anesthesia regional

25
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Anatomi - Lapisan jaringan punggung Lapisan jaringan punggung terdiri dari beberapa lapisan ligament. Dari kulit sampai ke ruang subarachnoid ; Kulit subkutis ligamentum supraspinosum ligamentum interspinosum ligamentum flavum ruang epidural duramater ruang subarachnoid - Medulla spinalis dikelilingi liquor serebrospinal dan berada dalam kanalis spinalis. Berakhir pada L1 pada dewasa, L2 pada anak, dan L3 pada bayi - Perdarahan medulla spinalis oleh arteri spinalis anterior dan posteri 2

Upload: samudra-andi

Post on 26-Jan-2016

248 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

anesthesia regional

TRANSCRIPT

Page 1: Anesthesia Regional

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi

- Lapisan jaringan punggung

Lapisan jaringan punggung terdiri dari beberapa lapisan ligament. Dari kulit sampai ke

ruang subarachnoid ;

Kulit subkutis ligamentum supraspinosum ligamentum interspinosum

ligamentum flavum ruang epidural duramater ruang subarachnoid

- Medulla spinalis dikelilingi liquor serebrospinal dan berada dalam kanalis spinalis.

Berakhir pada L1 pada dewasa, L2 pada anak, dan L3 pada bayi

- Perdarahan medulla spinalis oleh arteri spinalis anterior dan posteri

Gambar 1. Anatomi lapisan jaringan punggung

2.2 Definisi

Anesthesia regional adalah penggunaan obat analgetika lokal untun menghambat

hantaran saraf sensorik sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh dapat diblok untuk

2

Page 2: Anesthesia Regional

sementara atau bersifat reversible. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya,

dan penderita tetap sadar. (3)

2.3 Klasifikasi

Menurut teknik, anesthesia regional dibagi menjadi beberapa macam ;

1. Infiltrasi lokal

Penyuntikan obat analgetik lokal langsung diarahkan ke tempat lesi, luka maupun tempat

yang ingin dilakukan insisi

2. Blok lapangan (field block)

Infiltrasi di sekitar lapangan operasi atau sekitar lesi

3. Blok saraf (nerve block)

Penyuntikan obat analgetik lokal langsung ke saraf utama atau plexus saraf, yang

dibedakan menjadi ;

Blok sentral (blok neuroaksial), yang meliputi blok spinal, epidural dan kaudal

Blok perifer (blok saraf), yang meliputi blok pleksus brakhialis, aksiler, analgesia

regional intravena dan lain-lain.(4)

2.4 Persiapan preoperative

Persiapan perioperative dari pasien meliputi informed consent, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang dan pemberian premedikasi

a) Informed consent, penting didapati persetujuan dan pemahaman pasien akan prosedur

yang akan dilakukan karena merupakan tindakan invasif

b) Pemeriksaan fisik, yang dilakukan secara keseluruhan apakah terdapat kelainan disekitar

tempat tusukan yang dapat meninmbulkan kesulitan, kelainan anatomis tulang punggung

atau pasien yang gemuk dan sulit teraba tonjolan processus spinosus.

c) Pemeriksaan penunjang, seperti kadar hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time)

dan PTT (partial thromboplastine time) untuk meminimalisasi komplikasi

3

Page 3: Anesthesia Regional

2.5 Monitoring selama anesthesia regional

Pengawasan fungsi vital pasien (tensi, nadi,pernapasan) secara berkala ;

Nadi

(x/min)

Tekanan

darah

(mmHg)

Pernapasan

(x/min)

Balita

Pra-sekolah

Dewasa

160

120

100

80

90

100

40

30

20

Tabel 1. Monitoring tanda vital

Memperhatikan tempat-tempat yang tertekan (pressure points), harus diberi alas yang

lunak

Infus harus selalu dipasang untuk memberi obat darurat atau cairan secara cepat

2.6 Obat analgetik lokal

Struktur obat analgetik lokal dibagi menjadi 3 bagian, aromatic portion, intermediate

chain dan amine group. Aromatic portion bersifat lipofilik yang menyebabkan terjadinya difusi

antar membran saraf dan berhubungan dengan potensi obat. Intermediate chain yang

menghubungkan antara aromatic portion dan amine group berupa ester atau amide dan

digunakan untuk mengklasifikasikan obat analgetik lokal. Bagian amine group bersifat hidrofilik

