analisis substansi dan implementasi kebijakan … filepersoalan kemiskinan masyarakat desa hutan dan...

18
ANALISIS SUBSTANSI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN DESA DI KABUPATEN KUTAI BARAT DAN KUTAI TIMUR Suprianto 1 , Mustofa Agung Sardjono 2 dan Soeyitno Soedirman 3 1 GIZ Forclime Samarinda. 2 Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan Unmul, Samarinda. 3 Dewan Kehutanan Daerah Kaltim, Samarinda ABSTRACT. Analysis of Substance and Implementation of Village Forest Management Policy in West Kutai and East Kutai Districts. Village Forest was seen as a very appropriate approach to overcome the problem of Community Based Forest Management (CBFM) with some reasons such as : 1) The institution involves many people/communities/villages; 2) A clear social entities unlike customary claims; 3) Can be compensated as customary claims. Therefore the opportunities and challenges need to be identified in the implementation of Village Forest and technical synthesis in order to accelerate the implementation legality of Village Forest scheme as the alternative solutions and strategies to solve the problems so that any expectations of the Village Forest existence can be realized. Slow development of the Village Forest implementation was indicated not only from the lack realization of establishment but also from the absence of implementation regulation both from local regulation and the regulation from the Head of Province/District Office, from the observation in East Kalimantan in two districts, West Kutai and East Kutai District. Although at West Kutai District and East Kutai District were found some initiatives of Village Forest, yet it was more into program/project base activities that was not or has not received policy support (such as master plan or strategic plan) moreover the local regulation so to speak, the future development of Village Forest in district level remains. Kata kunci: hutan desa, isu strategis, Kutai Barat, Kutai Timur Orientasi sosial atau kemasyarakatan kebijakan kehutanan khususnya di luar pulau Jawa sudah dimulai sejak dekade tahun 1991 dengan dikeluarkannya kebijakan tentang Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pada awalnya PMDH disebut sebagai Bina Desa Hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 691/1991 sebagai upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan yang diperbaiki melalui SK Menteri Kehutanan no. 69/1995 jo SK Menhut No. 523/1997 (Sardjono, 2004 a ). Bahkan tahun 1995 diterbitkan kebijakan mengenai Hutan Kemasyarakatan/HKm (SK Menhut No. 622 Tahun 1995) yang juga dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat sesuai dengan fungsi pokok hutannya (Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang tidak dibebani hak). Kebijakan HKm ini hingga sekarang masih diberlakukan, bahkan terus mengalami pembaruan-pembaruan dalam pelaksanaannya. Tetapi banyak pihak menyepakati bahwa orientasi kemasyarakatan semakin mewarnai kebijakan kehutanan sejak reformasi politik tahun 1998 dan diterbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, karena sejak saat itu berbagai skema pengelolaan hutan berbasis 80

Upload: phamhanh

Post on 30-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS SUBSTANSI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PENGELOLAAN HUTAN DESA DI KABUPATEN

KUTAI BARAT DAN KUTAI TIMUR

Suprianto1, Mustofa Agung Sardjono

2 dan Soeyitno Soedirman

3 1GIZ Forclime Samarinda.

2Laboratorium Politik, Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fahutan

Unmul, Samarinda. 3 Dewan Kehutanan Daerah Kaltim, Samarinda

ABSTRACT. Analysis of Substance and Implementation of Village

Forest Management Policy in West Kutai and East Kutai Districts. Village Forest was seen as a very appropriate approach to overcome the problem

of Community Based Forest Management (CBFM) with some reasons such as :

1) The institution involves many people/communities/villages; 2) A clear social

entities unlike customary claims; 3) Can be compensated as customary claims.

Therefore the opportunities and challenges need to be identified in the

implementation of Village Forest and technical synthesis in order to accelerate

the implementation legality of Village Forest scheme as the alternative solutions

and strategies to solve the problems so that any expectations of the Village

Forest existence can be realized. Slow development of the Village Forest

implementation was indicated not only from the lack realization of establishment

but also from the absence of implementation regulation both from local regulation

and the regulation from the Head of Province/District Office, from the

observation in East Kalimantan in two districts, West Kutai and East Kutai

District. Although at West Kutai District and East Kutai District were found some

initiatives of Village Forest, yet it was more into program/project base activities

that was not or has not received policy support (such as master plan or strategic

plan) moreover the local regulation so to speak, the future development of Village

Forest in district level remains.

Kata kunci: hutan desa, isu strategis, Kutai Barat, Kutai Timur

Orientasi sosial atau kemasyarakatan kebijakan kehutanan khususnya di luar

pulau Jawa sudah dimulai sejak dekade tahun 1991 dengan dikeluarkannya

kebijakan tentang Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pada awalnya

PMDH disebut sebagai Bina Desa Hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.

691/1991 sebagai upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat

yang berada di dalam dan di sekitar hutan yang diperbaiki melalui SK Menteri

Kehutanan no. 69/1995 jo SK Menhut No. 523/1997 (Sardjono, 2004a).

Bahkan tahun 1995 diterbitkan kebijakan mengenai Hutan

Kemasyarakatan/HKm (SK Menhut No. 622 Tahun 1995) yang juga dimaksudkan

untuk pemberdayaan masyarakat sesuai dengan fungsi pokok hutannya (Hutan

Lindung dan Hutan Produksi yang tidak dibebani hak). Kebijakan HKm ini hingga

sekarang masih diberlakukan, bahkan terus mengalami pembaruan-pembaruan

dalam pelaksanaannya. Tetapi banyak pihak menyepakati bahwa orientasi

kemasyarakatan semakin mewarnai kebijakan kehutanan sejak reformasi politik

tahun 1998 dan diterbitnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, karena sejak saat itu berbagai skema pengelolaan hutan berbasis

80

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 81

masyarakat mulai dikembangkan atau diperkuat. Selain HKm, juga diterbitkan

tentang Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Desa (HD), sementara hutan adat

yang juga diamanahkan dalam Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999

meskipun sudah diwacanakan sejak tahun 2003 tetapi hingga saat ini kebijakan

definitifnya belum ada (Sardjono, 2004b; 2011; Sardjono dan Inoue, 2007; Silalahi

dan Santosa, 2011).

Saat ini dinamika community forestry kembali bangkit menggeliat dengan

terbitnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No. 3

tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Serta

Pemanfaatan Hutan, salah satu skemanya adalah Hutan Desa yang kemudian secara

khusus tertuang dalam Permenhut P.49/Menhut-II/2008 jo P.14/Menhut-II/2010

tentang Hutan Desa yang diharapkan menjadi salah satu alternatif solusi terhadap

persoalan kemiskinan masyarakat desa hutan dan kerusakan sumberdaya hutan

(Anonim, 2008a). Berkaitan dengan Hutan Desa, meskipun kebijakan atau peraturan

baru dikeluarkan tahun 2008 dan kemudian direvisi tahun 2010. Tetapi banyak

inisiatif yang sudah dikembangkan di beberapa daerah, contohnya inisiatif yang

dikembangkan Yayasan Damar di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta,

dengan latar belakang minimnya pendapatan asli warga desa. Hutan Desa juga

dikembangkan oleh Perum Perhutani, bersamaan dengan digulirkannya program

PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), Perum Perhutani merumuskan

apa yang dinamakannya sebagai “wengkon”.

