bab i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia Negara kepulauan dan Nelayan Republik Indonesia adalah negara
kepulauan terbesar di dunia. Semua fakta geografis yang menjadikan Indonesia sebagai
negara kepulauan dan negara pantai, menempatkannya juga sebagai negara dengan
populasi nelayan yang patut diperhitungkan. Nelayan adalah suatu komunitas yang
harus ada di dalam negara kepulauan. Sehingga, tanpa nelayan, negara kepulauan akan
kehilangan hak tradisional yang diamanatkan UNCLOS 1982. Karena, dengan
keberadaan nelayan, negara kepulauan dapat mengklaim hak tradisionalnya terhadap
negara tetangganya apabila perlu untuk mendapatkan hak tradisional melintasi wilayah
laut yurisdiksi negara tetangga. Dengan demikian, menjadi penting dan berjalin-
kelindan hubungan atau pengaruh nelayan terhadap negara kepulauan.
Hak Penangkapan Ikan Secara Tradisional (Traditional Fishing Right), yaitu hak
yang diberikan kepada nelayan-nelayan tradisonal negara tetangga untuk menangkap
ikan secara tradisional di Perairan Kepulauan tertentu berdasarkan perjanjian bilateral.
Mengenai hal ini sudah diatur berdasarkan perjanjian bilateral sesuai ketentuan-
ketentuan dalam perjanjian tersebut dan ketentuan Hukum Laut Internasional (HLI).1
Salah satu kasus yang menjadi persoalan adalah ketika Pemerintah Australia
melakukan operasi besar-besaran terhadap para pelaku illegal fishing yang dinamakan
“Clean Water Operation” dari tanggal 12-21 April 2005. Berdasarkan informasi yang
didapat dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), bahwa kapal-kapal nelayan
Indonesia yang berhasil ditangkap ukurannya sangat beragam, dari yang skala kecil
hingga skala besar, yang didialamnya termasuk nelayan tradisional Indonesia yang
selama ini sudah turun temurun diakui mempunyai hak eksklusif, yaitu traditional
fishing rights (hak perikanan tradisional) di beberapa wilayah perairan Australia.
Indonesia dan Australia sebenarnya telah mempunyai MOU tentang
“Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the
Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian
Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental
1 Departement Kelautan dan Perikanan, Analisis Kebijakan tentang Pembentukan Badan Pembentukan Hukum, Keamanan dan Keselamatan Laut, 2008, hlm.7
Shelf” pada tanggal 7 November 1974. Dengan demikian, MOU 1974 tersebut dapat
dijadikan sebagai landasan hukum bagi nelayan tradisional Indonesia untuk melakukan
kegiatan penangkapan ikan dibeberapa zona perikanan eksklusif Australia beserta
landas kontinennya. Adapun zona perikanan yang diperjanjikan kedua negara ini adalah
meliputi, Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet.
Artinya, di wilayah ini, Pemerintah Australia tidak akan menerapkan peraturan
perikanananya kepada nelayan tradisional Indonesia.
Berdasarkan MOU 1974 tersebut, makanya Australia mengakui nelayan
tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di beberapa wilayah perairannya, karena
selama beberapa dekade, mereka telah melakukannya di sekitar perairan Australia
secara tradisi tanpa mendapatkan hambatan atau larangan. Dengan demikian, hak
perikanan tradisional di zona perikanan Australia merupakan satu-satunya hak
perikanan tradisional yang diakui secara resmi.2
Namun, tidak lama kemudian kesepakatan formal tersebut terganggu oleh karena
pemerintah Australia mengeluarkan UU Cagar Alam Australia (National Park and
Wildlife Conservation), 16 Agustus 1984. Larangan sepihak itu menuntut adanya
amandemen terhadap MoU 1974 pada tahun 1986 pemerintah Australia mengusulkan
amandemen terhadap MOU 1974. Inti usulan amandemen tersebut antara lain :
(1) larangan nelayan-nelayan Indonesia untuk mendarat di Ashmore Reef;
(2) larangan mencari ikan dan organisme laut yang menetap di Ashmore Reef;
(3) sebagai gantinya pemerintah Australia mengusulkan tempat yang lebih luas
di wilayah perairan Australia.
