preskes bedah plastik luka bakar
Post on 11-Jan-2016
52 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS BEDAH PLASTIK
SEORANG LAKI-LAKI USIA 26 TAHUN DENGAN COMBUSTIO LISTRIK GRADE II, 21%
R.THORAKS, R.ANTEBRACHII SINISTRA,R.FEMUR DEKSTRA ET SINISTRA
Periode : 6-11 April 2015
Oleh:
Oleh:Satria Adi Putra NIM. G99141062Yohana Trissya NIM. G99141063Aryo SenoRizqi Ahmad
Pembimbing:dr. Amru Sungkar.,SpB.,SpBP-RE
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAHFAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA2015
BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : An. AK
Umur : 26 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Pabrik
Alamat : Sukoharjo
Tanggal Masuk : 4 April 2015
Tanggal Periksa : 6 April 2015
Status Pembayaran : BPJS
II. Keluhan Utama
Nyeri di daerah luka bakar akibat sengatan listrik
III. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri di daerah dada, lengan kiri, dan paha
kanan-kiri. Nyeri dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan semakin
memberat, terutama 1 hari yang lalu. Nyeri diakibatkan karena sengatan
listrik ketika bekerja di pabrik. 1 bulan yang lalu pasien pernah melakukan
operasi di RSDM untuk mengganti luka dengan kulit yang baru. Nyeri timbul
secara terus-menerus, tidak berkurang dengan istirahat. Pasien mengaku nyeri
mengganggu kehidupan pasien. Sebelumnya pasien telah melakukan
medikasi luka sebanyak 6 kali. Kemudian, oleh dokter pasien diminta untuk
medikasi kembali. Oleh karena itu pasien dibawa ke RSUD Dr Moewardi
untuk dilakukan medikasi di IBS.
2
IV. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
Riwayat mondok sebelumnya : disangkal
V. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing : spontan, pernafasan 20 x/menit
c. Circulation : tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 92/menit, CRT<2 detik
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor
(2mm/2mm), lateralisasi (-/-)
e. Exposure : suhu 36,9ºC, jejas (+), luka bekas operasi (+), verban (+) ,
lihat status lokalis
II. Secondary Survey
a. Keadaan umum : composmentis, pasien tampak kesakitan, gizi
kesan baik.
b. Kepala : mesocephal, deformitas (-), jejas (-)
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+),
hematom periorbita (-/-), diplopia (-/-).
3
d. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-),
nyeri tragus (-/-).
e. Hidung : bloody rhinorrhea (-)
f. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-),
maloklusi (-), gigi goyang (-), gigi tanggal (-)
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-),
nyeri tekan (-), JVP tidak meningkat.
h. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), jejas
(+)
i. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis teraba, tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung sulit dievaluasi
Auskultasi : bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising
(-).
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan tertinggal dari kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan kurang dari kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal 16x/ menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)
l. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-),
nyeri BAK (-).
4
m. Ekstremitas
Jejas (+), nyeri (+)
Akral dingin Oedema
III. Status Lokalis
a. Regio Thoraks
Inspeksi : tampak luka bekas operasi sedalam dermis, tampak
kemerahan
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (-)
b. Regio Femur Dekstra
Inspeksi : tampak luka bekas operasi sedalam dermis, tampak
kemerahan
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (-)
Movement: terbatas karena nyeri
c. Regio Femur Sinistra
Inspeksi : tampak luka bekas operasi sedalam dermis, tampak
kemerahan
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (-)
Movement: terbatas karena nyeri
d. Regio Antebrahchii Sinistra
Inspeksi : tampak luka bekas operasi sedalam dermis, tampak
kemerahan
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (-)
Movement: terbatas karena nyeri
C. ASSESMENT 1
5
- _
- _- _
- _
Post STSG a/i Combustio listrik grade II, 21%, r.thoraks, r.antebrachii sinistra,
r.femur dekstra et sinistra
D. PLANNING 1
1. Pemeriksaan darah rutin.
2. O2 3 lpm
3. Pasang infuse NaCl 0,9% 20tpm
4. Injeksi ketorolac 30mg/8 jam.
5. Injeksi ranitidine 50mg/8 jam.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan laboratorium (Tanggal 4 April 2015)
Hb : 10,1 g/dl
Hct : 31 %
AE : 4,32 juta/ ul
AL : 14,4 robu/ ul
AT : 485 ribu/ ul
GDS : 112 mg/ dl
Albumin : 3,9 g/ dl
Creatinin : 0,7 mg/ dl
Ureum : 21 mg/ dl
GD : B
Na : 138 mmol/ L
K : 4,3 mmol/ L
Cl : 105 mmol/ L
HbsAg : (-)
6
F. ASSESMENT II
1. Post STSG a/i Combustio listrik grade 2, 21% r.thoraks, r.brachii
sinistra, r.femur dekstra et sinistra
2. Leukositosis
G. PLANNING II
O2 3 lpm
Pasang infuse NaCl 0,9% 20tpm
Injeksi ketorolac 30mg/8 jam.
Injeksi ranitidine 50mg/8 jam.
Injeksi ciprofloxacin 1 amp/ 12 jam
Pro Medikasi
H. PROGNOSIS
a. Ad vitam : bonam
b. Ad sanam : bonam
c. Ad fungsionam : bonam
7
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan
yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan
morbiditas dan mortalitas tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk
penanganannya pun tinggi.1 Di Indonesia, luka bakar masih merupakan
problem yang berat. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan
memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan terampil. Oleh karena
itu, penanganan luka bakar lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang
terdiri dari spesialis bedah (bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah
umum), intensifis, spesialis penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik,
psikiatri, dan psikologi.
B. Definisi dan Etiologi
Beberapa penyebab luka bakar menurut Syamsuhidayat (2007) adalah
sebagai berikut:
a. Luka bakar suhu tinggi (thermal burn)
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald),
jilatan api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat
terpapar atau kontak dengan objek-objek panas lainnya. Beberapa hal
yang dapat menyebabkan thermal burn antara lain:
Benda panas: padat, cair, uap
Api
Sengatan matahari/ sinar panas
b. Luka bakar bahan kimia (chemical burn)
8
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau basa kuat
yang biasa digunakan dalam industri, militer, laboratorium, danbahan
pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga.
c. Luka bakar sengatan listrik (electrical burn)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api dan
ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang
memiliki resistensi paling rendah, dalam hal ini cairan. Kerusakan
terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga
menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan
berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus
maupun ground.
d. Luka bakar radiasi (radiation injury)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber
radioaktif. Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan bahan
radioaktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan
dalam bidang industri. Terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga
dapat menyebabkan luka bakar radiasi.
