bab 1. pendahuluan 1.1 latar belakang · wilayah daratan dan perairan yang luas dan kompleks,...

24
1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan kondisi wilayah daratan dan perairan yang luas dan kompleks, terbentang mulai dari Pulau Sabang di Provinsi Aceh sampai dengan Kabupaten Merauke di Provinsi Papua. Beberapa referensi memberikan data tentang jumlah pulau yang ada di Indonesia, diantaranya Tuo (2011) dan Kodoatie (2012) yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 pulau. Data tersebut telah terkoreksi, berdasarkan informasi terkini tentang jumlah pulau yang telah terdaftar dan berkoordinat yang dimiliki oleh Indonesia sebagai hasil kerja Tim Nasional Pembakuan Rupabumi Indonesia adalah sejumlah 13.466 pulau, terbentang mulai dari Sabang sampai dengan Merauke. Informasi tersebut disampaikan pertama kali oleh Kepala Badan Informasi Geospasial Asep Karsidi kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Eka Pangestu, saat serah terima perangkat pendukung infrastruktur informasi geospasial di Gedung Sapta Pesona Kemenparekraf Jakarta, pada 7 Mei 2014. Selanjutnya dijelaskan oleh Asep Karsidi, bahwa jumlah tersebut sudah diakui dunia internasional dan tercatat di PBB melalui United Nations Group of Experts on Geographical Names (UN GEGN), dimana Indonesia bergabung di dalamnya (www.bakosurtanal.go.id). Dahuri, dkk (1996) menyatakan bahwa sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta luas laut sekitar 3,1 juta km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia

Upload: others

Post on 25-Jan-2020

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan kondisi

wilayah daratan dan perairan yang luas dan kompleks, terbentang mulai dari Pulau

Sabang di Provinsi Aceh sampai dengan Kabupaten Merauke di Provinsi Papua.

Beberapa referensi memberikan data tentang jumlah pulau yang ada di Indonesia,

diantaranya Tuo (2011) dan Kodoatie (2012) yang menyatakan bahwa Indonesia

merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 pulau.

Data tersebut telah terkoreksi, berdasarkan informasi terkini tentang jumlah

pulau yang telah terdaftar dan berkoordinat yang dimiliki oleh Indonesia sebagai

hasil kerja Tim Nasional Pembakuan Rupabumi Indonesia adalah sejumlah 13.466

pulau, terbentang mulai dari Sabang sampai dengan Merauke. Informasi tersebut

disampaikan pertama kali oleh Kepala Badan Informasi Geospasial Asep Karsidi

kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Eka Pangestu, saat serah

terima perangkat pendukung infrastruktur informasi geospasial di Gedung Sapta

Pesona Kemenparekraf Jakarta, pada 7 Mei 2014. Selanjutnya dijelaskan oleh Asep

Karsidi, bahwa jumlah tersebut sudah diakui dunia internasional dan tercatat di PBB

melalui United Nations Group of Experts on Geographical Names (UN GEGN),

dimana Indonesia bergabung di dalamnya (www.bakosurtanal.go.id).

Dahuri, dkk (1996) menyatakan bahwa sebagai negara kepulauan terbesar,

Indonesia memiliki panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta luas laut sekitar

3,1 juta km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara

dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia

2

dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs)

dan padang lamun (sea grass beds).

Konvensi PBB yang disepakati pada tanggal 10 Desember 1982 dan tertuang

dalam Conclution of the United Nations Convention on the Law of the Sea (1982) Bab

IV pasal 46 mendeskripsikan negara kepulauan sebagai;

“archipelagic State means a State constituted wholly by one or more

archipelagos and may include other island”

“archipelago means a group of islands, including parts of islands,

interconnecting waters and other natural features which are so closely

interrelated that such islands, waters and other natural features form an

intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically

have been regarded as such”

Wilayah Indonesia secara geografis terdiri dari sekumpulan besar pulau-pulau

yang dihubungkan oleh perairan yang luas dan merupakan satu kesatuan geografis,

politik dan ekonomi. Masing-masing pulau tanpa memperhitungkan ukuran,

karakteristik maupun posisi geografis, pada dasarnya merupakan kumpulan dari

habitat-habitat yang membentuk lingkungan tempat hidup bagi biota dan juga

manusia dalam satu kesatuan ekosistem. Masing-masing ekosistem tersebut

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari ekosistem

nasional maupun ekosistem global. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,

Indonesia memiliki tantangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ribuan pulau yang

tersebar di seluruh wilayahnya dengan karakteristik biogeofisik yang berbeda-beda.

Kodoatie (2012) juga menyebutkan bahwa dari seluruh pulau yang ada di

Indonesia, 5 pulau memiliki luas lebih dari 10.000 km2, 26 pulau memiliki luas

3

antara 2.000-10.000 km2 dan sisanya merupakan pulau dengan luas lebih kecil dari

2.000 km2 (pulau kecil dan sangat kecil). Delinom (2007) menambahkan bahwa

pulau-pulau yang ada di Indonesia didominasi oleh pulau kecil (luas kurang dari

2.000 km2) dan pulau sangat kecil (luas kurang dari 100 km2 dan atau memiliki

lebar kurang dari 3 km). Dengan demikian pengelolaan pulau-pulau kecil secara

lestari merupakan hal yang sangat penting di Indonesia karena lebih dari 90% pulau-

pulau yang dimiliki Indonesia merupakan pulau-pulau kecil.

Pengelolaan pulau-pulau kecil secara lestari tertuang dalam Undang-undang

Nomor 27 Tahun 2007 junto Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-undang tersebut

menegaskan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari

sumberdaya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan

dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang

maupun bagi generasi yang akan datang.

