bab 2 tinjauan pustaka 2.1 teori flebitis

16
8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis 2.1.1 Definisi Flebitis adalah radang pembuluh vena, yang merupakan komplikasi yang paling popular pada waktu pemberian terapi cairan (Maryunani, 2015). Menurut Hingawati Setio & Rohani (2010 dalam Maria, dkk., 2011) , flebitis didefinisikan sebagai peradangan pada pembuluh darah balik atau vena. Flebitis mempengaruhi lapisan endothelium terdalam vena (tunika intima). Respon inflamasi dimulai sebagai akibat dari kerusakan sel endothelial yang menyebabkan dinding sel menjadi kasar, tempat trombosit melekat menurut Weinstein (2007 dalam buku Maryunani, 2015). Kesimpulannya flebitis adalah pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang vena di area pemasangan infus < 72 jam. 2.1.2 Tanda dan gejala Tanda dan gejala yang biasa timbul pada flebitis (Philip, et.al., 2011) antara lain: 2.1.2.1 Nyeri atau kemerahan ringan di dekat area vena. Ketika vena ditusuk dengan jarum, kerusakan terjadi pada area penusukan dan pada beberapa kasus kondisi ini akan memicu perkembangan flebitis. 2.1.2.2 Eritema (kemerahan). Kerusakan pada area penusukan menyebabkan respon inflamasi tubuh dimulai, yang mengakibatkan nyeri, kemerahan (eritema), panas dan bengkak di daerah tersebut. 2.1.2.3 Bengkak. Sel yang rusak melepaskan histamin, bradikinin dan serotonin. Histamin dan bradikinin mempengaruhi vasodilatasi yang meningkatkan permeabilitas vena.

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Flebitis

2.1.1 Definisi

Flebitis adalah radang pembuluh vena, yang merupakan komplikasi yang

paling popular pada waktu pemberian terapi cairan (Maryunani, 2015).

Menurut Hingawati Setio & Rohani (2010 dalam Maria, dkk., 2011) ,

flebitis didefinisikan sebagai peradangan pada pembuluh darah balik atau

vena. Flebitis mempengaruhi lapisan endothelium terdalam vena (tunika

intima). Respon inflamasi dimulai sebagai akibat dari kerusakan sel

endothelial yang menyebabkan dinding sel menjadi kasar, tempat

trombosit melekat menurut Weinstein (2007 dalam buku Maryunani,

2015). Kesimpulannya flebitis adalah pembengkakan, kemerahan dan

nyeri sepanjang vena di area pemasangan infus < 72 jam.

2.1.2 Tanda dan gejala

Tanda dan gejala yang biasa timbul pada flebitis (Philip, et.al., 2011)

antara lain:

2.1.2.1 Nyeri atau kemerahan ringan di dekat area vena.

Ketika vena ditusuk dengan jarum, kerusakan terjadi pada area

penusukan dan pada beberapa kasus kondisi ini akan memicu

perkembangan flebitis.

2.1.2.2 Eritema (kemerahan).

Kerusakan pada area penusukan menyebabkan respon inflamasi

tubuh dimulai, yang mengakibatkan nyeri, kemerahan (eritema),

panas dan bengkak di daerah tersebut.

2.1.2.3 Bengkak.

Sel yang rusak melepaskan histamin, bradikinin dan serotonin.

Histamin dan bradikinin mempengaruhi vasodilatasi yang

meningkatkan permeabilitas vena.

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

9

2.1.2.4 Pengerasan jaringan.

Vasodilatasi yang terjadi mendorong peningkatan aliran darah

ke area yang mengalami cedera, peningkatan permeabilitas

memungkinkan substansi yang normalnya menetap dalam darah

seperti antibodi, fagosit dan zat kimia prokoagulan dilepaskan

ke area yang mengalami cedera.

2.1.2.5 Korda vena teraba

2.1.2.6 Pireksia.

Eritema dan panas pada area yang cedera sebagai akibat dari

peningkatan aliran darah, menghantarkan sel darah putih yang

dibutuhkan untuk perbaikan jaringan. Jika alat yang ditusukkan

tidak dikeluarkan dari tubuh, leukosit akan terakumulasi di

lokasi inflamasi mengakibatkan inflamsi lebih lanjut.

