strategi resusitasi pada syok hemoragik traumatik.doc
Post on 18-Jan-2016
76 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Strategi Resusitasi pada Syok Hemoragik Traumatik
Abstrak
Penatalaksanaan pasien trauma dengan syok hemoragik sangatlah kompleks
dan sulit. Meskipun pengetahuan kita tentang patofisiologi syok hemoragik pada
pasien trauma telah terakumulasi selama beberapa dekade terakhir, namun tingkat
kematian pasien tersebut tetap tinggi. Pada fase akut perdarahan, prioritas terapi
adalah untuk menghentikan perdarahan secepat mungkin. Selama perdarahan ini tidak
terkontrol, dokter harus menjaga oksigenasi untuk membatasi hipoksia jaringan,
peradangan, dan disfungsi organ. Proses ini melibatkan resusitasi cairan, penggunaan
vasopresor, dan transfusi darah untuk mencegah atau memperbaiki koagulopati akut
akibat trauma. Strategi resusitasi yang optimal masih kontroversial sampai saat ini.
Untuk maju kita perlu menetapkan pendekatan terapi yang optimal dengan tujuan
yang jelas untuk resusitasi cairan, tekanan darah, dan kadar hemoglobin untuk
memandu resusitasi dan membatasi resiko kelebihan cairan dan transfusi.
Kata kunci: Trauma, Syok Hemoragik (Perdarahan), Resusitasi Cairan,
Vasopresor, Koagulopati Akut akibat Trauma.
Tinjauan
Pengantar
Perdarahan tetap menjadi penyebab utama dari kematian yang dapat dicegah setelah
terjadinya trauma. [1]. Pada fase akut perdarahan, prioritas terapi dokter adalah untuk
menghentikan pendarahan secepat mungkin. Syok hemoragik adalah keadaan
patologis di mana volume intravaskular dan pengiriman oksigen terganggu. Selama
perdarahan ini tidak terkontrol, dokter harus menjaga suplai oksigen untuk membatasi
hipoksia jaringan, peradangan, dan disfungsi organ. Prosedur ini melibatkan
resusitasi cairan, penggunaan vasopresor, dan transfusi darah untuk mencegah atau
memperbaiki koagulopati traumatik. Namun, strategi resusitasi yang optimal masih
controversial yaitu pilihan cairan untuk resusitasi, target hemodinamik untuk kontrol
perdarahan, dan pencegahan optimal terjadinya koagulopati traumatik menjadi
pertanyaan yang menetap. Ulasan ini berfokus pada wawasan baru ke mere-susitasi
strategi dalam penatalaksanaan syok hemoragik traumatik.
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan adalah terapi intervensi pertama pada kasus syok hemoragik
traumatik. Kita akan membahas mengenai pilihan-piihan jenis cairan untuk
resusitasi. Tidak ada bukti dalam literatur yang mendukung keunggulan satu jenis
cairan dari jenis lain untuk terapi cairan pada pasien trauma. Keuntungan ganda yang
penting yang dimiliki oleh cairan koloid dibandingkan cairan kristaloid adalah bahwa
koloid dapat menginduksi ekspansi plasma yang lebih cepat dan persisten karena
dapat meningkatkan tekanan onkotik dalam jumlah besar dan dengan cepat dapat
memperbaiki sirkulasi. Meskipun golongan kristaloid lebih murah, hasil penelitian
telah menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari pemberian koloid bagi
kelangsungan hidup. Namun, resusitasi dengan kristaloid dalam volume besar telah
dikaitkan dengan terjadinya edema jaringan, peningkatan insiden terjadinya sindrom
kompartemen abdomen [2] dan asidosis metabolik hiperkloremik [3]. Penelitian yang
dilakukan oleh SAFE menunjukkan bahwa pemberian albumin aman untuk
resusitasi cairan pada pasien unit perawatan intensif (ICU) dan bahwa tidak ada
perbedaan dalam angka kematian pasien yang dirawat dengan albumin dan larutan
saline [4]. Dalam subkelompok pasien trauma, para peneliti mengamati efek positif
manfaat penggunaan larutan saline dibandingkan penggunaan albumin. Perbedaan
dalam hubungan risiko kematian diakibatkan oleh jumlah yang lebih besar dari pasien
yang memiliki trauma dan berhubungan dengan cedera otak dan yang meninggal
setelah terapi acak dengan penggunaan kelompok albumin dibandingkan dengan
kelompok saline. Tidak ada mekanisme yang dapat digunakan untuk menjelaskan
temuan ini, namun hipo-osmolaritas yang rendah dari albumin dapat meningkatkan
risiko edema otak. Sebuah temuan Cochrane baru-baru ini [5] pada pasien kritis
(pasien dengan trauma, luka bakar, atau setelah operasi) melaporkan tidak ada bukti
yang dikumpulkan dari RCT bahwa resusitasi dengan koloid mengurangi risiko
kematian dibandingkan dengan resusitasi dengan kristaloid. Dalam review studi klinis
pada tahun 2002 yang didokumentasikan pada pasien ICU yang menerima HES,
gelatin, dekstran, atau albumin, Groeneveld et al. [6] menunjukkan bahwa gangguan
koagulasi, perdarahan klinis, dan kerusakan ginjal akut (AKI) sering dilaporkan
setelah pemberian infus HES. Secara khusus, analisis ini sangat dipengaruhi oleh
studi VISEP ( Volume Subsitution and Insulin Therapy in Severe Sepsis study) [7], di
mana mantan-generasi HES digunakan (200/0.5) dalam dosis yang melebihi dosis
maksimal yang direkomendasikan. Metanalisis ini memperhitungkan populasi
heterogen pasien dengan strategi terapi yang berbeda. Baru-baru ini, Perner et al. [8]
telah menunjukkan peningkatan risiko kematian (mati pada hari ke 90) pada pasien
dengan sepsis berat yang diberikan resusitasi cairan dengan HES 130/0.42 (6% HES
130/0.42 dalam Ringer's acetat, generasi terakhir HES) dibandingkan dengan mereka
yang diberikan Ringer's acetate. Selain itu, lebih banyak pasien yang memerlukan
terapi penggantian ginjal pada kasus penggunaan kelompok HES 130/0.42 (22%)
dibandingkan dengan yang menggunakan kelompok Ringer's acetat (16%). Dalam
mencari titik terang penjelasan jalur patofisiologi yang logis dengan aktivasi
peradangan antara sepsis dan trauma, penggunaan HES menimbulkan keprihatinan
serius sehubungan dengan keamanan penggunaannya pada pasien trauma [9].
