga pewaris.3. Unsur-Unsur Hukum Waris Adat

Untuk mengetahui bagian dari objek waris adat, maka harus diketahui unsure-unsur apa sajakah yang dilingkupinya. Unsur-unsur tersebut terdiri dari pewaris, waris atau ahli waris, dan warisan atau harta warisan.

a. Pewaris

Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup, baik keluarga melalui persekutuan hidup dalam rumah tangga. Yang tergolong sebagai pewaris, yaitu:1) Orang Tua

Apabila pewaris terdiri dari orang tua baik ayah maupun ibu yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan itu disebut pewaris. Contoh putusan yang menetapkan orang tua sebagai pewaris adalah:

a) Fatimah sebagai pewaris dari anaknya. Putusan No. 362/Pdt.V/1992/PA. Palu 17 september 1992

b) Usman sebagai pewaris dari anaknya. Putusan penetapan No. 584/Pdt.V/1992/PA. Palu, 7 Agustus 1983

2) Saudara-saudara yang Belum Berkeluarga atau Tidak Mempunyai Keturunan

Apabila pewaris terdiri dari saudara yang belum berkeluarga atau yang sudah berkeluarga tetapi tidak mem[unyai keturunan, dan mempunyai harta yang ditinggalkan, maka yang meninggal itu disebut pewaris. Contoh putusan yang menetapkan saudara sebagai pewaris:

a) Maryam versus Husen Cs, putusan penetapan pewaris No.9/Pdt.G/1993/PA. Palu, 28 Juli 1993b) Abbas cs versus Drs. Damir Thalib cs, putusan penetapan pewaris No.38/Pdt.G/1993/PA. Palu, 15 juli 1993.

3) Suami dan atau Isteri

Suami dan atau isteri yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris disebut pewaris. Contoh putusan yang menetapkan suai atau isteri sebagai pewaris:

a) H. Ambo versus Ahmad Bin Dado putusan penetapan pewaris No.59/Pdt.G/1993/PA

b) Ny. Ajirin versus Ir. Muh. IIyas, putusan No.79/Pdt.G/1992/PN.

b. Ahli Waris

Istilah ahli waris digunakan untuk menunjuk orang yang mendapatkan harta warisan. Pada umumnya para waris adalah anak, termasuk anak dalam kandungan ibunya jika ia lahir hidup. Tetapi tidak semua anak adalah ahli waris, kemungkinan para waris lainnya seperti ank tiri, anak angkat, anak piara, waris balu, waris kemenakan, dan para waris pengganti seperti cucu, ayah dan ibu, kakek dan nenek, dan lain-lainnnya.Yang termasuk waris atau ahli waris antara lain:

1) Ahli waris sedarah dan ahli waris tidak sedarah

Ahli waris sedarah terdiri dari :

a) Anak kandung

b) Orang tuac) Saudarad) Cucu

Ahli waris tidak sedarah terdiri dari :

a) Balu (janda atau duda)

b) Anak angkat

2) Nunggul Pinang atau Kepunahan

Seorang pewaris tidak mempunyai ahli waris (punah) atau lazim disebut nunggul pinang.

Dibawah ini dijelaskan yang termasuk dalam ahli waris yaitu :1) Anak kandung

Anak kandung adalah anak yang lahir dari kandungan ibu dan ayah kandungnya. Kedudukan anak kandung sebagai waris dipengaruhi oleh perkawinan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Jika perkawinan yang dilakukan adalah sah, maka anaknya sah sebagai waris, sebaliknya, jika perkawinannya tidak sah, maka anak menjadi tidak sah, sebagai waris dari orangtua kandungnya.

Dalam kenyataannya di setiap daerah terdapat perbedaan hukum waris adat yang berlaku mengenai kedudukan anak sebagai waris. Perbedaan kedudukan anak sebagai waris yang dimaksud adalah perbedaan kedudukan anak laki-laki dan perempuan, anak sulung, anak tengah, anak bungsu, dan anak pangkalan.

a) Anak sah

Di berbagai golongan masyarakat yang dikatakan anak sah ialah anak kandung yang lahir dari perkawinan orang tuanya yang sah menurut ajaran agama.Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 42 menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi anakyang lahir dari perkawinan yang tidak menurut hukum agamanya pada dasarnya tidak berhak sebagai ahli waris tetapi hanya sebagai waris yang menerima bagian dari harta warisan, dalam bentuk pemberian harta warisan, dalam bentuk pemberian harta bawaan atau harta asal atau pemberian hibah/wasiat.

b) Anak Tidak Sah

Anak tidak sah, yangs sering disebut dengan istilah setempat anak kampang, anak haram dan sebagainya, adalah anak yang lahir dari perbuatan orang tua tidak menurut ketentuan agama, seperti :

(1) Anak dari kandungan ibu sebelum terjadinya pernikahan,

(2) Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dengan suaminya.

(3) Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan yang sah

(4) Anak dari kandungan ibu karena melakukan perzinahan dengan orang lain

(5) Anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui ayahnya.

