bab i

22
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia Negara kepulauan dan Nelayan Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Semua fakta geografis yang menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara pantai, menempatkannya juga sebagai negara dengan populasi nelayan yang patut diperhitungkan. Nelayan adalah suatu komunitas yang harus ada di dalam negara kepulauan. Sehingga, tanpa nelayan, negara kepulauan akan kehilangan hak tradisional yang diamanatkan UNCLOS 1982. Karena, dengan keberadaan nelayan, negara kepulauan dapat mengklaim hak tradisionalnya terhadap negara tetangganya apabila perlu untuk mendapatkan hak tradisional melintasi wilayah laut yurisdiksi negara tetangga. Dengan demikian, menjadi penting dan berjalin-kelindan hubungan atau pengaruh nelayan terhadap negara kepulauan. Hak Penangkapan Ikan Secara Tradisional (Traditional Fishing Right), yaitu hak yang diberikan kepada nelayan- nelayan tradisonal negara tetangga untuk menangkap ikan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral. Mengenai hal ini sudah diatur berdasarkan perjanjian bilateral sesuai ketentuan- ketentuan dalam perjanjian tersebut dan ketentuan Hukum Laut Internasional (HLI). 1 1 Departement Kelautan dan Perikanan, Analisis Kebijakan tentang Pembentukan Badan Pembentukan Hukum, Keamanan dan Keselamatan Laut , 2008,

Upload: nanda-saraswati

Post on 03-Jul-2015

267 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia Negara kepulauan dan Nelayan Republik Indonesia adalah negara

kepulauan terbesar di dunia. Semua fakta geografis yang menjadikan Indonesia sebagai

negara kepulauan dan negara pantai, menempatkannya juga sebagai negara dengan

populasi nelayan yang patut diperhitungkan. Nelayan adalah suatu komunitas yang

harus ada di dalam negara kepulauan. Sehingga, tanpa nelayan, negara kepulauan akan

kehilangan hak tradisional yang diamanatkan UNCLOS 1982. Karena, dengan

keberadaan nelayan, negara kepulauan dapat mengklaim hak tradisionalnya terhadap

negara tetangganya apabila perlu untuk mendapatkan hak tradisional melintasi wilayah

laut yurisdiksi negara tetangga. Dengan demikian, menjadi penting dan berjalin-

kelindan hubungan atau pengaruh nelayan terhadap negara kepulauan.

Hak Penangkapan Ikan Secara Tradisional (Traditional Fishing Right), yaitu hak

yang diberikan kepada nelayan-nelayan tradisonal negara tetangga untuk menangkap

ikan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral.

Mengenai hal ini sudah diatur berdasarkan perjanjian bilateral sesuai ketentuan-

ketentuan dalam perjanjian tersebut dan ketentuan Hukum Laut Internasional (HLI).1

Salah satu kasus yang menjadi persoalan adalah ketika Pemerintah Australia

melakukan operasi besar-besaran terhadap para pelaku illegal fishing yang dinamakan

“Clean Water Operation” dari tanggal 12-21 April 2005. Berdasarkan informasi yang

didapat dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), bahwa kapal-kapal nelayan

Indonesia yang berhasil ditangkap ukurannya sangat beragam, dari yang skala kecil

hingga skala besar, yang didialamnya termasuk nelayan tradisional Indonesia yang

selama ini sudah turun temurun diakui mempunyai hak eksklusif, yaitu traditional

fishing rights (hak perikanan tradisional) di beberapa wilayah perairan Australia.

Indonesia dan Australia sebenarnya telah mempunyai MOU tentang

“Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the

Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian

Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental

1 Departement Kelautan dan Perikanan, Analisis Kebijakan tentang Pembentukan Badan Pembentukan Hukum, Keamanan dan Keselamatan Laut, 2008, hlm.7

Page 2: BAB I

Shelf” pada tanggal 7 November 1974. Dengan demikian, MOU 1974 tersebut dapat

dijadikan sebagai landasan hukum bagi nelayan tradisional Indonesia untuk melakukan

kegiatan penangkapan ikan dibeberapa zona perikanan eksklusif Australia beserta

landas kontinennya. Adapun zona perikanan yang diperjanjikan kedua negara ini adalah

meliputi, Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet.

