pengertian nilai dalam laporan akuntan dan penilai dalam sengketa perpajakan
Post on 15-Apr-2017
336 Views
Preview:
TRANSCRIPT
www.futurumcorfinan.com
Page 1
Catatan Kecil atas Arti “Nilai” dalam Laporan Akuntan dan Penilai
dalam Sengketa Perpajakan antara Wajib Pajak dan Otoritas
Perpajakan terkait Transaksi Pengalihan Harta antara Pihak-Pihak
Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
Pendahuluan
Hubungan istimewa dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat UU No. 36/2008), pada umumnya dianggap ada,
apabila terdapat salah satu unsur di bawah ini:
(a) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak
atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
(b) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
Sukarnen
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
www.futurumcorfinan.com
Page 2
(c) Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Walaupun tidak menggunakan kalimat yang persis sama, namun dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (selanjutnya disingkat PP No. 94/2010),
Pasal 8 ayat (1) terkait Pasal 4 ayat (3) huruf a dalam UU No. 36/2008 mengenai dikecualikan
dari objek pajak adalah harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan, disebutkan bahwa:
Hubungan di antara pihak -pihak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan:
a) usaha;
b) pekerjaan; atau
c) kepemilikan atau penguasaan.
Terkait Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b UU No. 36/2008 ada disebutkan secara spesifik dalam
Pasal 8 angka (4) huruf a dan b PP No. 94/2010, yaitu:
Hubungan di antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau
penguasaan antara Wajib Pajak pemberi dengan Wajib Pajak penerima sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi apabila terdapat:
a) penyertaan modal secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau
b) hubungan penguasaan secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Di sini muncul kata-kata “penguasaan, penyertaan modal (identik dengan kepemilikan)”.
Namun arti “penguasaan” tidak diberikan arti yang jelas, kecuali dalam Penjelasan Pasal 18
ayat (4) UU No. 36/2008, dimana dikatakan:
www.futurumcorfinan.com
Page 3
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan
satu dengan yang lain yang disebabkan:
a) kepemilikan atau penyertaan modal; atau
b) adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selanjutnya, selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang
pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Di sini, bisa kita lihat dan dapat kita perluas, bahwa ada salah satu atau beberapa unsur-unsur ,
dimana diindikasikan adanya ketergantungan atau keterikatan (link) satu sama lain.
1) kepemilikan (umumnya lewat penyertaan modal);
2) penguasaan (umumnya melalui manajemen atau penggunaan teknologi); hubungan
penguasaan manajemen bisa secara langsung dan tidak langsung sebagaimana
diuraikan dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (4) huruf b PP No. 94/2010;
Hadirnya “hubungan usaha” tidak otomatis ada menciptakan hubungan istimewa, misalnya
antara supplier/vendor dengan pelanggan.
Adanya hubungan istimewa tentunya tidak bermakna apa-apa hingga terjadinya transaksi.
Dalam praktek bisnis, tentunya biasanya akan didapatkan transaksi antar pihak-pihak yang
dianggap memiliki hubungan istimewa sebagaimana dijabarkan di atas.
Mengacu ke Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 tentang
Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, jenis
transaksi (disebut sebagai transaksi “afiliasi”) yang dimaksud antara lain:
1) transaksi penjualan, pembelian, pengalihan, serta pemanfaatan harta berwujud;
2) transaksi pemberian jasa intra-grup (intra-grup service);
3) transaksi pengalihan (ini bisa mencakup juga dalam konteks hibah, bantuan dan
sumbangan) dan pemanfaatan harta tak berwujud;
4) transaksi pembayaran bunga; dan
5) transaksi penjualan atau pembelian saham.
Setiap transaksi pada umumnya akan melibatkan penentuan harga transaksi, yang umum
dikenal sebagai transfer pricing. Adanya transaksi afiliasi pada umumnya akan menarik
perhatian pihak otoritas perpajakan Indonesia (salah satunya dengan diterbitkannya Surat
Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2013 yang memberikan Petunjuk Teknis
www.futurumcorfinan.com
Page 4
Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa), dimana diperlukan
pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi afiliasi
tersebut.