Hutan Desa dipandang sebagai pendekatan sangat jitu untuk mengatasi

persoalan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dengan beberapa alasan

yaitu: 1) Bentuknya yang melibatkan banyak orang/komunitas/desa; 2) Entitas sosial

jelas dan tidak seperti klaim adat dan 3) Kemungkinan dapat digunakan sebagai

konpensasi klaim Hutan Adat. Oleh karenanya dalam konteks Kalimantan Timur

yang selama ini dikenal sebagai barometer kehutanan nasional perlu

mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam implementasi Hutan Desa. Di

samping itu perlu dilakukan sintesis teknis dalam rangka mempercepat legalitas

implementasi skema Hutan Desa sehingga dapat memberikan alternatif solusi dan

strategi yang dapat tepat menjawab persoalan-persoalan yang ditemukan agar

harapan-harapan terhadap keberadaan Hutan Desa dapat terwujud. Dalam konteks

Hutan Desa di Kaltim, wilayah desanya masih banyak dipengaruhi adat/tradisi.

Terdapat banyak batas desa yang koordinatnya belum jelas dan dapat dikatakan

hampir seluruh kawasan hutan terbagi habis oleh IUPHHK-HA dan IUPHHK-HTI.

Di sisi lain juga ada ancaman dari ekspansi sektor pertambangan batu bara dan

perkebunan sawit, sehingga belum dirumuskan sintesis teknis dalam proses

percepatan perizinan berdasarkan potensi dan tanggapan masing-masing pemerintah

daerah (identifikasi komitmen percepatan dalam pemetaan lokasi, fasilitas

kelembagaan, fasilitas aturan dan proses perizinan dan pendampingan implementasi

kegiatan) (Wiyono dan Santoso, 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian antara

substansi kebijakan Hutan Desa dan kondisi aktual lokal; mengidentifikasi aspek-

aspek internal dan eksternal masyarakat dalam rangka implementasi Hutan Desa dan

memformulasikan alternatif-alternatif strategi implementasi Hutan Desa.

82 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Timur

Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian memakan waktu selama 6 bulan dari bulan

April sampai dengan September 2011. Untuk kajian kebijakan dititikberatkan

kepada pengambilan data di salah satu desa pada masing-masing kabupaten tersebut.

Sebagai lokasi penelitian di Kabupaten Kutai Barat dipilih Kampung Temula,

Kecamatan Nyuatan, sementara di Kabupaten Kutai Timur dipilih Desa Mekar Baru,

Kecamatan Busang, di mana masing-masing desa/kampung tersebut memiliki

karakteristik masing-masing. Metode penelitian bersifat eksploratif dengan

mengkombinasikan metode telaah dokumentasi dari berbagai sumber data sekunder

dan metode langsung yaitu pengumpulan data primer di lapangan dengan teknik

wawancara diskusi kelompok terfokus (FGD) dan observasi lapangan.

Untuk tujuan penelitian pertama dilakukan dengan kombinasi ’Analisis Isi’

(Content Analysis) terhadap substansi peraturan perundangan terkait Hutan Desa

dan ‘Analisis Kesenjangan’ (Gap Analysis) dengan identifikasi antara kondisi

seharusnya ‘das sollen’ (sesuai substansi kebijakan) dan kenyataan ‘das sein’ (realita

lapangan) dalam implementasi Hutan Desa. Untuk tujuan penelitian kedua dilakukan

dengan analisis deskriftif kualitatif dengan mengidentifikasi dan

menginterpretasikan data dan informasi dari informan serta pengamatan lapangan

dalam bentuk naratif. Untuk tujuan penelitian ketiga digunakan tahapan Analisis

Kekepan (Kekuatan = Strengths; Kelemahan = Weaknesses; Peluang =

Opportunities dan Ancaman = Threats/SWOT) yang bersifat kualitatif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Substansi Peraturan Kebijakan Hutan Dan Implikasi Para Pihak

Geliat dan kejelasan Hutan Desa semakin tampak ketika pemerintah

mengeluarkan PP No. 06/2007 Jo No. 03/2008. Dalam peraturan ini disebutkan

bahwa ada tiga skema pola pemberdayaan masyarakat sekitar yang dapat dilakukan,

yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan Pola Kemitraan. Mengacu pada PP

No. 06/2007, Hutan Desa ditafsirkan sebagai kawasan hutan negara yang belum

dibebani hak atau izin, dikelola oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa.

Hutan Desa bisa diberikan pada semua kawasan kecuali Cagar Alam dan zona inti

Taman Nasional. Subjek memegang ijin pengelolaan selama kurun waktu tertentu.

Kini, PP No. 06/2007 diterjemahkan dalam format kebijakan berupa Permenhut

P.49/2008 tentang Hutan Desa (Wiyono dan Santoso, 2009). Walaupun demikian

dalam peraturan-peraturan berikutnya secara lebih jauh ditegaskan bahwa Hutan

Desa hanya dimungkinkan pada Hutan Produksi (yang tidak dibebani hak) dan

Hutan Lindung saja.

Beberapa kebijakan yang menjadi pedoman pelaksanaan Hutan Desa yaitu:

a. Permenhut No. P.49/Menhut–II/2008 Jo. No. P.14/Menhut–II/2010 tentang

Hutan Desa.

b. Perdirjen No. P.11/V-SET/2010 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Hutan Desa

c. Perdirjen RLPS No. P.01/V-SET/2010 Tentang Pedoman Identifikasi dan

Inventarisasi Areal Kerja HKm/HD.

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 83

d. Perdirjen Planologi Kehutanan No. P.05/VII-WP3H/2010 tanggal 30 November

2010 tentang Petunjuk Teknis Pemetaan Pencadangan Hutan Tanaman Rakyat,

Penetapan HKm dan Hutan Desa.

Permenhut No. P.49/Menhut–II/ 2008 Jo. No. P.14/Menhut – II/2010 tentang

Hutan Desa secara ringkas dapat disebutkan butir-butirnya sebagai berikut:

a. Hutan Desa ditetapkan oleh Menteri Kehutanan di Hutan Lindung atau Hutan

Produksi atas usulan Bupati/Walikota berdasarkan permohonan Kepala Desa

(Pasal 5, Pasal 6, Pasal 13 Ayat 1).

b. Hak Pengelolaan Hutan Desa diberikan kepada Lembaga Desa yang dibentuk

oleh masyarakat desa melalui Peraturan Desa (Pasal 12 Ayat 13).

c. Hak Pengelolaan Hutan Desa bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan

hutan, tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan serta dilarang

memindahtangankan atau mengagunkan (Pasal 11 Ayat 1).

d. Hak Pengelolaan Hutan Desa dilarang digunakan untuk kepentingan lain di luar

rencana pengelolaan hutan dan harus dikelola berdasarkan kaedah-kaedah

pengelolaan hutan lestari. (Pasal 11 Ayat 2).

e. Pengelolaan Hutan Desa meliputi kegiatan tata areal, penyusunan rencana

pengelolaan, pemanfaatan, rehabilitasi dan perlindungan hutan (Pasal 34 Ayat 1).

f. Pada Hutan Produksi, dapat dilakukan pemanfaatan kayu melalui Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang diberikan oleh Menteri Kehutanan (Pasal

18 ayat 2, ayat 3, Pasal 21, Pasal 23 butir b) (Anonim, 2008b).

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, Hutan Desa dapat diberikan pada Hutan

Lindung dan Hutan Produksi, utamanya pada areal yang belum dibebani hak

pengelolaan atau izin pemanfaatan. Hutan Desa diberikan pada wilayah administrasi

desa yang bersangkutan, dengan hak pengelolaan diberikan kepada lembaga desa

selama 35 tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan paling

lama setiap 5 tahun sekali. Pemanfaatan Hutan Desa pada Hutan Lindung dan Hutan

Produksi tergambar dalam Tabel 1.

