bab i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Leukemia merupakan kanker yang paling sering dijumpai pada masa
kanak-kanak. Menyerang kurang lebih 2500 anak setiap tahun di Amerika
Serikat. Dengan metode diagnostik yang lebih akurat, pemberian terapi
yang lebih efektif pada uji klinis terkontrol, serta perawatan suportif yang
lebih baik, hasil pengobatan leukemia pada anak telah memperlihatkan
kemajuan yang pesat. Sekarang, lebih dari dua per tiga pasien yang
diobati untuk leukemia limfoblastik/limfositik akut akan berada dalam
kondisi remisi komplit selama 5 tahun atau lebih setelah diagnosis, dan
kebanyakan kasus akan sembuh (Rudolph, 2004).
Leukemia limfoblastik akut merupakan bentuk leukemia yang paling
banyak pada anak-anak. Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun,
dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya
usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan pada pria daripada wanita
(Sudoyo, 2007).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang didapatkan antara lain:
1. Apa definisi dari leukemia?
2. Bagaimana klasifikasi dari anemia?
3. Apa definisi dari penyakit leukemia limfoblastik akut?
4. Apa etiologi dari penyakit LLA?
5. Bagaimana patogenesis dari penyakit LLA?
6. Apa saja manifestasi klinis dari penyakit LLA?
7. Apa saja diagnosis untuk penyakit LLA?
8. Bagaimana terapi yang dapat dilakukan untuk penyakit LLA?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang didapatkan antara lain:
1. Agar dapat menjelaskan definisi dari leukemia
2. Agar dapat menjelaskan klasifikasi dari anemia
3. Agar dapat menjelaskan definisi dari penyakit leukemia limfoblastik akut
4. Agar dapat menjelaskan etiologi dari penyakit LLA
5. Agar dapat menjelaskan patogenesis dari penyakit LLA
6. Agar dapat menjelaskan manifestasi klinis dari penyakit LLA
7. Agar dapat menjelaskan diagnosis untuk penyakit LLA
8. Agar dapat menjelaskan terapi yang dapat dilakukan untuk penyakit LLA
D. Manfaat
Adapun manfaat yang didapatkan antara lain:
1. Memahami definisi dari leukemia
2. Memahami klasifikasi dari anemia
3. Memahami definisi dari penyakit leukemia limfoblastik akut
4. Memahami etiologi dari penyakit LLA
5. Memahami patogenesis dari penyakit LLA
6. Memahami manifestasi klinis dari penyakit LLA
7. Memahami diagnosis untuk penyakit LLA
8. Memahami terapi yang dapat dilakukan untuk penyakit LLA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Leukemia atau kanker darah dalah sekelompok penyakit neoplastik yang
beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi
maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan limfoid.
Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau
abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam
darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau
proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita. Kata
leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel
darah putih sebelum diberi terapi. Sel darah putih yang tampak banyak
merupakan sel yang muda, misalnya promielosit. Jumlah yang semakin meninggi
ini dapat mengganggu fungsi normal dari sel lainnya. Sedangkan leukemia
limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid
(Underwood, 2000).
B. Klasifikasi
Kemajuan dalam klasifikasi leukemia pada anak penting untuk memahami
patofisiologi penyakit ini dan perkembangan metode terapi yang lebih spesifik.
Dalam istilah yang paling luas, leukemia pada anak dapat diklasifikasikan
sebagai akut, kronik, atau kongenital. Akut dan kronis sebenarnya menunjukkan
durasi relatif ketahanan hidup, tetapi dengan penemuan kemoterapi yang
efektif, sekarang leukemia akut menunjukkan proliferasi maligna sel immatur
(yaitu blastik). Jika proliferasi itu sebagian besar melibatkan jenis sel yang lebih
matur (yaitu berdiferensiasi), leukemia itu diklasifikasikan sebagai kronis. Tidak
seperti leukemia pada orang dewasa, pada anak biasanya adalah jenis akut dan
limfoblastik. Leukemia limfositik atau limfoblastik akut (ALL) meliputi kira-kira
80% leukemia akut pada anak, dan sisanya sebagian besar adalah leukemia
mieloid akut (non-limfoblastik) (AML). Leukemia kongenital atau neonatal adalah
leukemia yang terdiagnosis dalam 4 minggu pertama kehidupan bayi (Rudolph,
2006).
Adapun perbedaan antara leukemia akut dan leukemia kronis adalah:
Leukemia akut Leukemia kronis
Umur
Onset penyakit
Perjalanan penyakit
Sel leukemia
Anemia,
trombositopenia
Jumlah leukosit
Pembesaran kelenjar
Pembesaran limpa
Semua umur
Tiba-tiba
<6 bulan
Sel tidak matang
Menonjol
Bervariasi
Ringan
Ringan
Dewasa
Perlahan
26 tahun
Sel matang
Ringan
Meningkat
Jelas
Jelas
(Staf IKA, 2007)
C. Epidemiologi
Pada ALL, puncak usia timbulnya penyakit adalah antara umur 3 dan 4
tahun, sedangkan pada anak dengan AML tampak tidak ada usia puncak. Insiden
ALL lebih tinggi pada anak kulit putih daripada anak kulit berwarna, tetapi
prediksi rasial belum diperlihatkan baik untuk AML maupun CML. Temuan baru-
baru ini mengenai kelainan genetik sel yang leukemia identik pada pasangan
kembar monozigot menunjukkan bahwa metastasis intrauterin menyebabkan
leukemia yang sama. Suatu resiko yang lebih tinggi dari normal untuk
perkembangan leukemia telah dihubungkan dengan berbagai macam kelainan
(Rudolph, 2006).
D. Etiologi
Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor
keturunan dan sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA
yang terjadi pada anak-anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang
berhubungan dengan LLA adalah: (Sudoyo, 2007)
1. Radiasi ionik, orang yang selamat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki mempunyai resiko relatif keseluruhan 9,1 untuk berkembang menjadi
LLA.
2. Paparan benzene dengan kadar tinggi dapat menyebabkan aplasi sumsum
tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia.
3. Merokok sedikit meningkatkan resiko LLA pada usia di atas 60 tahun
4. Obat kemoterapi
5. Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3
6. Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai resiko yang
menningkat untuk menjadi LLA
Dewasa ini, mutasi spontan telah menjadi hipotesis sebagai penyebab
utama ALL pada anak. Karena sel target untuk ALL, sel progenitor limfoid,
memiliki kecepatan proliferasi yang tinggi dan kecenderungan yang tinggi untuk
pengaturan kembali gen selama masa kanak-kanak awal, mereka lebih rentan
untuk mengalami mutasi. Diperdebatkan bahwa satu, atau lebih mungkin dua,
mutasi sel, yang mengalami tekanan proliferasi dapat terjadi pada frekuensi
yang cukup untuk bertanggung jawab terhadap kebanyakan kasus ALL pada
anak-anak (Rudolph, 2006)
E. Patogenesis
Teori umum tentang patofisiologi leukemia adalah bahwa satu sel induk
mutan, ammpu memperbaharui diri secara tidak terhingga, menimbulkan,
prekursor hemopoetik berdiferensiasi buruk maligna yang membelah diri pada
kecepatan yang sama atau lebih lambat daripada pasangannya yang normal.
pada studi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD), perkembangan uniseluler dari
neoplasma telah diperlihatkan dengan menemukan satu jenis G6PD dalam sel
ganas dari pasien heterozigot yang memiliki pola enzim ganda dalam jaringan
normal mereka. Penentuan pola metilasi dari polimorfisme panjang-fragmen-
restriksi yang terkait-X pada perempuan heterozigot merupakan metode sensitif
lain dalam pada prinsip analisis yang sama. Akumulasi sel blas menghambat
produksi normal granulosit, eritrosit, dan trombosit, sehingga mengakibatkan
infeksi, anemia, dan perdarahan. Sel leukemia dapat menginfiltrasi setiap organ
dan menyebabkan pembesaran dan gangguan fungsi organ tersebut (Rudolph,
2004).
F. Manifestasi Klinis
Presentasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis
menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular
oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang
menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis dapat
berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi yang
jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan gejala perdarahan
yang berat jarang terjadi (Mansjoer, 2000).
Gejala dan tanda klinis yang dapat ditemukan, antara lain: (Sudoyo, 2007)
1. Anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada)
2. Anoreksia
3. Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia)
4. Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
5. Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis. Penyebab
yang paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif
usus, serta berbagai spesies jamur
6. Perdarahan kulit, perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna,
perdarahan otak
7. Hepatomegali
8. Splenomegali
9. Limfadenopati
10. Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T)
11. Leukemia sistem saraf pusat (nyeri kepala, muntah, perubahan dalam status
mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologik
fokal)
12. Keterlibatan organ lain (testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil)
G. Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk konfirmasi diagnostik LLA,
klasifikasi prognostik dan perencanaan terapi yang tepat, yaitu: (Sudoyo, 2007)
1. Hitung darah lengkap dan apus darah tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis.
Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat
melebihi 200.000/mm3. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia.
Proporsi sel blas pada hitung leukosit bervariasi dari 0-100%. Kira-kira sepertiga
pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3.
2. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis histologi, sitogenetik dan
immunophenotyping. Apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan limfoblas
yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum
tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum
tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jarinngan biopsi penting
untuk evaluasi gambaran sitologi.
3. Sitokimia
Pada LLA, pewarnaan Sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil
yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada
granula primer dari prekursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas
LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-
ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas,
sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic
acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat dideteksi dengan
pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry.
4. Imunofenotip (dengan sitometri arus/flow cytometry)
Pemeriksaan ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi LLA. Pada sekitar 15-
54% LLA dewasa didapatkan ekspresi antigen mieloid. Antigen mieloid yang
biasa dideteksi adalah CD13, CD15, dan CD33. Ekspresi yang bersamaan dari
antigen limfoid dan mieloid dapat ditemukan pada leukemia bifenotip akut.
Kasus ini jarang, dan perjalanan penyakitnya buruk.
5. Sitogenetik
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik
berhubungan dengan subtipe LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi
prognostik.
6. Biologi molekular
Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk
mendeteksi yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga
harus dilakukan untuk mendeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis
buruk.
7. Pemeriksaan lainnya
Parameter koagulasi biasanya normal dan koagulasi intravaskular diseminata
jarang terjadi. Kelainan metabolik seperti hiperurikemia dapat terjadi terutama
pada pasien dengan sel-sel leukemia yang cepat membelah dan tumor burden
yang tinggi. Pungsi lumbal dilakukan pada saat diagnosis untuk memeriksa
cairan serebrospinal. Perlu atau tidaknya tindakan ini dilakukan pada pasien
dengan banyaknya sel blas yang bersirkulasi masih kontroversi. Definisi
keterlibatan susunan saraf pusat (SPP) adalah bila ditemukan lebih dari 5
leukosit/mL cairan serebrospinal dengan morfologi sel blas pada spesimen sel
yang disentrifugasi.
H. Diagnosis Banding
Adapun diagnosis banding untuk penyakit LLA antara lain: (Sudoyo, 2007)
1. Limfositosis, limfadenopati, dan hepatosplenomegali yang berhubungan dengan
infeksi virus dan limfoma
2. Anemia aplastik
I. Terapi
Strategi dasar untuk pengobatan ALL terdiri atas: (Rudolph, 2004)
1. Kemoterapi intensif jangka pendek untuk menimbulkan remisi komplet
2. Fase konsolidasi, biasanya diberikan lebih dari 2-4 minggu
3. Pengobatan sistem saraf pusat presimtomatis
4. Kesinambungan terapi selama 2 atau 3 tahun untuk meneruskan penghancuran
sel leukemia
Sel leukemia dari anak dengan ALL biasanya cukup sensitif terhadap
kemoterapi pada saat diagnosis. Pengobatan induksi secara tipikal meliputi
glukokortikoid (deksametason atau prednison), alkaloid tumbuhan (vinkristin),
dan enzim asparaginasse, semuanya diberikan selama 4 minggu. Obat-obat ini
segera menghancurkan sel leukemia, dengan toksisitas organ yang minimal dan
gangguan hematopoesis normal yang minnimal. Untuk leukemia resiko tinggi,
sebagian besar penelitian klinis menggunakan agen tambahan untuk induksi
remisi. Dengan kemoterapi modern dan perawatan suportif, 97-98% anak dapat
mencapai remisi sempurna. Setelah tercapai remisi sempurna tujuan terapi
selanjutnya adalah meneruskan perusakan sisa-sisa limfoblas sampai kadar yang
sesuai dengan keadaan sembuh. Pengurangan populasi sel leukemik yang cepat
ssebelum munculnya klon yang resisten, telah dicapai dengan fase “konsolidasi”
atau “intensif”.
Metode standar terapi selama remisi adalah penggunaan terapi preventif
sistem saraf pusat-terapi langsung. Karena lamanya remisi komplet secara
progresif menjadi lebih panjang, frekuensi keterlibatan sistem saraf pusat
meningkat, biasanya selama remisi sumsum tulang. Alasan yang jelas untuk
komplikasi ini adalah kegagalan obat antileukemik untuk melewati selaput otak
dan cairan serebrospinal dalam konsentrasi efektif. Didasarkan pada teori bahwa
sel leukemik berada pada selaput otak pada saat diagnosis, maka tujuan terapi
preventif sistem saraf pusat adalah untuk menghilangkan sel-sel ini pada saat
jumlahnya masih sedikit dan tidak terdeteksi melalui pemeriksaan klinis.
Dahulu, pengobatan lanjutan yang biasa diberikan adalah merkaptopurin
oral harian dan metotreksat mingguan. Dewasa ini, regimen intensif telah
digunakan dalam upaya untuk meningkatkan kemungkinan sembuh, terutama
pada pasien yang memiliki resiko relaps yang tinggi. Pada beberapa anak,
metotreksat telah digunakan dalam dosis yang lebih tinggi daripada dosis
konvensional tidak hanya pada awal remisi tetapi meliputi seluruh pengobatan
untuk mempertahankan remisi. Beberapa regimen meliputi penggunaan periodik
dari obat yang sama yang digunakan untuk induksi remisi, sedangkan yang lain
menggunakan pemberian obat yang periodik dari jenis obat yang berbeda
seperti siklofosfamid, sitarabin, dan epipodofilotoksin, terutama untuk penyakit
sel-T atau sel pra-B, diberikan secara berkala (Rudolph, 2004).
J. Komplikasi
Komplikasi metabolik pada anak dengan ALL dapat disebabkan oleh lisis sel
leukemik akibat kemoterapi atau secara spontan dan komplikasi ini dapat
mengancam jiwa pasien yang memiliki beban sel leukemia yang besar.
Terlepasnya komponen intraseluler dapat menyebabkan hiperurisemia,
hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia dengan hipokalsemia sekunder. Beberapa
pasien dapat menderita nefropati asam urat. Jarang sekali timbul urolitiasis
dengan obstruksi ureter setelah pasien diobati untuk leukemia. Infiltrasi
leukemik yang difus pada ginjal juga dapat menimbulkan gagal ginjal (Rudolph,
2006).
K. Prognosis
Kebanyakan pasien LLA dewasa dapat mencapai remisi tapi tidak sembuh
dengan kemoterapi saja, dan hanya 30% yang bertahan hidup lama. Kebanyakan
pasien yang sembuh dengan kemoterapi adalah usia 15-20 tahun dengan faktor
prognostik baik lainnya. Harapan sembuh untuk pasien LLA dewasa lainnya
tergantung dari terapi yang lebih intensif dengan transplantasi sumsum tulang
(Sudoyo, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario yang berjudul “Mengapa Perut Anak Saya Membesar,
Dok?” didapatkan beberapa masalah, diantaranya:
Nama : X
Umur : 4 tahun
Keluhan : Perut membesar sejak 2 bulan yang lalu, panas kadang-kadang, btuk
pilek (-), anak sering sakit-sakitan, badan semakin kurus
Pem. Fisik : Conjunctiva pucat, hepatosplenomegali, hepar membesar 3 cm di
bawah arcus costae 1 cm di bawah processus xyphoideus, spleen
membesar 2 schuffner
Pem. Lab : Hb 6 mg/dL, AL 80.000/µL, AT 60.000/µL, gambaran darah tepi
ditemukan sel-sel muda dari seri limfosit, pemeriksaan urin dalam batas
normal
Riwayat : Nenek meninggal akibat ca mammae
Diagnosis : Leukemia limfositik akut (LLA), dokter menganjurkan agar anak
melakukan pemeriksaan BMA (Bone Marrow Aspiration) dan pengecatan
sitokimia untuk menegakkan diagnosis
Penyebab penyakit pada anak dimungkinkan karena pewarisan gen
kanker dari nenek yang dahulunya juga pernah mengidap kanker mamae.
Oleh karena itu, anak kemungkinan besar mendapat bakat kanker dari
nenek. Pada skenario, anak datang dengan keluhan perut membesar
dikarenakan terjadi organomegali di bagian abdomen, selain itu perut
juga dirasakan semakin membesar. Tidak ada demam, batuk, dan pilek
menandakan tidak adanya gejala infeksi. Anak semakin kurus karena
pengaruh dari perut nya yang semakin membesar dan terasa tidak
nyaman, sehingga anak tidak bernafsu makan. Lama kelamaan anak
menjadi lemah dan kurus karena kurangnya asupan makanan (Staf IKA,
2007).
Pada pemeriksaan fisik, pada conjunctiva tampak pucat, yang mana
gejala tersebut merupakan manifestasi dari anemia. Anemia disebabkan
karena sel leukemia merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang
termasuk sel darah merah. Hal ini mengakibatkan berkurangnya jumlah
sel darah merah, yang dapat dilihat dari warna conjunctiva yang memucat
(Mansjoer, 2000).
Pemeriksaan abdomen dapat mengungkapkan adanya hati atau
limpa atau hati dan limpa yang membesar, yang menduga adanya
penyakit hati primer, penyakit metastatik hati disertai anemia sekunder,
atau apa yang dinamakan hipersplenisme yang berkaitan dengan
peningkatan penghancuran eritrosit. Dalam kondisi normal, hepar tidak
akan teraba. Tetapi dalam kasus ini, hepar teraba disebabkan karena
terjadi pembesaran. Adapun urutan pelaksanaan palpasi pada hepar
yaitu: (Delp, 1996)
1. Berdiri di sisi kanan penderita
2. Letakkan tangan kiri di bawah pinggang kiri penderita
3. Angkat dengan hati-hati ke atas untuk meninggikan massa hati ke lokasi
yang lebih mudah dicapai
4. Lakukan palpasi dengan meletakkan tangan kanan pada kuadran kanan
bawah, dengan ujung jari mendatar dan mengarah ke pinggir iga kanan
5. Saat penderita menarik dan mengeluarkan napas, gerakkan tangan ke
atas, sambil menekan ke bawah
6. Ulangi dengan hati-hati, sambil tangan bergerak ke pinggir iga pada
setiap inspirasi
7. Penurunan diafragma selama inspirasi dalam akan menyebabkan hepar
ikut terdorong ke bawah dan batas bawah hati yang membesar dapat
dirasa.