C. Karakteristik Listrik
Karakteristik listrik serta sifat berbagai jaringan menentukan derajat
kerusakan dan memberikan prediksi mengenai kemungkinan morbiditas yang
bahkan mortalitas. Beberapa karakteristik listrik yang perlu diketahui antara
lain adalah tegangan (voltage), arus listrik, resistensi dan konduksi
1. Tegangan
Tegangan adalah gaya elektromotif atau perbedaan potensial
listrik. Semakin besar tegangan listrik yang dialirkan ke jaringan yang
memiliki resistensi relatif tetap, semakin besar arus yang dialirkan.
2. Arus Listrik
9
Arus listrik (electric current) adalah aliran litrik yang dibagi
menjadi dua yaitu arus bolak balik (alternating current, AC) dan satu arah
(direct current, DC).
Arus DC tegangan tinggi menimbulkan spasme muscular,
menyebabkan korban terpental menjauhi sumber arus. Hal ini
mengakibatkan waktu paparan dengan arus relatif singkat, namun diikuti
kemungkinan timbulnya trauma tumpul. Sedangkan, arus AC lebih
berbahaya, karena menyebabkan kontraksi muskular kontinu, tetani, dan
timbul bila serat-serat otot mendapat stimulasi 40-110 kali per detik.
Biasanya semakin tinggi tegangan dan kekuatannya, maka semakin
besar kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua jenis arus listrik tersebut.
Kekuatan arus listrik diukur dalam ampere. 1 miliampere (mA) sama
dengan 1/1,000 ampere. Pada arus serendah 60-100 mA dengan tegangan
rendah (110-220 volt), AC 60 hertz yang mengalir melalui dada dalam
waktu sepersekian detik bisa menyebabkan irama jantung yang tidak
beraturan, yang bisa berakibat fatal. Arus bolak-balik lebih dapat
menyebabkan aritmia jantung dibanding arus searah. Arus dari AC pada
100 mA dalam seperlima detik dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel dan
henti jantung.
Efek yang sama ditimbulkan oleh DC sebesar 300-500 mA.
Jika arus langsung mengalir ke jantung, misalnya melalui sebuah
pacemaker, maka bisa terjadi gangguan irama jantung meskipun arus
listriknya jauh lebih rendah (kurang dari 1 mA).
3. Resistensi dan Konduksi.
Resistensi adalah tahanan jaringan atau oposisi terhadap aliran
listrik, sedangkan konduksi adalah kapasitas jaringan menyampaikan
(mengalirkan arus listrik). Tahanan yang terbesar terdapat pada kulit
tubuh, akan menurun besarnya pada tulang, lemak, urat saraf, otot, darah
dan cairan tubuh. Tahanan kulit rata-rata 500-10.000 ohm. Di dalam
lapisan kulit itu sendiri bervariasi derajat resistensinya, hal ini bergantung
pada ketebalan kulit dan jumlah relatif dari folikel rambut, kelenjar
10
keringat dan lemak. Kulit yang berkeringat lebih jelek daripada kulit yang
kering. Menurut hitungan Cardieu, bahwa berkeringat dapat menurunkan
tahanan sebesar < 1,000 ohm.
Arus listrik banyak yang melewati kulit, karena itu energinya
banyak yang dilepaskan di permukaan. Jika resistensi kulit tinggi, maka
permukaan luka bakar yang luas dapat terjadi pada titik masuk dan
keluarnya arus, disertai dengan hangusnya jaringan diantara titik masuk
dan titik keluarnya arus listrik. Tergantung kepada resistensinya, jaringan
dalam juga bisa mengalami luka bakar.
Tahanan tubuh terhadap aliran listrik juga akan menurun pada
keadaan demam atau adanya pengaruh obat-obatan yang mengakibatkan
produksi keringat meningkat. Pertimbangkan tentang ”transitional
resistance”, yaitu suatu tahanan yang menyertai akibat adanya bahan-
bahan yang berada di antara konduktor dengan tubuh atau antara tubuh
dengan bumi, misalnya baju, sarung tangan karet, sepatu karet, dan lain-
lain.
D. Klasifikasi Luka Bakar
1. Berdasarkan Kedalaman
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan
suhu tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api
yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam
luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu
domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah
terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket
sehingga memperberat kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar,
yaitu luka bakar derajat I, II, atau III:
Derajat I
11
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak
jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I
biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna.
Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan
nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I
adalah sunburn.
Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun
masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan
epitelisasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik
teriritasi, dibedakan atas 2 (dua) bagian:
a. Derajat II dangkal/superficial (IIA)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari
corium/dermis.Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar
sebecea masih banyak.Semua ini merupakan benih-benih epitel.
Penyembuhan terjadi secara spontandalam waktu 10-14 hari tanpa
terbentuk sikatrik.
b. Derajat II dalam/deep (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa – sisa
jaringan epitel tinggal sedikit. Organ-organ kulit seperti folikel
rambut, kelenjarkeringat, kelenjar sebacea tinggal sedikit.
12
Penyembuhan terjadi lebih lama dandisertai parut hipertrofi.
Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih darisatu bulan.
Dengan adanya jaringan yang masih sehat, luka dapat sembuh dalam
2-3 minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang
berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan
permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri.Apabila luka bakar derajat
II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan
penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang
menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.
Derajat III
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam
sampaimencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit
mengalami kerusakan,tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai
bullae, kulit yang terbakarberwarna abu-abu dan lebih pucat sampai
berwarna hitam kering. Terjadikoagulasi protein pada epidermis dan
dermis yang dikenal sebagai esker. Tidakdijumpai rasa nyeri dan
hilang sensasi karena ujung-ujung sensorik rusak.Penyembuhan terjadi
13
lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.
Tabel 1. Kategori derajat luka bakar
2. Luas Luka Bakar
Wallace membagi tubuh atas bagian – nagian 9 % atau kelipatan dari 9
terkenal dengan nama Rule of Nine atau Rule of Wallace.
