profil kemiskinan provinsi bali...
Post on 07-Mar-2019
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PROFIL KEMISKINANPROVINSI BALI 2014
PEMERINTAH PROVINSI BALIBADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
i
KATA PENGANTAR
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi perhatian Pemerintah khususnya di Bali. Usaha penurunan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja masih menjadi isu utama dalam pembangunan sosial ekonomi Bali.
Pemerintah Provinsi Bali melalui visi Bali Mandara secara bertahap melakukan berbagai upaya untuk mengurangi jumlah kemiskinan. Namun mengingat kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat miskin, sehingga upaya yang telah dilakukan belumlah cukup. Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat.
Pemerintah juga telah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK), melalui Peraturan Presiden Nomor 15 tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Untuk mendukung tugas TKPK, Bappeda Provinsi Bali bekerjasama dengan BPS Provinsi Bali menyusun profil kemiskinan yang menyajikan informasi tentang gambaran umum kemiskinan berdasarkan variabel individu, perumahan dan lingkungan dengan harapan dapat digunakan sebagai bahan untuk menyusun rencana aksi dan peta jalan dalam percepatan penanggulangan kemiskinan.
Meskipun telah disiapkan dengan sebaik-baiknya disadari masih banyak kekurangan yang mungkin terjadi, karena itu saran untuk perbaikan sangat kami hargai dan kepada semua pihak yang telah memberikan perhatian disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Semoga informasi yang disajikan dalam Buku Profil Kemiskinan ini dapat memberikan manfaat bagi pembangunan masyarakat Bali.
Denpasar, Nopember 2015
Ir. I PUTU ASTAWA, M.MA Pembina Utama Muda19611231 198302 1 055
ii
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR ................................................................. i DAFTAR ISI .......................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG .................................................... 1 1.2. MAKSUD DAN TUJUAN ............................................. 5 1.3. RUANG LINGKUP ...................................................... 6
BAB II DEFINISI KEMISKINAN 2.1. DEFINISI UMUM ....................................................... 7 2.2. SUDUT PANDANG KEMISKINAN.................................. 8
2.2.1 KEMISKINAN RELATIF ...................................... 8 2.2.2 KEMISKINAN ABSOLUT....................................... 9
2.3. FENOMENA KEMISKINAN ......................................... 10 2.4. TERMINOLOGI KEMISKINAN LAINNYA ...................... 10 2.5. TEORI KEMISKINAN .................................................... 11 2.6. KARAKTERISTIK KEMISKINAN ..................................... 13
BAB III METODOLOGI 3.1. METODE PENGHITUNGAN KEMISKINAN ................... 15 3.2. UKURAN KEMISKINAN ............................................. 28 3.3. DISTRIBUSI DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN ........ 31
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS 4.1. DISTRIBUSI PENDAPATAN ........................................ 37 4.2. INDIKATOR KEMISKINAN BALI ................................... 44 4.3. PROFIL PENDUDUK MISKIN ...................................... 54
4.3.1.PENDIDIKAN ................................................... 54 4.3.2.KETENAGAKERJAAN ........................................ 56 4.3.3.KESEHATAN ..................................................... 59 4.3.4.KONSUMSI PENDUDUK MISKIN ........................ 61
4.4. PROFIL RUMAH TANGGA MISKIN .............................. 63 4.4.1.JUMLAH ANGGOTA RUMAH TANGGA ............... 63 4.4.2.KONDISI TEMPAT TINGGAL .............................. 66 4.4.3.PROGRAM PEMERINTAH .................................. 70 4.4.4.AKSES INTERNET .............................................. 71
iv
BAB V PENUTUP .................................................................. 73
LAMPIRAN .......................................................................... 75
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 1
BAB IPENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Permasalahan kompleks kemiskinan telah lama menjadi perhatian di
seluruh dunia selama beberapa warsa terakhir. Dengan ketimpangan distribusi
kemakmuran yang ada saat ini perspektif atau cara pandang mengenai
kemiskinan itu sendiri akan sangat berbeda satu sama lain. Negara miskin yang
secara langsung menghadapai masalah kronis ini akan memandang kemiskinan
sebagai benih pesimis jangka panjang yang tidak mungkin dihapuskan dalam
beberapa generasi.
Kelompok mediocre atau negara-negara berkembang yang memiliki
kondisi ekonomi lebih baik akan memandang kemiskinan sebagai bibit
ketidakbahagiaan yang memiliki potensi menjadi polemik kompleks untuk
masalah sosial dalam negeri mereka. Sementara itu bagi kelompok negara
maju, negara miskin adalah pasar yang potensial yang belum digarap. Sebuah
wilayah dengan potensi sumber daya alam terpendam dan kekuatan ekonomi
yang luar biasa akan menjadi bangsa yang kuat jika digarap dengan sempurna.
Permasalahan kemiskinan begitu sulit untuk ditanggulangi dan penuh
dengan relativitas dalam setiap kondisi yang disajikan. Kaum miskin di Swiss
misalnya akan sangat berbeda dengan kondisi kaum papa di Bangalore India.
Di negara maju, kaum miskin memiliki akses layanan publik yang cukup baik.
Apabila beruntung mereka akan memperoleh tunjangan yang diterima setiap
bulannya. Sangat berbeda dengan negara miskin dimana penduduk marjinal
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 2
dalam strata ekonominya masih berurusan dengan perut lapar dan
ketidakberdayaan sosial.
Akan tetapi kondisi psikologis kedua kelompok ini akan jauh berbeda.
Menjadi orang miskin di tepi Bangalore akan menjadi jauh lebih biasa daripada
menjadi orang miskin di tengah orang kaya Zurich. Kondisi psikologis ini sangat
krusial dari mentalitas orang miskin di kedua atau beberapa negara ini. Dan
oleh karenanya dapat dikatakan bahwa diagnosa untuk kemiskinan sudah
sepenuhnya diketahui meskipun obat yang diberikan masih berupa sebatas
terapi.
Apabila melihat jauh ke belakang, permasalahan kemiskinan telah ada
ketika perjalanan kebudayaan mulai menyisir pada sisi-sisi kemajuan ekonomi.
Ketika motif dan tujuan ekonomi mulai menjadi dasar perubahan cara hidup
bersama maka ketika itulah kemajuan yang dialami di satu pihak tidak serta
merta bisa diikuti oleh pihak lainnya. Dengan kata lain ketika hasil usaha
personal menjadi pembeda seiring dengan melemahnya interaksi komunal
untuk kepentingan kolektif, garis pembatas kondisi individu-individu maupun
kondisi antar kelompok dapat mulai jelas dipetakan perbedaannya.
Dilihat dalam runut waktunya, permasalahan tentang kemiskinan telah
lama berada dalam sejarah panjang umat manusia. Romawi di masa dulu (awal
terbentuknya republik) telah berhasil mengidentifikasi masyarakat miskin
sebagai kekuatan penting dalam kehidupan sosial dan politik. Bagaimana
memperlakukan orang miskin adalah kajian esensial dalam topik filosofis serta
diskusi yang berlangsung pada masa itu. Dalam kurun ratusan tahun di
permulaan masehi ini, orang miskin adalah musuh sekaligus mitra secara
kolektif golongan lainnya.
Di luar sifat altruisme manusia yang mempedulikan sesama, kemiskinan
ditakuti karena banyak dampak sosial ikutannya. Kriminalitas serta
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 3
menurunnya kualitas hidup adalah resonansi dari dampak kemiskinan dalam
cakupan yang luas. Meskipun harus diakui juga bahwa keberpihakan pada
golongan ini selalu menjadi wacana dan topik yang hangat serta sangat
potensial dalam propaganda politik. Hanya saja dalam posisi ini keterbatasan
golongan miskin seringkali menjadi tumpuan kebijakan-kebijakan yang akan
ditempuh oleh pemerintah.
Hingga kini terminologi kemiskinan telah beberapa kali mengalami
perubahan arti seiring dengan perluasan definisi yang dialami. Pada awalnya
kemiskinan diidentifikasi hanya sebagai kondisi kurangnya sumber makanan
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk. Seiring
dengan kemajuan teknologi dan proses industrialisasi yang terjadi maka proses
untuk menciptakan kemakmuran seolah menjadi lebih mudah dan tentu saja
lebih efisien.
Meningkatnya taraf hidup sebagai ekses pertumbuhan ekonomi telah
berhasil memberi ruang untuk transformasi definisi dan klasifikasi kemiskinan.
Kemiskinan saat ini tidak hanya menyangkut makanan maupun sekedar
kondisi ekonomi akan tetapi telah meluas pada keterbatasan akses sumber
daya dan fasilitas publik. Sendhil Mulaianathan dari MIT menangkap bahwa
kemiskinan adalah buah dari kelangkaan (scarcity). Kelangkaan berarti masih
ada cukup lebar jarak antar keinginan dengan kemampuan pemenuhan. Untuk
golongan miskin keinginan dapat diterjemahkan ulah sebagai kebutuhan.
Konsep kemiskinan menjadi semakin luas ketika kita diperkenalkan pada
istilah Kemiskinan Multi Dimensi. Konsep ini lebih mengarah pada himpitan
dari segala arah yang dialami seseorang dengan anggota rumah tangganya
yang berasal dari ketidak berdayaan untuk memenuhi aspek pendidikan,
kesehatan, serta standar hidup layak.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 4
Kompleksnya persoalan kemiskinan multi dimensi membuat paradigma
penyelesaian kemiskinan juga mengalami perubahan yang cukup drastis.
Dalam bukunya Poor Economics, Esther Dufflo dan Abijhit Benerjee
mengungkapkan bahwa sesungguhnya kita tidak mampu menyelesaikan
masalah kemiskinan karena kita memang belum dapat memahaminya dalam
level yang memang diperlukan. Permasalahan ini dikenal dengan istilah “mil
terakhir”. Kita telah memiliki fasilitas, kita memiliki sumber daya, akan tetapi
kita tidak mampu menyelesaikannya.
Sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, Dufflo dan Banerjee
mengusulkan bahwa model penyelesaian masalah kemiskinan harus spesifik
dalam batas wilayah spasial yang terukur. Jika tidak demikian pemahaman dan
solusi yang dihasilkan akan menjadi bias. Solusi masalah kemiskinan harus
demikian terstandardisasi seperti halnya eksperimen-eksperimen dalam
kedokteran. Uji-uji terukur ini akan dapat menghasilkan variasi solusi untuk
beragam kasus kemiskinan yang mungkin sangat spesifik.
Terobosan dalam penelitian ini diharapkan akan dapat membantu
penyelesaian masalah-masalah yang sebelumnya dianggap sebagai kasus
generik menjadi kasus yang bersifat spesifik. Mengingat kasus kemiskinan juga
menyangkut pada topik-topik seperti angka kematian bayi, gizi buruk, diare
dan lainnya maka batasan eksperimen yang dilakukan nantinya juga akan
mengalami ekspansi yang lebih luas dibandingkan dengan sebelumnya.
Oleh karenanya dalam upaya untuk memerangi kemiskinan pemerintah
mengeluarkan berbagai program perlindungan sosial. Mulai dari bantuan
secara langsung dalam bentuk tunai, perbaikan tempat tinggal hingga subsidi
pendidikan dan pemberdayaan ekonomi. Semua ini dilakukan untuk memberi
lebih banyak jalan kaum miskin keluar dari labirin kemiskinan mereka. Solusi
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 5
multi dimensi inilah yang diharapkan memberikan harapan dari kelangkaan
yang mereka alami.
Akan tetapi terlepas dari aspek kebendaanya penanggulangan
kemiskinan juga harus melibatkan unsur yang paling penting yaitu
pemberdayaan. Pemberdayaan dapat efektif ketika secara sadar orang mau
terlepas dari belenggu kemiskinan yang mereka alami. Dalam tataran ini peran
nilai sosial dan budaya menjadi sangat penting sehingga kaum miskin tidak lagi
merasa semakin termarginalisasi atau sebaliknya sebagai orang yang nyaman
dengan kondisi yang mereka hadapi untuk saat ini.
Di lain pihak program pengentasan kemiskinan memerlukan
ketersediaan data yang komperehensif mengenai kemiskinan secara
keseluruhan baik itu mikro individu maupun rumah tangga. Tanpa data yang
memadai ada indikasi bahwa penanggulangan kemiskinan nantinya memiliki
peluang yang cukup besar untuk tidak menemui sasaran. Di sisi lain
penyediaan data yang komperehensif ini adalah bagian dari sinergi bersama
untuk pemberantasaan kemiskinan yang dapat dimulai dari segala arah.