Dengan demikian, ada kebutuhan yang menjadi alasan penting untuk
mempelajari kasus pasien trauma yang mengalami syok hemoragik. Baru-baru ini,
sebuah studi acak yang terkontrol membandingkan penggunaan larutan saline 0,9%
dengan hydroxyethyl starch (pati hidroksietil HES 130/0.4) pada pasien trauma
penetrasi tumpul yang memerlukan > 3 liter cairan resusitasi [10]. Pada pasien
dengan trauma penetrasi (n = 67), penggunaan HES (130/0.4) dikaitkan dengan
pembersihan laktat dalam tubuh dengan lebih baik, sehingga menunjukkan
keamanannya untuk resusitasi awal. Selanjutnya, skor maksimum yang lebih rendah
dari SOFA dan tidak adanya potensi terjadinya kerusakan ginjal akut ditemukan pada
kelompok HES. Namun, pada pasien dengan trauma tumpul (n = 42), tidak ada
perbedaan dalam kebutuhan cairan, pembersihan laktat, dan skor SOFA maksimum
antara dua kelompok tersebut. Selain itu, persyaratan darah dan produk-produknya
yang lebih besar diperlukan dalam penggunaan kelompok HES dengan perubahan
signifikan yang lebih besar dalam terjadinya koagulasi (thromboelastography). Sulit
untuk menarik kesimpulan karena pasien dalam kelompok HES mengalami luka yang
lebih parah dibandingkan pasien dalam kelompok saline sehingga perlu diterapkan
kewaspadaan ketika kita menginterpretasikan hasil karena penelitian ini hanya
didasarkan pada ukuran sampel yang kecil.
European Guidelines terbaru untuk manajemen pendarahan setelah cedera
yang parah [11] merekomendasikan bahwa kristaloid harus diterapkan sebagai terapi
awal untuk menangani pendarahan pada pasien trauma dan bahwa penambahan
koloid harus dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Di
antara golongan koloid, larutan HES atau gelatin adalah yang paling baik digunakan.
Pedoman ini merekomendasikan penggunaan generasi HES terbaru dalam batas yang
ditentukan karena risiko terjadinya AKI dan perubahan dalam koagulasi.
Larutan saline hipertonik (HTS) merupakan hal yang menarik dalam
penatalaksanaan syok hemoragik traumatik. HTS memiliki manfaat utama
mengekspansi volume darah dengan cepat dengan volumenya yang kecil, terutama
jika digunakan bersama koloid. Selanjutnya, HTS dapat digunakan sebagai agen
hiperosmolar pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Namun, HTS
gagal memperbaiki hasil di RCT terbaru [12,13]. Bulger et al. [12] melaporkan
bahwa penggunaan HTS + dekstran di luar resusitasi yang dilakukan di rumah sakit
tidak menurunkan kemampuan bertahan hidup pasien-pasien tanpa sindrom distres
napas akut dalam rentang waktu 28 hari pada kasus trauma tumpul dengan tekanan
darah sistolik (Systolic blood pressure (SAP)) sebelum masuk rumah sakit ≤ 90
mmHg. Namun demikian, keuntungan metode ini ditemukan pada subkelompok
pasien yang membutuhkan 10 U atau lebih PRC dalam 24 jam pertama. Baru-baru
ini, penulis yang sama tidak dapat menunjukkan kemajuan dalam kemampuan
bertahan hidup sebagai hasil dari pertolongan dengan SSH + dekstran yang dilakukan
di luar rumah sakit pada pasien syok hemoragik (SAP ≤ 70 mmHg atau SAP 71- 90
mmHg dengan denyut jantung ≥ 108 bpm) [13]. Angka kematian yang lebih tinggi
diamati pada pasien yang menerima HTS dalam subkelompok pasien yang tidak
menerima transfusi darah dalam 24 jam. Untuk menjelaskan efek ini, penulis
berhipotesis bahwa penggunaan SSH di luar rumah sakit bisa menutupi tanda-tanda
hipovolemik dan menunda diagnosis syok menoragik. Akhirnya dapat dikatakan
bahwa pengguanaan SSH di luar rumah sakit pada pasien dengan cedera otak
traumatik yang parah tidak meningkatkan pemulihan fungsi neurologis mereka.
