privatisasi badan usaha milik negara pemulihan perekonomian direpository.unp.ac.id/1624/1/syamsul...
Post on 07-Dec-2020
20 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA DAS PEMULIHAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA
Prof. Dr. Syamsul Amar, MS -
Disampaikan pada Diskusi Ilmiah Pada Fakultas Ekonomi Universitas Islam Riau, Tanggal 11 April 2003
PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA DAN PEMULIHAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA*
Syamsul Amark*
PENDAHULUAN
Dalam sistem perekonomian apa pun pemerintah senantiasa memiliki
peranan signifikan, seperti pada sistem perekonomian sosialis peranan pemerintah
relatif besar walaupun pada sistem ekonomi kapitalis relatif terbatas. Wujud
peranan tersebut sangat ditentulcan oleh aturan main (rule of law) yang ditetapltan
oleh pemerintah itu sendiri bersama dengan masyarakat. Oleh karena itu Adam
Smith (dalam Bailey: 2000) mengemukakan pemerintah memiliki hngsi sebagai
berikut: ( 1 ) memelihara keamanan, ( 2 ) menyelenggarakan keadilan, dan (3)
menyediakan barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta (public goods).
Pemikiran Adam Smith menekankan kepada rninimalisasi peranan pemerintah
karena dalam perekonomian, para inividu yang paling tahu tentang apa yang bail<
bagi mereka dalam memaksimudcan nilai dan kepuasan (values and satisfaction).
Meskipun dalam sistem ini sering juga terjadi benturan kepentingan (conflix of
interest) karena kurang adanya koordinasi dalam mengujudlcan kepentingan
tersebut.
* Disampaikan pada Diskusi Ilmiah pada Fakultas Ekonomi Universitas Islam Riau pada tanggal 1 1 April di Pekanbaru
** Direktur Program Magister Manajemen Universitas Negeri Padang.
Secara filosofis setiap sistem perekonomian bertujuan menciptakan
kesejahteraan masyarakat (public pro.rperi@), untuk inenciptakan kesej ahteraan
tersebut adanya pembagian peranan antar pelaku ekonomi dalam sistem
perekonomian. Dalam pandangan ekonomi publik, pasar dan pemerintah
merupakan pelaku ekonomi yang berperan sebagai lembaga pengalokasi
sumberdaya ekonomi. Untuk menentukan mana diantara keduanya yang lebih
banyak berperan akan sangat ditentulcan oleh efisiensi dari kedua lembaga
tersebut dalam mengalokasikan sumberdaya. Jika pemerintah lebih efisien maka
sistem perekonomian akan cenderung mendekat ke sistem sosialis dan begitu pula
sebaliknya.
Bagi negara-negara yang pelaku pasarnya telah matang (mature) atau
mapan (estabalish) karena didukung oleh sumberdaya manusia, alam, kapital dan
institusi, sistem ekonomi kapatalis terekesan lebih efisien dernikian pula
sebaliknya. Dalam parakteknya kedua lembaga tersebut memiliki lcelemahan
dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat karena adanya market failure dan
government failure dalain inenciptakan pareto optimal. Oleh karenanya dalam
perekonomian moderen tidak satupun negara yang menggunakan salah satu dari
sistem tersebut secara konsisten dan ternyataan pada umurnnya negara-negara
maju cenderung memilih perpaduan kedua sestem itu (mixed economy) dalam
menciptakan Parato Optimal. Sehubungan dengan itu, maka peranan pemerintah
dalam perekonomian menurut Bailey (2000) adalah sebagai berikut : (1) the
allocative role (2 ) the distirubtive role . dan (3) stabilization role , dan (4)
regulatory role . Dengan peranan tersebut pemerintah diharapkan akan mampu
menciptakan pareto optimal (maximzing welfere) dengan segala sumberdaya dan
institusi yang dimiliki dan meminimalkan kegalan pasar (market failure).