Tabel 1. Identifikasi Pemanfaatan Hutan Desa

Pada kawasan Hutan Lindung Pada kawasan Hutan Produksi

1. Pemanfaatan kawasan melalui kegiatan usaha:

a. budidaya tanaman obat

b. budidaya tanaman hias

c. budidaya jamur

d. budidaya lebah

e. penangkaran satwa liar atau

f. budidaya hijauan pakan ternak

1. Pemanfaatan kawasan melalui kegiatan usaha:

a. budidaya tanaman obat

b. budidaya tanaman hias

c. budidaya jamur

d. budidaya lebah

e. penangkaran satwa

f. budidaya sarang burung wallet; atau

g. budidaya ternak

2. Pemanfaatan jasa lingkungan melalui kegiatan

usaha:

a. pemanfaatan jasa aliran air

b. pemanfaatan air

c. wisata alam

d. perlindungan keanekaragaman hayati

e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau

f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon

2. Pemanfaatan jasa lingkungan melalui kegiatan

usaha:

a. pemanfaatan jasa aliran air

b. pemanfaatan air

c. wisata alam

d. perlindungan keanekaragaman hayati

e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau

f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon

84 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan

Tabel 1 (lanjutan)

Pada kawasan Hutan Lindung Pada kawasan Hutan Produksi

3. Pemungutan hasil hutan bukan kayu melalui

kegiatan usaha pemanfaatan rotan, madu, getah,

buah, gaharu, bambu, jamur, atau sarang wallet

3. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu berupa

pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, getah,

kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu

Sumber: P.49/2010

Sebagai contoh pengelolaan Hutan Desa di Desa Lubuk Beringin

dimanfaatkan untuk perlindungan sumber air. Air di desa tersebut antara lain

berfungsi utamanya untuk pengairan persawahan, sumber tenaga listrik

(penerangan), sumber protein (ikan); lain halnya pengelolaan Hutan Desa di Desa

Campaga, Labbo, Pattanateang Kabupaten Bantaeng adalah perlindungan sumber air

dan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu/HHBK (tanaman obat, tanaman hias,

jamur dan lebah madu) (Anonim, 2011a). Ketentuan lain pemanfaatan Hutan Desa

sesui Anonim (2008b) adalah sebagai berikut:

a. Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi

setelah mendapat Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan dalam

pemanfaatannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang pemanfaatan hasil hutan pada hutan alam maupun hutan

tanaman (Pasal 31).

b. Pemungutan Hasil Hutan Kayu pada hutan produksi untuk kebutuhan subsisten

(masyarakat) dan tidak untuk dijual-belikan dibatasi paling banyak 50 m3 per

lembaga desa per tahun (Pasal 32).

c. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi kebutuhan subsisten

(masyarakat) dan tidak untuk dijual-belikan dibatasi paling banyak 20 ton untuk

setiap lembaga desa per tahun. Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan

produksi dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji, daun,

gaharu, kulit kayu, tanaman obat dan umbi-umbian (Pasal 33).

Mengacu pada Tabel 2 berikut ini, bila dipersentasekan dari tahapan

implementasi Hutan Desa maka dapat dikemukan ketidak-seimbangan akselerasi

antara verifikasi, proses penetapan, penetapan dan pengeluaran izin/hak kelola

Hutan Desa. Namun demikian kondisi tersebut tidak dapat digunakan untuk

menggeneralisasi semua proses yang ada atau hanya di beberapa desa dari beberapa

provinsi di Indonesia saja.

Tabel 2. Analisis Gap Capaian Hutan Desa di Indonesia

Target

(hingga 2014)

500.000 ha

Masuk verifikasi

(hingga 2011)

177.310,17 ha

Terverifikasi

(hingga 2011)

148.888 ha

Ditetapkan (hingga

2011) 28.422,00 ha

Penetapan HPHD

(hingga 2011)

10.310 ha

500.000 ha 35% 30% 6% 2%

- 177.310, 17 ha 84% 16% 5%

- - 148.888 ha 19% 6,9%

- - - 28.422,00 ha 36%

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 85

Hasil analisis menunjukkan, bahwa sebagian besar luas yang diusulkan hingga penetapan mengalami penyusutan luas yang signifikan hingga penetapannya, bila menilik target luas hingga penetapan areal kerja hanya 2% saja, hal ini jauh dari harapan yang sudah ditargetkan. Hal tersebut dapat diartikan pula bahwa areal clear and clean sebagai syarat utama dalam implementasi Hutan Desa ternyata sulit diperoleh. Berdasarkan hasil penelitian, konflik lahan dan sumberdaya memang sangat kompleks, ada di kawasan hutan, khususnya di luar Jawa (Wulan dkk., 2004).

B. Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Terkait Hutan Desa

Istilah Hutan Desa cukup baru dalam dunia kehutanan terlebih dalam implementasinya. Secara teknis, di Kalimantan Timur pun demikian. Hingga akhir 2010 sejak dua tahun P.49 tahun 2008 lahir, tidak satu pun ada areal Hutan Desa yang telah ditetapkan. Namun demikian, ada contoh Hutan Desa yang sudah mendapat areal kerja misalnya di Bali dan Jambi. Di Provinsi Bali, Hutan Desa berhasil karena memiliki aspek yang memperkuat dan mempercepat implementasi di antaranya aspek agama dan adat/budaya yang kuat. Sementara itu di Jambi proses pendampingan yang sudah dilakukan sejak lama yang dimulai tahun 1999 serta kepemimpinan dan tokoh sentral yang kuat di masyarakat yang mampu mengorganisir dan menggerakkan masyarakat merupakan modal keberhasilan yang penting (Mansoer, 2011).

Provinsi Kalimantan Timur dengan luas mencapai 198.441,17 km2 terdiri dari

14 kabupaten/kota dengan daratan seluas 19.695.875 ha dan laut 4 – 12 mil (2.102.721 ha). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 luas hutan Kaltim 14.651.553 ha yang terbagi atas Kawasan Konservasi seluas 2.165.198 ha (Hutan Cagar Alam 173.272 ha, Hutan Taman Nasional 1.930.076 ha, Hutan Wisata Alam 61.850 ha), Hutan Lindung seluas 2.751.702 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 4.612.965 ha dan Hutan Produksi Tetap seluas 5.121.688 ha.

Pada Tabel 3 terlihat sebaran desa-desa potensial dan potensi Hutan Desa berdasarkan luas Indikatif Areal Kerja Hutan Desa di Provinsi Kalimantan Timur ada 112.650 ha yang mengambarkan sebaran luas di beberapa kabupaten/kota di Kalimantan Timur, namun belum teridentikasi di mana lokasinya berada dan kondisi real di lapangan, sehingga luas tersebut masih perlu diverifikasi pada tingkat lapangan.

Tabel 3. Target Hutan Desa di Kalimantan Timur (Anonim, 2011c)

No Kabupaten/kota Luas (ha)

1 Balikpapan (Kota) 228 2 Berau 7.051 3 Bulungan 4.729 4 Kutai 12.489 5 Kutai Barat 13.412 6 Kutai Timur 12.576 7 Malinau 16.143 8 Nunukan 19.007 9 Pasir 24.216

10 Penajam Paser Utara 2.800

Jumlah 112.651

86 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan

Target pencadangan areal Hutan Desa di Kalimantan Timur hingga tahun 2011

adalah 20.000 ha (BPDAS Mahakam-Berau), dari sisi luas, hal ini sangat

memungkinkan karena dari data Kementerian Kehutanan peluang pengembangan

Hutan Desa Kalimantan Timur sangat besar yaitu terdapat 285 desa di kawasan

hutan lindung dan 628 desa di kawasan Hutan Produksi (Anonim, 2011d). Faktanya

hingga akhir 2011 belum ada satupun yang ditetapkan sebagai Hutan Desa. Tentu

hal ini menjadi tanda tanya, ada sesuatu yang menjadi penghambat sehingga dengan

potensi yang demikian besar namun dengan capaian penetapan areal kerja hutan

desa 0%.