Anak-anak tidak sah ini menurut Pasal 43 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, namun belum tentu dapat menjadi waris dari ayah biologisnya.c) Waris Anak Laki-laki

Anak laki-laki sebagai waris dapat diketahui dalam sistem kekerabatan patrilineal dimana kebanyakan berlaku bentuk perkawinan jujur seperti terdapat di tanah Batak, Lampung. Di daerah-daerah tersebut pada dasarnya yang berhak mewaris adalah anak laki-laki.

d) Waris Anak Perempuan

Sebagai kebalikan dari pewarisan sitem kekerabatan patrilineal ialah pewarisan pada anak-anak wanita yang berlaku pada sistem kekerabatan matrilineal, dimana bentuk perkawinan semenda yang berlaku dan suami setelah perkawinan mengikuti kedudukan si istri atau tidak termasuk kekerabatan istri seperti yang berlaku di minangkabau. Pewarisan hanya pada anak-anak perempuan saja. Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan tetapi hanya mempunyai anak laki-laki saja, sebagaimana berlaku didaerah semendo, maka salah seorang anak laki-laki diambilkan perempuan untuk jadi isterinya dalam bentuk perkawinan semendo ngangkit.

e) Waris Anak Laki-laki dan Anak perempuan

Kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai waris yang berhak sama atas warisan orang tuanya berlaku dikalangan masyarakat dengan sistemkekeluargaan parental. Semua anak perempuan dan anak laki-laki adalah sama haknya atas harta warisan.

f) Waris Anak Sulung

Pada umumnya keluarga-keluarga Indonesia menghormati kedudukan anak tertua, ia patut dihargai sebagai pengganti orang tua setelah orang tua tidak ada lagi, kepadanyalah sepantasnya setiap anggota keluarga meminta petunjuk dan nasehat. Di berbagai daerah ada hukum adat yang menegaskan bahwa kedudukan anak tertua laki-laki atau anak tertua perempuan, dan ada pula yang tidak menentukannya tergantung pada keadaan.

g) Waris Anak Pangkalan dan Anak Bungsu

Anak pangkalan dan anak bungsu merupakan orang pertama dan orang kedua dalam menentukan pewarisan harta orang tua. Selain kedudukan anak sulung yang menjadi penerus keturunan dan pengganti tanggung jawab orang tua sebagai kepala keluarga dalam mengurus rumah tangga.Istilah anak pangkalan dipakai dilingkungan masyarakat adat Dayak di kalimanta, yang artinya anak yang pada kenyataannyaselama hisupnya aktif mengurus dan memelihara kehidupan orang tua dan harta warisan sampai pewaris wafat.Berikut ini, disebutkan Putusan Pengadilan yang menetapkan anak sebagai ahli waris :

(1) Putusan No. 53/Pdt/1970.Pn.Cn.

(2) Putusan No. 56/1971 Perd Cn.

(3) Putusan No. 6/1973/Perd.Pn.Cn

(4) Putusan No.83/1973/Perd.Pn.Cn

(5) Putusan No.84/1974/Pn.Cn

(6) Putusan No.181/1974 Perd Pn.Cn.

2) Anak Tiri

Anak tiri adalah anak yang bukan dari hasil kandungan suami isteri bersangkutan, tetapi merupakan anak bawaan didalam didalam perkawinan, dikarenakan sebelum perkawinan salah satu pihak atau bersama-sama pernah melakukan perkawinan dan mempunyai anak, kemudian si anak dibawa masing-masing dalam kehidupan rumah tangga setelah mereka mengikat tali perkawinan. Anak tiri berhak memperoleh warisan tetapi terbatas pada bagian harta warisan ayah atau ibu kandungnya saja.

3) Anak Angkat

Berbagai daerah yang masyarakat adatnya menganut agama islam, masih terdapat dan berlaku pengangkatan anak dimana si anak angkat dapat mewarisi harta kekayaan orang tua angkatnya. Walaupun menurut hukum islam anak angkat tidak diakui untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris. Karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah.Sejauh mana anak angkat dapat mewarisi orang tua angkatnya dapat dilihat dari latar belakang sebab terjadinya anak angkat tersebut. Pada umunya, pengangkatan anak dilakukan karena alasan-alasan berikut :

a) Tidak mempunyai keturunan

b) Tidak ada penerus keturunan

c) Menurut adat perkawinan setempat

d) Hubungan baik dan tali persaudaraan

e) Rasa kekeluargaan dan perikemanusiaan

f) Kebutuhan tenaga kerja

Dikarenakan tidak mempunyai keturunan anak dan tidak ada anak lelaki sebagai penerus keturunan dilingkungan masyarakat adat patrilineal atau tidak ada anak perempuan penerus keturunan dilingkungan masyarakat adat matrilineal, maka diangkatlah kemenakan bertali darah.Menurut Bertling anak angkat adalah bukan ahli waris terhadap orang tua yang mengangkatnya, melainkan ia mendapat keuntungan atau hasil sebagai anggota rumah tangga. Juga setelah orang tua meninggal dunia, hak tersebut jalan terus dan harus dipenuhi, walaupun bagian gono-gini tidak mencukupi dari harta yang harus diberikan, andai kata orang tua mempunyai anak kandung.

4) Waris Balu (Janda atau Duda)

Istilah balu di berbagai daerah berarti pria atau wanita karena kematian isteri atau kematian suami, jadi bukan sekedar duda atau janda karena pencaharian hidup.Syarat untuk janda guna mendapatkan kedudukan sebagai ahli waris:

a) Janda harus telah lama hidup bersama dan mengikuti suka duka dalam keluarga

b) Janda, sesudah suami meninggal tidak menunjukan sikap atau cenderung memutuskanhubungan dengan keluarga suami, jika tidak segera kawin lagi, atau pada umumnya tidak menelantarkan anak-anaknya.