Penentuan batas sepihak tersebut dapat ditolak pemerintah Indonesia karena
bertentangan dengan pasal 39, Hukum Perjanjian Internasional 1969. Penentuan batas
laut suatu negara harus selalu dilakukan dengan kesepakatan negara-negara tetangga.
Pengaturan tentang penentuan suatu wilayah berbatasan, baik di laut dan darat
mewajibkan adanya suatu kesepakatan Negara-negara tetangga seperti yang ditegaskan
dalam UNCLOS 1982, yaitu “penentuan batas wilayah laut suatu Negara harus
dilakukan dengan suatu kesepakatan bilateral yaitu dengan melibatkan Negara Negara
tetangga (neighboring countries). 3 Tumpang tindih pengaturan tersebut diperparah oleh 2 Akhmad Solihin, Illegal Fishing dan Traditional Fishing Rights, Dimuat di Koran Harian
Sore Sinar Harapan, 11 Mei 2005
3 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982, pasal 98
penetapan Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil. Karena itu, batas yurisdiksi
teritorial laut 12 mil dan ZEE di buat menimbulkan ketidakpastian bagi nelayan-
nelayan.
Dengan adanya perjanjian bilateral antar negara tetangga tersebut tidak serta
merta menyebabkan hilangnya masalah terhadap hak penangkapan ikan tradisional.
Masih banyak masalah yang timbul terutama mengenai persepsi tentang istilah
“tradisional” itu sendiri. Adanya perbedaan persepsi Perbedaan persepsi tentang
penangkapan secara tradisional yang telah disepakati pemerintah Indonesia dan
Australia melalui MoU Box pada tahun 1974 sering menimbulkan permasalahan pada
nelayan Indonesia. Masalah perbedaan persepsi tentang cara penangkapan tradisional
DKP dengan Departemen Pertanian dan Perikanan Australia tersebut juga menimbulkan
masalah pelanggaran perbatasan diantara kedua negara.
Traditional fishing rights antara Indonesia-Australia merupakan kebiasaan yang
mendapatkan pengakuan dalam Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut
Internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982).
Sayangnya, kedua Negara secara sungguh-sungguh belum pernah sepakat tentang
“nelayan tradisional” tersebut.
B. PERMASALAHAN
1. Sejauh mana Indonesia dan hukum internasional mengakui hak penangkapan
ikan tradisional atau traditional fishing rights?
2. Apa parameter atau batasan untuk menentukan hak penangkapan ikan termasuk
kategori tradisional?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengaturan Hak Penangkapan Ikan Tradisional
Aturan mengenai hak perikanan tradisional yang tertuang dalam UNCLOS 1982
sangat sedikit, yaitu dalam satu pasal, yaitu Pasal 51 yang isinya “Tanpa mengurangi
arti pasal 49, negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara
lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara
tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam
perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian,
termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah di mana hak dan kegiatan demikian
berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan
perjanjian bilateral antara mereka. Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi
dengan negara ketiga atau warga negaranya”.
Menyimak Pasal 51 UNCLOS 1982, hak perikanan tradisional tidak diperoleh
secara otomatis. Hak itu dapat diperoleh oleh suatu negara dengan berbagai syarat dan
ketentuan teknis yang diatur dalam perjanjian bilateral kedua negara sebagaimana yang
diamanatkan UNCLOS 1982, seperti sumber daya ikan apa yang boleh ditangkap,
dengan alat tangkap apa, dimana kegiatan penangkapan (fishing ground) harus
dilakukan dan lain sebagainya.
Dengan demikian, hak perikanan tradisional tidak serta-merta melekat menjadi
hak setiap nelayan di suatu negara kepulauan. Ini mengingat ada syarat dan perjanjian
bilateral yang menjadi alat legitimasi. Dengan demikian, hak perikanan tradisional tidak
serta-merta melekat menjadi hak setiap nelayan di suatu negara kepulauan. Ini
mengingat ada syarat dan perjanjian bilateral yang menjadi alat legitimasi. Begitu pula
Agenda 21 pasal 17 tentang perlindungan global terhadap laut juga merujuk pada
perlunya berkonsultasi dengan nelayan lokal (indigenous people) dan melindungi akses
mereka terhadap sumberdaya. Sementara itu Convention on Biological Diversity
meminta pemerintah agar melindungi dan meningkatkan praktek-praktek budaya
tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya biologi. Juga, Convention on the
Conservation of Migratory Species of Wild Animals mengijinkan nelayan local
menangkap spesies-spesies yang bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya.
