analisis terhadap penentuan wali nikah bagi...
TRANSCRIPT
ANALISIS TERHADAP PENENTUAN WALI NIKAH BAGI
PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN
(Studi Kasus di KUA Kec. Ngaliyan Kota Semarang)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syari’ah
DISUSUN OLEH:
DEDY ROEHAN ASFIA
062111030
JURUSAN AL-AKHWAL ASSAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lam : 4 (empat) eksemplar
Hal : Naskah Skripsi
a.n. Sdr. Dedy Roehan Asfia
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syariah
IAIN Walisongo
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini kami
kirimkan naskah skripsi saudari:
Nama : Dedy Roehan Asfia
Nim : 62111030
Jurusan : Ahwalus Syahsiyah
Judul : ANALISIS TERHADAP PENENTUAN WALI NIKAH BAGI
PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN
(STUDI KASUS DI KUA KEC. NGALIYAN)
Dengan ini, mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera di
munaqosahkan.
Demikian harap menjadi maklum.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain
kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 12 Mei 2011
Deklarator
DEDY ROEHAN ASFIA
NIM : 62111030
v
ABSTRAKSI
Di Indonesia, masalah asal usul anak terdapat beberapa ketentuan hukum
yang berbeda-beda. Seluruh madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal usia
kehamilan adalah 6 bulan, dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan, ketentuan
ini diambil firman Allah Swt. Dalam surat Al-ahqof (46) ayat 15 dan Surat
Luqman ayat (31) ayat 14. Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakti
oleh para ulama ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ayat pertama menunjukan
tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua
menerangkan, bahwa menyapihnya setelah bayi di susukan secara sempurna
membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan.
Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal usul anak
dalam Pasal 42, disebutkan “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah.” Dan dalam kompilasi Hukum Islam ditegaskan dan
dirinci, apa yang diatur dalam Undang-undang perkawinan. Yaitu anak sah adalah
“Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.”
Di dalam praktiknya KUA kecamatan Ngaliyan Kota Semarang yang
menjadi lokasi penelitian ini, menggunakan wali hakim. Yaitu berdasarkan
perspekif fiqih. Kantor Urusan Agama sebagai lembaga pencatat pernikahan di
bawah Kementerian Agama, seharunya berpedoman pada perundang-undangan
yang berlaku. Berangkat dari fenomena ini penyusun tertarik untuk membahas
lebih lanjut mengenai bagaimanakah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi,
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, dan dasar hukum apakah yang
digunakan oleh KUA Kec. Ngaliyan dalam menentukan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan.
Metode penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini, adalah field
research (penelitian lapangan), langsung di lapangan yang mengambil lokasi di
KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang. Dengan objek kajian adalah pada
permasalahan bagaimanakah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan
yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA dan dasar hukum yang di gunakan oleh
KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang. Analisis yang digunakan adalah deskriptif
analisis. Dalam analisis ini penulis akan mendeskripsikan tentang pelaksanaan
penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, dan
menganalisis dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Ngaliyan Semarang.
Kesimpulan akhir dari skripsi ini dalah bahwa pelaksanaan penentuan
wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan
tidak mempunyai dasar hukum. Karena sampai saat ini Kememterian Agama
belum pernah memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak perempuan
sulung yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahiranya dan juga memeriksa
buku pernikahan orang tuanya untuk mengetahui asul usul anak tersebut, dan
untuk menetukan wali. Karena status anak sudah diatur dalam UUP No 1 tahun
1974 pasal 42 dan KHI pasal 99(a). Dan dasar hukum yang digunakan oleh KUA
Kec. Ngaliyan tidak sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, karena KUA
Kec. Ngaliyan dalam pelaksaaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan menggunakan dasar fiqih.
vi
MOTTO
`
Artinya : Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di
antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. jika
mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan, kepada mereka
dengan karunia- NYA. Dan Allah maha luas (pemberian-NYA),
maha mengetahui.
(QS. An-nur. 32).1
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya, Lajnah pentshih Al- qur’an,
Depok: cahaya Al-qur”an, 2008. hlm.354
vii
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan untuk :
Ayahanda dan Ibunda ( Drs. Sodikin Rachman dan Hidayatun, BA) tercinta dan tersayang
Kasih sayang, tuntunan, dukungan dan do’a dari kalian Selalu menerangi langkah penuh cita dan cinta putramu.
Para Kiai, Guru, Dosen dan Asatiid
Ilmu dan bimbingan dari kalian menuntun saya untuk menjadi insan yang ta’at dan berbakti.
Kakek Nenek yang saya ta’dzimi
Nasehat dan do’amu mengobarkan semangat cucumu.
Seluruh keluarga Dukungan kalian tak akan pernah saya sia-siakan.
Dan untuk teman-teman Khususnya paket ASB ( Astronot, Boja,
Pakde,Erwin, Eka, Zum, Olive Dan Lainya) yang selalu menemani Bersama kita raih cita-cita kita.
SLANK dan JURUSTANDUR yang selalu memberi semangat, Maju Terus Pantang Mundur dalam meraih cita-cita dan untuk kebenaran.
Saya dedikasikan karya ini untuk kalian semua...
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. penulis panjatkan atas
segala limpahan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Terhadap Penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan (studi kasus di KUA Kec. Ngaliyan)
dengan baik tanpa banyak menemui kendala yang berarti.
Shalawat dan Salam semoga selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis
sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Penulis menyadari bahwa
terselesaikannya skripsi ini bukanlah semata hasil dari “jerih payah” penulis
secara pribadi. Akan tetapi semua itu terwujud berkat adanya usaha dan bantuan
dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
baik berupa moral maupun spiritual. Oleh karena itu, penulis tidak akan lupa
untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada :
1. Rektor IAIN Walisongo Semarang Bpk Prof. Dr. Muhibbin, M. Ag. Dan
Pembantu-Pembantu Rektor yang telah memberikan fasilitas untuk belajar
dari awal hingga akhir.
2. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Bpk Dr. Imam Yahya,
M. Ag. dan Pembantu-Pembantu Dekan yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas untuk belajar
dari awal hingga akhir.
3. Bapak/Ibu Ketua & Sekretaris Jurusan yang telah memberikan berbagai
motifasi dan arahan, mulai dari proses awal hingga proses berikutnya.
4. Bpk. Drs. Agus Nurhadi, MA dan Bpk. Dr H. Ali Imron, M. Ag selaku dosen
pembimbing I dan pembimbing II penulis skripsi ini, dengan penuh kesabaran
telah mencurahkan perhatian yang besar dalam memberikan bimbingan.
5. Para Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah
menyampaikan ilmu dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah
ataupun dalam diskusi.
ix
6. Kepala KUA Kec. Ngaliyan. Bpk Drs. H. Fadlan Yazidi beserta Staf-stafnya
yang telah memberi izin dan membantu penulis dalam melaksanakan
penelitian di KUA Kec. Ngaliyan.
7. Kedua orang tua penulis tercinta (Drs. Sodikin Rachman dan Hidayatun, BA)
yang telah memberi motivasi, arahan serta do’a yang tiada henti-hentinya
kepada penulis.
8. KH. Sirodj Chudori dan KH. A. Izzudin M. Ag selaku pengasuh Pon. Pes
Daarunnajah yang telah mengasuh dan mendidik bekal ilmu Agama.
9. Sahabat-sahabat penulis ( Khususnya paket ASB, Astronot, Boja, Pakde,
Erwin Zum, Eka, Olive, dan lainya) serta semua pihak yang ikut serta dalam
proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Kiranya tidak ada kata yang dapat terucap dari penulis selain memanjatkan
do’a semoga Allah SWT, membalas segala jasa dan budi baik mereka dengan
balasan yang setimpal.
Penyusunan skripsi ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin agar
tercapai hasil yang semaksimal pula.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi
para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT memberikan ridha-Nya. Amin
Ya Rabbal Alamin.
Semarang, 12 Mei 2011
Penulis,
DEDY ROEHAN ASFIA
Nim : 062111030
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
HALAMAN PENGESAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
HALAMAN DEKLARASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv
HALAMAN ABSTRAKS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v
HALAMAN MOTTO . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vi
HALAMAN PERSEMBAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii
HALAMAN KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . viii
HALAMAN DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan …………………………………….1
B. Rumusan Permasalahan ………………………………......………7
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………8
D. Telaah Pustaka ……………………………………………………8
E. Metode Penelitian ……………………………………..……..…..10
F. Sistematika Penulisan ……………………………………………15
BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG PERWALIAN
A. Wali Nikah dalam Islam ........………………….…..……...……..17
1. Pengertian Wali Nikah......….……...………………….......…...17
2. Dasar Hukum Wali Nikah.......................................................…20
3. Syarat Menjadi Wali....................................................................22
4. Macam-macam Wali....................................................................22
B. Asal Usul Anak. ……….........................................……………....28
1. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Fiqih........…...…..…...….30
2. Asal usul Anak Menurut Perspektif Undang undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 ................................................................35
xi
3. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Kompilasi Hukum Islam
(KHI)..............................….…..….….……………..………….36
C. Nikah Hamil....................................................................................38
BAB III : PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH BAGI
PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN DI
KUA KEC. NGALIYAN
A. Gambaran Umum Kecamatan Ngaliyan …....….…….……….....42
1. Letak Geografis ………................................…...….………….42
2. Keadaan Demografi....…………….….………....….…....…....43
3. Mata Pencaharian ...…………………………………………...43
B. Sejarah Singkat Berdirinya KUA Kec. Ngaliyan...........................44
C. Letak KUA Kec. Ngaliyan dan Sarana Prasarana Keagamaaan....46
D. Stuktur Organisasi KUA Kec. Ngaliyan........................................49
E. Tugas dan Fungsi pokok.................................................................50
F. Kegiatan KUA Kec. Ngaliyan.......................................................54
G. Prosedur Pelaksananaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan
yang Lahir Kurang dari 6 Bulan di KUA Kec. Ngaliyan..............66
H. Hasil Penelitian..............................................................................68
1. Kasus di KUA Kec. Ngaliyan....................................................68
2. Respon dari Para Pihak yang Bersangkutan...............................70
3. Respon dari P3N (Petugas Pembantu Pencatat Nikah)..............74
4. Repon dari Tokoh Masyarakat...................................................76
BAB IV : ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PENENTUAN WALI
NIKAH BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6
BULAN DI KUA KEC. NGALIYAN.
A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Penentuan wali Nikah bagi
Perempuan yang Lahir Kurang dari 6 Bulan di KUA Kec. Ngaliyan
…………........................................................................................79
xii
B. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang di gunakan oleh KUA Kec.
Ngaliyan dalam Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang Lahir
Kurang dari 6 Bulan.......................................................................87
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………....98
B. Saran-saran…………………………………………..…..….......100
C. Penutup...……..…......………….………………….………....…101
DAFTAR KEPUSTAKAAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakanag Masalah.
KUA (Kantor Urusan Agama) adalah instansi Kementerian Agama yang
bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dengan kedudukanya di kecamatan,
secara otomatis KUA adalah ujung tombak Kementrian Agama dalam membina
kehidupan beragama di masyarakat. Dan karena hal itulah KUA menjadi
kebutuhan bagi setiap daerah.1
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan lembaga pencatat pernikahan,
dan juga membidangi bidang-bidang lainya, seperti zakat, pembinaan haji,
pemberdayaan wakaf, pembinaan tilawatil qur’an dan sejenisnya. Peran tersebut
menegaskan bahwa KUA adalah instansi Kementrian Agama yang banyak
berkaitan langsung dengan pembinaan masyarakat dibidang keagamaan.
Pencatatan pernikahan dan hal-hal yang terkait denganya merupakan
tugas pokok dari Kantor Urusan Agama Kecamatan termasuk perwalian.2 Dalam
pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6
bulan, tepatnya di KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, yang menjadi
lokasi penelitian saya menggunakan Wali hakim.
Ketentuan ini menggunakan dasar fiqih munakahat, yaitu apabila anak
perempuan lahir kurang dari 6 bulan, maka menggunakan wali hakim.
1 Kementrian Agama RI, Profil Kantor Urusan Agama Teladan Se- Indonesia, Jakarta
:Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan syariah, 2010, hlm. i 2 Ibid hlm iv
2
Ketentuan ini berdasarkan Al- qur,an, dalam Firman Allah surat Al- ahqaf
ayat 15
Artinya: masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan
(Qs. Al-ahqaf, 46:15)3
Dan surat Al-Luqman ayat : 14
Artinya: Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun ( selambat-lambat
waktu menyapih ialah anak berumur 2 tahun )
(QS. Luqman, 31:14 ).4
Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakati para ulama. Di
tafsirkan bahwa, ayat pertama menunjukan tenggang waktu mengandung dan
menyampih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya
setelah bayi di susukan secara sempurna membutuhkan waktu 2 tahun atau 24
bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam
kandungan. 5
Dalam Tafsir Ibnu Katsir kedua ayat ini di jadikan dalil oleh Ali bin Abi
Thalib RA, batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan itu merupakan cara
3 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran,
Depok : Cahaya Qurani, 2008, hlm 504 4Departeman Agama RI, Ibid, hlm. 412
5 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 224
3
pengambilan hukum ( istinbath) yang kuat dan valid. Pendapat tersebut disetujui
oleh Usman bin Affan RA, dan beberapa sahabat lainya.6
Oleh karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan tidak bisa
dihubungkan kekerabatanya kepada bapaknya, Walaupun dalam ikatan
perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan
keluarga ibunya.
Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal usul anak
dalam Pasal 42, 43 dan 44. selengkapnya akan dikutip di bawah ini:
Pasal 42:
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 43:
1. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan kelurga ibunya.”
2. “Kedudukan Anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.”
Pasal 44:
1. “Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan oleh istrinya
bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu
akibat dari perzinahan tersebut.”
2. “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan yang bersangkutan.” 7
6 Shafiyurihman Al-Mabaruk Furi, Shahih Tafsir Ibun Kasir, Bogor : Pustaka Ibnu Kasir,
2006, hlm. 317-318 7 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2005, hlm. 18-19
4
Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum
kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara
pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal usia kandungan, jadi
Selama bayi yang di kandung itu lahir dari ibunya dalam ikatan perkawinan yang
sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah.
Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik
dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya. Dalam kompilasi hukum
Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur dalam Undang-undang perkawinan.
Pasal 99 :
Anak yang sah adalah
a. “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 100:
a. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Pasal 101:
“Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaranya dengan li’an.”8
Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tidak merinci batas minimal dan
maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal
sahnya anak yang di lahirkan istrinya.
8 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam 2000, hlm. 51
5
(1) “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,
mengajukan gugatan ke pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari
sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa
istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia
mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.”
(2) “Pengingkaran yang di ajukan sesudah lampau waktu tidak dapat diterima.
Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas
minimal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas
maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu
untuk mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama.”
Karena perbedaan dalam menentukan asal usul anak, maka berbeda pula
dalam penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Di
dalam praktiknya, KUA kecamatan Ngaliyan Kota Semarang, yang menjadi
lokasi penelitian ini, menggunakan wali hakim. Kasus semacam ini di KUA
Kecamatan Ngaliyan sering sekali terjadi, Bulan Januari sampai Oktober 2010,
terdapat tujuh kasus pernikahan seperti ini, dan semuanya menggunakan wali
hakim. Dengan menggunakan ketentuan seperti ini akan berimplikasi pada status
anak tersebut. Di satu sisi anak tersebut diakui oleh Negara sebagai anak sah,
Karena dalam menentukan asal usul- anak, menggunakan Undang- Undang
Nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dan anak
tersebut mempunyai akta kelahiran yang sah.
Akan tetapi dalam hal praktik perkawinan, KUA Kecamatan Ngaliyan
menggunakan wali hakim, padahal menurut Undang-undang anak tersebut adalah
sebagai anak sah. Ketentuan semacam ini akan menimbulkan permasalahan
dikemudian hari, tentang kejelasan status anak tersebut. Karena terdapat standar
6
ganda dalam penentuan asal-usul anak yaitu menggunakan UU Perkawinan dan
fiqih munakahat.
Di dalam Undang undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pasal 42,
dan di dalam kompilasi hukum Islam pasal 99 (a) disebutkan bahwa:
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat dari perkawinan
yang sah.”
Di sini sangat jelas bahwa menurut Undang-undang perkawinan maupun
Kompilasi Hukum Islam, apabila ada anak perempuan yang lahir kurang dari 6
bulan, maka menggunakan wali nasab, karena di dalam Undang- undang
perkawinan dan kompilasi tidak ada batasan minimal tentang usia kandungan.
Kantor Urusan Agama sebagai lembaga pencatat pernikahan di bawah
Departemen Agama sekarang Kementerian Agama, seharunya berpedoman pada
Kompilasi Hukum Islam. Karena sejak di tetapkan pada tahun 1991 dan
dilaksanakan oleh Menteri Agama, menetapkan seluruh instansi Departemen
Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait. Agar menyebarluaskan
Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan. Sebagaimana dimaksud dalam diktum, pertama Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan
Oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukanya untuk
menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.9
9 Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit,. hlm. 6-7
7
Dan tujuan utama di rumuskannya Kompilasi Hukum Islam, adalah
menyiapkan pedoman (unifikasi) bagi Hakim Peradilan Agama dan menjadi
hukum Islam positif yang wajib di patuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang
beragama.10
Untuk mengkaji lebih lanjut tentang penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, khususnya di KUA Kec. Ngaliyan
Semarang maka penulis akan paparkan ke dalam Skripsi yang berjudul :
“ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PENENTUAN WALI NIKAH
BAGI PEREMPUAN YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN (Studi
Kasus di KUA Kec. Ngaliyan Kota. Semarang).”
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, ada beberapa
pokok masalah yang akan dikaji yaitu :
1. Bagaimanakah pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan di KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang?
2. Apakah dasar hukum yang di gunakan oleh KUA Kecamatan Ngaliyan
Semarang dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang
lahir kurang dari 6 bulan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
10
Ahmad Rofq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Gama Media,
2001 , hlm. 25
8
1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan penentuan wali ikah bagi, perempuan
yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA kecamatan Ngaliyan semarang.
2. Untuk menganalisis dasar hukum yang digunakan, oleh KUA Kecamatan
Ngaliyan Semarang dalam pelaksanaan, penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan.