2.1.3 Penyebab dan pencegahan (Maryunani, 2015)

2.1.3.1 Flebitis yang disebabkan oleh zat kimiawi

a. Penyebab kimiawi berkaitan dengan pH, dimana pH normal

adalah 7,35 – 7,45.

1) Pemakaian obat bersifat asam atau alkali mempermudah

terjadinya flebitis.

2) Contoh beberapa obat dan pH-nya:

a) Antibiotic, nilai pH antara 2,5 – 4,5

b) KCL, nilai pH antara 4,0 – 8,0

c) Primperan, nilai pH antara 2,5 – 4,5

d) Lasix, nilai pH antara 8,6 – 9,6

e) Morfin, nilai pH antara 3,0 – 6,0

3) Pencegahan: salah satu cara untuk mengurangi risiko

flebitis karena pH obat, berikan obat dengan cara

intermittent IV drip, dengan mengencerkan dalam Otsu

100 ml (untuk obat yang dianjurkan)

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

10

b. Penyebab kimiawi berkaitan dengan osmolaritas

1) Nilai Osmolaritas

a) Osmolaritas normal : 285 ± 5 ml mOsm/L

b) Osmolaritas cairan elektrolit:

(1) Cairan Isotonik : Otsu NS, Otsu RL,

Asering

(2) Cairan hipotonik : KA-EN 3B, Otsu D5

(3) Cairan Hipertonik : Aminovel-600, Triparen.

c) Osmolaritas cairan yang bisa diterima oleh vena

perifer, maksimal 900 mOsm/L

2) Pencegahan: salah satu cara untuk mengurangi risiko

flebitis karena osmolaritas tinggi, pada penggunaan

perifer adalah dengan menggunakan kemasan “Jumbo

Solumix”

2.1.3.2 Flebitis yang disebabkan oleh mekanis

a. Uraian singkat:

1) Paling sering terjadi diantara 3 macam flebitis.

2) Biasanya gejala muncul < 72 jam setelah jarum

dipasang.

b. Pencegahan:

1) Pemilihan tempat penusukan jarum: hindari daerah

sendi, vena keras, vena ekstremitas bawah, vena

dibawah area komplikasi, area edema, area terinfeksi.

2) Pemilihan vena: pilih vena besar (dan lurus), dari distal

kearah proksimal (untuk KA-EN MG 3, Asam Amino

dan Aminofluid di mulai dari vena mediana atau vena

cephalica/ lengan bawah)

3) Pemilihan jarum:

4) Ukuran:

a) 14 G – 18 G untuk resusitasi dan transfuse

b) 20 G – 24 G untuk maintenance/ akses IV

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

11

5) Pelaksanaan fiksasi: baik dan benar (misalnya cara

fiksasi infus)

2.1.3.3 Flebitis yang disebabkan oleh bakterial

a. Penyebab antara lain

1) Cairan infus terkontaminasi karena:

a) Teknik memasukkan obat ke botol.

b) Teknik penggantian botol.

c) Set infus terlepas dari sambungan.

d) Teknik injeksi obat.

e) Penggantian infus set

2) Tempat penusukan terkontaminasi karena

a) Teknik penusukan jarum.

b) Perawatan tempat penusukan.

c) Penggantian jarum.

d) Alat tidak steril.

3) Tempat tidak bersih

b. Pencegahan:

1) Pertahankan kebersihan lingkungan dan alat.

2) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.

3) Pahami teknik dengan benar/ baik.

4) Infus set dan jarum diganti tiap < 72 jam.

5) Tempat penusukan didesinfektan (ganti balutan) setiap

hari.

2.1.4 Faktor yang perlu diperhatikan untuk pencegahan flebitis (Philip. et.al,.

2011dan Maryunani, 2015)

2.1.4.1. Tujuan dan tipe cairan.

Larutan yang memiliki pH atau osmolaritas yang tinggi dapat

memicu terjadinya iritasi pada vena. Semakin besar keasaman

suatu larutan, semakin besar kemungkinan terjadinya flebitis.