Peranan Pemerintah versus Privat Dalam Perekomian
Di dalam literatur ekonomi politik dan kelembagaan masih terdapat
perbedaan pandangan terhadap peranan pemerintah dalam suatu perekonomian, di
satu sisi ada yang menyatakan bahwa peranan pemerintah sangat penting apalagi
dengan semakin kompleksnya kegiatan ekonomi dan semakin tingginya
keterkaitannya dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Oleh karena itu, sangat
sulit bagi salah satu sistem perekonomian untuk menolak peran pemerintah
walaupun pada sistem ekonomi liberal sekali pun karena upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat tidak hanya dapat hanya ditentukan oleh peranan pasar
dan keberadaaan organisasi ekonomi swasta (Stiglitz : 1989).
Peranan pemerintah semakin sangat signifikan ketika banyak persoalan
ekonomi tidak dapat terselesaikan oleh mekanisme pasar (market mechanism),
oleh karena itu dalam kondisi ini intervensi pemerintah sangat diperlukan untuk
mengurangi dampak kegagalan pasar (market failure), kekakuan harga (price
rigidities) dan dampak eksternalitas pada lingkungan alam dan sosial. Pemiltiran
ini menyebabkan Inggeris pada tahun tahun 1940sId 1950 melakukan nasionalisasi
dari beberapa industri strategis yang mereka miliki (pabrik besi, listrik, gas,
perbankan dan transportasi) deng~an tujuan meninglcatkan mutu pelayanan,
efisiensi produksi dan memperhatikan kemarnpuan konsumen (Bailey: 2000).
Barang publilc (public goods) adalah barang yang tidak dapat diproduksi
oleh sektor swasta karena sifatnya yang unik dan berbeda dengan barang privat
(privat goods) dan barang ni menyangkut dengan kepentingan oang banyak. Oleh
karena itu kemanfaatannya tidak boleh lepas ketangan swasta. Namun dalain
prakteknya keikutsertaan pemerintah dalam perekonoinian melalui Badan Usaha
Milik Negara (corporates gavernance) cenderung memiliki kinerja kurang
menggembirakan. Persoalan ini disebabkan oleh beberapa ha1 : sistem inanajemen
masih birokratis, intervensi pemerintah, kurangnya profesionaline para
pengelola. Hal tersebut menyebabkan (1) perusahaan publik tidak mainpu
berkompetisi, rendahnya inovasi, inenghasilltan pelayanan yang rendah, (2)
rendahnya perolehan laba karena beroperasi dengan biaya tinggi dan (3)
menambah beban ekonomi pemerintah.
Hal yang sama dikemukan oleh Medsen Pirie (1990) dalam studi
perbandingan yang ia lakukan terhadap perusahaan negara dan swasta di beberapa
negara maju (Inggeris, Jerrnan Barat dan Amerika) memperlihatan bahwa badan
usaha milik negara ternyata mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dan
menghasilkan komoditi yag lebih mahal jika dibanding dengan perusahaan swasta.
Walaupun demikian Staglitz ( 1989) menyatakan bahwa peranan negara masih
tetap sangat relevan dalam perekonomian. namun peranannya hams dibedakan
dengan swasta. Stgalitz menganjurkan adanya perbedaan segmentasi antara
perusahaan publik dengan swasta, bidang-bidang usaha yang telah dikuasi oleh
pemerintah inelalui BUMN tidak lagi digarap oleh swasta dan usaha-usaha skala
besar (large scale) dikuasai oleh pemerintah karena pemerintah memiliki
sumberdaya ekonomi relatif besar untuk melakultan kegiatan yang lebih besar,
cara seperti ini akan dapat menciptakan efisiensi. Dengan demikian masyarakat
akan ~nemperoleh pelayanan yang berkualitas, efisiensi produksi, keadilan dan
masyarakat akan menikrnati barang-barang publik dengan harga yang lebih murah.
Usaha sltala ~nenengah dan kecil (small and medium scales) dikuasai oleh svrasta,
pada versi kedua dapat dilakukan melalui kolaborasi antara penlsahaan
pemerintah dengan perusahaan privat bailt secara horizontal dan vertikal.