Sesungguhnya kedudukan balu sebagai waris atau bukan ahli waris dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dari masyarakat yang bersangkutan dan bentuk perkawinan yang berlaku diantara mereka. Di Indonesia,terdapat 3 (tiga) bentuk sistem kekerabatan, yang sedikit banyak memberi pengaruh terhadap kedudukan janda :

a) Janda dalam sistem patrilineal

Masyarakat patrilineal di Batak, terikat pada sistem patrilineal yang mutlak bersifat genealogis yaitu menarik garis keturunan dari ayah.Corak utama dari masyarakat patrilineal ini adalah perkawinan dengan jujur Pemberian jujur ini oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan adalah sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan kerabatnya dan masuk ke dalam kerabat suaminya. Oleh sebab itu, sepanjang perkawinan dengan jujur itu masih dianggap sebagai suatu peristiwa memutuskan pertalian hubungan si istri dengan kerabatnya, maka kedudukan setelah wafatnya suami, bahwa janda tetap merupakan bagian dari kerabat suami, sehingga nasibnya tidak akan terlantar, serta tetap akan menikmati harta peninggalan suaminya.b) Janda dalam sistem matrilineal

Sistem garis keturunan matrilineal adalah yang menghitung hubungan kekerabatan dari perempuan saja, dan hal itu mengakibatkan tiap individu masuk Dalam kerabat ibunya. Di Indonesia contoh masyarakat matrilineal adalah masyarakat Minangkabau.

c) Janda dalam sistem parentalJangkauan hak mewaris janda, tidak meliputi harta gawan, karena harta gawan jatuh kepada anak-anak. Jadi hak mewaris janda terbatas pada harta gono - gini (harta bersama) yang diperoleh selama perkawinan antara janda dengan almarhum suaminya.

5) Para Waris LainnyaApa yang telah diuraikan diatas adalah mengenai waris anak dan waris balu. Kemudian timbul persoalan bagaimana jika anak sudah wafat lebih dahulu dari pewaris, maka siapakah yang dapat mewarisi warisan tersebut, siapa anggota keluarga yang dapat menjadi pewaris pengganti, apabila waris utama sudah tidak ada lagi.Dilingkungan masyarakat patrilineal atau bergaris kebapakan, sudah jelas bahwa jalur waris adalah anak laki-laki dan keturunan laki-laki kebawah, jika tidak ada anak laki-laki maka anak perempuan yang dapat dijadikan laki-laki atau mengambil laki-laki untuk kemudianmendapatkan keturunan laki-laki. Jika tidak ada sama sekali, dapat mengangkat dapat mengangkat anak laki-laki dari saudara-saudara pewaris yang terdekat atau yang jauh sesuai dengan pemufakatan kekerabatan. Segala sesuatu yang menyangkut pewarisan ini diatur dan diawasi oleh anak laki-laki.Dilingkungan masyarakat matrilineal atau bergaris keibuan, pada dasarnya ahli waris pada kaum perempuan, anak-anak perempuan dan keturunan perempuan. Dan nampaknya jika tidak ada anak perempuan maka anak laki-laki dapat juga dijadikan perempuan atau mengangkat anak perempuan dari saudara-saudara terdekat.Dilingkungan masyarakat parental atau bergaris kebapak-ibuan, yang menjadi waris adalah tidak saja kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan yang ada hubungan pertalian darah dan kekeluargaan dengan pewaris.c. Harta Warisan

Untuk mengetahui bagaimana asal usul dari kedudukan harta warisan apakah dia dapat dibagi atau tidak dapat dibagi, termasuk hak dan kewajiban apa yang terjadi penerusan dari pewaris ahli waris, maka harta warisan ini dibagi dalam empat bagian yaitu :

1) Harta asal

Harta asal adalah semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris sejak mula pertama, baik berupa harta peninggalan ataupun harta bawaan yang dibawa masuk kedalam perkawinan dan kemungkinan bertambah selama perkawinan sampai akhir hayatnya.

Sedangkan harta peninggalan dibedakan menjadi peninggalan tidak terbagi, peninggalan belum terbagi dan peninggalan terbagi. Sedangkan harta bawaan dibedakan menjadi harta bawaan suami dan harta bawaan istri.

a) Harta peninggalan

Harta peninggalan terbagi menjadi :

(1) Peninggalan tidak terbagi

Harta peninggalan tidak terbagi adalah seperti harta pusaka di minangkabau, tanoh buway atau tanoh menyanak di lampung. Biasanya harta kekayaan tersebut merupakan harta peninggalan turun temurun dari zaman leluhur dan merupakan milik bersama sekerabat family, dan biasanya berada di bawah kekuasaan dan pengawasan tua-tua adat.

Kemungkinan tidak terbagi-baginya harta peninggalan itu adalah dikarenakan kepentingan dan kegunaannya sebagai pemersatu kekerabatan :

a) Tidak dapat dibagi-bagikan pemilikan harta pusaka tinggi adalah sebagai wujud dan sifatnya sebagai milik kerabat yang merupakan atribut dari kesatuan hidup kekerabatan adat dibawah pimpinan kepala adat.

b) Tidak dapat dibagi-bagikan pemilikan harta pusaka rendah adalah disebabkan wujud dan sifatnya sebagai milik bersama dari suatu kerabat kecil yang berfungsi dan berperan sebagai tali pengikat kesatuan keluarga-keluarga dibawah pimpinan kepala kerabat bersangkutan, walaupun fungsi dan peranannya sebagai bekal bersama dan untuk bersama sudah lemah.c) Tidak terbagi-baginya harta peninggalan yang bersifat harta keluarga serumah addalah disebabkan maksud dan tujuannya untuk tetap menghormati orang tua yang masih hidup dan menjadikannya sebagai tempat pemusatan berkumpulnya anggota keluarga menjadikannya sebagai tempat kediamaannya.(2) Harta peninggalan terbagi

Dengan terbaginya perubahan-perubahan dari harta pusaka menjadi harta kekayaan keluarga serumah tangga yang dikuasai dan dimiliki oleh ayah dan ibu karena melemahnya pengaruh kekerabatan, maka kenungkinan harta peninggalan yang berupa harta pusaka menjadi terbuka untuk diadakan pembagian, bukan saja terbatas pembagian hak pakai, tetapi juga pembagian hak miliknya sebagai hak perseorangan.

