bab 2 tinjauan pustaka 2.1 anatomi 2.1.1...
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Laring
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atasdan
terletak setinggi vertebra cervicalis IV - VI, dimana pada anak-anak dan wanita
letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk laring menyerupai limas segitiga terpancung
dengan bagian atas lebih terpancung dan bagian atas lebih besar dari bagian
bawah. Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal kartilago
krikoid (Hermani; Abdurahman, 2003)
Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa
tulang rawan, baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada
struktur laring adalah kartilago tiroid yang berbentuk seperti perisai dan kartilago
krikoid. Os hioid terletak disebelah superior dengan bentuk huruf U dan dapat
dipalpasi pada leher depan serta lewat mulut pada dinding faring lateral. Dibagian
bawah os hioid ini bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri dari dua sayap /
alae kartilago tiroid. Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba dibawah kulit
yang melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid yang berbentuk
bulat penuh. Pada permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritinoid
ini mempunyai dua buah prosesus yakni prosesus vokalis anterior dan prosesus
muskularis lateralis (Boies, 1997)
Pada prosesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari korda
vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau
bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda
vokalis suara membentuk glotis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis
tengah tunggal yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong
makanan yang ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga terdapat dua
pasang kartilago kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni
kartilago kornikulata dan kuneiformis (Boies, 1997)
2.1.2 Kartilago
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
Kartilago Tiroidea, 1 buah
Kartilago Krikoidea, 1 buah
Kartilago Aritenoidea, 2 buah
2. Kartilago minor, terdiri dari :
Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
Kartilago Epiglotis, 1 buah (Ballenger, 1993)
Gambar 2.1
http://www.virtualpediatrichospital.org/providers/ElectricAirway/AnatImages/LarynxGrossAnato
my.jpg
• Kartilago Tiroidea
Kartilago Tiroidea merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk
dinding anterior dan lateral laring, dan merupakankartilago yang terbesar. Terdiri
dari 2sayap (alae tiroidea)berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya
tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan
disebut Adam’s Apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada
wanita 120 derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau
ineiseura tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior yang
dihubungkan dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea, sedangkan di bagian
bawah membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan
posterolateral dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio
krikoidea.Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat
terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian
dalam laring, yaitu : pita suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta,kartilago
aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata (Ballenger, 1993).
Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur
yangberjalan oblik dari bawah kornu superior ke tuberkulum inferior. Alur ini
merupakantempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus
tirohioideus danmuskulus konstriktor faringeus inferior (Ballenger, 1993).
Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan
tepibawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan
tendokomisura anterior. Tangkai epiglotis melekat 1 cm diatasnya
olehligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20 –
30tahun (Ballenger, 1993).
• Kartilago Krikoidea
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan
kartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian
alasnya terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit
daripada bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea
tepatnya dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan
melalui artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin
trakea I melalui ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan
tindakan trakeostomi, krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus (Ballenger,
1993).
Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI -
VIIdan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III - IV. Kartilago ini
mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea.
• Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang
kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago
krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan
rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis
yang merupakan tempat melekatnya muskulus krikoaritenoidea yang terletak di
posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya
ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke
prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan
berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian
membranosa atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita
suara ini disebut glotis(Scott, 1997)
Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu
sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis
dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan
tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade ke 3 kehidupan (Ballenger,
1993).
• Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding
anterior aditus laringeus tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh
ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara.
Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring
sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi
sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah laring (Ballenger, 1993;
Graney, 1993).
• Kartilago Kornikulata
Kartilago ini merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago
Santorini dan merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika
ariepiglotika (Ballenger, 1993).
• Kartilago Kuneiforme
Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago
kecil yang terletak di dalam plika ariepiglotika (Ballenger, 1993).
2.1.3 Ligamentum dan membrana
Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu :
1. Ligamentum ekstrinsik, terdiri dari :
Membran tirohioid
Ligamentum tirohioid
Ligamentum tiroepiglotis
Ligamentum hioepiglotis
Ligamentum krikotrakeal
Gambar 2.2
Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.8, fig.1.7
2. Ligamentum intrinsik, terdiri dari :
Membran quadrangularis
Ligamentum vestibular
Konus elastikus
Ligamentum krikotiroid media
Ligamentum vokalis
Gambar 2.3
2.1.4 Otot laring
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot / muskulus ekstrinsik dan
intrinsik. Otot ekstrinsik bekerja pada laring secara keseluruhan yang terdiri dari
otot ekstrinsik suprahioid yang berfungsi menarik laring ke atas dan otot
ekstrinsik infrahioid. Otot intrinsik laring menyebabkan gerakan antara berbagai
struktur laring sendiri, seperti otot vokalis dan tiroaritenoid yang membentuk
tonjolan pada korda vokalis dan berperan dalam membentuk tegangan korda
vokalis, otot krikotiroid berfungsi menarik kartilago tiroid kedepan, meregang dan
menegangkan korda vokalis dan memiliki fungsi membentuk suara dan
bernafas(Ballenger, 1993).