Dan, seperti dirinci Tsamenyi dkk (2000) setidaknya ada 17 peraturan internasional
yang mendukung pengakuan HPT tersebut.
Terkait dengan ini, kita mesti mengingat pernyataan Prof Hasjim Djalal bahwa
traditional fishing rights (hak perikanan tradisional) harus dibedakan dengan traditional
rights to fish (hak menangkap ikan). Hal ini dikarenakan, traditional rights to fish
diartikan bahwa setiap negara secara tradisional atau hukum berhak menangkap ikan di
laut bebas, tanpa memerhatikan apakah mereka memang pernah atau tidak
melaksanakan hak itu. Traditional fishing rights diartikan bahwa hak menangkap ikan
tersebut timbul justru karena di dalam praktik, mereka telah melakukan penangkapan-
penangkapan ikan di perairan-perairan tertentu. Dengan kata lain, hak perikanan
tradisional muncul karena suatu masyarakat nelayan telah melakukan kegiatannya
secara turun-temurun dan berlangsung lama. Dari penjelasan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa secara internasional hak-hak nelayan tradisional yang dalam hal ini
adalah masyarakat nelayan telah dilindungi hak-haknya. Sehingga hanya diperlukan
eksitensi dari regulasi internasional ini dalam melindungi pengelolaan berbasis
masyarakat.
Pengakuan Traditional Fishing Rights di Indonesia
Di Indonesia sebenarnya pada jaman Belanda, HPT diakui. Lihat, misalnya, di
Staatblad 1916 No 157 tentang siput mutiara, tripang, dan terumbu karang pada Pasal 2
diakui eksistensi HPT nelayan local. Begitu pula pada Staatbald 1927 No 145 yang di
dalamnya dimuat larangan menangkap ikan paus dalam perairan 3 mil dari garis pantai,
kecuali bagi nelayan yang telah melakukannya secara turun temurun. Pasca
kemerdekaan, juga ada UU Pokok Agraria 1960 Pasal 16 Ayat 2 yang menyebutkan
adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan. Namun sayangnya, pasal ini kurang
dieloborasi dan diimplementasikan secara memadai, meski pada pasal sebelumnya
ditegaskan adanya pengakuan terhadap hak ulayat termasuk di laut. Memasuki Orde
Baru, persoalan menjadi lain karena sentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan
benar-benar terjadi. Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU
Pemerintahan Desa 1979 yang menyeragamkan struktur desa. Padahal sebelum itu
desa-desa di Indonesia sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi kepentingan
adat. Juga UU Perikanan 1985 tidak menyebutkan soal eksistensi HPT. Tapi, pada
era ini ada Kepmentan No 607/1976 tentang jalur-jalur penagkapan ikan dimana ada
perlindungan terhadap nelayan dengan kapal di bawah 5 GT dan 10 PK. Tujuan
mulia ini kurang berhasil karena memang berada dalam desain pengelolaan yang
sentralistik.
Di era reformasi ini muncul UU 22/1999 yang lalu disempurnakan menjadi UU
32/2004 serta UU Perikanan No 31/2004. Di dalamnya tidak disebutkan adanya
perlindungan terhadap HPT, namun hanya dinyatakan bahwa nelayan kecil bebas
menangkap ikan di seluruh wilayah. Namun nelayan kecil seperti apa yang dimaksud,
memang masih butuh penjelasan. Meski secara tersirat nelayan kecil itu adalah mereka
yang tidak terkena kewajiban memiliki ijin usaha perikanan dan pungutan. Yakni, yang
armadanya kurang dari 5 gross ton atau di bawah 15 PK. Karena itu, saya melihat
pasal ini punya niat yang mulia untuk melindungi nelayan kecil, namun pasal ini belum
memperhatikan fakta sosiologis bahwa nelayan kecil dimanapun memiliki de facto-
property right (termasuk exclusion right), sehingga kalau pun nelayan kecil dibebaskan
melaut ke seluruh wilayah, tetap perlu merujuk pada realitas tersebut. Seperti, nelayan
andon biasanya diijinkan memiliki access right dan withdrawal right dengan berbagai
persyaratan baik tertulis maupun tak tertulis. Secara sepintas, dalam UU No. 31/2004
tentang Perikanan terlihat bahwa ada keberpihakan pemerintah terhadap nelayan kecil,
seperti pemberdayaan. Namun ternyata bila dikaji secara lebih detail dan mendalam,
undang-undang tersebut masih belum memperlihatkan pelindungan terhadap nelayan
kecil dan tradisional. UU No. 31/2004 tidak memberikan kesempatan lebih kepada
nelayan kecil dan tradisional, baik dalam menghadapi persoalan terbatasnya akses
pemanfaatan sumberdaya ikan, menghadapi persaingan dengan dengan pengusaha
perikanan, mengatasi irama musim yang tidak menentu serta mengatasi kesulitan
pemasaran karena kualitas ikan tangkapan yang cepat sekali busuk (perishable).4
Karena itu, perlindungan terhadap nelayan kecil tidaklah bersifat independen,
melainkan terkait dengan desain institusi pengelolaan sumberdaya secara komprehensif.
