isi histopatologi
TRANSCRIPT
III. Mata Acara Praktikum : Pengamatan Preparat Histologi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lingkungan perairan dengan segenap aspek dinamikanya merupakan salah
satu faktor penting dalam usaha pembudidayaan ikan. Hal ini tidak lepas dari
kegiatan manusia yang mana bila ditinjau dari dampak lingkungan secara
langsung atau tidak langsung maka akan mempengaruhi komoditas perairan.
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas dan kepentingan manusia adalah
berupa pencemaran berbagai bahan essensial dan nonessensial yang dapat terjadi
pada badan air dalam lingkungan perairan (Palar 1994). Selanjutnya dituliskan
bahwa logam merupakan salah satu bahan pencemar yang dapat menimbulkan
suatu bahaya khususnya bagi ikan. Hal ini dapat terjadi jika sejumlah logam telah
mencemari dan ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam perairan sampai pada
batas tertentu yang melebihi daya dukung lingkungan,maka keberadaan logan
berat dapat bersifat racun bagi organisme perairan (Darmono 1995).
Histologi berasal dari kata Yunani yaitu histos yang berarti jringan dan
logos yang brarti ilmu yang menguraikan struktur dari hewan secara terperinci
dan hubungan antara struktur pengorganisasian sel dan jringan serta fungsi-fungsi
yang mereka lakukan. Jaringan merupakan sekumpulan sel yang tersimpan dalam
satu kerangka struktur atau mortalitas yang mempunyai suatu kerangka organisasi
yang mampu mempertahankan kekutan penyesuaian terhadap lingkungan di luar
batas dirinya ( Bavelender, 1988 ).
Menurut wikipedia (2009) histrologi adalah bidang biologi yang
mempelajari srtuktur jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan
jaringan yang di potong tipis, Histologi dapat juga di sebut sebagai ilmu anatomi
mikroskop.
Histologi adalah bidang biologi yang mempelajari tentang struktur
jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang
dipotong tipis. Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi mikroskopis.
Bidang biologi ini amat berguna dalam keakuratan diagnosis tumor dan berbagai
penyakit lain yang sampelnya memerlukan pemeriksaan histologis. (dalam
praktikum ini digunakan untuk mengamati jaringan pada ikan mas)
Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi
jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting
dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam
penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang
diduga terganggu. Zat racun yang masuk ke dalam tubuh organisme dapat
menyebabkan
Zat racun yang masuk ke dalam tubuh organisme dapat menyebabkan
kelainan pada fungsi organ. Kelainan tergantung dari seberapa besar toksisitas zat
racun yang masuk ke dalam tubuh organisme. Untuk mempelajari sejauh apa zat
racun dapat merusak jaringan organ maka dilakukan pengamatan hispatologi.
Yaitu dengan cara melihat jaringan yang ingin diamati dibawah mikroskop.
Histopatologi dapat dilakukan dengan mengambil sampel jaringan
(misalnya seperti dalam penentuan kanker payudara) atau dengan mengamati
jaringan setelah kematian terjadi. Dengan membandingkan kondisi jaringan sehat
terhadap jaringan sampel dapat diketahui apakah suatu penyakit yang diduga
benar-benar menyerang atau tidak. Ilmu ini dipelajari dalam semua bidang
patologi, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan.
1.2 Tujuan Praktikum
Penelitian ini bertujuan untuk melihat penampakan kerusakan organ dalam
pada ikan dan mendiagnosis penyakit terhadap jaringan yang diduga
terganggu.selain itu histology organ atau jaringan dengan pengamatan terhadap
perubahan morfologi, struktur dan indikasi kerusakan / infeksi / mutasi lainnya
akibat pengaruh penyakit,bahan toksik atu proses-proses mutagenisis lainnya.
Serta untuk mengetahui gejala histopatologi terhadap organ biota uji yang
terpapar bahan toksik.
1.3 Manfaat Praktikum
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi dalam
mengkaji berbahanya logam terhadap kehidupan organisme perairan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Analisis Histologi dan Histopatologi
Histologi adalah ilmu yang menguraikan struktur dari hewan secara
terperinci dan hubungan antara struktur pengorganisasian sel dan jaringan serta
fungsi-fungsi yang mereka lakukan. Jaringan merupakan sekumpulan sel yang
tersimpan dalam suatu kerangka struktur atau matriks yang mempunyai suatu
kesatuan organisasi yang mampu mempertahankan keutuhan dan penyesuaian
terhadap lingkungan diluar batas dirinya (Bavelander, 1998). Histologi adalah
cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan. Sedangkan analisis
histologi adalah analisa tentang sel jaringan mahluk hidup (Wikipedia Indonesia).
Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi
jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting
dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam
penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang
diduga terganggu (Wikipedia Indonesia).
Analisa organ ikan yang dilakukan pada praktikum adalah menganalisa
bagian tubuh ikan dan membandingkan organ yang normal dengan organ yang
terkena kontaminasi, baik kondisi lingkungan yang terkena pecemar seperti logam
berat (patologi). Perbedaan-perbaedaan antara organ kontrol (sehat/tidak
terkontaminasi) dan ogan patologi sangat jelas sekali dengan analisa histologi ini.
Organ yang terkena pencemar telah mengalami perubahan-perubahan atau
kerusakan-karusakna pada jaringan organ tersebut dilihat secara kasat mata
melalui mikroskop. Organ Ikan yang digunakan untuk analisis histologi pada
praktikum ini adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Organ-ogan yang dianalisa
adalah ren (ginjal), insang, intestinum, dan hepar (hati).
2.1.1 Hepar
Hepar (hati) antara yang kontrol dengan patologi sangat berbeda jelas, dari
segi warna, kenampakan, bentuk dan ukurannya. Warna hepar kontrol terlihan
cerah, sedangkan yang patologi warnanya terlihat gelap atau merah tua. Pada
jaringan hepar yang patologi terdapat bercak hitam (necrosis) itu menandakan
bahwa jaringan tersebut rusak atau terkena bahan pencemar. Perbandingan ukuran
antara hepar yang tidak terkontaminasi logam berat (kontrol) dengan patologi,
hepar patologi lebih besar atau dengan kata lain mengalami pembengkakan
jarinagn karena kontaminasi tersebut. Karakteristik lain dari hepar patologo
adalah, adanya benjolan-benjolan pada jaringan.
2.1.2 Insang
Insang normal/kontrol warnanya merah (cerah) sedangkan yang patologi
berwarna gelap, itu menunjukan insang terkena bahana pencemar. Pada organ
insang yang patologi, ukurannya lebih besar atau dengan kata lain insang
mengalami pembengkakan akibat kontaminasi dari lingkungan. Selain itu, ciri
dari insang yang terkena kontaminasi adanya bercak hitam pada bagian
lamelanya. Hal lain yang membedakan antara kontrol dengan patologi adalah dari
susunan lamela, susunan lamela insang kontrol terlihat lebih rapih, sedangkan
patologi tidak.
2.1.3 Intestinum
Organ intestinum yang terkontaminasi baham pencemar seperti logam
berat, mengalami perubahan ukuran. Ukiuran intestinum normal (kontrol)
berbentuk bulat tidak rata, sedangkan yang patologi atau yang terkena
kontaminasi berbentuk oval. Rongga-rongga dalam intestinum kontrol terlihat
lebih renggang, sedangkan yang patologi rapat, dan hampir tidak ada rongga
antara satu dengan yang lainnya. Warna intestinum kontrol nampak lebih cerah
sedangkan yang terkontaminasi/patologi terlihat lebih kusam. Nampak tidak ada
bercak hitam (necrosis) pada jaringan baik yang kontrol maupun patologi.
2.1.4 Ren
Pada organ ini perbedaan antara paologi denagn kontrol, dimana warna ren
kontrol terlihan lebih cerah dibandingkan dengan patologi. Warna ren patologi
nampak gelap, itu dikarenakan akibat dari kontaminasi bahan pencemar seperti
logam berat yang mempengaruhi ren. Ukuran ren patologi lebih besar atau ren
mengalami pembengkakan akibat dari kontamisnasi bahan pencemar
dibandingkan dengan ren kontrol. Selain itu, bercak hitam yang ada pada ren
patologi menunjukan ren tersebut terkoena kontaminasi bahan pencemar,
sedangkan yang kontrol tidak nampak atau tidak ada bercak hitam.
2.2 Tijauan Umum Kerusakan Jaringan/ Organ Akibat Bahan Toksik
2.2.1 Hiperplasia
Hiperplasia atau hipergenesis adalah istilah umum yang mengacu pada sel
dalam suatu organ atau jaringan di luar apa yang biasanya dilihat. hiperplasia
terjadi akibat adanya penambahan jumlah volume akibat adanya penyumbatan
antar permukaan glomerulus (Takashima dan Hibiya, 1995).
Hiperplasia adalah bertambahnya jumlah sel dalam suatu jaringan atau
organ sehingga jaringan atau organ menjadi lebih besar ukurannya dari normal.
Hiperplasia dapat dikelompokkan menjadi fisiologik dan patologik. Hiperplasia
fisiologis terjadi karena sebab yang fisiologi atau normal dalam tubuh.
Hiperplasia patologik disebabkan oleh stimulus hormonal yang berlebihan atau
efek berlebihan dari hormone pertumbuhan pada sel sasaran. Hiperplasia
patologik dapat berkembang menjadi tumor ganas.
Gambar 1. Hiperplasia pada Insang
Sumber :Desrina, Sarjito, Rohita Sari. 2006. Histologi Ikan. Semarang: Jurusan
Perikanan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.
Gambar 2. Hiperplasia pada Ginjal
Sumber : www.pathologyoutlines.com
Gambar 3. Hiperplasia pada Hati
Sumber : www.pathologyoutlines.com
2.2.2 Hipoplasia
Hipoplasia adalah penurunan jumlah sel yang nyata dalam jaringan yang
mengakibatkan penurunan jaringan atau organ, akibatnya organ tersebut menjadi
kerdil. Hipoplasia dapat juga mengenai semua bagian tubuh, dapat mengenai salah
satu dari sepasang organ atau bahkan dapat mengenai kedua organ yang
berpasangan. (Zainal, 2010)
Hipoplasia adalah sebuah kelainan yang mengindikasikan sebuah
perkembangan / pertumbuhan yang terhambat, sehingga organ yang terkena
kelainan tersebut berukuran lebih kecil/mengecil dari ukuran normalnya.
Hipoplasia adalah terhambatnya perkembangan atau pertumbuhan sebagian atau
seluruh jaringan tumbuhan akibat serangan patogen (Abdul Fatah Alu, Rabu, 8
April 2009).
Hipoplasia merupakan perkembangan yang tidak sempurna dari suatu
organ. Suatu organ yang mengalami hipoplasia terbentuk normal. Namun, ukuran
organ terlalu kecil jika dibandingkan dengan ukuran normal. Pada atrofi, alat
tubuh pernah mencapai ukuran normal dan selanjutnya menjadi lebih kecil,
sedangkan pada hipoplasia, dari awal organ tersebut memang berukuran kecil dan
tidak akan mencapai ukuran yang normal (littleaboutme, 19 July 2009)
2.2.3 Nekrosis
Nekrosis adalah terjadinya kematian sel hati. Kematian sel terjadi bersama
dengan pecahnya membran plasma. Perlemakan hati adalah hati yang
mengandung berat lipid lebih dari 5% atau telah terjadi penimbunan lipid dalam
hati. Atrofi adalah menurunnya ukuran ukuran jaringan yang disebabkan
berkurangnya jumlah sel atau ukuran sel. Tingkat kerusakan hati menurut
Darmono (1995), dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Perlemakan
hati termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel.
Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat
adalah kematian sel atau nekrosis. Necrosis menggambarkan keadaan dimana
terjadi penurunan aktivitas jaringan yang ditandai dengan hilangnya beberapa
bagian sel satu demi satu dari satu jaringan sehingga dalam waktu yang tidak lama
akan mengalami kematian. (Takashima dan Hibiya,1995).
2.3 Pembuatan Preparat Histologi
Tahapan pembuatan preparat histologi menurut Setiawan P (2009) :
1. Pengambilan jaringan ikan. Pada sampel ikan yang masih kecil dapat langsung
fiksasi tanpa dipotong. Pada ikan yang berukuran besar diambil jaringan
tertentu yang akan diamati dan dimasukkan ke dalam larutan fiksasi.
2. Fiksasi. Larva atau ikan berukukan kecil difiksasi dengan larutan PFA 4%
dalam medium Phosphate buffered saline (PBS). Sampel dimasukkan ke
dalam botol yang sudah berisi larutan fiksatif dengan perbandingan antara
sampel dengan larutan adalah 1:20. kemudian disimpan selama 24 jam dalam
refrigerator. Setelah 24 jam kemudian sampel diambil dan dicuci dengan PBS
selama 5 menit sebanyak 3 kali untuk menghilangkan sisa-sisa PFA sebelum
ke tahap selanjutnya. Ikan yang berukuran relatif besar difiksasi dengan
larutan Bouin’s selama 1 minggu dalam suhu kamar. Selanjutnya sampel
dicuci dalam larutan alkohol 70% hingga warna kuning hilang, kemudian
sampel disimpan dalam alkohol 70% hingga pemrosesan lebih lanjut. Sampel
yang berukuran besar harus melaui prosedur dekalsifikasi dalam larutan 5%
trichloroacetid acid selama 24 jam untuk melunakkan struktur tulangnya.
3. Dehidrasi. Sampel yang sudah difiksasi kemudian dimasukkan berturut-turut
ke dalam larutan sebagai berikut: Alkohol 70%, Alkohol 80%, Alkohol 90%,
Alkohol Absolut I, Alkohol Absolut II, masing-masing selama 45 menit,
kemudian dilanjutkan ke proses penjernihan.
4. Penjernihan (clearing). Sampel dari proses dehidrasi dimasukkan ke dalam
larutan alkohol:xylol 1:1 dan 1:3 selama 30 menit. kemudian Xylol I dan
Xylol II masing-masing selama 30 menit.
5. Infiltrasi. Sampel yang sudah dijernihkan dalam xylol diinfiltrasi secara
bertahap dalam campuran xylol : paraffin 3:1 ; 1:1 dan 1:3 masing-masing
selama 30 menit, dilanjutkan dengan paraffin murni sebanyak 2 x 60 menit.
Seluruh rangkaian infiltrasi dilakukan dalam inkubator pada temperatur 58-
60oC.
6. Penanaman sampel (Embedding). Parafin dicairkan di dalam inkubator pada
temperatur 60oC. Cetakan berukuran 2 x 2 x 2 cm diisi dengan paraffin cair,
bagian bawah cetakan didinginkan di atas blok es sehingga paraffin pada dasar
cetakan agak memadat. Sampel diletakkan di atas paraffin yang agak memadat
tersebut sesuai dengan orientasi irisan yang direncanakan, kemudian
ditempelkan holder yang telah diberi label sesuai dengan kode sampel.
Cetakan paraffin selanjutnya dibiarkan dalam temperatur ruang agar
parafinnya memadat.
7. Pengirisan (Sectioning) dan peletakan pada gelas obyek. Water bath disiapkan
dengan suhu 40-50oC dan disiapkan wadah berisi air dingin. Kemudian blok
yang sudah didinginkan dipasang di mikrotom yang sudah diatur pada
ketebalan 4-7 μm. Putaran mikrotom dibuat konstan sampai blok yang berisi
sampel jaringan teriris. Setelah itu irisan dipindahkan ke dalam baskom yang
berisi air dingin, kemudian ditempelkan pada gelas obyek yang sudah dilapisi
gelatin dan diberi kode sama dengan blok yang di iris. Selanjutnya dicelupkan
ke dalam air hangat dalam water bath agar irisan mengembang. Kemudian
ditiriskan untuk dilakukan pewarnaan.
2.4 Bahan Toksik
2.4.1 Pestisida
Di Indonesia, pestisida yang paling dominan banyak digunakan sejak
tahun 1950an sampai akhir tahun 1960an adalah pestisida dari golongan
hidrokarbon berklor seperti DDT, endrin, aldrin, dieldrin, heptaklor dan gamma
BHC. Penggunaan pestisida-pestisida fosfat organik seperti paration, OMPA,
TEPP pada masa lampau tidak perlu dikhawatirkan, karena walaupun bahan-
bahan ini sangat beracun (racun akut), akan tetapi pestisida-pestisida tersebut
sangat mudah terurai dan tidak mempunyai efek residu yang menahun. Hal
penting yang masih perlu diperhatikan masa kini ialah dampak penggunaan
hidrokarbon berklor pada masa lampau khususnya terhadap aplikasi derivat-
derivat DDT, endrin dan dieldrin.
Pada tanah-tanah pertanian yang menggunakan bahan organik yang tinggi,
residu pestisida akan sangat tinggi karena jenis tanah tersebut di atas menyerap
senyawa golongan hidrokarbon berklor sehingga persistensinya lebih mantap.
Kandungan bahan organik yang tinggi dalam tanah akan menghambat proses
penguapan pestisida. Kelembaban tanah, kelembaban udara, suhu tanah dan
porositas tanah merupakan salah satu faktor yang juga menentukan proses
penguapan pestisida. Penguapan pestisida terjadi bersama-sama dengan proses
penguapan air. Residu pestisida yang larut terangkut bersama-sama butiran air
keluar dari tanah dengan jalan penguapan, akan tetapi masih mungkin jatuh
kembali ke tanah bersama debu atau air hujan. Air merupakan medium utama bagi
transportasi pestisida. Pestisida dapat menguap karena suhu yang tinggi dan
kembali lagi ke tanah melalui air hujan atau pengendapan debu.
2.4.2 Alkyl Benzene Sulfonat ( ABS )
Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang
mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka
lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga
dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. ABS dalam
lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen ini
dikategorikan sebagai ‘non-biodegradable’. Dalam pengolahan limbah
konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan aktif ABS lolos dari
pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini dapat menimbulkan
masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air.
Surfaktan merupakan bahan utama deterjen, sejak tahun 1960 surfaktan
Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) digunakan sebagai formula didalam deterjen.
Pada deterjen ini, jenis muatan yang dibawa surfaktan adalah anionik. Kadang
ditambahkan surfaktan kationik sebagai bakterisida (pembunuh bakteri). Fungsi
surfaktan anionik adalah sebagai zat pembasah yang akan menyusup ke dalam
ikatan antara kotoran dan serat kain. Hal ini akan membuat kotoran menggulung,
lama kelamaan menjadi besar, kemudian lepas ke dalam air cucian dalam bentuk
butiran.
Konsentrasi surfaktan di air permukaan dengan gas (udara), padatan
(kotoran), dan cair (minyak) dapat menyebabkan pembasahan dan menjadi media
pembersih yang sangat baik. Ini dikarenakan surfaktan memiliki struktur
amphiphilic, dimana salah satu bagian dari molekul tergolong ionik atau polar
dengan kekuatan tarik menarik pada air, dan pada bagian lain termasuk golongan
hydrocarbon dengan sifat menolak air. Jenis struktur yang ditunjukan dibawah ini
ialah struktur surfaktant Alkyl Benzene Sulfonate (ABS).
Gambar 7. Struktur Alkyl Benzene Sulfonate
Deterjen anionik atau surfaktan anionik adalah semua garam sodium dan
ion yang menghasilkan Na serta muatan negatif. Pada umumnya adalah sulfat dan
sulfonat. Alkohol berantai panjang bereaksi dengan asam sulfur menghasilkan
sulfat (ester anorganik) dengan surface active. Dedocyl atau laury alkohol pada
umumnya digunakan.
C12H25OH + H2SO4 C12H25 – SO3H+H2O
Laury alcohol
Alkohol sulfate dinetralisir dengan sodium hidroksida untuk menghasilkan
surfactant.
C12H25 –O– SO3H + NaOH C12H25 –O– SO3Na + H2O
Sodium Laury sulfat
Alkohol sulfat digunakan dalam kombinasi dengan deterjen sintetis untuk
menghasilkan campuran sesuai yang diinginkan (McCarty, 2003).
Prinsip sulfonat di peroleh dari ester, amides dan alkyl benzen. Ester dan amid
merupakan asam organik dengan 16 atau 18 atom karbon. Alkyl benzene sulfonat
sebagian besar berasal dari polymer propylene dan golongan alkil, yang
mempunyai 12 atom karbon bercabang. Deterjen non-ionik tidak mengionisasi
dan hanya bergantung pada kelompok molekul soluble (dapat larut). Semuanya
tergantung pada polymer ethylene oxide (C2H4O) (polyehoxylates) sebagai
persyaratannya. Deterjen kationik merupakan garam yang berantai empat
ammonium, surfaktan jenis ini bisa bersifat toksik jika terjadi kontak dengan
bahan-bahan lain, sebagai contoh apabila ia bereaksi pada saat proses klorinasi,
maka akan terbentuk senyawa Chlorobenzene yang merupakan senyawa kimia
yang bersifat beracun dan berbahaya bagi kesehatan. (Zoller, 2004)
Pada awalnya surfaktan jenis Alkyl Benzen Sulfonat (ABS) banyak
digunakan oleh industri deterjen sebagai bahan baku pembuat produk deterjen.
Karena ditemukannya bukti-bukti dan dari laporan hasil penelitian yang
menerangkan bahwa ABS mempunyai risiko tinggi terhadap lingkungan, maka
bahan ini sekarang digantikan dengan Linear Alkyl Sulfonate (LAS) yang
memiliki karakteristik lebih baik dari ABS meskipun belum dapat dikatakan
ramah lingkungan. Bila ditinjau dari daya urai (biodegradable), ABS didalam
lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen
ini tergolong non-biodegradable, dalam pengolahan limbah secara konvensional
sekitar 50% dari ABS lolos dari system pengolahan.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum
Pelaksanaan praktikum ini dilakukan pada hari Jum’at Pukul 13.00 tanggal
11 November 2010 di Laboratorium Akuakultur Fakultas Perikanan Dan Ilmu
Kelautan Universitas Padjajaran.
3.2 Alat dan Bahan
Alat- alat yang digunakan:
a. Mikroskop sebagai alat untuk melihat preparat
b. Camera sebagai dokumentasi pangamatan
Bahan- bahan yang dibunakan:
a. Hati normal dan patologis sebagai objek preparat
b. Usus normal dan patologis sebagai objek preparat
c. Hati normal dan patologis sebagai objek preparat
d. Insang normal dan patologis sebagai objek prepa
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Pengamatan Preparat Histologi
Prosedur Pengamatan
1. Amati preparat yang sudah diatur oleh asisten dosen ekotoksikologi perairan.
2. Amati preparat menggunakan mikroskop
3. Setelah amati, perhatikan perbedaan antara kontrol dan patologis
4. Masukkan hasil pengamatan, lalu catat pada tabel pengamatan kontrol maupun
patologis
5. Preparat yang diamati antara lain hati, insang, usus, dan ginjal
3.4. Analisis Data
Hasil dari pengamatan dituliskan dalam tuliskan pada tabel pengamatan
agar dapat mengetahui perbandingan dari organ normal dengan patologis.
Tabel 23. Pengamatan Preparat Histopatologi
Normal Patologis
Warna
Ukuran
Nekrosis
Ciri khusus
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan berupa objek- objek preparat:
a. Organ Intestinum
A B
Gambar 4. A. Intestinum Kontrol, B. Intestinum Patologis
Tabel 1. Perbandingan Intestinum Ikan Mas Kontrol dan Patologis
Parameter Kontrol Patologis
Warna Merah Merah Tua
Ukuran Normal Membengkak
Tanda hitam Tidak ada Ada
Karakter khusus Masih Kompak
b. Organ Hepar
A B
Gambar 5. A. Hepar Kontrol, B. Hepar Patologis
Tabel 2. Perbandingan Hepar Ikan Mas Kontrol dan Patologis
Parameter Kontrol Patologis
Warna Merah Merah Tua
Ukuran Normal Membengkak
Tanda hitam Tidak Ada Ada
Karakter khusus Vakuola Normal Vakuola Rusak
c. Organ Insang
A B
Gambar 6. A. Insang Kontrol, B. Insang Patologis
Table 3. Perbandingan Insang Ikan Mas Kontrol dan Patologis
Parameter Kontrol Patologis
Warna Merah Merah Tua
Ukuran Normal Membengkak
Tanda hitam Tidak Ada Ada
Karakter khusus Masih Kompak Lamela Rusak
d. Organ Ren
A B
Gambar 7. A. Ren Kontrol, B. Ren Patologis
Tabel 4. Perbandingan Ren Ikan Mas Kontrol dan Patologis
Parameter Kontrol Patologis
Warna Merah Merah Tua
Ukuran Normal Membengkak
Tanda hitam Tidak Ada Ada
Karakter khusus Masih Normal Terjadi Kerusakan
e. Organ Hati Terpapar Toksik
A B
Gambar 8. A. Hati Terpapar Toksik 7,5 ppm, B. Hati Terpapar
Toksik 13 ppm
Parameter Patologis 7,5 ppm Patologis 13 ppm
Warna Coklat Kehitaman Coklat Kehitaman
Ukuran Membengkak Lebih Bengkak
Tanda hitam Ada Ada
Karakter khusus Mengalami Iritasi Mengalami Iritasi
4.2 Pembahasan
a. Organ Intestinum
Perbedaan usus ikan mas pada kontrol dengan usus yang telah diberikan
bahan toksik pestisida terlihat dari warnanya, pada usus kontrol terlihat usus
berwarna merah sedangkan pada patologisnya usus berwarna merah tua, dari
ukurannya yang awalnya berukuran normal menjadi menjadi lebih kecil atau usus
terlihat mengecil atau disebut juga hipoplasia. Selain terlihat dari warna dan
ukurannya terlihat pula dari ada tidaknya noktah hitam/putih pada usus. Pada usus
kontrol tidak terlihat noktah-noktah sedangkan pada patologisnya terlihat noktah
berwarna hitam. Ada pula karkater khusus untuk membandingkan usus kontrol
dan patologisnya , pada usus yang kontrol bentuknya bulat dan sel nya renggang
sedangkan pada usus patologis bentuknya menjadi oval dan selnya mengalami
penyempitan. Hal ini diakibatkan pemaparan bahan toksik pestisida sehingga
terjadi perubahan fisiologis dari seluruh organ tubuh diatas yang kami amati.
b. Organ Hepar
Perbedaan hati ikan mas pada kontrol dengan hati yang telah diberikan
bahan toksik pestisida terlihat dari warnanya, pada hati kontrol terlihat hati
berwarna merah ati sedangkan pada patologisnya hati berwarna merah keunguan,
dari ukurannya yang awalnya berukuran normal menjadi menjadi lebih besar atau
hati terlihat membesar atau disebut juga hiperplasia. Selain terlihat dari warna dan
ukurannya terlihat pula dari ada tidaknya noktah hitam/putih pada hatil. Pada hati
kontrol tidak terlihat noktah-noktah sedangkan pada patologisnya terlihat ada
noktahnya. Ada pula karakter khusus untuk membandingkan hati kontrol dan
patologisnya , pada hati yang kontrol tidak ada karakter khusus sedangkan pada
hati patologis selnya mengalami pembengkakan dan ada necrosis sebanyak 7
buah. Hal ini diakibatkan pemaparan bahan toksik pestisida sehingga terjadi
perubahan fisiologis dari seluruh organ tubuh diatas yang kami amati.
c. Organ Insang
Perbedaan insang ikan mas pada kontrol dengan insang yang telah
diberikan bahan toksik pestisida terlihat dari warnanya, pada insang kontrol
terlihat insang berwarna merah sedangkan pada patologisnya insang pucat
berwarna gelap keunguan, dari ukurannya yang awalnya berukuran normal dan
lamella tipis menjadi membesar dan lamella menebal atau disebut juga
hiperplasia. Selain terlihat dari warna dan ukurannya terlihat pula dari ada
tidaknya noktah hitam/putih pada insang. Pada insang kontrol tidak terlihat
noktah-noktah hitam/putih sedangkan pada patologisnya terlihat ada noktah
hitam
Ada pula karkater khusus untuk membandingkan hati kontrol dan
patologisnya , pada insang yang kontrol tidak ada karakter khusus sedangkan pada
insang patologis lamellanya mengalami penebalan, cenderung mengalami
pembengkakan. Hal ini diakibatkan pemaparan bahan toksik pestisida sehingga
terjadi perubahan fisiologis dari seluruh organ tubuh diatas yang kami amati.
d. Ren
Perbedaan ginjal ikan mas pada kontrol dengan ginjal yang telah diberikan
bahan toksik pestisida terlihat dari warnanya, pada ginjal kontrol terlihat usus
berwarna merah muda sedangkan pada patologisnya ginjal berwarna lebih pucat,
dari ukurannya yang awalnya berukuran normal menjadi menjadi lebih besar atau
ginjal terlihat membesar atau disebut juga hiperplasia. Selain terlihat dari warna
dan ukurannya terlihat pula dari ada tidaknya noktah hitam/putih pada ginjal. Pada
ginjal kontrol tidak terlihat noktah-noktah sedangkan pada patologisnya terlihat
noktah berwarna hitam.
Ada pula karkater khusus untuk membandingkan ginjal kontrol dan
patologisnya , pada ginjal yang kontrol tidak ada karakter khusus sedangkan pada
ginjal patologis bentuknya menjadi membengkak. Hal ini diakibatkan pemaparan
bahan toksik pestisida sehingga terjadi perubahan fisiologis dari seluruh organ
tubuh diatas yang kami amati.
e. ………..(isi Nya Din)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pemaparan pestisida dapat menyebabkan perubahan fisiologis pada organ
dalam ikan mas yaitu pada intestinum(usus), ren( ginjal), hepar( hati) dan insang.
Hal ini dapat dilihat dengan terjadinya perubahan fisiologis berupa warna, ukuran,
ada tidaknya noktah hitam serta karakter khusus dari jaringan dibandingkan
biasanya(jaringan normal)
5.2. Saran
Kurangnya kejelian dari pratikan dalam mengamati sampel praparat di
laboratorium, sehingga kadang tidak dapat membedakan mana organ dalam ikan
yang normal dan yang mengalami perubahan patologis
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks Histologi Veteriner II. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Djojosumarto, Panut. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogya.
Kusno S , 1992.Pencegahan Pencemaran Pupuk dan Pestida. Jakarta : Penerbit Swadaya.
Rismundar.1993. Hama Tanaman Pangan dan Pembasminya. Sinar baru algdnsindo. Bandung.
Robbins, S.L dan V. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II. Penerbit Buku Kedokteran. Universitas Airlangga. Surabaya.
Rosmaliatini, Okta. 2008. Uji toksisitas. Kuliah Farmasi. (Diakses tanggal 27 Desember 2009)
Siregar, H. 1995. Fisiologi Ginjal. Edisi Ketiga. Bagian Ilmu Faal. Fak. Kedokteran. Univ.ersitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Wisaksono, Satmoko. 2002. Efek Toksik dan Cara Menentukan Toksisitas Bahan Kimia. Direktorat Pengawasan Nazaba, Ditjen POM, Departemen Kesehatan RI. Jakarta