analisa histopatologi insang ikan nila oreochromis ...repository.ub.ac.id/366/1/ramdhani, anandita...
TRANSCRIPT
ANALISA HISTOPATOLOGI INSANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus) PADA UJI TOKSISITAS
AKUT PESTISIDA BERBAHAN AKTIF SIPERMETHRIN
SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Oleh :
ANANDITA RAHMI RAMDHANI NIM. 135080101111057
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
i
ANALISA HISTOPATOLOGI INSANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus) PADA UJI TOKSISITAS
AKUT PESTISIDA BERBAHAN AKTIF SIPERMETHRIN
SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh :
ANANDITA RAHMI RAMDHANI NIM. 135080101111057
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
ii
SKRIPSI ANALISA HISTOPATOLOGI INSANG IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
PADA UJI TOKSISITAS AKUT PESTISIDA BERBAHAN AKTIF SIPERMETHRIN
Oleh: ANANDITA RAHMI RAMDHANI
NIM. 135080101111057
Telah dipertahankan didepan pengujipada tanggal 6 Juni 2017 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain kecuali yang tertullis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang,
Mahasiswa
Anandita Rahmi Ramdhani NIM. 135080101111057
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang "Analisa Histopatologi Insang Ikan NIla (Oreochromis niloticus) pada Uji Toksisitas Pestisida Berbahan Aktif Sipermethrinmemperoleh gela sarjana perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang. Penulis menyadari bahwa begitu banyak bantuan yang penulis peroleh dalam penyusunan laporan skripsi ini, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Orangtua tercinta, Ayahanda Heru Hananto Senohadi dan Ibunda Driya Gita Soerachmad, Adikku, Nafidzah Kiasati Sadrina dan Khairinnisa Fadhila Sofwa atas bantuan dalam segi materiil maupun non materiil, dorongan yang kuat, kebijaksanaan dan tak pernah henti membdukungannya.
2. Bapak Dr. Asus Maizar S. H., S.Pi, MP selaku pembimbing 1 dan Bapak Andi Kurniawan, S.Pi, M.Eng, D.Sc selaku pembimbing 2 atas ketersediaan waktu, tenaga dan pemikirannya untuk membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis hingga terselesaikannya laporan skripsi ini.
3. Ibu Dr. Yuni Kilawati, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji atas ketersediaan waktu serta ilmu yang diberikan lewat kritik dan sarannya.
4. Seluruh civitas akademik Universitas Brawijaya yang telah memberikan fasilitas kepada penulis, sehingga penulis dapat lebih mudah menyelesaikan laporan skripsi ini.
5. Teman-teman seperjuangan penelitian ini, Tim penelitian bedel UTR (Benni Pujianto, kakak Ricky Tri dan kakak Shinta Hiflina Yuniari) atas segala dukungan,waktunya, serta doa dan semangatnya dalam melaksanakan penelitian.
6. Teman-teman yang tersayang, para Peju_ang Skripsweet atau memegers (Khoirun Nisa Eka P., Dianita Putri P., Sfrintadevi Nindy R., Syamsul
Sselama ini dan keberadaannya dari semester 1 sampai akhir.
7. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat serta seluruh teman-teman di program studi/jurusan/fakultas lain atas dukungannya.
8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut berperan dalam memperlancar penelitian dan penulisan laporan skripsi ini.
Malang, Juni 2017
Penulis
v
RINGKASAN
ANANDITA RAHMI RAMDHANI. Skripsi. Analisa Histopatologi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Uji Toksisitas Akut Pestisida Berbahan Aktif Sipermethrin. (dibawah bimbingan Dr. Asus Maizar Suryanto H., S.Pi, M.P dan Andi Kurniawan, S.Pi, M.Eng, D.Sc)
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) memiliki berbagai macam keunggulan seperti pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangkan, tahan terhadap gangguan hama dan penyakit serta toleran terhadap perunanan keadaan lingkungan. Hal tersebutlah yang menjadikan Oreochromis niloticussebagai salah satu komuditas yang bisa dikembangkan menjadi alternatif usaha budidaya yang cukup menjanjikan di Indonesia. Walaupun ikan Nila memiliki kemampuan beradaptasi yang baik, tak dapat dipungkiri bahwa ikan Nila akan tahan dengan kondisi lingkungan yang tercemar. Keberadaan bahan pencemar di perairan seperti pestisida yang berasal dari sistem budidaya mina-padi menjadikan adanya kerusakan organ insang maupun kematian ikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kematian (mortalitas) serta perubahan respon tingkah laku ikan Nila yang terpapar pestisida dengan bahan aktif Sipermethrin dan untuk mengetahui jenis dan tingkat kerusakan sel pada jaringan insang ikan Nila (Oreochromis niloticus) akibat pemaparan pada uji toksisitas akut melalui analisa histopatologi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2016 sampai Desember 2016. Adapun penelitian untuk uji toksisitas akut LC50 96 jam dilakukan di Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan untuk analisis kerusakan jaringan insang ikan Nila dilakukan di Laboratorium Patologi dan Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Metode yang digunakan adalah eksperimen dengan teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif yang meliputi tahapan pemeliharaan hewan uji, adaptasi hewan uji (aklimatisasi), pembuatan konsentrasi perlakuan, tahap perlakuan, analisa histopatologi dan dan pengukuran parameter kualitas air. Adapun tahap perlakuan meliputi uji pendahuluan dan uji sesungguhnya dengan analisis data menggunakan analisis probit, sedangkan analisis histopatologi meliputi preparasi dan proses pembuatan jaringan insang, pengamatan kerusakan jaringan insang dan persentase kerusakan insang, serta pengamatan visual dilakukan untuk mengetahui respon tingkah laku ikan Nila. Berdasarkan hasil uji toksisitas akut LC50-96 jam diperoleh nilai batas maksimal penggunaan pestisida dengan jenis insektisida berbahan aktif Sipermethrin adalah 0,08 ppm yang termasuk kedalam kategori bahan pencemar sangat toksik dimana hasil tersebut didapatkan dari perhitungan analisa probit. Selain itu terjadinya kerusakan jaringan insang ikan Nila akibat adanya pemaparan pestisida berbahan aktif Sipermethrin seperti edema, hemoragi, vakuolasi, fusi lamella dan nekrosis. Persentase kerusakan total insang ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada konsentrasi pemaparan 0,0135 ppm, 0,018 ppm, 0,024 ppm, 0,032 ppm, 0,042 ppm, 0,065 ppm dan 0,087 ppm mengalami total kerusakan sebesar 16,89%, 18,67%, 19,22%, 22,22%, 29,44%, 30,67% dan 27,33%. Adapun total kerusakan tertinggi pada saat pemaparan yaitu sebesar 30,67% yang menandakan bahwa telah terjadi pencemaran sedang. Sedangkan pada saat pemaparan pestisida berbahan aktif Sipermethrin menunjukkan perubahan respon
vi
tingkah laku ikan Nila dan semakin bertambahnya kerusakan jaringan insang ikan Nila maka respon tingkah laku semakin rendah. Hasil dari kualitas air yang dilakukan selama penelitian yaitu, suhu berkisar antara 23,3 C 27,4 C, pH berkisar antara 8,07-8,77, dan oksigen terlarut berkisar antara 5,14-7,48 mg/l. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi air untuk pembesaran ikan Nila termasuk kedalam kategori baik. Akan tetapi adanya faktor lain seperti pencemaran pestisida berbahan aktif Sipermethrin dapat mengakibatkan kerusakan jaringan insang sehingga kelangsungan hidup ikan dapat terganggu dan menyebabkan kematian. Perlu adanya penggunaan pestisida dengan bahan aktif Sipermethrin yang tidak melebihi batas maksimal dosis yang didapatkan dari hasil uji toksisitas akut LC50-96 jam dan penelitian lebih lanjut mengenai filtrasi air dalam sistem mina-padi sehingga meminimalisir kerusakan insang ikan Nila sebagai organ biomarker terhadap pencemaran pestisida di perairan.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat serta karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi yang berjudul
Oreochromis niloticus) pada Uji Toksisitas
Akut Pestisida Berbahan Aktif Sipermethrin
memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Brawijaya, Malang.
Dengan keterbatasan yang dimiliki penulis, masih banyak kekurangan
dalam penyusunan ususlan skripsi ini, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk kesempuraan dalam laporan ini.
Malang,
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................................ iii
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................... iv
RINGKASAN ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii
DAFTAR ISI......................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR............................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xiii
1 PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 4 1.3 Tujuan ...................................................................................................... 5 1.4 Kegunaan ................................................................................................. 5 1.5 Waktu dan Tempat ................................................................................... 5
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 7 2.1 Pestisida................................................................................................... 7
2.1.1 Pengertian dan Toksisitas Pestisida ................................................ 7 2.1.2 Insektisida dengan Bahan Aktif Sipermetrin .................................... 9 2.1.3 Masuknya Limbah Pestisida ke Perairan ....................................... 11 2.1.4 Mekanisme Masuknya Pestisida ke Tubuh Organisme ................. 12
2.2 Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ............................................................ 13 2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi ................................................................ 13 2.2.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup ........................................................ 15 2.2.3 Anatomi dan Fisiologi .................................................................... 16 2.2.4 Insang Ikan Nila ............................................................................ 18 2.2.5 Ikan Nila (Oreochromis niloticus) sebagai Bioindikator .................. 20
2.3 Uji Toksisitas .......................................................................................... 21 2.4 Histologi ................................................................................................. 22 2.5 Parameter Kualitas Air ............................................................................ 25
2.5.1 Suhu ............................................................................................. 25 2.5.2 Derajat Keasaman (pH) ................................................................. 26 2.5.3 Oksigen Terlarut (DO) ................................................................... 26
3 METODE PENELITIAN .............................................................................. 28 3.1 Materi Penelitian ..................................................................................... 28 3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... 28 3.3 Metode Penelitian ................................................................................... 29 3.4 Sumber Data .......................................................................................... 29
3.4.1 Data Primer ................................................................................... 29
ix
3.4.2 Data Sekunder .............................................................................. 30 3.5 Prosedur Penelitian ................................................................................ 30
3.5.1 Pemeliharaan Hewan Uji ............................................................... 30 3.5.2 Adaptasi Hewan Uji (Aklimatisasi) ................................................. 31 3.5.3 Pembuatan Konsentrasi Perlakuan ............................................... 32 3.5.4 Tahap Perlakuan ........................................................................... 32 3.5.5 Analisa Histopatologi ..................................................................... 37 3.5.6 Pengukuran Parameter Kualitas Air .............................................. 39
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 41 4.1 Uji Toksisitas Pemaparan Pestisida berbahan Aktif Sipermethrin terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus) ..................................................... 41
4.1.1 Uji Pendahuluan ............................................................................ 41 4.1.2 Uji Sesungguhnya ......................................................................... 43 4.1.3 Analisis Probit ............................................................................... 45
4.2 Analisis Histopatologi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) .............. 46 4.2.1 Histopatologi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) .................. 46 4.2.2 Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) ................................................................. 60 4.3 Kondisi dan Tingkah Laku Ikan Nila (Oreochromis niloticus) .................. 64 4.4 Analisis Kualitas Air ................................................................................ 67
4.4.1 Suhu ............................................................................................. 67 4.4.2 Derajat Keasaman (pH) ................................................................. 68 4.4.3 Oksigen Terlarut (DO) ................................................................... 68
5. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 70 5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 70 5.2 Saran ..................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 72
LAMPIRAN ........................................................................................................ 80
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.Tingkah Laku Ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang Diamati ............... 35 Tabel 2. Data Hasil Mortalitas Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Uji
Pendahuluan. Keterangan sebagai berikut : (*) Ambang batas bawah (**) Ambang batas atas ........................................................................ 41
Tabel 3. Data Hasil Mortalitas Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pada Uji Sesungguhnya ..................................................................................... 43
Tabel 4. Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Keterangan : Ed = Edema, He = Hemoragi, Fu= Fusi, Ne= Nekrosis........................................................................ 61
Tabel 5. Kriteria Tingkatan Nilai Toksisitas LC50-96 Jam Pada Lingkungan Perairan (CEPA, 1999) ........................................................................ 64
Tabel 6. Skoring Tingkah Laku Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Terhadap Sipermethrin......................................................................................... 64
Tabel 7. Data Hasil Parameter Kualitas Air. ....................................................... 67
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan alur rumusan masalah ............................................................ 4 Gambar 2. Struktur Sipermetrin ......................................................................... 10 Gambar 3. Morfologi ikan Nila (Oreochromis niloticus) (Amri dan Khairuman,
2003) ............................................................................................... 13 Gambar 4. Kondisi histologi insang normal potongan saggital arcus brachialis
Pimephales promelas 100x 1. tapis Insang; 2. epitel mukosa 3. membran dasar; 4. submukosa; 5. tulang; 6. jaringan adiposa; 7. arteriol insang eferen; 8. arteri Insang aferen; 9. lamella primer; 10. Lamella sekunder. (Tasyakal,2015). ................................................ 19
Gambar 5. Grafik Analisa Probit Mortalitas Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pada Uji Toksisitas Akut Pestisida Berbahan Aktif Sipermethrin ...... 46
Gambar 6. Gambar (i) merupakan mikroanatomi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas mortalitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0 ppm (kontrol) dan (ii) merupakan potongan melintang struktur mikroanatomi insang ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada kondisi normal (perbesaran 10x40) (Mulyani et al., 2014). Keterangan gambar sebagai berikut: a.Lamella primer, b. Lamella sekunder. ........................................... 48
Gambar 7. Gambar mikroanatomis insang ikan Nila (Oreochromis nilloticus) pada uji toksisitas mortalitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,0135 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, dan Va=Vakuolasi. ............................... 49
Gambar 8. Gambar mikroanatomi Insang Ikan NIla (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas mortalitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,018 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, Ne=Nekrosis, dan He=Hemoragi. ................................. 51
Gambar 9. Gambar mikroanatomi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,024 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, Va=Vakuolasi dan Ne=Nekrosis. ............................. 53
Gambar 10. Gambar mikroanatomi Insang Ikan NIla (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,032 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, Va=Vakuolasi dan Ne=Nekrosis. ............................. 55
Gambar 11. Gambar mikroanatomi Insang Ikan NIla (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,042 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, Va=Vakuolasi dan Ne=Nekrosis. ............................. 56
Gambar 12. Gambar mikroanatomi Insang Ikan NIla (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,065 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, Va=Vakuolasi dan Ne=Nekrosis. ............................. 58
xii
Gambar 13. Gambar mikroanatomi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,087 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, Va=Vakuolasi dan Ne=Nekrosis. ............................. 59
Gambar 14. Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila .......................... 62
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perairan terbuka merupakan salah satu lingkungan yang menjadi tempat
pembuangan akhir bahan bahan pencemaran seperti limbah rumah tangga,
industri, pertanian dan kegiatan manusia lainnya. Definisi pertanian menurut
Tunas, et al. (2014) yaitu pertanian adalah hal yang berkaitan dengan bertani
seperti kegiatan tanam-menanam yang berhubungan dengan tanah. Selain itu
pertanian juga dapat diartikan sebagai segala yang bertalian dengan tanam-
menanam yaitu pengusahaan tanah dan sebagainya. Sehingga dapat diartikan
bahwa pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang
dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri atau
sumber energi, serta untuk mengolah lingkungan hidupnya. Kegiatan pertanian
yang dapat diakukan antara lain seperti menanan padi, sayuran maupun tanaman
hijau lainnya yang dapat menghasilkan nilai ekonomis karena dapat dimanfaatkan
masyarakat untuk dikonsumsi.
Pada umumnya, dalam kegiatan pertanian terdapat penggunaan pestisida
untuk mendukung tingkat keberhasilan penanaman tersebut. Upaya pengendalian
kimia yang dilakukan petani didapatkan dari pertimbangan cara kerja yang cepat
dan mudah diperoleh. Sedangkan pestisida menurut Wulandari et al. (2013)
merupakan bahan kimia yang secara umum digunakan sebagai pengontrol
organisme yang tidak diinginkan dalam sektor pertanian. Salah satu pestisida yang
digunakan oleh para petani untuk mengatasi masalah hama serangga adalah
insektisida berbahan aktif Sipermethrin.
Akan tetapi, penggunaan pestisida Sipermethrin yang merupakan salah
satu bahan kimia dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan residu.
Menurut Ewen dan Stephenson (1979) mengatakan bahwa keberadaan pestisida
2
di dalam suatu perairan dapat mempengaruhi temperatur, pH, sifat kimia air,
kehidupan akuatik dan besarnya suspensi material organik dan anorganik.
Penggunaan pestisida secara berlebih juga dapat mengakibatkan dampak negatif
bagi yang mengkonsumsinya. Hal tersebut bisa terjadi karena pestisida berbahan
aktif Sipermethrin telah terakumulasi di dalam tubuh organisme perairan.
Budidaya satu irigasi menurut Setyawati et al. (2011) merupakan budidaya
perikanan di persawahan dengan sistem mina-ikan atau areal yang menggunakan
air dari irigasi maupun sungai. Budidaya satu irigasi ini mengatur pemanfaatan
sumber daya air secara optimal sehingga didapatkan hasil atau produktivitas lahan
yang maksimal, serta sekaligus mempertahankan kelestarian sumber daya lahan
tersebut. Selain itu dapat meningkatkan pendapatan dan pemenuhan karbohidrat
serta protein hewani.
Unit pembenihan rakyat sumbermina lestari (UPR) adalah salah satu cara
yang dilakukan oleh masyarakat desa Banjar Tengah, kecamatan Dau, kabupaten
Malang dalam mengoptimalisasi potensi lahan sawah irigasi dan peningkatan
pendapatan petani adalah dengan merekayasa lahan dengan teknologi tepat
guna. Alasan diterapkannya usaha tani ini karena menghasilkan dua output yaitu
pemanenan padi dan pemanenan ikan Nila yang akan menghasilkan pendapatan
lebih tinggi bagi masyarakat disekitar sana. Menurut Hikmasari (2013) budidaya
mina padi memiliki kelebihan yaitu bersifat komplementer. Dikatakan
komplementer ketika terjadi kegagalan dalam pemanenan padi, petani masih
memiliki hasil pemanenan ikan yang bisa menutupi kerugian bercocok tanam padi,
begitu pula sebaliknya. Sehingga untuk mengoptimalisasi potensi lahan sawah
irigasi dan meningkatkan pendapatan petani dengan cara merekayasa lahan
menggunakan teknologi tepat guna.
Akan tetapi dalam sistem budidaya, ikan yang terpapar tingginya tingkat
cemaran di perairan akan mempengaruhi keadaan fisiologis ikan yang disertai
3
kerusakan anatomi seperti halnya perubahan pada sistem imun, gambaran darah
dan struktur organ atau jaringan pada ikan. Menurut Goenarso (1988) di dalam
suatu lingkungan perairan, ikan merupakan salah satu organisme yang dapat
digunakan dalam uji untuk mengetahui efek beracun dari beberapa cemaran
bahan kimia. Kajian tentang biomarker pada ikan melalui pengujian efek toksik
tingkat molekuler menurut Viarenggo (2007) digunakan sebagai biomonitoring
pencemaran tingkat dini dan dijadikan sebagai sumber informasi yang bermanfaat
bagi sumbangan ilmu pengetahuan. Sedangkan Kusumadewi et al. (2015)
menyatakan bahwa dengan adanya analisa histopatologi pada organ target utama
seperti insang, hati, dan daging digunakan untuk mengetahui efek bahan
pencemar pada perairan melalui gambaran kesehatan ikan dengan mengamati
perubahan struktur yang terjadi pada organ tersebut.