A. Otot / muskulus ekstrinsik
Terbagi atas :
1. Otot suprahioid / otot elevator laring, yaitu :
- Stilohioideus
- Geniohioideus
- Genioglosus
- Milohioideus
- Digastrikus
- Hioglosus
2. Otot infrahioid / otot depresor laring, yaitu :
- Omohioideus
- Sternokleidomastoideus
- Tirohioideus
Gambar 2.4
The Extrinsic Muscles
Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.11,fig.1.10
Kelompok otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3
danpenting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi).
Muskuluskonstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat
pada lineaoblikus kartilago tiroidea. Otot ini penting pada proses deglutisi
(Ballenger, 1993).
B. Otot / muskulus intrinsik
Terbagi atas :
1. Otot adduktor :
- Interaritenoideus transversal dan oblik
- Krikotiroideus
- Krikotiroideus lateral (Scott, 1997).
2. Otot abduktor :
- Krikoaritenoideus posterior (Ballenger, 1993).
3. Otot tensor :
- Tensor Internus : Tiroaritenoideus dan Muskulus Vokalis
- Tensor Eksternus : Krikotiroideus (Ballenger, 1993)
Gambar 2.5
The Intrinsic Muscles
Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.13, fig.1.13
2.1.5 Persendian
• Artikulasio Krikotiroidea
Artikulasio Krikotiroidea merupakan sendi antara kornu inferior kartilago
tiroidea dengan bagian posterior kartilago krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3
(tiga) ligamenta, yaitu : ligamentum krikotiroidea anterior, posterior, dan inferior.
Sendi ini berfungsi untuk pergerakan rotasi pada bidang tiroidea, oleh karena itu
kerusakan atau fiksasi sendi ini akan mengurangi efek muskulus krikotiroidea
yaitu untuk menegangkan pita suara (Ballenger, 1993).
Gambar 2.6
The Larynx Joints
Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987, p.6, fig.1.5
• Artikulasio Krikoaritenoidea
Artikulasio Krikoaritenoidea merupakan persendian antara fasies
artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi posterior cincin krikoidea. Letaknya di
sebelah kraniomedial artikulasio krikotiroidea dan mempunyai fasies artikulasio
yang mirip dengan kulit silinder, yang sumbunya mengarah dari
mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta menyebabkan gerakanmenggeser
yang sama arahnya dengan sumbu tersebut. Pergerakan sendi tersebutpenting
dalam perubahan suara dari nada rendah menjadi nada tinggi (Graney, 1993).
2.1.6 Struktur laring bagian dalam
Cavum laring dibagi menjadi sebagai berikut :
a. Supraglotis (vestibulum superior), yaitu ruang diantara permukaan atas
pita suara palsu dan inlet laring.
b. Glotis (pars media), yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu
dengan pita suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel
laring morgagni.
c. Infraglotis (pars inferior), yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan
tepi bawah kartilago krikoidea (Ballenger, 1993).
Beberapa bagian penting dari dalam laring :
• Aditus Laringeus
Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis,
lateral oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi
atas muskulus aritenoideus (Ballenger, 1993).
• Rima Vestibuli.
Merupakan celah antara pita suara palsu (Scott, 1997).
• Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara
prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea (Ballenger, 1993).
• Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah,
dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral (Ballenger, 1993).
• Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan
darikartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata
(Ballenger, 1993).
• Sinus Pyriformis (Hipofaring)
Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea
(Ballenger, 1993).
• Incisura Interaritenoidea
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri
(Ballenger, 1993).
• Vestibulum Laring
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago
aritenoid, permukaan atas prosesus vokalis kartilago aritenoidea dan muskulus
interaritenoidea (Ballenger, 1993).
• Plika Ventrikularis (pita suara palsu)
Pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea
untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari
selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya (Ballenger, 1993).
• Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)
Ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari
ventrikel terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara
palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu
bersilia dengan beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan
pita suara sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring(Ballenger, 1993).
• Plika Vokalis (pita suara sejati)
Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh
ligamentum vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per
lima belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan
disebut intercartilagenous portion(Ballenger, 1993).
2.1.7 Persarafan dan Perdarahan
Laring dipersarafi oleh cabang nervus vagus yaitu nervus laringeus
superior dan nervus laringeus inferior (nervus laringeus rekuren) kiri dan kanan
(Hollinshead, 1996).
1. Nervus Laringeus Superior.
Meninggalkan nervus vagus tepat di bawah ganglion nodosum,
melengkung ke depan dan medial di bawah arteri karotis interna dan eksterna
yang kemudian akan bercabang dua, yaitu :
• Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus
pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.
• Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi muskulus krikotiroid
dan muskulus konstriktor inferior.