Pada palpasi limpa normal, seharusnya tidak teraba. Tetapi dalam
skenario limpa dapat teraba pada Schuffner 2. Schuffner merupakan
satuan dalam pengukuran limpa, dengan cara menarik garis diagonal ke
umbilikus. Splenomegali atau pembesaran limpa disebabkan oleh
kongesti atau akumulasi cairan yang yang berlebihan dan dapat dikatakan
abnormal. Palpasi untuk limpa hampir sama dengan hepar. Urutannya
yaitu: (Delp, 1996)
1. Suruh penderita berbaring terlentang
2. Berdiri pada sisi kanan penderita, letakkan tangan kanan secara datar
pada dinding perut tepat pada pinggir bawah iga, pada garis
midklavikularis
3. Letakkan tangan kiri di bawah pinggang kiri dan angkat dengan hati-hati
ke atas
4. Suruh penderita melakukan inspirasi dalam, yang menyebabkan limpa
turun terdesak oleh diafragma
5. Limpa mudah diraba bila berbaring miring ke kanan dengan kedua
tungkai bawah difleksikan
6. Jika limpa membesar, akan menyentuh ujung jari tangan kanan, selain itu
limpa terasa keras dan padat
Hasil laboratorium didapatkan penurunan jumlah hemoglobin, yang
mana batas normalnya adalah 13,5-18 g/dL sedangkan pada anak hanya
mencapai 6 g/dL. Berbeda dengan leukosit, didapatkan kenaikan yang
begitu besar yaitu 80.000/µL. Nilai normalnya hanya berkisar 4.500-
11.000/µL. Sedangkan untuk trombosit mengalami penurunan yaitu
60.000/µL, adapun nilai normalnya yaitu 150.000-450.000/µL (Sacher,
2004).
Pada gambaran darah tepi didapatkan sel-sel muda dari seri limfosit,
biasanya sel-sel normal secara total diganti oleh limfoblas leukosit. Selain
itu, untuk pemeriksaan urin didapatkan hasil normal. dokter menyarankan
untuk melakukan pemeriksaan BMA (Bone Marrow Aspiration) atau
aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi
diagnosis dan dan klasifikasi, sehingga semua pasien LLA harus menjalani
prosedur ini. Apus sumsum tulang tampak hiperseluler dengan limfoblas
yang sangat banyak, lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa. Selain
itu pengecatan sitokimia juga dianjurkan oleh dokter. Gambaran morfologi
sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak
dapat membedakan LLA dari leukemia mieloblastik akut (LMA) (Sudoyo,
2007).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Leukemia merupakan proliferatif dari prekursor sel darah putih.
Proliferasi ini memberikan berbagai keadaan yaitu penggantian difus
sumsum tulang normal oleh sel leukemia dengan akumulasi sel abnormal
pada darah tepi dan infiltrasi organ. Leukemia dibagi 2 yaitu akut dan
kronis. Untuk leukemia akut terdiri dari leukemia limfoblastika akut dan
leukemia mieloblastik akut. Sedangkan untuk leukemia kronis terdiri dari
leukemia granulositik (mieloid) kronis dan leukemia limfositik kronis.Pada
sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui. Beberapa faktor
tertentu diketahui menginisiasi perubahan leukemik yaitu radiasi, obat-
obatan, bahan kimia, virus, dan faktor genetik.
B.Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam skenario ini antara lain:
1. Berikan makanan yang bergizi seimbang atau 4 sehat 5 sempurna pada
anak-anak
2. Berikan cukup vitamin dan mineral untuk anak yang mengalami anemia
3. Lakukan olahraga yang teratur serta menjaga daya tahan tubuh
http://adirasoziety.blogspot.com/2012/08/laporan-tutorial-leukemia-limfoblastik.html
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)Posted on Maret 17, 2011 by sandurezu
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan pada sel-sel prekursor limfoid, yakni sel darah yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi limfosit T dan limfosit B. LLA ini banyak terjadi pada anak-anak yakni 75%, sedangkan sisanya terjadi pada orang dewasa. Lebih dari 80% dari kasus LLA adalah terjadinya keganasan pada sel T, dan sisanya adalah keganasan pada sel B. Insidennya 1 : 60.000 orang/tahun dan didominasi oleh anak-anak usia < 15 tahun, dengan insiden tertinggi pada usia 3-5 tahun.
Skema hematolimfogenesis
Etiologi
Sampai saat ini LLA belum diketahui penyebabnya, alias idiopatik. Akan tetapi para peneliti telah mengemukakan beberapa teori kemungkinan penyebab LLA ini. Ada dua teori, yaitu genetik dan lingkungan.
1. Genetik, seperti pada penderita Sindrom Down dan Wiskott Aldrich yang juga mengalami leukemia.
2. Lingkungan, yakni ada beberapa hal yang mendasari teori ini, diantaranya: (1) radiasi ionik, seperti pasca pemboman Hiroshima-Nagasaki di Jepang, insiden leukemia meningkat tajam; (2) bahan kimia, seperti senyawa benzena; (3) kebiasaan merokok; (4) obat-obat kemoterapi; (5) infeksi virus semisal virus EBV; dan lain-lain.
Patogenesis dan Patofisiologi
Pada pasien LLA terjadi proliferasi patologis sel-sel limfoid muda di sumsum tulang. Ia akan mendesak sistem hemopoietik normal lainnya, seperti eritropoietik, trombopoietik dan granulopoietik, sehingga sumsum tulang didominasi sel blast dan sel-sel leukemia hingga mereka menyebar (berinfiltrasi) sampai ke darah tepi dan organ tubuh lainnya.
Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan, teruatama pada pasien dewasa adalah: t(9;22)/ translokasi kromosom 9 dan 22/ fusi gen BCR-ABL/ kromosom philadelphia (CML); atau t(4;11)/ translokasi kromosom 4 dan 11/ ALL1-AF4. Jika terjadi translokasi semacam ini maka ia akan mengaktifkan jalur proliferasi dan pertumbuhan sel secara abnormal sehingga
terjadi leukemia. Kelainan yang lain bisa pada karyotipe hipdiploid dan t(10;14), atau karena hilangnya atau inaktivnya gen supresor tumor seperti p16 dan p15, Rb dan p53.
Klasifikasi
Berdasarkan sistem French-American-British (FAB), LLA dibagi menjadi 3 tipe:
1. L1, ditandai dengan sel blast yang berukuran kecil, homogen (relatif sama besar), dengan sitoplasma sel yang sedikit dan nukleoli (anak inti) yang samar/ tidak jelas. L1 ini adalah LLA yang paling banyak terjadi dibanding jenis LLA lainnya, dan pada umumnya terjadi pada anak-anak.
2. L2, ditandai dengan sel blast yang berukuran lebih besar, heterogen (tidak seragam), nukleolinya terlihat jelas dan rasio inti-sitoplasmanya rendah. Biasanya LLA tipe ini terjadi pada orang dewasa.
3. L3, ditandai dengan sel blast yang besar, sitoplasmanya bervakuol, dan terlihat pekat (basofilik). Prognosisnya buruk akan tetapi insidennya sedikit
Gambaran Klinis
Pada pasien LLA akan terlihat tanda-tanda anemia seperti pucat, lelah, lesu, kemudian anoreksia, osteoartritis akibat infiltrasi sel leukemi ke sumsum tulang, demam, infeksi akibat penurunan daya tahan tubuh akibat aktifitas sel limfosit yang tidak normal, perdarahan kulit, gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, hingga perdarahan otak. Selain itu ditemukan juga hepatomegali, splenomegali, limfadenopati, dan massa di mediastinum.
Seorang anak dengan LLA
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Untuk menegakkan diagnosis LLA, tetap dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lab yang meliputi: Hitung darah lengkap, sediaan apus darah tepi, kadar fibrinogen, kimia darah, golongan darah dan HLA (human leukocyte antigen). Bisa juga dilakukan pemeriksaan foto toraks, punksi lumbal dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang untuk diagnosis pastinya.
Sementara untuk diagnosis banding, LLA perlu dibedakan dengan limfositosis murni, limfadenopati, hepatosplenomegali akibat infeksi, dan anemia aplastik.
Gambaran Laboratorium
Untuk hitung darah lengkap dan apusan darah tepi, biasanya ditemukan kadar leukosit meningkat drastis, tetapi bisa juga normal dan bahkan menurun. Hb dan trombosit turun hingga dibawah normal, dan terdapat sel blast di darah tepi yang bervariasi, mulai dari 0-100%.
Penampakan llimfoblast pada apusan darah tepi
Untuk aspirasi dan biopsi sumsum tulang, ditemukan gambaran hiperseluler dengan peningkatan limfoblas. Hasil pemeriksaan sitokimia akan negatif pada pewarnaan Sudan Black dan Mieloperoksidase (senyawa yang digunakan untuk mewarnai granul, agar dapat dibedakan antara sel limfoblas dan mieloblas yang strukturnya hampir mirip, akan tetapi sel limfoblas tidak bergranul sehingga hasilnya negatif). Untuk membedakan apakah keganasannya terdapat pada sel B atau sel T, bisa dilakukan pemeriksaan dengan senyawa fosfatase asam (positif pada sel T ganas), atau Periodic Acid Schiff (PAS) (Positif pada sel B ganas). Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan imunofenotip dan sitogenetik untuk membedakan apakah keganasannya terjadi di sel T atau sel B.
Terapi
Untuk penatalaksanaannya, terlebih dahulu perlu diperhatikan beberapa kondisi sebagai berikut:
kondisi metabolik, perlu diperhatikan juga pada pasien LLA ini apabila terjadi hiperurisemia, hiperfosfatemia atau hipokalsemia sekunder yang sebelumnya harus diterapi dulu dengan hidrasi intravena, alkalinisasi urin atau pemberian alupurionol untuk mencegah akumulasi asam urat.
infeksi, akibat imunosupresi. Perlu diberi pencegahan terhadap agen infeksi berbahaya seperti virus herpes, pneumoni, dsb.
kondisi hematologik, dimana terjadi anemia dan trombositopenia. Perlu juga diberi tranfusi jika kondisinya memang sangat buruk, kecuali pada pasien yang hiperleukositosis (leukosit > 100.000/mm3) karena bisa meningkatkan viskositas darah secara mendadak dan mempresipitasi leukostasis.
Terapi utama untuk LLA ada 4:
1. Terapi induksi remisi. Gunanya untuk mengeliminasi/ eradikasi sel-sel leukemia yang bisa dideteksi secara morfologi di dalam darah dan sumsum tulang, kemudian agar hematopoiesis kembali normal. Bisa digunakan obat seperti prednison, vinkristin, daunorubisin dan lain-lain.
2. Terapi konsolidasi atau intensifikasi. Gunanya untuk benar-benar melibas habis sel-sel leukemia yang tersisa setelah pemberian terapi induksi, agar tidak terjadi relaps.
3. Profilaksis sistem saraf pusat, untuk mencegah relaps.4. Maintenance/ pemeliharan jangka panjang. Bisa dengan preparat 6-merkaptopurin tiap hari
dan metotreksat setiap minggu selama 2-3 tahun.
Keempat terapi utama di atas menggunakan obat-obat yang bisa disesuaikan dengan protokol yang digunakan. Ada beberapa protokol pengobatan yang tersedia, seperti Protokol OPAL, Hyper-CVAD, LALA 87, CALGB, dan lain-lain.
Terapi lain yang bisa diberikan adalah terapi suportif, seperti anti infeksi, pemberian nutrisi yang cukup, dukungan psikologi, dan pemantauan kondisi komponen darah secara rutin. Kemudian ada juga terapi sitostatik seperti radiasi tapi sekarang tidak digunakan lagi. Cara lain adalah dengan transplantasi sumsum tulang pada pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk relaps, misalkan pasien dengan kromosom Philadelphia, perubahan susunan gen MLL (salah satu jenis gen yang terlibat dalam pemeliharaan epigenetik memori transkripsi) hiperleukositosis, dan gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu.
Prognosis
Prognosis LLA untuk pasien dewasa biasanya lebih buruk dari yang berusia lebih muda. Untuk yang berusia 15-20 tahun prognosisnya baik dan bisa sembuh dengan kemoterapi jika disertai faktor prognostik yang baik. Tapi pada pasien LLA dewasa sebenarnya juga tergantung dari intensifnya terapi yang diberikan, seperti transplantasi sumsum tulang. Untuk usia > 60 tahun prognosisnya agak buruk, karena survival ratenya biasanya hanya 10% setelah remisi komplit.
Untuk faktor prognostiknya (dari buku IPD) adalah sebagai berikut:
1. Usia >30 tahun –> buruk.2. Jumlah leukosit >30.000/mm3 –> buruk3. Immunofenotip:
o T-cell ALL –> baik;o Mature B-cell ALL, early T-cell ALL –> buruk
4. Sitogenetik: o Kelainan 12 p; t(10;14)(a24;q11) –> baiko normal; hiperdiploid –> sedango t(9;22), t(4;11), t(1;19), hipodiploid, -7, +8 –> buruk
5. Respon terapi o remisi komplit dalam 4 minggu –> baiko minimal residual disease persisten –> buruk
http://sandurezu.wordpress.com/2011/03/17/leukemia-limfoblastik-akut-lla/
LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (ALL)
KONSEP PENYAKIT
1.1 PENGERTIAN
Gambar 1.1 Leukemia adalah keganasan yang
berasal dari sel-sel induk sistem hematopoietik.
Leukemia adalah keganasan yang berasal dari sel-sel induk sistem hematopoietik yang
mengakibatkan ploriferasi sel-sel darah putih tidak terkontrol dan pada sel-sel darah merah namun
sangat jarang. (Gale, 2000 : 186).
Sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok sel ganas tersebut dalam sumsum tulang,
kemudian sel leukemia beredar secara sistemik dan mempengaruhi produksi dari sel-sel darah
normal lainnya. (Bakta,I Made, 2007 :120).
Leukemia limfoblastik akut (ALL) adalah penyakit yang berkaitan dengan sel jaringan tubuh yang
tumbuhnya melebihi dan berubah menjadi ganas tidak normal serta bersifat ganas, yaitu sel-sel
sangat muda yang serharusnya membentuk limfosit berubah menjadi ganas.
LLA merupakan kanker yang paling banyak dijumpai pada anak, yaitu 25-30 % dari seluruh jenis
kanker pada anak. Angka kejadian tertinggi dilaporkan antara usia 3-6 tahun, dan laki-
laki lebih banyak daripada perempuan. Gejala lain yang perlu diwaspadai adalah tubuh
lemah dan sesak nafas akibat anemia, infeksi dan demam akibat
Kekurangan sel darah putih normal, serta pendarahan akibat kurangnya trombosit. (Rulina,
2003).ALL merupakan penyakit yang paling umum pada anak (25% dari seluruh kanker yang terjadi).
Di Amerika Serikat, kira-kira 2400 anak dan remajamenderita ALL setiap tahun. Insiden ALL
terjadi jauh lebih tinggi pada anak- anak kulit putih daripada kulit hitam. Perbedaan juga
tampak pada jenis kelamin, dimana kejadian ALL lebih tinggi pada anak laki-laki kurang dari 15
tahun. Insiden kejadian 3,5 per 100.000 anak berusia kurang dari 15 tahun. P u n c a k insiden pada
umur 2-5 tahun dan menurun pada dewasa (Moh. Supriatna.2002.
http://www.scribd.com/doc/52407689/REFERAT-LEUKEMIA-PADA-ANAK-almost-done)
1.2 Klasifikasi
1.2.1 Leukemia Lyphoblastic Akut (ALL)
ALL dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak, laki-laki
lebih banyak dibandingkan perempuan. Puncak insiden usia 4 tahun, setelah usia 15 tahun ALL
jarang terjadi. Limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga
mengganggu perkembangan sel normal.
Secara morfologik menurut FAB ALL dibagi menjadi tiga yaitu:
L1: ALL dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84% dari ALL.
L2: sel lebih besar, inti regular, kromatin bergumpal, nucleoli prominen dan sitoplasma agak banyak.
Merupakan 14% dari ALL
L3: ALL mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola, hanya
merupakan 1% dari ALL
1.2.2 Leukemia Nonlymphoblastik Akut (ANLL)
Secara morfologik yang umum dipakai adalah klasifikasi dari FAB:
M0- myeloblastic without differentiation
M1- myeloblastic without maturation
M2- myeloblastic with maturation
M3- acute promyelocytic
M4-acute myelomonocytic
M5-monocytic
a) Subtipe M5a: tanpa maturasi
b) Subtipe M5b: dengan maturasi
M6-erythroleukemia
M7-acute megakaryocytic leukemia
1.3 ETIOLOGI
1.3.1 Faktor predisposisi
1. Penyakit defisiensi imun tertentu, misalnya agannaglobulinemia; kelainan kromosom, misalnya
sindrom Down (risikonya 20 kali lipat populasi umumnya); sindrom Bloom.
2. Virus
Virus sebagai penyebab sampai sekarang masih terus diteliti. Sel leukemia mempunyai enzim
trankriptase (suatu enzim yang diperkirakan berasal dari virus). Limfoma Burkitt, yang diduga
disebabkan oleh virus EB, dapat berakhir dengan leukemia.
3. Radiasi ionisasi
Terdapat bukti yang menyongkong dugaan bahwa radiasi pada ibu selama kehamilan dapat
meningkatkan risiko pada janinnya. Baik dilingkungan kerja, maupun pengobatan kanker
sebelumnya. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzene, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen
anti neoplastik.
4. Herediter
Faktor herediter lebih sering pada saudara sekandung terutama pada kembar monozigot.
5. Obat-obatan
Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
1.3.2 Faktor Lain
1. Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, dan bahan kimia (benzol, arsen, preparat sulfat),
infeksi (virus dan bakteri).
2. Faktor endogen seperti ras
3. Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom, herediter (kadang-kadang dijumpai kasus leukemia
pada kakak-adik atau kembar satu telur).
1.4 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik leukemia akut sangat bervariasi, tetapi pada umumnya timbul cepat, dalam beberapa
hari sampai minggu. Gejala leukemia akut dapat digolongkan menjadi tiga yaitu;
1. Gejala kegagalan sumsum tulang:
a. Anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah. Disebabkan karena produksi sel darah merah kurang
akibat dari kegagalan sumsum tulang memproduksi sel darah merah. Ditandai dengan berkurangnya
konsentrasi hemoglobin, turunnya hematokrit, jumlah sel darah merah kurang. Anak yang menderita
leukemia mengalami pucat, mudah lelah, kadang-kadang sesak nafas.
b. Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai demam, malaise, infeksi rongga mulut, tenggorokan,
kulit, saluran napas, dan sepsis sampai syok septic.
c. Trombositopenia menimbulkan easy bruising, memar, purpura perdarahan kulit, perdarahan
mukosa, seperti perdarahan gusi dan epistaksis. Tanda-tanda perdarahan dapat dilihat dan dikaji
dari adanya perdarahan mukosa seperti gusi, hidung (epistaxis) atau perdarahan bawah kulit yang
sering disebut petekia. Perdarahan ini dapat terjadi secara spontan atau karena trauma. Apabila
kadar trombosit sangat rendah, perdarahan dapat terjadi secara spontan.