Sehingga ada beberapa agenda penting. Pertama, dalam RPP pemberdayaan nelayan
nanti perlu ditegaskan kembali pengakuan terhadap HPT dengan penjelasan beberapa
indikator pokoknya sehingga memudahkan Pemda dalam menerjemahkannya ke dalam
4 Akhmad Solihin, Nelayan, Hak Tradisional dan Negara Kepulauan, Dimuat di Koran Harian Sore Sinar Harapan, 7 November 2006
Perda. HPT ini dimaksudkan untuk kelangsungan tradisi secara turun temurun dan
dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi nelayan lokal. Pengakuan HPT ini
bisa didesain dengan model TURF (Territorial Use Right in Fisheries) yang sebenarnya
saat ini secara de facto ada, seperti halnya sasi laut di Maluku, namun belum diakui
secara de-jure sebagaimana di Jepang. Kedua, pengakuan eksistensi HPT juga mesti
diikuti dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya secara lebih luas,
sehingga tidak saja -meminjam istilah Ostrom (1990)-- hak akses dan hak mengambil
sumberdaya (access and withdrawal rights) yang diberikan, tetapijuga hak pengelolaan
(management right) dan hak mengeluarkan (exclusion right). Apa artinya diberi HPT
tapi tak ada hak untuk mengatur. Dengan hak kepemilikan sumberdaya yang lengkap
seperti itu, posisi nelayan lokal menjadi kuat karena otoritasnya sebagai pengelola
sumberdaya laut diakui. Jadi makna HPT mesti diperluas dari sekedar hak menangkap
ikan. Ketiga, bagaimana pun adanya devolusi kewenangan ke nelayan lokal untuk
mengelola sumberdaya mensyaratkan organisasi nelayan yang tangguh, termasuk di
dalamnya dalam membangun kesepakatan antar komunitas/organisasi nelayan dalam
rangka pengelolaan sumberdaya bersama maupun resolusi konflik.5
2. Unsur-unsur Hak Penangkapan Ikan Tradisional
Terkait dengan hak-hak tradisional nelayan Indonesia, pemerintah kedua negara
telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) mengenai akses nelayan tradisional
Indonesia ke Ashmore Islands pada November 1974. Sesuai dengan kesepakatan yang
kemudian dikenal dengan sebutan MoU Box 1974, Australia tetap mengakui hak para
nelayan tradisional Indonesia yang telah sejak berabad-abad lampau mencari
penghidupan dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat dan di sekitar
gugusan pulau karang negara itu. Australia tetap mengizinkan nelayan tradisional
Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang
telah disepakati kedua negara dalam perjanjian tersebut.
Berdasarkan nota kesepahaman (MoU) 1974 itu, kawasan yang disepakati
Australia dan Indonesia dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia adalah
5 Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan : Pengakuan Hak Penangkapan Tradisional, Dimensi
Baru Pemberdayaan Nelayan, PT Lkis Printing Cemerlang, Yogyakarta, hlm.348
kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore,
Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.