2. Nervus Laringeus Inferior (Nervus Laringeus Rekuren).
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring
tepat dibelakang artikulasio krikotiroidea. Nervus laringeus yang kiri mempunyai
perjalanan yangpanjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah
terganggu.Merupakan cabang nervus vagus setinggi bagian proksimal subklavia
dan berjalanmembelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus,
selanjutnya akanmencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan
memberikanpersarafan :
• Sensoris, mempersarafi daerah subglotis dan bagian atas trakea
• Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali muskulus krikotiroidea
Laring mendapat perdarahan dari cabang arteri tiroidea superior dan
inferiorsebagai arteri laringeus superior dan inferior (Ballenger, 1993).
Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna nervus laringeus superior menembus
membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus
pyriformis (Ballenger, 1993).
Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama nervus laringeus inferior masuk ke dalam laring melalui
area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah muskulus konstriktor
faringeus inferior, di dalam laring beranastomose dengan arteri laringeus superior
dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring (Scott, 1997).
Gambar 2.7
Laryngeal Arterial System Adapted from: Harry M. Tucker, The Larynx, Thieme 1987,
p.12,fig.1.12
2.1.8 Sistem Limfatik
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul
membentuk saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar
limfe cervikal superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan
middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
sistem limfe esofagus (Ballenger, 1993).
2.1.9 Fisiologi
Laring berfungsi sebagai proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan,
emosi dan fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untukmencegah agar
makanan dan benda asing masuk kedalam trakea dengan jalanmenutup aditus
laring dan rima glotis yang secara bersamaan. Benda asing yangtelah masuk ke
dalam trakea dan sekret yang berasal dari paru juga dapatdikeluarkan lewat reflek
batuk. Fungsi respirasi laring dengan mengaturbesar kecilnya rima glotis. Dengan
terjadinya perubahan tekanan udara maka didalam traktus trakeo-bronkial akan
dapat mempengaruhi sirkulasi darah tubuh.Oleh karena itu laring juga mempunyai
fungsi sebagai alat pengatur sirkulasidarah. Fungsi laring dalam proses menelan
mempunyai tiga mekanisme yaitugerakan laring bagian bawah keatas, menutup
aditus laringeus, serta mendorongbolus makanan turun ke hipofaring dan tidak
mungkin masuk kedalam laring.Laring mempunyai fungsi untuk mengekspresikan
emosi seperti berteriak,mengeluh, menangis dan lain-lain yang berkaitan dengan
fungsinya untuk fonasidengan membuat suara serta menentukan tinggi rendahnya
nada (Lee, 2003; Woodson, 2001)
2.2 Tumor Laring
2.2.1 Tumor Jinak Laring
Tumor jinak laring tidak banyak ditemukan, hanya kurang lebih 5% dari
semua jenis tumor laring.
Tumor jinak laring dapat berupa :
1. Papiloma laring (terbanyak frekuensinya)
2. Adenoma
3. Kondroma
4. Mioblastoma sel granuler
5. Hemangioma
6. Lipoma
7. Neurofibroma (FK UI, 2007)
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, gejala klinik, pemeriksaan laring langsung,
biopsi serta pemeriksaan patologi-anatomik (FK UI, 2007).
Terapi
- Ekstirpasi dengan bedah mikro atau juga dengan sinar laser
- Tidak dianjurkan memberikan radioterapi, oleh karena dapat
berubah menjadi ganas (FK UI, 2007).
2.2.2 Tumor Ganas Laring
Tumor ganas laring atau yang disebut juga dengan karsinoma laring
merupakan karsinoma sel skuamosa yang terjadi pada lapisan epitel di laring.
Keganasan di laring bukanlah hal yang jarang ditemukan dan masih merupakan
masalah, karena penanggulangannya mencakup berbagai segi. Sebagai gambaran
perbandingan, di luar negeri karsinoma laring menempati tempat pertama dalam
urutan keganasan di bidang THT (Nuryakin, 2012).
A. Etiologi
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh
para ahli bahwa perokok dan peminum alkohol merupakan kelompok orang
dengan risiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemiologik
menggambarkan beberapa hal yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma
laring yang kuat ialah rokok, alkohol, dan terpajan oleh sinar radioaktif (FK UI,
2007).
Dari pengumpulan data yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo
menunjukkan bahwa karsinoma laring jarang ditemukan pada orang yang tidak
merokok, sedangkan risiko untuk mendapatkan karsinoma laring naik, sesuai
dengan kenaikan jumlah rokok yang dihisap (FK UI, 2007).
B. Kekerapan
Kekerapan tumor ganas laring di beberapa tempat di dunia berbeda-beda.
Di Amerika Serikat pada tahun 1973 - 1976 dilaporkan 8,5% kasus karsinoma
laring per 100.00 penduduk laki-laki dan 1,3% kasus karsinoma laring per 100.00
penduduk perempuan. Pada akhir ini tercatat insiden tumor ganas laring pada
wanita meningkat. Ini dihubungkan dengan meningkatnya jumlah wanita yang
merokok (Haryuna, 2004).