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
Publikasi ini ditujukan untuk memberikan gambaran yang lebih
komperehensif mengenai kemiskinan Bali di tahun 2014 berdasarkan hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2014. Selain mencoba memaparkan
mengenai kemiskinan dalam indikator-indikatornya, publikasi ini juga akan
memuat berbagai hal yang menyangkut karakteristik kemiskinan dan orang
miskin pada umumnya. Karakteristik yang dibahas mengacu pada kondisi
individu dan rumah tangga kelompok miskin.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 6
1.3. SUMBER DATA
Publikasi ini menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
2014 (Susenas 2014). Survei ini dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Data
yang dihasilkan oleh survei ini diharapkan mampu mengestimasi kemiskinan
hingga pada tingkat kabupaten.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 7
BAB IIDEFINISI KEMISKINAN
2.1. Definisi Umum
Kemiskinan secara harfiah berasal dari kata “miskin”. Makna kata miskin
ini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai keadaan
tidak berharta; serba kekurangan. Sedangkan kemiskinan disebutkan sebagai
situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi
makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan tingkat kehidupan yg minimum.
Hampir sama dengan KBBI, Wikipedia mendefinisikan kemiskinan
sebagai keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan maupun
kesehatan. Sedangkan BPS menambahkan harus adanya standar minimum
yang dipenuhi seseorang hingga dapat dikategorikan sebagai miskin maupun
tidak miskin. Definisi yang meluas ini dikarenakan karena cakupan mengenai
kemiskinan sendiri yang telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin
kompleks nya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang
melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi
melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan
politik.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 8
Sedangkan menurut UNDP kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk
memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian
tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah
satu indikator kemiskinan. Definisi menurut UNDP ini tentunya sedikit berbeda
karena ada kata pilihan artinya kondisi miskin diartikan tidak hanya secara
umum namun keterbatasan pada satu bagian kehidupan juga akan diartikan
sebagai miskin.
Terakhir adalah BAPPENAS (2004) yang mendefinisikan kemiskinan
sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan,
tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Pada dasarnya kemiskinan
tersebut dapat ditinjau dari dua sisi yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan
absolut.
2.2 Sudut Pandang Kemiskinan
2.2.1 Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif adalah kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan
sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya
(lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan
golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah
penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat
hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. Karena keterbandingan
inilah maka dapat dilihat perbedaan standar orang miskin antara
Berbagai hal dikaitkan dengan permasalahan kemiskinan relatif ini,
diantaranya adalah yang disebutkan Todaro bahwa variasi kemiskinan di
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 9
negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan
geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah,
sebagian dijajah oleh Negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber
daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan
sektor swasta dan negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan
derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7)
perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam
negeri.
2.2.2 Kemiskinan Absolut
Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan
kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar
minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan
demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan
orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh
kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat
menjamin kelangsungan hidupnya. Pengukuran kemiskinan absolut didasarkan
atas Garis Kemiskinan (GK) dimana seseorang kan dikatakan miskin jika hasil
pendapatannya (dalam konteks ini konsumsinya) berada di bawah garis
kemiskinan, sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimum; pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Sedangkan apabila
berada diatas GK maka seseorang atau individu tersebut tidak dikatakan miskin
lagi secara materi
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 10
2.3 Fenomena Kemiskinan
Dilihat dari kondisinya, fenomena kemiskinan pada sebuah individu
maupun kelompok yang berlangsung dalam selang waktu tertentu dapat dibagi
menjadi kemiskinan kronis (Chronic) dan kemiskinan sementara (Transient).
Kemiskinan kronis dapat diartikan sebagai kondisi kemiskinan yang
berlangsung secara terus menerus diakibatkan keterbatasan yang bersifat
permanen seperti halnya keterbatasan fisik, ketrampilan, aset serta daya
tahan. Sementara itu sedikit berbeda dengan kemiskinan kronis, kemiskinan
sementara dapat terjadi karena faktor insidental seperti halnya hilangnya
pekerjaan yang memang tidak tetap atau musiman, bencana alam dan lain
sebagainya. Pemahaman pada kedua kondisi kemiskinan ini sangat penting
karena secara teoretis kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk
penanganannya secara mendasar juga memiliki perbedaan.
2.4 Terminologi Kemiskinan Lainnya
Dengan dipandangnya kemiskinan sebagai permasalahan yang meluas
dari segi konteks hendaknya pemahaman mengenai kemiskinan tersebut
tidaklah serta merta dibawa ke interpretasi yang mengalami peyoratikasi
dalam makna. Hal ini disampaikan karena pada dasarnya ada terminologi lain
dari kemiskinan yang disebut sebagai kemiskinan secara kultural atau budaya.
Kemiskinan ini dekat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat
yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada
usaha dari pihak lain yang mau membantu.
Kemiskinan budaya timbul karena 2 hal umum yang berlaku secara
terpisah berdasarkan situasi yang dihadapi. Pertama adalah rasa putus asa
seseorang untuk lepas dari kemiskinan karena berbagai usaha yang
dilakukannya (terutama mencari pekerjaan) selalu berakhir pada kegagalan.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 11
Kegagalan yang mereka temui secara pelan-pelan telah menggiring kepada
kondisi dimana mereka tidak mau untuk berusaha lagi.
Kedua adalah sifat nyaman yang dimiliki oleh penduduk dalam suatu
komunitas. lingkungan yang tradisional dan relatif tidak berkembang telah
membiarkan seseorang menjadi statis dalam menilai kebutuhannya. Akibatnya
ada perbedaan dari apa yang menjadi standar kebutuhan mereka dengan apa
yang terjadi di sekitarnya. Kemiskinan secara kultural ini sangat dekat dengan
kemiskinan yang bersifat relatif, artinya pada dasarnya masyarakat tersebut
tidak bisa dikatakan miskin secara mutlak.
2.5 Teori Kemiskinan
Kemiskinan yang terjadi di Indonesia pada umumnya melanda
penduduk yang tinggal di pedesaan. Salah satu golongan miskin di pedesaan
adalah mereka yang termasuk kategori petani kecil yang bertempat tinggal di
daerah yang terisolir dengan kondisi sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang kurang menguntungkan. Petani kecil yang hidup dalam
kemiskinan tersebut umumnya memiliki lahan pertanian yang sempit. Kecilnya
luas lahan yang dimiliki mengakibatkan mereka sangat sulit meningkatkan taraf
hidupnya.
Dari waktu ke waktu jumlah penduduk miskin ini semakin berkurang
di daerah pedesaan sementara jumlah penduduk miskin dikota semakin
banyak. Hal ini disebabkan banyak penduduk miskin dari desa yang pergi ke
kota untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Akibatnya mereka bekerja di
sektor informal perkotaan seperti pedangang kaki lima, pedagang asongan,
pemulung, gelandangan, dan sebagainya. Sebagian dari profesi ini membuat
mereka tetap tergolong miskin.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 12
Migrasi yang tidak seimbang ini tentunya akan menyebabkan
kesenjangan yang makin tinggi di daerah perkotaan. Upah kerja yang murah di
satu sisi telah menguntungkan pengusaha namun disisi lain sangat merugikan
bagi para tenaga kerja yang rela dibayar lebih rendah asalkan mendapat
pekerjaan. Akibat lain dari ketidakseimbangan migrasi ini adalah piramida
penduduk semu dalam arti kondisi piramida penduduk yang ideal sebenarnya
diakibatkan oleh migrasi yang tinggi sehingga daerah perkotaan selalu terlihat
memiliki keuntungan populasi (Population Deviden). Padahal usia produktif
tersebut diakibatkan oleh migrasi bukan semata-mata oleh kelahiran dan
kematian. Karenanya keadaan yang tercipta tidaklah stabil dan tidak
terprediksi.
Jinghan (2000) menyebutkan bahwa penyebab kemiskinan di negara
berkembang saling resiprokal dengan akibatnya. Tiga ciri penyebabnya antara
lain adalah Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai
sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak
memiliki ketrampilan. ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola
konsumsi buruk sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi
tenaga kerja produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di
sektor pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang
dan ketinggalan zaman.
Sedangkan jika dilihat dari segi ketenagakerjaan penyebab kemiskinan
sangat dekat dengan pengangguran. Tingginya angka pengangguran
disebabkan oleh tingginya tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan rendahnya
investasi perkapita. Tingginya pertumbuhan tenaga kerja (terutama di kota)
disebabkan oleh penurunan tingkat kematian dan tingginya migrasi. Sedangkan
rendahnya investasi perkapita disebabkan oleh tingginya ketergantungan
terhadap teknologi asing yang hemat tenaga kerja. Rendahnya investasi per
kapita berjalan paralel dengan rendahnya tingkat pendapatan per kapita.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 13
Akibatnya tingkat pendapatan yang rendah jelas berpengaruh terhadap tingkat
kesehatan, kesempatan pendidikan, pertumbuhan tenaga kerja dan investasi
perkapita itu sendiri.
Secara umum permasalahan kebijakan yang diterapkan untuk
mengentaskan kemiskinan seyogyanya tidak mempengaruhi kebijakan
ekonomi dalam lingkup yang seutuhnya. Artinya kebijakan yang diambil bisa
sangat spesifik dan dalam konteks tertentu harus ada diferensiasi yang jelas
antar penduduk miskin dan penduduk yang sekedar berpendapatan rendah.
2.6 Karakteristik Kemiskinan
Karakteristik kemiskinan hendaknya ditinjau dari 5 (lima) hal yaitu :
persentase penduduk miskin, pendidikan (khususnya angka buta huruf),
kesehatan (antara lain angka kematian bayi dan anak balita kurang gizi),
ketenagakerjaan, dan ekonomi (konsumsi/kapita). Hal ini dilakukan untuk
memberikan gambaran yang memadai mengenai kondisi spesifik dari golongan
miskin itu sendiri.
Indikator lain yang sangat disarankan untuk ditelaah antara lain
menyangkut kondisi perumahan, sumber air, akses terhadap sarana publik
yang pada dasarnya juga memegang peranan terhadap kualitas hidup orang
miskin.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 14
Halaman ini sengaja dikosongkan
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 15
BAB IIIMETODOLOGI
3.1. METODE PENGHITUNGAN KEMISKINAN
a. Prinsip-prinsip Penghitungan Kemiskinan
Dalam pengukuran kemiskinan, terdapat beberapa kriteria yang
seharusnya dipenuhi. Adapun kriteria ukuran kemiskinan yang telah diterima
yaitu prinsip-prinsip anonimitas, independensi populasi, monotonisitas, dan
sensitivitas distribusional. Prinsip anonimitas dan independensi populasi
maksudnya adalah ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada
siapa yang miskin atau pada apakah negara tersebut mempunyai jumlah
penduduk yang banyak atau sedikit. Prinsip monotonisitas berarti bahwa jika
terjadi transfer sejumlah uang kepada seseorang yang berada di bawah garis
kemiskinan, dan jika semua pendapatan yang lain tetap, maka kemiskinan
yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi daripada sebelumnya. Prinsip
sensitivitas distribusional menyatakan bahwa, dengan semua hal lainnya
sama, jika terjadi transfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka
akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin.
b. Perubahan Metode Penghitungan Kemiskinan
Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali secara resmi
dipublikasikan BPS pada tahun 1984 yang mencakup data kemiskinan periode
1976-1981. Sejak itu setiap tiga tahun sekali BPS menghitung jumlah dan
persentase penduduk miskin, yaitu pada saat data modul konsumsi tersedia.
Namun sejak tahun 2000, penghitungan kemiskinan dilakukan setiap tahun
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 16
dengan menggunakan data KOR bagi tahun-tahun yang tidak ada modul
konsumsi. Sejak tahun 2002 penghitungan kemiskinan selain menggunakan
Susenas reguler juga menggunakan Susenas Panel.
Metode yang digunakan untuk menghitung penduduk miskin adalah
metode Head Count Index. Menurut metode ini, penduduk miskin adalah
penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut garis kemiskinan.
Dengan demikian sebelum menghitung jumlah dan persentase penduduk
miskin, maka terlebih dahulu dihitung garis kemiskinan.
Garis kemiskinan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang
dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup
minimum makanan (beras, umbi-umbian, ikan dan sebagainya) maupun
kebutuhan hidup minimum bukan makanan (perumahan, kesehatan,
pendidikan, transportasi, dan sebagainya). Berdasarkan hasil Widyakarya
Pangan dan Gizi tahun 1978, seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila
telah dapat memenuhi kebutuhan energinya minimal sebesar 2.100 kilokalori
per hari. Mengacu kepada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan
adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat
memenuhi kebutuhan minimum energinya sebesar 2.100 kilokalori perhari.
Kebutuhan energi ini dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi berbagai jenis
komoditi makanan, seperti beras, umbi-umbian, ikan, daging dan sebagainya.
Dalam penghitungan kebutuhan hidup minimum makanan, standar kebutuhan
hidup minimum 2.100 kilokalori didasarkan pada konsumsi makanan dari
penduduk kelas marjinal, yaitu penduduk yang hidupnya sedikit di atas
estimasi awal garis kemiskinan yang diperoleh berdasarkan garis kemiskinan
sebelumnya yang disesuaikan (di-inflate) dengan tingkat inflasi. Penduduk
pada kelas tersebut disebut penduduk referensi (reference population).