Artinya, di wilayah ini, Pemerintah Australia tidak akan menerapkan peraturan

perikanananya kepada nelayan tradisional Indonesia.

Berdasarkan MOU 1974 tersebut, makanya Australia mengakui nelayan

tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di beberapa wilayah perairannya, karena

selama beberapa dekade, mereka telah melakukannya di sekitar perairan Australia

secara tradisi tanpa mendapatkan hambatan atau larangan. Dengan demikian, hak

perikanan tradisional di zona perikanan Australia merupakan satu-satunya hak

perikanan tradisional yang diakui secara resmi.2

Namun, tidak lama kemudian kesepakatan formal tersebut terganggu oleh karena

pemerintah Australia mengeluarkan UU Cagar Alam Australia  (National Park and

Wildlife Conservation), 16 Agustus 1984. Larangan sepihak itu menuntut adanya

amandemen terhadap MoU 1974 pada tahun 1986 pemerintah Australia mengusulkan

amandemen terhadap MOU 1974. Inti usulan amandemen tersebut antara lain :

(1) larangan nelayan-nelayan Indonesia untuk mendarat di Ashmore Reef;

(2) larangan mencari ikan dan organisme laut yang menetap di Ashmore Reef;

(3) sebagai gantinya pemerintah Australia mengusulkan tempat yang lebih luas

di wilayah perairan Australia.

Penentuan batas sepihak tersebut dapat ditolak pemerintah Indonesia karena

bertentangan dengan pasal 39, Hukum Perjanjian Internasional 1969.  Penentuan batas

laut suatu negara harus selalu dilakukan dengan kesepakatan negara-negara tetangga.

Pengaturan tentang penentuan suatu wilayah berbatasan, baik di laut dan darat

mewajibkan adanya suatu kesepakatan Negara-negara tetangga seperti yang ditegaskan

dalam UNCLOS 1982, yaitu “penentuan batas wilayah laut suatu Negara harus

dilakukan dengan suatu kesepakatan bilateral  yaitu dengan melibatkan Negara Negara

tetangga (neighboring countries). 3 Tumpang tindih pengaturan tersebut diperparah oleh 2 Akhmad Solihin, Illegal Fishing dan Traditional Fishing Rights, Dimuat di Koran Harian

Sore Sinar Harapan, 11 Mei 2005

3 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982, pasal 98

Page 3: BAB I

penetapan Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil. Karena itu, batas yurisdiksi

teritorial laut 12 mil dan ZEE di buat menimbulkan ketidakpastian bagi nelayan-

nelayan.

Dengan adanya perjanjian bilateral antar negara tetangga tersebut tidak serta

merta menyebabkan hilangnya masalah terhadap hak penangkapan ikan tradisional.

Masih banyak masalah yang timbul terutama mengenai persepsi tentang istilah

“tradisional” itu sendiri. Adanya perbedaan persepsi Perbedaan persepsi tentang

penangkapan secara tradisional yang telah disepakati pemerintah Indonesia dan

Australia melalui MoU Box pada tahun 1974 sering menimbulkan permasalahan pada

nelayan Indonesia. Masalah perbedaan persepsi tentang cara penangkapan tradisional

DKP dengan Departemen Pertanian dan Perikanan Australia tersebut juga menimbulkan

masalah pelanggaran perbatasan diantara kedua negara.

Traditional fishing rights antara Indonesia-Australia merupakan kebiasaan yang

mendapatkan pengakuan dalam Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut

Internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982).

Sayangnya, kedua Negara secara sungguh-sungguh belum pernah sepakat tentang

“nelayan tradisional” tersebut.

B. PERMASALAHAN

1. Sejauh mana Indonesia dan hukum internasional mengakui hak penangkapan

ikan tradisional atau traditional fishing rights?