Gambar 2. Struktur obat analgetika lokal

4

Page 4: Anesthesia Regional

Obat analgetik lokal yang dipakai dalam anesthesia regional dikenal dengan 2 macam

1) Golongan ester

Obat dengan golongan ester dimetabolisme melalui proses hidrolisis, yang dependen terhadap

enzim pseudokolinesterase. Beberapa pasien memiliki defek genetik pada struktur enzim ini dan

menyulitkan proses metabolisme analgetik golongan ester. Akibatnya terjadi toksisitas obat,

disebabkan oleh kadar obat yang meningkat di sirkulasi. Proses metabolism golongan obat ini

juga menghasilkan produk sampingan berupa PABA, yang dapat menghambat kerja sulfonamide

dan berupa allergen.

2) Golongan amide

Analgetik golongan amide dimetabolisme oleh enzim mikrosomal (sitokrom P-450 3A4)

yang berada dihepar. Gangguan pada hepar dan penurunan aliran darah ke hepar dapat

mengganggun proses metabolisme dan menyebabkan tingginya kadar obat disirkulasi, dan

menimbulkan toksisitas secara tidak langsung. Obat-obatan lain yang dapat menghambat kerja

enzim sitokrom P450 3A4 antara lain itraconazol, ketoconazol, erithromisin, claritromisin,

siklosporin, amprenavir, indinavir, nelfinavir, ritonavir (HIV protease inhibitors), diltiazem,

mibefradil (calcium channel blockers), and nefazodone

Gambar 3. Analgetik lokal golongan ester dan amide

5

Page 5: Anesthesia Regional

Beberapa hal yang perlu dilihat dalam absorpsi analgetik lokal ;

Absorpsi melewati mukosa, namun tidak dapat melewati kulit yang utuh, untuk

itu diperlukan suntukan ke jaringan subkutis

Obat vasokonstriktor yang ditambahkan dapat memperlambat absorbsi sistemik

dan memperpanjang masa kerja sera mempertinggi dosis maksimum. Penggunaan

vasokonstriktor hanya pada daerah tanpa end artery, umumnya menggunakan

adrenalin 1:200.000

Kecepatan detoksifikasi bergantung pada enzim darah ataupun hati

2.6.1 Komplikasi

Komplikasi obat analgetik lokal dibagi menjad lokal dan sistemik ;

a) Komplikasi lokal

Terjadi komplikasi lokal berupa rasa tidak nyama, nyeri, ekimosis, hematoma,

laserasi saraf. Rasa tidak nyaman dapat dipengaruhi oleh beberapa factor seperti

penusukan jarum, iritasi jaringan karena obat, dan distensi jaringan akibat

infiltrasi obat. Iritasi jaringan yang disebabkan oleh analgetik berhubungan

dengan asiditas obat yang menyebabkan rasa nyeri. Penambahan epinefrin dapat

menurunkan ph dan meningkatkan asiditas (pH 3.5-4.50). Untuk meminimalisir

dapat diberikan sodium bikarbonat untuk mencapat ph jaringan (7.3-7.4). Selain

itu rasa tidak nyaman oleh karena distensi jaringan akibat infiltrasi dipengaruhi

oleh kecepatan injeksi dan volumenya. Untuk meminimalisir nyeri, infiltrasi

diakukan perlahan. Pembentukan ekimosis disebabkan oleh perforasi dari

pembuluh darah kulit, terutama pada bagian dengan vasularitas tinggi (membrane

mukosa, genitalia, kepala). Hal ini lebih hebat pada pasien dengan gangguan

pembekuan darah ataupun pasien yang mengkonsumsi pengencer darah

(anticoagulants). Hematoma memerlukan drainase dengan jarum 18 G, diikutin

dengan balutan tekan.(5)

Infeksi akibat kelalaian tindakan asepis dan antisepsis.