Agar seseorang dapat dikatakan hidup layak, pemenuhan akan
kebutuhan makanan saja tidak cukup. Oleh karena itu perlu juga dipenuhi
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 17
kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan,
pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Batas kebutuhan minimum untuk
makanan ditambah kebutuhan minimum untuk bukan makanan itulah yang
disebut Garis Kemiskinan. Ringkasnya, garis kemiskinan terdiri atas dua
komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan
makanan.
Dengan standar kemiskinan yang mengacu pada kebutuhan energi 2100
kilo kalori ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan, berarti
penduduk miskin tidak dikonseptualisasikan sebagai sangat papa atau yang
mengandung konotasi tidak berdaya tanpa bantuan pihak lain. Sebaliknya,
kemiskinan dipersepsikan lebih manusiawi. Namun demikian dalam standar
yang digunakan sampai dengan tahun 1996, kebutuhan minimum non
makanan belum diukur secara realistis, sehingga masih perlu disempurnakan.
Sejak Desember 1998, penghitungan penduduk miskin telah
menggunakan standar baru. Standar baru tersebut lebih dinamis, yaitu
menyesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Perbedaan
standar baru ini dengan standar sebelumnya (tahun 1996) adalah pada
perluasan cakupan komoditi yang diperhitungkan dalam kebutuhan dasar.
Standar tersebut diubah agar ukuran kemiskinan yang digunakan dapat
mengukur tingkat kemiskinan secara lebih realistis.
Standar baru tersebut juga telah disempurnakan agar keterbandingan
antar daerah dapat terjaga. Penyempurnaan dilakukan dengan
memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar daerah, dimana tingkat
harga di setiap provinsi distandarkan terhadap tingkat harga di DKI Jakarta.
Cara tersebut memungkinkan diperkirakannya standar kebutuhan minimum di
masing-masing daerah dari reference population yang terbanding, yang
memiliki tingkat pengeluaran (pendapatan) riil yang sama di seluruh provinsi,
sehingga standar yang diperoleh terbanding antar provinsi. Meskipun
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 18
demikian, standar yang digunakan tetap memperhitungkan perbedaan pola
konsumsi antar daerah. Dengan kata lain, walaupun jenis barang dan jasa yang
ditetapkan sebagai kebutuhan pokok bisa berbeda antar daerah, tetapi karena
didasarkan pada pola konsumsi penduduk yang sama pengeluaran riilnya,
maka standarnya cukup terbanding.
Standar baru tersebut telah diterapkan pada penghitungan kemiskinan
tahun 1996, 1999, 2002, 2003, 2004 dan 2005. Dengan demikian untuk tahun
1996 tersedia dua angka yaitu angka yang dihitung menggunakan standar baru
(1998) dan yang dihitung menggunakan standar 1996.
Secara ringkas tahapan penghitungan penduduk miskin dengan
menggunakan standar baru yang disempurnakan adalah sebagai berikut:
Menghitung pengeluaran riil penduduk nasional (yang
dipisahkan antara perkotaan dan perdesaan) dengan deflator
harga yang dibayar kelompok penduduk marjinal, yaitu 20
persen penduduk yang berada sedikit diatas estimasi garis
kemiskinan. Kelompok penduduk ini disebut sebagai kelompok
penduduk referensi (reference population). Pada tahap ini
pengeluaran penduduk antar provinsi distandarkan terhadap DKI
Jakarta, dengan standarisasi ini faktor perbedaan harga antar
provinsi telah tereleminir.
Dari langkah diatas diperoleh distribusi penduduk menurut
pengeluaran riil-nya.
Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi komoditi di setiap
provinsi yang didasarkan pada pola konsumsi penduduk
referensi di masing-masing provinsi. Dari komoditi terpilih
tersebut akan diperoleh garis kemiskinan makanan dan non
makanan.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 19
Tahap terakhir adalah menghitung jumlah penduduk yang
berada dibawah garis kemiskinan dengan menggunakan metode
Head Count Index.
c. Penyempurnaan Metode Penghitungan Kemiskinan
Standar baru yang digunakan sejak Desember 1998 merupakan
perbaikan dari standar sebelumnya (1996). Perubahan standar ini meliputi
perluasan cakupan komoditi yang diperhitungkan dalam kebutuhan dasar.
Dengan adanya perubahan standar, kemiskinan akan dapat terukur secara
lebih realistis. Namun demikian, standar baru (1998) yang ditetapkan tahun
1999 tersebut belum secara cermat dapat mengukur keterbandingan antar
daerah (provinsi serta perkotaan-perdesaan) dan antar waktu karena adanya
perbedaan tingkat harga antar daerah. Keterbandingan antar daerah dapat
diatasi dengan menghilangkan efek perbedaan pendapatan riil (pengeluaran
riil). Dengan menghilangkan efek perbedaan pendapatan, maka perbedaan
tingkat pengeluaran penduduk akan benar-benar disebabkan oleh perbedaan
pola konsumsi (selera) penduduk dan harga, bukan oleh perbedaan
pendapatan. Jadi standar kebutuhan minimum DKI Jakarta lebih tinggi dari
NTB, misalnya, bukan karena DKI Jakarta memiliki tingkat pendapatan lebih
tinggi, tetapi karena pola konsumsi yang berbeda dan ketersediaan barang dan
jasa yang berbeda. Dengan demikian, jelas bahwa standar ini masih tetap
memperhitungkan perbedaan pola konsumsi antar daerah.
Dengan menyamakan pendapatan (pengeluaran) riil dari penduduk
referensi antar waktu, berarti standar tersebut juga terbanding antar waktu,
namun juga tetap dinamis karena tetap mengakomodir perubahan pola
konsumsi antar waktu. Dengan perkataan lain, standar 1998 yang telah
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 20
disempurnakan telah relatif terbanding antar daerah dan antar waktu, serta
tetap mengakomodir perbedaan antar daerah dan perubahan antar waktu.
Langkah-langkah mengukur standar yang terbanding:
Menentukan kelompok penduduk referensi, yaitu 20 persen penduduk
yang berada diatas estimasi garis kemiskinan. Estimasi garis
kemiskinan dihitung dari garis kemiskinan tahun sebelumnya yang
digerakkan dengan tingkat inflasi selama periode 1 tahun terakhir.
Berdasarkan penduduk referensi tersebut, dipilih 52 komoditi dasar
makanan untuk tingkat nasional. Selanjutnya dihitung rata-rata harga
dari ke-52 komoditi di setiap provinsi. Rata-rata harga ini selanjutnya
akan digunakan sebagai deflator dalam menghitung pengeluaran riil
penduduk. Rata-rata harga dihitung secara tertimbang, dengan
penimbang proporsi pengeluaran (budget share) masing-masing
komoditi yang tercakup dalam paket nasional terhadap total
pengeluaran ke-52 komoditi. Rata-rata harga dihitung terpisah untuk
masing-masing daerah perkotaan dan perdesaan, dengan formula
berikut:
ikijkji PP .dimana:
Pij = Rata-rata harga di daerah i (perkotaan atau
perdesaan) dan di provinsi j.
Pijk = Rata-rata harga di daerah i (perkotaan atau
perdesaan), provinsi j, dan komoditi k.
ik = Proporsi pengeluaran komoditi k (bundel
nasional) di daerah i, yaitu Vik /Vi.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 21
(Vik=Pengeluaran komoditi k, Vi =Total
pengeluaran dari 52 komoditi).
Setelah nilai Pij di setiap provinsi (daerah perkotaan dan perdesaan)
diperoleh, selanjutnya dihitung nilai pengeluaran riil masing-masing
rumahtangga. Namun sebelumnya Pij ini distandarkan terlebih dahulu
terhadap DKI Jakarta, dengan menggunakan formula berikut:
Pis = Pij / PDKI Jakarta
Pis = Deflator harga
Pengeluaran riil masing-masing rumah tangga dihitung berdasarkan
formula berikut:
isPERE RE = Pengeluaran Riil (dihitung untuk setiap rumahtangga)
E = Pengeluaran Nominal.
Dari butir 3 diatas diperoleh distribusi pengeluaran riil penduduk di
masing-masing provinsi di perkotaan dan di perdesaan.
Atas dasar distribusi pengeluaran riil tersebut, selanjutnya dihitung
garis kemiskinan makanan dan non makanan. Meskipun pada
penentuan pengeluaran riil dilakukan per provinsi, namun pada
penghitungan garis kemiskinan hanya dilakukan untuk tingkat nasional
(masing-masing perkotaan dan perdesaan). Penghitungan garis
kemiskinan dilakukan mengidentifikasi paket komoditi yang menjadi
komoditi dasar bagi penduduk referensi. Formula dasar dalam
menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah:
jkjkjkj VQPGKM .
dimana:
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 22
GKMj = Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum
disetarakan menjadi 2100 kilokalori).
Pjk = Harga komoditi k di daerah j.
Qjk = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di
daerah j.
Vjk = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di
daerah j.
j = Daerah (perkotaan atau perdesaan).
Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan
mengalikan 2100 dengan harga implisit kalori dari penduduk referensi ini.
jK
jKj
K
VHK
dimana:
KjK = kalori dari komoditi K di daerah j
jHK = harga rata-rata kalori di daerah j
2100xKHF jj
dimana:
Fj = Kebutuhan minimum makanan di daerah j,
yaitu yang menghasilkan energi 2100
kilokalori/kapita/hari.
Selanjutnya, kebutuhan dasar non makanan dihitung berdasarkan pada
pola konsumsi penduduk referensi yang sama. Sementara Formula
dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM)
adalah:
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 23
iij VrGKNM .
dimana :
GKNMj = Garis Kemiskinan Non Makanan di daerah j
ri = Rasio pengeluaran barang non makanan terhadap
sub kelompok pengeluaran menurut daerah pada
penduduk referensi, rasio ri dihitung dari SPKKD
yang telah disebutkan sebelumnya.
Vi = Nilai pengeluaran komoditi non makanan menurut
daerah.
i = Jenis barang non makanan terpilih di masing-
masing daerah.
d. Pemilihan Paket Komoditi Dalam Penghitungan GarisKemiskinan
Seperti telah dijelaskan di atas, Garis Kemiskinan Makanan atau batas
kecukupan makanan dihitung berdasarkan pada kebutuhan minimum makanan
yang dikonsumsi untuk dapat hidup sehat, yaitu kebutuhan makanan yang
akan menghasilkan energi 2100 kilokalori per kapita per hari. Pendekatan yang
digunakan dalam menghitung nilai rupiah yang setara 2100 kilokalori adalah
pendekatan kebutuhan dasar. Pendekatan ini telah digunakan sejak tahun
1993.
Dalam pendekatan kebutuhan dasar, pertama kali dipilih sejumlah paket
komoditi kebutuhan dasar penduduk. Suatu komoditi akan menjadi bagian dari
paket kebutuhan dasar apabila komoditi tersebut banyak dikonsumsi oleh
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 24
sekelompok penduduk yang berada sedikit diatas estimasi garis kemiskinan
atau yang disebut kelompok penduduk referensi. Yang diperhitungkan sebagai
kelompok penduduk referensi adalah kelompok 20 persen penduduk yang
berada diatas estimasi awal garis kemiskinan dan didasarkan atas pengeluaran
riil.
Paket komoditi dasar makanan yang dipakai untuk menentukan garis
kemiskinan ditetapkan berdasarkan pada data Susenas Panel. Tujuan utama
dari pemilihan komoditi makanan tersebut adalah untuk mengidentifikasi
jenis-jenis makanan yang merupakan kebutuhan dasar kelompok penduduk
marjinal, yang selanjutnya akan dijadikan sebagai standar kebutuhan minimum
makanan. Pemilihan kebutuhan dasar didasarkan pada asumsi bahwa
kelompok penduduk marjinal akan selalu mengutamakan kebutuhan dasar
terlebih dahulu sebelum kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, kebutuhan
dasar adalah komoditi yang dikonsumsi mayoritas penduduk marjinal. Selain
pertimbangan tersebut, pemilihan komoditi dilakukan dengan juga
mempertimbangkan beberapa hal lainnya. Seperti banyaknya komoditi dalam
masing-masing kelompok jenis makanan yang dipertimbangkan. Jadi untuk
kelompok jenis makanan yang terdiri dari banyak jenis makanan, maka jumlah
komoditi yang dipilih untuk mewakili kelompok tersebut juga lebih banyak.
Dari pertimbangan kewajaran, jika jelas merupakan kebutuhan pokok, seperti
beras dan garam maka komoditi tersebut tetap terpilih.
Ketentuan pemilihan tersebut tidak dibedakan antara daerah perkotaan
dan perdesaan. Yang membedakan antara perkotaan dan perdesaan adalah
nilai pengeluarannya, yang dapat menggambarkan perbedaan kuantitas harga.
Jadi secara tidak langsung, perbedaan ini menggambarkan perbedaan kualitas
barang yang umumnya dikonsumsi oleh penduduk perkotaan dan perdesaan.