2. Apa parameter atau batasan untuk menentukan hak penangkapan ikan termasuk

kategori tradisional?

BAB II

Page 4: BAB I

PEMBAHASAN

1. Pengaturan Hak Penangkapan Ikan Tradisional

Aturan mengenai hak perikanan tradisional yang tertuang dalam UNCLOS 1982

sangat sedikit, yaitu dalam satu pasal, yaitu Pasal 51 yang isinya “Tanpa mengurangi

arti pasal 49, negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara

lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara

tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam

perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian,

termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah di mana hak dan kegiatan demikian

berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan

perjanjian bilateral antara mereka. Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi

dengan negara ketiga atau warga negaranya”.

Menyimak Pasal 51 UNCLOS 1982, hak perikanan tradisional tidak diperoleh

secara otomatis. Hak itu dapat diperoleh oleh suatu negara dengan berbagai syarat dan

ketentuan teknis yang diatur dalam perjanjian bilateral kedua negara sebagaimana yang

diamanatkan UNCLOS 1982, seperti sumber daya ikan apa yang boleh ditangkap,

dengan alat tangkap apa, dimana kegiatan penangkapan (fishing ground) harus

dilakukan dan lain sebagainya.

Dengan demikian, hak perikanan tradisional tidak serta-merta melekat menjadi

hak setiap nelayan di suatu negara kepulauan. Ini mengingat ada syarat dan perjanjian

bilateral yang menjadi alat legitimasi. Dengan demikian, hak perikanan tradisional tidak

serta-merta melekat menjadi hak setiap nelayan di suatu negara kepulauan. Ini

mengingat ada syarat dan perjanjian bilateral yang menjadi alat legitimasi. Begitu pula

Agenda 21 pasal 17 tentang perlindungan global terhadap laut juga merujuk pada

perlunya berkonsultasi dengan nelayan lokal (indigenous people) dan melindungi akses

mereka terhadap sumberdaya. Sementara itu Convention on Biological Diversity

meminta pemerintah agar melindungi dan meningkatkan praktek-praktek budaya

tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya biologi. Juga, Convention on the

Conservation of Migratory Species of Wild Animals mengijinkan nelayan local

menangkap spesies-spesies yang bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya.

Page 5: BAB I

Dan, seperti dirinci Tsamenyi dkk (2000) setidaknya ada 17 peraturan internasional

yang mendukung pengakuan HPT tersebut.

Terkait dengan ini, kita mesti mengingat pernyataan Prof Hasjim Djalal bahwa

traditional fishing rights (hak perikanan tradisional) harus dibedakan dengan traditional

rights to fish (hak menangkap ikan). Hal ini dikarenakan, traditional rights to fish

diartikan bahwa setiap negara secara tradisional atau hukum berhak menangkap ikan di

laut bebas, tanpa memerhatikan apakah mereka memang pernah atau tidak

melaksanakan hak itu. Traditional fishing rights diartikan bahwa hak menangkap ikan

tersebut timbul justru karena di dalam praktik, mereka telah melakukan penangkapan-

penangkapan ikan di perairan-perairan tertentu. Dengan kata lain, hak perikanan

tradisional muncul karena suatu masyarakat nelayan telah melakukan kegiatannya

secara turun-temurun dan berlangsung lama. Dari penjelasan diatas dapat ditarik

kesimpulan bahwa secara internasional hak-hak nelayan tradisional yang dalam hal ini

adalah masyarakat nelayan telah dilindungi hak-haknya. Sehingga hanya diperlukan

eksitensi dari regulasi internasional ini dalam melindungi pengelolaan berbasis

masyarakat.