Pasal 1 angka 6 dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Antara Wajib Pajak
dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa (dan telah direvisi Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011) tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa, memperkenalkan kepada pihak Wajib Pajak (WP) mengenai Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP), yang diartikan sebagai:
prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga
atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa yang menjadi pembanding.
Terkait penerapan ALP, transaksi afiliasi akan lebih dipertanyakan otoritas perpajakan
dibandingkan transaksi non-afiliasi. Masalahnya, dari sisi pihak WP, tidak ada satupun
pedoman atau petunjuk dari pihak otoritas perpajakan terkait hal-hal yang perlu diperhatikan
guna memastikan bahwa transaksi tidak dipertanyakan (atau lebih jauh, tidak dikoreksi).
Pihak WP guna memastikan kepatuhan kepada ketentuan perpajakan, kemudian menggunakan
jasa konsultan untuk mempersiapkan apa yang sekarang dikenal sebagai TP documentation
dan pihak konsultan untuk menghitung nilai wajar suatu rencana transaksi.
Di sini penulis tidak akan membahas isu pengujian penerapan ALP karena sudah banyak
literatur yang membahas ini, namun di sini, penulis ini mengangkat beberapa poin yang
diharapkan bisa memberikan pemikiran atau pertimbangan lebih jauh bagi pihak WP dan
otoritas perpajakan terkait penggunaan laporan penilaian.
Di sini juga menjadi dilema bagi pihak WP, suatu transaksi yang nilai wajarnya dihitung oleh
pihak konsultan eksternal, katakan menggunakan tenaga penilai, belum tentu menyelesaikan
permasalahan sengketa perpajakan yang terjadi antara pihak WP dan otoritas perpajakan.
www.futurumcorfinan.com
Page 5
Koreksi tetap berjalan, dan dari satu transaksi ke transaksi afiliasi lainnya, pihak WP selalu
dihadapkan pada permasalahan yang sama, pada saat berhadapan dengan pihak otoritas
perpajakan. Bahkan dalam beberapa kasus sengketa perpajakan, isi laporan pendukung
tersebut kemudian dipertanyakan, termasuk metodologi, sumber data untuk analisa
kesebandingan dan lain-lain.
Lalu, bagaimana mencapai titik temu?
Menurut penulis, ini tidak mudah.
Menurut hemat penulis, salah satu kontribusi terhadap munculnya sengketa pajak, adalah
masalah mengartikan isi laporan dari konsultan. Disinyalir bisa jadi pihak WP dan otoritas
perpajakan belum tentu benar-benar paham isi laporan konsultan.
Sebelum kita bicarakan nilai yang dicantumkan dalam laporan konsultan, ada beberapa poin
yang ingin penulis angkat terlebih dahulu:
Pertama, apakah cukup logis, katakan ada pihak calon penjual dan calon pembeli, yang mau
begitu saja menyerahkan penentuan harga transaksi diserahkan kepada pihak ketiga, apalagi
untuk transaksi dalam jumlah yang cukup signifkan? Artinya secara implisit, nilai yang dihitung
oleh pihak konsultan, adalah untuk awal negosiasi. Apakah nilai ini nantinya akan terealisasi
menjadi harga transaksi? Belum tentu juga, karena ada proses tarik-menarik. Justru unsur inilah
yang pada umumnya hadir dalam transaksi antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan isitimewa.
Kalau ada nilai yang dihitung oleh pihak konsultan, lalu ini menjadi harga transaksi, maka ini
justru menimbulkan pertanyaan, karena dalam kondisi non-afiliasi, proses negosiasi mesti
terjadi. Bagaimana bisa harga transaksi “cocok persis” dengan nilai yang dihitung oleh pihak
konsultan?
Tapi di sinilah juga yang menjadi dilemma tersendiri bagi pihak WP:
Kalau harga transaksi sama dengan nilai wajar perhitungan konsultan, justru mestinya
ini tidak sesuai dengan proses penerapan ALP. Dalam situasi arm’s length, proses
negosiasi selalu akan terjadi.