Di Departemen THT FKUI/RSCM periode 1982-1987 proporsi karsinoma
laring 13,8% dari 1030 kasus keganasan THT. Jumlah kasus rata-rata 25 pertahun.
Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 11:1, terbanyak pada usia 56-69
tahun dengan kebiasaan merokok didapatkan pada 73,94%.
Di RSUP H. Adam Malik Medan, dijumpai 97 kasus karsinoma
laring dengan perbandingan laki dan perempuan 8:1. Usia penderita berkisar
antara 30 sampai 79 tahun.
Studi epidemiologi yang dilakukan oleh Bhurgri et al (2006) menemukan
insidensi tumor ganas THT-KL pada laki-laki sebesar 21% dan pada perempuan
sebesar 11% pada dua periode (1995-1997 dan 1998-2002). Umur rata-rata yang
ditemukan adalah 53±5 tahun. Pada studi ini ditemukan lokasi terbanyak adalah
rongga mulut baik pada laki-laki maupun perempuan, diikuti oleh tumor ganas
laring dan dari penelitian dengan jumlah kasus 11.221 keganasan kepala dan leher
terdapat 26,4% keganasan laring (Hashibe et al 2009).
C. Histopatologi
Karsinoma sel skuamosa meliputi 95% sampai 98% dari semua tumor
ganas laring. Karsinoma sel skuamosa dibagi 3 tingkat diferensiasi :
- Baik (grade 1)
- Sedang (grade 2)
- Buruk (grade 3).
Kebanyakan tumor ganas pita suara cenderung berdiferensiasi baik. Lesi
yang mengenai hipofaring, sinus piriformis dan plika ariepiglotika kurang
berdiferensiasi baik (Briger, 1994).
D. Klasifikasi letak tumor
Tumor supraglotik terbatas pada daerah mulai dari tepi atas
epiglotissampai batas atas glotis termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring.
Tumor glotik mengenai pita suara asli. Batas inferior glotik adalah 10 mm
di bawah tepi bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot-otot intrinsik
pita suara. Batas superior adalah ventrikel laring. Oleh karena itu tumor glotik
dapat mengenai 1 atau ke 2 pita suara, dapat meluas ke subglotik sejauh 10 mm,
dan dapat mengenai komisura anterior atau posterior atau prosesus vokalis
kartilago aritenoid.
Tumor subglotik tumbuh lebih dari 10 mm di bawah tepi bebas pita suara
asli sampai batas inferior krikoid.
Tumor ganas transglotik adalah tumor yang menyeberangi
ventrikelmengenai pita suara asli dan pita suara palsu, atau meluas ke subglotik
lebih dari 10 mm (Eibling, 1997).
E. Gejala
Serak adalah gejala utama karsinoma laring, merupakan gejala paling dini
tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring.
Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh celah besar glotik, besar pita suara,
kecepatan getaran dan ketegangan pita suara. Pada tumor ganas laring pita suara
gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidak teraturan pita suara, oklusi
atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot vokalis, sendi dan ligamen
krikoaritenoid, dan kadang-kadang menyerang saraf. Pada tumor supraglotis dan
subglotis, serak merupakan gejala akhir atau tidak timbul sama sekali.
Dispnea dan stridor adalah gejala yang disebabkan oleh sumbatan jalan
napas dan dapat timbul pada tiap tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh
gangguan jalan napas oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau sekret,
maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor supraglotik dan transglotik terdapat
kedua gejala tersebut. Pada umumnya dispnea dan stridor adalah tanda prognosis
yang kurang baik.Nyeri tenggorok dapat terjadi bervariasi dari rasa goresan
sampai rasa nyeri yang tajam.
Disfagia adalah ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan
sinus piriformis. Keluahan ini merupakan yang paling sering pada tumor ganas
postkrikoid. Rasa nyeri ketika menelan (odinofagia) menandakan adanya tumor
ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring.
Batuk dan hemoptisis. Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotik,
biasanya timbul dengan terletaknya hipofaring disertai sekret yang mengalir ke
dalam laring. Hemoptisis sering terjadi pada tumor glotik dan tumor supraglotik.
Gejala lain berupa nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk,
hemoptisis dan penurunan berat badan menandakan perluasan tumor ke luar laring
atau metastasis jauh.
Pembesaran kelenjar getah bening leher dipertimbangkan sebagai
metastasis tumor ganas yang menunjukkan tumor pada stadium lanjut dan nyeri
tekan laring adalah gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor
yang menyerang kartilago tiroid dan perikondrium (FK UI, 2007).