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

12

2.1.4.2 Lokasi dan kondisi vena.

Hindari pemasangan kanula pada vena superfisial yang kecil,

misalnya dipunggung tangan ketika memasang obat bolus

dengan pH atau osmolaritas tinggi, ini dikarenakan darah

mengalir lebih lambat di vena perifer yang berukuran kecil yang

meningkatkan kecenderungan terjadinya flebitis, dan pada area

persendian atau dekat penonjolan tulang, misalnya area fosa

antekubiti dan pergelangan lengan bagian dalam karena bisa

menyebabkan klien tidak nyaman dan semakin besar terjadinya

flebitis. Dan juga sebaiknya menghindari vena yang telah

memar, nyeri, merah atau teraba korda vena saat palpasi Karena

vena tersebut sudah mengalami kerusakan dan memerlukan

waktu unytuk sembuh.

2.1.4.3 Durasi terapi.

Ganti pemasangan kanula setiap 72-96 jam atau lebih cepat

sesuai kebijakan rumah sakit, semakin lama kanula menetap in

situ semakin besar pula kemungkinan terjadi flebitis.

2.1.4.4 Ukuran kanula.

Gunakan kanula dengan ukuran gauge paling kecil yang

memungkinkan masuknya obat yang diresepkan karena

kemungkinan untuk kontak antara kanula dengan bagian dalam

dinding vena. Kanula dengan ukuran gauge lebih kecil

mendorong obat larut dengan cepat ke dalam sistem vena.

2.1.4.5 Umur pasien.

Pada pasien yang sangat muda dan manula mempunyai vena

yang mudah “kabur”, maka perawat dianjurkan berhati hati pada

kedua kelompok tersebut.

2.1.4.6 Aktivitas pasien: gunakan sisi non dominan

Klien akan menggunakan lengan dominan untuk sebagian besar

aktivitas, pemilihan lengan dominan akan meningkatkan

terjadinya flebitis jika kanula dipasang di area yang fleksi

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

13

2.1.4.7 Kerjasama pasien

Minta klien untuk memberitahu petugas apabila terdapat darah

di selang infus atau infus menjadi terlalu lambat atau terlalu

cepat.

2.1.5 Tabel untuk menilai kejadian flebitis.

Tabel 2.1 Instrumen penilaian kejadian flebitis menggunakan VIP Score

(Visual Infusion Phlebitis Score)

OBSERVASI TINDAKAN

Area intravena tampak sehat Tidak ada tanda flebitis

OBSERVASI KANULA setiap shift

Salah satu tanda berikut terjadi:

Nyeri atau kemerahan ringan di

dekat area vena

Berpotensi sebagai tanda awal

flebitis

OBSERVASI KANULA

Semua tanda berikut terjadi:

Nyeri dekat area

intravena

Eritema (kenerahan)

Bengkak

Tahap awal flebitis PASANG ULANG KANULA

Semua tanda berikut terjadi:

Nyeri sepanjang jalur

kanula

Eritema (kemerahan)

Pengerasan jaringan

(jaringan teraba keras dan

bengkak)

Tahap pertengahan flebitis

PASANG ULANG KANULA

PERTIMBANGAN TERAPI

Semua tanda berikut terjadi dan

meluas:

Nyeri disepanjang jalur

kanula

Eriitema

Pengerasan jaringan

Korda vena teraba

Tahap lanjut flebitis atau awal

tromboflebitis

PASANG ULANG KANULA

PERTIMBANGAN TERAPI

0

1

2

3

4

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

14

Semua tanda berikut terjadi dan

meluas:

Nyeri disepanjang jalur

kanula

Eritema

Pengerasn jaringan

Korda vena teraba

Pireksia

Tahap lanjut tromboflebitis

MULAI TERAPI PASANG

ULANG KANULA

Sumber: Phillips,et.al (2011)

2.2 Teori Pemasangan Infus

2.2.1 Definisi

Proses memasukkan jarum abocath ke dalam pembuluh darah vena yang

kemudian disambungkan dengan selang infus dan dialirkan cairan infus

(Aryani, dkk, 2009).

2.2.2 Tujuan

2.2.2.1 Memberikan sejumlah cairan ke dalam tubuh ke dalam

pembuluh darah vena untuk menggantikan kehilangan cairan

tubuh atau zat makanan.

2.2.2.3 Memperbaiki keseimbangan asam dan basa

2.2.2.2 Sebagai media pemberian obat.

2.2.3 Indikasi

2.2.3.1 Pemberian cairan vena (intravenous fluids).

2.2.3.2 Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah)

dalam jumlah terbatas

2.2.3.3 Pemberian kantong darah dan produksi darah.

2.2.3.4 Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).