Kalau harga transaksi tidak sama dengan nilai wajar perhitungan , malah pihak WP
mengkuatirkan akan dipertanyakan oleh pihak otoritas perpajakan. Menurut hemat
penulis, kalau sama, justru mestinya dipertanyakan, yaitu dimana proses negosiasinya?
www.futurumcorfinan.com
Page 6
Kalau non-afiliasi, pastinya akan terjadi tarik ulur, hingga diperoleh harga yang “nyaman”
bagi kedua belah pihak yang akan bertransaksi, yaitu pihak penjual dan pihak pembeli.
Kedua, dalam proses mencapai harga transaksi, ada beberapa pertanyaan yang bisa
membantu:
Mengapa objek transaksi tidak ditawarkan kepada pihak lain atau eksternal, misalnya di
luar grup usaha? Dalam kondisi non-afiliasi, kemungkinan besar, suatu objek akan
ditawarkan ke beberapa pihak guna memperoleh gambaran harga yang akan terbentuk.
Contoh, katakan suatu PT A dalam suatu grup usaha: apakah PT A bersedia tawarkan
objek transaksi ke pihak luar? Jawabannya: belum tentu juga.
Apakah ada proses pemasangan iklan jual di surat kabar atau menggunakan agen,
sama seperti menjual properti? Jawabannya : ini tidak diwajibkan dilakukan, karena
tidak ada peraturan yang mewajibkan hal ini.
Banyak motivasi terkait mengapa tidak ditawarkan kepada pihak eksternal. Misalkan,
yang mudah, masalah rahasia dagang (trade secret) atau guna mempertahankan
keunggulan kompetitif, atau saham perusahaan afiliasi tetap berada dalam grup usaha
tersebut. Tentunya, suatu perusahaan yang akan menjual suatu objek, belum tentu mau
melakukan suatu transaksi dengan pihak luar yang sederhanya, baru ketemu di jalan.
Dalam transaksi afiliasi, terkait penguasaan, manajemen dan pengendalian, pasti dalam
kadar tertentu, unsur-unsur ini pada umumnya hadir. Terkait ini, lalu apakah pihak
afiliasi lainnya yang ditawarkan, bisa menolak? Belum tentu juga, karena transaksi
demikian, bisa terjadi karena adanya unsur “pengendalian, manajemen atau
penguasaan, atau bahkan masih dalam konteks kekeluargaan”.
Secara prinsip, artinya, tidak ada yang aneh sama sekali untuk melakukan transaksi dengan
pihak yang memiliki hubungan istimewa. Yang menjadi sengketa, menurut hemat penulis,
jangan memperdebatkan apakah transaksi tersebut masuk atau tidak masuk dalam ketentuan
transaksi afiliasi. Ini ujung-ujungnya bermuara pada “debat kusir” tak berujung. Masing-masing
pihak berpegang pada peraturan yang sama (yang dibuat oleh pihak Direktur Jenderal Pajak),
tapi anehnya, masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda.
Menurut hemat penulis, pada prinsipnya perlu disepakati terlebih dahulu bahwa semua
transaksi antar pihak hubungan istimewa dapat dimasukkan ke dalam transaksi afiliasi, karena
www.futurumcorfinan.com
Page 7
bagaimanapun unsur hubungan penguasaan, manajemen, kepemilikan, atau kekeluargaan,
dalam kadar tertentu dapat ditemukan.
Jauh lebih penting, pihak WP dapat memaparkan substansi komersial transaksi dengan pihak
afiliasi karena semua transaksi, baik afiliasi dan non-afiliasi, seyogyanya memiliki landasan
komersial (commercial substance). Hal ini juga dapat membantu para pihak bersengketa untuk
memahami mengapa transaksi tersebut dilakukan dengan pihak tertentu, dan bukan dengan
pihak lainnya, termasuk pihak eksternal.
Pertanyaan selanjutnya apakah yang dimaksud dengan transaksi yang memiliki substansi
komersial?
Interpretasi ini kembali tidak mudah.
Namun menurut hemat penulis, terlepas apakah mau dikemas dengan alasan strategis, namun
ujung-ujungya dalam banyak transaksi riil dan antar pihak non-afiliasi, ada hak tagih atas
potensi arus kas yang di”perjual-belikan atau dipertukarkan (exchanged)” walaupun hak tagih
atas arus kas ini bisa “tersimpan” dalam berbagai bentuk, apakah instrumen keuangan atau
non-keuangan.