F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Pemeriksaan laring dapat dilakukan dengan cara tidak langsung menggunakan
kaca laring atau atau langsung dengan menggunakan laringoskop. Pemeriksaan ini
untuk menilai lokasi tumor, penyebaran tumor, kemudian dilakukan biopsi untuk
pemeriksaan patologi anatomik.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan selain pemeriksaan laboratorium
darah, juga pemeriksaan radiologik. Foto toraks diperlukan untuk menilai keadaan
paru, ada atau tidaknya proses spesifik dan metastasis di paru. CT Scan laring
dapat memperlihatkan keadaan tumor pada tulang rawan tiroid dan daerah pre-
epiglotis serta metastasis kelenjar getah bening leher.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi anatomik dari
bahan biopsi laring, dan biopsi jarum halus pada pembesaran kelenjar getah
bening di leher. Dari hasil patologi anatomik yang terbanyak adalah karsinoma sel
skuamosa (FK UI, 2007).
G. Klasifikasi
Klasifikasi tumor ganas laring berdasarkan AJCC 2006, sebagai berikut :
Tumor Primer
1. Supraglotis
T1 : Tumor terbatas pada satu sub bagian supraglotis dengan
pergerakan pita suara asli masih normal.
T2 : Tumor menginvasi > 1mukosa yang berdekatan dengan
supraglotis atau glotis atau daerah di luar supraglotis (misalnya :
mukosa dasar lidah, vallecula, dinding medial sinus pyriformis) tanpa
fiksasi laring.
T3 : Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara asli dan/atau
menginvasi area postkrikoid, jaringan pre-epiglotik, ruang paraglotik
dan/atau invasi minor kartilago tiroid.
T4a : Tumor menginvasi melalui kartilago tiroid dan/atau jaringan
yang jauh dari laring (misalnya ; trakea, muskulus ekstrinsik profunda
lidah, strap muscle, tiroid atau esofagus)
T4b : Tumor menginvasi ruang prevertebra, sarung arteri karotis atau
stuktur mediastinum.
2. Glottis
T1 : Tumor terbatas pada pita suara asli (mungkin melibatkan
komisura anterior atau posterior) dengan pergerakan yang normal.
T1a : Tumor terbatas pada satu pita suara asli.
T1b : Tumor melibatkan kedua pita suara asli.
T2 : Tumor meluas ke supraglotis dan/atau subglotis, dan/atau dengan
gangguan pergerakan pita suara asli.
T3 : Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara asli dan/atau
menginvasi ruang paraglotik dan/atau erosi minor kartilago tiroid.
T4a : Tumor menginvasi kartilago tiroid dan/atau jaringan yang jauh
dari laring (misalnya : trakea, muskulus eksrinsik profunda lidah, strap
muscle, tiroid atau esofagus)
T4b : Tumor menginvasi ruang prevertebra, sarung arteri karotis atau
struktur mediastinum.
3. Subglottis
T1 : Tumor terbatas pada subglotis.
T2 : Tumor meluas ke pita suara asli dengan pergerakan yang normal
atau terjadi gangguan.
T3 : Tumor terbatas pada laring dengan fiksasi pita suara asli.
T4a : Tumor menginvasi kartilago tiroid dan/atau jaringan yang jauh
dari laring (misalnya : trakea, muskulus eksrinsik profunda lidah, strap
muscle, tiroid atau esofagus)
T4b : Tumor menginvasi ruang prevertebra sarung arteri karotis atau
struktur mediastinum.
Penjalaran ke kelenjar limfa (N)
N0 : Secara klinis kelenjar tidak teraba
N1 : Metastase satu kelenjar limfa inspilateral, dengan ukuran diameter
≤ 3 cm.
N2a : Metastase satu ke kelenjar limfa inspilateral, dengan ukuran
diameter 3≤x<6 cm.
N2b : Metastase ke multipel kelenjar limfa inspilateral, dengan ukuran
diameter<6 cm.
N2c : Metastase ke bilateral atau kontralateral kelenjar limfa, dengan
ukuran <6 cm.
N3 : Metastase ke single/multipel kelenjar limfa, dengan ukuran ≥ 6
cm.
Metastasis jauh (M)
M0 : Tidak dijumpai metastasis jauh.
M1 : Dijumpai metastasis jauh.
Staging (Stadium)
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IVA T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IVB T4b Any N M0
Any T N3 M0
IVC Any T Any N M1
H. Penanggulangan
Setalah didiagnosis dan stadium tumor ditegakkan, maka ditentukan
tindakan yang akan diambil sebagai penanggulangannya. Ada 3 cara
penanggulangan yang lazim dilakukan, yakni pembedahan, radiasi, obat
sitostastika atau pun kombinasi, tergantung pada stadium penyakit dan keadaan
umum pasien.
Dapat dikatakan stadium 1 dikirim untuk mendapatkan radiasi, stadium 2
dan 3 dikirim untuk lakukan operasi, stadium 4 dilakukan operasi dengan
rekonstruksi, bila masih memungkinkan atau dikirim untuk mendapatkan radiasi.
Jenis pembedahan adalah laringektomi totalis atau pun parsial, tergantung
lokasi penjalaran tumor, serta dilakukan juga diseksi leher radikal bila terdapat
penjalaran ke kelenjar limfa leher (Johnson, 1977).