D. TELAAH PUSTAKA
Ada beberapa kajian yang sudah dibahas dalam beberapa Skripsi
Khususnya yang berkaitan tentang masalah perwalian.
Nur Shihah Ulya (2100106), dalam Skripsi Fakultas Syari'ah IAIN
Walisongo yang berjudul: “Praktek Perwakilan Perwalian Dalam Akad
Pernikahan Di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak.” yang menghasilkan
kesimpulan bahwa: Praktek akad pernikahan yang terjadi di wilayah kecamatan
Mranggen terdapat perbedaan dalam hal pelaksanaan prosesinya, yaitu:
Wali dari pihak mempelai calon istri melakukan ijab qabul dengan calon suami
tidak secara langsung dalam arti menggunakan jasa wakil dalam akad nikah
tersebut dengan cara mewakilkan kepada orang yang dianggap lebih cakap untuk
melakukan perbuatan hukum seperti Kiyai (ulama') atau kepada petugas PPN dari
Kantor Urusan Agama karena dianggap sudah terbiasa melakukan akad nikah.
Setelah mewakilkan perwaliannya tersebut, wali meninggalkan majelis akad
nikah sehingga dia tidak dikatakan hadir dalam majelis akad nikah tersebut.
Inayatul Baroroh (042111026) dalam Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo yang berjudul: “Studi Analisis Terhadap pelaksanaan, perkawinan
9
dengan Wali Hakim, di Karenakan Pengantin Wanita lahir Kurang dai 6 Bulan
Setelah Perkawinan Orang Tuanya (Studi Kasus di KUA kec talung Klaten).”
Yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa: pelaksanaan Wali Hakim di KUA
Kec. Talung Kab. Klaten sudah sesuai dengan syariat Islam dan sesuai dengan
Undang-undang, penelitian skripsi ini hanya sampai pada pelaksanaan wali hakim
secara umum, apa penyebab masyarakat mengajukan pernikahan dengan wali
hakim, bagaimana peran KUA dalam menghadapi pengajuan wali hakim dari
masyarakat. dan bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di tinjau
dari perspektif beberapa pendapat ulama, penelitian ini belum membahas
penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA
setempat dan menganalisisnya dari Undang -Undang Perkawinan dan KHI.
Abdul Ghufron (2104035), dalam Skripsi Fakultas Syariah IAIN
Walisongo yang berjudul: ”Analisis Pendapat Imam Al-Syafi'i Tentang Wali
Nikah Bagi Janda Di Bawah Umur”. Yang menghasilkan sebuah kesimpulan
bahwa: pendapat Imam al-Syafi'i yang mengharuskan adanya wali dalam
pernikahan sangat relevan dengan realitas kehidupan masa kini. Jika dibolehkan
nikah tanpa wali, maka sebelum nikah orang akan berani mengadakan hubungan
badan sebelum nikah karena orang itu akan beranggapan nikah itu sangat mudah,
dan jika ia sudah menikah hak dan kewajiban masing-masing menjadi tidak jelas.
Khoirul Jaza (2103220), dalam Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo
yang berjudul: “Studi Analisis Pendapat Imam Malik Tentang Wali Washi Dari
Bapak Lebih Didahulukan Sebagai Wali Nikah Daripada Wali Nasab”. Yang
10
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa wali washi dari bapak lebih didahulukan
untuk menikahkan seorang perempuan daripada wali nasab, karena wali washi
termasuk dalam kategori wali mujbir sehingga selama masih ada wali mujbir,
maka wali-wali yang berada diurutan bawahnya tidak berhak untuk menikahkan
seorang perempuan.
Berdasarkan atas pustaka yang telak penulis kemukakan di atas, maka
sekiranya dapat kami simpulkan bahwa tentang kajian atau penelitian yang akan
penulis lakukan berbeda dengan karya ilmiah atau skripsi yang telah dipaparkan
di atas., maka penulis dalam Skripsi ini akan lebih memfokuskan tentang
pembahasan tentang analisis terhadap penentuan wali nikah terhadap perempuan
yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang.
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini, adalah field
research (penelitian lapangan), langsung di lapangan yang mengambil lokasi
di KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang. Dengan objek kajian adalah pada
permasalahan pelaksanaan penentuan wali nikah, bagi perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan. Di KUA dan dasar hukum yang di gunakan oleh KUA
Kecamatan Ngaliyan Semarang.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Kualitatif. Pendekatan
ini memusatkan perhatianya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau
11
pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan
kebudayayan dari masyarakat yang bersangkutan, untuk memperoleh
gambaran mengenai pola-pola yang berlaku11
. Dengan demikian gejal-gejala
yang ditemukan tidak memungkinkan untuk diukur oleh angka-angka,
melaikan melalui penafsiran yang logis teoritis yang berlaku atau terbentuk
begitu saja. karena relitas yang baru, yang menjadikan indikasi signifikan
untuk terciptanya konsep baru.12
Dengan menggunakan pendekatan ini penulis akan mendeskripsikan
tentang pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang
dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan. Dan Praktiknya di dalam masyarakat,
Khususnya di kecamatan Ngaliyan. Dan untuk mengetahui respon dari
masyarakat dengan adanya ketentuan penentuan wali nikah bagi perempuan
yang lahir kurang dari 6 bulan untuk kemudian menganalisiya.
a. Sumber Data Primer
Adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan
menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada
subyek sebagai sumber informasi yang dicari.
Adapun sumber data primernya adalah hasil wawancara tentang
pelaksanaan penentuan wali nikah bagi prempuan yang lahir kurang dari 6
11
Burhan, Ashofa, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2004 hlm 20-21 12
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008 hlm
58
12
bulan di KUA Kecamatan Ngaliyan, dan dokumen-dokumen, arsip proses
perkawinan yang relevan dengan Skripsi di KUA kecamatan Ngaliyan.13
b. Sumber Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh
peneliti dari subyek penelitiannya. Peneliti menggunakan data ini sebagai
data pendukung yang berhubungan dengan pelaksanaan yang dilakukan
oleh KUA Kecamatan Ngaliyan Terhadap penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan.14
Data ini diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku, artikel,
pendapat para ahli, dan sumber lain yang dianggap relevan dan
berhubugan dengan penelitian ini.
2. Tehnik Pengumpulan Data
Yang dimaksud dengan pengumpulan data adalah pencarian dan
pengumpulan data yang dapat dipergunakan untuk membahas masalah atau
problematika yang terdapat dalam judul skripsi ini. Dalam hal ini, penulis
akan melakukan penelitian di KUA Kecamatan Ngaliyan.
Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis menggunakan
metode sebagai berikut :
a. Metode wawancara/interview
13
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet. I, 1998, hlm. 91 14
Ibid hlm. 91
13
Wawancara adalah sebuah percakapan antara dua orang atau lebih
yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subyek atau sekelompok
subyek penelitian untuk dijawab.15
Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi tentang hal
yang tidak dapat diperoleh oleh pengamatan 16
dan mendapatkan informasi
terhadap data-data dokumentasi dan sebagainya. Dengan berbagai pokok,
baik di lingkungan Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Semarang
maupun di luar lingkungan KUA, yang berkaitan dengan penelitian ini.
Wawancara antara lain di lakukan dengan:
1. Kepala KUA yang meliputi pelaksanaan penentuan wali nikah
terhadap perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, dan dasar hukum
yang digunakan, oleh KUA Kecamatan Ngaliyan dalam penentuan
wali tersebut.
2. Petugas Pembantu Pencatat Nikah ( P3N) tentang proses pelaksanaan
penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan.
3. Pengantin perempuan yang melaksanakan perkawinan dengan wali
hakim di karenakan kelahiranya kurang dari 6 bulan.
4. Orang tua/wali dari pengantin perempuan.
5. Tokoh masyarakat.
15
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2002, hlm.
130 16
Burhan, Ashofa OP cit, hlm. 59
14
b. Dokumentasi
Yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, dan lain
sebagainya.17
Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh dokumen-dokumen
yang terkait dengan pelakasanan penetuan wali nikah bagi perempuan
yang lahir kurang dari 6 bulan, di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Ngaliyan
3. Teknik Analisis Data
Analisis data proses pengurain data, pelacakan dan pengaturan secara
sistematis transkip-transkip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan
lain agar peneliti dapat menyajikan temuanya.18
Analisis data yang digunakan adalah dengan analisis data deskriptif
kualitatif, yaitu memberikan predikat kepada variable yang di teliti sesusai
dengan kondisi yang sebenarnya. Predikat yang diberikan tersebut dalam
bentuk, peringkat yang sebanding dengan atau atas dasar kondisi yang di
inginkan.19
Dalam analisis ini penulis akan mendeskripsikan, tentang pelaksanaan
penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Dan
17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta : Rineka
Cipta, 1999, hlm. 206. 18
Mustofa Bisri, OP. Cit , hlm. 31 19
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta, 1990, hlm. 353
15
menganalisis dasar hukum yang digunakan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Ngaliyan Semarang.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis dan konsisten yang
dapamenunjukkan gambaran utuh dalam proposal skripsi ini, maka penulis
menyusunnya dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I : Latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian, telaah
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Pokok-Pokok perwalian dalam pernikahan, yang terdiri dari
pengertian, dasar hukum wali, rukun dan syarat wali, asal usul anak
menurut perspektif fiqih, Undang-undang perkawinan Nomor 1
tahun 1974 dan Kompilasai Hukum Islam dan kawin hamil.
BAB III : Sekilas tentang KUA Kecamatan Ngaliyan Semarang yang meliputi:.
Gambara umum Kec. Ngalian, Sejarah berdirinya KUA Kecamatan
Ngaliyan, kedudukan, tugas dan fungsi KUA Kecamatan Ngaliyan,
Kegiatan KUA sarana dan prasarana, struktur organisasi KUA
Kecamatan Ngaliyan, pelaksanaan penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA kecamatan
Ngaliyan dan hasil penelitian.
BAB IV : Analisis terhadap pelaksanaan penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA kecamatan
Ngaliyan. Dan analisis terhadap dasar hukum yang di gunakan oleh
16
KUA Kecamatan Ngaliyan. Dalam pelaksanaan penetuan wali nikah
bagi perempuan, yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kecamatan
Ngaliyan.
BAB V : Penutup. Dalam bab ini memuat kesimpulan, saran-saran dan daftar
pustaka.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WALI NIKAH
A. Wali Nikah Dalam Islam
Pembicaraan masalah perwalian dalam islam terbagi dalam dua katagori,
perwalian umum dan khusus. Perwalian umum biasanya menyangkut
kepentingan bersama (bangsa atau rakyat) seperti waliyul amri (dalam arti
gubernur) dan sebagainya. Sedangkan perwalian khusus adalah perwalian
terhadap jiwa dan harta sesesorang, seperti terhadap anak yatim.3
1. Pengertian Wali Nikah
Istilah perwaliaan berasal dari bahasa arab dari kata dasar, waliya,
wilayah atau walayah. dalam literatur fiqih islam disebut dengan al- walayah
(alwilayah) secara etimologis, wali mempunyai beberapa arti. Diantaranya
adalah cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah), juga berarti
kekuasaan/ otoritas seperti dalam ungkapan al-wali, yakni orang yang
mempunyai kekuasaan. Hakikat dari al-walayah (al-wilayah) adalah “ tawally
al-amri” (mengurus/mengusai sesuatu).4
Adapun yang di maksud dengan perwalian dalam terminologi para
fuqaha (pakar hukum islam) seperti di formulasikan oleh Wahbah Al-zuhayli
ialah “Kekuasaan/otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung
3 Dedy Junaidi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta : Akademi Pressindo, 2003, hlm. 104
4 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004 hlm 134
18
melakukan suatu tindakan tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang
lain.
Dalam literatul –literatul fiqih klasik dan kontemporer, kata al-wilayah
digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan
mengayomi sesorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah
muncul istilah wali bagi anak yatim, dan orang yang belum cakap bertindak
hukum. Istilah al-wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang
wanita di mana hak itu dipegang oleh wali nikah.5
Adapun yang di maksud dengan perwalian di sini adalah perwalian
terhadap jiwa seseorang wanita dalam hal perkawinanya.
Masalah perwalian dalam arti perkawinan, mayoritas ulama
berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan
tidak pula mengawinkan wanita lainya karena akad perkawinan tidak di
anggap sah apabila tanpa seorang wali,6 pendapat ini dikemukakan oleh Imam
Maliki dan Imam Safi‟i bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali
merupakan syarat sahnya pernikahan.7
Menurut madzhab hanafi, wali tidak merupakan sayrat untuk sahnya
suatu pernikahan, tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali dan boleh tidak
5 Ibid hlm 35
6 Dedy Junaidi Op cit. hlm. 104
7 Slamet Abidin-Aminudin, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999, hlm. 82
19
ada wali, yang terpenting adalah harus ada izin dari orang tua pada saat akan
menikah baik pria maupun wanita.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, tidak jelas
mengatur tentang wali nikah, teapi di syaratkan harus ada izin dari orang tua
bagi yang akan melangsungkan pernikahan dan apabila belum berumur 21
(dua puluh satu) tahun disebutkan bahwa: perkawinan harus di dasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai.8
Dalam Kompilasi Hukum islam masalah konsep perwalian dalam
perkawinan, di atur dalam pasal 14 dan pasal 19-239. Selanjutnya akan
dikutip di bawah ini:
Pasal 14:
Untuk melaksankanperkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calon isteri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi dan
e. Ijab kabul.
Pasal 19:
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi
bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkanya.‟‟
Pasal 20:
8 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradialn Agama, dan
zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 12 9 Ratna Batara Munti dan Hindun anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di
Indonesia, yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2005, hlm 61
20
(1) “Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum islam islam yakni muslim, aqil dan
baligh.”
(2) Wali nikah terdiri dari
a. Wali nasab
b. Wali hakim
Pasal 23:
(1) “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin mungkin mmenghadirkanya
atau tidak tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal
atau enggan.”
(2) “Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan
Agama tentang wali tersebut.”10
Di Negara Indonesia yang kebanyakan menganut Madzhab Syafi‟i
wali merupakan syarat sahnya pernikahan, jadi apabila pernikah tanpa wali,
maka pernikahanya tidak sah, dan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
wali dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon
mempelai wanita yang bertindak menikahkanya (Pasal 19 KHI), wanita yang
menikah tanpa wali berarti pernikahanya tidak sah.11
2. Dasar Hukum Wali Nikah
10
Departemaen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan agama
Islam, Jakarta : 2003, hlm. 20-22 11
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 15
21
Dasar hukum yang dipakai dalam keharusan adanya wali bagi seorang
wanita yang hendak menikah, para ulama berpedoman dengan dalil dalil
diantaranya: Al-Qur‟an surat An-Nur ayat 32,
`
Artinya : Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara
kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. jika mereka miskin, Allah
akan memberi kemampuan, kepada mereka dengan karunia- NYA. Dan
Allah maha luas (pemberian-NYA), maha mengetahui.
(QS. An-nur. 32).12
Dan surat Al-Baqoroh ayat 221
Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya, Lajnah pentshih Al- qur‟an, Depok:
cahaya Al-qur”an, 2008. hlm.354
22
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
(QS AL-baqarah . 221)13
Oleh sebagian Ulama Fiqih kedua ayat ini, ditafsirkan bahwa yang
diberi perintah untuk mengawinkan adalah kaum lelaki bukan kaum
perempuan.14
Dan Allah SWT menyeru untuk menikahkan itu pada laki2
(wali) bukan kepada wanita, seolah-olah Dia berfirman: “Wahai para wali
(laki2) janganlah kalian menikahkan (wanita) yang dalam perwalianmu
kepada orang-orang (laki-laki musyrik).15
Dan dalam Hadis riwayat dari Abu Burdah, Ibn Abu Musa dari
bapaknya mengatatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
(رواي احمد واالربعً)الوكاح اال بىلي 16
Artinya: tidak sah nikah kecuali (dinikahkan) oleh wali (Riwayat Ahmad dan
Imam Empat)
3. Syarat Menjadi Wali
Seseorang boleh menjadi wali, apabila dia laki-laki merdeka, berakal,
dewasa, beragama Islam,17
mempunyai hak perwalian dan tidak terhalang
untuk menjadi wali. Dalam pasal 20 KHI (ayat) 1 dirumuskan sebagai berikut:
“yang berhak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki, yang
memenuhi syarat hukum islam, yakni muslim, aqil, baligh. Dalam
pelaksanaan akad nikah atau yang bisa di sebut ijab kobul (serah terima)
13
Al-qur‟qn dan Terjemahanya Ibid,.hlm.33 14
Ali Imron, Kedudukan Wanita Dalam Hukum Keluarga (Perspektif Al-qur’an melalui
pendekatan Ilmu Tafsir) Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 hlm 69
15
Dedy Junaidi OP cit hlm 106 16
Al-Sa‟any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, Kairo : Dari ihya, Al-Turas, Al-Araby,
1379H/1960M, hlm. 117-118 17
Slamet abidin-Aminudin Fiqih munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm 83
23
penyerahanya di lakukan oleh wali mempelai perempuan atau yang
mewakilinya, dan qobul (penerimaan) dilakukan oleh mempelai laki-laki.”
4. Macam-macam Wali
wali nikah dibagi menjadi tiga katagori, yaitu wali nasab, wali hakim
dan wali muhakam.
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon
mempelai wanita yang berhak menjadi wali menurut urutan sebagai berikut:
1) Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan pria murni
(yang berarti dalam garis keturunan itu tidak ada penghubung yang
wanita) yaitu: ayah, kakek, dan seterusnya ke atas.18
2) Pria keturunan dari ayah mempelai wanita dalam garis murni yaitu:
saudara kandung, anaak dari saudara seayah, anak dari saudara kandung
anak dari saudara seayah, dan seterusnya ke bawah.
3) Pria keturunan dari ayahnya ayah dalam garis pria murni yaitu: saudara
kandung dari ayah, saudara sebapak dari ayah, anak saudara kandung
dari ayah, dan setrusnya ke bawah.