Paragraf 25 dari PSAK 16 (revisi 2011) : Aset Tetap (adopsi dari IAS 16: Property, Plant and
Equipment), bisa membantu kita melihat hal ini dari sudut pandang akuntan, dimana dikatakan:
Entitas menentukan apakah suatu transaksi pertukaran memiliki substansi komersial atau tidak
dengan mempertimbangkan sejauh mana arus kas masa depan diharapkan dapat berubah
sebagai akibat dari transaksi tersebut. Suatu transaksi pertukaran memiliki substansi komersial
jika:
(a) Konfigurasi (contohnya risiko, waktu, dan jumlah) arus kas atas aset yang diterima
berbeda dari konfigurasi dari aset yang diserahkan; atau
(b) Nilai spesifik entitas dari bagian operasi entitas yang dipengaruhi oleh perubahan
transaksi sebagai akibat dari pertukaran; dan
(c) Selisih di (a) atau (b) adalah relatif signifikan terhadap nilai wajar dari aset yang
dipertukarkan.
Untuk tujuan menentukan apakah transaksi pertukaran memiliki substansi komersial, nilai
spesifik entitas dari bagian operasi entitas yang dipengaruhi oleh transaksi mencerminkan arus
kas setelah pajak. Hasil analisis ini dapat menjadi jelas tanpa entitas melakukan perhitungan
lebih rinci.
www.futurumcorfinan.com
Page 8
Namun hal di atas juga kembali tidak mudah, karena “arus kas” yang diperjual-belikan atau
dipertukarkan, yang merepresentasikan “arus kas yang diharapkan terjadi di masa depan”, tidak
bisa ditentukan juga dengan mudah, kecuali untuk bisnis-bisnis yang sudah sangat stabil,
dimana katakan, dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan bisnis tersebut umumnya menunjukkan
tingkat yang tidak terlalu variatif. Analisa proyeksi arus kas juga dapat diperdebatkan dengan
mudah. Pada titik tanggal transaksi atau sebelum tanggal transaksi, tentunya arus kas yang
akan terjadi di masa depan, tidak dapat diketahui dengan pasti, yaitu apakah akan terjadi atau
tidak. Ini analisa ex-ante (belum terjadi). Tentunya hampir sebagian besar transaksi dilakukan
dengan ex-ante. Namun pada saat pemeriksaan oleh otoritas perpajakan, yang dapat terjadi
beberapa tahun sesudah titik tanggal transaksi, sebagian dari estimasi arus kas sudah diketahui
dalam kenyataannya, dan ini disebut sebagai analisa ex-post (sudah terjadi). Analisa ex-ante
jelas berbeda cukup signifikan dibandingkan analisa ex-post1.
Karena ada harga transaksi, kembali selisih arus kas antara sebelum dan sesudah mestinya
positif, kalau tidak, tidaklah mungkin suatu pihak mau bertransaksi dengan pihak lain. Apalagi,
misalkan dalam transaksi akuisisi, pihak yang menjual, sudah mengantongi di depan, nilai tunai
dari arus kas yang akan terjadi (yang bisa juga tidak akan terjadi atau meleset dari proyeksi) di
masa depan.
Namun, secara prinsip, suatu perusahaan bersedia membayar suatu harga transaksi, karena
dari analisa perusahaan tersebut, nilai kini (present value) dari arus kas yang akan dihasilkan
oleh objek transaksi akan lebih tinggi dari harga yang dia bayar. Ya, sesederhana itu.
Namun, harga yang perusahaan tersebut akan bayar, bisa dalam rentang manapun juga. Pada
titik inilah, pihak perusahaan biasanya melibatkan pihak konsultan eksternal untuk membantu
menghitung nilai wajar dari objek transaksi tersebut.
Laporan Konsultan
Laporan konsultan eksternal dapat menggunakan istilah “value” (=nilai), yang belum tentu sama
dengan “price” (=harga).