Agen Vasoaktif
Resusitasi cairan adalah strategi pertama untuk mengembalikan tekanan arteri
rata-rata pada kasus syok hemoragik. Namun, agen vasopresor juga diperlukan untuk
menopang hidup dan mempertahankan perfusi ke jaringan pada kasus hipotensi
persisten, bahkan ketika ekspansi fluida berlangsung dan hipovolemia belum
diperbaiki. Hal ini sangat penting karena perfusi ke jaringan secara langsung
berhubungan dengan tekanan kemudi (perbedaan antara tekanan kapiler di lokasi
masuk dan keluarnya fluida), radius pembuluh darah, dan kepadatan kapiler; dan
sebagai tambahan bahwa perfusi ke jaringan berbanding terbalik dengan viskositas
darah. Dengan demikian, tekanan arteri merupakan penentu utama perfusi ke
jaringan.
Norepinefrin (NE), yang sering digunakan untuk mengembalikan tekanan
arteri pada syok septik dan hemoragik, merupakan agen yang saat ini
direkomendasikan sebagai pilihan selama terjadinya syok septik [14]. NE adalah agen
simpatometik dengan efek predominan sebagai vasokonstriktor. NE menstimulasi
reseptor α -Adrenergik baik di arteri maupun vena [15]. Selain sebagai arterial
vasokonstriktor, NE juga menginduksi venokonstriksi (terutama pada tingkat
sirkulasi splanikus), yang menginduksi peningkatan tekanan dalam kapasitansi
pembuluh darah dan secara aktif menggeser volume darah vena menjadi sirkulasi
sistemik [16]. Stimulasi adrenergik vena ini dapat melibatkan darah dari volume vena
tanpa tekanan, yaitu volume darah yang mengisi pembuluh darah tanpa menghasilkan
tekanan intravaskular. Selain itu, stimulasi β2 reseptor adrenergik menurunkan
resistensi vena dan meningkatkan aliran balik vena [16]. Poloujadoff et al. [17],
dalam studinya tentang hewan selama terjadi perdarahan yang tidak terkendali,
mengemukakan bahwa infus NE mengurangi jumlah cairan yang diperlukan untuk
mencapai target tekanan arteri dan berkorespondensi dalam menurunkan volume
kehilangan darah dan secara signifikan meningkatkan ketahahan hidup. Oleh karena
itu dapat dikemukakan bahwa penggunaan awal NE dapat mengembalikan tekanan
darah secepat mungkin, mengurangi resusitasi cairan, dan hemodilusi. Namun, perlu
diketahui bahwa efek penggunaan NE pada manusia dengan syok hemoragik
traumatik belum diteliti dengan ketat. Sebuah studi analisis multicenter, prospektif,
dan kohort yang dirancang untuk mengevaluasi jumlah orang dewasa yang menderita
cedera tumpul dan syok hemoragik mengemukakan bahwa penggunaan awal
vasopresor untuk mempertahankan hemodinamik setelah syok hemoragik dapat
merugikan dibandingkan dengan penggunaannya yang agresif pada resusitasi, serta
harus digunakan secara hati-hati [18].
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, ini merupakan
analisis prospektif yang kedua, studi kohort, dan tidak dirancang untuk menjawab
hipotesis spesifik yang teruji; kedua, kelompok yang mendapatkan terapi vasopresor
memiliki insiden torakotomi yang lebih tinggi. Dengan demikian, diperlukan sebuah
studi prospektif untuk menentukan efek vasopresor dalam penggunaannya pada
pasien dengan syok hemoragik. Sebagai kesimpulan, vasopresor dapat sangat berguna
jika digunakan sementara untuk mempertahankan tekanan arteri dan mempertahankan
perfusi jaringan selama hipotensi persisten dan juga untuk resusitasi cairan (Gambar
1). Selain itu penggunaan awal NE dapat membatasi resusitasi cairan dan hemodilusi.
Jika kita menggunakan NE pada tahap awal, kita harus mencatat nilai objektif
tekanan arteri yang direkomendasikan (SAP 80- 100 mmHg) [11]. Dengan demikian,
dosis NE harus dititrasi sampai kita mencapai target SAP (Gambar 1). Resusitasi
cairan harus dilakukan dan dititrasi sesuai dengan indikator respon preload, output
jantung, dan penanda oksigenasi jaringan. Karena vasopresor dapat meningkatkan
afterload jantung ketika infus berlebihan atau gangguan fungsi ventrikel kiri, maka
merupakan hal penting untuk menilai fungsi jantung pada pemeriksaan USG awal.
Disfungsi jantung pada pasien trauma setelah memar jantung, efusi perikardial, atau
cedera otak sekunder dengan hipertensi intrakranial dapat diperbaiki. Terjadinya
disfungsi miokard membutuhkan pengobatan dengan agen inotropik, seperti
dobutamin atau epinefrin. Tidak adanya evaluasi terhadap fungsi jantung atau
pemantauan output jantung, yang sering diamati pada pasien dalam fase akut syok
hemoragik, membuat kita harus mencurigai suatu disfungsi jantung jika terjadi respon
yang buruk terhadap ekspansi cairan dan NE.