Laserasi saraf, biasanya terjadi pada saat infiltrasi obat dan lebih sering pada blok

regional. Tanda klinis berupa paresthesia, sensasi tajam, dan nyeri berlebih saat

6

Page 6: Anesthesia Regional

insersi jarum. Jika terjadi gejala klinis tersebut, jarum harus ditarik perlahan 1-2

mm sampai gejala hilang atau mereda.jarum tidak boleh di pindahkan kea rah

lateral ataupun dimasukan ke foramen. Maneuver tersebut dapat meningkatkan

resiko laserasi.

Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor pada daerah

dengan end artery.

b) Komplikasi sistemik

Toksisitas analgetik lokal, dapat disebabkan oleh pemberian dosis berlebih,

gangguan metabolisme obat, dan pemberian vasokostriktor (epinefrin) yang dapat

menurunkan absorpsi sistemik analgetik.toksisitas sistemik menyebabkan

tingginya kadar analgetik di sirkulasi dan dapat menyebabkan komplikasi system

saraf pusat dan kardiovaskular. Tanda toksisitas meliputi, tinnitus, rasa melayang,

baal, diplopia, metallic taste di lidah, mual, muntah,bicara

kacau,tremor,nystagmus,halusinasi,depresi napas. Jika timbul tanda toksisitas

maka hal utama adalah mencegah hipoksia dan asidosis, kaarena hal ini dapat

meningkatkan efek toksisitas lebih lanjut. Kadar karbondioksida yang tinggi

didarah dapat menyebabkan protein pengangkut analgetik menurun dan

menyebabkan kadar obat disirkulasi meningkat.

Penanggulangan reaksi toksik :

o Menjamin oksigenasi adekuat dan pernapasan buatan dengan oksigen

o Tremor atau kejang diatas dengan dosis kecil “short acting barbiturate”

(diazepam (valium) 5-10 mg intravena)

o Depresi sirkulasi dengan pemberian vasopressor secara bolis dilanjutkan

dengan drip dalam infus (efedrin 2.5 - 10 mg intravena)

2.7 Analgesia spinal

Analgesia spinal (anesthesia lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan apabila dilakukan

penyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnid di antara vertebra L2-L3, L3-L4 atau L4-

L5. Dengan indikasi, pembedahan bagian tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah, yaitu ekstremits

bawah, panggul, sekiar rectum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, abdomen bawah,

7

Page 7: Anesthesia Regional

bedah abdomen atas dan bedah pediatric yang dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan.

Didapati kontraindikasi analgesia spinal sebagai berikut ;

Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relative

Pasien menolak

Infeksi pada tempat suntikan

Hypovolemia berat, syok

Koagulopati atau mendapat terapi

antikoagulan

Tekanan intracranial tinggi

Fasilitas resusitasi minim

Kurang pengalaman/tanpa didampingi

konsultan anesthesia

Infeksi sistemk (sepsis, bacteremia)

Infeksi sekitar tempat suntikan

Kelainan neurologis

Kelainan psikis

Bedah lama

Penyakit jantung

Hypovolemia ringan

Nyeri punggung kronis

Tabel 2. Kontraindikasi analgesia spinal

2.7.1 Teknik analgesia spinal

1) Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi decubitus lateral. Beri bantal kepala dan

buat pasien membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah diraba. Posisi

alternative lain adalah duduk.

2) Cari perpotongan garis krista iliaka dengan tulang punggung L4-L5. Tentukan tempat

tusukan, L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan diatas L1-L2 beresiko trauma medulla

spinalis.

3) Sterilkan tempat tuukan dengan betadine atau alcohol

4) Beri anestetik lokal pada tempat tusukan

5) Menyuntikkan jarum lumbal nomor 22 (atau lebih halus, 23,25, atau 26. Jika lebih kecil

27,29 gunakan introducer atau jarum suntik biasa semprit 10 cc) di bidan median atau

paramedian dengan arah 10-30 derajat bidang horizontal kearah kranial. Jarum lumbal

akan menembus beberapa ligament, yang terakhir adalah duramater-subarachnoid.