Hasil laporan pihak konsultan eksternal, umumnya menggunakan kata-kata “fair value” (=nilai
wajar) atau “fair market value” (=nilai pasar wajar). Namun apakah “nilai” ini nantinya menjadi
1 Pihak otoritas perpajakan juga perlu menyadari kemungkinan adanya analisa ex-post, dimana
pemeriksaan pajak dilakukan beberapa tahun “sesudah” tanggal transaksi, artinya, di saat arus kas bisa diketahui sebagian. Namun tidak demikian, bagi pihak WP. Pada saat transaksi dilakukan, pihak WP bisa jadi tidak memiliki “keistimewaan” mengetahui arus kas yang akan terjadi di kemudian hari.
www.futurumcorfinan.com
Page 9
“harga transaksi”? Jawabannya: tidak selalu, dan kemungkinannya bisa antara 0% - 100%.
Artinya, nilai yang dihitung oleh pihak konsultan eksternal cuma terbatas pada penentuan
“value” (nilai) objek. Terlepas bagaimana nilai ini kemudian diartikan sebagai nilai wajar atau
tidak (“fair value”) juga menjadi rumit.
Permasalahan, kemungkinan, dan masih kemungkinan bahwa nilai transaksi tidak selalu sesuai
dengan nilai yang ditentukan oleh kekuatan pemain pasar, atau katakan istilah nilai pasar
(market value).
Tapi kalau itu objek privat, katakan berupa saham, atau suatu bisnis, tentunya tidak selalu
mudah untuk menentukan nilai pasarnya.
Di sini penulis mencoba melihat “nilai wajar” yang dimaksudkan pihak akuntan dan lalu pihak
penilai.
Sudut Pandang Akuntan
Menurut PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar (adopsi dari IFRS 13: Fair Value Measurement),
Lampiran A: Definisi Istilah, disebutkan:
Nilai wajar adalah harga yang akan diterima untuk menjual suatu aset atau harga yang akan
dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur antara pelaku pasar pada
tanggal pengukuran.
Kalau kita baca teks asli IFRS 13: Fair Value Measurement,
Fair value: the price that would be received to sell an asset or paid to transfer a liability in an
orderly transaction between market participants at the measurement date.
Sebagai catatan atas IFRS 13, International Accounting Standards Board (IASB) tetap
menggunakan istilah “fair value”, namun yang sesungguhnya IFRS 13 maksudkan adalah
“current exit price” (lihat bagian Basis for Conclusions paragraf BC44 dari IFRS 13). “Exit Price”
sendiri didefinisikan sebagai “the price that would be received to sell an asset or paid to transfer
a liability”.
Bagian Basis for Conclusions (Dasar Kesimpulan) dari IFRS 13 paragraf BC36 :
The definition of fair value in IFRS 13 is a current exit price…..Many respondent thought the
proposal to define fair value as a current, market-based exit price was appropriate because that
definition retains the notion of an exchange between unrelated, knowledgeable and willing
www.futurumcorfinan.com
Page 10
parties in the previous definition of fair value in IFRSs, but provides a clearer measurement
objective.
Definisi PSAK 68/IFRS 13 menjadi menarik karena dalam menentukan nilai wajar objek, yang
perlu dipertimbangkan HANYA KEPENTINGAN PIHAK PENJUAL, dan tidak perlu memasukkan
KEPENTINGAN PIHAK PEMBELI. Dalam suatu transaksi, selalu melibatkan dua belah pihak,
yaitu ada pihak penjual dan pihak pembeli, namun definisi “nilai wajar” PSAK 68/IFRS 13 hanya
perlu fokus pada sisi penjual dari transaksi tersebut. Pertimbangan sisi pembeli dari suatu
transaksi sama sekali dihiraukan atau dihilangkan, dan ini akan mencakup unsur-unsur
kemungkinan kenaikan atau penurunan nilai objek sesudah tanggal pengukuran, dan juga
diskon yang akan diminta oleh pihak pembeli atau bahkan rencana pihak pembeli di kemudian
hari yang dapat mempengaruhi nilai objek, sama sekali tidak diperhitungkan.
Bacaan atas bagian Basis for Conclusions (Dasar Kesimpulan) dari IFRS 13 akan membantu
kita memahami alur berpikir akuntan terkait penggunaan nilai wajar.