Apa Tujuan Resusitasi Cairan dan Pengontrolan Tekanan Darah?
Tekanan arteri rata-rata, yang merepresentatifkan tekanan perfusi dari semua
organ (kecuali jantung), dapat berfungsi sebagai target yang harus dicapai oleh dokter
pada penggunaan terapi awal cairan. Suatu elemen penting dari resusitasi pada pasien
dengan syok hemoragik adalah untuk mencegah potensi meningkatnya perdarahan
dengan manuver-manuver resusitasi yang terlalu agresif. Resusitasi cairan dapat
menyebabkan koagulopati dengan cara mengurangi faktor koagulasi dan menginduksi
terjadinya hipotermia. Selain itu, tekanan arteri rata-rata yang tinggi (MAP) dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan dengan mencegah terbentuknya formasi bekuan.
Dua konsep telah muncul dalam beberapa tahun lalu: Konsep "resusitasi volume
rendah" dan konsep "resusitasi hipotensif". Seringkali kedua konsep ini digabung.
Beberapa penelitian eksperimental telah menyarankan bahwa penggunaan cairan
yang terbatas berhubungan dengan rendahnya tekanan darah sebagai titik akhir yang
dapat membatasi pendarahan tanpa kaitannya dengan peningkatan risiko kematian
[19]. Bickell et al. [20] pada tahun 1994 menguji konsep ini pada pasien hipotensi
dengan luka tembus di dada. Mereka membandingkan resusitasi cairan langsung dan
yang ditunda dan melaporkan bahwa pemberian cairan intravena secara agresif harus
ditunda sampai intervensi operatif dilakukan. Dengan demikian, Bickell dkk
mendukung konsep membawa pasien secepat mungkin ke unit pusat trauma dan
membatasi resusitasi cairan hingga saat intervensi operasi. Baru-baru ini, sebuah studi
kohort retrospektif pada pasien American Trauma Data Bank [21] menyebutkan
bahwa tidak ada manfaat penggunaan terapi cairan intravena sebelum masuk rumah
sakit untuk meningkatkan ketahanan hidup. Konsep ini dapat terbatas untuk beberapa
faktor, seperti pasien yang lebih tua, cedera otak berat, atau lamanya waktu tempuh
pasien dibawa ke rumah sakit (trauma pedesaan). Penelitian selanjutnya diperlukan
untuk memperjelas volume dan waktu resusitasi cairan sebelum tindakan bedah atau
mengontrol perdarahan pada embolisasi angiografi. Penggunaan volume resusitasi
yang minimal lebih baik dibandingkan volume yang resusitasi yang agresif sebelum
perdarahan aktif terkontrol. Merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah
hemodilusi dengan membatasi cairan resusitasi dan menggunakan strategi transfusi
agresif. Sebagai tambahan, meskipun resusitasi cairan memadai,, hanya darah
transfusi yang dapat meningkatkan oksigenasi jaringan [22]. Dengan demikian, salah
satu kunci adalah bahwa kita harus mempertimbangkan transfusi darah secara awal
dalam manajemen syok hemoragik untuk meningkatkan perfusi oksigen ke
mikrovaskuler.
Tingkat optimal tekanan darah selama resusitasi pasien syok hemoragik masih
diperdebatkan. Tujuan awalnya adalah untuk mengontrol perdarahan sesegera
mungkin dan untuk mempertahankan tekanan arteri minimal sehingga membatasi
hipoksia jaringan. Restorasi tekanan arteri dengan perdarahan yang tidak terkontrol
menghadapkan pasien pada risiko meningkatnya perdarahan atau pencegahan
pembentukan bekuan. Dutton et al. [23] mengemukakan bahwa titrasi cairan awal
terapi menjadi lebih rendah dari tekanan darah sistolik normal (70 mmHg) selama
perdarahan aktif tidak mempengaruhi angka kematian. Rendahnya jumlah dan
heterogenitas pasien yang diteliti membatasi kesimpulan dari penelitian ini. Sebagai
contoh, rata-rata tekanan darah sistolik adalah 100 ± 17 mmHg pada kelompok 70-
mmHg, karena tekanan darah meningkat secara spontan menuju nomal pada beberapa
pasien. Baru-baru ini, Morrison et al. [24], saat mengevaluasi pasien syok hemoragik
yang memerlukan operasi segera, membandingkan strategi resusitasi intraoperatif
dan hipotensi, dimana target MAP adalah 50 mmHg dengan strategi standar resusitasi
cairan MAP 65 mmHg. Strategi resusitasi yang hipotensif merupakan strategi yang
aman dengan penurunan insiden koagulopati pascaoperasi yang diperoleh dari
pengurangan produk transfusi darah yang signifikan dan pemberian cairan IV secara
keseluruhan. Namun dalam penelitian ini, tidak ada perbedaan MAP dalam kedua
kelompok (64,4 mmHg dan 68,5 mmHg), meskipun berbeda tujuan MAP. Penulis
mengaitkan tidak adanya perbedaan MAP dalam mempercepat pengontrolan
perdarahan pada kelompok 50-mmHg dengan menginduksi MAP spontan meningkat
dalam kelompok ini. Dengan demikian, terdapat ketiakcukupan kualitas atau
kuantitas bukti untuk menentukan level optimal tekanan darah selama syok
hemoragik aktif. Pedoman Eropa untuk manajemen perdarahan pada pasien trauma
merekomendasikan sasaran tekanan darah sistolik 80 hingga 100 mmHg sampai
pendarahan utama berhasil dihentikan pada tahap awal setelah trauma pada pasien
tanpa cedera otak [11] (Gambar 1). Pada kasus syok hemoragik tramatik dengan
cedera otak berat, tekanan perfusi serebral harus dipertahankan dengan meningkatkan
tekanan arteri untuk mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Sebelum memantau
tekanan intrakranial, kita harus menentukan tingkat optimal tekanan arteri dengan
menggunakan transcranial Doppler untuk mendapatkan keseimbangan terbaik antara
perfusi otak yang optimal dan risiko meningkatnya pendarahan (Gambar 1).