Pengakuan Traditional Fishing Rights di Indonesia

Di Indonesia sebenarnya pada jaman Belanda, HPT diakui. Lihat, misalnya, di

Staatblad 1916 No 157 tentang siput mutiara, tripang, dan terumbu karang pada Pasal 2

diakui eksistensi HPT nelayan local. Begitu pula pada Staatbald 1927 No 145 yang di

dalamnya dimuat larangan menangkap ikan paus dalam perairan 3 mil dari garis pantai,

kecuali bagi nelayan yang telah melakukannya secara turun temurun. Pasca

kemerdekaan, juga ada UU Pokok Agraria 1960 Pasal 16 Ayat 2 yang menyebutkan

adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan. Namun sayangnya, pasal ini kurang

dieloborasi dan diimplementasikan secara memadai, meski pada pasal sebelumnya

ditegaskan adanya pengakuan terhadap hak ulayat termasuk di laut. Memasuki Orde

Baru, persoalan menjadi lain karena sentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan

benar-benar terjadi. Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU

Pemerintahan Desa 1979 yang menyeragamkan struktur desa. Padahal sebelum itu

desa-desa di Indonesia sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi kepentingan

adat. Juga UU Perikanan 1985 tidak menyebutkan soal eksistensi HPT. Tapi, pada

Page 6: BAB I

era ini ada Kepmentan No 607/1976 tentang jalur-jalur penagkapan ikan dimana ada

perlindungan terhadap nelayan dengan kapal di bawah 5 GT dan 10 PK. Tujuan

mulia ini kurang berhasil karena memang berada dalam desain pengelolaan yang

sentralistik.

Di era reformasi ini muncul UU 22/1999 yang lalu disempurnakan menjadi UU

32/2004 serta UU Perikanan No 31/2004. Di dalamnya tidak disebutkan adanya

perlindungan terhadap HPT, namun hanya dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas

menangkap ikan di seluruh wilayah. Namun nelayan kecil seperti apa yang dimaksud,

memang masih butuh penjelasan. Meski secara tersirat nelayan kecil itu adalah mereka

yang tidak terkena kewajiban memiliki ijin usaha perikanan dan pungutan. Yakni, yang

armadanya kurang dari 5 gross ton atau di bawah 15 PK. Karena itu, saya melihat

pasal ini punya niat yang mulia untuk melindungi nelayan kecil, namun pasal ini belum

memperhatikan fakta sosiologis bahwa nelayan kecil dimanapun memiliki de facto-

property right (termasuk exclusion right), sehingga kalau pun nelayan kecil dibebaskan

melaut ke seluruh wilayah, tetap perlu merujuk pada realitas tersebut. Seperti, nelayan

andon biasanya diijinkan memiliki access right dan withdrawal right dengan berbagai

persyaratan baik tertulis maupun tak tertulis. Secara sepintas, dalam UU No. 31/2004

tentang Perikanan terlihat bahwa ada keberpihakan pemerintah terhadap nelayan kecil,

seperti pemberdayaan. Namun ternyata bila dikaji secara lebih detail dan mendalam,

undang-undang tersebut masih belum memperlihatkan pelindungan terhadap nelayan

kecil dan tradisional. UU No. 31/2004 tidak memberikan kesempatan lebih kepada

nelayan kecil dan tradisional, baik dalam menghadapi persoalan terbatasnya akses

pemanfaatan sumberdaya ikan, menghadapi persaingan dengan dengan pengusaha

perikanan, mengatasi irama musim yang tidak menentu serta mengatasi kesulitan

pemasaran karena kualitas ikan tangkapan yang cepat sekali busuk (perishable).4

Karena itu, perlindungan terhadap nelayan kecil tidaklah bersifat independen,

melainkan terkait dengan desain institusi pengelolaan sumberdaya secara komprehensif.