(3) Peninggalan belum terbagi

Harta peninggalan yang dapat dibagi-bagi pada waris adakalanya belum dibagi karena ditangguhkan waktu pembagiannya. Penangguhannya waktu pembagian antara lain disebabkan beberapa hal :

a) Masih ada orang tua

b) Terbatasnya harta peninggalan

c) Tertentu jenis dan macamnya

d) Pewaris tidak punya keturunan

e) Para waris belum dewasa

f) Belum ada waris pengganti

g) Diantara waris belum hadir

h) Belum ada waris yang berhak

i) Belum diketahui hutang piutang pewaris

Dengan ini disebut harta asal atau barang asal maka dibedakan dari harta pencaharian. Harta pencaharian adalah harta yang didapat oleh pewaris bersama istri atau suami almarhum selama didalam ikatan perkawinan sampai putusanya perkawinan karena kematian atau karena perceraian. Jadi harta asal itu seolah-olah sebagian modal pribadi pewaris yang dibawa masuk kedalam perkawinan. Harta peninggalan dapat dibedakan dengan peninggalan yang tidak dapat dibagi, sedangkan harta bawaan istri, diliat dari sudut perkawinan maka baik harta peninggalan maupun harta bawaan adalah keseluruhan harta asal. Sebaliknya dilihat dari sisi pewaris maka keduanya adalah harta peninggalan. Harta tersebut terdiri dari :

(1) Barangbarang sebelum perkawinan

(a) Barang suami atau istri yang telah dipunyai sebelum perkawinan(b) Barang yang dipunyai suami atau sitri karena pembagian harta yang bertalian dengan perkawinan yang diperoleh dari orang tua mereka masing-masing(c) Barang yang diperoleh karena pewarisan(d) Barang yang diperoleh dari pemberian orang tua

(2) Barang-barang selama ikatan perkawinan

(a) Barang yang tiap suami atau istri peroleh karena usaha sendiri tanpa bantuan kawan nikah yang lain

(b) Barang yang karena pemberian bagian harta yang bertalian dengan kematian atau karena pewarisan atau karena pemberian (hadiah) hanya jatuh kepada salah seorang suami ataupun istri saja.

b) Harta bawaan

Harta penantian suami atau istri atau harta bawaan dalam arti sebenarnya dikarenakan masing-masing suami dan istri membawa harta sebagai bekal ke dalam ikatan perkawinan yang bebas dan berdiri sendiri. Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum waris, hamper tidak dapat dihindarkan untuk terlebih dahulu memahami beberapa istilah yang lazim dijumpai dan dikenal. Istilah-istilah dimaksud tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum waris itu sendiri.

2) Harta Pemberian

Harta pemberian adalah juga harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan cinta kasih, balas budi atau jasa karena sesuatu tujuan.

a) Pemberian suami

Sejak terjadinya perkawinan (sah atau tidak sah) ada kemungkinan suami memberikan sesuatu barang atau sejumlah uang yang kemudian dibelikan barang oleh isterinya untuk menjadi milik pribadi isteri. Pemberian suami kepada isteri tesebut termasuk harta bawaan isteri yang jika terjadi putus pperkawinan dapat dibawa kembali oleh isteri.

b) Pemberian Orang Tua

Selama di dalam ikatan perkawinan suami isteri berkemungkinan mendpat pemberian harta benda dari orang tua masing-masing, untuk dipergunakan kedua suami isteri dan anak-anaknya bersama-sama atau menjadi milik pribadi isteri sendiri atau suami sendiri ataupun untuk cucu-cucu tertentu atau secara bersama-sama.

c) Pemberian kerabat

Pemberian kerabat ini dapat berupa harta tetap, rumah atau tanah perkarangan, bidang kebun dan liannya. Pemberian anggota kerabat kepada suatu keluarga suami isteri baru karena cinta kasih, tolong menolong atau karena jasa mungkin terjadi diantara yang mampu member yang tidak mampu.

d) Pemberian anak kemenakan

Pemberia harta oleh anak kemenakan kepada orang tua, ayah ibu kandung atau paman bibi dari ayah atau ibu, tidak saja kepada mereka yang punya keturunan, tetapi juga kepada mereka yang tidak mempunyai keturunan.

e) Hadiah-hadiah

Pada umumnya yang merupakan barang hadiah adalah barang-barang ringan misalnya barang-barang hadiah yang diterima kedua mempelai ketika perkawinan. Barang hadiah perkawinan ini merupakan harta bersama suami isteri.

f) Hibah Wasiat

Pemberian dengan wasiat di lingkungan masyarakat beragama islam merupakan salah satu cara penyimpangan dari pewarisan menurut hukum Islam. Suami isteri baik bersama-sama maupun secara perorangan ada kemungkinan mendapat pemberian harta dengan hibah wasiat yaitu harta yang didapat dari seseorang yang wafat karena sebelum wafat sudah ada pesan. Pesan tersebt biasanya diucapkan dihadapan anggota keluarga yang hadir ketika sakitnya.