2.2.3.5 Pra dan pasca bedah.

2.2.3.6 Dipuasakan.

2.2.3.7 Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur

(misalnya pada operasi besar dengan resiko perdarahan,

5

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

15

dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok,

juga untuk memudahkan pemberian obat).

2.2.4 Kontraindikasi

2.2.4.1 Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi

pemasangan infus.

2.2.4.2 Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini

akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V

shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).

2.2.4.3 Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena

kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di

tungkai dan kaki)

2.2.5 Lokasi Pemasangan Infus

Sebelum dilakukan pemasangan infus atau terapi intravena, sebaiknya

petugas harus memahami letak dan lokasi pembuluh-pembuluh vena

pada tubuh. Lokasi pemasangan infus biasanya dilakukan pada pembuluh

darah vena yang terdapat di lengan (Nurkhasanah, 2017) antara lain:

2.2.5.1 Vena digitalis, terdapat pada punggung tangan yang mengalir

disepanjang sisi lateral jari tangan dan terhubung ke vena dorsalis

oleh cabang-cabang penyambung.

2.2.5.2 Vena dorsalis superfisialis, terletak di metacarpal atau punggung

tangan yang berasal dari gabungan vene-vena digitalis yang

berasal dari jari-jari tangan.

2.2.5.3 Vena sefalika, merupakan pembuluh vena yang terletak dilengan

bawah pada posisi radial lengan yang posisinya sejjar dengan ibu

jari.

2.2.5.4 Vena basilika, ditemukan pada sisi ulnaris lengan bawah, vena ini

berjalan ke atas pada bagian posterior atau belakang lengan dan

kemudian melengkung kea rah permukaan anterior atau region

antekubiti.

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

16

2.2.5.5 Vena mediana kubiti, merupakan vena yang berasal dari vena

lengan bawah dan umumnya terbagi dua pembuluh darah, satu

berhubungan dengan vena basilika dan yang lainnya berhubungan

dengan vena sefalika

2.2.6 Tabel pembagian infus berdasarkan jenis cairan dan kelompoknya.

Tabel 2.2 Jenis cairan infus

Jenis Deskripsi

Cairan

hipotonik

Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion

Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum

dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam

pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan

berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai

akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel

“mengalami” dehidrasi, misalnya paa pasien cuci darah (dialysis)

dalam terapi diuretic, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula

darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetic. Komplikasi yang

membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari pembuluh

darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan

tekanan intracranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya

adalah NaCL 45% dan dektrose 2,5%

Cairan

Isotonik

Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian

cair dari komponene darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh

darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi

(kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun).

Memiliki resiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya

pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya

Ringer Laktat (RL), dan normal salin/ larutan garam fisiologis (NaCL

0,9%)

Cairan

hipertonik

Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik”

cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.

Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin,

dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif

dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCL 45%

hipertonik. Dextrose 5% + Ringer Laktat, Dextrose 5% + NaCL 0,9%,

produk darah (darah), dan albumin.

Sumber: Aryani, dkk (2011)

Tabel 2.3 Pembagian jenis cairan berdasarkan kelompoknya

Jenis Deskripsi

Kristaloid Bersifat isotonic, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan

(cairan expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

17

singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.

Misalnya Ringer Laktat dn garam fisiologis.

Koloid Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak

akan keluar dari membrane kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh

darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari

pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.

Sumber: Aryani, dkk (2011)

2.2.7 Contoh SPO Pemasangan Infus.

Tabel 2.4 SPO Pemasangan Infus Vena Rumah Sakit Islam

Banjarmasin

Pengertian Suatu standar implementasi keperawatan yang dilakukan perawat

untuk memasang infus vena dengan benar dan sebaik-baiknya.

Tujuan Membuat jalur intra vena.

Kebijakan 1. Ada program terapi dokter dan pendelegasian jelas secara

tertentu.

2. Dalam keadaan emergensi perawat atau bidan boleh memasang

infus tanpa instruksi dokter untuk cairan fisiologis, dalam 1 x 24

jam dimintakan instruksi tertulis.

3. Dalam 3 x 24 jam abocath/ IV line wajib diganti, atau bila terjadi

flebitis skala 2.