Dengan cara tersebut maka terpilih antara 2-5 jenis komoditi di setiap
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 25
kelompok komoditi makanan, dan secara total terpilih sekitar 52 komoditi
makanan yang dijadikan sebagai paket komoditi dasar. Jumlah komoditi dasar
makanan terpilih pada tahun 2009 sama dengan paket pada penghitungan
kemiskinan tahun-tahun sebelumnya.
Apabila kandungan kalori ke-52 komoditi dasar yang riil dikonsumsi
penduduk pada kelompok penduduk referensi nilainya tidak mencapai 2100
kilokalori perkapita perhari, maka dilakukan mark-up, yaitu dengan
menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Selanjutnya
diperkirakan batas kecukupan makanan dengan formula sebagai berikut :
52
1
5221 ...i
i VVVVV
52
1
5221 ...i
i KKKKK
K
VHK
dimana :
i = Jenis komoditi yang masuk dalam paket komoditi dasar
makanan (1, 2,…, 52)
V = Nilai pengeluaran dari ke-52 komoditi
K = Jumlah kalori dari ke-52 komoditi
KH = Harga rata-rata kalori ke 52 komoditi
Untuk memperoleh nilai pengeluaran minimum makanan yang
menghasilkan energi 2100 kilokalori maka :
2100' xHKV
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 26
F = V’
F = Pengeluaran minimum makanan (batas kecukupan
makanan).
F adalah batas kecukupan makanan atau garis
kemiskinan makanan berdasarkan data Susenas Panel
modul konsumsi pada tingkat provinsi, yaitu yang
menghasilkan 2100 kilokalori perkapita perhari.
Seperti halnya pada penentuan garis kemiskinan makanan, dalam
menentukan garis kemiskinan non makanan juga digunakan pendekatan
kebutuhan dasar, dimana dalam penghitungannya terlebih dahulu ditentukan
jenis-jenis komoditi dasar non makanan. Penentuan paket komoditi dasar non
makanan didasarkan pada hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar
(SPKKD) yang mencakup sekitar 1050 rumah tangga di seluruh Indonesia.
Mengingat pentingnya mengukur tingkat kemiskinan secara realistis,
maka cakupan komoditi non makanan yang ada dalam paket dasar bukan
makanan sebelumnya diperluas. Perluasan cakupan komoditi tersebut
didasarkan atas hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD).
Dengan adanya Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar maka jenis
komoditi yang masuk sebagai paket komoditi dasar menjadi 65 jenis di
perkotaan dan 68 jenis di perdesaan atau jika diagregasikan menurut sub-
kelompoknya adalah 39 sub-kelompok pengeluaran di perkotaan dan 35 sub-
kelompok pengeluaran di perdesaan. Namun demikian, hasil SPPKD
disesuaikan kembali dengan data Susenas Panel sehingga diperoleh masing-
masing 36 jenis komoditi atau sub-kelompok pengeluaran baik di perkotaan
maupun di perdesaan.
Dari Susenas tidak dapat diketahui masing-masing pengeluaran ke-65
dan ke-68 jenis komoditi tersebut, yang diketahui hanyalah ke-39 dan ke-35
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 27
sub-kelompok pengeluarannya. Oleh karena ke-65 dan ke-68 jenis komoditi
tersebut adalah merupakan bagian dari ke-39 dan ke-35 sub-kelompok, maka
untuk menghitung nilai minimum non makanan harus diketahui rasio masing-
masing sub-kelompok pengeluaran yang merupakan rasio pengeluaran jenis
komoditi (65 dan 68 jenis) terhadap sub-kelompoknya. Rasio tersebut
mengindikasikan persentase pengeluaran kebutuhan dasar terhadap sub-
kelompoknya. Sebagai contoh, rasio pengeluaran barang kecantikan di
perkotaan sebesar 0,7091 artinya bahwa sebanyak 70,91 persen dari
pengeluaran sub-kelompok barang kecantikan di perkotaan merupakan
kebutuhan dasar bagi kelompok referensi.
Rasio pengeluaran sub-kelompok diperoleh dari Survei Paket Komoditi
kebutuhan dasar (SPKKD). Sementara nilai pengeluaran sub-kelompoknya
dihitung dari Susenas Panel modul konsumsi. Nilai kebutuhan minimum non-
makanan atau batas kecukupan non makanan merupakan perkalian dari rasio
pengeluaran sub-kelompok dengan rata-rata pengeluaran sub-kelompok yang
sama pada Susenas Panel modul konsumsi. Nilai batas kecukupan non
makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut:
dimana :
NFp = Pengeluaran minimum non makanan atau garis
kemiskinan non makanan daerah p.
Vi = Nilai pengeluaran sub-kelompok non makanan daerah
p (dari Susenas modul konsumsi).
ri = Rasio pengeluaran barang non makanan terhadap sub
kelompok pengeluaran menurut daerah (dari SPKKD).
i = Jenis barang non makanan terpilih di daerah p.
p = Daerah (perkotaan atau perdesaan).
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 28
3.2. UKURAN KEMISKINAN
Terkait dengan kriteria ukuran kemiskinan tersebut, terdapat dua indeks
kemiskinan yang terkenal yang memenuhi keempat kriteria itu yaitu indeks Sen
dan indeks Foster-Greer-Thorbecke (FGT). Pada indeks Sen, pengukuran
kemiskinan telah memasukkan faktor besarnya kekurangan pendapatan orang
miskin dan besarnya ketimpangan distribusi pendapatan antara orang miskin.
Dengan asumsi faktor lainnya sama, bertambah tingginya rata-rata besarnya
kekurangan pendapatan orang miskin, bertambah besar gap pendapatan orang
miskin, maka kemiskinan pun kan bertambah besar. Sedangkan indeks FGT
memiliki kelebihan lain daripada indeks Sen, indeks FGT memungkinkan untuk
didekomposisi berdasarkan kelompok-kelompok pengeluaran tertentu.
Secara umum indeks kemiskinan dari Sen dapat ditulis sebagai berikut:
))1(( GIIHS
Dimana :
S = Indeks Kemiskinan Sen
H = Head Count Index
G = Koefisien Gini masyarakat miskin
I = Rata-rata defisit pendapatan orang miskin dari garis
kemiskinan
Foster-Greer-Thorbecke (1984) telah merumuskan suatu ukuran yang
digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan yaitu:
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 29
q
i
i
z
yz
nP
1
1
dimana:
= 0,1,2
Z = Garis kemiskinan
Yi = Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan (i=1,2,…,q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan
n = Jumlah penduduk
Jika =0 maka diperoleh Head Count Index (P0) yaitu persentase
penduduk miskin. Jika =1 disebut Indeks kedalaman kemiskinan (P1)
sedangkan jika =2 disebut Indeks keparahan kemiskinan (P2). Kedua indeks P1
dan P2 akan dijelaskan pada uraian berikutnya.
a. Indeks Kedalaman Kemiskinan
Dengan memberikan nilai =1 pada rumus Foster-Greer-Thorbecke
(FGT) akan diperoleh ukuran yang dinamakan Indeks Kedalaman
Kemiskinan/Poverty Gaps Index (P1). Indeks ini merupakan ukuran rata-rata
kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas
miskin. Semakin tinggi nilai indeks semakin besar rata-rata kesenjangan
pengeluaran penduduk miskin terhadap kemiskinan. Dengan demikian indeks
ini merupakan indikator yang baik tentang kedalaman kemiskinan. Indeks
kedalaman kemiskinan diformulasikan sebagai berikut:
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 30
1
11
1
q
i
i
z
yz
nP
Melalui indeks kedalaman kemiskinan juga akan dapat diperkirakan
besarnya dana yang diperlukan untuk pengentasan kemiskinan. Ukuran ini
masih belum realistis karena belum mempertimbangkan biaya operasional dan
faktor penghambat. Sungguhpun demikian, ukuran tersebut memberikan
informasi yang berguna mengenai skala minimum dari sumber keuangan yang
diperlukan untuk menangani masalah kemiskinan.
Sebagai ukuran pengentasan kemiskinan, indeks ini cukup memadai
karena transfer dana kemiskinan dilakukan dengan target sasaran yang
sempurna. Namun indeks ini masih memiliki kelemahan karena mengabaikan
ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
b. Indeks Keparahan Kemiskinan
Untuk memecahkan masalah ketimpangan pengeluaran di antara
penduduk miskin digunakan ukuran Poverty Severity Index (P2). Indeks ini
secara sederhana merupakan jumlah dari poverty gap tertimbang di mana
penimbangnya sebanding dengan poverty gap itu sendiri. Dalam
penghitungannya, indeks ini dapat diperoleh melalui rumus FGT dengan nilai
=2 yaitu:
2
12
1
q
i
i
z
yz
nP
Dengan mengkuadratkan poverty gap, indeks ini secara implisit
memberikan penimbang yang lebih pada unit observasi yang makin jatuh di
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 31
bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin tinggi
ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Ukuran ini kurang mendapat perhatian dalam penerapannya, karena
tidak mudah dalam menginterpretasikan dan dengan demikian ukuran ini tidak
digunakan secara lebih luas (World Bank, 2002).
3.3. DISTRIBUSI DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN
Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang
perlu dilihat, karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif.
Oleh karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi
pendapatan selama ini didekati dengan menggunakan data pengeluaran.
Dalam hal ini analisis distribusi pendapatan dilakukan dengan menggunakan
data total pengeluaran rumahtangga sebagai proksi pendapatan yang
bersumber dari Susenas. Dalam analisis ini akan digunakan empat ukuran
untuk merefleksikan ketimpangan pendapatan yaitu koefisien Gini (Gini Ratio)
dan Ukuran Bank Dunia.
a. Koefisien Gini
Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu ukuran yang paling sering
digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara
menyeluruh. Rumus Koefisien Gini adalah sebagai berikut:
n
iiii FcFcfpGR
11*1
dimana:
GR = Koefisien Gini (Gini Ratio);
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 32
fpi = frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i;
Fci = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas
pengeluaran ke-i;
Fci-1 = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas
pengeluaran ke (i-1).
Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva
pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel
tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang
mewakili persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini,
gambarlah grafik persentase kumulatif rumah tangga (dari termiskin hingga
terkaya) pada sumbu horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran
(pendapatan) pada sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti yang
ditunjukkan pada gambar 6. Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna.
Koefisien Gini didefinisikan sebagai A/(A+B), dimana A dan B seperti yang
ditunjukkan pada grafik. Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti
pemerataan sempurna, sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang
berarti ketimpangan sempurna. Koefisien Gini tidak sepenuhnya memuaskan.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 33
Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik misalnya:
Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean
independence). Ini berarti bahwa jika semua pendapatan
bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak
akan berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.
Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size
independence). Jika penduduk berubah, ukuran
ketimpangan seharusnya tidak berubah, jika kondisi lain
tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga memenuhi
syarat ini.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kum
ulat
if Pe
ngelu
aran
(%
)
Kumulatif Penduduk (%)
Gambar 3.1. Koefisien Gini Menurut Kurva Lorenz
A
B
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 34
Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat
pendapatannya, seharusnya tidak akan ada perubahan
dalam ukuran ketimpangan. Koefisien Gini juga
memenuhi hal ini.
Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini,
transfer pandapatan dari si kaya ke si miskin akan
menurunkan ketimpangan. Gini juga memenuhi kriteria
ini.
Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat:
Dapat didekomposisi
Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat
didekomposisi (dipecah) menurut kelompok penduduk
atau sumber pendapatan atau dalam dimensi lain.
Indeks Gini tidak dapat didekomposisi atau tidak bersifat
aditif antar kelompok. Yakni nilai total koefisien Gini dari
suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah nilai indeks
Gini dari sub-kelompok masyarakat (sub-group).
Dapat diuji secara statistik
Seseorang harus dapat menguji signifikansi perubahan
indeks antar waktu. Hal ini sebelumnya menjadi
masalah, tetapi dengan teknik bootstrap interval
(selang) kepercayaan umumnya dapat dibentuk.
b. Ukuran Bank Dunia
Bank Dunia mengelompokkan penduduk ke dalam tiga kelompok sesuai
dengan besarnya pendapatan: 40% penduduk dengan pendapatan rendah,
40% penduduk dengan pendapatan menengah dan 20% penduduk dengan
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 35
pendapatan tinggi. Ketimpangan pendapatan diukur dengan menghitung
persentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan
40% terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Kategori
ketimpangan ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti berikut:
Jika proporsi jumlah pendapatan dari penduduk yang masuk kategori
40 persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk
kurang dari 12 persen, maka distribusi pendapatan dikategorikan
sebagai memiliki ketimpangan pendapatan tinggi;
Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40
persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk antara
12-17 persen, maka distribusi pendapatan dikategorikan sebagai
memiliki ketimpangan pendapatan sedang/menengah;
Jika proporsi jumlah pendapatan penduduk yang masuk kategori 40
persen terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih
dari 17 persen, maka distribusi pendapatan dikategorikan sebagai
memiliki ketimpangan pendapatan rendah.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 36
Halaman ini sengaja dikosongkan
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 37
BAB IVPEMBAHASAN DAN ANALISIS
4.1. DISTRIBUSI PENDAPATAN
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya dapat mensejahterakan
semua lapisan masyarakat apabila dalam kenyataannya hasil-hasil
pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Namun jika pada
kenyataannya pertumbuhan yang tinggi juga disertai dengan kesenjangan yang
tinggi maka sudah dapat dipastikan ada beberapa bagian dari masyarakat yang
termajinalkan dari kemampuan ekonomi disekitarnya.
