an beda agama di indonesia

24
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak kebudayaan ragam dan corak disetiap daerahnya hal ini yang menyebabkan adanya keanekaragaman budaya yang sangat signifikan seperti halnya cara upacara hari besar religius. Tata cara perkawinan, khitanan dan seluruh kebudayaan yang berhubungan dengan adat kebiasaan. Berbeda - beda karena sejarah perkembangan budayanya dari zaman Melayu Polinesia, pergaulan hidup tempat kediaman dan lingkungan alamnya berbeda. Ada yang dipengaruhi dengan tradisi polinesia, ada yang lebih banyak dipengaruhi oleh agama Hindu, Islam, Kristen. Namun demikian walaupun disana – sini berbeda beda, tetapi dikarenakan rumpun asalnya melayu purba, meskipun berbeda - beda tapi dapat ditarik persamaan dalam hal- hal pokok. Hampir disemua daerah indonesia menempatkan masalah sebagai urusan keluarga dan masyarakat dan semata mata urusan pribadi yang melakukan perkawinan itu saja. 1

Upload: irfan-maulana-s

Post on 03-Jul-2015

449 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: an Beda Agama Di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak kebudayaan ragam dan

corak disetiap daerahnya hal ini yang menyebabkan adanya keanekaragaman

budaya yang sangat signifikan seperti halnya cara upacara hari besar religius.

Tata cara perkawinan, khitanan dan seluruh kebudayaan yang berhubungan

dengan adat kebiasaan. Berbeda - beda karena sejarah perkembangan budayanya

dari zaman Melayu Polinesia, pergaulan hidup tempat kediaman dan lingkungan

alamnya berbeda. Ada yang dipengaruhi dengan tradisi polinesia, ada yang lebih

banyak dipengaruhi oleh agama Hindu, Islam, Kristen.

Namun demikian walaupun disana – sini berbeda beda, tetapi dikarenakan rumpun

asalnya melayu purba, meskipun berbeda - beda tapi dapat ditarik persamaan

dalam hal- hal pokok. Hampir disemua daerah indonesia menempatkan masalah

sebagai urusan keluarga dan masyarakat dan semata mata urusan pribadi yang

melakukan perkawinan itu saja.

Zaman semakin modern, kaitan dengan hal ini terjadi banyak polemik

yang menjadi pertentangan dalam hal perkawinan yaitu dalam hal perkawinan

beda agama. Kalau kita memperhatikan kenyataan yang ada di Indonesia

perkawinan yang melibatkan dua agama ini menjadi sebuah yang lumrah di

Indonesia, meskipun masih ada yang mempertentangkannya, misal dalam ajaran

agama itu sendiri yang sudah jelas melaranganya. Sedangkan Indonesia sendiri

yang mempunyai dasar negara yaitu salah satunya dalam butir yang pertama

“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, setiap manusia yang mempunyai kepercayaan

pada agama yang diyakininya, harus mentaati segala hal yang diperintahkan dan

dilarangnya.

1

Page 2: an Beda Agama Di Indonesia

Hukum perkawinan sudah diatur di Indonesia yaitu di Undang – undang

(UU) NO.1 tahun 1974, disana ada beberapa pasal yang menyinggung tentang

perkawinan beda agama yaitu pada pasal 2 ( “perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” ).

Inilah yang menjadi dasar bahwa perkawinan beda agama melanggar undang -

undang di Indonesia.

2. PERUMUSAN MASALAH

Dalam Penulisan Makalah ini timbul suatu masalah yang dirumuskan

dalam pertanyaan pertanyaan berikut :

1. Apa Definisi perkawinan ?

2. Bagaimasna Sudut pandang perkawinan menurut agama, hukum, dan

adat ?

3. Apa dasar hukum yang mengatur perkawinan perkawinan beda agama ?

4. Bagaimana perkawinan beda agama yang timbul di Indonesia ?

5. Apa saja dampak perkawinan beda agama ?

6. Upaya yang harus Pemerintah lakukan dalam menyikapi perkawinan beda

agama ?

2

Page 3: an Beda Agama Di Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

1) Definisi Perkawinan

Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya

perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun isteri. Perkawinan

bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal

selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan perisapan fisik dan mental

karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan

hidup seseorang.

Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-

masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang

menurrut perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan menurut pasal 1 KUH Perdata “Pekawinan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Dasar dan Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam :

A. Dasar Hukum Agama Pernikahan atau Perkawinan ( Q.S. 24-An Nuur:32)

“Dan kawinlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan mereka

yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang

perempuan.”

B. Tujuan Pernikahan atau Perkawinan ( Q.S. 30-An Ruum:21 )

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaaNya ialah Dia menciptakan untukmu

pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu bena - benar terdapat tanda-tanda

bagi kaum yang berfikir”.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian “Perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga )

yang bahagia dan kekal berdasakan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

3

Page 4: an Beda Agama Di Indonesia

2) Perkawinan Dari Berbagai Sudut Pandang

2.1 Sudut Pandang Menurut Agama

Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana

mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana

memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya.

Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta perkawinan

yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan

sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan perkawinan

yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Islam mengajarkannya. Nikah

merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya

merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang

bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah,

mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya. Nikah

merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri

manusia, demi menganka cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i

tersebut sepasang suami isteri semarak.

Melalui risalah singkat ini, anda diajak untuk bisa mempelajari dan menyelami

cara perkawinan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa. Anda akan diajak

untuk meninggalkan tradisi-tradisi masa lalu yang penuh dengan upacara-upacara

dan adat istiadat yang bekepanjangan dan melelahkan.

2.2 Sudut Pandang Perkawinan Hukum di Indonesia

Perkawinan dilakukan untuk memberikan legalitas atau memberikan

perlindungan serta kepastian hukum apabila hal tersebut diatas dilakukan dengan

mendasarkan pada aturan yang ada, aturan yang dimaksud tentunya yang berlaku

pada wilayah atau yuridiksi tertentu.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga )

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, pengertian

tersebutlah yang membedakan antara perikatan atau perjanjian dalam perkawinan

dengan perikatan atau perjanjian pada umumnya atau perikatan perdata yang

hanya menjangkau perikatan secara lahir saja.

4

Page 5: an Beda Agama Di Indonesia

Hukum positif di Indonesia atau hukum yang berlaku di Indonesia telah

memberikan batasan secara”LEX SPECIALE” atau secara khusus mengenai

perkawinan tersebut yakni melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang dikuatkan dengan Kompilasi Hukum Islam.

Seperti kita ketahui bahwa suatu aturan ataupun hukum yang berlaku di

Indonesia maupun beberapa Negara lain bersifat tidak hanya menjangkau legalitas

formal saja atau pengesahan saja tetapi juga menganut pertimbangan moral,

sosial, plotis, dan historis, sosiologis, dan yuridis. Lalu bagaimana hukum di

Indonesia mengatur mengenai perkawinan, khususnya mengenai perkawinan yang

dilakukan oleh para pihak yang masih dibawah umur atau belum dewasa.

Terlebih dahulu mari kita lihat salah satu syarat-syarat sahnya suatu

perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan. Pasal 6 ayat (2) : “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang

belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.”

Pasal 7 ayat (1 ) jo pasal 15 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan hanya diizinkan

jka pria sudah berusia 19 tahun dan pihak wanita berusia 16 tahun.

Penyimpangan terhadap ketentuan diatas dapat meminta dispensasi kepada

pengadilan agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak

wanita maupun laki-laki, berdasarkan ketentuan beberapa pasal diatas kita ketahui

seorang baru dapat dikatakan siap untuk melakukan perkawinan jika pria berusia

19 tahun dan wanita 16 tahun, hal ini tidaklah lain bertujuan untuk menjaga

kesehatan suami isteri dan keturunan perlu ditetapkan batas umur untuk

melangsungkan perkawinan.

(penjelasan Undang-Undang No 1 tahun 1974)

Pengertian sehat yang dianut oleh UU Nomor 1 tahun 1974 mengandung

pengertian sehat secara LAHIR MAUPUN BATIN, berprinsip bahwa suami isteri

telah masak ( matang ) jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar

dapat mewujudkan tujuan perkawinan yang baik. Baik yang dimaksud tentunya

masing-masing pihak masih belum cakap atau dewasa. Untuk itulah sebisa

mungkin harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami dan calon isteri

yang belum dewasa, batas umur yang rendah untuk melangsungkan perkawinan

akan menakibatkan laju kelahiran yang tinggi.

5

Page 6: an Beda Agama Di Indonesia

Mengenai batas usia seorang dikatakan dewasa juga diatur dalam Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak, yakni dalam pasal satu

ayat (1) “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun.” Namun Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2002 lebih memfokuskan pada ekploitasi anak, sehingga

keterkitan antara UU perkawinan dan UU perlindungan anak, adalah bahwa

perkawinan pada usia dibawah umur merupakan ekploitasi anak apabila

dilaksanakan dengan tidak mengindahkan ketentuan yang diatur dalam Undang-

Undang maupun peraturan pelaksana lainnya.

Sebagaimana disebut diatas perkawinan dibawah umur hanya dapat

dilakukan melalui despensasi yang diberikan oleh pengadilan ( Pengadilan Agama

), atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua para pihak, tentunya

dengan memperhatikan pertimbangan nilai sosial, kesehatan dan perkembangan

psikologis anak.

Akan tetapi ada baiknya jika sebelum hal tersebut diatas dilakukan

hendaknya kita khususnya para orang tua lebih bijak untuk mempertimbangkan

antara manfaat dan mudharatnya, tidak hanya pada pertimbangan untung rugi saja,

apalagi hanya didasari leh faktor keputusasaan semata, sehingga dalam hal ini

masa depan anak, kesehatan baik lahir maupun batin, tidak kita pertaruhkan. Hal

tersebut sangat beralasan sebab suatu perikatan perkawinan akan melahirkan

tanggung jawab baru yang lebih besar bagi para pihak.

2.3 Sudut Pandang Perkawinan Menurut Adat

Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa

penting bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan

peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenhnya mendapat perhatian dan diikuti

oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dan dari arwah-arwah inilah

kedua belah pihak beserta seluruh keluarganya mengharapkan juga restunya bagi

mempelai berdua, hingga mereka ini setelah menikah mengharapkan juga

restunya bagi mempelai berdua, hingga mereka ini setelah menikah selanjutnya

dapat hidup rukun bahagia sebagai suami isteri sampai “kaken-kaken ninen-

ninen” ( istilah jawa yang berarti sampai sang suami menjadi kaki-kaki dan sang

isteri menjadi nini-nini yang bercucu-cicit ).

6

Page 7: an Beda Agama Di Indonesia

Oleh karena perkawinan mempunyai arti yang sangat penting, maka

pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya diserti dengan berbagai-bagai

upacara lengkap dengan “sesajen-sesajennya”.

Ini semua barang kali dapat dinamakan takhayul, tetapi ternyata sampai sekarang

hal - hal itu masih sangat meresap pada kepercayaan sebagian besar rakyat

Indonesia dan oleh karenanya juga masih tetap dilakukan dimana - mana.

Azas-Azas Perkawinan Menurut Adat

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata - mata berarti suatu ikatan

antara seorang pria dengan wanita sebagai suami - isteri untuk maksud

mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga

rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para

anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan,

berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan

menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.

Dengan terjadi perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu

didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat,

menurut garis ayah atau ibu ataupun garis orang tua. Adanya silsilah yang

menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah

merupakan barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.

Jika dari suatu perkawinan tidak dapat keturunan, maka keluarga itu

dianggap “putus keturunan”. Apabila dari seorang istri tidak dapat keturunan

maka para anggota kerabat dapat mendesak agar si suami mencari wanita lain atau

mengangkat anak kemenakan dari anggota kerabat untuk menjadi penerus

kehidupan keluarga bersangkutan.

Selanjutnya sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh Undang-

Undang No. 1 tahun 1974, maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat

adalah sebagai dibawah ini :

A. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan

kekerabataan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.

B. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan

atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota

kerabat.

7

Page 8: an Beda Agama Di Indonesia

C. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita

sebagai isteri yang kedudukan masing-masing ditentukan menurut hukum

adat setempat.

D. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota

kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang

tidak diakui masyarakat adat.

E. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur

atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur

perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua atau keluarga dan kerabat.

F. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian

antara suami dan isteri dapat berakibatkan pecahnya hubungan

kekerabatan antara dua pihak.

G. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri-isteri berdasarkan

ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai

ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.

Dengan telah berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun1974 diharapkan agar

masyarakat adat akan dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan Undang-

Undang tersebut. Tetapi sejauh mana masyarakat akan dapat menyesuaikan

dirinya tergantung dari pada perkembangan masyarakat adat itu sendiri, dan

kesadaran hukumnya. Oleh karena apa yang menjadi jiwa dari perundang-

undangan belum tentu sesuai dengan alam pikiran masyarakat. Misalnya saja

Undang-Undang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk

keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Disini letak perbedaan antara rumah

tangga modern dan rumah tangga adat, rumah tangga modern cenderung

mementingkan kepentingan perseorangan dan kebendaan, sedangkan rumah

tangga adat ingin mempertahankan kepentingan kekerabatan dan kerukunan.

3. Dasar Hukum Perkawinan Di Indonesia

Dalam Sebuah perkawinan di Indoensia terdapat dasar - dasar hukum yang

melandasi sah tidaknya suatu perkawinan yang pertama harus diketahui adalah

8

Page 9: an Beda Agama Di Indonesia

terntang perkawinan itu sendiri sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 1 UU

NO.1 1974 tentang perkawinan.

Selanjutnya hukum yang berlaku di indonesia tentang sah tidaknya

perkawinan biasanya dilakukan menurut hukum masing - masing agamanya dan

kepercayaan yang berlaku ( pasal 2 ayat 1 UU perkawinan 1974).

Selain itu untuk mencapai sahnya sebuah perkawinan, perkawinan tersebut

harus dicatat dihadapan dan dibawah pegawai pencatat nikah sesuai dengan pasal

5 dan 6 Keputusan Menteri Agama RI no. 154 1991 dan juga harus memenuhi

syarat - syarat perkawinan.

Dan apabila terjadi perkawinan campuran maka akan berlaku pasal 57 UU

perkawinan.

Selain menurut UU perkawinan yang dibuat oleh pemerintah dasar hukum

perkawinan juga mengikuti hukum adat yang berlaku, karena perkawinan tidak

dapat dilepaskan dari dasar susunan dan masyarakatnya yang bersangkutan karena

biasanya masyarakat kebapaan, keibuan, keibubapaan mempunyai pola hukum

sendiri - sendiri

Oleh karena itu untuk melakukan suatu perkawinan setiap pihak harus

saling mengerti dan menghormati adat istiadat yang berlaku jika perkawinan

yang terjadi terdapat perbedaan adat atau suku.

4. Perkawinan Beda Agama yang Ada Di Indonesia

Adalah sebuah hal yang polemik di Indonesia dalam mengenai kasus ini.

Misalkan saja seperti kasus dibawah ini.

Bimo adalah seorang pelaku pernikahan beda agama. Bimo menganut agama

Katholik sedangkan istrinya beragama islam dan berjilbab. Pada awalnya Bimo

memiliki kendala dari pihak keluarga istrinya pada saat melamar. Calon

mertuanya meminta kepada Bimo apabila ingin menikah harus masuk Islam

terlebih dahulu, dan pada saat itu juga Bimo sangat bingung. Dengan argumen

yang sangat serius akhirnya Bimo manemukan jalan keluarnya, yaitu mereka tetap

menganut agama masing-masing.

Pada saat mendaftar di catatan sipil, ia tidak mengalami kesulitan karena

menikah dengan dua cara, yaitu menikah dengan cara Katholik di gereja karena

9

Page 10: an Beda Agama Di Indonesia

memiliki dispensasi untuk istrinya yang beragama Islam kemudian menikah

dengan cara Islam.

Apabila dilihat dari hukum positif negara, memang tidak mengizinkan

pernikahan berbeda agama, tetapi dalam praktiknya masih sering terjadi. Dan

banyak yang melakukan pernikahan di luar negeri.

Kendala kedua yaitu masalah anak, yaitu status agama si anak karena orang

tuanya berbeda agama. Dalam kasus yang dialami Bimo ini dari awal Bimo dan

istrinya mempunyai kesepakatan bersama yaitu menyerahkan semua keputusan

kepada anaknya untuk memilih agama yang akan dianutnya. Dan anaknya

memilih agama yang dianut ibunya.

Dalam undang-undang tidak diatur tentang perkawinan beda agama, tetapi

dalam UU NO. 1 Tahun 1974 memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu “

Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”. Berarti dituntut bila akan melaksanakan

perkawinan harus didasarkan ikatan lahir dan batin.

Sedangkan dalam pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, “Perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu”. Artinya pihak yang akan kawin menganut agama yang sama.

Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut UU Perkawinan dan peraturan-

peraturan pelaksanaannya, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan kecuali

apabila salah satunya menganut agama pihak lainnya.

5. Dampak dari Perkawinan Beda Agama

Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang

suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam

memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan

berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik

sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi

keagamaan adalah suatu perikatan ‘jasmani dan rohani’ yang membawa akibat

hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga

kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman

10

Page 11: an Beda Agama Di Indonesia

dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya

dilakukan (dilarang). Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak

membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.

Di masa lampau perkawinan antara pria dan wanita, dimana yang satu

menganut ajaran Islam modern ( Muhammadiyah ) sedang yang lain menganut

ajaran Islam lama ( Nahdatul Ulama ) seringkali menimbulkan perselisihan atau

ketidakseimbangan dalam kehidupan keluarga / kerabat ataupun juga tetangga.

Misalnya menyangkut upacara kematian, dimana ajaran Muhammadiyah tidak

membenarkan adanya upacara sedekah kematian, tiga hari, tujuh hari, empat

puluh hari, seratus hari, sedangkan ajaran Islam lama yang sudah membudaya di

kalangan masyarakat pedesaan melaksanakannya. Dikarenakan perbedaan

pendapat ini kerukunan kekerabatan dan ketetanggaan sering terganggu.

Perbedaan pendapat soal furu’ khilafiah dalam Islam itu di masa orde baru

berangsur-angsur sirna dan kini dapat dikatakan sudah hilang.

Di kalangan masyarakat Hindu Bali sekarang dapat dikatakan timbulnya

perselisihan karena perbedaan martabat adat sudah tidak berarti, namun

barangkali dapat terjadi perselisihan dikarenakan suami yang mengikat

pekawinaan ‘nyentane’ di mana setelah kawin mengikuti kedudukan di tempat

isteri sebagai penerus keturunan pihak mertua ternyata tidak mentaati pejanjian

kawinnya semula. Misalnya ternyata suami yang nyentane itu masih tetap

melakukan persembahan terhadap roh leluhur bapak yang melahirkannya dan

tidak melakukan dan tidak melakukan persembahan terhadap leluhur mertuanya

yang lelaki.

Penyelesaian gangguan keseimbangan dalam keluarga rumah tangga

dikarenakan pelanggaran nyentane mungkin tidak sulit diatasi, tetapi lain halnya

dengan akibat perkawinan campuran antara agama yang berbeda, dikarenakan

suami isteri masing-masing mempertahankan agama yang dianut masing-masing.

Apa yang sering terjadi dalam kenyataan ialah menyimpang dari maksud

ketentuan dalam UU Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 (1) yang menggariskan bahwa

perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ternyata yang dilakukan adalah

11

Page 12: an Beda Agama Di Indonesia

penyimpangan atau penyelundupan hukum. Hal mana dapat dilihat dari kenyataan

yang berlaku dalam masyarakat, dan sesungguhnya perkawinan itu tidak sah.

Misalnya pria beragama Islam kawin dengan wanita beragama Kristen,

dilakukan di gereja dengan pemberkatan pendeta, memenuhi kehendak calon isteri

dan keluuarganya, tetapi hati nuraninya tetap mempertahankan Islam. Jadi apa

yang tersurat berbeda dari yang tersirat. Perbuatan seperti ini namanya

memperkosa diri dan keluarga yang dapat menimbulkan akibat buruk di kemudian

hari. Hendaknya diusahakan agar calon isteri mau masuk Islam dengan iman

taqwanya, atau sebaliknya si calon isteri mau masuk Islam dengan iman

taqwanya, atau sebaliknya si calon suami memasuki Kristen dengan sepenuhnya.

Cara lain yang berlaku misalnya pria beragama Hindu kawin dengan wanita

beragama Islam dilakukan di tempat kediaman calon isteri yang beragama Islam

dilakukan di tempat kediaman calon isteri yang beragama Islam dan memenuhi

keinginan keluarga Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi

kemudian dilakukan lain perkawinan menurut tata cara agama Hindu bertempat di

pihak keluarga pria beragama Hindu dan perkawinan yang pertama secara Islam

dibatalkan, dikarenakan agama Hindu melarang perkawinan di luar agama Hindu.

Cara yang begini ini juga tidak baik dan dapat menimbulkan akibat buruk dalam

keluarga rumah tangga.

Cara yang lain lagi, ialah misalnya pria beragama Islam kawin dengan

wanita beragama Katolik, di mana orang tua wanita beragama Budha /

Konghucu, lalu terakhir secara Katolik. Nah, kesemuanya dianggap telah

memenuhi ketentuan berdasarkan pasal 2 (1) UU Nomor 1 tahun 1974, yaitu

menurut hukum agamanya masing-masing. Menurut penulis cara inipun tidak baik

dan tidak sah karena bertentangan dengan ajaran agama dan bertentangan dengan

UU Nomor 1 tahun 1974. Di samping itu keluarga / rumah tangga yang terbentuk

dengan cara perkawinan begitu dapat merugikan dan mengganggu keseimbangan

kehidupan selanjutnya. Jika mendapatkan keturunan, maka anak akan dibawa

kemana, ke kelenteng, ke gereja ataukah ke masjid ataukah tidak ke mana-mana?

Di Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila tidak ada tempat untuk

warganya yang atheis.

12

Page 13: an Beda Agama Di Indonesia

5.1 Pemasalahan yang timbul akibat perkawinan agama

1. Keabsahan Perkawinan

Mengenai sahnya perkawinan yang dlakukan sesuai agama dan

kepercayaannya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UUP

menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agamanya masing-masing.

Tapi permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak

tersebut membolehkan untuk perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran

islam wanita tidak boleh menikahi laki-laki yang bukan Islam (Al Baqarah

(2):221). Dalam ajaran Kristen juga perkawinan beda agama dilarang. (1 Korintus

6:14-18).

2. Pencatatan Perkawinan

Bila perkawinanan beda agama tersebut dilakukan oleh orang beragama

Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan pencatatan perkawinan. Apakah di

KUA atau Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan

untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Bila ternyata pencatatan

perkawinan beda agama dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka akan dilakukan

pemeriksaan dahulu apakah perkawinan beda agama ersebut memenuhi ketentuan

dalam pasal 2 UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Bila pegawai

pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada

larangan menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan

perkawinan ( pasal 21 ayat (1) UUP ).

3. Status Anak

Bila pencatatan perkawinan beda agama tersebut ditolak maka hal itu juga

memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam perkawinan.

Menurut ketentuan pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan

dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya

pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukan anak yang sah

dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya ( pasal

2 (2) jo. Pasal 43 ayat (1) UUP ).

4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di Luar Negeri

Perkawinan beda agama tidak bisa dilakukan di Indonesia, tetapi bisa

dilakukan di negara yang membolehkan dan punya hubungan diplomatik dengan

13

Page 14: an Beda Agama Di Indonesia

Indonesia. Maka dalam kurun waktu 1 tahun setelah suami isteri itu

melangsungkan pernikahan dan kembali ke wilayah Indonesia meeka harus

mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke kantor Pencatatan Perkawinan

tempat tinggal mereka ( pasal 56 ayat (2) UUP ). Permasalahan yang timbul akan

sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin dua. Meski tidak sah menurut

hukum Indonesia, bisa terjadi catatan sipil tetap menerima pendaftaan perkawinan

tersebut. Pencatatan disini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, tetapi

sekedar pelaporan administratif.

6. Upaya Yang Harus Pemerintah Lakukan Dalam Menyikapi

Perkawinan Beda Agama

Pemerintah sangat berperan untuk mengahadapi perkara ini karena itu

harus ada upaya – upaya pemerintah supaya adanya kesadaran dari masyarakat

untuk menghindari perkawinan beda agama, melihat kasus kasus yang ada dan

akibat yang ditimbulkan dan dampaknya, hal ini harus dijadikan pertimbangan

oleh pemerintah dalam menyikapi perkawinan beda agama yang sudah mulai

menjamur di Indoensia. Disini harus adanya tindakan lanjut ketika pencatatan akta

nikah di kantor Pencatatan Perkawinan yaitu untuk salah satu saksi dihadirkan

dari pihak pemerintah agar tidak ada hal hal yang menyimpang dari dasar negara

dan ideologi Indonesia.

Selain itu, Pemerintah jangan menjadikan Kantor Pencatatan Perkawinan

hanya sekedar pelaporan administratif saja, tetapi adanya persyaratan persyaratan

yang harus dipenuhi bagi setiap masyarakat yang mendaftarkan untuk melakukan

perkawinan.

14

Page 15: an Beda Agama Di Indonesia

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Perkawinan adalah sebuah hal yang sakral dalam kehidupan manusia, karena

salah satu kodrat manusia adalah ingin melanjutkan keturunannya. Dalam hal ini

negara Indonesia sudah mengaturnya dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Dan karena negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum

seusai dengan UUD Bab I ayat (3) “ Negara Indonesia adalah negara hukum.

Maka warga negara Indonesia wajib mentaati setiap hukum atau aturan yang

berlaku. Dalam menyelesaikan perkara yang ada dalam makalah ini yaitu

perkawinan beda agama harus mempunyai ketegasan hukum yang jelas dan bisa

dijalankan secara efektif supaya tidak adanya hukum yang buram. Maka dalam

hal ini adanya aturan yang bisa menjadi sebuah tindakan lanjut yang dapat

mengurangi perkawinan beda agama tersebut.

15