Di sisi lain dengan berkembangnya aktivitas ekonomi dan kelembagaan
secara pesat menjadikan peranan pemerintah pada bidang ekonomi maupun pada
bidang lain semakin tidak relevan, ha1 ini terbukti dari kekurangmampuan sektor
pemerintah berkompetisi degan sektor swasta. Spencer dan Hayek dalam Gerston
(1997) merupakan orang yang menyangsikan peranan peinerintah di dalain
perekonomian dan lebih lanjut ia menjelaskan di dalam sistem ekonomi liberal,
negara sangat tidak layak (incompetence) didalam melaksanakan kegiatan
ekonomi. Hal ini seiring dengan pendapat yang dikemukan oleh Drucker dalam
Rochbini (2000) bahwa pada saat ini pemerintah bukan lagi sebagai satu-satunya
pusat kekuatan karena kekuatan ekonomi, politik akan terdefrensiasi sejalan
dengan berkembangnya masyarakat secara pluralistik. Dewasa ini sektor privat
dan perorangan telah berkembang cenderung melebihi sektor publik, ha1 ini
merupakan salah satu pemicu tumbuhnya pusat-pusat kekuatan baru terutama di
bidang okonomi. Clarkson (1975) berpendapat, hak kepemilikan swasta
rnerupaltan kekuatan dalam sebuah negara oleh karena perlu adanya trasfer of
property right dari sektor publik kepada sektor privat. Di sisi lain pengunaan
kepamilihan swasta lebih fleksibel dan jika ha1 ini diataur secara baik inerupakan
kunci penentu keberhasilan pernbangunan.
Pemikiran yang demikian juga menyebabkan Inggris pada tahun 1979-
1999 telah melakukan privatisasi beberapa perusahaan nasionalnya sesuai dengan
perltembangan ekonomi, perubahan strulttur sosial politik dan budaya. Privatisasi
dilakukan dengan tujuan : ( I ) untuk mengurangkan pengeluaran sektor publik, ( 2 )
rnemberikan ltesempatan kepada pihalt swasta dan publik melalui kepemilikan
saham pada perusahaan publik, (3) mengurangi interpensi politik dalam
pengelolaan purusahaan publik, dan (4) untuk rneminimalkan peran klasik
pemerintah (Conservative govern~nent objective). Berangkat dari pemiltiran
tersebut pada periode 1979 s/d 1990 Inggris telah memprivatisasi beberapa
perusahaan publik yang mereka miliki antara lain : Britis Aerospace, Britis Airport
Authority, Britis Airways, Britis Coal, Britis National Oil Corporatio, Britis
Railway, Britis Shipbulider, Britis Steel, Britis Telcom, National Bus Company,
Water supply dan terkahir pada tahun 2000 memprivatisasi lagi sebanyak 28
perusahaan publik termasuk di dalamnya Girobank, Post office, Britis Rail Hotel,
Local government seaport and airport dan Britis Petrolem. Privatisiasi yang
dilakukan dalarn bentuk Public Privat Partnership yaitu kerjasarna antara publilt
u
dengan sektor swasta dalam bentuk penyertaan modal (Capital sharing) dan profit
sharing, namum seluruh perusahaan yang diprivatisasi telah mengadopsi sistem
manajemen perusahaan moderen.
Privatisasi identik dengan denasionalisasi artinya melaltukan perubahan
kepemilikan asset publik kepada swasta nasional maupun kepada asing oleh
karena itu kegiatan privatisasi hams dilakukan dengan pertimbangan yang sangat
bijak dan matang. Persoalan privatisasi jangan terlalu disederhanakan dan hanya
dilihat dari kacamata eltonomi apalagi finansil karena persoalan ini menyangkut
dengan eksistensi, kredibilitas dan legitimasi bangsa karena privatisiasi bukan
hanya persoalan sekarang tetapi memiliki implikas jauh ke depan.