14
Gambar 7. Rules of nine
Dalam perhitungan agar lebih mempermudah dapat dipakai luas telapak tangan
penderita adalah 1 % dari luas permukaan tubuhnya. Pada anak –anak dipakai
modifikasi Rule of Nine menurut Lund and Brower, yaitu ditekankan pada umur
15 tahun, 5 tahun dan 1 tahun.
15
Kepala dan leher - 9 %
Lengan - 18 %
Badan Depan - 18 %
Badan Belakang - 18 %
Tungkai - 36 %
Genitalia/perineum - 1 %
Total - 100 %
Gambar 8. Rules of nine sesuai umur
3. Kriteria Berat-ringannya
Kriteria berat-ringannya suatu luka bakar menurut American Burn
Association adalah
a) Luka bakar ringan.
- Luka bakar derajat II <15 %
- Luka bakar derajat II < 10 % pada anak – anak
- Luka bakar derajat III < 2 %
b) Luka bakar sedang
- Luka bakar derajat II 15-25 % pada orang dewasa
- Luka bakar II 10 – 20 5 pada anak – anak
- Luka bakar derajat III < 10 %
c) Luka bakar berat
- Luka bakar derajat II 25 % atau lebih pada orang dewasa
- Luka bakar derajat II 20 % atau lebih pada anak – anak.
- Luka bakar derajat III 10 % atau lebih
- Luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki dan
genitalia/perineum.
- Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.
E. Patofisiologi
Pada luka bakar terjadi perubahan lokal berupa nekrosis koagulatif
pada epidermis, dermis dan jaringan di bawahnya, dengan kedalaman
tergantung pada temperatur bahan dan durasi pajanan.
16
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan bahan penyebab dan
kedalaman luka. Bahan yang dapat menyebabkan luka bakar adalah api, sclad
(cairan panas), kontak dengan bahan padat yang panas, bahan kimia, dan
listrik. Sedangkan kedalaman luka dapat dibagi menjadi :
1. Derajat 1 : luka terbatas pada epidermis (eritema)
2. Derajat 2 superfisial : luka pada epidermis hingga dermis superfisial atau
papila dermis (bullae)
3. Derajat 2 dalam : luka pada epidermis hingga dermis dalam atau
reticular dermis (bullae)
4. Derajat 3 : luka mencapai seluruh dermis dan jaringan
subkutan di bawahnya. (warna kulit putih hingga coklat kehitaman, tanpa
bullae)
Gambar 9. Penampang kedalaman luka bakar4
Pada luka yang melibatkan sebagian tebal lapisan kulit (derajat 1 dan
2) disertai rasa nyeri, sedangkan derajat 3 biasanya rasa nyeri minimal atau
tidak ada. Berdasarkan gambaran histologis, pada luka bakar terdapat tiga
zona yaitu zona koagulasi, zona stasis, dan zona hiperemia. Pada zona
koagulasi terjadi nekrosis jaringan dan kerusakan yang ireversibel. Zona stasis
berada di sekitar zona koagulasi, dimana terjadi penurunan perfusi jaringan 17
dengan kerusakan dan kebocoran vaskuler. Pada zona hiperemia terjadi
vasodilatasi karena inflamasi, jaringannya masih viable dan proses
penyembuhan berawal dari zona ini.
Gambar 10. Zona luka bakar Jackson dan efeknya terhadap resusitasi adekuat
dan inadekuat5
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel
akibat cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan
berkembang menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS),
kondisi ini hampir selalu berlanjut dengan Multi-system Organ Dysfunction
Syndrome (MODS). MODS terjadi karena gangguan perfusi jaringan yang
berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi mikro. Berdasarkan konsep SIRS,
paradigma penatalaksanaan luka bakar fase akut berubah, semula berorientasi
pada gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses
perbaikan perfusi (srkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya
luka bakar memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas
permukaan tubuh. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai efek sistemik
tersebut anatara lain berupa
1. Gangguan kardiovaskular, berupa peningkatan permeabilitas vaskular
yang menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskular ke
interstitial. Terjadi vasokonstriksi di pembuluh darah sphlancnic dan
18
perifer. Kontraktilitas miokardium menurun, kemungkinan disebabkan
adanya TNF. Perubahan ini disertai dengan kehilangan cairan dari luka
bakar menyebabkan hipotensi sistemik dan hipoperfusi organ.
2. Gangguan sistem respirasi, mediator inflamasi menyebabkan
bronkokonstriksi, dan pada luka bakar yang berat dapat timbul respiratory
distress syndrome.
3. Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga 3
kali lipat. Hal ini, disertai dengan adanya hipoperfusi sphlancnic
menyebabkan dibutuhkannya pemberian makanan enteral secara agresif
untuk menurunkan katabolisme dan mempertahankan integritas saluran
pencernaan.
4. Gangguan imunologis, terdapat penuruanan sistem imun yang
mempengaruhi sistem imun humoral dan seluler.
Masalah pada luka bakar berdasarkan kronologi dibagi menjadi:
1. Fase akut : deteriorasi airway, breathing, circulation, berlangsung
selama 0 - 48 jam (72 jam).
2. Fase subakut : SIRS dan MODS, berlangsung sampai 21 hari.
3. Fase lanjut : jaringan parut (hipertrofik, keloid, kontraktur),
berlangsung sampai 8-12 bulan.
Masalah yang timbul pada luka bakar fase akut terutama berkaitan
dengan gangguan jalan napas (cedera inhalasi), gengguan mekanisme
bernapas dan gangguan sirkulasi. Ketiga hal tersebut menyebabkan gangguan
perfusi jaringan yang dapat menyebabkan kematian.
Cedera inhalasi merupakan gangguan mukosa saluran napas akibat
kontak dengan sumber termis, toxic fumes, dan zat toksik lainnya. Dugaan
kuat mengenai adanya cedera inhalasi bila dijumpai riwayat luka bakar yang
disebabkan api, terperangkap di ruang tertutup, luka bakar pada wajah dan
leher, bulu hidung terbakar, sputum dan air liur mengandung karbon.
Kerusakan mukosa dapat pula disebabkan oleh minyak panas, air panas, bahan
kimia yang mengenai muka, leher, dada bagian atas. Pada cedera inhalasi
terjadi edema mukosa dari orofaring dan laring hingga membran alveoli. Hal
19
ini dapat menyebabkan obstruksi yang ditandai dengan stridor, suara serak,
sulit bernapas, gelisah. Bronkospasme dapat terjadi bila reaksi inflamasi
melibatkan otot polos bronkus.