Salah satu alasan yang dimungkinkan, bahwa dengan target capaian Hutan Desa

tersebut tidak dibarengi pendanaan secara khusus untuk upaya percepatan

implementasi Hutan Desa di Kalimantan Timur oleh Dinas Kehutanan Provinsi

Kaltim (sebagai leading sector dalam mendorong kegiatan-kegiatan sektor

kehutanan). Hal ini tampak dalam usulan kegiatan Rencana Kerja (Renja) tahun

2012 dengan total usulan Rp63,57 milyar dari APBD Provinsi Kaltim tidak terlihat

program yang berkaitan dengan Hutan Desa. Situasi yang ada ini merefleksikan

bahwa dalam implementasi Hutan Desa baik dalam proses pengajuan maupun

setelah usulan Hutan Desa ditetapkan yang terkait institusi penanggungjawab,

pendanaan, pendampingan dan kebijakan yang proaktif di Kaltim tidak cukup siap

atau kuat (Anonim, 2011b). Sebagai contoh perbandingan di Jambi yang sudah

memperoleh areal kerja Hutan Desa, proses pendampingan yang sudah dilakukan

sejak lama yang dimulai tahun 1999 dengan membangun karakter leadership dan

tokoh sentral yang kuat di masyarakat yang mampu mengorganisir dan

menggerakkan masyarakat merupakan modal keberhasilan yang penting (Warsi,

2011).

Namun demikian, hal yang menarik bahwa sebenarnya di Kalimantan Timur

terdapat sejumlah inisiatif pengelolaan hutan oleh masyarakat tradisional yang telah

dilakukan jauh sebelum kebijakan teknis yang mengatur tata cara penyelenggaran

Hutan Desa keluar. Ada pola-pola pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat

secara tradisional seperti tana’ ulen, lembo, simpunqk dan lain-lain. Misalnya tana’

ulen sebagai bentuk pengelolaan hutan alam yang sengaja dicadangkan, dilindungi

dan dikelola oleh masyarakat suku Dayak Kenyah. Secara histori praktik

pengelolaan tana’ ulen itu sendiri sudah diterapkan oleh masyarakat Kenyah selama

ratusan tahun dari generasi ke generasi. Meski pada perkembangannya banyak

mengalami perubahan dan kelonggaran dalam aturan pengelolaannya, namun hingga

kini secara defacto tana’ ulen masih dipertahankan oleh masyarakat Suku Dayak

Kenyah (Wijaya dan Aminuddin, 2001). Sangat disayangkan praktik tradisional

seperti ini meskipun banyak tetapi tidak bisa diakui sebagai Hutan Desa oleh

Pemerintah.

a) Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat

Kabupaten Kutai Barat dibentuk atas dasar Undang-undang Nomor 47 tahun

1999, dengan luas wilayah 3.162.870 ha, terdiri dari kawasan budidaya kehutanan

(KBK) seluas 2.194.785 ha dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK)

seluas 968.085 ha. Kabupaten ini merupakan daerah hulu dari DAS Mahakam yang

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 87

terbagi menjadi 21 kecamatan dan 223 kampung dengan jumlah penduduk

167.106 jiwa atau 45.023 KK dengan kepadatan 5,30 jiwa/km2.

Mengulas perkembangan Hutan Desa di Kutai Barat, saat ini baru pada tahap

inisiasi, sejauh ini Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat baru melakukan

verifikasi peta indikatif Hutan Desa yang menggambarkan areal-areal yang potensial

untuk pencadangan Hutan Desa. Namun demikian telah ada upaya-upaya serupa

sebelumnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan berbasis

masyarakat/pemberdayaan masyarakat misalnya Kebijakan Hutan Kemasyarakatan

yang berada di areal Kawasan Budidaya Non Kehutanan.

Fakta menunjukkan, bahwa sebagian besar masyarakat Kutai Barat, hidup di

dalam dan di sekitar kawasan hutan dan memiliki keterikatan yang kuat secara

kultural, sosial dan ekonomi dengan sumberdaya hutan sehingga masyarakat

memiliki kearifan lokal sendiri dalam pengelolaan hutan dengan pola-pola yang

telah teruji lestari dan telah berlangsung lama serta diwariskan secara turun-temurun

dari generasi ke generasi.

Selain itu, selama ini masyarakat termarginalkan oleh kebijakan-kebijakan

pengelolaan sumberdaya hutan dan keinginan yang kuat untuk memberikan peran

yang lebih intensif kepada masyarakat dalam mengelola asset sumberdaya di

lingkungan hidupnya maka Hutan Desa merupakan salah satu pilihan yang tepat

dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Kutai Barat.

Menengok ke belakang, konsep dasar pengelolaan hutan di Kabupaten Kutai

Barat sebelumnya sudah diarahkan untuk terselenggaranya program Kehutanan

Masyarakat (Community Forestry) dengan sasaran antara lain i) legalitas dan

pengakuan terhadap wilayah kelola masyarakat adat; ii) pemberian akses dan

kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat dalam pemanfaatan, perlindungan

dan pelestarian hutan; iii) peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat;

iv) mengeleminir terjadinya konflik-konflik sosial yang berhubungan dengan

penguasaan lahan.

Dengan semangat tersebut pemerintah Kabupaten Kutai Barat telah

mengeluarkan kebijakan atau produk hukum terkait kehutanan masyarakat, di

antaranya dengan tersusunnya peraturan-peraturan tentang pengelolaan hutan,

seperti berikut:

a. Perda Kabupaten Kutai Barat Nomor 02 Tahun 2001 tentang Kewenangan

Kabupaten.

b. Perda Kabupaten Kutai Barat Nomor 18 Tahun 2002 tentang Kehutanan Daerah.

c. Perda Kabupaten Kutai Barat Nomor 12 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan

Kehutanan Masyarakat.

d. Keputusan Bupati Kutai Barat Nomor 26 Tahun 2003 tentang Pedoman dan Tata

cara Penyelenggaraan Kehutanan Masyarakat.

e. Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat Nomor

521.21/130/DK-I/2004 tentang Petunjuk Teknis Permohonan dan Pelaksanaan

Pengukuhan serta Ijin Usaha Kehutanan Masyarakat (IUKhM).

f. Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat Nomor

521.21/292/DK-I/2004 tentang Alur Proses, Pengecekan Proposal dan Orientasi

Lapangan Kelayakan Lokasi Penyelenggaraan Kehutanan Masyarakat.

88 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan

Aspek hukum tersebut berkaitan dengan implementasi program Kehutanan

Masyarakat, di antaranya kewenangan bupati dalam penerbitan perijinan

pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di luar kawasan hutan (di dalam wilayah kabupaten)

diatur oleh Kepmenhut No. 382 Tahun 2004 tentang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Izin Usaha Kehutanan Masyarakat tersebut, pada prinsipnya merupakan fasilitasi

legalisasi kawasan kelola masyarakat yang dalam pemanfaatannya setelah ditata-

guna tetap mengikuti koridor hukum formal baik nasional maupun lokal

(kabupaten).

Berdasarkan kebijakan daerah tersebut, di Kabupaten Kutai Barat melalui

Keputusan Bupati telah diterbitkan 11 ijin dan pada areal tersebut tidak akan

diterbitkan ijin-ijin baru yang saling bertolak belakang dan meniadakan. Total luas

dari 11 Ijin Kawasan Kelola Kehutanan Masyarakat (KhM) adalah 64.949 ha,

seluruhnya di areal Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK/APL), hingga

peraturan ini dicabut yang sedang melakukan kegiatan operasional sebanyak 6 ijin,

total yang pernah mendapatkan ijin IPK sebanyak 9 ijin. Dalam perjalanannya

permasalahan implementasi dari produk hukum ini dalam Kawasan Budidaya

Kehutanan (HP/HPT) belum bisa dilaksanakan karena tidak tersedianya lahan bebas

perijinan dan keterbatasan kewenangan kabupaten dalam penerbitan ijin dalam

kawasan hutan. Selain itu eksistensi KhM di KBNK/APL punya potensi terganggu

oleh sebab legalitas lahan (HGU, SHM, dll) dan perubahan minat masyarakat untuk

memanfaatkan lahan di luar kegiatan kehutanan (perkebunan, pertambangan, dll).

Kontradiksi kebijakan pun masih sering terjadi, hal ini yang menyebabkan produk

hukum ini tidak berjalan lama, akhirnya produk hukum ini dicabut. Terlepas dari hal

tersebut, pengalaman tersebut merupakan modal besar dalam pengembangan hutan

yang berbasis masyarakat di Kabupaten Kutai Barat.

Sementara itu perkembangan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui

skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sudah lebih dulu direspon karena memang

perangkat kebijakannya sudah lahir terlebih dulu, dari skema HTR tersebut sudah

lebih dulu melakukan verifikasi peta indikatif areal cadangan yang dikeluarkan oleh

Kementerian Kehutanan, yaitu memetakan hutan produksi yang tidak dibebani hak

atau ”clear and clean” (Anonim, 2011d). Oleh karena itu ada peluang juga

memanfaatkan areal cadangan ini untuk diusulkan sebagai Hutan Desa, karena

kawasan peruntukannya sama yaitu di Hutan Produksi. Namun dalam

perkembangannya masih banyak terdapat hambatan, salah satunya belum ada

petunjuk teknis berkaitan dengan skema HTR sehingga program-program yang

sudah ada payung hukum dan petunjuk teknis yang menjadi pilihan utama di

Kabupaten Kutai Barat. Ada kekwatiran bila melakukan “kreasi” terhadap

kebijakan-kebijakan yang belum jelas juklak/juknis-nya terjerat dalam kasus hukum.

Berdasarkan Permenhut No. 14 tahun 2010 tentang Hutan Desa dan arahan peta

indikatif lokasi Hutan Desa dari BP-DAS, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat

baru akan mengajukan pertimbangan teknis rencana penetapan areal kerja Hutan

Desa seluas 50.164,25 ha kepada bupati yang tersebar di 14 kecamatan dan 43

kampung. Dinas Kehutanan Kutai Barat saat ini baru melakukan verifikasi peta

arahan indikatif lokasi Hutan Desa tersebut dan sampai akhir April 2010 belum ada

satu pun usulan Hutan Desa dari lembaga desa di Kabupaten Kutai Barat. Namun

upaya sosialisasi kepada masyarakat terus dilakukan, bekerja sama dengan WWF

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 89

Indonesia mencoba mengenalkan Hutan Desa kepada masyarakat khususnya

masyarakat 5 desa di Kecamatan Long Pahangai dalam acara-acara pertemuan

seperti workshop dan lain-lain, hal tersebut dilakukan sebagai upaya peningkatan

kapasitas sumberdaya masyarakat setempat.

Dari beberapa pertemuan dengan stakeholder yang terkait dengan

perkembangan Hutan Desa khususnya Dinas Kehutanan Kutai Barat, teridentifikasi

tantangan dan hambatan sebagai berikut:

a. Implementasi Program Hutan Desa merupakan proses panjang karena

menyangkut pengaturan administrasi, persetujuan/ijin secara hukum maupun

kelayakan usaha dan pengelolaan. Diperlukan adanya upaya yang terus menerus

untuk memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok masyarakat, demi

kelancaran pelaksanaan program dan dengan demikian tentu saja memerlukan

kesabaran dari pihak penyelenggara.

b. Selalu ada kelompok masyarakat yang belum terbiasa memanfaatkan informasi

tertulis seperti protokol dan panduan yang telah disiapkan untuk penyelenggaraan

program Hutan Desa. Penjelasan langsung melalui kunjungan lapangan dan

pertemuan di tingkat kampung masih dianggap lebih baik dan masih tetap

dibutuhkan.

c. Belum intensifnya pembinaan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan kelola

Hutan Desa, mengingat kawasan kelola tersebut sangat potensial untuk

dikembangkan sebagai areal Hutan Rakyat dengan jenis fast growing.

Dari hasil identifikasi masalah yang ada di Kabupaten Kutai Barat beberapa

rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian

Kehutanan serta pemerintah daerah, rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan pembagiannya, kabupaten dalam hal ini sebagai fasilitator, maka

harapannya ada aturan pemerintah yang bisa mengatur penggunaan Dana Bagi

Hasil (DBH) untuk kegiatan inisiasi Hutan Desa atau pembangunan kehutanan

lainnya; alokasi DBH-SDA DR tahun 2001 sampai 2010 Kabupaten Kutai Barat

yang masuk ke kas daerah Kabupaten Kutai Barat, dari Dana Alokasi Khusus

(DAK) 2001 hingga 2010 sejumlah Rp283.134.260.325 dan jumlah dana DBH

yang terpakai untuk kegiatan RHL 2001-2010 sejumlah Rp 37.260.566.145 serta

jumlah dana DBH yang harus tercatat dalam kas daerah Kabupaten Kutai Barat

dari 2001 hingga 2010 sejumlah Rp145.873.694.180.

b. Kutai Barat masih banyak terdapat konflik batas kampung sehingga perlu adanya

mekanisme penyelesaian konflik.

c. Perlu adanya pengertian atau batasan tersendiri tentang hutan adat, sama atau

tidak.

d. Perlu adanya inventarisasi ulang mengenai HPH non aktif (seperti PT Roda Mas

Keninggir) dan Kawasan Hutan Lindung (HL Gunung Meratus), yang mana tidak

sesuai dengan penempatannya seperti Gunung Meratus tidak termasuk dalam

kawasan hutan lindung.

e. Perlu adanya keberanian pemerintah daerah untuk merangkul kawasan adat

setiap kampung yang sudah dituangkan dalam Peraturan Kampung (perkam), di

mana legal formalnya akan disahkan oleh Bupati.

90 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan

b) Kebijakan Hutan Desa di Kabupaten Kutai Timur

Kabupaten Kutai Timur dibentuk atas dasar Undang-Undang Nomor 47 tahun

1999 dengan luas wilayah 3.574.700 ha, terdiri dari Kawasan Budidaya Kehutanan

(KBK) seluas 2.207.994 ha dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK)

seluas 977.288 ha serta terbagi menjadi 15 kecamatan dan 214 desa dengan jumlah

penduduk 157.163 jiwa dengan kepadatan 4,13 jiwa/km2.

Menilik perkembangan Hutan Desa di Kabupaten Kutai Timur, saat ini lebih

maju dibandingkan kabupaten/kota lain di Kalimantan Timur dan melalui Dinas

Kehutanan Kabupaten Kutai Timur menargetkan pencadangan areal kerja Hutan

Desa sampai tahun 2010 seluas 20 ribu ha, dari sisi proses sudah berjalan cukup jauh

namun belum ada satu pun areal yang dicadangkan tersebut ditetapkan sebagai areal

kerja Hutan Desa.

Program pengembangan Hutan Desa yang difasilitasi Kawal Borneo

Community Foundation (KBCF) di tiga provinsi di Kalimantan, termasuk

Kalimantan Timur yang dimulai sejak tahun 2008 telah menghasilkan 3 usulan

HKm seluas 13.531 ha dan usulan Hutan Desa dari 14 desa dengan luas sekitar

56.535,23 ha. Terdapat tiga usulan Hutan Desa, di antaranya berada di Kabupaten

Kutai Timur. Namun sayangnya, semua usulan masyarakat masih tertahan di

kabupaten.

Di dalam perkembangannya, hal ini tidak terlepas juga dari upaya dari

Kelompok Kerja Hutan Desa (KKHD) Kabupaten Kutai Timur yang di-SK-an pada

25 Februari 2010 oleh Bupati Kutai Timur, dalam mendorong dan fasilitasi dengan

keanggotaan multi-stakeholder dengan tugas pokok fungsi diantaranya melakukan

inventarisasi dan identifikasi potensi hutan yang berada di wilayah Kabupaten Kutai

timur yang dapat dijadikan Hutan Desa; melaksanakan sosialisasi Hutan Desa yang

merupakan pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat; memfasilitasi desa-

desa yang berada di wilayah Kabupaten Kutai Timur untuk mendapatkan Hak

Pengelolaan Hutan Desa; mewujudkan pengelolaan hutan lestari sebagai sarana

pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pelestarian lingkungan;

Sejak awal tahun 2010 hingga saat ini terdapat tiga usulan Hutan Desa yang

sudah diusulkan dan sampai ke Bupati melalui Dinas Kehutanan Kutai Timur namun

hingga saat ini belum satu pun dari areal Hutan Desa yang diusulkan tersebut

ditetapkan sebagai Areal Kerja Hutan Desa oleh Kementerian Kehutanan.

Dari hasil diskusi dan pertemuan yang membahas mengenai upaya percepatan

implementasi Hutan Desa di Kabupaten Kutai Timur terdapat beberapa point

penting dari hambatan dan tantangan implementasi Hutan Desa di Kabupaten Kutai

Timur, di antaranya adalah:

a. Kurangnya pemahaman tentang kebijakan dan proses pengusulan Hutan Desa.

b. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten belum selesai.

c. Semua wilayah Hutan Produksi di Kutim telah dibagi-bagi untuk konsesi

IUPHHK.

d. Batas desa belum ada dan belum jelas.

e. Desakan investasi untuk sektor perkebunan dan pertambangan yang begitu besar.

f. Rendahnya keberpihakan sebagian aparat pemerintah pada masyarakat.

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 91

Langkah yang harus segera diambil dan menjadi prioritas yang diambil adalah

sebagai berikut:

1. Menyusun peta indikatif HKM dan Hutan Desa di Kutai Timur.

2. Menyusun rencana kerja Dishut Kutai Timur dan SKPD.

3. Desa Juk Ayak menjadi usulan prioritas yang menjadi fokus kinerja dan capaian

target penetapan areal kerja Hutan Desa tahun 2011.

4. Komunikasi yang konprehensip perkembangan usulan Hutan Desa di Kutai

Timur, salah satunya upaya menyampaikan informasi ke bupati fakta-fakta apa

adanya, mencari alasan kuat untuk pengusulan Hutan Desa.

Hasil pertemuan KKHD pada tanggal 12 Maret 2011 menghasilkan matrik

perkembangan Hutan Desa yang telah diusulkan dan opsi rencana tindak lanjut

seperti tertera dalam Tabel 4.

Tabel 4. Kondisi Terakhir Perkembangan Implementasi Hutan Desa, Kendala dan Opsi Rencana

Tindak Lanjut di Kabupaten Kutai Timur

No Usulan

Luas

(kurang lebih

dalam hektar)

Kendala Kondisi terakhir

Opsi

Recana Tindak

Lanjut (RTL)

1 Long Bentuk 11.648, 90 Diusulkan APL

tunggu RTRWP

Rekomendasi Timdu tata

ruang tetap KBK

(dipertahankan)

Ada surat persetujuan

(SP1) untuk HTI RAPP

menyampaikan ke

bupati fakta-fakta

apa adanya, mencari

alasan kuat untuk

pengusulan HD

2 Juk Ayak 1.067,07 Masuk Kiani

Lestari

Konsesi berakhir 24

desember 2011

Prioritas untuk

diusulkan

3 Kong Beng

(Nehes Liah

Bing)

1052,27

Kejelasan tata

batas (bicara

wilayah

admistratif

namun wilayah

adat yang

digunakan)

Masuk konsesi

PT Kiani Lestari

Konsensi berakhir 24 des

2011

Ada rencana HTI

Ada surat persetujuan

(SP-1) untuk HTI PT

Akasia Andalan Utama

(Sinar Mas Group)

Ada 4 desa yang terkait

dengan Gn. Kongbeng

Hutan DesaHKm

Mengumpulkan 4

desa untuk

mendorong

program-program

peningkatan

ekonomi

Sumber: Anonim (2011c)

Dari Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa perkembangan Hutan Desa di Kutai Timur

masih pada tahap upaya memperoleh rekomendasi dari bupati untuk diusulkan

kepada Kementerian Kehutanan, upaya memperoleh rekomendasi dari bupati ini

ternyata bukanlah perkara yang mudah, perlu pendekatan yang tepat untuk

menjelaskan maksud dan tujuan dari Hutan Desa bila diimplementasikan.

Tabel 5 berikut ini menggambarkan proses berbagai peran di Kabupaten Kutai

Timur sebagai Rencana Tindak Lanjut percepatan Hutan Desa di Kutim dengan

target pencadangan Hutan Desa di Kabupaten Kutim Tahun 2010 seluas 20 ribu ha.

92 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan

Tabel 5. Berbagi Peran di Kabupaten Kutai Timur sebagai Rencana Tindak Lanjut Percepatan

Hutan Desa di Kabupaten Kutai Timur

No Aktivitas (apa) Siapa

1 Komunikasi dengan perusahaan KKHD

2 Mengawal proses pengajuan ijin ke Menhut pasca IUPHK

berakhir Oktober 2010

KKHD, BPDAS MB,BPKH,

WGP

3 Usulan penentapan areal kerja Hutan Desa dari Bupati untuk

pengajuan ke menteri kehutanan seluas 20 ribu ha di Kutim

BP DAS Mahakam Berau,

KKHD

4 Sosialisasi ke desa prioritas KKHD

5 Pertemuan dengan 15 desa di Kec. Sangkulirang KKHD, Dishut, BP DAS,

KBCF

6 Perlu penyusunan Rencana Umum Pembangunan HD BPKH, KKHD, BPDAS

Mahakam-Berau

7 Mengembangkan infrastruktur HD di Kutim KKHD, BP DAS Mahakam-

Berau, BPKH, WGP

Sumber: Anonim (2011c)

Keterangan: WGP (Working Group Pemberdayaan); KBCF (Kawal Borneo Community Foundation);

BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan)

Pada Tabel 5 tergambar adanya pembagian peran yang didesain hingga

Desember 2011, pembagian peran tersebut sudah cukup bagus, dengan harapan

dapat mempercepat implementasi Hutan Desa, namun demikian pembagian peran

tersebut tidak semua berjalan, ada beberapa yang jalan namun tidak sesuai dengan

jadwal yang sudah direncana, tidak berjalan tepat sesuai waktu yang telah direncana,

salah satunya dikarenakan jadwal individu yang bertanggung jawab dalam

mengawal proses tersebut sering tidak match.

Alternatif Strategi Implementasi Hutan Desa di Kalimantan Timur

Dalam melakukan analisis untuk menentukan strategi dan program Hutan Desa

ke depan (sampai 2015) digunakan telaah SWOT. Telaah ini menganalisis faktor-

faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan; Strategi dibuat secara

sequential yang memperlihatkan mana yang perlu dilakukan terlebih dahulu dan

mana yang mengikuti setelahnya. Dengan memperhatikan pelajaran/pengalaman

dari upaya pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di masa lalu, maka

strategi ini perlu dikelompokan dalam tiga tahap berikut:

1. Strategi Pemenuhan Kondisi Pemungkin (enabling condition), yaitu:

a) Kawasan atau areal yang diproyeksikan sebagai lokasi Hutan Desa betul-betul

clear and clean dari segi tenurial. Di antaranya seperti menguatkan data dan

informasi spasial dan non spasial sumberdaya hutan dan lahan dengan

mengintensifkan proses identifikasi dan inventarisasi penggalian potensi areal

kerja Hutan Desa melalui koordinasi para pihak di daerah; memperjelas batas-

batas antar status hutan dan lahan sesuai dengan tata cara yang telah diatur

dalam peraturan perundang-undangan (batas desa, batas antar desa, batas desa

dengan IUPHHK atau hutan lindung).

b) Berjalannya kelembagaan multi pihak dengan komitmen yang tinggi dari para

pihak yang ditunjukkan dengan dukungan kongkrit dan pembagian peran,

terutama masyarakat setempat. Untuk itu, konsep Hutan Desa harus

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 93

menunjang kesejahteraan masyarakat setempat. Di antaranya dengan

mengembangkan kemitraan usaha antara pemerintah, swasta dan masyarakat;

pembenahan kelembagaan desa sebagai basis pemberdayaan dan

pengembangan ekonomi lokal serta mendorong partisipasi; meningkatkan

link and macth antara pasar dan produksi masyarakat; pembinaan jaringan

kerja dan pembelajaran antara kelompok masyarakat; Koordinasi internal

antar eselon I dalam rangka percepatan penetapan dan perijinan sesuai dengan

prinsip good governance; mendorong dibangunnya skema pelayanan

penetapan dan perijinan di daerah atau adanya desk pelayanan (diinisiasi oleh

WGP).

c) Tersedia input sumberdaya yang memadai (SDM, pendanaan, peralatan,

waktu, teknologi dll), dengan meningkatkan koordinasi dengan pusat dalam

perencanaan, pelaksanaan program nasional di daerah; membuka peluang

pendanaan Hutan Desa di daerah melalui Dana Dekon, DAK/Perimbangan.

2. Strategi Pembangunan Infrastruktur Hutan Desa, yaitu:

a) Pembangunan kelembagaan Hutan Desa, yang meliputi SDM dalam jumlah

dan kualitas memadai, organisasi yang memperhatikan aspek keterwakilan

para pihak, kewenangan yang cukup untuk mengkoordinasikan para pihak

dalam pelaksanaan pengelolaan Hutan Desa dan tata hubungan antara unit

kerja yang mantap, di antaranya dengan cara: meningkatkan jaringan kerja

dengan para pihak di lingkup nasional dan internasional (LSM, Donor,

Perguruan Tinggi, lembaga penelitian dan sebagainya) untuk peningkatan

kapasitas dalam pelaksanaan Hutan Desa; pengembangan kelembagaan Hutan

Desa multi-instansi dan multi pihak; inisiasi MoU dengan dengan

Kementerian Dalam Negeri untuk mendorong penguatan kelembagaan di

tingkat desa.

b) Penyusunan pengalaman-pengalaman praktis terkait implementasi Hutan

Desa, sehingga dijadikan proses pembelajaran bagi daerah lain. Di antaranya

dengan cara: membangun kebijakan dan rencana Hutan Desa yang

memadukan tujuan pemulihan lingkungan dan peningkatan ekonomi lokal

secara partisipatif; review kebijakan yang kurang mendukung dalam

percepatan penetapan dan perijinan Hutan Desa; menggencarkan bimbingan

teknis pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam program rehabilitasi

lahan kritis; melakukan promosi Hutan Desa dalam sebuah acara nasional

bersama para pihak dan disusun sebuah grand strategi atau roadmap Hutan

Desa.

c) Penyusunan metoda monitoring dan evaluasi yang transparan, terukur, dapat

dilaporkan dan dapat diverifikasi rencana monitoring dan evaluasi.

d) Pembangunan sistem insentif dan disinsentif dengan mengembangkan sistem

insentif kepada masyarakat yang aktif atau berhasil melakukan pengelolaan

Hutan Desa.

3. Strategi Pelaksanaan Hutan Desa

a) Perencanaan dilakukan secara akurat sesuai dengan situasi dan kondisi

setempat dan bertumpu pada sumberdaya lokal: dengan menyusun rencana

pengelolaan yang rasional, logis, dan komprehensif; mensinergikan

pembangunan Hutan Desa ini dengan konsep kelembagaan pada KPH;

94 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan

Integrasi program atau kegiatan dengan K/L lainnya seperti program KAT,

PNPM, RPJMD dan sebagainya.

b) Pelaksanaan Hutan Desa konsisten dengan fungsi hutan dan lahan atau secara

utuh konsisten terhadap rancangan kegiatan yang telah disusun. Di antaranya

menjalankan aturan bidang kehutanan secara konsisten dalam pemanfaatan

kawasan hutan sesuai fungsinya.

c) Pengelolaan Hutan Desa aman dari gangguan perambahan dengan

peningkatan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan pemanfaatan

hutan dan lahan serta penegakan hukum secara tegas; pendidikan kesadaran

lingkungan dan masyarakat sadar hukum (pembinaan generasi muda untuk

cinta lingkungan dan menjadi motor dalam pelaksanaan pemberdayaan

masyarakat hutan).

Pilihan-pilihan strategi tersebut diatas merupakan “titik refleksi” atas persoalan

yang menghambat percepatan implemetasi hutan desa yang diharapkan memberikan

efek domino yang positif apabila diberikan tindakan positif, persoalan terkait

lambannya implementasi hutan desa bukanlah persoalan kovergen yang dapat

diselesaikan dengan satu strategi pemecahan saja, namun banyak hal yang perlu

dilakukan pembenahan.

Selain hal yang sudah disebutkan sebelumnya, perlu pula dipersiapkan

serangkaian prakondisi dalam upaya percepatan Hutan Desa yaitu hal yang berkaitan

tenurial, kelembagaan, pendampingan dan pendanaan yang harus diperkuat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Peraturan perundangan yang dapat dirujuk untuk implementasi Hutan Desa di

Indonesia sudah tersedia dengan cukup memadai. Prosedur, tata cara dan bahkan

pengaturan kewenangan serta tanggung jawab setiap tingkat pemerintahan (dari

pusat hingga daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota) juga telah tercantum

dengan jelas. Meskipun dari aspek yuridis dipertimbangkan sudah cukup untuk

melaksanakan Hutan Desa, tetapi justru pada tatanan implementasi tidak berjalan

dengan baik.

Perkembangan yang lambat dari implemntasi Hutan Desa diindikasikan bukan

hanya dari minimnya realisasi pembentukannya, tetapi juga relatif tidak adanya

peraturan-peraturan pelaksanaannya (baik Peraturan Daerah maupun Peraturan

Kepala Dinas Provinsi/Kabupaten) dari kasus yang diamati di Kalimantan Timur

dari dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Timur.

Meskipun di tingkat Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Timur

dijumpai inisiatif-inisiatif Hutan Desa, tetapi hal tersebut lebih bersifat

program/proyek yang tidak atau belum mendapat dukungan kebijakan (misalnya

Masterplan atau Rencana Strategis), apalagi Peraturan Daerah/Bupati sehingga

keberlanjutan perkembangan Hutan Desa ke depan di daerah tetap menjadi tanda

tanya.

Peluang yang teridentifikasi dari implementasi Hutan Desa di Kabupaten Kutai

Barat dan Kutai Timur adalah adanya areal yang memungkinkan untuk skema Hutan

JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 5 (1), APRIL 2012 95

Desa baik di Hutan Lindung dan Hutan Produksi serta sudah ada upaya fasilitasi dari

kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebelumnya, meskipun demikian

teridentifikasi pula adanya ancaman, utamanya adalah areal untuk Hutan Desa yang

harus clean and clear masih sulit diidentifikasi karena begitu banyak interest

terhadap pemanfaatan kawasan tersebut di luar penggunaan untuk pemberdayaan

masyarakat seperti ekspansi sektor pertambangan batu bara dan perkebunan sawit

Berdasarkan hal tersebut di atas strategis-strategi prioritas yang dapat dilakukan

ke depan di Kabupaten Kutai Barat dan Kutai Timur, antara lain terpenting adalah

menyusun peta indikatif Hutan Desa di Kalimatan Timur sebagai acuan dasar dalam

melihat peluang percepatan implementasi Hutan Desa serta melakukan sosialisasi

kepada pemerintah daerah, masyarakat desa, NGO’s, perguruan tinggi dan juga pada

lembaga legislatif mengenai Hutan Desa.

Saran

Pemerintah provinsi bekerja sama dengan UPT Pusat (BP-DAS, BPKH) dan

pemerintah kabupaten/kota menyusun peta indikatif Hutan Desa di Kalimatan Timur

sebagai acuan dasar dalam melihat peluang implementasi Hutan Desa.

Perlu dilakukan sosialisasi dengan tujuan meluruskan persepsi yang bias

terhadap tujuan Hutan Desa karena masih terdapat beda penafsiran dalam substansi

dan implementasi Hutan Desa oleh para pihak. Tidak hanya pemerintah, pemerintah

daerah, masyarakat desa, NGO, perguruan tinggi, namun juga pada lembaga

legislatif.

Harus ada pihak yang berinisiatif melakukan mediasi persoalan lintas desa

(diharapkan Dinas Kehutanan Provinsi), dalam melakukan upaya-upaya

penyelesaian konflik tata batas antar kawasan yang terdapat antar desa dan dalam

implementasi Hutan Desa sebaiknya kegiatan para pihak bersinergi dengan kegiatan

dan pembiayaan, sebagai sinergi dengan RPJMD dan PNPM serta perlu peningkatan

peran pemerintah sesuai wewenangnya, dalam mendukung implementasi Hutan

Desa seperti: pembinaan lembaga desa, membuat pedoman monev dan verifikasi,

fasilitasi dan pembentukan tim verifikasi, menentukan areal kerja, menerbitkan ijin

IUPHKHD, fasilitasi para pihak (pemerintah, akademi, NGO), membentuk forum

kerja Hutan Desa.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008a. Peraturan Menteri Kehutanan No. 49 tentang Hutan Desa. Lembaran Negara

RI Tahun 2008. Sekretariat Negara, Jakarta.

Anonim. 2008b. Peraturan Menteri Kehutanan No. 5 tentang Perubahan Peraturan Menteri

Kehutanan No. 23 tahun 2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman. Lembaran

Negara RI Tahun 2008. Sekretariat Negara, Jakarta.

Anonim. 2011a. Buku Saku Hutan Desa. Draft. Dewan Kehutanan Daerah Kaltim, Samarinda

Anonim. 2011b. Laporan Lesson Learned Workshop Dinamika Persoalan dan Tantangan

Inisiasi Pengembangan Hutan Desa di Region Kalimantan Samarinda 13–14 April 2010.

Dewan Kehutanan Daerah Kaltim/GIZ/WWF, Samarinda.

Anonim. 2011c. Hasil Pertemuan Kelompok Kerja Hutan Desa Kabupaten Kutai Timur,

Sanggata. KBCF.

96 Suprianto dkk. (2012). Analisis Substansi dan Implementasi Kebijakan

Anonim. 2011d. Implementasi Kebijakan Hutan Desa Regulasi, Praktik dan Konsep

Pengembangan Ke Depan. Disampaikan Dalam Lesson Learned Workshop

Kementerian Kehutanan RI. Dinamika Persoalan dan Tantangan Inisiasi Pengembangan

Hutan Desa di Region Kalimantan pada tanggal 13–14 April 2011, Samarinda

Mansoer. 2011. CBFM, Pilihan Bijak Menuju Pemberdayaan Masyarakat dan Pengelolaan

Sumberdaya Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan. Materi disampaikan dalam

Lesson Learned Workshop Dinamika Persoalan dan Tantangan Inisiasi Pengembangan

Hutan Desa di Region Kalimantan, Samarinda 13–14 April 2010. Dinas Kehutanan

Provinsi Jambi, Jambi.

Sardjono, M.A. 2004a. Mosaik Sosiologi Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan

Kelestarian Sumberdaya. Debut Press, Jogjakarta.

Sardjono, M.A. 2004b. Role and Responsibility of Local Communities Term of Factor Politic

in Indonesia. Paper Presented in Workshop at Tokyo University, Japan. December

2004. Center for Social Forestry, Samarinda.

Sardjono, M.A. and M. Inoue. 2007. Local Community Participation in The Management of

Forest Resource in Indonesia: Concept, Policy and Implementation. Paper Presented at

The Workshop on Networking of Social Forestry Practicionairies in Borneo an

Kalimantan, 28 July 2007. Center for Social Forestry, Samarinda.

Sardjono, M.A. 2011. Tantangan Perubahan Sosial dalam Kehutanan Masyarakat di

Indonesia. Materi disampaikan pada Pertemuan Nasional FKKM, Bogor 6–8 September

2011. Center for Social Forestry, Samarinda.

Silalahi, M. dan A. Santosa. 2011. Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapan

dalam REDD+. Materi disampaikan dalam Pertemuan Nasional FKKM, Bogor 6–8

September 2011. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, Bogor.

Warsi, 2011. CBFM: Pilihan Bijak Menuju Pemberdayaan Masyarakat dan Pengelolaan

Sumberdaya Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan. Presentasi disampaikan dalam

Lesson Learned Workshop. Dinamika Persoalan dan Tantangan Inisiasi Pengembangan

Hutan Desa di Region Kalimantan pada tanggal 13–14 April 2011, Samarinda.

Wijaya, A. dan Aminuddin. 2001. Tana Ulen, Konservasi Tradisonal Suku Dayak Kenyah

Kajian Alternatif Pengelolaan dan Pengembangannya dalam Era Desentralisasi di

Kaltim. Makalah disampaikan pada Forum Keanekaragaman Hayati Indonesia 2001

pada tanggal 10–12 Juli 2001, Jakarta.

Wiyono, E.B. dan H. Santoso. 2009. Hutan Desa: Kebijakan dan Mekanisme Kelembagaan

(seri Panduan Praktis Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan). Working Group

Pemberdayaan Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta

Wulan, Y.E.; Y. Yasmi; C. Purba dan E. Wollenbug. 2004. Analisis Konflik Sektor

Kehutanan di Indonesia 1997–2003. Center for International Forestry Research (Cifor),

Bogor.