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah salah satu jenis ikan konsumsi air
tawar yang telah lama dibudidayakan di Indonesia bahkan telah dikembangkan
lebih dari 85 negara sebagai komoditi ekspor. Ikan ini berasal dari kawasan Sungai
Nil dan danau-danau sekitarnya di Afrika. Saat ini ikan Nila telah tersebar ke
negara beriklim tropis maupun subtropis, sedangkan pada wilayah beriklim dingin
ikan Nila tidak dapat hidup dengan baik (Aliza, 2011). Bagi petani ikan di Indonesia
menurut Setyawati (2012), produksi ikan Nila selain untuk memenuhi permintaan
pasar dalam negeri, juga dipasarkan ke luar negeri, khususnya Singapura dan
Jepang. Budidaya ikan Nila relatif tidak sulit dan memiliki beberapa keunggulan
yaitu pertumbuhannya cepat, mudah dikembangbiakan, efisien terhadap
pemberian pakan tambahan, tahan terhadap gangguan hama dan penyakit dan
toleran terhadap perubahan keadaan lingkungan. Oleh karena itu, ikan Nila
mempunyai nilai ekonomis tinggi yang menjadikan salah satu komoditas unggulan
air tawar di Indonesia.
4
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pemasalahan sebagai
berikut:
Keterangan:
a) Diperlukan tindakan untuk mengetahui pengaruh yang dapat ditimbulkan dari
pencemaran pestisida dengan bahan aktif Sipermethrin pada lingkungan
perairan melalui uji toksisitas akut terhadap ikan Nila sebagai hewan uji yang
terpapar pestisida.
b) Hasil dari uji toksisitas akut akan menyebabkan terjadinya perubahan respon
ikan Nila dan kerusakan struktur jaringan insang pada tubuh ikan Nila.
c) Perubahan histologi insang ikan Nila diharapkan bisa menjadi bahan dasar
untuk mengevaluasi pencemaran pencemaran pestisida dengan bahan aktif
Sipermethrin pada lingkungan perairan melalui uji toksisitas akut.
Adapun rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana hasil uji toksistas pada ikan Nila yang terpapar pestisida berbahan
aktif Sipermethrin.
2) Bagaimana ekspresi dan tingkat kerusakan jaringan insang ikan Nila yang
terpapar pestisida berbahan aktif Sipermethrin.
3) Bagaimana perubahan respon tingkah laku ikan Nila pada saat pemaparan
pestisida berbahan aktif Sipermethrin.
Pencemaran Pestisida di
Lingkungan PerairanUji Toksisitas
Akut
Respon Tingkah Laku dan Struktur Sel Jaringan Insang
Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
a b
c
Gambar 1. Bagan alur rumusan masalah
5
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui tingkat kematian (mortalitas) pada ikan Nila yang
terpapar pestisida dengan bahan aktif Sipermetrin.
1.3.2 Untuk mengetahui jenis dan tingkat kerusakan sel pada jaringan insang
ikan Nila akibat pemaparan pada uji toksisitas akut melalui teknik
histopatologi.
1.3.3 Untuk mengetahui perubahan respon tingkah laku ikan Nila pada saat
pemaparan pestisida berbahan aktif Sipermethrin melalui pengamatan
secara visual.
1.4 Kegunaan
Adapun kegunaan dari penelitian diharapkan dapat menambah
pengetahuan, keterampilan, dan informasi mengenai keilmuan tentang perubahan
histologi organ insang dan pengamatan visual mengenai perubahan respon
tingkah laku ikan Nila yang dipapar pencemaran pestisida dengan bahan aktif
Sipermethrin yang dapat digunakan sebagai biomarker atau penanda adanya
paparan pencemaran pestisida dengan bahan aktif Sipermetrin sehingga dapat
dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menentukan batas dosis penggunaan
pencemaran pestisida dengan bahan aktif Sipermethrin agar tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan.
1.5 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2016 sampai Desember
2016, untuk uji toksisitas akut LC50 96 jam dilakukan di Laboratorium Budidaya Ikan
Divisi Reproduksi Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan untuk analisa
6
kerusakan jaringan insang ikan Nila dilakukan di Laboratorium Patologi dan
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pestisida
2.1.1 Pengertian dan Toksisitas Pestisida
Pestisida merupakan bahan kimia beracun yang banyak digunakan di
dalam bidang pertanian. Pestisida digunakan secara luas di areal tanaman
produksi untuk mengurangi serangan hama dan sekaligus melindungi tanaman
dari penurunan hasil dan penurunan kualitas. Pestisida menurut Rudiyanti dan
Ekasari (2009) digunakan sebagai pengendali hama untuk meningkatkan produksi
pertanian. Akan tetapi, pestisida yang masuk kedalam perairan dalam jumlah yang
besar dapat bersifat racun bagi biota-biota yang hidup di perairan tersebut. Salah
satunya adalah ikan. Ketika jenis pestisida yang dapat larut dalam air terbuang ke
perairan baik secara sengaja maupun tidak, akan mengakibatkan terjadinya
pencemaran di perairan tersebut. Secara tidak langsung, pencemaran pestisida
yang terjadi di perairan tersebut akan mempengaruhi perubahan proses
metabolisme, organ tubuh, tingkah laku, siklus hidup, perkembangan embrio,
pertumbuhan sel dan jaringan dari organisme yang hidup di perairan.
Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus
yang dipergunakan untuk: 1) memberantas atau mencegah hama-hama dan
penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil
tanaman, 2) memberantas rerumputan, 3) mematikan daun dan mencegah
pertumbuhan yang tidak diinginkan, 4) mengatur atau merangsang pertumbuhan
tanaman atau bagian-bagian tanaman, 5) memberantas atau mencegah binatang-
binatang atau jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat-
alat pengangkutan, 6) memberantas atau mencegah binatang-binatang yang
dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan penggunaan pada tanaman, tanah, atau air. Pestisida mencakup: 1) racun
8
serangga (insektisida); 2) racun tikus (rodentisida); 3) fungisida (racun jamur); dan
4) herbisida yang digunakan untuk membunuh alang-alang. Pestisida merupakan
racun untuk hama tanaman sekaligus bila masuk ke dalam tubuh manusia juga
bersifat sebagai racun bagi tubuh dengan segala akibatnya (Susy, 2008).
Insektisida menurut Untung (1993) merupakan salah satu jenis pestisida
yang mempunyai sasaran biologis serangga. Penggunaan insektisida yang tidak
bijaksana dapat menimbulkan daya tahan serangga terhadap insektisida tertentu.
Insektisida sintetik (kimia) yang digunakan untuk mengendalikan hama dapat
mencemari lingkungan, membunuh mikroorganisme yang bukan sasaran,
keracunan terhadap pemakai dan hewan ternak, serta memunculkan hama
sekunder atau resurgensi hama).
Sedangkan insektisida menurut Kusumastuti (2014) telah digunakan di
berbagai bidang. Pada bidang kesehatan, insektisida digunakan dalam
pengendalian vektor baik oleh pemerintah maupun rumah tangga. Insektisida
untuk entomologi digunakan dalam program pemerintah bagi sasaran fase
pradewasa dan dewasa. Adapun insektisida yang digunakan pada skala rumah
tangga adalah untuk sasaran pada fase dewasa. Insektisida merupakan kelompok
pestisida yang terbesar dan terdiri atas beberapa jenis bahan kimia yang berbeda,
antara lain organoklorin, organofosfat, kabamat, piretroid, dan DEET. Piretroid,
yang termasuk jenis transfultrin, d-alletrin, permetrin, dan sipermetrin. Piretroid
mempunyai toksisitas rendah pada manusia karena tidak terabsorpsi dengan baik
oleh kulit. Walaupun demikian, insektisida ini dapat menimbulkan alergi pada
orang yang peka. Penelitian Picciotto pada tahun 2008 dari Universitas California
mendukung adanya korelasi piretrin dengan autisme.
9
2.1.2 Insektisida dengan Bahan Aktif Sipermetrin
-Sipermetrin menurut Narwanti (2012) merupakan pestisida non-sistemik,
berspektrum luas dalam mengendalikan hama dengan aktivitas insektisida yang
dapat menyebabkan kematian pada serangga secara cepat. -Sipermetrin bersifat
hidrofobik, senyawa non polar dan dapat teradsorb pada permukaan tanah juga
terikat dengan partikel tanah. Pestisida ini sangat efektif sebagai racun kontak dan
racun lambung dalam mengendalikan hama target pada laju aplikasi yang relatif
rendah. Pestisida ini berekasi dengan membloking chanel ion natrium yang
terdapat pada membran syaraf.
Pestisida dengan bahan aktif Sipermethrin ini juga termasuk ke dalam
pestisida senyawa organik sintetik jenis piretroid sintetik. Penggunaan piretroid
sintetik menurut Raini (2009), sering dikombinasi dengan bahan kimia lain
sehingga mempunyai efek yang sinergis dan menaikkan potensinya, namun lebih
persisten di lingkungan. Piretroid sintetik lebih lambat terurai dibandingkan dengan
piretroid yang berasal dari tanaman. Piretroid pada serangga merupakan racun
saraf yang bekerja menghalangi sodium channels pada serabut saraf sehingga
mencegah transmisi impuls saraf.
Sipermethrin menurut Amir (2015) merupakan insektisida sintetis piretroid
yang mempunyai efek toksik dan membahayakan manusia. Umumnya digunakan
untuk mengendalikan hama pada kapas dan sayuran padi dan mangga, dan hama
pada kegiatan pertanian lainnya. Sipermethrin juga digunakan untuk
mengendalikan serangga atau hama rumah tangga, industri, penyimpanan,
peternakan, mengontrol ektoparasit pada sapi, domba, unggas, dan ikan. Selain
itu, bahan kimia Sipermethrin juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan ginjal.
Dimana ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi
manusia karena organ ini bekerja sebagai alat ekskresi utama untuk zat-zat yang
tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh. Dalam melaksanakan fungsi ekskresi, besarnya
10
aliran darah yang menuju ginjal menyebabkan keterpaparan ginjal terhadap bahan
atau zat-zat yang beredar dalam sirkulasi cukup tinggi. Melalui kadar ureum dan
kreatinin yang di atas normal mengindikasikan adanya gangguan maupun
kerusakan fungsi ginjal.
Pemakaian pestisida yang tidak teratur menurut Zilfa, et al. (2013) akan
menghasilkan residu pada tanam-tanaman dan ini akan membahayakan bagi
manusia dan mikroorganisme lainnya. Senyawa ini sangat berbahaya bagi
manusia karena merupakan racun yang dapat menyerang sistem saraf, dapat
menekan sistim kekebalan tubuh dan dapat menghambat pembentukan anti bodi
terhadap penyakit yang diserang oleh mikroba. Adapun bentuk struktur dari
Sipermethrin adalah dapat terlihat pada gambar 2.
Gambar 2. Struktur Sipermetrin
Senyawa toksik Sipermethrin menurut Amir, et al. (2016) dapat
menginduksi reaksi senyawa dialdehid yang merupakan produk akhir peroksidasi
di dalam tubuh yang secara tidak langsung dapat menggambarkan adanya proses
oksidasi membran sel. Sifat toksik Sipermethrin adalah sebaga radikal bebas.
Dimana radikal bebas didefinisikan sebagai atom atau molekul yang mempunyai
elektron tak berpasangan di orbital terluarnya. Elektron tak berpasangan ini sangat
reaktif untuk berkaitan dengan elektron lainnya. Sehingga ketika radikal bebas
hidroksil bereaksi dengan komponen asam lemak dari membran sel akan terjadi
reaksi berantai yang dikenal dengan peroksidasi lemak. Dimana peroksidasi lemak
11
tersebut akan menyebabkan terputusnya asam lemak menjadi berbagai senyawa
toksik dan menyebabkan kerusakan membran sel. Oleh karena itu, insang ikan
Nila mengalami kerusakan dan mempunyai efek toksik serta membahayakan
manusia.
Rata-rata kenaikan residu pestisida menurut Edward (1976) dalam hewan
akuatik mempunyai korelasi dengan aktivitas metabolisme, bobot badan, luas
permukaan tubuh dan rantai makanannya. Residu pestisida Sipermethrin yang
diserap oleh hewan air dapat terakumulasi di dalam jaringan tubuh karena
pestisida tersebut memiliki sifat lipofibik yang tinggi sehingga mudah terikat dalam
jaringan lemak dan akumulasi residu pestisida Sipermethrin pada ikan dipengaruhi
oleh kandungan lemak. Dengan kata lain, ikan yang memiliki kandungan lemak
yang tinggi (seperti ikan Nila) akan lebih mudah mengakumulasi insektisida
golongan Sipermethrin. Kusnoputranto (1995) mengatakan bahwa penyerapan
residu pestisida Sipermethrin juga tergantung dari besarnya konsentrasi, sifat
fisika-kimia, sifat bioakumulatif dan toksisitasnya, sehingga tingkat keracunan
yang ditimbulkannya dapat bersifat akut maupun kronik.
2.1.3 Masuknya Limbah Pestisida ke Perairan
Pencemaran air menurut Rennika, et al. (2013) merupakan masalah
regional maupun masalah global, dan sangat berhubungan dengan pencemaran
udara serta penggunaan lahan tanah atau daratan. Pada saat udara yang
tercemar jatuh ke bumi bersama air hujan, maka air tersebut sudah tercemar.
Beberapa jenis bahan kimia untuk pupuk dan pestisida pada lahan pertanian akan
terbawa air ke daerah sekitarnya sehingga mencemari air pada permukaan lokasi
yang bersangkutan. Pengolahan tanah yang kurang baik akan dapat
menyebabkan erosi sehingga air permukaan tercemar dengan tanah endapan.
Dengan demikian banyak sekali penyebab terjadinya pencemaran air.
12
Selain itu masuknya pestisida ke dalam perairan melalui berbagai jalur,
antara lain: pemakaian langsung untuk membasmi hama tanaman, buangan
limbah perkotaan dan industri, limpasan dari areal persawahan, pencucian melalui
tanah, penimbunan aerosol dan partikulat, curah hujan dan penyerapan dari fase
uap pada antar fase udara-air. Penyebaran pencemaran dalam lingkungan
perairan menurut Haque. et al, (1980) sangat dipengaruhi oleh sejumlah proses
pengangkutan interaktif seperti penguapan, presipitasi dari udara, pencucian, dan
aliran. Proses penguapan berdampak pada turunnya kepekatan dalam air,
sedangkan yang lainnya termasuk presipitasi dari udara, pencucian, dan aliran
akan meningkatkan kepekatan.
2.1.4 Mekanisme Masuknya Pestisida ke Tubuh Organisme
Perairan yang tercemar oleh residu pestisida apabila telah mencapai
konsentrasi tertentu menurut Taufik (2011) akan sangat berpengaruh terhadap
lingkungan dan organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Ikan yang hidup dalam
lingkungan perairan yang tercemar pestisida akan menyerap bahan aktif pestisida
tersebut dan tersimpan dalam tubuh, karena ikan merupakan akumulator yang
baik bagi berbagai jenis pestisida terutama yang bersifat lipofilik (mudah terikat
dalam jaringan lemak). Terjadinya biomagnifikasi, yaitu kontaminasi dan
akumulasi residu pestisida di dalam tubuh makhluk hidup melalui rantai makanan.
Artinya, semakin tinggi kedudukan makhluk hidup dalam rantai makanan maka
akan semakin berpotensi untuk terkontaminasi dan mengakumulasi residu
pestisida dalam tubuh termasuk manusia yang menempati posisi puncak dalam
rantai makanan. Selain itu Livingston dan Armando (1977) menyatakan bahwa
untuk organisme air kontaminasi pestisida dapat disebabkan oleh: (1) masuk
bersama makanan yang terkontaminasi, (2) pengambilan dari air yang melewati
membran insang, (3) difusi kutikular, dan (4) penyerapan langsung dari sedimen.
13
Pengaruh secara langsung maupun secara tidak langsung akibat adanya
pencemaran pestisida menurut Damayanty dan Abdulgani (2013) akan
mengganggu kualitas air, sehingga kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan
juga akan terganggu. Pengaruh secara langsung disebabkan oleh akumulasi
pestisida dalam organ-organ tubuh akibat tertelan bersama-sama makanan yang
terkontaminasi, atau akibat rusaknya organ-organ pernafasan sehingga dapat
mematikan ikan budidaya dalam jangka waktu tertentu, sedangkan secara tidak
langsung adalah menurunnya kekebalan tubuh terhadap penyakit dan
terhambatnya pertumbuhan. Pengaruh lanjut dari bioakumulasi pestisida secara
signifikan dapat menurunkan laju pertumbuhan ikan. Kelainan pada perilaku ikan
dalam paparan pestisida dapat mengakibatkan kegagalan menyimpan energi
untuk proses metabolisme, yang dapat menyebabkan stress berat, dan
menyebabkan kematian ikan.
2.2 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
2.2.1 Klasifikasi dan Morfologi
Gambar 3. Morfologi ikan Nila (Oreochromis niloticus) (Amri dan Khairuman, 2003) Ikan Nila menurut Saparinto (2013) berasal dari sungai Nil di Afrika. Ikan
nila masih sejenis dengan ikan Mujair dimana tingkah laku dan secara fisik hampir
sama dengan mujair. Perbedaannya antara lain yaitu warna, bentuk tubuh dan
pertumbuhan nila yang lebih cepat daripada ikan Mujair (Oreochromis
14
mossambicus). Selain itu, pada sirip ekor ikan Nila terdapat garis-garis vertikal
kehitaman.
Klasifikasi ikan Nila menurut Suyanto (2010) adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Sub-kelas : Acanthoptherigii
Ordo : Percomorphi
Sub-ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromus
Spesies : Oreochromis niloticus
Morfologi ikan Nila menurut Munandar et al. (2009) mempunyai ciri-ciri
bentuk tubuh bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada badan dan pada sirip ekor
(caudal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Pada sirip punggung ditemukan garis
lurus memanjang. Ikan Nila dapat hidup di perairan tawar dan mereka
menggunakan ekor untuk bergerak, sirip perut, sirip dada dan penutup insang
yang keras untuk mendukung badannya. Ikan Nila menurut Khairuman dan Amri
(2012) memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada
(pectoral fin), sirip perut (ventral fin), sirip anal (anal fin) dan sirip ekor (caudal fin).
Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup insang sampai bagian atas
sirip ekor. Terdapat juga sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil
dan sirip anus yang hanya satu buah berbentuk agak panjang. Sementara itu,
jumlah sirip ekornya hanya satu buah dengan bentuk bulat.
15
2.2.2 Habitat dan Kebiasaan Hidup
Habitat atau lingkungan hidup ikan Nila yaitu danau, sungai, waduk, rawa,
sawah dan perairan tawar lainnya. Selain itu, ikan Nila (Oreochromis niloticus)
mampu hidup pada perairan yang bersifat payau, seperti tambak dengan nilai
salinitas maksimal 29%. Secara alami, nilai suhu air yang baik untuk proses
pemijahan ikan Nila berkisar antara 22 C 37 C, namun untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakan ikan Nila (Oreochromis niloticus) kisaran nilai suhu optimum
yaitu 25 C 30 C. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) sangat toleran terhadap
perubahan suhu air dan dapat bertahan dengan kisaran pH yaitu 5 11. Namun
untuk kehidupan normalnya nila membutuhkan pH antara 7 8 (Santoso, 1996).
Spesies ikan Nila (Oreochromis niloticus) menurut Setiawati (2003) mampu
beradaptasi pada media bersalinitas tinggi, karena kemampuan osmoregulasinya
cukup baik. Demikian pula menurut Lim (1989), yang menyatakan bahwa
walaupun habitat aslinya ikan nila ini adalah air tawar, namun ikan ini bersifat
euryhalin. Pada media 10-
osmotik tubuh ikan nila merah, atau disebut isoosmotik. Menurut Stickney (1979)
kondisi isoosmotik dapat meningkatkan pertumbuhan, karena energi untuk
kebutuhan osmoregulasi lebih kecil atau tidak ada, akibatnya energi untuk
pertumbuhan tersedia dalam jumlah yang lebih besar.
Di alam, pakan alami ikan Nila (Oreochromis niloticus) menurut Susanto
(2014) adalah plankton atau tumbuhan air yang lunak, bahkan cacing pun salah
satu favoritnya. Hal ini mempelihatkan bahwa ikan yang berasal dari Afrika ini
memiliki kebiasaan makan berbeda sesuai tingkat usianya. Benih-benih ikan ikan
Nila lebih suka mengkonsumsi zooplankton seperti Rotatoria, Copepoda dan
Cladocera. Seiring dengan berjalanya waktu dan pertumbuhan ikan Nila yang
semakin meningkat, ikan Nila mulai meninggalkan zooplankton dan menggantinya
dengan fitoplankton. Dengan kebiasaan makannya yang unik, kemampuan ikan
16
Nila (Oreochromis niloticus) dewasa untuk mengumpulkan plankton dari perairan
adalah dengan bantuan lendir mucus di dalam mulut. Plankton akan bergumpal
atau membentuk partikel sehingga tidak mudah keluar kembali melalui jaring
insang. Oleh karena itu, ikan Nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan sungai
atau danau yang sangat cocok dipelihara di perairan tenang, kolam maupun
waduk.
2.2.3 Anatomi dan Fisiologi
Menurut Ainun Nimah (2009), ada sepuluh sistem anatomi pada ikan Nila
(Oreochromis niloticus), yaitu:
1) Sistem penutup (kulit), antara lain: sisik, kelenjar racun, kelenjar lendir, dan
sumber-sumber pewarnaan.
2) Sistem otot (urat daging) : penggerak tubuh, sirip, insang, organ listrik.
3) Sistem rangka (tulang) : tempat melekatnya otot, pelindung organ-organ dalam
dan penggerak tubuh, tulang tengkorak, tulang rusuk visceral (tulang
penyokong insang), tulang punggung, appendicular (tulang penyokong sirip),
tulang-tulang penutup insang (opperculum, sub opperculum, pre opperculum,
dan interculum).
4) Sistem pernafasan (respirasi) : insang yang terdiri dari tulang lengkung insang,
tulang tipis insang dan insang.
5) Sistem peredaran darah (sirkulasi) : organnya adalah jantung, dan sel-sel
darah yang berfungsi untuk mengedarkan oksigen, nutrisi, dan yang lainnya.
17
6) Sistem pencernaan : rongga mulut, esofagus, lambung, usus pilarus, dan
pilotik saeka dan organ-organ tambahan (kelenjar empedu dan kelenjar
pankreas).
7) Sistem saraf : organnya otot dan saraf tepi.
8) Sistem hormon : hormon pertumbuhan, hormon reproduksi, hormon ekskresi
dan osmoregulasi.
9) Sistem ekskresi dan osmoregulasi : organ utamanya ginjal.
10) Sistem reproduksi : organ-organ reproduksi meliputi organ kelamin (gonad).
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) menurut Azwar, et al. (2004) merupakan
jenis ikan yang sistem pencernaannya dilengkapi dengan lambung, sehingga
pemberian pakan dapat dilakukan dengan interval waktu yang lebih besar
dibandingkan ikan-ikan yang termasuk famili Cyprinidae yang tidak mempunyai
lambung dan harus lebih sering diberi pakan dalam sehari. Struktur dan fungsi
bagian-bagian alat pencernaan ikan Nila menurut pendapat Affandi dan Tang
(2002) terdiri atas a) saluran pencernaan yang meliputi mulut, rongga mulut,
pharynx, oesophagus, lambung, pylorus, usus, rectum, dan anus; dan b) kelenjar
pencernaan yang meliputi: hati dan empedu serta pankreas.
Anatomi ikan Nila (Oreochromis niloticus) menurut Moyle dan Joseph
(2004) terbagi menjadi anatomi eksternal dan internal. Anatomi eksternal ikan Nila
(Oreochromis niloticus) sebagian besar memiliki bentuk yang gelendong pipih dan
penampang potongannya berbentuk oval. Pada bagian kepala di mulai dari ujung
mulut sampai akhir operculum atau tutup insang. Sedangkan badan ikan Nila
dimulai dari akhir operculum sampai anus dan sisanya adalah ekor. Mulut terdapat
di ujung moncong. Sebelah dorsal moncong terdapat sepasang fovea nasalis atau
lubang hidung. Pada mata ikan Nila terletak di sebelah lateral tanpa kelopak mata.
Di belakang kepala terbentang operculum. Anus dan aperture urogenitalis terdapat
di muka pinna analis. Pada punggung terdapat pinna dorsalis, pada akhir badan
18
terdapat pinna caudalis, dan daerah ventral di bagian ekor terdapat pinna analis.
Sirip letaknya di sebelah median tubuh, sedangkan di sebelah lateral terdapat
sepasang pinna pectoralis yang terletak di belakang operculum dan sebelah
bawahnya terdapat pinna abdominalis. Sedangkan anatomi internal ikan meliputi
beberapa sistem, diantaranya sistem pernafasan, sistem karladiovaskuler, sistem
skeletal, sistem syaraf, sistem otot, sistem pencernaan dan sistem urogenital.
2.2.4 Insang Ikan Nila
Insang menurut Lagler, et al. (1977) merupakan organ tubuh yang paling
lembut diantara struktur tubuh teleostei dan alat utama bagi berlangsungnya
proses pernafasan. Insang terdiri dari sepasang filamen yang ditutupi oleh epithel
yang tipis yang disebut lamella tempat pertukaran oksigen. Karena merupakan
tempat dimana darah banyak beredar dan tempat penyaringan air yang melewati
mulut, maka insang menjadi peka terhadap perubahan perairan dan pencemaran.
Selain itu menurut Tasyakal (2015) insang juga digunakan sebagai alat
pengatur tekanan antara air dan cairan dalam tubuh ikan (osmoregulasi). Karena
insang memiliki permukaan yang luas dan terbuka, hal ini menyebabkan insang
menjadi organ pertama yang berhubungan langsung dengan bahan toksik di
dalam perairan dan mengakibatkan bagian ini menjadi sasaran utama bagi bahan
toksik yang ada di dalam perairan. Kondisi histologi insang normal dapat dilihat
sesuai pada gambar 4.
19
Gambar 4. Kondisi histologi insang normal potongan saggital arcus brachialis
Pimephales promelas 100x 1. tapis Insang; 2. epitel mukosa 3. membran dasar; 4. submukosa; 5. tulang; 6. jaringan adiposa; 7. arteriol insang eferen; 8. arteri Insang aferen; 9. lamella primer; 10. Lamella sekunder. (Tasyakal,2015).
Untuk menentukan tingkat pengaruh pencemaran di lingkungan akuatik,
kerusakan insang dapat dikategorikan berdasarkan tingkatan perubahan-
perubahan anatomi lamella sekunder dan filamen insang. Kerusakan insang dari
tingkat ringan hingga berat menurut Susanah (2011) adalah sebagai berikut :
a. Edema pada lamella menunjukkan telah terjadi kontaminasi tetapi belum ada
pencemaran. Edema merupakan pembengkakan sel atau penimbunan cairan
secara berlebihan di dalam jaringan tubuh. Edema dapat menyebabkan
terjadinya fusi lamella yaitu pada lamella sekunder.
b. Hyperplasia pada pangkal lamella. Hyperplasia adalah pembentukan jaringan
secara berlebihan karena bertambahnya jumlah sel. Hal ini merupakan gejala
dari adanya pencemaran. Hyperplasia sendiri dapat disebabkan karena edema
yang berlebihan sehingga menyebabkan sel darah merah keluar dari
kapilernya dan sel akan lepas dari penyokongnya.
20
c. Fusi dua lamella (pencemaran tingkat awal). Fusi lamella diakibatkan oleh
pembengkakan sel-sel insang. Akibat dari adanya fusi lamella sekunder adalah
terganggunya fungsi lamella sekunder dalam proses pengambilan oksigen.
d. Hyperplasia hampir pada seluruh lamella sekunder, menandakan telah terjadi
pencemaran.
e. Rusaknya atau hilangnya struktur filamen insang (pencemaran berat).
2.2.5 Ikan Nila (Oreochromis niloticus) sebagai Bioindikator
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) menurut Priyanto (2008) merupakan
salah satu bioindikator terhadap pencemaran lingkungan, termasuk cemaran
kimia. Hal ini terlihat ketika ikan menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air
maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas batas
konsentrasi tertentu. Reaksi yang dimaksud antara lain adanya perubahan
aktivitas, efek pada pertumbuhan yang tidak normal hingga kematian.
Jenis ikan yang akan cocok untuk digunakan dalam penelitian menurut
Yuliani (2015) salah satunya adalah ikan Nila (Oreochromis niloticus). Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) merupakan salah satu biota air yang direkomendasikan
oleh USEPA (US Enviromental Protection Agency), sebagai hewan uji untuk
toksikologi. Hal ini dikarenakan penyebarannya cukup luas, banyak dibudidayakan
mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mentolerir lingkungan yang buruk dan
mudah dipelihara di laboratorium. Selain itu, ikan Nila (Oreochromis niloticus) juga
merupakan salah satu organisme yang tergolong penting dalam budidaya
perairan. Menurut Handayani (2015) ikan Nila sebagai bioindikator dikarenakan
ikan Nila (Oreochromis niloticus) mempunyai daya tahan tinggi terhadap berbagai
macam perubahan yang terjadi di sekitar lingkungan hidupnya, pertumbuhannya
cepat, tahan terhadap penyakit dan digolongkan sebagai ikan pekan segala.
21
2.3 Uji Toksisitas
Toksisitas adalah sifat relatif toksikan berkaitan dengan potensinya
mengakibatkan efek negatif bagi makhluk hidup. Toksisitas dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain komposisi dan jenis toksikan, konsentrasi toksikan,
durasi dan frekuensi pemaparan, sifat lingkungan, dan spesies biota penerima.
Toksikan merupakan zat yang berdiri sendiri atau dalam campuran zat, limbah,
dan sebagainya, yang dapat menghasilkan efek negatif bagi semua atau sebagian
dari tingkat organisasi biologis seperti populasi, individu, organ, jaringan, sel,
biomolekul dalam bentuk merusak struktur maupun fungsi biologis. Toksikan dapat
menimbulkan efek negatif bagi biota dalam bentuk perubahan struktur maupun
fungsional, baik secara akut maupun kronis atau sub kronis. Efek toksisikan bagi
organisme terrsebut dapat bersifat reversibel sehingga dapat pulih kembali dan
dapat pula bersifat irreversibel yang tidak mungkin untuk pulih kembali (Halang,
2004).
Menurut Sianturi (2014) bahwa uji toksisitas akut dengan menggunakan
hewan uji merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan yang
berfungsi untuk mengetahui apakah limbah yang mengakur (effluent) atau badan
perairan yang menerima mengandung senyawa toksik dalam konsentrasi yang
menyebabkan toksisitas akut. Parameter yang diukur biasanya berupa kematian
hewan uji, yang hasilnya dinyatakan sebagai konsentrasi yang menyebabkan 50%
kematian hewan uji (LC50) dalam waktu yang relatif pendek satu sampai empat
hari.
Toksisitas letal akut adalah proses toksik atau proses masuknya zat toksik
ke dalam tubuh yang menimbulkan gangguan mekanisme kerja dan target
organnya. Uji toksisitas akut atau toksisitas letal akut berarti juga uji yang
dirancang mengevaluasi toksisitas relatif suatu bahan kimia terhadap organisme
perairan tertentu dan jangka waktu tertentu, kriteria efek yang biasa digunakan
22
dalam uji toksisitas letal akut antara lain kematian (pada ikan), ketiadaan gerakan
(immobility) dan keseimbangan, dan pertumbuhan (Istoto dan Dewi, 2013).
2.4 Histologi
Histologi menurut Tuffery (2007) adalah studi tentang struktur jaringan
yang mempelajari tingkat sel individual, melalui organ tubuh pada sistem organ.
Histologi sangat berkaitan dengan sel (sitologi) dan anatomi yang membentuk
dasar struktural untuk pemahaman fungsi (fisiologi) dan persiapan untuk
mempelajari struktur beserta fungsinya (patologi). Histologi dan histopatologi
dapat digunakan sebagai alat biomonitoring atau indikator kesehatan dalam studi
toksisitas. Dimana perubahan histopatologi merupakan biomarker dari efek
paparan stres lingkungan yang secara tidak langsung menandakan adanya
perubahan fungsi fisiologis dan biokimia dalam lingkungan tersebut.
Pemeriksaan histopatologis merupakan suatu teknik pemeriksaan dengan
mempelajari perubahan abnormal sel atau jaringan yang digunakan untuk
menentukan peneguhan diagnosa penyakit pada ikan. Dimana pemeriksaan
secara histopatologis merupakan pendukung suatu diagnosa dan dapat menjadi
pemeriksaan diagnosa utama suatu penyakit dengan ditemukanya perubahan sel
atau jaringan yang patognomonik akibat suatu penyakit tertentu. Pada saat yang
bersamaan pemeriksaan histopatologis dapat merupakan pemeriksaan lanjutan
dari penyakit parasiter pada insang ikan. Hal tersebut karena gejala klinis dan lesi
patologis anatomis yang terjadi pada insang seringkali diakibatkan oleh adanya
perubahan lingkungan perairan secara ekstrem (Sudaryatma dan Eriawati, 2012).
23
Tahapan analisa histologis pada ikan menurut Setyawan (2009) antara lain
meliputi:
1) Pengambilan jaringan ikan. Pada sampel ikan yang masih kecil dapat langsung
fiksasi tanpa dipotong. Pada ikan yang berukuran besar diambil jaringan
tertentu yang akan diamati dan dimasukkan ke dalam larutan fiksasi.
2) Fiksasi. Larva atau ikan berukukan kecil difiksasi dengan larutan PFA 4%
dalam medium Phosphate buffered saline (PBS). Sampel dimasukkan ke
dalam botol yang sudah berisi larutan fiksatif dengan perbandingan antara
sampel dengan larutan adalah 1:20. kemudian disimpan selama 24 jam dalam
refrigerator. Setelah 24 jam kemudian sampel diambil dan dicuci dengan PBS
selama 5 menit sebanyak 3 kali untuk menghilangkan sisa-sisa PFA sebelum
ke tahap selanjutnya. Ikan yang berukuran relatif besar difiksasi dengan larutan
larutan alkohol 70% hingga warna kuning hilang, kemudian sampel disimpan
dalam alkohol 70% hingga pemrosesan lebih lanjut. Sampel yang berukuran
besar harus melaui prosedur dekalsifikasi dalam larutan 5 % trichloroacetid
acid selama 24 jam untuk melunakkan struktur tulangnya.
3) Dehidrasi. Sampel yang sudah difiksasi kemudian dimasukkan berturut-turut
ke dalam larutan sebagai berikut: Alkohol 70%, Alkohol 80%, Alkohol 90%,
Alkohol Absolut I, Alkohol Absolut II, masing-masing selama 45 menit,
kemudian dilanjutkan ke proses penjernihan.
4) Penjernihan (clearing). Sampel dari proses dehidrasi dimasukkan ke dalam
larutan alkohol:xylol 1:1 dan 1:3 selama 30 menit. kemudian Xylol I dan Xylol
II masing-masing selama 30 menit.
5) Infiltrasi. Sampel yang sudah dijernihkan dalam xylol diinfiltrasi secara
bertahap dalam campuran xylol : paraffin 3:1 ; 1:1 dan 1:3 masing-masing
selama 30 menit, dilanjutkan dengan paraffin murni sebanyak 2 x 60 menit.
24
Seluruh rangkaian infiltrasi dilakukan dalam inkubator pada temperatur 58 C-
60 C.
6) Penanaman sampel (Embedding). Parafin dicairkan di dalam inkubator pada
temperatur 60 C. Cetakan berukuran 2 x 2 x 2 cm diisi dengan paraffin cair,
bagian bawah cetakan didinginkan di atas blok es sehingga paraffin pada
dasar cetakan agak memadat. Sampel diletakkan di atas paraffin yang agak
memadat tersebut sesuai dengan orientasi irisan yang direncanakan,
kemudian ditempelkan holder yang telah diberi label sesuai dengan kode
sampel. Cetakan paraffin selanjutnya dibiarkan dalam temperatur ruang agar
parafinnya memadat.
7) Pengirisan (Sectioning) dan peletakan pada gelas obyek. Water bath disiapkan
dengan suhu 40 C-50 C dan disiapkan wadah berisi air dingin. Kemudian blok
yang sudah didinginkan dipasang di mikrotom yang sudah diatur pada
ketebalan 4-
sampel jaringan teriris. Setelah itu irisan dipindahkan ke dalam baskom yang
berisi air dingin, kemudian ditempelkan pada gelas obyek yang sudah dilapisi
gelatin dan diberi kode sama dengan blok yang di iris. Selanjutnya dicelupkan
ke dalam air hangat dalam water bath agar irisan mengembang. Kemudian
ditiriskan untuk dilakukan pewarnaan.
8) Pewarnaan. Sampel tersebut dipindahkan dan direndam kedalam
haematoksilin selama 15 menit hingga tahap perendaman dalam eosin selama
2-5 menit.
9) Pelekatan (mounting). Merupakan proses perekatan cover glass dengan zat
perekat agar sediaan jaringan tidak rusak. Pelekaran ini dilakukan setelah
proses diatas kemudian angkat sampel dan keringkan pada suhu kamar dan
25
paraffin dibersihkan. Penempelan cover glass diusahakan agar tidak ada
gelembung udara. Selanjutnya jaringan telah siap untuk diamati di mikroskop.
10) Pengamatan mikroskop. Pengamaran hasil untuk diagnosis dengan metode
komparasi di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100-1000x.
2.5 Parameter Kualitas Air
2.5.1 Suhu
Suhu menurut Aliza et al. (2013) merupakan salah satu faktor fisika yang
sangat penting di dalam air karena bersama-sama dengan zat atau unsur yang
terkandung didalamnya akan menentukan massa jenis air, densitas air, kejenuhan
air, mempercepat reaksi kimia air, dan memengaruhi jumlah oksigen terlarut di
dalam air. Suhu juga mempengaruhi pertumbuhan ikan Nila (Oreochromis
niloticus), dikarenakan suhu merupakan faktor eksternal yang berhubungan
dengan lingkungan seperti kuantitas dan kualitas air. Suhu tinggi yang masih dapat
ditoleransi oleh ikan tidak selalu berakibat mematikan pada ikan tetapi dapat
menyebabkan gangguan status kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stres
yang menyebabkan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal.
Suhu optimal untuk pertumbuhan Nila (Oreochromis niloticus) menurut
Ghufron dan Kordi (2010) berkisar antara 25 C-30 C. Pada suhu sampai 22 C,
Ikan nila masih dapat memijah, begitu pula pada suhu 37 C. Pada suhu dibawah
14 C atau lebih dari 38 C, kehidupan ikan Nila mulai terganggu. Suhu mematikan
untuk budidaya ikan yaitu berada pada 6 C dan 42 C. Hal ini menunjukkan bahwa
ikan Nila (Oreochromis niloticus)dapat dibudidayakan di dataran rendah sampai
pada ketinggian 1.000 m dpl (diatas permukaan laut).
26
2.5.2 Derajat Keasaman (pH)
Derajat Keasaman atau yang lebih populer dengan sebutan pH (puisanche
of the Hidrogen) menurut Amri dan Khairuman (2002) merupakan ukuran
konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam atau basa suatu
perairan. Ukuran nilai pH adalah 1-14 dan angka 7 merupakan pH netral atau
normal. Derajat keasaman ini sangat dipengaruhi oleh konsentrasi
karbondioksidan dan senyawa yang bersifat asam. Pada saat biota air
mengonsumsi oksigen dalam proses respirasi, maka biota tersebut akan
menghasilkan karbondioksida yang secara tidak langsung akan membuat nilai pH
air semakin menurun.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan Nila
(Oreochromis niloticus) menurut Puspasari et al. (2015) adalah derajat keasaman
(pH). Derajat keasaman yang terlalu rendah atau terlalu ringgi dapat menyebabkan
ikan menjadi strees sehingga pertumbuhannya terhambat. Kisaran pH untuk ikan
Nila yaitu 6,5-8,5. Namun pertumbuhan optimalnya akan terjadi pada pH 7-8. Nilai
pH yang masih ditolerir ikan Nila adalah 5-11.