Setelah stilet dicabut cairan liquor serebrospinal akan keluar. Selanjutnya suntikkan obat

analgetik lokal perlahan (0.5 ml/detik) diselingi sedikit aspirasi, untuk memastikan posisi

jarum tetap baik.

8

Page 8: Anesthesia Regional

6) Jika liquor serebrospinal tidak keluar namun diyakini posisi benar, putar arah jarum 90

derajat

7) Analgesia kontinyu dapat di pasang kateter

8) Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal (bedah hemorrhoid) dengan

anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±6cm.

2.7.2 Anestetik lokal untuk analgesia spinal

Berat jenis liquor serebrospinal adalah 1.003-1.008. jika berat jenis anestetik lokal lebih besar

dari berat jenis liquor serebrospinal disebut hiperbarik, sama disebut isobaric dan lebih rendah disebut

hipobarik.. Yang sering dipakai ialah hiperbarik dengan campuran dekstrosa

Anestetik lokal Berat

Jenis

Sifat Dosis Dosis

max.

Durasi

(jam)

Lidocaine (Xylocaine,

Lignocaine)

2% plain

5% dexstrose

7.5%

1.006

1.033

Isobarik

Hiperbarik

20-100 mg (2-5ml)

20-50 mg (1-2ml) 150 mg 1 ½

Bupivacaine

(Marcaine)

0.5% dalam

aqua

0.5% dalam

dextrose 8.25%

1.005

1.027

Isobaric

Hiperbarik

5-20 mg (1-4ml)

5-15 mg (1-3 ml) 20 mg 2 - 3

Tabel 3. Obat analgesik lokal untuk analgesia spinal

9

Page 9: Anesthesia Regional

2.7.3 Komplikasi analgesia spinal

1) Komplikasi dini

Gangguan sirkulasi

Efek vasodilatasi akibat blok saraf simpatis menyebabkan hipotensi.

Semakin tinggi blok, semakin berat hipotensi yang terjadi. Hal ini dapat dicegah

dengan pemberian cairan yang adekuat. Cairan kristalloid (NaCl, ringer laktatk

dsb) secara cepat sebanyak 10-15 ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah

penyuntikan analgesia spinal. Bila dengan cairan masih didapati hipotensi, dapat

diberikan vasopressor (ephedrine) secara intravena sebanyak 10 mg yang dapat

diulang 3-4 menit sampai tercapai tekanan darah yang dikehendaki (sebaiknya

penurunan tidak lebih dari 10-15 mmHg dari tekanan darah awal).

Bradikardia dapat terjadi bila aliran balik vena berkurang ataupun karena

blockade simpatis T1-T4. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian sulfas atropine

1/8-1/4 mg intravena. (0.02-0.03 mg/kgBB i.v)

Komplikasi respirasi

o Apnea dapat disebabkan oleh blok spinal yang terlalu tinggi atau hipotensi

berat dan iskemia medulla. Tanda tanda pernapasan inadekuat ; kesulitan

bicara, batuk kering yang persisten dan sesak napas harus segera ditangani

dengan oksigen dan napas buatan.

Komplikasi gastrointestinal

o Nausea dan muntah dikarenakan hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis

berlebih, pemakaian obat narkotik

Post Lumbal Puncture Headache

PLPH disebabkan karena adanya kebocoran liquor serebrospinal saat insersi

jarum analgesia spinal. Gejala nyeri kepala dengan ciri khas (6) ;

o Terasa berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak atau duduk

dan berkurang dengan berbaring

o Mulai terasa 24-48 jam setelah pungsi lumbal

o Biasanya terjadi pada wanita muda

10

Page 10: Anesthesia Regional

o Gejala lain sepert ; kekakuan leher, nausea, muntah, hilang pendengaran,

tinnitus, vertigo, paresthesia dan gangguan visual.