4. Infus wajib diobservasi setiap pemberian injeksi.

5. Kegagalan pemasangan infus lebih dari 2 kali wajib ganti

operator.

Prosedur PERSIAPAN:

Alat:

1. Alat plastik dan handuk kecil.

2. Manset tangan/ tourniquet.

3. Plesterine.

4. Kapas alkohol.

5. Spidol.

6. Set infus.

7. Jarum infus.

8. Cairan infus.

9. Sarung tangan.

Perawat:

1. Cuci tangan.

2. Jelaskan kepada klien prosedur yang akan dilakukan.

3. Bawa alat-alat yang sudah disiapkan ditroli kedekat klien.

4. Buka set infus yang masih steril.

5. Atur letak klep pengatur cairan 5 – 10 cm dibawah penampung

cairan.

6. Putar dan naikkan pengatur cairan.

7. Buka penutup botol cairan dan pertahankan agar tetap steril.

8. Hubungkan set infus dengan botol infus secara steril.

9. Gantungkan botol cairan itu pada standar infus.

10. Tekan penampung cairan sehingga cairan masuk dan mengisi

penampung ¾ bagian.

11. Buka klep pengatur dan isi selang dengan cairan dan selang

menghadap keatas sehingga udara didalamnya keluar.

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

18

12. Matikan pengatur tetesan bila cairan sudah memenuhi pipa.

13. Perhatikan lagi apakah dalam pipa ada udara, jika ada keluarkan

udara ke penampung udara.

14. Cantumkan identitas klien, nomor kamar, jam, tanggal, obat yang

akan dimasukkan ke dalam botol dan nama Ners yang

mengerjakannya.

PELAKSANAAN

1. Gantungkan botol yang sudah disiapkan setinggi 1 meter.

2. Pasang alat karet dibawah pemasangan infus.

3. Letakkan ujung pipa yang tertutup jarum di troli.

4. Pilih jarum atau kateter yang tepat dan benar. Buka pembungkus.

5. Gunting plester sepanjang ±6 – 10 cm dengan lebar 0,5 cm dan

letakkan di tempat yang terjangkau.

6. Periksa vena klien yang cocok untuk ditusuk.

7. Cukur rambut bila perlu.

8. Periksa bagian vena superfisial yang cukup besar untuk

memudahkan penusukan jarum.

9. Ikatan “Torniquet” 10 -15 cm di atas daerah yang akan di tusuk,

periksa pulsasi distal.

10. Anjurkan klien membuka dan menutup kepalan tangannya

beberapa kali.

11. Pilihlah vena yang tampak dan kuat pada waktu palpasi.

12. Pakai sarung tangan (steril bila diperlukan).

13. Bersihkan bagian itu dengan antiseptic.

14. Letakkan ibu jari pada vena bagian distal dari luka tusukan, tekan

sampai vena di bawah kulit menjadi tegang.

15. Masukkan jarum pada sudut 30º kurang lebih 0,5 cm sampai 1

cm bagian distal dari vena yang tertusuk, sampai menembus

dinding depan vena.

16. Perhatikan darah yang keluar dari jarum ke arah pipa plastik

pangkal jarum.

17. Tarik sedikit saja jarum bagian dalam/ jarum besi, sehingga

bagian depan adalah plastik saja (jarum besi masih di dalam

jarum plastik), dorong jarum plastik menelusuri vena sampai ke

pangkalnya.

18. Sterilkan sekali lagi dengan antiseptik/ alcohol pada area

penusukan sebelum difiksasi dengan plester steril.

19. (hypapix/ plesterin/ hansaplas/ transparan dressing) yang

tersedia.

20. Tarik jarum besi dari IV cateter dan segera tekan (agar darah

tidak keluar) pada pangkal jarum yang terpasang, buka penutup

ujung selang cairan infuse dan sambungkan dengan kuat pada

pangkal IV cateter, serta buka klem cairan infus secukupnya.

21. Buat fiksasi kupu-kupu pada pangkal IV cateter dengan plester

±6 – 10 cm.

22. Atur jumlah tetesan cairan sesuai kebutuhan pasien.

23. Lakukan fiksasi rapi pada selang infus sisanya dengan ±2 -3

plester pendek.