Namun, setelah kesepakatan kedua negara tersebut disetujui muncul perbedaan
persepsi tentang cara penangkapan tradisional di masing-masing negara. Selama ini
pihak Australia berpendapat bahwa nelayan tradisional adalah mereka yang
menggunakan semacam sampan dan bukan perahu besar. Selain itu, Pemerintah
Australia tidak mengakui jika perahu yang digunakan berukuran besar dan
menggunakan mesin. Cara tangkap yang disetujui adalah yang tidak menggunakan alat
tangkap yang dibenamkan ke laut seperti jala. Selain teripang nelayan tradisional yang
kebanyakan dari Pulau Rote itu juga hanya boleh menangkap ikan pelagis yang muncul
di permukaan saja. Kriteria kapal tradisional bagi Australia adalah perahu dayung
ataupun kapal layar dengan alat tangkap yang tradisional. Kapal-kapal nelayan yang
sudah dilengkapi alat Global Positioning System (GPS) dan mesin pendeteksi ikan,
tidak termasuk kategori nelayan tradisional. Bagi Australia, nelayan yang mencari ikan
dengan kapal-kapal yang dilengkapi GPS dan mesin pendeteksi ikan tidak termasuk
nelayan tradisional.
Sedangkan, menurut Indonesia, nelayan yang bersifat tradisional, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 (11) UU No 31 Tahun 2004, yaitu nelayan yang hanya
mencari ikan untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, biasanya nelayan ini dalam
usahanya menangkap ikan hanya berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang sudah ada
sejak turun-temurun, baik itu mengenai jenis alat tangkap dan wilayah tangkapannya.
Nelayan tradisional Indonesia kebanyakan tidak memahami adanya batasan wilayah laut
yang tidak boleh dilakukan penangkapan ikan. Sehingga sering sekali kasus
ditangkapnya nelayan Indonesia oleh petugas keamanan negara asing terjadi.6 Indonesia
menggolongkan kapal tradisional berupa kapal layar ataupun kapal motor tempel
berkapasitas di bawah 5 gros ton (GT). Selain itu, nelayan tradisional dimungkinkan
memiliki peralatan navigasi.
Untuk dapat dianggap termasuk kategori traditional fishing rights, haruslah
diperhatikan beberapa ketentuan, yaitu :7
6 Yeny Sri Wahyuni, Perlindungan Hukum Bagi Nelayan Tradisional Indonesia7 Hasjim Djalal, Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut
Internasional, Makalah Terbatas Lemhanas, 1988, Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
a. nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di
suatu perairan tertentu;
b. nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat tertentu secara tradisional;
c. hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu; dan
d. mereka yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan yang
secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut.
Dengan demikian, untuk dapat dikategorikan sebagai hak perikanan tradisional
haruslah memenuhi empat kriteria, yaitu nelayannya, daerah yang mereka kunjungi,
kapal atau alat tangkap yang mereka gunakan, dan jenis ikan yang ditangkap.
Sedangkan menurut Syahmin, ada beberapa persyaratan nelayan tradisional
mendapatkan hak tradisionalnya (Traditional fishing right), Syahmin menyebutkan
beberapa syarat tersebut, yaitu:8
a. Dilakukan terus-menerus dan turun-temurun sekurang-kurangnya selama
4 generasi dan oleh pribumi dari negara tetangga dekat”. Maksudnya, nelayan
tersebut harus terus menerus melakukan kegiatannya sebagai nelayan disuatu
kawasan tertentu yang disepakati bersama kedua negara dan kegiatan tersebut
dilakukan secara turun temurun oleh penduduk asli kedua negara yang lautnya
berbatasan langsung.
b. Nelayan harus menggunakan alat tangkap ikan yang bersifat selektif dan
non statis serta tidak termasuk alat-alat terlarang di Indonesia (disebutkan juga
jumlah awak kapal, jenis alat tangkap dan areanya).
c. Harus dilakukan oleh perseorangan dan bukan berbentuk perusahaan,
dan harus memenuhi peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Nelayan yang
dimaksud adalah nelayan perorangan atau kelompok nelayan yang tidak
berbentuk perusahaan dengan mentaati semua kaidah hukum yang berlaku di
Indonesia.
d. Namun hal terpenting adalah adanya perjanjian Bilateral Pemerintah
Indonesia dan pemerintah Negara tetangga yang lautnya berbatasan langsung
dengan laut Indonesia sebagai pengakuan hak-hak nelayan tradisional.
