sindrom gawat nafas pada neonatus
Post on 29-Nov-2015
153 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Dalam Literatur Anglo Saxon, SGNN disebut sebagai Respiratory Distress
Syndrome.1 Namun terminologi ini juga sering dipakai untuk PMH, sehingga kita harus
cermat dalam menginterpretasi pengertiannya.1,7
Nama lain yang digunakan untuk PMH adalah Idiopatihc Respiratory Distress
Syndrome atau IRDS, bahkan ada yang menyebutnya sebagai IRDS type one dengan
pengertian IRDS type two adalah Transient. Tachypnea of The Newborn (TTN) atau
Wet Lung Disease.1
Namun semenjak diketahuinya penyebab RDS pada bayi-bayi prematur, maka
istilah IRDS mulai ditinggalkan.7
Jadi sindrom gawat nafas pada neonatus, khususnya RDS (PMH) adalah
keadaan dimana terdapat kumpulan gejala yang terdiri atas dispne, sianosis, takipneu,
penggunaan otot-otot bantu nafas dan adanya merintih.1
2. FAKTOR RISIKO
SGNN bisa diramalkan dengan mengenali faktor-faktor risiko terjadinya SGNN
pada kehamilan, kelahiran dan pada bayi.1 Faktor risiko utama PMH adalah
prematuritas.8 Secara umum dapat kita ketahui bahwa faktor risiko PMH adalah sebagai
berikut1 :
Faktor pada kehamilan :
1. Kehamilan kurang bulan.
2. Kehamilan dengan penyakit Diabetes Melitus.
3. Kehamilan dengan gawat janin.
4. Kehamilan dengan penyakit kronis ibu.
5. Kehamilan dengan pertumbuhan janin terhambat.
6. Kehamilan lebih bulan.
7. Infertilitas.
1
Faktor pada partus :
1. Partus dengan infeksi intra partum.
2. Partus dengan tindakan
3. Partus dengan penggunaan obat sedatif.
Faktor pada bayi :
1. Skor apgar yang rendah.
2. Bayi berat lahir rendah.
3. Bayi kurang bulan.
4. Berat lahir lebih dari 4000 gram.
5. Cacat bawaan.
6. Frekwensi pernafasan dengan 2 kali observasi lebih dari 60/menit.
3. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Sampai saat ini teori terjadinya PMH yang paling banyak diterima ialah karena
kurangnya surfaktan pada paru.6,7,8 Surfaktan diproduksi oleh sel epitel saluran nafas
yang disebut pneumocyt tipe II.7 Unsur surfaktan yang terpenting adalah dipalmitil
fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilgliserol, dua apoprotein dan kolesterol.4 Bahan-bahan
aktif tersebut memegang peranan utama dalam stabilisasi pertukaran udara perifer dan
berfungsi sebagai faktor antiatelektasis yang menolong pengendalian ekspansi alveolus
pada tekanan fisiologik, yaitu dengan merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada akhir
ekspirasi.7
Pneumocyt tipe II ini mulai tumbuh pada gestasi 22-24 minggu dan mulai
mengeluarkan surface active lipids pada gestasi 24-26 minggu dan mulai berfungsi
pada masa gestasi 32-36 minggu. Sel ini sangat peka dan berkurang dalam jumlah pada
keadaan asfiksia selama masa perinatal. Kematangan sel ini terpengaruh oleh adanya
keadaan fetal hiperinsulinemia, stress intra uteri yang kronik, seperti hipertensi pada
kehamilan, IUGR (Intra Uterine Growth Retardation) dan kehamilan kembar.7
Perubahan atau tidak adanya surfaktan pulmonal akan menyebabkan
serangkaian peristiwa yang ditunjukkan pada gambar berikut ini6 :
2
Gambar 1. Perubahan fisiologis akibat surfaktan
Peranan surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsional pada
akhir ekspirasi.9 Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya daya kembang paru (paru-
paru kaku).6 Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk
pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang
disertai usaha inspirasi yang lebih kuat.9 Kerja tambahan ini akan melelahkan bayi dan
menimbulkan penurunan ventilasi alveoler, atelektasis dan hipoperfusi alveolar.6