2. Keadaan hiperkatabolik yang ditandai oleh:
a. Kaheksia
b. Keringat malam
c. Hiperurikemia yang dapat menimbulkan gout dan gagal ginjal
3. Infiltrasi ke dalam organ menimbulkan organomegali dan gejala lain seperti:
a. Nyeri tulang dan nyeri sternum
b. Limfadenopati superficial
c. Splenomegali atau hepatomegali biasanya ringan
d. Hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit
e. Sindrom meningeal: sakit kepala, mual muntah, mata kabur, kaku kuduk.
f. Ulserasi rectum, kelainan kulit.
g. Manifestasi ilfiltrasi organ lain yang kadang-kadang terjadi termasuk pembengkakan testis pada ALL
atau tanda penekanan mediastinum (khusus pada Thy-ALL atau pada penyakit limfoma T-limfoblastik
yang mempunyai hubungan dekat)
4. Gejala lain yang dijumpai adalah:
a. Leukostasis terjadi jika leukosit melebihi 50.000/µL. penderita dengan leukositosis serebral ditandai
oleh sakit kepala, confusion, dan gangguan visual. Leukostasis pulmoner ditandai oleh sesak napas,
takhipnea, ronchi, dan adanya infiltrasi pada foto rontgen.
b. Koagulapati dapat berupa DIC atau fibrinolisis primer. DIC lebih sering dijumpai pada leukemia
promielositik akut (M3). DIC timbul pada saat pemberian kemoterapi yaitu pada fase regimen
induksi remisi.
c. Hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai arthritis gout dan batu ginjal.
d. Sindrom lisis tumor dapat dijumpai sebelum terapi, terutama pada ALL. Tetapi sindrom lisis tumor
lebih sering dijumpai akibat kemoterapi.
(Bakta,I Made, 2007 :126-127).
1.5 KOMPLIKASI
1.6.1 Infeksi
Komplikasi ini yang sering ditemukan dalam terapi kanker masa anak-anak adalah infeksi berat
sebagai akibat sekunder karena neutropenia. Anak paling rentan terhadap infeksi berat selama tiga
fase penyakit berikut:
1. Pada saat diagnosis ditegakkan dan saat relaps (kambuh) ketika proses leukemia telah
menggantikan leukosit normal.
2. Selama terapi imunosupresi
3. Sesudah pelaksanaan terapi antibiotic yang lama sehingga mempredisposisi pertumbuhan
mikroorganisme yang resisten.
Walau demikian , penggunaan faktor yang menstimulasi-koloni granulosit telah mengurangi
insidensi dan durasi infeksi pada anak-anak yang mendapat terapi kanker. Pertahanan pertama
melawan infeksi adalah pencegahan. (Wong, 2009:1141)
1.6.2 Perdarahan
Sebelum penggunaan terapi transfuse trombosit, perdarahan merupakan penyebab
kematian yang utama pada pasien leukemia. Kini sebagaian besar episode perdarahan dapat dicegah
atau dikendalikan dengan pemberian konsentrat trombosit atau plasma kaya trombosit.
Karena infeksi meningkat kecenderungan perdarahan dan karena lokasi perdarahan lebih
mudah terinfeksi, maka tindakan pungsi kulit sedapat mungkin harus dihindari. Jika harus dilakukan
penusukan jari tangan, pungsi vena dan penyuntikan IM dan aspirasi sumsum tulang, prosedur
pelaksanaannya harus menggunakan teknik aseptic, dan lakukan pemantauan kontinu untuk
mendeteksi perdarahan.
Perawatan mulut yang saksama merupakan tindakan esensial, karena sering terjadi
perdarahan gusi yang menyebabkan mukositis. Anak-anak dianjurkan untuk menghindari aktivitas
yang dapat menimbulkan cedera atau perdarahan seperti bersepeda atau bermain skateboard,
memanjat pohon atau bermain dengan ayunan.(Wong, 2009:1141-1142)
Umumnya transfuse trombosit hanya dilakukan pada episode perdarahan aktif yang tidak
bereaksi terhadap terapi lokal dan yang terjadi selama terapi induksi atau relaps. Epistaksis dan
perdarahan gusi merupakan kejadian yang paling sering ditemukan.
1.6.3 Anemia
Pada awalnya, anemia dapat menjadi berat akibat penggantian total sumsum tulang oleh sel-sel
leukemia. Selama terapi induksi, transfusi darah mungkin diperlukan. Tindakan kewaspadaan yang
biasa dilakukan dalam perawatan anak yang menderita anemia harus dilaksanakan. (Wong, 2009 :
1142)
1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hitung darah lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Jumlah leukosit biasanya
berbanding langsung dengan jumlah blas. Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah
Hiperleukositosis (> 100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebih
200.000/mm3.
Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia
Prporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0-100%
Hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3
Kadar hemoglobin rendah
b. Aspirasi dan Biopsi sumsum tulang
Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limpoblast yang sangat banyak lebih dari
90% sel berinti pada ALL dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia,
maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsy
penting untuk evaluasi gambaran sitologi.
Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran monoton, yaitu hanya terdiri
dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia sekunder).
c. Sitokimia
Pada ALL, pewarnaan Sudan Black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang
negative. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari
precursor granulositik yang dapat dideteksi pada sel blast AML.
Sitokimia berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-ALL. Pewarnaan
fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang gans, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang
positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limpoblast dapat
dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry
d. Imunofenotif (dengan sitometri arus/ Flow cytometry)
Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtype imunologi adalah antibody terhadap:
a. Untuk sel precursor B: CD 10 (common ALL antigen), CD19,CD79A,CD22, cytoplasnic m-heavy chain,
dan TdT
b. Untuk sel T: CD1a,CD2,CD3,CD4,CD5 ,CD7,CD8 dan TdT
c. Untuk sel B: kappa atau lambda CD19,CD20, dan CD22
e. Sitogenetik
Analisi sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan
subtype ALL tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik. Translokasi t(8;14), t(2;8), dan t
(8;22) hanya ditemukan pada ALL sel B, dan kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi dan
ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc pada kromosom 8.
f. Biopsi limpa
pemeriksaan ini memeperlihatkan poriferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari jaringan limpa
yang terdesak, seperti limposit normal, RES, granulosit, dan pulp cell.
1.7 PENATALAKSANAAN DAN TERAPI
1.8.1 Penatalaksanaan terapi
1. Transfusi darah
Biasanya diberikan jika kadar Hb kurang dari 6 g%. pada trombositopenia yang berat dan
perdarahan massif, dapat diberikan transfuse trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat
diberikan heparin.
2. Kortikosteroid (prednisone,kortison,deksametason)
Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
3. Sitostatika
Selain sitostatika yang lama (6-merkatopurin atau 6-mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini
dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (Oncovin), rubidomisin (daunorubycine) dan
berbagai nama obat lainnya. umumnya sitostatiska diberikan dalam kombinasi bersama-sama
dengan prednisone. Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa
alopecia, stomatitis, leucopenia, infeksi sekunder atau kandidiasis. Bila jumlah leukosit kurang dari
2000/ mm3 pemberiannya harus hati-hati.
4. Infeksi sekunder dihindarkan (lebih baik pasien dirawat dikamar yang suci hama)
5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel
leukemia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai diberikan (mengenai cara pengobatan yang
terbaru, masih dalam pengembangan)
Cara pengobatan berbeda-beda pada setiap klinik bergantung dari pengalaman, tetapi prinsipnya
sama yaitu dengan pola dasar:
1. Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi dengan berbagai obat tersebut sampai sel blas dalam sumsum
tulang kurang dari 5%.
2. Konsolidasi
Bertujuan agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
3. Rumat
Untuk mempertahankan masa remisi, agar lebih lama. Biasanya dengan memberikan sitostatika
setengah dosis biasa.
4. Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemebrian obat-
obat seperti pada induksi selama 10-14 hari.
5. Mencegah terjadinya leukemia pada susunan saraf pusat. Diberikan MTX secara intratekal dan
radiasi cranial.
6. Pengobatan immunologic
Pola ini dimaksudkan menghilangkan sel leukemia yang ada didalam tubuh agar pasien dapat
sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3 tahun remisi terus menerus. Pungsi
sumsum tulang diulang secara rutin setelah induksi pengobatan (setelah 6 minggu).
1.8.2 Pemeriksaan Diagnostik
Hitung darah lengkap dan diferensiasinya adalah indikasi utama bahwa leukemia tersebut
mungkin timbul. Semua jenis leukemia tersebut didiagnosis dengan aspirasi dan biopsi sumsum
tulang. Contoh ini biasanya didapat dari tulang iliaka dengan pemberian anestesi lokal dan dapat
juga diambil dari tulang sternum. (Gale, 2000 : 185)
Pada leukemia akut sering dijumpai kelainan laboratorik seperti:
1. Darah tepi
a. Dijumpai anemia normokromik-normositer, anemia sering berat dan timbul cepat.
b. Trombositopenia, sering sangat berat di bawah 10 x 106/l
c. Leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal atau menurun (aleukemic leukemia). Sekitar 25%
menunjukan leukosit normal atau menurun, sekitar 50% menunjukan leukosit meningkat 10.000-
100.000/mm3 dan 25% meningkat 100.000/mm3
d. Apusan darah tepi: khas menunjukan adanya sel muda (mieloblast, promielosit, limfoblast,
monoblast, erythroblast atau megakariosit ) yang melebih 5% dari sel berinti pada darah tepi. Sering
dijumpai pseudo Pelger-Huet Anomaly yaitu netrofil dengan lobus sedikit (dua atau satu) yang
disertai dengan hipo atau agranular.
2. Sumsum tulang
Merupakan pemeriksaan yang sifatnya diagnostik. Ditemukan banyak sekali sel primitif.
Sumsum tulang kadang-kadang mengaloblastik; dapat sukar untuk membedakannya dengan anemia
aplastik. Harus diambil sampel dari tempat ini. (Rendle.Ikhtisar Penyakit Anak.1994;184).
Hiperseluler, hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast), tampak monoton oleh sel
blast, dengan adanya leukomic gap (terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang
matang, tanpa sel antara). System hemopoesis normal mengalami depresi. Jumlah blast minimal
30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam hitung 500 sel pada apusan sumsum tulang).
3. Pemeriksaan immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi imunologik leukemia akut.
Pemeriksaan inni dikerjakan untuk pemeriksaan surface marker guna membedakan jenis leukemia.
4. Pemeriksaan sitogenetik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan dalam diagnosis leukemia
karena kelainan kromosom dapat dihubungkan dengan prognosis.
1.8.2.1 Pengobatan
a. Pengobatan khusus dan harus dilakukan di rumah sakit. Berbagai regimen pengobatannya
bervariasi, karena banyak percobaan pengobatan yang masih terus berlangsung untuk menentukan
pengobatan yang optimum.
b. Obat-obatan kombinasi lebih baik daripada pengobatan tunggal.
c. Jika dimungkinkan, maka pengobatan harus diusahakan dengan berobat jalan.
d. Daya tahan tubuh penderita menurun karena sel leukemianya, demikian pula karena obat-obatan,
dan karena itu infeksi oleh organisme tertentu dapat menjadi masalah, misalnya septicemia.
Organisme yang sering ditemukan adalah stafilokokus, pneumocystis carinii, jamur dan
sitomegalovirus.
1.8.2.2 Terapi
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Terapi spesifik: dalam bentuk kemoterapi
Kemoterapi memiliki tahapan pengobatan yaitu:
a. Induksi Remisi.
Banyak obat yang dapat membuat remisi pada leukemia limfositik akut. Pada waktu remisi,
penderita bebas dari symptom, darah tepi dan sumsum tulang normal secara sitologis, dan
pembesaran organ menghilang. Remisi dapat diinduksi dengan obat-obatan yang efeknya hebat
tetapi terbatas. Remisi dapat dipertahankan dengan memberikan obat lain yang mempunyai
kapasitas untuk tetap mempertahankan penderita bebas dari penyakit ini.
Berupa kemoterapi intensif untuk mencapai remisi, yaitu suatu keadaan di mana gejala klinis
menghilang, disertai blast sumsum tulang kurang dari 5%. Dengan pemeriksaan morfolik tidak dapat
dijumpai sel leukemia dalam sumsum tulang dan darah tepi. (Bakta,I Made, 2007 : 131-133)
Biasanya 3 obat atau lebih diberikan pada pemberian secara berurutan yang tergantung
pada regimen atau protocol yang berlaku. Beberapa rencana induksi meliputi: prednisone, vinkristin
(Oncovin),daunorubisin (Daunomycin), dan L-asparaginase (Elspar). Obat-obatan lain yang mungkin
dimasukan pada pengobatan awal adalah 6-merkaptopurin (Purinethol) dan Metotreksat (Mexate).
Allopurinol diberikan secara oral dalam dengan gabungan kemoterapi untuk mencegah
hiperurisemia dan potensial adanya kerusakan ginjal. Setelah 4 minggu pengobatan, 85-90% anak-
anak dan lebih dari 50% orang dewasa dengan ALL dalam remisi komplit. Teniposude (VM-26) dan
sitosin arabinosid (Ara-C) mungkin di gunakan untuk menginduksi remisi juka regimen awal gagal.
(Gale, 2000 : 185)
a. Obat yang dipakai terdiri atas:
Vincristine (VCR) 1.5 mg/m2/minggu, i.v
Predison (Pred) 6 mg/m2/hari, oral
L Asparaginase (L asp) 10.000 U/m2
Daunorubicin 25 mg/m2/minggu-4 minggu
b. Regimen yang dipakai untuk ALL dengan risiko standar terdiri atas:
Pred + VCR
Pred + VCR + L asp
c. Regimen untuk ALL denga risiko tinggi atau ALL pada orang dewasa antara lain:
Pred + VCR + DNR dengan atau tanap L asp
Kelompok G!MEMA dari Italia memberikan DNR+VCR+Pred+L asp dengan atau tanpa siklofosfamid.
b. Fase postremisi
Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama mungkin yang pada akhirnya akan
menuju kesembuhan. Hal ini dicapai dengan:
a. Kemoterapi lanjutan, terdiri atas:
Terapi konsolidasi
Terapi pemeliharaan (maintenance)
Late intensification
b. Transplantasi sumsum tulang: merupakan terapi konsolidasi yang memberikan penyembuhan
permanen pada sebagaian penderita, terutama penderita yang berusia di bawah 40 tahun.
Terapi postremisi
a. Terapi untuk sanctuary phase (membasmi sel leukemia yang bersembunyi dalam SSp dan testis)
Triple IT yang terdiri atas : intrathecal methotrexate (MTX), Ara C (cytosine arabinosid), dan
dexamenthason
b. Terapi iontensifikasi/konsolidasi: pemberian regimen noncrossresistant terhadap regimen induksi
remisi.
c. Terapi pemeliharaan (maintenance): umumnya dipakai 6 mercaptopurine (6 MP) peroral dan MTX
tiap minggu. Di berikan selama 2-3 tahun denga diselingi terapi konsolidasi atau intesifikasi.
2. Terapi suportif
Terapi ini bertujuan untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena proses
leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi.
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi spesifik
karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi
suportif yang intensif pula, kalu tidak maka penderita dapat meninggal karena efek samping obat,
suatu kematian iatrogenic. Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat. Terapi suportif yang
diberikan adalah;
1. Terapi untuk mengatasi anemia
Transfusi PRC untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10 g/dl. Untuk calon transplantasi
sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya dihindari.
2. Terapi untuk mengatasi infeksi, sama seperti kasus anemia aplastik terdiri atas:
a. Antibiotika adekuat
b. Transfusi konsentrat granulosit
c. Perawatan khusus (isolasi)
d. Hemopoitic growth factor (G-CSF atau GM-CSF)
3. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas:
a. Transfuse konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit minimal 10 x 106/ml, idealnya
diatas 20 x 106/ml
b. Pada M3 diberikan Heparin untuk mengatasi DIC
4. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain yaitu:
a. Pengelolaan leukostasis : dilakukan dengan hidrasi intravenous dan leukapheresis. Segera lakukan
induksi remisi untuk menurunkan jumlah leukosit
b. Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup, pemberiaan alopurinol dan alkalinisasi
urin.
Hasil pengobatan
Hasil pengobatan tergantung pada berikut ini:
1. Tipe leukemia : pada umumnya ALL mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan AML
2. Karakteristik faktor prognostik dari penderita
3. Jenis regimen obat yang diberikan
PENGKAJIAN
1 BIODATA
3.1.1 Identitas Anak
Umur : ALL lebih sering terjadi pada umur kurang dari 5 tahun. Angka kejadian tertinggi adalah pada umur 3 tahun.
Jenis kelamin : leukemia limpfositik akut paling sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
3.1.2 Identitas Orang Tua
Pendidikan : Pendidikan yang rendah pada orang tua mengakibatkan kurangnya pengetahuan terhadapa penyakit anaknya.
Pekerjaan : Pekerjaan orang tua yang berhubungan dengan bahan kimia , radiasi sinar X , sinar radioaktif, berpengaruh kepada anaknya. Selain itu sejauh mana orang tua mempengaruhi pengobatan penyakit anaknya.
2 Keluhan utama
Nyeri sendi dan tulang sering terjadi, lemah , nafsu makan menurun, demam (jika disertai infeksi) bisa juga disertai dengan sakit kepala, purpura, penurunan berat badan dan sering ditemukan suatu yang abnormal. Kelelahan dan petekie berhubungan dengan trombositopenia juga merupakan gejala-gejala umum terjadi
3 Riwayat Kehamilan dan kelahiran
Saat hamil ibu sering mengkomsumsi makanan dengan bahan pengawet dan penyedap rasa.
Radiasi pada ibu selama kehamilan dapat meningkatkan resiko pada janinnya. Lebih sering pada
saudara sekandung, terutama pada kembar.
4 Riwayat Keluarga
Insiden ALL lebih tinggi berasal dari saudara kandung anak-anak yang terserang terlebih pada
kembar monozigot (identik).
5 Riwayat Tumbuh kembang
Pada penderita ALL pertumbuhan dan perkembangannya mengalami keterlambatan akibat nutrisi
yang didapat kurang karena penurunan nafsu makan, pertumbuhan fisiknya terganggu, terutama
pada berat badan anak tersebut. Anak keliatan kurus, kecil dan tidak sesuai dengan usia anak.
Usia Rata-rata Berat Badan (Kg)
3 hari 3,0
10 hari 3,2
3 bulan 5,4
6 bulan 7,3
9 bulan 8,6
1 tahun 9,5
2 tahun 11,8
4 tahun 16,2
6 tahun 20,0
10 tahun 28,0
14 tahun 45,0
18 tahun 54,0
Tabel 1.1 Rata-rata normal sesuai usia
(Wong, Donna L, 2004 : 134)
Sedangkan pada keadaan normal anak lingkar kepala mencapai 42,5 pada usia 6 bulan. Setiap
bulannya lingkar kepala meningkat 1,25 cm.
(Betz, Cecily, 2002 : 538)
Pada anak dengan penderita penyakit ALL cenderung berat badan menurun, dan tidak sesuai
usia, lingkar kepala dan panjang badan relatif tetap (normal).
a. Riwayat Perkembangan
Motorik Kasar
a. Pada anak normal
- Mengangkat kepala saat tengkurap
- Dapat duduk sebentar dengan ditopang
- Dapat duduk dengan kepala tegak
- Jatuh terduduk di pangkuan ketika disokong pada posisi berdiri
- Control kepala sempurna
- Mengangkat kepala sambil berbaring terlentang
- Berguling dari terlentang ke miring
- Posisi lengan dan tungkai kurang fleksi
- Berusaha untuk merangkak
(Betz, Cecily, 2002 : 539)
Pada anak dengan penyakit ALL pada umumnya dapat melakukan aktivitas secara normal, tapi
mereka cepat merasa lelah saat melakukan aktivitas yang terlalu berat (membutuhkan banyak
energi).