Mengutip pada karya Easterly dalam bukunya “The Quest of Elusive
Growth” kita dapat menyimak bahwa sejatinya hubungan antara pertumbuhan
dan ketimpangan masih merupakan teka-teki. Salah satu bagian yang dapat
menjelaskan teka-teki ini adalah peran pemerintah sebagai institusi yang
menaungi dan mengatur segala kegiatan ekonomi yang berada pada
wilayahnya.
Ketika peran pemerintah hilang dan menyebabkan ekspansi ekonomi
menjadi tidak terkendali maka yang terjadi adalah ketimpangan yang tidak bisa
terhindarkan. Sebaliknya ketika peran pemerintah menjadi terlalu kuat yang
terjadi justru kemandekan ekonomi dalam artian yang sesungguhnya. Periode
ini juga dikenal sebagai hilangnya niat dan ide kreatif sebagai agen dari
ekonomi.
Ketimpangan juga bisa terjadi meskipun ekspansi ekonomi terus
berlangsung. Berkembangnya sektor padat modal dan berteknologi tinggi
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 38
ternyata tidak serta memberikan kesejahteraan bagi sebagian penduduk.
Beberapa kelas penduduk akan menempati posisi teratas kelas pendapatan
karena merupakan penerima langsung dari pendapatan industri yang tinggi
sementara yang lainnya justru masih tertahan di dasar piramida. Hal ini telah
banyak terjadi dan sangat rawan terjadi ketika konteks pembicaraan mengacu
pada wilayah-wilayah dengan tingkat densitas penduduk sangat tinggi.
Sementara itu sistem ekonomi dan pemerintahan yang kita gunakan
sangat sensitif dan signifikan memberi arah pada kondisi global yang terjadi.
Dengan masuknya investasi yang disertai kebebasan atau otonomi dalam
mengelola dirinya maka secara tidak langsung, sedikit banyak kita telah
menerapkan sistem ekonomi kapitalis dalam mengelola ekonomi kita.
Akan tetapi sistem ekonomi pada dasarnya bukanlah masalah pokok.
Baumol dalam bukunya “Good Capitalism dan Bad Capitalism” menulis bahwa
tidak semua bentuk kapitalisme adalah buruk dan mementingkan diri sendiri.
Ada bentuk yang sangat baik untuk menyerap potensi sumber daya manusia
dan menyalurkannya menjadi pertumbuhan ekonomi. Aliran ini dikenal
sebagai kapitalis enterpreneurship.
Kapitalis enterpreneurship tidak menghendaki modal yang besar serta
percaya bahwa satu-satunya sumber daya yang tidak habis adalah kreativitas.
Dengan mampu mengembangkan enterpreneurship secara merata maka
niscaya pertumbuhan ekonomi tidak akan sepenuhnya bersandar pada modal
yang sangat besar. Kapitalisme ini berbeda dengan kapitalisme institusi
maupun kapitalisme arahan negara yang memang dalam penerapannya tidak
sempurna di semua belahan dunia serta justru membawa lebih banyak
ketimpangan daripada pemerataan pendapatan.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 39
Hingga saat ini memang sangat sulit mengembangkan enterpreneurship
tanpa adanya subsidi silang dari pemerintah maupun perusahaan besar. Akan
tetapi industri kreatif dapat berkembang dan menjadi salah satu supplier
terbesar dari kebutuhan masyarakat jika apa yang mereka hasilkan dapat
diketahui dan diterima oleh masyarakat.
Grafik IV.1Koefisien Gini Propinsi Bali Tahun 1997 - 2014
Melihat ketimpangan yang terjadi selama kurun waktu tahun 1997
hingga 2014 maka kita akan dapat melihat lonjakan pada gini rasio terjadi pada
masa-masa dimana goncangan ekonomi melanda Bali. Dimulai sejak 1998,
krisis moneter membuat rasio gini yang dari sebelumnya 0,27 menjadi 0,31.
Kenaikan yang cukup signifikan juga terjadi pada tahun 2005. Di tahun ini Gini
Rasio melonjak menjadi 0,31 setelah sebelumnya sekitar 0,27.
0.29
0.31
0.27
0.25
0.29 0.30
0.260.27
0.33
0.30
0.28
0.31 0.31
0.37
0.41
0.43
0.400.42
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 40
Diantara kenaikan-kenaikan ini yang paling banyak menyita perhatian
adalah kenaikan sesudah tahun 2010. Setelah 2010 tingkat ketimpangan
meningkat menjadi jauh diatas sebelumnya. Gini telah beranjak naik dari
sebelumnya yang hanya 0,31 menjadi 0,37. Kenaikan ini telah memberikan
dampak yang cukup signifikan dalam paradigma ketimpangan ekonomi
Penduduk di Bali.
Ketimpangan kita tidak lagi dianggap ketimpangan rendah namun mulai
beranjak menapaki posisi sebagai yang menengah. DI tahun sesudahnya (2011)
Koefisien Gini bahkan mencapai level di atas angka 0,4. Posisi yang tetap
bertahan dalam fluktuasi hingga tahun 2014 dimana angka koefisien Gini
mencapai 0,42. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun 2013
yang hanya sekitar 0,40.
Tabel IV.1Distribusi Pendapatan Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2014
Kabupaten/Kota /Regency/City
Distribusi Pendapatan / Income Distribution
40% Bawah 40% Sedang 20% Tinggi
40% Lower 40% Middle 20% Upper
(1) (2) (3) (4)
1. Jembrana 18.44 34.04 47.522. Tabanan 17.35 35.38 47.263. Badung 18.64 40.73 40.644. Gianyar 17.87 37.88 44.255. Klungkung 19.98 35.51 44.516. Bangli 20.94 37.27 41.807. Karangasem 20.67 35.95 43.388. Buleleng 17.66 35.17 47.179. Denpasar 16.13 40.47 43.39
B A L I 18.10 37.59 44.31
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 41
Berdasarkan Klasifikasi Ketimpangan Bank Dunia, maka di tahun 2014
tingkat ketimpangan pendapatan di Kabupaten/Kota yang paling tinggi di Bali
terdapat di Kota Denpasar. Persentase ekonomi yang dinikmati kelompok
terbawah hanya sekitar 16 persen. Heterogenitas telah membuat Denpasar
mengalami kondisi hingga saat ini. Tingginya heterogenitas di suatu wilayah
maka peluang terjadinya persaingan akan semakin tinggi. Setiap individu yang
terlibat dalam persaingan akan beresiko menjadi seorang pemenang maupun
seseorang yang kalah.
Tingginya persaingan membuat banyak orang tersisihkan tidak dapat lagi
kembali ke daerah asal dan hanya menikmati tingkat pendapatan yang lebih
kecil dari yang seharusnya mereka terima. Denpasar juga sangat strategis.
Permintaan bisa dengan sangat mudah dipenuhi di kota ini. Bagi seseorang
yang memiliki kompetensi, wilayah heterogen adalah peluang yang sangat
besar. Bagi para pemilik kapital, Denpasar adalah lokasi tempat break event
point paling cepat terjadi. Tingginya demand adalah potensi terbesar. Bagi para
pemain kecil, potensi ekonomi yang digarap sangat kecil dan relatif stagnan.
Dilihat dari koefisien Gini, ketimpangan tertinggi terjadi di Kabupaten
Gianyar dimana yang angka koefisien Gininya mencapai 0,40. Kabupaten
Buleleng sedikit di bawahnya bersama dengan Jembrana yang tingkat
ketimpangannya mencapai 0,39. DI ketiga wilayah ini perekonomian juga
terlihat sangat tidak seimbang. Hampir 50 persen ekonomi dikuasai kelompok
20 persen terkaya.
Ada beberapa alasan mengapa ketiga wilayah ini mengalami
transformasi ketimpangan hingga seperti saat ini. Jembrana adalah wilayah
yang mulai berkembang. Pusat transportasi laut, serambi masuk Propinsi Bali
untuk Propinsi sebelah baratnya. Jembrana sangat lemah dalam mengatasi
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 42
arus masuk, para migran yang kebanyakan berasal dari Jawa. Pertumbuhan
penduduk ini di saat yang sama akan meningkatkan permintaan di wilayah
tersebut. Oleh karenanya harga aset maupun properti di Jembrana akan
mengalami kenaikan dalam persentase yang cukup besar. Ketika pertumbuhan
ekonomi lebih rendah dari nilai sebuah aset tidak bergerak maka lambat laun
ketimpangan akan semakin tinggi.
Tabel IV.2Gini Rasio Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2013 dan 2014
Kabupaten/Kota / Regency/CityRasio Gini
2014 2013
(1) (5) (6)
1. Jembrana 0.39 0.372. Tabanan 0.40 0.393. Badung 0.34 0.354. Gianyar 0.38 0.335. Klungkung 0.35 0.366. Bangli 0.33 0.317. Karangasem 0.34 0.338. Buleleng 0.39 0.389. Denpasar 0.38 0.36
B A L I 0.415 0.403
Buleleng adalah macan tidur ekonomi Bali. Dengan bantuan daya tarik
pusat-pusat pendidikannya, Buleleng tidak lagi menjadi bagian yang tersisihkan
di wilayah utara Pulau Bali. Kenaikan permintaan yang tinggi untuk
perumahan, membuat harga properti juga mengalami kenaikan. Kenaikan ini di
sisi lain memicu semakin besarnya ketimpangan. Hingga saat ini Buleleng
masih kesulitan dalam desentralisasi dan pembangkitan potensi wilayah,
mengingat wilayah yang dimiliki sangat luas.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 43
Tabanan adalah kasus yang berbeda. Bersentuhan langsung dengan
Denpasar, sehingga merasaakan dampak langsung perkembangan pusat
ekonomi. Namun, tidak seperti Gianyar, Tabanan sangat luas dan tentu saja
berada pada jalur terpenting dari Jawa ke pusat Bali. Tabanan juga dekat
dengan Badung sebagai sentral pariwisata. Sama dengan Badung, Tabanan
juga memiliki kawasan Tanah Lot yang sedang merubah wajahnya dengan
besarnya investasi yang diarahkan disana. Tabanan lebih dinamis namun di sisi
lain lebih tidak merata dibandingkan wilayah lain yang berbatasan langsung
dengan ibu kota propinsi.
DI antara beberapa kabupaten di Bali hanya Badung dan Klungkung yang
mengalami penurunan dari rasio Gini yang mereka miliki. Sementara itu
kabupaten lain menunjukkan peningkatan dalam rasio gini yang dimiliki.
Peningkatan terbesar yang terjadi dalam kurun waktu dua tahun ini terjadi di
Kabupaten Gianyar yang tingkat ketimpangannya meningkat dari 0,33 di tahun
2013 menjadi 0,38 di tahun 2014. Kenaikan Gini Rasio di Gianyar sangat unik
mengingat pada periode yang sama Indeks Kemahalan Konstruksi Gianyar juga
mengalami kenaikan yang paling besar dibandingkan dengan Kabupaten/Kota
lainnya. Selain itu untuk tahun 2014 IKK untuk Tabanan dan Buleleng juga
tercatat yang paling tinggi.
Indikator ketimpangan menunjukkan tendensi negatif serius ketika
berada di wilayah dengan tingkat investasi tinggi. Hal ini cukup mudah
dipahami. DI wilayah seperti ini tingkat migrasi yang terjadi sangat tinggi.
Sumber daya yang datang tidak sepenuhnya orang berpendidikan, namun
terdiri juga dari pekerja kasar yang didatangkan untuk proyek konstruksi.
Migran dengan potensi menetap ini cenderung kelompok ekonomi rendah
yang jumlahnya relatif semakin besar dari waktu ke waktu. Wilayah potensial
juga adalah magnet bagi investor dari tempat lain yang kemudian juga
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 44
menanamkan modalnya di tempat yang baru. Fenomena ini lambat laun akan
menjadi penyebab meningkatnya ketimpangan. Distribusi pendapatan yang
tidak merata adalah salah satu penyebab dari peningkatan ketimpangan
tersebut.
4.2. INDIKATOR KEMISKINAN BALI
Sejalan dengan masalah ketimpangan ekonomi sebagai persoalan umum
maka kemiskinan adalah masalah selektif seperti halnya pengangguran. Di atas
batas tertentu kemiskinan adalah penghantar distribusi ekonomi pada
ketidakseimbangan. Oleh karenanya kemiskinan haruslah dikondisikan dalam
batas-batas yang wajar. Akan tetapi hal ini seperti tidak berlaku jika menilik
pada korelasi antar dua variabel yaitu kemiskinan dan rasio gini yang terjadi di
Propinsi Bali dari kurun waktu 2000 hingga 2014.