Privitasi pada hikikatnya akan mengubah nilai-nilai yang ada pada sistem
perekonomian sekarang dengan nilai yang lain yang barangkali belum tentu cocok
(politik, hukum, sosial dan budaya). Oleh karena pelaksanaan privatisasi harus
memiliki landasan formal yang jelas karena persoalan ini menyangltut dengan
kepentingan publik (hak-hak warga negara). Menurut Bailey (2000) di Inggris
privatisasi jauh lebih maju dimana kegiatan tersebut telah menyatu dengan
konstitusi dan kelembagaan, dengan demikian pelaksanaan privatisasi terlaksana
secara gradual, sistematis, terprogram dan tidak terltesan sporadis dan tergesa-
gesa. Di sisi lain bidang-bidang strategis yang menyangkut dengan kepentingan
orang banyak tetap dikuasai oleh pemerintah melalui pemberian hak monopoli
kepada perusahaan publik seperti Electocas dan Britania Gas sebagai satu-
satunya supplier listrik dan gas di Tnggeris. Dengan pola dan arah yang jelas
kebijakan privatasisi Inggris mampu meningkatkan kinerja ekonominya menjadi
lebih baik.
Untuk menentultan kelayakan sebuah perusahaan publik yang akan
diprivatisasi hams dilakukan berdasarkan pertimbangan yang komprehensif yaitu
mempertimbangan manfaat sosial (social benefit) dengan biaya social (Social cost)
yang akan ditimbulkan oleh kegiatan privatisasi tersebut. Disampig itu yang paling
mendasar lagi adalah rasa na~ionali~sm and moral obligation kita, meskipun ha1
tersebut sebetulnya sangat subjektive dan tidak bisa digeneralisasi dan setiap
bangsa cenderung memiliki ukuran dan judgment yang berbeda.
Pada diagram 1 diketahui keberadaan perusahaan publik pada 18 negara
dan ternyata perusahaan publik (BUMN) bukan spesifik negara-negara
berkembang atau negara yang memiliki sistem perekonomian sosialis. Dari 18
negara yang ada pada tabel 1, 14 negara diantaranya ternyata adalah negara maju
atau negara industri. Negara-negara tersebut antara lain : Australia, Austria,
Belgia, Ingris, Kanada, Perancis, Jerman Barat, Belanda Italia, Jepang, Spanyol,
Swedia, Swis dan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat terdapat sebanyak 71 1
buah perusahaan daerah dan 227 perusahaan negara sebagai distributor gas.
. . - : Rince sector:. . .. . . Frontiers of the state: the international extent of plrblic enterprise at the start of the 80's . .. . .
Public amor:
SOURCE: "Oown in p n d a " J R S Prichard. lnduding Comi l
Privatisasi Perusahaan Publik dan Pemulihan Ekonorni
Secara historis perusahaan publik di Indonesia sebagian kecil diantaraanya
telah eksis sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda seperti perusahaan kereta
api, perusahaan listrik, pos dan giro, pegadaian, Damri, Bank Tabungan Negara,
Pelni, Garuda dan Djakarta Loyd dan masih banyak yang lainnya. Perusahaan ini
bertujuan untuk untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
penyediaan publik utilitas kepada masyarakat dengan cara mudah dan harga
terjangkau dan juga pada saat itu sektor privat belum mungkin melakukan
investasi pada sektor tersebut karena investasi sangat besar. Menurut Wibisono
(1994) fenomena BUMN merupakan fenomena universal yang berlaltu dalam
sistem perekonomian manapun temasuk dalam sistem perekonomian kapitalis
sekalipun. Ruang gerak perusahaan publik sangat vital dan strategis karena
kegiatannya bersinggungan langsung dengan kepentingan orang banyak (public
utilities), makanya bidang ini sebaiknya tidak diberikan kepada swasta atau
perorangan. Berhubung sektor utilitas publik berkaitan dengan kebutuhan publik
maka sektor ini kepemilikannya harus berada ditangan pemerintah (goverment
ownership) dengan prinsip utama terjaminnya mekanisme kontrol sosial dan
pertanggungjawaban sosial (Social control and social accountability).