Asfiksasi akan menimbulkan vasokonstriksi pulmonal, dimana darah akan melewati
paru-paru melalui jalan pintas janin (Paten Ductus Arteriosus atau Foramen Ovale)
sehingga mengurangi aliran darah pulmonal.6,7 Terjadinya iskemia merupakan suatu
gangguan tambahan sehingga akan makin mengurangi metabolisme paru-paru dan
produksi surfaktan.6
4. PATOGENESIS
Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada PMH menyebabkan
kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu.9 Hal ini
mengakibatkan terganggunya fungsi paru bayi setelah lahir. Pada keadaan defisiensi ini
paru bayi akan gagal mempertahankan kestabilan alveolus pada akhir ekspirasi,
sehingga pada saat inspirasi berikutnya dibutuhkan tekanan yang lebih besar untuk
mengembangkan alveolus yang mengalami kolaps.5 Dan pada setiap ekspirasi
terjadinya atelektasis menjadi bertambah.7 Kolaps paru ini akan menyebabkan
terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia 3
METABOLISME PARU COMPLIANCE
PARU
ALIRAN DARAHPULMONAL
VENTILASIALVEOLAR
SURFAKTAN
akan menimbulkan: (1) Oksigeniasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi
metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi. (2) Kerusakan endotel kapiler
dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam
alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan
epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.9
Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis PMH dapat diterangkan dari
gambar berikut ini4 :
Gambar 2. Patogenesis PMH
Defisiensi sintesis atau pengeluaran surfaktan, bersama-sama dengan unit
pernafasan yang kecil dan dinding rongga dada yang lunak, mengakibatkan atelektasis,
frekwensi pernafasan meningkat, compliance paru berkurang, kerja pernafasan semakin
meningkat dan akhirnya ventilasi alveolar tidak mencukupi. Akibat yang ditimbulkan
adalah terjadinya hiperkarbia, hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan terjadinya
penyempitan pembuluh darah paru.4 Vasokonstriksi pembuluh darah paru yang
disebabkan oleh hipoksia menyebabkan terjadinya peninggian tahanan ke kiri melalui
4
Surfaktanyang menurun
Gangguan Metabolisme sel
Atelektasisprogresif
Hipoperfusialveolar
Hipoventilasi
Penyempitan pembuluhDarah paru
pCO2, pO2, pH
“Syok”hipotensi
Seksi-C
Asfiksia intrapartum
Predisposisi familail
Asidosis
Takipnea sementaraAsfiksia neonatalHipotermiaApnea
Hipovolemia
Prematuritas
duktus arteriosus dan foramen ovale.5 Terjadinya hipoperfusi alveolar akibat dari
vasokonstriksi pembuluh darah paru akan menyebabkan terganggunya metabolisme sel-
sel paru dan pada akhirnya akan menurunkan produksi surfaktan.6
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan
yang terdiri dari : atelektasis hipoksia asidosis transudasi penurunan aliran
darah paru hambatan pembentukan substansi surfaktan atelektasis. Hal ini akan
berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.9
5. GEJALA KLINIS
Bayi penderita PMH biasanya bayi kurang bulan yang lahir dengan berat badan
antara 1200-2000 gram dengan masa gestasi antara 30-36 minggu. Jarang ditemukan
pada bayi dengan berat badan lebih 2500 gram dan masa gestasi lebih 38 minggu.5
Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah lahir
terutama pada umur 6-8 jam.5,7 Gejala karakteristik mulai timbul pada usia 24-72 jam
dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami perbaikan.5 Bila
keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.9
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan
perfusi paru yang menurun.4,9 Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis
seperti1,3,4,5,6:
- Dispnea.
