bab 2 efek ukuran pada sifat material
TRANSCRIPT
-
26
BAB 2 EFEK UKURAN PADA SIFAT
MATERIAL
2.1 Efek Ukuran Partikel pada Laju Sintering
Material nanostruktur memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan
material struktur micrometer dan yang lebih besar. Pengamatan menunjukkan
bahwa logam atau keramik dengan struktur nanometer memiliki sejumlah
keunggulan dibandingkan dengan logam atau keramik dengan ukuran grain lebih
besar. Keunggulan-keunggulan tersebut di antaranya: (1) memiliki kekuatan
mekanik yang lebih besar (karena luas total permukaan partikel-partikel
berukuran nanometer lebih besar), (2) dapat disinter (dipadatkan) pada suhu yang
lebih rendah (suhu sintering menurun jika ukuran partikel lebih kecil) sehingga
kepadatan penuh (fully densification) dapat dicapai pada suhu yang lebih rendah.
Di samping itu sintering juga dapat dilakukan pada jangka waktu yang lebih cepat
karena makin kecil ukuran partikel maka makin cepat laju sintering. Sifat-sifat
tersebut melahirtkan sejumlah keuntungan seperti efisiensi penggunaan energi
pada pembuatan keramik (karena suhu sintering rendah dan waktu sintering yang
pendek) serta diperoleh keramik yang berkualitas tinggi.
Kebergantungan laju densifikasi keramik yang terbuat dari
partikel-partikel pada ukuran partikel telah diramalkan secara teoretik oleh
Frenkel dan Herring Laju densifikasi keramik yang dibuat dari partikel-partikel
berbanding terbalik dengan ukuran partikel. Dengan demikian, reduksi ukuran
-
27
partikel bahan dasar keramik dari mikrometer ke nanometer akan menghasilkan
laju sintering yang cepat pada suhu tertentu. Pembuktian ekperimental teori ini
dilakukan oleh Rhodes ketika melakukan sintering nanopartikel zirconium dan
Skandan dkk yang membuktikan bahwa nanopartikel titanium dapat disinter pada
suhu sangat rendah ( 800 oC). Hasil teori dan eksperimen tersebut mengindikasikan bahwa dengan memulai dari material berskala nanometer pada
pembuatan keramik, maka akan dihasilkan sejumlah keuntungan seperti kekuatan
yang lebih besar, penurunan suhu sintering, pengurangan waktu sintering sehingga
dapat dicegah pertumbuhan grain yang tidak diharapkan. Diamati juga sejumlah
material logam maupun non-logam menunjukkan yield strength yang makin besar
jika ukuran grain makin kecil.
Masalah utama yang muncul pada nanosintering adalah bagaimana
menghilangkan poros yang semula berada antara bulir-bulir (grain). Mayo
memodifikasi hukum sintering yang berdasarkan pada termodinamika konvensional
dan mendapatkan efek ukuran partikel dan poros pada laju sintering
RTQ
rddtd
n exp11
)1(1 (2.1)
dengan massa jenis, d ukuran partikel, n konstan, r jari-jari poros, R
konstanta gas umum, dan Q energi aktivasi.
2.2 Efek Ukuran Partikel pada Titik Lebur
Titik lebur logam juga bergantung pada ukuran partikel. Makin kecil ukuran
partikel makin kecil pula titik leburnya. Dalam ukuran bulk emas melebur pada suhu
-
28
1 064 oC. Namun, titik lebur emas turun secara drastis menjadi sekitar 200 oC
ketika ukurannya tereduksi menjadi sekitar 2 nm. Gambar 2.1 adalah contoh
kebergantungan titik lebuh terhadap ukuran partikel untuk material Sn.
Gambar 2.1 Kebergantungan titik lebur pada ukuran untuk partikel Sn
Kebergantungan titik lebur logam pada ukuran partikel dapat diperlihatkan
secara sederhana sebagai berikut. Hubungan antara suhu Debye, D, dan energi pembentukan logam closed-packed monovalency, Ef, dapat didekati dengan
persamaan
2/1
3/2
=MVE
K fD (2.2)
dengan K adalah konstnta, M massa atom, dan V volum atomik. Persamaan ini
diusulkan oleh Mukherjee, dan untuk kebanyakan logam kesalahan ang muncul tidak
lebih dari 10%. Ef memiliki korelasi dengan energi kohesif seperti yang diusulkan
oleh Doyama and Kohler, yaitu Ef = 0,29Ecoh. Dengan demikian, suhu Debye dapat
dinyatakan dalam energi kohesi sebagai berikut
2/1
3/2'
=MVEK cohD (2.3)
dengan K` = (0,29)1/2 K.
Karena titik lebur partikel menurun dengan mengecilnya ukuran maka
-
29
diharapkan energi ikat antar atom-atom penyusun partikel tersebut menurun
dengan mengecilnya ukuran partikel. Akibatnya, energi kohesif juga berkurang
dengan mengecilnya ukuran partikel. Untuk menghitung energi kohesif tersebut
diperlukan pemahaman tentang gaya antar atom pembentuk partikel, yang
umumnya menuntut perhitungan yang cukup kompleks. Pada pembahasan kali ini
kita akan mengestimasi kebergantungan energi kohesi pada ukuran partikel dengan
cara sederhana seperti yang diusulkan Qi dkk.
Kita tinjau sebuah partikel yang memiliki jari-jari R. Luas permukaan
partikel tersebut adalah So =4R2. Kita anggap partikel tersebut dapat dibagi atas n buah atom yang berbentuk bola dan berjari-jari r dengan memberikan energi En.
Volume partikel asal sama dengan jumlah semua volum atom-atom hasil pembagian.
Jumlah atom hasil pembagian memenuhi
3
3
3
3
)3/4()3/4(
rR
rRn == (2.4)
Luas permukaan n buah atom adalah S = n(4r2). Dengan demikian perubahan luas permukaan setelah pembagian partikel atas n buah atom adalah
22 44 RrnS = (2.5)
En dapat dianggap sebagai energi kohesif total yang diperlukan untuk memisahkan
n buah atom penyusun partikel. Energi ini sama dengan energi permukaan zat
seluas S pada suhu T = 0 K. Dengan demikian kita dapat menulis
-
30
( )224 RnrSE oon == (2.6)
dengan o adalah energi per satuan luas permukaan pada T = 0 K. Energi kohesif per atom menjadi
( )
=== 2
2222 14/4
nrRrnRr
nEE ooncoh (2.7)
Dengan mensubstitusi n dari persamaan (2.4) ke dalam persamaan (2.7) kita dapat
menulis
=RrrE ocoh 14
2 (2.8)
Kita telah menganggap atom berbentuk bola dengan jari-jari r. Namun, nilai
ini mungkin berbeda dengan jari-jari riil atom tersebut. Jika kita ingin
menggunakan jari-jari rill atom maka kita melakukan penskalaan pada nilai r di
persamaan (2.8, yaitu mengganti r r, dengan adalah sebuah konstanta. Penskalaan ini menghasilkan bentuk akhir energi kohesi
=RrrE ocoh
14 22 (2.9)
di mana r di sini adalah jari-jari riil atom. Jika R , energi kohesi sama energi
energi kohesif material bulk, atau, Ecoh() = 4o2r2, atau ocohEr 4/)(= .