Tabel 2. Tanda dan Gejala cedera inhalasi
Gangguan mekanisme bernapas pada luka bakar dapat terjadi pada
pasien dengan eskar melingkar di dada yang menyebabkan gangguan proses
ekspansi rongga toraks sehingga compliance paru berkurang.
Gangguan sirkulasi pada luka bakar terjadi melalui mekanisme
perubahan integritas membran mikrovaskuler, perubahan hukum Starling,
gangguan perfusi (syok seluler), dan evaporative heat loss. Setelah cedera
termis, terjadi pelepasan histamin diikuti pelepasan histmain dan aktivasi
komplemen yang menyebabkan perlekatan leukosit PMN dengan endotel.
Endotel inflamatif akan melepaskan radikal bebas yang diikuti oleh
peroksidasi lipid yang mengaktivasi asam arakidonat. Hal ini menyebabkan
aktivasi kaskade koagulasi dan pelepasan sitokin (IL1, IL6, TNFa). Proses
inflamasi mengakibatkan perubahan morfologi endotel dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler ini mengakibatkan
perpindahan cairan dari intravaskuler ke ruang interstisium. Selain itu
mediator inflamasi memacu sel-sel epitel mukosa mengalami proses inflamasi
akut terutama mengakibatkan sel epitel nekrosis. Pada mukosa alveoli
penumpukan fibrin membentuk membran hialin yang menyebabkan gangguan
20
difusi dan perfusi oksigen (acute respiratory distress syndrom). ARDS ini
umumnya muncul 4-5 hari pasca cedera luka bakar.
F. Gejala dan Tanda Klinis
Menurut Henderson, gejala klinis yang utama pada luka bakar yaitu
lepuh yang merupakan tanda khas luka bakar superfisial. Cairan dihasilkan
dari jaringan cedera yang lebih dalam sehingga permukaan superfisial yang
terbakar (mati) akan terangkat. Lepuh atau bullae pada luka bakar sering
pecah dan meninggalkan suatu permukaan merah kasar yang mengeluarkan
cairan serous dan dapat berdarah. Luka bakar yang superfisial terasa nyeri
karena ujung saraf terpapar dan mengalami inflamasi.
Luka bakar yang dalam, gejala klinisnya yaitu, kulit mungkin terlihat
normal. Akan tetapi, tampak mengkilap sehingga pembuluh-pembuluh
darahnya mudah dilihat, tetapi darah dalam pembuluh darah tersebut tidak
dapat keluar karena sudah mengalami koagulasi sehingga saat ditusuk tidak
akan mengeluarkan darah. Selain itu, kulit amat kaku ketika disentuh, serta
tidak dapat merasakan nyeri, karena sebagian besar ujung saraf sudah mati.
Pada kondisi yang lebih berat, dapat terjadi pengarangan dan karbonisasi
(hitam).
Gejala-gejala klinis lain selain diatas, yaitu adanya tanda-tanda distress
pernapasan seperti suara serak, ngiler, tanda-tanda cedera inhalasi seperti
pernapasan cepat dan sulit, krakles, stridor, serta batuk pendek.
G. Pengaruh Listrik Terhadap Tubuh
Berdasarkan aspek resistensi dan konduksi ini, dibedakan menjadi dua
jenis arus, yaitu arus langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) yang
membedakan dua jenis luka bakar listrik
1. Arus Langsung (Direk)
Terjadi saat seseorang menyentuh sebuah konduktor yang terhubung
dengan arus listrik. Dampak jaringan listrik diuraikan berikut ini :
a) Kulit
21
Kulit adalah jaringan yang merupakan resistor (namun tidak sebaik
tulang), bukan konduktor yang baik (tidak sebaik saraf, pembuluh
darah, dan otot). Oleh karena itu, sebagian besar energi listrik diserap
oleh kulit terutama di daerah yang memiliki lapisan keratin tebal
(telapak tangan, telapak kaki) dan diubah menjadi energi panas
menimbulkan luka bakar (efek termal).
Dalam keadaan basah, kulit menjadi konduktor yang baik,
sehingga tidak ada energi yang diserap, namun langsung diteruskan ke
jaringan dibawahnya. Kondisi ini menyebabkan electric shock
(lectrocotion) pada jaringan yang letaknya lebih dalam disertai
gangguan jantung (aritmia ventricular, cardiac arrest) tanpa luka bakar
sama sekali di permukaan (misal pada bathtub injury).
b) Saraf
Saraf merupakan jaringan tubuh yang didesain untuk
menghantarkan aliran listrik. Jaringan saraf dapat mengalami
kerusakan pada sistem konduktivitasnya karena mengalami nekrosis
koagulasi.
c) Sistem otot dan pembuluh darah
Sistem otot dan pembuluh darah mengandung air dan kadar
elektrolit dengan konsentarsi tinggi sehingga berperan baik sebagai
konduktor.Otot menghantarkan arus listrik jauh lebih banyak,
sekaligus memanaskan jaringan sekitarnya. Kerusakan otot periosteal
dapat terjadi meski otot yang terletak superficial terlihat normal.
Pembuluh darah mengalami kerusakan paling berat, disebabkan
difusi panas melalui tunika intima. Kerusakan pada pembuluh darah
berupa erosi endotel (diikuti gangguan integritas endotel), adhesi
leukosit-trombosit dan terbentuknya trombus-trombus, trombosis
menyebabkan terganggunya aliran sirkulasi.
d) Tulang, lemak, dan tendon
22
Tulang, lemak dan tendon merupakan resistor yang baik sehingga
tidak menghantarkan listrik namun lebih menimbulkan panas dan
mengalami koagulasi.