Sehingga ada beberapa agenda penting. Pertama, dalam RPP pemberdayaan nelayan

nanti perlu ditegaskan kembali pengakuan terhadap HPT dengan penjelasan beberapa

indikator pokoknya sehingga memudahkan Pemda dalam menerjemahkannya ke dalam

4 Akhmad Solihin, Nelayan, Hak Tradisional dan Negara Kepulauan, Dimuat di Koran Harian Sore Sinar Harapan, 7 November 2006

Page 7: BAB I

Perda. HPT ini dimaksudkan untuk kelangsungan tradisi secara turun temurun dan

dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi nelayan lokal. Pengakuan HPT ini

bisa didesain dengan model TURF (Territorial Use Right in Fisheries) yang sebenarnya

saat ini secara de facto ada, seperti halnya sasi laut di Maluku, namun belum diakui

secara de-jure sebagaimana di Jepang. Kedua, pengakuan eksistensi HPT juga mesti

diikuti dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya secara lebih luas,

sehingga tidak saja -meminjam istilah Ostrom (1990)-- hak akses dan hak mengambil

sumberdaya (access and withdrawal rights) yang diberikan, tetapijuga hak pengelolaan

(management right) dan hak mengeluarkan (exclusion right). Apa artinya diberi HPT

tapi tak ada hak untuk mengatur. Dengan hak kepemilikan sumberdaya yang lengkap

seperti itu, posisi nelayan lokal menjadi kuat karena otoritasnya sebagai pengelola

sumberdaya laut diakui. Jadi makna HPT mesti diperluas dari sekedar hak menangkap

ikan. Ketiga, bagaimana pun adanya devolusi kewenangan ke nelayan lokal untuk

mengelola sumberdaya mensyaratkan organisasi nelayan yang tangguh, termasuk di

dalamnya dalam membangun kesepakatan antar komunitas/organisasi nelayan dalam

rangka pengelolaan sumberdaya bersama maupun resolusi konflik.5

2. Unsur-unsur Hak Penangkapan Ikan Tradisional

Terkait dengan hak-hak tradisional nelayan Indonesia, pemerintah kedua negara

telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) mengenai akses nelayan tradisional

Indonesia ke Ashmore Islands pada November 1974. Sesuai dengan kesepakatan yang

kemudian dikenal dengan sebutan MoU Box 1974, Australia tetap mengakui hak para

nelayan tradisional Indonesia yang telah sejak berabad-abad lampau mencari

penghidupan dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat dan di sekitar

gugusan pulau karang negara itu. Australia tetap mengizinkan nelayan tradisional

Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang

telah disepakati kedua negara dalam perjanjian tersebut.

Berdasarkan nota kesepahaman (MoU) 1974 itu, kawasan yang disepakati

Australia dan Indonesia dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia adalah

5 Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan : Pengakuan Hak Penangkapan Tradisional, Dimensi

Baru Pemberdayaan Nelayan, PT Lkis Printing Cemerlang, Yogyakarta, hlm.348

Page 8: BAB I

kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore,

Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.

Namun, setelah kesepakatan kedua negara tersebut disetujui muncul perbedaan

persepsi tentang cara penangkapan tradisional di masing-masing negara. Selama ini

pihak Australia berpendapat bahwa nelayan tradisional adalah mereka yang

menggunakan semacam sampan dan bukan perahu besar. Selain itu, Pemerintah

Australia tidak mengakui jika perahu yang digunakan berukuran besar dan

menggunakan mesin. Cara tangkap yang disetujui adalah yang tidak menggunakan alat

tangkap yang dibenamkan ke laut seperti jala. Selain teripang nelayan tradisional yang

kebanyakan dari Pulau Rote itu juga hanya boleh menangkap ikan pelagis yang muncul

di permukaan saja. Kriteria kapal tradisional bagi Australia adalah perahu dayung

ataupun kapal layar dengan alat tangkap yang tradisional. Kapal-kapal nelayan yang

sudah dilengkapi alat Global Positioning System (GPS) dan mesin pendeteksi ikan,

tidak termasuk kategori nelayan tradisional. Bagi Australia, nelayan yang mencari ikan

dengan kapal-kapal yang dilengkapi GPS dan mesin pendeteksi ikan tidak termasuk

nelayan tradisional.