Apabila wali tersebut di atas tidak beragama islam sedangkan calon
mempelai wanita beragama islam atau wali-wali tersebut di atas belum baligh,
atau tidak berakal, atau rusak pikiranya, atau bisu yang tidak bisa diajak bicara
dengan isyarat dan tidak bisa menulis, maka hak menjadi wali pindah kepada
18
Dedi Junaidi Op cit hlm 110-111
24
wali berikutnya. Umpanya, calon mempelai wanita yang sudah tidak
mempunyai ayah atau kakek lagi, sedang saudara-saudaranya yang belum
baligh dan tidak mempunyai wali yang terdiri dari keturan ayah (misalnya
keponakan) maka yang berhak menjadi wali adalah saudara kandung dari ayah
(paman).19
Secara sederhana urutan wali nasab dapat diurutkan sebagai berikut:
1. Ayah kandung,
2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalm garis laki-laki,
3. Saudara laki-laki sekandung,
4. Saudara laki-laki seayah,
5. Anak laki-laki saudara laki-laki saudara sekandung
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung,
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman),
10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah),
11. Anak laki-laki paman sekandung,
12. Anak laki-laki paman seayah,
13. Saudara laki-laki kakek sekandung,
14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung,
19
Ibid hlm 112
25
15. Anak laki-lakisaudara laki-laki kakek seayah.20
b. Wali Hakim
Wali hakim dalam sejarah hukum perkawinan di Indonesia, pernah
muncul perdebatan. Hal ini bermula dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Aisyah ra. Bahwa Nabi Muhammad bersabda sultan adalah wali bagi wanita
yang tidak memiliki wali.21
Pengertian sultan adalah raja atau penguasa, atau pemerintah.
Pemahaman yang lazim, kata sultan tersebut diartikan hakim, namun dalam
pelaksanaanya, kepala Kantor urusan Agama (KUA) kecamatan atau Pegawai
Pencatat Nikah, yang bertindak sebagai wali hakim dalam pelaksanaan akad
nikah bagi mereka yang tidak mempunyai wali atau, walinya adlal. Asal
masalah yang utama seperti termaktub dalam pasal 1 Huruf b KHI, adalah
persoalan tauliyah al- amri. Apakah cukup legitimasi yang di pegang oleh
penguasa di Indonesia, dalam pendelegasian wewenang tersebut, sehingga
dengan adanya kewenangan yang dimaksud, berarti sultan sebagai wali hakim
pelaksanaanya sesuai hakikat hukum.22
20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm 87 21
Zainudin Ali, OP cit hlm 19
22
Ibid, hlm 19
26
Adapun yang di maksud dengan wali hakim adalah orang yang di
angkat oleh pemerintah (Menteri Agama)23
untuk bertindak sebagai sebagai
wali dalam suatu pernikahan, yaitu apabila seorang calon mempelai wanita
dalam kondisi:
1. Tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau
2. Walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaanya). atau
3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang
sederajat dengan dia tidak ada, atau
4. Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul qosri (sejauh perjalan
yang membolehkan sholat sholat qasar yaitu 92,5 km) 24
atau
5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di jumpai
6. Wali adhol, artinya tidak bersedia atau menolak untuk menikahkanya
7. Wali sedang melaksanakan ibadah (umrah) haji atau umroh atau.25
Apabila kondisinya salah satu dari tujuh point di atas, maka yang
berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Tetapi di
kecualikan bila, wali nasabnya telah mewakilakan kepada orang lain untuk
23
Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1987, orang yang di tunjuk menjadi
wali hakim adalah kepala Kanor Uruasan Agama Kecamatan. 24
Di zaman modern ini walaupun jarak musafaqotul qasri telah di penuhi, namun untuk akad
nikahnya wali perlu di beri tahu terlebih dahulu. 25
Departeman Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Proyek peningkatan
Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Jakata: 2003, hlm 34
27
bertindak sebagai wali, maka orang yang mewakilkan itu yang berhak menjadi
wali dalam pernikahan tersebut.26
Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah, masalah perwalian diterangkan dalam
BAB IX Tentang akad nikah pasal 18, untuk lebih jelasnya akan dikutip
sebagai berikut:
Pasal 18
(1) “Akad nikah dilakukan oleh wali wali nasab.”
(2) “Syarat wali nasab adalah:”
a. Laki-laki
b. Beragama Islam
c. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun
d. Berakal
e. Merdeka dan
f. Dapat berlaku adil.
(3) “Untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat mewakilkan kepada
PPN, Penghulu, pembantu PPN atau orang lain yang memenuhi syarat.”
(4) “Kepala KUA Kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon
isteri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi
syarat, berhalangan atau adhal.”
(5) “Adhalnya wali sebagaimana di maksud pada ayat (4) ditetapkan dengan
keputusan Pengadilan.”27
26
Ibid hlm 35 27
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan
Nikah, Seksi Urusan Agama Islam Departeman Agama RI Tahun 2007 hlm 8
28
Adapun dalil yang berkaitan dengan wali hakim, adalah hadis dari
Aisyah ra:
أيما امرأة وكحت بغير اذن وليها فىكحها با طل فان دخل بها فلها المهر بما استحل مه
(رواي اآل ربعة و احمد) فرجها فان ستجروا فا لسلطا ن ولي مه آل و لي لها
Artinya: Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin walinya, nikahnya
batal.maka dia menerima mahar sekedar untuk menghalalkan farjinya.
Apabila walinya enggan atau menolakmenikahkanya, maka sultan
(hakim)lah yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang tidak
memiliki wali. ( Riwayat Imam Empat kecuali Nasa’i)
c. Wali Muhakam
Yang dimaksud wali muhakam ialah wali yang diangkat oleh kedua
calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.
Kondisi ini terjadi apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan
oleh wali hakim, padahal di sini wali hakimnya tidak ada maka pernikahanya
dilaksanakan oleh wali muhakam. Ini artinya bahwa kebolehan wali muhakam
tersebut harus terlebih dahulu di penuhi salah satu syarat bolehnya menikah
dengan wali hakim kemudian di tambah dengan tidak adanya wali hakim yang
semestinya melangsungkan akad pernikahan di wilayah terjadinya peristiwa
nikah tersebut.29
Adapun caranya adalah kedua calon suami itu mengangkat seorang
yang mengerti tentang agama untuk menjadi wali dalam pernikahanya.
28
Al-Sa‟any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, Kairo : Dari ihya, Al-Turas, Al-Araby,
1379H/1960M, hlm. 117-118
29
Dedy Junaidi Op cit hlm 114
29
Apabila direnungkan secara seksama, maka masalah wali muhakam ini
merupakan hikmah yang di berikan Allah SWT kepada hamba-Nya, di mana
Dia tidak menghendaki kesulitan dan kemudaratan
B. Asal Usul Anak
Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan
kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikianlah yang di yakini dalam fiqih
sunni. Karena para ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li‟an hanya
mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan saudara ibunya, penentuan nasab
merupakan salah satu hak seorang anak yang terpenting dan merupakan sesuatu
yang banyak memberikan dampak terhadap kepribadian dan masa depan anak.
Seorang anak harus mengetahui tentang keturunanya, sebab asal usul yang
menyangkut keturunan dan sangat penting untuk menempuh kehidupan dalam
masyarakat.30
Nasab juga dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasarkan
hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Ulama fiqih
mengatakan bahwa nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam
membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi
berdasarkan kesatuan darah.31
30
Andi Syamsu Alam-M. Fauzan, Hukum pengankatan anak perspektif islam, Jakarta: Pena
Media, 2008, hlm 175.
31
Ibid hlm 175
30
Di Indonesia, masalah asal usul anak terdapat beberapa ketentuan hukum
yang berbeda-beda. Hal ini dapat di mengerti, karena pluralitas bangsa, utamanya
dari segi agama dan adat kebiasaan, maka ketentuan hukum yang berlaku pun
bervariasi. Hingga buku ini di tulis, setidaknya ada dua hukum yang berlaku,
yaitu hukum Islam, Hukum Perdata yang termuat dalam KUH Perdata atau BW
(burgelijk Wetbook). Dan hukum islam termuat Kitab-Kitab fiqih dan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Masing-masing hukum tersebut, selain
mempunyai persamaan juga mempunyai perbedaan.32
1. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Fiqih
Penetapan asal-usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki
arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat di ketahui
hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Walaupun pada hakikatnya
setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya
harus manjadi ayahnya, namun hukum islam memberikan ketentuan lain
untuk permasalahan ini.33
Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan
ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di
luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, dan biasanya
disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya
32
Ahmad, Rofiq, OP cit, hlm 220 33
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Tarigan Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2006 hlm 276
31
memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan
asal-usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.34
Dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan
bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama perkawinan.
Jadi, selama dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempunyai
status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan melekat padannya
serta berhak untuk memakai nama belakang untuk menunjukan keturunan dan
asal usulnya.35
Adapun fiqih islam menganut pemahaman yang cukup tegas
berkenaan dengan anak sah. Walaupun tidak ditemukan definisi yang jelas
dan tegas berkenaan dengan anak yang sah, namun berangkat dari definisi
ayat- ayat Al-Qur‟an dan Hadis, dapat diberikan batasan. Anak sah adalah
anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah.36
Seluruh madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal usia
kehamilan adalah 6 bulan, di hitung dari saat akad nikah dilangsungkan.
Ketentuan ini di ambil dari firman Allah: Surat Al -Ahqaf ayat 15.
Artinya: masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan
34
Ibid hlm 276 35
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media Grup, 2008, hlm 78-79 36
Aminudin Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan Op cit hlm277
32
(Qs. Al-ahqaf, 46:15)37
Dan surat Al-Luqman ayat : 14
Artinya: Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun ( selambat-lambat
waktu menyapih ialah anak berumur 2 tahun )
(QS. Luqman, 31:14 )38
Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakti oleh para ulama,
di tafsirkan oleh Ibnu Abbas bahwa ayat pertama menunjukan tenggang waktu
mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa
menyapihnya setelah bayi di susukan secara sempurna membutuhkan waktu 2
tahun atau 24 bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan
di dalam kandungan.
Dalam tafsir Ibnu Katsir kedua ayat ini dijadikan dalil oleh Ali bin Abi
Thalib RA, batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan itu merupakan
cara pengambilan hukum ( istinbath) yang kuat dan valid. Pendapat tersebut di
setujui oleh Usman bin Affan RA, dan beberapa sahabat lainya.39
Dari pernyataan tersebut di atas Munculah beberapa pendapat hukum
Ulama:
37
Al-Qur‟an dan terjemahannya, Op. Cit,. hlm. 726. 38
Departeman Agama RI, Ibid, hlm. 412 39
Shafiyurihman Al-Mabaruk Furi, Shahih Tafsir Ibun Katsir, Bogor : Pustaka Ibnu Kasir,
2006, hlm. 317-318
33
1. Apabila seorang Wanita dan Laki-laki kawin, lalu melahirkan seorang anak
dalam keadaan hidup dan sempurna bentuknya sebelum 6 bulan, maka anak
tersebut tidak bisa dikaitkan (nasabnya) dengan suaminya. Syaikh Al-mufid
dan Syaikh Al-Thusi dari madzhab Imaniyah, dan Syaikh Muhyidin Abd Al-
Hamid dari Hanafi mengatakan bahwa, nasib anak tersebut tergantung pada
suami (wanita tersebut). Kalau dia mau, dia bisa menolaknya, dan bisa pula
mengakuinya sebaagai anaknya dan mengaitkan nasabnya dengan dirinya.
2. Kalau kedua suami istri bersengketa tentang lamanya waktu bergaul
mereka, misalnya si isteri mengatakan (kepada suaminya), “Engkau telah
bergaul denganku sejak 6 bulan atau lebih, karena itu anak ini adalah anak
mu,” lalu suaminya menjawab, “Tidak, akau baru menggaulimu kurang dari 6
bulan, karena itu anak ini bukan anakku.”40
Menurut Imam Hanafi: Isterinya itu yang benar, dan yang diberlakukan
adalah ucapanya tanpa harus disumpah lebih dulu.
Menurut Imamiyah: Kalau ada fakta dan petunjuk-petunjuk yang
mendukung ucapan isteri atau suami Maka yang diberlakukan adalah
pendapat pihak yang mempunyai bukti atau petunjuk tersebut. Tetapi apabila
tidak ada petunjuk- petunjuk yang ditemukan sehingga persoalannya menjadi
tidak jelas, maka hakim memenangkan ucapan si isteri sesudah disumpah dulu
40
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Basrie Press, 199, hlm 100-
101
34
bahwa suaminya telah mencampurinya sejak 6 bulan yang lalu, lalu anak
tersebut dinyatakan sebagai anak sah suaminya itu.41
Sedangkan batas maksimal usia kandungan menurut pendapat Ulama:
Abu Hanifah berpendapat: Batas maksimal kehamilan adalah 2 tahun,
berdasar hadis A‟isyah yang menayatakan bahwa, kehamilan seorang wanita
tidak melebihi 2 tahun.
Imam Malik, Syafi‟i dan Hambali: Masa kehamilan maksimal seorang
wanita adalah empat tahun. Para Ulama Madzhab ini menyandarkan
pendapatnya pada riwayat bahwa isteri „Ajlan hamil selama empat tahun.
Anehnya isteri anaknya, Muhammad, juga hamil selama empat tahun. Bahkan
semua wanita suku „Ajlan hamil selama empat tahun pula.42
„Ibad bin „Awan mengatakan: batas maksimal kehamilan adalah lima
tahun, sedangkan Al-zuhri mengatakan tujuh tahun, dan Abu Ubaid
menyatakan bahwa, kehamilan itu tidak mempunyai batas maksimal.
Para Ulama Madzhab Imamiyah berbeda pendapat tentang batas
maksimal usia kehamilan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa, batas
maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Yang lain mengatakan sepuluh
bulan, dan yang lain mengatakan satu tahun penuh. Tetapi mereka seluruhnya
sepakat, bahwa batas maksimal usia kehamilan itu tidak boleh lebih dari satu
jam dari satu tahun.
41
Ibid hlm 102 42
Abdurahman Al Jaziri, Al- Fiqh ‘Al Madzahi Al ‘arbaah, Juz VII, Maktabah At Tajirriyah
Al Kubro, Mesir, t,th, hlm 523
35
Oleh karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan
menurut fiqih dengan berpedoman pada Al-qur‟an, maka tidak bisa di
hubungkan kekerabatanya kepada bapaknya, walaupun dalam ikatan
perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan
keluarga ibunya saja.
Jika di analisis pandangan fiqih berkenaan dengan anak sah ini
dapadptlah di pahami bahwa anak sah di mulai sejak terjadinya konsepsi atau
pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon
ibu dan konsepsi ini harus lah terjadi dalam perkawinan yang sah, dari
sininlah penetapan anak sah tersebut dilakukan.43
Dengan dimikian hukum islam menegaskan bahwa seorang anak
supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu
harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam
tenggang „iddah‟ selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan
terputus.44
Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan sejak masa
perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat di hubungkan kekerabatanya
dengan bapaknya walaupun lahir dari perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki
hubungan nasab dengan ibunya.45
43
Mustafa Rahman, Anak Luar Nikah, Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003
hlm 45 44
Ibid hlm 47 45
Aminudin Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan Op cit . hlm 280
36
2. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974.
Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal usul anak
dalam Pasal 42, 43 dan 44. selengkapnya akan dikutip di bawah ini:
Pasal 42:
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah.”
Pasal 43:
1. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.”
2. “Kedudukan Anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur
dalam Peraturan Pemerintah.”
Pasal 44:
1. “Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan oleh
istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.”
2. “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan yang bersangkutan.” 46
Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi
hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak
antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal usia
kandungan seperti yang akan dijelaskan kemudian. Jadi Selama bayi yang di
kandung tadi lahir pada ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak
46
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2005, hlm. 18-19.
37
tersebut adalah anak yang sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal
usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasanya.
3. Asal Usul Anak Menurut Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam kompilasi hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur
dalam Undang-undang perkawinan.
pasal 99 :
Anak yang sah adalah
a. “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.”
Pasal 100:
a. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dalam kompilasi Hukum Islam, anak sah yang dimaksud dalam pasal
99 (a) adalah. Anak sah dari kedua orang tuanya, seperti yang dijelaskan
dalam pasal 53 dalam BAB VIII tentang Kawin Hamil, selengkapnya akan
dikutip dibawah ini:
Pasal 53:
1. “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
yang menghamilinya.”
2. “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut ppada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.”
3. “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.”
Jadi, anak sah dan pernikahan yang sah, yang dimaksud dalam KHI
pasal 99 (a) apabila dikaitkan dengan pasal 53, adalah anak sah dari
38
pernikahan kedua oramg tuanya dan apabila pernikahanya pada saat hamil,
maka anak tersebut anak sah dari pria yang menghamilinya.
Pasal 101:
“Seseorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak
menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaranya dengan li‟an.”47
Pasal 102 kompilasi juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi
dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang di
lahirkan istrinya.
(1) “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,
mengajukan gugatan ke pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari
sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa
istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia
mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.”
(2) “Pengingkaran yang di ajukan sesudah lampau waktu tidak dapat di terima.”48
Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas
mininmal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas
maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu
untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
C. Kawin Hamil
Yang dimaksud dengan “kawih hamil” disini ialah kawin dengan seseorang
wanita yang hamil diluar nikah baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya
maupun oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki yang
menhamilinya.
47
Departemaen Agama RI, Op cit. hlm 38. 48
Ibid hlm 39
39
Hukum kawin dengan wanita yang hamil di luar nikah para ulama
berbeda pendapat, sebagai berikut49
:
1. Para ulama Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i berpendapat bahawa perkawinan
keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami istri, dengan ketentuan, bila
si pria itu yang menghamilinya dan kemudian ia mengawininya.
2. Ibnu Hazm berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh
pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani
hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berziana.50
Selanjutnya, mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili
oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para Ulama:
1. Abu Yusuf, mengharamkan yakni tidak membolehkan mengawini wanita
hamil akibata zina, karena hamil akibat zina mencegah persetujuan, maka
mencegah akadnya juga, seperti pencegahan terhadap nasab51
, dan bila
dikawinkan perkawinanya batal.
2. Ibnu Qudamah sependapat dengan dengan Imam abu Yusuf dan
menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang
dikrtahui berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan 2 syarat:
a. Wanita tersebut telah melhirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia
tidak boleh kawin.