Grafik IV.2Scatter Plot Koefisien Gini dan Jumlah Penduduk Miskin Propinsi Bali Tahun
1997 - 2014
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 45
Dalam kurun waktu ini hubungan antara variabel kemiskinan dengan
rasio Gini justru menunjukkan korelasi negatif dan cukup kuat. Hal ini
mengindikasikan bahwa pembangunan telah mengarah pada kondisi pro-poor
namun belum dapat dikatakan pro-equal. Dengan kata lain terdapat indikasi
yang cukup serius pelambatan ekonomi pada kelompok menengah bawah. DI
sisi lain ada kemungkinan populasi orang paling kaya di Bali mengalami
peningkatan dalam hal kapitalisasi meskipun pertumbuhannya tidak terlalu
cepat, setidaknya tidak secepat pertumbuhan penduduk secara umum.
Grafik IV.3Scatter Plot Koefisien Gini dan Persentase Penduduk Miskin Propinsi Bali
Tahun 1997 - 2014
0
50
100
150
200
250
300
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50
Jum
lah
Pend
uduk
MIs
kin
Rasio Gini
Korelasi = -0,55
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 46
Korelasi yang cukup kuat juga terjadi pada persentase penduduk miskin
dengan koefisien Gini. Dilihat dari persentasenya penduduk miskin jauh
mengalami penurunan, sementara itu angka Gini juga mengalami kenaikan
yang cukup cepat dan berlawanan arah.
Dilihat dari pergerakannya, kemiskinan mengalami perubahan pada
pergerakan antara jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin
setelah tahun 2003. Setelah tahun ini persentase penduduk miskin rata-rata
memiliki level pergerakan yang jauh rendah dibandingkan dengan jumlah
penduduk miskin. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan jumlah
penduduk miskin lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk
Bali sendri.
Grafik IV.4
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45
Pers
enta
se P
endu
duk
Misk
in
Koefisien Gini
Korelasi = -0,78
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 47
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Propinsi Bali Tahun 2000 - 2014
Jumlah penduduk miskin perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan
pedesaan, meskipun secara persentase jauh lebih rendah dibandingkan
dengan yang terjadi selama dua tahun sebelumnya. Meskipun memiliki
persentase lebih rendah akan tetapi pertumbuhan penduduk miskin di
pedesaan telah meningkat jauh dibandingkan dengan sebelumnya.
Grafik IV.5Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Propinsi Bali Tahun 2011 - 2014
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
50
100
150
200
250
300
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
Persentase Penduduk Miskin (Kanan) Jumlah Penduduk Miskin
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 48
Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya sejak 20101 persentase
penduduk miskin di perkotaan terus mengalami kenaikan. Persentase
penduduk miskin di 2014 menurut data bulan September misalnya mencapai
4,35 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka tahun
sebelumnya yang mencapai 4,17 persen. Persentase yang lebih tinggi ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan orang miskin di perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk itu sendiri.
Grafik IV.6Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Perkotaan Bali 2011 – 2014
1 Dengan menggunakan data SUSENAS setiap bulan Maret
[CELLRANGE],[VALUE]
[CELLRANGE],[VALUE]
[CELLRANGE],[VALUE]
[CELLRANGE],[VALUE]
81.8
66.9
79.74
86.76
0 50 100 150 200 250
September 2011
September 2012
September 2013
September 2014
Kota Desa
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 49
Sementara itu pertumbuhan penduduk miskin di pedesaan relatif lebih
stagnan meskipun dari sisi persentase sendiri jauh lebih besar. Di desa, 1
diantara 19 orang adalah orang miskin. Pembangunan pedesaan yang
dilakukan apabila diidentikkan dengan kondisi ini justru dapat dikatakan belum
menuai hasil yang diharapkan.
Persentase penduduk miskin mencapai 5,39 persen di bulan September
2014. Persentase pada bulan yang sama tahun sebelumnya mencapai 5 persen.
Pertumbuhan jumlah penduduk miskin terbesar terjadi di bulan September
tahun 2013 yang mencapai 22,49 persen. Sekalipun demikian laju penurunan
penduduk miskin di pedesaan sebanding dengan kenaikan di wilayah
perkotaan. Perkembangan penduduk miskin juga terlihat lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk pedesaan secara umum.
Dengan meningktnya persentase penduduk miskin bukan tidak mungkin
merupakan indikasi bahwa terdapat peningkatan gap pada penduduk miskin di
kota dan di desa. Kondisi saat ini juga memperlhatkan bahwa ekonomi di
-15.00
-10.00
-5.00
0.00
5.00
10.00
15.00
3.70
4.00
4.30
Sep 2011 Mar-12 Sep 2012 Mar-13 Sep 2013 Mar-14 Sep 2014
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 50
pedesaan memiliki keberdayaan yang semakin menurun dalam beberapa
tahun terakhir.
Grafik IV.7Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Pedesaan Bali Tahun 2011 – 2014
Garis kemiskinan menunjukkan rata-rata peningkatan sekitar sekitar 8
persen untuk kelompok makanan dan 9 persen untuk kelompok non
makanan2. Hal ini menyebabkan garis kemiskinan meningkat sekitar 8,3
persen. Dibandingkan dengan beberapa periode yang dibandingkan kenaikan
terbesar terjadi di bulan September 2013 yang mengalami kenaikan sekitar 12
persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode-periode
sebelumnya yang jauh di bawah 10 persen.
Pertumbuhan garis kemiskinan makanan dan non makanan di pedesaan
lebih tinggi dibandingkan yang terjadi di pedesaan. Pada bulen September
2 Pertumbuhan dihitung dengan membandingkan data pada periode yang sama.Kemiskinan pada bulan maret dibandingkan dengan bulan maret. Sementara itukemiskinan pada bulan September dibandingkan dengan bulan yang sama.
5.17 4.79 4.17 4.04 5.00 5.34 5.39
0.00
-6.48
-12.55
-2.69
22.49
6.97
1.71
SEP 2011 MAR-12 SEP 2012 MAR-13 SEP 2013 MAR-14 SEP 2014
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 51
pertumbuhan garis kemiskinan makanan di pedesaan mencapai 13 persen
untuk makanan dan 16 persen untuk non makanan. Jauh lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan bulan September 2014 dimana kenaikan
masih di bawah 7 persen.
Grafik IV.4Pertumbuhan Garis Kemiskinan Tahun 2012 Hingga 2014
TahunYear
Makanan / Food Non Makanan / Non Food Jumlah / Total
KotaUrban
DesaRural
K + DU + R
KotaUrban
DesaRural
K + DU + R
KotaUrban
DesaRural
K + DU + R
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
2012* 6.80 7.14 6.91 7.44 8.97 7.93 6.99 7.66 7.22
2012** 5.13 5.37 5.21 6.27 7.80 6.79 5.71 6.07 5.69
2013* 8.03 10.27 8.86 8.52 10.21 9.13 8.18 10.25 8.94
2013** 11.05 12.68 11.74 9.36 15.66 11.67 10.53 13.55 11.72
2014* 7.48 8.04 7.78 8.91 11.03 9.82 7.92 8.90 8.39
2014** 4.39 7.08 5.38 9.51 5.79 8.23 5.96 6.70 6.25
2015* 5.94 11.51 8.01 10.35 12.90 11.33 7.31 11.91 9.02
*) Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) - Maret**) Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) - September
Kenaikan garis kemiskinan menyebabkan menyebabkan ambang batas
atas konsumsi kategori miskin mencapai Rp 208.620,- untuk kelompok
makanan dan Rp 93.127,- untuk periode September 2014. Dari tabel di bawah
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 52
ini sangat jelas terlihat bahwa kaum miskin masih bergulat dengan konsumsi
makanan yang persentasenya cukup tinggi. Berbeda dengan kelompok non
miskin yang lebih banyak untuk non makanan.
Grafik IV.5Perkembangan Garis Kemiskinan Bali Tahun 2011 – 2014
TahunYear
Makanan / Food Non Makanan / Non Food Jumlah / Total
KotaUrban
DesaRural
K + DU + R
KotaUrban
DesaRural
K + DU + R
KotaUrban
DesaRural
K + DU + R
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
2011* 172 554 150 591 163 800 75 877 59 556 69 372 248 431 210 147 233 172
2011** 177 298 154 921 168 384 78 698 62 284 72 159 255 431 217 205 240 543
2012* 184 288 161 350 175 120 81 520 64 897 74 876 265 808 226 247 249 997
2012** 186 391 163 244 177 163 83 629 67 145 77 058 270 020 230 389 254 221
2013* 199 083 177 921 190 640 88 468 71 525 81 709 287 551 249 446 272 349
2013** 206 993 183 951 197 960 91 456 77 662 86 049 298 449 261 613 284 009
2014* 213 970 192 233 205 477 96 351 79 413 89 733 310 321 271 646 295 210
2014** 216 079 196 981 208 620 100 156 82 159 93 127 316 235 279 140 301 747
*) Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) - Maret**) Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) - September
Proporsi garis kemiskinan untuk perkotaan dan pedesaan sendiri semakin
rendah dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa batas
bawah untuk kedua wilayah semakin tipis. Apabila pembangunan ekonomi
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 53
semakin tidak merata dan proporsi pembangunan untuk pedesaan tidak
ditingkatkan maka dalam beberapa waktu ke depan bukan tidak mungkin lebih
banyak penduduk miskin yang muncul di pedesaan.
Grafik IV.6Perkembangan Proporsi Garis Kemiskinan Desa dengan Kota Bali
Tahun 2011 – 2014
TahunYear Garis Kemiskinan
Makanan Non Makanan Jumlah
(1) (2) (3) (4)
2011* 87.27 78.49 84.59
2011** 87.38 79.14 85.03
2012* 87.55 79.61 85.12
2012** 87.58 80.29 85.32
2013* 89.37 80.85 86.75
2013** 88.87 84.92 87.66
2014* 89.84 82.42 87.54
2014** 91.16 82.03 88.27
2015* 94.56 84.33 91.29
*) Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) - Maret**) Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) - September
Kemiskinan juga dapat dilihat dari Indikator Kedalaman Kemiskinan.
Meskipun apabila dilihat dari data beberapa tahun terakhir belum bisa
dipastikan mana diantara pedesaan dan perkotaan yang memiliki Indeks
Kedalaman terendah akan tetap data di tahun 2014 hingga 2015 menunjukkan
bahwa indeks kedalaman kemiskinan pedesaan jauh lebih tinggi dibandingkan
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 54
dengan pedesaan. Ini berarti secara rata-rata penduduk miskin di pedesaan
berada jauh di bawah garis kemiskinan dibandingkan dengan mereka yang
berada di perkotaan. Hal ini dapat dimengerti apabila kita melihat kembali
kemiskinan sebagai ketidakberdayaan. Lebih terbatasnya masalah pekerjaan di
pedesaan membuat kemiskinan jauh lebih sulit diberantas. Kondisi di pedesaan
dalam menciptakan lapangan pekerjaan jauh lebih sulit dibandingkan masalah
perkotaan dalam mengelola kepadatan. Selain itu tingkat pendidikan yang
rendah adalah faktor lain yang membuat hal ini terjadi.
Grafik IV.8Perkembangan Indeks Kedalaman Bali Tahun 2009 – 2014
Gambaran yang sama juga dapat dilihat dalam perkembangan Indeks
Keparahan Kemiskinan. Sama halnya dengan kedalaman, sejak 2014 kondisi
keparahan kemiskinan di pedesaan jauh lebih buruk dibandingkan dengan yang
terjadi di perkotaan. Kondisi keparahan yang lebih tinggi menunjukkan bahwa
tingkat kesejahteraan orang miskin di pedesaaan lebih beragam dibandingkan
dengan perkotaan. Hal ini cukup kontradiktif mengingat homogenitas
0.00
0.40
0.80
1.20
1.60
Kota Desa Kota+Desa
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 55
pekerjaan orang miskin di pedesaaan dibandingkan dengan yang ada di
perkotaan. Apabila homogenitas pekerjaan tidak mampu menjelaskan ada
kemungkinan jam kerja dapat menjadi determinan yang mampu menjelaskan
hal ini.
Grafik IV.9Perkembangan Indeks Keparahan Bali Tahun 2009 – 2014
4.3. PROFIL PENDUDUK MISKIN
4.3.1. PENDIDIKAN
Kemiskinan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pendidikan.
Ketika seseorang memiliki pendidikan yang cukup maka dia bisa melakukan
lebih banyak pilihan terhadap penyesuaian dengan pekerjaan yang diinginkan.
Artinya semakin tinggi pendidikan seorang maka akan semakin banyak juga
preferensi yang dimilikinya untuk memilih pekerjaan yang dikehendaki.
0.00
0.15
0.30
0.45
Kota Desa Kota+Desa
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 56
Dalam beberapa hal preferensi ini dengan sangat dekat dengan tingkat
pendapatan yang dimiliki seseorang. Artinya dengan memiliki pendidikan yang
lebih tinggi seseorang secara langsung dapat memilih pekerjaan berdasarkan
tingkat upah yang mereka terima.