Motorik Halus
a. Pada keadaan normal
- Melakukan usaha yang bertujuan untuk memegang suatu objek
- Mengikuti objek dari sisi ke sisi
- Mencoba memegang benda tapi terlepas
- Memasukkan benda ke dalam mulut
- Memperhatikan tangan dan kaki
- Memegang benda dengan kedua tangan
- Menahan benda di tangan walaupun hanya sebentar
(Betz, Cecily, 2002 : 539)
Pada umumnya anak dengan ALL masih dapat melakukan aktivitas ringan seperti halnya anak-
anak normal. Karena aktivitas ringan tidak membutuhkan energi yang banyak dan anak tidak mudah
lelah
6 Data psikososio spiritual
a. Psikologi:
Anak belum tahu tentang penyakitnya, sehingga anak tidak merasa memiliki penyakit. Orang tua
mengalami kecemasan mengenai penyakit yang dialami anak, kondisinya apakah bisa sembuh atau
tidak, serta masalah financial keluarga.
b. Sosial:
Anak jarang bermain dengan teman-temannya, karena kondisi anak lemah sehingga orangtua tidak
mengizinkan anak untuk beraktivitas yang berat. Dirumah anak bermain dengan orang tua dan
saudaranya, tetapi bermain yang ringan.
c. Spiritual:
Sebelum tidur anak diingatkan oleh orang tua untuk berdoa. Saat anak melihat orang tuanya berdoa
anak mengikuti cara orang tuanya berdoa.
7 ADL
a. Nutrisi:
Anak makan 2 kali sehari, pada ALL terjadi penurunan nafsu makan. Anak suka makan
makanan siap saji maupun jajan diluar rumah. Anak tidak suka makan sayur-sayuran, makan buah
kadang-kadang sehingga zat besi yang diperlukan berkurang. Selain itu pengaruh ibu yang suka
masak menggunakan penyedap rasa dan sering menyediakan makanan siap saji dirumah.
Gizi merupakan komponen penting lain dalam pencegahan infeksi. Asupan protein-kalori
yang adekuat akan memberikan hospes pertahanan yang lebih baik terhadap infeksi dan
meningkatkan toleransi terhadap kemoterapi dan iradiasi.
b. Aktivitas istirahat dan tidur:
Saat beraktivitas anak cepat kelelahan. Anak kebanyakan istirahat dan tidur karena kelemahan yang
dialaminya. Sebagaian aktivitas biasanya dibantu oleh keluarga. Saat tidur anak ditemani oleh
ibunya. Tidur anak terganggu karena nyeri sendi yang sering dialami oleh leukemia.
c. Eleminasi:
Anak gangguan ALL pada umumnya mengalami diare, dan penurunan haluran urin. BAB 3-5x sehari,
dengan konsistensi cair. Haluan urin sedikit yang disebabkan susahnya masukan cairan pada anak,
warna urine kuning keruh. Saat BAK anak merasa nyeri karena nyeri tekan diperianal.
d. H.P:
Anak mandi 2x sehari, gosok gigi 2x setelah makan dan mau tidur. Sebagaian aktivitas hygiene
personal sebagaian dibantu oleh orang tua.
8 Keadaan Umum:
Pada anak –anak tampak pucat, demam, lemah, sianosis
9 Pemeriksaan TTV
RR : Pada penderita PDA, manifestasi kliniknya pada umumnya anak sesak nafas, tachypnea (Pernafasan
>70x/menit), retraksi dada
Usia Nilai Pernafasan
Bayi baru lahir 35
1-11 bulan 30
2 tahun 25
4 tahun 23
6 tahun 21
8 tahun 20
10-12 tahun 19
14 tahun 17
16 tahun 17
18 tahun 16-18
Tabel 1.4 Nilai Pernafasan rata-rata setiap menit sesuai umur
(Weni Kristiyani Sari, 2010 : 6)
Nadi : Pada penderita ALL, terdapat manifestasi klinik nadi teraba kuat dan cepat (takikardia)
Usia Waktu bangun
(kali/menit)
Tidur
(kali/menit)
Demam
(kali/menit)
Bayi baru lahir 100-180 80-160 >200
1 minggu-3 bulan 100-120 80-200 >200
3 bulan-2 tahun 70-120 70-120 >200
2-10 tahun 60-90 60-90 >200
10 tahun-dewasa 50-90 50-90 >200
Tabel 1.4 Nilai Nadi Normal pada Anak
(Weni Kristiyani Sari, 2010 : 6)
TD : pada penderita ALL, tekanan darahnya tinggi disebabkan oleh hiperviskositas darah
Usia Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Neonatus 80 45
6-12 bulan 90 60
1-5 tahun 95 65
5-10 tahun 100 60
10-15 tahun 115 60
Tabel 1.3 Nilai Tekanan Darah Normal pada Bayi dan Anak-anak
(Aziz Alimul, 2005 : 279 )
Suhu : Pada penderita ALL yang terjadi infeksi l suhu akan naik (hipertermi, >37,50C)
Usia Nilai Suhu
3 bulan 37,5
6 bulan 37,5
1 tahun 37,7
3 tahun 37,2
5 tahun 37
7 tahun 36,8
9 tahun 36,7
11 tahun 36,7
13 tahun 36,6
Tabel 1.2 Nilai Suhu rata-rata normal anak
(Weni Kristiyani Sari, 2010 : 5)
10 Pemeriksaan Fisik Head to Toe
b. Kepala dan Leher
Rongga mulut :
apakah terdapat peradangan (infeksi oleh jamur atau bakteri). Penyebab yang paling sering adalah
stafilokokus,streptokokus, dan bakteri gram negative usus serta berbagai spesies jamur.
perdarahan gusi,
pertumbuhan gigi apakah sudah lengkap
ada atau tidaknya karies gigi.
Mata:
Konjungtiva : anemis atau tidak. Terjadi gangguan penglihatan akibat infiltrasi ke SSP,
sclera: kemerahan, ikterik.
Perdarahan pada retinas
Telinga: ketulian
Leher: distensi vena jugularis
Perdarahan otak
Leukemia system saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi intrakranial), perubahan
dalam status mental, kelumpuhan saraf otak, terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologic fokal.
c. Pemeriksaan Dada dan Thorax
- Inspeksi : bentuk thorax, kesimetrisan, adanya retraksi dada, penggunaan otot bantu
pernapasan
- Palpasi denyut apex (Ictus Cordis)
- Perkusi untuk menentukan batas jantung dan batas paru.
- Auskultasi : suara nafas, adakah ada suara napas tambahan: ronchi (terjadi penumpukan
secret akibat infeksi di paru), bunyi jantung I, II, dan III jika ada
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi bentuk abdomen apakah terjadi pembesaran pada kelenjar limfe, ginjal, terdapat bayangan
vena, auskultasi peristaltik usus, palpasi nyeri tekan bila ada pembesaran hepar dan limpa.
Perkusi adanya asites atau tidak.
e. Pemeriksaan Genetalia
Pembesaran pada testis
hematuria
f. Pemeriksaan integumen
Kulit :
a. Perdarahan kulit (pruritus, pucat, sianosis, ikterik, eritema, petekie, ekimosis, ruam)
b. nodul subkutan, infiltrat, lesi yg tidak sembuh, luka bernanah, diaforesis (gejala hipermetabolisme).
c. peningkatan suhu tubuh.
Kuku : rapuh, bentuk sendok / kuku tabuh, sianosis perifer.
g. Pemeriksaan Ekstremitas
Adakah sianosis, kekuatan otot.
Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel leukemia)
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Resiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder akibat hipoksia
jaringan
2 Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan anoreksia
3 Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan kurangnya oksigen ke dalam tubuh
4 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak adekuatan sumber energi
5 Resiko infeksi yang berhubungan dengan melemahnya daya tahan tubuh sekunder akibat
gangguan hematologis.
6 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
7 Ketidakefektifan perfusi jaringan yang berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun
DAFTAR PUSTAKA
Rendle,John-Short dkk.1994.Ikhtisar Penyakit Anak Ed;VI,Jilid;II.Binarupa Aksara. Jakarta
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC.Jakarta
Soeparman-Waspadji,Sarwono.1994.Ilmu Penyakit Dalam;Jilid II.Balai Penerbit FKUI.Jakarta
Gale,Danielle-Charette,Jane.2000.Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi.Penerbit Buku
Kedokteran;EGC.Jakarta
Hoffbrand,A.V dan Pettit,J.E.1987.Kapita Selekta Haematologi Ed;II.Penerbit Buku
Kedokteran;EGC.Jakarta
Wong, Donna L.2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatriks,Vol 2.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta
http://arinkuu.blogspot.com/2012/06/leukemia-limfoblastik-akut-all.html
AKUT LIMFOBLASTIK LEUKIMIA (ALL)
A. DEFINISI
Acute lympobastic leukemia adalah bentuk akut dari leukemia yang diklasifikasikan menurut
cell yang lebih banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa lymphoblasts. Pada keadaan leukemia
terjadi proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang lain
daripada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan anemia, trombositopenia, dan
diakhiri dengan kematian (Ngastiyah, 1997).
Leukemia adalah istilah umum yang digunakan untuk keganasan pada sumsum tulang dan
sistem limpatik (Wong, 1995). Sedangkan menurut Robbins & Kummar (1995), leukemia adalah
neoplasma ganas sel induk hematopoesis yang ditandai oelh penggantian secara merata sumsum
tulang oleh sel neoplasi.
B. ETIOLOGI
Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan
karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:
1. Faktor eksogen
a. Sinar x, sinar radioaktif.
b. Hormon.
c. Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent).
2. Faktor endogen
a. Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam)
b. Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down).
c. Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur).
(Ngastiyah, 1997)
C. PATOFISIOLOGI
Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan leukosit atau sel
darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh sel darah normal diperoleh dari sel batang
tunggal yang terdapat pada seluruh sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid
dan sel batang darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal bakal sel yang terbagi
sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai hematopoiesis dan terjadi di dalam
sumsum tulang tengkorak, tulang belakang., panggul, tulang dada, dan pada proximal epifisis pada
tulang-tulang yang panjang.
ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan lemah dan
pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang. Biasanya dijumpai tingkat
pengembangan lymphoid yang berbeda dalam sumsum tulang mulai dari yang sangat mentah
hingga hampir menjadi sel normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk untuk
menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel muda
limfoblas dan biasanya ada leukositosis (^)%), kadang-kadang leukopenia (25%). Jumlah leukosit
neutrofil seringkali rendah, demikian pula kadar hemoglobin dan trombosit. Hasil pemeriksaan
sumsum tulang biasanya menunjukkan sel-sel blas yang dominan. Pematangan limfosit B dimulai
dari sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-B, early B, sel B intermedia, sel B
matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga berasal dari sel stem pluripoten,
berkembang menjadi sel stem limfoid, sel timosit imatur, cimmom thymosit, timosit matur, dan
menjadi sel limfosit T helper dan limfosit T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat ekstramedular sehingga anak-
anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan hepatosplenomegali. Sakit tulang juga sering
dijumpai. Juga timbul serangan pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-muntah,
“seizures” dan gangguan penglihatan (Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart, 1995).
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan.
Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-
unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer
sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal
terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel
kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala,
muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia,
penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi,
epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat
menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel
kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer
& Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).
PATHWAYS
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:
1. Pilek tak sembuh-sembuh
2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
3. Demam, anoreksia, mual, muntah
4. Berat badan menurun
5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab
6. Nyeri tulang dan persendian
7. Nyeri abdomen
8. Hepatosplenomegali, limfadenopati
9. Abnormalitas WBC
10. Nyeri kepala (Mansjoer, A, 2000)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia
adalah:
1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):
a. Ditemukan sel blast yang berlebihan
b. Peningkatan protein
2. Pemeriksaan darah tepi
a. Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)
b. Peningkatan asam urat serum
c. Peningkatan tembaga (Cu) serum
d. Penurunan kadar Zink (Zn)
e. Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / µl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif
3. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ
tersebut
4. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum
5. Sitogenik:
50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:
a. Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)
b. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)
c. Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom
normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil (Betz, Sowden. (2002).
F. PENATALAKSANAAN
1. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat
dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat
diberikan heparin.
2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis
dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat atau MTX) pada
waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin
(daunorubycine), sitosin, arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin dan
sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan prednison.
Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis,
leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti-hati bila jumiah leukosit
kurang dari 2.000/mm3.
4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).
5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel
leukemia cukup rendah (105 - 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik
dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar
terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan
dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk
antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan
sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.
6. Cara pengobatan.
7. Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalamannya. Umumnya pengobatan
ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk
mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:
a. Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berbagai obat tersebut di atas, baik
secara sistemik maupun intratekal sampai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
b. Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c. Rumat (maintenance)
Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya
dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.
d. Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan dengan
pemberian obat-obat seperti pada induksi selama 10-14 hari.
e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.
Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan
radiasi kranial sebanyak 2.4002.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia sereb-
ral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
f. Pengobatan imunologik
Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian
diharapkan penderita dapat sembuh sempurna. (Sutarni Nani.(2003)
G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian keperawatan
a. Identitas
Acute lymphoblastic leukemia sering terdapat pada anak-anak usia di bawah 15 tahun (85%) ,
puncaknya berada pada usia 2 – 4 tahun. Rasio lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan.
b. Riwayat Kesehatan
Keluhan Utama : Pada anak keluhan yang sering muncul tiba-tiba adalah
demam, lesudan malas makan atau nafsu makan berkurang, pucat
(anemia) dan kecenderungan terjadi perdarahan.
Riwayat kesehatan masa lalu : Pada penderita ALL sering ditemukan
riwayat keluarga yang erpapar oleh chemical toxins (benzene dan arsen),
infeksi virus (epstein barr, HTLV-1), kelainan kromosom dan penggunaan
obat-obatann seperti phenylbutazone dan khloramphenicol, terapi radiasi
maupun kemoterapi.
Pola Persepsi – mempertahankan kesehatan : Tidak spesifik dan
berhubungan dengan kebiasaan buruk dalam mempertahankan kondisi
kesehatan dan kebersihan diri. Kadang ditemukan laporan tentang
riwayat terpapar bahan-bahan kimia dari orangtua.
Pola Latihan dan Aktivitas : Anak penderita ALL sering ditemukan
mengalami penurunan kordinasi dalam pergerakan, keluhan nyeri pada
sendi atau tulang. Anak sering dalam keadaan umum lemah, rewel, dan
ketidakmampuan melaksnakan aktivitas rutin seperti berpakaian, mandi,
makan, toileting secara mandiri. Dari pemeriksaan fisik dedapatkan
penurunan tonus otot, kesadaran somnolence, keluhan jantung berdebar-
debar (palpitasi), adanya murmur, kulit pucat, membran mukosa pucat,
penurunan fungsi saraf kranial dengan atau disertai tanda-tanda
perdarahan serebral.Anak mudah mengalami kelelahan serta sesak saat
beraktifitas ringan, dapat ditemukan adanya dyspnea, tachipnea, batuk,
crackles, ronchi dan penurunan suara nafas. Penderita ALL mudah
mengalami perdarahan spontan yang tak terkontrol dengan trauma
minimal, gangguan visual akibat perdarahan retina, , demam, lebam,
purpura, perdarahan gusi, epistaksis.
Pola Nurisi : Anak sering mengalami penurunan nafsu makan, anorexia,
muntah, perubahan sensasi rasa, penurunan berat badan dan gangguan
menelan, serta pharingitis. Dari pemerksaan fisik ditemukan adanya
distensi abdomen, penurunan bowel sounds, pembesaran limfa,
pembesaran hepar akibat invasi sel-sel darah putih yang berproliferasi
secara abnormal, ikterus, stomatitis, ulserasi oal, dan adanya pmbesaran
gusi (bisa menjadi indikasi terhadap acute monolytic leukemia)
Pola Eliminasi : Anak kadang mengalami diare, penegangan pada perianal,
nyeri abdomen, dan ditemukan darah segar dan faeces berwarna ter,
darah dalam urin, serta penurunan urin output. Pada inspeksi didapatkan
adanya abses perianal, serta adanya hematuria.
Pola Tidur dan Istrahat : Anak memperlihatkan penurunan aktifitas dan
lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk tidur /istrahat karena mudah
mengalami kelelahan.
Pola Kognitif dan Persepsi : Anak penderita ALL sering ditemukan
mengalami penurunan kesadaran (somnolence) , iritabilits otot dan
“seizure activity”, adanya keluhan sakit kepala, disorientasi, karena sel
darah putih yang abnormal berinfiltrasi ke susunan saraf pusat.
Pola Mekanisme Koping dan Stress : Anak berada dalam kondisi yang
lemah dengan pertahan tubuh yang sangat jelek. Dalam pengkajian dapt
ditemukan adanya depresi, withdrawal, cemas, takut, marah, dan
iritabilitas. Juga ditemukan peerubahan suasana hati, dan bingung.
Pola Seksual : Pada pasien anak-anak pola seksual belum dapat dikaji
Pola Hubungan Peran : Pasien anak-anak biasanya merasa kehilangan
kesempatan bermain dan berkumpul bersama teman-teman serta belajar.
Pola Keyakinan dan Nilai : Anak pra sekolah mengalami kelemahan umum
dan ketidakberdayaan melakukan ibadah.
2. Pemeriksaan Diagnostik
Count Blood Cells : indikasi normocytic, normochromic anemia
Hemoglobin : bisa kurang dari 10 gr%
Retikulosit : menurun/rendah
Platelet count : sangat rendah (<50.000/mm)
White Blood cells : > 50.000/cm dengan peningkatan immatur WBC (“kiri ke kanan”)
Serum/urin uric acid : meningkat
Serum zinc : menurun
Bone marrow biopsy : indikasi 60 – 90 % adalah blast sel dengan erythroid prekursor, sel matur dan
penurunan megakaryosit
Rongent dada dan biopsi kelenjar limfa : menunjukkan tingkat kesulitan tertentu
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan perubahan maturitas sel darah merah,
peningkatan jumlah limfosit imatur, imunosupresi
Resiko terhadap penurunan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran berlebihan seperti
muntah, perdarahan, diare, penurunan intake cairan
Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan pembesaran kelenjar limfe, efek sekunder
pemberian anti leukemic agents
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, penurunan sumber energi, peningkatan laju
metabolik akibat produksi lekosit yang berlebihan, ketidakseimbangan suplai oksigen dengan
kebutuhan
4. RENCANA KEPERAWATAN
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan perubahan maturitas sel darah merah,
peningkatan jumlah limfosit imatur, imunosupresi
Tujuan : setelah dilakukan tindakana keperawatan diharapkan tdak terjadi infeksi.