Dengan menggunakan jarum yang lebih halus (nomor 23 atau 25), posisi

jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater dan hidrasi yang adekuat

minimum atau infus 3 L sehari selama 3 hari dapat mencegah PLPH. PLPH dapat

diatasi dengan memposisikan pasien untuk berbaring terlentang minimal 24 jam,

berikat hidrasi yang adekuat dan hindari mengejan untuk menghindari tekanan

intracranial yang meningkat. Apabila tidak berkurang dengan cara-cara tersebut

dapat dilakukan epidural blood patch, yaitu menyuntikkan darah pasien 5-10 ml

ke dalam ruang epidural

Retention urinae

Blok spinal mengganggu fungsi reflex autonomic, yang menyebabkan retensi

urin, umumnya hanya berlangsung selama 24 jam

2.8 Analgesia epidural

Analgesia epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan obat diruang epidural yang

berada di antara ligamentum flavum dan duramater. Obat anestetik diruang epidural bekerja

langsung terhadap akar saraf spinal (lateral). Namun onset anestesia epidural lebih lambat

dibandingkan dengan anestesia spinal dan kualitas blokade sensorik-motorik didapati lebih

lemah. Indikasi anesthesia epidural, yaitu ;

Pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah

Tatalaksana nyeri saat persalinan

Penurunan tekanan darah saat pembedahan agar meminimalisir perdarahan

Tambahan anestesia umum ringan karena penyakit tertentu

2.8.1 Teknik analgesia epidural

1) Posisi pasien sama seperti analgesia spinal

2) Tusukan pada ketinggia L3-L4 dengan jarak ruang epidural yang terlebar

3) a. Teknik hilangnya resistensi :

11

Page 11: Anesthesia Regional

Menggunakan semprit yang diisi udara atau NaCl ±3 ml. setelah pemberian anestetik

lokal, jarum epidural di tusuk sedalam 1-2 cm.lalu semprit didorong perlahan secara

terputus-putus (intermitten) sambal mendorong jarum sampai terasa sensasi menembus

jaringan keras (ligamentum flavum) disusul dengan hilangnya resistensi.

b. Teknik tetes tergantung (hanging drop)

Sama seperti teknik hilangnya resistensi, namu saat spuit berisi NaCl disuntikkan sampai

terlihat adanya tetes NaCl yang menggantung, dengan mendorong jarum epidural

perlahan sampai terdapat sensasi menembus jaringan keras yang disusul oleh tersedotnya

tetes NaCl keruang epidural

4) Uji dosis

Dilakukan setelah jarum diyakini masuk keruang epidural, dengan memasukan anestetik

lokal 3ml yang sudah dicampur dengan adrenalin 1:200.0000

- Tidak ada efek setelah beberapa menit ( kemungkinan besar letak jarum

benar)

- Terjadi blokade spinal ( obat masuk ke ruang subarachnoid / terlalu dalam)

- Peningkatan laju nadi 20-30% (obat masuk vena epidural)

5) Penyuntikkan, dilakukan setelah jarum berada di ruang epidural,secara bertahap 3-5

menit sebanyak 3-5 ml sampai dosis total untuk menghindari peningkatan tekanan

intracranial, nyeri kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.

6) Uji keberhasilan, dilakukan dengan skala bromage untuk blok motoric, dan uji tusuk jarum untuk

blok sensorik

Melipat lutut Melipat jari

Blok tidak ada

Blok parsial

Blok hamper lengkap

Blok lengkap

++

+

-

-

++

++

+

-

Tabel 4. Skala Bromage

12

Page 12: Anesthesia Regional

Obat Konsentrasi Durasi (jam) Dosis max.