3) Harta Pencaharian

Harta pencaharian pada umumnya dimaksudkan semua harta yang di dapat suami isteri bersama selama didalam ikatan perkawinan (minangkabau, harta suarang; Lampung, hartou massou jejamou; Kalimantan Selatan, barang pepantangan; Bugis atau Makassar, cakkara; Bali, druwe gabro; Jawa, gono-gini, sunda, guna kaya).

a) Harta Bersama

Semua pendapatan atau penghasilan suami isteri selama ikatan perkawinan selain dari harta asal dan atau harta pemberian yang mengikuti harta asal adalah harta pencaharian bersama suami isteri. Tidak dipermasalahkan isteri ikut aktif berkerja atau tidak, walaupun isteri hanya tinggal dirumah, mengurus rumah tangga dan anak, sedangkan yang berkerja suami sendiri, namun hasil suami itu adalah hasil pencaharian bersama suami isteri.

b) Harta Suami

Dilingkungan masyarakat patrilineal seperti Batak, Lampung, Bali, pada dasarnya semua harta pencaharian didalam perkawinan adalah dikuasai suami, termasuk harta asal dan harta-harta pemberian yang didapat isteri. Di daerah lain ada kemungkinan suami menguasai dan memiliki harta pencaharian yang didapatnya sendiri terlepas dari harta bersama keluarga suami isteri dan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga memelihara isteri dan anak-anaknya.

4) Harta Isteri

Kedudukan isteri mempunyai harta pencaharian sendiri didapatnya karena ia bekerja dan berusaha sendiri, sebagai buruh tani (petani), pedagang atau karyawan, nampak pada keluarga-keluarga parental yang melakukan perkawinan bebas sederajat ataupun tidak sederajat. Pada dasarnya isteri dengan hak miliknya, ia bebas melakukan transaksi jual beli, pewarisan dan lain sebagainya dengan pihak lain atas harta miliknya walaupun tanpa persetujuan dan bantuan suaminya.

4. Sistem Pewarisan di Indonesia

Mengingat di beberapa daerah di Indonesia terdapat suatu adat yang mana harta peninggalan yang asalnya turun temurun dari beberapa generasi ke generasi berikutnya tidak dapat di bagi-bagikan kepada ahli warisnya. Sehingga akibatnya tidak ada kesetaraan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Disamping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat waris terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu:

a. Sistem kewarisan individual

Sistem pewarisan ini dimana setiap ahli waris mendapatkan pembagian harta warisannya, yang selanjutnya dapat memiliki harta warisan tersebut bagiannya masing-masing. Setelah diadakannya pembagian harta warisan, maka masing-masing ahli waris dapat memiliki bagian warisnya yang lain, anggota kerabat, tetangga, atau orang lain. Sistem pewarisan ini banyak berlaku di kalangan masyarakat yang sifat kekeluargaannya bilateral atau parental, seperti dikalangan masyarakat jawa, atau dikalangan masyarakat lainnya.

b. Sistem kewarisan kolektif

Sistem kewarisan dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemilikannya ke pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan penggunaan dan mendapatkan hasil dari harta peninggalan itu. Sistem kolektif terdapat di minangkabau, batak dan minahasa.

Dengan demikian cara pemakaian untuk kepentingan dan kebutuhan masing-masing ahli waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat.

c. Sistem kewarisan mayorat

Sistem pewarisan mayorat sebenarnya termasuk dalam kolektif. Dalam kewarisan dengan sistem mayorat ini hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak dibagi-bagi dilimpahkan kepada anak yang tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Anak tertua sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang telah meninggal dunia, kewajiban mengurus dan memelihara saudara-saudaranya yang lain terutama bertanggung jawab atas harta warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka dapat berumah tangga dan berdiri sendiri dalam suatu wadah kekerabatan mereka secara turun temurun. Setiap ahli waris dari harta bersama mempunyai hak memakai dan menikmatinya tanpa hak menguasai atau memiliki secara perorangan.

Setelah memperhatikan uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam hukum adat waris dikenal adanya dua macam pewarisan, yaitu:

1) Warisan yang tidak dapat dibagi-bagi

Barang-barang yang tetap tinggal dan tidak dibagi-bagi dimana ahli waris hanya dapat memakai atau menikmati saja.

Misal : Pada masyarakat minangkabau ada harta waris yang tidak dapat dibagi-bagi yang disebut dengan harta pusaka seperti keris, tanah, pekarangan dan rumah, tanah pertanian.

2) Warisan yang dapat dibagi-bagi

Mengenai harta benda yang dapat dibagi ini dapat diminta ahli waris pada waktu orang tua masih hidup, dimana pelaksanaannya sering terjadi setelah anak dewasa atau anak telah mentas. Sistem mayorat ini dua macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut yaitu :

a) Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki sulung ( atau keturunan laki-laki ) merupakan ahli waris tunggal.

b) Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal, adalah ahli waris tunggal.5. Tipe Kekeluargaan

Seperti telah dikemukakan bahwa hukum waris merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Oleh karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sisten keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu :

a. Sistem Patrilineal

Sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris angat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak, yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara kawin jujur yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia.

b. Sistem Matrilineal

Sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk anak-anknya. Anak anak menjadi ahli waris dari garis perempuan / garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada masyarakat minangkabau. Namun demikian, bagi masyarakat minangkabau yang sudah merantau keluar tanah aslinya, kondisi tersebut sudah banyak berubah.

c. Sistem parental atau bilateral

Sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.

Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di atas, jelas bagi kita bahwa hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. 6. Penyelesaian Sengketa Warisan

Cara yang dapat ditempuh apabila ada sengketa mengenai harta warisan adalah sebagai berikut:

a. Musyawarah Keluarga

Sengeketa harta warisan sering terjadi setelah pewaris wafat dan orang-orang tua kebanyakan sudah meninggal dunia. Hal ini dikarenakan para anggota masyarakat adat sudah banyak dipengaruhi alam fikiran serba kebendaan, sebagai akibat kemajuan zaman, dan timbulnya banyak kebutuhan hidup sehingga rasa malu, rasa kekeluargaan, dan tolong menolong sudah semakin surut.Di dalam musyawarah keluarga itu biasanya semua anggota keluarga pewaris almarhum berkumpul atau dikumpulkan oleh salah seorang anggota waris. Kemudian pemimpin pertemuan mengemukakan masalah yang jadi persengketaan. Penggugat dan tergugat langsung dipersilahkan mengemukakan persoalannya dengan sistem replik duplik. Tetapi ,ajelis yang bermusyawarah terlebih dahulu mendengarkan semua anggota, kemudian setelah kesemua hadirin mengemukakan pendapatnya barulah para pihak yang bersengketa mengemukakan pendapatnya.

b. Musyawarah Adat

Apabila di dalam musyawarah keluarga tidak berhasil menciptakan kerukunan dan perdamaian, maka malsah dapat diajukan kepada musyawarah adat ( desa), yang dihadiri oleh tua-tua adat atau para pemuka kerabat seketurunan.

c. Pengadilan

Apabila persengketaan tidak dapat diatasi dengan musyawarah adat, maka masalah dapat di bawa ke hadapan hakim pengadilan, yang sesungguhnya bukan untuk mencari penyelesaian damai dan adil sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, tetapi mencari jalan keadilan menurut perundang-undangan, yurisprudensi dan perasaan hakim.

B. Hukum Waris Adat Batak

1. Pandangan Hidup Masyarakat

Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya. Letak geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan perbedaan kebudayaan yang mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat. Kita dapat melihat hal ini pada suku-suku yang terdapat di Indonesia. Salah satu contohnya adalah suku Batak. Suku batak terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu batak toba, batak simalungun, batak karo, batak pakpak dan batak mandailing.

Definisi adat budaya menurut leluhur orang batak ialah adat do ugari sinihathon ni mulajadi, siradotan manipat ari siulaon di siulubalangsari, dalam bahasa Indonesia adat ialah budaya yang diilhamkan Tuhan Pencipta, yang harus dipelihara setiap saat, dan dilaksanakan atau dilakukan dalam kehidupan.

Dalam hukum waris adat batak, terdapat tiga bagian pokok hukum warisan yang harus dibedakan, yaitu :a. Hak menggantikan (suksesi) menurut keturunan langsung dalam alur laki-lakiHak menggantikan menurut alur laki-laki secara langsung terwujud melalui kelahriran anak lelaki, ia adalah pelaksanaan wajar dari kesinambungan keturunan laki dari galur bapak. Menurut cita orang sebelum menganut suatu agama, kehidupan duniawi para leluhur yang sudah meninggal dilanjutkan oleh anak laki-laki mereka. Karena itu, pewarisan menurut garis lelaki langsung, disebut mangihut-ihuton atau menggantikan, melanjutkan. Lelaki harus mewarisi apa yang ditinggalkan bapaknya, na tinadinghon ni amana, siihuthonon ni anakna.

b. Pertumbuhan atau Percabangan Hak ke Alur Laki SejajarHarta kekayaan mekar kesamping (secara kolateral) jika ia meninggal tidak mempunyai keturunan lelaki. Galur langsung orang seperti ini, na mate panu, menjadi punah. Harta kekayaannnya turun ke anggota galur terdekat, uaris dan sisolhot. Bentuk perolehan hak milik seperti itu di istilahkan manean, orang yang memperolehnya disebut panean.c. Pembagian untuk Anak Perempuan

Berlainan dengan anak lelaki, anak perempuan tidak mempunyai hak tertentu dalam warisan orang tuanya. Tetapi, jika dia dengan baik-baik meminta agar sebagian diberikan kepadanya, maka ahli waris lelaki, putra atau kolateral, harus menyetujui permintaan itu.

2. Sistem Kekerabatan

Pada umumnya masyarakat adat Batak menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu pertalian keturunan yang menurut garis bapak. Bila menarik hubungan kekerabatan, maka ditentukan berdasarkan suatu keturunan yaitu satu ayah, satu kakek atau satu nenek moyang (laki-laki). Untuk mengetahui kelompok kekerabatan, masyarakat adat Batak mengenal dua cara yaitu :a. Marga

Marga adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal).Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. seorang ayah merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam DalihanNa Tolu disebut Dongan Tubu.Menurut buku Leluhur Marga Marga Batak, jumlah seluruh Marga Batak sebanyak416, termasuk marga suku Nias.

b. Tarombo

Tarombo adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga. Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling menanyakan marga dan tarombo. Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling semarga, mardongan sabutuha dengan panggilan ampara atau marhula-hula dengan panggilan lae atau tulang .dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil namboru (adik perempuan ayah/bibi), amangboru/makela (suami dari adik ayah / om), bapatua/amanganggi/amanguda (abang/adik ayah).

Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo. Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga.Ada pula kelompok kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri dari Kuta. Marga tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga. Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang masih berdiam dalam satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya, Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu :a) Perbedaan tingkat umur

b) Perbedaan pangkat dan jabatan

c) Perbedaan sifat keaslian

d) Status kawin3. Harta Warisan Menurut Hukum Adat Bataka. Harta pusaka

Harta warisan yang disebut pusaka di adat budaya batak ialah milik bersama sebagai lambang kekeluargaan dan persaudaraan saompu atau semarga. Harta pusaka yang seperti ini tidak dapat dibagi dan inilah yang disebut pusaka tinggi. Harta pusaka tinggi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Golat

Dinamai golat atau tanah marga ialah lahan yang milik kelompok turunan atau marga. Golat atau tanah marga ini disebut juga tanah adat. Biasanya golat, tanah marga atau tanah adat ini dijadikan tempat perburuan, tempat menggembalakan ternak.Penduduk yang tinggal di areal tanah adat atau tanah marga ini disebut sada ulaon atau saparadatan. Penduduk yang saparadatan itu lazim juga dinamai sahorja.