Sedangkan, menurut Indonesia, nelayan yang bersifat tradisional, sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1 (11) UU No 31 Tahun 2004, yaitu nelayan yang hanya

mencari ikan untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, biasanya nelayan ini dalam

usahanya menangkap ikan hanya berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada

sejak turun-temurun, baik itu mengenai jenis alat tangkap dan wilayah tangkapannya.

Nelayan tradisional Indonesia kebanyakan tidak memahami adanya batasan wilayah laut

yang tidak boleh dilakukan penangkapan ikan. Sehingga sering sekali kasus

ditangkapnya nelayan Indonesia oleh petugas keamanan negara asing terjadi.6 Indonesia

menggolongkan kapal tradisional berupa kapal layar ataupun kapal motor tempel

berkapasitas di bawah 5 gros ton (GT). Selain itu, nelayan tradisional dimungkinkan

memiliki peralatan navigasi.

Untuk dapat dianggap termasuk kategori traditional fishing rights, haruslah

diperhatikan beberapa ketentuan, yaitu :7

6 Yeny Sri Wahyuni, Perlindungan Hukum Bagi Nelayan Tradisional Indonesia7 Hasjim Djalal, Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut

Internasional, Makalah Terbatas Lemhanas, 1988, Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982

Page 9: BAB I

a. nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di

suatu perairan tertentu;

b. nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat tertentu secara tradisional;

c. hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu; dan

d. mereka yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan yang

secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut.

Dengan demikian, untuk dapat dikategorikan sebagai hak perikanan tradisional

haruslah memenuhi empat kriteria, yaitu nelayannya, daerah yang mereka kunjungi,

kapal atau alat tangkap yang mereka gunakan, dan jenis ikan yang ditangkap.

Sedangkan menurut Syahmin, ada beberapa persyaratan nelayan tradisional

mendapatkan hak tradisionalnya (Traditional fishing right), Syahmin menyebutkan

beberapa syarat tersebut, yaitu:8

a. Dilakukan terus-menerus dan turun-temurun sekurang-kurangnya selama

4 generasi dan oleh pribumi dari negara tetangga dekat”. Maksudnya, nelayan

tersebut harus terus menerus melakukan kegiatannya sebagai nelayan disuatu

kawasan tertentu yang disepakati bersama kedua negara dan kegiatan tersebut

dilakukan secara turun temurun oleh penduduk asli kedua negara yang lautnya

berbatasan langsung.

b. Nelayan harus menggunakan alat tangkap ikan yang bersifat selektif dan

non statis serta tidak termasuk alat-alat terlarang di Indonesia (disebutkan juga

jumlah awak kapal, jenis alat tangkap dan areanya).

c. Harus dilakukan oleh perseorangan dan bukan berbentuk perusahaan,

dan harus memenuhi peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Nelayan yang

dimaksud adalah nelayan perorangan atau kelompok nelayan yang tidak

berbentuk perusahaan dengan mentaati semua kaidah hukum yang berlaku di

Indonesia.

d. Namun hal terpenting adalah adanya perjanjian Bilateral Pemerintah

Indonesia dan pemerintah Negara tetangga yang lautnya berbatasan langsung

dengan laut Indonesia sebagai pengakuan hak-hak nelayan tradisional.

8 Syahmin, Beberapa perkembangan dan masalah hukum laut internasional: sekitar

penegakan hukum di perairan yurisdiksi nasional Indonesia dewasa ini, Bina Cipta, 1988, hlm.41

Page 10: BAB I

Perjanjian Bilateral tersebut menjadi dasar hukum perlindungan bagi nelayan

tradisional, dengan demikian dapat mengurangi kasus penangkapan nelayan

Indonesia oleh petugas keamanan negara asing.

Yang sering menjadi berita adalah persoalan hak nelayan tradisional Indonesia

yang ada di sekitar pulau Ashmore. Bagi nelayan setempat, pengegakan hukum yang

keras oleh Australia sering di tapsirkan sebagai Negara tetangga yang tidak punya rasa

kemanusiaan; sementara pihak Australia melihatnya dari sisi lain, mereka percaya yang

memanfaatkan hak tradisional itu bukanlah nelayan tradisional dari warga sekitarnya,

tetapi nelayan bermodal dan bahkan sering memanfaatkannya untuk menyelundupkan

orang ke Australia. Faktanya, memang kedua Negara tetap belum menemukan solusi

yang pas untuk pengelolaan bersama di wilayah tersebut.