Procaine

Lidocaine

Mepivacaine

Tetracaine

Bupivacaine

Etidocaine

1-2%

1-2%

1-2%

0.1-0.25 %

0.5-0.75%

0.5-1%

1

1 ½

1-2

2-3

3 ½ - 5

4-6

1.000 mg

500 mg

500 mg

75 mg

22 mg

300 mg

Tabel 5. Dosis anestetik epidural (single dose) (7)

2.9 Analgesia kaudal

Analgesia kaudal yaitu memasukkan obat keruang kaudal melalui hiatus sakralis, yang

adalah perpanjangan dari ruang epidural. Dindikasikan untuk pembedahan sekitar perineum,

anorectal (hemorrhoid, fistula perianal)

2.9.1 Teknik Analgesia Kaudal

1) Posisi pasien dhiatus sakralisapat telungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dn

kepala lebih rendah dari bokong) atau lateral decubitus

2) Jarum kaudal dapat menggunakan venocath atau abbocath 22 G untuk pasien dewasa

3) Pada dewasa biasanya digunakan volum 12-15 ml (1-2ml/segmen)

4) Identifikasi hiatus sakralis, mencari kornu sakralis kanan dan kiri dan spina iliaka

superior posterior. Perpotongan antara ketiganya disebut hiatus sakralis

5) Setelah sepsis antisepsis pada hiatus sakralis, jarum ditusukkan 90 derajat terhadap

kulit. Setelah masuk kanalis sakralis, diubah menjadi 45-60 derajat dan jarum

didorong 1-2 cm. Setelah itu disuntikkan 5ml NaCl agak cepat sambal meraba kulit

untuk menguji apakah cairan masuk dengan benari di kanalis kaudalis.

13

Page 13: Anesthesia Regional

Gambar 4. Hiatus sakralis dan posisi jarum pada analgesia kaudalungkai

2.10 Analgesia regional intravena

Analgesia regional intravena (Bier Block) dikerjakan untuk bedah dengan durasi singkat

(±45 menit) pada lengan atau tungkai dewasa.

1) Pemasangan venocath pada kedua dorsum pedis. Sisi yang di bedah untuk

memasukkan obat anestetik lokal, sisi yang berlawanan untuk cairan

2) Eksanguinasi, atau pengurangan darah. Dilakukan dengan menaikkan lengan dan

memeras lengan secara manual atau dengan perban elastik ( Eshmark bandage) dari

distal ke proksimal.

3) Pemasangan manset ganda pada lengan atas (proksimal dan distal) dan manset

proksimal dikembangan sampai dengan 100 mmHg diatas tekanan sistolik terlebih

dahulu (mencegah darah masuk ke lengan). Perban elastik dilepaskan

4) Suntikkan lidokain atau prilokain 0.5% 0.6 ml/kgBB melalui kateter dorsum manus

atau di dorsum pedis dengan dosis 1-1.2 ml/kgBB. Analgesia dapat tercapai 5-15

menit setelah suntikan.

5) Setelah 20-30 menit bila pasien merasa tidak nyaman, tekanan manset dapat

diturunkan (kembangkan manet distal dan kempiskan manset proksimal)

6) Setelah pembedahan selesai, deflasi manset dilakukan bertahap (buka tutup selang

beberapa menit)

14

Page 14: Anesthesia Regional

2.11 Adjuvan pada anesthesia regional

a) Opioid

Terdapat efek sinergis antara opioid spinal dan anestetik lokal. Kedua agen ini

dikombinasikan karena memiliki cara kerja analgesic yang berbeda dan kemampuan dalam

blockade nyeri pada 2 tempat yang berbeda. Opioid menyebabkan analgesia dengan berikatan

secara spesifik dan mengaktivasi reseptor opiat di substansia gelationosa korda spinalis..