- Merintih saat ekspirasi (grunting).
- Takipnea (frekwensi pernafasan > 60/menit).
- Pernafasan cuping hidung.
- Retraksi dinding thoraks (suprasternal, epigastrium atau interkostal) pada saat
inspirasi.
- Sianosis.
Gejala-gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah bayi lahir dengan
gradasi yang berbeda-beda. Namun yang selalu ada ialah dispnea, sehingga dapat kita
katakan bahwa kita menghadapi sindrom gawat nafas bila kita menemukan adanya
dispnea. Dispnea adalah kesulitan ventilasi paru. Pada ventilasi paru yang normal tidak
dibutuhkan frekuensi ventilasi ekstra atau bantuan otot pernafasan tambahan. Sehingga
kalau telah ada dispnea maka akan terjadi takipne, pernafasan cuping hidung, retraksi
dinding toraks dan sianosis. Jadi praktisnya bila kita melihat adanya dispne pada
neonatus pada dasarnya kita berhadapan dengan SGNN.1
5
Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya brakikardia,
hipotensi, kardiomegali, pitting oedema terutama di dorsal tangan/kaki, hipotermia,
tonus otot menurun dan terdapatnya gejala sentral. Semua gejala tambahan ini sering
ditemukan pada PMH yang berat atau yang sudah mengalami komplikasi.9
Gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit ini dapat mencapai puncaknya dalam
waktu 3 hari, kemudian akan mulai terjadi perbaikan yang berangsur-angsur. Kematian
jarang terjadi setelah 3 hari, kecuali pada bayi yang perjalanan penyakitnya fatal.4
6. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
Pemeriksaan foto rontgen paru memegang peranan yang sangat penting dalam
menentukan diagnosis yang tepat.5 Pemeriksaan ini juga untuk menyingkirkan penyakit
lain dengan gejala yang sama dengan PMH seperti pneumothorax, hernia
diafragmatika, dan lain-lain.5,7
Gambaran klasik yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya bercak
difus berupa infiltrat retrikulogranukor pada parenkim disertai adanya tabung-tabung
udara bronkus (air bronchogram).3,5,6,8 Gambaran retikulo granular ini merupakan
manifestasi adanya kolaps alveolus sehingga apabila penyakit semakin berat gambaran
ini akan semakin jelas.5
7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksan laboratorium diantaranya ialah
pemeriksaan darah9 :
- Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari 45 mg %,
prognosis lebih buruk.
- Kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal dengan berat
badan sama.
- Kadar PaO2 menurun disebabkan berkurangnya oksigenasi di dalam paru dan
karena adanya pirau arteri vena.
- Kadar PaCO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai
akibat atelektasis paru.
- PH darah menurun dan defisit basa meningkat akibat adanya asiodosis respiratorik
dan metabolik dalam tubuh.
6
Juga diperlukan pemeriksaan7:
- Hb dan hematokrit untuk petunjuk perlu tidaknya plasma espander bila bayi jatuh
dalam syok.
- Pencarian ke arah sepsis, termasuk darah tepi lengkap, termasuk trombosit, kultur
darah, cairan amnion dan urin, CRP.
- Elektrolit.
- Golongan darah.
- Serum glukosa (dapat rendah atau tinggi).
8. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis SGNN kita tegakkan kalau kita tegakkan kalau kita telah
menemukan sindrom sebagai berikut3,5,7 :
- Dispnea.
- Merintih (grunting).
- Takipne.
- Pernafasan cuping hidung.
- Retraksi dinding toraks.
- Sianosis.