2.5.3 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut menurut Fardiaz (2009) merupakan kebutuhan dasar
untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk hidup di
dalam air tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan
konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Oksigen
terlarut (dissolved oxygen = DO) dapat berasal dari proses fotosintesis dan dari
atmosfer (udara) yang masuk ke dalam air dengan kecepatan terbatas.
Konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan kematian
ikan-ikan dan binatang air lainnya.
27
Oksigen menurut Carman dan Sucipto (2013) diperlukan ikan untuk
bernapas dan pembakaran kalori dari pakan untuk menghasilkan energi. Energi
tersebut nantina akan digunakan untuk aktivitas, seperti berenang, pertumbuhan,
dan reproduksi. Jika kandungan oksigen kurang optimal untuk pertumbuhan dan
perkembangan ikan, dapat mengakibatkan stress sehingga ikan mudah terserang
penyakit. Secara umum, ikan Nila (Oreochromis niloticus) dapat hidup dalam air
dengan kandungan oksigen 0,3-0,5 mg/l. Walaupun demikian, untuk
meningkatkan produktivitasnya, kandungan oksigen terlarut dalam air sebaiknya
dijaga pada level diatas 5 mg/l.
28
3 METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi dalam penelitian ini adalah pestisida merk Sidamethrin dengan
bahan aktif Sipermetrin yang digunakan untuk mendukung tingkat keberhasilan
penanaman padi di Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Sumbermina Lestari, desa
Banjar Tengah, kabupaten Malang dan analisa histopatologi organ insang ikan
Nila (Oreochromis niloticus) yang berukuran 7-9 cm dengan menggunakan metode
pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE) pada uji toksisitas akut (LC50- 96 jam). Dalam
penelitian parameter kualitas air yang diukur yaitu suhu, derajat keasaman (pH)
dan oksigen terlarut (DO).
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian uji toksisitas akut (LC50-
96 jam) dari pestisida berbahan aktif Sipermetrin ini terbagi menjadi dua tahapan.
Pada tahap pertama uji toksisitas akut alat yang digunakan yaitu kolam, bak
kapasitas 16 L, aerator set, pH meter, DO meter, gelas ukur, pipet tetes, spatula,
seser dan kamera. Bahan yang digunakan pada uji toksisitas akut yaitu ikan Nila,
pestisida, kertas label dan air. Tahap kedua pembuatan preparat irisan jaringan
alat yang digunakan yaitu sectio set, slide dan cover glass, nampan, botol film,
mikroskop binokuler, inkubator, waterbath, pembuat blok dan freezing mikrotom.
Bahan yang digunakan pada tahap pembuatan preparat irisan jaringan yaitu
insang ikan Nila (Oreochromis niloticus), formalin 10%, xylol, parafin, haematoxylin
dan eosin, alkohol 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96% dan aquades.
Adapun untuk fungsi alat dan bahan dapat dilihat pada lampiran 1 dan lampiran 2.
29
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.
Eksperimen menurut Arboleda (1981) adalah suatu penelitian yang dengan
sengaja peneliti melakukan manipulasi terhadap satu atau lebih variabel dengan
suatu cara tertentu sehingga berpengaruh pada satu atau lebih variabel lain yang
di ukur. Adapun variabel yang dimanipulasi disebut variabel bebas dan variabel
yang yang akan dilihat pengaruhnya disebut variabel terikat. Sehingga Rakhmat
(1985) mengatakan bahwa metode eksperimen bertujuan untuk meneliti hubungan
sebab akibat dengan memanipulasikan satu atau lebih variabel pada satu atau
lebih kelompok eksperimen dan membandingkan hasilnya dengan kelompok
kontrol yang tidak mengalami manipulasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara deskriptif, yaitu dengan mengadakan kegiatan
pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi data yang bertujuan untuk
membuat deskripsi mengenai keadaan yang terjadi pada saat penelitian
(Suryabrata, 1989).
3.4 Sumber Data
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengambil dua macam
data yaitu data primer dan data sekunder.
3.4.1 Data Primer
Data primer (primary data) menurut Situmorang (2010) adalah data yang
dikumpulkan sendiri oleh perorangan atau suatu organisasi secara langsung dari
objek yang diteliti dan unruk kepentingan studi yang bersangkutan. Data primer ini
merupakan sumber data yang terbagi berdasarkan cara memperolehnya yaitu
didapatkan melalui interview ataupun observasi. Dalam penelitian ini, data primer
diperoleh melalui uji toksisitas akut (LC50-96 jam) dan analisa histopatologi organ
insang ikan Nila (Oreochromis niloticus). Observasi Farida dan Pudjiastuti (2013)
30
adalah pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu
objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Karena observasi merupakan
suatu pengamatan yang melibatkan panca indra sehingga dapat digunakan
sebagai metode pengumpulan data yang akurat serta komprehensif dan penelitian
akan memperoleh hasil yang optimal.Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
teknik observasi melalui pengamatan secara sistematis dengan melakukan uji
toksisitas akut dan pengukuran parameter kualitas air.
3.4.2 Data Sekunder
Menurut Noviawaty (2012), data sekunder adalah data yang diperoleh
peneliti yang bersumber dari buku-buku pedoman, literatur yang disusun oleh para
ahli, dan berbagai artikel yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Data ini
biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian
terdahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia.
3.5 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini terdiri dari pemeliharaan hewan uji, adaptasi hewan
uji (aklimatisasi), pembuatan konsentrasi perlakuan, dan tahap perlakuan (uji
pendahuluan, uji sesungguhnya, analisa probit). Sedangkan prosedur penelitian
untuk mengamati perubahan jaringan insang ikan Nila melalui tahap preparasi dan
proses pembuatan irisan jaringan insang ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan
analisa histopatologi insang ikan Nila. Adapun faktor pendukung kehidupan ikan
Nila dilakukannya pengukuran parameter kualitas air secara fisika, kimia dan
biologi.
3.5.1 Pemeliharaan Hewan Uji
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) didapatkan dari Unit Pembenihan Rakyat
(UPR) Sumbermina Lestari, desa Banjar Tengah, kecamatan Dau, kabupaten
31
Malang merupakan hewan uji yang harus dipelihara terlebih dahulu. Persiapan
pemeliharaan dilakukan dengan menyiapkan satu kolam kecil dengan ukuran 2 x
1 x 1 meter, kemudian diisi air dengan ketinggian ± 30 cm. Pada kolam diberikan
sistem resirkulasi dengan inlet melalui keran air. Pemeliharaan ikan Nila dilakukan
di kolam pemeliharaan Laboratorium Budidaya Ikan Divisi Reproduksi Ikan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya. Dalam tahap
pemeliharaan hewan uji, ikan Nila dipelihara selama 5 hari (120 jam) yang
bertujuan untuk mengkondisikan hewan uji pada media air dan memberikan waktu
hewan uji beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Selama pemeliharaan ikan
Nila diberikan pakan berupa pelet Pf1000 dengan pemberian pakan dua kali
sehari. Ukuran ikan Nila sebagai hewan uji yaitu berkisar antara 7-9 cm.
3.5.2 Adaptasi Hewan Uji (Aklimatisasi)
Dalam tahap aklimatisasi hewan uji Ikan Nila didapatkan dari Unit
Pembenihan Rakyat (UPR) Sumbermina Lestari, desa Banjar Tengah, kecamatan
Dau, kabupaten Malang, hal yang pertama kali perlu dilakukan adalah dengan
menyiapkan bak-bak percobaan dengan kapasitas 16 liter yang kemudian diisi air
sebanyak 10 liter dan diberikan aerasi menggunakan aerator. Setelah itu 10 ekor
ikan Nila dimasukkan kedalam bak dengan ketentuan ukuran 7 cm dan kondisi
fisiologis ikan yang relatif sama. Aklimatisasi dilakukan selama 1 hari (24 jam)
dengan dipuasakan dan tanpa pemaparan pestisida. Pemaparan yang dilakukan
pada ikan Nila menggunakan pestisida berbahan aktif Sipermetrin dengan
konsentrasi yang berbeda. Selama aklimatisasi, mortalitas hewan uji tidak boleh
lebih dari 3% selama 48 jam, apabila melebihi 3% maka hewan uji Ikan Nila tidak
dapat digunakan untuk penelitian.
32
3.5.3 Pembuatan Konsentrasi Perlakuan
akan pestisida cair
jenis insektisida organik. Satu botol pestisida terdapat bahan aktif Sipermetrin 50
g/L dan jika dijadikan dalam bentuk ppm maka menjadi 50.000 mg/L atau 50.000
ppm. Dalam pembuatan konsentrasi pestisida dengan cara pengenceran dapat
menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
V1 : Volume atau jumlah pestisida yang dibutuhkan.
N1 : Konsentrasi pestisida.
V2 : Volume air yang digunakan.
N2 : Dosis pestisida yang diinginkan.
3.5.4 Tahap Perlakuan
Penelitian mengenai uji toksisitas akut pestisida berbahan aktif
Sipermethrin dilakukan dalam 3 tahap, yaitu uji pendahuluan,uji perlakuan dan
analisa probit.
3.5.4.1 Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan batas kisaran kritis (critical
range test) yang akan menjadi dasar dari penentuan konsentrasi untuk
memperoleh konsentrasi ambang batas atas (LC100-24 jam) dan ambang batas
bawah (LC0-48 jam), yang akan digunakan pada uji sesungguhnya. Konsentrasi
ambang batas atas adalah konsentrasi terendah dari bahan uji yang dapat
menyebabkan semua ikan Nila sebagai hewan uji mengalami kematian 100%
pada periode waktu pemaparan 24 jam. Sedangkan konsentrasi ambang batas
bawah adalah kosentrasi tertinggi dari bahan uji yang dapat menyebabkan semua
ikan Nila sebagai hewan uji hidup setelah pemaparan 48 jam (Siregar, et al. 2014).
33
Penentuan konsentrasi yang digunakan dalam penelitian ini lebih rendah dari
konsentrasi pestisida yang digunakan oleh petani karena tidak semua pestisida
yang digunakan tersebut masuk ke perairan. Adapun tahap perlakuan dalam uji
pendahuluan adalah sebagai berikut:
1) Menyiapkan toples percobaan dan diisi air tawar dengan kapasitas 10 liter
sebanyak 8 buah untuk 7 kadar konsentrasi pestisida dan 1 kontrol sebagai
media hidup ikan serta diberi aerasi sebagai suplai oksigen.
2) Membuat pengenceran larutan pestisida seperti pada lampiran 3 dengan
konsentrasi 0,0001 ppm, 0,001 ppm, 0,01 ppm, 0,1 ppm, 1 ppm, 10 ppm, dan
100 ppm sesuai dengan skala pada tabel Rand yang terdapat pada lampiran
4.
3) Memasukkan hewan uji ikan Nila yang berukuran 7 9 cm sejumlah 10 ekor
pada masing-masing toples percobaan. Sehingga jumlah total ikan yang
digunakan adalah 80 ekor.
4) Mengukur parameter kualitas air yaitu 24 jam sekali selama 96 jam.
5) Mengamati jumlah mortalitas ikan yaitu 12 jam sekali selama 96 jam. Hewan
uji yang mati segera dihitung dan dikeluarkan dari media percobaan.
6) Mencatat hasil pengamatan dan jumlah mortalitas pada masing - masing bak
untuk menentukan konsentrasi pestisida yang akan digunakan pada uji
sesungguhnya.
3.5.4.2 Uji Sesungguhnya
Uji sesungguhnya dilakukan untuk mengetahui tingkat kematian (mortalitas
ikan Nila sebagai hewan uji dengan menggunakan pestisida berbahan aktif
Sipermethrin dengan perbedaan konsentrasi yang didapatkan dari uji
pendahuluan. Hewan uji dipuasakan selama pemaparan. Selain itu, perbedaan
jumlah konsentrasi pestisida berbahan aktif Sipermethrin selama pemaparan
34
dilakukan untuk mengetahui hasil gambaran mikroanatomi insang sehingga
didapatkan batas toleransi ikan Nila terhadap perbedaan konsentrasi pestisida
selama penelitian. Adapun tahapan uji sesungguhnya yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut:
1) Menentukan variasi konsentrasi pestisida sesuai dengan skala Rand sesuai
pada lampiran 4. yang sudah ditentukan pada uji pendahuluan sebanyak 7
konsentrasi yang berbeda dan 1 kontrol.
2) Menyiapkan toples percobaan dan diisi air tawar dengan kapasitas 10 liter
sebagai media hidup ikan serta diberi aerasi sebagai suplai oksigen.
3) Mempersiapkan medianya dengan melarutkan pestisida sesuai dengan
konsentrasi yang telah ditentukan dan melakukan pengulangan sebanyak 3
kali.
4) Memasukkan ikan Nila pada masing-masing toples sebanyak 10 ekor
sehingga jumlah ikan yang dibutuhkan beserta pengulangannnya adalah 240
ekor.
5) Memberikan aerasi selama perlakukan (96 jam) tanpa pemberian pakan.
6) Mengukur parameter kualitas air yaitu 24 jam sekali selama 96 jam.
7) Mengamati jumlah mortalitas ikan yaitu 12 jam sekali selama 96 jam.
8) Mengamati dan mencatat gejala mortalitas hewan uji setiap saat pada masing-
masing toples perlakuan untuk melakukan analisa data menggunakan metode
probit. Sedangkan bila mortalitas sudah terlihat maka ikan Nila sebagai hewan
uji segera diambil dan melakukan pembedahan untuk melakukan pengamatan
perubahan histologis pada organ insang selama pemberian paparan pestisida.
35
3.5.4.3 Pengamatan Tingkah Laku Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Perubahan tingkah laku ikan Nila yang diamati selama pemberian
perlakuan pestisida berbahan akrif Sipermethrin adalah tingkah laku berenang.
Berikut kriteria penjelasan tingkah laku ikan Nila:
Tabel 1.Tingkah Laku Ikan Nila (Oreochromis niloticus) yang Diamati Respon Tingkah Laku yang Diamati Deskripsi Respons
Respons reflek ikan Ikan bergerak menghindar ketika toples diberikan sentuhan
Respons berenang Ikan berenang aktif di toples Resepons bergerombol Ikan berenang bergerombol di toples
Respons tingkah laku tersebut menurut Faridah (2010) akan diberi skoring
berupa tanda sebagai berikut:
(-) : tidak ada respons (< 20 % dari jumlah ikan uji)
(+) : respons rendah (20 50 % dari jumlah ikan uji)
(++) : respons sedang (50 70 % dari jumlah ikan uji)
(+++) : respons tinggi (> 70% dari jumlah ikan uji)
3.5.4.4 Analisis Probit
Metode yang digunakan untuk analisis data hasil pengujian toksisitas untuk
menentukan LC50-96 jam menurut Negara (2003) dilakukan dengan metode
analisis probit. Analisis probit digunakan dalam pengujian biologis untuk
mengetahui respon subyek yang diteliti oleh adanya stimuli dalam hal ini insektisda
dengan mengetahui mortalitas. Menurut Pratiwi, et al. (2012), analisis probit
merupakan analisis yang menggunakan prosedur transformasi statistik dari
prosentase data kematian ikan Nila ke dalam variasi yang disebut probit, yang
selanjutnya beserta data konsentrasi pencemar (limbah pertanian) digunakan
untuk menentukan LC50 berdasarkan persamaan regresi linier.
36
Menurut Romziyah (2012), langkah langkah melakukan analisis probit
nilai LC50 adalah sebagai berikut:
1) Membuat tabel probit.
2) Memasukkan nilai konsentrasi perlakuan (mg/L).
3) Memasukkan nilai log 10 konsentrasi perlakuan.
4) Memasukkan jumlah sampel atau organisme uji yang digunakan.
5) Memasukkan jumlah kematian hewan uji pada setiap konsentrasi perlakuan.
6) Mempersentase jumlah kematian (Mobs).
7)
8) Mentranformasi nilai koreksi kematian ke dalam Tabel Tranformasi Probit
namun hanya tiga konsentrasi terbawah yang digunakan dalam penentuan
nilai LC50-96 jam.
9) Nilai LC50 menurut Warsito, et al. (2015) diperoleh dari persamaan regresi:
Dengan nilai a dan b diperoleh berdasarkan persamaan sebagai berikut:
Persamaan regresi:
37
Keterangan:
Y : Nilai Probit Mortalitas
X : Logaritma konsentrasi bahan uji
a : Konstanta
b : Slope atau kemiringan
m : Nilai X pada Y = 5
n : Jumlah hewan uji per toples
10) Membuat grafik regresi untuk nilai LC50 dan catat hasil yang didapatkan
3.5.5 Analisa Histopatologi
3.5.5.1 Preparasi dan Proses Pembuatan Irisan Jaringan
Prosedur yang dilakukan dalam pembuatan irisan jaringan organ insang
untuk preparat histologi menurut Laboratorium Patologi dan Anatomi (2016),
adalah sebagai berikut:
1) Proses Pemotongan Jaringan Berupa Makross
a. Membedah ikan Nila kemudian mengambil organ insang dan
mengawetkannya dengan menggunakan formalin 10%.
b. Memilih jaringan sesuai dengan yang akan diteliti.
c. Memotong jaringan dengan ketebalan 2-3 mili meter.
d. Memasukkan ke dalam kaset dan memberikan label sesuai dengan kode
peneliti.
e. Mencuci dengan air mengalir sebelum diproses atau memasukkan ke
dalam alat Tissue Tex Prosesor.
f. Menggunakan alat Automatic Tissue Tex Prosesor (automatic processing)
untuk memotong jaringan.
g. Saat alarm berbunyi menandakan proses telah selesai.
38
2) Proses Pengeblokan dan Pemotongan Jaringan
a. Mengangkat jaringan dari mesin Tissue Tex Prosesor.
b. Memblok jaringan dengan parafin sesuai kode jaringan.
c. Memotong jaringan dengan alat Microtome dengan ketebalan 3-5 mikron.
3) Proses Deparafinasi
a. Setalah dipotong dengan ketebalan 3-5 mikron, kemudian menaruhnya
dalam oven selama 30 menit dengan suhu 70 -80°C.
b. Memasukkan ke dalam 2 tabung larutan xylol masing-masing selama 20
menit.
c. Memasukkan ke dalam 4 tabung alkohol masing-masing selama 3 menit
(Hidrasi).
d. Memasukkan ke dalam air mengalir selama 15 menit.
4) Proses Pewarnaan Haematoxylin Eosin (Auto Staning)
a. Merendam dengan pewarna utama Harris Hematoksilin selama 10-15
menit.
b. Mencuci dengan air mengalir selama 15 menit.
c. Mencelupkan ke dalam alkohol 1% sebanyak 2-5 celupan.
d. Mencelupkan ke dalam amonia air sebanyak 3-5 celupan.
e. Merendam dengan pewarna pembanding Eosin 1% selama 10-15 menit.
f. Mendehidrasi dengan alkohol 70%, 80%, 96%, dan Absolud masing-
masing selama 3 menit.
g. Menjernihkan (clearing) dengan Xylol selama 2x60 menit.
h. Memounting dengan entelan dan coverglass dengan cara membiarkan
slide kering pada suhu ruangan.
i. Setelah slide kering maka siap diamati.
39
3.5.5.2 Pengamatan Kerusakan yang Terjadi
Mengamati potongan jaringan insang ikan Nila yang telah diwarnai dengan
menggunakan haematoxylin dan eosin di bawah mikroskop. Selain itu juga harus
menganalisis dan mengidentifikasi jenis dan tingkat kerusakan jaringan insang
yang telah terpapar pestisida dengan bahan aktif Sipermetrin selama 96 jam pada
konsentrasi pemaparan yang bebeda dengan menggunakan mikroskop merk
Olympus dan aplikasi master OlyVIA.
3.5.5.3 Persentase Kerusakan
Setelah dilakukan pengamatan, tahap selanjutnya adalah menghitung
persentase kerusakan jaringan untuk mengetahui parah tidaknya kerusakan akibat
perlakuan. Persentase kerusakan dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Satu bidang pandang dibagi menjadi beberapa kotak dan dihitung jumlah
kerusakan setiap kotaknya dan dicatat sebagai jumlah jaringan yang rusak,
sedangkan jumlah kotak yang mewakili jaringan dihitung sebagai jumlah jaringan
yang dianalisis.
3.5.6 Pengukuran Parameter Kualitas Air
3.5.6.1 Suhu
Menurut Erlina (2006), prosedur pengukuran DO menggunakan DO meter
adalah sebagai berikut:
1)
2) Mengkalibrasi elektroda dari DO meter dengan menggunakan akuades.
3) Memasukkan elektroda dari DO meter ke dalam perairan yang diukur DO-nya.
40
4) ekan tombol
5) Kemudian baru dilakukan pencatatan hasil pengukuran suhu dalam satuan C.
3.5.6.2 Derajat Keasaman (pH)
Menurut Erlina (2006), prosedur pengukuran pH menggunakan pH meter adalah
sebagai berikut:
1)
2) Mengkalibrasi elektroda dari pH meter dengan menggunakan akuades.
3) Memasukkan elektroda dari pH meter ke dalam perairan yang diukur pH-nya.
4) gka yang
tertera pada pH meter.
5) Mencatat angka yang tertera pada pH meter.
6) Mengkalibrasi kembali pH meter dengan menggunakan larutan buffer atau
akuades.
3.5.6.3 Oksigen Terlarut (DO)
Menurut Pratama et al. (2012), cara penggunaan DO meter yaitu:
1) Alat DO meter dikalibrasi terlebih dahulu.
2)
3) Kemudian ujung hitam DO meter dimasukkan kedalam media air percobaan.
4) Lalu dibiarkan kurang lebih tiga menit.
5) Menunggu sampai nilai yang terbaca benar-benar konstan.
6) Kemudian baru dilakukan pencatatan hasil pengukuran DO dalam satuan
mg/L.
41
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uji Toksisitas Pemaparan Pestisida berbahan Aktif Sipermethrin terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
4.1.1 Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan menurut Lubis, et al. (2014) dilakukan untuk dapat
memprediksi konsentrasi toksikan uji yang akan digunakan dalam uji
sesungguhnya (definitif). Adapun perbedaan konsentrasi pestisida berbahan aktif
Sipermethrin yang digunakan dalam penelitian yaitu 0,0001 ppm, 0,001 ppm, 0,01
ppm, 0,1 ppm, 0 ppm, 1 ppm, 10 ppm, dan 100 ppm. Masing masing konsentrasi
terdiri dari dua ulangan dan disetiap larutan uji terdapat ikan Nila pada setiap
konsentrasi digunakan dalam uji pendahuluan. Adapun data hasil uji pendahuluan
yang telah dilakukan tentang uji toksisitas akut pestisida berbahan aktif
Sipermethrin terhadap ikan Nila dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Hasil Mortalitas Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Uji Pendahuluan. Keterangan sebagai berikut : (*) Ambang batas bawah (**) Ambang batas atas
Konsentrasi (ppm)
Hewan
Uji
Mortalitas Ikan Uji (ekor/jam)
Mortalitas (ekor)
% Mortalitas 24
jam 48
jam 72
jam 96
jam Kontrol 10 0 0 0 0 0 0
0,0001 10 0 0 0 0 0 0
0,001 10 0 0 0 0 0 0
0,01* 10 0 0 0 0 0 0
0,1** 10 3 1 1 2 7 70
1 10 10 0 0 0 10 100
10 10 10 0 0 0 10 100
100 10 10 0 0 0 10 100
42
Berdasarkan pada hasil tabel tersebut memperlihatkan bahwa pada
konsentrasi 0 ppm, 0,01 ppm, 0,001 ppm dan 0,0001 ppm ikan Nila tidak
mengalami kematian. Sedangkan pada hasil uji pendahuluan pestisida berbahan
aktif Sipermethrin pada konsentrasi 1 ppm, 10 ppm dan 100 ppm memperlihatkan
jumlah mortalitas ikan Nila sebesar 100%. Selain itu, dari hasil uji pendahuluan
dapat diketahui bahwa mortalitas ikan Nila pada konsentrasi 0,1 ppm yang
merupakan nilai ambang batas atas. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi
terendah dimana ikan Nila sebagai organisme uji masih dalam keadaan hidup
dengan presentase mortalitas 40% dalam waktu 48 jam. Sedangkan untuk nilai
ambang batas bawah adalah 0,01 ppm dengan persentase mortalitas sebesar 0%.
Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi tertinggi dimana semua ikan Nila
sebagai organisme uji tidak ada yang mengalami kematian dalam waktu 24 jam.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suryati, et al. (2012) bahwa uji
pendahuluan berlangsung selama 48 jam bertujuan untuk mengetahui konsentrasi
ambang lethal yaitu ambang atas (LC100-24 jam) dan ambang bawah (LC50-48
jam). Ambang atas adalah konsentrasi terendah dimana semua hewan uji mati
dalam waktu pemaparan 24 jam, sedangkan konsentrasi ambang bawah adalah
konsentrasi tertinggi dimana semua hewan uji hidup dalam waktu 48 jam. Dasar
dari penentuan konsentrasi uji pendahuluan menurut Kinasih, et al. (2013) adalah
untuk menentukan batas kisaran kritis (critical range test) yang menjadi dasar
penentuan konsentrasi yang digunakan dalam uji lanjutan atau uji toksisitas
sesungguhnya. Sehingga dengan melakukan uji toksisitas pendahuluan ini, dapat
diketahui konsentrasi larutan uji tersebut dapat menyebakan kematian terbesar
mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati 50%.
43
4.1.2 Uji Sesungguhnya
Uji sesungguhnya atau uji toksisitas menurut Wirasuta dan Niruri (2006)
adalah suatu uji untuk menentukan potensial suatu senyawa sebagai racun,
mengenali kondisi biologis maupun lingkungan munculnya efek toksik, dan
mengkarakterisasi aksi atau efek yang ditimbulkan dari bahan pencemar tersebut.
Sehingga uji sesungguhnya ini digunakan untuk menghitung konsentrasi dimana
ikan Nila sebagai organisme yang di uji mengalami kematian hingga 50% selama
jangka waktu pemaparan 96 jam (LC50-96 jam) dengan menggunakan analisa
probit. Adapun data hasil uji toksistas akut pestisida berbahan aktif Sipermethrin
terhadap ikan Nila dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Hasil Mortalitas Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pada Uji Sesungguhnya
Konsentrasi (ppm)
Hewan
Uji
Mortalitas Ikan Uji (ekor/jam)
Mortalitas (ekor)
% Mortalitas 24
jam 48
jam 72
jam 96
jam Kontrol 10 0 0 0 0 0 0
0,0135 10 0 0 0 0 0 0
0,018 10 0 0 0 0 0 0
0,024 10 0 0 0 0 0 0
0,032 10 0 0 0 0 0 0
0,042 10 1 0 0 1 2 20
0,065 10 2 0 0 1 3 30
0,087 10 4 1 0 1 6 60
Berdasarkan tabel tersebut diperoleh data hasil mortalitas ikan Nila yang
telah dipapar pestisida berbahan aktif Sipermethrin. Adapun konsentrasi yang
digunakan pada saat uji toksisitas yaitu 0,0135 ppm, 0,018 ppm, 0,024 ppm, 0,032
ppm, 0,042 ppm, 0,065 ppm dan 0,087 ppm sesuai dengan tabel skala Rand pada
lampiran 4. Adanya perbedaan konsentrasi insektisida yang diberikan secara tidak
langsung akan mempengaruhi jumlah tingkat mortalitas ikan Nila sebagai
organisme uji. Dimana tingkat mortalitas terendah didapatkan pada konsentrasi
44
0,0135 ppm, 0,018 ppm, 0,024 ppm dan 0,032 ppm dengan jumlah rata-rata
mortalitas ikan Nila sebesar 0% atau tidak adanya ikan Nila yang mengalami
kematian pada konsentrasi tersebut. Menurut Bosman, et al. (2013) menyatakan
bahwa kerentanan organisme terhadap toksikan berbeda-beda berdasarkan
konsentrasi bahan toksik, spesies dan ukuran organisme. Selain itu, kelangsungan
hidup ikan juga dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam tubuh ikan
itu sendiri dan faktor eksternal meliputi kondisi lingkungan seperti sifat fisika, kimia
dan biologi perairan. Oleh karena itu, pada konsentrasi tersebut ikan Nila tidak
mengalami kamatian karena ikan Nila masih dapat mentoleransi jumlah insektisida
yang masuk ke dalam perairan.
Sedangkan jumlah rata-rata mortalitas ikan Nila tertinggi terdapat pada
konsentrasi 0,0087 ppm yaitu sebesar 60%. Pada konsentrasi 0,065 ppm
didapatkan rata-rata jumlah presentase ikan Nila sebesar 30%. Pada konsentrasi
0,042 ppm memiliki rata-rata persentase mortalitas ikan Nila sebesar 20%. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa adanya peningkatan jumlah konsentrasi larutan
insektisida berbahan aktif Sipermetrin yang diberikan akan membuat mortalitas
ikan Nila sebagai hewan uji semakin tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
menurut Rian (2016) bahwa semakin tinggi konsentrasi zat toksik yang diberikan
dalam periode waktu tertentu akan menyebabkan semakin banyak zat toksik yang
masuk ke dalam tubuh hewan uji. Begitu sebaliknya, semakin lama waktu
perlakuan maka semakin tinggi waktu toksisitas bahan uji yang terpapar pada ikan
Nila. Daya tahan tubuh hewan uji akan semakin turun hingga konsentrasi yang
rendah pun sudah dapat mematikan ikan. Sehingga zat toksik seperti pestisida
dengan jenis insektisida berbahan aktif Sipermethrin dapat mempengaruhi proses
fisiologis di dalam tubuhnya sehingga mengganggu kelangsungan hidup ikan Nila.
Selain itu, menurut Siti (2010), kemampuan ikan yang resisten terhadap tekanan
lingkungan pada media hidup ikan dilakukan melalui adanya adaptasi fisiologi. Jika
45
ikan uji tidak bisa menyesuaikan diri maka akan berakibat pada kematian. Proses
kematian dikarenakan ikan mengambil pestisda melalui pengambilan air melalui
membran insang dan penyerapan langsung dari sedimen yang membuat proses
fisiologis merupakan salah satu cara bahan penemar masuk ke dalam tubuh ikan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya perubahan dalam aksi
fisiologis, pertumbuhan, kegagalan dalam perkembangbiakan dan pengaruh
lainnya memperlihatkan bahwa ikan terkena kepekatan subletal dari jenis pestisida
tersebut.
4.1.3 Analisis Probit
Analisis probit (Metode Hubbert) merupakan salah satu proses analisis
data yang digunakan untuk menentukan nilai LC50-96 jam. Analisis probit dilakukan
dengan mengubah presentase mortalitas ikan Nila pada uji toksisitas ke dalam
bentuk probit menggunakan tabel probit. Selain itu, analisa ini juga mempunyai
hubungan dengan nilai logaritma konsentrasi insektisida dan nilai probit dari
persentase mortalitas hewan uji. Model probit merupakan model non linear yang
digunakan untuk menganalisis hubungan antara satu variabel respon dan variabel
bebas. Adapun data yang digunakan untuk analisis probit terdapat pada hasil
mortalitas ikan Nila pada uji toksisitas seperti pada tabel 3 dengan bantuan tabel
probit pada lampiran 5. Sehingga didapatkan hasil analisis probit dan persamaan
regresi untuk penentuan LC50 selama 96 jam pada lampiran 9 memperlihatkan
bahwa nilai LC50 yang diperoleh selama 96 jam pengamatan sebesar 0,08 ppm.
Artinya ikan uji mati sebanyak 50% dalam waktu 96 jam pada konsentrasi 0,08
ppm dalam kondisi diberikan aerasi.
46
Gambar 5. Grafik Analisa Probit Mortalitas Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Pada
Uji Toksisitas Akut Pestisida Berbahan Aktif Sipermethrin
Model probit menurut Wulandari dan Sutanto (2013) digunakan untuk
menganalisis hubungan satu variabel dependen dengan beberapa independen.
Adapun hubungan log konsentrasi terhadap probit persen mortalitas pada uji
toksisitas akut pestisida berbahan aktif Sipermethrin pada ikan Nila dapat terlihat
pada gambar 5. Dari hasil tersebut menjelaskan bahwa tingkat mortalitas akan
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi larutan insektisida
yang diberikan. Dari gambar grafik tersebut juga menjelaskan bahwa nilai LC50-96
jam dari setiap konsentrasi didapatkan dengan cara anti log dari hasil persen probit
mortalitas. Sehingga, hasil grafik pada gambar 5 menunjukkan adanya hubungan
korelasi yang positif dengan nilai R2 sebesar 0,88.
4.2 Analisis Histopatologi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
4.2.1 Histopatologi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Insang merupakan komponen penting dalam sistem pernafasan dan
osmoregulasi ikan. Insang selalu berhubungan langsung dengan air untuk
pernafasan eksternalnya, sehingga organ ini sangat sensitif terhadap adanya
perubahan fisika, kimia dan biologi di perairan. Apapun perubahan-perubahan
y = 3,32x + 8,64R² = 0,88
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
-1,60 -1,40 -1,20 -1,00 -0,80 -0,60 -0,40 -0,20 0,00
Nila
i Pro
bit
Konsentrasi Larutan
47
yang terjadi di lingkungan perairan, secara langsung maupun tidak langsung akan
berdampak kepada struktur dan fungsi insang. Dengan adanya perubahan-
perubahan abnormal pada jaringan insang dapat diketahui melalui pemeriksaan
histopatologi insang ikan disetiap perlakuan. Adapun hasil pengamatan kerusakan
struktur mikroanatomi insang ikan Nila dalam berbagai konsentrasi insektisida
berbahan aktif Sipermethrin diperoleh dengan menggunakan mikroskop Olympus
BX 41, kamera Olympus DP 20, metode pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin) dan
diamati dengan menggunakan aplikasi OlyVia pada perbesaran 13,2x dan skala
20µm dapat dilihat pada gambar 6 sampai gambar 13.
Struktur mikroantomis insang ikan Nila yang normal pada uji toksisitas
dalam konsentrasi 0 ppm (kontrol) tanpa diberinya konsentrasi pestisida berbahan
aktif Sipermethrin pada gambar 6 memperlihatkan bahwa belum adanya tingkat
kerusakan pada insang, sehingga pada gambar tersebut masih terlihat jelas
bagian-bagian insang ikan Nila. Bagian-bagian dari struktur insang yang normal
menurut Sukarni et al. (2012) yaitu satu lembar insang terdiri dari beberapa lamela
primer dan satu lamela primer terdiri dari beberapa lamela sekunder. Sel-sel
pernapasan (insang) ikan yang sehat hanya terdiri dari dua atau tiga lapis epitel
yang rata dan terletak di membran basal. Panjang lamela insang bevariasi,
umunya lamela insang yang terletak pada ujung filamen lebih pendek
dibandingkan lamela yang terletak di tengah.
48
(i)
(ii)
Gambar 6. Gambar (i) merupakan mikroanatomi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas mortalitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0 ppm (kontrol) dan (ii) merupakan potongan melintang struktur mikroanatomi insang ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada kondisi normal (perbesaran 10x40) (Mulyani et al., 2014). Keterangan gambar sebagai berikut: a.Lamella primer, b. Lamella sekunder.
Insang ikan Nila menurut Sadana et al. (2014) terdiri dari sepasang filamen
yang ditutupi oleh epitel yang tipis disebut lamella tempat pertukaran oksigen,
karena merupakan tempat dimana darah banyak beredar dan tempat penyaringan
air yang masuk melalui mulut, maka insang menjadi peka terhadap perubaan
lingkungan dan pencemaran. Selain itu, Klein (1983) juga menyatakan bahwa
pencemaran akan berpengaruh pada kondisi lamella insang sehingga
menyebabkan peradangan dan pembengkakan akibat adanya benda asing,
bahkan perubahan warna lamella dan nekrosis (kerusakan pada sel insang). Oleh
49
karena itu, perubahan struktur mikroanatomi insang dapat digunakan sebagai
indikator pencemaran di lingkungan mulai terjadinya kontaminasi, pencemaran
sampai tingkat berat. Adapun hasil pengamatan mikroanatomi insang ikan Nila
disetiap konsentrasi perlakuan pada uji toksisitas akut pestisida dengan jenis
insektisida berbahan aktif Sipermethrin mengalami perubahan struktur
mikroanatomi insang yang menyebabkan edema, hemoragi, fusi, vakuolasi dan
nekrosis. Sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa pestisida berbahan aktif
Sipermethrin memiliki sifat toksik terhadap ikan, adapun perubahan struktur
miktroanatomi insang ikan Nila pada uji toksisitas akut pestisida berbahan aktif
Sipermethrin dapat dilihat pada gambar 7 sampai gambar 13.
Gambar 7. Gambar mikroanatomi insang ikan Nila (Oreochromis nilloticus) pada
uji toksisitas mortalitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,0135 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, dan Va=Vakuolasi.
Gambar 7 merupakan struktur mikroantomi insang ikan Nila pada uji
toksisitas dalam konsentrasi 0,0135 ppm dengan skala 20 µm dan perbesaran
13,2x. Pada uji toksisitas dengan pemaparan tersebut memiliki perubahan
mikroanatomi insang yaitu adalah fusi lamela, edema, hemoragi, dan vakuolasi.
Va He Fu Ed
50
Kerusakan insang berupa edema lamela disebabkan oleh pestida yang melebihi
batas. Edema atau pembengkakan menurut Pratiwi dan Manan (2015) adalah
suatu bagian yang terisi cairan. Sehingga pada bagian tersebut membesar dan
tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sedangkan Fitriawan, et al.
(2011) menyatakan bahwa edema adalah pembengkakan sel yang di akibatkan
masuknya bahan pencemar ke dalam insang atau penimbunan cairan secara
berlebihan di dalam jaringan tubuh yang diperlihatkan dengan membran basal
mulai meregang lepas, sel lacuna menyempit sehingga menyebabkan fungsi
insang berkurang atau tidak optimal (mengalami defisiensi fungsi) sehingga
menyebabkan kesulitan dalam proses pernafasan dan metabolisme tubuh mulai
terganggu. Dengan adanya edema pada hasil penelitian dapat menyebabkan
terjadinya fusi pada lamela sekunder.
Ketika adanya pembendungan aliran darah pada lamela yang disebabkan
trauma fisik, zat pencemar, ataupun gangguan sirkulasi menurut Saputra, et al.
(2013) akan menyebabkan terjadinya edema (pembengkakan sel) di sekitar
pembuluh darah yang terlihat dari perluasan jaringan antar pembuluh darah
dengan lapisan epitel lamela primer. Pembendungan dan edema akan mengurangi
efisiensi difusi gas dan dapat berakibat fatal seperti kematian. Terjadinya
gangguan terhadap difusi gas karena adanya penyempitan luas permukaan serap
pada lamela sekunder. Selain itu, Syatik, et al. (2011) mengatakan bahwa dengan
adanya pembengkakan sel atau penimbunan cairan secara berlebih di dalam
jaringan tubuh (edema) merupakan tahap awal terjadinya patologi. Edema yang
berlebihan dapat menyebabkan hiperplasia akibat sel darah merah keluar dari
kapilernya dan sel akan terlepas dari jaringan penyokokongnya.
51
Gambar 8. Gambar mikroanatomi Insang Ikan NIla (Oreochromis niloticus) pada
uji toksisitas mortalitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,018 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, Ne=Nekrosis, dan He=Hemoragi.
Berdasarkan gambar 8 merupakan struktur mikroantomis insang ikan Nila
pada uji toksisitas dalam konsentrasi 0,018 ppm dengan skala 20 µm dan
perbesaran 13,2x. Pada uji toksisitas dengan pemaparan tersebut memiliki
perubahan mikroanatomi insang yaitu adalah fusi lamela, edema, hemoragi dan
nekrosis. Edema (pembengkakan sel) terjadi pada lamela primer. Selain edema,
kerusakan insang seperti hemoragi juga terjadi pada setiap konsentrasi selama
pemamaparan insektisida berbahan aktif Sipermethrin. Menurut Varney, et al.
(2004) hemoragi atau hemorrhage adalah sebuah keadaan kehilangan darah yang
abnormal. Permeabilitas sel sangat dipengaruhi oleh adanya zat toksik seperti
pestisida ke dalam perairan. Selain itu, bahan pencemar yang masuk juga
mengakibatkan keterbatasan sistem transportasi ion sehingga mengganggu
transportasi cairan dari dan ke dalam membran sel, hal ini juga berakibat pada
hancurnya sel darah akibat kerusakan kapiler darah dan menyebabkan
hemorrhage (Hadi dan Alwan, 2012).
He Fu Ed Ne
52
Sedangkan hemoragi menurut Parameswari, et al. (2013) mengindikasikan
keluarnya darah dari pembuluh darah, baik keluar tubuh maupun kedalam jaringan
tubuh yang dapat terlihat dengan adanya bintik hemoragi di lapisan mukosa pada
organ tubuh. Ikan yang terinfeksi memperlihatkan bahwa ikan tersebut stress.
Sedangkan Mutiara, et al. (2013) juga mengatakan bahwa kerusakan sel pada
organ insang diakibatkan karena bahan pencemar masuk ke dalam jaringan tubuh
melalui saluran pernafasan. Dengan adanya edema, hiperplasia dan degenerasi
pada hasil pengamatan histopatologi insang ikan digolongkan ke dalam tingkat
kerusakan ringan. Sedangkan adanya kongesti dan hemoragi digolongkan ke
dalam tingkat kerusakan sedang. Pada penggolongan tingkat kerusakan berat
ditunjukkan dengan adanya nekrosis dan fusi lamela. Sel yang mengalami
degenerasi atau reaksi peradangan sel bila terjadinya kerusakan dilakukan
sebelum sel mengalami kongesti, hemoragi dan nekrosis (kematian sel).
Sedangkan menurut Pantung, et al. (2008), tingkatan pencemaran
pestisida dapat dilihat dengan menggunakan ikan sebagai bioindikator. Terjadinya
kerusakan mikroanatomi insang ikan dari edema sampai ke nekrosis akan
menunjukkan tingkat pencemaran perairan tersebut. Adapun tingkat pencemaran
perairan berdasarkan persentse kerusakan insang yaitu, tidak ada kerusakan
sama sekali (normal), terjadi kerusakan kurang dari 30% dari luasan pandang
(ringang), terjadi kerusakan 30% sampai 70 % dari luasan pandang (sedang), dan
terjadi kerusakan lebih dari 70% dari luasan pandang (berat).
53
Gambar 9. Gambar mikroanatomi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,024 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, Va=Vakuolasi dan Ne=Nekrosis.
Berdasarkan gambar 9 yang merupakan struktur mikroantomis insang ikan
Nila pada uji toksisitas dalam konsentrasi 0,024 ppm dengan skala 20µm dan
perbesaran 13,2x menunjukkan terjadinya kerusakan seperti edema, hemoragi,
vakuolasi, nekrosis dan fusi lamella. Berdasarkan hasil analisis kerusakan organ
insang, fusi lamella sekunder terjadi pada semua konsentrasi dimana kerusakan
lamella tersebut akibat adanya edema yang berlebih. Fusi lamela menurut Robert
(2001) terjadi akibat adanya hiperplasia yang ditandai dengan peningkatan jumlah
sel-sel mukus didasar lamela. Fusi lamella akibat hiperplasia dapat mengurangi
efisiensi difusi gas dalam tubuh ikan. Selain itu, adanya pembengkakan pada
lamella sekunder dapat dihubungan dengan lamela, hipertropi, sel epitel
He Ne Ed
Va Fu
54
(bertambahnya ukuran atau volume suatu bagian tubuh karena peningkatan
ukuran dari sel-sel individu), dan perubahan pada dasar arsitektur sel tiang.
Adanya fusi lamela sekunder menurut Sudaryatma dan Eriawati (2012)
mengakibatkan tugas lamela tidak dapat berfungsi secara sempurna, karena
lakuna yang berisi sel darah merah tertutup oleh sel-sel epitalia lamela sekunder
yang patologis. Fusi lamela berisikan surfaktan sel mukus yang dapat meluas
sampai ke lamela primer. Pada fusi lamela sekunder dengan tingkat infestasi yang
parah akan menimbulkan vakuola berukuran kecil maupun besar pada pasca
diberikannya toksik yang pada umumnya akan terlihat pada bagian sel-sel epitalia
lamela insang yang mengalami hiperlasia. Selain itu, terjadinya fusi lamela
menurut Modu, et al. (2012) dapat mengurangi luas permukaan insang dan
menyebabkan hilangnya jarak antar lamela. Hal tersebut diakibatkan karena
lamela sekunder berdekatan pada salah satu atau kedua sisi lamela primer
sehingga mempengaruhi proses respirasi. Ketika sel epitel mengalami hiperplasia
dan fusi pada lamela insang juga mengakibatkan gangguan pada aliran darah
pada insang serta gangguan metabolisme tubuh yang pada akhirnya akan
menyebabkan kematian ikan.
Terjadinya kerusakan insang juga disebabkan karena insang memiliki
lapisan epitel yang tipis dan berhubungan langsung dengan lingkungan perairan
yang ada bahan pencemar bersifat toksik, sehingga secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap sel-sel penyusun insang dan kerusakan seperti fusi lamela
dapat mengurangi efisiensi difusi gas maupun osmosis. Menurut Tandjung (1995)
menyatakan bahwa degenersi insang tingkat 1 berupa edema pada lamella dan
menunjukkan telah terjadinya kontaminasi namun belum terjadi pencemaran.
Degenerasi 2 berupa hiperplasia dan degenerasi 3 berupa terjadinya fusi lamela
merupakan indikator pencemaran ringan.
55
Gambar 10. Gambar mikroanatomi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,032 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, Va=Vakuolasi dan Ne=Nekrosis.
Struktur mikroantomis insang ikan Nila pada uji toksisitas dalam
konsentrasi 0,032 ppm dengan skala 20 µm dan perbesaran 13,2x pada gambar
10 menunjukkan terjadinya kerusakan seperti edema, hemoragi, vakuolasi,
nekrosis dan fusi lamella sama seperti konsentrasi lainnya. Adanya kerusakan
organ insang disebabkan karena adanya pengaruh insektisida yang masuk ke
tubuh ikan melalui insang. Kerusakan edema menurut Dalimunthe, et al. (2015)
menyebabkan eritrosit menjadi mudah pecah dan berubah bentuk karena
kekurangan oksigen, sehingga dapat menyebabkan kematian ikan. Sedangkan
kerusakan fusi lamella menurut Aliza, et al. (2013) terjadi akibat peningkatan
patologi hiperplasia secara terus menerus dan menyebabkan terisinya ruang antar
Va He
Ne Ed Fu
56
lamella sekunder oleh sel-sel baru yang kemudian memicu terjadinya perlekatan
pada kedua sisi lamella. Fusi lamella merupakan salah satu kerusakan yang
termasuk ke dalam kategori berat.
Selain kerusakan edema, hemoragi juga merupakan salah satu kerusakan
yang terjadi pada konsentrasi ini. Hemoragi menurut Novalia, et al. (2013)
merupakan keluarnya eritrosit dari pembuluh kapiler dan berada pada jaringan
insang. Terjadinya hemoragi pada lamella insang akibat adanya kontak langsung
dengan bahan toksik sehingga terjadi iritasi yang menyebabkan tingginya daya
osmotik pembuluh darah dan cairan kapiler darah keluar. Sedangkan menurut
Zeinab, et al. (2016), hemoragi di perlihatkan ketika sel-sel lamela mendukung
untuk terjadinya sinusoid, sehingga terjadinya kemunduran degenerasi sel dan
selalu terjadi ketika ada bagian lamella sekunder insang yang mengalami nekrosis.
Hemoragi bisa terjadi ketika banyaknya darah yang berkumpul di dalam vakuola
dan di dasar filamen insang.
Gambar 11. Gambar mikroanatomi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada
uji toksisitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,042 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, Va=Vakuolasi dan Ne=Nekrosis.
Fu Va Ne Ed
He
57
Struktur mikroantomis insang ikan Nila pada uji toksisitas dalam
konsentrasi 0,042 ppm dengan skala 2 0µm dan perbesaran 13,2x pada gambar
11 menunjukkan terjadinya kerusakan seperti edema, nekrosis, vakuolasi,
nekrosis dan fusi lamella. Salah satu kerusakan yang terjadi pada uji toksisitas
akut ini di bagian lamela primer adalah vakuolasi. Vakuolasi menurut Sari, et al.
(2014) terbentuk karena terjadinya degenerasi. Dimana degenerasi merupakan
perubahan jaringan menjadi bentuk yang kurang aktif. Menurut Fauzy, et al. (2014)
vakuolisasi memiliki gejala timbulnya seperti ruang kosong yang memiliki ukuran
abnormal dibandingkan dengan yang lainnya.
Vakuolisasi menurut Hardi, et al. (2011) terjadi akibat kerusakan sel
(nekrosis), selanjutnya sel mengalami kehancuran sehingga tertinggal sebagai
ruangan kosong pada jaringan organ dan hal tersebut tejadi akibat adanya infeksi
secara sistematik, yaitu melalui aliran darah kemudian mencapai ke insang dan
menimbulkan kerusakan pada jaringan organ tersebut. Selain itu, Patnaik et al.
(2011) mengatakan bahwa terjadinya vakuolasi dapat diamati pada daerah yang
mengalami degenerasi sel. Berdasarkan hasil fotomikrograf insang
memperlihatkan adanya distorsi antar sel seperti saling tumpang tindihnya lamella
sekunder dan lamella primer sehingga berlebihnya lendir (mukus) dan sel eosinofil
yang terjadi dalam sitoplasma. Luas terjadinya vakuolisasi dapat terlihat secara
jelas dari adanya gangguan pada jaringan epitel. Sel epitel pada lamella insang
merupakan bagian yang mengatur ketidakseimbangan osmoregulasi larutan
dalam tubuh. Dikarenakan terjadinya vakuolisasi maka akan berdampak pada
menurunnya aliran air yang kaya oksigen ke jaringan lamela yang secara tidak
langsung akan mengakibatkan penurunan kinerja utama epitel dalam respon
sistem permeabilitas insang.
58
Gambar 12. Gambar mikroanatomi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada uji toksisitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,065 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, Va=Vakuolasi dan Ne=Nekrosis.
Berdasarkan hasil uji toksisitas histopatologi mengenai struktur
mikroantomis insang ikan Nila pada konsentrasi 0,065 ppm dengan skala 20µm
dan perbesaran 13,2x menunjukkan terjadinya kerusakan seperti edema,
hemoragi, vakuolasi, nekrosis dan fusi lamella. Adanya kerusakan nekrosis
memperlihatkan adanya kematian sel, sehingga mengakibatkan jaringan insang
tidak berbentuk utuh lagi dan dalam kondisi tidak norma karena faktor eksternal.
Sedangkan kerusakan sel yang mengakibatkan kematian sel pada kondisi normal
atau kematian sel yang terencana adalah apoptosis. Menurut Plumb (1994),
nekrosis ditandai dengan adanya kematian sel-sel atau jaringan yang menyertai
degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap akhir
degenerasi yang irreversibel atau adanya kemunduran pada saat perkembangan
Va He Ed
Ne
Fu
59
sel, sehingga sel tidak dapat pulih kembali seperti sebelumnya. Karakteristik dari
jaringan nekrotik, yaitu memiliki warna yang lebih pucat dari warna normal,
hilangnya daya rentang yang ditandai dengan jaringan menjadi rapuh dan mudah
terlepas, atau memiliki konsistensi yang buruk atau pucat. Nekrosis juga dapat
disebabkan oleh agen-agen biologis seperti virus, bakteri, jamur dan parasit, agen-
agen kimia atau terjadinya gangguan terhadap penyediaan darah pada jaringan
tubuh.
Sel yang mengalami nekrosis menurut Haqqawiy, et al. (2013) akan lepas
dari membran dan mendorong terjadinya proliferasi sel-sel untuk pergantian sel
yang baru. Proliferasi atau pengembangan sel-sel yang baru dapat terganggu
karena keadaan lingkungan yang tidak baik dan menyebabkan kerusakan
patologis pada insang. Proliferasi yang berlebihan menyebabkan pembelahan sel
(terutama pada sel-sel yang mampu membelah dengan cepat) menjadi tidak
terkontrol sehingga terjadi hiperplasia.
Gambar 13. Gambar mikroanatomi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada
uji toksisitas 96 jam pada konsentrasi pemaparan 0,087 ppm. Keterangan gambar sebagai berikut: Fu=Fusi, Ed=Edema, He=Hemoragi, Va=Vakuolasi dan Ne=Nekrosis.
Ed Va He Ne
Fu
60
Berdasarkan hasil uji toksisitas histopatologi mengenai bahan pencemar
seperti insektisida berbahan aktif sipermetrin yang terdapat dalam tubuh ikan Nila
memperlihatkan adanya perubahan struktur mikroanatomis insang ikan Nila pada
konsentrasi 0,087 ppm dengan skala 20µm dan perbesaran 13,2x. Sesuai pada
gambar 13 kerusakan pada insang ikan Nila seperti edema, hemoragi, vakuolasi
lamella primer, nekrosis lamella sekunder, dan fusi lamella sekunder telah
terjadinya. Kerusakan pada insang ikan Nila menurut Mulyana dan Mumpuni
(2015) akan mempengaruhi fungsi insang untuk respirasi, osmoregulasi dan
ekskresi. Fusi lamella sekunder, nekrosis lamella primer, dan lamella sekunder
akan menimbulkan gangguan pada lalu lintas air yang masuk melewati lamella
insang sehingga akan berakibat pada pengambilan oksigen terlarut dalam air yang
masuk ke insang serta pengeluaran karbondioksida ke luar dari insang.
4.2.2 Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila
(Oreochromis niloticus)
Persentase kerusakan jaringan insang ikan Nila (Oreochromis nilloticus)
berdasarkan hasil uji toksisitas akut pestisida berbahan aktif Sipermethrin
didapatkan tingkat kerusakan yang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Adapun tingkat kerusakan jaringan insang ikan Nila dapat dilihat pada
tabel 4 dan perhitungaan persentase tersebut terdapat pada lampiran 10.
Berdasarkan pada tabel 4 memperlihatkan bahwa tidak terjadinya
kerusakan pada konsentrasi 0 ppm (kontrol). Hal tersebut terjadi karena ikan Nila
masih dalam keadaan normal sehingga organ insang ikan Nila tidak mengalami
perubahan struktur jaringan insang. Sedangkan pada konsentrasi pemaparan
pestisida berbahan aktif Sipermethrin sebesar 0,0135 ppm, organ insang ikan Nila
mengalami kerusakan yang paling rendah yaitu nekrosis sebesar 0% dengan jenis
kerusakan tertinggi yaitu adalah terjadinya fusi yaitu sebesar 5,33%. Sedangkan
61
pada konsentrasi 0,018 ppm, kerusakan tertinggi terjadi pada fusi yaitu sebesar
6% dan tidak terjadinya kerusakan jaringan yaitu vakuolasi pada konsentrasi ini.
Tabel 4. Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Keterangan : Ed = Edema, He = Hemoragi, Fu= Fusi, Ne= Nekrosis.
Konsentrasi (ppm)
Jenis Kerusakan (%) Total Kerusakan
(%)
Tingkat Kerusakan Jaringan Insang
Ed He Fu Ne Va
0 (Kontrol) 0 0 0 0 0 0 - 0,0135 3,56 3,00 5,33 0 5,00 16,89 Ringan 0,018 3.67 5,33 6,00 3,67 0 18,67 Ringan 0,024 3,11 4,33 2,89 2,11 6,78 19,22 Ringan 0,032 3,33 3,78 2,89 7,44 4,78 22,22 Ringan 0,042 3,22 5,67 4,00 3,22 13,33 29.44 Ringan 0,065 1,33 3,11 4,11 7,89 14,22 30,67 Sedang 0,087 2,11 4,44 6,89 3,44 10,44 27,33 Ringan
Selain itu, kerusakan nekrosis yang tertinggi dibandingkan konsentrasi
lainnya yaitu berada pada konsentrasi 0,065 ppm dengan jumlah kerusakan
sebesar 7,89%. Sedangkan jumlah kerusakan fusi tertinggi berada pada
konsentrasi 0,087 ppm dengan jumlah kerusakan sebesar 6,89% dan kerusakan
hemoragi tertinggi pada konsentrasi 0,042 ppm dengan jumlah kerusakan sebesar
5,67%. Kerusakan edema merupakan salah satu kerusakan yang ada di setiap
konsentrasi. Hal tersebut dikarenakan edema merupakan salah satu kerusakan
yang selalu terjadi saat adanya kontaminasi pada tubuh organisme ditandai
dengan adanya pembengkakan sel. Dengan adanya mengakibatkan insang
mengalami penurunan fungsinya yaitu seperti kesulitan bernafas yang
menyebabkan metabolisme tubuh semakin terganggu bahkan bisa menyebabkan
kematian.
Terjadinya iritasi menurut Mulyani (2014) pada insang dan lamela insang
yang menjadi tertutup disebabkan karena adanya paparan secara langsung bahan
anorganik terlarut pada ikan. Hal ini menyebabkan fungsi insang menjadi tidak
wajar dan mengganggu proses pernafasan. Kerusakan pada struktur
mikroanatomi insang menurut Ishikawa, et al. (2017) menyebabkan ikan sulit
62
bernafas dan menyebabkan kandungan oksigen dalam darah menjadi berkurang
sehingga haemoglobin (Hb) kesulitan dalam mengikat oksigen dan mengalami
hipoksi sebagai akibat dari kerusakaan lamella sekunder insang.
Gambar 14. Persentase Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila
Berdasarkan gambar 14 memperlihatkan bahwa setiap konsentrasi
memiliki jumlah kerusakan yang berbeda-beda. Pada konsentrasi pemaparan
0,0135 ppm, 0,018 ppm, 0,024 ppm, 0,032 ppm, 0,042 ppm, 0,065 ppm dan 0,087
ppm terjadi peningkatan kerusakan yang signifikan. Jumlah kerusakan tertinggi
berada pada vakuolasi dan fusi, sedangkan kerusakan nekrosis, hemoragi dan
edema merupakan keruskan yang selalu ada di setiap konsentrasi pemaparan.
Kerusakan vakuolasi dan fusi tertinggi Menurut Fauzy, et al. (2014) dikarenakan
adanya zat toksik yang masuk ke dalam insang dan mengakibatkan perubahan
morfologis insang karena sel bersifat iritatif. Vakuolasi terjadi ketika adanya
kerusakan oksidasi yang diakibatkan karena meningkatnya peroksidasi lipid pada
membran sel menyebabkan jaringan epitel yang semakin luas. Selain itu,
banyaknya degenerasi jaringan mejadi bentuk yang kurang aktif juga
memperlihatkan bahwa telah terjadinya kerusakan vakuolasi. Kerusakan fusi
tertinggi menurut Sukarni, et al. (2012) diakibatkan karena telah adanya
02468
10121416
Edema Hemoragi Fusi Nekrosis Vakuolasi
PERS
ENTA
SE K
ERUS
AKAN
(%)
JENIS KERUSAKAN
0 ppm 0,0135 ppm 0,018 ppm 0,024 ppm
0,032 ppm 0,042 ppm 0,065 ppm 0,087 ppm
63
pembengkakan sel-sel insang (edema). Kerusakan fusi lamela merupakan tahap
awal suatu tindakan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut atau sebagai
mekanisme pertahanan terhadap adanya bahan pencemar yang masuk kedalam
tubuh ikan Nila sehingga dengan adanya kerusakan ini menunjukkan telah terjadi
kontaminasi tetapi belum ada pencemaran. Akibat adanya edema yang
menyebabkan asphyxia (kesulitan bernafas karena kekurangan oksigen)
mengakibatkan bertambahnya rangsangan organisme untuk mengikat sel darah
merah dan merangsang hematokrit dan hemoglobin untuk meningkatkan
mekanisme transfer oksigen di dalam tubuh. Hal tersebut merupakan salah satu
tindakan lamella sekunder karena berfungsi sebagai penghalang masuknya
kontaminan maupun salah satu tindakan ikan ketika mengalami hipoksia.
Organ yang paling rentan terserang parasit adalah insang. Hal ini
disebabkan karena insang merupakan organ pernafasan yang langsung
bersentuhan dengan lingkungan sekitarnya yang menyaring bahan-bahan yang
terlarut, menyaring partikel partikel pakan dan mengikat oksigen. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ali, et al. (2014) yang menyatakan bahwa letak insang, struktur
dan mekanisme kontak dengan lingkungan menjadikan insang sangat rentan
terhadap perubahan kondisi lingkungan serta menjadi tempat yang tepat bagi
berlangsungnya infeksi oleh organisme pathogen penyebab penyakit seperti
parasit.
Sedangkan kerusakan insang menurut Kinasih, et al. (2013) terjadi
dikarenakan pestisida masuk ke dalam insang melalui kontak langsung karena
letaknya diluar. Pengaruh zat toksik terhadap ikan menyebabkan morfologi insang
berubah dan tidak menyebabkan kematian dalam periode pendek. Selain itu, zat
toksik dapat merusak fungsi respirasi dari insang sehingga proses metabolisme
tubuh terganggu. Selain dari adanya kerusakan tersebut, pestisida dengan jenis
insektisida berbahan aktif Sipermethrin termasuk ke dalam toksik akut karena
64
jumlah konsentrasi LC50 pada uji sesungguhnya adalah 0,088ppm. Hal tersebut
sesuai dengan kriteria tingkatan nilai zat toksik berdasarkan kategori yang telah
ditentukan oleh CEPA (Canadian Environtmental Protection Act) dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Tabel 5. Kriteria Tingkatan Nilai Toksisitas LC50-96 Jam Pada Lingkungan Perairan (CEPA, 1999) No. Kategori Satuan 1. Rendah >100 mg/l 2. Sedang 10-100 mg/l 3. Tinggi 1-10 mg/l 4. Sangat Toksik < 1 mg/l
4.3 Kondisi dan Tingkah Laku Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Hasil secara visual terhadap pengamatan ikan Nila selama penelitian uji
toksisitas memperlihatkan adanya perubahan kondisi dan tingkah laku yang
signifikan. Adapun pengamatan secara visual terhadap kondisi ikan Nila sebagai
hewan uji selama pemaparan pestisida berbahan aktif Sipermethrin dalam waktu
96 jam dapat dilihat lampiran 6. Selain itu, untuk mengetahui skoring tingkah laku
ikan Nila dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Skoring Tingkah Laku Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Terhadap Sipermethrin
Konsentrasi (ppm)
Respons Tingkah Laku
Reflek Ikan Berenang Bergerombol
0 +++ +++ +++ 0,0135 +++ +++ +++ 0,018 +++ +++ +++ 0,024 ++ ++ +++ 0,032 ++ ++ +++ 0,042 + ++ +++ 0,065 + + +++ 0,087 + + +++
Keterangan : (-) : tidak ada respons; (+) : respons rendah; (++) : respons sedang; (+++) : respons tinggi.
Respon tingkah laku ikan NIla mengalami penurunan secara bertahap.
Pada konsentrasi 0 ppm, 0,0135 ppm dan 0,018 ppm memperlihatkan bahwa ikan
berenang aktif dan bergerak diseluruh badan air, peka terhadap rangsangan dan
65
tidak adanya kematian selama pengamatan. Sedangkan perubahan tingkah laku
ikan mulai terjadi pada konsentrasi 0,024 ppm dan 0,032 ppm yang
memperlihatkan bahwa ikan hanya berenang aktif selama 24 jam pengamatan,
mulai tidak teratur pada saat 48 jam pengamatan dan mendekati aerator pada 72
jam pengamatan. Selain itu pada konsentrasi 0,042 ppm telah terjadi penurunan
reflek ikan terhadap rangsnagan. Pada 0,065 ppm dan 0,087 ppm terjadi
penurunan respon ikan terhadap gerak sentuh ransangan dan ikan berenang yang
tidak teratur keatas dan kebawah badan air pada saat dimasukkan ke media
percobaaan kemudian ikan bergerak pasif disekitar aerator setelahnya disertai
dengan kematian ikan pada saat 48 jam sampai 96 jam pengamatan.
Pergerakan ikan pada setiap perlakuan berbeda dikarenakan adanya
perbedaan jumlah konsentrasi pestisida dengan jenis insektisida berbahan aktif
Sipermethrin yang diberikan pada saat penelitian. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Thomson (1971) bahwa pestisida dapat memberikan pengaruh pada
pola tingkah laku, arah gerakan dan persepsi terhadap rangsangan. Secara klinis
hewan yang terkontaminsi racun juga memperlihatkan gejala seperti stress yang
ditandai dengan gerakan yang kurang stabil dan cenderung berada di dasar.
Ikan yang terpapar toksisida menurut Shah (2010) dapat diketahui dari
tingkah laku ikan tersebut. Seperti halnya gerakan hiperaktif, menggelepar,
lumpuh kemudian mati merupakan pertanda bahwa ikan terkena racun pestisida.
Hal ini merupakan sebagai suatu cara untuk memperkecil proses biokimia dalam
tubuh yang teracuni sehingga efek letal yang terjadi lebih lambat. Selain itu,
adanya keberagaman dan banyaknya pengaruh subletal spesifik pestisida
menurut Connel dan Miller (1995) sangat berhubungan dengan suatu spektrum
luas terhadap tanggapan fisiologis dan perilaku. Adapun pengaruh insektisida
terhadap ikan merupakan perubahan dalam kemampuan belajar atau tanggapan
terhadap rangsangan alamiah, misalnya tanggapan terhadap salinitas dan suhu,
66
kurangnya kemampuan renang dan tekanan fisik, penurunan laju pertumbuhan,
dan perubahan fisiologis dan biokimia seperti ketidaknormalan histopatologis
dalam insang, hati, ginjal dan pembuluh darah, akumulasi dalam jaringan dan ke
dalam telur.
Pengaruh pemaparan pestisida berbahan aktif Sipermethrin pada ikan Nila
juga memperlihatkan adanya hubungan antara tingkah laku dan kerusakan
jaringan insang. Hasil penelitian yang didapatkan memperlihatkan bahwa
kerusakan jaringan insang dan respon tingkah laku pada konsentrasi pestisida
berbahan aktif Sipermethrin konsentrasi 0,065 ppm dengan 0,0135 ppm sangat
berbeda. Dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
pemaparan pestisida maka jumlah kerusakan jaringan insang semakin meningkat
disertai dengan adanya penurunan respon tingkah laku ikan Nila terhadap
rangsangan yang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Iwama, et al. (2005),
bahwa respons ikan yang terkena stresor akan mempengaruhi sel, organisme
individual, hingga populasi. Sinyal yang paling terlihat dari adanya stresor pada
ikan berupa respons tingkah laku. Tingkah laku menjadi bagian terpenting sebagai
upaya bertahan hidup untuk mengembalikan keadaan normal dalam waktu yang
singkat. Ikan yang tidak mampu mempertahankan respons fisiologis terhadap
stres maka akan menurunkan kelangsungan hidupnya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Suparjo (2010) yang menyatakan bahwa
perubahan lingkungan dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku (renang)
ikan. Adapun salah satu yang menyebabkan perubahan tingkah laku ikan uji
seperti halnya kadar bahan pencemar yang ada di tempat hidupnya. Ketika
jaringan insang yang terkena pestisida telah mengalami kerusakan, menyebabkan
insang tidak dapat bekerja dengan baik dalam menyerap oksigen. Hal tersebut
dapat terlihat daru adanya frekuensi pernafasan ikan dan konsumsi oksigen
67
meningkat 2-3 kali kemudian diikuti dengan penurunan ritme pernafasan,
kehilangan keseimbangan dan akhirnya mati.
4.4 Analisis Kualitas Air
Dalam penelitan uji toksisitas akut pestisida dengan jenis insektisida
berbahan aktif Sipermethrin terhadap ikan Nila dilakukan pengamatan dan
pengukuran kualitas air yang meliputi parameter fisika yaitu suhu maupun
parameter kimia yaitu derajat keasaman (pH) dan oksigen terlarut (DO). Adapun
hasil pengukuran parameter kualitas air berdasarkan pada tabel 7 memperlihatkan
tidak adanya perubahan besar antara parameter satu dengan lainnya.
Tabel 7. Data Hasil Parameter Kualitas Air. Parameter Nilai Standar*
23,3 C - 27,4 C 28-32*
pH 8,07 - 8,77 6,8-8,5*
DO (mg/L) 5,14mg/l -7,48mg/l >4**
Keterangan: (*) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, (**) Effendi (2003)
4.4.1 Suhu
Berdasarkan pada penelitian mengenai uji toksisitas akut pestisida dengan
jenis insektisida berbahan aktif Sipermethrin pada masing-masing perlakuan
terhadap ikan Nila menunjukan bahwa nilai suhu berkisar antara 23,3 C sampai
27,4 C. Pada kisaran tersebut masih mendukung kehidupan ikan Nila. Hal ini
sesuai dengan kisaran suhu ideal ikan Nila menurut Putri, et al. (2012) yaitu 14-
35 C.
Sedangkan menurut Rustidja (1996) bahwa suhu air sangat mempengaruhi
laju proses metabolisme dan pertumbuhan ikan. Suhu optimum untuk
pertumbuhan tilipia, ikan dataran tropis termasuk ikan Nila berkisar antrara 25 C-
68
30 C. Semuanya peka terhadap suhu rendah, dengan batas kematian antara 9 C-
13 C, tergantung pada spesiesnya.
4.4.2 Derajat Keasaman (pH)
Hasil pengukuran pH air pada uji toksisitas akut dengan jenis insektisida
berbahan aktif Sipermethrin pada masing-masing perlakuan menunjukkan nilai
sebesar 8,07 sampai 8,77. Dari nilai tersebut menunjukkan bahwa kisaran pH
masih dalam dalam kisaran yang baik bagi kehidupan ikan Nila. Menurut Amri dan
Khairuman (2003), derajat keasaman (pH) yang baik untuk budi daya ikan Nila
adalah 5-9. Dimana faktor yang mempengaruhi pH adalah konsentrasi
karbondioksida (CO2) dan senyawa yang bersifat asam.
Adanya hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa ikan Nila dalam
keaadah hidup dan mati, sesuai dengan pernyataan Said, et al. (2014) bahwa
sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan paling optimal
pertumbuhannya di pH berkisar 7-8,7. Nilai pH sangat mempengaruhi proses
biologi perairan dan juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Nilai pH
selama penelitian mengalami perubahan, baik peningkatan maupun penurunan.
Peningkatan nilai pH menurut Nurrachmi dan Tangahu (2014) disebabkan karena
adanya proses aerasi pada ikan. Aerasi ini dapat menyebabkan karbondioksida
terurai dan meningkatkan pH air. Sedangkan penurunan pH selama pengujian
disebabkan oleh kandungan toksikan yang bersifat asam serta proses
metabolisme ikan. Aktivitas ikan yang memproduksi asam akan menurunkan pH
di dalam air.
4.4.3 Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan komponen penting dan dapat menjadi faktor
pembatas untuk kehidupan ikan. Berdasarkan hasil pengukuran jumlah oksigen
69
terlarut pada setiap perlakuan berkisar antara 5,14 mg/l sampai 7,48 mg/l. Dari
hasil penguukuran kualitas perairan selama uji toksisitas akut pestisida berbahan
aktif Sipermethrin memperlihatkan bahwa jumlah oksigen terlarut (DO) di perairan
masuk kedalam kategori baik. Konsentrasi dan fluktuasi oksigen terlarut yang
dibutuhkan ikan menurut Swingle (1968) tergantung pada jenis dan ukurannya.
Untuk pertumbuhan dan hidup ikan membutuhkan konsentrasi oksigen terlarut
lebih besar dari 4 mg/l. Jika terjadi fluktuasi, misalnya mendekati 0 mg/l maka ikan
dapat mentolerir dalam jangka waktu tidak melebih 2 jam.
Oksigen menurut Nybakken (1992) juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-
bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Hasil fotosintesis oleh
fitoplankton dan tumbuhan air maupun berasal dari proses difusi dari udara
mempengaruhi jumlah oksigen terlarut didalam perairan. Adanya penemaran
bahan organik dapat terlihat dengan adanya jumlah kandungan oksigen terlarut
diperairan. Hal tersebut berhubungan dengan penurunan oksigen dalam air akibat
bertambahnya aktivitas dekomposisi dalam menguraikan limbah yang masuk ke
dalam perairan tersebut.
70
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian Ananlisis Histopatologi Insang Ikan Nila
(Oreochromis niloticus) pada Uji Toksisitas Akut Pestisida Berbahan Aktif
Sipermethrin, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil uji toksisitas akut LC50-96 jam diperoleh nilai batas maksimal
penggunaan pestisida dengan jenis insektisda berbahan aktif Sipermethrin
adalah 0,08 ppm yang termasuk kedalam kategori sangat toksik dimana hasil
tersebut didapatkan dari perhitungan analisa probit.
Terjadinya kerusakan jaringan insang ikan Nila akibat adanya pemaparan
pestisida berbahan aktif Sipermethrin seperti edema, hemoragi, vakuolasi, fusi
lamella dan nekrosis. Adapun presentase kerusakan pada konsentrasi 0,0135
ppm sebesar 16,89%, konsentrasi 0,018 ppm sebesar 18,67%, konsentrasi
0,024 ppm sebesar 19,22 %, konsentrasi 0,032 ppm sebesar 22,22%,
konsentrasi 0,042 ppm dengan jumlah 29,44%, dan konsentrasi 0,087 ppm
sebesar 27,33%. Total kerusakan tertinggi terdapat pada konsentrasi 0,065
ppm yaitu sebesar 30,67%. Berdasarkan hasil yang telah didapatkan
memperlihatkan bahwa tingkat kerusakan termasuk kedalam kategori ringan
sampai sedang.
Terjadinya perubahan respon tingkah laku ikan Nila pada saat pemaparan
pestisida berbahan aktif Sipermethrin, dimana disetiap pemaparan konsentrasi
pestisida berbahan aktif Sipermethrin memperlihatkan adanya perbedaan
yang signifikan dan semakin bertambahnya kerusakan jaringan insang ikan
Nila maka respon tingkah laku semakin rendah.
71
5.2 Saran
Penggunaan pestisida dengan jenis insektisida berbahan aktif
Sipermethrin oleh para petani diharapkan tidak melebihi batas maksimal. Jika
melebihi batas yang ditentukan maka pestisida akan masuk ke perairan sehingga
dapat menyebabkan kematian pada organisme disekitarnya. Oleh karena itu, perlu
adanya tindakan lebih lanjut seperti tindakan tegas terhadap para petani yang
melanggar batas nilai penggunaan maupun jenis insektisida yang digunakan pada
daerah di Malang. Selain itu, diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai
filtrasi air dalam sistem mina-padi dengan konsep pertanian dan pembudididayaan
ikan Nila sehingga meminimalisir kerusakan insang ikan Nila sebagai organ
biomarker terhadap pencemaran pestisida di perairan dan mengurangi dampak
negatif penggunaan pestisida bagi organisme di perairan tersebut dan manusia
yang mengkonsumsinya. Adanya pemberian informasi kepada masyarakat sekitar
mengenai perubahan tingkah laku ikan Nila terhadap pencemaran pestisida
berbahan aktif Sipermethrin, sehingga masyarakt dapat mengetahui bahwa
kondisi perairan tersebut termasuk ke dalam kategori pencemaran tingkat akut,
sedang maupun rendah untuk menghindari kegagalan panen dalam budidaya ikan
Nila.
72
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S. K., Y. Koniyo, dan Mulis. 2014. Identifikasi Ektoparasit Pada Ikan Nila (Oreochromis nilotica) Di Danau Limboto Provinsi Gorontalo. KIM Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 2(1):1-17.
Aliza, D., Winaruddin, dan Sipahutar, L. W. 2013. Efek Peningkatan Suhu Air Terhadap Perubahan Perilaku, Patologi Anatomi, Dan Histopatologi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Medika Veterinaria.7(2):142-145.
Amir, N., E. Suprayitno., Hardoko dan H. Nursyam. 2012. Pengaruh Sipermetrin pada Jambal Roti Terhadap Kadar Malondialdehyda (MDA) Hati dan Ginjal Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Prosiding Semnas Perikanan dan Kelautan Unila. 1(1):1-8.
Amir, N., Suprayitno, E., Hardoko, dan Nursyam, H. 2015. Pengaruh Sipermetrin Pada Jambal Roti Terhadap Kadar Ureum Dan Kreatinin Tikus Wistar (Rattus Norvegicus). Jurnal IPTEKS PSP. 2(3):283-293.
Amri, K. dan Khairuman, A,Md. 2002. Labi-labi:Komoditas Perikanan Multimanfaat. AgroMedia Pustaka. Bogor. 172 hlm.
Amri, K. Dan Khairuman, A,Md. 2003. Budidaya Ikan Nila secara Intensif. AgroMedia. Jakarta. 146 hlm.
Arboleda, Cora R. 1981. Communications Research. Manila: CFA
Azwar, Z.A., Suhenda, N., dan Praseno, O. 2004. Manajemen Pakan pada Usaha Budidaya Ikan di Karamba Jaring Apung. Pengembangan Budidaya Perikanan di Periran Waduk. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta, 37-44.
Bosman, O., F. H. Taqwa, Dan Marsi. 2013. Oksisitas Limbah Cair Lateks Terhadap Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan Dan Tingkat Konsumsi Oksigen Ikan Patin (Pangasius sp.). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1(2):148-160.
Canadian Environmental Protection Act (CEPA).1999. Risk Evaluation Determining Whether Environmental Emergency Planning is Required Under the Canadian Environmental Protection Act. Minister of the Environment Canada.
Carman, O. Dan Sucipto, A. 2013. Pembesaran Nila 2,5 Bulan. Penebar Swadaya. Jakarta. 100 hlm
Connel, D. W. dan Miller, G. J. 1995 Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Dalimunthe, L. S., M. Basyuni, dan , A. Suryanti. 2015. Kandungan Logam Berat Merkuri (Hg) pada Ikan Cencen (Mystacoleucus marginatus) di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal. Jurnal Aquacoastmarine. 6(1):1-10.
73
Damayanty, M. M. dan Abdulgani, N. 2013. Pengaruh Paparan Sub Lethal Insektisida Diazinon 600 EC terhadap Laju Konsumsi Oksigen dan Laju Pertumbuhan Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus). Jurnal Sains Dan Seni Pomits. 2(2):207-2011.
Edward, C.A. 1976. Persistent pesticides in the environment. CRC Press. Ohio. 170 hal.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Erlina, A. 2006. Kualitas Perairan Di Sekitar BBBPAP Jepara Ditinjau Dari Aspek Produktivitas Primer Sebagai Landasan Operasional Pengembangan Budidaya Udang dan Ikan. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Ewen. F,L.M.C., and Stephenson, G.R. 1979. The Use And Significance Of Pesticides In The Environment. Ltd. New York: John Wiley & Sons, New York, USA.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. 190 hlm.
Farida, N. dan Pudjiastuti, E. 2013. Peningkatan Kemampuan Menggambar Melalui Media Spidol Dengan Metode Pemberian Tugas Anak Kelompok A Tk Harapan Kita Surabaya. E-Journal Universitas Negeri Surabaya. 2(1):1-14.
Faridah N. 2010. Efektivitas Ekstrak Lidah Buaya Aloe Vera Dalam Pakan Sebagai Imunostimulan Untuk Mencegah Infeksi Aeromonas Hydrophila Pada Ikan Lele Dumbo Clarias Sp. Skripsi. Bogor:Institut Pertanian Bogor.
Fauzy, A., Tarsim, dan A. Setyawan. 2014. Histopatologi Organ Kakap Putih (Lates calcarifer) Dengan Infeksi Vibrio alginolyticus Dan Jintan Hitam (Nigella sativa) Sebagai Imunostimulan. E-journal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 3(1):319-326.
Fitriawan, F., Sutarno dan Sunarto. 2011. Microanatomy Alteration Of Gills And Kidneys In Freshwater Mussel (Anodonta woodiana) Due To Cadmium Exposure. Jurnal Bioteknologi. 3(1):28-35.
Ghufron, M. Dan Kordi, H. K. Budi Daya Ikan Nila di Kolam Terpal. Penerbit Andi. Yogyakarta. 121 hlm.
Goenarso, D. 1988. Perubahan Faal Ikan Sebagai Indikator Kehadiran Insektisida dan Detergen dalam Air. Disertasi. ITB. Bandung.
H. C. Pratiwi dan A. Manan. 2015. Teknik Dasar Histopatologi Pada Ikan Gurami (Osphronemus gouramy). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 7(2):153-158.
Hadi, A. A. Dan S. F. Alwan. 2012. Histopathological Changes in Gill, Liver and Kidney of Fresh Water Fish, Tilapia zillia, Exposed to Aluminium International Journal of Pharmacy and Life Sciences. 3(11):2071-2081.
Halang, Bunda. 2004. Toksisitas Air Limbah Deterjen Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio). Bioscientiae. 1(1):39-49
74
Handayani, R. I. 2015. Akumulasi Logam Berat Kromium (Cr) Pada Daging Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) dalam Karamba Jaring Apung (KJA) Di Sungai Winongo Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang.
Haqqawiy, E. J., Winaruddin, D. Aliza, dan H. Budiman. 2013. Pengaruh Kepadatan Populasi Terhadap Gambaran Patologi Anatomi Dan Histopatologi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Medika Veterinaria.7(1):25-26.
Haque, R., Falco, J., Cohen, S., & Riordan, C. 1980. Role of Transport and Fate Studies in The Exposure Assessment and Screening of Toxic Chemicals. in R. Haque (Eds) Dynamic, Exposure, and Hazard Assessment of Toxic Chemicals. Ann Arbor Science, Ann Arbor, Michigan, p. 47-67.
Hardi, E. H., Sukenda, E. Harris, dan A. M. Lusiastuti. 2011. Karakteristik dan -hemolitik dan Non-hemolitik
pada Ikan Nila. Jurnal Veteriner.12(2):152-164.
Hikmasari, R., Muhaimin, A. W., dan Setiawan, B. 2013. Efisiensi Teknis Usahatani Mina Mendong Dengan Pendekatan Stochastic Production Frontier (Kasus Di Desa Blayu Dan Desa Wajak, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang). Habitat. 24(1):1-9.
Ishikawa NM, Maria JT, Julio VL, & Claudia MF. 2007. Hematological Parameters in Nile Tilapia, Oreochromis niloticus Exposed to Subletal Contcentration of Mercury. Brazilian Archives of Biology And Technology. 50 (4): 13-16.
Istoto, E. H. Dan Dewi, N. K. 2013. Derajat Toksisitas Letal Akut Leachate Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio) (Studi Kasus di TPA Jatibarang Semarang). 14 hlm.
Iwama GK, Afonso LOB, Vijayan MM. 2005. The Physiology of Fishes: Stress in Fishes. Evans DH, Claiborne JB, editor. New York (US): CRC Press. 320-322 p.
Khairuman, H, dan Amri, K. 2012. Pembesaran Nila di Kolam Air Deras. Pt. AgroMedia Pustaka. Jakarta. 92 hlm.
Kinasih, I., A. Supriyatna., dan R. N. Rusputa. 2013. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Babadotan (Ageratum conyzoides Linn) Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn.) Sebagai Organisme Non-Target. Jurnal Kajian Islam, Sains dan Teknologi (ISTEK). VII(2):121-132.
Klein, L. 1983. River Pollution 2: Cause and Effects. Butterworth. London
Kusnoputranto, H. 1995. Pengantar toksikologi lingkungan. Dirjen Pendidikan
Kusumadewi, M. R., Suyasa, I. W.B., dan Berata, I. K. 2015. Tingkat Biokonsentrasi Logam Berat Dan Gambaran Histopatologi Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) Yang Hidup Di Perairan Tukad Badung Kota Denpasar. Ecotrophic.9(1):25-34.
Kusumastuti, N. H. 2014. Penggunaan Insektisida Rumah Tangga Antinyamuk Di Desa Pangandaran, Kabupaten Pangandaran. Widyariset. 17(3):417 424.
Laboratorium Patologi dan Anatomi. 2016. Proses Pengerjaan Preparat Histopatologi. Fakultas Kedokteran. Universitas Brawijaya. Malang.
75
Lagler, K.F., J.E. Bardach, R.R. Miller, R.M. Dora, Pasiono. 1977. Ichtyologi, Second Edition. John Willey and Sons, Inc. Toronto.
Livingston, R.J and Armando A. de La Cruz. 1977. Review of Current Literature Concerning The Accute and Chronic Effect of Pesticides on Aquatic Organism. CRC Criical Reviews Environmental Control. 7(4): 325-351.
Lubis, S. D. P. S., B. Utomo, dan R. Ezraneti. 2014. Uji Toksisitas Deterjen Cair Terhadap Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.). Jurnal Aquacoastmarine. 4(3):69-75.
Modu, B. M., M. Saiful, M. Kartini, Z. Kasim, M. Hassan, F. M. Sharharom, Harrison. 2012. Effects of Water Quality and Monogenean Parasite in The Gills of Freshwater Cat Fish, Hemibagrus nemurus Valenciennes 1840. Journal of Biological Sciences. 4 (3):242-246.
Moyle, P. B and Joseph, J.C. 2004. Fishes : An Introduction to Ichtyology. Pearson Prentice Hall of India. 726 pages.
Mulyana dan F.S Mumpuni. 2015. Ektoparasit Pada Benih Ikan Nilem. Jurnal Pertanian. 6(2):83-87.
Mulyani, F. A. M. 2014. Uji Toksisitas dan Perubahan Struktur Mikroanatomi Insang Ikan Nila Larasati (Oreocgromis nilloticus Var.) Yang Dipapar Timbal Asetat. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Mulyani, F.A.M., P. Widiyaningrum, dan N.R. Utami. 2014. Uji Toksisitas dan Perubahan Struktur Mikroanatomi Insang Ikan Nila Larasati (Oreochromis niloticus) yang Dipapar Timbal Asetat. Jurnal MIPA. 37(1):1-6
Mutiara, A. A., I. Rustikawati, dan T. Herawati. 2013. Akumulasi Timbal (Pb) Dan Kadmium (Cd) Serta Kerusakan Pada Insang, Hati Dan Daging Ikan Patin (Pangisius sp.) Di Waduk Saguling. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 4(4):1-10.
Narwanti, I., Sugiharto, E., dan Anwar, A. 2012. Residu Pestisida Piretroid Pada Bawang Merah Di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul. Jurnal Ilmiah Kefarmasian. 2(2):119 128.
Negara, Abdi. 2003. Penggunaan Analisis Probit Untuk Pendugaan Tingkat Kepekaan Populasi Spodoptera exigua Terhadap Deltametrin di Daerah Istimewa Yogyakarta. Informatika Pertanian. 12: 1-8.
Novalia, L., B. Putri, dan H. W. Maharani. 2013. Pengaruh Metsulfuron Terhadap Jaringan Insang Patin Siam (Pangasius hypothalamus). Jurnal Aquaculture Engineering and Technology. 2(1):175-178.
Noviawaty. 2012. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Konsumen Membeli Produk Vetsin. Jurnal Orasi Bisnis. 7 : 37 43.
Nurrachmi, Dika dan B. V. Tangahu. 2014. Uji Toksisitas Akut Insektisida Sipermetrin dan Lamda Sihalotrih Terhadap Biota Uji Ikan Guppy (Poecilia reticulata). Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi Lingkungan Institut Teknilogi Sepuluh Nopember. 3:1-18.
Nybakken,J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia, Jakarta. 480 hlm.
76
P.E. Sudaryatma dan N. N. Eriawati. 2012. Histopatologis Insang Ikan Hias Air Laut yang Terinfestasi Dactylogyrus sp. Jurnal Sain Veteriner. XXX(1):68-75.
Pantung, N., Kersting G. H., Herbert F. H., dan V. Cheevaporn. 2008. Histopatological Alterations of Hybird Walking Catfish (Clarias macrocephalus x Clarias gariepinus) in Acute and Subacute Cadmium Exposure. Environtment Asia. 1:22-27.
Parameswari, W., A. D. Sasanti, dan Muslim. 2013. Populasi Bakteri, Histologi, Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Gabus (Channa striata) Yang Dipelihara dalam Media Dengan Penambahan Probitik. Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 1(1):76-89.
Patnaik, B.B., Hongray H. J., Theresia M., dan M. Selvanayagam. 2011. Histopatology of Gill, Liver, Muscle And Brain of Cyprinus carpio communis L. Exposed To Sublethal Concentration of Lead And Cadmium. African Journal of Biotechnology. 10(57):12218-12223.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran.
Plumb, J.A. 1994. Optimum Concentration of Edwardsiella ictaluri Vaccine In Feed For Oral Vaccination Of Channel Catfish. Journal of Aquatic Animal Health. 6:118-121.
Pratama, B. B., Z. Hasan, dan H. Hamdani. 2012. Pola Migrasi Vertikal Diurnal Plankton di Pantai Santolo Kabupaten Garut. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(1):81 - 89.
Priyanto, N., Dwiyitno, dan Ariyani, F. 2008. Kandungan Logam Berat (Hg, Pb, Cd, Dan Cu) Pada Ikan, Air, Dan Sedimen Di Waduk Cirata, Jawa Barat. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.3(1):69-78.
Priyosoeryanto, B, P., I. M.Ersa.,R. Tiuria., dan S .U. Handayani.2010. Gambaran Histopatologi Insang, Usus dan Otot Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Berasal dari Daerah Ciampea, Bogor. Indonesian Journal of Veterinary Science & Medicine. 2(1):1-8.
Puspasari, T., Andriani, Y., dan Hamdani, H. 2015. Pemanfaatan Bungkil Kacang Tanah dalam Pakan Ikan Terhadap Laju Pertumbuhan Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Perikanan Kelautan. 6(2):91-100.
Putri, F. S., Z. Hasan dan K. Haetami. 2012. Pengaruh Pemberian Bakteri Probiotik Pada Pelet Yang Mengandung Kaliandra (Calliandraccalothyrsus) Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(4):283-291.
Raini, M. 2009. Toksikologi Insektisida Rumah Tangga dan Pencegahan Keracunan. Media Litbang Kesehatan. 19(2): 27 33.
Rakhmat, Jalaluddin. 1990. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
77
Rennika, Aunurohim, dan Abdulgani, N. 2013. Konsentrasi dan Lama Pemaparan Senyawa Organik dan Inorganik pada Jaringan Insang Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) pada Kondisi Sub Lethal. Jurnal Sains Dan Seni Pomits. 2(2):132-137.
Rian Nurhasanah. 2016. Antihelmintik Ekstrak Rimpang Paku Drynaria Quercifolia Terhadap Mortalitas Cacing Ascaridia Galli Secara In Vitro. Jurnal Biologi.V(4):1-9.
Robert R. J. 2001. Fish Pathology 3rd Edition. W.B. Saunders. London.
Romziyah, R. 2012. Studi Toksisitas Akut Timbel (Pb) terhadap Kijing Taiwan (Anodonta woodina). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Brawijaya, Malang.
Rudiyanti, S. Dan Ekasari, A. D. Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan Mas (Cyprinus carpio Linn) Pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 G. Jurnal Saintek Perikanan. 5(1):49 54.
Rustidja. 1996. Pola Warna Dan Genetik Ikan NIla. Budidaya Perairan Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. 83 hlm.
Sadana, F. N. V., Y. Aida, dan L. I. M. Yulianti. 2014. Dampak Krom Pada Limbah Buangan Industri Penyamakan Kulit Di Sungai Gajah Wong Terhadap Mortalitas Dan Morfologi Sisik Dan Insang Ikan Nila Hitam (Oreochromis niloticus). Jurnal Biologi. 1-14 hlm. Yogyakarta: Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya.
Said, I., D. A. Lubis, dan Suherman. 2014. Akumulasi Timbal (Pb) Dan Tembaga (Cu) Pada Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus) Di Perairan Estuaria Teluk Palu. Jurnal Akademika Kimia. 3(2)66-72.
Saparinto, C. 2013. Budidaya Ikan di Kolam Terpal. Penebar Swadaya. Bogor.
Saputra, H. M., N. Marusin, dan P. Santoso. 2013. Struktur Histologis Insang dan Kadar Hemoglobin Ikan Asang (Osteochilus hasseltii C.V) di Danau Singkarak dan Maninjau, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2(2):138-144.
Sari, S. D., Wardiyanto dan A. Setyawan. 2014. Profil Histopatologi Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) yang Distimulasi Jintan Hitam (Nogellia sativa) dan Diinfeksi Viral Nervous Necrosis (VN). Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan Aquasains.3(1):207-212.
Setyawan.2009. Prosedur Analisis Histopatologis Jaringan Ikan. Akademi Perikanan.
Setyawati, I., Wiratmini, N. I., dan Wiryatno, J. 2011. Pertumbuhan, Histopatologi Ovarium Dan Fekunditas Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus) Setelah Paparan Pestisida Organofosfat. Jurnal Biologi. 15(2):44-48.
Shah L. S. 2010. Hematological Changes in Tinca Tinca After Exposure to Lethal and Sublethal Doses of Mercury, Cadmium And Lead. Iranian Journal of Fisheries Sciences. 9(3): 434-443.
Sianturi, P., Mulya, M. B., dan Ezraneti, R. 2014. Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri Tahu terhadap Ikan Patin (Pangasius sp.). Jurnal Aquacoastmarine. 3(2):85-94.
78
Siregar, S. N., Irwanmay, dan Leidonald, R. 2014. Uji Toksisitas Pelembut Pakaian Terhadap Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Jurnal Aquacoastmarine. 3(2):75-84.
Siti Rudiyanti. 2010. Toksisitas Ekstrak Daun Tembakau (Nicotina tobacum) Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila. Jurnal Saintek Perikanan. VI(1):56 61.
Situmorang, S. H. 2010. Analisis Data:Untuk Riset Manajemen dan Bisnis. USU Press. Medan. 215 hlm.
Sudaryatma, P. E. dan Eriawati, N. N. 2012. Histopatologis Insang Ikan Hias Air Laut yang Terinfestasi Dactylogyrus sp. Jurnal Sains Veteriner. 30(1):68-75.
Sukarni., Maftuch, dan H. Nursyam. 2012. Kajian Penggunaan Ciprofloxacin terhadap Histologi Insang dan Hati Ikan Botia (Botia macracanthus, Bleeker) yang Diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila. Jurnal Explorasi Life Science. II(1):6-12.
Suparjo, M.N. 2010. Kerusakan Jaringan Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) Akibat Deterjen. Jurnal Saintek Perikanan. 5(2):1-7.
Suryabrata, S. 1989. Metodelogi Penelitian. Rajawali Press. Jakarta. 180 hlm.
Suryati, E., A. Parenrengi., Rosmiati, Dan A. Laining. 2012. Penapisan Dan Analisis Sponge Efektif Sebagai Antibiofouling Di Tambak Dan Keramba Jaring Apung. Marina Chimica Acta. Hlm. 16-20.
Susanah, U. A. 2011. Struktur Mikroanatomi Insang Ikan Bandeng Di Tambak Wilayah Tapak Kelurahan Tugurejo Kecamatan Tugu Semarang. Skripsi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Susy P. 2008. Pendekatan Ergonomi Total Untuk Mengantisipasi Risiko Keracunan Pestisida Pada Petani-Petani Bali. Jurnal Bumi Lestari. 8(2):154-161.
Suyanto, R. 2010. Pembenihan dan Pembesaran Nila. Penebar Swadaya. Jakarta. 124 hlm.
Swingle, A.S. 1968. Standardization of Chemicaland Analisys for Water and Pond Muds.FAO World a Symposium on Warm Water Pond Fish Cultur. Fishery Report. 44(4):397-421.
Syatik, A. A., D. Hidayati., N. Abdulgani, dan Aunurohim. 2011 HISTOPATOLOGIS INSANG IKAN MUJAIR (Oreochromis mossambicus) YANG DIPAPARKAN SECARA IN SITU DI SUNGAI ALOO SIDOARJO. Surabaya: Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.1-6 hlm.
Tandjung S.D. 1995. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Tasyakal, A. R. 2015. Gambaran Histopatologi Organ Hati Dan Insang Ikan Bandeng (Chanos chanos) Yang Terkontaminasi Loga Timbel (Pb) Di Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar.
79
Taufik, I. 2011. Pencemaran Pestisida Pada Perairan Perikanan Di Sukabumi-Jawa Barat. Media Akuakultur. 6(1):69-75.
Thomson, R.C.M. 1971. Pesticide and Freshwater Fauna. Academic Press London and New York.
Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 133 hal.
Tuffery, A. R. 2007. Histology. Lecture JF Medicine and JF Physiotherapy.
Tunas, S. M., Rengkung, J., dan Rogi O. A.H. 2014. Politeknik Pertanian Dan Agroindustri Di Amurang (Penerapan Simbol Budaya Dengan Pendekatan Semiotika). Jurnal Arsitektur Daseng Unsrat Manado. 2(2):72-79.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. UGM, Yogyakarta.
Varney, H., J. M. Bartlett Publisher. USA.
Viarenggo, A., Lowe, D., Bolognesi, C., Fabbri, E., dan Koehler, A., 2007. The Use of Biomarkers in Biomonitoring : A 2-tier Approach Assessing The Level of Pollutant-Induced Stress Syndrome in Sentinel Organisms. Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Toxicology and Pharmacology, 146(3):281-300.
Warsito, R., D. Yunasfi., Z. A. H. 2015. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Daun Kamboja (Plumiera rubra L.) pada Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus). Jurnal Aquacoastmarine. 8(3):1-12.
Wirasuta, I.M. A. G., Dan R. Niruri. Buku Ajar : Toksikologi Umum. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. Hlm. 1-120.
Wulandari, E. dan H. T. Sutanto. 2013. Model Regresi Probit Untuk Mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jumlah Penderita Diare Di Jawa Timur. E-jounal UNESA-MATHunesa. 2(1):1-6.
Wulandari, W., Sukiya dan Suhandoyo. 2013. Efek Insektisida Decis Terhadap Mortalitas dan Struktur Histologis Insang
Jurnal Sains Veteriner. 31(2):251-265.
Yuliani, R. L., Purwanti, E., dan Pantiwati, Y. 2015. Pengaruh Limbah Detergen Industri Laundry terhadap Mortalitas dan Indeks Fisiologi Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS. 6 hlm.
Zeinab A. E. E., A.E.E. Elgamal, dan N. A.M. Ahmed. 2016. Effect of Prolonged Ammonia Toxicity on Fertilized Eggs, Hatchability And Size of Newly Hatched Larvae of Nile tilapia, Oreochromis niloticus. Elsevier:Egyptian Journal of Aquatic Research. 42:215-222.
Zilfa, Yusuf, Y., Safni, dan Rahmi, W. 2013. Pemanfaatan TiO2/Zeolit Alam Sebagai Pendegradasi Pestisida (Permetrin) Secara Ozonolisis. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung. 1(1):477-482.