24. Beri label tanggal pemasangan pada plester pendek.

25. Fiksasi lengan klien dengan bidai bila diperlukan.

26. Bersihkan alat-alat yang tidak terpakai, masukkan sampah dalam

kantong sampah, lepas sarung tangan dan mencuci tangan.

27. Catat prosedur pada rekam medik klien.

MENGGUNAKAN KATETER/ VENFLON

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

19

1. Lakukan prosedur 1 s/d 18, tetapi jarum yang digunakan adalah

venflon.

2. Tarik jarum besi dari IV cateter dan segera tekan (agar darah

tidak keluar) pada pangkal jarum yang terpasang, tutup pakai

venflon yang telah dicabut jarumnya dengan penutup yang ada

di pangkal jarum.

3. Masukkan ±5 ml aquadest steril melalui port injeksi yang berada

di atas pangkal venflon (posisi 90º) untuk menguji ketepatan

pemasangan dan membilas jalur IV cateter.

4. Selanjutnya lakukan prosedur No. 20, 23, 25 dan 26.

MENGGUNAKAN IN stopper

1. Lakukan prosedur 1 s/d 18, jarum yang digunakan sama dengan

pemasangan infus biasa.

2. Tarik jarum besi dari IV cateter dan segera tekan (agar darah

tidak keluar) pada pangkal jarum yang dipasang, tutup pangkal

IV cateter dengan IN stopper dengan memutarnya pada pangkal

IV cateter pelan-pelan.

3. Masukkan ±5 ml aquadest steril melalui port injeksi yang berada

di atas pangkal venflon (posisi 90º) untuk menguji ketepatan

pemasangan dan membilas jalur IV cateter.

4. Selanjutnya lakukan prosedur No. 20, 23, 25 dan 26.

Sumber: Dokumen SPO Rumah Sakit Islam Banjarmasin (2016)

2.3 Teori Kepatuhan

2.3.1 Definisi

Kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin (Pranoto, 2007).

Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat sebagai seseorang yang

professional terhadap suatu anjuran, prosedur atau peraturan yang harus

dilakukan atau ditaati. (Widyaningtyas, 2007). Kepatuhan merupakan

bagian dari perilaku individu yang bersangkutan untuk mentaati atau

mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan perawat dalam melaksanakan

SPO pemasangan infus tergantung dari perilaku perawat itu sendiri (Jeli,

M.M, 2014). Jadi kepatuhan adalah perilaku untuk menaati atau

mematuhi sesuatu sesuai ketentuan.

2.3.2 Faktor yang mempengaruhi

Kepatuhan merupakan suatu perilaku dalam bentuk respon atau reaksi

terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme. Dalam

memberikan respon sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

20

faktor lain. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor

predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat menurut Green

(1980, dalam Notoatmojo, 2010). Ketiga faktor tersebut akan diuraikan

sebagai berikut:

2.3.2.1 Faktor predisposisi (predisposing factor)

Faktor predisposisi merupakan faktor anteseden terhadap

perilaku yang menjadi dasar atau motivasi perilaku. Faktor

predisposisi dalam arti umum juga dapat dimaksud sebagai

prefelensi pribadi yang dibawa seseorang atau kelompok kedalam

suatu pengalaman belajar. Prefelensi ini mungkin mendukung

atau menghambat perilaku sehat. Faktor predisposisi melingkupi

sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi yang berhubungan

dengan motivasi individu atau kelompok untuk melakukan suatu

tindakan. Selain itu status sosial-ekonomi, umur, dan jenis

kelamin juga merupakan faktor predisposisi. Demikian juga

tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan, termasuk kedalam

faktor ini.

2.3.2.2 Faktor pemungkin (enabling factor)

Faktor ini merupakan faktor antedesenden terhadap perilaku yang

memungkinkan aspirasi terlaksana. Termasuk didalamnya adalah

kemampuan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan

suatu perilaku. Faktor-faktor pemungkin ini melingkupi

pelayanan kesehatan (termasuk didalamnya biaya, jarak,

ketersediaan transportasi, waktu pelayanan dan keterampilan

petugas).