2) Jabu silaon

Jabu silaon adalah rumah pertama yang didirikan leluhur sipemilik tanah adat tersebut. Disebut juga namanya jabu parsantian yaitu untuk tempat berkumpul sesama pemilik golat mengadakan ibadah memuja mulajadi nabolon.

Di beberapa tempat jabu silaon tidak dikenal, yang dikenal ialah jabu parsantian, yaitu rumah satu ompu yang selalu dipelihara dengan baik dan dijadikan tempat berkumpul sesama bersaudara pada acara-acara tertentu.

3) Homban

Homban adalah lahan mula-mula yang diusahakan pencipta golat atau tanah marga tersebut. Biasanya homban itu ditengah persawahan dan inilah salah satu bukti bahwa orang batak berbudaya hauma ( sawah).

Ada juga yang mengatakan bahwa homban itu adalah nama sejenis mata air yang disekitarnya ditanami bunga-bungaan dan pohon beringin. Mata air yang disebut homban ini adalah milik satu submarga atau satu ompu.

4) Tambak

Tambak adalah kuburan keluarga yang ditandai dengan pohon beringin. Dimana ada tambak leluhur satu marga atau satu ompu itu berarti tanah disekitarnya itu adalah tanah keturunannya. Tambak kini sudah menjadi batu na pir yaitu bangunan semen tempat menguburkan mayat dan menyimpan saring-saring keturunan satu ompu.

b. Harta Pemberian

Dalam masyarakat adat Batak mengenal sebutan panjaean dan pauseang, panjaean merupakan harta yang diberikan oleh orang tua kepada anak laki-lakinya sebagai modal pertama untuk mengayuh rumah tanggaanya, sedangkan pauseang merupakan harta yang diberikan kepada anak perempuan sebagai modal perkawinan.

Orang tua yang mampu member panjaean berupa tanah untuk berdikari agar memiliki modal dalam mengayuh rumah tangganya, pada awalnya panjaean berupa tanah, namun panjaean bisa diganti dengan rumah, mobil, atau berupa uang modal usaha.Tetapi ada juga yang berprinsip, menyekolahkan anak sampai bertitel dan sampai memperoleh pekerjaan tetap, sudah dianggap sebagai panjaean dan pauseang.Bila anak perempuan itu tidak dikawinkan secara adat, misalnya kawin lari atau hanya pesta adat, maka perempuan itu tidak berhak menerima pauseang. Biasanya pemberian pauseang itu dilakukan setelah diadakannya pesta mangadati.

4. Pokok-pokok Hukum Waris Adat BatakHukum waris adat Batak (simalungun) menganut hukum waris mayorat laki-laki, yaitu hanya laki-laki yang mendapatkan hak penguasaan waris. Suku batak adalah patriarhat, yaitu tata kekeluargaan yang mengikuti garis keturunan bapak. Di adat Batak anak laki-laki itu disebut tampuk ni pasu-pasu , ihot ni ate-ate, tumtum ni siubeon. Artinya anak laki-laki itu adalah segalanya, sangat berharga.

Seseorang lelaki Batak yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk memiliki anak laki-laki, maka dia mengambil (mangain) anak abang atau adiknya dan disahkan secara adat sebagai anaknyaMasyarakat adat Batak mengenal istilah napupur dan napunu. Napupur adalah seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak laki-laki dan anank perempuan. Napunu adalah seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak laki-laki tetapi meninggalkan anak perempuan. Apabila seseorang meninggal dengan tidak mempunyai anak laki-laki dan perempuan, maka harta warisannya jatuh kepada saudara kandungnya ( abang adik seayah seibu) atau dalam bahasa batak disebut dengan panean.Dalam sistem perkawinan masyarakat hukum adat Batak (simalungun) yang menganut sistem keturunan patrilineal yaitu didasarkan atas pertalian darah menurut garis bapak. Oleh karena itu perkawinan dalam sistem ini mengakibatkan si isteri tersebut akan menjadi warga masyarakat dari pihak suaminya. Corak utama dari perkawinan masyarakat Batak ialah disertai pembayaran perkawinan. Maksud dari pembayaran perkawinan (jujur) oleh pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan, merupakan pihak pertanda bahwa hubungan kekeluargaan si isteri dengan orang tuanya, saudara-saudaranya bahkan masyarakatnya telah diputuskan.5. Penyelesaian Sengketa Adat Dalam Pewarisan Masyarakat Adat Batak

Di Indonesia, musyawarah keluarga serumah dilingkungan masyarakat parental, patrilineal atau matrilineal merupakan kebiasaan yang berfungsi dan berperanan dalam memelihara dan membina kerukunan hidup kekeluargaan. Di masa sekarang, sengketa harta warisan tidak saja terjadi di kalangan masyarakat parental, tetapi juga di masyarakat patrilineal dan matrilineal, hal ini dikarenakan para anggota masyarakat adat sudah lebih banyak dipengaruhi alam fikiran serba kebendaan, sebagai akibat kemajuan zaman dan timbulnya banyak kebutuhan hidup, sehingga rasa malu, rasa kekeluargaan dan tolong menolong sudah semakin surut.