2. Arus Tidak Langsung (indirek)
a) Arc (percikan listrik)
b) Flash
c) Step voltage
Sebab kematian karena arus listrik yaitu :
a) Fibrilasi ventrikel
Bergantung pada ukuran badan dan jantung. Dalziel (1961)
memperkirakan pada manusia, arus yang mengalir sedikitnya 70 mA
dalam waktu 5 detik dari lengan ke tungkai akan menyebabkan
fibrilasi. Hal yang paling berbahaya adalah jika arus listrik masuk ke
tubuh melalui tangan kiri dan keluar melalui kaki yang
berlawanan/kanan. Jika arus listrik masuk ke tubuh melalui tangan
yang satu dan keluar melalui tangan yang lain maka 60% yang
meninggal dunia.
b) Paralisis respiratorik
Paralisis respiratorik timbul akibat spasme dari otot-otot pernafasan
sehingga korban dapat meninggal karena asfiksia. Jantung mungkin
masih berdenyut sampai timbul kematian. Hal ini terjadi bila arus
listrik yang memasuki tubuh korban di atas nilai ambang yang
membahayakan, tetapi masih di batas bawah yang dapat menimbulkan
fibrilasi ventrikel. Menurut Koeppen, spasme otot-otot pernafasan
terjadi pada arus 25-80 mA, sedangkan ventrikel fibrilasi terjadi pada
arus 70-100 mA.
c) Paralisis pusat nafas
Jika arus listrik masuk melalui pusat di batang otak, dapat
menyebabkan trauma pada pusat-pusat vital di otak sehingga dapat
terjadi koagulasi dan mengakibatkan efek hipertermia. Bila aliran
23
listrik diputus, paralisis pusat pernafasan tetap terjadi, tetapi jantung
masih berdenyut, oleh karena itu dengan bantuan pernafasan buatan
korban masih dapat ditolong. Hal tersebut bisa terjadi jika arus listrik
melalui jalur kepala.
d) Luka bakar
Paparan arus yang dihasilkan oleh sumber tegangan rendah (termasuk
sumber listrik rumah tangga) dapat menyebabkan luka bakar di
jaringan kutaneus yang disebabkan transformasi energi listrik menjadi
energi termal. Luka bakar dapat berupa eritema lokal hingga luka
bakar derajat berat. Tingkat keparahan luka bakar tergantung pada
intensitas arus, permukaan daerah, dan durasi paparan.
H. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan pada pasien luka bakar adalah
anamnesis singkat dikarenakan luka bakar merupakan bagian dari kegawat
daruratan biasanya anamnesis dilakuakan secara auto dan alloanamnesis.
Anamnesis yang sering ditanyakan adalah, berat badan pasien, umur,
sudah berapa lama setelah terapar ledakan, terkena ledakan apa, seberapa
besar ledakan, penanganan apa yang sudah dilakukan dan lain lain seperti
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu
riwayat penyakit keluarga, riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, dan
kejiwaan, gaya hidup menyusul.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Primary survey
A (Airway) – Jalan nafas
Edema mukosa dapat terjadi pada pasien luka bakar atau trauma
inhalasi, obstruksi pada saluran napas atas (pharynx/larynx) dapat
berkembang dengan cepat terutama pada anak. Trauma inhalasi harus
dicurigai pada siapa pun dengan luka bakar dan diasumsikan sampai
terbukti sebaliknya, pada siapa pun yang terbakar dalam ruang 24
tertutup. Inspeksi dari mulut dan pharynx harus dilakukan lebih awal,
dan intubasi endotracheal dilakukan jika perlu. Suara serak dan bunyi
wheezing pada ekspirasi adalah tanda-tanda edema saluran napas yang
serius atau trauma inhalasi. Produksi lendir berlebihan dan dahak
karbon yaitu dahak bercampur flek hitam juga tanda-tanda positif
trauma inhalasi. Tingkat karboksihemoglobin harus didapatkan dan
peningkatan tingkat gejala atau keracunan karbon monoksida (CO)
adalah berdasarkan kemungkinan trauma inhalasi. Penurunan rasio
dari tekanan oksigen arteri (PaO2) dan persentase oksigen terinspirasi
(FiO2), adalah salah satu indikator yang paling awal pasien telah
menghirup asap. Bila pasien positif trauma inhalasi sebaiknya pasien
dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas pusat luka bakar
(burn centre) dengan dilakukan intubasi terlebih dahulu untuk
memastikan jalan nafas tetap terbuka.
B (Breathing) – Kemampuan bernafas
Jika jalan napas baik dan pasien dapat bernapas, pemberian oksigen
dengan sungkup atau nasal kanul mungkin dapat mencukupi. Tetapi
jika pasien tidak dapat bernapas akibat obstruksi jalan napas atas atau
akibat penurunan kesadaran, dapat diberikan intubasi endotrakeal.
Trakeostomi emergensi harus dihindari kecuali jika hal itu benar-benar
dibutuhkan. Jika curiga terdapat trauma pada vertebra servikalis,
manipulasi jalan napas harus dilakukan dengan tetap meimobilisasi
leher dan kepala pada axis tubuh sampai vertebra servikal terevaluasi
sepenuhnya.
C (Circulation)
Sirkulasi perifer yang adekuat harus ditemukan dengan cepat setelah
terjadinya luka bakar dengan meraba pulsasi di perifer.Semua pakaian
pasien harus dilepaskan. Cincin, jam dan perhiasan harus dilepaskan
pada anggota tubuh yang mengalami cedera, konstriksi pada bagian
yang bengkak akibat jeratan perhiasan dapat mengakibatkan iskemia di
bagian distal. Pada luka bakar, permeabilitas pembuluh darah
25
meningkat, sehingga terjadi perpindahan cairan dari pembuluh darah
ke jaringan intersitial, akibatnya dapat menimbulkan syok
hipovolemik. Semakin luas area luka bakar, semakin berat syok
hipovolemik yang terjadi.Resusitasi cairan harus diberikan secepatnya.
D (Disability/Drugs)
Apakah ada gangguan ekstremitas atau gerakan lain, dan apakah ada
penggunaan obat-obatan.
E (Exposure)
Bagaimana tampak keseluruhan dari unjung rambut sampai ujung kaki.
b) Secondary survey
Kepala : apakah ada deformitas
Wajah : adakah luka bakar di wajah bagian depan dan kiri dan
kanan
Rambut : adakah terbakar
Mata : apakah ada bagian mata yang mengalami gangguan atau
cacat
THT : apakah ada jelaga dan ada kelainan pendengaran atau
mengeluarkan darah
Paru : simetris, fremitus, vesikuler , rhonki, wheezing
Jantung : BJ I-II, murmur, gallop
Abdomen : apakah distended, lemas, bagaimana bunyi usus
Ekstremitas : akral hangat atau dingin , apakah ada edema.
c) Status Lokalis
Status lokalis akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan derajat luka
bakar.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Hitung darah lengkap : peningkatan Hct awal menunjukkan
hemokonsentrasi sehubungan dengan perpindahan/kehilangan cairan.
b) Elektrolit serum : kalium meningkat karena cedera jaringan /kerusakan
SDM dan penurunan fungsi ginjal. Natrium awalnya menurun pada
kehilangan air.