Transfusi dan Pencegahan Koagulopati Akut pada Kasus Trauma
Koreksi dan pencegahan terjadinya koagulopati traumatik (koagulopati akut
trauma, ACoT) telah menjadi tujuan utama dari manajemen awal resusitasi pada syok
hemoragik. Seperti diilustrasikan pada Gambar 2, beberapa mekanisme yang saling
berinteraksi berkontribusi pada peningkatan insiden koagulopati traumatik:
1) Fenomena “Kehilangan-dilusi”: perdarahan dan hemodilusi sekunder pada
resusitasi cairan menyebabkan hilangnya faktor koagulasi dan trombosit
2) Aktivasi koagulasi yang berlebihan: aktivasi koagulasi yang diadaptasi dalam
menanggapi cedera hemoragik dapat menjadi berlebihan akibat pengaruh fenomena
lokal maupun umum. Sebagai contoh, jaringan cedera dapat menyebabkan cedera
endotel yang terkait dengan reaksi inflamasi lokal dan sistematis; reaksi-reaksi ini
penting untuk memproduksi faktor jaringan dan faktor VII yang dapat mengaktifkan
koagulasi secara berlebihan
3) Fibrinolisis: dengan aktivasi koagulasi berlebihan, respon fibrinolitik dapat
melebih-lebihkan peran fisiologisnya dalam mengendalikan koagulasi
4) Hipotermia: hipotermia menyebabkan perubahan fungsi trombosit, faktor
koagulasi, dan fibrinolisis. Hipotermia disebabkan oleh resusitasi cairan yang agresif
5) Asidosis: asidosis metabolik menyebabkan koagulopati oleh penurunan berarti
dari aktivitas faktor koagulasi, fungsi trombosit, dan degradasi fibrinogen
6) Hipokalemia: hemodilusi yang diinduksi oleh cairan resusitasi dan sitrat yang
terkandung dalam produk darah setelah transfusi masif berkontribusi pada
hipokalsemia.
7) Anemia: sel darah merah memiliki peranan penting dalam hemostatis. Aliran sel
darah merah mempertahankan trombosit berdekatan dengan sel-sel endotel, dan ini
dapat mengaktifkan fungsi trombosit.
Risiko koagulopati tergantung pada konteks. Bila perdarahan terjadi selama
operasi, dokter bedah harus segera mengontrol pendarahan dengan penggunaan cairan
dan pengembalian volume sel darah merah secara cepat untuk menghindari atau
membatasi koagulopati menjadi hanya sebuah fenomena “kehilangan keenceran".
Namun, dalam syok hemoragik traumatik, koagulopati sering terjadi (10% sampai
34% dari pasien trauma) dan multifaktorial [25,26], tergantung pada tingkat
keparahan syok dan trauma, dan ini merupakan faktor independen dalam morbiditas
dan mortalitas pasien trauma.
Hal ini penting untuk menghindari keterlambatan dalam menyuplai darah dan
komponen-komponenya. Resusitasi hemostatis yang optimal membutuhkan tindakan
cepat dengan komunikasi yang baik dan koordinasi antara dokter yang mengobati
dengan penyedia layanan transfusi. Dua poin utama dalam pengelolaan pasien trauma
adalah: 1) penilaian reguler atas kemajuan terapi penggantian yang menggunakan
penilaian klinis dan pemantauan parameter koagulasi, dan 2) penggunaan protokol
transfusi yang tepat dengan pedoman pelaksanaan yang tepat.
Karena kemungkinan terdapat keterlambatan yang tak terelakkan dalam
memproses dan menerima hasil laboratorium, fasilitas lainnya menggunakan acuan
perawatan yang mencakup thromboelastography. Di samping koagulasi, pemantauan
pasien trauma dengan cara thrombelastography (TEG) atau tromboelastometry
(ROTEM) atau aktifnya waktu pembekuan (ACT) dapat mengarahkan kita ke
diagnosis dengan lebih cepat daripada ACoT. Selain itu, perangkat pemantauan ini
memungkinkan manajemen koagulasi personal, yang berfungsi untuk memandu
terapi koagulasi sesuai dengan kebutuhan pasien yang sebenarnya. Kami telah
mengamati bahwa beberapa tim klinis telah melakukan pperubahan dalam praktek
transfusi dengan manajemen koagulasi berbasis tujuan berdasarkan hasil TEG
[27,28].
Adanya kecenderungan penundaan transfusi dan resusitasi yang melibatkan
laboratorium, maka institusi-institusi yang menangani pasien dengan pendarahan
masif harus menerapkan protokol transfusi yang tepat dan memahami alur distribusi
produk darah. Dapat pula dilakukan dengan membuat semacam seperti protokol yang
dapat mengurangi waktu distribusi dan administrasi komponen darah. Ketidakstabilan
alur distribusi komponen darah mungkin dapat membantu mengurangi tingkat
kematian pasien trauma yang mendapatkan transfusi secara masif.
Transfusi Sel Darah Merah dan Plasma Beku Segar (Fresh Frozen Plasma)
Penggunaan awal sel darah merah atau red blood cells (RBC) dan plasma
beku segar atau fresh frozen plasma (FFP) merupakan prioritas untuk
mempertahankan suplai oksigen arterial dan mengembalikan fungsi koagulasi yang
efektif. Tidaklah mungkin menentukan kadar hemoglobin yang optimal pada pasien
dengan syok hemoragik traumatik karena tidak adanya penelitian yang menilai
hubungan antara kadar hemoglobin dan hasil yang merugikan pada pasien dengan
perdarahan kritis. Selain itu, target kadar hemoglobin dapat tergantung pada riwayat
medis pasien (umur, riwayat penyakit kardiovaskular) dan jenis trauma (ada atau
tidak adanya cedera otak). Penggunaan RBC ini dianggap sangat perlu ketika kadar
hemoglobin < 7 g / dL [11]. Rekomendasi ini terutamanya berdasarkan pada hasil
penelitian Transfusion Requirements in Critical Care (TRICC) [29]. Dalam
percobaan ini, Hebert et al. mengacak stabilitas hemodinamik, pasien dengan
penyakit kritis menggunakan sebuah strategi transfusi yang bersifat leluasa dengan
target kadar hemoglobin 10-12 g / dL, atau membatasi strategi, dengan target kadar
hemoglobin < 7-9g/dL. Angka kematian adalah serupa pada kedua kelompok
penelitian ini yang kemudian memperlihatkan bahwa strategi transfusi restriktif
adalah setidaknya sama amannya dengan pendekatan liberal. Pada pasien-pasien
cedera otak, data-data yang dimiliki tidak cukup untuk mendukung dilakukannya
pembatasan kadar hemoglobin maupun kadar hemoglobin yang bebas [30,31].
Namun, pada beberapa pusat kesehatan, pasien-pasien dengan cedera otak ditransfusi
hingga memperoleh kadar hemoglobin 10 g / dL. Strategi ini didasarkan pada temuan
bahwa peningkatan hemoglobin dari 8,7 menjadi 10,2 g / dL dapat meningkatkan
oksigenasi serebral lokal [32].
Dalam kasus pendarahan utama yang mengancam jiwa, pasien dapat
ditransfusikan dengan menggunakan golongan darah O Rh-negatif dalam RBC.
Namun demikian, terapi ini harus dianggap sebagai pengecualian, dan harus
dilaksanakan sebagai bagian dari protokol transfusi masif.
Pemberian FFP harus dikaitkan dengan transfusi sel darah merah sesegera
mungkin untuk mengkompensasi defisit faktor koagulasi. Dosis awal yang
direkomendasikan adalah 10 sampai 15 ml / kg [11]. Dosis tambahan akan tergantung
pada hasil pemantauan parameter koagulasi. FFP dianjurkan bila PT atau APTT 1,5
kali nilai normal (Gambar 1).
Beberapa penelitian terbaru yang melibatkan trauma yang terjadi pada pasien
militer atau sipil telah menyarankan pentingnya penggunaan RBC / FFP rasio sekitar
1:1. Namun, hasil ini harus ditafsirkan dengan hati-hati karena potensi ketahanan
hidup bias (yaitu, pasien yang meninggal dini lebih mungkin telah menerima RBC /
FFP dengan rasio yang lebih tinggi). Dengan demikian, nilai optimal untuk rasio
RBC dan FFP masih kontroversial. Kashuk et al. [33] melaporkan bahwa pada pasien
sipil dengan rasio RBC: FFP yang tinggi (rata-rata 2:1) dikaitkan dengan peluang
hidup yang lebih besar dibandingkan rasio RBC : FFP yang lebih rendah (rata rata
4:1), tetapi penulis ini menggambarkan hubungan berbentuk U antara risiko kematian
dan rasio RBC: FFP dengan ambang batas kritis untuk bertahan hidup dalam kisaran
2:1 dan 3:01 RBC: FFP. Dengan demikian, tidak ada kesepakatan mutlak pada
sasaran optimal RBC: Rasio FFP. Penelitian terbaru harus diarahkan untuk dapat
mendefinisikan target rasio optimal RBC: FFP dan mengidentifikasi pasien yang
dapat bermanfaat. Pedoman pengelolaan darah milik Australia dan Selandia Baru
menyarankan rasio RBC: FFP: trombosit sama dengan ≤ 02:01:01 [34]. Rekomendasi
serupa baru-baru ini ditetapkan juga oleh French Health Products Safety Agency
(Agence nationale de sécurité du obat et des produits de Sante-AFS- SAPS). Rasio
RBC:FFP merupakan elemen penting dari resusitasi RBC dan plasma secara agresif,
tetapi waktu transfusi tentu saja menjadi elemen utama dan bahkan lebih penting dari
rasio mentah RBC:FFP, penggunaan awal sel darah merah dan FFP dapat
memberikan hasil yang lebih baik pada pasien dengan syok hemoragik traumatik
[35]. Oleh karena itu, penting untuk memulai transfusi plasma secepat mungkin
(idealnya bersamaan dengan waktu transfusi RBC) (Gambar 2). Konsep dasarnya
adalah memiliki sebuah rencana yang agresif untuk mengembalikan hemostasis
biologis sesegera mungkin untuk secara cepat mengontrol perdarahan.
Pemantauan awal terjadinya pembekuan sangat penting untuk
mengidentifikasi koagulopati selama trauma dan untuk memfasilitasi dilakukannya
goal-directed transfusion. Namun, tes konevensional plasma berbasis koagulasi,
seperti prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (APTT),
international normalized ratio (INR), fibrinogen, dan kadar platelet, hanya
mencerminkan inisiasi dari proses hemostatis dan tes tidak bisa digunakan untuk
mengevaluasi amplifikasi propagasi atau peningkatan fibrinolisis. Tes darah
menyeluruh (whole blood assays) seperti TEG atau ROTEM, memberikan evaluasi
yang cepat terhadap pembentukan bekuan, kekuatan, dan lisis, yang mencerminkan
keseluruhan proses hemostatis [36,37]. Terdapat suatu bukti yang muncul dari
aplikasi klinis teknik-teknik yang dilakukan di ruangan pasien selama trauma.
Penggunaan teknik ini telah memodifikasi strategi transfusi beberapa petugas klinis.
Sebagai contoh, Schöchl et al. [27,28] melakukan pengkajian terhadap manajemen
goal-directed coagulation dengan menggunakan fibrinogen konsentrat dan
prothrombin complex concentrate (PCC), yang diberikan sesuai dengan ukuran
ROTEM. Dalam analisis retrospektif, penulis membandingkan antara pasien yang
dirawat di pusat trauma dengan pasien trauma yang tercatat dan melaporkan bahwa
strategi manajemen goal-directed coagulation dapat mengurangi kebutuhan transfusi
RBC atau trombosit konsentrat, dalam kaitannya dengan hemostatis berbasis terapi
FFP. Dua puluh sembilan persen pasien dalam kelompok fibrinogen-PCC
menghindari pemberian transfusi sel darah merah sedangkan hanya tiga persen pada
pasien dalam kelompok FFP yang mana terdapat perbedaan angka kematian dalam
kedua kelomok ini. Pendekatan ini cukup menarik terutama karena berkenaan dengan
risiko potensial transfusi. Transfusi FFP dan trombosit konsentrat telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko beberapa sindrom disfungsi organ dan sindrom gangguan
pernapasan akut [38-40]. Namun isu yang menyebutkan bahwa peningkatan risiko
terjadinya tromboemboli vena dengan strategi pemberian fibrinogen konsentrat-PCC
strategi belum dibuktikan.
Transfusi Trombosit dan Fibrinogen Konsentrat
Transfusi trombosit dianjurkan untuk dilakukan jika jumlah trombosit <50.109
L-1 (Gambar 1). Jumlah trombosit harus dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi
dalam kasus-cedera otak traumatik, yaitu, 100.109L-1.
Fibrinogen adalah komponen wajib dalam jalur koagulasi, dan kadar
fibrinogen plasma harus dikoreksi untuk mengantisipasi terjadinya pembekuan.
Ambang batas untuk melakukan terapi dengan fibrinogen konsentrat atau
cryoprecipitate selama perdarahan akut baru saja ditingkatkan yaitu kadar fibrinogen
plasma < 1,5 hingga 2,0 g / L (Gambar 1). Ambang batas terbaru ini didasarkan pada
data eksperimental dan klinis TEG di mana penggunaan fibrinogen selama fase akut
syok hemoragik mampu memperbaiki abnormalitas TEG. Sayangnya, penggunaan
FFP tidak berhasil memperbaiki hipofibrinogenemia dengan cepat setelah terjadinya
perdarahan. Sebagai contoh, Chowdary dkk. [27] melaporkan bahwa resusitasi
dengan menggunakan FFP 10 sampai 15 mL.kg -1 FFP hanya meningkatkan kadar
fibrinogen plasma menjadi 0,4 -1 gL. Lebih dari 30 mL.kg-1 FPP diperlukan untuk
meningkatkan kadar fibrinogen plasma menjadi 1 g.L-1.
Asam Traneksamat
Baru-baru ini, uji coba terkontrol secara acak yang termasuk 20.211 pasien
trauma [28] menunjukkan bahwa pemberian rutin asam traneksamat (loading dose 1
gr selama 10 menit, kemudian diinfus 1 g selama 8 jam) pada pasien dengan syok
hemoragik dikaitkan dengan penurunan angka kematian tanpa peningkatan
komplikasi tromboemboli. Dengan demikian, asam traneksamat dapat dikelopokkan
dalam manajemen segera pasien dengan syok hemoragik traumatik (Gambar 1 dan 2).
Efek optimal obat ini diamati dalam 3 jam pertama penggunaannya [28].
Faktor VIIA
Mengingat kegagalan Faktor VIIA rekombinan dalam menurunkan angka
kematian pasien syok hemoragik [41], penggunaan faktor ini harus didiskusikan
kasus-per-kasus ketika syok hemoragik tidak bisa dikendalikan oleh hemostasis
bedah dan/atau angiografi dan ketika parameter biologis yang bermacam-macam
(yaitu hematokrit, trombosit, PT, APTT, calcemia, dan pH) dapat dikoreksi dengan
memadai [42]. Merupakan hal yang penting untuk menyeimbangkan penggunaannya
dengan resiko nyata insiden tromboemboli.
Terapi Adjuvan Syok Hemoragik
Syok hemoragik traumatik dikaitkan dengan respon intensif inflamasi yang
sistemik. Selama beberapa dekade yang lalu, strategi terapi banyak diuji dalam
penanganan syok hemoragik, seperti recombinant human activated protein C (APC),
antagonis reseptor IL-1, anti-TNF atau agen anti-LPS, atau pengontrolan gula darah
yang ketat. Namun, penanganan-penanganan ini akhirnya menunjukkan
ketidakefektifannya dan kadang-kadang berbahaya.
Baru-baru ini, percobaan multicenter menunjukkan bahwa penggunaan
hidrokortison pada pasien trauma secara signifikan mengurangi risiko terjadinya
pneumonia (36% vs 51%) dan penurunan durasi penggunaan ventilasi mekanik [30].
Tidak ada perbedaan angka mortalitas yang ditemukan antara kedua kelompok.
Bagaimanapun kita harus berhati-hati sebelum merekomendasikan penggunaan awal
kortikosteroid pascatrauma. Penelitian yang dilakukan oleh CRASH tentang
penggunaan kortikosteroid pasca cedera otak traumatik yang parah pada lebih dari
10.000 pasien, menemukan adanya peningkatan angka kematian pada kelompok
pengguna kortikosteroid dan tidak adanya perbedaan dalam angka kejadian
pneumonia [31]. Sebuah penelitian yang lebih besar dapat mulai dilakukan untuk
mempelajari efek kortikosteroid pascatrauma.
Kesulitan dalam penyediaan dan ketersediaan produk darah yang mana
berisiko terinfeksi dan imunomodulasi meyakinkan kita bahwa dibutuhkan suatu
pengembangan carrier oksigen berbasis hemoglobin (HBOCs) yang aman. Namun,
generasi pertama HBOCs menyebabkan hipertensi sistemik dan pulmonal dengan
menurunkan curah jantung, mengakibatkan kerusakan miokard, dan efek lainnya
seperti NO scavenging, stres oksidatif, dan hyperoxia. Generasi kedua HBOCs
sedang menjalani proses investigasi aktif. Agen-agen ini tampaknya dapat ditoleransi
dan mengakibatkan komplikasi yang lebih sedikit sehubungan dengan deplesi NO.
Konjugasi hemoglobin dan glikol polietilen (PEG) merupakan agen dengan potensi
yang menjanjikan. PEGylation meningkatkan viskositas yang menginduksi terjadinya
stres endotel yang lebih besar dan produksi NO secara lokal seiring peningkatan
densitas fungsional kapiler [43]. Selain itu, PEGylation juga dapat meningkatkan
tekanan onkotik dan mengakibatkan ekspansi volume intravaskular. Dua fase
percobaan III telah membuktikan bahwa penggunaan oxygenated PEG-modified
hemoglobin (MP4OX) berhubungan dengan penurunan yang signifikan dalam
kejadian hipotensi pada pasien yang menjalani artroplasti primer pinggul dengan
anestesi spinal [44,45]. Saat ini, sebuah penelitian sedang mengevaluasi keamanan
dan keberhasilan MP4OX pada pasien trauma yang menderita asidosis laktat karena
syok hemoragik yang berat. HBOC’s dapat digunakan sebagai alternatif oleh para
dokter untuk meresusitasi pasien dengan syok hemoragik traumatic.
Kesimpulan
Manajemen pasien trauma dengan syok hemoragik sangatlah kompleks dan
sulit. Kami merekomendasikan pengelolaan pasien-pasien ini di pusat-pusat yang
merawat pasien dalam jumlah yang besar (seperti trauma center). Selama beberapa
dekade terakhir angka kematian terus meningkat meskipun pengetahuan kita tentang
patofisiologi syok hemoragik pada pasien trauma bertambah luas. Peran dokter di sini
adalah untuk mempertahankan suplai oksigen meskiun perdarahan terus berlangsung,
dan untuk membatasi hipoksia jaringan, peradangan, dan disfungsi organ. Pada saat
yang sama waktu, dokter harus mempertahankan kontrol perdarahan saat proses
pembedahan dan arteriografi dan mengontrol koagulopati untuk menghentikan
perdarahan pada pasien tersebut. Strategi resusitasi yang optimal masih kontroversial.
Untuk menjadi maju, kita perlu menetapkan pendekatan terapi yang optimal yang
bertujuan jelas dalam hal resusitasi cairan, tekanan darah, dan kadar hemoglobin yang
nantinya dapat menjadi panduan resusitasi dan membatasi risiko cairan yang
berlebihan dalam resusitasi dan transfusi.
top related