49
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Hadistah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995,
Hlm 96-99 50
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008,
hlm 124-125 51
Dr Wahbah Zhuaili, Al fiqh Al Islami wa Adillatuh, Juz IX, Dar Al Fikr, 1997 halm 2649
40
b. Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk) terlebih dahulu,
apakah ia hamil/ tidak.
3. Imam Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani mengatakan bahwa
perkawinanya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang
dikandungnya belum lahir.52
Pendapat ini berdasarkan hadist:
التؤطا حا مال حتئ تصع
Artinya: Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir
(kandunganya)
4. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i berbendapat bahwa perkawinan itu
dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada
masa „iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab
(keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperrma suaminya.
Sedangkan bayi tersebut bukan keteurunan orang yang mengawini ibunya itu
(anak diluar nikah).
Dengan demikian, status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang
mengawini ibunya itu bukan pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang
menghamilinya.
Namun bila pria yang mengawini ibunya itu, pria yang menghamilinya,
maka terjadi perbedaan pendapat:
52
Abdul Rahman Ghozali, Op cit hlm 127
41
1. Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia
kandunganya berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka
bayi itu adalah anak suaminya yang sah.
2. Bayi itu termasuk anak zina, Karena anak itu adalah anak diluar nikah,
walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya,
karena hasil dari sperma dan ovum bapak dari ibunya itu.53
53
Ibid hlm128
42
BAB III
Pelaksaanaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan yang
Lahir Kurang Dari 6 Bulan di KUA Kec. Ngaliyan
A. Gambaran Umum Kecamatan Ngaliyan
1. Letak Geografis
Kecamatan Ngaliyan bagian dari 16 Kecamatan yang berada di
wilayah Kota Semarang bagian Barat dari Kota Semarang dengan batas-
batas :
Sebelah Utara : Kecamatan Tugu
Sebelah Timur : Kecamatan Semarang Barat
Sebelah Selatan : Kecamatan Mijen
Sebelah Barat : Kabupaten Kendal
Luas wilayah Kecamatan Gayamsari 4.140 Ha terdiri dari :
Tanah sawah
Tanah kering
Tanah basah
Tanah keperluan fasilitas umum
KUA Ngaliyan terletak di Jl. Prof Hamka Jalur Jl. Raya Ngaliyan –
Boja Semarang, Telp. 024 7610109
Pembagian wilayah administrasi Kecamatan Ngaliyan terdiri
dari 10 Kelurahan, antara lain :
1. Kelurahan Gondoriyo
2. Kelurahan Podorejo
43
3. Kelurahan Beringin
4. Kelurahan Purwoyoso
5. Kelurahan Kalipancur
6. Kelurahan Bambankerep
7. Kelurahan Ngaliyan
8. Kelurahan Tambakaji
9. Kelurahan Wonosari
10. Kelurahan Wates
2. Keadaan Demografi
Penduduk Kecamatan Ngaliyan termasuk heterogin atau majemuk,
kemajemukan tersebut dapat dilihat dari data statistic kependudukan pada
akhir tahun 2008, jumlah penduduk Kecamatan Ngaliyan berjumlah
109.108 jiwa, dengan rincian pemeluk agama sebagai berikut :
Islam = 97.083 jiwa
Katholik = 5.192 jiwa
Protestan = 4.726 jiwa
Hindu = 938 jiwa
Budha = 1.096 jiwa
Lain-lain = jiwa
3. Mata Pencaharian
Sesuai dengan kondisi yang ada di Kecamatan Ngaliyan, yang
terdiri dari tanah kering, persawahan, maka berpengaruh pula pada mata
44
pencaharian penduduk. Mayoritas penduduk bekerja sebagai Petani,
Nelayan, Swasta, Pedagang, PNS, TNI/Polri.1
B. Sejarah Singkat Berdirinya KUA Kecamatan Ngaliyan
Pada umumnya berdirinya sebuah Kantor Urusan Agama tidak
terlepas dari perjalanan sejarah suatu bangsa dan Negara Indonesia.
Disebabkan karena adanya penjajahan asing di Indonesia, sehingga
mempengaruhi system kehidupan masyarakat pada waktu itu. Termasuk
disini adalah struktur dan system pemerintahan serta kelembagaannya pada
waktu itu.
Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa
yang agmis dengan mayoritas beragama Islam. Sejak dahulu kala syariat
Agama Islam telah berlaku di masyarakat, walaupun kala itu hidup dalam
penjajahan2.
Politik hukum pada zaman Kolonial Belanda, termasuk dalam hukum
perkawinan, talak cerai dan rujuk, diterapkan system hukum yaitu
Huwelijksordonantie, Statblad 1929 Nomor 348 Yo. S 1931 Nomor 467
Vorstenlandsche Huwelijksordonantie S, 1933 Nomor 98 dan
Huwelijksordonantie Buitwengesten S. 1932 Nomor 482 adalah merupakan
politik hukum yang tidak memenuhi sarat keadilan social bangsa Indonesia
yang mayoritas Islam.
Sehingga lahirlah Undang-Undang nomor 22 tahun 1946 memutuskan
mencabut :
1 Data Monografi KUA Kec. Ngalian
2 Profil KUA Kec. Ngalian, Di susun oleh Kepala KUA Kec Ngalian dalam rangka
lomba KUA percontohan tahun 2009 , hlm 7
45
a. Huwelijksordonantie S. 129 nomor 343 Yo.S. 1931 nomor 467.
b. Vorstenlandsche Huwelijksordonantie S 1933 nomor 98.
c. Undang-Undang nomor 22 tahun 1946, ditetapkan sebagai Undang-
Undang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Berawal dari Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 itulah mulai ada
unifikasi bidang hukum pencatatan perkawinan, talak dan rujuk yang lebih
berkeadilan sosial khususnya untuk pulau Jawa dan Madura. Kemudian pada
tahun 1954 terbitlah Undang-Undang nomor 32 tahun 1954 yaitu undang-
undang penetapan berlakuknya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 untuk
seluruh luar Jawa dan Madura.
Sejak diundangkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1946 adalah
merupakan masa transisi, karena pada waktu itu pergolakan melawan
Belanda masih terus berlangsung, termasuk di wilayah Kecamatan Ngaliyan.
KUA Kecamatan Ngaliyan resmi berdiri setelah adanya pemekaran wilayah
kota Semarang( dahulu Kodya Semarang ) dari 11 Kecamatan menjadi 16
Kecamatan sejak tanggal 22 Agustus 1994 berdasarkan KMA No.133 Tahun
1994 tertanggal 22 Mei 1994 dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen
Agama Kota Semarang dengan Surat Nomor : MK.01 / 1-h / KP.07.6 / 5420 /
1994 tertanggal 8 Agustus 1994.
Sedangkan tanah yang digunakan untuk Balai Nikah Kecamatan Ngaliyan
adalah Bekas Bengkok kelurahan Ngaliyan Kepetengan IV C.No.7 persil S.I
Kec. Tugu dengan luas kurang lebih 588 M2,
46
C. Letak KUA, dan Sarana Prasarana Keagamaan.
Sebagai tempat kegiatan perkantoran, KUA Kecamatan Ngaliyan
Kota Semarang merupakan pusat perencanaan dan pengendalian kegiatan
keagamaan di suatu wilayah. Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan
Kota Semarang terletak di Jl. Prof Hamka Jalur Jl. Raya Ngaliyan Boja Kota
Semarang Telp (024) 7610109. Keberadaannya mudah dijangkau juga
terpadu dengan perkantoran lain sehingga sangat mudah dalam menjalin
koordinasi sesama instansi juga terpadu dalam pelayanan diantaranya dengan
BKK, Polsek, Kecamatan, Puskesmas, kantor Pos.3
Kegiatan I
Administrasi
1. Menyelenggarakan administrasi dan
dokumentasi
2. Menyelenggarakan surat-menyurat
3. Pengurusan Surat
4. Kearsipan
5. Pengetikan
6. Rumah tangga KUA
Kegiatan II
Pencatatan Nikah & Rujuk
1. Pendaftaran Kehendak Nikah
2. Pemeriksaan data calon pengantin
3. Pendaftaran kehendak rujuk
4. Pemeriksaan data administrasi rujuk
Kegiatan III
Pelayanan Peristiwa Nikah
1. Pengumuman Kehendak Nikah
2. Pelaksanaan suscatin
3 Ibid hlm 10
47
& Rujuk 3. Pelayanan pelaksanaan pernikahan
4. Pelaporan peristiwa nikah dan rujuk
Kegiatan IV
Penasehatan Pernikahan
1. Pelaksanaan identifikasi bahan-bahan
penasehatan
2. Pelaksanaan penyusunan bahan
penasehatan
3. Pelaksanaan penasehatan
4. Evaluasi dan laporan
Kegiatan V
Pembinaan Kelurga
sakinah
1. Identifikasi keluarga sakinah
2. Penetapan tingkat keluarga sakinah
3. Melakukan pembinaan keluarga pra
sakinah.
Kegiatan VI
Pengembangan
Kepenghuluan
1. Pelaksanaan fatwa hokum munakahat
2. Pelaksanaan bidang muamalat
Kegiatan VII
Pembinaan IBSOS, Zakat
dan Wakaf
1. Pembinaan takmir masjid
2. Sosialisasi dan pembinaan zakat
3. Inventarisasi lokasi/obyek wakaf
4. Penerbitan AIW / APAIW
5. Mengusulkan penyertifikatan tanah wakaf
ke BPN
6. Penggalangan Infaq dan Shodaqoh
48
Untuk mendukung kegiatan keagamaan di kecamatan Ngaliyan, maka sarana
dan prasarana yang ada adalah sebagai berikut :
a. Masjid : 73 masjid
b. Langgar/Musholla : 156 langgar/musholla
c. Gereja : 10 gereja
d. Pura : 0
e. Vihara : 0
f. Klenteng : 0
g. TPQ / TKQ : 18 tempat
h. Pondok Pesantren : 7 tempat
i. Madrasah Diniyah : 3 tempat
j. RA / BA : 6 tempat
k Madrasah Ibtidaiyah : 6 tempat
l. MTs : 3 tempat
m Madrasah Aliyah : 1 tempat
n. Panti Asuhan : 2 tempat
Peristiwa NTCR yang telah dicatat oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
Ngaliyan Kota Semarang tahun 2008.
49
D. Struktur Organisasi KUA Kec. Ngaliyan
STRUKTUR ORGANISASI KUA KECAMATAN NGALIYAN4
4 Data Monografi KUA Kec. Ngaliyan
Drs. H. Fadlan yazidi
Kepala PPN
Hj. La`amah
Pelaksana TU
Khozanag, Sag
Pelaksana
pengadm. keuangan
Hj. Ruhayati, BA
Peng Adm. NR-
TC
Safriyati, BA
Peng adm.
umum
M. Rodli, SHi
Pelaksana N /R
BIN WIN
M. Imron
penyuluh
agama islam
Drs. Sugiri
Pelaksana
JIDZAWAIB
OS
Suparno
Kel. Bambang kerep
Ahmad munaji
Kel. Bringin
Abdul Kodir
Ngaliyan
Ahmad izzudin
Kel. wonosari
M. lahuri
Kel. Wates
Parmin
Kel.
Gondorio
Pembantu penghulu
KUA Kec. Ngaliyan
H. hawari
Kel. purwoyoso
M. yasin
Kel. podorejo
Sayful anwar, Sag
Kel. Tambak aji
Fathurrohman
Kel. Kali pancur
50
E. Tugas dan Fungsi Pokok
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari system
Departemen Agama, sedangkan Departemen Agama mempunyai tugas pokok
yaitu : menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan
pembangunan di bidang agama.
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari unsure
pelaksana sebagaian tugas pokok Departemen Agama, yang berhubungan
langsung dengan masyarakat dalam suatu wilayah kecamatan. Sebagaimana
ditegaskan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 517 tahun 2001 bahwa
Kantor Urusan Agama (KUA) bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor
Departemen Agama Kabupaten / Kota dibidang Urusan Agama Islam di
wilayah Kecamatan.
Dalam reformasi dewasa ini, muncul paradigma-paradigma baru
yanag arahnya membawa perubahan-perubahan pada pelayanan public, atau
yang lebih dikenal dengan istilah pelayanan prima. Perbaikan dan
penyempurnaan pelayanan pada Departemen Agama telah disikapi dan di
tindaklanjuti oleh Menteri Agama antara lain :
a. Intruksi Menteri Agama nomor 01 tahun 2000, tentang pelaksanaan
Keputusan Menteri Agama nomor 168 tahun 2000 tentang pedoman
perbaikan pelayanan masyarakat di lingkungan Departemen Agama.
b. Keputusan Menteri Agama nomor 373 tahun 2001, tentang penataan
Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan.
51
c. Keputusan Menteri Agama nomor 517 tahun 2001 yang menegaskan
bahwa Kantor Urusan Agama bertugas melaksanakan sebagian tugas
Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota di bidang urusan agama
Islam di wilayah kecamatan.
Dalam penjabarannya Kantor Urusan Agama berkewajiban
menjalankan fungsinya sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan statistikdan kegiatan perkantoran.
2. Menyelenggarakan surat-menyurat, pengurusan surat, kearsipan,
pengetikan dan rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan5.
3. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid,
zakat, wakaf, baitul mal dan ibadah social, kependudukan dan
pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang
ditetapkan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
1. Tugas Kepala KUA.
a. Kepala KUA Sebagai Pejabat
Tugas pokok dari seorang Kepala KUA adalah sebagaimana
ditegaskan dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001
yaitu ; melaksanakan sebagaian tugas Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota di bidang Urusan Agama Islam.
5 Ibid hlm `11
52
Penjabaran dari Keputusan Menteri Agama Nomor 517 tahun
2001 tersebut, maka seorang Kepala KUA berkewajiban menjalankan
fungsi sebagai tugas interen antara lain :
a. Menyelenggarakan statistic dan dokumentasi.
b. Menyelenggarakan surat-menyurat, pengurusan surat, kearsipan,
penegtikan, dan rumah tangga Kantor Urusan Agama Kecamatan.
c. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan
membinamasjid, zakat, wakaf, ibadah social, kependudukan dan
pengembangan keluarga sakinah, sesuai dengan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dari tugas menjalankan fungsi tersebut, maka dapat diambil satu
kejelasan bahwa Kepala KUA Sebagai Pejabat adalah bertanggungjawab
terhadap semua pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dengan pembagian
tugas kepada pelaksana-pelaksana yang ada di KUA.
2. Kepala KUA Sebagai Pemuka Agama.
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selain menjalankan
fungsinya dalam kegiatan intern perkantoran, maka Kepala KUA juga
sebagai Pemuka Agama. Sebagai Pemuka Agama maka seorang Kepala
KUA senantiasa :
a. Kapan saja dan dimana saja selalu berusaha dan berdakwah kepada
umat untuk beramar ma’ruf dan nahi mungkar.
53
b. Selalu menjunjung tinggi norma agama dan norma hokum baik di
tempat kerja, di lingkungan rumah tangga, dan di tengah-tengah
masyarakat6.
c. Senantiasa berupaya menjadi seorang pemimpin yang dapat dijadikan
tokoh panutan yang memiliki akhlaqul karimah.
d. Memiliki rasa kepekaan yang tinggi terhadap perubahan dan dinamika
masyarakat.
e. Selalu berupaya terciptanya Tri Kerukunan Hidup Umat Beragama.
3. Kepala KUA Sebagai Tokoh Masyarakat.
Sebagai tokoh masyarakat, seorang Kepala KUA memfungsikan
diri sebagai stabilisator, bila ditengah-tengah masyarakat terjadi keadaan
yang instabilitas yang dapat mengganggu ketentraman di masyarakat.
Seorang Kepala KUA juga memfungsikan dirinya sebagai
dinamisator di tengah-tengah masyarakat agar proses pembangunan dapat
berjalan dengan baik. Oleh karena itu upaya-upaya harus dilakukan oleh
Kepala KUA sebagai Tokok Masyarakat antara lain :
a. Aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan, seperti pengurus RT,
pengurus Kelompok Tani, Panitia Pembangunan di desa dan lain
sebagainya.
b. Aktif dalam kegiatan perekonomian masyarakat seperti pengurus
koperasi, kegiatan social budaya seperti pengurus kesenian dan lain-
lainnya.
6 Ibid hlm 12
54
4. Kepala KUA Sebagai Abdi Masyarakat.
Sebagai abdi masyarakat selain mempunyai doktrin Panca
Prasetya Korpri dan kode etik profesi, maka Kepala KUA sebagai abdi
masyarakat selalu berupaya :
a. Memberikan bimbingan dan pelayanan kepada umat, agar dapat
melaksanakan ajaran agamanya, sehingga mampu mengaktualisasikannilai-
nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
b. Meningkatkan citra Kepala KUA, baik sebagai pejabat dan tokoh agama
yang mumpuni dan dapat dijadikan teladan bagi masyarakat.
c. Memberikan bimbingankepada umat supaya dapat berpikir dan bersikap
secara kritis dan rasional, agar tidak terjebak dalam fanatisme sempit dan
sectarian, yaitu jangan sampai mementingkan kelompok dan golongan
sendiri.
d. Meningkatkan profesionalisme dalam bekerja, menumbuhkan sikap pro-
aktif, inovatif para pegawai untuk meningkatkan citra KUA.
F. Kegiatan KUA Kecamatan Ngalian
1. Ketatausahaan, Penyelenggaraan Surat-Menyurat, Penyelenggaraan
Administrasi NTCR dan Pelaporannya.
a. Ketatausahaan
Bidang ketatausahaan merupakan kegiatan sehari-hari yang meliputi
penyelengaraan tata persuratan yaitu :
1. Menerima, mengolah, menindaklanjuti surat masuk baik dari atasan
atau dinas niveu.
55
2. Mengagendakan dan mengarsip surat masuk dan surat keluar.
3. Menghimpun peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tugas KUA Kecamatan.
b. Penyelenggaraan Administrasi.
Penyelenggaraan kegiatan administrasi KUA dapat dibagi menjadi tiga
bagian :
1. Administrasi NTCR
Dalam administrasi NTCR meliputi pencatatan peristiwa nikah, talak,
cerai dan rujuk sebagaimana diatur dalam PMA Nomor 02 tahun
1990.
2. Administrasi Keuangan NR, DIPA, DIPA NR ( PNBP )
Dalam administrasi ini meliputi ; menerima, menyalurkan,
pembukuan, pelaporan atau pertanggungjawaban.