[Paragraf BC27]: IFRS 13 also provides a framework that is based on an objective to estimate
the price at which an orderly transaction to sell the asset or to transfer the liability would take
place between market participants at the measurement date under current market conditions
(ie an exit price from the perspective of a market participant that holds the asset or owes the
liability at the measurement date).
[Paragraf BC28]: That definition of fair value retains the exchange notion contained in the
previous definition of fair value in IFRSs: The amount for which an asset could be exchanged, or
a liability settled, between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction.
Dari bacaan di atas, tampak bahwa nilai wajar yang diartikan sebagai “harga keluaran”, dan
bukan “harga masukan (entry price) yang bisa merupakan jumlah pertukaran (exchange
amount)” berdasarkan kondisi pasar pada saat pengukuran dilakukan tetap dalam konteks
objek tersebut nantinya akan dilepas atau dipertukarkan dalam suatu transaksi bebas ikatan,
atau antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
[Paragraf BC31] …..It also conveys more clearly that fair value is a market-based
measurement, and not an entity-specific measurement, and that fair value reflects current
market conditions (which reflect market participants’, not the entity’s, current expectations about
future market conditions).
www.futurumcorfinan.com
Page 11
Di sini tampak bahwa nilai wajar jelas berbasis dari perspektif pihak pelaku pasar yang
memegang aset atau memiliki hutang, dan tidak berbasis pada perspektif entitas atau
perusahaan yang memegang aset atau memiliki liabilitas yang akan menjadi objek penilaian.
PSAK 68 : Pengukuran Nilai Wajar menggarisbawahi hal ini:
Nilai wajar adalah pengukuran berbasis pasar, bukan pengukuran spesifik atas suatu
entitas. Untuk beberapa aset dan liabilitas, transaksi pasar atau informasi pasar yang
dapat diobservasi dapat tersedia. Untuk aset dan liabilitas lain, hal tersebut mungkin
tidak tersedia. Akan tetapi, tujuan pengukuran nilai wajar dalam kedua kasus tersebut
adalah sama – untuk mengestimasi harga dimana suatu transaksi teratur (orderly
transaction) untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas akan terjadi antara pelaku
pasar (market participants) pada tanggal pengukuran dalam kondisi pasar saat ini (yaitu
harga keluaran (exit price) pada tanggal pengukuran dari perspektif pelaku pasar yang
memiliki aset atau liabilitas). [paragraf 2]
Ketika harga untuk aset atau liabilitas yang identik tidak dapat diobservasi, entitas
mengukur nilai wajar menggunakan teknik penilaian lain yang memaksimalkan
penggunaan inputyang dapat diobservasi (observable inputs) yang relevan dan
meminimalkan penggunaan inputyang tidak dapat diobservasi (unobservable inputs).
Karena nilai wajar merupakan pengukuran berbasis pasar, maka nilai wajar diukur
menggunakan asumsi yang akan digunakan pelaku pasar ketika menentukan
harga aset atau liabilitas, termasuk asumsi mengenai risiko. Sebagai hasilnya,
intensi entitas untuk memiliki suatu aset atau untuk menyelesaikan atau
memenuhi suatu liabilitas menjadi tidak relevan ketika mengukur nilai wajar.
[paragraf 3]
Pengukuran nilai wajar adalah untuk aset atau liabilitas tertentu. Oleh karena itu, ketika
mengukur nilai wajar, entitas memperhitungkan karakteristik aset atau liabilitas jika
pelaku pasar akan memperhitungkan karakteristik tersebut ketika menentukan
harga aset atau liabilitas pada tanggal pengukuran. Karakteristik tersebut termasuk,
sebagai contoh, hal sebagai berikut:
(a) kondisi dan lokasi aset; dan
(b) pembatasan, jika ada, atas penjualan atau penggunaan aset. [paragraf 11]
www.futurumcorfinan.com
Page 12
Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa aset atau liabilitas dipertukarkan dalam
suatu transaksi teratur antara pelaku pasar untuk menjual aset atau mengalihkan
liabilitas pada tanggal pengukuran berdasarkan kondisi pasar saat ini. [paragraf 15]
Bahkan ketika tidak terdapat pasar yang dapat diobservasi untuk menyediakan
informasi penentuan harga mengenai penjualan aset atau pengalihan liabilitas pada
tanggal pengukuran, pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa transaksi terjadi
pada tanggal tersebut, dipertimbangkan dari perspektif pelaku pasar yang memiliki
aset atau liabilitas. Transaksi yang diasumsikan tersebut menjadi dasar untuk
mengestimasi harga untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas. [paragraf 21]
Nilai wajar adalah harga yang akan diterima untuk menjual suatu aset atau harga yang
akan dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur di pasar utama
(atau pasar yang paling menguntungkan) pada tanggal pengukuran berdasarkan kondisi
pasar saat ini (yaitu harga keluaran) terlepas apakah harga tersebut dapat
diobservasi secara langsung atau diestimasi menggunakan teknik penilaian lain.