Dalam pembagian warisan perlu diperhatikan, bahwa harta peninggalan tidak akan dibagi-bagi sepanjang masih diperlukan untuk menghidupi dan mempertahankan berkumpulnya keluarga yang ditinggalkan. Tetapi dalam kenyataannnya, seringkali timbulnya sengketa warisan diantara anggota-anggota keluarga yang ditinggalkan, apabila para pihak yang diberi hak untuk menguasai harta peninggalan seringkali menganggap bahwa harta tersebut merupakan hak atau bagian warisnya.Pada masyarakat adat batak simalungun apabila terjadi suatu sengketa, dalam hal penyelesaian sengketa adatnya selalu mencari jalan keluar dengan cara kekeluargaan dan musyawarah mufakat yang menghasilkan suatu keputusan-keputusan yang dihormati warganya. Terdapat dua macam musyawarah yang biasanya dilakukan oleh masyarakat adat Batak, yaitu :

a. Marhata (Musyawarah Keluarga Terbatas)Marhata sebagai suatu institusi adat bisa diselenggarakan kapan saja, ketika ada peristiwa penting dalam kehidupan seorang Batak yang menyangkut keluarga (perkawinan, kematian), termasuk bila terdapat perselisihan atau sengketa. Pada hakekatnya marhata selalu terintegrasi dalam upacara adat, dan merupakan bagian dalam setiap upacara adat, karena marhata diperlukan ketika membicarakan rencana adat dan pelaksanaan upacara, termasuk cara member restu (pasu-pasu) dan petuah kepada mereka yang hadir. Namun marhata dapat diadakan tanpa berkaitan dengan upacara tertentu, bila sewaktu-waktu diperlukan,khusunya bila terjadi perselisihan.

Marhata yang dilakukan setelah upacara pemakaman untuk membicarakan segala hal mengenai orang yang meninggal, termasuk pembagian waris, misalnya, harus dihadiri olehu unsure-unsur dalam Dalihan Na Tolu. Dalam hal ini bila orang yang meninggal adalah laki-laki, maka unsur pertama adalah tulang dari orang yang meninggal. Kedua adalah kerabat semarga dari orang yang meninggal dan ketiga adalah bapak mertua dari orang yang meninggal, atau hula-hula.b. Punguan Marga (Musyawarah Adat)

Pada prinsipnya punguan marga, bisa juga berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara sesame warga kelompok marga atau punguan tersebut, atau dengan warga dari kelompok marga atau punguan lain. Pada umumnya kasus-kasus yang dibawa ke punguan marga adalah yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan perceraian, tetapi hanya sedikit masalah waris.

Pada umumnya orang malu membawa kasus perkara waris ke punguan marga karena takut perkara malah menjadi besar karena diketahui oleh orang se-marga atau bila harta yang disengketakan tidak besar maka malu bila diketahui orang banyak.

14

Jahutar Damanik, Jalannya Hukum Adat Simalungun, (Medan: P.D.Aslan. 1974), h.197.

Soerjono Soekanto. Yusuf Usman, Kedudukan Janda menurut Hukum Waris Adat ,cet I (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 71.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,cet III ( Jakarta : Universitas Indonesia, 1986), h.52.

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, cet II ( Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal . 259.

Ibid., h. 260

Surojo Wignjodiporo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat , cet VII ( Jakarta: Haji Masagung, 1988), hal.165

Soerjono Soekanto & Yusuf Usman, Op.Cit.,h. 45

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat ( Bandung: Alimni, 1980 ), h. 94

Soerjono Soekanto, Op.Cit.,h. 240

Hilman hadikusuma, Op.Cit.,h.46

J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak, cet I ( Jakarta: Pustaka Azet, 1986), h.297.

Eman Suparman., Op.Cit., hal.2

Ibid.

ibid

Ibid.

Ibid.

R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ( Jakarta: Pradnya Paramitha, 2004), hal.274.

Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 9

Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 8-9.

Ibid., Hal. 2.

Ibid., Hal. 3.

Ibid

Eman Suparman., Op.Cit, hal. 61-62

Hilman Hadikusuma., Op.Cit., hal.27.

Ibid., hal. 67.

Ibid., hal.68.

Ibid., hal. 69.

Ibid., hal. 71.

Ibid.

Ibid., hal. 73.

Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, ( Bandung: Alumni, 1930, hal. 55.

Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris, ( Jakarta : Pustaka Yustisia, 2010), hal.8.

Hilman Hadikusuma., Op.Cit., hal.79.

Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, ( Jakarta: Pradnya Paramitha, 1981), hal. 53.

Otje Salman., Op.Cit., hal. 49-50.

Soerjono Soekanto & Yusuf Usman, Op.Cit.,hal. 22.

Hilman hadikusuma, Op.Cit.,hal. 46.

Ibid., hal.48.

Ibid., hal. 51-52.

Ibid., hal.52.

Ibid., hal.54.

Ibid., hal.47

Ibid., hal 56.

Ibid., hal.61.

Ibid.

Ibid., hal.63.

Ibid., hal.64.

Ibid., hal.66.

Ibid., hal.68.

Ibid.

Ibid., hal.70.

Ibid.

Ibid., hal.71.

Ibid., hal.73.

Hilman Hadikusuma., Op.Cit., hal. 24.

Ibid., hal.25.

Ibid., hal. 28.

Hilman Hadikusuma., Op.Cit., hal.127 et seq.

H.P.Panggabean & Richard Sinaga, Hukum Adat Dalihan Na Tolu Tentang Hak Waris , cet 1.(Jakarta : Dian Utama,2004), hal.90.

J.C.Vergouwen, Op.Cit.,hal.297-298.

H.P.Panggabean & Richard Sinaga, Op.Cit., hal. 50.

Ibid., hal. 111.

Ibid.

Ibid., hal. 112.

Ibid.

Ibid., hal. 113.

Ibid., hal.98.

Ibid., hal.30.

Ibid., hal 34.

Sulistyowati Irianto, Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal 104-105.

Ibid., hal. 102.

Ibid.

1