Kriteria Hasil :
Klien akan :
- Mengidentifikasi faktor resiko yang dapat dikurangi
- Menyebutkan tanda dan gejala dini infeksi
- Tidak ada tand infeksi
Intervensi Rasional
1. Lakukan tindakan untuk mencegah pemajanan
pada sumber yang diketahui atau potensial
terhadap infeksi :
a. Pertahankan isolasi protektif sesuai kebijakan
institusional
b. Pertahankan teknik mencuci tangan dengan
cermat
c. Beri hygiene yang baik
d. Batasi pengunjung yang sedang demam, flu atau
infeksi
e. Berikan hygiene perianal 2 x sehari dan setiap BAB
f. Batasi bunga segar dan sayur segar
g. Gunakan protokol rawat mulut
h. Rawat klien dengan neutropenik terlebih dahulu
2. Laporkan bila ada perubahan tanda vital
1. Kewaspadaan meminimalkan pemajanan klien
terhadap bakteri, virus, dan patogen jamur baik
endogen maupun eksogen
3. Dapatkan kultur sputum, urine, diare, darah dan
sekresi tubuh abnormal sesuai anjuran
4. Jelaskan alasan kewaspadaan dan pantangan
5. Yakinkan klien dan keluarganya bahwa
peningkatan kerentanan pada infeksi hanya
sementara
6. Minimalkan prosedur invasif
2. Perubahan tanda-tanda vital merupakan tanda
din terjadinya sepsis, utamanya bila terjadi
peningkatan suhu tubuh
3. Kultur dapat mengkonfirmasikan infeksi dan
mengidentifikasi organisme penyebab
4. Pengertian klien dapat memperbaiki kepatuhan
dan mengurangi faktor resiko
5. Granulositopeniaa dapat menetap 6-12 minggu.
Pengetian tentang sifat sementara
granulositopenia dapat membantu mencegah
kecemasan klien dan keluarganya
6. Prosedur tertentu dapat menyebabkan trauma
jaringan, menngkatkan kerentanan infeksi
Resiko terhadap penurunan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran berlebihan seperti
muntah, perdarahan, diare, penurunan intake cairan
Batasan karakteristik :
- Tidak muntah
- Perdarahan masif tidak ada
- Tidak mengalami diare
- Intake < output
Kriteria Hasil :
Klien akan :
- Memperlihatkan keadaaan volume cairan yang adekuat
- Memperlihatkan tanda-tanda vital dalam bataas normal
- Memperlihatkan urine output, PH dalam batas normal
Intervensi Rasional
1. Monitor intake dan output . Catat
penurunan urin, dan besarnya PH
2. Hitung berat badan setiap hari
3. Motivasi klien untuk minum 3 – 4 l/hari jika
tanpa kontra indikasi
4. Kaji adanya petechie pada kulit dan
membran mukosa, perdarahan gusi
5. Gunakan alat-alat yang tidak menyebakan
resiko perdarahan
6. Berikan diet makanan lunak
1. Penurunan sirkulasi sekunder dapat
menyebabkan berkurangnya sirkulasi ke
ginjal atau berkembang menjadi batu ginjal
sehingga menyebabkan retensi cairan atau
gagal ginjal
2. Sebagai ukuran keadekuatan volume cairan.
Intake yang lebih besar dari output dapat
diindikasikan menjadi renal obstruksi.
3. Meningkatkan aliran urin, mencegah asam
urat, dan membersihkan sisa-sisa obat
neoplastik
4. Supresi bone marrow dan prosuduksi
platelet menyebabkan klien beresiko
mengalami perdarahan
5. Jaringan yang mudah robek dan mekanisme
pembekuan dapat menyebabkan
perdarahan meskipun karena trauma ringan
6. Mencegah iritasi gusi
7. Mempertahankan cairan dan elektrolit yang
tidak bisa dilakukan per oral, menurunkan
komplikasi renal
7. Kolaborasi :
Pemberian cairan sesuai indikasi
Monitor pemeriksaan diagnostik : Platelet,
Hb/Hct, bekuan darah
8. Bila platelet <20.000/mm( akibat pengaruh
sekunder obat neoplastik ) , klien cenderung
mengalami perdarahan. Penurunan Hb/Hct
berindikasi terhadap perdarahan.
Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan pembesaran kelenjar limfe, efek sekunder
pemberian anti leukemic agents
Batasan karakteristik :
- Keluhan nyeri (tulang,sarf, sakit kepala, dll)
- Distraksi menahan, ekspresi meringis, menangis, perubahan tonus otot
- Respon-respons autonomik
Kriteria hasil :
Klien akan :
- Melaporkan nyeri berkurang atau hilang
- Memperlihatkan perilaku positif dalam mengatasi nyeri
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeri, gunakan skala 1 – 10 1. Berguna mengkaji kebutuhan intervensi ,
bisa berindikasi perkembangan komplikasi
2. Monitor vital signs, catat reaksi non verbal
3. Ciptakan lingkungan yang tenang dan
kurangi stimulus
4. Berikan posisi yang nyaman
5. Latih ROM exercise
6. Evaluasi mekanisme koping klien
Kolaborasi :
1. Analgetik
2. Narkotik
3. Tranguilizer
2. Berguna dalam validasi verbal dan
mengevaluasi keefektifan intervensi
3. Meningkatkan kemampuan istrahat dan
memperkuat kemampuan koping
4. Menurunkan gangguan pada tulang dan
sendi
5. Meningkatkan sirkulasi jaringan dan
mobilitas sendi
6. Penggunaan persepsi pribadi untuk
mengatasi nyeri dapat membantu klien
memiliki koping yang lebih efektif
7. Diberikan untuk nyeri ringan
Cat : jangan menggunakan aspirin karena
bisa menyebabkan perdarahan
8. Diberikan untuk nyeri sedang-berat
9. Memperkkuat kerja analgetik/narkotik
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, penurunan sumber energi, peningkatan laju
metabolik akibat produksi lekosit yang berlebihan, ketidakseimbangan suplai oksigen dengan
kebutuhan
Batasan karakteristik :
- Keluhan lemah, anak memperlihatkan penurunan kemampuan beraktifitas
- Anak rewel, dyspnea
- Abnormal HR atau respon perubahan TD
Kriteria hasil :
- Klien akan menunjukkan partisipasi dalam ADL sesuai kemampuan
Intervensi Rasional
1. Evaluasi keluhan lemah, rewel,
ketidakberdayaan dalam ADL
2. Ciptakan lingkungan yang tenang dan
istrahat yang tidak terganggu
3. Bantu dalam setiap pemenuhan rawat
diri/ADL
4. Jadwalkan pemberian makan sebelum
kemoterapi. Beri oral hidrasi sebelum makan
dan anti emetik sesuai indikasi
5. Kolaborasi :
Pemberian suplemen O2 sesuai anjuran
1. Efek leukemia, anemia dan kemoterapi
dapat menjadi satu sehingga memerlukan
bantuan dalam pemenuhan aktifitas ADL
2. Mengumpulkan energi untuk beraktifitas
dan untuk regenerasi sel
3. Memaksimalkan kemampuan untuk rawat
diri
4. Meningkatkan intake sebelum terjadi mual
akibat efek samping kemoterapi
5. Memaksimalkan kemampuan oksigenasi
untuk uptake seluler
http://adiskep-ns.blogspot.com/2011/08/lp-akut-limfoblastik-leukimia.html
Leukemia Limfositik Akut (LLA) adalah suatu penyakit yang berakibat fatal, dimana sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang.
LLA merupakan leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak.Leukemia jenis ini merupakan 25% dari semua jenis kanker yang mengenai anak-anak di bawah umur 15 tahun.Paling sering terjadi pada anak usia antara 3-5 tahun, tetapi kadang terjadi pada usia remaja dan dewasa.
Sel-sel yang belum matang, yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit, berubah menjadi ganas.Sel leukemik ini tertimbun di sumsum tulang, lalu menghancurkan dan menggantikan sel-sel yang menghasilkan sel darah yang normal.
Sel kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke hati, limpa, kelenjar getah bening, otak, ginjal dan organ reproduksi; dimana mereka melanjutkan pertumbuhannya dan membelah diri.Sel kanker bisa mengiritasi selaput otak, menyebabkan meningitis dan bisa menyebabkan anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ lainnya.
A. Epidemiologi Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang/tahun, dengan 75% pasien berusia ♀
B. Etiologi Penyebab LLA dewasa sebagian besar tidak diketahui Pada anak-anak: faktor keturunan dan sindroma predisposisi genetik
C. Faktor risiko Radiasi dosis tinggi : Radiasi dengan dosis sangat tinggi, seperti waktu bom atom di Jepang pada masa perang dunia ke-2 menyebabkan peningkatan insiden penyakit ini. Terapi medis yang menggunakan radiasi juga merupakan sumber radiasi dosis tinggi. Sedangkan radiasi untuk diagnostik (misalnya rontgen), dosisnya jauh lebih rendah dan tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian leukemia. Pajanan terhadap zat kimia tertentu : benzene, formaldehida Kemoterapi : Pasien kanker jenis lain yang mendapat kemoterapi tertentu dapat menderita leukemia di kemudian hari. Misalnya kemoterapi jenis alkylating agents. Namun pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh diberikan dengan pertimbangan rasio manfaat-risikonya. Sindrom Down : Sindrom Down dan berbagai kelainan genetik lainnya yang disebabkan oleh kelainan kromosom dapat meningkatkan risiko kanker. Human T-Cell Leukemia Virus-1(HTLV-1). Virus tersebut menyebabkan leukemia T-cell yang jarang ditemukan. Jenis virus lainnya yang dapat menimbulkan leukemia adalah retrovirus dan virus leukemia feline. Sindroma mielodisplastik : sindroma mielodisplastik adalah suatu kelainan pembentukkan sel darah yang ditandai berkurangnya kepadatan sel (hiposelularitas) pada sumsum tulang. Penyakit ini sering didefinisikan sebagai pre-leukemia. Orang dengan kelainan ini berisiko tinggi untuk berkembang menjadi leukemia. Merokok : ↑ risiko LLA pada usia > 60 tahun
D. Manifestasi klinis Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada Anoreksia Nyeri tulang dan sendi (infiltrasi sumsum tulang) Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme) Infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis Perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak Organomegali (hepatomegali, splenomegali, limfadenopati) Massa di mediastinum (sering pada LLA sel T) Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala ↑ tekanan intrakranial), perubahan status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologik fokal Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil.
E. Diagnosis Pendekatan diagnosis:1. Anamnesis2. Pemeriksaan fisik3. Pemeriksaan laboratorium: Hitung darah lengkap Apusan darah tepi Pemeriksaan koagulasi Kadar fibrinogen Kimia darah Golongan darah ABO dan Rh Penentuan HLA4. Foto toraks atau CT5. Pungsi lumbal6. Aspisrasi dan biopsi sumsum tulang: pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik, analisis imunofenotip, analisis molekuler BCR-ABL Tahap-tahap diagnosis leukemia akut:1. Klinis Adanya gejala gagal sumsum tulang: anemia, perdarahan, dan infeksi, sering disertai gejala hiperkatabolik Sering dijumpai organomegali: limfadenopati, hepatomegali, atau splenomegali2. Darah tepi dan sumsum tulang Blast dalam darah tepi > 5% Blast dalam sumsum tulang > 30%Dari kesua pemeriksaan di atas kita dapat membuat diagnosis klinis leukemia akut. Langkah berikutnya adalah menentukan jenis leukemia akut yang dihadapi3. Tentukan jenisnya: dengan pengecatan sitokimia ditentukan klasifikasi FAB. Jika terdapat fasilitas, lakukan: Immunophenotyping Pemeriksaan sitogenetika (kromosom) Gambaran laboratorium• Hitung darah lengkap: Leukosit n/↑/↓, hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% kasus Anemia normokromik-normositer (berat dan timbul cepat) dan trombositopenia (1/3 pasien mempunyai hitung leukosit < 25.000/mm3)
Apusan darah tepi: khas menunjukkan adanya sel muda (mieloblast, promielosit, limfoblast, monoblast, eritroblast, atau megakariosit) yang melebihi 5% dari sel berinti pada darah tepi. Sering dijumpai pseudo Pelger-Huet Anomaly, yaitu netrofil dengan lobus sedikit (dua atau satu) yang disertai dengan hipo atau agranular.• Aspirasi dan biopsi tulang Hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak Lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa Tampak monoton oleh sel blast• Imunofenotip (dengan sitometri arus/flow cytometry)• Sitogenetik• Biologi molekuler• Pemeriksaan lain Klasifikasi FAB• L1 – Small cells with homogeneous chromatin, regular nuclear shape, small or absent nucleolus, and scanty cytoplasm; subtype represents 25-30% of adult cases• L2 – Large and heterogeneous cells, heterogeneous chromatin, irregular nuclear shape, and nucleolus often large; subtype represents 70% of cases (most common)• L3 – Large and homogeneous cells with multiple nucleoli, moderate deep blue cytoplasm, and cytoplasmic vacuolization that often overlies the nucleus (most prominent feature); subtype represents 1-2% of adult cases
F. PenatalaksanaanTahapan terapi LLA:1. Terapi induksi remisi• Tujuan: eradikasi sel leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sumsum tulang dan kembalinya hematopoiesis normal• Terapi ini biasanya terdiri dari prednison, vinkristin, dan antrasiklin (pada umumnya
daunorubistin) dan juga L-asparginase2. Terapi intensifikasi atau konsolidasi• Tujuan: eliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten obat.3. Profilaksis SSP• Profilaksis SSP sangat penting pada pasien LLA. Sekitar 50 – 75% pasien LLA yang tidak mendapat terapi ini akan mengalami relaps pada SSP• Terdiri dari kombinasi kemoterapi intrarektal, radiasi kranial, dan pemberian sistemik obat yang mempunyai bioavalibilitas SSP yang tinggi seperti metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi.4. Pemeliharaan jangka panjangTerapi ini tersiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu sekali selama 2 – 3 tahun
G. Prognosis Kebanyakan pasien LLA dewasa mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan kemoterapi saja, dan hanya 30% yang bertahan hidup lama. Kebanyakan pasien yang sembuh dengan kemoterapi adalah usia 15 – 20 tahun dengan faktor prognostik baik lainnya. Overall disease-free survival rate untuk LLA dewasa kira-kira 30% faktor prognostik uantuk lamanya remisi LLA dewasa
faktor prognostik untuk lamanya remisi LLA dewasa
I. Komplikasi Kematian mungkin terjadi karena infeksi (sepsis) atau perdarahan yang tidak terkontrol Komplikasi yang paling sering terjadi adalah kegagalan leukemia untuk berrespon terhadap kemoterapi.
H. Patogenesis
http://antyass.wordpress.com/2009/10/12/acute-lymphoblastic-leukemia-atau-leukemia-
limfositik-akut/
II. Tinjauan Umum Leukimia Limfoblastik Akut (LLA)
A. Definisi
Leukimia akut merupakan suatu penyakit serius, berkembang dengan cepat dan apabila
tidak diterapi dapat menyebabkan kematian dalam beberapa minggu atau bulan. Leukimia
akut dapat mempengaruhi jalan perkembangan sel limfoid akut atau jalur perkembangan sel
mieloid akut.13
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah penyakit yang berkaitan dengan sel jaringan
tubuh yang tumbuhnya melebihi dan berubah menjadi tidak normal serta bersifat ganas, yaitu
sel-sel sangat muda yang serharusnya membentuk limfosit berubah menjadi ganas.
LLA merupakan kanker yang paling banyak dijumpai pada anak, yaitu 25-30 % dari
seluruh jenis kanker pada anak. Angka kejadian tertinggi dilaporkan antara usia 3-6
tahun, dan laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Gejala lain yang perlu
diwaspadai adalah tubuh lemah dan sesak nafas akibat anemia, infeksi dan demam akibat
kekurangan sel darah putih normal, serta pendarahan akibat kurangnya trombosit.
Di Amerika Serikat, kira-kira 2400 anak dan remaja menderita LLA setiap tahun.
Insiden LLA terjadi jauh lebih tinggi pada anak-anak kulit putih daripada kulit hitam.
Perbedaan juga tampak pada jenis kelamin, dimana kejadian LLA lebih tinggi pada anak laki-
laki kurang dari 15 tahun. Insiden kejadian 3,5 per 100.000 anak berusia kurang dari 15
tahun. Puncak insiden pada umur 2-5 tahun dan menurun pada dewasa.
Pengobatan pada LLA memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang pada sistem
musculoskeletal dan neuromuskular, meskipun hanya sedikit yang meneliti tentang
pengaruhnya terhadap mobilitas fungsional. Marchese et all (2004), mencatat beberapa efek
jangka panjang dari penggunaan kemoterapi vincristine pada anak dengan diagnosis LLA
menjadi mengalami keterlambatan motorik kasar dan halus, hipoesktensibilitas dari otot
gastrocnemius dan soleus, penurunan energi, disabilitas pengetahuan, nekrosis avascular,
osteopenia dan osteoporosis. Marchese et all (2004) dalam penelitiannya menunjukkan
penguluran dan penguatan otot secara signifikan meningkatkan kekuatan dorsofleksi plantaris
dan ekstensi knee joint. 4
Fisioterapi harus melihat secara komprehensif gangguan musculoskeletal dan
neuromuscular yang terjadi pada anak akibat LLA. Myopathy proksimal umum terjadi pada
anak akibat penggunaan kortikosteroid dosis tinggi untuk pengobatan kanker.4
B. Klasifikasi 14
i. Leukemia Lymphoblastic Akut (LLA)
LLA dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak, laki-
laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Puncak insiden usia 4 tahun, setelah usia 15
tahun LLA jarang terjadi. Limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan
perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal.
Secara morfologik menurut FAB LLA dibagi menjadi tiga yaitu:
a. L1: LLA dengan sel limfoblas kecil-kecil dan merupakan 84% dari LLA.
b. L2: sel lebih besar, inti regular, kromatin bergumpal, nucleoli prominen dan sitoplasma agak
banyak. Merupakan 14% dari LLA
c. L3: LLA mirip dengan limfoma Burkitt, yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola,
hanya merupakan 1% dari LLA
ii. Leukemia Nonlymphoblastik Akut (ANLL)
Secara morfologik yang umum dipakai adalah klasifikasi dari FAB:
a. M0- myeloblastic without differentiation
b. M1- myeloblastic without maturation
c. M2- myeloblastic with maturation
d. M3- acute promyelocytic
e. M4-acute myelomonocytic
f. M5-monocytic. Sub tipe
1) M5a: tanpa maturasi
2) Subtipe M5b: dengan maturasi
g. M6-erythroleukemia
h. M7-acute megakaryocytic leukemia
C. Etiologi14
i. Faktor Predisposisi
a. Penyakit defisiensi imun tertentu, misalnya agannaglobulinemia; kelainan kromosom,
misalnya sindrom Down (risikonya 20 kali lipat populasi umumnya); sindrom Bloom.
b. Virus. Virus sebagai penyebab sampai sekarang masih terus diteliti. Sel leukemia
mempunyai enzim trankriptase (suatu enzim yang diperkirakan berasal dari virus). Limfoma
Burkitt, yang diduga disebabkan oleh virus EB, dapat berakhir dengan leukemia.
c. Radiasi ionisasi. Terdapat bukti yang menyongkong dugaan bahwa radiasi pada ibu selama
kehamilan dapat meningkatkan risiko pada janinnya. Baik dilingkungan kerja, maupun
pengobatan kanker sebelumnya. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzene, arsen,
kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen anti neoplastik.
d. Herediter. Faktor herediter lebih sering pada saudara sekandung terutama pada kembar
monozigot.
e. Obat-obatan. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
ii. Faktor Lain
a. Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, dan bahan kimia (benzol, arsen, preparat
sulfat), infeksi (virus dan bakteri).
b. Faktor endogen seperti ras
c. Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom, herediter (kadang-kadang dijumpai kasus
leukemia pada kakak-adik atau kembar satu telur).
D. Manifestasi Klinis 14
Gejala klinik leukemia akut sangat bervariasi, tetapi pada umumnya timbul cepat, dalam
beberapa hari sampai minggu. Gejala leukemia akut dapat digolongkan menjadi tiga yaitu;
i. Gejala kegagalan sumsum tulang:
a. Anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah. Disebabkan karena produksi sel darah merah
kurang akibat dari kegagalan sumsum tulang memproduksi sel darah merah. Ditandai dengan
berkurangnya konsentrasi hemoglobin, turunnya hematokrit, jumlah sel darah merah kurang.