Di sisi lain dengan semakin baiknya pembangunan di bidang pendidikan,
kompetisi mencari pekerjaan pada golongan pendidikan tinggi tentunya akan
semakin berat. Akan tetapi dengan semakin baiknya tingkat pendidikan yang
dimiliki oleh angkatan kerja maka secara umum tingkat produktivitas dan
efisiensi yang dihasilkan akan semakin besar.
Menilik pada kondisi pendidikan yang ada proporsi penduduk miskin
yang menamatkan pendidikan SMA ke atas sangat rendah. Dalam level
kabupaten persentase yang menamatkan pendidikan SMA ke atas hanya
berada kisaran tidak lebih dari empat persen. Itu pun hanya di daerah seperti
Badung dan Tabanan. Sementara lebih jauh pengelompokan menurut
pendidikan pada kelompok miskin lebih condong pada pendidikan terendah.
Artinya dalam kelompok yang menamatkan pendidikan SD hingga SMA,
persentase yang terbesar dari grup ini tentunya adalah penduduk miskin yang
menamatkan pendidikan SD.
Grafik IV.10
Penduduk Miskin Menurut Ijazah Tertinggi Tahun 2013
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 57
Secara dominan proporsi terbesar diambil oleh penduduk tamatan SD
hingga SMA. Golongan ini secara umum lebih dari tiga per empat penduduk
miskin secara keseluruhan. Persentase tertinggi untuk kelompok pendidikan
ini terdapat pada wilayah-wilayah seperti halnya Denpasar dan Buleleng.
Sementara itu pengaruh tingkat pendidikan dalam sebaran kemiskinan terlihat
jelas di Kabupaten Karangasem. Di Kabupaten ini persentase golongan
pendidikan SD hingga SMA kurang lebih sama dengan yang tidak menamatkan
pendidikan formal.
4.3.2. KETENAGAKERJAAN
Kajian mengenai ketenagakerjaan pada golongan penduduk miskin pada
dasarnya adalah untuk melihat bahwa seringkali kemiskinan yang terjadi bukan
semata karena rasa malas untuk bekerja melainkan pekerjaan yang dimiliki
44.57
37.39
35.70
35.69
30.71
33.98
29.13
29.27
21.89
53.52
61.56
63.68
64.31
65.53
66.02
66.89
70.73
78.11
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Karangasem
Gianyar
Jembrana
Klungkung
Tabanan
Bangli
Badung
Buleleng
Denpasar
<SD SD-SMA >SMA
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 58
dalam tingkat pendapatan optimumnya tidak mampu memberikan
penghidupan yang layak kepada mereka.
Hal ini didasari pengamatan bahwa pada dasarnya sangat sedikit
penduduk miskin yang tidak bekerja. Memang jumlah ini tidak serendah
pengangguran dalam artian populasi penduduk akan tetapi cukup untuk
menolak argumentasi bahwa penduudk miskin karena tidak bekerja. Di sisi
sebaliknya ada perspektif lain bahwa perhitungan kemiskinan yang mengacu
per kapita membutuhkan pembagi lain untuk memastikan seseorang
dikategorikan miskin atau tidak. Artinya selain karena faktor rendahnya upah
jumlah anggota rumah tangga tanggungan juga memiliki peran yang sangat
menentukan. Semakin tinggi jumlah anggota rumah tangga maka semakin kecil
kemungkinan pendapatan per kapita yang diterima.
Grafik IV.11
Penduduk Miskin yang Bekerja/Tidak Bekerja Tahun 2013
8.81 20
.09
24.5
2
24.8
7
24.9
5
25.2
9
25.8
7
29.2
8
30.7
1
31.2
0
91.1
9
79.9
1
75.4
8
75.1
3
75.0
5
74.7
1
74.1
3
70.7
2
69.2
9
68.8
0
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Tidak Bekerja Bekerja
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 59
Secara umum di Provinsi Bali, persentase penduduk miskin yang bekerja
mencapai 75,05 persen. Perhitungan menunjukkan bahwa dilihat dari
persentasenya, penduduk miskin di Kabupaten Bangli yang memiliki
persentase paling tinggi untuk penduduknya yang bekerja yaitu 91,19 persen.
Sementara itu yang terendah dari persentasenya adalah Jembrana yang hanya
mencapai 68,80 persen.
Sementara itu tingginya persentase penduduk yang bekerja dapat
diasosiakan dengan tingginya penyerapan pada lapangan kerja informal.
Kebanyakan penduduk miskin bekerja sebagai buruh lepas terutama di sektor
pertanian. Hal inilah yang tidak memberikan jaminan akan penghidupan dan
pendapatan yang cukup bagi mereka. Ketidak tentuan inilah salah satu
penyebab mengapa tingkat konsumsi kaum miskin seringkali di bawah tingkat
penghasilan mereka.
Dilihat dari masing-masing sektor penyerap angkatan kerjanya maka
konsentrasi lapangan kerja penduduk miskin lebih banyak pada sektor
pertanian meskipun konsentrasi antar sektornya terlihat sangat berimbang.
Secara umum penduduk miskin di Bali yang bekerja di sektor pertanian
mencapai 38,57 persen dan jasa 31,64 persen. Wilayah urban seperti
Denpasar, penduduk miskinnya justru tidak ada yang bekerja di sektor
pertanian. Konsentrasi sepenuhnya ada di sektor jasa yang mencapai 78,61
persen. Berbeda halnya dengan Klungkung, dan Bangli yang jauh didominasi
sektor pertanian, Penduduk miskin di Gianyar secara mayoritas justru bekerja
di sektor manufaktur.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 60
Grafik IV.12
Penduduk Miskin Menurut Lapangan Usaha Utama Tahun 2013
4.3.3. KESEHATAN
Kesmiskinan dan kesehatan adalah dua hal yang saling berkaitan.
Penduduk miskin cenderung akan lebih sulit mendapatkan pelayanan
kesehatan yang baik karena biasanya pelayanan kesehatan jenis ini
membutuhkan biaya yang mahal. Oleh karenanya untuk memberikan
pelayanan yang kira-kira layak untuk orang miskin, pemerintah Provinsi Bali
dalam hal ini telah memiliki program jaminan kesehatan yang pada dasarnya
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Denpasar
Badung
Gianyar
Bali
Tabanan
Karangasem
Jembrana
Buleleng
Klungkung
Bangli
Pertanian Manufacture Jasa
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 61
tidak hanya ditujukan untuk kaum miskin melainkan untuk seluruh masyarakat
Bali. Selain itu jaminan sosial untuk kelompok miskin juga diberikan selain,
program-program mandiri dan khusus yang dilakukan dengan tujuan
pemberdayaan. Hal ini ditujukan semata-mata untuk menjaga
berkesinambungannya program-progam pengentasan kemiskinan sehingga
nantinya masyarakat miskin memiliki kemampuan untuk secara mandiri
mengembangkan ketrampilan yang dimiliki agar sepenuhnya bebas dari
kemiskinan.
Hubungan antara kemiskinan dan kesehatan akan dijelaskan dalam
indikator penggunaan kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi diajdikan indikator
untuk melihat upaya yang dilakukan penduduk miskin untuk mempertahankan
jumlah anggota rumah tangga optimal terkait dengan tingkat pendapatan atau
pengeluaran yang mungkin mereka bisa penuhi. Semakin sedikit persentase
yang menggunakan kontrasepsi maka ada kecendrungan jumlah anggota
rumah tangganya akan semakin besar. Semakin besar jumlah anggota rumah
tangga maka akan semakin besar tingkat pemenuhan konsumsinya. Semakin
besar tingkat pemenuhan konsumsinya maka akan semakian sulit untuk lepas
dari belenggu kemiskinan. Hal inilah yang menjadi poin krusial dalam melihat
fenomena penggunaan kontrasepsi dalam penduduk miskin.
Tercatat untuk tahun 2013, penggunaan kontrasepsi dalam penduduk
miskin bisa dikatakan masih sangat rendah. Hanya 47 persen yang
menggunakan alat ini. Selebihnya sebesar 53 persen tidak menggunakan.
Penetrasi penggunaan alat kontrasepsi tertinggi terjadi di wilayah Bangli
sementara penetrasi terendah terdapat di wilayah Karangasem. Penetrasi di
Bangli mencapai 54,28 persen sementara di Karangasem hanya 41,33 persen.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 62
Grafik IV.13
Penggunaan Kontrasepsi Pada Penduduk Miskin Tahun 2013
4.3.4. KONSUMSI PENDUDUK MISKIN
Pada dasarnya komposisi pengeluaran makanan dan non-makanan secara
tidak langsung akan menggambarkan kondisi kecukupan penghasilan dari
masyarakat itu sendiri. Hal ini mengingat secara umum makanan adalah jenis
barang yang dikategorikan dalam bentuk barang given, atau penambahan
penghasilan cenderung akan mengurangi persentase anggaran yang digunakan
untuk mengkonsumsinya. Pendeknya semakin tinggi tingkat penghasilan
seseorang maka konsumsi akan makanannya menjadi semakin kecil. Kondisi
35.42
40.75
41.33
43.62
43.99
46.53
50.79
52.69
53.86
54.28
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
Klungkung
Denpasar
Karangasem
Jembrana
Buleleng
BALI
Gianyar
Tabanan
Badung
Bangli
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 63
inilah yang terjadi di Negara-negara maju dimana persentase konsumsi
makanannya sangat kecil.
Perubahan wujud anggaran yang tidak dikonsumsi seringkali digunakan
untuk menambah tabungan. Hal inilah juga yang menjadi penyebab mengapa
tingkat tabungan di wilayah yang lebih maju relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan wilayah yang tingkat pendapatannya sangat rendah.
Untuk masyarakat yang perekonomiannya lebih maju, bergesernya
keseimbangan antara konsumsi dan pendapatan ke arah konsumsi seringkali
dikonversi dengan melakukan penarikan tabungan atau pengurangan konsumsi
tersier. Hal ini tidak berlaku untuk penduduk miskin yang justru mensiasati
kenaikan harga dengan pembatasan pada konsumsi primer mereka. Oleh
karenanya dapat dibayangkan bagaimana kondisi orang miskin jika sebagian
besar pendapatannya hanya untuk dikonsumsi pada makanannya.
Konsumsi orang miskin d Provinsi Bali lebih banyak ditujukan untuk
konsumsi non makanan. Sekitar 42,83 persen rata-rata konsumsi digunakan
untuk konsumsi makanan. Persentase terendah konsumsi makanan terdapat di
Kabupaten Badung yang mencapai 39,30 persen dari total konsumsi mereka,
sementara yang paling banyak menghabiskan konsumsi untuk makanan adalah
Karangasem dengan 54,38 persen.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 64
Grafik IV.14
Komposisi Makanan dan Non Makanan pada Konsumsi Penduduk Miskin
Tahun 2013
4.4. PROFIL RUMAH TANGGA MISKIN
4.4.1. JUMLAH ANGGOTA RUMAH TANGGA dan RATA-RATA UMUR
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa jumlah anggota rumah
tangga memiliki peran yang besar dalam menentukan pengeluaran per kapita.
Semakin besar jumlah anggota maka akan semakin besar pembagi dalam
pengeluaran rumah tangga. Demikian halnya dengan rumah tangga miskin,
semakin banyak anggota rumah tangganya maka konsumsi per kapita
penduduk miskin itu sendiri akan mengalami penurunan.
54.38
50.33
50.19
47.95
46.52
45.49
42.83
41.00
39.69
39.30
45.62
49.67
49.81
52.05
53.48
54.51
57.17
59.00
60.31
60.70
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Karangasem
Bangli
Klungkung
Jembrana
Buleleng
Tabanan
BALI
Gianyar
Denpasar
Badung
Makanan Non Makanan
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 65
Lebih jauh komposisi anggota rumah tangga juga menentukan
bagaimana pemenuhan kebutuhan dasar dari anggota rumah tangganya.
Dalam penduduk miskin permasalahan ini akan menjadi semakin mengemuka
terkait dengan rasio ketergantungan dalam rumah tangga. Semakin tinggi rasio
ketergantungan, baik dari yang bekerja maupun dari sisi usia maka akan
semakin berat rumah tangga itu dalam memenuhi kebutuhannya. Beberapa
penelitian menunjukkan sekaitan dengan menurunnya tabungan rumah tangga
seiring dengan meningkatnya rasio ketergantungan.
Sejauh dapat diamati akan terlihat pada dasarnya jumlah anggota rumah
tangga pada rumah tangga penduduk miskin tidaklah terlalu tinggi. Rata-rata
jumlah ART pada rumah tangga miskin hanya berada pada kisaran 3,74 orang
per rumah tangga. Rata-rata tertinggi terdapat di wilayah Gianyar dengan
jumlah 4,57 sementara yang terendah adalah Denpasar dengan jumlah ART
3,25 persen. DI sisi lain sebaran ART bisa dikatakan cukup seragam dan tidak
jauh berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya.