8 Syahmin, Beberapa perkembangan dan masalah hukum laut internasional: sekitar
penegakan hukum di perairan yurisdiksi nasional Indonesia dewasa ini, Bina Cipta, 1988, hlm.41
Perjanjian Bilateral tersebut menjadi dasar hukum perlindungan bagi nelayan
tradisional, dengan demikian dapat mengurangi kasus penangkapan nelayan
Indonesia oleh petugas keamanan negara asing.
Yang sering menjadi berita adalah persoalan hak nelayan tradisional Indonesia
yang ada di sekitar pulau Ashmore. Bagi nelayan setempat, pengegakan hukum yang
keras oleh Australia sering di tapsirkan sebagai Negara tetangga yang tidak punya rasa
kemanusiaan; sementara pihak Australia melihatnya dari sisi lain, mereka percaya yang
memanfaatkan hak tradisional itu bukanlah nelayan tradisional dari warga sekitarnya,
tetapi nelayan bermodal dan bahkan sering memanfaatkannya untuk menyelundupkan
orang ke Australia. Faktanya, memang kedua Negara tetap belum menemukan solusi
yang pas untuk pengelolaan bersama di wilayah tersebut.
Namun demikian, terbukti bahwa beberapa kelompok nelayan Rote, Madura dan
Sulawesi ada yang secara turun temurun, telah menangkap ikan atau mencari tripang
dan lola di P.Pasir. Bahkan makam nenek moyangnya juga ada di sana. Sesuai dengan
ketentuan internasional, maka termasuk yang memiliki hak penangkapan ikan
tradisional. Oleh karenanya, kesepakatan dibuat bahwa wilayah tersebut adalah
yurisdiksi kedaulatan Australia, namun nelayan tradisional dari Indonesia tersebut
memiliki hak menangkap ikan di sana, asalkan masih sesuai dengan upaya pelestarian
sumberdaya yang ada.
Solusi atau alternatif penyelesaian sengketa
Dalam MoU Box hanya dilihat dari tingkat teknologi yang digunakan, yakni
nelayan dengan perahu kecil, tanpa motor dengan peralatan yang sederhana. Kini
muncul wacana, bagaimana dengan nelayan Rote, Madura atau Buton yang telah turun
temurun menangkap ikan di wilayah tradisionalnya tersebut, namun ingin menerapkan
peralatan yang agak maju. Akan tetapi harus dicegah pula nelayan Indonesia kawasan
lain, yang secara komersial berupaya cari kesempatan mengambil sumberdaya
perikanan yang tersedia di gugusan P.Pasir.
Wujud perjuangan atau tuntutan yang paling tepat adalah tuntutan untuk
melakukan amandemen terhadap Memorandum of Understanding (MoU) 1974 antara
Pemerintah Indonesia dan Australia mengenai penangkapan ikan oleh nelayan
tradisional Indonesia di zona perikanan eksklusif dan landas kontinen Australia.
Ketentuan MoU tersebut yang perlu diamandemen adalah ketentuan yang
menetapkan larangan bagi nelayan tradisional Indonesia untuk mengambil air tawar,
melakukan penangkapan penyu dan telur-telurnya serta larangan penangkapan burung
dan telur-telurnya disekitar perairan laut atau pantai Pulau Pasir.
Ketentuan mengenai semua larangan tersebut justru bertentangan dengan hak
tradisional nelayan Indonesia yang menurut hukum kebiasaan internasional yang
kemudian dikodifikasi dalam Pasal 51 Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations
Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 wajib memperoleh penghormatan
dan perlindungan dari Pemerintah Australia meskipun wilayah Pulau Pasir dan
sekitarnya tunduk di bawah kedaulatan Australia. Apalagi telah berlaku Deklarasi
Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations
Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September
2007 yang menjamin hampir semua masyarakat adat di dunia untuk dapat mengklaim
wilayah daratan dan wilayah kelautan yang telah lama mereka diami jauh sebelum para
penjajah datang menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah mereka.
Apabila Australia menolak untuk melakukan amandemen terhadap MoU 1974,
maka terdapat dua kemungkinan yang harus ditempuh oleh Pemerintah Indonesia, yakni
menarik kembali MoU RI-Australia 1974 atau mengajukan persoalan tersebut kepada
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau Mahkamah Hukum Laut
Internasional (International Tribunal For The Law Of The Sea).