Anak yang menderita leukemia mengalami pucat, mudah lelah, kadang-kadang sesak nafas.
b. Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai demam, malaise, infeksi rongga mulut,
tenggorokan, kulit, saluran napas, dan sepsis sampai syok septic.
c. Trombositopenia menimbulkan easy bruising, memar, purpura perdarahan kulit, perdarahan
mukosa, seperti perdarahan gusi dan epistaksis. Tanda-tanda perdarahan dapat dilihat dan
dikaji dari adanya perdarahan mukosa seperti gusi, hidung (epistaxis) atau perdarahan bawah
kulit yang sering disebut petekia. Perdarahan ini dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma. Apabila kadar trombosit sangat rendah, perdarahan dapat terjadi secara spontan.
ii. Keadaan hiperkatabolik yang ditandai oleh:
a. Kaheksia
b. Keringat malam
c. Hiperurikemia yang dapat menimbulkan gout dan gagal ginjal
iii. Infiltrasi ke dalam organ menimbulkan organomegali dan gejala lain
seperti:
a. Nyeri tulang dan nyeri sternum
b. Limfadenopati superficial
c. Splenomegali atau hepatomegali biasanya ringan
d. Hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit
e. Sindrom meningeal: sakit kepala, mual muntah, mata kabur, kaku kuduk.
f. Ulserasi rectum, kelainan kulit.
g. Manifestasi ilfiltrasi organ lain yang kadang-kadang terjadi termasuk pembengkakan testis
pada ALL atau tanda penekanan mediastinum (khusus pada Thy-LLA atau pada penyakit
limfoma T-limfoblastik yang mempunyai hubungan dekat.
iv. Gejala lain yang dijumpai adalah:
a. Leukostasis terjadi jika leukosit melebihi 50.000/µL. penderita dengan leukositosis serebral
ditandai oleh sakit kepala, confusion, dan gangguan visual. Leukostasis pulmoner ditandai
oleh sesak napas, takhipnea, ronchi, dan adanya infiltrasi pada foto rontgen.
b. Koagulapati dapat berupa DIC atau fibrinolisis primer. DIC lebih sering dijumpai pada
leukemia promielositik akut (M3). DIC timbul pada saat pemberian kemoterapi yaitu pada
fase regimen induksi remisi.
c. Hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai arthritis gout dan batu ginjal.
d. Sindrom lisis tumor dapat dijumpai sebelum terapi, terutama pada LLA. Tetapi sindrom lisis
tumor lebih sering dijumpai akibat kemoterapi.
E. Komplikasi15
i. Infeksi
Komplikasi ini yang sering ditemukan dalam terapi kanker masa anak-anak adalah
infeksi berat sebagai akibat sekunder karena neutropenia. Anak paling rentan terhadap infeksi
berat selama tiga fase penyakit berikut:
a. Pada saat diagnosis ditegakkan dan saat relaps (kambuh) ketika proses leukemia telah
menggantikan leukosit normal
b. Selama terapi imunosupresi
c. Sesudah pelaksanaan terapi antibiotic yang lama sehingga mempredisposisi pertumbuhan
mikroorganisme yang resisten
Walau demikian , penggunaan faktor yang menstimulasi-koloni granulosit telah
mengurangi insidensi dan durasi infeksi pada anak-anak yang mendapat terapi kanker.
Pertahanan pertama melawan infeksi adalah pencegahan.
ii. Perdarahan
Sebelum penggunaan terapi transfuse trombosit, perdarahan merupakan penyebab
kematian yang utama pada pasien leukemia. Kini sebagaian besar episode perdarahan dapat
dicegah atau dikendalikan dengan pemberian konsentrat trombosit atau plasma kaya
trombosit.Karena infeksi meningkat kecenderungan perdarahan dan karena lokasi perdarahan
lebih mudah terinfeksi, maka tindakan pungsi kulit sedapat mungkin harus dihindari. Jika
harus dilakukan penusukan jari tangan, pungsi vena dan penyuntikan IM dan aspirasi
sumsum tulang, prosedur pelaksanaannya harus menggunakan teknik aseptic, dan lakukan
pemantauan kontinu untuk mendeteksi perdarahan.
Perawatan mulut yang saksama merupakan tindakan esensial, karena sering terjadi
perdarahan gusi yang menyebabkan mukositis. Anak-anak dianjurkan untuk menghindari
aktivitas yang dapat menimbulkan cedera atau perdarahan seperti bersepeda atau bermain
skateboard, memanjat pohon atau bermain dengan ayunan.
Umumnya transfuse trombosit hanya dilakukan pada episode perdarahan aktif yang tidak
bereaksi terhadap terapi lokal dan yang terjadi selama terapi induksi atau relaps. Epistaksis
dan perdarahan gusi merupakan kejadian yang paling sering ditemukan.
iii. Anemia
Pada awalnya, anemia dapat menjadi berat akibat penggantian total sumsum tulang oleh
sel-sel leukemia. Selama terapi induksi, transfusi darah mungkin diperlukan. Tindakan
kewaspadaan yang biasa dilakukan dalam perawatan anak yang menderita anemia harus
dilaksanakan.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
i. Hitung darah lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah Tepi.
a. Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Jumlah leukosit
biasanya berbanding langsung dengan jumlah blas. Jumlah leukosit neutrofil seringkali
rendah.
b. Hiperleukositosis (> 100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebih
200.000/mm3.
c. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia
d. Prporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0-100%
e. Hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3
f. Kadar hemoglobin rendah
ii. Aspirasi dan Biopsi sumsum tulang
Apus sumsum tulang tampak hiperselular dengan limpoblast yang sangat banyak lebih dari
90% sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh sel-sel
leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari
jaringan biopsy penting untuk evaluasi gambaran sitologi.
Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran monoton, yaitu hanya terdiri
dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia sekunder).
iii. Sitokimia
Pada LLA, pewarnaan Sudan Black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang
negative. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer
dari precursor granulositik yang dapat dideteksi pada sel blast AML.Sitokimia berguna untuk
membedakan precursor B dan B-LLA dari T-LLA. Pewarnaan fosfatase asam akan positif
pada limfosit T yang gans, sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada
pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limpoblast dapat
dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry
iv. Imunofenotif (dengan sitometri arus/ Flow cytometry)
Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtype imunologi adalah antibody
terhadap:
a. Untuk sel precursor B: CD 10 (common ALL antigen), CD19,CD79A,CD22, cytoplasnic m-
heavy chain, dan TdT
b. Untuk sel T: CD1a,CD2,CD3,CD4,CD5 ,CD7,CD8 dan TdT
c. Untuk sel B: kappa atau lambda CD19,CD20, dan CD22Sitogenetik
v. Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan
sitogenetik berhubungan dengan subtype LLA tertentu, dan dapat memberikan informasi
prognostik. Translokasi t(8;14), t(2;8), dan t (8;22) hanya ditemukan pada LLA sel B, dan
kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-
myc pada kromosom
vi. Biopsi limpa
pemeriksaan ini memeperlihatkan poriferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari jaringan
limpa yang terdesak, seperti limposit normal, RES, granulosit, dan pulp cell.
G. Pemeriksaan Diagnostik16
Hitung darah lengkap dan diferensiasinya adalah indikasi utama bahwa leukemia tersebut
mungkin timbul. Semua jenis leukemia tersebut didiagnosis dengan aspirasi dan biopsi
sumsum tulang. Contoh ini biasanya didapat dari tulang iliaka dengan pemberian anestesi
lokal dan dapat juga diambil dari tulang sternum. Pada leukemia akut sering dijumpai
kelainan laboratorik seperti:
1. Darah tepi
a. Dijumpai anemia normokromik-normositer, anemia sering berat dan timbul cepat.
b. Trombositopenia, sering sangat berat di bawah 10 x 106/l
c. Leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal atau menurun (aleukemic leukemia). Sekitar
25% menunjukan leukosit normal atau menurun, sekitar 50% menunjukan leukosit meningkat
10.000-100.000/mm3 dan 25% meningkat 100.000/mm3
d. Apusan darah tepi: khas menunjukan adanya sel muda (mieloblast, promielosit, limfoblast,
monoblast, erythroblast atau megakariosit ) yang melebih 5% dari sel berinti pada darah tepi.
Sering dijumpai pseudo Pelger-Huet Anomaly yaitu netrofil dengan lobus sedikit (dua atau
satu) yang disertai dengan hipo atau agranular.
2. Sumsum tulang
Merupakan pemeriksaan yang sifatnya diagnostik. Ditemukan banyak sekali sel primitif.
Sumsum tulang kadang-kadang mengaloblastik; dapat sukar untuk membedakannya dengan
anemia aplastik. Harus diambil sampel dari tempat ini. (Rendle.Ikhtisar Penyakit
Anak.1994;184). Hiperseluler, hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast),
tampak monoton oleh sel blast, dengan adanya leukomic gap (terdapat perubahan tiba-tiba
dari sel muda (blast) ke sel yang matang, tanpa sel antara). System hemopoesis normal
mengalami depresi. Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam
hitung 500 sel pada apusan sumsum tulang).
3. Pemeriksaan immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi imunologik
leukemia akut. Pemeriksaan inni dikerjakan untuk pemeriksaan surface marker guna
membedakan jenis leukemia.
4. Pemeriksaan sitogenetik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan dalam diagnosis
leukemia karena kelainan kromosom dapat dihubungkan dengan prognosis.
H. Pengobatan4
Penanganan pada kanker spesifik sesuai diagnosis dan usia anak. Terdapat 3 kunci
modalitas yang dikembangkan untuk menangani kanker : kemoterapi, radioterapi, dan bedah.
Transplantasi sumsum tulang juga biasa dimasukkan dalam daftar pengobatan kanker.
1. Kemoterapi
Kemoterapi merujuk pada penggunaan agen sitotoksik untuk menghancurkan sel-sel
kanker dengan menghentikan siklus hidupnya. Tujuan utama kemoterapi :
a. Mengobati kanker
b. Mencegah penyebaran sel kanker
c. Menghentikan metastasis
d. Mengurangi gejala yang timbul
e. Memperlambat pertumbuhan sel kanker
Kemoterapi dapat diberikan melalui 3 rute : oral, intravena, dan intrathecal. Efek samping
jangka pendek dari kemoterapi yang dapat mempengaruhi penanganan fisioterapi berupa :
a. Anorexia, nausea, vomitus
Terdapat hubungan antara ketiganya. Mucositis pada mulut dan tractus gastrointestinal
dapat menyebabkan nyeri, akibatnya anak susah makan dan minum dan juga mengalami
kram pada perut. Beberapa agen kemoterapi menyebabkan vomituss karena efek langsung
pada pusat vomitus di medula oblongata..
Penurunan berat badan, depresi dan energi yang kurang membuat penanganan fisioterapi
sulit dilakukan. Namun, penanganan sebaiknya diberikan dalam waktu yang singkat.
b. Myelosupresi
Salah satu efek samping kemoterapi adalah myelosupresi, penurunan produksi sel darah
merah, sel darah putih dan platelet oleh sumsum tulang, dan hal ini memberikan efek yang
besa dalam penanganan fisioterapi.
Anemia dapat menyebabkan cepat leah, platelet yang rendah dapat membatasi aktifitas
fisik karena risiko perdarahan. Nilai platelet yang rendah (biasanya dibawah 20x109/l) juga
membatasi penggunaan manual chest physiotherapy karena berkaitan dengan risiko
perdarahan. Penurunan sel darah putih, mempengaruhi kemampuan anak untuk memulai atau
melanjutkan program terapi. Antibiotik intravena dan pengobatan antifungal untuk infeksi
membuat aktivitas fisik lebih sulit dilakukan.
c. Neurotoxic
Nyeri sensori neuropati atau gabungan sensorimotor/autonom neuropati dapat terjadi
bergantung pada obat yang diberikan. Efek yang ditimbulkan bergantung pada dosis
kumulatif, meskipuan masalahnya dapat terjadi pada awal pemberiaan obat. Penyembuhan
tergantung pada kemampuan dari sistem saraf tepi untuk memperbaiki dirinya dengan
kehadiran substansi toxic dan hal ini dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Terdapat
dua obat yang khususnya digunakan dalam penangan kanker dan memiliki efek neurotoxic :
1) Vincristine utamanya mempengaruhi saraf sensoris tangan dan kaki, nyeri, parastesi muncul
dan refleks tendon menurun atau hilang. Vincristine biasanya digunakan untuk pengobatan
leukimia limfoblastik akut, tumor Wilms dan beberapa tumor CNS. Perkembangan toxic,
dapat menyebabkan kram pada otot, kelemahan otot tangan dan kako.
2) Cisplatin dan carboplatin adalah dua obat yang juga memberikan efek neurotoxic. Cisplatin
lebh toxic daripada carboplatin. Keduanya lebih mempengaruhi saraf sensori daripada saraf
motorik. Efeknya berupa parastesi pada tangan dan kaki, hilangnya refleks tendon, hilangnya
propriosensor sendi dan pada beberapa kasus menyebabkan ataxia.
d. Steroid-induced myopathy
Steroid digunakan dalam pengobatan beberapa kanker. Dalam penggunaan yang lama,
pola kelemahan otot dapat terjadi. Kelemahan cenderung di proksimal daripada distal dan
simetris daripada asimetris. Ektremitas bawah cenderung lebih terpengaruh daripada
ektremitas atas. Masalah fungsional berupa naik tangga dan bangun dari kursi atau lantai
biasanya muncul dan juga ketidakmampuan berjalan dalam jarak dekat atau menengah.
Tabel. 1 Ringkasan efek kemoterapi pada fisioterapi
1. Anak mengalami penurunan toleransi latihan dan mudah
lelah. Oleh karena itu, penanganan fisioterapi dilakukan
dalam tempo yang singkat dan membutuhkan modifikasi
sesuai perkembangan kondisi pasien.
2. Nilai platelet harus dicek, jika dibawah 20x109/l, tidak boleh
dilakukan teknik manual chest.
3. Perhatikan tanda neuropathy perifer dan proksimal myopathy
dan harus ditangani ketika ada indikasi.
4. Monitoring perkembangan anak
5. Penggunaan kateter vena sentral dapat menyebabkan nyeri
leher, kekakuan, dan mempengaruhi postur. Hal ini dapat
ditangani dengan melakukan latihan gerak sendi.
2. Radioterapi
Radioterapi adalah penggunaan sinar X energi tinggi untuk menghancurkan sel kanker.
Hal ini normalnya dilakukan untuk mengobati satu area dimana tumor ditemukan.
Radioterapi biasanya dikombinasikan dengan kemoterai atau bedah.
3. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang adalah proses yang mengambil sumsum tulang donor dan
sel tersebut ditransfusikan ke resipien. Hal ini dilakukan untuk pengobatan kanker pada anak
dengan prognosis yang buruk. Tujuan transplantasi sumsum tulang yaitu untuk
menghancurkan semua sel kanker.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganie, A. 2005. Thalassemia : Permasalahan dan Penanganannya. Universitas Sumatera
Utara : Medan.
2. TIF. 2008. Guidelines for The Clinical Management of Thalassemia. www.
Thalassaemia.org.cy
3. Gale, Danielle dan Jane Charette.2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
4. Mitchinson, Victoria dan Jan Davies. 2007. Physiotherapi for Children. Elsevier Health :
Philadelphia.
5. Dewi, Syarifurnama. 2009. Karakteristik Penderita Thalassemia yang Rawat Inap di Rumah
Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2008 (skripsi). Fakultas Kesehatan
Masyarakat USU : Medan.
6. Supandiman, I. 1997. Hematologi Klinik. Penerbit Alumni : Bandung.
7. Hoffbrand, A dkk. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta.
8. Mambo. 2009. Warisan yang Tidak Diharapkan. www.dkk-bpp.com. Sysinfokes Kota
Balikpapan.
9. Jones, H. 1995. Catatan Kuliah Hematologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
10. PMI Jatim. 2007. Thalassemia, Penyakit Kelainan Darah yang Membutuhkan Transfusi.
www.pmijatim.org.
11. Suyono, S. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
12. Permono,B. 2006. Thalassemia. www.pediatrik.com
13. Rahmatia, A dan Novianty R. 2006. At Glance Medicine. Erlangga : Jakarta.
14. Ariany, Arin. 2012. Leukimia Limfoblasti Akut (ALL). Asuhan Keperawatan.
15. Wong, Donna L.2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatriks,Vol 2.Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta.
16. Gale dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC :
Jakarta
17. Howard W. Makofsky. 2003. Spinal Manual Therapy. New York.
18. Ck.Giam.Kc, Teh. 2004. The FITT Formula. Sport Medicine and Fitness a Guide For Every
One. Singapore Council.
19. Prentice, William E. 2002. Therapeutic Modalities For Physical Therapist. McGraw-Hills
Companies.
20. Neil, F.Gordon. 1989. The Cooper Clinic And Research Institute Fittness Series. Dallas
America
http://monaziters.blogspot.com/2013/01/thalassemia-dan-leukimia-limfoblastik.html
Hematologi: Leukemia
“Dasar Diagnosis Berdasarkan Klasifikasi Leukemia Terkait Dengan
Mekanisme dan Manifestasi Klinis”
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel
induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan
penggantian elemen sumsum normal (Baldy, 2006). Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia
limfositik dan leukemia mielogenosa (Guyton and Hall, 2007).
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:
Ny. Kassian DL, 42 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan lemas, pucat, mudah capai, kadang
panas, yang sudah dirasakan sejak 6 bulan terakhir. Akhir-akhir ini sering disertai perdarahan lewat
hidung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: pucat, gizi kesan kurang. Suhu aksiler 38,5° C, nadi 108
kali/menit, irama teratur, tekanan darah 124/78 mmHg, frekuensi nafas 18 kali/menit. Konjungtiva
anemis, sklera tidak ikterik, papil lidah atrofi, tidak ditemukan pembengkakan gusi. Terdapat
limfadenopati leher, pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepatomegali dan splenomegali.
Hasil pemeriksaan laboratorium: Hb 7,5 g/dL; jumlah leukosit 24.500/mm3; jumlah trombosit 67 x
103/mm3. Penderita dianjurkan dirujuk ke rumah sakit.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah penyakit yang diderita oleh pasien?
2. Mengapa pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti dalam kasus?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit yang diderita pasien?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui penyakit yang diderita oleh pasien.
2. Mengetahui penyebab pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti dalam kasus.
3. Mengetahui penatalaksanaan penyakit yang diderita pasien.
D. MANFAAT PENULISAN
Mahasiswa mampu menjelaskan konsep patogenesis dan patofisiologi penyakit hematologi.
Mahasiswa mampu menentukan pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit hematologi.
Mahasiswa mampu menyusun data dari gejala, pemeriksaan fisik, prosedur klinis, dan pemeriksaan
laboratorium untuk mengambil kesimpulan suatu diagnosis penyakit hematologi.
Mahasiswa mampu merancang manajemen penyakit hematologi secaraa komprehensif.
F. HIPOTESIS
Pasien dalam kasus mengalami leukemia. Hal ini ditandai dengan adanya gejala trias
leukemia yang berupa 1) anemia; 2) leukositosis; dan 3) trombositopenia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Etiologi Leukemia
Walaupun penyebab dari leukemia tidak diketahui, predisposisi genetik maupun faktor-
faktor lingkungan kelihatannya memainkan peranan (Baldy, 2006). Diduga hal ini dapat
disebabkan oleh interaksi sejumlah faktor, diantaranya 1) Neoplasia; 2) Infeksi; 3) Radiasi; 4)
Keturunan; 5) Zat kimia; dan 6) Perubahan kromosom (Hoffbrand and Petit, 1996).
B. Klasifikasi Leukemia
t: translokasi
*sel null: limfosit yang kekurangan sel B (immunoglobulin membrane) atau penanda sel T (pembentukan rosette-E)
Badan auer: badan berwarna merah yang terlihat dalam sitoplasma mieloblas yang khas pada leukemia mielogenosa akut
‡CD10: dahulu cALLa (antigen LLA yang lazim)—kompleks glikoprotein membran permukaan yang jelas dibawa oleh 70% limfoblas leukemia sel bukan-T
(Baldy, 2006)
Klasifikasi besar adalah leukemia akut dan kronis. Leukemia akut, dimana terdapat lebih 50%
mieloblas atau limfoblas dalam sumsum tulang pada gambaran klinis, lebih lanjut dibagi dalam
leukemia mieloid (mieloblastik) akut (AML) dan leukemia limfoblastik akut (ALL).
Leukemia kronis mencakup dua tipe utama, leukemia granulositik (mieloid) kronis
(CGL/CML) dan leukemia limfositik kronis (CLL). Tipe kronis lain termasuk leukemia sel
berambut, leukemia prolimfositik, dan berbagai sindroma mielodisplastik, yang sebagian
dianggap sebagai bentuk leukemia kronis dan lainnya sebagai “pre-leukemia” (Hoffbrand and
Petit, 1996).
Leukemia limfositik disebabkan oleh produksi sel limfoid yang bersifat kanker, biasanya
dimulai di nodus limfe atau jaringan limfositik lain dan menyebar ke daerah tubuh lainnya.
Leukimia mielogenosa dimulai dengan produksi sel mielogenosa muda yang bersifat kanker di
sumsum tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh, sehingga leukosit diproduksi di
banyak organ ekstramedular, terutama di nodus limfe, limpa, dan hati (Guyton and Hall, 2007).
C. Pemeriksaan dan Diagnosis Leukemia
Hematologi rutin dan Hitung darah lengkap digunakan untuk mengetahui kadar Hb-
eritrosit, leukosit, dan trombosit.
Apus darah tepi digunakan untuk mengetahui morfologi sel darah, berupa bentuk,
ukuran, maupun warna sel-sel darah, yang dapat menunjukkan kelainan hematologi.
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang digunakan untuk mengetahui kondisi sumsum
tulang, apakah terdapat kelainan atau tidak.
Karyotipik digunakan untuk mengetahui keadaan kromosom dengan metode FISH
(Flurosescent In Situ Hybridization).
Immunophenotyping mengidentifikasi jenis sel dan tingkat maturitasnya dengan antibodi
yang spesifik terhadap antigen yang terdapat pada permukaan membran sel.
Sitokimia merupakan metode pewarnaan tertentu sehingga hasilnya lebih spesifik
daripada hanya menggunakan morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum
tulang.
Analisis sitogenetik digunakan untuk mengetahui kelainan sitogenetik tertentu, yang
pada leukemia dibagi menjadi 2: kelainan yang menyebabkan hilang atau
bertambahnya materi kromosom dan kelainan yang menyebabkan perubahan yang
seimbang tanpa menyebabkan hilang atau bertambahnya materi kromosom.
Biologi molekuler mengetahui kelainan genetik, dan digunakan untuk menggantikan
analisis sitogenetik rutin apabila gagal.
(Sudoyo et.al, 2007).
D. Patogenesis dan Patofisiologi Leukemia
Populasi sel leukemik ALL dan banyak AML mungkin diakibatkan proliferasi klonal dengan
pembelahan berturut-turut dari sel blas tunggal yang abnormal. Sel-sel ini gagal berdiferensiasi
normal tetapi sanggup membelah lebih lanjut. Penimbunannya mengakibatkan pertukaran sel
prekursor hemopoietik normal pada sumsum tulang, dan akhirnya mengakibatkan kegagalan
sumsum tulang. Keadaan klinis pasien dapat berkaitan dengan jumlah total sel leukemik
abnormal di dalam tubuh. Gambaran klinis dan mortalitas pada leukemia akut berasal terutama
dari neutropenia, trombositopenia, dan anemia karena kegagalan sumsum tulang (Hoffbrand
and Petit, 1996).
Blokade maturitas pada AML menyebabkan terhentinya diferensiasi sel-sel mieloid pada sel
muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam
sumsum tulang akan mengakibatkan gangguan hematopoiesis normal dan pada gilirannya akan
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang
ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopenia, dan trombositopenia). Selain itu,
infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang
diinfiltrasi, misalnya kulit, tulang, gusi, dan menings (Kurnianda, 2007).
Pada umumnya gejala klinis ALL menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau
keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum
tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis dapat
berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat
ditemukan pada separuh pasien ALL, sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga pasien yang
baru didiagnosis ALL (Fianza, 2007).
CGL/CML adalah penyakit gangguan mieloproliferatif, yang ditandai oleh seri grabulosit
tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat dengan mudah melihat
tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit,
mielosit, sampai granulosit. Pada awalnya, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau
keluhan lain yang tidak spesifik, seperti rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak terlalu
tinggi, keringat malam, dan penurunan berat badan yang berlangsung lama. Semua keluhan
tersebut merupakan gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Anemia
dan trombositopenia terjadi pada tahap akhir penyakit (Fadjari, 2007).
CLL pada awal diagnosis, kebanyakan pasien CLL tidak menunjukkan gejala (asimptomatik).
Gejala yang paling sering ditemukan pada pasien adalah limfadenopati generalisata, penurunan
berat badan, dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan
kemampuan latihan/olahraga. Demam, keringat malam, dan infeksi jarang terjadi pada awalnya,
tetapi semakin menyolok sejalan dengan penyakitnya. Akibat penuumpukan sel B neoplastik,
pasien mengalami limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali. Kegagalan sumsum tulang
yang progresif pada CLL ditandai dengan memburuknya anemia dan atau trombositopenia
(Rotty, 2007).
E. Penatalaksanaan Leukemia
Pengobatan utama untuk keganasan hematologi selama beberapa dekade adalah
pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi (Baldy, 2006). Saat ini, pengobatan yang lain
tersedia terbatas tetapi penggunaannya meningkat, dengan kemajuan dalam uji klinis, yang
dikenal sebagai Biological. Kelompok obat ini adalah zat alami yang diambil dari sumber alami
atau disintesis dalam laboratorium untuk menyerang target biologi tertentu (Finley, 2000).
Biological dianggap menjaga sel induk hematopoietik dan oleh karena itu kurang toksik dan
bersifat kuratif (Baldy, 2006).
Kemoterapi atau Terapi Obat Sitotoksik. Obat sitotoksik merusak kapasitas sel untuk
reproduksi. Tujuan terapi sitotoksik mula-mula menginduksi remisi dan selanjutnya mengurangi
populasi sel leukemik yang tersembunyi, dan memulihkan sumsum tulang dengan kombinasi
siklik dua, tiga atau empat obat. Pemulihan ini tergantung pada pola pertumbuhan kembali
(differential regrowth pattern) sel hemopoietik normal dan sel leukemik.
Transplantasi Sumsum Tulang. Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk memulihkan
sistem hemopoietik pasien setelah penyinaran seluruh tubuh dan kemoterapi intensif diberikan
dalam usaha membunuh semua leukemmik yang tinggal (Hoffbrand and Petit, 1996).
Terapi ALL dibagi menjadi:
Induksi remisi
Terapi ini biasanya terdiri dari prednisone, vinkristin, antrasiklin dan L-asparaginase.
Intensifikasi atau konsolidasi
Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan tergantung protocol yang
dipakai.
Profilaksis SSP
Terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal, radiasi cranial, dan pemberian sistemik obat
yang mempunyai bioavailabilitas yang tinggi seperti metotreksat dosis tinggi dan sitarabin
dosis tinggi.
Pemeliharaan jangka panjang
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu sekali selama 2
tahun (Fianza, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Apakah penyakit yang diderita oleh pasien?
Berdasarkan gejala-gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium
yang ada, pasien menderita leukemia. Namun jenis leukemia yang diderita belum dapat dipastikan
lebih lanjut, karena masih membutuhkan beberapa pemeriksaan lain seperti morfologi sel darah
melalui pemeriksaan apusan darah, aspirasi dan biopsi sumsum tulang, analisis sitogenetik, serta
immunophenotyping.
Untuk diagnosis sementara sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang seperti diatas,
manifestasi klinis yang ada lebih merujuk ke arah leukemia limfoblastik. Perkembangan penyakit,
yaitu dalam 6 bulan telah menimbulkan gejala hepatomegali dan splenomegali merujuk ke arah
leukemia akut. Selain itu anemia dan trombositopenia pada leukemia kronis timbul pada stadium
akhir penyakit. Padahal, stadium akhir leukemia kronik dicapai setelah penyakit berjalan selama
bertahun-tahun. Sementara, dalam kasus, anemia dan trombositopenia terjadi dalam rentang waktu
yang relatif singkat, hanya 6 bulan. Kemudian tidak adanya pembengkakan gusi mungkin dapat
menjadi salah satu petunjuk bahwa pasien tidak mengalami leukemia limfoblastik akut (AML). Jadi,
kesimpulan yang didapatkan dari kasus, pasien mengalami leukemia limfoblastik akut (ALL).
Mengapa pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti terdapat dalam kasus?
Lemas, mudah lelah, demam yang tidak terlalu tinggi (aksiler 38,5°C), dan gizi kesan
kurang. Disebabkan oleh hipermetabolisme yang terjadi karena aktivitas proliferasi sel-sel leukemia.
Semua cadangan energi tubuh dipergunakan oleh aktivitas sel-sel leukemik yang ganas, sehingga
semakin lama cadangan lemak dalam jaringan adiposa semakin berkurang, akibatnya gizi pasien
terkesan kurang, lemas, dan mudah lelah. Kemungkinan lain penyebab penurunan status gizi pasien
adalah anemia dan gangguan oksigenasi jaringan. Peningkatan aktivitas seluler yang terjadi
mengakibatkan peningkatan suhu inti, akibatnya tubuh menjalankan mekanisme pengaturan suhu
sehingga terjadi demam. Kemungkinan lain akibat terjadinya demam adalah adanya infeksi.
Walaupun sel-sel leukosit yang berperan dalam sistem imunitas meningkat, tetapi sel yang terbentuk
tidak berdiferensiasi dengan sel imun jenis apapun, sehingga tidak fungsional dalam menjaga
kekebalan tubuh. Fenomena ini disebut dengan leukopenia fungsional.
Perdarahan lewat hidung dan trombositopenia (trombosit 67 x 103/mm3 [normal 1,5-3 x
105/mm3]). Akibat dari terjadinya penekanan hematopoiesis lainnya di sumsum tulang, maka
produksi trombosit menurun. Padahal, trombosit berperan penting dalam sistem hemostasis primer.
Jika trombosit berkurang, maka akan terjadi perdarahan yang waktunya lebih panjang daripada jika
kondisi dan jumlah trombositnya normal. Kapiler pada keadaan normal memang sering mengalami
ruptur, tetapi hal ini dapat cepat diatasi oleh sistem hemostasis primer, yaitu trombosit. Jika terjadi
trombositopenia maka salah satu gejala yang timbul adalah perdarahan hidung akibat pecahnya
dinding kapiler.
Takikardi (108x/menit [normal 60-100/menit]), konjungtiva anemis, papil lidah atrofi, dan
anemia (Hb 7,5 g/dl [normal 12-16 g/dl]). Serupa dengan trombositopenia, anemia yang timbul
terjadi akibat penekanan hematopoietik oleh sel-sel leukemik pada sumsum tulang. Akibatnya
timbul manifestasi klinis khas anemia seperti di atas. Takikardi timbul akibat kerja keras jantung
dalam memenuhi kebutuhan oksigen jaringan karena kuantitas hemoglobin (Hb) yang rendah
dengan mekanisme mempercepat jalannya aliran darah. Kuantitas Hb yang rendah mengakibatkan
central pallor eritrosit berwarna pucat. Hal inilah yang kemudian direpresentasikan oleh berbagai
jaringan tubuh, misalnya konjungtiva, bantalan kuku, telapak tangan, serta membran mukosa mulut.
Atrofi papil lidah mungkin saja terjadi akibat cedera sel papila akibat kekurangan oksigen yang
terjadi akibat anemia yang diderita oleh pasien.
Limfadenopati leher. Hiperplasia terjadi akibat kerja limfonodus yang berlebihan dalam
memproduksi limfosit. Sehingga sel-sel limfonodus yang berlebihan menyebabkan timbulnya rasa
sakit (pathy).
Hepatomegali. Terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1) infeksi; 2) akibat anemia
hemolitik; atau 3) akibat infiltrasi. Namun, dalam kasus ini, kaitan yang paling mungkin adalah
hepatomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik ke dalam jaringan hepar.
Splenomegali. Splenomegali yang terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1)
infiltrasi; 2) infeksi; atau 3) sumbatan/gangguan aliran darah. Namun, dalam kasus ini, kemungkinan
yang paling besar splenomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemia ke dalam limpa/splen.
Bagaimanakah penatalaksanaan pasien dalam kasus?
Berdasarkan kesimpulan, pasien dalam kasus menderita leukemia limfositik akut (ALL).
Sehingga penatalaksanaan pasien dalam kasus lebih difokuskan pada terapi untuk ALL. Terapi ALL itu
sendiri meliputi induksi remisi, intensifikasi atau konsolidasi, profilaksis SSP, dan pemeliharaan
jangka panjang.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang didapatkan sementara dan manifestasi klinis yang
ada, pasien dalam kasus mengalami leukemia limfoblastik akut (ALL).
B. SARAN
1. Sebaiknya pasien menjalani pemeriksaan lanjutan untuk menentukan jenis leukemia
yang diderita, agar rencana penatalaksanaan dapat ditentukan sesegera mungkin.
2. Pemeriksaan lanjutan minimal yang dilaksanakan sebaiknya pemeriksaan morfologi sel
darah dan aspirasi sumsum tulang.
DAFTAR PUSTAKA
Baldy, Catherine M. Gangguan Sel Darah Putih dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M.
2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6. Jakarta: EGC.
Fadjari, Heri. Leukemia Granulositik Kronis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.
Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Fianza, Panji Irani. Leukemia Limfoblastik Akut. ---------------------------------------
Greer JP et.al, Acute myelogenous leukemia. In Lee RG et. al, editors: Wintrobe’s clinical
hematology, ed 10, Baltimore, 1999, Williams & Wilkins.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Hoffbrand, A.V. Petit, J.E. 1996. Kapita Selekta Haematologi. Jakarta: EGC.
Kurnianda, Johan. Leukemia Mieloblastik Akut dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti.et.al. 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Rotty, Linda W.A. Leukemia Limfositik Kronis. ----------------------------------------
http://sampahtutorial.blogspot.com/2009/07/hematologi-leukemia.html
Labels: Biologi
PendahuluanLeukemia adalah golongan penyakit yang ditandai dengan penimbunan sel darah putih abnormal dalam sumsum tulang. Sel abnormal ini dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang, hitung sel darah putih sirkulasi meninggi dan menginfiltrasi organ lain. Dengan demikian gambaran umum leukemia mencakup sel darah putih abnormal dalam darah tepi, hitung sel darah putih total meninggi, bukti kegagalan sumsum tulang misalnya : anemia, netropenia atau trombositopenia dan keterlibatan organ lain misalnya : Hati, limpa, limfonodi, meningen, otak, kulit dan testis. Jadi Leukemia adalah Suatu penyakit keganasan (maligna) yang di tandai oleh proliferasi dan penimbunan sel-sel hematopoeitik lain dalam sumsum tulang dan beredar dalam darah tepi dengan jumlah yang besar dan umumnya terdiri atas sel muda.
Sebab leukemia belum diketahui, tapi yang diperkirakan bisa menimbulkan leukemia adalah :1. Radiasi.Misalnya : sinar dengan panjang gelombang pendek, sinar Gamma, sinar Beta dan lain-lain.2. Zat kimiaMisalnya : Benzene3. VirusMisal : Infeksi virus Ebstein Barr4. Faktor GenetikMisal : Sindrome down (jumlah kromosom 47, kelebihan kromosom)
Leukemia digolongkan kedalam kelompok akut dan kronis berdasarkan derajat maturasi sel-sel ganas di dalam sumsum tulang. Leukemia akut ditandai adanya gangguan maturasi yang mengakibatkan meningkatnya sel-sel muda dan terjadi kegagalan diferensiasi sel-sel darah. Keadaan ini menyebabkan penyakit tampak sangat berat dan menyebabkan kematian dalam beberapa bulan tanpa pengobatan.
Sebaliknya pada leukemia kronik terjadi peningkatan sel matur yang tidak terkendali, sehingga penyakit tampak relatif lebih ringan. Leukemia kronik pada stadium akhir dapat menjadi progresif seperti leukemia akut.
Yang sering dipakai dalam klasifikasi yaitu :1. Menurut Maturitas (kematangan) / kecepatan timbulnya gejala :a. Leukemia akutb. Leukemia kronis2. Menurut sel yang Predominan, dibagi :a. Leukemia Limfoid / Limfoblastik / Limfositikb. Leukemia Non Limfoid (Mieloid) / Myeloblastik / Granulositik
A. LEUKEMIA LIMFOSITIK AKUTIni dijumpai pada anak-anak ( 80 %), usia puncak 3-4 tahun dan separuhnya remaja, usia diatas 30 tahun jarang ditemukan. Gejala klinisnya mulai secara mendadak. Gejala klinis :1. Karena kegagalan sumsum tulang :Pucat, lemas ini disebabkan karena anemia, demam dan infeksi ini disebabkan gangguan fungsi leukosit, Perdarahan / mudah berdarah, purpura kecil dan besar (Ptechiae & Acchymoses), ini karena thrombositopenia.2. Karena infiltrasi ke organ : Nyeri tulang, limpadenopati, spleenomegali sedang, hepatomegali, sindrom meningeal yaitu : sakit kepala, muntah, penglihatan kabur dan nausea.Pemeriksaan Laboratorium :1. Anemia Normokrom Normositik dan anemia sangat menyolok dengan retikulosit rendah.2. Hitung jumlah leukosit bisa mencapai 500.000/mm3. Tetapi kadang bervariasi jumlahnya.3. Trombositopenia. Jumlah dapat bervariasi tergantung infiltrasi sel leukemik.4. Hitung jenis : ditemukan limfoblast sebagai sel predominant yang mencapai 50-90%.Klasifikasi Leukemia Limphoblastik Akut menurut FAB (French-American-British) yaitu :Type L1 Type L2 Type L3Penampilan Homogen Heterogen HomogenUkuran sel Kecil dan uniform Besar dan variable Besar dan uniformBentuk inti Teratur, sedikit bercelah Tidak teratur, bercelah, berlekuk teratur, bulatKromatin inti homogen variabel, heterogen titik halus homogenAnak inti Tidak ada / tidak nyata satu atau lebih besar satu / lebih nyataSitoplasma Sedikit Variabel, sering banyak Banyak kadang ada vacuoleB. LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUTLeukemia Mieloblastik Akut dijumpai pada orang dewasa. Gejala klinis sama dengan Leukemia Limfoblastik Akut. Khusus untuk M4 dan M5 juga ada gejala Hipertrofi dan infiltrasi gusi.Klasifikasi menurut FAB yaitu M1 sampai M7 :a. Komponen Granulositik PredominanM0 = Mieloblastik tanpa maturasi. Sel Blast tanpa granula dengan batang auer atau granula azurofilM1 = Mieloblastik dengan maturasi lebih dari 50 % sel Mieloblast dan Promielosit. Ditemukan Pseudo anomali Pelger-Huet dan granulasi kurang.