Grafik IV.15
Rata-rata Jumlah ART Dalam Rumah Tangga Penduduk Miskin Tahun 2013
3.25 3.
56 3.69
3.74
3.78
3.82
3.87 3.92
3.94 4.
57
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 66
Terkait dengan sebaran jumlah ART, pemetaan penduduk miskin di Bali
juga dapat dilihat dari kelompok umurnya. Hal ini untuk melihat potensi-
potensi solusi yang dapat dilakukan terutama dalam subjek kemiskinan yang
bersifat khusus. Apabila konsentrasi penduduk miskin lebih banyak pada
golongan usia muda maka solusi yang diberikan lebih banyak pada pendidikan
yang layak termasuk di dalamnya perluasan di dalam akses sekolah dan
pengetahuan praktis.
Sementara itu jika golongan usia menengah yang justru lebih
mendominasi maka yang diperlukan adalah pemberdayaan dengan
memberikan modal dan ketrampilan praktis yang tentunya ditujukan untuk
kemandirian ekonomi pada penduduk miskin. Di sudut lainnya, penduduk
miskin golongan tua layak mendapatkan jaminan sosial yang lebih besar
dibandingkan dengan memberikan pemberdayaan yang sifatnya praktis. Di sisi
lain mengetahui komposisi menurut umur dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas dari rasio ketergantungan pada penduduk miskin.
Apabila melihat ke dalam komposisinya, penduduk usia miskin di Bali
lebih banyak berada pada kelompok usia produktif. Sekitar 52,33 persen
terdapat pada kelompok ini, selebihnya sekitar 40,05 persen ditemukan pada
kelompok usia di bawah 15 tahun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
penanganan penduduk miskin mutlak memerlukan solusi yang sangat
komperehensif baik melalui pemberdayaan maupun dari sisi pendidikan.
Grafik IV.16
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 67
Penduduk Miskin Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2013
Solusi untuk masalah pendidikan lebih banyak ditujukan untuk wilayah
Badung dan Gianyar mengingat persentase penduduk miskin usia sekolah
disana memang sangat tinggi. Alternatif lain seperti halnya pemberdayaan
melalui lapangan kerja, modal maupun keahlian lebih banyak diperlukan oleh
Karangasem yang notabene memiliki lebih banyak penduduk miskin di usia
produktif.
4.4.2. KONDISI TEMPAT TINGGAL DAN SUMBER AIR
Kondisi tempat tinggal merupakan salah satu instrumen penting untuk
melihat kondisi kemiskinan secara umum. Penduduk miskin yang dikategorikan
dalam kondisi kronis seringkali memiliki tempat tinggal yang tidak layak.
Kondisi tempat tinggal yang buruk dengan tingkat sanitasi yang kurang
30.6
2
39.0
2
38.5
8
35.4
5
40.0
5
36.4
8
35.2
1
39.7
9
34.3
2
31.6
5
49.2
6 49.5
7
50.8
0
51.4
1
52.3
3
52.4
1
52.7
7
54.8
2
54.9
5
63.1
4
20.1
2
11.4
0
10.6
2
13.1
4
7.62
11.1
1
12.0
2
5.39
10.7
4
5.21
0%
25%
50%
75%
100%
<15 15 - 60 >60
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 68
memadai seringkali menjadi penyebab kesehatan penduduk miskin yang
sangat rendah.
Hal ini dapat dilihat dari sisi perumahan dan aspek-aspek penting lainnya
seperti listrik dan sumber air. Perumahan sendiri merujuk luas lantai yang
ditempati oleh rumah tangga miskin. Pemerintah telah melakukan berbagai
program seperti halnya Bedah Rumah untuk meningkatkan kualitas
perumahan serta memberikan tempat hidup layak untuk kaum miskin. Selain
untuk meningkatkan nilai investasi dari aset mereka, kondisi perumahan yang
baik akan mendorong kaum miskin untuk tidak merasa termarjinalisasi dari
lingkungan sekitar hanya karena kondisi perumahan mereka yang lebih buruk
dibandingkan dengan wilayah sekitar.
Data perumahan penduduk miskin menunjukkan bahwa rata-rata luas
tempat tinggal yang ditempati oleh penduduk miskin memang sangat kecil.
Sekitar 68 m2 bangunan harus dibagi oleh sekitar emapt anggota rumah
tangga, inipun tidak termasuk jumlah tempat tinggal bersih setelah dikurangi
oleh luas dapur dan bangunan lainnya. Secara keseluruhan hanya Gianyar yang
cukup tinggi dalam luas bangunan tempat tinggal yang dimiliki dengan
mencapai 82,59 m2. Kondisi ini cukup kontradiktif dengan luas tempat tinggal
orang miskin yang ada di Karangasem yang luas tempat tinggalnya hanya 55,28
m2.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 69
Grafik IV.17
Luas Lantai Rata-rata Rumah Tangga Miskin Tahun 2013
Dilihat dari elektrisitasnya hampir semua rumah tangga miskin di Badung
telah mendapatkan layanan listrik. Secara keseluruhan persentase rumah
tangga yang telah mendapatkan aliran listrik hingga 100 persen adalah
Kabupaten Badung. Selain Badung kabupaten lain di Bali secara rata-rata telah
mendapatkan aliran listrik dengan persentase di atas 98 persen, kecuali Bangli
yang hanya 97,46 persen.
Terkait dengan perumahan hal pokok lain yang harus mendapatkan
perhatian adalah sumber air bersih di rumah tangga. Penggunaan air bersih
mengacu pada kondisi substansial penduduk miskin yang berkaitan dengan
kesehatan dan daya hidup mereka. Semakin buruk kualitas air yang dikonsumsi
maka akan semakin buruk kualitas kesehatan mereka meskipun di satu sisi
asupan makanan mereka sangat baik. Oleh karena itu sebagai kebutuhan yang
0.00
30.00
60.00
90.00
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 70
paling esensial kualitas air yang dikonsumsi merupakan faktor kunci kesehatan
seorang individu dan rumah tangga.
Grafik IV.18
Persentase Penggunaan Listrik PLN dan Air Bersih Tahun 2013
Penggunaan air bersih rumah tangga di Bali bisa dikatakan cukup
rendah. Secara umum hanya 68,10 persen yang menggunakan air bersih untuk
kepentingan sehari-hari. Bahkan di Buleleng persentase rumah tangga yang
menggunakan air berish hanya 43,50 persen. Jumlah ini sangat rendah
dibandingkan Denpasar yang mencapai 96,53 persen. Dibandingkan dengan
persentase penggunaan pada penduduk-pun jumlah ini jauh lebih rendah. Oleh
karenanya bisa dikatakan bahwa rendahnya penggunaan air bersih di
kabupaten-kabupaten ini lebih banyak terjadi pada rumah tangga miskin.
97.00
97.50
98.00
98.50
99.00
99.50
100.00
100.50
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
Air Minum Listrik
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 71
4.4.3. PROGRAM PEMERINTAH
Hingga saat ini pemerintah telah melakukan berbagai program untuk
mengentaskan kemiskinan salah satunya dengan memberikan bantuan tunai
maupun melalui bentuk lain seperti halnya beras miskin (raskin). Raskin adalah
beras yang ditujukan untuk golongan ekonomi bawah yang ditawarkan dengan
harga lebih murah.
Grafik IV.19
Jumlah Raskin yang Diterima dan Harga Rata-rata per Kg (2013)
Dilihat dari jumlah yang diterima, Raskin di Buleleng tercatat sebagai
yang paling sedikit diterima kaum miskin. Rata-rata kaum miskin di Buleleng
hanya mendapatkan raskin sekitar 4,06 kg. Jumlah ini lebih rendah dari yang
diterima di Badung dengan besaran pengali sekitar empat kalinya. Rata-rata
raskin yang diterima oleh penduduk miskin di Badung mencapai 17,91 kg.
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
0
4
8
12
16
20
Jumlah Harga Rata-rata
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 72
Harga rata-rata yang dibayarkan pun cukup berbeda dengan selisih hinga Rp
400,- untuk setiap kg-nya. Apabila harga rata-rata yang dibayarkan di Buleleng
mencapai Rp 2,010,- maka harga rata-rata yang dibayarkan di wilayah Badung
justru hanya sekitar Rp 1,610,-
Selain bantuan raskin, persentase yang memanfaatkan jaminan sosial
pada penduduk miskin di Kabupaten Badung juga merupakan yang tertinggi
dalam perolehan bantuan sosial. Sekitar 5,22 persen penduduk miskin Badung
telah mendapatkan jaminan sosial. Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata
provinsi yang hanya mencapai 3,98 persen dan Buleleng yang memiliki angka
terendah dengan persentase 3,02 persen.
Hal ini memperlihatkan bagaimana prevalensi bantuan yang diterima
oleh masyarakat miskin. Semakin tinggi yang memperoleh bantuan maka
dapat diasumsikan bahwa penetrasi program pemerintah yang disalurkan
kepada masyarakat golongan bawah telah mencapai hasil yang lebih baik.
4.4.4. AKSES INTERNET
Meskipun bukan merupakan kebutuhan pokok, indikator akses pada
internet sangat diperlukan untuk melihat bagaimana kebebasan informasi
telah berhasil diakses oleh golongan miskin. Dalam pastisipasinya
menggunakan teknologi di sisi lain penduduk miskin telah menggunakan
sebagian penghasilannya untuk ditukar dengan pulsa telepon ataupun kuota
internet. Eksternalitas ini sebenarnya sudah lama diketahui dimana
ketergantungan pada teknologi memiliki sedikit dampak terutama dengan
pertukaran konsumsi pada non makanan. Beberapa penduduk miskin bahkan
tetap merokok sehingga angka konsumsi makanannya menjadi sangat tinggi,
meskipun jika dipilah lagi dengan mengurangi konsumsi ini, proporsi makanan
akan jauh mengalami penurunan.
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 73
Grafik IV.20
Persentase Penduduk Miskin yang Menggunakan Akses InternetTahun 2013
Persentase pengguna internet pada kelompok miskin tertinggi hanya
sekitar 39 persen dan itupun terdapat di Kota Denpasar. Kabupaten selain
Badung tercatat memiliki akses internet dengan persentase yang di bawah 20
persen. Di jembrana akses internet justru hanya dinikmati oleh 7,44 persen
penduduk miskin.
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00
Jembrana
Bangli
Karangasem
Buleleng
Klungkung
Tabanan
Gianyar
BALI
Badung
Denpasar
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 74
BAB VPENUTUP
Kemiskinan muncul karena tidak adanya perluasan-perluasan mengenai
pilihan-pilihan hidup untuk meningkatkan tingkat kehidupannya menjadi lebih
baik. Ketiadaan ini muncul karena ketidakmampuan dalam memperoleh
maupun mengelola apa yang telah dimilikinya (internal) dan apa yang
didapatkannya (eksternal).
Perluasan-perluasan pada pilihan mengandung konsep bahwa
kemiskinan tidak hanya dilihat dari sisi ekonomi saja namun juga harus dilihat
dari sisi lain yang pada dasarnya adalah bagian keseharian golongan miskin di
Bali.
Ketika publikasi mengenai kemiskinan diterbitkan pada dasarnya
bukanlah potret kemiskinan melalui angka semata itulah yang diperlukan,
namun juga mengenai sinergi upaya yang merupakan konjugat dari aplikasi
serius mengenai pemberantasan kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan harus
dikurangi baik secara relatif maupun absolut, begitu juga dengan kualitas hidup
kaum miskin di Bali yang juga harus ditingkatkan.
Informasi mengenai profil kemiskinan sangat dibutuhkan oleh pengambil
kebijakan untuk penanganan masalah kemiskinan. Dengan mengetahui profil
kemiskinan, pengambil kebijakan dapat lebih memfokuskan program
penanggulangan kemiskinan sehingga dapat lebih sesuai dengan kebutuhan
penduduk miskin tersebut. Dengan demikian, berbagai kebijakan pemerintah
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 75
dalam program penanggulangan kemiskinan ke depan dapat lebih efisien,
efektif, dan tepat sasaran.
Publikasi kemiskinan juga diarahkan agar semaksimal mungkin bisa
meyediakan informasi yang spesifik tentang golongan miskin dari sisi
ekonominya, namun juga dari kondisi hidup sehari-hari golongan miskin itu
sendiri.
Akhirnya, publikasi ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
konsumen/pengguna akan data dan informasi yang berkaitan dengan indikator
kemiskinan. Dengan demikian, upaya pemberdayaan masyarakat miskin dapat
berjalan efisien, efektif, dan tepat sasaran dengan dilandasi semangat
kebersamaan oleh semua pihak baik pemerintah, pengusaha/pelaku bisnis,
dan masyarakat di sekitarnya untuk “berbagi rasa dan berbagi beban” dengan
kaum miskin yang sangat membutuhkan pertolongan
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 76
LAMPIRAN
Profil Kemiskinan Provinsi Bali 2014 77
top related