2.2.3 Karsinogenesis secara umum
Sel tumor adalah sel tubuh kita sendiri yang mengalami perubahan
(transformasi) sehingga bentuk, sifat dan kinetiknya berubah, sehingga
tumbuhnya menjadi autonom, liar tidak terkendali dan terlepas dari koordinasi
pertumbuhan normal. Akibatnya timbul tumor yang terpisah dari jaringan tubuh
normal (Sukardja, 2000).
Transformasi sel terjadi karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan
dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau supresor gen (anti onkogen).
Spektrum kerusakan itu sangat luas, dapat dari ringan dan terbatas sampai berat
serta luas (Sukardja, 2000; Irish et al, 2003).
Pada manusia selama hidup diperkirakan rata-rata sel tubuh mengalami
sebanyak 1016 mitose, dengan masing-masing gen mempunyai
kemungkinan106mengalami mutasi spontan dan menyalin (translate) 1010 mutasi.
Jika tiap mutasi dapat merubah sel normal menjadi sel kanker, maka kita tidak
mungkin dapat berfungsi sebagai mahluk hidup. Penelitian komparatif dari
berbagai tumor menunjukkan bahwa aktivasi gen myc dapat merubah sel itu
menjadi immortal (tidak dapat mati), dan aktivasi gen ras atau famili ras dapat
menjadikan transformed sel. Pada manusia gen yang sering mengalami mutasi
ialah gen c-myc, K-ras, hst-1 dan neu (Sukardja, 2000).
Penemuan dan uraian tentang onkogen dan tumor supressor genes
meningkatkan pengetahuan kita tentang mekanisme genetik dan molekular
patogenesis kanker. Sekalipun tampak sederhana, pada hakekatnya tumorigenesis
pada manusia tetap merupakan satu proses kompleks yang berlangsung melalui
berbagai tahapan (multistep/multistage process). Salah satu bukti epidemiologi
adalah bahwa insiden kanker meningkat sesuai peningkatan usia. Bukti lain adalah
bahwa diperlukan waktu yang cukup panjang antara paparan pertama terhadap
bahan karsinogen (rokok, asbes) dengan timbulnya kanker, demikian pula
peningkatan insiden kanker yang baru terjadi berpuluh tahun sesudah
dijatuhkannya bom atom di jepang. Bila ditinjau dari aspek genetik dan
molekular, sudah diterima secara luas bahwa perkembangan kanker disebabkan
akumulasi kelainan atau mutasi beberapa gen (multiple genetic alterations) yang
berinteraksi satu dengan lain untuk pada akhirnya menghasilkan transformasi sel.
Akhir-akhir ini diketahui bahwa kerusakan DNA sebagai reaksi metabolik
endogen yang menghasilkan reactive oxygen intermediates (ROI) dalam jumlah
besar juga berpotensi menimbulkan keganasan (Kresno, 2004).
Mekanisme karsinogenesis baik biokimiawi maupun molekuler berbeda
antara satu karsinogen dengan yang lain, bergantung pada struktur dan sumber
karsinogen masing-masing, tetapi pada dasarnya sasaran karsinogen adalah
menimbulkan lesi pada untaian DNA yang mengandung berbagai jenis gen.
Dalam beberapa tahun terakhir telah terungkap bagaimana hubungan karsinogen
dengan lesi DNA dan jenis mutasi gen yang ditimbulkannya, demikian pula peran
gen DNA repair dan respons tubuh lainnya terhadap kerusakan DNA. Berbagai
jenis onkogen dan gen supresor (tumor suppressor gene) yang berperan sebagai
regulator siklus sel atau pertumbuhan dan diferensiasi sel pada umumnya
merupakan sasaran lesi onkogenik (Kresno, 2004).
2.2.4 Mekanisme karsinogenesis
Pada umumnya karsinogen kimia merupakan senyawa elktrofilik atau
dapat dimetabolisme menjadi senyawa yang memiliki sifat tersebut. Senyawa
elektrofilik ini dapat bereaksi dengan pusat nukleofilik (terutama atom N dan O,
kadang-kadang S) pada makromolekul seperti DNA, RNA dan protein.
Peningkatan secara kovalen dan perubahan pada molekul-molekul vital ini tidak
dapat diperbaiki, menetap, dan mengakibatkan hilangnya sifat serta kontrol
pertumbuhan sel yang normal (transformasi ganas). Perubahan pada DNA
diyakini berkaitan dengan mutasi, seperti mutasi titik (substitusi pasangan basa)
atau mutasi frame-shift, yang berakibat pengaktifan onkogen (misalnya ras proto-
onkogen) dan inaktivasi gen supresor tumor. Karsinogen yang menyebabkan
perubahan pada metri genetic disebut genotoksik (Bosman, 1999; Asikin, 2001).
Tahapan proses karsinogenesis dapat dirinci sebagai berikut :
1. Tahap 1, biotransformasi suatu zat pro-karsinogen menjadi
senyawa yang reaktif (elektrofilik) terhadap DNA.
2. Tahap 2 (inisiasi) pengikatan kovalen kepada DNA.
3. Tahap 3 (inisiasi) stabilisasi mutasi pada DNA (aktivasi onkogen
atau inaktivasi supresor).
4. Tahap 4 (promosi) ekspresi mutasi, perubahan fungsi selular
(ekspresi gen, fungsi reseptor).
5. Tahap 5 (promosi) pertumbuhan neoplastik, terdeteksi secara klinik
atau patologi.
6. Tahap 6 (progresi) manifestasi pertumbuhan tumor secara kualitatif
dan kuantitatif.
7. Tahap 7 (metastasis) penyebaran sel yang mengalami transformasi
ke bagian lain tubuh, berkembang menjadi tumor sekunder.
Proses karsinogenesis pada manusia dapat terjadi selama 15-30 tahun.
Pada tahap inisiasi sel terpapar dengan dosis yang sangat tepat dari suatu bahan
karsinogen inkomplit, menyebabkan kerusakan permanen pada DNA, yang bila
sel membelah diteruskan ke generasi berikutnya. Inisiasi diikuti dengan masa
laten secara klinik. Senyawa kimia yang dapat memulai (inisiasi) proses
transformasi sel normal menjadi ganas berbagai hidrokarbon aromatic dan
aflatoksin B1 disebut sebagai prokarsinogen.
Beberapa senyawa yang dapat meningkatkan keampuhan karsinogen dan
disebut kokarsinogen, bekerja dengan mengubah ambilan atau metabolisme
karsinogen oleh sel. Contohnya alkohol pada karsinoma sel skuamosa (SCC) dan
senyawa arsenit pada kanker akibat sinar ultraviolet (Asikin, 2001).
Faktor-faktor yang mempermudah karsinogenesis mempersingkat masa
laten tumor dan disebut promoter. Struktur kimia promoter sangat bervariasi,
seperti sakarin, fenobarbital, estrogen, prolaktin, dan ester forbol. Mekanisme
promosi belum diketahui dengan jelas, berbagai promoter kelihatannya bekerja
dengan merangsang proliferasi sel (Asikin, 2001).
2.2.5 Bahan karsinogen di dalam rokok
Udara yang kita hirup merupakan campuran dari berbagai komponen,
yaitu oksigen, nitrogen dan uap air. Udara juga mengandung bahan lain berupa
gas dan partikel yang berbahaya. Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
terjadi akibat kontaminasi udara adalah pengaruh asap rokok (Drastyawanet al,
2001).
Merokok adalah suatu kebiasaan tanpa tujuan positif bagi kesehatan, pada
haketnya merupakan suatu pembakaran massal tembakau yang menimbulkan
polusi udara padat dan terkonsentrasi yang secara sadar langsung dihirup dan
diserap oleh tubuh bersama udara pernapasan (Situmeang et al, 2002).
Dewasa ini 80% perokok tinggal di negara-negara berkembang, di tahun
1997 ada 5,7 triliun rokok yang dikonsumsi di dunia. Lima besar konsumen rokok
di dunia adalah China dengan 1,679 triliun batang setahunnya, Amerika Serikat
480 milyar batang, Jepang 316 milyar batang, Rusia 230 milyar batang dan
Indonesia diurutan kelima yang mengkonsumsi 188 milyar batang rokok
setahunnya (Aditama, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Menanggulangi
MasalahMerokok (LM3) di 14 Propinsi di Indonesia mendapatkan 59,04% laki-
laki perokok berumur 10 tahun ke atas, sedangkan pada perempuan hanya 4,83%.
Sementara itu data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen
Kesehatan RI tahun 2001, menunjukkan secara keseluruhan (laki-laki dan
perempuan) 31,5% penduduk Indonesia merokok (Aditama, 2004). Di Indonesia
jenis rokok yang terbanyak dikonsumsi adalah rokok kretek (81,34%) yaitu rokok
yang berisi campuran tembakau dengan cengkeh (Caldwell, 2001).
Asap rokok mengandung lebih dari 4000 bahan campuran dan
dalamanalisis kimia diketahui telah teridentifikasi sediktnya 50 jenis karsinogen.
Dari penelitian yang ada, karsinogen yang telah teridentifikasi diantaranya adalah
polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), nitrosamines, aromatic amines, aza-
arenes, aldehydes, various organic compunds, inorganic compunds; seperti
hydrazine dan beberapa logam, dan beberapa radikal bebas (Haugen, 2000;
Drastyawan et al, 2001; Port et al, 2004).
Selain komponen gas ada komponen padat atau partikel yang terdiri dari
nikotin dan tar. Tar mengandung bahan karsinogen, sedangkan nikotin bukan
karsinogen (Pfiefer et al, 2002), tapi merupakan bahan adiktif yang menimbulkan
ketergantungan atau kecanduan (Aditama, 2001).
Selama tahun 1950, mulai terbukti dengan cukup jelas bahwa merokok
tembakau sebagai zat karsinogen. Di akhir tahun 1950 tersebut, bukti yang
meyakinkan tentang hubungan merokok dengan kanker paru dan kanker-kanker
lainnya telah diperoleh dari penelitian-penelitian kasus kontrol dan kohort, dan
karsinogen telah teridentifikasi dalam asap rokok tembakau. Asap rokok dapat
menyebabkan terjadinya tumor ketika tar asap rokok tersebut dioleskan pada kulit
tikus percobaan. Pada dekade sebelumnya, jumlah kematian akibat merokok
meningkat tajam, dimana gambaran ini terjadi pada perokok-perokok berat (Sasco
et al, 2004; Vinies et al, 2004).
2.2.6 Merokok dan kanker
Karsinogenesis adalah suatu studi tentang asal muasal kanker. Penelitian
pada sistem biologi dapat dilakukan untuk menghasilkan suatu observasi yang
dapat mengetahui tentang tahap-tahap yang terjadi pada perubahan pada sel
normal menjadi sel kanker. Dugaan hubungan antara penggunaan tembakau dan
kanker telah dikemukakan oleh Hill (Marshal, 1993). Potensi bahan karsinogen di
dalam asap rokok dan hubungannya dengan kanker dapat dievaluasi dengan cara
yang bervariasi, akan tetapi sangatlah penting untuk mempertimbangkan
komponen-komponen yang ada di dalam asap rokok tersebut dan kemampuannya
untuk menginduksi tumor dalam percobaan pada hewan (Pfiefer et al, 2002).
Bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa asap tembakau
adalahcampuran bahan karsinogen yang multipoten. Dengan kemajuan dalam
biokimia dan bilogi molekuler telah dilakukan riset-riset untuk mengukur bahan-
bahan metabolit rokok dalam cairan dan organ tubuh yang berbeda, untuk
mengukur karsinogen-protein dan karsinogen-DNA, dan untuk mengidentifikasi
kerusakan genetik (mutasi atau penyimpangan kromosom) yang berhubungan
dengan merokok (Venies et al, 2004).
Pada asap rokok terdapat logam-logam yang relatif banyak. Sedikitnya 30
logam telah teridentifikasi. Kromium, kadmium dan nikel terdapat di dalam asap
rokok. Yang pasti logam-logam tersebut diketahui dengan bahan karsinogen.
Bukti eksperimen mengindikasikan bahwa bahan logam adalah efektif sebagai
inisiator dalam proses karsinogenesis, tapi dapat juga menjadi promotor yang
potensial selama proses karsinogenesis (Haugen, 2000).
Ivy dari Universitas Illinois Amerika Serikat yang telah bertahun-tahun
menyelidiki rokok, menemukan bahwa orang yang merokok sebungkus perhari
selama 10 tahun, menghirup sekitar 7 liter tar dalam jangka waktu tersebut
(Caldwell, 2001).
Brennan et al (1991) dalam penelitiannya tentang hubungan
antaramerokok dan mutasi gen p53 pada karsinoma sel skuamosa di kepala dan
leher menyatakan bahwa dari sediaan tumor 129 penderita karsinoma sel
skuamosa di kepala dan leher, didapati mutasi gen p53 yang mempunyai
hubungan kuat dengan merokok.
Dalam analisis penelitian lainnya mendapatkan bahwa perokok merupakan
major risk factor untuk terjadinya kanker di kepala dan leher.Penelitian ini
menunjukkan hasil yang signifikan yang membandingkan perokok dengan bukan
perokok, dimana kemungkinan perokok menderita kanker kepala dan leher sangat
besar (Daly, 1993). Juga didapatkan hubungan antara lama merokok dan
banyaknya rokok yang dikonsumsi dengan tren positive dose-respons relationship
(Uzcudun et al, 2002; Sasco et al, 2004; Pinar et al, 2007).
2.2.7 Lama merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi
Besar pajanan asap rokok bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh jumlah
rokok yang dihisap dan pola penghisapan rokok tersebut. Faktor lain yang turut
mempengaruhi akibat pajanan asap rokok antara lain usia mulai merokok, lama
merokok, dalamnya hisapan merokok dan lain-lain (Drastyawan et al, 2001).
Berdasarkan lamanya, merokok dapat dikelompokkan sebagai berikut; merokok
kurang dari 10 tahun, antara 10 – 20 tahun, dan lebih dari 20 tahun (Kollapan dan
Gopi, 2002; Solak et al, 2005).
Jumlah rokok yang dihisap dapat dinyatakan dalam pack years, setara
dengan beberapa bungkus rokok yang dihisap dalam satu hari (1 bungkus = 20
batang) dikalikan lamanya merokok dalam tahun (Darstyawan dkk, 2001).
Klasifikasi menurut jumlah rokok yang dikonsumsi perhari dapat dikelompokkan
sebagai berikut; ringan (1-10 batang perhari), sedang (11-20 batang perhari) dan
berat (lebih dari 20 batang perhari), (Kolappan dan Gopi, 2002; Solak et al, 2005).