Dengan demikian, kebergantungan energi kohesif pada ukuran partikel dapat
-
31
ditulis menjadi
=
RE
ERE ocohcohcoh4/)(
1)()( (2.10)
Dengan menggabungkan persamaan (2.3) dan (2.10) kita dapatkan keergantungan
suhu Debye pada ukuran partikel sebagai
( )
=
RE
R ocohDD4/)(
1)( 22 (2.11)
dengan D() adalah suhu Debye material dalam keadaan bulk. Untuk menentukan suhu lebur, kriterial Lindemann sering digunakan.
Peoses peleburan terjadi ketika akar rata-rata kuadrat simpangan (msd) atom
pada material, yaitu 2 lebih besar dari suatu fraksi tertentu dari jarak antar atom. Berdasarkan sejumlah eksperimen didapat bahwa msd atom-atom yang
menempati permukaan partikel, yaitu 2(s), lebih besar daripada msd atom-atom yang menempati bagian teras partikel 2(b). Fraksi 2(s)/2(b) bisanya berada antara 1.5 sampai 2. Sejumlah perhitungan menunjukkan bahwa penyimpangan nilai
2(s) dari nilai 2(b) sangat besar pada dua atau tiga lapis terluar permukaan partikel kemudian menurun secara cepat ketika memasuki lapisan yang lebih dalam.
Oleh Karen itu sangat logis apabila dipandang dari nilai msd, partikel dibagi atas
dua daerah: daerah permukaan dengan ketebalan h dan teras dengan jari-jari R-h.
Daerah permukaan direpresentasikan oleh 2(s) dan )()( RsD , sedangkan teras
direpresentasikan oleh 2(b) dan )()( RbD .
-
32
Rata-rata kuadrat pergeseran atom pada suhu T memenuhi persamaan
umum
( )
+= 0
2
21
1/exp1),(),(
dkT
RgNM
RT hh (2.12)
dengan N adalah jumlah atom, g(R,) adalah distribusi frekuensi fonon dalam partikel yang memiliki jari-jari R, k konstanta Boltzmann, dan h konstanta Planck.
Kita anggap bahwa g(R,)merupakan superposisi g(s)(R,) yang dimiliki lapisan kulit partikel dan g(b)(R,) yang dimiliki teras partikel. Fraksi volum teras dan kulit partikel masing-masing vb = (1-h/R)3 dan vs = 1- (1-h/R)3. Kita juga mengingat
bahwa suhu Debye menentukan batas atas frekuensi gertaran kisi. Frekuensi
getaran kisi hanya ada dalam jangkauan sari nol sampai batas maksimum kD/h. Dengan demikian kita dapat menulis
( ) ( ) ( ) ( )[ ] )(3)(3 ),(/11,/1, sb RgRhRgRhRg += (2.13) ( ) [ ]3)(
2
3
3)(
)(9,
RkNRg
bD
b
= h , untuk h
)(0)( Rk bD (2.14)
( ) [ ]3)(2
3
3)(
)(9,
RkNRg
sD
s
= h , untuk h
)(0)( Rk sD (2.15)
Persamaan (2.12) selanjutnya dapat ditulis sebagai
[ ]
=TR
bD
bD
ydyy
Rh
RMkTRT
/)(
0
3
3)(
222
)(
1)(exp1
)(9),( h
-
33
[ ]
+
TR
sD
sD
ydyy
Rh
RMkT /)(
0
3
3)(
22)(
1)(exp11
)(9h
+
+
)(111
)(11
49
)(
3
)(
32
RRh
RRh
Mk sDsD
h (2.16)
dengan kTy /h= .
Untuk menentukan titik lebur kita menggunakan kriteria Lindemann, yaitu
proses peleburan terjadi ketika terpenuhi
aRTm =),(2 (2.17)
dengan 10
-
34
165 K. Kita anggap kelakukan serupa terjadi pula pada partikel, yaitu titik lebur
partikel jauh lebih besar daripada suhu Debyenya. Dengan demikian
0)()(
m
sD
TR , dan 0)(
)(
m
bD
TR
Batas integral pada suku pertama dan kedua di ruas kanan adalah dari nol sampai
suatu bilangan yang mendekati nol. Variabel y yang berada dalam integrand
mengambil nilai di sekitar nol saja sehingga kita dapat mengaproksimasi
m
bD
TRTRTR
TRdy
ydyy
ydyy m
bDm
bDm
bD )(
1)1(1)(exp
)(/)(
0
/)(
0
/)(
0
)()()( ==+
(2.19a)
m
sD
TRTRTR
TRdy
ydyy
ydyy m
sDm
sDm
sD )(
1)1(1)(exp
)(/)(
0
/)(
0
/)(
0
)()()( ==+
(2.19b)
[ ] mbD
bD
m
TR
Rh
RMk
Ta )(1)(
9 )(33)(
2222
h [ ] msD
sD
m
TR
Rh
RMkT )(
11)(
9 )(33)(
22
+
h
+
+
)(111
)(11
49
)(
3
)(
32
RRh
RRh
Mk sDsD
h
[ ] [ ]
+
=
3
2)(
23
2)(
2
11)(
91
)(
9Rh
RMkT
Rh
RMkT
sD
mbD
m hh
+
+
)(111
)(11
49
)(
3
)(
32
RRh
RRh
Mk sDsD
h (2.20)
-
35
Suku pertama dan kedua di ruas kanan persamaan (2.20) mengandung pembagian
titik lebur dan suhu Debye yang nilainya jauh lebih besar daripada satu. Adanya
pembagian tersebut yang tidak muncul di suku ketiga menyebabkan nilai suku
ketiga jauh lebih kecil daripada nilai suku pertama dan kedua sehingga suku ketiga
dapat diabaikan. Dengan demikian kita dapatkan bentuk aproksimasi
[ ] [ ]
+
3
2)(
23
2)(
222 11
)(
91
)(
9Rh
RMkT
Rh
RMkTa
sD
mbD
m hh
yang dapat disusun ulang sehingga kita dapatkan ungkapan untuk titik lebur
sebagai berikut
[ ] 12
33
2
2)(22 11119
)()(
+
=
Rh
RhRaMkRT
bD
m h (2.21)
dengan )(/)( )()( RR sDbD = . Kita anggap )()( RbD dan )()( RsD memiliki
kebergantungan yang sama pada ukuran partikel seperti yang diberikan oleh
persamaan (2.11). Ini berarti, )()( RbD ditentukan oleh energi kohesif atom-atom
di teras dan )()( RsD ditentukan oleh energi kohesif atom-atom di kulit partikel.
Dengan asumsi ini kita dapat menulis )(/)( )()( = sDbD , yaitu., tidak bergantung
pada ukuran partikel. Nilai berada antara 0,7 sampai 0,8. Jarak antar atom mungkin berubah dengan ukuran partikel. Namun variasinya sangat kecil. Lambert
dkk memperlihatkan bahwa untuk partikel palladium bulkbulkpart aaa /)( hanya
-
36
sekitar 0.03% bagi partikel yang berukuran 1.4 nm. Oleh karena itu cukup dapat
diteima jika dianggap a pada persamaan (2.21) tidak bergantung pada ukuran
partikel. Akhirnya kita dapatkan
( )( ) ( )[ ] 233 1/11/1
/1)()(
RhRh
RrTRT mm+
= (2.22)
Beberapa penulis juga mendapatkan bentuk yang berbeda untuk
kebergantungan titik lebur pada ukuran partikel, namun semuanya sampai pada
kesimpulan yang sama, yaitu titik lebur berkurang dengan mengecilnya ukuran
partikel. Contohnya, hubungan antara titik lebur partikel logam dengan ukuran
dapat juga dinyatakan dengan persamaan
=HR
TRT mm 21)()( (2.23)
dengan Tm() titik lebur emas dalam ukuran bulk, adalah konstanta, adalah massa jenis, R adalah jari-jari partikel, dan H adalah kalor latent fusi. Bentuk lain
untuk memprediksi kebergantungan titik didih pada suhu adalah
LdTvT bom
4= (2.24)
dengan Tm penurunan titik didih, tegangan permukaan, L kalor laten fusi, d diameter partikel, vo adalah volum molar zat padat, dan Tb titik lebur material
bulk.
-
37
Penurunan titik lebur akibat mengeciulnya ukuran partikel dapat dipahami
secara sederhana dari konsep ikatan antar atom. Atom-atom yang menempati
posisi di dalam material mengalami ikatan dengan atom-atom lain dari segala arah
sehingga ikatannya sangat kuat. Atom-atom yang berada di permukaan material
hanya mengalami ikatan dengan atom lain dari arah dalam dan dari arah samping
sehingga ikatan yang dialaminya lebih lemah. Makin kecil ukuran material maka
makin banyak persentase atom-atom yang menempati permukaan material
sehingga makin banyak persentase atom yang mengalami ikatan lemah. Akibatnya,
energi ikatan rata-rata antar atom makin lemah yang berakibat pada menurunnya
titik lebur material tersebut.
2.3 Efek Ukuran Partikel pada Konstanta Dielektrik
Konstanta dielektrik material juga dipengaruhi oleh dimensi material.
Makin kecil dimensi material maka makin kecil konstanta dielektrik material
tersebut. Film yang sangat tipis memiliki konstanta dielektrik yang lebih kecil
daripada material bulk (ukuran besar). Dan nanopartikel memiliki konstanta
dielektrik yang lebih kecil lagi.
Pengecilan konstanta dielektrik akibat ukuran partikel yang makin kecil
dapat dipahami sebagai berikut. Konstanta dielekrik muncul akibat adanya dipole
listrik, yaitu muatan posisif dan negatif yang terpisah pada jarak tertentu. Dalam
material, jarak pisah muatan listrik negatif (elektron) dan positif (teras atom)
sangat kecil, yaitu lebih kecil daripada jari-jari atom. Jika atom-atom menyusun
material yang berukuran besar maka umumnya elektron yang dimiliki atom bersifat
lebih mobil jika dibandingkan dengan elektron pada atom yang sama dalam keadaan
terisolasi. Akibatnya, atom-atom yang menyusun material yang besar akan
-
38
menghasilkan momen dipole yang lebih besar jika diberikan medan listrik
dibandingkan dengan atom-atom dalam keadaan terisolasi.
Jika ukuran partikel sangat kecil, maka makin banyak atom berada di
permukaan partikel. Atom-atom ini tidak sepenuhnya bersifat seperti atom-atom
dalam material yang berukuran besar. Atom-atom di permukaan partikel akan
mendekati sifat atom terisolasi sehingga memiliki momen dipole yang mendekati
momen dipole atom yang berada dalam keadaan terisolasi. Momen dipole yang kecil
yang dimiliki atom di permukaan ini berperan dalam menurunkan momen dipol
partikel secara keseluruhan. Makin kecil ukuran partikel maka makin besar fraksi
atom yang menempati permukaan partikel. Dengan demikian makin banyak atom
yang menyumbangkan momen dipol yang kecil pada partikel.
Sebagai ilustrasi kasar untuk memahami fenomena ini mari kita anggap
sebuah partikel memiliki jari-jari R. Misalkan konstanta dielektik materil dalam
keadaan bulk adalah b. Misalkan atom-atom di permukaan dengan ketebalan h, di mana h < R memberikan konstanta dielektrik p dengan p < b. Volum total partikel adalah V=(4/3)R3. Volume bagian kulit partikel yang memiliki ketebalan h adalah Vp = (4/3)[R3-(R-h)3] sedangkan volum bagian teras partikel yang memiliki konstnta dielektrik b adalah Vb=(4/3)(R-h)3. Konstanta dielektrin efektif dapat didekati dengan persamaan
pp
bb
ef VV
VV +=
pb Rh
Rh
+
=
33
111 (2.25)
Metode yang lebih teliti untuk menghitung konstanta dielektrik telah
-
39
diperkenalkan oleh sejumlah peneliti. Salah satu bentuk kebergantungan
konstanta dielektrik nanopartikel pada ukuran diberikan oleh persamaan
l)/(11)(1)(R
R +
+= (2.26)
dengan () adalah konstanta dielektrin material dalam bentuk bulk, R adalah jari-jari partikrel, dan l adalah konstanta-konstanta. Khusus untuk silicon diperoleh b = 11,4, = 1,093 nm, dan l = 1. Gambar 2.2 adalah perbandingan prediksi konstanta dielektrik nanopartikel menggunakan persamaan (2.25) dan
(2.26).
Kebergantungan konstanta dielektrik terhadap ukuran nanopartikel
memungkinkan pengembangan material yang memiliki konstanta dielektrik rendah
(low dielectric constant materials) dengan membangun material tersebut sebagai
komposisi dari sejumlah nanopartikel. Material dengan konstanta dielektrik
rendah dipakai dalam pengembangan memori super cepat.
Gambar 2.2 Kebergantungan konstanta dielektrik partikel silicon terhadap
jari-jari yang dihitung dengan persamaan (2.25) dan (2.26).
2.4 Efek Ukuran pada Lebar Celah Pita Energi
Dalam bahan semikonduktor murni, energi yang dimiliki elektron hanya
mungkin berada pada salah pita energi, yaitu pita valensi atau pita konduksi.
Gambar 2.3 adalah ilustrasi pita valensi dan konduksi dalam bahan semikonduktor.
Pada suhu yang sangat rendah, elektron hanya menempati tingkat energi pada pita
valensi. Antara pita valensi dan pita konduksi terdapat nilai-nilai energi yang tidak
-
40
dapat dimiliki oleh elektron. Daerah tersebut disebut celah pita energi (energy
band gap).
Jika mendapat energi yang cukup misalnya dari foton, atau panas, atau
tumbukan oleh partikel lain, elektron yang semula berada di pita velensi dapat
meloncat ke pita konduksi. Energi yang diterima elektron minimal harus sama
dengan celah pita energi. Loncatan tersebut meninggalkan keadaan kosong di pita
konduksi. Keadaan kosong tersebut berperilaku seolah-olah sebagai sebuah
partikel bermuatan positif dan dinamakan hole. Persyaratan bagi elektron agar
dapat mencapai pita konduksi adalah energi yang diterima harus lebih besar dari
celah pita energi, Eg. Misalkan eksitasi dilakukan dengan gelombang cahaya
(frekuensi rendah), maka frekuensi cahaya pengeksitasi harus memenuhi hf > Eg
dengan h konstanta Planck dan f adalah frekuensi cahaya pengeksitasi. Umumnya,
cahaya yang digunakan untuk mengeksitasi elektron dari pita valensi ke pita
konduksi adalah cahaya ulntaviolet karena hanya cahaya inilah yang memeiliki
energi foton yang lebih besar daripada energi celah pita energi kebanyakan bahan
semikonduktor. Sebagai contoh, untuk bahan semikonduktor dengan lebar celah
pita energi 3,4 eV dapat dieksitasi dengan cahaya yang memiliki panjang
gelombang di bawah 364 nm. Panjang gelombang ini berada di daerah ultraviolet.
Gambar 2.3 Ilustrasi pita valensi, pita konduksi, dan celah pita energi bahan
semikonduktor
Keadaan tereksitasi bukan merupakan keadaan stabil. Elektron hanya
bertahan beberapa saat di keadaan eksitasi dan setelah itu kembali ke keadaan
awal mengisi kembali keadaan kosong yang semula ditinggalkannya di pita valensi.
-
41
Proses ini disebut deeksitasi atau rekombinasi. Disebut rekombinasi karena
elektron bergabung kembali dengan hole sehingga hole menjadi hilang. Saat proses
deeksitasi ini dilepaskan energi yang bisa berupa panas (getaran atom-atom dalam
bahan) atau bisa berupa pemancaran cahaya. Deeksitasi yang disertai pelepasan
panas disebut radiationless transition, sedangkan deeksitasi yang disertai
pemancaran gelombang elektromagnetik disebut radiative transition. Pada transisi
radiatif, energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan kira-kira sama
dengan lebar celah pita energi, yaitu hf Eg. Dengan demikian, frekuensi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan adalah f Eg/h. Karena frekuensi merepresentasikan warna, maka tampak di sini bahwa warna yang dihasilkan
material ketika terjadi proses deeksitasi sangat bergantung pada lebar celah pita
energi. Ini merupakan salah satu dasar rekayasa pita energi. Apabila kita memiliki
kemampuan mengontrol lebar celah pita energi material maka kita dapat
menghasilkan material yang menghasilkan warna yang berbeda-beda.
Dan beruntunglah bahwa lebar celah pita energi bahan semikonduktor
bergantung pada ukuran jika ukuran partikel hanya beberapa nanometer. Sebagai
contoh, partikel HgSe dengan diameter 50 nm memiliki lebar celah pita energi 0.3
eV. Tetapi ketika diamaternya direduksi menjadi 3 nm, lebar celah pita energi
membesar menjadi sekitar 3.2 eV. Fenomena ini kadang disebut efek ukuran
kuantu (quantum size effect). Pengamatan efek ukuran kuantum tiga dimensi
pertama diamati pada koloid CdS dan AgI dan dapat diterangkan dengan baik.
Pengaruh dimensi partikel terhadap lebar celah pita energi dapat dipahami
sebagai berikut. Ketika kita memindahkan elektron dari pita valensi ke pita
kondukasi, yang dilakukan adalah melepaskan elektron dari ikatan oleh ion-ion
positif di sekitarnya sehingga menjadi elektron yang lebih bebas. Elektron paling
-
42
sulit dilepas dari satu atom terisolasi. Energi yang diperlukan untuk melepas
elektron dari atom terisolasi sama dengan energi ionisasi, dan nilainya sangat
besar. Jika beberapa atom digabung menjadi material maka elektron-elektron
dalam material tersebut menjadi lebih mobil. Akibatnya makin sedikit energi yang
diperlukan untuk membuat elektron-elektron dalam material tersebut untuk
menjadi elektron yang lebih bebas. Ini berarti, lebar celah pita energi yang
dimiliki material yang tersusun dari sejumlah atom makin kecil. Makin banyak
jumlah atom penyusun material maka makin kecil energi yang diperlukan untuk
menghasilkan elektron-elektron yang hampir bebas, berarti makin kecil pula lebar
celah pita energi. Sampai suatu saat, kebebasan elektron mencapai nilai saturasi di
maka penambahan jumlah atom penyusun material tidak legi mengubah kekebasan
elektron. Dalam keadaan ini lebar celah pita energi tidak lahi bergantung pada
ukuran material. Lebar celah pita energi sama dengan lebar celah pita energi
material dalam keadaan bulk.
Kita dapat memprediksi bentuk kebergantungan lebar celah pita energi
terhadap ukuran partikel sebagai berikut. Perhatikan Gbr 2.4. Misalkan terdapat
satu atom terisolasi. Elektron sangat sulit keluar dari atom tersebut. Ini dapat
dianalogikan dengan adanya barier potensial yang sangat tinggi yang ada di
sekeliling elektron. Jika terdapat dua atom yang didekatkan maka barier potensial
pada lokasi antara dua atom yang dialami elektron lebih rendah. Jika ada tiga atom,
maka barier potensial antara atom yang dirasakan elektron makin rendah lagi dan
lebih mudah bagi elektron berpindah antar atom-atom. Makin banyak atom
penyusun material maka barrier potensial makin rendah. Dan ketika jumlah atom
penyusun material sudah banyak sekali, yaitu menuju tak berhingga, maka barreir
potensial yang dirasakan elektron mencapai nilai saturasi U. Jelas di sini bahwa
-
43
ketinggian barrier potensial makin kecil jika ukuran partikel makin besar. Salah
pendekatan yang logis untuk menyatakan barrier potensial sebagai fungsi ukuran
partikel adalah
RAURU += )( (2.27)
dengan A dan adalah konstanta. Hubungan ini secara otomatis memberikan U jika R .
Gambar 2.4 Ilustrasi kebergantungan tinggi barrier potensial yang dirasakan
elektron terhadap jumlah atom penyusun material
Tinggi barrier potensial secara langsung menentukan lebar celah pita
energi. Hubungan antara lebar celah pita energi dengan ketinggian barrier
potensial kira-kira memenuhi UEg . Dengan menggunakan persamaan (2.27) kita
dapat mengaproksimasi kebergantungan lebar celah pita energi terhadap ukuran
partikel sebagai
+ RAUREg )(
RAEg')( += (2.28)
di mana A adalah konstanta dan Eg() adalah lebar celah pita energi material bulk.
Gambar 2.5 Elektron dan holeh terpisah hanya dalam jarak yang terbatas dalam
-
44
partikel nanometer yang berjari-jari R.
Ketika elektron tereksitasi, maka elektron hanya dapat meninggalkan
lokasi awal (hole) dalam jarak yang sangat terbatas karena terbatasnya ukuran
partikel. Ini diilustrasikan pada Gbr 2.5. Ini menyebabkan munculnya tarikan
coulomb yang cukup kuat antara elektron dan hole yang pada akhirnya sedikit
menurunkan lebar celah pita energi. Potensial tarikan antara elektron dan hole
memenuhi
RV he
1 (2.29)
dengan adalah konstanta dielektrik material. Dengan menggabungkan persamaan (2.28) dan (2.29) kita dapatkan bentuk umum kebergantungan lebar celah energi
terhadap ukuran partikel adalah
RB
RAERE gg +')()( (2.30)
dengan B sebuah konstanta lain.
Lebar celah pita energi nanopartikel semikonduktor terhadap ukuran
partikel diturunkan secara sistematik oleh Brus dengan menggunakan pendekatan
massa efektif. Brus mendapatkan persamaan
Re
mmRhERE
hegg
2**2
22 8.1112
)()(
++= (2.31)
-
45
dengan h adalah konstanta Planck, me* adalah massa efektif elektron, mh* adalah
massa efektif hole, dan e adalah muatan elektron. Besaran yang memenuhi
**
111
he mm+= (2.32)
disebut mass tereduksi elektron dan hole. Persamaan (2.30) serupa dengan
persamaan (2.31) jika diambil = 2. Tabel 2.1 adalah lebar celah pita energi dalam ukuran besar (bulk) dan massa effektif elektron dan hole dalam beberapa material
semikonduktor. Gambar 2.6 adalah kebergantungan lebar celah pita energi
terhadap ukuran nanokristal yang diperoleh dari sejumlah eksperimen.
Tabel 2.1 Lebar celah pita energi dalam ukuran besar (bulk) serta masse effektif
elektron dan hole dalam beberapa material. Data massa efektif ditampilkan dalam
satuan massa elektron (9,1 10-31 kg) Material Eg() dalam eV Massa efektif
elektron
Massa efektif hole
GaAs 1,4 0,07 0,09
GaP 2,3 0,12 0,50
GaSb 0,7 0,20 0,39
InAs 0,4 0,03 0,02
InP 1,3 0,07 0,69
InSb 0,2 0,01 0,18
CdS 2,6 0,21 0,80
-
46
CdSe 1,7 0,13 0,45
CdTe 1,5 0,14 0,37
ZnS 3,6 0,40 5,41
ZnSe 2,7 0,10 0,60
ZnTe 2,3 0,10 0,60
ZnO 3,44 0,24 0,45
PbS 0,4 0,25 0,25
PbSe 0,3 0,33 0,34
PbTe 0,3 0,22 0,29
Gambar 2.6 Kebergantunga lebar celah pita energi nanokristal silicon terhadap
ukuran partikel yang diperoleh dari sejumlah eksperimen
Persamaan (2.31) cukup sesuai dengan hasil eksperimen jika ukuran
partikel lebih besar dari 3 nm, tetapi agak menyimpang jika ukuran partikel kurang
dari 3 nm. Hal ini disebabkan karena massa efektif tidak terlalu tepat digunakan
jika ukuran partikel sangat kecil di mana partikel hanya mengandung ratusan atom.
Pada persamaan (2.31) suku kedua muncul akibat keterbatasan ruang gerak
elektron dan hole di dalam partikel (disebut confinemen effect). Efek ini
memperbesar jarak antara pita valensi dan pita konduksi. Untuk material yang
sagat besar (bulk) kita dapat mengambil R sehingga suku kedua nol, atau tidak ada efeknya pada jarak antar pita valensi dan konduksi. Suku ketiga muncul akibat
adanya tarikan Coulomb antara elektron dan hole setelah elektron nengalami
eksitasi. Karena ruang gerak elektron yang terbatas, maka jarak elektron dan hole
tidak bisa jauh. Akibatnya, tarikan antara keduanya selalu ada yang berimbas pada
-
47
pengurangan energi yang dimiliki elektron setelah mengalami eksitasi. Jika ukuran
partikel sangat besar (bulk) maka elektron dan hole dapat berpisah sangat jauh
sehingga tarikan antara keduanya dapat dianggap nol. Akibatnya tidak ada
pengurangan energi yang dimiliki elektron setelah meloncat ke pita valensi.
Kebergantungan lebar celah pita energi terhadap ukuran partikel
sebenarnya dapat diterima dengan mudah. Dari kuliah fisika kuantum yang dasar
sekali kita sudah mempelajari bahwa tingkat energi partikel yang terperangkap
dalam kotak dengan dimensi berhingga terkuantisasi dengan jarak antar tingkat
energi berdekatan bergantung pada ukuran kotak. Agar lebih jelas, mari kita
selidiki kembali fenomena ini dengan menganggap elektron ditempatkan dalam
kotak satu dimensi yang panjangnya L. Potensial dalam kotak nol sedangkan
potensial di luar kotak dari posisi dinding adalah tak berhingga seperti
diilustrasikan pada Gb 2.7. Potensial pada semua posisi dapat diungkapkan secara
matematis sebagai berikut
-
48
dengan syarat batas yang harus dipenuhi oleh fungsi gelombang tersebut adalah
0)()0( == L (2.35)
Solusi persamaan (2.34) dengan mengenakan syarat batas (2.35) memiliki bentuk
umum
)sin()cos()( kxBkxAx += (2.36)
dengan
22 2
hmEk = (2.37)
dan A dan B adalah konstanta.
Dengan menggunakan syarat batas 0)0( = maka 010 += BA yang
menuntut bahwa A = 0. Jadi, persamamaan gelombang tereduksi menjadi
)sin()( kxBx = (2.38)
Kemudian, dengan menggunakan syarat batas 0)( = L diperoleh )sin(0 kLB= .
Kesamaan ini dipenuhi oleh sejumlah nilai k yang memenuhi
nkL = (2.39)
-
49
atau
Lnk = (2.40)
dengan n adalah bilangan bulat. Karena k memiliki nilai yang bergantung pada n
maka akan lebih lengkap apabila menuliskan k disertai indeks n, yaitu
Lnkn= (2.41)
Apabila persamaan (2.37) dan (2.41) digabung dan menerapkan indeks n juga pada
energi, maka diperoleh tingkat-tingkat energi yang dapat dimiliki partikel adalah
2
222
2mLnEn
h= (2.42)
Gambar 2.8 adalah skema tingkat-tingkat energi elektron dalam kotak potensial
pada berbagai ukuran kotak. Jarak antar dua tingkat energi yang berdekatan,
yaitu tingkat energi dengan indeks n dan n+1 adalah
nnn EEE = +1 222
2)12(
mLn h+= (2.43)
Tampak bahwa jarak antar tingkat energi bergantung pada ukuran kotak. Makin
kecil ukuran kotak maka jarak antar tingkat energi berdekatan makin lebar. Ini
adalah salah satu fenomena bahwa keadaan energi partikel sangat bergantung
pada dimensi ruang di mana partikel tersebut berada. Juga tampak pada
-
50
persamaan (2.43) bahwa jarak antar tingkat energi berbanding terbalik dengan
kuadrat dimensi kotak. Dengan demikian untuk material berbentuk partikel jarak
antar tingkat energi pun diharapkan berubah secara kudrat terbalik terhadap
dimensi partikel (jari-jarinya), yang pada akhirnya melahirkan kebergantungan
lebar celah pita energi terhadap jari-jari partikel sebagai fungsi kebalikan
pangkat dua jari-jari.
Gambar 2.8 Tingkat-tingkat energi elektron yang terperangkap dalam kotak
sebagai fungsi ukuran kotak. Makin kecil ukuran kotak maka makin jauh jarak
antara tingkat energi
Pengukuran yang lebih lengkap kebergantungan celah pita energi pada
ukuran partikel ditampilkan pada Gbr 2.6 untuk patikel silicon. Hasil perhitungan
secara teroretik berupa kurva juga ditampilkan. Tampak bahwa pengurangan
ukuran partikel benar-benar memperbesar lebar celah pita energi.
Carbon nanotube semikonduktor juga memperlihatkan kebergantungan
lebar celah pita energi terhadap dimensi. Lebar celah pita energi membesar
dengan mengecilnya diameter nanotube tersebut menurut persamaan
daE CCog = 2 (2.44)
dengan o = 2.5 eV, d adalah diameter carbon nanotube, dan aC-C adalah jarak antar atom karbon.
2.5 Efek Ukuran pada Reaktivitas Kimia
-
51
Jika ukuran partikel diperkecil ke dalam skala nanometer, reaktivitas
material tersebut berubah secara drastis. Hal ini membuka peluang aplikasi baru
yang tidak dapat diterapkan pada material berukuran besar. Sebagai contoh
menarik adalah pengembangan elektroda negatif baterei litium-ion dengan
menggunakan oksida logam transisi sebagai elektroda negatif. Penggunaan oksida
logam transisi menuntut berlangsunya reaksi M + Li2O MO + 2 Li, dengan M adalah logam transisi. Namun, Li2O telah dibuktikan merupakan senyawa yang
secara elektrokimia tidak aktif sehingga reaksi di atas sulit direalisasikan. Namun,
Poizot dkk memperlihatkan bahwa jika ukuran partikel MO direduksi ke dalam
orde nanometer, maka reaksi di atas dapat berlangsung, sehingga baterei lithium
ion yang menggunakan oksida logam transisi sebagai elektoda negatif dapat
diwujudkan. Dan dibuktikan, dengan menggunakan material ini sebagai elektroda
negatif, maka sejumlah keunggulan dapat dicapai seperti kapasitas elektrokimia
yang tinggi, kapasitas retention 100% hingga 100 siklus dan laju recharging yang
tinggi.
Reaktivitas kimia suatu partikel sangat bergantung pada jumlah atom yang
ada para permukaan partikel karena atom-atom inilah yang akan melakukan kontak
langsung dengan material pasangan. Misalkan sebuah partikel memiliki jari-jari R.
Luas permukaan partikel adalah So = 4R2. Jika jari-jari efektif sebuah atom adalah a, maka luas penampang efektif satu atom adalah s = a2. Dengan demikian, jumlah atom yang menempati permukaan partikel adalah
2
24aR
sSN os == (2.45)
Volum partikel adalah Vo = (4/3)R3 dan volum satu atom adalah vo = (4/3)a3.
-
52
Dengan demikian jumlah atom yang terkandung dalam partikel berjari-jari R
adalah
3
3
aR
vVNo
o == (2.46)
Akhirnya kita dapatkan fraksi atom yang menempati permukaan partikel adalah
Ra
NNs 4= (2.47)
Tampak bahwa fraksi atom yang menempati permukaan partikel makin besar jika
ukuran partikel makin kecil. Inilah sebab mengapa makin kecil ukuran partikel maka
makin reaktif partikel tersebut terhadap rekasi kimia.
2.6 Efek Distribusi Ukuran pada Absorpsi
Efek ukuran kuantum bergantung pada ukuran partikel. Oleh karena itu
efek ukuran secara jelas dan unik akan termati jika kita bisa membuat partikel
dengan ukuran seragam (monodisperse). Namun, nanopartikel yang benar-benar
monodisperse hampir tidak mungkin dibuat. Dengan metode sintesis apa pun, yang
dihasilkan selalu partikel dengan distribusi ukuran tertentu. Sejumlah metode
mampu menghasilkan nanopartikel dengan distrubusi yang sangat sempit,
sedangkan metode lainnya menghasilkan distribusi yang sangat lebar. Seringkali
untuk menghasilkan partikel-partikel dengan distribusi yang sempit, perlakuan
khusus dilakukan pada partikel yang telah dibuat seperti penyaringan (filter),
sentrifuge, elektroforesis, dan sebagainya.
-
53
2.9 Contoh distribusi ukuran partikel: (kiri) partikel yang mengandung variasi
ukuran yang sangat besar dan (kanan) partikel dengan ukuran yang mendekati
seragam
Gambar 2.9 adalah contoh kurva distribusi partikel. Pada Gbr 2.9 kiri,
partikel yang dibuat mengandung ukuran yang sangat bervariasi, dengan jangkauan
ukuran yang sangat lebar. Sampel partikel semacam ini sering disebut polidispersi.
Sebaliknya pada Gbr. 2.9 kanan, partikel memiliki ukuran-ukuran pada jangkauan
yang sempit. Sampel semacam ini disebut monodisperse. Dalam literatur, jika
disebut partikel monodispersi tidak bermakna ukuran partikel semuanya sama,
tetapi variasi ukuran partikel sangat sempit.
Dengan variasi ukuran partikel pada sampel yang dibuat maka secara
otomatis sifat keseluruhan dari sampel merupakan kombinasi dari sifat-sifat
partikel individual. Jika tidak ada interaksi antar partikel penyusun sampel maka
sifat keseluruhan dari sampel harus merupakan superposisi sederhana dari sifat
partikel individual. Sebagai contoh, jika (r) adalah sifat dari partikel tunggal dengan jari-jari r, maka sifat keseluruah dari sampel, , dapat ditulis secara sederhana sebagai
=0
)()( drrrf (2.48)
dengan f(r) adalaf frekuensi distribusi partikel dengan jari-jari r.
Umumnya ukuran nanopartikel yang dibuat lebih sering memenuhi fungsi
-
54
distribusi log-normal daripada fungsi-fungsi distribusi lainnya. Dalam fisika
aerosol, asumsi distribusi log-normal bagi ukuran partikel aerosol telah digunakan
secara luas karena dari sejumlah pengamatan memang fungsi distribusi log-normal
lebih mendekati realitas. Juga ukuran nanokristal dalam poros silikon juga dapat
dijelaskan dengan baik menggunakan fungsi distribusi log-normal. Fungsi
log-normal juga sering digunakan untuk mendeskripsi ukuran partikel dari hasil
proses koagulasi. Menurut distribusi ini, konsentrasi partikel yang memiliki
jari-jari antara r sampai r+dr memenuhi
drrr
rNdrrf g
= 2
20
ln2/ln
expln2
)( (2.49)
dengan adalah standar deviasi geometri dan gr adalah median jari-jari.
Parameter mengukur sebaran ukuran partikel. Partikel disebut monodispersi jika 1. Median jari-jari gr adalah jari-jari di mana setengah dari jumlah partikel
memiliki jari-jari kurang dari gr dan setengahnya memiliki jari-jari lebih besar
dari gr , atau
2)()(
0
Ndrrfdrrfg
g
r
r
== (2.50)
dengan N adalah jumlah total partikel.
Untuk mendapatkan informasi bagaimana lebar sebaran ukuran partikel,
kita bisa peroleh melalui parameter full width at half maximum (FWHM), seperti
-
55
diilustrasikan pada Gbr 2.10. Parameter ini menyatakan berapa lebar kurva pada
ketinggian setengah dari ketinggian maksimum. Dapat dibuktikan bahwa FWHM
memenuhi
[ ] ( )[ ]4lnlnsinhlnexp2 2 grFWHM = (2.51)
Gambar 2.10 Ilustrasi FWHM untuk fungsi distribusi ukuran partikel
Gambar 2.11 (Kiri) spectrum absoprsi nanopartikel CdS yang dibuat di dalam
matrik polimer oleh Yao dan Kitamura. Titik-titik adalah hasil pengukuran dan
kurva adalah hasil fitting. (Kanan) Fungsi distribusi log-normal nanopartikel CdS
yang digunakan untuk membuat kurva fitting pada gambar kiri.
Contoh aplikasi pendekatan ini dilakukan oleh Yao dan Kitamura
memprediksi spektrum absorpsi nanopartilel CdS yang dibuat dalam matriks
polimer menggunakan hubungan
= )ln()()()( dddfk d (2.52)
dengan )( d adalah koefisien absorpsi partikel tunggal yang berdiameter d , k
adalah sebuah konstanta, dan )(df adalah fungsi distribusi ukuran dalam bentuk
log-normal. Gambar 2.11 kiri adalah spektrum absorpsi berbagai komposit
nanopartikel dalam matriks polimer serta kurva fitting yang bersesuaian. Dalam
membuat kurva fitting, distribusi log-normal untuk ukuran partikel telah
-
56
digunakan. Distribusi ukuran nanopartikel tampak pada Gbr. 2.11 kanan.
Parameter-parameter fungsi distribusi tersebut adalah A: ( 7.22 =gr ; 37.0= );
B: ( 4.22 =gr ; 37.0= ); C: : ( 4.22 =gr ; 31.0= ).
Efek Ukuran pada Piranti Elektronik
Masalah yang berkaitan dengan reduksi ukuran divais
Ketebalan gerbang oksida MOSFET dengan panjang kanal beberapa
micrometer umumnya sekitar 100 nm. Dengan penggunaan tegangan gerbang
sekitar 5 Volt maka dihasilkan medan listrik dalam oksida sekitar 5 Volt/100 nm =
5 107 V/m. Nilai medan tersebut cukup besar tetapi masih aman karena berada di bawah ambang batas avalenche breakdown material. Untuk merealisasikan divais
MOS dengan panjang kanal submikrometer diperlukan ketebalan lapisan oksida di
bawah 100 nm. Sebagai contoh, dengan menggunakan lapisan oksida yang memiliki
ketebalan antara 20 sampai 30 nm maka penerapan tegangan gerbang sekitar 5
Volt menghasilkan medan listrik dalam oksida antara 1,7 109 sampai 2,5 109 V/m. Medan tersebut sangat besar sehingga meningkatkan peluang terjadinya
avalenche breakdown material serta meningkatkan peluang terjadinya
penerobosan elektron (elektron tunneling) melewati oksida. Ke dua fenomena
tersebut merusak performance MOS yang dibuat.
Piranti mikroelektronik yang dikembangkan sekarang didasarkan pada
asumsi bahwa atom dopan yang dimasukkan dalam bahan semikonduktor host
tersebar secara merata. Untuk divais dengan ukuran besar, asumsi penyebaran
yang merata tersebut dapat dianggap benar. Penyimpangan jumlah dopan hingga
10% tidak mempengaruhi sifat divais secara signifikan. Namun masalah muncul jika
-
57
ukuran piranti direduksi ke dalam ukuran pulunan nanometer. Masalah homogenitas
sebaran atom dopan mulau timbul.
Sebagai contoh, misalkan silicon tipa-p yang didop dengan boron dengan
konsentrasi atom dopan sekitar 1022 atom/m3. Konsentrasi atom dopan per satuan
luas adalah (1022)2/3 = 5 1014 atom/m2 = 500 atom/m2. Untuk transistor MOS yang memiliki ukuran kanal 1 m 1 m, jumlah atom boron pada gerbang sekitar 500 atom. Penyimpangan sekitar 50 atom saja dari nilai teoretik tersebut tidak
mengubah sifat MOS secara signifikan. Tetapi jika ukuran kanal adalah 100 nm 100 nm = 0,1 m 0,1 m maka jumlah atom dopan dalam gerbang hanya sekitar 5 atom. Kesalahan penempatan dopan dapat menyebabkan jumlaha tom pada gerbang
hanya 4 atau 6, atau 3 atau 7. Nilai-nilai tersebut secara relatif menyimpang
sangat jauh dari 5. Dengan demikian, bisa jadi MOSFET yang dibuat tidak bekerja
sesuai dengan yang diharapkan. Dan maasalah bertambah serisu jika ukuran kanal
lebih kecil lagi.
Disipasi panas juga menjadi masalah serius ketika ukuran divais elektronik
direduksi ke skala nanometer. Reduksi ukuran divais berimplikasi pada peningkatan
jumlah komponen yang ditempatkan dalam satu chip yang berarti pula terjadi
peningkatan disipasi panas oleh chip tersebut. Sebagai ilustrasi, untuk gerbang
logika dengan disipasi daya sangat rendah, yaitu sekitar 10-5 Watt per gerbang pun
masih timbul masalah pada manajemen panas untuk chip. Pada VLSI CMOS canggih
sekarang, jumlah gerbang dalam satu chip berkisar antara 106 sampai 107. Dengan
demikian, kalor yang didisipasi chip tersebut berkisar antara 10 Watt hingga 100
Watt. Ini adalah nilai yang sangat besar dan perlu sistem pendingin canggih untuk
menghindari kerusakan IC karena peningkatan suhu yang tidak terkontrol.
Prosesor Intel Pentium IV yang ada melepaskan panas sekitar 80 Watt.
-
58
Piranti Nanoelektronik Kuatum
Pengembangan piranti nanoelektronik sebagai basis teknologi masa depan
yang akan menggantikan teknologi mikroelektronik tidak lagi menggunakan
konsep-konsep klasik dalam menjelaskan fenomena transfer muatan di dalam
divais. Dalam dimensi yang sangat kecil, yaitu beberapaa nanometer, fenomena
kuantum mulai muncul secara signifikan. Transfer muatan dalam divais dikontrol
oleh prinsip-prinsip mekanika kuantum. Contoh fenomena yang diyakini akan
berperan penting dalam pengembangan piranti nanoelektronik adalah penerobosan
resonansi dan Coulomb blockade. Dengan memanfaatkan fenomena tersebut para
peneliti mencoba mengembangkan divais penerobosan resonansi (resonance
tunneling device, RTD), divais elektron tunggal (single elektron device, SED), dan
titik kuatum (quantum dot, QD).
RTD bekerja atas fenomena penerobosan elektron melalui penghalang
kompleks yang memiliki keadaan intermediate. Sebagaimana dipelajari di kuliah
fisika kuantum, jika elektron yang memeiliki energi oE bergerak menuju
penghalang potensial yang ketinggianya V , di mana oEV > maka elektron hampir
tidak dapat melewati potensial tersebut. Dengan perkataan lain hampir tidak ada
elektron yang ditransmisikan melalui penghalang potensial, seperti diilustrasikan
pada Gbr 2.12.
Gambar 2.12 Penerobosan elektron pada penghalang potensial
Tetapi, jika penghalang potensial sangat tipis dalam orde kira-kira sama dengan
-
59
panjang gelombang de Briglie dari elektron, maka ada peluang elektron menerobos
penghalang. Panjang gelombang de Broglie elektron adalah ph /= , dengan h
konstanta Planck dan p adalah momentum elektron. Fenomena tersebut disebaut
penerobosan atau tunneling. Peluang penerobosan makin besar jika penghalang
potensial sangat tipis. Contoh penghalang potensial adalah lapisan oksida. Lapisan
oksida adalah bahan isolator sehingga dapat dianalogikan sebagai penghalang
potensial yang sangat tinggi. Jika oksida tersebut sangat tipis maka ada peluang
elektron dari satu elektroda pindah ke elektroda lainnya menembus lapisan oksida
tersebut.
Peluang elektron menerobos penglanag potensial memenuhi
Peluang kLe 2 (2.53)
Dengan L tebal penghalang dan
)(8 22
oEVhmk = (2.54)
dengan m massa elektron.
Fenomena menarik terjadi jika penghalang potensial memiliki sejumlah
keadaan energi intermediate di mana minimal salah satu tingkat energi
intermediate tersebut sama dengan energi elektron datang, seperti diilustrasikan
pada Gbr. 2.13. Akan terjadi resonansi fungsi gelombang elektron di luar dan di
dalam penghalang yang berimbas pada peningkatan secara dramatis probabilitas
-
60
penerobosan elektron melewati penghalang tersebut. Peluang penerobosan bahkan
bisa mendekati satu. Fenomena ini telah diamati pada struktur GaAs/AlGaAs yang
dibuat dengan metode molecular beam epitaxy (MBE).
Gambar 2.13 Material yang memiliki keadaan intermediate dapat menyebabkan
transmisi elektron melalui penghalang potensial mendekati satu karena terjadi
resonansi
Ide SED bermula dari penemuan fenomena Coulomb Blockade oleh
Licharev dan Grabert & Devoret. Prinsip dari fenomena ini sangat sederhana
sebagai berikut. Seperti diilustrasikan pada Gbr 2.14, transfer elektron antara
dua partikel yang dipisahkan oleh jarak yang sangat kecil menciptakan potensial
penghalang
CeE2
2
= (2.55)
dengan e muatan elektron dan C aadalah kapasitansi partikel. Kapasitansi partikel
dapat dihitung sebagai berikut. Misalkan sebuah partikel memiliki jari-jari R dan
mengandung muatan Q. Dengan hukum coulomb kita dapat menghitung dengan
sederhana potensial di permukaaan partikel, yaitu
RQV
o 41= (2.56)
dengan o permitivitas listrik vakum dan konstanta dielektrik medium di
-
61
sekitar partikel. Kapasitansi yang dimiliki partikel menjadi
RVQC o4== (2.57)
Gambar 2.14 Transfer elektron menciptakan barrier potensial
Pada suhu T energi termal elekron adalah kT dengan k adalah konstanta
Boltzmann. Jika jari-jari partikel sangat besar maka kapasitasi sangat besar
sehingga penghalang potensial yang diciptakan akibat transfer satu elektron
mendekati nol. Jika ketinggian penghalang potensial lebih kecil dari energi termal
elektron maka elektron berikutnya tidak mengalami hembatan untuk berpindah ke
partikel yang sudah ditempati oleh elektron sebelumnya.
Sebaliknya, jika ukuran partikel sangat kecil maka kapasitansi partikel juga
sangat kecil. Perpindahan elektron ke suatu partikel menciptakan penghalang
potensial yang cukup tinggi. Jika penghalang potensial tersebut jauh lebih besar
dari energi termal elektron, maka keberadaan satu elektron di suatu partikel
mencegah kedatangan elektron lain ke partikel tersebut. Fenomena inilah yang
disebut Coulomb Blockade. Dengan demikian satu partikel praktis hanya dapat diisi
oleh satu elektron. Inilah prinsip kerja divais elektron tunggal.
Fenomena Coulomb Blockade pertama kali diamati pada partikel indum
dengan diameter 300 nm pada suhu 4,2 K. Untuk partikel dengan ukuran di bawah 5
nm, fenomena Coulomb blockasde dapat diamati hingga pada suhu kamar. Contonya
adalah fenomena coulomb blockade pada partikel CdS yang berukuran 3 nm yang
dibuat pada film LB.
Dalam kondisi CB, transfer elektron antara dua elektroda di mana di
-
62
dalamnya ditempatkan nanopartikel secara assimetri (jarak nanopartikel ke
masing-masing elektroda adalad d1 dan d2 di manna d1 d2), seperti diilustrasikan pada Gbr 2.15, memperlihatkan kurva perubahan arus terhadap potensial yang
menyerupai tangga.
Gambar 2.15 Transfer elektron antara dua elektroda melalui nanopartikel yang
dipasang secara asimetri
Ketika elektron dari satu elektroda pindah ke partikel maka tercipta potensial
penglanag sebesar
Ce
eEV
2== (2.58)
Ketika beda potensial aantara dua elektroda dinaikkan dari nol maka tidak ada
arus yang mengalir selama V masih lebih kecil dari e/2C. Arus baru muncul
tiba-tiba ketika V = e/2C. Arus ini dihasilkan oleh transfer satu elektron. Ketika
potensial dinaikkan lagi maka arus tidak berubah selama potensial masih lebih kecil
dari 2e/2C karena potensial tersebut belum memungkinkan terjanya transfer dua
elektron. Arus meningkat secara tiba-tiba ketika potensial yang diberikan sama
dengan 2e/2C di mana arus mengalir dihasilkan oleh transfer dua elektron.
Peningkatan potensial lebih lanjut akan mempertahanan nilai arus hingga potensial
menjadi 3e/2C yang diakibatkan oleh transfer tiga elektron. Begitu seterusnya.
Dengan demikian, kurva arus sebagai fungsi potensial akan berupa tangga seperti
pada Gbr 2.16.
-
63
Gambar 2.16 Kurva arus sebagai fungsi potensial yang berbentuk tangga