Sementara anestetik lokal menyebabkan analgesia dengan cara blockade transmisi impuls pada

akar saraf dan ganglia basalis. Opioid yang bersifat lipofilik absorbsinya bersifat bifasik. Porsi

inisial akan terdistribusi secara cepat kedalam sirkulasi darah dan mencapai bagian supraspinal,

sementara sisanya akan terdistribusi ke jaringan lemak di ruang epidural dan diabsorpsi kembali

ke sirkulasi darah lebih lambat, dalam beberapa jam. Disebut sinergistik karena, anestetik lokal

memberi efek analgesia pada tingkat spinal, bersamaan dengan opioid yang secara sistemik

diabsorpsi dan memberikan efek analgesia tambahan pada tingkat supraspinal. (8)

Gambar 5. Regimen opioid analgesia

b) Non-opioid adjuvant

Epinephrine, memiliki mekanisme mengurangi clearance obat dari ruang epidural dengan

efek vasokontriksi pada pembuluh darah. Penambahan vasokonstriktor menyebabkan

15

Page 15: Anesthesia Regional

penurunan konsentrasi plasma dari anestetik lokal, efek tersebut membutuhkan dosis

anestetik lokal yang lebih tinggi. Short acting anesthetic (li adrenedocaine, procaine)

menunjukkan prolong yang baik terhadap penambahan 1:200.000 epinephrine

dibandingkan dengan long acting anesthetic (ropivacaine). Efek lain adalah

meningkatkan kecepatan onset blok regional dan kedalaman blok. Dosis epinephrine,

bolus 0.05-1 µg/kgBB i.v

Clonidine, menghambat impuls nosiseptif dengan aktivasi reseptor α2 adrenergik di

dorsal spinal cord. Selain itu clonidine juga meningkatkan efek blokade sensorik dan

motoric dari anestetik lokal, dengan menghambat konduksi serat C dan A-delta via

peningkatan sodium. Efek vasokonstriktor juga didapati, dengan menurunkan vascular

uptake dari anestetik lokal. 15 µg clonidine dengan bupivacaine saat anesthesia spinal-

epidural menghasilkan efek analgesia yang lebih lama dibandingan dengan pemberian

bupivacaine saja. Prolong ini terjadi selama 30 min dan efek analgesia setelah post

operatif selama 120 menit tanpa adverse events

16

Page 16: Anesthesia Regional

BAB III

KESIMPULAN

Anestesi regional adalah mengeliminasi sensasi pada region tubuh. Anestesia regional

memblokade transmisi impuls pada saraf perifer maupun saraf medulla spinalis. Anestesi

regional dibagi menjadi infiltrasi lokal, blok lapangan (field block) dan blok saraf (nerve block)

yang dibagi menjadi blok sentral (blok spinal, epirdural, kaudal) dan blok perifer (blok pleksus

brakhialis, aksiler, analgesia regional intravena dengan teknis masing-masing.

Informed consent, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang penting pada persiaap

pre anestesi untuk mencegah komplikasi yang kemungkinan ada. Monitoring selama peri

anestesi juga sama pentingnya dalam menjaga stabilitasi pasien selama dalam efek analagesia.

Obat-obatan analgetika lokal dapat berupa golongan ester atau amida, penggunaan obat-obatan

ini dapat murni atau dengan adjuvant yang bersifat enchancer.

17

Page 17: Anesthesia Regional

DAFTAR PUSTAKA

1. Alindas F. Regional Anesthesia [Internet]. 2015 [cited 2015 Sept 20]. Available

from :

194.27.141.99/dosya-depoders-notari/fatis-altindas/Regional_Anestheia.pdf

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd Ed.

Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2001.

3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd Ed.

Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2010.

4. Gymrek R, Elston DM. Local and Regional Anesthesia [Internet]. 2015 [Updated

2015 Jul 7; Cited 2015 Sept 20]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1831870-overview#a6.

5. Christiansson L. Update on adjuvants in regional anesthesia. Periodicum

Biologorum. 2009 March 3; 3(2): 161-170.

6. Boom CE, Sudaryadi, Bisri T. Kaidah, Rumus, Dosis Obat dan Skoring dalam

Anestesiologi. 1st Ed. Bandung: Bagian/SMF Anestesiologi & Perawatan Intensif

Fakultas Kedokteran Univeristas Padjajaan/ RSUP dr. Hasan Sadikin.;1997.

7. Picard J, Meek T. Complications of regional anesthesia. Journal of The

Association of Anesthetist of Great Britain and Ireland. 2010; 65(1): 105-115

18