Pada tahun 2000 di Indonesia terdapat sebanyak 205 perusahaan publik
dalam berbagai bentuk dan bidang kegiatan. Perusahaan tersebut tidak hanya
bergerak pada industri stategis saja tetapi juga berada pada bidang-bidang lain
yang layaknya dikuasai oleh pihalt swasta seperti perhotelan, perkebunan,
distribusi barang, perikanan dan asuransi dan sebagainya.
Menurut publiltasi Bank Indonesia (2001) kontribusi BUMN terhadap
perekonomian nasional secara kuantitatif sangat signifikan sebagaimana
ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap gendapatan nasional. Pada tahun 2000
kontribusi BUMN terhadap GDP sebesar 20 -27 % dari GDP, di sisi lain total
aktiva sebesar 400 triliun dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 1,4 juta orang
dan perolehan pendapatan sebesar 147 triliun rupiah dengan keuntungan bersih
sebesar 15,2 triliun rupiah. Dilihat berdasarkan kepemilikan asset jurnlah aset yang
dimiliki oleh BUMN di Indonesia sebanyak 400 triliun. Total asset BUMN
tersebut jauh melebihi dari kekayaan konglomerat swasta yang hanya mencapai 27
triliun rupiah. Oleh karena itu jika BUMN dikelola secara profesional maka tidal<
mustahil BUMN ini akan dapat menyelamatkan negara dari terpaan badai krisis
Icarena BUMN ini memili aset yang cukup besar. Mari kita belajar dari
pengalaman Korea pada saat negara tersebut dilanda luisis pengusahalah yang
menyelamatkan perekonomian negaranya, tetapi BUMN kita ternyata sudah
terbiasa menyusu kepada ibunya (negara).
Privatisasi BUMN merupakan program ekonomi yang telah dilakukan oleh
pemerintah, tetapi jika program tersebut bertujuan untuk meningkatkan
pemasukan dana bagi pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi (eco~zomy
recovery) saya berkesimpulan program tersebut ternyata tidak relevan. Tidak
relevannya program tersebut terhadap pemulihan ekonomi disebabkan dana yang
dapat dihimbun dari kegiatan privatisasi relatif kecil "bagaikan melembar balam
dengan tanal2". Sebagai bukti emprik pada tahun 2002 ditargetkan dana privatisasi
sebesar 6,5 triliun, jika dikaitkan dengan pendapatan nasional sumbangannya
hanya sebesa 2,296 dan jika dikaitkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara hanya mampu menutup 9 persen dari defisit anggraran yang besarnya
54,l l triliun.
Di sisi lain jika privatisasi dilcaitkan dengan upaya pemberdayaan
perusahaan publik dan menghindari sisteln yang selama ini penuh dengan praktek
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan inefisiensi ekonomi, adalah alasan
yang dapat diterima secara rasional. Namun demikian program privatisasi harus
dilakukan melalui sebuah pertiinbangan eltonomi dan politilt yang matang,
walaupun secara jujur kita akui bahwa pada batangtubuh BUMN masih melekat
beberapa kelemahan antara lain: lambat mengambil lteputusan, nepotisme, sering
terjadi konfliks kepentingan, terlalu banyak intervensi, dan kurang akuntabel (Ary
Suta: 2001).
Perlakuan terhadap BUMN harus disesuaikan dengan kondisi BUMN itu
sendiri berdasarkan kondisi spesifik masing-masing BUMN. Kondisi tersebut
dapat dilihat dari dua aspek yaitu : aspek eksternalitas dan aspek internal. Aspek
eksternal mencakup dengan peran perusahaan yang menyediakan Itebutuhan vital
masyarakat, sesuai dengan peranannya sebagai perusahaan publik. Aspek internal
adalah kondisi internal perusahaan yang menyangkut persoalan operasional
perusahaan. Aspek internal tersebut terdiri dari indikator tranparansi, Itemandirian,
efisiensi, akuntabilitas, dan keadilan. Berdasarkan pertimbangan tersebut dapat
dilakukan pilihan-pilihan kebijakan yang akurat untuk masing-masing BUMN.