26
c) Alkalin fosfat : peningkatan sehubungan dengan perpindahan cairan
interstitiil/ganguan pompa natrium.
d) Urine : adanya albumin, Hb, dan mioglobulin menunjukkan kerusakan
jaringan dalam dan kehilangan protein.
e) Foto rontgen dada : untuk memastikan cedera inhalasi
f) Scan paru : untuk menentukan luasnya cedera inhalasi
g) EKG untuk mengetahui adanya iskemik miokard/disritmia pada luka
bakar listrik.
h) BUN dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.
i) Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi.
j) Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.
k) Albumin serum dapat menurun karena kehilangan protein pada edema
cairan.
l) Fotografi luka bakar : memberikan catatan untuk penyembuhan luka
bakar selanjutnya.
4. Diagnosis
Diagnosis dari luka bakar dapat diambil dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Selain itu diagnosis pembagian derajat juga
diperlukan agar penanganannya tepat dan cepat. Kedalaman kerusakan
jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas sumber,
penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita.
I. Penatalaksanaan
1. Prehospital
Hal pertama yang harus dilakukan jika menemuikan pasien luka
bakar di tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran.
Maksudnya adalah membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan
memperhatikan keselamatan diri sendiri. Kemudian lepaskan semua bahan
yang dapat menahan panas (pakaian, perhiasan, logam), hal ini untuk
mencegah luka yang semakin dalam karena tubuh masih terpajan dengan
sumber. Bahan yang meleleh dan menempel pada kulit tidak boleh
27
dilepaskan. Air suhu kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu 15
menit sejak kejadian, namun air dingin tidak boleh diberikan untuk
mencegah terjadinya hipotermia dan vasokonstriksi.
2. Resusitasi jalan napas
Resusitasi jalan napas bertujuan untuk mengupayakan suplai
oksigen yang adekuat. Pada luka bakar dengan kecurigaan cedera inhalasi,
tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan
manifestasi obstruksi. Sebelum dilakukan intubasi, oksigen 100%
diberikan menggunakan face mask. Intubasi bertujuan untuk
mempertahankan patensi jalan napas, fasilitas pemeliharaan jalan napas
(penghisapan sekret) dan bronchoalveolar lavage. Krikotiroidotomi masih
menjadi diperdebatkan karena dianggap terlalu agresif dan morbiditasnya
lebih besar dibandingkan intubasi. Krikotiroidotomi dilakukan pada kasus
yang diperkirakan akan lama menggunakan endotracheal tube (ETT) yaitu
lebih dari 2 minggu pada luka bakar luas yang disertai cedera inhalasi.
Kemudian dilakukan pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui pipa
endotrakeal. Terapi inhalasi mengupayakan suasana udara yang lebih baik
di saluran napas dengan cara uap air menurunkan suhu yang menigkat
pada proses inflamasi dan mencairkan sekret yang kental sehingga lebih
mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi dengan Ringer Laktat hasilnya lebih
baik dibandingkan NaCl 0,9%. Dapat juga diberikan bronkodilator bila
terjadi bronkokonstriksi seperti pada cedera inhalasi yang disebabkan oleh
bahan kimiawi dan listrik. Pada cedera inhalasi perlu dilakukan
pemantauan gejala dan tanda distres pernapasan. Gejala dan tanda berupa
sesak, gelisah, takipnea, pernapasan dangkal, bekerjanya otot-otot bantu
pernapasan, dan stridor. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan
adalah analisa gas darah serial dan foto toraks.
3. Resusitasi cairan
Syok pada luka bakar umum terjadi dan merupakan faktor utama
berkembangnya SIRS dan MODS. Tujuan resusitasi cairan pada syok luka
bakar adalah:
28
Preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh
vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak
diperlukan
Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk
menjamin survival seluruh sel
Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.
a) Dasar pemilihan jenis cairan
Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid (isotonik),
cairan hipertonik dan koloid. Beberapa faktor yang harus diperhatikan
dalam pemilihan cairan adalah efek hemodinamik, distribusi cairan
dihubungkan dengan permeabilitas kapiler, oxygen carrier, pH
buffering, efek hemostasis, modulasi respon inflamasi, faktor
keamanan, eliminasi, praktis dan efisiensi. Jenis cairan terbaik untuk
resusitasi dalam berbagai kondisi klinis masih menjadi perdebatan
terus diteliti. Sebagian orang berpendapat kristaloid adalah cairan yang
paling aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi klinis
tertentu. Sebagian berpendapat koloid bermanfaat untuk entitas klinik
lain. Hal ini dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan
yang memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga sulit untuk
mengambil keputusan untuk diterapkan secara umum sebagai protokol.
Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan di kompartemen
interstisial secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam pertama
resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.
b) Penentuan jumlah cairan
Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan
tiga sampai empat kali jumlah defisit intravaskuler. 1L cairan
kristaloid akan meningkatkan volume intravaskuler 300ml. Kristaloid
hanya sedikit meningkatkan cardiac output dan memperbaiki transpor
oksigen.
29
c) Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama
Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau Ringer asetat,
menggunakan beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok
atau kasus luka bakar >25-30% atau dijumpai keterlambatan >2jam.
Dalam <4 jam pertama diberikan cairan kristaloid sebanyak
3[25%(70%x BBkg)] ml. 70% adalah volume total cairan tubuh,
sedangkan 25% dari jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang
dapat menimbulkan gejala klinik sindrom syok.
Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas
<25-30%, tanpa atau dijumpai keterlambatan <2jam. Kebutuhan
dihitung berdasarkan rumus Baxter: 3-4 ml/kgBB/ % luas LB.3
Metode Parkland merupakan metode resusitasi yang paling umum
digunakan pada kasus luka bakar, menggunakan cairan kristaloid.
Metode ini mengacu pada waktu iskemik sel tubulus ginjal < 8 jam
sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus luka bakar yang tidak
terlalu luas dan tanpa keterlambatan. Pemberian cairan menurut
formula Parkland adalah sebagai berikut:
Pada 24 jam pertama : separuh jumlah cairan diberikan dalam 8
jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada
bayi, anak, dan orang tua, kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila
dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4ml ditambah 1%
dari kebutuhan. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan cairan
ditambah 1% dari kebutuhan.
Penggunaan zat vasoaktif (Dopamin atau Dobutamin) dengan dosis
3 mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa
5%, jumlah teteasan dibagi rata dalam 24 jam.
Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena
sentral (minimal 6-12cmH2O) dan sirkulasi perifer (sirkulasi
renal). Jumlah produksi urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5-
1ml/kgBB/jam) dan hari1-2 (1-2 ml/kgBB/jam). Jika produksi urin
<0,5ml/kgBB/jam maka jumlah cairan ditingkatkan 50% dari jam
30
sebelumnya. Jika produksi urin >1ml/kgBB/jam maka jumlah
cairan dikurangi 25% dari jam sebelumnya.
Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat
jenis dan sedimen)
Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan
kuantitas cairan lembung melalui pipa nasogastrik. Jika <200ml
tidak ada gangguan pasase lambung, 200-400ml ada gangguan
ringan, >400ml gangguan berat.
d) Penatalaksanaan 24 jam kedua
Pemberian cairan yang mengandung glukosa dan dibagi rata dalam
24 jam. Jenis cairan yang dapat diberikan adalah Glukosa 5% atau
10% 1500-2000ml. Batasi Ringer laktat karena dapat memperberat
edema interstisial.
Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan
jumlah produksi urin (1-2ml.kgBB/jam). Jika jumlah cairan sudah
mencukupi namun produksi urin <1-2ml/kgBB/jam, berikan
vasoaktif sampai 5mg/kgBB.
Pemantauan analisa gas darah, elektrolit.
e) Penatalaksanaan setelah 48 jam
Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance
Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin
(3-4ml/kgBB/jam), hemoglobin dan hematokrit
4. Perawatan luka
Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas,
mekanisme bernapas dan resusitasi cairan dilakuakan. Tindakan meliputi
debridement, nekrotomi dan pencucian luka. Tujuan perawatan luka
adalah mencegah degradasi luka dan mengupayakan proses epitelisasi.
Untuk bullae ukuran kecil tindakannya konservatif sedangkan untuk
ukuran besar (>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapis epidermis di
atasnya. Untuk eskar yang melingkar dan mengganggu aliran atau perfusi
dilakukan eskarotomi. Pencucian luka dilakukan dengan memandikan
31
pasien dengan air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut
dengan kasa lembab steril dengan atau tanpa krim pelembab. Perawatan
luka tertutup dengan oclusive dressing untuk mencegah penguapan
berlebihan. Penggunaan tulle berfungsi sebagai penutup luka yang
memfasilitasi drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik
diperlukan untuk mengatasi infeksi pada luka.
5. Penggunaan antibiotik
Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar bertujuan sebagai
profilaksis infeksi dan mengatasi infeksi yang sudah terjadi. Penggunaan
antibiotik sebagai profilaksis masih merupakan suatu kontroversi.4Dalam
3-5 hari pertama populasi kuman yang sering dijumpai adalah bakteri
Gram positif non-patogen. Sedangkan hari 5-10 adalah bakteri Gram
negatif patogen. Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka masih dalam
keadaan steril sehingga tidak diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik
topikal yang dapat digunakan adalah silver sulfadiazin, povidone-iodine
10%, gentamicin sulfate, mupirocin, dan bacitracin/polymixin.
Tabel 3. Agen penyebab infeksi pada luka bakar.
6. Tatalaksana Nutrisi
Pemberian nutrisi enteral dini melalui pipa nasogastrik dalam 24
jam pertama pascacedera bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi
32
mukosa usus. Pemberian nutrisi enteral dilakukan dengan aman bila
Gastric residual volume (GRV) <150ml/jam, yang menandakan pasase
saluran cerna baik.
Penentuan kebutuhan energi basal (Harris-Benedict):
Tabel 4. Penghitungan kalori dengan rumus Harris Benedict
Laki-laki : 66,5 + 13,7 BB + 5TB – 6,8 U
Perempuan : 65,5 + 9,6 BB + 1,8 TB – 4,7 U
Kebutuhan energi total = KEB x AF x FS
Keterangan:
AF: aktivitas fisik (peningkatan persentase terhadap keluaran
energi, tirah baring/duduk 20%, aktivitas ringan 30%, sedang
40-50%, berat 75%)
FS: faktor stress besarnya sesuai dengan luas luka bakar
Penentuan kebutuhan nutrien:
Protein : 1,5-2,15 g/kgBB/hari
Lemak : 6-8 g/kgBB/hari
Karbohidrat: 7-8 g/kgBB/hari.
Namun ada metode penghitungan kebutuhan kalori yang lebih
mudah dengan menggunakan quick methode yaitu 25-30 kkal /kgBB/ hari.
Metode ini lebih mudah dan praktis serta menghindari jumlah kalori yang
berlebihan jika menggunakan rumus Harris-Benedict.
7. Eksisi dan grafting
Luka bakar derajat dua dalam dan tiga tidak dapat mengalami
penyembuhan spontan tanpa autografting. Jika dibiarkan, jaringan yang
sudah mati ini akan menjadi fokus inflamasi dan infeksi. Eksisi dini dan
grafting saat ini dilakukan oleh sebagian besar ahli bedah karena memiliki
lebih banyak keuntungan dibandingkan debridement serial. Setelah
dilakukan eksisi, luka harus ditutup, idealnya luka ditutup dengan kulit
pasien sendiri. Pada luka bakar seluas 20-30%, biasanya dapat dilakukan 33
dalam satu kali operasi dengan penutupan oleh autograft split-thickness
yang diambil dari bagian tubuh pasien. Sebagian besar ahili bedah
melakukan eksisi pada minggu pertama, biasanya dalam satu kali operasi
dapat dilakukan eksisi seluas 20%. Eksisi tidak boleh melebihi
kemampuan untuk menutup luka baik dengan autograft, biologic dressing
atau allograft.
J. Proses Penyembuhan Luka Bakar
Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi
dua yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang
terjadi dalam jangka waktu 2–3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah
segala jenis luka yang tidak tanda- -tanda untuk sembuh dalam jangka
lebih dari 4-6 minggu.
Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera
jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada
tipa cedera jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan
ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar,
atau luka akibat tindakan bedah.
a) Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses
utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di
daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan
jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng)
juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu hemostasis dan
mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial
sel berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu sebagai barier antara
tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme.
Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan
nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan.
34
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama
sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial.
Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih
kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme
dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga
mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan
ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama
mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting
bagi proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama
sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial.
Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih
kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme
dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga
mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan
ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama
mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting
bagi proses penyembuhan.
b) Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke – 21.
Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi,
pembuluh darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid. Fibroblas
(menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24
jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan
substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi
luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan
permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah
kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka.
Kapilarisasi dan epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran
darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi
penyembuhan.
35
c) Fase maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus
mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam
struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas
dan meninggalka garis putih. Dalam fase ini terdapat remodeling luka
yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan
kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen
yang baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan
jaringan. Terbentuk jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan
sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada
aktivitas selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.
J. Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat
perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi
dan grafting. Komplikasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS,
sepsis dan MODS. Selain itu komplikasi pada gastrointestinal juga dapat
terjadi, yaitu atrofi mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa , motilitas usus
menurun dan ileus. Pada ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena
perfusi ke renal yang menurun. Skin graft loss merupakan komplikasi yang
sering terjadi, hal ini disebabkan oleh hematoma, infeksi dan robeknya graft.
Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat terjadi jaringan parut berupa jaringan
parut hipertrofik, keloid dan kontraktur.
K. Prognosis
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas
permukaan badan yang terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti
infeksi, dan kecepatan pengobatan medikamentosa. Luka bakar minor
dapat sembuh 5-10 hari tanpa adanya jaringan parut. Luka bakar moderat
dapat sembuh dalam 10-14 hari dan mungkin menimbulkan luka parut.
Luka bakar mayor membutuhkan lebih dari 14 hari untuk sembuh dan
akan membentuk jaringan parut. Jaringan parut akan membatasi gerakan
36
dan fungsi. Dalam beberapa kasus, pembedahan diperlukan untuk
membuang jaringan parut.
DAFTAR PUSTAKA
37
Abbas A.D.,1 Dabkana T.M.,(2009) High Tension Electrical Burns : Report Of Two Cases. Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXII - n. 3 - September 2009
Arosarena Oneida A, MD, et al. Electrical Burn Injuries and Violence Against Women. Arch Facial Plast Surgery. 2009; 11 (l): 48-25.
Balqis U. , dkk . (2014). Healing Process Of Burns Using Ambarella Leaf (Spondias dulcis F.) and Vaselin in Rats (Rattus norvegicus). Jurnal Medika Veterinaria . Vol. 8 No. 1P:9-14
Belba G., Isaraj S., Kola N., Xhepa G., Belba M., Aleksi A..A (2007) Case Report Electrical Burn .Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XX - n. 1 - March 2007
Bhavsar P. & Kirtikumar Jagdish Rathod .(2013). Utility of Serum Creatinine, Creatine Kinase and Urinary Myoglobin in Detecting Acute Renal Failure due to Rhabdomyolysis in Trauma and Electrical Burns Patients. Indian J Surg (January–February 2013) 75(1):17–21
Buja Z., Arifi H., Hoxha E.(2010) Electrical Burn Injuries An Eight-Year Review .Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXIII - n. 1 - March 2010
Chipp E, et al. (2012). Management of Iatrogenic Full Thickness Electrical Burn in a Preterm Neonate Using W-Plasty Technique Combined with a Median Sternotomy Incision. Ann R Coll Surgery Engl; 94:e232-e234.
Dewi, D.*), Sanarto2), Taqiyah B. The Influence Of Treatment Frequencies Using Nectar Flora Honey Towards Second Degree’s Burn On Wound Healing Duration. MALANG : UNIBRAW P: 1-14
Do Kim H., So-Min Hwang.(2012). Toe Tissue Transfer for Reconstruction of Damaged Digits due to Electrical Burns. Arch Plast Surg 2012;39:138-142.
Fadeyibi I.O.,1 Izegbu M.C.,2 Benebo A.S.(2007),Unusual Electric Burn Caused By Communication Disc Contact With A High Voltage Electric Transmission Cable : A Potential Occupational Hazard. Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XX - n. 3 - September 2007
38
Fraioli Rebecca E, MD,et al. Primary Survey of Electrical Burn Injuries. Otolanryngol Clin N Am. 2008; 41:51-76.
Gajbhiye A, et al. (2013). The Management of Electrical Burn. Indian J Surgery
75 (4): 278-283 DOI 10. July- Agustus 2013.
Haddad S.Y.(2008). Electrical Burn – A Four Year Study . Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXI - n. 2 - June 2008.
Harvey M,, Vijay Thumma. (2007). Pneumothorax due to electrical burn injury. Emerg Med J 2007;24:371–373
Horch R. E 1, G Bjoern Stark2 and Justus P Beier. (2005) Unusual explosive growth of a squamous cell carcinoma of the scalpafter electrical burn injury and subsequent coverage by sequential free flap vascular connection – a case report. BMC Cancer 2005, 5:150 doi:10.1186/1471-2407-5-150
Marques E, et al. (2014). Visceral Injury in Electrical Shock Trauma: Proposed Guidline for the Management of Abdominal Electrocution and Literature Review. Int Journal Burn Trauma 4(1):1-6
Olaitan P. Fadiora S.O., Agodirin O.S.. (2007) Burn Injuries in a Young Nigerian Teaching Hospital . Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XX - n. 2 - June 2007
Oludiran, O & Kadiri, I. (2011). Electrical Burn Injury in Midwestern Nigeria.
Ramakrishnan M. , Babu M. (2013). High Voltage Electrical Burn Injuries in Teenage Children : Case Studies With Similarities ( An Indian Perspective). Annals of Burns and Fire Disasters - vol. XXVI - n. 3 - September 2013
Surybhanji A.Mona M. Meshram (2013) The Management of Electrical Burn. Indian J Surg (July–August 2013) 75(4):278–283
Talbot, S. & Joseph Upton & Daniel N. Driscoll. (2011) Changing trends in pediatric upper extremity electrical burns. HAND (2011) 6:394–398
39
Teodoreanu R, et al. (2014). Electrical Injuries. Biological Values Measurements as a Prediction Factor of Local Evolution in Electrocutions Lesions. November, 2014.
Waitzman A, et al. (2014). How to Manage Burns in Primary Care. Canadian Family Physicians. Vol. 39. November 2014.
Wells D, et al. (2012). The Treatment of Electric Burns by Immediate Resection and Skin Graft. Read Before the Connecticut State Medical Society. 22 Mei 2012.
Werning John W, MD, et al. The Impact of Electrical Burni Injury. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;130:353-356.
Wills, M & Henville, M. (2012). Electrical Contact Injuries. Canadian Family Physicians vol. 28. September 2012.
40
top related