M2 = Promielosit hipergranula, batang auer ada. Leukemia ini bisa menyebabkan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)M3 = Promeilosit dan Mielosit dengan granulasi ada tanpa batang auer. Terdiri dari sel yang dominan mielosit dan metamielosit dan disertai juga seri yang lain.b. Komponen Monositik PredominanM4 = Mielomonositik. Promonosit dan monosit merupakan 20% sel dominan dan mieloblast dan promielosit 20% dari serinya.M5 = Monositik. Yang mendominasi monosit dan granulosit kurang dari 10 %. c. Komponen Erytropoitik PredominanM6 = Erytroleukemia. Sumsum tulang 50% seri eritrosit. Mieloblast dan promielosit 30%M7 = Megakariositic Leukemia. Sumsum tulang sel yang predominant Megakariosit dengan peningkatan yang berarti, tampak Megakariosit berbentuk abnormal. Darah perifer terjadi jumlah thronbosit sangat tinggi (thrombocytemia)Perbedaan antara Leukemia Limfositik Akut dan Leukemia Mielositik Akut adalah :- Pada leukemia limpositik akut tidak ditemukan Batang Auer dan pemeriksaan LAP normal- Sedangkan pada leukemia mielositik akut ditemukan batang Auer dan pada pemeriksaan LAP tidak ada atau sangat rendah.Pemeriksaan Laboratorium darah perifer :- Leukosit : - Biasanya ditemukan leukositosis.- Pada fase permulaan, pada sebagian besar kasus jumlah leukosit 20.000 – 50.000 / mm3, sedangkan pada sebagian kecil kasus jumlahnya bisa dalam batas normal , tetapi kadang-kadang ada yang mencapai 500.000 / mm3 atau lebih.- Hematokrit : - Kurang dari normal, anemia normokromik normositer, anisositosis, poikilositosis- Kadang terjadi retikulositosis dan polikromasia.- Thrombosit : - kurang dari normal, mencapai 10.000 – 100.000/mm3 darah.- Bentuknya kadang irreguler dan abnormal- Hitung jenis : - Myeloblast : jumlahnya meninggi sampai 30 %- Promyelosit : jumlahnya meninggi juga- Myelosit : jumlahnya kecil- Metamyelosit : jumlahnya kecil- Batang : jumlahnya meninggi- Segmen : jumlahnya meninggi.Bentuk mudanya banyak sekali dibanding bentuk agak tua (myelosit dan metamyelosit) sedikit sekali, lalu bentuk tua banyak sekali (netrofil batang & segmen). Keadaan ini dimana seakan-akan terdapat suatu kekosongan pada hitung jenis disebut Hiatus Leukemikus merupakan ciri khas dari leukemia myeloid akut. Kadang diperlukan peroksidase staining untuk mengetahui sel muda itu myeloblast & monosit atau limfoblast. Kecuali myeloblast & monosit, seri granulositik dan monositik lainnya memberi hasil positif terhadap peroksidase stanning.
C. LEUKEMIA LIMPOSITIK KRONIKIni ditemukan terutama pada usia lebih 40 tahun dan jenis limpositnya lebih dari 95 % adalah Limposit B. Perjalanan penyakitnya sangat lambat dan berjalan bertahun-tahun. Leukemia ini adalah satu-satunya leukemia yang tidak pernah timbul akibat radiasi. Sel B yang normal dapat hidup selama 1 tahun sedangkan pada sel B leukemik dapat hidup sampai 5 tahun. Karena produksi sel B juga meningkat sebanyak 10 kali, maka jumlah sel B menjadi sangat banyak. Sel B ini secara imunologis lumpuh dan dalam pertumbuhannya mendesak sel B normal. Leukemia limfositik kronik mengganggu fungsi imunologik, setengah jumlah penderita saat tertentu terjadi penurunan imunoglobulin, terutama Ig.M. Sepertiganya menunjukkan test Coombs’ direk positif.
Gejalanya : Limfadenopati, Spleenomegali, Hepatomegali, Pucat, PerdarahanPemeriksaan Laboratorium :- Jumlah leukosit 30.000 – 200.000 / mm3.- Jenis limposit yang ditemukan lebih 95 % terdiri dari limposit kecil dengan morfologi normal atau agak muda sehingga terlihat gambaran Monoton.- Ditemukan Rider Cell, sel limposit yang serupa dengan monosit.- Pada hapusan darah tepi terdapat Smudge Cell / Smear Cell / Sel coreng yaitu sel limfosit yang rusak setelah diwarnai, hanya inti kelihatan, bentuk irreguler.- Juga ditemukan trombositopenia, Anemia Hemolitik, Hipogammaglobulinemia (terutama Ig.M) , test Coombs direk positif, juga ditemukan Gamopati Monoklonal.
D. LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIKLMK merupakan penyakit keganasan pertama yang dijumpai dengan kelainan genetic spesifik yaitu pada krosomom nomor 22 (Ph’ kromosom). Pada lebih dari 90 % pasien terdapat pergantian sumsum tulang normal oleh sel dengan kromosom golongan G abnormal (nomor 22)-kromosom Philadelphia atau Ph. Abnormalitas terjadi karena adanya translokasi bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom lain, biasanya kromosom 9 pada golongan “C”. Ini adalah abnormalitas akuisita yang ada dalam semua sel granulositik, eritroid dan megakariositik yang sedang membelah dalam sumsum tulang dan juga dalam sel limposit B. LMK Ini ditemukan pada umur pertengahan, dengan puncak umur 40 – 50 tahun gejalanya rasa lelah, penurunan berat badan, rasa penuh diperut, anoreksia, berkeringat malam, Spleenomegali, Hepatomegali, nyeri sternum, ekimosis, kadang-kadang ditemukan Purpura Limfadenopati dan Gout atau Pirai.
Pemeriksaan Laboratorium :- Jumlah erytrosit, hematokrit dan hemoglobin (7-9 g/dl) kurang dari normal dengan Anemia normokromik normositer- Jumlah leukosit lebih dari 80.000 / mm3 dengan variasi 80.000 – 800.000/ mm3. leukositosis sangat berat > 500.000/mm3 dijumpai pada
anak-anak.- Jumlah thrombosit bervariasi (awalnya terjadi thrombositosis 1.000.000/ mm3 lalu stadium lanjut menjadi thrombositopenia). Pada hapusan darah thrombosit mengelompok.- Jumlah Basofil meningkat (Basophilia) dan juga Eosinifilia secara absolut. Pada fase lanjut (fase akselerasi) terjadi basophilia > 20 %.- Pada pemeriksaan darah tepi dijumpai seluruh stadium diferensiasi tetapi yang predominant adalah sel-sel yang tua-tua seperti Mielosit, Metamielosit, N.batang dan N.segmen sedangkan Mieloblast dan Promielosit (dibawah 15%) tetap dalam jumlah sedikit.- Asam urat jumlahnya meningkat dalam plasma.- Yang khas dalam leukemia ini ditemukannya Kromosom Philadelphia yaitu Kromosom nomor 22 yang telah kehilangan kedua lengan panjangnya, pindah ke kromosom nomor 9.
E. LEUKEMIA MONOSITIK KRONIKLeukemia ini hampir mirip dengan leukemia myelositik, tetapi disini yang predominant sel monosit immatur dan matur juga ada disertai myeloblast dan myelosit.Pemeriksaan Laboratorium :- Eryhtrosit : - Hitung eritrosit rendah, hematokrit rendah dan hemoglobin rendah dengan anemia normokromik normositik.- Leukosit : - Pada stadium permulaan anemia disertai leukopenia, lalu disusul oleh thrombositopenia.- Granulosit menurun dan terjadi peningkatan monosit. Pada stadium progressif terjadi peningkatan monosit yang tinggi.- Ditemukan dua tipe : Leukemia monositik tipe Schilling dengan sel monosit yang predominant dan Leukemia monositik tipe Nageli dengan monosit immatur dan juga banyak myeloblast dan myelosit.
sumber:http://ripanimusyaffalab.blogspot.com/2010/02/leukemia.html
Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL)
Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is a fast-growing cancer of the white blood cells. Lymphocytes are a type of white blood cell that the body uses to fight infections. In ALL, the bone marrow makes lots of unformed cells called blasts that normally would develop into lymphocytes. However, the blasts are abnormal. They do not develop and cannot fight infections. The number of abnormal cells (or leukemia cells) grows quickly. They crowd out the normal red blood cells, white blood cells and platelets the body needs.
On this page:
Acute lymphoblastic leukemia symptoms and diagnosis Treatment options for acute lymphoblastic leukemia Chemotherapy for acute lymphoblastic leukemia Bone marrow or cord blood transplant for acute lymphoblastic leukemia Making treatment decisions References
Acute lymphoblastic leukemia symptoms and diagnosis
There are about 4,000 new cases of ALL in the United States each year. It appears most often in children younger than age 10. ALL is the most common leukemia in children. However, it can appear in people of any age — about one-third of cases are adults. Acute lymphoblastic leukemia may also be called acute lymphocytic leukemia or acute lymphoid leukemia.
Signs and symptoms
The symptoms a person with ALL has depend on how many normal blood cells he or she has. Symptoms also depend on how many leukemia cells there are and where they collect in the body.
Red blood cells carry oxygen throughout the body. Low numbers of red blood cells can lead to anemia -- feeling tired or weak, being short of breath and looking pale.
White blood cells fight infections. Low numbers of white blood cells can lead to fever and frequent infections that are hard to treat.
Platelets control bleeding. Low numbers of platelets can lead to cuts that heal slowly, easy bruising or bleeding and tiny red spots under the skin (petechiae).
High numbers of leukemia cells can cause pain in the bones or joints, lack of appetite, headache or vomiting. These symptoms are less common.
Diagnosis
ALL is diagnosed when blood and bone marrow samples show a large number of abnormal lymphocyte blasts. To find out the type of ALL and how well it might respond to treatment, doctors test samples taken from the blood and bone marrow to learn:
The size and number of leukemia cells. The type of lymphocyte affected — the leukemia cells can begin from one of two types of
lymphocytes, B cells or T cells. What changes appear in the chromosomes of the leukemia cells. This is called cytogenetics.
Doctors also use a test called a lumbar puncture (or spinal tap) to find out whether there are leukemia cells in the fluid around the brain and spinal cord.
Based on these tests, doctors may categorize ALL into one of the following types:
Early pre-B ALL Common ALL Pre-B-cell ALL Mature B-cell ALL (Burkitt leukemia) Pre-T-cell ALL Mature T-cell ALL
The type of ALL is one of several factors doctors use to plan treatment.
Treatment options for acute lymphoblastic leukemia
ALL can get worse quickly, so doctors usually begin treatment right away. To plan the treatment, doctors look at a patient's risk factors (also called prognostic factors). Risk factors are patient and disease traits that clinical research studies have linked to better or poorer
outcomes from treatment. Examples of risk factors are a patient's age and the type of ALL he or she has. For more details, see Risk Factors for Planning ALL Treatment.
For a patient with ALL, the treatment plan may include:
Chemotherapy — drugs that destroy cancer cells or stop them from growing (discussed further below). Some form of chemotherapy will be part of the treatment plan for all patients with ALL.
Radiation therapy — most patients do not receive radiation therapy. However, children who have signs of disease in the central nervous system (brain and spinal cord) or have a high risk of the disease spreading to this area may receive radiation therapy to the brain.
Bone marrow or cord blood transplant (also called a BMT) — a transplant (discussed further below) offers some patients the best chance for a long-term remission of their disease. Because transplants can have serious risks, this treatment is used for patients who are less likely to reach a long-term remission with chemotherapy alone.
Chemotherapy for acute lymphoblastic leukemia
There are three phases of chemotherapy treatment for ALL: induction, consolidation and maintenance. Many patients also receive treatment called intrathecal chemotherapy to prevent leukemia from spreading to the central nervous system.
Induction chemotherapy
Most patients with ALL are given induction chemotherapy. The goal of induction therapy is to bring the disease into remission. Remission is when the patient's blood counts return to normal and bone marrow samples show no sign of disease. Induction therapy achieves a remission in more than 95% of children and in about 75% to 89% of adults. [1, 2] Induction therapy is usually very intense and lasts about one month. After induction chemotherapy, the next step may be a transplant or consolidation chemotherapy, depending on the treatment plan.
When a patient is diagnosed with ALL, he or she may have 100 billion leukemia cells. If induction therapy destroys at least 99% of these cells, the patient is in remission. However, that could still leave 100 million leukemia cells in the body. If these cells are not destroyed, they can grow and multiply and cause a relapse of the disease.
Consolidation therapy
Consolidation therapy, the second phase of chemotherapy, is also intense. It lasts about four to eight months. The goal of consolidation therapy is to reduce the number of disease cells left in the body. The drugs and doses used during consolidation therapy depend on the patient's risk factors.
Maintenance therapy
If a patient stays in remission after induction and consolidation therapy, maintenance therapy begins. The goal is to destroy any disease cells that remain so that the leukemia is completely gone. Maintenance therapy is less intense than the other two phases. It may last two to three years.
Intrathecal chemotherapy
During all three phases of chemotherapy treatment, many patients receive extra chemotherapy to destroy leukemia cells that may have spread to the central nervous system (the brain and spinal cord). This chemotherapy is injected right into the spinal fluid using a lumbar puncture (spinal tap) or an Omaya reservoir (a device placed under the scalp). It is called intrathecal chemotherapy.
Children with ALL who have a high risk of the disease spreading to the central nervous system may receive higher or more frequent doses of intrathecal chemotherapy. Some of these children may also be given radiation therapy to the brain. However, radiation to the brain can cause problems with growth and mental development in children, so doctors try to avoid this treatment.
Chemotherapy success rates for ALL
One way to measure the success of a treatment is tracking how many patients survive five years or more after treatment.
For children, the overall survival rate after chemotherapy is nearly 80%. [3] This includes children with all levels of risk factors. Survival rates are much lower for children with high-risk disease, while children with low-risk disease have even higher rates of survival.
For adults, the overall survival rate after chemotherapy is about 40%. [3] This includes adults with all levels of risk factors. For adults with high-risk disease, survival rates are much lower, while survival rates are higher for some adults with low-risk disease.
Relapse
Induction therapy brings about a remission in most patients, but over time some patients relapse. A relapse is when the disease returns after a remission. Patients who relapse after chemotherapy may be treated with different chemotherapy drugs and/or more intense doses. Patients who relapse soon after remission or while they are receiving chemotherapy have high-risk disease. For these patients, chemotherapy is less likely to achieve a long-term remission, but a bone marrow or cord blood transplant may be effective.
Bone marrow or cord blood transplant for acute lymphoblastic leukemia
For some patients, a bone marrow or cord blood transplant may offer the best chance for a long-term remission. A transplant is a strong treatment with risks of serious side effects, so it is not used for all patients with ALL. Transplants are used when chemotherapy alone is unlikely to provide a long-term remission.
Allogeneic transplants for ALL
Most transplants for ALL are allogeneic. An allogeneic transplant replaces the abnormal cells in the patient's bone marrow with healthy blood-forming cells from a family member, unrelated donor or cord blood unit.
Patients may receive an allogeneic transplant at a first remission, in second or third remission after a relapse, or while the disease is active if they do not reach remission. The state of the patient's disease at the time of the transplant can affect the likelihood of a good outcome. In addition, the closeness of the donor match can affect transplant outcomes.
In general, transplants in first remission have a better chance of a good outcome than transplants received later or when the disease is not in remission. A large study of more than 1,900 ALL patients showed that allogeneic transplantation with a sibling donor is the best treatment for adults with standard-risk ALL in remission. [4]
Autologous transplants for ALL
Another option for some patients may be an autologous transplant, which uses the patient's own blood-forming cells. Autologous transplants have risks of serious side effects, but these risks are lower than for allogeneic transplants. However, patients have a higher risk of relapse of their leukemia after autologous transplants. This is because leukemia cells may be returned to the patient along with his or her blood-forming cells.
Transplant success rates
Transplants have risks of serious complications, but a transplant offers some patients the best chance for a cure of their disease. If transplant is an option for you, your doctor can talk with you about your risks and your chances of a cure with transplant. For statistics showing patients' results after transplant, see ALL transplant outcomes data.
Making treatment decisions
ALL is an acute disease that can get worse quickly. If transplant may be a treatment option for you, talk with your doctor about a consultation with a transplant doctor soon after diagnosis. Getting a transplant at the right time in the course of your disease may offer the best chance of a cure. In general, getting a transplant at first remission gives better outcomes than transplants after one or more relapses. However, the possible benefits need to be weighed against the risks of transplant and the possible risks and benefits of chemotherapy.
For patients with high-risk ALL, an allogeneic transplant may be an option as soon as the patient reaches remission. (For factors considered high-risk, see Risk Factors for Planning
ALL Treatment.) For patients with standard-risk ALL in first remission, the choice between allogeneic transplant, autologous transplant and continued chemotherapy is less clear. It is important to talk about your treatment options with a doctor who is experienced in treating ALL. Your doctor can discuss your specific risk factors and options with you.
If you want more information to help you talk to your doctor about whether and when a transplant may be an option for you, you can share the referral guidelines (PDF) from the Physician Resources section of this Web site with your doctor.
More information on ALL
You can get further information about ALL from disease-specific organizations, such as:
Leukemia and Lymphoma Society: ALL: http://www.leukemia-lymphoma.org/all_page?item_id=7049
CureSearch: Childhood Cancer Information: http://www.curesearch.org/for_patients/newlydiagnosed
National Cancer Institute: o Childhood ALL (PDQ®): Treatment:
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/childALL/patient
o Adult ALL (PDQ®): Treatment: http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/adultALL/patient
American Cancer Society: o Treatment of Children with
ALL: http://www.cancer.org/Cancer/LeukemiainChildren/DetailedGuide/childhood-leukemia-treating-children-with-all
o What is ALL? (Adult) http://www.cancer.org/cancer/leukemia-acutelymphocyticallinadults/index
For other organizations that offer information and resources, see Organizations That Can Help: A Searchable Directory.
References
1. Margolin JF, Steuber CP, Poplack DG. Acute lymphoblastic leukemia. In: Pizzo PA, Poplack DG, eds. Principles and Practice of Pediatric Oncology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002: 489-544.
2. Gökbuget N, Hoelzer D. Recent approaches in acute lymphoblastic leukemia in adults. Rev Clin Exp Hematol. 2002; 6(2):114-141.http://dx.doi.org/10.1046/j.1468-0734.2002.00068.x
3. Pui C-H, Relling MV, Downing JR. Acute Lymphoblastic Leukemia. N Engl J Med. 2004; 350(15):1535-1548.http://content.nejm.org/cgi/content/extract/350/15/1535
4. Goldstone AH, Richards SM, Lazarus HM, et al. In adults with standard-risk acute lymphoblastic leukemia, the greatest benefit is achieved from a matched sibling allogeneic transplantation in first complete remission, and an autologous transplantation is less effective than conventional consolidation/maintenance chemotherapy in all patients: final results of the International ALL Trial (MRC UKALL XII/ECOG E2993). Blood. 2008; 111(4):1827-1833.http://dx.doi.org/10.1182/blood-2007-10-116582
http://marrow.org/Patient/Disease_and_Treatment/About_Your_Disease/ALL/
Acute_Lymphoblastic_Leukemia_%28ALL%29.aspx#all_symptoms_and_diagnosis
http://www.scribd.com/doc/98852736/Leukemia-Limfositik-Akut