bab 2 landasan teori 2.1 konsep agama dan kepercayaan ...thesis.binus.ac.id/doc/bab2/2007-3-00273-jp...
TRANSCRIPT
10
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Konsep Agama dan Kepercayaan Masyarakat Jepang
Setiap masyarakat dari berbagai negara di dunia memiliki kepercayaan terhadap
agama, bahkan hal-hal mengenai agama diatur dalam undang-undang dasar negara
masing-masing. Dengan demikian kebebasan beragama menjadi hak masing-masing
individu yang bersangkutan. Hal tersebut sesuai dengan Religion of Japan dalam Utexas
(2007).
Agama sesungguhnya tidak mudah diberikan definisi atau dilukiskan, karena
agama mengambil beberapa bentuk yang bermacam-macam di antara suku-suku dan
bangsa-bangsa di dunia (Biyanto, 1999). Hal tersebut menjadi bukti bahwa sebenarnya
agama adalah suatu hal yang abstrak dan tidak memiliki bentuk atau rupa, sebab
simbol-simbol agama berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Demikian juga
dengan Shinto yang memiliki kepercayaan terhadap gunung, pohon dan lain sebagainya
yang berkaitan dengan hal-hal supranatural (Pye, 1982).
Nishitani (1982 : 2), mengatakan bahwa masyarakat yang memerlukan agama
hanya sebagai sarana pemenuhan kepentingan sosial, kepentingan manusia itu sendiri,
11
dan juga moral publik adalah suatu kesalahan. Menurut beliau, agama tidak boleh ditinjau
dari sisi kegunaannya saja, melainkan agama harus menjadi penyanggah hidup kita
apabila kita sedang berada dalam situasi yang sulit dan merasa hidup kita tidak ada
gunanya dan mampu mendorong kita kembali ke atas, hal itulah yang menjadikan agama
merupakan sesuatu yang penting dalam hidup ini.
Masyarakat Jepang memiliki kepercayaan terhadap beberapa agama sekaligus.
Hal ini sesuai dengan sebuah survei yang dilakukan oleh Keizai Koho Centre di Tokyo
pada tahun 1990 sebagai berikut :
Tabel Jumlah Penganut Agama Di Jepang
Agama Jumlah Penganut
Shinto 112,203,000 orang
Buddha 93,396,000 orang
Kristen 1,422,000 orang
Agama lain, termasuk agama baru 11,412,000 orang
Total 218,433,000 orang
Sumber : Japanese Religions : Past and Present (1993)
12
Tabel di atas menunjukan bahwa jumlah total pemeluk agama di Jepang adalah sebesar
218,433,000 orang. Hal ini tidak masuk akal melihat jumlah total populasi masyarakat
Jepang saat itu sebesar 120 juta jiwa. Dengan demikian, hal tersebut membuktikan bahwa
masyarakat Jepang memeluk lebih dari satu agama setiap individunya. Masyarakat Jepang
bahkan mengatakan bahwa mereka tidak religius (Andreasen, 1993 : 33-34).
Kecenderungan masyarakat Jepang yang memeluk lebih dari satu agama ini
diperkuat dengan kalimat dalam Japanese Religion (1974 : 12) yang mengatakan sebagai
berikut :
The multiplicity and complexity of Japanese religious phenomena is related to an assimilative tendency in Japanese culture. Historically, Japan has addopted various cultural and religious traditions and therewith enriched her spiritual life. In this process the newly introduced traditions did not uproot the indigeneous but were invariably assimilated into a kind of homogeneous tradition which itself might be called ”Japanese religion”.
Keberagaman dan kekompleksan fenomena religi Jepang berhubungan dengan adanya kecendrungan penyerapan terhadap sesuatu hal dalam kebudayaan Jepang. Berdasarkan sejarah, Jepang mengadopsi berbagai kebudayaan dan tradisi keagamaan yang menambah kekayaan kehidupan spiritual. Dalam prosesnya, tradisi yang baru diperkenalkan tidak menyebabkan keaslian budaya hilang melainkan menyatu dengan baik dalam tradisi yang homogen dan dapat disebut sebagai ”religi Jepang”.
Selain itu, kepercayaan masyarakat Jepang terhadap banyak agama ini tidak
menyebabkan terjadinya perpecahan melainkan berjalan selaras dengan harmonis dalam
kehidupan masyarakat Jepang itu sendiri.
13
2.2 Konsep Kepercayaan Masyarakat Jepang di Kota Komaki
Komaki adalah sebuah kota kecil yang terletak di prefektur Aichi yang berada di
pulau terbesar di Jepang yaitu pulau Honshu, dan terletak di sebelah utara kota Nagoya
yang menjadi ibukota prefektur Aichi. Komaki adalah sebuah kota kecil yang memiliki
lahan pertanian yang luas, sehingga menjadikan masyarakat Komaki sebagian besar
memiliki mata pencaharian sebagai petani, hal ini sesuai dengan Hounen Matsuri, Tagata
Jinja dalam Yamasa Institute (2006).
Dalam masyarakat pertanian, biasanya mempercayai adanya dewa-dewa atau
kami yang berhubungan dengan pertanian. Hal ini berkaitan dengan ajaran Shinto.
Berdasarkan studi arkeologi, Jepang sudah memasuki masa bertani sejak zaman Jomon.
Dahulu, kelangsungan hidup masyarakat pertanian di Jepang bergantung kepada
kesuksesan panen dan menjadi perhatian utama masyarakatnya. Kesuksesan panen berarti
kelangsungan hidup masyarakat, sedangkan kegagalan panen akibat angin taufan, banjir,
dan penyakit atau hama tanaman dianggap sebagai suatu kehancuran dari masyarakat
pertanian itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat mengadakan upacara untuk meminta
kesuksesan panen. Upacara ini lama-kelamaan berubah menjadi suatu peristiwa religius.
Kemarahan dari kami atau dewa dikatakan sebagai penyebab kegagalan panen. Maka
14
untuk menghentikan maupun menghindari kemarahan kami diadakan matsuri (Ishikawa,
1986 : 87 - 88).
Menurut Ishikawa (1986 : 89) :
The Shinto deity evolved from a communal ceremony in which the community prayed for a good harvest. Therefore, the deity was not an object of individual worship but of communal worship. So there were as many deities as there were farming villages. Dalam komunitas yang berdoa untuk panen yang baik terdapat dewa Shinto yang dilibatkan dalam upacara yang berhubungan dengan masyarakat umum. Oleh karena itu, dewa bukanlah sebagai objek pemujaan individual, melainkan pemujaan masyarakat umum. Jadi sebanyak desa pertanian itulah para dewa ada.
Hal ini membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat pertanian sangat berkaitan erat
dengan Shinto, seperti juga dengan masyarakat di Komaki.
2.3 Konsep Shinto
Masyarakat Jepang mengenal adanya Shinto yang merupakan kepercayaan utama
sekaligus kepercayaan pertama di Jepang. Selain itu, Shinto dalam Religious Tolerance
(2007) menyebutkan bahwa Shinto sudah ada di Jepang sejak abad ke-500 sebelum
masehi, bahkan dapat juga lebih awal.
Shinto sering dideskripsikan sebagai agama nasional Jepang berdasarkan
perhatian dan cara hidup masyarakat Jepang yang menunjukan ketegasan religi Jepang.
15
Kehadiran Shinto di Jepang menunjukan awal mula terbentuknya Jepang, baik pulau
maupun masyarakatnya. Dengan demikian, Shinto adalah agama yang memiliki fokus
terhadap keutuhan Jepang dan komunitasnya, juga dengan masyarakat Jepang dan
keberadaannya di dunia. Selain itu, agama Shinto menggabungkan beberapa hal yang
beragam, mulai dari yang berorientasi kepada kepercayaan tradisional hingga ke nasional
dan politik (Reader, 1994 : 64 - 67).
Tulisan-tulisan mengenai asal-usul Shinto banyak terdapat dalam Nihonshoki dan
juga Kojiki. Di dalam Nihonshoki dan juga Kojiki terdapat ulasan-ulasan mengenai
kepercayaan politheisme yang terkandung dalam aspek-aspek ajaran agama Shinto,
seperti dewa-dewi yang bernama Izanagi dan Izanami yang merupakan sepasang suami
istri sebagai pembentuk gunung, sungai, pepohonan, tanaman obat-obatan, bahkan
pulau-pulau di Jepang yang juga dianggap sebagai dewa. Dalam Nihonshoki dan Kojiki
juga diceritakan mengenai asal usul kekaisaran Jepang. Kaisar Jepang dianggap sebagai
keturunan langsung dari para dewa (Kato, 1971 : 67-68).
Shinto hadir di Jepang berdasarkan kepercayaan tradisional masyarakat Jepang
secara turun temurun dan tidak memiliki penemu langsung. Hal tersebut sesuai dengan
yang diungkapkan oleh Ono (1992 : 3) sebagai berikut :
Unlike Buddhism, Christianity, and Islam, Shinto has neither a founder, such as Gautama the Enlightened one, Jesus the Messiah, or Mohammed the
16
Prophet ; nor does it have sacred scriptures, such as the sutras of Buddhism, the Bibble, or the Qur’an. Tidak seperti Buddha, Kristen, dan Islam, Shinto tidak memiliki penemu, seperti Buddha Gautama Sang Pencerah, Yesus Kristus Sang Penyelamat, Nabi Muhammad ; dan juga tidak memiliki kitab suci, seperti sutra dalam Buddha, Alkitab, atau Al Qur’an.
Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa Shinto merupakan kepercayaan yang
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Jepang berdasarkan kepercayaan
masyarakat Jepang itu sendiri, tidak seperti yang dikenal dengan ajaran Buddha dalam
agama Buddha dan juga ajaran Kristus dalam agama Kristen (Ono, 1992 : 3).
Tertulis pada What is Shinto? dalam Japan Society (2007), Shinto adalah sebuah
campuran yang kompleks antara ritual dan kepercayaan masyarakat setempat, pada
dasarnya merupakan kepercayaan animisme yang percaya terhadap keberadaan dewa dan
dewi dalam wujud tanaman, dan hewan yang keramat, serta berbagai benda yang tidak
bernyawa sekalipun. Selain itu, diungkapkan oleh Hooker (1999), Shinto juga dapat
disebut sebagai Kannagara yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti jalan dewa.
Shinto juga mengenal beberapa warna yang dianggap sebagai pembawa
keberuntungan seperti merah dan putih. Warna merah dianggap dapat mengusir roh jahat
dan penyakit. Di Jepang, warna merah juga dianggap sebagai simbol dari kebaikan dan
kejahatan, pertengahan antara surga dan neraka, kematian dan kehidupan, sehingga pada
17
akhirnya dikatakan bahwa warna merah tidak hanya simbol dari kejahatan dan penyakit
saja melainkan juga sebagai simbol kesembuhan, kesuburan, dan juga kelahiran
(Schumacher, 2007). Sedangkan, warna putih di Jepang, merupakan simbol dari kesucian,
sekaligus merupakan warna suci yang melambangkan para dewa (Hibi, 2000 : 70).
Ono (1992 : 12-15) menggolongkan Shinto menjadi tujuh bagian, sebagai berikut :
1. Shinto populer. Shinto populer seringkali dikaitkan dengan berbagai ide dan
kebudayaan yang dihubungkan dengan kepercayaan primitif selama berabad-abad
lamanya dalam ketidakteraturan cara berfikir tradisional. Biasanya disebut juga
dengan “folk Shinto” atau kepercayaan populer.
2. Shinto domestik. Shinto domestik lebih mengarah kepada praktik Shinto di rumah
dengan sarana kamidana atau altar.
3. Sekte Shinto. Sekte Shinto tersusun dari beberapa kelompok heterogen pemerintahan
Meiji yang memiliki hubungan dengan kuil Shinto, menekankan pemujaan kuil
sebagai cara memuja negara, ditempatkan di bawah bagian yang terpisah dari kantor
pemerintahan. Kemudian, beberapa dari grup utama menjadi badan yang mandiri dan
secara resmi diklasifikasikan sebagai sekte Shinto.
4. Rumah tangga kekaisaran Shinto. Kekaisaran Shinto merupakan nama yang diberikan
kepada tatacara upacara religius yang dilaksanakan di tiga kuil yang berada di
18
halaman istana yang biasanya digunakan khusus untuk keluarga kekaisaran. Kuil
yang utama atau kashiko dokoro. Di dalamnya terdapat kaca suci (yata no kagami)
yang dipercaya merupakan benda yang diberikan kepada cucu dari dewi matahari. Di
sebelah barat, terdapat korei-den yang menjadi tempat perlindungan bagi
arwah-arwah leluhur. Kemudian, pada sebelah timur terdapat shin-den yang
berfungsi sebagai tempat suci yang ditujukan kepada dewa bumi dan dewa langit atau
surga.
5. Kuil Shinto. Kuil Shinto merupakan tipe yang paling tua dan paling umum dalam
hubungannya terhadap kepercayaan kepada dewa. Bahkan sudah ada kuil atau jinja
sebelum adanya sejarah awal Jepang. Diperkirakan saat ini terdapat lebih dari 8000
kuil Shinto di Jepang.
6. Kuil Ise. Kuil Ise adalah kuil yang ditujukan kepada Amaterasu no omikami atau
dewi matahari di Jepang.
7. Shinto Negara. Shinto negara merupakan gabungan dari rumah tangga kekaisaran
Shinto dan juga kuil Shinto.
Menurut Shintoism, Shinto dalam Believe (2004), terdapat empat penegasan dalam
ajaran Shinto sebagai berikut :
19
1. ����� : ��� ����������������������������� ��������������
2. ���� : ��������; ���������������������� 3. ������: ������� ����, ������������������ 4. �� : ���, �����������
1. Tradisi dan keluarga : Keluarga adalah mekanisme utama dilihat dari pemeliharaan tradisi. Festival yang utama adalah yang memiliki hubungan dengan kelahiran dan pernikahan.
2. Kecintaan terhadap alam : Alam adalah kesucian; berhubungan dengan alam berarti berada di dekat dewa.
3. Kebersihan fisik : seperti mandi, kebersihan tangan dan mulut. 4. Matsuri : Pemujaan, penghargaan terhadap dewa dan arwah leluhur.
Shinto sebagai salah satu kepercayaan di Jepang mengenal adanya tsumi atau
ketidaksucian dan cara untuk menghilangkan ketidaksucian tersebut yang dikenal dengan
nama oharai (penyucian). Tsumi dapat juga diartikan sebagai polusi, penyakit, bencana,
dan juga kesalahan. Beberapa hal, seperti situasi, kejadian yang tidak diharapkan atau
tidak diundang dapat menjadi penyebab ketidaksucian dan harus dihilangkan dengan
ritual penyucian. Tsumi dapat dibagi menjadi tiga yaitu Ama-tsu-tsumi (yang
berhubungan dengan kami, dihubungkan dengan sifat-sifat buruk kami), Kuni-tsu-tsumi
(yang berhubungan dengan ketidaksucian duniawi seperti kematian, penggunaan sihir,
kelakuan yang tidak sopan, penyakit, segala sesuatu yang berhubungan dengan dosa),
Magatsuhi-no-kami (yang berhubungan dengan dunia bawah atau dunia setan yang hanya
dapat dihilangkan khusus dengan ritual penyucian dewa atau naobi-no-kami). Ketiga
20
jenis tsumi tersebut di atas hanya dapat dihilangkan dengan ritual penyucian atau oharai
(Picken, 1994 : 171-172).
Picken (1994 : 172-175), juga mengatakan bahwa ritual penyucian atau harai
memiliki tiga unsur utama yaitu :
1. Harai: dilakukan oleh pendeta Shinto dengan cara simbolik mengayunkan
haraigushi kepada orang yang akan disucikan. Haraigushi adalah sebuah tongkat
dengan kertas berwarna putih.
2. Misogi: penyucian yang menggunakan media air, baik oleh tangan maupun dengan
alat bantu seperti ember atau timba. Biasanya dilakukan di laut atau sungai. Peserta
ritual ini biasanya menggunakan kimono khusus bahkan ada yang telanjang.
3. Imi : meliputi penghindaran pemakaian kata-kata yang dianggap tabu dalam
beberapa acara. Seperti menggunakan kata kiru (potong) dalam acara pernikahan.
Selain ketiga unsur utama tersebut, Shinto juga mengenal adanya yakubarai atau
disebut juga dengan upacara penyucian ketidakberuntungan. Yakubarai ditujukan untuk
menenangkan dewa yang membuat masalah atau sedang marah, selain itu dapat juga
ditujukan untuk menyucikan orang-orang yang sedang berada dalam usia tidak baik atau
tidak beruntung dalam kehidupan. Usia tidak baik atau tidak beruntung ini disebut dengan
21
yakudoshi. Usia-usia yang termasuk dalam kategori yakudoshi yang paling rentan adalah
usia 42 tahun untuk laki-laki, dan 33 tahun untuk perempuan. Biasanya mereka yang
berusia seperti di atas mendatangi jinja untuk menjalani upacara yakubarai (Picken,
1994 : 172-173). Selain itu, menurut Sakashita (2006), usia 42 tahun dianggap termasuk
dalam kategori yakudoshi karena di Jepang, cara pengucapan angka 4 adalah shi dan 2
adalah ni, maka apabila keduanya digabungkan akan terbentuk kata shini yang berarti
mati. Kemudian, usia 33 tahun apabila digabungkan akan terbentuk kata sanzan yang
berarti kesengsaraan.
Menurut Uji (2007), usia yang termasuk dalam kategori yakudoshi adalah sebagai
berikut : usia 19 tahun, 33 tahun, dan 37 tahun untuk perempuan. Usia 25 tahun, 42 tahun,
dan 61 tahun untuk laki-laki. Dengan catatan usia tersebut di atas sudah ditambahkan 1
karena penghitungan hari kelahiran di Jepang yang dimulai dengan usia 1 dan
menambahkan 1 setiap tahun baru. Jadi dengan demikian didapat angka yakudoshi yang
lain yaitu sebagai berikut : 18 tahun, 32 tahun, 36 tahun untuk perempuan, dan 24 tahun,
41 tahun, 60 tahun untuk laki-laki. Adanya yakudoshi dapat dijadikan suatu kesempatan
untuk lebih waspada terhadap nasib buruk atau ketidakberuntungan. Hal tersebut sesuai
dengan artikel ”��” (yakudoshi) dalam Japanlink (2003) sebagai berikut :
22
������������������������������ ��������������������
Yakudoshi adalah kategori umur yang harus diwaspadai karena pada usia tersebut, seseorang dikhawatirkan akan lebih rentan terkena penyakit dan hal-hal buruk.
2.3.1 Konsep Kami Dalam Ajaran Shinto
Dalam ajaran Shinto dikenal adanya kami atau dewa. The Cambridge
Encyclopedia of Japan (1998 : 152) mengatakan bahwa objek utama dalam pemujaan
Shinto dari zaman awal hingga zaman sekarang adalah para dewa yang dikenal dengan
kami. Kami memiliki tiga kriteria sebagai berikut :
1. Kami tidak memiliki wujud tersendiri. Biasanya untuk menunjukan keberadaan
mereka, mereka harus dipanggil atau dibujuk untuk hadir dalam bentuk yang sesuai,
bentuk ini dikenal dengan yorishiro. Yorishiro biasanya memiliki bentuk yang
panjang, dan tipis. Kayu, tongkat, batu panjang maupun spanduk adalah yang paling
lazim digunakan. Selain itu, biasanya terdapat manusia yang digunakan sebagai
medium atau media penghubung antara kami dan manusia, biasanya adalah wanita
yang disebut dengan miko.
23
2. Kami dikatakan tidak memiliki moral, mereka adalah kekuatan yang merespon setiap
tingkah laku manusia dalam komunitas berdasarkan perlakuan yang mereka terima.
Dengan memperlakukan mereka secara baik dengan ritual yang pantas, memberikan
persembahan, dan perhatian, maka mereka akan memberikan berkat berupa panen
yang berhasil, perlindungan dari bencana kebakaran, penyakit, dan kelaparan.
Namun, dengan menelantarkan mereka, maka mereka akan memberikan kutukan
atau tatari.
3. Kami memiliki dunia tersendiri, namun mereka dapat dipanggil untuk datang ke
dunia manusia dalam berbagai kesempatan. Sebagai contoh, dengan adanya musik
dan juga tarian dalam matsuri, serta kata-kata magis, mereka meninggalkan dunia
mereka untuk datang ke jinja setempat. Mereka diterima, dihibur, dimintai berkat,
terkadang diberi pertanyaan sebelum mereka kembali ke dunia mereka. Bahkan
terkadang kami juga dapat merasuki tubuh manusia kemudian mempergunakan
manusia tersebut sekehendak hatinya.
Ishikawa (1986 : 77) mengatakan bahwa terdapat banyak hipotesa atau pendapat
mengenai asal-usul kata kami sejak zaman dahulu. Tidak ada satupun yang dapat diterima
sebagai suatu teori. Salah satu hipotesa atau pendapat yang paling persuasif mengenai
asal-usul kata kami, adalah bahwa kami merupakan transformasi dari kata kakurimi yang
24
memiliki arti sosok tersembunyi. Kata kami diambil dari suku kata pertama dan terakhir
dari kata kakurimi.
Picken (1994 : 94-121) menggolongkan kami menjadi dua bagian besar atau
utama dimana di dalam dua bagian utama tersebut terdapat beberapa kelompok kami
sebagai berikut :
1. Kami yang terdapat dalam mitologi Jepang adalah :
a) Amatsu-no-kami (dewa surga / langit) yang diketuai oleh Amaterasu no Omikami
yang memiliki kuil di kuil Ise.
b) Kunitsu-no-kami (dewa bumi) yang diketuai oleh Saruta Hito no Mikoto.
2. Kami yang tidak terdapat dalam mitologi Jepang adalah :
a) Kami yang berkaitan dengan fenomena alam. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah para dewa yang memiliki hubungan dengan kejadian-kejadian alam
seperti adanya dewa api, dewa angin, dewa air, dan lain sebagainya.
b) Kami yang dikaitkan dengan sejarah personal. Berhubungan dengan orang-orang
penting sepanjang sejarah yang kemudian namanya diabadikan dalam bentuk
kuil. Sebagai contoh, Motoori Jinja yang diperuntukan bagi Motoori Norinaga.
Terdapat konsep ikigami (manusia yang hidup sebagai dewa) di dalam kategori
ini.
25
c) Kami yang berkaitan dengan asal politik. Dewa utama dalam kategori ini adalah
Hachiman. Selain itu dapat juga termasuk di dalamnya berbagai dewa yang
melindungi negara Jepang.
d) Kami yang berhubungan dengan perdagangan, kemakmuran (ekonomi).
Berkaitan dengan dewa-dewa pelindung pertanian. Yang paling terkenal adalah
Inari (dewa yang memiliki wujud berupa rubah). Selain itu juga terdapat
Shichi-fuku-jin (tujuh dewa keberuntungan) di dalam kategori ini. Ebisu,
Daikoku ditambah lima dewa lagi termasuk dalam Shichi-fuku-jin. Perlu dicatat,
tidak semua dewa yang termasuk dalam tujuh dewa keberuntungan ini
merupakan dewa-dewa dalam Shinto, namun masyarakat Jepang tetap
menggolongkannya sebagai dewa.
2.3.2 Peralatan yang Dipergunakan Dalam Shinto
Dalam setiap prosesi upacara yang sesuai dengan Shinto, terdapat berbagai
peralatan yang dipergunakan, baik dalam ritual penyucian maupun prosesi jalannya
upacara. Di bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai peralatan yang biasanya
digunakan dalam Shinto, khususnya dalam Tagata Jinja Hounen matsuri.
Dalam ritual penyucian, terdapat beberapa peralatan yang digunakan sebagai
26
media penyucian, dengan kata lain dengan mempergunakan peralatan tersebut, secara
simbolis tempat ataupun orang yang dianggap kotor atau tidak beruntung akan kembali
menjadi suci dan bersih.
Menurut Picken (1994 : 174), garam digunakan sebagai salah satu alat penyucian.
Hal ini dikarenakan air garam dianggap memiliki kekuatan yang lebih besar apabila
dibandingkan dengan air biasa. Garam dapat ditemukan terletak di berbagai tempat dan di
berbagai upacara di Jepang. Garam juga dipergunakan sebagai persembahan dan
diletakkan di altar Shinto bersamaan dengan air dan nasi. Selain garam, Schumacher
(2007) mengatakan bahwa api, air biasa, dan juga sake (arak beras khas Jepang) juga
digunakan sebagai alat penyucian atau oharai. Dalam ritual upacara penyucian Shinto,
pemercikan yang menggunakan garam ini disebut dengan shubatsu.
Ono (1992 : 24-25) juga mengatakan bahwa peralatan lain yang dipergunakan
dalam upacara Shinto adalah haraigushi, spanduk, dan pedang. Haraigushi yaitu sebuah
tongkat atau juga terkadang sebuah ranting pohon sakaki (cemara) yang disekelilingnya
dipenuhi dengan kertas panjang dan digunakan sebagai alat penyucian dalam Shinto,
spanduk sebagai simbol kehadiran kami, dan pedang yang berfungsi sebagai tanda
kekuatan kami untuk memberikan keadilan dan kedamaian.
Omikoshi atau disebut juga sebagai kuil yang dapat diangkut dan
27
dipindah-pindahkan, dapat dikategorikan sebagai peralatan yang dipergunakan dalam
berbagai upacara Shinto. Terkadang, ada juga omikoshi yang dapat ditarik, dikenal dengan
sebutan yatai atau dashi. Omikoshi, yatai dan juga dashi ini diangkat atau ditarik oleh para
peserta upacara. Mereka memutar-mutar omikoshi, yatai, dan juga dashi tersebut secara
liar sepanjang jalan (Picken, 1994 : 179).
Dalam peralatan upacara Shinto, terdapat alat musik yang turut serta dipergunakan
sebagai pelengkap. Dalam suatu upacara atau perayaan terdapat acara pengisi sebelum
acara utama. Biasanya acara pengisi tersebut berupa musik-musik tradisional, dan juga
tarian-tarian tradisional. Acara ini disebut dengan gagaku. Peralatan musik yang
dipergunakan adalah uchi-mono atau gong, sankan yang di dalamnya terdapat tiga jenis
alat musik tiup seperti fue (sejenis suling dengan enam lubang), sho (menyerupai
angklung, terbuat dari bambu, yang berjumlah tujuh belas tabung), dan hichikiri (sejenis
suling dengan sembilan lubang), serta suzu atau rebana (Picken, 1994 : 183).
2.4 Konsep Matsuri
Kata matsuri tentu saja sudah tidak asing lagi dalam masyarakat Jepang, di Jepang
matsuri dikenal sebagai perayaan publik atau disebut juga dengan festival (Askhenazi,
1993 : 4).
28
Matsuri itu sendiri menurut Lawanda (2004 : 16) adalah sebagai berikut,
Matsuri merupakan ekspresi keyakinan keagamaan orang Jepang yang berfungsi memantapkan keyakinan bahwa dunia terdiri dari dunia nyata dan dunia gaib, ada manusia dan ada yang gaib, berinteraksi sebagai sebuah struktur. Oleh karena itu perlu dilakukan komunikasi dengan menggunakan metafora dan simbol-simbol yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak.
Sesuai dengan kalimat tersebut, dapat dikatakan bahwa matsuri di Jepang merupakan
sebuah ekspresi keagamaan masyarakat yang menjadi sebuah ciri khas bangsa.
Masyarakat Jepang menganggap bahwa hal-hal gaib harus bersatu dengan hal-hal nyata
dalam sebuah matsuri.
Yanagita dalam Yusuf (2006 : 20) mengatakan sebagai berikut :
������������������������������� ������������������������������� ��������������� Matsuri adalah suatu batu loncatan atau jalan menuju kepercayaan suatu bangsa. Tidak ada jalan yang lain untuk menuju jalan dewa kecuali menempuh jalan ini.
Matsuri berasal dari ajaran Shinto kuno yang memiliki hubungan dengan
kepercayaan Shinto terhadap para dewa. Hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam The
Kodansha Bilingual Encyclopedia of Japan (1998 : 527) mengatakan sebagai berikut :
�������������������������������� ������������������������������� ������������������ Asal-usul matsuri berhubungan dengan pengolahan padi dan juga religi masyarakat setempat. Berasal dari ajaran suci Shinto kuno untuk perdamaian dengan para dewa dan roh orang mati, serta pemenuhan unsur agrikultural.
29
Ishikawa (1986 : 96), mengatakan bahwa matsuri merupakan sebuah upacara yang
dipergunakan untuk mengundang para dewa dari surga untuk hadir ke sebuah desa pada
hari yang telah ditentukan untuk menyampaikan rasa terima kasih atas panen yang
berhasil dan juga berdoa untuk kesuksesan panen pada tahun yang akan datang. Dapat
juga dikatakan bahwa matsuri adalah upacara untuk mengundang tamu yang sangat
istimewa dan menunjukan kepada mereka kenyamanan dan keramahtamahan. Dalam
kepercayaan kuno masyarakat Jepang, terdapat kepercayaan bahwa mereka harus
menyucikan diri mereka sendiri dan juga area atau lingkungan tempat upacara
dilangsungkan yang disebut dengan misogi.
Ono (1992 : 51-57) mengatakan bahwa terdapat empat unsur penting yang
terdapat dalam matsuri, yaitu sebagai berikut :
1. Oharai atau penyucian, bertujuan untuk menghilangkan polusi, ketidaksucian,
ketidakbenaran, dan juga kejahatan. Biasanya dilakukan oleh pendeta Shinto
menggunakan haraigushi.
2. Shinsen yakni persembahan kepada para dewa. Shinsen meliputi uang; makanan
seperti nasi, ikan, sayuran, buah-buahan; minuman seperti sake dan air; peralatan
seperti baju, perhiasan, sutra; dan objek simbolik seperti gohei.
3. Norito, yang disebut dengan norito adalah doa-doa yang diucapkan oleh pendeta
30
Shinto. Isi dari doa-doa tersebut dapat berupa pemujaan terhadap dewa, doa-doa
tersebut biasanya mengandung unsur terima kasih kepada para dewa.
4. Naorai, naorai adalah sebuah perjamuan yang dilangsungkan pada setiap akhir
upacara Shinto. Naorai sering disebut juga makan bersama dengan para dewa. Selain
itu, digunakan juga sake sebagai simbol naorai yang menjadi perwujudan makan
bersama-sama dengan para dewa.
2.5 Tagata Jinja Hounen Matsuri
Sesuai dengan yang tertulis dalam Hounen Matsuri, Tagata Jinja pada Yamasa
Institute (2006), Tagata Jinja Hounen matsuri yang sering disebut juga dengan
Hounen-sai dilangsungkan secara rutin pada tanggal 15 Maret di kota pertanian Komaki.
Sesuai dengan namanya, matsuri ini dilangsungkan di kuil Tagata yang diperkirakan
berusia sekitar 1500 tahun. Matsuri ini dikenal oleh para turis dengan nama festival penis
dan kuil Tagata sendiri dikenal dengan sebutan kuil penis. Simbol patung berbentuk penis
yang digunakan di dalam matsuri ini bukanlah obyek pemujaan melainkan persembahan
kepada kami, sebagai salah satu alternatif bentuk pemujaan kepada bumi yang merupakan
sumber pemberi kehidupan kepada manusia. Lambang pemberi kesuburan dan
pembaharuan yang dalam hal ini mereka simbolkan dengan patung penis laki-laki. Selain
31
itu, patung berbentuk penis laki-laki tersebut dipercaya sebagai jimat pemberi
keberuntungan. Pada zaman dahulu, masyarakat Komaki yang menginginkan keturunan,
ataupun yang sedang mencari jodoh maupun yang mengharapkan kesembuhan anaknya
dari penyakit, datang ke kuil Tagata untuk meminta jimat keberuntungan. Setelah
permohonan terkabul, mereka akan mengembalikan jimat keberuntungan tersebut
berserta patung penis yang baru untuk dipersembahkan kepada dewa kesuburan.
Sesuai dengan Hounen Matsuri dalam Asia For Visitor (2007), matsuri ini
sebenarnya memiliki makna yang istimewa yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan seks dibalik simbol utamanya yang berupa sebuah patung berbentuk penis raksasa,
yaitu sebagai perwujudan terima kasih dan permohonan masyarakat Komaki terhadap
dewa kesuburan dan juga dewa pertanian atas keberhasilan panen.