Namun demikian, terbukti bahwa beberapa kelompok nelayan Rote, Madura dan

Sulawesi ada yang secara turun temurun, telah menangkap ikan atau mencari tripang

dan lola di P.Pasir. Bahkan makam nenek moyangnya juga ada di sana. Sesuai dengan

ketentuan internasional, maka termasuk yang memiliki hak penangkapan ikan

tradisional. Oleh karenanya, kesepakatan dibuat bahwa wilayah tersebut adalah

yurisdiksi kedaulatan Australia, namun nelayan tradisional dari Indonesia tersebut

memiliki hak menangkap ikan di sana, asalkan masih sesuai dengan upaya pelestarian

sumberdaya yang ada.

Solusi atau alternatif penyelesaian sengketa

Dalam MoU Box hanya dilihat dari tingkat teknologi yang digunakan, yakni

nelayan dengan perahu kecil, tanpa motor dengan peralatan yang sederhana. Kini

muncul wacana, bagaimana dengan nelayan Rote, Madura atau Buton yang telah turun

temurun menangkap ikan di wilayah tradisionalnya tersebut, namun ingin menerapkan

peralatan yang agak maju. Akan tetapi harus dicegah pula nelayan Indonesia kawasan

lain, yang secara komersial berupaya cari kesempatan mengambil sumberdaya

perikanan yang tersedia di gugusan P.Pasir.

Wujud perjuangan atau tuntutan yang paling tepat adalah tuntutan untuk

melakukan amandemen terhadap Memorandum of Understanding (MoU) 1974 antara

Page 11: BAB I

Pemerintah Indonesia dan Australia mengenai penangkapan ikan oleh nelayan

tradisional Indonesia di zona perikanan eksklusif dan landas kontinen Australia.

Ketentuan MoU tersebut yang perlu diamandemen adalah ketentuan yang

menetapkan larangan bagi nelayan tradisional Indonesia untuk mengambil air tawar,

melakukan penangkapan penyu dan telur-telurnya serta larangan penangkapan burung

dan telur-telurnya disekitar perairan laut atau pantai Pulau Pasir.

Ketentuan mengenai semua larangan tersebut justru bertentangan dengan hak

tradisional nelayan Indonesia yang menurut hukum kebiasaan internasional yang

kemudian dikodifikasi dalam Pasal 51 Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations

Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 wajib memperoleh penghormatan

dan perlindungan dari Pemerintah Australia meskipun wilayah Pulau Pasir dan

sekitarnya tunduk di bawah kedaulatan Australia. Apalagi telah berlaku Deklarasi

Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations

Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September

2007 yang menjamin hampir semua masyarakat adat di dunia untuk dapat mengklaim

wilayah daratan dan wilayah kelautan yang telah lama mereka diami jauh sebelum para

penjajah datang menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah mereka.

Apabila Australia menolak untuk melakukan amandemen terhadap MoU 1974,

maka terdapat dua kemungkinan yang harus ditempuh oleh Pemerintah Indonesia, yakni

menarik kembali MoU RI-Australia 1974 atau mengajukan persoalan tersebut kepada

Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau Mahkamah Hukum Laut

Internasional (International Tribunal For The Law Of The Sea).

Jika pengakhiran MoU yang ditempuh Indonesia, maka akibat hukumnya, MoU

1974 ini menjadi berakhir dan hak nelayan Indonesia dikembalikan kepada kedudukan

sebelumnya yakni seperti yang dilakukan nenek moyang Indonesia sejak ratusan tahun

yang silam. Sebaliknya jika persoalan ini di bawah ke salah satu peradilan internasional,

maka hak nelayan Indonesia di sekitar Pulau Pasir memiliki peluang untuk dipulihkan

kembali sebab kewajiban penghormatan terhadap hak nelayan tradsional secara turun-

temurun telah memperoleh pengakuan secara yuridis dalam UNCLOS 1982 maupun

Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United

Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13

September 2007.