ASPEK EKSTERNALITAS
Rendah Tinggi
Rendah
EFISIENSI
Tinggi
Likuidasiljual
Go publik
Go Internasional
Rekayasa ulang
Mergerlaltusisi
Dipertahankan
Pemulihan ekonomi dapat dimulai dari upaya peningltatkan permintaan
agregate melalui sentuhan kebijakan fisltal dan moneter. Selama krisis ekonomi
kinerja ekonomi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh peningkatan konsumsi
dan pengeluaran pemerintah, namun sektor ini memiliki kekuatan yang amat
terbatas dalam mamacu pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu upaya yang
harus dilakukan adalah menggerakan sektor riil melalui suntikan investasi dalam
negeri maupun luar (domistic andforeign investment), di sisi lain upaya ilntuk
meningkatkan ekspor dan mengurangi impor melalui berbagai kebijakan
perdagangan luar negeri yang pada intinya hams menciptakan insentif bagi
eksportis. Untuk terlaksananya upaya peningkatan permintaan agregate kita masih
dihadapkan kepada beberapa hambatan antara lain :
(1) kepercayaan pasar relatif masih rendah (Low market confidence) sebagi
altibat situasi yang masih ada baik dari aspek ekonomi maupun non ekonomi.
sebagaiinana ditunjukkan oleh tingginya angka corruption index sebesar 2,
rendahnya economic creativity index sebesar -3 dan tingginya Country risk
index 7.6.
(2) masih besarnya beban hutang luar negeri beserta cicilan. Kondisi tahun 2002
hutang sebesar USD 62 miliar, cicilan bunga saja 55,4 triliun.
(3) subsisidi relatif besar yang terdiri dari subsisi BBM 36,4 triluan rupiah dan
non BBM 1 1,8 triliun rupiah,
(4) struktur penerimaan masih lemah, penerimaan yang berasal dari pajak lebih
dominan (71,38%). Dalam jangka jangka paradigma anggaran yang
konvesional harus digeser inen.jadi lebih moderat yang mana peneri~naan
dominan hams berasal dari sumber pendapatan bukan pajak.
Penutup
Peranan negara melalui BUMN sebagai perusahaan publik pada batas dan
segmen tertentu perlu dipertahankan demi menjaga stabilitas dan kesejahteraan
masyarakat. Mekanisme pasar tidak selalu mampu menciptakan Pareto Optimal
terutaama untuk barang publik karena penyediaan barang publik hams terhindar
dari perhitungan untung dan rugi (benefit cost analysis). Privatasi bukanlah cara
tepat untuk memulihkan perekonomian negara karena relatif kecinyal besaran
dana yang berasal dari privatisasi tersebut. Oleh karena itu upaya pemulihan
ekonomi hams dilakukan dengan upaya meningkatltan agregate demand melalui
peningkatan investasi dalam dan luar negeri serta peningkatan eksport bersih (net
export). Di samping itu upaya untuk menjual aset obligor dan mengupayakan
penarikan kembali capitalfligt serta deposit0 pengusaha Indonesia yang berada di
luar negeri.
Dalam rangka meminimalkan externality diseconomies, privitasi hams
dilakukan secara cerrnat melalui pertimbangan ekonomi dan politik yang tepat.
Oleh karena itu pertimbangan manfaat publik (public utilities) dan kondisi internal
perusahaan purlu mendapat perhatian dengan cara tersebut akan lahir sebuah
format privatisasi yang tidak menimbulkan biaya sosial.
DAFTAR BACAAN
Bailey, Stehen J (2000). Public Sector Economics. New York: Palgrave Publing.
Clarkson, Keneth (1975). Proverty Rights, Iizcentive and Economics Development. Washington: Cato Institute.
I
Gerston, Larry N (1997). Public Policy Making. a New York : Armonk Pulisher.
I
James, Buchanan (1 989). Essay on Political Economy.
I Honolulu: Hawai University Press.
Rochbini, Didik J. (200) Ekonomi Politik Paradigma dan Teori Pilihan Publik. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Ary suta, I Putu Gede (2000). Privatisasi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia. Jakarta: Caste1 Asia.
Stiglitz, Joseph (1989). The Economic Role of State.
Cambridge: Basil and Blackwell.
top related