3. Administrasi Zawaibsos.
Penyelenggaraan administrasi Zawaibsos merupakan kegiatan penting,
karena sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan bidang agama
khususnya adalah dari segi pengamalannya.
4. Kepegawaian, Kekuatan Karyawan, Daftar Urut Kepangkatan dan
File Kepegawaian.
Pegawai merupakan perangkat kantor yang sangat vital, karena
merupakan dari salah satu unsure pelaksana dalam kegiatan perkantoran.
56
Dalam kegiatan perkantoran sehari-hari Kantor Urusan Agama Kecamatan
Ngaliyan Kota Semarang mempunyai 8 pegawai 7
5. Administrasi Perkantoran.
Administrasi perkantoran pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan adalah merupakan suatu rangkaian kegiatan dengan tujuan
untuk mencapai tertip adminstrasi. Dengan tertibnya administrasi di KUA
maka akan menjamin terciptanya kepastian hokum dalam peristiwa NTCR
dan administrasi penunjang, baik di masa sekarang atapun dimasa yang
akan dating. Oleh karena itu kegiatan administrasi perkantoran pada KUA
Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang yang dilakukan antara lain :
1. Administrasi yang menjadi tanggungjawab langsung sebagai PPN, yaitu ;
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 44 ayat 1 PMA Nomor 02 tahun
1990 Yo. KMA Nomor 298 tahun 2003 Bab II pasal 2. PPN
bertanggungjawab atas penyelenggaraan daftar pemeriksaan nikah, akta
nikah, kutipan akta nikah, buku pendaftaran cerai talak, buku pendaftaran
cerai gugat, daftar pemeriksaan rujuk, buku pencatatan rujuk,
penyelenggaraan pengumuman kehendak nikah (model NC),
pemberitahuan nikah (model ND), pemberitahuan poligami (model NE),
pemberitahuan rujuk (model RC) kepada Pengadilan Agama dan buku
catatan kehendak rujuk.
2. Administarsi yang menjadi tanggungjawab langsung sebagai PPAIW,
yaitu :
7 Ibid hlm 13
57
Sebagaimana ditegaskan dalam lampiran II Keputusan Direktur jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor 15 tahun 1990
tertanggal 09 April 1990 antara lain ;
a. Meneliti kehendak wakif
b. Meneliti dan mengesahkan susunan nadzir
c. Meneliti saksi ikrar wakaf
d. Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf dan ikut menandatangani bentuk
W.1
e. Membuat Akta Ikrar Wakaf ( W.2 )
f. Mengarsip Ikrar Wakaf (W.1), Akta Ikrar Wakaf (W.2), Susunan Nadzir
(W.5/W.5a)
g. Mengajukan permohonan ke BPN untuk mendaftarkan perwakafan
tanah milik.
6. Kegiatan Kepenghuluan
Kegiatan kepenghuluan di Kantor Urusan Agama merupakan salah
satu kegiatan pokok dalam kesehariannya, karena kegiatan ini terkait
dengan hokum munakahat juga hokum yang lain, juga terkait dengan
pelayanan public.
Khususnya yang terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 01 tahun 1974, yang dalam pelaksanaannya diatur
dalam Peraturan Pemerintah nomor 09 tahun 1975, Peraturan Menteri
Agama Nomor 02 tahun 1990 diperkuat dengan Kompilasai Hukum Islam
dan Edaran-edaran serta Juknis. Maka kegiatan kepenghuluan di KUA
58
Kecamatan Ngaliyan khusunya bidang pernikahan, senantiasa
menjabarkan asas yang ada pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 01
tahun 1974, yaitu :
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagian dan kekal
2. Sahnya perkawinan bilamana dilaksanakan menurut hokum masing-
masing agamanya dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
3. Menganut asas monogami
4. Mempersulit Perceraian
5. Hak dan kedudukan suami-istri seimbang
Mengacu pada asas tersebut maka kegiatan kepenghuluan dilaksanakan secra
cermat, agar tujuan perkawinan dapat tecapai. Oleh karena itu dalam
pelayanan kepada masyarakat selalau mengedepankan :
a. Tujuan perkawinan dan fungsi sebuah keluarga
b. Kepastian hokum dengan meminimalkan terjadinya nikah liar atau di
bawah tangan
c. Selalu mengedepankan koordinasi dengan pihak terkait dalam pelayanan
NTCR
7. Bimbingan Perkawinan
Untuk menegakkan dan meningkatkan fungsi keluarga, yaitu keluarga
yang sakinah, mawaddah wa rohmah, maka kegiatan bimbingan
perkawinan merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu
proses panjang suatu perkawinan.
59
Oleh karena itu KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang dalam
kegiatan bimbingan perkawinan melalui beberapa metode :
a. Bekerja sama dengan para medis, bidan desa dalam hal reproduksi sehata
kepada calon mempelai.
b. Menyelenggarakan penasehatan kepada calon mempelai pada masa
tenggang waktu 10 hari sebelum pelaksanaan nikah.
c. Bekerja sma dengan kegiatan kemasyarakatan dalam memberikan
penyuluhan tentang gerakan keluarga sakinah serta bimbingan perkawinan
dan keluarga.
6. Kegiatan Kemasjidan
Masjid tidak hanya berfungsi sebagai kegiatan atau tempat ibadah
rutin saja, akan tetapi diharapkan mempunyai fungsi sebagai pusat
pembinaan umat dalam berbagai kegiatan. Hal ini telah di contohkan pada
zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu kantor Urusan Agama Kecamatan
Ngaliyan telah berusaha agar kemakmuran masjid di wilayah Kecamatan
Ngaliyan Kota Semarang berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang
dalam rangka pembinaan kemasjidan telah melakukan kegiatan-kegiatan
antara lain :
e. Menertibkan organisasi kemasjidan dan administrasi kemasjidan.
f. Menertibkan status tanah untuk diproses sebagai tanah wakaf dan
bersertifpikat dari BPN
60
g. Mengupayakan masjid yang paripurna, yaitu masjid yang rapi, indah dan
bersih, yang kegiatannya mencerminkan keterpaduan dakwah islamiyah,
pendidikan keislaman, dan lai-lain.
h. Menyiapkan kader generasi muda dalam wadah remaja masjid.
i. Mempersiapkan salah satu masjid untuk mengikuti lomba kemasjidan.
7. Kegiatan Zakat, Infaq/Shodaqoh.
Pelaksanaan kegiatan zakat, infaq/shodaqoh sebagaimana yang
diharapkan oleh Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 adalah
merupakan kegiatan yang mencerminkan kesadaran umat Islam dalam
melaksanakan ibadah, khususnya bidang zakat dan infaq/shodaqoh.
Oleh karena itu agar kegiatan zakat, infaq/shodaqoh dapat berjalan
sesuai dengan yang diharapkan, Kantor Urusan Agama Kecamatan
Ngaliyan Kota Semarang telah menjalin kerjasama dengan lini sector
terkait, antara lain :
Bekerjasama dengan muspika, LSM dalam rangka
mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 kepada
masyarakat di wilayah Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang.
A. Membentuk pengurus BAZ tingkat kecamatan.
B. Melalui pengajian dan khutbah jum’at sebagai upaya gerakan sadar
zakat dan infaq/shodaqoh.
C. Memantau, mengevaluasi dan mencatat perkembangan perolehan
kegiatan zakat dan infaq/shodaqoh beserta pendistribusiannya.
61
8. Kegiatan Perwakafan.
Kegiatan perwakafan khususnya perwakafan tanah milik,
senantiasa di tingkatkan pelayanan dan pengelolaannya. Karena wakaf
merupakan asset umat Islam demi kemakmuran dan kemajuan umat Islam.
Dalam kegiatan perwakafan, KUA Kecamatan Ngaliyan Kota semarang
telah melakukan kegiatan-kegiatan antara lain :
1. Untuk menjamin kepastian hokum dalam perwakafan tanah milik, maka
telah diadakan penataan dan penertiban administrasi perwakafan.
2. Mengadakan sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977tentang perwakafan tanah milik kepada masyarakat.
3. Ikut serta membantu dalam penyelesaian pensertipikatan tanah wakaf di
kantor BPN.
4. Berusaha mengoptimalkan pengelolaan wakaf tanah produktif untuk
dikelola secara prof sesional agar lebih bermanfaat bagi umat Islam.
9. Kegiatan Semi Resmi
Di samping Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngaliyan Kota
Semarang mempunyai tugas pokok dengan melaksanakan fungsi-
fungsinya, maka sebagai kegiatan penunjang adalah melaksanakan tugas
semi resmi.
Kegiatan semi resmi yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang antara lain :
A. Kegiatan BKM ( Badan Kesejahteraan masjid )
62
Kepala KUA sebagai Ketua BKM melakukan kegiatan-kegiatan antara
lain:
1. Memfungsikan masjid sebagai tempat pembinaan umat
2. Ikut serta dalam usaha menciptakan masjid yang sehat dengan cara
menjalin kerja sama dengan lintas sektoral.
3. Berupaya terciptanya masjid yang paripurna.
4. . Tertibnya organisasi dan administrasi kemasjidan
B. Kegiatan P2A ( Badan Pembina Pengamalan Agama )
Pembinaan bidang pengamalan agama merupakan perwujudan dari
kualitas dan kesadaran umat dalam menjalankan ajaran agamanya.
Penekanan dari pembinaan P2A adalah penagamalan. Di samping umat
memahami teori-teori dalam agama.
Dalam pelaksanaan kegiatan P2A, maka KUA Kecamatan Ngaliyan
menjalin kerjasma dengan lembaga-lembaga dakwah atau kemitraan umat
untuk menyamakan visi dan misi dalam berdakwah.
KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang dalam kegiatan P2A
mengadakan langkah-langkah antara lain :
1. Melakukan koordinatif, konsolidasi dengan lembaga-lembaga dakwah
yang ada di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang.
2. Membentuk forum komunikasi lembaga dakwah
3. Menghimpun dana melalui iuran sukarela untuk anak yatim
4. Adanya rintisan tabungan penyembelihan hewan Qurban.
63
C. Kegiatan BP-4 ( Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan )
Sebagai lembaga semi resmi yang diharapkan mampu berperan serta
dalam pembangunankeluarga, maka KUA Kecamatan Ngaliyan Kota
semarang berperan aktif antara lain ;
1. Selalu membuka kesempatan kepada masyarakat luas dalam hal
penasehatan.
2. Meningkatkan profesionalisme korp penasehatan dalam
mengidentifikasikan permasalahn klien dan pemecahannya.
3. Menyelenggarakan penasehatan kepada calon pengantin
4. Konsolidasi ke dalam dan pembenahan administrasi.
D. Kegiatan LPTQ ( Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an )
Sebagai lembaga pengembangan tilawatil Qur’an, LPTQ Kecamatan
Ngaliyan Kota Semarang telah berupaya dengan memanfaatkan lembaga
ini. Hal ini dikandung maksud agar peran serta LPTQ semakin nyata
dalam kiprahnya mengembangan tilawatil Qur’an. Serangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh LPTQ Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang antara
lain :
1. Membentuk Badko TPQ tingkat Kecamatan
2. Mengirimkan ustadz/ustadzah untuk mengikuti pembinaan di
Kandepag Kota Semarang
3. Menyelenggarkan MTQ tingkat Kecamatan dalam rangka
mempersiapkan kafilah untuk mengkuti lomba di tingkat Kota.
64
4 Memperoleh juara Umum dalam pelaksanaan MTQ tingkat Kota
Semarang tahun 2007
E. Kegiatan PHBI ( Peringatan Hari Besar Islam )
Untuk memanfaatkan momentum yang sangat penting dan strategis,
maka melalui PHBI, dakwah dan syiar agama sangat diperlukan. Oleh
karena itu KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang menjalin kerja sama
dengan PHBI tingkat kecamatan dan BAZ Kecamatan Ngaliyan. Waktu
pelaksanaan kegiatannya adalah setiap adanya peringatan-peringatan hari
besar Islam selalu menyelenggarakan peringatan yang pelaksanaannya
dibentuk kepanitiaan yang di organisir oleh PHBI tingkat kecamatan
antara lain :
1. Penyelenggaraan Tahun Baru Islam dengan gerakan menyantuni
yatim piatu
2. Penyelenggaraan halal bi halal tingkat kecamatan
3. Menyelenggarakan lomba kreatifitas bagi remaja dan anak-anak,
antara lain ; lomba pidato, MTQ, Hafalan, Melukis dan lain-lain.
4. penyelenggaraan Maulud Nabi Besar Muhammad SAW.
F. Haji
1. Sebagai pusat informasi Haji Kecamatan Ngaliyan
2. Sebagai penanggung jawab pelaksanaan Bimbingan Manasik Haji
3. Memfasilitasi terbentuknya pengurus IPHI ( Ikatan Persaudaraan
Haji Indonesia ) Kecamatan Ngaliyan.
65
10. Kegiatan Lintas sektoral
Dalam kapasitasnya selaku Kepala KUA dalam menjalankan
fungsi pembangunan, maka kegiatan lintas sektoral bisa dipastikan ikut
berperan aktif dalam membangun masyarakat di segala bidang.
Pembangunan yang dilaksanakan berupa pembangunan fisik dan
mental, yang terangkum dalam pembangunan idiologi, social, politik,
ekonomi, budaya, agama, kesehatan, pertahanan dan keamanan,
semuanya tak dapat dibangun hanya satu instansi saja, tetapi memerlukan
dukungan dari instansi lain. Oleh karena itu peran Kantor Urusan Agama
Kecamatan cukup strategis. Yaitu membangun masyarakat melalui fungsi
dan bahasa agama.
Peran serta KUA Kecamatan dalam kegiatan lintas sektoral adalah :
a. Sebagai motivator dari berbagai program melalui media kegiatan
keagamaan, seperti majlis taklim, pengajian-pengajian di masjid-masjid,
langgar/musholla dalam setiap kesempatan.
b. Dalam bentuk kegiatan terpadu atau secara bersama dengan dinas terkait
yang ada di kecamatan. Peran KUA adalah sebagai motivator dengan
bahasa dan pola pendekatan ajaran agama, sehingga keberhasilan program
tersebut bisa lebih baik, karena mendapat dukungan dari umat beragama.
66
G. Prosedur Pelaksananaan Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang
Lahir Kurang dari 6 Bulan di KUA Kec. Ngaliyan.
Dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan, sebenarnya sampai saat ini Kementerian Agama belum
pernah memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak perempuan sulung
yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahiranya dan juga memeriksa buku
pernikahan orang tuanya. Dan dalam Peraturan Menteri Agama Yang terbaru
Yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencaattan Nikah tidak
mengatur mengenai permasalahan tersebut.
Karena status seorang anak sudah di tentukan di dalam pasal 42
Undang-Undang NO. 1 tahun 1974 dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa
anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah.
Ketentuan demikian juga terdapat dalam pasal 99 (a) Kompilasi
Hukum Islam. Sebagaimana di ketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam
adalah hasil kesepakatan para ulama seluruh Indonesia, yang perumusannya
sudah melalui diskusi-diskusi yang sangat panjang dengan
mempertimbangkan pendapat pendapat yang ada.
Di KUA Kecamatan Ngaliyan semarang dalam pelaksanaanya
menggunakan dasar fiqih yang diambil dari Kitab Al-Muahazzab. Yaitu
apabila calon mempelai wanita itu anak pertama dan walinya wali ayah, perlu
dipertanyakan tanggal nikah dan tanggal lahir anak pertamanya itu, bila
terdapat ketidakwajaran, seperti, baru 5 bulan nikah anak pertama lahir, maka
67
anak tersebut, termasuk katagori anak ibunya, dengan demikian perlu diambil
jalan tahkim (wali hakim).
وان اتت بى لد لد ون ستة اشهر من و قت العقد انتفي عنه 8
Artinya: Bila anak itu lahir kurang dari enam bulan dari waktu akad
nikah, maka anak itu bukan anaknya lelaki yang menikahi ibunya.
Jadi apabila anak perempuan lahir kurang dari 6 bulan, maka anak itu
hanya mampunyai hubungan nasab dengan ibunya saja. Secara otomatis
bapaknya tidak bisa menjadi wali, maka anak tersebut ketika akan
melaksanakan pernikahan menggunakan wali hakim.
Prosedur pelaksanaan penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan di KUA Kec Ngaliyan, yaitu dengan cara memeriksa akta
kelahiran calon mempelai wanita dengan buku nikah orangtuanya, kemudian
di hitung untuk mengetahui asal usul anak tersebut, dan untuk menentukan
siapa yang berhak menjadi wali. Dan apabila setelah di hitung diketahui
kelahiran calon mempelai perempuan kurang dari 6 bulan, maka
pernikahanya tidak bisa menggunakan wali nasab, karena di dalam fiqih
apabila ada anak perempuan kelahiranya kurang dari 6 bulan, maka anak
tersebut statusnya anak ibu dan anak tersebut hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya saja.
Apabila anak tersebut akan melaksanakan pernikahan, maka harus
menggunakan wali hakim, karena bapaknya tidak bisa menjadi wali, dan
apabila wali dari mempelai perempuan memaksa untuk tetap menjadi wali,
8 Abi Ishak As Saerozi, Al Muhazzab, Juz II, Dar Al Fikr, t.th hlm 130
68
maka dari pihak KUA tidak mau menikahkan, mereka di suruh menikahkan
sendiri, dan dari pihak KUA hanya mencatat secara administrasi saja.9
H. Hasil Penelitian
1. Kasus di KUA Kec. Ngaliyan
Di bawah ini adalah data pernikahan yang mengunakan wali
hakim selama tahun 2010 di KUA kec. Ngaliyan Kota semarang.
NO BULAN JUMLAH
PERNIKAHAN
WALI
NASAB HAKIM
1. Januari 39 37 2
2. Februari 68 67 1
3. Maret 96 96 0
4. April 97 90 7
5. Mei 89 86 3
6. Juni 87 76 11
7. Juli 101 101 0
8. Agustus 33 31 2
9. September 57 50 7
10 Oktober 60 54 6
11. November 162 162 0
12. Desember 35 35 0
Jumlah 924 885 39
Tabel 110
Dari 39 pasangan pengantin yang melaksanakan pernikahan dengan
mengunakan waki hakim di KUA Kec. Ngaliyan, selama tahun 2010 ada 7
9 Wawancara dengan Bapak Drs. H. Fadlan Yazidi (Kepala KUA Kec. Ngaliyan)
pada hari selasa tanggal 25 januari jam 10:30 di KUA Ngaliyan 10
Data di catatan Buku Pernikahan KUA Kec. Ngaliyan tahun 2010
69
kasus diantaranya yang mengunakan wali hakim, yang dikarenakan mempelai
permpuan lahir kurang dari 6 bulan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam daftar tabel nama- nama
pasangan pengantin yang mengunakan wali hakim di bawah ini.
NO NAMA TANGGAL
MENIKAH ALAMAT
1
Laily Septiana
Rofichoh dengan
Ahmad Zamroni
Kamis, 24 juni 2010 jL. Gunung jati Utara, v
RT 03/II, No 118,
Kelurahan Wonosari.
2
Gigih Enda Pujiani
dengan M. yusuf
perdana
Sabtu 7 Januari 2010 JL. Bringin Asri timurK
No 903, RT o5/XII. Kel
Wonosari
3
Ayu Fatia Ningrum
dengan Amad
Munaji
Sabtu 7 Agustus
2010
JL. Built dingin 1/ 18
RT O5/18 Kel. Bringin
4
Imada anggi
Mayangsari dengn
Slamet Supriadi
Ahad 10 oktober
2010
JL. Karinsih Selatan
VI/564 RT 03/VI Kel.
Tambak Aji
5
Erin Rizki Maharani
dengan Asmana
istianto
Ahad 24 januari
2010
JL. Sriyatno dalam RT
05/IV Kel. Purwoyoso
6
Uswatun Hasanah
dengan Dodik
Trianto
Senin 21 juni 2010 RT 03/ VII Kel.
Wonosari .
7
Enik Susanti dengan
Ibnu Santoso
Rabu 22 September
2010
LJ. Sriwidodo Utara X
RT 06/1 Kel.
Purwoyoso
Tabel 211
11
Data dari Dokumen Pernikahan KUA Kec. Ngaliyan tahun 2010
70
2. Respon dari Para Pihak yang Bersangkutan.
Respon dari para pihak yaitu dengan wali mempelai perempuan
dan dari mempelai perempuan sendiri, untuk mengetahui respon dari para
wali dan mempelai perempuan tentang pelaksanaan wali hakim bagi
prempuan yang akan menikah, di karenakan kelahiran anaknya kurang dari 6
bulan di wilayah Kecamatan Ngaliyan.
a. Wawancara dengan Bapak Slamet Wali Dari Saudari Enik Susanti.
Bapak Slamet menyatakan bahwa dalam masalah perwalian dalam
pernikahan dia belum mengetahui betul, karena masih awam dalam masalah
agama. Sehingga untuk masalah perwalian dia menanyakan kepada bapak
modin setempat, dan dalam hal pernikahan anaknya yang menggunakan wali
hakim dikarenakan anaknya lahir kurang dari 6 bulan, sebenarnya bapak
slamet ingin sekali menjadi wali bagi anak perempuanya saat menikah,
Karena menurut sepengetahuanya yang paling afdol menjadi wali adalah
bapaknya sendiri, tetapi karena di dalam islam tidak membolehkan. Karena
anaknya lahir kurang dari 6 bulan sehingga dia tidak bisa menjadi wali,
sehingga beliau menerima dengan lapang dada walaupun perasanya sangat
berat sekali dan kecewa dengan adanya ketentuan ini.12
b. Wawancara dengan Bapak Darsono Wali dari Saudari Anggi
Mayangsari
Bapak Darsono menyatakan dalam masalah perwalian tidak tahu
menahu, karena dia dahulu beragama kristen dan baru pada umur 23 tahun
12
Wawancara dengan bapak Slamet, pada hari rabu 26 januari 2011, jam 05:00
di rumahnya
71
dia menjadi muallaf, sehingga dalam masalah perwalian, khususnya
perwalian bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan dia
menayakan masalah itu kepada tokoh masyarakat setempat, dan dalam
pernikahan anaknya yang menggunakan wali hakim. Dikarenakan anaknya
lahir kurang dari 6 bulan, sebenarnya di ingin sekali menjadi wali karena
menurutnya kebanggaan seorang ayah yang mempunyai anak perempuan,
adalah dengan menikahkan anaknya sendiri, tetapi karena peraturanya tidak
membolehkan maka dia mengikuti saja dengan peraturan yang berlaku.13
c. Wawancara dengan Bapak Kasiono Wali dari Laily Sofiana Rofichoh
Bapak kasiono menyatakan dalam masalah perwalian beliau tidak
tahu-menahu. Karena beliau masih awam dalam masalah agama dan dalam
masalah perwalian bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan dia
pun tidak mengetahuinya, dan ketika anaknya saudari laily dinikahkan
dengan wali hakim karena kelahiranya kurang dari 6 bukan, sebenarnya dia
merasa keberatan, karena dia menganggap dirinya masih ada dan bisa
menjadi wali bagi anaknya, tetapi setelah mendapat penjelasan dari tokoh
masyarakat, dan dari pihak KUA, bahwa anaknya harus menikah dengan wali
hakim. Karena peraturanya seperti itu, dia menerima dengan ikhlas karena
ketidakpahaman tentang masalah perwalian.14
d. Wawancara dengan Bapak Barmawi Wali dari saudari Uswatun
Hasanah
13
Wawancara dengan bapak Darsono pada hari sabtu tanggal 29 januari 2011, jam
8:30 di rumahnya. 14
Wawancara dengan bapak Kasiono pada hari senin tanggal 31 januari 2011 jam
12: 10 di rumhnya.
72
Bapak Barmawi menyatakan bahwa dia tidak mengetahui tentang
masalah perwalian dalam pernikahan, karena dia masih awam tentang
masalah agama, dua tahun terakhir inilah dia baru menjalankan agama dengan
sungguh-sungguh. Tentang masalah perwalian bagi anak perempuan yang
lahir kurang dari 6 bulan dia juga tidak mengetahui, sehingga ketika anaknya
ternyata pada saat akan menikah harus menggunan wali hakim, dikarenakan
lahir kurang dari 6 bulan, dia sempat menolak dan memprotes ketentuan ini.
Tetapi setelah menerima penjelasan dari bapak modin dan dari pihak KUA
karena menurut agama tidak diperbolehkan, maka dengan sendirinya dia
menerima dengan ikhlas dan lapang dada.15
e. Wawancara dengan Saudari Anggi Mayangsari Anak dari Bapak
Darsono
Dalam masalah Perwalian dia sama sekali tidak mengetahui karena
dalam masalah agama dia sangat minim sekali pengetahuanya. Dan tentang
masalah pernikahanya yang menggunakan wali hakim dikarenakan
kelahiranya kurang dari 6 bulan, dia secara kebetulan mengetahui penyebab
bapaknya tidak bisa menjadi wali.
Karena pada saat mendaftar di KUA dia ikut bersama ibiunya, ketika
itu bapaknya keluar kota, setelah mendengarkan penjelasan dari bapaknya
tentang sebab-sebab bapaknya tidak bisa menjadi wali, dia sangat kecewa
sekali dengan orangtuanya karena tidak bisa menjadi wali dia sempat
menolak dan keberatan dengan ketentuan itu karena dia menginginkan
15
Wawancara dengan bapak Barmawi pada hari selasa, 8 februari 2011 jam 04:00
di rumahnya.
73
ayahnya yang menikahkan sendiri, tetapi karena peraturanya seperti itu dia
menerima dengan ikhlas.16
f. Wawancara dengan Saudari Enik Susanti Anak dari Bapak slamet
Dalam masalah perwalian dalam pernikahan, dia sama sekali tidak
tahu- menahu, dan ketika dirinya menikahpun dia tidak tahu menahu siapa
yang menjadi wali, dia hanya mengetahui bapaknya yang menjadi wali dan
bapaknya mewakilkan kepada bapak Penghulu. Karena dia mengetahui kalau
anak perempuan ketika akan menikah menikah, yang menikahkan adalah
bapaknya sendiri. Jadi dia tidak mengetahui ketika menikah sebenarnya
menggunakan wali hakim.17
g. Wawancara dengan Saudari Uswatun Hasanah Anak dari Bapak
Barmawi
Dalam masalah perwalian dia tidak tahu- manahu dan ketika dirinya
menikah dia hanya mengetahui bahwa yang menikahkan adalah bapaknya
sendiri, jadi saudara uswatun tidak tahu- menahu ketika pernikahanya
menggunakan wali hakim. Yang dia ketahui dia yang menikahkan adalah
bapaknya sendiri.18
Jadi dapat di simpulkan bahwa respon dan pendapat dari para pihak
yang terkait dalam pernikahan yang menggunakan wali hakim bagi anak
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, baik itu dari pihak wali dan dari
16
Wawancara dengan saudari Anggi mayangsari anak dari bapak darsono pada hari
sabtu tanggal 29 januari2011 jam 19:00 di rumah bapak darsono. 17
Wawncara dengan saudari Enik susanti anak dari bapak Slamet pada hari kamis
tanggal 27 januari 2011, jam 04: 00 di rumahnya. 18
Wawancara dengan saudari Uswatun Hasanah anak dari bapak Bar mawi pada hari
selasa 8 februari 2011 jam 04:30 Wib di rumahnya.
74
pihak mempelai perempuan itu sendiri. Mereka mengingkan menjadi wali,
begitupun dari mempelai perempuan itu sendiri, mereka menginginkan
ayahnya menjadi wali. Tetapi karena keterbatasan dari mereka tentang
pengetahuan agama khususnya tentang perwalian, maka mereka menyerahkan
sepenuhnya kepada P3N (Petugas Pembantu Pencatat Nikah) dan Bapak
Penghulu dari KUA setempat.
3. Respon dari P3N (Petugas Pembantu Pencatat Nikah)
Wawancara di lakukan denagn P3N (Petugas Pembantu Pencatat
Nikah) untuk mengetahui bagaimana pendapatnya dan respon dari para pihak.
Tentang ketentuan wali hakim bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6
bulan, menurut pendapat P3N.
a. Wawancara dengan Bapak H. Hawari P3N dari Kelurahan
Purwoyoso Kec. Ngaliyan
Menurut bapak H. Hawari bahwa pelaksanaan penentuan wali nikah
bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan
menggunakan wali hakim. Dasar yang di pakai adalah dasar fiqih, jadi kalau
anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan bapaknya tidak bisa menjadi
wali karena kalau walinya nasab, tidak sah pernikahanya menurut agama
islam dan tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur wali hakim
dia tidak mengetahuinya.
Tentang respon dari para pihak ketika anaknya dinikahkan dengan
wali hakim karena kelahiranya kurang dari 6 bulan, ada yang menerima
setelah diberi penjelasan, ada juga yang menolak tetapi kebanyakan
75
menerima kalau mereka ngotot dan tetap ingin menjadi wali, maka dari pihak
KUA, menyuruh untuk menikahkan sendiri dan dari pihak KUA hanya
mencatat secara administrasi saja.19
b. Wawncara dengan Bapak Abdul Qodir P3N dari Kelurahan Tambak
Aji Kec. Ngaliyan.
Menurut Bapak Abdul Qodir pelaksananan penentuan wali nikah
bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan
Menggunakan dasar fiqih terlebih dahulu, kemudian apabila orangnya tetap
ngotot maka bisa menggunakan wali nasab, tetapi disuruh menikahkan sendiri
dan dari pihak KUA hanya mencatat saja. Menurutnya apabila ada kasus
semacam ini harus di lihat dulu dari latar belakang keluarganya agar tercapai
kemaslahatan. Apabila latar belakang keluarganya agamis, maka
menggunakan wali hakim, sedangkan bagi keluarga yang berlatarbelakang
umum menggunakan wali nasab, karena respon dari para pihak ada yang
menolak dan menerima ketika anaknya dinikahkan dengan wali hakim karena
anaknya lahir kurang dari 6 bulan. 20
c. Wawancara dengan Bapak Ahmad Munaji P3N dari Kelurahan
Bringin Kec. Ngaliyan.
Bapak Ahmad Munaji menyatakan dalam pelaksanaan penentuan
wali nikah bagi yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec. Ngaliyan,
sependapat dengan bapak H. Hawari dan Bapak Abdul Qodir. Yaitu
19
Wawancara dengan bapak H. Hawari P3N dari Keluran, Purwoyoso pada hari
rabu pada tanggal 2 januari 2011 jam 17:00 di rumahnya. 20
Wawancara dengan bapak Abdul Qodir P3N dari Kelurahan tambak Aji pada hari
jum’at tanggal 27 januari 2011 jam 19:00 di rumanya.
76
menggunakan wali hakim dan respon dari masyarakat di Kelurahan Bringin
ada yang keberatan dan ada juga yang menerima setelah di beri pengertian
dari pihak KUA.
Jadi dapat disimpulkan bahwa respon dan pendapat dari para P3N,
dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang
dari 6 bulan, pendapatnya sama dengan KUA Kec Ngaliyan yaitu
menggunakan dasar fiqih munakahat sebagai acuan, apabila dari para wali
ada yang keberatan maka disuruh menikahkan sendiri dan dari pihak KUA
hanya mencatat secara administrasi saja.21
4. Respon dari Tokoh Masyarkat tentang Pernikahan bagi Perempuan
yang lahir kurang dari 6 bulan.
Wawancara dengan tokoh masyarakat bertujuan untuk mengetahui
pendapat mereka tentang pernikahan bagi anak perempuan yang lahir kurang
dari 6 bulan, dan pendapat masyarakat sekitar dengan adanya ketentuan ini.
a. Wawancara dengan Bapak KH Abdul Djalil Salah Satu Tokoh
Masyarakat di Kelurahan Tambak aji.
Menurut bapak KH. Abdul Djalil apabila ada pernikahan kemudian
di ketahui anak perempun yang lahir kurang dari 6 bulan, adalah dengan
menggunakan wali hakim. Karena menurutnya di dalam kitab-kitab fiqih,
yang pernah beliau pelajari apabila ada anak perempuan yang lahir kurang
dari 6 bulan, maka ayahnya tidak bisa menjadi wali, dan itu salah satu sebab
pernikahan mengunakan wali hakim.
21
Wawancara dengan bapak Ahmad Munaji P3N dari Kelurahan Beringin, pada hari
ahad, 13 Februari 2011 jam 17:00 di rumahnya.
77
Di kelurahan Tambak aji jarang sekali terjadi kasus semcam ini tapi
pernah ada, sedangkan respon dari masyarakat apabila ada kasus semacam
ini, masyarakat di kelurahan tambak aji kurang begitu mengerti tentang
masalah ini, sehingga masyarakat tidak bisa membedakan pernikahan mana
yang mengunakan wali nasab maupun wali hakim, karena yang menikahkan
sama-sama dari pihak KUA, walupan tidak menggunakan wali hakim
biasanya masyarakat di Tambak Aji sebagian besar mewakilkan kepada pihak
KUA setempat.22
b. Wawancara dengan Bapak KH Muslihun Salah Satu Tokoh
Masyarakat di Kelurahan Wonosari
Menurut Bapak KH. Muslihun apabila ada pernikahan sedangkan
anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, itu mengunakan dasar fiqih
dan juga di zaman modern seperti ini harus melalui keterangan doktrer untuk
memastikan anak tersebut anak sah atau tidak. Di Kelurahan Wonosari kasus
semacam ini pernah terjadi tapi sangat jarang sekali, sedangkan respon dari
masyarakat Wonosari sendiri kurang begitu paham tentang masalah ini karena
kuarangnya pengetahuan soal perwalian dalam agama islam, sehingga mereka
apabila ada permasalahan seperti ini langsung diserahkan kepada bapak
modin setempat.23
c. Wawancara dengan Bapak KH. Mas’ud Salah Satu Tokoh
Masyarakat di Kelurahan Purwoyoso
22
Wawancara dengan bapak KH. Abdul Djalil salah satu tokoh masayarakat di
kelurahan Tambak Aji, pada hari Kamis tanggal 17 februari 2011 Jam 10:20 di rumahnya. 23
Wawancara dengan bapak KH. Muslihun salah satu tokoh masayarakat di
kelurahan Wonosari, pada hari senin 14 februari 2011 jam 17:00 di rumahnya.
78
Apabila ada kasus pernikahan sedangkan anak prempuan diketahuai
lahir kurang dari 6 bulan, beliau sependapat dengan tokoh masyarakat lainya.
Yaitu dengan meggunakan dasar fiqih, dan respon dari masyarakat
purwoyoso sendiri ada dari sebagian mereka dari kalanagan tertentu saja
mengetahui masalah ini, tapi kebanyakan tidak tahu manahu tentang masalah
perwalian dalam prenikahan.24
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendapat dari para tokoh masyarakat
di Kec. Ngalian sama dengan pihak KUA dan P3N, mereka sepakat, apabila
ada kasus pernikahan sedangkan anak prempuan diketahuai lahir kurang dari
6 bulan, yaitu dengan meggunakan dasar fiqih, sedangkan respon dari
masyarakat apabila ada kasus semacam ini masyarakat kurang begitu
mengerti tentang masalah ini sehingga masyarakat tidak bisa membedakan
pernikahan mana yang mengunakan wali nasab maupun wali hakim, karena
yang menikahkan sama-sama dari pihak KUA, walaupun tidak menggunakan
wali hakim, tapi masyarakat di Kecamatan Ngaliyan sebagian besar
mewakilkan kepada pihak KUA setempat.
24
Wawancara dengan Bapak KH. Mas’ud salah satu tokoh masayarakat di
kelurahan Purwoso, pada hari Ahad Tanggal 13 Februari 2011, jam 16:00 di rumanya.
79
BAB IV
ANALISI TERHADAP PENENTUAN WALI NIKAH BAGI PEREMPUAN
YANG LAHIR KURANG DARI 6 BULAN DI KUA KEC. NGALIYAN
KOTA SEMARANG
A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan
yang Lahir Kurang Dari 6 Bulan di KUA Kec. Ngaliyan.
Masalah perwalian dalam arti perkawinan, mayoritas ulama
berpendapat bahwa wanita itu tidak boleh menikahkan dirinya sendiri dan
tidak pula mengawinkan wanita lainya karena akad perkawinan tidak di
anggap sah apabila tanpa seorang wali,3 pendapat ini dikemukakan oleh Imam
Maliki dan Imam Safi‟i bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali
merupakan syarat sahnya pernikahan.4
Menurut madzhab hanafi, wali tidak merupakan syarat untuk sahnya
suatu pernikahan, tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali dan boleh tidak
ada wali, yang terpenting adalah harus ada izin dari orang tua pada waktu
akan menikah baik dia pria maupaun wanita.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, tidak jelas
mengatur tentang wali nikah, tetapi disyaratkan harus ada izin dari orang tua
bagi yang akan melangsungkan pernikahan dan apabila belum berumur 21
(dua puluh satu) tahun.5
3 Dedy Junaidi, Bimbingan Perkawinan, Jakarta : Akademi Pressindo, 2003, hlm. 104
4 Slamet Abidin-Aminudin, Fiqih Munakahat, Bandung : Pustaka Setia, 1999, hlm. 82
5 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradialn Agama,
dan zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlmn 12
80
Di Negara Indonesia yang kebanyakan menganut Madzhab Syafi‟i wali
merupakan syarat sahnya pernikahan, jadi apabila pernikah tanpa wali, maka
pernikahanya tidak sah, dan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) wali
dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi, oleh calon
mempelai wanita yang bertindak menikahkanya (Pasal 19 KHI), wanita yang
menikah tanpa wali berarti pernikahanya tidak sah.6
Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya yang berhak
menjadi wali adalah wali nasab, yaitu wali dari pihak keluarga mempelai
perempun dan apabila wali nasab sama sekali tidak ada, maka yang berhak
menikahkan adalah wali hakim.
Adapun yang di maksud dengan wali hakim adalah orang yang
diangkat oleh pemerintah (Menteri Agama)7 untuk bertindak sebagai sebagai
wali dalam suatu pernikahan, yaitu apabila seorang calon mempelai wanita
dalam kondisi:
1. Tidak mempunyai wali nasab sekali,
2. Walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaanya).
3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang
sederajat dengan dia tidak ada
4. Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul qosri (sejauh
perjalanan yang membolehkan sholat qasar yaitu 92,5 km)8
5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai
6 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm 15
7 Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1987, orang yang di tunjuk
menjadi wali hakim adalah kepala Kanor Uruasan Agama Kecamatan. 8 Di zaman modern ini walaupun jarak musafaqotul qasri telah di penuhi, namun untuk
akad nikahnya wali perlu di beri tahu terlebih dahulu.
81
6. Wali adhol, artinya tidak bersedia atau menolak untuk
menikahkanya
7. Wali sedang melaksanakan ibadah (umrah) haji atau umroh9.
Apabila kondisinya salah satu dari tujuh point di atas, maka yang
berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Tetapi di
kecualikan bila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk
bertindak sebagai wali, maka orang yang mewakilkan itu yang berhak
menjadi wali dalam pernikahan tersebut.10
Tentang pelaksananan penentuan wali bagi anak perempuan yang
lahir kurang dari 6 bulan, sebenarnya sampai saat ini Kementerian Agama
belum pernah memberikan petunjuk untuk menanyakan status anak perempun
sulung yang akan menikah, untuk diperiksa akta kelahirannya dan juga
memeriksa buku pernikahan orang tuanya. Dalam Peraturan Menteri Agama
Yang terbaru Yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2007 Tentang
Pencatatan Nikah tidak mengatur mengenai permasalahan tersebut.
Karena status seorang anak sudah di tentukan di dalam Undang-
Undang NO. 1 tahun 1974 Pasal 42, 43 dan 44. Selengkapnya sebagai
berikut:
Pasal 42:
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah.”
9 Departeman Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Proyek peningkatan
Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Jakata: 2003, hlm 34 10
Ibid hlm 113
82
Pasal 43:
1. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan kelurga ibunya.”
2. “Kedudukan Anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur
dalam Peraturan Pemerintah.”
Pasal 44:
1. “Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan oleh
istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan
anak itu akibat dari perzinahan tersebut.”
2. “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan yang bersangkutan.” 11
Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi
hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak
antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal usia
kandungan seperti yang akan dijelaskan kemudian. Jadi selama bayi yang di
kandung tadi dilahirkan oleh ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka
anak tersebut adalah anak yang sah. Undang-undang tidak mengatur batas
minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam
penjelasannya. Dalam kompilasi Hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa
yang diatur dalam Undang-undang perkawinan.
Pasal 99 :
Anak yang sah adalah
a. “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.”
11
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2005, hlm. 18-19.
83
Pasal 100:
a. “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dalam kompilasi Hukum Islam anak sah dan perkawinan yang sah
yang dimaksud dalam pasal 99 (a) adalah anak sah dari kedua orang
tuanya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 53 dalam BAB VIII Kawin
Hamil, selengkapnya akan dikutip dibawah ini:
Pasal 53:
1. “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang yang menghamilinya.”
2. “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut ppada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.”
3. “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.”
Jadi, anak sah dan pernikahan yang sah, yang dimaksud dalam KHI
pasal 99 (a) apabila dikaitkan dengan pasal 53, adalah anak sah dari
pernikahan kedua oramg tuanya dan apabila pernikahanya pada saat hamil,
maka anak tersebut anak sah dari pria yang menghamilinya.
Pasal 101:
“Seseorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri
tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan
li‟an.”12
Pasal 102 kompilasi juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia
bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya
anak yang dilahirkan isterinya.
12
Departemaen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan
agama Islam, Jakarta : 2003, hlm. 38.
84
Pasal 102:
(1) “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari
sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau
setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada
di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada
Pengadilan Agama.”
(2).” Pengingkaran yang di ajukan sesudah lampau waktu tidak dapat di
terima.”
Batasan 180 hari atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas
minimal usia kandungan, demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas
maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu
untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
Sebagaimana diketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah hasil
kesepakatan para ulama seluruh Indonesia yang perumusanya sudah melalui
diskusi-diskusi yang sangat panjang, dengan mempertimbangkan pendapat
pendapat yang ada.
Oleh karena itu menurut penulis seharusnya Kantor Urusan Agama
(KUA) sebagai lembaga pencatat pernikahan, di bawah Kementerian Agama
seharusnya berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam. karena sejak di
tetapkan pada tahun 1991 dan dilaksanakan oleh Menteri Agama menetapkan
seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya, yang
terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum
perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk
85
digunakan oleh Instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukanya
untuk menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut.13
Dan tujuan utama dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam, adalah
menyiapkan pedoman (unifikasi) bagi Hakim Peradilan Agama dan menjadi
Hukum Materiil yang berlaku di Pengadilan Agama yang wajib di patuhi oleh
seluruh bangsa Indonesia yang beragama islam.14
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di KUA Kec. Ngaliyan semarang
dalam pelaksanaanya menggunakan dasar fiqih, yaitu apabila anak
perempuan lahir kurang dari 6 bulan, maka anak tersebut hanya mampunyai
hubungan nasab dengan ibunya saja, secara otomatis bapaknya tidak bisa
menjadi wali, maka anak tersebut apabila akan melaksanakan pernikahan
harus menggunakan wali hakim.
Di KUA Kec Ngaliyan dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Yaitu dengan cara memeriksa akta
kelahiran calon mempelai wanita dengan buku nikah orangtuanya, kemudian
dihitung untuk mengetahui asal usul anak tersebut dan untuk menentukan
siapa yang berhak menjadi wali. Apabila kemudian di ketahui kurang dari 6
bulan, maka pernikahannya tidak bisa menggunakan wali nasab, karena anak
tersebut hanya mempunyai nasab dengan ibunya saja, dan apabila akan
melaksanakan perenikahan harus menggunakan wali hakim.
13
Departemen Agama RI Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit,. hlm. 6-7 14
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : Gama Media,
2001 , hlm. 85
86
Apabila dari pihak wali merasa keberatan dengan ketetentuan ini, maka
mereka disuruh menikahkan sendiri, dan dari pihak KUA hanya mencatat
secara administrasi saja, karena dari pihak KUA mempunyai keyakinan
bahwa tanggung jawab menikahkan bukan hanya dengan manusia tapi juga
dengan Allah SWT. Jadi mereka dalam permasalahan ini menggunakan dasar
fiqih munakahat sebagai acuan.15
Jadi menurut penulis dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penentuan
wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA Kec.
Ngaliyan tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.
Karena tidak ada Undang-undang yang mengatur tentang penentuan
wali nikah bagi perempuan yang akan menikah dan kelahirannya kurang dari
6 bulan. Dan sampai saat ini Kementerian Agama belum pernah memberikan
petunjuk untuk menanyakan status anak perempun sulung yang akan
menikah, untuk diperiksa akta kelahiranya dan juga memeriksa buku
pernikahan orang tuanya, untuk mengetahui asul usul anak tersebut dan untuk
menetukan wali bagi mempelai perempuan.
karena asal usal anak sudah diatur dalam pasal 42 Undang-undang
perkawinan No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Ketentuan demikian juga terdapat dalam pasal 99 (a).
Kompilasi Hukum Islam.
15
Wawancara dengan Bapak Drs. H. Fadlan Yazidi (Kepala KUA Kec. Ngaliyan)
pada hari selasa tanggal 25 januari jam 10:30 di KUA Ngaliyan
87
B. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang Digunakan Oleh KUA Kec.
Ngaliyan dalam Penentuan Wali Nikah bagi Perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan.
Dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan, di KUA Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang,
menggunakan Wali hakim. Yaitu dengan cara memeriksa akta kelahiran anak
perempuan dan memeriksa buku nikah kedua orang tunya, kemudian di
hitung untuk mengetahui asal-usul anak tersebut dan untuk menentukan
siapakah yang berhak menjadi wali. Apabila kemudian diketahui kelahiran
anak tersebut kurang dari 6 bulan di hitung dari akad nikah orang tuanya
maka yang berhak menjadi wali adalah wali hakim karena bapaknya tidak
bisa menjadi wali.
KUA Kec. Ngaliyan menggambil dasar hukum dari kitab Al-
Muhazzab juz II. Halaman 130.
Bila calon mempelai wanita itu anak pertama dan walinya wali ayah,
perlu dipertanyakan tanggal nikah dan tanggal lahir anak pertamanya itu, bila
terdapat ketidakwajaran, seperti, baru 5 bulan nikah anak pertama lahir, maka
anak tersebut, termasuk katagori anak ibunya, dengan demikian perlu diambil
jalan tahkim (wali hakim).
16وان اتت بى لد لد ون ستة اشهر من و قت العقد انتفي عنه
Artinya:“Bila anak itu lahir kurang dari enam bulan dari waktu akad
nikah, maka anak itu bukan anaknya lelaki yang menikahi ibunya.”
16
Abi Ishak As Saerozi, Al Muhazzab, Juz II, Dar Al Fikr, t.th hlm 130
88
Di dalam fiqih munakahat yang sudah menjadi kesepakatan para Imam
Madzhab bahwa waktu yang sependek-pendeknya untuk kandungan adalah 6
bulan,17
jadi apabila anak perempuan lahir kurang dari 6 bulan, maka
menggunakan wali hakim. Ketentuan ini berdasarkan Al- qur,an, dalam
Firman Allah surat Al- ahqaf ayat 15
Artinya: masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan
(Qs. Al-ahqaf, 46:15)18
Dan surat Al-Luqman ayat : 14
Artinya: Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun (
selambat-lambat waktu menyapih ialah anak berumur 2 tahun )
(QS. Luqman, 31:14 ).19
Kedua ayat tersebut, oleh Ibnu Abbas dan disepakati para ulama,
ditafsirkan bahwa ayat pertama menunjukan tenggang waktu mengandung
dan menyampih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa
menyapihnya setelah bayi di susukan secara sempurna membutuhkan 2
tahun atau 24 bulan, berarti bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6
bulan di dalam kandungan. 20
17
Fatur Rachman, Ilmu Waris, Bandung: PT Al-maarif, 1981 hlm 201 18
Departeman Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjamahanya Lajnah Pentashih Mushaf
Al-Quran, Depok : Cahaya Qurani, 2008, hlm 504 19
Departeman Agama RI, Ibid, hlm. 412 20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.
224
89
Dalam Tafsir Ibnu Kasir kedua ayat ini di jadikan dalil oleh Ali
bin Abi Thalib RA, batas minimal waktu hamil adalah 6 bulan, dan itu
merupakan cara pengambilan hukum ( istinbath) yang kuat dan valid.
Pendapat tersebut disetujui oleh Usman bin Affan RA, dan beberapa
sahabat lainya.21
Dari pernyataan tersebut di atas Munculah beberapa pendapat
hukum Ulama:
1. Apabila seorang Wanita dan Laki-laki kawin, lalu melahirkan seorang
anak dalam keadaan hidup dan sempurna bentuknya sebelum 6 bulan,
maka anak tersebut tidak bisa dikaitkan (nasabnya) dengan suaminya.
Syaikh Al-mufid dan Syaikh Al-Thusi dari madzhab Imaniyah, dan Syaikh
Muhyidin Abd Al-Hamid dari Hanafi, mengatakan bahwa, nasib anak
tersebut tergantung pada suami (wanita tersebut). Kalau dia mau, dia bisa
menolaknya, dan bisa pula mengakuinya sebagai anaknya dan mengaitkan
nasabnya dengan dirinya.
2. Kalau kedua suami istri bersengketa tentang lamanya waktu bergaul
mereka, misalnya si isteri mengatakan (kepada suaminya), “Engkau telah
bergaul denganku sejak 6 bulan atau lebih, karena itu anak ini adalah anak
mu,” lalu suaminya menjawab, “Tidak, aku baru menggaulimu kurang dari
6 bulan, karena itu anak ini bukan anakku.”22
21
Shafiyurihman Al-Mabaruk Furi, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Bogor : Pustaka Ibnu
Kasir, 2006, hlm. 317-318 22
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Basrie Press, 199, hlm
100-101
90
Menurut Imam Hanafi: Isterinya itu yang benar, dan yang
diberlakukan adalah ucapanya tanpa harus disumpah lebih dulu.
Menurut Imamiyah: Kalau ada fakta dan petunjuk-petunjuk yang
mendukung ucapan isteri atau suami, maka yang diberlakukan adalah
pendapat pihak yang mempunyai bukti atau petunjuk tersebut. Tetapi
apabila tidak ada petunjuk-petunjuk yang ditemukan sehingga
persoalannya menjadi tidak jelas, maka hakim memenangkan ucapan si
isteri sesudah disumpah dulu bahwa suaminya telah mencampurinya sejak
6 bulan yang lalu, lalu anak tersebut dinyatakan sebagai anak sah
suaminya itu23
.
Sedangkan batas maksimal usia kandungan menurut pendapat Ulama:
Abu Hanifah berpendapat: Batas maksimal kehamilan adalah 2
tahun, berdasar hadis A‟isyah yang menayatakan bahwa, kehamilan
seorang wanita tidak melebihi 2 tahun.
Imam Malik, Syafi‟i dan Hambali: Masa kehamilan maksimal
seorang wanita adalah empat tahun. Para Ulama Madzhab (Malik, Syafi‟i
dan Hambali) ini menyandarkan pendapatnya pada riwayat bahwa isteri
„Ajlan hamil selama empat tahun. Anehnya isteri anaknya, Muhammad
juga hamil selama empat tahun. Bahkan semua wanita suku „Ajlan hamil
selama empat tahun pula.24
23
Ibid hlm 102 24
Abdurahman Al Jaziri, Al- Fiqh „Al Madzahi Al „arbaah, Juz VII, Maktabah At
Tajirriyah Al Kubro, Mesir, t,th, hlm 523
91
„Ibad bin „Awan mengatakan: batas maksimal kehamilan adalah
lima tahun, sedangkan Al-zuhri mengatakan tujuh tahun, dan Abu Ubaid
menyatakan bahwa, kehamilan itu tidak mempunyai batas maksimal.
Para Ulama Madzhab Imamiyah berbeda pendapat tentang batas
maksimal usia kehamilan. Mayoritas mereka berpendapat bahwa, batas
maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Yang lain mengatakan
sepuluh bulan, dan yang lain mengatakan satu tahun penuh. Teapi mereka
seluruhnya sepakat, bahwa batas maksimal usia kehamilan itu tidak boleh
lebih dari satu jam dari satu tahun.
Oleh karena itu apabila bayi lahir kurang dari 6 (enam) bulan
menurut fiqih dengan berpedoman pada Al-qur‟an Surat Al-Ahqof ayat 15
da Surat Lukman ayat 14 yang menjadi kesepakatan para Imam Mazhab,
maka tidak bisa di hubungkan kekerabatanya kepada bapaknya, walaupun
dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab
kepada ibu dan keluarga ibunya saja.
Jika dianalisis pandangan fiqih yang berkenaan dengan anak sah
ini dapatlah dipahami bahwa anak sah, dimulai sejak terjadinya
pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita
calon ibu dan pembuahan ini haruslah terjadi dalam perkawinan yang sah,
dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan.25
Dengan demikian hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak
supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu
25
Mustafa Rahman, Anak Luar Nikah, Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja,
2003 hlm 45
92
harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di
dalam tenggang masa „iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah
perkawinan terputus.
Jadi, apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan sejak masa
perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat di hubungkan kekerabatanya
dengan bapaknya walaupun lahir dari dalam ikatan perkawinan yang sah.
Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibuya,26
sedangakan dalam
Undang undang perkawinan No 1 tahun 1974 Pasal 42 dan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 99 (a) dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa anak
sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dasar hukum yang digunakan
dalam penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang 6 bulan
KUA Kec. Ngalian adalah dasar hukum fiqih.
Dengan ketentuan seperti ini menurut penulis akan berimplikasi
pada status anak tersebut. Di satu sisi anak tersebut diakui oleh Negara
sebagai anak sah, Karena dalam menentukan asal usul anak menggunakan
Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam dan anak tersebut mempunyai akta kelahiran yang sah.
Ketentuan Akta Kelahiran di atur dalam pasal 103 Kompilasi
Hukum Islam dan UUP Nomor 1 Tahun 1974 pasal 55, selanjutnya akan di
kutip di bawah:
1. “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran atau alat bukti lainya.”
26
Aminudin Nuruddin dan azhari tarigan OP cit hlm 280
93
2. “Bila akta kelahiran atau bukti lainnya tersebut dalam ayat (1)
tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan
asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang sah.”
3. “Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak
yang bersangkutan.”27
Di sini sangat jelas sekali asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran, di KUA Kec. Ngaliyan akta kelahiran
tidak difungsikan sebagai pembuktian asal-usul anak, karena pembuktian
asal usul anak menggunakan dasar Fiqih. Jadi walupun anak tersebut
mempunyai akta kelahiran yang sah, anak tersebut tetap tidak bisa
menikah dengan wali nasab tetapi menggunakan wali hakim. karena di
KUA Kec Ngaliyan dalam perhitungan anak sah menggunakan dasar fiqih.
Dengan mengunakan ketentuan semacam ini menurut penulis
akan menimbulkan permasalah di kemudian hari, tentang kejelasan status
anak tersebut dan juga permasalahan waris anak perempuan tersebut
karena terdapat standar ganda dalam penentuan asal-usul anak yaitu
menggunakan Undang-Undang Perkawinan dan fiqih munakahat.
Di dalam Undang undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
pasal 42, dan di dalam kompilasi hukum Islam pasal 99 (a) disebutkan
bahwa:
“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat dari
perkawinan yang sah.”
27
Departemen Agama RI Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit,. hlm 52
94
Di sini sangat jelas bahwa menurut Undang-undang perkawinan
maupun Kompilasi Hukum Islam, apabila ada anak perempuan yang lahir
kurang dari 6 bulan, maka menggunakan wali nasab, karena di dalam
Undang- undang perkawinan dan kompilasi tidak ada batasan minimal
tentang usia kandungan.
Oleh karena itu menurut penulis seharusnya Kantor Urusan
Agama sebagai lembaga pencatat pernikahan di bawah Kementerian
Agama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. dalam
melaksanakan tugasnya, seharunya berpedoman pada perundang undangan
yang berlaku yaitu pada Kompilasi Hukum Islam dan juga Undang-undang
perkawinan Nomor 1Tahun 1974.
Menurut Bapak Drs. Kadi Sasrowirjono sebagai Konsultan BP4
Pusat beliau menyatakan sebaiknya dihindari mengambil suatu masalah
yang sudah ada ketentuanya dalam peraturan perundang undangan yang
berlaku, menetapkan seorang ayah tidak bisa menikahkan anak
perempuanya mempunyai akibat hukum yang sangat jauh dan akan
menimbulkan permasalahan, seperti meniadakan hubungan hukum antara
ayah dan anak dan juga masalah waris bagi anak tersebut28
.
karena seharusnya yang dipakai adalah hukum yang sesuai
kebutuhan dari masyarakat dan memberikan kemaslahatan kepada
masyarakat itu sendiri.
28
Drs. Kadi Sasrowirjono, Perkawinan & Keluarga, Majalah Bulanan BP4 Edisi No
451/XXXVII/2010, hlm 26-27
95
Karena setelah penulis mengadakan penelitian respon dan
pendapat dari para pihak yang terkait dengan adanya ketentuan ini para
pihak merasa keberatan, baik dari pihak wali itu sendiri dan anak
perempuanya, dari pihak wali menginginkan menjadi wali karena
kebangaaan tersendiri bisa menikahkan anak perempuanya dan dari pihak
mempelai perempunaan pun menginginkan yang menjadi wali adalah
bapakanya sendiri, dan karena keterbatasan pengetahuan mereka dalam
masalah perwalian maka mereka meneyerahakan permasalahan tersebut
sepenuhnya kepada pihak P3N setempat dan dari pihak KUA.
Di sini tampaknya UUP dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
berkenanaan dalam asal usul anak melakukan sebuah inovasi hukum dan
mencoba memberikan solusi kepada kebutuhan masyarakat. oleh karena
itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap
persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prisip dasarnya,29
yaitu secara
metodologis dengan menggunakan mashlahah mursalah.
Maslahah mursalah menurut para ahli Ushul fiqih ialah: suatu
kemaslahatan dimana syar‟i tidak mensyariatkan suatu hukum merealisir
kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuanya
atau pembatalanya, bahwasanya pembentukan hukum tidaklah
dimaksudkan kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan orang banyak.30
29
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di indonesia dan
Relevansinya bagi pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: Raja grafindo Persda, 2006 hlm 23 30
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang (Toha Putra
Grup), 1994 hlm 116
96
Di dalam usul fiqih mashlahah mursalah digunakan oleh para
sebagian mujtahid untuk merealisasikan kemaslahatan dan kebutuhan umat
manusia, kebutuhan umat manusia selalu berkembang, yang tidak mungkin
semuanya dirinci dalam Al- Qur‟an dan sunnah Rasul. Namun secara
umum syariat Islam telah memberi petunjuk, Bahwa tujuanya adalah untuk
memenuhi kebutuhan umat manusia.31
Pensyariatan suatu hukum terkadang mendatangkan manfaat.
Kemanfaatan pada suatu masa dan pada masa yang lain ia mendatangkan
mudharat, pada saat yang sama, kadang kala suatu hukum mendatangkan
manfaat dalam suatu lingkungan tertentu, namun ia justru mendatangkan
mudharat dalam lingkungan yang lain.32
Oleh sebab itu apa-apa yang
dianggap mashlahah, selama tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan
sunah Rasul, sah dijadikan landasan hukum.33
Jadi di sini yang di
pertimbangkan adalah kemaslahatan anak tersebut.
Karena Hukum islam sangat memperhatikan kemaslahatan dan
perlindungan terhadap anak yang lahir secara sah, demikian juga terhadap
anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dan patut diberi perlindungan
karena semua anak yang baru dilahirkan suci dan tidak mempunyai dosa,
yang berdosa adalah kedua orang tuanya.34
31
Satria Efendi dan M. Zein, Ushul Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2005 hlm 151 32
Abdul Wahab Khallaf OP cit hlm 116 33
Satria Efendi dan M. Zein, OP cit hlm 151 34
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media Grup, 2008, hlm 80
97
jadi anak tersebut seharusnya tidak menangung kesalahan yang
dilakukan oleh kedua orang tuanya di masa lalu karena apabila
menggunakan dasar hukum fiqih, maka anak tersebut akan menanggung
akibatnya baik dari status anak tersebut dan juga masalah kewarisan. Dari
segi status anak tersebut mempunyai status ganda yang pertama status
anak sah, karena mempunyai akta kelahiran yang sah, yang kedua anak
tidak sah karena pada saat menikah, menggunakan wali hakim.
Sedangkan dalam masalah kewarisan anak tersebut tidak bisa
mewarisi dari garis ayahnya karena anak tersebut dinyatakan anak tidak
sah, karena kelahirannya kurang dari 6 bulan.
Jadi menurut penulis sebaiknya Kantor Urusan Agama,
menghindari mengambil suatu masalah yang sudah ada ketentuanya dalam
peraturan perundang undangan yang berlaku, seharusnya Kantor Urusan
Agama (KUA) sebagai lembaga pencatat perkawinan dibawah
Kementerian Agama dalam menjalankan tugas tugasnya harus
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dan seharusnya dasar Hukum yang digunakan oleh KUA Kec.
Ngaliyan dalam penetuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang 6
bulan, harus menggunakan Undang-undang yang berlaku. yaitu Undang-
undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam sebagai landasan
dalam menjalankan tugas tugasnya.
98
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan beberapa bab diatas, maka selanjutnya penulis
akan memberikan kesimpulan sebagai jawaban tentang permasalahan
penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA
Kec Ngaliyan. Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari apa yang telah
penulis paparkan di atas adalah sebagai berikut :
1. Di KUA Kec Ngaliyan praktek Pelaksanaaan penentuan wali nikah bagi
perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, yaitu dengan cara memeriksa
akta kelahiran calon mempelai wanita dengan buku nikah orangtuanya,
kemudian dihitung untuk mengetahui asal usul anak tersebut, apabila
kemudian di ketahui kelahiranya kurang dari 6 bulan, maka pernikahannya
tidak bisa menggunakan wali nasab. Karena anak tersebut hanya
mempunyai nasab dengan ibunya saja, dan apabila akan melaksanakan
pernikahankah harus menggunakan wali hakim, apabila dari pihak wali
merasa keberatan dengan ketetentuan ini, maka mereka disuruh
menikahkan anaknya sendiri, dan dari pihak KUA hanya mencatat saja,
karena di KUA Kec. Ngaliyan menggunakan dasar fiqih munakahat
sebagai acuan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penentuan wali nikah
bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA Kec. Ngaliyan
99
Tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, karena tidak ada Undang
undang yang mengatur tentang penentuan wali nikah bagi perempuan yang
akan menikah dan kelahiranya kurang dari 6 bulan. Dan sampai saat ini
Kementerian Agama juga belum memberikan petujuk tentang masalah
penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Asal-
usal anak sudah diatur dalam pasal 42 Undang-undang perkawinan No 1
tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa
anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah. Ketentuan demikian juga terdapat dalam pasal 99 (a). Kompilasi
Hukum Islam.
2. Dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kec. Ngaliyan dalam pelaksanaan
penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan,
adalah menggunakan dasar hukum fiqih munakahat yang mengambil dasar
hukum dari Kitab Al-Muhadzdzab Juz II Halaman 130. Dengan
menggunakan ketentuan fiqih KUA Kec. Ngaliyan telah melanggar
Undang-undang yaitu Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam, karena didalam kedua Undang-undang tersebut
sudah diatur tentang asal usul anak, dan seharusnya KUA Kec. Ngaliyan
sebagai lembaga Negara di bawah Kementerian Agama. Yang tugas
pokonya mencatat perkawinan dalam menjalankan tugas tugasnya harus
berpedoman kepada peraturan perundang-undngan yang berlaku.
100
B. SARAN-SARAN
Adapun saran dari penulis ialah:
1. Kepada Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Ngaliyan dalam menjalankan
tugas-tugasnya, seharusnya berpedoman kepada perudang-undangan yang
berlaku. Agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari dan
sebaikanya dihindari mengambil suatu masalah yang sudah ada
ketentuanya dalam peraturan perundang undangan yang berlaku, karena
seharusnya yang dipakai adalah perundang undangan yang berlaku. yaitu
Undang undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
2. Kepada Pemerintah. Khusunya Kementerian Agama pusat yang
membawahi Kantor Urusan Agama, agar memberikan peraturan dan
petunjuk yang tegas dan khusus tentang pelaksanaan penentuan wali nikah
bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan. Agar dapat dilaksanakan
oleh Kantor Urusan agama dan mensosialisaikan kepada Kantor Urusan
Agama di seluruh Indoneseia. Dan dalam menjalankankan tugasnya
Kantor Urusan Agama harus berpedoman kepada peraturan perundang
undangan yang berlaku. Dan memberikan sanksi yang tegas kepada KUA
apabila dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak berpedoman kepada
perundang-undangan yang berlaku.
101
C. PENUTUP
Syukur alhamdulillah kepada Allah SWT. penulis ucapkan sebagai
ungkapan rasa syukur karena telah menyelesaikan skripsi ini. Meskipun telah
berupaya secara optimal, penulis meyakini masih ada kekurangan dan
kelemahan dalam skripsi ini dari berbagai sisi. Walaupun demikian penulis
berdo’a dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya
dan para pembaca pada umumnya dan semoga skripsi ini dapat menambah
ilmu pengetahuan kita.
Atas saran dan kritik yang konstruktif untuk kebaikan dan kesempurnaan
tulisan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis.
Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR BUKU
Abidin-Slamet, Aminudin Fiqih munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Al Jaziri, Abdurahman, Al- Fiqh ‘Al Madzahi Al ‘arbaah, Juz VII, Maktabah At
Tajirriyah Al Kubro, Mesir, t,th.
As Saerozi, Abi Ishak, Al Muhazzab, Juz II, Dar Al Fikr, t.th.
Al-Mabaruk Furi, Shafiyurihman, Shahih Tafsir Ibun Kasir, Bogor: Pustaka Ibnu
Kasir, 2006
Al-Sa’any, Subul Al-Salam Juz II, Jilid II, Kairo : Dari ihya, Al-Turas, Al-Araby,
1379H/1960M
Amin, Summa Muhammad, Hukum Keluarga Islam di dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004
Amirudin- Asikin Zaenal Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004
Arikunto, Suharsimi , Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta:
Rineka Cipta, 1999
Ashofa, Burhan, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Batara Munti Ratna dan Hindun anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di
Indonesia, yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2005
Bisri, Mustofa, Pedoman Menulis Proposal Penelitian Skripsi dan Tesis, yogyakarta
, panji pustaka, 2009
Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002
Departeman Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Proyek
peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakata: 2003,
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahanya, Lajnah pentshih Al- qur’an,
Depok: cahaya Al-qur”an, 2008
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008
Hasan, Ali M, Masail Fiqhiyah al-Hadistah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995
Efendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqih, Jakarta: Prenada Media, 2005
Imron, Ali, Kedudukan Wanita Dalam Hukum Keluarga (Perspektif Al-qur’an
melalui pendekatan Ilmu Tafsir) Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2007
Junaidi, Dedy, Bimbingan Perkawinan, Jakarta : Akademi Pressindo, 2003
Kemantrian Agama RI, Profil Kantor Urusan Agama, Teladan Se- Indoneisa,
Jakarta: Badan litbang dan Diklat Kemantrian Agama, 2007
Khallaf, Abdul Wahab , Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang (Toha
Putra Grup), 1994
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Prenada Media Grup, 2008
Mugniyah, jawad muhammad, fiqih lima madzhab, Jakarta: Basrie prees, 1994
Nuruddin, Amiur dan Azhari, Akmal, Tarigan Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006
Profil KUA Kec. Ngaliyan, Di susun oleh Kepala KUA Kec Ngalian dalam rangka
lomba KUA percontohan tahun 2009
Rachman, Fatur, Ilmu Waris, Bandung: PT Al-maarif, 1981
Rahman, Mustafa, Anak Luar Nikah, Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta:
Atmaja, 2003
Ramulyo, Idris M, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Peradilan
Agama, dan zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo persada, 1995.
Rofiq, Ahmad, pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Gama Media,
2001
Saebani, Beni Ahmad ,Metode Penelitian Hukum, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2008
Syamsu, Andi Alam-M. Fauzan, Hukum pengankatan anak perspektif islam,
Jakarta: Pena Media, 2008,
Syaukani, Imam, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam di indonesia dan
Relevansinya bagi pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: Raja grafindo
Persada, 2006
Zainudin, Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Zhuaili, Wahbah, Al fiqh Al Islami wa Adillatuh, Juz IX, Dar Al Fikr, 1997
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
_______,Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia, Surabaya : Arkola, 2005
_______,Kompilasi Hukum Islam (KHI), Departemaen Agama RI, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan agama Islam, Jakarta : 2003
_______,Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 Tahun 1987, Tentang Wali
Hakim Proyek peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakata: 2003
_______,Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007
Tentang Pencatatan Nikah, Seksi Urusan Agama Islam Departeman Agama
Republik Indonesia Tahun 2007.
DAFTAR JURNAL
Sasrowirjono, Kadi, Perkawinan & Keluarga, Majalah Bulanan BP4 Edisi No
451/XXXVII/2010, Badan Penasehat, Pembinaan dan pelestarian Perkawinan
(BP4) Pusat.
DAFTAR WAWANCARA
Wawancara dengan Bapak Drs. H. Fadlan Yazidi (Kepala KUA Kec. Ngaliyan)
pada hari selasa tanggal 25 januari 2011
Wawancara dengan Bapak Slamet pada hari rabu 26 januari 2011
Wawancara dengan Bapak Darsono pada hari sabtu tanggal 29 januari 2011
Wawancara dengan Bapak Kasiono pada hari senin tanggal 31 januari 2011
Wawancara dengan Bapak Barmawi pada hari selasa Tanggal 8 februari 2011
Wawancara dengan Saudari Anggi Mayangsari anak dari Bapak darsono pada hari
sabtu tanggal 29 januari2011
Wawncara dengan Saudari Enik Susanti anak dari Bapak Slamet pada hari kamis
Tanggal 26 januari 2011
Wawancara dengan Saudari Uswatun Hasanah anak dari Bapak Barmawi pada hari
selasa 8 februari 2011
Wawancara dengan Bapak H. Hawari P3N dari Keluran, Purwoyoso pada hari rabu
Tanggal 2 januari 2011
Wawancara dengan Bapak Abdul Qodir P3N dari Kelurahan tambak Aji pada hari
jum’at tanggal 27 januari 2011
Wawancara dengan bapak Ahmad Munaji P3N dari Kelurahan Beringin, pada hari
ahad, 13 Februari 2011 jam 17:00 di rumahnya.
Wawancara dengan Bapak KH. Muslihun salah satu tokoh masyarakat di kelurahan
Wonosari, pada hari senin 14 februari 2011
Wawancara dengan Bapak KH. Mas’ud salah satu tokoh masyarakat di kelurahan
Purwoso, pada hari Ahad Tanggal 13 Februari 2011
Wawancara dengan Bapak KH. Abdul Djalil salah satu tokoh masyarakat di
kelurahan Tambak Aji, pada hari Kamis tanggal 17 februari 2011
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Dedy Roehan Asfia
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Blitar, 17 Januari 1987
Agama : Islam
Alamat Asal : Desa Kupu Rt 02/04 Kec. Wanasari Kab. Brebes.
Alamat Sekarang : PP. Daarun Najaah Jl. Stasiun No. 275 Jerakah Tugu
Semarang
Warga Negara : Indonesia
Telepon : 085290752562
Pendidikan Formal : - MI Iksaniyah Kupu Wanasari Brebes lulus tahun
1999
- SLTPN 04 Wanasari Brebes lulus Tahun 2002
- SMA Diponegoro Dukuh Lo Lebaksiu Tegal lulus
Tahun 2006
- IAIN Walisongo Semarang Fakultas Syari’ah Lulus
Tahun 2011
Pendidikan Non Formal : - PP. Daarul Khair Babakan Lebaksiu Tegal (2003-
2006)
- PP. Daarun Najaah Jerakah Tugu Semarang (2007 –
sekarang)
Demikian riwayat pendidikan ini di buat dengan sebenar benarnya untuk menjadi
maklum dan diperiksa adanya.
Semarang, 12 Mei 2011
Dedy Roehan Asfia
Nim : 062111030