Namun bila pada bayi terdapat faktor risiko terjadinya PMH maka bila dalam 2
kali observasi frekuensi pernafasan selalu di atas 60 per menit dalam keadaan bayi tidak
menangis maka harus dibuat foto polos. Toraks anteriposterior untuk menegakkan
diagnostik dan untuk menentukan sikap selanjutnya.1,5
Di rumah sakit rujukan tindakan diagnostik dikerjakan untuk mengetahui
diagnosis anatomik dan fungsional pada suatu saat. Prosedur diagnostik yang dilakukan
tergantung pada keadaan penderita kemampuan penderita dan fasilitas yang tersedia.1
Tindakan diagnostik yang disebut di bawah ini disusun menurut prioritas
berdasarkan keadaan penderita1 :
1. Radiologi toraks.
2. Analisa gas darah.
3. Glukosa darah.
4. Elektrolit darah.
5. Darah tepi lengkap.
6. EKG.
7
7. USG otak.
Khusus untuk PMH suatu cara yang sederhana yang dapat meramalkan
terjadinya penyakit ini dan untuk membantu penegakkan diagnosis adalah dengan
Shake test, caranya adalah sebagai berikut1,8 :
1. Ambil 0,5 ml aspirat lambung yang bersih, masukkan ke dalam tabung reaksi.
2. Ke dalam cairan ini dituangkan 0,5 garam fisiologi.
3. Kemudian tambahkan 1 ml larutan etanol 95 %.
4. Dikocok selama 15 detik dan dibiarkan diam dalam rak dalam posisi tegak lurus
selama 15 menit.
Interpretasi :
Positif : Bila terdapat gelembung-gelembung yang membentuk cincin. Artinya
surfaktan terdapat pada paru dalam jumlah yang cukup (gelembung > 2/3
permukaan).
Negatif : Bila tidak terdapat gelembung. Artinya tidak ada surfaktan dan
kemungkinan akan terjadi PMH besar (gelembung ½ permukaan. Risiko
PMH adalah 60 %.
Ragu : Bila terdapat gelembung tetapi tidak membentuk cincin. Artinya waspada
terhadap kemungkinan terjadinya PMH (gelembung 1/3-2/3 permukaan.
Risiko PMH 20-50 %.
Deteksi dini yang lain ialah melakukan pemeriksaan rasio L/S (Lecithin
Sphingomyelin Ratio), pada air ketuban yang diperoleh dengan amniosentesis, atau dari
aspirasi trakea dan lambung. Rasio L/S kurang dari 2 biasanya berasosiasi dengan PMH
(Bluck dan Kulovich, 1973). Deteksi adanya Phosphatidyl glycerol (PG) menunjukkan
kematangan paru sehingga bila PG positif, PMH kejadiannya rendah sedang bila PG
negatif kejadiannya tinggi (Halliday dkk, 1985).1
9. PENATALAKSANAAN
Dasar tindakan pada penderita adalah mempertahankan penderita dalam suasana
fisiologik yang sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan
organ lain, sehingga ia dapat mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya.5
Penatalaksanaan penderita PMH tergantung dari berat ringannya penyakit, sehingga
penatalaksanaan yang dapat dilakukan terdiri dari tindakan umum dan tindakan
khusus.5 Tujuan penatalaksanaan umum ini ialah mengusahakan agar1:
8
- Kebutuhan konsumsi O2 dapat diusahakan seminimal mungkin sehingga fungsi
pernafasan dapat berlangsung optimal.
- Kebutuhan makanan bayi dapat terpenuhi.
- Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan dengan baik.
- Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan baik dan kalau perlu intervensi dapat
dilakukan sedini mungkin (Usha Raj, 1988).
Tindakan umum terutama dilakukan pada penderita ringan atau sebagai tindakan
penunjang pada penderita berat.5 Tindakan umum yang perlu dikerjakan ialah :
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan
agar tetap dalam batas normal (36,5 C-37 C) dengan meletakan bayi dalam
inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70-80 %).1,9
2. Makan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan intravena yang
disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun pemberian cairan ini bertujuan
untuk memberikan kalori yang cukup, menjaga agar bayi tidak mengalami
dehidrasi, mempertahankan pengeluaran cairan melalui ginjal dan
mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh. Dalam 48 jam pertama biasanya
cairan yang diberikan terdiri dari glukosa/dekstrose 10% dalam jumlah 100
ml/KgBB/hr. Dengan pemberian secara ini diharapkan kalori yang dibutuhkan (40
kkal/KgBB/hr) untuk mencegah katabolisme tubuh dapat dipenuhi.5
Tindakan khusus meliputi :
1. Pemberian O2
Setiap penderita PMH hampir selalu membutuhkan O2 tambahan.