Dalam undang-undang ini juga ditegaskan bahwa wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang tinggi, dan sangat

penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga

kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan

berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan

tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.

Pulau-pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas 10.000 km2 atau

kurang dan mempunyai penduduk 500.000 orang atau kurang (Beler et al., 1990)

(UNESCO, 1991), Pada perkembangan selanjutnya menjadi pulau yang luasnya

4

5.000 km2, kemudian turun lagi menjadi pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km2

(Tresnadi, 1998). Sedangkan batasan pulau sangat kecil adalah pulau yang

mempunyai luas kurang dari 100 km2 atau pulau yang memiliki lebar kurang dari 3

km (Falkland, 1992). Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 dinyatakan

bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2

(dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.

Menurut Sitaniapessy (2002) beberapa karakteristik pulau-pulau kecil yang

perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan

adalah; 1) rentan terhadap pemanasan global yang mengakibatkan naiknya

permukaan air laut, sehingga luas daratan makin berkurang 2) mempunyai Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang cukup luas, sehingga wilayah perairan merupakan

daya dukung utama pembangunan wilayah 3) mempunyai sumberdaya alam yang

terbatas dan umumnya telah mengalami eksploitasi secara berlebihan 4) peka

terhadap bencana alam seperti vulkanisme, gempa bumi dan tsunami 5) umumnya

terisolasi dan jauh dari pasar utama 6) terbuka untuk sistem ekonomi skala kecil,

namun sangat peka terhadap kejutan pasar dari luar dalam skala yang lebih besar 7)

mempunyai laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan menyebar tidak merata

dengan kepadatan tinggi 8) mempunyai infrastruktur yang terbatas, dan 9)

pendidikan dan keterampilan penduduknya terbatas serta kepercayaan terhadap hal-

hal mistis cukup kuat.

Pulau-pulau kecil juga mempunyai karakeristik Daerah Aliran Sungai (DAS)

yang spesifik seperti panjang sungai yang relatif pendek sehingga kesempatan air

meresap ke dalam tanah juga berkurang, akibatnya banyak air hujan yang terbuang

ke laut. Di lain pihak, penduduk di pulau-pulau kecil makin berkembang sehingga

5

membutuhkan lahan untuk perumahan dan air bersih untuk kehidupan sehari-hari

(Gunawan, 2013). Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan sebaran pemukiman

memiliki implikasi yang relefan terhadap pemanenan air tanah. Upaya kebutuhan air

pada umumnya dilakukan dengan menggali sumur sehingga lama kelamaan akan

berakibat meningkatnya intrusi air laut ke daratan.

Salah satu pulau kecil di Indonesia yang telah mengalami perubahan sangat

pesat dalam satu dekade belakangan ini adalah Pulau Bintan, sebuah pulau kecil

terbesar di gugusan Kepulauan Riau. Pulau Bintan merupakan pusat pemerintahan

Provinsi Kepulauan Riau, bagian dari Free Trade Zone (FTZ) serta Kawasan

Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam, Bintan dan Karimun.

Disamping itu saat ini Pulau Bintan juga masih merupakan salah satu sentra

penambangan bauksit di Indonesia. Pulau Bintan merupakan salah satu kawasan

ekonomi khusus yang dikembangkan untuk kepentingan industri dan pariwisata.

Untuk kepentingan ekonomi, pelaksanaan FTZ di Pulau Bintan bertujuan

sebagai pintu gerbang bagi arus masuknya investasi, barang, dan jasa dari luar

negeri. Pulau Bintan juga berfungsi sebagai sentral pengembangan industri sarat

teknologi sebagai tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke

seluruh wilayah Indonesia serta negara-negara lain dan menjadi pusat pelayanan lalu-

lintas kapal internasional (Anonim, 2009)

Pulau Bintan telah mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat

pesat di bidang industri, pariwisata dan demografi. Untuk kepentingan industri,

pemerintah menyediakan lahan seluas 4.000 Ha (3,4 % dari luas Pulau Bintan) dan

untuk kepentingan pariwisata pemerintah memberikan konsesi kepada swasta seluas

23.000 Ha (19,7% dari luas Pulau Bintan). Data Badan Pusat Statistik Tahun 2015

6

menunjukkan pertumbuhan jumlah penduduk di Kabupaten Bintan adalah 2,37 % per

tahun dengan kepadatan penduduk 88 jiwa/Km2, sementara itu laju pertumbuhan

penduduk kota tanjungpinang sebesar 2,54 % pertahun dengan kepadatan penduduk

822 jiwa/Km2. Data tersebut telah melampaui laju pertumbuhan penduduk Indonesia

secara keseluruhan yang hanya sebesar 1,49 % per tahun.

Gambar 1.1. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2011-2013

(Sumber: http://kepri.bkkbn.go.id/) Dinamika pembangunan yang cukup kompleks dan tingkat pertumbuhan

penduduk yang tinggi sebagai dampak dari pembangunan Pulau Bintan berbasis

ekonomi juga memiliki efek negatif bagi lingkungan di Pulau Bintan. Analisis

spasial lahan kritis di Pulau Bintan pada tahun 2013 adalah 36.827 Ha (kriteria kritis

sampai sangat kritis) atau sekitar 31,45% dari total wilayah Pulau Bintan (BPDAS

Kepri, 2013). Sebaran lahan kritis tersebut dapat terus bertambah seiring dengan

pesatnya pembangunan infrastruktur di pulau tersebut.

Selain dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh

pembangunan infrastruktur perkotaan, masalah alih peruntukan kawasan dan

kegiatan pertambangan juga menjadi isu lingkungan yang perlu perhatian serius. Alih

peruntukan kawasan dan aktivitas penambangan merupakan penyumbang kerusakan

7

DAS di Pulau Bintan (Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi

Kepulauan Riau, 2012). Peruntukan kawasan dimaksud beralih dari kawasan hutan

menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, perladangan dan sebagian dijadikan tempat

tinggal oleh masyarakat.

Kondisi DAS di Pulau Bintan digambarkan oleh hasil evaluasi klasifikasi

DAS yang dilaksanakan oleh Balai Pengelolaan DAS Kepulauan Riau pada Tahun

2014, dimana seluruh DAS di Pulau Bintan termasuk dalam klasifikasi dipulihkan.

Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.60/Menhut-II/2014 tentang

kriteria penetapan klasifikasi Daerah Aliran Sungai, DAS dikelompokkan menjadi

dua klasifikasi, yaitu dipertahankan daya dukungnya dan dipulihkan daya

dukungnya. Klasifikasi DAS di Pulau Bintan disajikan pada Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1. Klasifikasi DAS di Pulau Bintan

Sumber : Klasifikasi DAS BPDAS Kepri Tahun 2014

Permasalahan DAS di Pulau Bintan telah berdampak pada kawasan lainnya

seperti wilayah pesisir. Penelitian Tamtomo (2006) yang fokus pada analisis

kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dalam kerangka marine cadastre di

No. Nama DAS Skor Kinerja Klasfikasi1. Pekurang 100.50 dipulihkan2. Sumpai 103.00 dipulihkan3. Bintan 103.25 dipulihkan4. Anggus 103.25 dipulihkan5. Katubi 103.25 dipulihkan6. Cikolek 103.25 dipulihkan7. Gesik 103.75 dipulihkan8. Bulu 104.50 dipulihkan9. Kecil 104.50 dipulihkan10. Logo 105.75 dipulihkan11. Bong 106.00 dipulihkan12. Ekong 106.00 dipulihkan13. Sodo 108.00 dipulihkan14. Kijang 108.25 dipulihkan15. Kawal 108.25 dipulihkan16. Jang 113.75 dipulihkan17. Ular 114.75 dipulihkan

8

Pulau Bintan, menyimpulkan bahwa kebijakan pemanfaatan ruang dan pesisir di

Pulau Bintan saat ini menunjukkan Total Economic Value (TEV) yang negatif pada

kurun waktu untuk analisis sepuluh tahun yang akan datang (2005-2014). Hasil

tersebut dinyatakan dalam NPV (Net Present Value) = – Rp. 682.86; EIRR

(Economic Internal Rate of Return) = – 0.86%; dan Net B/C = 0.04. Selain itu

secara geoposisi Pulau Bintan sebagai kawasan Free Trade Zone (FTZ) dengan

penetapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) bersama

Batam, dan Karimun akan berdampak pada arus migrasi penduduk.

Pembangunan tidak saja menghasilkan manfaat, melainkan juga membawa

risiko. Dalam usaha memperbaiki mutu hidup, harus dijaga agar kemampuan

lingkungan untuk mendukung kehidupan pada tingkat yang lebih tinggi tidak

menjadi rusak. Sebab kalau kerusakan terjadi, bukan perbaikan mutu hidup yang

akan dicapai, melainkan justru kemerosotan. Pembangunan yang demikian bersifat

tidak berkelanjutan (Soemarwoto O. , 2004).

Pemanfaatan sumberdaya tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan

kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam perspektif konsep keberimbangan,

pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan

keadilan antar generasi (inter-generational equity). Konsep pendekatan

pembangunan yang berimbang tersebut selanjutnya dikenal sebagai pembangunan

berkelanjutan (sustainable development), yaitu suatu konsep pembangunan yang

dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang

akan datang (Rustiadi dkk, 2011).

Konsep pembangunan berkelanjutan juga dikenal dalam pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar

9

sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di

DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa

lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS

(Departemen Kehutanan, 2008).

Prinsip dalam pengelolaan DAS adalah pengaturan tata guna lahan atau

pengoptimalan penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta

praktik lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci

(ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik

pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik DAS adalah adanya

keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi

(Departemen Kehutanan, 2008).

Upaya pengelolaan DAS pada dasarnya harus merupakan bagian integral dari

pembangunan wilayah, karena berkepentingan langsung dengan pendayagunaan

sumberdaya alam, tanah dan air di wilayah tersebut secara rasional, optimal dan

berkelanjutan bagi pengembangan ekonomi wilayah. Karena pengelolaan DAS itu

bukanlah miniatur dari pembangunan wilayah, maka upaya pengelolaan DAS tidak

seharusnya digeneralisir tetapi perlu dilaksanakan menurut lokasi demi lokasi

ditinjau dari segi permasalahan, potensi, peluang dan kendala yang ada baik

sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya (Santoso, 2012).

Dalam konsep kewilayahan, pulau kecil dan DAS di pulau kecil dapat

dipandang sebagai wilayah yang khusus (spesific region). Bintarto dan Hadisumarno

(1979) mengklasifikasikan spesific region sebagai klasifikasi wilayah yang menurut

kekhususannya merupakan daerah tunggal serta memiliki ciri-ciri geografi yang

khusus. Pulau kecil memiliki permasalahan, potensi, peluang dan kendala yang

10

berbeda jika dibandingkan dengan pulau kontinental. Dengan demikian diperlukan

konsep dan framework yang berbeda pada pengelolaan DAS di pulau kecil

dibandingkan dengan pengelolaan DAS di pulau kontinental. Jika dikaitkan dengan

pengelolaan DAS di Pulau Bintan, maka dibutuhkan konsep dan framework yang

berbeda dibanding dengan pengelolaan DAS di pulau-pulau kontinental seperti

Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Pulau kecil tidak memiliki sungai dominan dan umumnya sumberdaya air

yang digunakan untuk kepentingan ekonomi berasal dari air tanah, dimana

ketersediaan air tanah tersebut secara eksklusif berasal dari air hujan. Ekosistem

DAS pulau kecil cenderung mengalami tekanan (pressures) yang lebih besar

dibandingkan ekosistem daratan atau pulau besar yang disebabkan oleh faktor isolasi

dan pengaruh ekosistem laut (Beukering dkk, 2007).

Pulau kecil merupakan ekosistem yang spesifik ditinjau dari aspek posisi

geografis, keragaman bentangalam, genesis, kerentanan, sumberdaya alam serta

socio culture. Perbedaan karakteristik pulau kecil yang spesifik menyebabkan

karakteristik DAS di pulau kecil berbeda dibandingkan dengan DAS di pulau

kontinental. Karena karakteristiknya yang spesifik maka pengelolaan DAS di pulau

kecil membutuhkan upaya dan pendekatan pengelolaan yang berbeda dibandingkan

DAS pada umumnya.

Pedoman pengelolaan DAS di Indonesia saat ini mengacu pada Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Untuk

kepentingan monitoring dan evaluasi mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.61/Menhut-II/2014 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai. Peraturan dan petunjuk di atas bersifat umum serta tidak membedakan

11

DAS berdasarkan karakteristik dan ekosistem tertentu, salah satunya adalah

ekosistem DAS pulau kecil .

Berdasarkan uraian di atas, pengelolaan DAS pulau kecil terutama Pulau

Bintan merupakan obyek kajian yang sangat menarik untuk diteliti. Dampak

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis ekonomi di Pulau Bintan

menimbulkan beberapa permasalahan DAS. Permasalahan DAS tersebut merupakan

indikator kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan di Pulau Bintan.

1.2 Permasalahan Penelitian

Air telah menjadi permasalahan utama kehidupan manusia selama berabad-

abad. Manusia telah berusaha mengontrol kuantitas dan kualitas air sejak ribuan

tahun yang lalu. Catatan tentang permasalahan air telah ada sejak 4.500 tahun yang

lalu di kota-kota Mesopotamia yaitu Lagash dan Umma (McDonald dan Kay, 1988).

Bonnin (1988) dalam (Heathcote, 1998) mencatat bahwa Tahun 1989 merupakan

tahun ke 2.000 lahirnya keputusan Roma (senatus consultus) yang isinya dalam

bahasa Romawi kuno menyatakan:

Ne quis aquam oletuto dolo maio ubi publice saliet si quis oletarit sestertiorum x mila mulsa esto

Artinya adalah bahwa siapa saja dilarang untuk mencemari pasokan air publik,

pelanggaran yang disengaja akan dihukum dengan denda 10.000 sestertium.

Sertertium merupakan mata urang perak pada saat itu.

Pada abad ke-19 dan terutama pada abad ke-20, pembangunan ekonomi di

banyak negara berlangsung dengan cepat dan sering mengabaikan seruan tentang

pengelolaan air. Optimisme tentang penggunaan teknologi dalam pembangunan

bendungan, pengolahan air limbah serta irigasi menjadi kekhawatiran atau bahkan

kepentingan utama dalam mengatasi kekurangan air. Pencemaran dipandang sebagai

12

konsekuensi tak terelakkan dari pembangunan, harga yang harus dibayar untuk

mencapai kemajuan ekonomi. Pada Tahun 1970-an pemerintah di seluruh dunia

mulai memahami dan kemudian membatasi penyalahgunaan sumberdaya air,

membangun legeslasi yang kuat tentang perlindungan lingkungan dengan struktur

administrasi yang efisien dan mengawasi penggunaan air (Heathcote, 1998).

Pada bulan Maret 1977, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mensponsori

sebuah konferensi tentang air di kota Mar del Plata, Argentina. Konferensi ini

dipandang oleh banyak peneliti sebagai peristiwa penting dalam pengelolaan air.

Konferensi ini menghasilkan empat rekomendasi tetang pengelolaan sumberdaya air

(Heathcote, 1998). Beberapa tahun setelah konferensi Mar del Plata muncul

terminologi watershed (daerah aliran sungai) yang dikemukakan oleh beberapa

penulis diantaranya Linsley (1980) dan Schramm (1980), dimana DAS dipandang

sebagai suatu sistem sungai, seluruh daratan pada basin atau catchment area dimana

air mengalir pada satu sistem sungai.

Penelitian dan pengembangan pengelolaan DAS telah dilakukan oleh banyak

pihak dan ahli di dunia. Penelitian oleh Raphael Zon, seorang imigran Rusia pada

Grande National Forest of Wagon Wheel Gap Colorado pada Tahun 1910 sampai

1926 tercatat sebagai penelitian pertama tentang DAS. Raphael Zon merupakan

seorang profesional yang dipekerjakan oleh Gifford Pinchot, rimbawan profesional

pertama pada Biro Kehutanan Amerika Serikat . Penelitian Zon pada DAS kecil

bekas eksploitasi hutan menunjukkan adanya perubahan pada aliran sungai (Glasser,

2004).

Sedell, dkk (2000) dalam Edwards, dkk (2015) menyatakan bahwa banyak

tulisan tentang DAS di Amerika lebih fokus pada ekosistem hutan, hal ini disebabkan

13

karena 80% sumber air bersih di negara tersebut berasal dari kawasan hutan.

Edwards, dkk (2015) juga menyatakan bahwa terdapat beberapa penulis tentang DAS

yang fokus pada kawasan rawa seperti Verry (1997, 1981), Sun, dkk (2001) and Xu,

dkk (2002),

Program-program yang berhubungan dengan pengelolaan DAS juga dimulai

di India pada awal Tahun 1970an (Wani dan Garg, 2009). Program tersebut fokus

pada permasalahan air dan tanah pada lahan pertanian di India. Tujuan utama dari

program tersebut adalah meningkatkan hasil tanaman dan kesejahteraan penduduk di

wilayah DAS.

Sejarah pengelolaan DAS di Indonesia juga tidak lepas dari aspek

ketergangguan ekosistem dan bencana. Peristiwa banjir besar Bengawan Solo pada

Tahun 1966 menjadi awal kesadaran multi pihak akan pentingnya pengelolaan DAS

di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Pengelolaan DAS pada skala kegiatan diawali

dengan proyek penghijauan Departemen Pertanian pada Tahun 1969 yang

dilanjutkan dengan proyek upper Solo watershed management and upland

development project sampai dengan Tahun 1978 bekerja sama dengan FAO.

Pada skala kebijakan nasional, Pengelolaan DAS tercantum dalam GBHN

Tahun 1988 (Repelita V) yang menyatakan bahwa rehabilitasi sumberdaya alam

perlu terus ditingkatkan melalui pendekatan terpadu pengelolaan daerah aliran sungai

(DAS) dan wilayah. Dalam hal ini perlu makin ditingkatkan dan disempurnakan

upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis, konservasi tanah, rehabilitasi sungai, danau,

rawa, hutan bakau, karang laut serta pengembalian fungsi DAS (Santoso H. , 2012).

Sampai dengan saat ini konsep dan praktik pengelolaan DAS banyak

berkembang di pulau-pulau besar atau pulau kontinental. Konsep pengelolaan DAS

14

di pulau kecil belum menjadi wacana banyak pihak. Rumusan pendekatan kompleks

wilayah dalam pengelolaan DAS di pulau kecil belum banyak diketengahkan oleh

para ahli. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pulau kecil lebih fokus pada

aspek sumberdaya air, pencemaran, sumberdaya ekonomi, pesisir dan kerentanan

bencana (disaster vulnerability).

Sebagai tindak lanjut konferensi Rio de Janeiro (3-14 Juni 1992), United

Nations Conference on Environment and Development (UNCED) memprakarsai

terbentuknya Small Island Development States (SIDS) yang fokus pada program-

program dalam menghadapi kerentanan sosial, ekonomi dan lingkungan negara-

negara pulau dan kepulauan yang sedang berkembang. Indonesia tidak tergabung

dalam organisasi ini.

Salah satu action plan SIDS di bindang kepesisiran dan perairan laut adalah

pengembangan dan penguatan kapasitas hukum dan administrasi nasional dalam

pembangunan serta implementasi rencana dan strategi manajemen kepesisiran

terpadu pada DAS pesisir dan zona ekonomi ekslusif. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa wacana pengelolaan DAS di pulau kecil secara eksplisit sudah

menjadi perhatian dunia.

Di Indonesia wacana pengelolaan DAS pulau kecil belum mengemuka secara

luas. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan persentase pulau kecil lebih

dari 90% dari seluruh pulau yang dimiliki oleh Indonesia, maka wacana pengelolaan

DAS pulau kecil cukup layak untuk diangkat, apalagi mengingat beberapa pulau

kecil yang dimiliki indonesia termasuk dalam zona ekonomi khusus.

Pernyataan Sitaniapessy (2002) dapat disimpulkan bahwa pulau kecil

memiliki karakteristik yang berbeda dengan pulau besar yaitu 1) memiliki tingkat

15

kerentanan yang tinggi 2) biodiversitas yang rendah 3) sumberdaya alam yang

terbatas 4) sosial budaya dan ekonomi yang spesifik. Dimensi yang kecil

menyebabkan pulau kecil juga memiliki DAS yang kecil.

Di bidang penelitian, konsep pengelolaan DAS pulau kecil merupakan aspek

kajian yang sangat menarik, riset DAS pulau kecil dapat dikatagorikan sebagai

spesialisasi regional. Yunus (2010) menegaskan bahwa spesialisasi regional adalah

suatu bidang kajian yang menarik untuk dikembangkan contohnya adalah tema

wilayah atas dasar kondisi fisiografis seperti wilayah kepesisiran, wilayah dataran

tinggi, wilayah pegunungan lipatan dan lain sebagainya.

Pulau Bintan merupakan salah satu pulau kecil di Indonesia dengan

perkembangan pembangunan cukup pesat. Pulau Bintan merupakan pulau kecil

dengan aktivitas eksploitasi sumberdaya alam dan penggunaan ruang yang kompleks.

Dimulai dengan penambangan bauksit oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun

1935 melalui perusahaan Naamloze Vennootschap Nederlandsch Indische Bauxit

Exploitatie Maatschappij. Setelah Indonesia merdeka dilanjutkan oleh perusahaan

Aneka Tambang pada tahun 1968.

Pulau Bintan menjadi salah satu kawasan ekonomi khusus melalui Undang-

Undang No. 36 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan

Bebas dan PP No. 47 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan

Pelabuhan Bebas Pulau Bintan. Sebagai salah satu kawasan ekonomi khusus,

pembangunan infrastruktur dan industri berkembang pesat di pulau ini.

Sebagai salah satu pulau kecil di Indonesia, laju pertumbuhan industri dan

pembangunan infrastruktur sebagai efek pemberlakuan kawasan ekonomi khusus

tersebut menimbulkan dampak lingkungan yang dengan cepat dapat dirasakan. Isu-

16

isu seperti degradasi lingkungan dan laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat

tidak dapat dipisahkan dari permasalahan DAS di pulau ini. Permasalahan DAS

sangat berpengaruh pada kinerja DAS dan pada akhirnya dapat menimbulkan ketidak

seimbangan ekosistem DAS.

Kementerian kehutanan telah merumuskan model penilaian kinerja DAS

sesuai tercantum dalam Permenhut nomor P.60/Menhut-II/2014 dan Permenhut

nomor P.61/Menhut-II/2014. Penilaian kinerja DAS dalam pedoman tersebut

digunakan dalam menyusun klasifikasi DAS di Indonesia serta untuk kepentingan

evaluasi DAS. Penggunaan model kinerja tersebut dipandang mampu

menggambarkan kondisi DAS secara utuh baik dari aspek biofisik maupun sosekbud

masyarakat dalam DAS.

Penggunaan model tersebut bersifat umum tanpa ada variabel yang

membedakan setiap DAS. Implementasi model kinerja DAS dalam memahami dan

mempelajari ekosistem DAS di pulau kecil perlu penyesuaian variabel sesuai dengan

karakteristik DAS di pulau kecil. Hasil penilaian kinerja DAS selanjutnya menjadi

dasar dalam menentukan strategi pengelolaan DAS di Pulau Bintan.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, selanjutnya dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Berdasarkan karakteristik, potensi dan permasalahannya bagaimanakah kinerja

DAS di Pulau Bintan?

2. Berdasarkan kinerjanya, bagaimanakah strategi dan kebijakan pengelolaan DAS

di Pulau Bintan?

17

3. Sebagai pertimbangan dalam pengelolaan DAS pulau kecil lainnya,

bagaimanakah pola hubungan antar DAS dan antar komponen DAS di Pulau

Bintan ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi dan memetakan kinerja seluruh DAS di Pulau Bintan berdasarkan

karakteristik, potensi dan permasalahannya sebagai dasar penyusunan strategi

pengelolaan DAS Pulau Bintan.

2. Menyusun strategi pengelolaan DAS berdasarkan kinerja DAS di Pulau Bintan.

3. Memahami pola hubungan antar DAS di Pulau Bintan sebagai dasar

pertimbangan dalam pengelolaan DAS di pulau kecil.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk pemerintah, dunia usaha dan pengembangan

ilmu pengetahuan, yang dirinci sebagai berikut:

1. Pemerintah pusat dan daerah, sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan

pengelolaan DAS pulau kecil terutama di Pulau Bintan.

2. Masyarakat, sebagai referensi dalam pengelolaan lingkungan pulau berbasis

Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam rangka pembangunan berkelanjutan.

3. Pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam menemukenali berbagai

persoalan yang sangat kompleks seperti masalah-masalah lingkungan, cara

melakukan atau menyelidiki permasalahan secara holistik dan sistematis

khususnya pada aspek pengelolaan DAS di pulau kecil.

1.5 Keaslian dan Pentingnya Penelitian

Berbagai hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengelolaan pulau

kecil dan DAS khususnya Pulau Bintan telah banyak dilakukan, baik di dalam negeri

18

maupun diluar negeri. Pengumpulan hasil-hasil penelitian atau literatur terkait dalam

rangka membangun state of art dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa belum

terdapat penelitian yang spesifik dan fokus pada pengelolaan pulau kecil berbasis

DAS. Berdasarkan relevansi, substansi dan kemutakhiran penelitian, maka keaslian

konsep penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Konsep dan implementasi pengelolaan pulau kecil masih bersifat parsial,

tergantung kepentingan dan sektor. Konsep pengelolaan DAS juga masih bersifat

umum, terutama di Indonesia. Belum pernah ada kajian pengelolaan pulau kecil

dengan pendekatan kompleks wilayah berdasarkan kinerja DAS. Kajian

pengelolaan pulau kecil pada umumnya fokus pada aspek sumberdaya air,

pencemaran, sumberdaya ekonomi, pesisir dan kerentanan bencana (disaster

vulnerability) seperti yang dinyatakan oleh UNEP (2014), Philips (2014), Silbert

(2011), Bengen, dkk (2012), Sitaniapessy (2002) Retraubun (2001), Kelman

(2005) dan banyak ahli lainnya.

2. Dalam konsep pengelolaan DAS, belum banyak kajian pengelolaan DAS yang

fokus pada wilayah pulau kecil, umumnya merupakan kajian pengelolaan DAS di

pulau-pulau besar seperti yang dinyatakan oleh Linsley (1980), Asdak (2004),

Senawi (2007), Mawardi (2010), Edwards, dkk (2015), Santoso (2012) dan

banyak ahli lainnya. Disisi lain kebutuhan kajian pengelolaan DAS di pulau kecil

sebagaimana tertuang dalam program kerja SIDS dan program pengelolaan DAS

di Indonesia sangat diperlukan (Pramono, dkk 2015), mengingat karakteristik

pulau kecil yang spesifik dan dapat diklasifikasikan sebagai specific region.

Untuk itu peneliti akan berusaha melakukan kajian pengelolaan pulau kecil

dengan berdasarkan kinerja DAS. Kendala-kendala dalam analisis strategi

19

pengelolaan pulau kecil dengan pendekatan kompleks wilayah seperti pada kajian

ini akan dupayakan dengan penggunaan Spacial Multi Criteria Analysis (SMCA).

Berdasarkan lokus penelitian, upaya pengumpulan hasil-hasil penelitian

terdahulu di Pulau Bintan menyimpulkan bahwa belum terdapat penelitian yang

spesifik dan fokus pada pengelolaan Pulau Bintan berbasis DAS. Petikan beberapa

penelitian terdahulu pada berbagai aspek terkait pengelolaan Pulau Bintan dapat

dideskripsikan sebagai berikut:

1. Penelitian tamtomo (2006) tentang kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut

dalam kerangka “Marine Cadastre” (studi kasus di wilayah Pulau Bintan,

Kabupaten Kepulauan Riau). Penelitian ini menyarankan tentang mendesaknya

pengadministrasian sistem tenurial wilayah pesisir dan laut berbasis konsep

“marine cadastre”, khususnya ditinjau dari aspek legal dan kelembagaan, serta

dalam aspek ekonomi sumberdaya dan lingkungan dalam bentuk-bentuk “the

bundle of rights”

2. Penelitian Partini (2009) tentang efek sedimentasi terhadap terumbu karang di

pantai timur Kabupaten Bintan. Penelitian ini menghasilkan data tentang

persentase tutupan karang di pantai timur Pulau Bintan, klasifikasi laju

sedimentasi di wilayah penelitian serta korelasi antara laju sedimentasi terhadap

tutupan karang dan indeks mortalitas terumbu karang.

Rangkuman beberapa penelitian terkait pulau kecil dan pengelolaan DAS disajikan

pada Tabel 1.2 dengan diagram kedudukan dan keaslian penelitian disajikan

sebagaimana Gambar 1.2.

20

Tabel 1.2. Keaslian Penelitian

No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil1. Max Maanema (2003).

Model Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu).

(1) Menentukan parameter variabel lingkungan yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas perairan, pengelompokan wilayah perairan sesuai kemiripan parameter variabel lingkungan. (2) Memformulasikan alternatif skenario pembangunan optimal berkelanjutan.(3) Menentukan model pemanfaatan gugus Pulau Pari yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, (4) Penataan pemanfaatan ruang yang baik dengan memperhatikan keterpaduan ekologis.

Analisis Komponen Utama (Principal Conzponent Analysis/PCA).

(I) Tidak terdapat parameter variabel lingkungan yang dominan berpengaruh (2) Model pemanfaatan pariwisata pantai di Pulau Burung dan Pulau Kongsi (3) Skenario pembangunan optimal.(4) Model Penataan pemanfaatan ruang.

2. Johanes P. Tamtomo (2006)Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Studi Kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau).

Melakukan analisis kebijakan serta mendesain pemanfaatan ruang pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre ” sehingga dapat dicapai pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan

Analisis kebijakan publik menggabungkan lima prosedur dalam satu langkah, dimulai dari analisis spasial, analisis prioritasi dan realisasi kebijakan, riset persepsional konsep “marine cadastre ”, TEV kebijakan eksisting, dan TEV kebijakan dalam kerangka “marine cadastre ” dalam skema analisis “ex-post Ф ex-ante ” kebijakan publik.

Penelitian ini menyarankan tentang mendesaknya pengadministrasian sistem tenurial wilayah pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre ”, khususnya ditinjau dari aspek legal dan kelembagaan, serta dalam aspek ekonomi sumberdaya dan lingkungan dalam bentuk-bentuk “the bundle of rights ”.

21

No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil3. Muh. Yusuf (2007)

Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Kawasan Taman Nasional Karimun Jawa secara berkelanjutan

(1) menentukan kesesuaian lahan kawasan Taman Nasional Karimunjawa bagi peruntukan wisata bahari, budidaya ikan kerapu, budidaya rumput laut, budidaya teripang, dan konservasi hutan mangrove (2) menyusun alternatif zonasi baru (zonasi ulang) kawasan Taman Nasional Karimunjawa berdasarkan kriteria ekologi, ekonomi, sosial, dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat serta diintegrasikan dengan kesesuaian lahan (lingkungan), (3) menentukan prioritas strategi kebijakan dalam pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa.

Pengumpulan data sosekbud dan kebijakan secara partisipatoris dengan pendekatan PCRA dengan cara FGD melalui teknik wawancara; sedangkan data biogeofisik dikumpulkan melalui survei lapang. Metoda analisis data terdiri dari analisis spasial dengan menggunakan alat SIG, analisis kesesuaian lahan (lingkungan), analisis zonasi dengan menggunakan kriteria ekologi, ekonomi dan sosial yang diintegrasikan dengan hasil analisis kesesuaian lahan (lingkungan), dan usulan masyarakat. Selanjutnya, dilakukan analisis kebijakan dengan pendekatan A’WOT yaitu integrasi antara AHP dan SWOT.

Kesesuaian lahan bagi peruntukan wisata bahari, wisata pantai, budidaya ikan kerapu, dan budidaya rumput laut. Hasil analisis penentuan zonasi dibagi ke dalam 4 zona, yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona rehabilitasi. Diperolehnya tiga strategi kebijakan dalam pengelolaan Karimunjawa.

4. Partini (2009)Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang di Pantai Timur Kabupaten Bintan

1) Mengkaji komunitas terumbu karang; 2) Menghitung laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang; dan 3) Menganalisis hubungan dan pengaruh laju sedimentasi terhadap komunitas terumbu karang.

Metode transek kuadarat untuk pengamatan terumbu karang, penggunaan software image-J untuk Analisis photo dan pengamatan laju sedimen.

Persentase tutupan karang di pantai timur Pulau Bintan, Klasifikasi laju sedimentasi di wilayah penelitian serta korelasi antara laju sedimentasi terhadap tutupan karang dan indeks mortalitas.

5. Muhammad Rasman Manafi (2010)Rancangbangun Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Pemanfaatan Ruang (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi)

1.Menganalisis masalah pemanfaatan ruang GPK2. Menduga kesesuaian lahan dan daya dukung di GPK.3. Mengoptimasi pola pemanfaatan ruang GPK. 4. Mevaluasi nilai ekonomi total sumberdaya di GPK.

1)Analisis kesesuaian lahan dan daya dukung ekologis, 2)Valuasi ekonomi sumberdaya (mangrove dan terumbu karang)

Pola pemanfaatan ruang Pulau Kaledupa.

22

No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil6. Yar Johan (2011)

Pengembangan Wisata Bahari Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi: Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung

1). Mengkaji kesesuaian kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi kategori diving dan snorkling , 2). enganalisis daya dukung (carryng capacity ) kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi, dan 3). Menentukan arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari berbasis ekologi di Pulau Sebesi.

Metode Line Intercept Transect (LIT) untuk penentuan kondisi tutupan komunitas karang. Data ikan karang diperoleh dengan metode Underwater Visual Census (UVC) pada transek terumbu karang yang sama yaitu metode untuk mengidentifikasi ikan karang melalui pengamatan terhadap ikan-ikan karang yang ditemukan pada jarak 2.5 meter ke kiri dan kanan di garis transek

Kesesuaian kawasan wisata bahari untuk kategori diving pada Pulau Umang dan Segenom. Kategori snorkling di Bangunan, Regan Lada dan Sianas. Daya dukung (carryng capacity ) kawasan wisata bahari Arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari Pulau Sebesi. Peningkatan SDM, Pemberdayaan Masyarakat, Upaya pencegahan kerusakan terumbu karang, Pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang secara optimal.

7. Megan Elizabeth Silbert (2011)Small Island Economic Vulnerability To Natural Disasters

Mengkaji kerentanan pulau kecil terhadap risiko bencana alam. Secara khusus menganalisis dampak yang berbeda akibat bencana alam di negara pulau dan rumah tangga di negara tersebut dalam menghadapi frekuensi bencana alam yang meningkat dalam waktu yang panjang.

Fokus pada penelitian pulau kecil, menggunakan pendekatan kerentaan bencana alam untuk mengesplorasi perbedaan kedapatan, risiko dan akses terhadap sumber daya yang memungkinkan dapat menyebabkan bertambahnya nilai kerugian akibat bencana alam. Analisis menggunakan Negative binomial regression.

Penelitian ini memberikan wawasan tentang hubungan antara pembangunan ekonomi dan risiko bencana alam dengan mengkaji hubungan antara kedapatan risiko, asuransi diri, dan tingkat kekayaan.

8. Adriman (2012)Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan Di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau.

(1) menganalisis kondisi terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya;(2) menganalisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang; (3) mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan; dan (4) membangun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan.

Analisis Komponen Utama (PCA), Metode Pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS), dan analisis prospektif.

Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang untuk dimensi ekolog, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur, strategi implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur

23

No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil9. Senawi (2007)

Pemodelan Spasial Ekologis Untuk Optimalisasi Penggunaan Lahan DAS (Kasus di DAS Solo hulu)

(1) Identifikasi karakteristik biogeofisik bentanglahan dan pemodelan spasial ekologis lahan yang representatif untuk evaluasi lahan dalam optimalisasi lahan penggunaan DAS(2) Mengkaji kesesuaian spasial ekologis bentuk penggunaan lahan aktual terhadap arahan fungsi kawasan dan kelas kemampuan lahan DAS(3) Mengkaji dampak penggunaan lahan aktual terhadap erosi tanah dan degradasi lahan, koefisien aliran permukaan dan indeks kekeringan DAS(4) Menghitung nilai faktor konversi bentuk penggunaan lahan untuk mengestimasi nilai erosi tanah permukaan, koefisien aliran permukaan, dan indeks kekerigan berdasarkan genesis geomorfologi bentanglahan DAS

Pemodelan spasial ekologis bentanglahan dengan pendekatan genesis geomorfologi bentuklahan, arahan fungsi kawasan,kemampuan lahan, perhitungan erosi (USLE), perhitungan neraca air dan optimalisasi penggunaan lahan melalui pemodelan linear programming menggunakan program QSB+

(1) Penggunaan lahan aktual terbukti banyak yang tidak sesuai dengan karakteristik dan potensi biogeofisik DAS(2) Lahan hutan terbukti memiliki kemampuan pengendalian tata air dan erosi tanah paling baik dibanding penggunaan lahan yang lain.(3) Kebutuhan luas hutan optimal setiap DAS tidak sama tergantung genesis geomorfologi bentuk lahan, kepekaan tanah,kemiringan lahan dan komposisi penggunaan lahan yang lain.

9. Sulthani Aziz (2015)Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Pulau Kecil di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau.

(1) Mengkaji potensi dan permasalahan DAS di Pulau Bintan sebagai dasar penyusunan kinerja DAS Pulau Bintan.(2) Mengevaluasi dan memetakan model kinerja DAS Pulau Bintan berdasarkan potensi dan permasalahannya sebagai dasar penyusunan strategi pengelolaan DAS Pulau kecil. (3) Menyusun strategi dan kebijakan pengelolaan DAS di Pulau Bintan sebagai model pengelolaan DAS Pulau Kecil

Metode survei, Analisis potensi lahan dengan LCLP (Landuse Classification and Landuse Planning), Geowepp, Pendekatan Kinerja DAS dan Spasial Multi Criteria Analysis

Sedang dilaksanakan

24

Gambar 1.2. Diagram Kedudukan dan Keaslian Penelitian