2.3.2.3 Faktor penguat (reinforcing factor)

Faktor penguat merupakan faktor yang datang sesudah perilaku

dalam memberikan ganjaran atau hukuman atas perilaku dan

berperan dalam menetapkan dan atau lenyapnya perilaku

tersebut. Termasuk dalam faktor ini adalah manfaat sosial dan

manfaat fisik serta ganjaran nyata atau tidak nyata yang pernah

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

21

diterima oleh pihak lain. Sumber dari faktor penguat dapat berasal

dari tenaga kesehatan, kawan, keluarga, atau pimpinan. Faktor

penguat bisa positif dan negatif tergantung pada sikap dan

perilaku orang lain yang berkaitan.

2.4 Teori Hubungan Kepatuhan Pemasangan Infus Sesuai SPO dengan

Kejadian Flebitis

Semua jenis prosedur dan tindakan medis yang bertujuan untuk menegakkan

diagnosis dan terapi serta prosedur tindakan keperawatan tidak lepas dari

resiko (Darmadi, 2008). Bentuk-bentuk resiko dari ringan sampai berat antara

lain; (a) salah jalan (false route), sebuah prosedur dan tindakan medis yang

dapat menyebabkan perforasi jaringan, (b) perdarahan, sebagai akibat trauma

pada pembuluh darah, (c) laserasi atau edema jaringan, (d) infeksi. Salah satu

contohnya adalah pemberian terapi cairan /infus. Tindakan pemasangan infus

akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu patuh pada standar

prosedur operasional yang telah ditetapkan demi terciptanya pelayanan

kesehatan yang bermutu. (Priharjo, 2008)

Pemasangan infus dapat menyebabkan beberapa komplikasi (Aryani, 2011)

seperti:

1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya

pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang

kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada

pembuluh darah.

2. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan

pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh

darah.

3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi

akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

22

4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi

akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh

darah.

5. Rasa perih/ sakit.

6. Reaksi alergi

Dari faktor resiko, maka ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan:

1. Latar belakang intervensi, sebagai indikasi medis.

2. Prosedur dan tindakan medis, sebagai sebuah kegiatan yang dikerjakan

sesuai dengan indikasinya.

3. Tenaga terlatih (operator), sebagai petugas yang harus mengerjakan

prosedur dan tindakan medis.

Sebagai upaya pencegahan infeksi, prosedur dan tindakan medis yang

berkaitan dengan kewaspadaan standar harus diperhatikan dan dipersiapkan

dengan baik meliputi tempat prosedur dan tindakan medis akan dikerjakan,

peralatan medis yang akan digunakan, dan peralatan pelindung diri.

Sesuai dengan evidence based practice dalam sebuah jurnal yang berjudul

“Hubungan Kepatuhan Perawat dalam Menjalankan SOP Pemasangan Infus

dengan Kejadian Flebitis di RSUD Tugurejo Semarang”, oleh Suciwati, dkk

(2015) ditemukan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa responden yang

patuh dalam menjalankan SOP pemasangan infus di RSUD Tugurejo

Semarang sebanyak 52 responden, sebanyak 47 (90,4%) tidak terjadi kejadian

flebitis dan yang terjadi kejadian flebitis sebanyak 5 (9,6%) pasien. Pada

responden yang tidak patuh menjalankan SOP pemasangan infus di RSUD

Tugurejo Semarang sebanyak 22 responden, sebanyak 14 (63,6%) mengalami

kejadian flebitis dan yang tidak terjadi flebitis hanya 8 (36,4%) responden.

Didapatkan hasil chi square (X2) 23,641 dengan p value sebesar 0,000. Nilai p

value lebih kecil dari 0,05 (0,00 < 0,05), sehingga hal ini berarti bahwa ada

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Flebitis

23

hubungan antara tingkat kepatuhan perawat menjalankan SOP pemasangan

infus dengan kejadian flebitis.

2.5 Kerangka Konsep

Berikut ini kerangka konsep penelitian:

2.6 Hipotesis

H0 = tidak ada hubungan kepatuhan perawat melaksanakan SPO pemasangan

infus dengan kejadian flebitis di IGD Rumah Sakit Banjarmasin.

H1 = ada hubungan kepatuhan perawat melaksanakan SPO pemasangan infus

dengan kejadian flebitis di IGD Rumah Sakit Islam Banjarmasin

SPO Pemasangan Infus

Kejadian Flebitis di IGD

RSIB Demografi (usia)

Jenis Cairan Infus

Jenis Obat

Lamanya Pemasangan

Perawatan Infus