Pemberian O2 ini perlu dilakukan secara hati-hati, karena O2 punya pengaruh yang
kompleks terhadap bayi baru lahir.5
Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang
tidak diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasi retrolental) dan
lain-lain. Untuk mencegah komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan
pemeriksaan tekanan O2 arterial (PaO2) secara teratur. Konsentrasi O2 yang
diberikan harus dijaga agar cukup untuk mempertahankan PaO2 antara 80-100
mgHg. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada,O2 dapat
diberikan sampai gejala sianosis hilang.9 Untuk mencapai tekanan, O2 ini kadang-
9
kadang diperlukan konsentrasi O2 sampai 100 %. Konsentrasi demikian biasanya
hanya dapat dicapai apabila O2 diberikan dengan sungkup dan tidak mungkin
dicapai dengan cara pemberian O2 melalui kateter hidung biasa. Pada penderita
yang sangat berat kadang-kadang diperlukan ventilasi mekanis dimana O2
diberikan dengan respirator.1 Tindakan ini dilakukan apabila bayi yang telah
mendapatkan O2 dengan konsentrasi 100% masih memperlihatkan PaO2 kurang
dari 40 mmHg, PCO2 > 70 mmHg, PH darah < 7,2 atau masih adanya serangan
apneu berulang.5 Dasar ventilasi mekanis adalah mengusahakan agar O2 yang
diberikan dapat memperbaiki pertukaran gas tubuh. Beberapa cara pemberian
ventilasi mekanis ini adalah5 :
a. Pemberian O2 dengan secara tekanan positif yang konstan Constant positive
airway pressure = CPAP). Cara ini dapat dicapai dengan memberikan tekanan
positif terhadap udara yang masuk atau mengadakan tekanan negatif yang
konstans terhadap dinding toraks. Pemberian secara ini akan mengurangi
terjadinya atelektasis alveolus disertai perbaikan PaO2 darah.
b. Pemberian O2 dengan ventilasi tekanan positif yang intermiten (Intermittent
Positive Pressure Ventilation = IPPV). Dengan cara ini keseimbangan
pertukaran gas tubuh dapat diatur.
c. Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula dengan bermacam
cara, misalnya pemberian O2 secara hiperbasik, intermittent negative pressure
ventilation, dan lain-lain.
2. Pemberian Antibiotika
Setiap penderita PMH perlu mendapat antibiotika untuk menegah terjadinya infeksi
sekunder yang dapat memperberat penyakit.9 Antibiotik diberikan selama bayi
mendapat cairan intravena sampai gejala gangguan nafas tidak ditemukan lagi.
Sebaiknya antibiotik yang dipilih adalah yang mempunyai spektrum luas.5
Antibiotik yang biasa diberikan adalah penisilin (50.000 U-100.000 U/KgBB/hr)
atau ampicilin (100 mg/KgBB/hr) dengan gentamicin (3-5 mg/KgBB/hr).9 Bila
pemeriksaan kultur tidak memungkinkan, antibiotik dapat diberikan 5-7 hari.