Page 12: BAB I

Selain itu, pekerjaan rumah (PR) Pemerintah Indonesia yang lainnya adalah

lakukan pendampingan hukum terhadap para nelayan yang masih ditahan. Sedangkan

khusus bagi nelayan tradisional yang ditahan, Pemerintah Indonesia harus mengajak

Pemerintah Australia untuk membuka dan membaca kembali isi perjanjian 1974

mengenai traditional fishing rights. Hal lain yang sangat penting dilakukan Pemerintah

Indonesia adalah, di samping perlunya pemberdayaan nelayan tradisional, juga perlu

dilakukan pendidikan dan penyadaran hukum. Mengingat, sebagai nelayan tradisional,

mereka melakukan apa yang orang tuanya dulu lakukan. Dengan kata lain, nelayan

tradisional melanjutkan keahlian dan kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun

untuk mempertahankaan hidup (mencari nafkah). Padahal, hukum dan peraturan

perikanan baik nasional maupun internasional terus berkembang seiring dengan

perkembangan masalah dan teknologi yang mengancam kelestarian sumberdaya ikan

(sustainable fisheries resources). Dan isu yang berkembang di dunia perikanan sekarang

ini adalah pemberantasan terhadap Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing.9

9 Akhmad Solihin, Menggugat Penahanan Nelayan Tradisional, Dimuat di Majalah Samudera, Edisi Juni 2005

Page 13: BAB I

BAB III

KESIMPULAN

Bagi nelayan, HPT merupakan hak dasar, dan mestinya dalam pembangunan

perikanan bisa dimasukkan sebagai syarat perlu (necessary condition). Jadi, pengakuan

HPT merupakan salah satu dimensi pemberdayaan nelayan, yang selama ini sering

dikonotasikan hanya dengan bantuan modal usaha. Dimensi baru pemberdayaan ini

perlu memperoleh kekuatan hukum. Jangan sampai dunia internasional sudah begitu

mengakui HPT, sementara kita yang merupakan basis nelayan tradisional justru

ragu untuk memberikan HPT.

Selain itu, diharapkan perbedaan persepsi tentang penangkapan ikan secara

tradisional tersebut dapat segera diselesaikan. Sehingga nantinya bisa ada penetapan ijin

serta kuota penangkapan ikan untuk nelayan tradisional Indonesia di wilayah Australia

yang telah ditetapkan tersebut.

Page 14: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan : Pengakuan Hak Penangkapan Tradisional, Dimensi Baru Pemberdayaan Nelayan, PT Lkis Printing Cemerlang, Yogyakarta

Departement Kelautan dan Perikanan, Analisis Kebijakan tentang Pembentukan Badan Pembentukan Hukum, Keamanan dan Keselamatan Laut, 2008

Akhmad Solihin, Illegal Fishing dan Traditional Fishing Rights, Dimuat di Koran Harian Sore Sinar Harapan, 11 Mei 2005

Akhmad Solihin, Nelayan, Hak Tradisional dan Negara Kepulauan, Dimuat di Koran Harian Sore Sinar Harapan, 7 November 2006

Akhmad Solihin, Menggugat Penahanan Nelayan Tradisional, Dimuat di Majalah Samudera, Edisi Juni 2005

Hasjim Djalal, Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut Internasional, Makalah Terbatas Lemhanas, 1988, Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982

Syahmin, Beberapa perkembangan dan masalah hukum laut internasional: Sekitar penegakan hukum di perairan yurisdiksi nasional Indonesia dewasa ini, Bina Cipta, 1988

Yeny Sri Wahyuni, Perlindungan Hukum Bagi Nelayan Tradisional Indonesia

United Nation Convention on the Law of the Sea 1982

Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan