aspek hukum pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta
TRANSCRIPT
TESIS
ASPEK HUKUM PERTANGGUNGJAWABANNOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA
PERJANJIAN NOMINEE
AYU PRITA MELLYANA DEWI
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
1
TESIS
ASPEK HUKUM PERTANGGUNGJAWABANNOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA
PERJANJIAN NOMINEE
AYU PRITA MELLYANA DEWINIM. 1292461017
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
i
2
ASPEK HUKUM PERTANGGUNGJAWABANNOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA
PERJANJIAN NOMINEE
Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magisterpada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Udayana
AYU PRITA MELLYANA DEWINIM. 1292461017
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANAUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2015
ii
3
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL
Pembimbing I Pembimbing II
Prof.Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MS. I Nyoman Sumardika, SH.,M.Kn.NIP. 19461231 197602 1 001
Mengetahui :Ketua Program Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.HumNIP. 19640402 198911 2 001
iii
4
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan dibawah ini :
Nama : AYU PRITA MELLYANA DEWI
NIM : 1292461017
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : ASPEK PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS
DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN NOMINEE.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 26 Mei 2015
Yang membuat pernyataan
(Ayu Prita Mellyana Dewi)
iv
5
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun judul tesis
ini adalah “ASPEK HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN NOMINEE.” Dalam penulisan tesis ini,
penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu besar harapan
penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih
gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari
para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing pertama
penulis, yaitu Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MS dan Bapak Notaris/PPAT I
Nyoman Sumardika, SH.,M.Kn., sebagai pembimbing kedua penulis yang telah
dengan sabar memberikan dukungan, bimbingan dan juga saran kepada penulis
dalam proses penyelesaian tesis ini.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,
Sp.PD., KEMD. Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan
untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Terimakasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A RakaSudewi,
Sp.S.(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa pada Program
v
6
Pascasarjana Universitas Udayana dan kepada Dr. Desak Putu Dewi Kasih,
SH.,M.Hum, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Udayana atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Udayana.
Terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak/Ibu Dosen Pengajar pada
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah
memberikan ilmu kepada penulis, kepada Bapak/Ibu staf administrasi Program
Studi Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dan
dukungan selama perkuliahan dan penyusunan tesis ini. Terimakasih penulis
ucapkan kepada para penguji yaitu Bapak Dr. I Gede Yusa, SH.,MH, Bapak Dr.
Gede Marhaendra Wija Atmaja SH.,M.Hum dan Bapak Dr. I Wayan Wiryawan
SH.,MH. yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis demi
penyelesaian tesis ini.
Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada keluarga tercinta,
Ayah I Wayan Rawan Atmaja, SH.,Sip, Ibu Ni Made Meli Sudiathi,
SH.,SPdAUD, MPd., Kakak Agus Kurnia Atmaja, S.Par., Adik Nyoman Nila
Kusuma Atmaja, dan Ketut Arta Kusuma Atmaja untuk doa, dukungan, semangat
dan nasehat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
ini.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Notaris/PPAT Olivia Christie
Sulendra, S.H.,M.Kn beserta staf pegawai atas ilmu dan permaklumannya selama
perkuliahan dan penyelesaian tesis ini. Terimakasih kepada teman-teman tercinta
vi
7
Ni Wayan Mesir, SH., Putu Vera Purnama Diana, SH.,M.Kn., I.G.A. Made
Semilir Susila, SH.,M.Kn., Putu Wulandari Savitri, SH., Arindi Ayudia
Darmayanti, SH., Gede Rahadi Wiguna, SH.,M.Kn., Dwi Andika Prayojana, SH,
I Gede Putu Yudi Kharisma, SH, I Gusti Agung Oka Diatmika, SH.,M.Kn, Eka
Rachman Wahyudi,SH serta teman-teman seperjuangan Angkatan IV Mandiri
Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas dukungan dan kebersamaannya
selama ini.
Sebagai akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan dalam bidang
Kenotariatan, serta berguna bagi masyarakat.
Denpasar, 26 Mei 2015
Penulis
vii
8
ABSTRAK
ASPEK HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAMPEMBUATAN AKTA PERJANJIAN NOMINEE
Penyelundupan hukum muncul sebagai suatu konsep baru yang dilahirkanoleh individu tertentu untuk mencapai keinginannya yang sesungguhnya telahdilarang oleh peraturan perundang-undangan. Penguasaan tanah hak milik olehorang asing dengan instrumen perjanjian nominee adalah merupakan perjanjiansimulasi absolut, yaitu tidak dipenuhinya syarat obyektif sahnya suatu perjanjianyang diatur dalam Pasal 1320 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dandilanggarnya ketentuan yang diatur pada Pasal 9 jo. Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2)Undang-Undang Pokok Agraria. Terkait dengan itu maka diangkat duapermasalahan, yaitu bagaimana tanggung jawab notaris dalam pembuatan aktaperjanjian nominee dan apakah akibat hukum terhadap akta perjanjian nominee.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang berangkat dariadanya konflik norma mengenai penguasaan tanah hak milik dengan asaskebebasan berkontrak. Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang,pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang digunakandalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder danbahan hukum tertier. Teknik pegumpulan bahan hukum yang digunakan adalahstudi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan yaitu pertanggungjawaban notaris dalampembuatan akta perjanjian nominee adalah memberikan penilaian terhadap isi aktadan memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan aktaperjanjian nominee. Pembuatan akta perjanjian nominee dapat menimbulkankerugian bagi pihak-pihak/penghadap sebagai akibat dari dapat terjadinyakebatalan demi hukum sehingga akan membawa notaris ke dalampertanggungjawaban berupa sanksi perdata yaitu penggantian biaya, ganti rugidan bunga. Selain itu, dengan melaksanakan pembuatan perjanjian nominee makanotaris telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam ranah administrasimaka telah melanggar kode etik jabatan notaris sehingga membawapertanggungjawaban atas sanksi berupa teguran, peringatan, skorsing darikeanggotaan Perkumpulan, pemecatan dari keanggotaan Perkumpulan, danpemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan. Akibathukum akta perjanjian nominee adalah dapat terjadi kebatalan karena hukum, danakta perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dapat dengan sendirinya bataldemi hukum sehingga hak dan kewajibannya yang timbul dari perjanjian tersebutjuga dianggap tidak ada.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Notaris, Perjanjian Nominee
viii
9
ABSTRACT
LEGAL ASPECT OF NOTARY RESPONSIBILITYIN MAKING NOMINEE AGREEMENT DEED
Smuggling of law emerged as a new concept born by certain individualsto achieve real desire that has been banned by legislation. Land tenure rightsowned by foreigners with nominee agreement instruments is an absolutesimulation agreement, which does not fulfill the requirements of objective validityof an agreement under Article 1320 verse (4) of the Civil Law Act and violation ofthe provisions set forth in Article 9 jo. Article 21 and Article 26 verse (2) of theBasic Agrarian Law. Associated with it then raised two issues, namely how theresponsibility of the notary in the making of nominee agreement deed and whetherthe legal consequences to the nominee agreement deed.
This research is normative legal research started from the existence ofnorm conflict regarding land tenure rights with contract freedom principle. Thisresearch used legal statute, conceptual approach, and case approach. The legalmaterial used in this research is primary legal material, secondary legal materialand tertiary legal material. The technique of legal material collection used isliterature study.
The result of the research showed that the responsibility of the notary inmaking nominee agreement deed is to give assessment to the content of the deedand give legal guidance in accordance with nominee agreement deed making. Themaking of nominee agreement deed can cause the loss for the parties/ appearersas a result of the possibility of the cancellation for law so that will bring thenotary into responsibility in the form of civil sanctions such as replacing the cost,compensation and interest. Moreover, by implementing the making of the nomineeagreement notary has committed an unlawful act in the realm of theadministration and had violated the notary office code of ethics so bringresponsibility upon the sanctions in the form of reprimand, warning, suspensionfrom membership of the Association, dismissal of the Society membership, anddishonorable discharge of the Association membership. The legal effect ofnominee agreement deed is the possibility of nullification of law, and agreementdeed signed by both parties can by itself null and void so that the rights andobligations arising from this agreement are also considered as absent.
Key words: Responsibility, Notary, Nominee Agreement
ix
10
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai aspek hukum pertanggung jawabannotaries dalam pembuatan akta perjanjian nominee. Bab I menguraikan latarbelakang mengenai konflik norma pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang menyebutkan bahwa hanya WargaNegara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, airdan ruang angkasa, serta dengan jelas mengatur bahwa hanya Warga NegaraIndonesia yang dapat mempunyai hak milik. Dalam tesis ini pasal tersebutbertentangan dengan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdatamengenai asas kebebasan berkontrak. Notaris dalam jabatannya sebagai pejabatyang berwenang untuk membuat akta autentik berkewajiban untuk memberikanpenyuluhan hukum kepada masyarakat baik Warga Negara Indonesia maupunWarga Negara Asing yang akan membuat suatu perjanjian agar tidak bertentangandengan hukum yang berlaku serta menghindari terjadinya penyelundupan hukum.Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka diuraikan juga mengenairumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis danmetode penelitian.
Bab I, menguraikan tentang tinjauan umum. Tinjauan umum dijabarkanmenjadi 3 (tiga) sub bab antara lain tinjauan tentang notaris, tinjuan tentangperjanjian dan tentang kebatalan. Pertama, pada tinjauan umum tentang notaris,dibahas mengenai sejarah notaris, notaris sebagai pejabat umum, kewenangan dankewajiban notaris serta kode etik profesi notaris. Kedua, pada tinjauan tentangperjanjian membahas mengenai pengertian perjanjian, bentuk-bentuk perjanjiandan syarat sahnya perjanjian. Ketiga, membahas tentang pengertian kebatalan,dapat dibatalkan dan batal demi hukum.
Bab III, merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalahyang pertama, dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab yaitu pertama membahas dasarhukum jabatan notaris yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.Kedua membahas mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yangberwenang untuk membuat akta autentik. Ketiga membahas mengenai tanggungjawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris serta kode etik notaris.
Bab IV, merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalahkedua yang dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab yaitu yang pertama membahasmengenai perjanjian nominee yang digunakan sebagai instrumen hukumpenguasaan tanah yang dibuat orang asing dengan Warga Negara Indonesia,dengan maksud agar orang asing tersebut dapat menguasai sepenuhnya tanah hakmilik di Indonesia dengan menggunakan nama Warga Negara Indonesia. Dalampembahasan kedua, membahas mengenai kaitan antara perjanjian nominee danpenyelundupan hukum. Ketiga, membahas mengenai akibat hukum apa yangditimbulkan dari pembuatan akta perjanjian nominee.
Bab V, merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dansaran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa aspek hukumpertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta perjanjian nominee dapat
x
11
adalah pertanggungjawaban secara perdata, pidana dan kode etik notaris. Akibathukum terhadap akta perjanjian nominee adalah dapat membuat batalnya aktademi hukum. Akta perjanjian nominee tersebut dapat batal demi hukum apabilamengandung unsur itikad tidak baik dalam hal ini melanggar undang-undang olehpara pihak yang bertujuan untuk memberikan ruang kepada Warga Negara Asinguntuk menguasai tanah hak milik di Indonesia. Saran yang diberikan adalahkepada pemerintah agar memberikan sanksi tegas terhadap oknum-oknum yangmenerapkan penyelundupan hukum terhadap penguasan hak milik atas tanahWarga Negara Asing. Kepada notaris, agar memegang teguh dan melaksanakansumpah/janji jabatan yang diucapkan sebelum memulai tugas dan jabatannyasebagai bentuk tanggung jawab dan juga agar notaris seharusnya memberikaninformasi dan penyuluhan hukum kepada para penghadap baik itu Warga NegaraIndonesia maupun Warga Negara Asing sebelum menuangkan kehendak ke dalamsutau pembuatan akta sehingga tercipta perlindungan hukum serta kepastianhukum.
xi
12
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN
SAMPUL DALAM ........................................................................................ i
PRASYARAT GELAR ................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................ iv
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
ABSTRACT ..................................................................................................... ix
RINGKASAN ................................................................................................ x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 11
1.3. Tujuan Penelitian...................................................................... 12
1.3.1. Tujuan Umum............................................................... 12
1.3.2. Tujuan Khusus .............................................................. 13
1.4. Manfaat Penelitian.................................................................... 13
1.4.1. Manfaat Teoritis............................................................ 13
1.4.2. Manfaat Praktis ............................................................. 13
1.5. Landasan Teoritis ..................................................................... 14
1.5.1. Teori Penguasaan Tanah............................................... 14
xii
13
1.5.2. Teori perjanjian nominee .............................................. 18
1.5.3. Teori pertanggungjawaban (notaris) ............................ 24
1.5.4. Teori pertanggungjawaban perdata............................... 29
1.6. Metode Penelitian..................................................................... 33
1.6.1. Jenis penelitian.............................................................. 35
1.6.2. Jenis pendekatan ........................................................... 35
1.6.3. Sumber bahan hukum ................................................... 36
1.6.4. Teknik pengumpulan bahan hukum.............................. 37
1.6.5. Teknik analisis bahan hukum ....................................... 38
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN
PERJANJIAN ................................................................................ 39
2.1. Tinjauan Tentang Notaris......................................................... 39
2.1.1. Sejarah notaris .............................................................. 39
2.1.2. Notaris sebagai pejabat umum...................................... 40
2.1.3. Kewenangan dan kewajiban notaris ............................. 48
2.1.4. Kode etik profesinotaris................................................ 54
2.2. Tinjauan Tentang Perjanjian .................................................... 58
2.2.1. Pengertian perjanjian .................................................... 58
2.2.2. Bentuk-bentuk perjanjian.............................................. 61
2.2.3. Syarat sahnya perjanjian ............................................... 65
2.3. Tentang Kebatalan ................................................................... 68
2.3.1. Pengertian kebatalan..................................................... 68
xiii
14
2.3.2. Dapat dibatalkan (Vernietigbaarheid) .......................... 69
2.3.3. Batal demi hukum (Neitigbaarheid)............................. 71
BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN
AKTA PERJANJIAN NOMINEE ............................................... 75
3.1. TanggungJawab Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan
Notaris ...................................................................................... 75
3.2. BentukTanggungJawab Notaris Dalam PembuatanAkta
Perjanjian Nominee .................................................................. 84
3.2.1 TanggungJawab Notaris Dari Segi Hukum
Administrasi.................................................................. 98
3.2.2 TanggungJawab Notaris Dari Segi Hukum Perdata ..... 100
3.2.3 TanggungJawab Dari Segi Hukum Pidana ................... 113
3.2.4 TanggungJawab Notaris Dari Segi Kode Etik Notaris . 130
BAB IV AKIBAT HUKUM AKTA PERJANJIAN NOMINEE .............. 137
4.1. Perjanjian Nominee .................................................................. 137
4.2. Perjanjian Nominee dan Penyelundupan Hukum..................... 139
4.3. Akibat Hukum Akta Perjanjian Nominee................................. 144
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 148
5.1. Kesimpulan .............................................................................. 148
5.2. Saran-Saran ............................................................................. 149
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 151
LAMPIRAN
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara hukum, pernyataan tersebut diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam
amandemennya yang ketiga tanggal 10 November 2001. Sebagai konsekuensi dari
paham Negara hukum, maka seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara harus berdasarkan pada dan tidak boleh menyimpang
pada norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia, artinya hukum harus
dijadikan panglima dalam setiap penyelesaian permasalahan yang berkenaan
dengan individu, masyarakat dan Negara.
Dalam kepustakaan hukum Indonesia terdapat beragam pengertian
Negara hukum yang diartikan oleh para ahli hukum. Mochtar Kusumaatmadja
memberikan pengertian Negara hukum sebagai Negara yang berdasarkan hukum,
dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan
hukum.1 Sementara H.Muchsin memberikan ciri-ciri khusus dari suatu Negara
hukum yaitu :
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
1Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asasHukum Nasional Dimasa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta,hal.1.
2
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suau
kekuasaan atau kekuatan apapun juga ; dan
3. Legalitas dalam segala bentuknya.2
Philipus M.Hadjon mendeskripsikan konsep Negara hukum Pancasila
yaitu terjalinnya hubungan fungsional yang professional antara kekuasaan-
kekuasaan Negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, sedangkan
peradilan merupakan sarana terakhir dan tentang hak-hak asasi manusia tidaklah
hanya menekan hak dan kewajiban.3 Pengertian resmi mengenai Negara hukum
tercantum dalam penjelasan Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 37 tahun
2008 Tentang Ombusdman Republik Indonesia yang dirumuskan : “Negara
hukum adalah negara yang termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus
berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang bertujuan
meningkatkan kehidupan demokratis yang sejahtera, berkeadilan, dan
bertanggung jawab”.
Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum yang berisikan kebenaran dan keadilan. Agar kepentingan manusia
terlindungi hukum harus dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya hukum
dapat berjalan seara normal, tertib dan efektif, tetapi dapat juga terjadi
pelanggaran hukum. Dalam hal terjadi pelanggaran hukum maka harus dilakukan
upaya penegakkan hukum, inilah hukum ini menjadi kenyataan.
2 H.Muchsin, 2005, Ikhtisar Hukum Indonesia, Badan Penerbit Islam,Jakarta, hal.11.
3 Philipus M.Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat DiIndonesia, Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsip Penanganannya Oleh PengadilanDalam Lingkugan Peradilan Umum Dan Pembentukkan Peradilan Administrasi,Pradaban, Surabaya, hal.80.
3
Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam penegakkan hukum lazimnya
terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum
(rechtssicherheit), kemanfaatan (zueckmassigkzit), dan keadilan (gerechtigkeit).4
Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dalam lalu lintas hukum pada
umumnya memerlukan alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan
kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Dalam kaitannya
dengan pembuktian kepastian hak dan kewajiban hukum seseorang dalam
kehidupan masyarakat, salah satunya dilakukan dengan peran yang dimainkan
oleh notaris. Pentingnya peranan notaris dalam membantu menciptakan kepastian
dan perlindungan hukum bagi masyarakat, lebih bersifat preventif, atau bersifat
pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara penerbitan akta autentik yang
dibuat di hadapannya terkait dengan status hukum, hak dan kewajiban seseorang
dalam hukum berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan
dalam hal terjadi sengketa antara para pihak dan/atau penerima hak dari padanya
mengenai hak dan kewajiban yang terkait.
Pentingnya notaris juga dapat dilihat dari kepastiannya dalam
memberikan legal advice, dan melakukan verifikasi terhadap sebuah perjanjian,
apakah sebuah perjanjian telah dibuat sesuai dengan kaidah pembuatan perjanjian
yang benar dan tidak merugikan salah satu pihak, atau perjanjian tersebut dibuat
dengan tidak memenuhi syarat. Sebaliknya apabila tugas dan wewenang yang
diberikan oleh negara kepada notaris tidak dilaksanakan dengan tepat dan sebaik-
baiknya, maka kekeliruan dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh notaris dapat
4Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang PenemuanHukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, hal.1.
4
menimbulkan terganggunya kepastian hukum dan rasa keadilan di dalam
masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491) (selanjutnya
disebut UUJN-P) jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) (selanjutnya
disebut UUJN), notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Sebagai pejabat
umum yang memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat secara profesional,
notaris wajib untuk patuh dan tunduk kepada aturan-aturan yang membatasi,
mengatur dan juga menuntun perilaku notaris dalam melaksanakan jabatannya.
Hal ini sesuai dengan sumpah/janji jabatan notaris yang termuat dalam Pasal 4
ayat (2) UUJN-P bahwa seorang notaris akan patuh dan setia kepada:
1. Pancasila;
2. UUD 1945;
3. Undang-undang Jabatan Notaris;
4. Peraturan perundang-undangan lainnya;
5. Kode Etik Notaris.
5
Profesi notaris dikenal dalam anggapan masyarakat sebagai profesi yang
terhormat (Officium Nobile) karena profesi ini bertugas melayani masyarakat
umum, tugas pelayanan itulah yang mengangkat kehormatan dan wibawa notaris
sebagai sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi yang membutuhkan
keprofesionalitasan maka tanggung jawab notaris sebagai seorang profesional
terhadap klien sangat berat, dimana ia harus memegang teguh etika profesi.
Memegang teguh etika profesi sangat erat hubunganya dengan pelaksanaan tugas
profesi dengan baik, karena didalam kode etik profesi itulah ditentukan segala
prilaku yang dimiliki oleh seorang notaris. Namun sebagaimana dua sisi mata
uang, kedudukan yang terhormat juga memberikan beban dan tanggung jawab
bagi setiap notaris untuk menjaga wibawa dan kehormatan profesinya tersebut.
Notaris selaku pejabat yang berwenang membuat akta autentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1)
UUJN-P, harus dapat mempertimbangkan dan menganalisa dengan cermat dalam
proses pembuatan akta autentik tersebut sejak para pihak datang menghadapnya
dan mengemukakan keterangan-keterangan baik berupa srayat-syarat formil
maupun syarat-syarat administrasi yang menjadi dasar pembuatan akta sampai
dengan tanggung jawab terhadap bentuk akta autentik tersebut. Hal ini
dikarenakan berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN-P, notaris diberikan
kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta.
6
Notaris dalam hal membuat alat bukti tertulis yang merupakan alat bukti
autentik, adalah merelatir kehendak dari para pihak/penghadap untuk dinyatakan
dalam akta yang dibuat dihadapannya, agar tidak melanggar undang-undang,
sekaligus agar kehendak para pihak terlaksana secara baik dan benar. Dengan
merelatir dan melakukan fungsi sebagai pejabat publik yang berwenang untuk
memberikan penyuluhan hukum tersebut bisa diartikan notaris tidak pasif atau
berperan sebagai dictaphone yang hanya menerima begitu saja apa yang diminta
oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta, tetapi juga harus berperan aktif
dengan membuat penilaian terhadap isi dari akta yang dimintakan kepadanya dan
tidak perlu ragu untuk menyatakan keberatan/menolak jika pihak yang
memintanya tidak sesuai dengan kelayakan maupun undang-undang. Fungsi
keberadaan notaris di dalam memberikan jasanya sekaligus agar tidak berbenturan
maupun melanggar hukum, karena fungsi notaris adalah secara professional
terikat, sejauh kemampuannya untuk mencegah penyalahgunaan dari ketentuan
hukum dan kesempatan yang diberikan oleh hukum. Perlu menjadi perhatian
bahwa notaris bukan merupakan juru tulis kliennya, oleh karena itu notaris perlu
mengkaji apakah yang diminta para klien tidak melanggar/bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, atau bahkan telah terjadi praktek penyelundupan
hukum.5
Dewasa ini penyelundupan hukum dengan akta notariil dianggap sebagai
jalan keluar untuk melewati batasan-batasan dalam beberapa tindakan tertentu
yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Penyelundupan hukum
5A.A.Andi Prajitno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan SiapaNotaris Di Indonesia, Putra Media Nusantara, Surabaya, hal.3-4.
7
muncul sebagai suatu konsep baru yang dilahirkan oleh individu tertentu untuk
mencapai keinginannya yang sesungguhnya telah dilarang oleh peraturan
perundang-undangan. Salah satu tindakan yang melahirkan konsep baru sebagai
upaya penyelundupan hukum adalah keinginan orang asing untuk
memiliki/menguasai hak milik atas tanah di Indonesia dengan instrumen
perjanjian nominee secara notariil. Dengan kata lain suatu perjanjian nominee
merupakan perjanjian yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak
dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (hak milik), dalam hal ini yakni
orang asing dengan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI), dengan
maksud agar orang asing tersebut dapat menguasai (memiliki) tanah hak milik
secara de facto, namun secara legal-formal (dejure) tanah hak milik tersebut
diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh orang
asing (bertindak selaku nominee).6
Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2043 (selanjutnya disebut UUPA) dengan jelas
menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya
dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta dengan jelas mengatur bahwa hanya
WNI yang dapat mempunyai hak milik. Hal ini kemudian dipertegas kembali
dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yaitu disebutkan setiap jual beli, penukaran,
6Maria S.W. Sumardjono, 2012, Penguasaan Tanah Oleh Warga NegaraAsing Melalui Perjanjian Nominee, Rapat Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia(INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Denpasar, hal.2
8
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warga negara disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada negara.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UUPA apabila orang asing memperoleh
tanah hak milik karena warisan atau akibat percampuran harta, maka hak milik
tersebut wajib dilepaskan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya
hak tersebut. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakan maka hak milik atas tanah
tersebut menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.7
Sebagaimana telah diketahui kenyataan ini terjadi, sesuatu yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,yaitu penguasaan hak milik
atas tanah oleh orang asing jelas secara implisit dilarang oleh UUPA sebagaimana
telah dipaparkan di atas, masih ada notaris yang bersedia mengakomodir
penguasaan hak milik atas tanah oleh orang asing dengan membuatkan akta
perjanjian nominee. Akta notariil yang bermaksud memindahkan tanah hak milik
secara tidak langsung kepada orang asing tersebut misalnya adalah dibuat dalam
bentuk akta pernyataan kepemilikan dan akta kuasa tersebut dapat menimbulkan
akibat hukum dan akan membawa notaris selaku pejabat yang berwenang dalam
membuat akta memiliki tanggung jawab dari segi aspek hukum dan kode etik.
7 Gde Widhi Wiratama, Ida Bagus Rai Djaja, Pengaturan MengenaiPerjanjian Nominee Dan Keabsahannya (Ditinjau Dari Kitab Undang-UndangHukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang PeraturanDasar Pokok-Pokok Agraria), Makalah. Hukum Bisnis Fakultas HukumUniversitas Udayana, hal. 3.
9
Dalam kaitan hal itulah penulis tertarik untuk meneliti “ASPEK HUKUM
PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA
PERJANJIAN NOMINEE”.Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui
mengenai tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian nominee dan
mengetahui apakah akibat hukum terhadap akta perjanjian nominee.
Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original atau asli karena
belum ada penelitian secara khusus menulis dengan judul ini, meskipun demikian
ada beberapa tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substantial. Adapun judul
beserta rumusan masalah penelitian lain yang tidak sama dengan penelitian ini
adalah :
1. Tesis berjudul Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi Warga Negara Asing Dan
Kewarganegaraan Ganda, yang disusun pada tahun 2012 oleh Michael Wisnoe
Berata mahasiswa Program Studi Kenotariatan Universitas Indonesia
Depok.Tesis ini membahas tentang kepemilikan hak-hak atas tanah bagi
Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA) yang ditinjau dari UUPA
dan Undang-Undang Kewarganegaraan, dalam kesimpulannya disebutkan
bahwa seseorang selain mempunyai kewarganegaraan Indonesia, juga
mempunyai kewarganegaraan lain (asing). Hal ini dapat terjadi karena adanya
perkawinan campuran antara WNI dengan WNA, yang menyebabkan anak-
anak keturunan mereka akan mempunyai kewarganegaraan ganda. Apabila
anak hasil dari perkawinan campuran tersebut tetap menginginkan
kewarganegaraan Indonesia-nya tidak hilang, anak-anak keturunannya juga
tetap sebagai WNI, dan agar dapat memiliki tanah yang berstatus hak milik
10
atau hak guna bangunan, maka harus diperlakukan sebagai seorang WNI
sampai berusia 18 tahun, apabila nanti ingin melepaskan WNI-nya barulah
sertipikat tanah-nya gugur dan kembali ke Negara.
2. Tesis yang berjudul Wanprestasi Dalam Penggunaan Nominee Pada Perjanjian
Yang Dibuat Dibawah Tangan Berkaitan Dengan Kepemilikan Tanah Di Bali
yang disusun pada tahun 2010 oleh G. Agus Permana Putra, mahasiswa
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang.
Tesis ini membahas tentang penggunaan nominee pada perjanjian dibawah
tangan sah atau tidak ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria dan
bagaimana akibat hukum apabila WNI wanprestasi dalam penggunaan
nominee pada perjanjian yang dibuat dibawah tangan, dalam kesimpulannya
disebutkan bahwa penggunaan nominee pada perjanjian dibawah tangan
dikatakan perjanjian simulasi sehingga dapat menjadi penyebab perjanjian
tersebut tidak sah atau batal demi hukum, dan dalam kesimpulan kedua
disimpilkan bahwa wanprestasi dalam penggunaan nomineepada perjanjian di
bawah tangan diselesaikan dengan teknik non litigasi, musyawarah dan
negosiasi untuk mencapai mufakat dengan tetap terlaksananya ganti rugi dari
tindakan wanprestasi tersebut.
3. Tesis yang berjudul Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing Di
Kabupaten Badung yang disusun pada tahun 2007 oleh I Nyoman Sumardika,
mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.Tesis
ini membahas mengenai bentuk perbuatan hukum apa saja yang dilakukan
WNA untuk mengikat WNI dalam menguasai tanah di Kabupaten Badung dan
11
bagaimana bentuk penguasaan tanah oleh WNA di Kabupaten Badung yang
berindikasi penyelundupan hukum”, dalam kesimpulannya disebutkan bahwa
bentuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh WNA untuk mengikat WNI
dalam menguasai tanah di Kabupaten Badung adalah melalui instrument akta
notaris berupa Akta Sewa Menyewa Tanah, Akta Perjanjian Pendahuluan
Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Akta Kuasa, Akta
Perjanjian Pembaharuan Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Akta
Perjanjian Pendahuluan Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Akta
Perjanjian Pembaharuan Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Akta Pengakuan
Hutang Dengan Jaminan, Akta Pernyataan Dan Kuasa, Akta Kuasa
Menggunakan Dan Mendirikan Bangunan, Akta Kuasa Menyewakan, Akta
Pemberian Hak Tangunggan, Akta Kuasa Menjual, Akta Kuasa Roya, dan
Akta Perpanjangan Sewa Menyewa. Adapun mengenai bentuk penguasaan
tanah oleh WNA di Kabupaten Badung yang berindikasi penyelundupan
hukum adalah terjadinya pemilikan semu berkarakter “Hak Milik Plus” karena
secara formal WNA tidak memiliki tanah namun secara material melalui
instrument akta notaris, WNA dapat menguasai tanah melebihi sifat hak milik,
misalnya kebal hukum dan tidak hapus karena fungsi sosial tanah.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah
yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai
berikut:
12
1. Bagaimana tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian
nominee?
2. Apakah akibat hukum terhadap akta perjanjian nominee?
1.3. Tujuan Penelitian
Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus
memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan
penulisan ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang
bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan umum
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk melatih diri dalam
menyampaikan pikiran secara tertulis, melaksanakan Tri Dharma Perguruan
Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa
mengenai suatu permasalahan hukum, sebagaimana yang dibahas dalam penelitian
ini terkait dengan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian
nominee. Selain itu penulisan ini juga bertujuan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum Kenotariatan, sebagai media untuk
mengemukakan pendapat secara tertulis, kritis dan sistematis serta objektif, serta
sebagai pemenuhan syarat untuk menyelesaikan jenjang strata 2 (dua) di Magister
Kenotariatan Universitas Udayana.
13
1.3.2. Tujuan khusus
Penulisan ini bertujuan khusus untuk mengetahui batasan tanggungjawab
notaris dalam pembuatan akta perjanjian nomine. Selain itu bertujuan pula untuk
menganalisis akibat hukum terhadap akta perjanjian nominee.
1.4. Manfaat Penelitian
Setiap penulisan yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan
manfaat. Manfaat tersebut baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan
ilmu pengetahuan.
1.4.1. Manfaat teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberikan masukan atau sumbangan
pemikiran guna pengembangan ilmu hukum. Pengembangan ilmu hukum yang
dimaksud khususnya hukum kenotarisan dan hukum perjanjian di bidang
kenotariatan, terkait dengan tanggung jawab seorang notaris dan akibat hukum
suatu perjanjian nominee.
1.4.2. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi pihak yang terkait dengan penulisan dan pembahasan tesis ini. Pihak yang
dimaksud adalah:
1. Bagi masyarakat, diharapkan mendapatkan informasi mengenai akibat hukum
perjanjian nominee yang sering dijadikan sarana oleh orang asing untuk
menguasai tanah hak milik di wilayah Indonesia.
14
2. Bagi praktisi hukum khususnya notaris, diharapkan menambah pemahaman
mengenai tugas dan jabatannya sehingga dapat memberikan penyuluhan
hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Dengan demikian dalam
membidani lahirnya suatu akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapannya,
seorang notaris dapat dengan tepat menerapkan hukum sesuai dengan
peraturan dan ketentuan undang-undang yang berlaku.
1.5. Landasan Teoritis
Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum, maka pembahasan
adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep
hukum dan asas-asas hukum.Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis
dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk
menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.8
1.5.1. Teori penguasaan tanah
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai baik dalam arti
fisik maupun dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan beraspek publik.
Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya
memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah
yang dimiliki tersebut. Penguasaan yuridis yang seharusnya memberi kewenangan
untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya bisa saja
penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain. Misalnya, apabila tanah yang
dikuasai tersebut disewakan kepada pihak lain maka tanah tersebut dikuasai
8Salim H.S, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, RajawaliPers, Jakarta, hal. 54.
15
secara fisik oleh pihak lain dengan hak sewa. Atau tanah tersebut dikuasai secara
fisik oleh pihak lain tanpa hak, dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak
penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang
bersangkutan secara fisik kepadanya.9
Hukum tanah mengenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor
pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah
yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang
empunya tanah.10
Hak penguasaan atas tanah adalah hak penguasaan yang didasarkan pada
suatu hak maupun suatu kuasa yang pada kenyataannya memberikan wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya orang yang
mempunyai hak. Menurut Oloan Sitorus pengertian penguasaan dalam hak
penguasaan atas tanah berisi kewenangan yang luas, bahkan hak penguasaan atas
tanah lebih luas dari pada hak atas tanah.11 Susunan penguasaan hak atas tanah
secara berjenjang dalam hukum tanah nasional adalah sebagai berikut:12
1. Hak Bangsa sebagaimana dalam Pasal 1 UUPA, merupakan hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam wilayah negara,
yang merupakan tanah bersama. Hak bangsa ini dalam Penjelasan Umum
9Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: sejarah pembentukanundang-undang pokok agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,hal.23.
10Ibid.11Oloan Sitorus, 2004, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah, Mitra
Kebijakan Hukum Tanah Indonesia, Jakarta, hal. 13.12Boedi Harsono, Op. Cit.,hal. 40-41.
16
Angka II dinyatakan sebagai hak ulayat yang diangkat pada tingkat yang
paling atas dan pada tingkat nasional meliputi semua tanah di seluruh wilayah
negara.
2. Hak menguasai dari negara yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
merupakan hak penguasaan terhadap hak atas tanah sebagai penugasan
pelaksana hak bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua
tanah bersama bangsa Indonesia.
3. Hak Ulayat dari masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataan
masih ada. Hak ulayat merupakan hak penguasaan hak atas tanah bersama
masyarakat Hukum Adat tertentu.
4. Hak Perorangan yang memberikan kewenangan untuk memakai, dalam arti
menguasai, menggunakan dan/atau mengambil manfaat tertentu dari suatu
bidang tanah tertentu, yang terdiri dari :
a. Hak atas tanah, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai yang ketentuan-ketentuan pokoknya terdapat dalam UUPA.
Disamping itu, juga ada hak lain dalam hukum adat setempat, yang
merupakan hak penguasaan atas tanah untuk dapat memberikan
kewenangan kepada pemegang haknya agar dapat memakai suatu bidang
tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi kebutuhan pribadi atau
usahanya (Pasal 4, 9, 26, dan Bab II UUPA).
b. Hak atas tanah wakaf merupakan penguasaan atas suatu bidang tanah
tertentu bekas hak milik (wakaf) yang oleh pemiliknya dipisahkan dari
harta kekayaan dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan
17
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Agama Islam
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 UUPA jo Pasal 1 PP Nomor 28
Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
c. Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah
dalam hukum tanah nasional, merupakan hak penguasaan hak atas tanah
yang memberi kewenangan kepada kreditur tertentu untuk menjual lelang
bidang tanah tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasaan piutang
tertentu dalam hal debitur wanprestasi dan mengambil pelunasan dari hasil
penjualan tersebut, dengan hak mendahului dari hak-hak kreditur yang
lain. Hal ini diatur dalam Pasal 57 UUPA jo Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,hak bangsa sebagaimana
urutan perjenjangan secara vertikal di atas menempati kedudukan tertinggi.
Selanjutnya hak menguasai negara yang bersumber dari hak bangsa pada
hakekatnya merupakan penugasan kepada negara untuk menguasai dalam arti
mengatur, mengurus dan mengawasi pelaksanaan penggunaan hak-hak atas tanah.
Pembatasan kekuasaan yang bersumber kepada otoritas penguasaan negara
tersebut merupakan pelaksanaan asas negara hukum Pancasila. Secara
konsepsional hak penguasaan negara ditujukan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat yang meliputi kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan
18
dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur.13
1.5.2. Teori perjanjian nominee
Perjanjian merupakan salah satu instrumen yang sangat penting sebagai
upaya untuk menjaga hak dan kewajiban para pihak sendiri sehingga transaksi
dapat dilaksanakan, dapat juga ditegaskan bahwa :In general, a promise, that
performance of which has economic significance, gives rises to right which will
be protected by court action, whereas a promise which has only social
significance does not give rise to such rights.14 Hal ini berarti bahwa secara umum
perjanjian dengan makna ekonomi akan memberikan hak perlindungan hukum,
sedangkan perjanjian yang hanya dengan makna sosial tidak memberikan hak-hak
tersebut.
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata) menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Perjanjian sebagaimana dimaksud adalah merupakan bentuk dari
perwujudan adanya suatu perikatan.
Dalam Pasal 1233 KUHPerdata tertulis “tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Pasal 1234 KUHPerdata
tertulis “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
13I Nyoman Sumardika, 2007, Penguasaan Tanah Oleh Warga NegaraAsing Di Kabupaten Badung, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta, hal. 39.
14Harold F. Lusk, Bussines Law, 1969, Principle and Cases, Homewood,Richard D. Irwin, Inc, Illinois, hal. 82.
19
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Perikatan sebagai bentuk perjanjian
merupakan undang-undang bagi para pihak yang terlibat. Oleh karena itu,
perjanjian merupakan kesepakatan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang
terkait di dalamnya.
Kesepakatan antara para pihak merupakan bagian dari syarat sahnya
suatu perjanjian. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4
(empat) syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;15
Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian
(consensus). Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia-sekata antara
pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Persetujuan kehendak
itu bersifat bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak
ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Sebelum ada persetujuan,
biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata dikatakan tidak cakap membuat
perjanjian ialah orang yang belum dewasa, di bawah pengampuan dan wanita
bersuami.Tapi sebagai perkembangannya wanita yang telah bersuami sudah
dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum.
Syarat kesatu dan kedua mengenai kata sepakat dan kecapakan dari para pihak
yang mengadakan perjanjian merupakan syarat subyektif yang bilamana tidak
15 G. Agus Permana Putra, 2010, Wanprestasi Dalam PenggunaanNominee Pada Perjanjian Yang Dibuat Dibawah Tangan Berkaitan DenganKepemilikan Tanah Di Bali, Program Studi Magister Kenotariatan UniversitasDiponegoro, Semarang, hal. 31.
20
dipenuhi maka perjanjian yang telah diadakan dapat dimintakan
pembatalannya.
3. Suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu
dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan pokok perjanjian. Prestasi itu
harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan.Apa yang
diperjanjikan juga harus jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak
disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah
untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul
perselisihan dalam melaksanakan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga
perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada objek
perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, maka perjanjian batal demi hukum
(void nietig).
4. Suatu sebab yang halal.
Sebab atau causa diartikan sebagai isi dari perjanjian. Sesuai dengan
pengertian Wirjono Prodjodikoro bahwa causa dalam perjanjian adakah isi
dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian
itu. 16 Mengenai isi dari perjanjian harus halal artinya tidak bertentangan
dengan undang-undang, norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Tidak
bertentangan dengan undang-undang dalam kaitan penguasaan tanah oleh
orang asing semestinya ditafsirkan bahwa perjanjian yang dibuat tidak
16Wirjono Prodjodikoro, 1980, Asas-Asas Perjanjian, Sumur, Bandung,hal.35.
21
bertentangan dengan UUPA. Secara subtantif ketentuan-ketentuan UUPA
yang tidak dapat disimpangi adalah Pasal 9, Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2).17
Selanjutnya mengenai syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat
obyektif, karena menyangkut perjanjiannya sendiri, atau obyek daripada
perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek atau para pihak tersebut. Bila
syarat ketiga dan keempat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum, berarti sejak semula dianggap tidak pernah terjadi suatu perjanjian.
Akibat dari kebatalan apakah karena batal demi hukum atau setelah adanya
tuntutan akan kebatalannya mempunyai akibat yang sama, yaitu tidak
mempunyai akibat hukum.18
Orang asing sebagai pemegang hak milik atas tanah sebenarnya tidak
mungkin terjadi. Karena seperti disebut di atas, hukum tanah nasional mengatur
bahwa hanya WNI saja yang berhak untuk memiliki tanah dengan hak milik di
wilayah Indonesia. Hukum tanah nasional tidak memberikan ruang bagi orang
asing untuk memiliki tanah dengan hak milik di wilayah Indonesia. Akan tetapi
Indonesian nominee digunakan sebagai upaya dengan maksud agar orang asing
dapat memiliki tanah secara absolut. Hal ini menjadi solusi untuk dapat
menguasai tanah hak milik yang dilakukan dengan membuat perjanjian antara
orang asing dan Indonesian nominee tersebut.
17Maria S.W Sumardjono, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan HakAtas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan HukumAsing, Kompas, Jakarta, hal. 17.
18Herlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di BidangKenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 381.
22
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia
dijadikan dasar sehingga Indonesian nominee secara sukarela sepakat untuk
mengikatkan dirinya sebagai pelaksana suatu perjanjian dengan orang asing yang
hendak membeli tanah dengan hak milik. Selain itu perjanjian antara orang asing
dan Indonesian nominee muncul karena dianggap adanya asas kebebasan
berkontrak yang berlaku di Indonesia. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
menyebutkan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas bahwa orang bebas untuk mengadakan kontrak dengan siapa pun
menyimpulkan adanya kebabasan dari seseorang untuk dapat melakukan
hubungan khususnya dalam bidang hukum. Bahkan asas ini oleh beberapa ahli
hukum dianggap bukan saja sebagai suatu hak subyektif melainkan juga
merupakan suatu hak asasi manusia untuk dapat melakukan komunikasi dengan
sesamanya ataupun untuk mengurus harta kekayaannya.19
Kebebasan berkontrak dalam arti kata materiil berarti bahwa para pihak
bebas mengadakan kontrak mengenai hal yang diinginkannya asalkan causa-nya
halal. Kebebasan berkontrak dalam arti formil adalah perjanjian yang terjadi atas
setiap kehendak dari para pihak.20 Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa pada
permulaan abad ini makin banyak pemerintah ikut campur dalam bidang hukum
perdata, seperti adanya peraturan sewa beli di Belanda dan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di
19C.Asser-A.S. Hartkamp, 1989, Verbintenissenrecht, Algemene Leer derOvereenkomsten, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, hal. 40.
20Herlien Budiono, Op. Cit, hal. 12.
23
Indonesia, yang mengakibatkan bahwa kebebasan berkontrak sudah semakin
berkurang dan berarah menjadi hukum kontrak yang direglementasikan.21 Oleh
karena itu, menurut Pitlo kebebasan berkontrak adalah suatu fictie.22
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu, sehingga
setiap orang/para pihak bebas membuat perjanjian yang isinya adalah apa saja
sesuai dengan kesepakatan yang dikehendaki bersama. Akan tetapi dengan
adanya ketentuan yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian seperti
tersebut di atas. Jadi asas kebebasan berkontrak itu sebenarnya dibatasi oleh
syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1320
ayat (3) dan (4) KUH Perdata yang harus ditaati agar perjanjian tidak batal demi
hukum terhindar dari kebatalan (perjanjian batal demi hukum) karena
dilanggarnya syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian.23
Suatu perjanjian dengan causa yang tidak halal dapat digunakan sebagai
alasan batalnya perjanjian.24Dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa
suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang
palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Ketentuan ini berhubungan pula
dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu sebab adalah
21 J.H.M. van Erp, 1990, Contract als Rechbetrekking, EenRechtsvergelijkende Studie, diss. Brabant, hal. 13.
22 A. Pitlo, 1969,Evolutie in het Privaatrecht, W.E.J. Tjennk-Willing,Haarlem, hal. 173.
23I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, ImplementasiKetentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, UdayanaUniversity Press, Denpasar, hal. 47 dan hal. 62.
24A.C. van Schaick, 1994, Contractsvrijheid en Nietigheid, W.E.J. TjeenkWillink, Zwoole, hal. 208.
24
terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum.
1.5.3. Teori pertanggungjawaban (notaris)
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus
hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang
luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang
pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan
kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya
atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-
undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan
meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang
dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat
kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility
menunjuk pada pertanggungjawaban politik.25
Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg
dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:
1. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya
itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab
ditujukan pada manusia selaku pribadi.
25 Ridwan H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja GrafindoPersada, Jakarta, hal. 335-337.
25
2. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan.
Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah
kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan
ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada
tanggung jawab yang harus ditanggung.26
Dalam kaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris maka diperlukan
tanggung jawab profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut
Komar Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan tanggung
jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan
dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab profesional
ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi
perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian
penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.27
Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku
manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya,
merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya.
Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian
dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu
dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh
26Ibid.,hal. 365.27 Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi
Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 82.
26
kesadaran intelektualnya.28 Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung
jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti
tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak
disadari akibatnya.
Sikap professional dalam notaris dalam memberikan pelayanannya
adalah dengan bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada masyarakat.
Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena integritas
moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam
memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-cita
luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena
sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan
memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan
bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu,
yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-
mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama
manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul
akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan
dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan
berdosa kepada Tuhan.29
Notaris dalam menjalankan jabatannya mempunyai tanggung jawab
moral terhadap profesinya. Menurut Paul F. Camanisch sebagaimana dikutip oleh
28Masyhur Efendi, 1994, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia DalamHukum Nasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 121.
29Abdulkadir Muhamad, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 60.
27
K. Bertens menyatakan bahwa profesi adalah suatu masyarakat moral (moral
community) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kelompok profesi
memiliki kekuasaan sendiri dan tanggung jawab khusus. Sebagai profesi,
kelompok ini mempunyai acuan yang disebut Kode Etik Profesi. 30 Kode etik
tersebut secara faktual merupakan norma-norma atau ketentuan, yang ditetapkan
dan diterima oleh seluruh anggota kelompok profesi.
Landasan filosofis dibentuknya UUJN adalah terwujudnya jaminan
kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran
dan keadilan melalui akta yang dibuat oleh notaris. Di dalam Pasal 1 angka 1
UUJN-P menyebutkan notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Notaris dalam
menjalankan kewenangannya tidak lepas dari tugas dan kewajibannya sebagai
pejabat umum yang diberi kepercayaan oleh masyarakat dalam membuat akta
autentik, dimana akta autentik merupakan alat bukti yang terkuat dan terpenuh,
yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum,
dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa.
Dengan bertambahnya tuntutan masyarakat akan pentingnya kekuatan
pembuktian suatu akta, menuntut peranan notaris sebagai pejabat umum harus
selalu dapat mengikuti perkembangan hukum dalam memberikan jasanya kepada
masyarakat yang memerlukan dan menjaga akta-akta yang dibuatnya untuk selalu
dapat memberikan kepastian hukum. Dengan demikian diharapkan bahwa
30 E.Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum : Norma-Norma BagiPenegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hal. 147.
28
keberadaan akta autentik sebagai produk hukum notaris akan memberikan
jaminan kepastian hukum bagi para pihak dengan menjadi alat bukti terkuat dan
terpenuh.
Notaris bukan hanya mengesahkan atau men-stempel akta perjanjian
tetapi ikut ambil bagian memenuhi dan merelatir kehendak pihak-pihak yang
memerlukan dan mengatur agar tidak melanggar/bertentangan dengan undang-
undang. Perlu diingat dan dipahami bahwa mengatur disini maksudnya adalah
notaris tidak boleh membantu pihak atau para pihak mencarikan jalan keluar atau
solusi dalam membuat akta-akta yang kelihatannya tidak melanggar dengan
membuat akta yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perilaku
seperti ini dapat dikatakan sebagai Dader Intelektual.31
Proses pembuatan akta sebagaimana tersebut di atas merupakan
penyelundupan hukum dan melanggar hukum serta melanggar sumpah jabatan
maupun sumpah pejabat. Permintaan pembuatan akta seperti tersebut, notaris
harus menolak secara tegas karena selain merupakan pelanggaran jabatan, akta
yang dibuat tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya pasti merugikan
pihak lain. Akta sebagaimana dimaksud salah satunya dikenal sebagai Akta
Antidateren, yaitu isi akta ditulis tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Contohnya adalah Akta Pernyataan Pembeli dalam perbuatan hukum jual beli
tanah, dalam hal ini pembeli sebenarnya adalah orang yang menurut undang-
undang tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah tertentu.32
31A.A. Andi Prajitno, Op.Cit., hal.38.32Op.Cit., hal. 38-40.
29
Akta seperti tersebut di atas merupakan penyelunduan hukum dan apabila
dijadikan alat bukti sebagai proses litigasi (berperkara dipengadilan) akan menjadi
gugur sebagai alat bukti tertulis otentik dan akan menjadi akta di bawah tangan
serta tidak berlaku bagi pihak ketiga. Hal tersebut terjadi karena apabila terjadi
penyelundupan hukum, pasti mempunyai maksud tertentu dan pasti merugikan
pihak ketiga, maka seharusnya akta seperti ini batal demi hukum (nieteg).33
1.5.4. Teori pertanggungjawaban perdata
Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang
diantara mereka itu tidak terdapat suatu perjanjian (hubungan hukum perjanian),
maka berdasarkan undang-undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum
antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu.34 Hal tersebut diatur dalam
pasal 1365 KUHPerdata bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena sahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365
KUHPerdata adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu
sebagai berikut :35
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan ;
33Op.Cit., hal. 40.34A.Z. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua,
Diapit Media, Jakarta, hal.77.35 Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.3.
30
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian) ;
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian) sebagaian terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana
terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata.
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam pasal
1367 KUHPerdata.
Istilah perbuatan melawan hukum sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad
diartikan secara sempit, yakni perbuatan yang bertentangan dengan hak oang lain
yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran
yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti
kerguian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak
bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah
bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang
diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.
31
Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya
keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan
Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan antara lain sebagai berikut :36
Bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikansuatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan kewajibanhukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan yang baik,pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karenasalahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugianpada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.
Dengan meninjau perumusan luas dari onrechmatige daad, maka yang
termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan :
1. Bertentangan dengan hak orang lain, atau
2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau
3. Bertentangan dengan kesusilaan baik, atau
4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan
tidak disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam pasal 1366
KUHPerdata, bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Tanggung jawab atas
perbuatan melawan hukum ini merupakan tanggung jawab perbuatan melawan
hukum secara langsung. Selain itu dikenal juga perbuatan melawan hukum secara
tidak langsung menurut pasal 1367 KUHPerdata yakni :
36M.A. Moegni Djojodirdjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, cetakankedua, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.25-26.
32
1. Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya ;
2. Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan
oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap
siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali ;
3. Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk
mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang
kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan
mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini
dipakainya ;
4. Guru-guru dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian
yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama
waktu orang-orang ini berada dibawah pengawasan mereka ;
5. Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir, jika orang tua, wali-
wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan
bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka
seharusnya bertanggung jawab.
Ada beberapa unsur kesalahan perdata menurut Abdulkadir Muhammad,
yakni :37
37Abdul Kadir Muhammad, 1986, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,hal.197.
33
1. Pelanggaran HakHukum mengakui hak-hak tertentu naik mengenai hak pribadi maupun halkebendaan dan akan melindunginya dengan memaksa pihak yangmelanggar untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggarhaknya.
2. Unsur KesalahanPertanggungjawaban dalam kesalahan perdata biasanya memerlukan suatuunsur kesalahan atau kesengajaan pada pihak yang melakukan pelanggaran,walaupun tingkat kesengajaan yang diperlukan biasanya kecil.
3. Kerugian yang dideritaUnsur ysng esensial dari kesalahan perdata pada umumnya adalah adanyakerugian yang diderita akibat sebuah perbuatan meskipun kerugian darikesalahan perdata tidak selalu jalan berbarengan karena masih adakesalahan perdata dimana apabila perbuatan salah dari seseorang digugatmaka si tergugat sendiri yang harus membuktikan kerugian yangdideritanya. Bentuk kesalahan perdata, antara lain :(1) Kesalahan perdata terhadap orang, misalnya pemukulan.(2) Kesalahan perdata terhadap tanah misalnya gangguan langsung
terhadap tanah milik orang lain(3) Kesalahan perdata terhadap barang misalnya gangguan terhadap orang
lain secara langsung, tidak sah dan fisik(4) Kesalahan terhadap nama baik (martabat), misalnya pencemaran nama
baik.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk memecahkan
masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode dan teknik tertentu yang
bersifat ilmiah. Artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut
bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan
dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang
ditimbulkan faktor tersebut.38
38 Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, 2004, Metode PenelitianHukum, Universitas Muhammadiyah, Surakarta, hal. 1.
34
Soerjono Soekanto menyebutkan,“Penelitian merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara
metodelogis, sistematis, dan konsisten”. 39 Berikutnya Peter Mahmud Marzuki
mengatakan bahwa “Penelitian Hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas
isu hukum yang timbul. Hasil yang dicapai bukanlah menerima atau menolak
hipotesis yang diajukan, melainkan memberi deskripsi mengenai apa yang
seyogyanya atas isu yang diajukan”.40
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro tentang penelitian hukum dikatakan
bahwa penelitian hukum dapat dibedakan menjadi penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut
juga penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum sosiologis atau empiris
terutama meneliti data primer.41
Untuk mendapatkan hasil yang mempunyai validitas yang tinggi serta
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka diperlukan suatu metode
penelitian yang tepat untuk memberikan pedoman serta arah dalam mempelajari
serta memahami obyek yang diteliti sehingga penelitian akan berjalan dengan baik
39Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, UIPress, Jakarta, hal. 4.
40 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media,Jakarta, hal. 103.
41 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum danYuritmetri,, Graha Indonesia, Jakarta, hal. 9.
35
dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan. 42Metode penelitian adalah
suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
ilmu pengetahuan dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.43
1.6.1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Metode penelitian
normatif adalah penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.44 Penelitian ini dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka dan data-data sekunder atau penelitian kepustakaan.
Dengan demikian semua permasalahan dalam penelitian ini akan dikaji
berdasarkan sumber hukum kepustakaan undang-undang maupun berdasarkan
pandangan dari pakar hukum.
1.6.2. Jenis pendekatan
Pendekatan terhadap kedua pokok permasalahan dalam penelitian ini
didasarkan pendekatan perundang-undangan khususnya KUHPerdata, UUPA dan
UUJN. Selain itu sebagai pendukung digunakan pendekatan analisis konsep
hukum dan pendekatan kasus yaitu dengan cara melakukan telaah terhadap akta
notaris yang menimbulkan peralihan tanah atas tanah oleh orang asing.
42 Komarudin, 1979, Metode Penelitian Tesis dan Skripsi, AlumniBandung, Bandung, hal. 27.
43 Sutrisno Hadi, 1979, Metode Research, Yayasan Penerbit FakultasPsikologi UGM, Yogyakarta, hal. 4.
44 Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian HukumNormatif, UMM Press, hal. 57.
36
1.6.3. Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini terdapat beberapa bahn
hukum.Adapun bahan hukum pokok tersebut terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier (sebagai penunjang bahan
hukum primer dan sekunder).45
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat. Dalam
penelitian ini digunakan bahan hukum primer sebagai berikut :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
- Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043;
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4379;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 20014 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491;
45Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 7.
37
- Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 3643.
- Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 3643.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Dalam bahan hukum sekunder terdapat informasi
atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu buku-buku kepustakaan
mengenai perjanjian, pertanahan, kenotarisan, jurnal hukum, karya tulis ilmiah,
dan beberapa sumber dari internet.
1.6.4 Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research). Penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
yaitu merupakan teknik pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji, serta
mempelajari buku-buku yang relevan dengan obyek yang diteliti, termasuk buku-
buku referensi, makalah, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen serta
sumber-sumber lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
38
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder, dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif
dan teknik argumentatif. Teknik analisis deskriptif dipergunakan dalam
menganalisa, karena teknik diskriptif adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat
dihindari penggunaannya. Deskriptif berarti menguraikan apa adanya terhadap
suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.
Teknik argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin
menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik evaluasi yang dimaksud
adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau
salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi,
pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer
maupun dalam bahan hukum sekunder.
39
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN PERJANJIAN
2.1 Tinjauan Tentang Notaris
2.1.1 Sejarah notaris
Notaris berasal dari bahasa Romawi yaitu Notarius yang memiliki arti
sebagai juru tulis menulis. Nama Notarius berasal dari kata Nota Literaria yang
artinya tanda tulisan (letter mark) atau karakter yang menyatakan suatu perkataan
yang digunakan untuk menuliskan atau menggambarkan sesuatu. 46 Istilah ini
lambat laun mempunyai arti berbeda dengan semula, diperkirakan pada abad
kedua sesudah Masehi yang disebut dengan nama itu ialah mereka yang
mengadakan pencatatan dengan tulisan cepat.47
Di Italia Utara yang merupakan kota pusat perdagangan, notaris dikenal
dengan sebutan Latijnse Notariaat. Karakteristik ataupun ciri-ciri dari lembaga ini
yang kemudian tercermin dalam diri notaris saat ini yakni :
1. diangkat oleh penguasa umum ;
2. untuk kepentingan masyarakat umum ; dan
3. menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum.48
Di Indonesia, notaris sudah dikenal semenjak zaman Belanda ketika
menjajah Indonesia. Dalam perkembangannya hukum Notariat yang diberlakukan
di Belanda selanjutnya menjadi dasar dari peraturan perundang-undangan Notariat
46R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, SuatuPenjelasan, Raja Grafindo Perasada, Jakarta, hal. 12.
47Ibid., hal. 13.48 G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris
Reglement), Erlangga, Jakarta, hal. 3.
39
40
yang diberlakukan di Indonesia. 49 Pada waktu itu tepatnya pada tanggal 27
Agustus 1620, dibawah Pemerintah Belanda seseorang yang pertama kali diangkat
sebagai notaris adalah Meichior Kerchem. Sesudah pengangkatan yang dilakukan
oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen tersebut kemudian jumlah notaris
dalam Kota Jakarta ditambah, dan berhubung kebutuhan akan jasa notaris itu
sangat dibutuhkan yaitu tidak hanya dalam Kota Jakarta saja melainkan juga di
luar Kota Jakarta maka selanjutnya diangkat notaris-notaris oleh penguasa-
penguasa setempat. Dengan demikian mulailah notaris berkembang di wilayah
Indonesia.50
2.1.2 Notaris sebagai pejabat umum
Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law for
Paralegals and Law Students menyebutkan : “Notary is a qualified attorneys
which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as
notary and attorney and as notary he enjoys special privileges.”51 Terjemahannya
yaitu notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan
dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai notaris dan pengacara dan sebagai
notaris ia menikmati hak-hak istimewa. Jabatan notaris hakikatnya ialah sebagai
pejabat umum (privatenotary)yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk
melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan
kepastian hubungan hukum keperdataan, jadi, sepanjang alat bukti otentik tetap
49Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat & Serba-serbi Praktek Notaris,Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 15.
50Ibid.,hal. 1651Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and Law
Students, bookboon.com, hal. 28.
41
diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan notaris akan tetap diperlukan
eksistensinya di tengah masyarakat.52Pasal 1 UUJN menyebutkan bahwa, “Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Dalam
Pasal 1 angka 1 UUJN-P menegaskan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-
Undang lainnya.”
G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian notaris adalah pejabat
umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum
atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta
otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan
grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Notaris wajib
untuk merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh
menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak
berkepentingan.53
Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etik notaris, maka pengembanan
jabatan notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan
52Yanti Jacline Jennifer Tobing, 2010, Pengawasan Majelis PengawasNotaris Dalam Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris (Studi Kasus MPPNomor 10/B/Mj.PPN/2009 Jo Putusan MPW Nomor 131/MPW-Jabar/2008),Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, hal. 12.
53G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 31.
42
tidak memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai
panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia
demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat
manusia pada umumnya dan martabat notaris pada khususnya. 54 Sedangkan
menurut Colenbrunder, notaris adalah pejabat yang berwenang untuk atas
permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semua yang dialami dalam suatu
akta dan menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang keadaan sesuatu barang
yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya.55
Menurut Habib Adjie, notaris merupakan suatu jabatan publik yang
mempunyai karakteristik yaitu sebagai jabatan. UUJN merupakan unifikasi di
bidang pengaturan jabatan notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam
bentuk undang-undang yang mengatur jabatan notaris di Indonesia sehingga
segala hal yang berkaitan dengan jabatan notaris di Indonesia harus mengacu
kepada UUJN. Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh
Negara. Menempatkan notaris sebagai pejabat umum merupakan suatu bidang
pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan,
fungsi, dan kewenangan tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu
lingkungan pekerjaan tetap.56
54 Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, (Disampaikan padaUpgrading dan Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, 2007,Medan), hal. 3.
55 Van Voeve, 1998, Engelbrecht De Wetboeken wetten enVeroordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek Indonesie, Ichtiar Baru,Jakarta, hal. 882.
56Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notarissebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hal 32-34. (selanjutnya ditulisHabib Adjie I)
43
Pejabat umum yang dimaksudkan disini merupakan jabatan yang terkait
dengan unsur pemerintah yang diemban oleh seseorang yang merupakan pegawai
pemerintah. Tugas dan wewenang terkait jabatannya sebagai pejabat umum ini
merupakan wewenang yang diberikan secara khusus oleh peraturan perundang-
undangan untuk keperluan dan fungsi tertentu. 57 Namun pejabat umum tidak
hanya jabatan notaris saja. Terdapat jabatan lain yang merupakan pejabat umum,
salah satu contohnya adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak katas tanah atau hak milik Atas Satuan
Rumah Susun.
Notaris di dalam menjalankan tugas kewenangannya sebagai pejabat
umum memiliki ciri utama, yaitu pada kedudukannya yang tidak memihak dan
mandiri (independent), bahkan dengan tegas dikatakan “bukan sebagai salah satu
pihak”. Notaris selaku pejabat umum di dalam menjalankan fungsinya
memberikan pelayanan kepada masyarakat antara lain didalam pembuatan akta
autentik bukan merupakan pihak yang berkepentingan. Pada hakekatnya notaris
selaku pejabat umum hanyalah mengkonstatir atau merekam secara tertulis dan
autentik dari perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan. Notaris tidak
ada di dalamnya, yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang
berkepentingan serta yang terikat dalam dan oleh isi perjanjian. Oleh karena itu,
akta notaris atau akta autentik tidak menjamin bahwa pihak-pihak “berkata benar”
57Ibid, hal. 17.
44
tetapi yang dijamin oleh akta autentik adalah pihak-pihak “berkata benar” seperti
yang termuat di dalam akta perjanjian mereka.58
Keabsahan jabatan notaris sebagai pejabat umum juga bersumber dari
Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “Suatu akta autentik ialah suatu
akta yang didalam bentuk yang ditentukan undang-undang dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta
dibuatnya”. Berdasarkan ketentuan ini jelas mempertegas bahwa suatu akta
autentik harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, dan produk hukum
notaris berupa akta autentik adalah merupakan produk pejabat umum.
Akta autentik tidak dapat dilepaskan dengan kekuatan pembuktiannya.
Tujuan para penghadap datang ke hadapan notaris dan meminta menuangkannya
dalam akta autentik baik untuk dibuat oleh notaris atau oleh penghadap adalah
agar perbuatan hukum yang dilakukan mendapatkan kepastian hukum. Para pihak
dapat menjadikan kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam akta autentik
sebagai alat bukti yang kuat dan sempurna. Pasal 1870 KUHPerdata mengatur
bahwa akta otentik memberikan kepastian di antara para pihak dan ahli warisnya
atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang termuat di dalamnya.
Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan pembuktian pada alat
bukti yang menyebabkan nilai pembuktian pada alat bukti yang menyebabkan
nilai pembuktian pada alat bukti tersebut cukup pada dirinya sendiri. Cukup dalam
arti bahwa alat bukti tertentu tidak membutuhkan alat bukti lain untuk
58 Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek PertanggungjawabanNotaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 65.
45
membuktikan suatu peristiwa, hubungan hukum, maupun hak dan kewajiban.
Sebagai contoh, sertipikat tanah sebagai akta otentik memiliki kekuatan
pembuktian sempurna untuk membuktikan hak milik seseorang atas tanah dalam
sertipikat tersebut, tanpa membutuhkan keterangan saksi atau alat bukti lainnya.59
Suatu akta merupakan suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat
untuk dapat dijadikan bukti bila ada suatu peristiwa dan ditanda tangani.60 Dengan
demikian, akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris diharapkan
mampu menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Menurut R.
Soegondo mengemukakan bahwa untuk dapat membuat akta autentik, seseorang
harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang
advokat, meski pun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang
untuk membuat akta autentik, karena itu tidak mempunyai kedudukan sebagai
pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil (Ambtenaarvande
Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta
otentik untuk hal-hal tertentu, misalnya untuk membuat akta kelahiran, akta
perkawinan, akta kematian. Hal tersebut karena pegawai catatan sipil oleh
undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk
membuat akta-akta tersebut.61
59 M.Natsir Asnawi, 2013, Hukum Pembuktian Perkara Perdata diIndonesia, kajian kontekstual mengenai system asas, prinsip, pembebanan danstandar pembuktian, UII Press, Jogyakarta, hal.43.
60 R. Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta,hal.48.
61R. Soegondo,Op.Cit., hal. 43.
46
Akta autentik yang merupakan produk hukum notaris ini dibedakan
menjadi 2 (dua) jenis akta, yaitu Relaas Acte dan Partij Acte.Kedua akta ini
merupakan akta autentik, namun memiliki perbedaan yaitu :62
1. Relaas Acte atau Berita AcaraMerupakan akta yang dibuat berdasarkan permintaan para pihak, terkaitmencatat dan menuliskan segala sesuatu yang disaksikan, didengar dandialami secara langsung oleh notaris, terkait segala sesuatu yangdisampaikan dan dilakukan para pihak.
2. Partij Acte atau Akta PihakMerupakan akta yang dibuat dihadapan notaris berdasarkan keinginan parapihak yang dinyatakan dan disampaikan serta diterangkan sendiri oleh parapihak yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata yang telah disebutkan diatas, akta
autentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang dan dibuat
oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Akta autentik yang merupakan produk
hukum seorang notaris sebagai pejabat umum memiliki kekuatan pembuktian
yang penuh. Hal ini berdasarkan pada :
1. Kekuatan pembuktian lahir atau diri (Uitwendige Bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta autentik merupakan kemampuan akta itu
sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta autentik. Jika dilihat dari
luar, sebagai akta autentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah
ditentukan mengenai akta autentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada
yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta autentik secara lahiriah.
Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal atau
membantah kebenaran akta autentik tersebut. Parameter untuk menentukan akta
notaris sebagai akta autentik, yaitu tanda tangan dari notaris yang bersangkutan
62Habib Adjie I, Op.Cit., hal. 45.
47
baik pada minuta dan salinan, dan adanya awal akta yang dimulai dari judul
sampai dengan akhir akta. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak
memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan
bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta autentik.63
Akta autentik dengan sendirinya mempunyai kekuatan untuk
membuktikan dirinya sendiri sebagai akta autentik berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang memenuhi syarat sebagai akta autentik dan sah
menurut hukum. Berdasarkan hal tersebut maka beban pembuktian terdapat pada
pihak yang membantah atau menyangkal keautentikan atau kebenaran akta
tersebut.
2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht).
Akta notaris merupakan akta otentik yang membuktikan kebenaran yang
tercantum dalam akta tersebut yang dibuat berdasarkan keterangan dan kehendak
para pihak yang dinyatakan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris. Akta
notaris harus dapat menerangkan fakta dan memberi kepastian bahwa memang
benar para pihak telah menghadap dan menuangkan keinginan penghadap sesuai
dengan prosedur pembuatan akta.
Secara formal untuk membuktikan kebenaran tentang kepastian tentang hari,tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak/penghadap,saksi dan notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengaroleh notaris (pada akta pejabat), dan mencatatkan keterangan atau pernyataanpara pihak/penghadap (pada akta pihak). Jika aspek formal yangdipermasalahkan oleh para pihak, maka yang harus dibuktikan dari formalitassuatu akta yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan,tahun, dan pukul (waktu) menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka
63Aditia Warman, 2014, Kedudukan Akte Otentik Sebagai Salah SatuAlat Bukti Ditinjau Dari Sisi Pidana, Refleksi 106 Tahun Ikatan NotarisIndonesia, Badung, hal. 9.
48
yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikandan didengar oleh notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaranpernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapannotaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan notaris ataupunprosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan.64
3. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht).
Secara sederhana dapat dikatakan, akta autentik memiliki kekuatan untuk
memberikan kepastian terhadap isi atau materi aktadan sebagai alat bukti yang sah
secara hukum untuk membuktikan keterlibatan para pihak yang membuat akta
atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada
pembuktian sebaliknya. Menurut Ahmadi Miru, apabila ada yang hendak
membantah kebenaran suatu akta autentik maka pihak yang membantah tersebut
harus membuktikan kepalsuan dari akta itu. Oleh karena itu, pembuktian akta
otentik disebut pembuktian kepalsuan.65
2.1.3 Kewenangan dan kewajiban notaris
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang terkait jabatan sebagai notaris
yang membuat suatu akta autentik sebagai alat bukti yang sempurna, seorang
notaris harus selalu mengacu pada ketentuan dalam UUJN, UUJN-P dan kode etik
profesi notaris. Dapat dilihat bahwa dalam melaksanakan tugas dan jabatan
notaris, terdapat kewenangan-kewenangan yang melekat pada jabatan notaris
antara lain yang terkait dengan :
64Ibid. hal. 10.65 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta, hal. 15.
49
a. Subjek
Hal ini berkaitan dengan subjek hukum yang berkepentingan terkait akta
yang akan dibuat yaitu orang (baik warga negara Indonesia atau warga negara
asing) atau badan hukum (badan hukum dalam negeri atau badan hukum asing).
Notaris berwenang membuat akta untuk setiap orang namun dengan pembatasan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 UUJN bahwa :
Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri, sendiri, isteri/suamiatau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris,baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunanlurus kebawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam gariske samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk dirisendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
b. Objek
Hal ini berkaitan dengan objek dari pembuatan akta yang menurut
peraturan perundang-undangan jabatan notaris diperbolehkan untuk dibuat oleh
seorang notaris dan merupakan kewenangan notaris. Sepanjang tidak dikecualikan
kepada pihak atau pejabat lain, atau notaris juga berwenang membuatnya
disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 15 UUJN-P.
c. Waktu
Hal ini berkaitan dengan waktu pembuatan akta. Pembuatan akta yang
merupakan produk hukum notaris, harus dilakukan pada saat menjabat sebagai
notaris aktif, yang berarti tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara
waktu.
50
d. Tempat
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) menentukan
bahwa tempat kedudukan notaris adalah kabupaten atau kota dan wilayah jabatan
notaris meliputi provinsi. Berdasarkan ketentuan tersebut maka notaris memiliki
kewenangan untuk membuat produk hukumnya hanya pada wilayah jabatannya.
Kewenangan terkait jabatan notaris diberikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang khusus mengatur mengenai jabatan
notaris. Wewenang yang diperoleh suatu jabatan memiliki beberapa sumber
yaitu:66
1. Atribusi, yaitu pemberian wewenang kepada suatu jabatan berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan.
2. Delegasi, merupakan pengalihan atau pemindahan wewenang yang ada
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3. Mandat, merupakan pengalihan sementara karena yang bersangkutan
berhalangan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa notaris
sebagai pejabat umum memperoleh wewenang secara atribusi. Wewenang ini
diberikan langsung oleh undang-undang yaitu UUJN dan UUJN-P secara
langsung. Kewenangan notaris terkait jabatannya diatur dalam Pasal 15 UUJN-P.
Aturan ini menegaskan bahwa:
(1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untukdinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
66Habib Adjie I, Op.Cit.,hal 77.
51
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskanatau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkanoleh undang-undang.
(2) Notaris berwenang pula:a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalamsurat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;e. outlmemberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; ataug. membuat akta risalah lelang.
Kewenangan notaris yang diatur dalam Pasal 15 UUJN-P tersebut dapat
dibedakan menjadi beberapa kewenangan. Sebagaimana diketahui bahwa
kewenangan notaris merupakan kewenangan atribusi, maka kewenangan tersebut
diatur secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan-
kewenangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan ini yang
menjadi dasar dalam melaksanakan tugas dan jabatan notaris. Kewenangan
tersebut apabila disimpulkan maka menjadi beberapa kewenangan yaitu :67
1. Kewenangan Umum Notaris
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN-P menentukan bahwa kewenangan
notaris adalah membuat akta secara umum. Namun dengan pembatasan, yaitu :
a. Tidak dikecualikan terhadap pejabat lain yang ditetapkan undang-undang.
b. Perbuatan, perjanjian maupun ketetapan yang terkait dengan pembuatanakta harus berdasarkan pada hukum dan kehendak para pihak.
c. Terkait subjek hukum yang berkepentingan dalam akta harusberdasarkan kehendak para pihak.
67Op.Cit.,hal. 78.
52
2. Kewenangan Khusus Notaris
Terkait dengan wewenang notaris dalam membuat akta terkait tindakan
hukum tertentu. Hal ini berdasarkan pada Pasal 15 ayat (2) UUJN-P seperti yang
telah disebutkan sebelumnya.
3. Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian
Merupakan kewenangan lain yang akan ditentukan kemudian berdasarkan
peraturan perundang-undangan dengan pembatasannya. Hal ini berdasarkan Pasal
15 ayat (3) UUJN-P yang menegaskan mengenai wewenang lain (selain ayat (1)
dan (2)) yang akan ditentukan kemudian berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Berikutnya mengenai kewajiban notaris ini diatur secara lengkap dalam
Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUJN-P yang menegaskan bahwa :
(1) Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban:a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris;c. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuaidengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukanlain;
f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi bukuyang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlahakta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilidmenjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta,bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidakditerimanya surat berharga;
h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutanwaktu pembuatan akta setiap bulan;
53
i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h ataudaftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat WasiatDepartemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidangkenotariatan dalam waktu 5 (lima) had pada minggu pertama setiapbulan berikutnya;
j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat padasetiap akhir bulan;
k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara RepublikIndonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
l. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri olehpaling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itujuga oleh penghadap, saksi, dan notaris;
m.menerima magang calon notaris.(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan aktainoriginali.
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.b. Akta penawaran pembayaran tunai.c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga.d. Akta kuasa.e. Akta keterangan kepemilikan.f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Uraian dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a di atas ada disebutkan bahwa
seorang notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran
merupakan hal yang penting karena jika seorang notaris bertindak dengan
ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan klien bahkan akan
menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap notaris tersebut, dan keseksamaan
bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang
notaris.68
68Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa,Sukses, Jakarta, hal. 41.
54
2.1.4 Kode etik profesi notaris
Profesi hukum dituntut untuk memiliki rasa kepekaan atas nilai keadilan
dan kebenaran serta mewujudkan kepastian hukum bagi pencapaian
dan pemeliharaan ketertiban masyarakat. Selain itu, profesi hukum berkewajiban
selalu mengusahakan dengan penuh kesadaran yang bermoral untuk mengetahui
segala aturan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.Secara ilmiah bagi
tegaknya hukum dan keadilan dan terutama diperuntukan bagi mereka yang
membutuhkannya.
Menurut Abdulkadir Muhammad, khusus bagi profesi hukum sebagai
profesi terhormat, terdapat nilai-nilai profesi yang harus ditaati oleh mereka, yaitu
sebagai berikut :69
a. Kejujuran
b. Otentik
c. Bertanggung jawab
d. Kemandirian moral
e. Keberanian moral.
Etika menyentuh unsur paling hakiki dari diri manusia yakni nurani
(soul). Seperti rambu lalu lintas, etika memberi arah kepada seriap manusia untuk
69Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim,Jaksa, Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus), Citra Aditya Bakti, Bandung,hal.4.
55
mencapai tujuan yang diinginkannya. Tanpa adanya etika, manusia tidak akan
menjadi mahkluk mulia yang memberi keberkatan pada seluruh alam.70
Moral adalah akhlak, budi pekerti yang berkaitan dengan baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban. Hati nurani
merupakan kesadaran yang diucapkan manusia dalam menjawab pertanyaan,
apakah sesuatu yang dilakukannya adalah perbuatan baik ataukah tidak baik, etis
ataukah tidak etis. Sedangkan integritas adalah kesadaran atas fungsi yang
diemban manusia di dalam masyarakat tanpa dipengaruhi oleh apapun.71 Integritas
adalah hasil akhir dari pergulatan moral dan hati nurani yang terjadi di dalam diri
seorang notaris sehingga ia secara teguh mampu menjalankan tugas dan
tanggungjawabnya sebagai pejabat umum yang mengemban sebagian tugas
negara dan berpaku pada hukum yuridis formal yakni UUJN dan kode etik notaris.
Hubungan antara kode etik dengan UUJN terdapat dalam Pasal 4 mengenai
sumpah jabatan. Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap,
tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik
profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai notaris.
Kode etik notaris adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh
perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut
“perkumpulan” berdasar keputusan kongres perkumpulan dan atau yang
ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
70 Evie Murniaty, 2010, Tanggung Jawab Notaris Dalam Hal TerjadiPelanggaran Kode Etik, Program Studi Magister Kenotariatan Pasca SarjanaUniversitas Diponegoro, Semarang, hal. 47.
71 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri NotarisIndonesia Dulu, Sekarang, Dan Di Masa Datang, Gramedia Pustaka, Jakarta,hal. 193.
56
tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua
anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai
notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti,
dan Notaris Pengganti Khusus”. Pengaturan mengenai kode etik notaris
diperlukan sebagai pegangan notaris dalam melaksanakan jabatannya. Sebab
seorang notaris dalam menjalankan jabatannya akan mendapat banyak tantangan
seperti ingin cepat memperoleh uang atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,
hal tersebut akan berpengaruh terhadap setiap akta yang dibuatnya dan juga
berpengaruh terhadap masyarakat yang menggunakan jasa notaris. 72
Notaris berkewajiban untuk mempunyai sikap, perilaku, perbuatan atau
tindakan yang menjaga dan memelihara citra serta wibawa lembaga notariat dan
menjunjung tinggi harkat dan martabat notaris, tidak melakukan yang sebaliknya
sehingga dapat menurunkan citra, wibawa maupun harkat dan martabat notaris.
Seorang notaris yang melakukan profesinya harus berperilaku profesional,
berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat kehormatan notaris dan
berkewajiban menghormati rekan dan saling menjaga dan membela kehormatan
nama baik korps atau organisasi. Sebagai notaris, ia bertanggungjawab terhadap
profesi yang dilakukannya, dalam hal ini kode etik profesi.73 Dalam memberikan
pelayanannya, profesional itu bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada
masyarakat.Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja karena
72Didi Santoso, 2009, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan AktaYang Memuat Dua Perbuatan Hukum (Analisis Putusan Mahkamah AgungNomor 1440.K/PDT/1996), Program Studi Magister Kenotariatan Pasca SarjanaUniversitas Diponegoro, Semarang, hal. 37.
73Ignatius Ridwan Widyadharma, 1994, Hukum Profesi tentang ProfesiHukum, Ananta, Semarang, hal. 133-134.
57
integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya.
Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu mempertahankan cita-
cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena
sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan
memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan
bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu,
yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-
mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama
manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul
akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan
dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan
berdosa kepada Tuhan.74
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa sebagai seorang notaris
harus selalu mengacu pada ketentuan dalam peraturan perundangan yaitu UUJN
jo UUJN-P dan Kode Etik Profesi Notaris. Hal ini karena selain jabatan sebagai
pejabat umum, notaris adalah merupakan salah satu profesi hukum sehingga
sangat perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi. Notaris
diharapkan memiliki integritas moral yang mantap, bersikap jujur terhadap klien
maupun diri sendiri, sadar akan batas-batas kewenangannya dan tidak bertindak
semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.75
74Abdulkadir Muhamad, Op.Cit, hal. 60.75Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka
Ilmu, Semarang, hal. 93.
58
2.2 Tinjauan Tentang Perjanjian
2.2.1 Pengertian perjanjian
Perjanjian dapat dilakukan secara lisan dan dapat dilakukan secara
tertulis.Perjanjian lisan masih sering terjadi di lingkungan masyarakat adat,
sedangkan perjanjian tertulis lazimnya dilakukan masyarakat modern dalam dunia
usaha/bisnis dengan hubungan hukum yang lebih kompleks. Menurut M. Yahya
Harahap, ”Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian : suatu hubungan
hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan
hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada
pihak lain untuk menunaikan prestasi”.76
A.Pitlo (yang dikutip oleh R.Setiwan) memakai istilah perikatan untuk
verbentenisberpendapat : ”Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat
harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu
berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu
prestasi”.77 Selanjutnya Subekti berpendapat : ” Perikatan adalah suatu hubungan
hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak
pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan yang
lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.78
Kemudian Sudikno Mertokusumo, mengartikan perjanjian adalah suatu
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat
76M.Yahya Harahap, 1986, Segi–segi Hukum Perjanjian, Cetakan kedua,Alumni, Bandung, hal. 6.
77R. Setiawan, 1999, Pokok–Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin,Bandung, hal. 2.
78 R. Subekti, 1989, Pokok–Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXII,Intermasa, Jakarta, hal. 122.
59
untuk menimbulkan akibat hukum. 79 Sedangkan Wirjono Prodjodikoro,
mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta kekayaan
antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan sesuatu hal atau tidak untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak
lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.80
Berdasarkan beberapa pandangan dari para sarjana tersebut diatas, bahwa
perjanjian adalah suatu peristiwa yang timbul dari suatu hubungan antara dua
orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal
dalam lapangan harta kekayaan. Apabila pengertian tersebut dihubungkan dengan
pengertian yang ditentukan oleh Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata,
mengandung beberapa kelemahan, yakni :81
1. Hanya menyangkut satu pihak saja, hal ini dapat diketahui dari rumusan
”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya”. Dengan kata ”mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak
saja sehingga perumusan itu seharusnya ”saling mengikatkan diri”, jadi ada
kesepakatan/konsensus antara pihak-pihak .
79Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cet.Ketiga, Liberty, Jogyakarta, hal. 97.
80 Wirjono Prodjodikoro, 1985, Hukum Perdata tentang PersetujuanTertentu, Sumur, Bandung, hal. 11.
81 I Wayan Werasmana Sanjaya, 2013, Perjanjian Nominee SebagaiSarana Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing DalamPerspektif Hukum Perjanjian Indonesia, Program Pasca Sarjana UniversitasUdayana, Denpasar, hal. 45-46.
60
2. Kata ”perbuatan” meliputi juga hal-hal yang tanpa konsensus, sedang
pengertian ”perbuatan” dalam hal ini dimaksudkan juga/termasuk tindakan
melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus,
sehingga karenanya seharusnya dipakai kata ”persetujuan”.
3. Pengertian ”perjanjian” dalam rumusan pasal tersebut dipandang terlalu luas,
karena meliputi juga melangsungkan perkawinan, perjanjian kawin, dimana
perjanjian-perjanjian tersebut termasuk/diatur dalam lapangan hukum keluarga
sedang yang dimaksud dan yang dikehendaki oleh Buku III KUHPerdata
adalah perjanjian antara kreditur dengan debitur, yakni perjanjian dalam
lapangan harta kekayaan saja.
Dari pendapat-pendapat sarjana diatas tentang perjanjian dan pengertian
perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata dengan segala
kekurangannya, maka akhirnya dapatlah dikemukakan bahwa perjanjian adalah
suatu hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan antara dua pihak dimana
pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi sedang pihak yang lain (debitur)
berkewajiban untuk memenuhi prestasi dan pada umumnya bertanggungjawab
atas prestasi tersebut. Sedangkan penggunaan istilah perjanjian maupun
persetujuan menurut Abdulkadir Muhamad tidaklah dipermasalahkan, karena
perjanjian yang dimaksud tiada lain adalah persetujuan yang terdapat dalam Pasal
1313 KUHPerdata atau lebih lengkapnya beliau mengatakan : ”Perjanjian adalah
61
suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri
untuk saling melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.82
2.2.2 Bentuk bentuk perjanjian
Bentuk perjanjian dapat dibagi menjadi empat, yaitu :83
1. Perjanjian
Perjanjian adalah perjanjian yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan
Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Para pihak dalam membuat perjanjian mempunyai kedudukan yang sama
dan atas kehendak bebas membuat perjanjian, dan apa yang dikehendaki
secara sama dan secara terang diketahui oleh kedua belah pihak. Misalnya,
perjanjian jual-beli, perjanjian sewa menyewa, dan lain-lain.
2. Perjanjian baku
Menurut Abdul Kadir Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan
dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standard contract”.
Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau
pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan
pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model,
rumusan, dan ukuran.84
82Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung,hal.77.
83I Ketut Artadi, I Dewa Njo.man Rai Asmara Putra, 2010, ImplementasiKetentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, UdayanaUniversity Press, Denpasar, hal. 36.
84Abdulkadir Muhammad, 2006, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 87.
62
Perjanjian baku adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah
ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Perjanjian baku, lebih tepat
disebut kontrak baku, sebab dibuat secara tertulis, disiapkan seragam untuk
banyak orang, lazimnya untuk satu objek perjanjian dan satu prestasi. Pihak yang
menyiapkan kontrak baku, berada di pihak yang kuat (kreditor), menyiapkan
format dan isi kontrak terlebih dahulu, dan pihak lain tinggal menyetujui atau
prestasi yang ditawarkan tersebut. Pihak lain yaitu debitor, umumnya disebut
“Adherent”, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai
pilihan. Dalam hal penyusun kontrak (kreditor) mempunyai kedudukan monopoli.
Terserah mau mengikuti atau menolak. Penyusun kontrak bebas dalam membuat
redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya.
3. Perjanjian tersamar (perjanjian kuasi)85
Perjanjian kuasi atau kuasi kontrak (impliedcontract, quasicontract)
adalah suatu perjanjian di mana karena sifat peristiwanya para pihak dianggap
patut mengetahui oleh hukum bahwa sudah terikat kepada suatu perjanjian.
Bentuk perjanjian tersamar ini secara tidak langsung diatur di dalam Pasal 1339
KUHPerdata berbunyi :“suatu perjanjian tidak saja mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan didalamnya, akan tetapi untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan atau undang-
undang”.
Perjanjian tersamar ini sering terjadi pada pelayanan umum, misalnya di
rumah sakit, Pasien kecelakaan berat, diantar masuk ke ruang gawat darurat, dan
85I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Op.Cit, hal. 41-42.
63
dokter langsung memberikan pertolongan untuk menyelamatkan nyawa pasien,
(karena sifat peristiwa, sesuai kebiasaan dan kepatutan) para pihak itu (dokter dan
keluarga pasien) dianggap mengetahui oleh hukum bahwa mereka sudah terikat
kepada suatu perjanjian (yaitu dokter harus sungguh-sungguh memberikan
pertolongan tanpa menunggu kesepakatan pasien, dan pasien yang ditolong juga
wajib membayar jasa dokter walaupun tidak terdapat kesepakatan yang jelas).
Seseorang masuk ke rumah makan, dihidangkan makanan, dan membayar sesuai
tariff, tanpa ada kesepakatan sebelumnya atau tanpa tawar menawar sesudahnya
(para pihak sesuai kebiasaan dan kepatutan) dan oleh hukum dianggap
mengetahui bahwa mereka terikat hak dan kewajiban.
4. Perjanjian Simulasi
Perjanjian simulasi adalah perjanjian di mana para pihak menyatakan
keadaan yang berbeda dengan perjanjian yang diadakan sebelumnya.86 Terdapat
dua macam simulasi :
1) Purwahid Patrik menyebutkan Simulasi mutlak, yaitu bahwa dengan
perjanjian pura-pura itu hubungan hukum antara mereka tidak ada perubahan
apa-apa perjanjian jual beli tetapi tidak akan terjadi perubahan hak milik atas
barang.87 Sedangkan I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra
menyebutkan Perjanjian simulasi absolute, apabila para pihak membuat
perjanjian yang terhadap pihak luar menimbulkan kesan yang berbeda dengan
perjanjian yang oleh para pihak yang secara diam-diam mengingkarinya.
86Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di bidangKenotariatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal.377.
87Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju,Semarang, hal. 57.
64
Contoh si A membeli tanah dari si B. namun si A kemudian membuat
perjanjian yang isinya pengakuan bahwa tanah itu sebetulnya milik si C
(orang asing). Jadi, B dalam perjanjian sebelumnya memberi kesan kepada
pihak ketiga seakan-akan tanah itu miliknya, kemudian secara diam-diam ia
mengingkarinya dengan membuat perjanjian yang berisi pernyataan dengan
si C (orang asing) bahwa sebetulnya tanah itu milik si C.88
2) Berikutnya yaitu simulasi relatif bahwa dengan perjanjian pura-pura itu ada
terjadi hal lain ; Perjanjian jual beli tetapi yang dimaksud perjanjian hibah
sebenarnya disini tidak terjadi persesuaian antara kehendak dan
pernyataannya.89 Para pihak menghendaki akibat hukumnya, tetapi memakai
bentuk hukum lain. (Perjanjian simulasi relative).90
Perjanjian simulasi terutama perjanjian simulasi absolute tergolong
kepada perjnjian yang causanya tidak halal.Yang dimaksud dengan perjanjian
simulasi yaitu perjanjian dibuat karena sebab yang palsu (Pasal 1335
KUHPerdata), dimana para pihak membuat perjanjian dengan maksud
menyembunyikan tujuan sebenarnya, sehingga perjanjian yang demikian
batal demi hukum (Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Bali
No.34/PDT.G/2002/PN.GIR, tanggal 18 Juli 2002).91
Perjanjian simulasi sepanjang tidak dibatalkan oleh pengadilan
mempunyai kekuatan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1873
KUHPerdata berbunyi : ”Persetujuan-persetujuan lebih lanjut yang dibuat dalam
88I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Loc.Cit.89 Purwahid Patrik, Loc.Cit.90I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Loc.Cit.91Op.Cit, hal. 43.
65
suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli, hanya memberikan bukti
antara para pihak yang turut serta ahli warisnya atau orang yang mendapat hak
dari padanya, tetapi tidak berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga”. Misalnya,
dalam contoh di atas perjanjian yang menyatakan bahwa sebetulnya tanah tersebut
milik si C (orang asing), dan perjanjian ini hanya berlaku antara si C dan si B,
maka pihak ketiga bank tidak terikat dengan perjanjian yang dibuat antara si A
dan si C, dalam hal ini bank tetap dianggap sebagai pemegang jaminan yang sah,
dan keberatan si C tidak mempunyai kekuatan hukum.92
2.2.3 Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian adalah harus memenuhi seluruh ketentuan
syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Jika salah satu syarat tidak
dipenuhi maka perjanjian itu tidak sah.Hal ini dikarenakan syarat sahnya
perjanjian berlaku secara kumulatif, dan bukan limitatif. Seluruh ketentuan yang
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian,
yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal
Menurut Mariam Badrulzaman ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata ayat
(1) adalah memberi petunjuk bahwa perjanjian dipengaruhi oleh asas
konsensualisme. Kemudian Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata mencerminkan
92Op.Cit.
66
bahwa setiap orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya, artinya
orang yang tidak cakap menurut hukum tidak mempunyai kebebasan untuk
membuat perjanjian. Selanjutnya dalam Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1337
KUHPerdata yang dengan jelas menyebutkan bahwa para pihak tidak bebas untuk
mengadakan perjanjian yang menyangkut klausa yang dilarang oleh undang-
undang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Konsekuensi
hukum bila perjanjian dibuat bertentangan dengan kausa tersebut adalah dapat
menjadi penyebab perjanjian bersangkutan tidak sah..93
Perjanjian timbul karena adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan kedua belah pihak tersebut telah memenuhi pada syarat sahnya
perjanjian sebagaimana dimaksud pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:94
a. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian
(consensus). Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara
pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Persetujuan
kehendak itu bersifat bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela
pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Sebelum
ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan.
b. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).
Menurut ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata dikatakan tidak cakap
membuat perjanjian ialah orang yang belum dewasa, di bawah
pengampuan dan wanita bersuami. Tapi sebagai perkembangannya wanita
93 Mariam Badrulzaman, 1994, Asas Kebebasan Berkontrak danKaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standar), Alumni, Bandung, hal. 43.
94 A. Qiram Syamsuddin Meliala, 2001, Hukum Perjanjian, Liberty,Bandung, hal. 56-58.
67
yang telah bersuami sudah dianggap cakap dalam melakukan perbuatan
hukum.
c. Ada suatu hal tertentu (a certain subject matter). Suatu hal tertentu
merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi
dalam suatu perjanjian, merupakan pokok perjanjian. Prestasi itu harus
tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang
diperjanjikan juga harus jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak
disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan,
gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak,
jika timbul perselisihan dalam melaksanakan perjanjian. Jika prestasi itu
kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap
tidak ada objek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, maka
perjanjian batal demi hukum (voidnietig).
Ada suatu sebab yang halal (legal cause), artinya, merupakan
sebab dalam arti perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang
akan dicapai oleh pihak-pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa
yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau
diawasi oleh undang-undang ialah isi dari perjanjian itu, yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-
undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan atau tidak.
68
2.3 Tentang Kebatalan
2.3.1 Pengertian Kebatalan95
Dalam KUHPerdata ada banyak peristilahan menyangkut kebatalan
misalnya :
- Pasal 412 KUHPerdata memakai kata “batal dan tak berdaya”.
- Pasal 879 KUHPerdata memakai kata “batal dan tak berhargalah”.
- Pasal 1335 KUHPerdata memakai kata “tidak mempunyai kekuatan”.
- Pasal 1446 KUHPerdata memakai kata “batal demi hukum dan harus
dinyatakan batal”.
- Pasal 1450 KUHPerdata memakai kata “pembatalan”.
- Pasal 1553 KUHPerdata memakai kata “gugur demi hukum”.
- Pasal 1334, 1554 KUHPerdata memakai kata “tidak diperkenankan”.
- Pasal 1154 memakai kata “tidak diperkenankan” dan “batal”.
Namun demikian, istilah apapun yang dipakai oleh undang-undang
kesemuanya mengandung arti batal (nietig). Kebatalan dapat dibagi dua, yaitu :
1. Melanggar syarat-syarat subjektif sahnya perjanjian (syarat yang ditentukan
dalam Pasal 1320 ayat (1) dan (2) KUHPerdata), mengakibatkan perjanjian
dapat dibatalkan (vernietigbaarheid).
2. Melanggar syarat-syarat objektif sahnya perjanjian (syarat yang ditentukan
dalam Pasal 1320 ayat (3) dan (4) KUHPerdata), mengakibatkan perjanjian
batal demi hukum (nietigbaarheid).
95I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Op.Cit, hal. 61.
69
Untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, amar putusan hakim akan
berbunyi “membatalkan” sifatnya constitutip (membuat hukum). Sedangkan untuk
perjanjian batal demi hukum, amar putusan hakim akan berbunyi : “menyatakan
batal” sifatnya deklaratoir (menunjuk kepada hukum).
2.3.2 Dapat dibatalkan (Vernietigbaarheid)
Perjanjian dapat dibatalkan apabila melanggar syarat subjektif sahnya
perjanjian, yaitu :
1. Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata (sepakat mereka yang
mengikatkan diri). Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menyatakan perjanjian
adalah sah apabila di antara para pihak sepakat mengikatkan diri. Tiada
sepakat yang sah (cacat kehendak/wilsgbrek) apabila diberikan karena
kekilapan, paksaan dan penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Perikatan-
perikatan yang dibuat dengan kekilapan, paksaan dan penipuan menerbitkan
suatu tuntutan untuk membatalkan (Pasal 1449 KUHPerdata).
Dasar Hukumnya :96
a. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menentukan Perjanjian sah apabila
sepakat mereka yang mengikatkan diri.
b. Pasal 1321 KUHPerdata menentukan Tiada sepakat yang sah apabila
diberikan karena kekilapan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan
(bedrog).
96Op.Cit, hal. 63.
70
c. Pasal 1449 KUHPerdata menentukan : Perikatan-perikatan yang dibuat
dengan kekhilapan, paksaan dan penipuan menerbitkan suatu tuntutan
untuk membatalkan.
d. Pasal 1322 KUHPerdata menentukan Perjanjian batal kalau terjadi
kekhilapan mengenai hakihat barang yang menjadi pokok perjanjian.
2. Melanggar syarat subjektif sahnya perjanjian, yaitu melanggar Pasal 1320
ayat (2) KUHPerdata (kecakapan membuat perjanjian). Melanggar Pasal 1320
ayat (2) KUHPerdata (cakap bertindak menurut hukum). Pasal 1320 ayat (2)
KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian adalah sah apabila para pihak
cakap dalam membuaut suatu perjanjian. Orang yang belum dewasa adalah
tidak cakap bertindak menurut hukum. Dasar Hukumnya adalah sebagai
berikut :97
a. Pasal 330 jo. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa orang yang
belum dewasa, yaitu apabila belum berumur 21 tahun dan tidak terlebih
dahulu kawin (Pasal 330 KUHPerdata) adalah tidak cakap bertindak
menurut hukum (Pasal 1330 KUHPerdata)
b. Pasal 897 KUHPerdata menentukan bahwa orang yang belum berumur
18 tahun, adalah tidak cakap membuat wasiat.
c. Pasal 6a Pedoman Pengisian Akta Jual Beli Badan Pertanahan Nasional
menentukan bahwa belum dewasa/tidak cakap melakukan perbuatan
pengisian akta jual beli, apabila belum berumur 21 tahun.
97Op.Cit, hal. 64.
71
d. Pasal 7 UU nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa belum dewasa/tidak
cakap untuk kawin apabila belum berumur 19 tahun bagi pria dan belum
berumur 16 tahun bagi wanita
e. Pasal 433 jo.Pasal 1330 KUPerdata, menentukan bahwa orang yang berada
di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang selalu ada dalam
keadaan dungu, sakit otak, mata gelap, boros (Pasal 433 KUHPerdata)
adalah tidak cakap membuat perjanjian (Pasal 1330 KUHPerdata)
f. Pasal 1446 KUHPerdata menentukan bahwa semua perikatan yang dibuat
oleh orang yang belum dewasa dan orang yang berada di bawah
pengampuan harus dinyatakan batal.
2.3.3 Batal demi hukum (Neitigbaarheid)
Perjanjian batal demi hukum apabila perjanjian itu melanggar syarat-
syarat obyektif sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1. Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata (suatu hal tertentu).
Suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah bahwa obyek perjanjian
tersebut haruslah tertentu, dapat ditentukan yaitu suatu barang yang dapat
diperdagangkan, dan dapat ditentukan jenisnya jelas, tidak kabur.
Dasar hukumnya :98
- Pasal 1332 KUHPerdata berbunyi “hanya barang-barang yang dpaat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian”.
Dengan demikian, perjanjian perdagangan orang, perjanjian yang
menjadikan orang sebagai objek adalah batal demi hukum.
98Op.Cit, hal. 67.
72
- Pasal 1333 KUHPerdata berbunyi “suatu perjanjian harus mempunyai
sebagai pokok suatu barang yang palinh sedikit ditentukan jenisnya”.
Dengan demikian, perjanjian yang tidak menentukan jumlah barang, atau
kalau barang tidak bergerak (tanah), tidak menentukan lokasinya, luasnya,
batas-batasnya, adalah batal demi hukum.
2. Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata (suatu sebab yang
halal).
Suatu sebab yang halal apabila perjanjian itu dibuat berdasarkan kepada
sebab yang sah dan dibenarkan oleh undang-undang, dan tidak melanggar
ketentuan tentang isi dari perjanjian, misalnya :
- Dilarang mencantumkan dalam suatu perjanjian suatu syarat yang tidak
mungkin dilaksanakan (Pasal 1254 KUHPerdata)
- Dilarang membuat perjanjian tanpa sebab, sebab yang palsu, melanggar
Undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan
ketertiban umum (Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata)
Pasal 1254 KUHPerdata berbunyi “semua syarat yang bertujuan untuk
melaksanakan suatu yang tidak mungkin terlaksana, bertentangan dengan
kesusilaan baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal,
bahwa perjanjian yang digantungkan padanya tak berdaya”. Pasal ini menekankan
kepada “syarat yang tidak mungkin dilaksanakan”, sedangkan sebab bertentangan
dengan kesusilaan, bertentangan dengan undang-undang dan bertentangan dengan
ketertiban umum sudah diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata yang digolongkan
sebagai sebab terlarang sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 1337 KUHPerdata
73
berbunyi “suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-
undang atau sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban
umum”. Contohnya adalah sebagai berikut :
- Pasal 1335 KUHPerdata tentang perjanjian dibuat karena sebab yang
palsu, misalnya si A berjanji untuk membayar utang kepada si B, padahal
ia tidak pernah meminjam uang kepada si B, melainkan ia meminjam
uang kepada si C. Perjanjian Simulasi (Pasal 1837 KUHPerdata) dalam
praktik pengadilan lazim digolongkan kepada perjanjian yang dibuat
karena sebab yang palsu.99
- Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata, suatu perjanjian melanggar
undang-undang, misalnya A membeli tanah Hak Milik dari si B namun si
A kemudian membuat perjanjian yang isinya pengakuan bahwa tanah itu
sebetulnya milik si C (orang asing) yang menurut hukum tidak memenuhi
syarat sebagai pemegang Hak Milik. Jadi, B dalam perjanjian sebelumnya
memberi kesan kepada pihak ketiga seakan-akan tanah itu miliknya,
kemudian secara diam-diam ia mengingkarinya dengan membuat
perjanjian yang berisi pernyataan dengan si C (orang asing) bahwa
sebetulnya tanah itu milik si C (orang asing).100
- Pasal 1335 jo.Pasal 1337 KUHPerdata, suatu perjanjian melanggar
kesusilaan yang baik. Suatu perjanjian melanggar kesusilaan yang baik,
apabila perjanjian itu bertentangan dengan penghargaan terhadap martabat
manusia misal : Perjanjian yang menjadikan orang sebagai objek, seperti
99Op.Cit, hal. 69.100Op.Cit, hal. 42.
74
perjanjian pembagian anak di antara suami istri, perjanjian jual beli anak,
perjanjian perdagangan perempuan, perjanjian jual beli organ tubuh.
- Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata, suatu perjanjian melanggar
ketertiban umum. Suatu perjanjian melanggar ketertiban umum adalah
perjanjian yang bertentangan dengan asas-asas pokok fundamental dari
tatanan masyarakat yang tertib.
75
BAB III
TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA
PERJANJIAN NOMINEE
3.1.Tanggung Jawab Notaris Menurut Undang-Undnag Jabatan Notaris
Tanggung jawab notaris sebagai profesi dan sebagai suatu jabatan lahir
dari adanya kewajiban dan kewenangan yang diberikan kepadanya, kewajiban dan
kewenangan tersebut secara sah dan terikat mulai berlaku sejak notaris
mengucapkan sumpah jabatannya sebagai notaris. Sumpah yang telah diucapkan
tersebutlah yang seharusnya mengontrol segala tindakan notaris dalam
menjalankan jabatannya.
Agar dapat menjalankan tugas profesi dan jabatannya secara profesional
dan tanpa cela dari masyarakat maka moral dan hukum bagi seorang notaris
adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Profesi notaris yang juga selaku
pejabat umum wajib berlandaskan pada nilai moral, sehingga pekerjaannya harus
berdasarkan kewajiban, yaitu ada kemauan baik pada dirinya sendiri, tidak
bergantung pada tujuan atau hasil yang dicapai. Sikap moral penunjang Etika
profesi notaris adalah bertindak atas dasar tekad, adanya kesadaran berkewajiban
untuk menjunjung tinggi Etika profesi, menciptakan idealisme dalam
mempraktikan profesi, yaitu bekerja bukan untuk mencari keuntungan, mengabdi
kepada sesama.
Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etika notaris, maka pengembanan
jabatan notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan
75
76
tidak memihak dalam bidang kenotariatan. Notaris dalam pengembanannya
dihayati sebagai panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap
sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan
terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat notaris pada
khususnya.101
Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law for
Paralegals and Law Students menyebutkan : “Notary is a qualified attorneys
which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as
notary and attorney and as notary he enjoys special privileges.” 102
Terjemahannya yaitu notaris adalah pengacara yang berkualifikasi yang diakui
oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai notaris dan
pengacara dan sebagai notaris ia menikmati hak-hak istimewa.
Jabatan notaris hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (privatenotary).
Sebagai pejabat notaris yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk
melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti autentik yang memberikan
kepastian hubungan hukum keperdataan. Jadi, sepanjang alat bukti autentik tetap
diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan notaris akan tetap diperlukan
eksistensinya di tengah masyarakat.103
101 Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, (Disampaikan padaUpgrading dan Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, 2007,Medan), hal. 3.
102Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law for Paralegals and LawStudents, bookboon.com, hal. 28.
103Yanti Jacline Jennifer Tobing, 2010, Pengawasan Majelis PengawasNotaris Dalam Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris (Studi Kasus MPPNomor 10/B/Mj.PPN/2009 Jo Putusan MPW Nomor 131/MPW-Jabar/2008),Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, hal. 12.
77
Notaris adalah pengemban profesi luhur yang memilki 4 (empat) ciri-ciri
pokok. Pertama, bekerja secara bertanggung jawab, dapat dilihat dari mutu dan
dampak pekerjaan. Kedua, menciptakan keadilan, dalam arti tidak memihak dan
bekerja dengan tidak melanggar hak pihak manapun. Ketiga, bekerja tanpa pamrih
demi kepentingan klien dengan mengalahkan kepentingan pribadi atau keluarga.
Keempat, selalu memperhatikan cita-cita luhur profesi notaris dengan menjunjung
tinggi harkat dan martabat sesama anggota profesi dan organisasi profesinya.
Pekerjaan yang dapat dipertanggungjawabkan atas profesi notaris
memerlukan bakat dan kemampuan. Untuk itu notaris dituntut untuk membekali
diri dengan memiliki kualitas standar pendidikan yang memuaskan, mempunyai
kewenangan bertindak secara bebas dan mampu mengendalikan diri. Maka
pekerjaan notaris merupakan suatu profesionalitas yaitu dituntut untuk selalu
bertindak secara profesional.
Raden Soegondo Notodisoerjo menyatakan tentang apa yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh notaris yaitu apabila penipuan atau tipu muslihat itu
bersumber dari notaris sendiri. Hal tersebut dapat terjadi apabila seorang notaris
dalam suatu transaksi peralihan hak misalnya dalam akta jual beli dengan sengaja
mencantumkan harga yang lebih rendah dari harga yang sesungguhnya. 104
Tanggung jawab notaris terbagi menjadi empat macam, yaitu :105
1. tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap
akat yang dibuatnya;
104Raden Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesiasuatu Penjelasan, cetakan kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.229.
105Diakses dari http://wardanirizki.blogspot.com/2013/10/tanggung-jawab-notaris-ditinjau-dari.html. Pada Hari Sabtu, tanggal 6 September 2014.
78
2. tanggungjawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta
yang dibuatnya;
3. tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap
kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;
4. tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
Kode Etik Notaris.
Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang
diharapkan bahkan dituntut kepada notaris dalam menjalankan tugas jabatannya,
yaitu :106
a. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya
akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak
yang berkepentingan karena jabatannya.
b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang
dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang
berkepentingan dalam arti yang sebenarnya. Notaris harus menjelaskan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur
akta yang dibuatnya itu.
c. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu
mempunyai kekuatan bukti sempurna.
Seorang notaris dapat bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan notaris
tersebut bersalah. Kemampuan bertanggung jawab merupakan keadaan normalitas
106Ahmadi Miru, Op.Cit.,hal. 49.
79
psikis dan kematangan atau kecerdasan seseorang yang membawa kepada 3 (tiga)
kemampuan yaitu :
1. Mampu untuk mengerti nilai dan akibat-akibatnya sendiri ;
2. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatan itu menurut pandangan
masyarakat tidak diperbolehkan ;
3. Mampu untuk menentukan niat dalam melakukan perbuatan itu.107
Pemasalahan pertama menyangkut apakah notaris dalam hal membuat akta
autentik mengerti benar akan nilai dan akibat-akibat dari pembuatan akta tersebut
sebelum akhirnya akta tersebut dinyatakan cacat hukum. Dalam praktek lebih
banyak ditemui seorang notaris yang akan membuat akta cenderung menganggap
akta yang dibuatnya sudah sah apabila para pihak telah sepakat, dan masing-
masing pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Namun sering tidak
diperhatikan terhadap obyek dan causa yang diperbolehkan. Hal ini selaras dengan
pendapat Koeswadji, bahwa akibat suatu kesalahan dalam menjalankan tugas
jabatannya, notaris dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
(onvoldoendekennis), kekurangan pengalaman (onvoldoendeervaring) dan
kekurangan pengertian (onvoldoendeinzicht).108
Kehadiran jabatan notaris dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud
untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis
yang bersifat autentik mengenai peristiwa dan perbuatan hukum. Jika melihat hal
ini sudah seharusnya mereka yang diangkat sebagai notaris mempunyai semangat
107Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Op.Cit., hal.8.108 Koeswadji, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum,
Center of Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta, hal. 98.
80
untuk melayani masyarakat dalam memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum melalui akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapannya.
Pentingnya peranan notaris dalam membantu menciptakan kepastian dan
perlindungan hukum bagi masyarakat, lebih bersifat preventif, atau bersifat
pencegahan terjadinya masalah hukum. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
penerbitan akta autentik yang dibuat di hadapannya terkait dengan status hukum,
hak dan kewajiban seseorang dalam hukum berfungsi sebagai alat bukti yang
paling sempurna di pengadilan dalam hal terjadi sengketa antara para pihak
dan/atau penerima hak dari padanya mengenai hak dan kewajiban yang terkait.
Tanggung jawab profesi notaris lahir dari adanya kewajiban dan
kewenangan yang diberikan kepadanya, kewajiban dan kewenangan tersebut
secara sah dan terikat mulai berlaku sejak notaris mengucapkan sumpah
jabatannya sebagai notaris. Sumpah yang telah diucapkan tersebutlah yang
seharusnya mengontrol segala tindakan notaris dalam menjalankan jabatannya.
Notaris di dalam menjalankan tugas kewenangannya sebagai pejabat umum
memiliki ciri utama, yaitu pada kedudukannya yang tidak memihak dan mandiri
(independent), bahkan dengan tegas dikatakan “bukan sebagai salah satu pihak”.
Notaris selaku pejabat umum di dalam menjalankan fungsinya memberikan
pelayanan kepada masyarakat antara lain didalam pembuatan akta autentik bukan
merupakan pihak yang berkepentingan. Pada hakekatnya notaris selaku pejabat
umum hanyalah mengkonstatir atau merekam secara tertulis dan autentik dari
perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan. notaris tidak ada di
dalamnya, yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang
81
berkepentingan serta yang terikat dalam dan oleh isi perjanjian. Oleh karena itu,
akta notaris atau akta autentik tidak menjamin bahwa pihak-pihak “berkata benar”
tetapi yang dijamin oleh akta autentik adalah pihak-pihak “berkata benar” seperti
yang termuat di dalam akta perjanjian mereka.109 Dengan kata lain, akta notaris
sebagai akta autentik memberi kekuatan hukum atau menjamin kebenaran tentang
memang benar ada pihak-pihak berkata atau menerangkan hal-hal yang diuraikan
dalam akta dan bukan menjamin tentang kebenaran apa yang dikatakan atau
diterangkan oleh pihak-pihak dalam akta.
Landasan filosofis dibentuknya UUJN adalah terwujudnya jaminan
kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran
dan keadilan melalui akta yang dibuat oleh notaris.Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN-
P menyebutkan notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Notaris dalam
menjalankan kewenangannya tidak lepas dari tugas dan kewajibannya sebagai
pejabat umum yang diberi kepercayaan oleh masyarakat dalam membuat akta
autentik, dimana akta autentik merupakan alat bukti yang terkuat dan terpenuh,
yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum,
dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa.
Kewenangan notaris terkait jabatannya diatur dalam Pasal 15 UUJN-P.
Berdasarkan aturan ini menegaskan bahwa:
109Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek PertanggungjawabanNotaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 65.
82
(1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untukdinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatanakta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskanatau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan olehundang-undang.
(2) Notaris berwenang pula:a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yangbersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; ataug. membuat akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturangperundang-undangan
Pengaturan dalam UUJN tidak hanya mencakup mengenai kewenangan.
Sebagaimana diatur dalam bab III bagian kedua UUJN-P dalam menjalankan
profesinya seorang notaris memiliki kewajiban-kewajiban. Seorang notaris wajib
bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran merupakan hal yang
penting karena jika seorang notaris bertindak dengan ketidakjujuran maka akan
banyak kejadian yang merugikan klien bahkan akan menurunkan
ketidakpercayaan klien terhadap notaris tersebut. Keseksamaan bertindak
merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang
notaris.110Selain itu dalam melaksanakan jabatannya notaris juga berkewajiban
untuk menjaga kerahasiaan klien, membuat dokumen atau akta yang diminta oleh
110Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih AsaSukses, Jakarta, hal. 41.
83
klien, membuat daftar akta-akta yang dibuatnya, membacakan akta di hadapan
para pihak, dan menerima magang calon notaris di kantornya. Mengenai
kewajiban notaris ini diatur secara lengkap dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) UUJN-P yang menegaskan bahwa :
(1) Dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban :n. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;o. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris;p. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;q. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini, kecuali ada alasanuntuk menolaknya;r. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuaidengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukanlain;
s. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi bukuyang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlahakta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilidmenjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta,bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
t. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidakditerimanya surat berharga;
u. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutanwaktu pembuatan akta setiap bulan;
v. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h ataudaftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat WasiatDepartemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidangkenotariatan dalam waktu 5 (lima) had pada minggu pertama setiapbulan berikutnya;
w. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat padasetiap akhir bulan;
x. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara RepublikIndonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
y. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh palingsedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga olehpenghadap, saksi, dan notaris;
z. menerima magang calon notaris.
84
(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat(1) huruf b tidak berlaku, dalam hal notaris mengeluarkan akta inoriginali.
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.b. Akta penawaran pembayaran tunai.c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga.d. Akta kuasa.e. Akta keterangan kepemilikan.f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3.2. Bentuk Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta PerjanjianNominee
Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai karakteristik
yaitu sebagai Jabatan. UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan
notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang
mengatur jabatan notaris di Indonesia sehingga segala hal yang berkaitan dengan
jabatan notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan notaris
merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara.Menempatkan notaris
sebagai pejabat umum merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja
dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan
tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan
tetap.111
Keabsahan jabatan notaris sebagai pejabat umum juga bersumber dari Pasal
1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “Suatu akta autentik ialah suatu akta
yang didalam bentuk yang ditentukan undang-undang dibuat oleh atau dihadapan
111Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notarissebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung. (Selanjutnya ditulis HabibAdjie II), hal 32-34.
85
Pejabat Umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”.
Berdasarkan ketentuan ini jelas mempertegas bahwa suatu akta autentik harus
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, dan produk hukum notaris berupa akta
autentik adalah merupakan produk pejabat umum.
Akta adalah surat resmi yang sengaja dibuat sejak semula untuk
pembuktian dikemudian hari, yaitu apabila terjadi sengketa dan kemudian sampai
menjadi perkara di Pengadilan diajukan barang bukti dari adanya perbuatan
hukum atau perjanjian. Hal ini sesuai dengan pendapat Subekti yang menyebutkan
bahwa, suatu akta merupakan suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat
untuk dapat dijadikan bukti bila ada suatu peristiwa dan ditanda tangani.112
Akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris diharapkan mampu
menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum.Jadi akta autentik
mempunyai fungsi sebagai alat bukti terutama di Pengadilan, yaitu bukti adanya
suatu perbuatan hukum atau perjanjian. Perjanjian sendiri adalah sah apabila telah
memenuhi persyaratan mengenai sahnya perjanjian.
Syarat sahnya suatu perjanjian adalah harus memenuhi seluruh ketentuan
syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Jika salah satu syarat tidak
dipenuhi maka perjanjian itu tidak sah. Hal ini dikarenakan syarat sahnya
perjanjian berlaku secara kumulatif, dan bukan limitatif. Seluruh ketentuan yang
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian,
yaitu :
112 R.Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta,hal.48.
86
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal
Keempat syarat ini dapat digolongkan kedalam 2 (dua) syarat, yakni syarat
1 dan 2 adalah merupakan syarat subyektif karena menyangkut subyek/orangnya
dan syarat 3 dan 4 adalah merupakan syarat obyektif karena menyangkut
obyek/bendanya. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syart subyektifnya, maka
perjanjian yang demikian dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar),
sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif, maka perjanjian itu
batal demi hukum atau batal dengan sendirinya (nietig van rechtswege).
Sebaliknya apabila suatu perjanjian telah memenuhi keempat syarat yang telah
ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian tersebut adalah sah.
Seorang notaris harus mampu menilai bahwa para penghadap/pihak cakap,
yaitu bukan orang-orang yang belum dewasa dan/atau mereka yang tidak sedang
dibawah pengampuan, dan jelas memiliki kewenangannya dalam bertindak, maka
notaris harus mampu melihat maksud dan tujuan penghadap/pihak-pihak tersebut
membuat akta serta perbuatan hukumnya benar atas dasar kesepakatan dan bukan
sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, tidak bertentang dengan ketertiban
umum dan kesusilaan. Selain itu, tugas notaris bukan hanya merelatir kehendak
pihak, akan tetapi notaris bertangungjawab dengan menerapkan logika hukum
(kewajaran). Dapat dikatakan disinilah peranan notaris sebagai pejabat umum
diuji, karena peran notaris sebagai jabatan kepercayaan baik kepercayaan dari
87
pemerintah yang memberikan kewenangan kepada notaris sebagai pejabat
pembuat akta autentik juga kepercayaan para penghadap/pihak-pihak yang secara
mufakat meminta jasa hukum kepadanya, notaris harus menguasai perannya
dengan mampu mengarahkan isi akta agar sesuai dengan kenyataan dan tidak
berbenturan dengan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1337
KUHPerdata yang menyebutkan “Suatu sebab adalah terlarang, apababila dilarang
oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.”
Menurut Andi Prajitno, notaris juga merupakan salah satu penegak hukum
dan penasehat hukum serta salah satu sumber penemu hukum atau disebut juga
sebagai seorang yurist, bukan hanya mengesahkan atau men-stempel akta
perjanjian tetapi ikut ambil bagian memenuhi dan merelatir kehendak pihak-pihak
yang memerlukan dan mengatur agar tidak melanggar/bertentangan dengan
undang-undang. Perlu diingat dan dipahami bahwa mengatur disini maksudnya
adalah notaris tidak boleh membantu pihak atau para pihak mencarikan jalan
keluar atau solusi dalam membuat akta-akta yang kelihatannya tidak melanggar
dengan membuat akta yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Perilaku seperti ini dapat dikatakan sebagai Dader Intelektual.113 Dalam membuat
alat bukti tertulis yang berupa alat bukti autentik, yang dilakukan notaris adalah
merelatir kehendak dari para pihak/penghadap untuk dinyatakan dalam akta yang
dibuat dihadapannya, agar tidak melanggar undang-undang, sekaligus agar
kehendak para pihak terlaksana secara baik dan benar. Dengan merelatir dan
113A.A. Andi Prajitno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan SiapaNotaris Di Indonesia, Putra Media Nusantara, Surabaya,hal.38.
88
melakukan fungsi sebagai penasehat hukum (legal advisor) tersebut bisa diartikan
notaris tidak pasif atau berperan sebagai dictaphone yang hanya menerima begitu
saja apa yang diminta oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta, tetapi juga
harus berperan aktif dengan membuat penilaian terhadap isi dari akta yang
dimintakan kepadanya dan tidak perlu ragu untuk menyatakan keberatan/menolak
jika pihak yang memintanya tidak sesuai dengan kelayakan maupun undang-
undang. Fungsi keberadaan notaris di dalam memberikan jasanya sekaligus agar
tidak berbenturan maupun melanggar hukum, karena fungsi notaris adalah secara
professional terikat, sejauh kemampuannya untuk mencegah penyalahgunaan dari
ketentuan hukum dan kesempatan yang diberikan oleh hukum.Perlu menjadi
perhatian bahwa notaris bukan merupakan juru tulis kliennya, oleh karena itu
notaris perlu mengkaji apakah yang diminta para klien tidak
melanggar/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, atau bahkan telah
terjadi praktek penyelundupan hukum.114
Seorang notaris yang merupakan sebagai profesional hukum, sehingga
masyarakat mempercayakan dan/atau atau memohon bantuan jasanya dalam
bidang hukum pada umumnya dan bidang hukum kenotariatan pada khususnya
sudah pasti seharusnya mengetahui benar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
UUPA mengenai penguasaan hak milik atas tanah di wilayah Indonesia. Dalam
Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1)UUPA dengan jelas menyebutkan bahwa
hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan
ruang angkasa, serta dengan jelas mengatur bahwa hanya WNI yang dapat
114Ibid., hal.3-4.
89
mempunyai hak milik. Hal ini kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 26 ayat
(2) UUPA yaitu disebutkan setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung
atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang
warga Negara disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara. Selain itu berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UUPA apabila orang asing
memperoleh tanah hak milik karena warisan atau akibat percampuran harta, maka
hak milik tersebut wajib dilepaskan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
diperolehnya hak tersebut. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakan maka hak milik
atas tanah tersebut menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah
Negara.115
Dewasa ini praktek penyelundupan hukum muncul sebagai suatu konsep
baru yang dilahirkan oleh individu tertentu untuk mencapai keinginannya yang
sesungguhnya telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan, penyelundupan
hukum dengan akta notarial dianggap sebagai jalan keluar untuk melewati
batasan-batasan dalam beberapa tindakan tertentu yang telah ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan. Salah satu tindakan yang melahirkan konsep baru
sebagai upaya penyelundupan hukum adalah keinginan orang asing untuk
115 Gde Widhi Wiratama, Ida Bagus Rai Djaja, Pengaturan MengenaiPerjanjian Nominee Dan Keabsahannya (Ditinjau Dari Kitab Undang-UndangHukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang PeraturanDasar Pokok-Pokok Agraria), Makalah Hukum Bisnis Fakultas HukumUniversitas Udayana, hal. 3.
90
memiliki/menguasai hak milik atas tanah di Indonesia dengan instrumen
perjanjian nominee.
Menurut Maria S.W. Sumardjono perjanjian nominee merupakan perjanjian
yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek
hak milik atas tanah, dalam hal ini yakni orang asing dengan WNI, dengan
maksud agar orang asing tersebut dapat menguasai (memiliki) tanah hak milik
secara de facto, namun secara legal-formal (dejure) tanah hak milik tersebut
diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya bertindak
sebagai Nominee oleh orang asing. 116 Lebih lanjut Maria S.W. Sumardjono
menyebutkan, sehubungan dengan penguasaan hak milik atas tanah oleh warga
negara asing, maka bentuk perjanjian yang dibuat oleh notaris bagi orang asing
dalam peralihan hak milik atas tanah adalah sebagai berikut :117
1. Akta Pengakuan Utang2. Pernyataan bahwa pihak WNI memperoleh fasilitas pinjaman uang dari
orang asing untuk digunakan membangun usaha.3. Pernyataan pihak WNI bahwa tanah hak milik adalah milik pihak orang
asing.4. Kuasa menjual. Pihak WNI memberi kuasa dengan hak substitusi kepada
pihak orang asing untuk menjual, melepaskan, atau memindahkan tanahhak milik yang terdaftar atas nama WNI.
5. Kuasa roya. Pihak WNI memberi kuasa dengan hak substitusi kepadapihak orang asing secara khusus mewakili dan bertindak atas nama pihakWNI untuk meroya dan menyelesaikan semua kewajiban utang piutangpihak orang asing.
6. Sewa menyewa tanah. WNI sebagai pihak yang menyewakan tanahmemberikan hak sewa kepada orang asing sebagai penyewa selama
116Maria S.W. Sumardjono, 2012, Penguasaan Tanah Oleh Warga NegaraAsing Melalui Perjanjian Nominee, Rapat Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia(INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Denpasar, hal.2.
117Maria SW. Sumardjono, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan HakAtas Tanah Beserta Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan HukumAsing, Kompas, Jakarta, hal. 16.
91
jangka waktu tertentu, misalnya 25 tahun, dapat diperpanjang dan tidakdapat dibatalkan sebelum berakhirnya jangka waktu sewa.
7. Perpanjangan sewa menyewa. Pada saat yang bersamaan denganpembuatan perjanjian sewa menyewa tanah (angka 6), dibuat sekaligusperpanjangan sewa menyewa selama 25 tahun dengan ketentuan yangsama dengan angka 6.
8. Perpanjangan sewa menyewa. Sekali lagi pada saat yang bersamaandengan pembuatan perjanjian sewa menyewa tanah (angka 6 dan 7),dibuat perpanjangan sewa menyewa lagi untuk waktu 25 tahun denganketentuan yang sama dengan angka 6 dan 7.
9. Kuasa. Pihak WNI memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pihakorang asing (penerima kusa) untuk mewakili dan bertindak untuk atasnama pihak WNI mengurus segala urusan, memperhatikankepentingannya, dan mewakili hak-hak pemberi kuasa untuk keperluanmenyewakan dan mengurus izin mendirikan bangunan (IMB),menandatangani surat pemberitahuan pajak dan surat lain yangdiperlukan; menghadap pejabat yang berwenang serta menandatanganisemua dokumen yang diperlukan.
Proses pembuatan akta sebagaimana tersebut di atas merupakan
penyelundupan hukum dan melanggar hukum serta melanggar sumpah jabatan
maupun sumpah pejabat. Permintaan pembuatan akta seperti tersebut, notaris
harus menolak secara tegas karena selain merupakan pelanggaran jabatan, akta
yang dibuat tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya pasti merugikan
pihak lain. Akta sebagaimana dimaksud salah satunya dikenal sebagai Akta
Antidateren, yaitu isi akta ditulis tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Contohnya adalah Akta Pernyataan Pembeli dalam perbuatan hukum jual beli
tanah, dalam hal ini pembeli sebenarnya adalah orang yang menurut undang-
undang tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah tertentu.118
Dapat dilihat bahwa melalui akta-akta tersebut di atas justru seorang notaris
memiliki andil yang sangat besar dalam memberikan peluang kepada orang asing
untuk menguasai tanah hak milik. Padahal seharusnya seorang notaris sebagai
118A.A. Andi Prajitno, Op.Cit, hal. 38-40.
92
salah satu profesi hukum yang juga dapat bertindak sebagai penegak hukum dan
penasehat hukum, yang sebelum menjalankan jabatannya mengucapkan
sumpah/janji akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang- undangan lainnya
justru menjadi benteng terakhir dalam menerapkan peraturan-peraturan di bidang
pertanahan khususnya mengenai penguasaan atas tanah hak milik di wilayah
Negara Republik Indonesia. Seorang notaris tidak dapat dibenarkan apabila
berargumentasi bahwa akta-akta tersebut di atas yang dibuat di hadapannya adalah
merupakan sebagai kesepakatan para pihak yang mengacu pada kebebasan
berkontrak.
Mariam Badrulzaman menyebutkan bahwa merujuk pada ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata ayat (1) dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak
dibatasi oleh konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan
ini memberi petunjuk bahwa perjanjian dipengaruhi oleh asas konsensualisme.
Selanjutnya Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata mencerminkan bahwa kebebasan
setiap orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya, artinya orang
yang tidak cakap menurut hukum tidak mempunyai kebebasan untuk membuat
perjanjian. Dalam Pasal 1320 pasal 4 dan Pasal 1337 KUHPerdata yang dengan
jelas menyebutkan bahwa para pihak tidak bebas untuk mengadakan perjanjian
yang menyangkut kausa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Konsekuensi hukum bila perjanjian
dibuat bertentangan dengan kausa tersebut adalah dapat menjadi penyebab
93
perjanjian bersangkutan tidak sah.Dengan demikian asas kebebasan berkontrak
tidak berarti bebas tanpa batas, melainkan terbatas oleh tanggung jawab para
pihak, sehingga kebebasan berkontrak sebagai asas diberi sifat “asas kebebasan
berkontrak yang bertanggung jawab”.119
Besarnya tanggung jawab notaris dalam menjalankan profesinya
mengharuskan notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap tindakannya.
Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang notaris dalam
menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan baik
karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat merugikan
pihak lain. Dalam penjatuhan sanksi terhadap notaris, ada beberapa syarat yang
harus terpenuhi yaitu perbuatan notaris harus memenuhi rumusan perbuatan itu
dilarang oleh undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan
notaris tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik
formil maupun materiil. Secara formal disini sudah dipenuhi karena sudah
memenuhi rumusan dalam undang-undang, tetapi secara materiil harus diuji
kembali dengan Kode Etik, UUJN dan UUJN-P.
Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memiliki keahlian khusus yang
menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani
kepentingan umum. Tugas seorang notaris adalah membuat suatu akta autentik
yang diinginkan oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu, dan inti
tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan autentik hubungan hukum antara
para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris.
119 Mariam Badrulzaman, 1994, Asas Kebebasan Berkontrak danKaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standar), Alumni, Bandung, hal. 43.
94
Menurut Abdul Ghofur, terdapat empat poin mengenai tanggung jawab
notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil :120
1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap
akta yang dibuatnya;
2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta
yang dibuatnya;
3. Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris (UUJN)
terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;
4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
Kode Etik Notaris.
Tugas seorang notaris adalah membuat suatu akta otentik yang diinginkan
oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Tanpa adanya suatu
permintaan dari para pihak maka notaris tidak akan membuatkan suatu akta
apapun. Notaris dalam membuat suatu akta harus berdasarkan keterangan atau
pernyataan dari para pihak yang hadir dihadapan notaris, kemudian notaris
menuangkan keterangan-keterangan/penyataan-pernyataan tersebut kedalam
suatuakta, dimana akta tersebut telah memenuhi ketentuan secara ilmiah, formil
dan materiil dalam pembuatan akta autentik. Notaris dalam membuat akta tersebut
harus berpijak pada peraturan hukum atau tata cara prosedur pembuatan akta.
Selain itu notaris juga berperan dalam hal memberikan nasehat hukum yang sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi oleh para pihak yang membutuhkan jasa
seorang notaris.
120 Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia: PerspektifHukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal. 34.
95
Peran notaris disini hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan
hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Notaris hanya
mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para
pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil pembuatan
akta otentik kemudian menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan
untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta autentik tersebut.Hal ini
mewajibkan notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan
semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada notaris
yang bersangkutan.
Namun notaris dapat juga dipertanggungjawabkan atas kebenaran materiil
suatu akta bila nasihat hukum yang diberikannya ternyata dikemudian hari
merupakan suatu yang keliru, serta apabila dalam pembuatan akta tersebut
ternyata notaris tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak merasa tertipu
atas ketidaktahuannya. Untuk itu sudah seharusnya seorang notaris memberikan
informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui klien, karena ada hal
lain yang juga harus diperhatikan oleh notaris yaitu yang berkaitan dengan
perlindungan hukum notaris itu sendiri. Dengan adanya ketidakhati-hatian yang
dilakukan notaris, sebenarnya notaris telah membawa dirinya pada suatu
perbuatan yang oleh undang-undang harus dipertanggungjawabkan.
Seorang notaris dapat secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama
dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu
atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang
96
diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Hal ini tentu saja selain
bisa merugikan para pihak (penghadap) juga bisa merugikan notaris itu sendiri
karena dengan melakukan atau membantu atau menyuruh pengadap untuk
melakukan suatu tindakan hukum yang bersifat melanggar hukum maka seorang
notaris tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan
tugas dan jabatannya.
Perjanjian nominee sebagai instrumen hukum bagi orang asing untuk
menguasai hak milik atas tanah di wilayah Indonesia adalah jelas merupakan
sesuatu yang bertentangan undang-undang. Sehingga dengan demikian, seorang
notaris yang mengakomodir pihak-pihak/penghadap dalam pembuatan akta
perjanjian nominee adalah dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan
hukum.
Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta
autentik menimbulkan suatu konsekuensi pertanggungjawaban. Seorang notaris
yang dengan sengaja memberikan nasehat hukum dan melaksanakan pembuatan
perjanjian nominee adalah merupakan perbuatan melawan hukum baik secara aktif
juga secara pasif. Perbuatan hukum notaris secara aktif yaitu karena telah
melaksanakan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak-
pihak/penghadap, dan merupakan perbuatan melawan hukum secara pasif karena
tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan sebagai seorang notaris
sebagai profesional hukum seharusnya menjalankan fungsinya sebagai penasehat
hukum dan memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
97
UUJN dan UUJN-P mengatur bahwa ketika notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran/perbuatan melawan hukum,
maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata,
administrasi, dan kode etik jabatan notaris. Akibat dari perbuatan melawan hukum
yang menimbulkan kerugian dan menyebabkan akta autentik terdegradasi menjadi
kekuatan pembuktian dibawah tangan dan/atau bahkan terjadi kebatalan demi
hukum akta autentik membawa notaris kedalam pertanggungjawaban berupa
sanksi perdata yaitu penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Selain itu, perbuatan
melawan hukum dengan melaksanakan pembuatan perjanjian nominee maka telah
melanggar kodeetik jabatan notaris sehingga termasuk sebagai perbuatan melawan
hukum dalam ranah administrasi sehingga membawa pertanggungjawaban atas
sanksi berupa teguran, peringatan, skorsing dari keanggotaan Perkumpulan,
pemecatan dari keanggotaan Perkumpulan, dan pemberhentian dengan tidak
hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
Sudah seharusnya seorang notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya
tidak menjadi suatu kegiatan rutin yaitu untuk menuangkan seluruh apa yang
menjadi kehendak para pihak/penghadap kedalam suatu akta autentik yang
dimohonkan dibuat di hadapannya, akan tetapi lebih bertanggungjawab dengan
untuk lebih aktif memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta sehingga memberikan penilaian terhadap isi akta yang dimintakan kepadanya
untuk kemudian tidak perlu ragu menyatakan keberatan/menolak jika sudah jelas
bertentangan dengan suatu peraturan perundangan-undangan. Khususnya dalam
hal akta perjanjian nominee akan lebih tepat apabila seorang notaris memberikan
98
informasi kepada orang asing sebagai subyek hak atas tanah yang ingin
memiliki/menguasai tanah di wilayah Negara Republik Indonesia sehingga
diperoleh pemahaman yang menyeluruh dan orang asing tidak ragu untuk
membeli tanah hak yaitu Hak Pakai atas tanah sehingga dengan penerapan hukum
yang tepat terlaksana maka tercipta perlindungan hukum serta kepastian hukum
melalui produk hukum akta notaris.
3.2.1 Tanggung Jawab Notaris Dari Segi Hukum Administrasi
Perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta autentik yang
dilakukan oleh notaris juga menyebabkan seorang notaris dijatuhi sanksi
administrasi. Sanksi administrasi berdasarkan UUJN-P disebutkan ada 5 (lima)
jenis sanksi administrasi yang diberikan apabila seorang notaris melanggar
ketentuan UUJN-P yaitu peringatan lisan, peringatan tertulis, pemberhentian
sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak
hormat. Sanksi-sanksi itu berlaku secara berjenjang mulai dari teguran lisan
sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat.
Sanksi notaris karena melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana
tersebut dalam pasal pasal dalam UUJN-P merupakan sanksi internal yaitu sanksi
terhadap notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya tidak melaksanakan
serangkaian tindakan tertib pelaksanaan tugas dan jabatan kerja notaris yang harus
dilakukan untuk kepentingan notaris sendiri.Sanksi terhadap notaris berupa
pemberhentian sementara dari jabatannya merupakan tahap berikutnya setelah
penjatuhan sanksi teguran lisan dan teguran secara tertulis.
99
Kedudukan sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan notaris
atau skorsing merupakan masa menunggu pelaksanaan sanksi paksaan
pemerintah. Sanksi pemberhentian sementara notaris dari jabatannya,
dimaksudkan agar notaris tidak melaksanakan tugas dan jabatannya untuk
sementara waktu, sebelum sanksi berupa pemberhentian dengan hormat atau
pemberhentian tidak hormat dijatuhi kepada notaris. Pemberian sanksi
pemberhentian sementara ini berakhir dalam bentuk pemulihan kepada notaris
untuk menjalankan tugas dan jabatannya kembali atau ditindaklanjuti dengan
sanksi pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak hormat.
Sanksi pemberhentian sementara dari jabatan notaris merupakan sanksi
paksaan nyata sedangkan sanksi yang berupa pemberhentian dengan hormat dan
pemberhentian tidak hormat termasuk ke dalam jenis sanksi pencabutan keputusan
yang menguntungkan. Dengan demikian ketentuan pasal-pasal UUJN-P yang
dapat dikategorikan sebagai sanksi administrasi yaitu pemberhentian sementara,
pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian tidak hormat.
Prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh
instansi yang diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut.Penjatuhan
sanksi administrasi adalah sebagai langkah preventif (pengawasan) dan langkah
represif (penerapan sanksi). Langkah preventif dilakukan melalui pemeriksaan
protokol notaris secara berkala dan kemungkinan adanya pelanggaran dalam
pelaksanaan jabatan notaris. Sedangkan langkah represif dilakukan melalui
penjatuhan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah, berupa teguran lisan dan
teguran tertulis serta berhak mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat
100
pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan dan
pemberhentian tidak hormat.
3.2.2 Tanggung Jawab Notaris Dari Segi Hukum Perdata
Jabatan notaris hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (privatenotary)
yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat
akan alat bukti autentik yang memberikan kepastian hubungan hukum
keperdataan, jadi, sepanjang alat bukti autentik tetap diperlukan oleh sistem
hukum negara maka jabatan notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah
masyarakat.121 Sebagai pejabat umum yang memberikan pelayanan hukum kepada
masyarakat secara profesional, notaris wajib untuk patuh dan tunduk kepada
aturan-aturan yang membatasi, mengatur dan juga menuntun perilaku notaris
dalam melaksanakan jabatannya. Hal ini sesuai dengan sumpah/janji jabatan
notaris yang termuat dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN-P bahwa seorang notaris akan
patuh dan setia kepada :
1. Pancasila ;
2. UUD 1945 ;
3. Undang-Undang Jabatan Notaris ;
4. Peraturan perundang-undangan lainnya ;
5. KodeEtik Notaris.
Keabsahan jabatan notaris sebagai pejabat umum juga bersumber dari
Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “Suatu akta autentik ialah suatu
121Yanti Jacline Jennifer Tobing, 2010, Pengawasan Majelis PengawasNotaris Dalam Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris (Studi Kasus MPPNomor 10/B/Mj.PPN/2009 jo. Putusan MPW Nomor 131/MPW-Jabar/2008),Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, hal. 12.
101
akta yang didalam bentuk yang ditentukan undang-undang dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta
dibuatnya”. Berdasarkan ketentuan ini jelas mempertegas bahwa suatu akta
autentik harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, dan produk hukum
notaris berupa akta autentik adalah merupakan produk pejabat umum. Dengan
demikian jelas bahwa salah satu tugas dan tanggung jawab notaris adalah
membuat akta autentik, baik yang ditentukan peraturan perundang-undangan
maupun oleh keinginan orang dan/atau badan hukum tertentu yang
membutuhkannya.
Akta autentik diharapkan memiliki kekuatan alat bukti terkuat dan penuh
sehingga mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam
kehidupan masyarakat. Melalui akta autentik yang menentukan secara jelas hak
dan kewajiban seseorang/badan hukum sebagai pihak dalam akta dapat
memberikan kepastian hukum sehingga mencegah terjadinya sengketa
dikemudian hari. Dengan katalain, akta autentik yang dibuat oleh notaris
mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sepanjang tidak dapat dibantah
kebenarannya oleh siapa pun, kecuali bantahan terhadap akta tersebut dapat
dibuktikan sebaliknya. Dalam arti bahwa akta yang dibuat oleh notaris tersebut
terbukti mengalami kebohongan atau cacat, sehingga akta tersebut dapat
dinyatakan oleh hakim sebagai akta yang cacat secara hukum dan menyebabkan
adanya pihak-pihak yang dirugikan.
Akta autentik tidak dapat dilepaskan dengan kekuatan pembuktiannya.
Tujuan para penghadap datang ke hadapan notaris dan meminta menuangkannya
102
dalam akta autentik baik untuk dibuat oleh notaris atau oleh penghadap adalah
agar perbuatan hukum yang dilakukan mendapatkan kepastian hukum. Para pihak
dapat menjadikan kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam akta autentik
sebagai alat bukti yang kuat dan sempurna. Pasal 1870 KUHPerdata mengatur
bahwa akta autentik memberikan kepastian di antara para pihak dan ahli warisnya
atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna
tentang apa yang termuat di dalamnya.
Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan pembuktian pada alat
bukti yang menyebabkan nilai pembuktian pada alat bukti yang menyebabkan
nilai pembuktiann pada alat bukti tersebut cukup pada dirinya sendiri. Cukup
dalam arti bahwa alat bukti tertentu tidak membutuhkan alat bukti lain untuk
membuktikan suatu peristiwa, hubungan hukum, maupun hak dan kewajiban.122
Notaris dalam menjalankan jabatan dan profesinya berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku akan menciptakan produk hukum berupa akta notaris
yang merupakan sebagai akta autentik yakni akta yang mempunyai kebenaran
lahir, formil dan materiil sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang penuh
atau sempurna, hingga dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak yang
menyangkalnya. Kekuatan pembuktian lahir atau diri (Uitwendige Bewijskracht)
adalah kemampuan lahiriah akta autentik untuk membuktikan keabsahannya
sebagai akta autentik. Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta autentik serta
sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai akta autentik,
122 M.Natsir Asnawi, 2013, Hukum Pembuktian Perkara Perdata diIndonesia, kajian kontekstual mengenai sistem asas, prinsip, pembebanan danstandar pembuktian, UII Press, Yogyakarta, hal.43.
103
sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta
tersebut bukan akta autentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada
pada pihak yang menyangkal atau membantah kebenaran akta autentik tersebut.
Parameter untuk menentukan akta notaris sebagai akta autentik, yaitu tanda tangan
dari notaris yang bersangkutan baik pada minuta dan salinan, dan adanya awal
akta (dimulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Jika ada yang menilai bahwa
suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan
wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta autentik.123
Akta autentik dengan sendirinya mempunyai kekuatan untuk membuktikan
dirinya sendiri sebagai akta autentik berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang memenuhi syarat sebagai akta autentik dan sah menurut hukum. Berdasarkan
hal tersebut maka beban pembuktian terdapat pada pihak yang membantah atau
menyangkal keautentikan atau kebenaran akta tersebut. Sedangkan kekuatan
pembuktian formil (formele bewijskracht), akta autentik membuktikan kebenaran
mengenai apa yang tercantum dalam akta merupakan kebenaran berdasarkan
keterangan dan kehendak para pihak yang dinyatakan dihadapan pejabat yang
berwenang.
Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta
tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh
pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan
prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta notaris. Secara formal
123Aditia Warman, 2014, Kedudukan Akte Otentik Sebagai Salah SatuAlat Bukti Ditinjau Dari Sisi Pidana, Refleksi 106 Tahun Ikatan NotarisIndonesia, Badung, hal. 9
104
untuk membuktikan kebenaran tentang kepastian tentang hari, tanggal, bulan,
tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak/penghadap, saksi dan notaris,
serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris (pada akta
pejabat), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap
(pada akta pihak). Jika aspek formal yang dipermasalahkan oleh para pihak, maka
yang harus dibuktikan dari formalitas suatu akta yaitu harus dapat membuktikan
ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul (waktu) menghadap,
membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan
ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh notaris, juga harus
dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang
diberikan/disampaikan di hadapan notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para
pihak, saksi dan notaris ataupun prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan.124
Kemudian mengenai kekuatan pembuktian material (materiele
bewijskracht), secara sederhana dapat dikatakan, akta autentik memiliki kekuatan
untuk memberikan kepastian terhadap isi atau materi aktadan sebagai alat bukti
yang sah secara hukum untuk membuktikan keterlibatan para pihak yang
membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali
ada pembuktian sebaliknya. Menurut Ahmadi Miru, apabila ada yang hendak
membantah kebenaran suatu akta autentik maka pihak yang membantah tersebut
harus membuktikan kepalsuan dari akta itu. Oleh karena itu, pembuktian akta
otentik disebut pembuktian kepalsuan.125
124Ibid., hal. 10.125 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta, hal. 15.
105
Akta autentik yang merupakan produk hukum notaris ini dibedakan
menjadi 2 (dua) jenis akta, yaitu Relaas Acte dan Partij Acte. Kedua akta ini
merupakan akta autentik, namun memiliki perbedaan yaitu :126
1. Relaas Acte atau Berita Acara
2. Partij Acte atau Akta Pihak
Akta-akta tersebut dibuat atas dasar permintaan para pihak/penghadap,
tanpa adanya permintaan para pihak, sudah tentu akta tersebut tidak akan dibuat
oleh notaris. Relaas Acte atau Berita Acara merupakan akta yang dibuat
berdasarkan permintaan para pihak, terkait mencatat dan menuliskan segala
sesuatu yang disaksikan, didengar dan dialami secara langsung oleh notaris,
terkait segala sesuatu yang disampaikan dan dilakukan para pihak. Sedangkan
Partij Acte atau Akta Pihak merupakan akta yang dibuat dihadapan notaris
berdasarkan keinginan para pihak yang dinyatakan dan disampaikan serta
diterangkan sendiri oleh para pihak yang bersangkutan. Pernyataan atau
keterangan para pihak tersebut oleh notaris dituangkan dalam akta notaris.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN, sehubungan dengan pembuatan akta-
akta tersebut notaris berwenang untuk memberikan penyuluhan ataupun saran-
saran hukum kepada para pihak. Ketika saran-saran tersebut diterima dan disetujui
oleh para pihak kemudian dituangkan kedalam akta, maka saran-saran tersebut
harus dinilai sebagai pernyataan atau keterangan para pihak sendiri. Sehingga
dengan demikian sering dianggap bahwa tanggung jawab notaris terkait akta
126 Habib Adjie, 2011, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir TematikTerhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama,Bandung, hal. 46.
106
autentik yang dibuatnya adalah terbatas pada awal atau kepala akta dan akhir atau
penutup akta. Notaris pada dasarnya tidak bertanggung jawab terhadap isi atau
substansi akta karena substansi suatu akta adalah merupakan kehendak para pihak
yang menghadap kepada notaris.
Sesuai tugasnya, notaris hanya memformulasikan keinginan para
penghadap untuk kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta.Tidak ada
kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materiil mengenai hal-hal yang
dikemukakan oleh para penghadap. Akan tetapi tidak bertanggung jawabnya
seorang notaris terhadap isi substansi akta yang merupakan kehendak para pihak
tidak seharusnya diartikan secara mutlak. Artinya meskipun substansi atau materi
akta merupakan keinginan para pihak, dalam memformulasikan keinginan atau
permintaan para penghadap ke dalam bentuk akta tersebut seorang notaris harus
tetap berpijak pada aturan hukum yang berlaku. Saran-saran hukum yang
diberikan kepada para pihak oleh seorang notaris yang merupakan pejabat umum
sekaligus merupakan seorang professional hukum diharapkan memberikan saran-
saran dengan penerapan hukum yang tepat yang dapat dipertanggungjawabkan,
dengan demikian akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris mampu
memberikan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum serta menjadi alat
bukti yang sempurna.
Telah dijelaskan di atas bahwa peran notaris disini hanya mencatat atau
menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap
ke dalam akta. Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan
dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-
107
syarat formil pembuatan akta otentik kemudian menuangkannya ke dalam akta.
Notaris juga tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta
otentik tersebut. Hal ini mewajibkan notaris untuk bersikap netral dan tidak
memihak serta memberikan semacam nasihat hukum bagi klien yang meminta
petunjuk hukum pada notaris yang bersangkutan.
Notaris dapat juga dipertanggungjawabkan atas kebenaran materiil suatu
akta bila penyuluhan hukum yang diberikannya ternyata dikemudian hari
merupakan suatu yang keliru. Apabila dalam pembuatan akta tersebut ternyata
notaris tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang berkaitan
dengan akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak merasa tertipu atas
ketidaktahuannya. Untuk itulah disarankan bagi notaris untuk memberikan
informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui klien sepanjang yang
berurusan dengan masalah hukum. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal
lainyang juga harus diperhatikan oleh notaris, yaitu yang berkaitan dengan
perlindungan hukum notaris itu sendiri, dengan adanya ketidakhati-hatian dan
kesungguhan yang dilakukan notaris, sebenarnya notaris telah membawa dirinya
pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang harus dipertanggungjawabkan.
Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh notaris dapat dibuktikan, maka notaris
dapat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh
undang-undang.
Sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman, juga untuk menaati
ketetapan yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan
sebagai alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. Sanksi
108
merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh
penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma Hukum
Administrasi. Dengan demikian unsur-unsur sanksi yaitu sebagai alat kekuasaan,
bersifat hukum publik, digunakan oleh penguasa dan sebagai reaksi terhadap
ketidakpatuhan.
Hakekatnya sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk
memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan
yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan
untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan
hukum. Sanksi yang ditujukan terhadap notaris juga merupakan penyadaran,
bahwa notaris dalam melakukan tugas dan jabatannya telah melanggar ketentuan-
ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan jabatan notaris sebagaimana tercantum
dalam UUJN dan UUJN-P, serta untuk mengembalikan tindakan notaris dalam
melaksanakan tugas dan jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN dan UU
perubahan atas UUJN.
Pemberian sanksi terhadap notaris juga untuk melindungi masyarakat dari
tindakan notaris yang dapat merugikan masyarakat, misalnya membuat akta yang
tidak melindungi hak-hak para pihak. Sanksi tersebut juga untuk menjaga
martabat lembaga notaris sebagai lembaga kepercayaan, karena jika notaris
melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap
notaris. Secara individu diberikannya sanksi terhadap notaris merupakan suatu
pertaruhan dari jabatan seorang notaris yang menjalankan tugas dan jabatannya,
109
apakah dikemudian hari masyarakat masih mau mempercayakan pembuatan akta
terhadap notaris yang bersangkutan atau tidak.UUJN dan UUJN-P yang mengatur
jabatan notaris berisikan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa atau
merupakan suatu aturan hukum yang imperatif untuk ditegakkan terhadap notaris
yang telah melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas dan jabatannya.
Sanksi yang diberikan yang diberikan terhadap pertanggungjawaban
perdata seorang notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum pembuatan
akta otentik adalah sanksi perdata. Sanksi ini berupa penggantian biaya, ganti rugi
dan bunga merupakan akibat yang akan diterima notaris atas tuntutan para
penghadap yang merasa dirugikan atas pembuatan akta oleh notaris. Penggantian
biaya, ganti rugi atau bunga harus didasarkan pada suatu hubungan hukum antara
notaris dengan para pihak yang menghadap notaris. Jika ada pihak yang merasa
dirugikan sebagai akibat langsung dari suatu akta notaris, maka yang
bersangkutan dapat menuntut secara perdata terhadap notaris.Dengan demikian,
tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga terhadap notaris tidak
berdasarkan atas penilaian atau kedudukan suatu alat bukti yang berubah karena
melanggar ketentuan-ketentuan tertentu, tetapi hanya dapat didasarkan pada
hubungan hukum yang ada atau yang terjadi antara notaris dengan para
penghadap.Pasal 41 UUJN-P menentukan adanya sanksi perdata, jika notaris
melakukan perbuatan melawan hukum atau pelanggaran terhadap Pasal 38, Pasal
39, dan Pasal 40 UUJN-P maka akta notaris hanya akan mempunyai pembuktian
sebagai akta di bawah tangan. Akibat dari akta notaris yang seperti itu, maka
110
dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris.
Kedudukan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta dibawah tangan merupakan nilai dari sebuah pembuktian yang tidak dapat
dituntut dengan ganti rugi dalam bentuk apapun. Demikian juga dengan batalnya
akta demi hukum, jika sudah batal demi hukum maka kekuatan mengikat dalam
akta tersebut akan hilang. Jika demikian bahwa tuntutan biaya, ganti rugi dan
bunga bukan sebagai akibat seperti itu, tapi karena ada hubungan hukum antara
notaris dan para pihak yang menghadap notaris. Hubungan hukum merupakan
suatu hubungan yang akibatnya diatur oleh hukum.
Tuntutan terhadap notaris dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi, dan
bunga sebagai akibat akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan atau batal demi hukum, berdasarkan adanya hubungan hukum
yang khas antara notaris dengan para penghadap dengan sebagai perbuatan
melawan hukum dan ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidaktepatan dalam
teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN dan UUJN-P serta
penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan
untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada kemampuan menguasai
keilmuan bidang notaris secara khusus dan hukum pada umumnya.
Abdulkadir Muhammad menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang
diharapkan bahkan dituntut kepada notaris dalam menjalankan tugas jabatannya,
yaitu :127
127Ibid., hal. 49.
111
a. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya
akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak
yang berkepentingan karena jabatannya.
b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang
dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang
berkepentingan dalam arti yang sebenarnya. Notaris harus menjelaskan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur akta yang
dibuatnya itu.
c. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu
mempunyai kekuatan bukti sempurna.
Selain itu dalam memberikan pelayanannya sebagai professional, menurut
Abdulkadir Muhamad seorang notaris bertanggung jawab kepada diri sendiri dan
kepada masyarakat. Bertanggung jawab kepada diri sendiri, artinya dia bekerja
karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari
kehidupannya. Dalam memberikan pelayanan, seorang profesional selalu
mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati
nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka. Bertanggung jawab kepada
masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa
membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta
menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat.
Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan,
melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga
berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu.
112
Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang
membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan berdosa
kepada Tuhan.128
R. Soegondo mengemukakan bahwa untuk dapat membuat akta autentik,
seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia,
seorang advokat, meski pun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak
berwenang untuk membuat akta autentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan
sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil
(Ambtenaarvande Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak
membuat akta autentik untuk hal-hal tertentu, seperti untuk membuat akta
kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh undang-
undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat
akta-akta itu.129
Dapat disimpulkan bahwa seorang notaris sebagai pejabat umum dengan
kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta diharapkan agar selalu tetap berpijak pada aturan hukum yang
berlaku. Saran-saran hukum yang diberikan kepada para pihak oleh seorang
notaris yang juga merupakan seorang professional hukum diharapkan memberikan
nasihat dengan penerapan hukum yang tepat karena notaris harus menjamin
bahwa akta yang dibuat telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah
ditentukan. Kemudian bahwa dengan adanya kewajiban bagi seorang notaris
128 Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra AdityaBakti, Bandung, hal. 60.
129 R. Soegondo,Op.Cit., hal. 43.
113
untuk bertindak jujur, seksama dan tidak memihak, maka dengan kejujuran dan
keseksamaan itu notaris dapat dipercaya dan kepentingan kliennya terlindungi
dengan akta tersebut, serta dengan bersikap netral dan tidak memihak maka
notaris dapat memberikan nasihat hukum yang tepat dengan memberikan
keseimbangan mengenai hak dan kewajiban pihak satu dengan pihak lainnya
dalam akta sehingga memberikan kepastian hukum dan pelindungan hukum bagi
yang bersangkutan juga memberikan perlindungan hukum bagi notaris dari suatu
perbuatan melawan hukum. Karena apabila seorang notaris melakukan perbuatan
melawan hukum maka ia wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan
dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak
yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.
3.2.3 Tanggung Jawab Dari Segi Hukum Pidana
Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak diatur
dalam UU Perubahan atas UUJN namun tanggung jawab notaris secara pidana
dikenakan apabila notaris melakukan perbuatan pidana. Notaris bersangkutan
tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa
yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan
palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para
pihak.130 Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada notaris
ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari notaris
130Andi Mamminanga, 2008, Pelaksanaan Kewenangan Majelis PengawasNotaris Daerah dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN,Tesis yang ditulis pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,hal. 32.
114
sendiri.131UUPerubahan atas UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang
dilakukan oleh notaris terhadap UU Perubahan atas UUJN sanksi tersebut dapat
berupa akta yang dibuat oleh notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya
mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Tentang perbuatan notaris
melakukan tindak pidana pemalsuan ataumemalsukan akta notaris, UU Perubahan
atas UUJN tidak mengatur secara khusus tentang ketentuan pidana tersebut oleh
karena itu berdasarkan pada asas legalitas yang merupakan prinsip - prinsip
KUHP bahwa:
- Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD
- Negara menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan;
- Setiap warga negara tanpa kecuali wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan.132
Oleh karena itu demi tegaknya hukum notaris harus tunduk pada ketentuan
pidana sebagaimana di atur dalam KUHP, dan terhadap pelaksanaannya
mengingat notaris melakukan perbuatan dalam kapasitas jabatannya untuk
membedakan dengan perbuatan notaris sebagai subyek hukum orang Pasal 50
KUHP memberikan perlindungan hukum terhadap notaris yang menyebutkan
bahwa : “barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-
131Notodisoerjo, 1982, Hukum Notarial di Indonesia (suatu penjelasan),Rajawali Pers, Jakarta, hal. 229.
132M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan PenerapanKUHAP (Penyidikan Dan Penuntutan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,hal. 36.
115
undang, tidak boleh dihukum”.133 Pengertian penerapan Pasal 50 KUHP terhadap
notaris tidaklah semata-mata melindungi notaris untuk membebaskan adanya
perbuatan pidana yang dilakukannya tetapi mengingat notaris mempunyai
kewenangan sebagaimana diatur dalam UU Perubahan atas UUJN apakah
perbuatan yang telah dilakukannya pada saat membuat akta notaris sudah sesuai
dengan peraturan yang berlaku.134
Membuktikan seorang notaris telah melakukan perbuatan pidana pemalsuan
akta atau membuat akta palsu sebagaimana dimaksud Pasal 263, Pasal 264 dan
Pasal 266 harus berdasarkan penyelidikan dan proses pembuktian yang aturan
hukum dengan mencari unsur-unsur kesalahan dan kesengajaan dari notaris itu
sendiri. Hal itu dimaksudkan agar dapat dipertanggungjawabkan baik secara
kelembagaan maupun dalam kapasitas notaris sebagai subyek hukum.
Dalam UU Perubahan atas UUJN di atur bahwa ketika notaris dalam
menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat
dikenai sanksi atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi dan kode
etik, namun tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan
kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan
sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh notaris. Adapun aspek - aspek
tersebut meliputi :
a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap;
b. Para pihak (siapa - orang) yang menghadap pada notaris;
c. Tanda tangan yang menghadap;
133 R. Soesilo, 1993, Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) sertaKomentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hal. 66.
134Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 67.
116
d. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;
e. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan
f. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta
dikeluarkan.135
Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan notaris
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana
muaranya adalah apabila notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan
menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana
dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian
bagi pihak yang berkepentingan.
Seorang notaris terhadap akta yang dibuat dihadapannya, terhadap aspek -
aspek tersebut di atas akan dapat menimbulkan terjadinya perbuatan pidana
pemalsuan atau memalsukan pada akta notaris apabila dalam kenyataannya
dikaitkan dengan notaris tidak membacakan dan menjelaskan akta dihadapan
penghadap dengan disaksikan oleh saksi bilamana unsur obyektifnya (unsur sifat
perbuatan melawan hukumnya formil) yang disampaikan dalam pasal-pasal
pemalsuan dimaksud, dan unsur subyektif (unsur sifat perbuatan melawan hukum
materiil) yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidanya dapat dibuktikan.
Sementara itu, pemeriksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaris harus
dilakukan pemeriksaan yang holistik-integral dengan melihat aspek lahiriah,
formal dan materiil akta notaris, serta pelaksanaan tugas jabatan notaris terkait
dengan wewenang notaris. Dengan demikian, disamping berpijak pada aturan
135Habib Ajie, Op.Cit, hal. 120-121.
117
hukum yang mengatur tindakan pelanggaran yang dilakukan notaris juga perlu
dipadukan dengan realitas praktik notaris. Pemeriksaan terhadap notaris kurang
memadai jika dilakukan oleh mereka yang belum mendalami dunia notaris,
artinya mereka yang akan memeriksa notaris harus dapat membuktikan kesalahan
besar yang dilakukan oleh notaris secara intelektual, dalam hal ini kekuatan logika
(hukum) yang diperlukan dalam memeriksa notaris, bukan logika kekuatan
ataupun kekuasaan.
Secara umum perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran
terhadap 2 (dua) norma yaitu :
1. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong dalam
kelompok kejahatan penipuan;
2. Ketertiban masyarakat yang pelanggarannya tergolong ke dalam
kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban umum.136
Pada perbuatan pemalsuan yang tergolong dalam kelompok kejahatan
penipuan apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas
barang (c.q.surat) seakan - akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya keaslian
atau kebenaran tersebut tidak dimiIiknya.137 Berdasarkan pengertian pemalsuan
tersebut dalam kaitannya dengan Pasal 263, 264, dan 266 KUHP dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Pasal 263 ayat (1) KUHP, mengandung dua jenis perbuatan yang
dilarang yaitu :
136H.A.K.Moch. Anwar, 1989, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II),Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 155.
137Ibid.
118
- membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada
keseluruhannya, dimana surat ini ada karena dibuat secara palsu
yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa surat seakan - akan
berasal dari orang lain darlpada penulisnya (pelakunya) dan hal ini
disebut pemalsuan materiil (materiele valsheid), asal surat itu palsu
tetapi surat itu juga mengandung sesuatu yang bukan atau lain
daripada apa yang sebenarnya harus dimuat, hingga surat itu
memuat isi yang tidak benar yang semula tidak ada. Dalam
perbuatan membuat surat palsu terdapat juga pemalsuan intelektuil
(lntelectuele Valsheid), berhubung isinyapun bertentangan dengan
kebenaran. Perbuatan membuat surat palsu dapat mengenai tanda
tangan maupun mengenai isi daripada tulisan atau surat, dimana
perbuatan itu menggambarkan secara palsu bahwa surat itu baik
dari keseluruhan maupun dari hanya tanda tangannya atau isinya
berasal dari seorang yang namanya tercantum dibawah tulisan itu
(Pemalsuan secara materiil).
- Memalsukan surat adalah perbuatan yang dilakukan dengan cara
melakukan perubahan-perubahan tanpa hak (tanpa ijin yang
berhak) dalam suatu surat atau tulisan, perubahan mana dapat
mengenai tanda tangannya maupun mengenai isinya, tidak peduli
bahwa ini sebelumnya adalah sesuatu yang tidak benar ataupun
sesuatu yang benar, perubahan isi yang tidak benar menjadi benar
merupakan pemalsuan surat. Perbuatan perubahan itu dapat terdiri
119
atas : - penghapusan kalimat, kata, angka, tanda tangan, -
penambahan dengan satu kalimat, kata atau angka - penggantian
kalimat, kata, angka, tanggal, dan/atau tanda tangan. Perbuatan
perubahan itu menimbulkan perubahan atas tampaknya maupun
atas isinya serta tujuannya semula. Dengan demikian perbuatan
perubahan itu mengganggu, memperkosa surat atau tulisan asli.
2. Pasal 264 ayat (1) ke 1 KUHP, yaitu : merupakan ketentuan
pemberatan dari Pasal 263 ayat (1) KUHP karena perbuatan pemalsuan
itu dilakukan terhadap akta otentik, dan hal ini menunjukkan seakan -
akan sudah terdapat suatu akta otentik, hingga pemalsuan itu terdiri
hanya atas perbuatan memalsukan surat, sedangkan perbuatan
peniruannya (membuat surat palsu) tidak termasuk di dalamnya. `
3. Pasal 266 ayat (1) KUHP, Orang yang menghadap kepada Pegawai
Negeri memberikan keterangan - keterangan untuk dicantumkan di
dalam akta yang harus dibuat oleh Pegawai Negari itu keterangan -
keterangan mana adalah tidak benar. Pegawai Negeri itu tidak
melakukan pemalsuan dalam pengertian Pasal 263 ayat (1) KUHP.
Perbuatan itu merupakan pemalsuan secara intelektuil, yaitu membuat
surat itu palsu. Dan dalam hal ini tidak terdapat penyertaan (Pasal 55
Ayat (1)). Perbuatan yang dilarang pada pasal ini adalah menyuruh
memasukkan keterangan - keterangan palsu di dalam akta otentik.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan akta otetik palsu adalah isi dari
akta ini tidak berdasarkan pada kebenaran, tetapi bertentangan dengan
120
kebenaran. Akta ini harus membuktikan suatu peristiwa, peristiwa
mana diterangkan oleh penghadap. Dan peristiwa ini tidak benar,
bertentangan dengan kebenaran karenanya keterangan - keterangannya
itu adalah palsu.138
Berdasarkan pada pengertian pasal pemalsuan tersebut di atas apabila
dikaitkan dengan pelanggaran Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, terhadap
perbuatan notaris tampak pada contoh kasus :
1. Pasal 263 ayat (1 ) KUHP : ” adanya seorang notaris membuat akta dan sudah
dikeluarkan salinannya. Kemudian terjadi sengketa dan dihadapan penyidik
salah satu pihak menyatakan bahwa akta tersebut dibuat oleh asisten notaris.
Selanjutnya oleh asisten notaris akta tersebut dibawa keliling untuk
ditandatangani oleh para pihak dan ketika asisten notaris tidak ketemu dengan
salah satu pihak, maka akta tersebut ditinggal (dititipkan) dan setelah
ditandatangani baru diambil. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh penyidik
lebih lanjut temyata minuta dari akta tersebut tidak ada padahal salinan telah
dikeluarkan dan telah ditandatangani oleh notaris bersangkutan”.139
2. Pasal 264 ayat (1) KUHP : ”penghadap datang kepada notaris untuk membuat
akta notaris. Dan ternyata penghadap tersebut menggunakan identitas seperti
Kartu Tanda Penduduk Palsu (KTP palsu). Padahal pada akta partij tersebut
notaris telah mencantumkan kata - kata” Penghadap saya notaris kenal” ketika
perjanjian tersebut dilaksanakan oleh para pihak timbul permasalahan hukum
138Ibid, hal. 189-199.139 Soegeng Santoso, Doddy Radjasa Waluyo, dan Zulkifli Harahap,
Op.Cit, hal. 31.
121
karena domisili penghadap tersebut dalam pemenuhan kewajiban tidak sesuai
dengan KTP sehingga yang bersangkutan tidak bisa menemukan si pelaku.”140
3. Pasal 266 ayat (1) KUHP : ”Penghadap datang kepada notaris untuk dibuatkan
akta notaris, dan ternyata keterangan penghadap yang telah dituangkan ke
dalam akta ternyata palsu atau seolah - olah keterangan itu sesuai dengan
kebenarannya”.
Memperhatikan contoh permasalahan tersebut sehubungan dengan dengan
adanya pelanggaran Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN tentu harus dilihat dari
sisi subyeknya (pelaku) artinya ketika perbuatan notaris dalam membuat akta
otentik tidak melaksanakan ketentuan tersebut tidak otomatis yang bersangkutan
melakukan perbuatan pidana, dan harus dilihat sampai sejauh mana keterlibatan
notaris tersebut dengan melakukan penelitian secara mendalam sehingga timbul
permasalahan hukum akibat akta yang dibuatnya, mengingat perbuatan pidana
merupakan ketentuan yang di atur dalam hukum publik (KUHP) dengan mencari
unsur - unsur kesalahan dan kesengajaan yang bersangkutan.
Hukum Publik (Hukum Pidana) adalah hukum yang mengatur perbuatan-
perbuatan apa yang dilarang dan yang memberikan pidana kepada siapa yang
melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara
ke muka pengadilan.141Dalam teori hukum pidana terdapat suatu pandangan yang
dikenal dengan ajaran feit materiel dalam hal penentuan adanya kesalahan dan
140 Pleter E Latumeten, 2005, Dapatkah Notaris Dipidana, Jika KTPPenghadap Palsu Dan Dalam Akta Tercantum Penghadap Saya Notaris Kenal,Renvoi, Nomor 11.23.II, hal. 26.
141C.S.T., Kansil, Op.Cit, hal. 31.
122
pertanggungjawaban dilakukan dengan meninjau apakah pembuat memenuhi
seluruh isi rumusan tindak pidana.142
Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu
pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law system,
yang memberlakukan maksim Latin : “actus non est reus, nisi mens sit rea” yang
oleh Wilson menafsirkan maksin Latin sebagai : “an act is not criminal in the
absence of a guilty mind” artinya suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat
kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat di dalamnya. Sedangkan Kadish dan
Paulsen menafsirkan sebagai : “an unwarrantable act without a vicious will is no
crime at all” artinya suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan
tanpa kehendak jahat.143 Pada satu sisi, doktrin ini menyebabkan adanya mens rea
merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana sedangkan pada sisi lain hal ini
menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena
melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang
tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut menurut doktrin unsur - unsur perbuatan
pidana (delik) terdiri atas yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur
subyektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku, dalam hal ini
dikenal dengan asas “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan
yang dimaksudkan disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh adanya
kesengajaan yang meliputi :
142Chairul Huda, Op.Cit, hal. 3 – 4.143Chairul Huda, Op.Cit, hal. 5.
123
1. Kesengajaan sebagai maksud yaitu kesengajaan dalam hubungannya dengan
"maksud" adalah merupakan suatu kehendak dan kesengajaan “motif” adalah
merupakan suatu tujuan.
2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti yaitu si pelaku mengetahui pasti atau
yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. Si
pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul
akibat lain.
3. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan adalah seseorang
melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu,
akan tetapi si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang
juga dilarang dan di ancam oleh undang-undang.144
Unsur obyektif yaitu unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas :
1. Perbuatan manusia yang berupa : Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan
positif dan Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
2. Akibat perbuatan manusia yaitu perbuatan tersebut membahayakan atau
merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan
oleh hukum misalnya nyawa, benda, kemerdekaan.
3. Keadaan - keadaan, yang pada umumnya dibedakan antara lain keadaan pada
saat perbuatan dilakukan, keadaan setelah perbuatan dilakukan.
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum sifat dapat dihukum berkenaan
dengan alasan - alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun
144Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 15-16.
124
sifat melawan hukum adalah perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni
berkenaan dengan larangan atau perintah.
Sehubungan dengan itu maka maka dalam hal notaris di duga melakukan
perbuatan pidana pemalsuan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264 dan 266
KUHP maka dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Pasal 263 KUHP:
(1). Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang
dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang
atau yang di peruntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan
maksud diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak di palsu, diancam jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan
pidana penjara paling lama enam tahun.
(2). Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat yang isinya tidak benar atau yang palsu, seolah – olah
benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.145
Adapun unsur- unsur dari pada ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHP
a. Unsur obyektif adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat yang dapat
: menerbitkan sesuatu hak, menerbitkan sesuatu perjanjian, menimbulkan
145 Dinas Hukum Polri, 1995, Penjabaran Unsur Pasal - Pasal DalamKUHP Dan Delik - Delik Lain Di Luar KUHP, Jakarta, hal. 91 - 92.
125
pembebasan sesuatu hutang, diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu
hal.
b. Unsur Subyektif dengan maksud : untuk mempergunakan dan memakai surat
itu seolah - olah asli atau tidak palsu, pemakaian atau penggunaan surat itu
dapat menimbulkan kerugian.146
Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka pada waktu memalsukan
surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain
untuk menggunakan surat tersebut seolah-olah asli dan tidak palsu.
Penggunaannya itu harus dapat mendatangkan kerugian, ”dapat” maksudnya tidak
perlu kerugian itu betul - betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya
kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan ”Kerugian”, disini tidak saja
hanya meliputi kerugian materil, akan tetapi juga kerugian dilapangan
kemasyarakatan, kesusilaan, dan kehormatan. Adapun yang dapat di hukum
menurut pasal ini tidak saja, “Memalsukan" surat pada ayat (1) tetapi juga sengaja
mempergunakan surat palsu ayat (2) ‘Sengaja' maksudnya, bahwa orang yang
menggunakan itu harus mengetahui benar - benar bahwa surat yang ia gunakan itu
palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum. Sudah dianggap sebagai
mempergunakan, misalnya : menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus
mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu ditempat dimana surat
tersebut harus dibutuhkan. Dalam hal menggunakan surat palsu ini pun harus pula
dibuktikan, bahwa orang itu bertindak seolah - olah surat itu asli dan tidak
dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kemgian.
146H.A.K. Moch Anwar, Op.Cit, hal. 181.
126
2. Pasal 264 ayat(1) KUHP:
(1). Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun, jika dilakukan terhadap :
1. akta - akta otentik ;
2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya
ataupun dari suatu lembaga umum ;
3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai ;
4. talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat - surat itu ;
5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
(2). Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja
memakai surat tersebut dalam ayat pertama yang isinya tidak benar atau
yang dipalsu seolah - olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat
itu dapat menimbulkan kerugian.
Unsur pasal tersebut memiliki unsur - unsur yang sama dengan Pasal 263
ayat (1) KUHP, sedangkan perbedaannya terletak pada obyek pemalsuan yang
dalam hubungannya dengan notaris yaitu akta otentik Pasal 264 ayat (1) ke 1 yaitu
perbuatan pemalsuan itu dilakukan terhadap akta otentik Perbuatan yang diancam
hukuman pada pasal ini harus memuat segala elemen - elemen atau syarat – syarat
yang termuat pada Pasal 263 dan selain dari pada itu ditambah dengan syarat,
bahwa surat yang dipalsukan itu terdiri dari surat autentik, surat - surat mana
127
karena bersifat umum dan harus tetap mendapat kepercayaan dari umum. Akta
otentik menurut ketentuan tersebut adalah akte yang dibuat dihadapan seorang
pegawai - pegawai umum yang berhak untuk itu, biasanya notaris.
3. Pasal 266 ayat (1) KUHP:
(1) Barang siapa menyuruh masukkan keterangan palsu kedalam suatu akta
otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh
akta itu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai
akta itu seolah - olah keterangannya sesuai dengan kebenarannya, diancam
jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian dengan pidana penjara
paling Iama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
akta tersebut solah - olah isinya sesuai dengan kebenaran jika karena
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Unsur - unsur Ketentuan Pasal 266 KUHP tersebut meliputi :
a. Unsur obyektif adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat yang dapat
: menerbitkan sesuatu hak, menerbitkan sesuatu perjanjian, menimbulkan
pembebasan sesuatu hutang, diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu
hal.
b. Unsur Subyektif dengan maksud : untuk mempergunakan dan memakai surat
itu seolah-olah asli atau tidak palsu, pemakaian atau penggunaan surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Yang dapat dihukum menurut pasal ini misalnya orang yang memberikan
keterangan tidak benar kepada Burgerlijke Stand untuk dimasukkan ke dalam
128
akta kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai tersebut, dengan maksud untuk
mempergunakan atau menyuruh orang lain mempergunakan akta itu seolah-olah
keterangan yang termuat didalamnya itu benar. Yang diancam hukuman tidak
hanya orang yang memberikan keterangan tidak benar, akan tetapi juga orang
yang dengan sengaja menggunakan surat (akte) yang memuat keterangan tidak
benar itu. Kedua hal tersebut harus senantiasa dibuktikan bahwa orang itu
bertindak seakan-akan isi surat itu benar dan perbuatan itu dapat mendatangkan
kerugian.147
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka notaris diduga dengan kualifikasi
membuat surat palsu atau memalsukan surat yang seolah - olah surat tersebut asli
dan tidak dipalsukan sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (1) KUHP,
melakukan pemalsuan surat, dan pemalsuan tersebut telah dilakukan di dala akta
otentik sebagaimana dimaksud Pasal 264 ayat (1) ke 1 KUHP, serta menempatkan
keterangan palsu di dalam akta otentik sebagaimana dimaksud Pasal 266 ayat (1)
KUHP, merupakan akibat dari pada bentuk penyalahgunaan jabatan atas
pelanggaran Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN. Meskipun demikian tidak serta
merta mengakibatkan notaris melakukan perbuatan pidana tersebut karena harus
melalui proses pembuktian terhadap subyeknya yaitu apakah unsur subyektif
perbuatan melawan hukum formil dan unsur obyektif perbuatan melawan hukum
materiil telah dapat dibuktikan.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang
batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi
147R. Soesilo, Op.Cit, hal. 197-198.
129
rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UU Perubahan atas UUJN dan kode
etik jabatan notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam
KUHP.Apabila tindakan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata
berdasarkan UU Perubahan atas UUJN suatu pelanggaran. Maka notaris yang
bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai
sebuah akta harus didasarkan pada UU Perubahan atas UUJN dan kode etik
jabatan notaris.
3.2.4 Tanggung Jawab Notaris Dari Segi Kode Etik Notaris
Notaris merupakan profesi terhormat (officium nobile), yang dalam
menjalankan profesinya bersifat mandiri, jujur dan bertanggung jawab. Untuk itu
dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang notaris harus berpegang teguh
kepada kodeetik notaris, karena tanpa itu harkat dan martabat profesionalismenya
akan hilang sama sekali. Seorang notaris dalam menjalankan profesinya harus
berperilaku profesional, berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat
kehormatan notaris serta berkewajiban menghormati rekan dan saling menjaga
dan membela kehormatan nama baik korps atau organisasi. Sebagai profesi
notaris, ia bertanggungjawab terhadap profesi yang dilakukannya, dalam hal ini
kodeetik profesi.148
Profesi notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu,
organisasi profesi, masyarakat pada umumnya dan Negara. Tindakan notaris
148Ignatius Ridwan Widyadharma, 1994, Hukum Profesi tentang ProfesiHukum, Ananta, Semarang, hal. 133-134.
130
akanberkaitan dengan elemen-elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan
yang keliru dari notaris dalam menjalankan pekerjaannya tidak hanya akan
merugikan notaris itu sendiri saja namun dapat juga merugikan organisasi profesi,
masyarakat dan Negara. Hubungan profesi notaris dengan masyarakat dan Negara
telah diatur dalam UUJN berikut peraturan perundang-undangan
lainnya.Sementara hubungan profesi notaris dengan organisasi profesi notaris
diatur melalui kodeetik notaris.
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 Tentang Kenotarisan, organisasi
notaris satu-satunya yang diakui oleh pemerintah adalah Ikatan Notaris Indonesia
(selanjutnya disebut INI). Kemudian, Kode Etik Notaris yang berlaku saat ini
adalah Kode Etik notaris berdasarkan Keputusan Kongres Luar Biasa INI tanggal
27 Januari 2005 di Bandung (KodeEtik Notaris). Dalam Pasal 1 angka 2 KodeEtik
Notaris disebutkan bahwa:
Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalahseluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan NotarisIndonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasarkankeputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dandiatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang halitu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semuaanggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatansebagai notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris,Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus.
Pelanggaran terkait dengan Kode Etik Notaris adalah perbuatan atau
tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan organisasi INI maupun orang
lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris yang melanggar ketentuan
Kode Etik dan/atau disiplin organisasi. Apabila notaris melanggar ketentuan Kode
131
Etik profesinya tersebut maka notaris itu telah dianggap melakukan perbuatan
melawan hukum dalam ranah Hukum Administrasi.Terkait dengan sanksi sebagai
bentuk upaya penegakan Kode Etik Notaris atas pelanggaran Kode Etik
didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya
dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin notaris. INI dalam upaya untuk menjaga
kehormatan dan keluhuran martabat jabatan notaris, mempunyai Kode Etik
Notaris yang ditetapkan oleh kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib
ditaati oleh setiap anggota INI Dewan Kehormatan merupakan organ
perlengkapan INI yang terdiri dari anggota-anggota yang dipilih dari anggota INI
dan werda notaris, yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap perkumpulan,
berkepribadian baik, arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi panutan bagi
anggota dan diangkat oleh kongres untuk masa jabatan yang sama dengan masa
jabatan kepengurusan.
Dewan Kehormatan berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran
terhadap Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan
kewenangannya dan bertugas untuk melakukan pembinaan, bimbingan,
pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi Kode Etik,
memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan Kode
Etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai masyarakat secara
Iangsung memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan
pelanggaran Kode Etik dan jabatan notaris.
Kewenangan pengawasan pelaksanaan dan penindakan Kode Etik Notaris
ada pada Dewan Kehormatan yang berjenjang mulai dari tingkat daerah, wilayah,
132
dan pusat. Bagi notaris yang melakukan pelanggaran Kode Etik, Dewan
Kehormatan berkoordinasi dengan Majelis Pengawas berwenang melakukan
pemeriksaan atas pelanggaran tersebut dan dapat menjatuhkan sanksi kepada
pelanggarnya, sanksi yang dikenakan terhadap anggota INI sesuai dengan
ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Kode Etik notaris yaitu :
(1) Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaranKodeEtik dapat berupa :a. Teguran.b. Peringatan.c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan.d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan.e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
(2) Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggotayang melanggar KodeEtik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitaspelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.
Notaris disini sebagai profesi hukum sekaligus sebagai pejabat umum
diberikan kepercayaan yang harus berpegang teguh tidak hanya pada peraturan
perundang-undangan semata namun juga pada Kode Etik profesinya, karena tanpa
adanya Kode Etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang. Notaris
sebagai seseorang pengemban profesi hukum haruslah orang yang dapat
dipercaya penuh, bahwa seorang notaris tidak akan menyalahgunakan situasi yang
ada.
Tugas dan jabatan sebagai seorang notaris haruslah dilakukan secara
bermartabat, dan ia harus mengerahkan segala kemampuan pengetahuan dan
keahlian yang ada padanya. Moral dan hukum merupakan sesuatu hal yang tidak
dipisahkan dalam menjalankan tugas profesinya secara professional.Sudah
seharusnya jika profesi notaris berlandaskan pada nilai moral, sehingga
pekerjaannya harus berdasarkan kewajiban, yaitu ada kemauan baik pada dirinya
133
sendiri, tidak bergantung pada tujuan atau hasil yang dicapai. Sikap moral
penunjang Etika profesi notaris adalah bertindak atas dasar tekad, adanya
kesadaran berkewajiban untuk menjunjung tinggi Etika profesi, menciptakan
idealisme dalam mempraktikan profesi, yaitu bekerja bukan untuk mencari
keuntungan, mengabdi kepada sesama. Jadi hubungan Etika dan moral adalah
bahwa Etika sebagai refleksi kritis terhadap masalah moralitas, dan membantu
dalam mencari orientasi terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang ada.
Moral adalah akhlak, budi pekerti yang berkaitan dengan baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban.Hati nurani merupakan
kesadaran yang diucapkan manusia dalam menjawab pertanyaan, apakah sesuatu
yang dilakukannya adalah perbuatan baik ataukah tidak baik, etis ataukah tidak
etis.Sedangkan integritas adalah kesadaran atas fungsi yang diemban manusia di
dalam masyarakat tanpa dipengaruhi oleh apapun.149 Integritas adalah hasil akhir
dari pergulatan moral dan hati nurani yang terjadi di dalam diri seorang notaris
sehingga secara teguh mampu menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai
pejabat umum yang mengemban sebagian tugas negara yaitu selain dengan tetap
dan selalu berpegang teguh pada UUJN juga tetap dan selalu berpegang teguh
pada Kode Etik notaris.
Hubungan antara Kode Etik dengan UUJN terdapat dalam Pasal 4 ayat (1)
dan ayat (2) mengenai sumpah jabatan yang tersirat sebagai berikut :
149 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri NotarisIndonesia Dulu, Sekarang, Dan Di Masa Datang, Gramedia Pustaka, Jakarta,hal.193.
134
(1) Sebelum menjalankan jabatannya, notaris wajib mengucapkansumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yangditunjuk.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagaiberikut : "Saya bersumpah/berjanji : Bahwa saya akan patuh dan setiakepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undangtentang jabatan notaris serta peraturan perundang- undangan lainnya.Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur,saksama, mandiri, dan tidak berpihak. Bahwa saya akan menjagasikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuaidengan KodeEtik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawabsaya sebagai notaris. Bahwa saya akan merahasiakan isi akta danketerangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. Bahwasaya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsungmaupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernahdan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun.
Terdapat korelasi yang sangat kuat antara UUJN dengan Kode Etik profesi.
Kode Etik profesi mengatur notaris secara internal dan UUJN secara eksternal.
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:
a. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar, yaitu akta
yang dibuat itu wajib memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-
pihak yangberkepentingankarena jabatannya.
b. Notaris dituntut menghasilkan akta yangbermutu, yaitu akta yang dibuatnya
itu haruslah sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang
berkepentingan dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris
harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran
isi dan prosedur akata yang dibuatnya itu.
c. Berdampak positif, artinya yaitu siapapun akan mengakui akta notaris itu
mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.
135
Notaris dalam menjalankan tugasnya wajib selalu sadar akan kewajibannya,
bekerja mandiri, jujur, tidak berpihak dan penuh rasa tanggung jawab.
Kepribadian notaris dalam melaksanakan tugasnya selalu dijiwai pancasila, sadar
dan taat kepada hukum peraturan jabatan notaris, sumpah/janji jabatan, memiliki
perilaku professional, ikut serta dalam pembangunan nasional khususnya di
bidang hukum dan selalu menjunjung tinggi martabat dan kehormatan notaris baik
di dalam maupun di luar jabatannya. Seorang notaris yang taat/patuh kepada Kode
Etik pastilah ia taat/patuh kepada hukum, sedangkan notaris yang melanggar
hukum sudah dapat dipastikan ia melanggar Kode Etik. Kode Etik Notaris, moral,
dan Etika dengan penegakan hukum merupakan suatu hal yang saling mendukung
dan saling menguatkan. Seorang notaris yang mempunyai moral dan etika yang
tinggi pastilah ia akan taat/patuh kepada Kode Etik, dan dengan ia taat/patuh
kepada Kode Etik Notaris maka dapat dipastikan pula ia juga akan taat kepada
hukum.
Dengan menjalankan profesinya sebagai notaris berdasarkan Kode Etik
profesi maka seorang notaris terhindar dari perbuatan melawan hukum dalam
ranah administrasi sehingga terhindar dari pertanggungjawaban atas pelanggaran
ketentuan Kode Etik jabatan notaris dengan sanksi berupa teguran, peringatan,
skorsing dari keanggotaan Perkumpulan, pemecatan dari keanggotaan
Perkumpulan, dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
Perkumpulan. Namun sanksi pemecatan yang diberikan terhadap notaris yang
melakukan pelanggaran Kode Etik bukanlah berupa pemecatan dari jabatan
136
notaris, melainkan pemecatan dari keanggotaan INI. Sehingga walaupun notaris
yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik profesi,
notaris tersebut masih dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya
sebagai notaris.Dengan demikian sanksi berupa pemecatan dari keanggotaan
perkumpulan tentunya tidak berdampak pada jabatan seorang notaris yang telah
melakukan pelanggaran Kode Etik Notaris.
137
BAB IV
AKIBAT HUKUM AKTA PERJANJIAN NOMINEE
4.1. Perjanjian nominee
Perjanjian nominee sebagai instrumen hukum penguasaan tanah
merupakan perjanjian yang dibuat antara orang asing dengan WNI. Perjanjian
tersebut dibuat dengan maksud agar orang asing yang bukan merupakan sebagai
subyek pemegang hak milik justru dapat memiliki dan menguasai tanah hak milik
yaitu dengan tanah hak milik tersebut diatasnamakan/dipinjam nama WNI
sehingga memenuhi kriteria hukumnya yaitu WNI sebagai subyek pemegang hak
milik atas tanah akan tetapi secara fisiknya tanah hak milik dipergunakan dan
dikuasai sepenuhnya oleh orang asing.
WNI sebagai nominee bertindak untuk nama pihak lain yaitu orang asing
sebagai wakil dalam arti sempit yang terbatas. Terkadang istilah tersebut
digunakan untuk menandakan sebagai agen atau wali. Dalam praktek penguasaan
tanah yang dimaksud dengan nominee atau trustee adalah perjanjian dengan
menggunakan kuasa. Perjanjian dengan kuasa yang dimaksud adalah jenis-jenis
perjanjian, yaitu perjanjian yang menggunakan nama WNI dan pihak WNI
menyerahkan surat kuasa kepada orang asing untuk bebas melakukan perbuatan
hukum apapun terhadap tanah yang dimilikinya.150
Istilah nominee tersebut sering disamakan dengan istilah perwakilan atau
pinjam nama, berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua
150Maria SW. Sumardjono, 2006, Kebijakan Pertanahan antara Regulasidan Implementasi, Kompas, Jakarta, hal. 17.
137
138
pihak, orang asing meminjam nama WNI untuk dicantumkan namanya sebagai
pemilik tanah pada sertifikatnya, tetapi kemudian WNI berdasarkan Akta
Pernyataan yang dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebanarnya adalah orang
asing selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan
penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada orang asing tersebut.
Suatu perjanjian nominee dibuat sebagai penyelundupan hukum bagi
orang asing untuk menguasai dan memiliki bidang tanah hak milik di Indonesia.
Dalam hal ini orang asing sesungguhnya membeli sebidang tanah hak milik
dengan menggunakan nama WNI, yaitu tanah hak milik yang pada kenyataannya
dibeli/dibayar oleh orang asing tersebut namun dalam akta jual beli yang
dilaksanakan di hadapan PPAT yang berwenang WNI adalah sebagai pihak
pembeli dalam akta jual beli tersebut sehingga obyek tanah hak milik ini
kemudian didaftarkan menjadi/ke atas nama WNI tersebut. Dengan
didaftarkannya menjadi dan atas nama WNI pada sertipikat hak milik atas tanah
yang sebenarnya dibeli/dibayar oleh orang asing tersebut maka untuk memperoleh
perlindungan hukumnya, diantara orang asing dengan WNI dibuatkan perikatan
dalam satu atau beberapa perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan yang
isinya menyebutkan bahwa WNI adalah orang yang hanya dipinjam namanya
dalam bukti hak milik atas tanah (sertipikat), sedangkan pemilik sesungguhnya
adalah orang asing tersebut.
139
4.2. Perjanjian Nominee Dan Penyelundupan Hukum
Dewasa ini penyelundupan hukum dengan akta notariil dianggap sebagai
jalan keluar untuk melewati batasan-batasan dalam beberapa tindakan tertentu
yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Penyelundupan hukum
muncul sebagai suatu konsep baru yang dilahirkan oleh individu tertentu untuk
mencapai keinginannya yang sesungguhnya telah dilarang oleh peraturan
perundang-undangan. Salah satu tindakan yang melahirkan konsep baru sebagai
upaya penyelundupan hukum adalah keinginan orang asing untuk
memiliki/menguasai hak milik atas tanah di Indonesia dengan instrumen
perjanjian nominee secara notariil.
Telah jelas diatur bahwa orang asing tidak termasuk sebagai subyek
pemegang hak milik, oleh karena hanya WNI yang dapat menjadi subyek
pemegang hak milik sebagaimana berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang disebut
juga Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Apabila
mengacu pada ketentuan di dalam UUPA orang asing yang ingin menguasai hak
atas tanah di wilayah Indonesia berhak untuk memiliki Hak Pakai atas tanah,
sesuai yang diatur dalam Pasal 42 huruf b yang menyebutkan bahwa yang dapat
mempunyai Hak Pakai ialah orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
Orang asing cenderung ingin memiliki hak atas tanah yang berstatus hak
milik karena merupakan hak yang terkuat dan terpenuh serta tidak ada
kedaluwarsanya. Hal inilah yang menyebabkan orang asing berupaya mengambil
jalan pintas agar dapat memperoleh hak untuk menguasai hak milik atas tanah
140
dengan suatu perbuatan hukum yang bersifat penyamaran yang sebenarnya dapat
dikualifikasikan sebagai penyelundupan hukum.
Hak penguasaan atas tanah adalah hak penguasaan yang didasarkan pada
suatu hak maupun suatu kuasa yang pada kenyataannya memberikan wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya orang yang
mempunyai hak. Menurut Oloan Sitorus pengertian penguasaan dalam hak
penguasaan atas tanah berisi kewenangan yang luas, bahkan hak penguasaan atas
tanah lebih luas dari pada hak atas tanah.151Akan tetapi dengan mengutamakan
asas kebebasan berkontrak dan adanya kecenderungan pemahaman bahwa yang
dilarang adalah memiliki sedangkan menguasai tidak ada larangan, sehingga
berkembang dan dibuatlah suatu perjanjian pinjam nama yang dikenal dengan
istilah perjanjian nominee.
Proses pembuatan akta sebagaimana tersebut di atas merupakan
penyelundupan hukum dan melanggar hukum serta melanggar sumpah jabatan
maupun sumpah pejabat. Permintaan pembuatan akta seperti tersebut, notaris
harus menolak secara tegas karena selain merupakan pelanggaran jabatan, akta
yang dibuat tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya pasti merugikan
pihak lain. Akta sebagaimana dimaksud salah satunya dikenal sebagai Akta
Antidateren,yaitu isi akta ditulis tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Contohnya adalah Akta Pernyataan Pembeli dalam perbuatan hukum jual beli
151 Oloan Sitorus, 2004, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah,Mitra Kebijakan Hukum Tanah Indonesia, Jakarta, hal. 13.
141
tanah, dalam hal ini pembeli sebenarnya adalah orang yang menurut undang-
undang tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah tertentu.152
Perjanjian nominee dapat diartikan sebagai perjanjian pernyataan dan
kuasa. Seorang WNI datang kepada seorang notaris dan PPAT menyampaikan
bahwa ia hendak membeli tanah hak milik agar untuk kemudian didaftarkan
peralihan hak jual belinya pada Kantor Pertanahan yang berwenang sehingga
dapat diterbitkan dan diterima sertipikat (tanda bukti hak) atas tanah hak milik
tersebut menjadi dan atas namanya. Kemudian WNI tersebut justru membuat akta
pernyataan di hadapan notaris yang menyatakan bahwa tanah hak milik yang
disertipikat telahtertulis namanya sebenarnya adalah bukan miliknya,akan tetapi
adalah milik orang asing dan ia memberi kuasa kepada orang asing tersebut untuk
dapat menjual tanah hak milik tersebut.
Akta seperti tersebut di atas merupakan penyelunduan hukum dan apabila
dijadikan alat bukti sebagai proses yang berperkara di pengadilan (litigasi),
makaakan menjadi gugur sebagai alat bukti tertulis otentik dan akan menjadi akta
di bawah tangan serta tidak berlaku bagi pihak ketiga. Karena penyelundupan
hukum dilakukan pasti mempunyai maksud tertentu dan pasti merugikan pihak
ketiga, maka seharusnya akta seperti ini batal demi hukum (nieteg).153Perjanjian
nominee merupakan perjanjian yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum
tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (hak milik), dalam hal ini
yakni orang asing dengan WNI, dengan maksud agar orang asing tersebut dapat
152A.A. Andi Prajitno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan SiapaNotaris Di Indonesia, Putra Media Nusantara, Surabaya, hal. 40.
153Ibid., hal. 38-40
142
menguasai (memiliki) tanah hak milik secara de facto, namun secara legal-formal
(dejure) tanah hak milik tersebutdiatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain,
WNI dipinjam namanya oleh orang asing untuk bertindak sebagai
nominee.154Unsur-unsur yang terdapat dalam perjanjian Nominee adalah sebagai
berikut :
a. adanya perjanjian pemberian kuasa antara 2 (dua) pihak, yaitu beneficial owner
sebagai pemberi kuasa dan nominee sebagai penerima kuasa yang didasarkan
pada adanya kepercayaan dan beneficial owner kepada nominee.
b. Kuasa yang diberikan bersifat khusus dengan jenis tindakan hukum yang
terbatas.
c. Nominee bertindak seakan-akan sebagai perwakilan dari beneficial owner di
depan hukum.
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra menyebutkan
apabila ada pihak-pihak membuat perjanjian yang terhadap pihak luar
menimbulkan kesan berbeda dengan perjanjian, yang oleh para pihak yang secara
diam-diam mengingkarinya, Contoh si A membeli tanah dari si B. Namun si A
kemudian membuat perjanjian yang isinya pengakuan bahwa tanah itu sebetulnya
milik si C (orang asing). Jadi, B dalam perjanjian sebelumnya memberi kesan
kepada pihak ketiga seakan-akan tanah itu miliknya, kemudian secara diam-diam
ia mengingkarinya dengan membuat perjanjian yang berisi pernyataan dengan si
154Maria S.W. Sumardjono, Loc.Cit.
143
C (orang asing) bahwa sebetulnya tanah itu milik si C adalah dikategorikan
sebagai perjanjian simulasi absolute.155
Upaya yang dilakukan oleh orang asing dalam pembuatan perjanjian
nominee tersebut di atas adalah juga merupakan bentuk penyelundupan hukum
yang dilakukan dengan cara menyamarkan dari perbuatan yang
sebenarnya.Perjanjian nominee berisi klausula yang berat sebelah yaitu
memberikan seluruh kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
tanah hak milik hanya kepada pihak orang asingsehingga dapat dapat dikatakan
bahwa hak atas tanah tersebut telah dikuasai oleh orang asing. Selain ituperjanjian
nomineejelas merupakan suatu bentuk penyelundupan hukum untuk menghindari
peraturan yang mengatur bahwa orang asing adalah tidak memenuhi syarat
sebagai subyek pemegang hak milik atas tanah di Indonesia sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA dengan jelas
menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya
dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta dengan jelas mengatur bahwa hanya
WNI yang dapat mempunyai hak milik. Hal ini kemudian dipertegas kembali
dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa setiap jual beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik
kepada orang asing, kepada seorang warga Negara disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing adalah batal karena hukum dan
155I Ketut Artadi, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, ImplementasiKetentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, UdayanaUniversity Press, Denpasar, hal. 42.
144
tanahnya menjadi tanah Negara.Dengan demikian dapat dikatakan perjanjian
nominee adalah dibuat atas dasar itikad tidak baik, dapat dikualifikasikan
perjanjian simulasi (simulasi absolute) danjelas merupakan sebagai bentuk
penyelundupan hukum.
4.3. Akibat Hukum Akta Perjanjian Nominee
Sebagaimana telah diuraikan, Hak Pakai atas tanah di dalam UUPA yang
diberikan kepada orang asing justru menjadi fenomena hukum yang tidak
memberikan kepastian atas kepemilikan tanah di Indonesia. Orang asing dengan
bantuan WNI (baik itu WNI sebagai mitra/partner bisnis dari orang asing tersebut
hingga WNI yang berprofesi sebagai notaris) lebih memilih untuk membeli tanah
hak milik dengan diatasnamakan mitra/partner WNI-nya tersebut. Kemudian atas
dasar kebebasan berkontrak, oleh notaris orang asing difasilitasi instrumen akta
perjanjian nominee notarial sebagai kekuatan hukum orang asing dalam
menguasai tanah hak milik tersebut.
Mariam Badrulzaman menyebutkan bahwa merujuk pada ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata ayat (1) dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak
dibatasi oleh konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan
ini memberi petunjuk bahwa perjanjian dipengaruhi oleh asas konsensualisme.
Selanjutnya Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata mencerminkan bahwa kebebasan
setiap orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya, artinya orang
yang tidak cakap menurut hukum tidak mempunyai kebebasan untuk membuat
perjanjian. Dalam Pasal 1320 pasal (4) dan Pasal 1337 KUHPerdata yang dengan
145
jelas menyebutkan bahwa para pihak tidak bebas untuk mengadakan perjanjian
yang menyangkut kausa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Konsekuensi hukum bila perjanjian
dibuat bertentangan dengan kausa tersebut adalah dapat menjadi penyebab
perjanjian bersangkutan tidak sah.156
Sebab atau causa diartikan sebagai isi dari perjanjian. Mengenai isi dari
perjanjian harus halal artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, norma
kesusilaan, dan ketertiban umum. Tidak bertentangan dengan undang-undang
dalam kaitan penguasaan tanah oleh orang asing semestinya ditafsirkan bahwa
perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan UUPA.
Perjanjian nominee sebagai bentuk penyelundupan hukum dalam rangka
menghindari peraturan yang mengatur bahwa orang asing adalah tidak memenuhi
syarat sebagai subyek pemegang hak milik atas tanah di Indonesia sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA yang dengan jelas
menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya
dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta dengan jelas mengatur bahwa hanya
WNI yang dapat mempunyai hak milik. Hal ini kemudian dipertegas kembali
dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa setiap jual beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik
kepada orang asing, kepada seorang warga negara disamping kewarganegaraan
156 Mariam Badrulzaman, 1994, Asas Kebebasan Berkontrak danKaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standar), Alumni, Bandung, hal. 43.
146
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara.
Dengan demikian dapat dikatakan perjanjian nominee adalah dibuat atas
dasar itikad tidak baik, dapat dikualifikasikan perjanjian simulasi (simulasi
absolute) dan merupakan sebagai bentuk penyelundupan hukum. Secara subtantif
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 9, Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2) UUPA tersebut
tidak dapat disimpangi.157
Suatu sebab yang halal berdasarkan Pasal 1335 jo. Pasal 1337
KUHPerdata apabila perjanjian itu dibuat berdasarkan kepada sebab yang sah dan
dibenarkan oleh undang-undang, yaitu tidak melanggar ketentuan tentang isi dari
perjanjian yaitu dilarang membuat perjanjian tanpa sebab, sebab yang palsu,
melanggar Undang-Undang, bertentangan dengan kesusilaan, dan bertentangan
dengan ketertiban umum. Dengan memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian maka
perjanjian itu terhindar dari kebatalan/batal (nietig) khususnya dalam hal ini
dengan memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 ayat (3) dan ayat (4) KUHPerdata,
maka suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat obyektif sahnya suatu
perjanjian dan terhindar dari keadaan batal demi hukum.
Penguasaan hak milik oleh orang asing dengan instrumen perjanjian
nominee notarial adalah sebagai bentuk penyelundupan hukum tergolong sebagai
perjanjian simulai absolute (perjanjian dengan sebab yang palsu/causa yang tidak
halal) yaitu tidak memenuhi ketentuan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian
yang diatur dalam Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdatayang menyatakan bahwa
157Maria S.W Sumardjono, Op.Cit., hal. 17.
147
“suatu sebab yang terlarang” dengan melanggar ketentuan yang diatur pada Pasal
9 jo. Pasal 21 yang dengan jelas menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat
mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta
dengan jelas mengatur bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik. Hal
ini kemudian dipertegas kembali pada Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan
bahwa setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang
di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau
kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud
dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang yang membebaninya
tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak
dapat dituntut kembali. Maka perjanjian yang disepakati kedua belah pihak
dengan sendirinya batal demi hukum dan sesuai ketentuan pasal 26 UUPA
tersebut dan tanahnya akan menjadi tanah Negara.
148
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan terhadap topik penulisan pada tesis ini
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pertanggungjawaban notarissebagai pejabat umum dalam pembuatan akta
perjanjian nominee adalah pertanggungjawaban secara administrasi, perdata,
pidana dan kode etik notaris. Hal ini didasarkan pada hubungan hukum yang
ada atau yang terjadi antara notaris dengan para penghadap dalam
pembuatanakta perjanjian nominee yang dapat menimbulkan kerugian bagi
pihak. Pertanggungjawaban berupa sanksi administrasi dapat berupa
peringatan lisan, peringatan tertulis, pemberhentian sementara,
pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat.
Sanksi perdata yaitu penggantian biaya, ganti rugi dan bunga bahkan dapat
terkena sanksi pidana. Sanksi pidana yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari
notaris sendiri, dan sanksi pidana dapat diberikan dengan meninjau apakah
notaris memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana. Selain itu, notaris juga
bertanggungjawab secara moral terhadap kode etik jabatan notaris yang
membuat notaris harus bertanggung jawab atas sanksi berupa teguran,
peringatan, skorsing dari keanggotaan perkumpulan, pemecatan dari
148
149
keanggotaan perkumpulan, dan pemberhentian dengan tidak hormat dari
keanggotaan perkumpulan.
2. Akibat hukum terhadap akta perjanjian nominee adalah dapat membuat
batalnya akta demi hukum. Akta perjanjian nominee tersebut dapat batal
demi hukum apabila mengandung unsur itikad tidak baik dalam hal ini
melanggar Undang-Undang oleh para pihak dalam membuat perjanjian
nominee, yang bertujuan untuk memberikan ruang kepada WNA untuk
menguasai tanah hak milik di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari isi akta
yang memuat pemberian kuasa oleh WNI kepada WNA untuk menguasai
tanah hak milik tersebut. Jika penyelundupan hukum dalam akta perjanjian
nominee tersebut dapat dibuktikan maka otomatis akta tersebut sudah batal
demi hukum dan kekuatan mengikat dalam akta tersebut akan hilang.
5.2. Saran-Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan simpulan di atas
terhadap terhadap pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta perjanjian
nominee adalah sebagai berikut :
1. Kepada pemerintah agar memperhatikan secara serius mengenai penguasaan
hak milik atas tanah oleh orang asing yang belakangan ini semakin banyak
terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila pemerintah
menganggap hal ini merupakan sebagai peluang pengembangan iklim
investasi di Indonesia akan lebih baik membuat regulasi terkait penguasaan
hak milik atas tanah oleh orang asing di Indonesia. Akan tetapi apabila
150
dianggap merupakan sebagai tren negatif agar pemerintah mengatur dan
memberikan sanksi tegas terhadap oknum-oknum yang menerapkan
penyelundupan hukum terhadap penguasaan hak milik atas tanah oleh orang
asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Kepada para notaris agar memegang teguh dan melaksanakan sumpah/janji
jabatan yang diucapkan sebelum memulai tugas dan jabatannya sebagai
bentuk tanggung jawab kepada Negara Republik Indonesia sehingga lebih
mengedepankan kehati-hatian dan menerapkan hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Notaris seharusnya memberikan
informasi melalui penyuluhan hukum kepada para penghadap baik kepada
WNI maupun WNA yang akan menuangkan kehendak ke dalam suatu akta
sehingga tercipta perlindungan hukum serta kepastian hukum melalui produk
hukum akta notaris.
151
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adjie, Habib, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris SebagaiPejabat Publik, Refika Aditama, Bandung.
_______2011, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU Nomor 30Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, RefikaAditama, Bandung.
Artadi, I Ketut, I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, ImplementasiKetentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak,Udayana University Press, Denpasar.
Asnawi, M.Natsir, 2013, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, kajiankontekstual mengenai system asas, prinsip, pembebanan dan standarpembuktian, UII Press, Yogyakarta.
Badrulzaman, Mariam, 1994, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya denganPerjanjian Baku (Standar), Alumni, Bandung.
Budiono, Herlien, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di BidangKenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______,2007, Notaris Dan KodeEtiknya, (Disampaikan pada Upgrading danRefreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan).
Colenbrunder, 1998, Engelbrecht De Wetboekenwetten en Veroordeningen,Benevens de Grondwet van de RepubliekIndonesie, IchtiarBaru-VanVoeve, Jakarta.
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono, 2004, Metode Penelitian Hukum,Universitas Muhammadiyah, Surakarta.
Efendi, Masyur, 1994, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam HukumNasional Dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Erp, J.H.M van, 1990, Contract als Rechbetrekking, Een RechtsvergelijkendeStudie, diss.Brabant.
Fuady, Munir, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Citra AdityaBakti, Bandung.
151
152
_______,2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,Notaris, Kurator, dan Pengurus),Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ghofur, Abdul, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum danEtika, UII Press, Yogyakarta.
Hadi, Sutrisno, 1979, Metode Reseach, Yayasan Penerbit Fakultas PsikologiUGM, Yogyakarta.
Hadjon.M. Philipus, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia,SebuahStudi Tentang Prinsip-Prinsip Penanganannya Oleh PengadilanDalam Lingkugan Peradilan Umum Dan Pembentukkan PerasilanAdministrasi, Pradaban, Surabaya.
Harahap, M.Yahya, 1986, Segi-segi Perjanian, Cetakan kedua, Alumni Bandung.
Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Hartkamp, C. Asser-A.S, 1989, Verbintenissenrecht, Algemene Leer derOvereenkomsten,W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.
Ibrahim, Johnny, 2007, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, UMMPress.
Kie, Tan Thong, 2000, Studi Notariat & Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I,IchtiarBaru Van Hoeve, Jakarta.
Komarudin, 1979, Metode Penelitian Tesis dan Skripsi, Alumni Bandung,Bandung.
Koesoemawati, Ira danYunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa Sukses,Jakarta.
Koeswadji, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum.Center ofDocumenttion and Studies of Bussines Law, Yogyakarta.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1970, Fungsi dan perkembangan Hukum dalamPembangunan Nasional, Padjajaran, Bandung.
_______, 1995, Pemantap Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional DimasaKini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah, Jakarta.
Lusk, Harold F, Bussines Law, 1969, Principle and Cases, Homewood, Illinois,Richard D. Irwin, Inc.
153
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
Matius, Jusuf, 2009, Hot Property Elshinta, Minerva Athena Pressindo, Jakarta.
Meliala A. QiramSyamsuddin, 2001, Hukum Perjanjian, Liberty, Bandung.
Mertokusumo, Sudikno, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), CetakanKetiga, Liberty, Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno dan A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,Citra Aditya Bakti, Yogyakarta.
Miru, Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Raja GrafindoPerkasa, Jakarta.
Moegni Djojodirdjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, PradnyaParamita, Jakarta.
Muchsin.H, 2005, Ikhtisar Hukum Indonesia, Badan Penerbit Islam, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, Alumni Bandung.
_______, 2001, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______,2006, HukumPerikatan, Citra AdityaBakti, Bandung.
Murniaty Evie, 2010, Tanggung Jawab Notaris Dalam Hal Terjadi PelanggaranKode Etik, Program Studi Magister Kenotariatan Pasca SarjanaUniversitas Diponegoro, Semarang.
Nasution, A.Z, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Pertama, DiapitMedia, Jakarta.
Notodisoerdjo, R.Soegondo,1993, Hukum Notariat Di Indonesia, SuatuPenjelasan, Raja Grafindo Perasada.
Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandarmaju, Semarang.
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu,Sekarang, Dan Dimasa Datang, Gramedia Pustaka.
Pitlo, A, 1969, Evolutie in het Privaatrecht, W.E.J. Tjennk-Willing, Haarlem.
Prajitno, A.A. Andi, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan Siapa NotarisDi Indonesia, Putra Media Nusantara, Surabaya.
154
Prodjodikoro, Wiryono, 1980, Asas-Asas Perjanjian, Sumur, Bandung.
_______, 1985, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung.
Ratiba, Matome M.,2013, Convecaying Law For Paralegals and LawStudent,bookboon.com.
Ridwan, H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Salim, H.S.,2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,Jakarta.
Sanjaya, I Wayan Werasmana, 2013, Perjanjian Nominee Sebagai SaranaPenguasaan Hak Milik Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing DalamPerspektif Hukum Perjanjian Indonesia, Program Pasca SarjanaUniversitas Udayana, Denpasar
Santoso, Didi, 2009, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta YangMemuat Dua Perbuatan Hukum (Analisis Putusan Mahkamah AgungNomor 1440.K/PDT/1996), Program Studi Magister Kenotariatan PascaSarjana Universitas Diponegoro, Semarang
Schaick, A.C van, 1994, Contractsvrijheid en Nietigheid, W.E.J. TjeenkWillink,Zwoole
Setiawan, R.,1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, Bandung.
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi,Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Sitorus, Oloan, 2004, Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah, MitraKebijakan Hukum Tanah Indonesia, Yogyakarta.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban NotarisDalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung.
Soekanto, Soerjono, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung.
_______, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, UI Press, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji 2009, Penelitian Hukum Normatif, SuatuTinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Yuritmetri,Graha Indonesia, Jakarta.
155
Subekti, R.,1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXII, Intermasa,Jakarta.
_______ 2001, Hukum Pembuktian, PradnyaParamita, Jakarta.
Sumaryono. E,1995, Etika Profesi Hukum: Norma-Norma Bagi Penegak Hukum,Kanisius, Yogyakarta.
Sumardjono, Maria S.W, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan HakAtas TanahBeserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing Dan Badan Hukum Asing,Kompas, Jakarta.
_______, 2012, Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing Melalui PerjanjianNominee, Rapat Kerja Ikatan Notaris Indonesia (INI) Pengurus WilayahBali dan NTT, Denpasar.
Tedjosaputro, Liliana, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum Aneka Ilmu,Semarang.
Tobing, G.H.S. Lumban, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, cet.3, Erlangga, Jakarta
Tobing, Yanti Jacline Jennifer, 2010, Pengawasan Majelis Pengawas NotarisDalam Pelanggaran Jabatan Dan Kode Etik Notaris (Studi Kasus MPPNomor 10/B/Mj.PPN/2009 jo. Putusan MPW Nomor 131/MPW-Jabar/2008.
Van Erp,J.H.M, 1990, Contract als Rechbetrekking, Een RechtsvergelijkendeStudie, diss. Brabant.
Van Schaick, A.C, 1994, Contractsvrijheid en Nietigheid, W.E.J. Tjeenk Willink,Zwoole.
Voeve, Van, 1998 Engelbrecht De Wetboekenwetten en Veroordeningen,Benevens de Grondwet van de RepubliekIndonesie, Ichtiar Baru, Jakarta.
Warman, Aditia, 2014, Kedudukan Akta Otentik Sebagai Salah Satu Alat BuktiDitinjau Dari Sisi Pidana, Refleksi 106 Tahun Ikatan Notaris Indonesia,Badung.
Widyadharma, Ignatius Ridwan, 1994, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum,Ananta, Semarang.
156
Tesis
Berata Michael Wisnoe, 2012, Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi Warga NegaraAsing Dan Kewarganegaraan Ganda, Program Studi KenotariatanUniversitas Indonesia, Depok.
Putra, G. Agus Permana, 2010, Wanprestasi Dalam Penggunaan Nominee PadaPerjanjian Yang Dibuat Dibawah Tangan Berkaitan Dengan KepemilikanTanah Di Bali, Program Studi Magister Kenotariatan UniversitasDiponegoro, Semarang.
Sumardika, I Nyoman, 2007, Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing DiKabupaten Badung, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.
Makalah
Wiratama, Gde Widhi dan Ida Bagus Rai Djaja,”Pengaturan Mengenai PerjanjianNominee Dan Keabsahannya (Ditinjau Dari Kitab Undang-UndangHukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 TentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria)”, Makalah. Hukum BisnisFakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok agraria yangdisebut juga Undang-Undang Pokok Agraria, Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 2043.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-UndangNomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491.
157
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak GunaBangunan dan Hak Pakai, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1996 Nomor 3643.
Internet
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/1409c9d66785626872d81e8a951fc6.pdf
http://wardanirizki.blogspot.com/2013/10/tanggungjawab-jawab-notaris-ditinjau-dari.html.