Antibiotik yang dipilih bisa juga kombinasi ampisilin/sefalosporin dengan
aminoglikosid/kemisitin.1
10
3. Pemberian NaHCO2
Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus segera diperbaiki
dengan pemberian NaHCO3 secara intravena.9 Pemeriksaan keseimbangan asam
basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar NaHCO3 dapat disesuaikan dengan
rumus (5,9) :
Konsentrasi NaHCO3 yang diberikan biasanya antara 7,5-8,4 % dan kebutuhan
yang diperlukan sebagian dapat diberikan langsung intravena dan sisanya diberikan
secara tetesan.5 Tujuan pemberian NaHCO3 adalah untuk mempertahankan PH
darah antara 7,35-7,45. Bila fasilitas untuk pemeriksaan keseimbangan asam basa
tidak ada, NaHCO3 dapat diberikan dengan tetesan. Cairan yang digunakan berupa
campuran larutan glukosa 5-10 % dengan NaHCO3 1,5 % dalam perbandingan. 4 :
1. Pada asidosis yang berat penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk
menilai apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat.9
4. Pemberian Surfaktan Buatan
Penemuan surfaktan buatan untuk terapi PMH termasuk salah satu kemajuan di
bidang kedokteran. Dengan demikian dapat mengurangi kebutuhan tekanan tinggi
dari ventilator dan konsentrasi O2 yang tinggi.7 Surfaktan artifisial yang dibuat dari
dipalmitoil fosfatidilkolin dan fosfatidil gliserol dengan perbandingan 7 : 3 telah
dapat mengobati penderita penyakit tersebut. Bayi tersebut diberi surfaktan
artifisial sebanyak 25 mg dosis tunggal dengan menyemprotkan ke dalam trakea
penderita. Akhir-akhir ini telah dapat dibuat surfaktan endogen yang berasal dari
cairan amnion manusia. Surfaktan ini disemprotkan ke dalam trakea dengan dosis
60 mg/KgBB. Walaupun cara pengobatan ini masih dalam taraf penelitian, tetapi
hasilnya telah memberikan harapan baru.5
10. PENCEGAHAN
Usaha pokok penanganan PMH ini harus dipusatkan pada usaha pencegahan.6
Yang paling penting adalah mencegah terjadinya prematuritas, termasuk menghindari
faktor risiko untuk terjadinya PMH.1 Pencegahan yang bisa dilakukan diantaranya :
1. Mencegah kelahiran prematur1,8
2. Mencegah kelahiran bayi dengan IUGR (Intra Growth Retardation)1
11
Kebutuhan NaHCO3 = Defisit basa x 0,3 x BB(Kg)
3. Antenatal ultrasound untuk lebih dapat menentukan gestasi secara akurat dan
mendeteksi keadaan fetus7
4. Fetal monitoring yang berkelanjutan untuk mendeteksi keadaan fetus dan
mengetahui perlunya intervensi segera bila terjadi fetal distress7
5. Menentukan pematangan paru sebelum persalinan dengan pemeriksaan L/S rasio7,9
6. Pengendalian kadar gula ibu hamil yang menderita DM1
7. Optimalisasi kesehatan ibu hamil1
8. Menghindari SC yang sebenarnya tidak diperlukan4
9. Prevensi dan intervensi persalinan prematur dengan tokolitik dan glukokortikoid
untuk merangsang pematangan paru7
Pemberian kortikosteroid pada wanita hamil 48-72 jam sebelum persalinan
dengan janin masa gestasi 34 minggu menurunkan insidens dan mortalitas akibat
PMH7,8 Dengan demikian layak memberikan 1-2 dosis betametason atau
deksametason secara IM kepada wanita hamil yang lesitinnya dalam cairan ketuban
memberi petunjuk adanya imaturitas paru janin dan yang kemungkinan besar akan
melahirkan bayi antara 48-72 jam atau yang persalinannya dapat ditunda selama 48
jam atau lebih.4
Di samping kortikosteroid telah banyak dilaporkan beberapa obat yang
dinyatakan dapat merangsang maturitas paru. Salah satu obat yang dianggap lebih
baik dari kortikosteroid adalah ambroxol. Pemberian sebanyak 1000 mg/hr selama 5
hari berturut-turut pada persalinan prematur yang mempunyai risiko menderita PMH,
dapat menurunkan angka kematian bayi. Selanjutnya terdapat obat lain seperti
aminofilin, tiroksin, isoxsuprine, dan lain-lain.5
11. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat PMH adalah :
1. Perdarahan intrakranial oleh karena belum berkembangnya sistem saraf pusat
terutama sistem vaskularisasinya, adanya hipoksia dan hipotensi yang kadang-
kadang disertai renjatan. Faktor tersebut dapat membuka nekrosis iskemik,
terutama pada pembuluh darah kapiler di daerah periventrikular dan dapat juga di
ganglia bavalis dan jaringan otak lainnya.5
2. Pada intubasi trakea bisa terjadi asfiksasi akibat obstruksi pipa, penghentian jantung
(cardiac arrest) selama intubasi atau penyedotan dan timbulnya stenosis subglotis
di kemudian hari.4
12
3. Gejala neurologik yang tampak berupa kesadaran yang menurun, apreu, gerakan
bola mata yang aneh, kekakuan extremitas dan bentuk kejang neonatus lainnya.3
4. Komplikasi pneumotoraks atau pneuma mediastinum mungkin timbul pada bayi
yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanis. Pemberian O2 dengan tekanan
yang tidak terkontrol baik, mungkin menyebabkan pecahnya alveolus sehingga
udara pernafasan yang memasuki rongga-ronga toraks atau rongga mediastinum.
5. Pada PMH yang berat sering ditemukan koagulasi intravaskular diseminata.
Beberapa penderita juga memperlihatkan gangguan faktor koagulasi (PT dan PTT
memanjang) dan trombositopenia yang merupakan ciri karakteristik penyakit
tersebut. Komplikasi ini terutama ditemukan pada penderita PMH yang disertai
dengan sepsis oleh kuman gram negatif atau didahului oleh asfiksia berat.5
6. Paten ductus arteriolus pada penderita PMH sering menimbulkan keadaan payah
jantung yang sulit untuk ditanggulangi.5
12. PROGNOSIS
Prognosis PMH tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya penyakit.9
Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke-3 atau ke-4 dan
pada hari ke-7 terjadi penyembuhan sempurna.5 Pada penderita yang lanjut mortalitas
diperkirakan 20-40 %.5,9 Dengan perawatan yang intensif dan cara pengobatan terbaru
mortalitas ini dapat menurun.5 Prognosis jangka panjang sulit diramalkan. Kelainan
yang timbul dikemudian hari lebih cenderung disebabkan komplikasi pengobatan
yang diberikan dan bukan akibat penyakitnya sendiri.5 Pada fungsi paru yang normal
pada kebanyakan bayi yang dapat hidup dari PMH, prognosisnya sangat baik.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah, Sindrom Gawat Nafas Pada Neonatus, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI, Jakarta, 1991, hal. 1-7. 55. 65-66.
2. Harthaway, W.E et all, Pediatrics Diagnosis & Treatment, Edition II, A Lange Medical Book, by Appleton & Lange, 1993, hal. 33.
3. Pincus Catzel & Lan Roberts, Kapita Selekta Pediatri, Edisi II, Editor, Dr. Petrus Andrianto, EGC, Jakarta, 1991, hal. 45-46.
13
4. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar, M.R, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal. 622-627.
5. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
6. Klaus & Fanaroff, Penatalaksanaan Neonatus Risiko Tinggi, Edisi 4, Editor : Achmad Surjono, EGC, Jakarta, 1998, hal. 286-289.
7. Winarno, dkk, Penatalaksanaan Kegawatan Neonatus, dalam Simposium Gawat Darurat Neonatus, Unit Kerja Koordinasi Pediatri Darurat IDAI, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1991, hal. 151-153.
8. Arif Masjoer, dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Edisi 3, Media Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000, hal. 507-508.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Editor : Rusepno Hassan & Husein Alatas, Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985, hal.
14
top related