Jika pengakhiran MoU yang ditempuh Indonesia, maka akibat hukumnya, MoU
1974 ini menjadi berakhir dan hak nelayan Indonesia dikembalikan kepada kedudukan
sebelumnya yakni seperti yang dilakukan nenek moyang Indonesia sejak ratusan tahun
yang silam. Sebaliknya jika persoalan ini di bawah ke salah satu peradilan internasional,
maka hak nelayan Indonesia di sekitar Pulau Pasir memiliki peluang untuk dipulihkan
kembali sebab kewajiban penghormatan terhadap hak nelayan tradsional secara turun-
temurun telah memperoleh pengakuan secara yuridis dalam UNCLOS 1982 maupun
Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United
Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13
September 2007.
Selain itu, pekerjaan rumah (PR) Pemerintah Indonesia yang lainnya adalah
lakukan pendampingan hukum terhadap para nelayan yang masih ditahan. Sedangkan
khusus bagi nelayan tradisional yang ditahan, Pemerintah Indonesia harus mengajak
Pemerintah Australia untuk membuka dan membaca kembali isi perjanjian 1974
mengenai traditional fishing rights. Hal lain yang sangat penting dilakukan Pemerintah
Indonesia adalah, di samping perlunya pemberdayaan nelayan tradisional, juga perlu
dilakukan pendidikan dan penyadaran hukum. Mengingat, sebagai nelayan tradisional,
mereka melakukan apa yang orang tuanya dulu lakukan. Dengan kata lain, nelayan
tradisional melanjutkan keahlian dan kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun
untuk mempertahankaan hidup (mencari nafkah). Padahal, hukum dan peraturan
perikanan baik nasional maupun internasional terus berkembang seiring dengan
perkembangan masalah dan teknologi yang mengancam kelestarian sumberdaya ikan
(sustainable fisheries resources). Dan isu yang berkembang di dunia perikanan sekarang
ini adalah pemberantasan terhadap Illegal Unreported Unregulated (IUU) Fishing.9
9 Akhmad Solihin, Menggugat Penahanan Nelayan Tradisional, Dimuat di Majalah Samudera, Edisi Juni 2005
BAB III
KESIMPULAN
Bagi nelayan, HPT merupakan hak dasar, dan mestinya dalam pembangunan
perikanan bisa dimasukkan sebagai syarat perlu (necessary condition). Jadi, pengakuan
HPT merupakan salah satu dimensi pemberdayaan nelayan, yang selama ini sering
dikonotasikan hanya dengan bantuan modal usaha. Dimensi baru pemberdayaan ini
perlu memperoleh kekuatan hukum. Jangan sampai dunia internasional sudah begitu
mengakui HPT, sementara kita yang merupakan basis nelayan tradisional justru
ragu untuk memberikan HPT.
Selain itu, diharapkan perbedaan persepsi tentang penangkapan ikan secara
tradisional tersebut dapat segera diselesaikan. Sehingga nantinya bisa ada penetapan ijin
serta kuota penangkapan ikan untuk nelayan tradisional Indonesia di wilayah Australia
yang telah ditetapkan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan : Pengakuan Hak Penangkapan Tradisional, Dimensi Baru Pemberdayaan Nelayan, PT Lkis Printing Cemerlang, Yogyakarta
Departement Kelautan dan Perikanan, Analisis Kebijakan tentang Pembentukan Badan Pembentukan Hukum, Keamanan dan Keselamatan Laut, 2008
Akhmad Solihin, Illegal Fishing dan Traditional Fishing Rights, Dimuat di Koran Harian Sore Sinar Harapan, 11 Mei 2005
Akhmad Solihin, Nelayan, Hak Tradisional dan Negara Kepulauan, Dimuat di Koran Harian Sore Sinar Harapan, 7 November 2006
Akhmad Solihin, Menggugat Penahanan Nelayan Tradisional, Dimuat di Majalah Samudera, Edisi Juni 2005
Hasjim Djalal, Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut Internasional, Makalah Terbatas Lemhanas, 1988, Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
Syahmin, Beberapa perkembangan dan masalah hukum laut internasional: Sekitar penegakan hukum di perairan yurisdiksi nasional Indonesia dewasa ini, Bina Cipta, 1988
Yeny Sri Wahyuni, Perlindungan Hukum Bagi Nelayan Tradisional Indonesia
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982
Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan