bab 4 penyelesaian sengketa divestasi saham pt. … kewajiban divestasi sebesar 3% untuk periode...
TRANSCRIPT
Universitas Indonesia
53
BAB 4
PENYELESAIAN SENGKETA DIVESTASI SAHAM
PT. NEWMONT NUSA TENGGARA
Dalam perjanjian antara pemerintah dengan PT NNT disepakati pengaturan
penyelesaian perselisihan yang mungkin terjadi selama pengusahaan. Pada Pasal 21
Perjanjian Kontrak karya PT NNT dengan pemerintah Indonesia para pihak sepakat
setiap perselisihan yang timbul mengenai perjanjian ini termasuk juga ingkar janji
(wanpresrtasi), akan diselesaikan dengan cara konsiliasi, atau melalui Arbitrase.
Akan tetapi sebelum para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, para pihak sepakat dalam perjanjian untuk menempuh
jalur perundingan dan perdamai atau melalui konsiliasi yang sesuai dengan
peraturan-peraturan Konsiliasi UNICITRAL dalam resolusi 35/52 yang disetujui
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 15 Desember 1976,
yang berjudul Arbitration Rules of the United Nations Commision on International
Trade Law .
Pemerintah mengenakan status lalai atau default pada PT Newmont Nusa
Tenggara (NNT) atas kegagalannya memenuhi kewajiban melakukan divestasi 10%
kepada pemerintah atau pihak-pihak yang ditunjuk pemerintah. Selanjutnya
Pemerintah mengambil langkah arbitrase karena PT NNT tidak melaksanakan
kewajiban divestasi sebesar 3% untuk periode 2006 senilai US$109 juta dan 7%
saham divestasi senilai US$282 juta periode 2007. Sesuai kontrak karya, Newmont
berkewajiban mendivestasikan 51% sahamnya kepada pihak nasional, yaitu
pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun perusahaan nasional hingga 2010.
Namun, pihak PT NNT hingga kini belum merealisasikan kewajiban melepas saham
meskipun telah diberikan peringatan dan dikeluarkan pernyataan default (lalai),
Bahkan sempat diperpanjang hingga 3 Maret 2008.70
Upaya arbitrase dibawah peraturan Arbitrase UNICITRAL setelah upaya
70ibid
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
54
semua langkah kemungkinan pemecahan administrasi mengenai sengketa tersebut
atas dasar hukum perundang-undangan Indonesia. Acara kerja konsiliasi dan
arbitrase yang dilaksanakan menurut pasal ini akan diadakan di Jakarta, kecuali
kedua belah pihak mufakat untuk memilih tempat lain.71
Menurut Black's Law Dictionary Arbitration. an arrangement for taking an
abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of
carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities,
the delay, the expense and vexation of ordinary litigation. Menurut Pasal 1 angka 1
Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase
dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:72
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa (Factum De Compromitendo); atau
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa (Akta Kompromis).
Didalam factum de compromitendo, para pihak yang membuat kesepakatan
untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum arbitrase.
Perjanjian arbitrase ini melekat pada suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak ,
seperti perjanjian usaha patungan dan keagenan. Oleh karena ia merupakan bagian
dari suatu perjanjian tertentu, maka ia disebut sebagai klausul arbitrase.73
Pada saat mereka mengikatkan diri dan menyetujui klausul arbitrase sama
sekali belum terjadi sengketa atau perselisihan. Klausul arbitrase dipersiapkan untuk
mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul pada waktu yang akan datang. Jadi
sebelum perselisihan para pihak telah bersepakat untuk mengikatkan diri untuk
71Perjanjian Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara dengan Pemerintah Indonesia. 72Budhy Budiman. Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap praktik
Peradilan Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.http://www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm. Diakses 30 Agustus 2008.
73 Ridwan Khairandy,. http://www.kapanlagi.com/h/0000208969.html
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
55
menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase.74
The FAA (the Federal Arbitration Act) memerintahkan agar perjanjian
arbitrase diberlakukan dengan arahan legislasi yang ditetapkan dan
diimplementasikan oleh prinsip-prinsip hukum kontrak. Para pihak dapat membuat
segala ketentuan yang mereka anggap sesuai dan patut dan pengadilan harus
mengesahkan perjanjian tersebut sesuai denha apa yang tertulis. Sesuai dengan
dimensi kebebasan berkontrak, maka para pihak untuk setiap kasus yang mereka
hadapi, bebas memilih untuk menggunakan forum arbitrase .75
Dalam perjanjian antara pemerintah dengan PT NNT disepakati pengaturan
penyelesaian perselisihan yang mungkin terjadi selama pengusahaan. Pada Pasal 21
Perjanjian Kontrak karya PT NNT dengan pemerintah Indonesia para pihak sepakat
setiap perselisihan yang timbul mengenai perjanjian ini termasuk juga ingkar janji
(wanpresrtasi), akan diselesaikan dengan cara konsiliasi, atau melalui Arbitrase.
Akan tetapi sebelum para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, para pihak sepakat dalam perjanjian untuk menempuh
jalur perundingan dan perdamai atau melalui konsiliasi yang sesuai dengan
peraturan-peraturan Konsiliasi UNICITRAL dalam resolusi 35/52 yang disetujui
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 15 Desember 1976,
yang berjudul Arbitration Rules of the United Nations Commision on International
Trade Law .
Upaya arbitrase dibawah peraturan Arbitrase UNICITRAL setelah upaya semua
langkah kemungkinan pemecahan administrasi mengenai sengketa tersebut atas dasar
hukum perundang-undangan Indonesia. Acara kerja konsiliasi dan arbitrase yang
dilaksanakan menurut pasal ini akan diadakan di Jakarta, kecuali kedua belah pihak
mufakat untuk memilih tempat lain.
74M Yahya Harahap, Arbitrase Edisi Kedua(Jakarta: Sinar Grafika 2003),hlm 65. 75Thomas E Carbonneau, The Law and Practice of Arbitration(USA: Juris Publishing
Inc,2004)hlm 157 .
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
56
4.1. PENYELESAIAN MELALUI KONSILIASI
Para pihak sepakat dalam perjanjian untuk menempuh jalur perundingan dan
perdamaian atau melalui konsiliasi yang sesuai dengan peraturan-peraturan
Konsiliasi UNICITRAL dalam Resolusi 35/52 yang disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 4 November 1980, yang
berjudul “ Conciliation Rules of the United Nations Commission on International
Trade Law”.
Seperti halnya konsultasi, negosiasi, maupun mediasi, Undang-undang No.
30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian
atau definisi dari konsiliasi ini. Bahkan tidak dapat kita temui satu
ketentuanpun dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ini yang mengatur
mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif
penyelesaian sengketa dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10
dan Alinea ke-9 PENJELASAN UMUM Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tersebut.
Dalam Black's Law Dictionary dikatakan bahwa konsiliasi adalah :
Conciliation is the adjustment and settlement of a dispute in a friendly, unantagonistic manner used in courts before trial with a view towards avoiding trial and in labor disputes before arbitration. Court of Conciliation is a court which proposes terms of adjustment, so as to avoid litigation.
Conciliation berarti perdamaian dalam Bahasa Indonesia. Kemudian juga
jika kita simak pengertian yang diberikan dalam Black's Law Dictionary dapat
kita katakan bahwa pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian. Dalam
hal yang demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal
1864 Bab kedelapan belas Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
berarti segala sesuatu yang dimaksudkan untuk diselesaikan melalui konsiliasi
tunduk pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan secara
khusus Pasal 1851 :
“Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak,
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
57
dengan menyerahkan , menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara tertulis”
Ini berarti hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian
sengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani
secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai dengan ketentuan
pasal 6 ayat (7) jo pasal6 ayat (8) Undang-undang No. 30 Tahun 1999,
kesepakatan tertulis hasil konsiliasi tersebutpun harus didaftarkan di
Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal penandatanganan, dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri.
Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak.
Berbeda dengan negosiasi, konsiliasi, dari pengertian yang diberikan dalam
Black's Law Dictionary, merupakan langkah awal perdamaian sebelum sidang
peradilan (litigasi) dilaksanakan. Bahkan jika kita melihat pada ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dengan berasumsi bahwa
yang dimaksud dengan konsiliasi dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999
adalah identik dengan perdamaian yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, maka berarti konsiliasi tidak hanya dapat dilakukan untuk
mencegah dilaksanakannya proses litigasi (peradilan), melainkan juga dapat
dilakukan oleh para pihak, dalam setiap tingkat peradilan yang sedang
berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian
untuk hal-hal atau sengketa dimana telah; diperoleh suatu putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dapat dilakukan konsiliasi.
4.2. PENYELESAIAN MELALUI ARBITRASE
Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 21.2 Perjanjian Kontrak Karya antara
PT NNT dan Pemerintah Indonesia disepakati maka sebelum Pemerintah atau
perusahaan menempuh upaya arbitrase dibawah peraturan UNICITRAL yang
dimuat dalam resolusi 31/98, yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-bangsa tanggal 15 Desenber 1976 yang berjudul “Arbitration Rules of
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
58
the United Nations Commission on International Trade Law”. Maka para pihak
seharusnya telah melakukan segala upaya dalam mencari kemungkinan
pemecahan administratif mengenai sengketa tersebut atas dasar hukum
perundangan Indonesia.
4.2.1. Penyelesaian Melalui Arbitrase Sebagai Salah Satu Bentuk
Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan.
Hukum Dagang sebagai bagian dari Hukum Perdata materiil dan Hukum
Perdata formil memberikan dua macam cara dan kemungkinan untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul antara dua pihak yang saling berselisih,
yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dan penyelesaian
sengketa melalui jalur arbitrase. Karena kelemahan yang melekat pada badan
pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, baik kelemahan yang dapat
diperbaiki ataupun yang tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari
cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-
badan pengadilan. Model penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
sangat populer adalah apa yang disebut arbitrase tersebut.
Arbitrase di Indonesia sebenarnya memiliki sejarah yang panjang, hal ini
disebabkan arbitrase sudah dikenal daiam peraturan perundang-undangan
sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Belanda di
Indonesia, yaitu sejak mulai berlakunya RV. Namun demikian, secara
institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan
momentumnya dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal
3 Desember 1977.
Di samping ketentuan yang mengatur tentang arbitrase dalam Rv, terdapat
beberapa ketentuan lain yang juga menyinggung tentang arbitrase, yaitu HIR,
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Mahkamah
Agung, Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan
Arbitrase menurut Hukum Adat dan Hukum Islam.
Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
59
oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan rumusan tersebut, maka
arbitrase lahir karena adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak, yang berisikan perjanjian untuk menyelesaikan suatu sengketa di
bidang perdata di luar peradilan umum. Apabila dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menentukan adanya dua sumber perikatan, maka perjanjian arbitrase ini
merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Arbitrase
memberikan definisi mengenai perjanjian arbitrase sebagai suatu kesepakatan
berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Dari rumusan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya
suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu
perjanjian tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa.
Dengan demikian, perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan
secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu
sengketa atau perselisihan perdata kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad-
hoc. Dalam perjanjian arbitrase ini dapat dimuat pula pilihan hukum yang
akan dipergunakan untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan para pihak
tersebut.76 Pilihan hukum atas arbitrase adalah sangat ditentukan oleh
klausula arbitrase, karena klausula arbitrase akan menentukan apakah suatu
sengketa bisa diselesaikan melalui arbitrase, dimana diselesaikannya, hukum
mana yang digunakan, dan lain-lain.77
Klausula arbitrase bisa berdiri sendiri atau terpisah dari perjanjian
pokoknya dan tidak ada keharusan yang menentukan klausula arbitrase harus
dibuat dalam acta notaris. Oleh karena itu klausula arbitrase harus disusun
secara cermat, akurat, dan mengikat. Tujuannya adalah untuk menghindari
76 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 119
77 Ibid.
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
60
klausula arbitrase tersebut digunakan oleh salah satu pihak sebagai
kelemahan yang bisa digunakan untuk memindahkan sengketa tersebut ke
jalur pengadilan.78
Pilihan penyelesaian sengketa di luar peradilan umum atau melalui
arbitrase tersebut harus secara tegas dicantumkan dalam perjanjian. Undang-
Undang Arbitrase mensyaratkan perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis
oleh para pihak. Dengan adanya perjanjian arbitrase secara tertulis tersebut
berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian melalui jalur peradilan
umum. Selanjutnya, dengan sendirinya Pengadilan Negeri menjadi tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase, untuk itu Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak
akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Arbitrase. Dengan demikian, klausula atau perjanjian
arbitrase memberikan kewenangan absolut kepada lembaga arbitrase atau
arbitrase ad-hoc untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat antara
para pihak yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tertentu
yang penyelesaiannya disepakai dengan cara arbitrase.
Perjanjian arbitrase bukanlah perjanjian bersyarat (voorwaardelijke
verbintenis), oleh karena itu pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak
tergantung kepada sesuatu kejadian tertentu dimasa mendatang. Perjanjian
arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya
mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan
perselisihan atau sengketa yang terjadi antara pihak yang berjanji.79
Sifat perjanjian arbitrase ini merupakan perjanjian accesoir dari
perjanjian pokoknya, hal ini berarti perjanjian pokok menjadi dasar lahirnya
78 “Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian,” <http:/hvwsv.hukumonline.com/detail
asp?id=1905&cl= Fokus>, 26 April 2005 79 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2000)
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
61
klausula atau perjanjian arbitrase. Pelaksanaan perjanjan pokok tidak
bergantung pada perjanjian arbitrase, sebaliknya, pelaksanaan perjanjian
arbitrase bergantung pada perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya
tidak sah, maka dengan sendirinya perjanjian arbitrase batal dan tidak
mengikat para pihak. Perjanjian arbitrase ini dibuat dengan maksud untuk
menentukan cara dan pranata hukum yang akan menyelesaikan sengketa atau
perselisihan yang timbul dalam pelaksanan perjanjian pokok. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok
tetap dapat berdiri sendiri dengan sempurna. Sebaliknya, tanpa adanya
perjanjian pokok, maka para pihak tidak mungkin mengadakan ikatan
perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase tidak bisa berdiri dan tidak bisa
mengikat para pihak apabila perjanjian arbitrase tidak berbarengan dengan
perjanjian pokok. Karena yang akan ditandatangani oleh perjanjian arbitrase
adalah mengenai perselisihan-perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok,
bagaimana mungkin mengadakan ikatan perjanjian arbitrase apabila
perjanjian pokoknya tidak ada.80
Perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum atau sesudah timbul sengketa
oleh para pihak, maka bentuk klausula arbitrase tersebut dapat dibedakan atas
dua bentuk, yaitu klausula arbitrase yang berbentuk pactum de
compromittendi dan klausula arbitrase yang berbentuk acta compromise.
Bentuk klausula pactum de compromittendi dibuat oleh para pihak sebelum
terjadi sengketa atau perselisihan secara nyata. Para pihak sebelumnya telah
sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau perselisihannya yang
mungkin akan terjadi dikemudian hari kepada lembaga arbitrase atau
arbitrase ad-hoc. Klausula arbitrase seperti ini dapat dimuat dalam perjanjian
pokok atau dalam suatu perjanjian tersendiri. Pengaturan bentuk klausula
pactum de compromittendi ini dapat dilihat dalam Pasal 7 Undang-Undang
Arbitrase yang menyatakan bahwa para pihak dapat menyetujui suatu
sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan
melalui arbitrase. Sebelumnya diatur dalam Pasal 615 ayat (3) Rv yang
80 M. Yahya Harahap, Arbitrase (Jakarta: Pustaka Kartini, 1991), hal. 96.
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
62
menyatakan bahwa “bahkan diperkenankan mengikat diri satu sama lain
untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari
kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit”. Hal ini juga dapat
dijumpai dalam Pasal II ayat (2) Konvensi New York 1958, antara lain
menyebutkan “...the parties undertake to submit to arbitrastion all or
differences ...which may arise between them...”
Karena pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa dilakukan dalam
bentuk perjanjian, maka ketentuan hukum perjanjian yang umum berlaku.
Perjanjian arbitrase sebagai perjanjian turunan (accesoir) harus mengikuti
prinsip-prinsip hukum perjanjian turunan, dimana isinya tidak boleh
melampaui atau bertentangan dengan perjanjian pokoknya dan tidak ada
tanpa adanya perjanjian pokok.
Dengan hapus atau berakhirnya perjanjian pokok tidak menyebabkan
hapus atau berakhirnya klausula atau perjanjian arbitrase. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 10 Undang-Undang Arbitrase yang menyatakan bahwa suatu
perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan keadaan-keadaan
meninggalnya salah satu pihak, bangkrutnya salah satu pihak, novasi
(pembaruan utang), insolvensi (keadaan tidak mampu membayar) salah satu
pihak, pewarisan, berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok,
bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih-tugaskan kepada pihak ketiga
dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, atau
berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Bentuk klausula arbitrase lainnya adalah akta kompromis (acta
compromise). Akta ini dibuat setelah sengketa atau perselisihan terjadi
sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian pokok. Dalam perjanjian pokok,
para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, baru setelah sengketa
atau perselisihan terjadi para pihak bersepakat untuk memilih penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dan untuk itu dibuatlah perjanjian baru tersendiri
dan terpisah dari perjanjian pokok, yang berisikan penyerahan penyelesaian
sengketa kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.
Pasal 9 Undang-Undang Arbitrase telah mengatur persyaratan pembuatan
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
63
akta kompromis tersebut, dengan ancaman batal demi hukum apabila tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang ini.
Sebelumnya ketentuan mengenai akta kompromis ini diatur dalam Pasal 619
Rv. Pasal ini menentukan bahwa persetujuan arbitrase harus dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak atau jika para pihak tidak
dapat menandatangani, maka persetujuan arbitrase tersebtu harus dibuat di
hadapan notaris. Selain itu pengaturan mengenai akta kompromis ini juga
dapat dijumpai dalam Pasal II ayat (1) Konvensi New York 1958 yang
menyebutkan dengan kata-kata “...or any d i f f e rences wh ich
have ar i sen . . .” (sengketa yang telah terjadi ).
Untuk mencegah diterapkannya prosedur litigasi tentang makna dari
klausula-klausula arbitrase dan untuk menghindari kejutan-kejutan yang tidak
menyenangkan kemudian apabila arbitrase dilangsungkan, para pihak harus
menyusun klausula-klausula arbitrase dengan cermat. Setidaknya klausula
arbitrase harus memuat komitmen yang jelas terhadap arbitrase serta
pernyataan tentang sengketa apa yang diselesaikan secara arbitrase. Secara
umum klausula-klausula arbitrase akan mencakup komitmen atau
kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase, ruang lingkup
arbitrase, menentukan bentuk arbitrase (institusional atau ad-hoc) apabila
memilih bentuk institusional maka harus menyebutkan lembaga arbitrase
yang ditunjuk dan apabila memilih bentuk ad-hoc maka klausula tersebut
harus merinci metode penunjukan arbiter atau majelis arbitrase, aturan
prosedural yang berlaku, tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase,
klausula-klausula stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas) apabila relevan.81
4.2.2. Alasan-alasan Memilih Arbitrase
Arbitrase banyak dipilih oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa
yang timbul diantara mereka.
Ada beberapa hal yang menjadikan alasan mengepa arbitrase dipilih oleh para
pihak dalam penyelesaian sengketanya, yaitu :
81 Gary Goodfaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbirase Dagang di Indonesia” dalam Arbitrase di Indonesia, diedit oleh Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hal: 25
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
64
a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan;
b. Keahlian;
c. Bersifat rahasia;
d. Cepat dan hemat biaya;
e. Bersifat non preseden;
f. Kepekaan arbiter;
g. Pelaksanaan keputusan dan
h. Kecenderungan yang modern82
Namun dalam kenyataan proses pemeriksaan arbitrase tidaklah
berlangsung cepat harus bertahun-tahun lamanya sehingga tidak usah
diherankan bahwa karenanya akan memakan biaya yang cukup besar.
Alasan terpenting mengapa orang memilih arbitrase dibandingkan
dengan pengadilan adalah karena kecakapan serta keahlian para arbiternya,
khususnya dalam perkara yang memerlukan pengetahuan teknis yang bersifat
khusus. Sehingga yang pertama dan terutama kita harapkan adalah kualitas
para arbiternya dan keahlian dalam penanganannya, jadi arbiter itu sendirilah
yang ahli dibidangnya dan kedua adalah kepercayaan dimana tanpa
kepercayaan tidak mungkin dapat berfungsi dengan baik sedangkan unsur
spesialisasi memegang peranan penting dalam arbitrase karena keahlian
merupakan salah satu jaminan terhadap keparcayaan
Lembaga arbitrase pada asasnya memiliki fungsi yang sama dengan
lembaga peradilan. Ia merupakan pihak ketiga yang (seharusnya) tidak
memihak, menerima penyelesaian sengketa yang diajukan oleh para pihak
yang terlibat dan yang kedua-duanya bersandar pada suatu sendi pokok yang
sama yaitu kepercayaan. Sedangkan seorang hakim tidak dapat kita harapkan
kualitas serta keahlian yang serupa karena setiap saat seorang hakim dapat
saja mendatangkan serta meminta pendapat dari seorang yang memang ahli
dibidangnya.
Peradilan juga memfungsikan suatu lembaga kontrol melalui sifat
82Agnes M. Toar, Fatmah Jatim, Lely Niwan, Arbitrase di Indonesia, (Jakarat : Ghalia
Indonesia, 1995), hal. 19.
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
65
terbuka dari sidang-sidangnya dimana kedua belah pihak harus didengar,
sebaliknya dengan arbitrase meskipun asas bahwa kedua belah pihak harus
didengar, namun sidang arbitrase bersifat tertutup, sifat inilah yang menjadi
salah satu sebab terpentingnya mengapa para pihak pada umumnya lebih
memilih cara penyelesaian sengketanya melalui arbitrsae.
4.2.3. Klausula Arbitrase Dalam Suatu Perjanjian
Perjanjian arbitrase atau yang lazim disebut ”Klausula arbitrase”
bukanlah merupakan suatu perjanjian bersyarat, oleh karena itu dalam
pelaksanaannya tidak digantungkan kepada suatu kejadian tertentu dimasa
yang akan datang serta tidak dipersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian
tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang
menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara para pihak yang berjanji
tersebut. Klausula arbitrase ini merupakan tambahan yang diletakan kepada
perjanjian pokok, itu sebabnya disebut merupakan perjanjian asesor yang
berisi persyaratan khusus mengenai cara penyelesaian perselisihan yang
timbul dari perjanjian pokok.
Jadi klausula arbitrase berisi persyaratan khusus tentang penyelesaian
perselisihan melalui wasit atau arbiter, sehingga klausula arbitrase yang
ditambahkan dalam perjanjian pada hakikatnya berada diluar isi atau materi
perjanjian pokok. Keberadaan hanya sebagai tambahan kepada perjanjian
pokok dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan
perjanjiannya, dengan kata lain tanpa klausula arbitrase perjanjian pokok
tidak terhalang bahkan batal atau cacatnya klausula arbitrase tidak akan
berakibat batal dan cacat perjanjian pokok, akan tetapi tanpa klausula
arbitrase perjanjian pokok berdiri sendiri dengan sempurna, sebaliknya tanpa
adanya perjanjian pokok para pihak tidak mungkin mengadakan ikatan
klausula arbitrase, jadi klausula arbitrase merupakan ikatan dan kesepakatan
diantara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan yang
timbul dari perjanjian oleh badan arbitrase.
Pada prinsipnya sebenarnya tidak boleh diadakan penyelesaian
perselisihan diluar lembaga peradilan, namun penjelasan Pasal 3 Undang-
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
66
undang No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 35
Tahun 1991 membuka kemungkinan diperbolehkannya penyelesaian
perselisihan diluar Badan Peradilan Negara yaitu melalui arbitrase.
Diperbolehkannya mengikat diri dalam klausula arbitrase harus didasarkan
pada ”kesepakatan bersama” dan tidak boleh dilakukan secara sepihak, oleh
karena itu keabsahan dan mengikatnya setiap perjanjian yang memakai
klausula arbitrase harus memenuhi ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata.
Ada dua klausula arbitrase yaitu :
a. Pactum De Compromittendo yang berarti ”kesepakatan setuju dengan
putusan arbitrase atau wasit”. Jadi sebelum terjadi perselisihan yang
nyata, para pihak telah sepakat dan mengikat diri untuk menyelesaikan
perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase. Ada dua cara untuk
pembuatannya yaitu :
1. Mencantumkan klausula arbitrase tersebut dalam perjanjian pokok,
dimana langsung digabung dan dicantumkan dalam perjanjian
pokoknya.
2. Dibuat dalam akta tersendiri, dimana tidak langsung digabung
menjadi satu dengan perjanjian pokok tetapi dibuat terpisah dalam
akta tersendiri, namun pada waktu membuatnya harus tetap
berpegang pada ketentuan bahwa akta persetujuan itu harus
dibuat sebelum perselisihan terjadi.
b. Akta Kompromis atau Compromise and settlement (perdamaian yang
dicapai di luar pengadilan), dibuat setelah timbul perselisihan antara para
pihak. Jadi perjanjian penyelesaian perselisihan melalui arbitrase baru
mengikat dan disepakati setelah terjadinya perselisihan.
Klausula arbitrase harus dituangkan dalam bentuk tertulis karena bila
berbentuk lisan dianggap tidak sah dan tidak mengikat serta dianggap tidak
pernah ada. Hal ini didasarkan pada pendekatan kepastian hukum.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan mengenai isi klausula arbitrase yaitu :
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
67
a. Tidak melampaui isi perjanjian pokok, maksudnya adalah isi klausula
arbitrase harus mengenai masalah penyelesaian perselisihan yang ada
hubungannya dengan pokok perjanjian, tidak boleh menyimpang atau
memuat masalah penyelesaian perselisihan yang tidak ada sangkut
pautnya dengan isi perjanjian pokok.
b. Isi klausula boleh secara umum, maksudnya para pihak dapat
memperjanjikan kesepakatan mengikat diri satu sama lain untuk
menyerahkan penyelesaian perselisihan yang timbul kepada seorang atau
beberapa orang arbiter.
c. Klausula arbitrase secara terperinci, maksudnya adalah untuk
menghindari berbagai hambatan dalam pelaksanaan penerapan perjanjian
arbitrase, sebaiknya klausula memuat syarat-syarat yang dirumuskan
secara terinci baik dalam bentuk terinci sekali secara menyeluruh
maupun terinci mengenai pokok-pokonya saja. Hal ini jauh lebih
menguntungkan dan memudahkan karena para pihak dapat memantau
dan menentukan apakah suatu keadaan atau tindakan yang dibuat oleh
salah satu pihak, termasuk atau tidak kedalam kerangka perjanjian
arbitrase dan sekaligus memberi pegangan yang lebih pasti bagi anggota
arbiter untuk menentukan kewenangan dan penyelesaian perselisihan.
4.3. Bagaimanakah Apabila PT NNT Tidak Melaksanakan Keputusan
Arbitrase?
Kegagalan divestasi pada periode tahun keenam dan ketujuh menyebabkan
tertundanya pelaksanaan divestasi wajib ini. Sehingga pemerintah Indonesia
mengenakan status lalai dan berujung pada upaya untuk penetapan wanprestasi
kepada Arbitrase dalam negeri. Sesuai dengan Perjanjian Kontrak Karya yang
didalamnya terdapat ketentuan pelaksanaan tempat menurut pasal 22 ayat 3 akan
diadakan di Jakarta, Indonesia apabila dapat dilakukan pengaturan serasi, kecuali
kedua belah pihak mufakat memilih tempat lain.
”Klausula arbitrase” bukanlah merupakan suatu perjanjian bersyarat, oleh
karena itu dalam pelaksanaannya tidak digantungkan kepada suatu kejadian
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
68
tertentu dimasa yang akan datang serta tidak dipersoalkan masalah pelaksanaan
perjanjian tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang
berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara para pihak yang
berjanji tersebut. Klausula arbitrase ini merupakan tambahan yang diletakan
kepada perjanjian pokok, itu sebabnya disebut merupakan perjanjian asesor yang
berisi persyaratan khusus mengenai cara penyelesaian perselisihan yang timbul
dari perjanjian pokok. Dan tidak menyimpangi ketentuan pada pasal 22 ayat 3 ini,
karena arbitrase yang berdimensi internasional lebih sering digunakan oleh
kalangan bisnis lintas negara. Maka kondisi ini dapat difahami, karena apabila dua
pihak dalam perjanjian dari negara yang berbeda akan merasa penyelesaian
sengketa dalam pengadilan di negara salah satu pihak dapat menimbulkan
ketidakpercayaan, maka akan lebih baik apabila diselesaikan oleh badan arbitrase
internasional yang berpusat di negara lain yang dianggap netral.
Badan arbitrase internasional yang paling tua adalah Court of Arbitration dari
International Chamber of Commerce (ICC) yang berkedudukan di Paris, berdiri
sejak tahun 1923. Bagi negara-negara berkembang, gerakan Asia-Africa Legal
Consultative Committee (AALC) mempunyai pusat arbitrase di Malaysia untuk
Asia dan Kairo untuk Afrika, dengan menggunakan Uncitral Rules.83 Badan-
badan arbitrase lain yang sering juga digunakan dalam sengketa bisnis antara lain
adalah Tribunal of Arbitration of the Manchester Chamber of Commerce,
Netherlands Arbitration Institute, Japan Commercial Arbitration Association,
Australian Centre for International Commercial Arbitraion, dan sebagainya.
Sedangkan di bidang penanaman modal asing (PMA) terdapat International Centre
for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang didirikan oleh World Bank.
Karena alasan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya perusahaan swasta
asing di Indonesia berkecenderungan untuk menghindari adanya pembagian
keuntungan apalagi yang dibagikan cukup besar dengan penjualan sekitar 1,5
milyar dolar lebih pada tahun 2005. Nilai penjualan tersebut cenderung meningkat
seiring dengan peningkatan harga emas dan tembaga di pasaran internasional.
83 Uncitral Rules adalah suatu prosedur arbitrase yang telah diterima oleh PBB sejak tahun
1976
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
69
Dengan skema divestasi saham sebagaimana yang diatur pada Pasal 24.4.
Perjanjian Kontrak karya PT NNT dengan pemerintah Indonesia, maka dalam tiga
tahun kedepan PT NNT telah dimiliki oleh mayoritas nasional dengan andil
sebesar 51% saham. Lalu bagaimanakah apabila PT NNT tidak melaksanakan
keputusan arbitrase? Yang apabila putusannya merugikan pihak PT NNT?
Untuk melaksanakan putusan arbitrase ini, diperlukan penetapan melalui
Pengadilan Negeri. Untuk pelaksanaan putusan arbitrase dapat dilakukan oleh
Pengadilan Negeri yang telah dilaporkan oleh arbiter yang menyerahkan putusan
arbiter selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan diucapkan,
lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh
arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Pendaftaran dan pencatatan ini kegunaanya adalah untuk kepentingan atas
pelaksanaan putusan Arbitrase tersebut, jika salah satu pihak dalam putusan
Arbitrase tersebut tidak melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela.
Dalam hal yang demikian maka atas permohonan dari pihak yang berkepentingan
terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, Ketua Pengadilan Negeri dimana
putusan tersebut didaftarkan dan dicatat, dapat menjatuhkan perintah pelaksanaan
putusan arbitrase.
Perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri,
diberikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sebagai
keseimbangan bagi kepentingan para pihak dalam putusan arbitrase, Ketua
Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan, diberikan hak
untuk memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase tersebut telah diambil
dalam suatu proses yang sesuai;84
1. Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara
telah diangkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka;dan
2. Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis
arbitrase tersebut adalah perkara yang menurut hukum memang dapat
84 Gunawan Widjaja, Alternatif penyelesaian sengketa Ed 1., Cet 2.- Jakarta,PT Raja
Grafindo Persada,2002. hal 142
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
70
diselesaikan dengan arbitrase; serta
3. Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum.
Seperti uraian yang telah dikemukakan didepan, arbitrase menjanjikan
penyelesaian yang cepat, serta tidak melibatkan badan-badan Negara dalam
mengambil putusan. Sehingga banyak Negara telah menyetujui pemakaian
arbitrase dalam menyelesaikan perselisihan perdagangan antar Negara, terhadap
putusan yang telah dijatuhkan oleh arbiter tersebut dan kemudian akan dapat
dilaksanakan dinegara dimana putusan tersebut seharusnya dijalankan. Hingga
saat ini dikenal beberapa konvensi tingkat internasional yang berisikan
kesepakatan dari para peserta konvensi tersebut untuk menerima, mengakui dan
melaksanakan setiap putusan arbitrase dinegara setiap peserta konvensi yang telah
meratifisir konvensi tersebut. Konvensi yang pertama berkaitan dengan
perselisihan dalam bidang penanaman modal, yaitu: CONVENTION ON THE
SETTLEMENT OF INVESTMENT DISPUTES BETWEEN STATES AND
NATIONALS OF OTHER STATES (ICSID CONVENTION), yang kedua
berhubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan semua putusan arbitrase asing
di Indonesia, yaitu CONVENTION ON THE RECOGNITION AND
ENFORCEMENT OF FOREIGN ARBITRAL AWARDS (NEW YORK
CONVENTION 1958).
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
1958 atau yang lebih dikenal dengan New York Convention 1958 yang
menyatakan adanya pengakuan dan pelaksaaan dari setiap putusan arbitrase yang
diambil diluar wilayah Negara dimana putusan tersebut akan dilaksanakan. Dan
dalam ketentuan pasal 3 Konvensi New York 1958 dikatakan bahwa:
“Each Contracting State shall recognize arbitral awards as binding and
enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory where
the awards is relied upon, under the conditions laid down in the following
articles. There shall not be imposed substantially more onerous conditions or
higher fees or charges on the recognition or enforcement of arbitral to which
this Convention applies than imosed on the recognition or enforcement of
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
71
domestic arbitral awards”
Hal ini merupakan pengakuan pada setiap Negara yang telah meratifisir
Konvensi New York agar memperlakukan semua putusan arbitrase yang diambil
di Negara lain seolah-olah sebagai putusan arbitrase dalam negeri.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur ketentuan mengenai
arbitrase internasional hanya mengenai aspek putusannya atau eksekusinya, tetapi
sama sekali tidak menyebutkan definisi dari arbitrase internasional. Menurut
Munir Fuady, arbitrase internasional yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 sebenarnya adalah arbitrase asing.85
Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Konvensi New York 1958 yang
mempersoalkan eksekusi putusan arbitrase asing (foreign arbitral award), bukan
hanya arbitrase internasional. Bahkan dalam sejarah hukum arbitrase di Indonesia,
juga yang dikenal adalah eksekusi putusan arbitrase asing. Hal ini terlihat dengan
adanya keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1981 yang mengesahkan berlakunya
Konvensi New York 1958 maupun dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing.86
Dihadapkan kepada badan peradilan di Indonesia yang dianggap belum
mampu dalam permasalahan transaksi bisnis internasional, sesuai dengan
keputusan pemerintah untuk mengajukan kegagalan divestasi PT NNT kepada
arbitrase internasional maka akan timbul pertanyaan, apakah keputusan
pengadilan asing dapat dilaksanakan di Indonesia. Sesuai dengan prinsip hukum
acara yang berlaku di Indonesia, keputusan hakim asing tidak dapat serta merta
dilaksanakan di Indonesia. Pengadilan di Indonesia hanya dapat menggunakan
keputusan tersebut sebagai salah satu bahan atau bukti dalam memberikan
keputusannya sendiri dalam suatu perkara baru yang diajukan kehadapan
pengadilan tersebut. Dalam hubungannya dengan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase maka perlu diperjanjikan bahwa putusan arbitrase tersebut “final and
binding”, yaitu tidak bisa dimintakan banding ke Pengadilan. Walaupun sudah
85 Munir Fuady, Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 183.
86 Ibid. 184
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
72
ditetapkan bahwa penyelesaian sengketa akan dilaksanakan melalui arbitrase,
tidak jarang salah satu pihak tetap mengajukan perselisihannya ke Pengadilan,
namun Mahkamah Agung RI konsisten dengan kompetensi absolut yaitu apabila
para pihak telah memperjanjikan arbitrase sebagai tempat sengketa, pengadilan
tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa perkara yang diajukan kepadanya.
Kasus perselisihan perusahaan Joint Venture antara Ahju Forestry Ltd
melawan Sutomo, 2924K/Pdt/1981. Dalam perkara ini Mahkamah Agung RI
menyatakan karena perjanjian telah menyebutkan bahwa perselisihan yang timbul
akan diselesaikan melalui International Chamber of Commerce (ICC)
Paris, maka Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi tidak berwenang untuk
memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Mahkamah Agung dalam
petimbangannya menyatakan bahwa badan yang memiliki kompetensi absolute
adalah “Arbitrase”. Penyelesaian sengketa harus mengacu kepada Pasal 15 Basic
Agreement for Joint Venture. Sesuai dengan asas Facta sunct servanda yang
dianut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Perdata, bahwa ketentuan
tersebut mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang
membuatnya.
Semua putusan arbitrase luar negeri tidak dengan serta merta harus
dilaksanakan di Indonesia. Dalam perkara Bakri Brothers melawan Trading Corp
of Pakistan Ltd, 4231 K/Pdt/1986, Mahkamah Agung RI telah menguatkan
putusan pengadilan negeri dan Pengadilan Tinggi yang menolak permohonan agar
putusan arbitrase London dilaksanakan.
Perkara ini bermula dengan ditandatanganinya jual beli minyak kelapa sawit
antara Bakri Brothers dan Trading Corporation of Pakistan. Bakri Brothers harus
mengirimkan minyak kelapa sawit tersebut ke Karachi. Namun ternyata supplier
di Singapura tidak dapat mengirimkan minyak tersebut. Sengketa kemudian
diputuskan oleh arbitrase di London sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian.
Pengadilan Negeri menerima alasan Bakri Brothers untuk tidak tunduk pada
putusan arbitrase London tersebut, dengan alasan pertama, karena ia sudah
membayar performance bond, kedua ia tidak cukup didengar pada waktu
putusan tersebut diambil. Mahkamah Agung RI dalam tingkat kasasi menguatkan
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
73
putusan Pengadilan Negeri tersebut.
Dalam perkara antara E.D. & F. Man (Sugar) Ltd. melawan Yani Haryanto,
1205 K/Pdt/1990, dimana Mahkamah Agung RI berpendapat perjanjian jual beli
gula yang memuat klausula arbitrase batal demi hukum karena perjanjian tersebut
bertentangan dengan ketertiban hukum, yaitu adanya ketentuan bahwa impor gula
hanya boleh dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (BULOG).
Semula telah ditandatangani perjanjian jual beli gula antara Yani Haryanto
dan E.D. & F. Man (Sugar) Ltd. London. Didalamnya dicantumkan klausula
arbitrase yang menyebutkan sengketa yang timbul akan diselesaikan dihadapan
lembaga arbitrase The Council of The Refined Sugar Association atau Queen's
Counsel dari English Bardi London. Apabila ada putusan arbitrase London
sehubungan dengan sengketa ini, maka Mahkamah Agung RI besar kemungkinan
akan menolak permohonan pelaksanaan keputusan arbitrase tersebut, karena
perjanjian yang melandasinya batal demi hukum.
Menurut Pasal V Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, menyatakan bahwa negara yang
diminta untuk melaksanakan keputusan arbitrase luar negeri dapat menolak
melaksanakannya karena beberapa alasan. Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah
petikan dari Pasal V Konvensi New York 1958 :
1. Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request of the
party against whom it is invoked, only if that party furnishes to the competent
authority where the recognition and enforcement is sought, proof that :
(a) The parties to the agreement referred to in article II were, under the law
applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not
valid under the law to which the parties have subjected it or, failing any
indication the reon, under the law of the country where the award was
made; or
(b) The party against whom the award is invoked was not given proper notice
of the appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or
was otherwise unable to present his case; or
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
74
(c) The award deals with a difference not contemplated by or not falling within
the terms of the submission to arbitration, or it contains decisions on
matters beyond the scope of the submission to arbitration, provided that, if
the decisions on matters submitted to arbitration can be separated from
those not so submitted, that part of the award which contains decisions on
matters submitted to arbitration may be recognized and enforced; or
(d) The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not
in accordance with the agreement of the parties, or, failing such
agreement, was not in accordance with the law of the country where the
arbitration took place; or (e) The award has not yet become binding, on
the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of
the country in which, or under the law of which, that award was made.
2. Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if
the competent authority in the country where recognition and enforcement
is sought finds that :
(a) The subject matter of the difference is not capable of settlernent by
arbitration under the law of that country; or
(b) The recognition or enforcement of the award would be contrary to the
public policy of that country.
Selanjutnya Pasal VI Konvensi ini juga menegaskan kembali mengenai
penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal V ayat (1) huruf (e) dengan
menyatakan bahwa :
If an application for the setting, aside or suspension of the award has been
made to a competent authority referred to in article V (1) (e), the authority
before which the award is sought to be relied upon may, if it considers it
proper, adjourn the decision on the enforcement of the award and may also,
on the application of the party claiming enforcement of the award, order the
other party to give suitable security.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi New York 1958 Pasal
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
75
V tersebut, dapat disimpulkan bahwa putusan arbitrase luar negeri tidak dengan
serta merta dapat dilaksanakan di negara di mana putusan tersebut dimohonkan
untuk dieksekusi sebelum memenuhi prosedur dan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam konvensi ini. Dan putusan arbitrase Internasional dapat
merupakan salah satu bahan yang akan ditindak lanjuti dengan memohonkan
penyelesaian perkara kepada pengadilan di Indonesia.
Kewajiban divestasi..., Iwan Dermawan, FHUI, 2009