[paragraf 24]
Lebih lanjut :
[Paragraf BC39] : The IASB concluded that an exit price of an asset or a liability embodies
expectations about the future cash inflows and outflows associated with the asset or liability
from the perspective of a market participant that holds the asset or owes the liability at
the measurement date. An entity generates cash inflows from an asset by using the asset or
by selling it. Even if an entity intends to generate cash inflows from an asset by using it rather
than by selling it, an exit price embodies expectations of cash flows arising from the use of the
asset by selling it to a market participant that would use it in the same way. That is because a
market participant buyer will pay only for the benefits it expects to generate from the use
(or sale) of the asset. Thus, the IASB concluded that an exit price is always a relevant
definition of fair value for assets, regardless of whether an entity intends to use an asset or sell
it.
www.futurumcorfinan.com
Page 13
[Paragraf BC42]: That definition of current enty price, like fair value, assumes a
hypothetical orderly transaction between market participants at the measurement date. It
is not necessarily the same as the price an entity paid to acquire an asset or received to
incur a liability, eg if that transaction was not at arm’s length….
Paragraf BC42 di atas menegaskan bahwa exit price tidak selalu sama dengan entry price
(yaitu harga pembelian suatu aset atau harga yang diterima untuk menanggung suatu liabilitas).
Namun demikian, dalam situasi tertentu, exit price bisa sama dengan entry price, yaitu apabila
kedua harga tersebut terkait dengan aset atau liabilitas yang sama, pengukuran pada tanggal
yang sama dan dalam bentuk yang sama dan terjadi pada pasar yang sama, sebagaimana
disebutkan dalam paragraf BC44 di bawah ini.
[Paragraph BC44] : ….the IASB concluded that a current entry price and a current exit price will
be equal when they relate to the same asset or liability on the same date in the same form in the
same market. Therefore, the IASB considered it unnecessary to make a distinction between
current entry price and a current exit price in IFRSs with a market-based measurement objective
(ie fair value), and the IASB decided to retain the term fair value and define it as a current exit
price.
Karena PSAK 68/IFRS 13 menggunakan pengertian “current exit price” maka dengan
sendirinya, yang menjadi pertanyaan berikutnya, dimana transaksi itu dilakukan.
Paragraf 15 dan 16 PSAK 68/IFRS 13 memberikan penjelasan terkait transaksi tersebut, yaitu:
Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa aset atau liabilitas dipertukarkan dalam suatu
transaksi teratur antara pelaku pasar untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas pada
tanggal pengukuran berdasarkan kondisi pasar saat ini.
Pengukuran nilai wajar mengasumsikan bahwa transaksi untuk menjual aset atau mengalihkan
liabilitas terjadi:
(a) di pasar utama (principal market) untuk aset atau liabilitas tersebut; atau
(b) jika tidak terdapat pasar utama, di pasar yang paling menguntungkan (most advantegous
market) untuk aset atau liabilitas tersebut.
Paragraf BC53 IFRS 13 memaparkan lebih lanjut bahwa pasar yang dimaksud adalah pasar
dimana biasanya perusahaan atau entitas tersebut mengadakan transaksi, atau pasar dimana
terdapat volume atau tingkat aktivitas yang paling tinggi untuk aset atau liabilitas tersebut.
www.futurumcorfinan.com
Page 14
[Paragraf BC53] : In addition, the boards concluded that an entity normally enters into
transactions in the principal market for the asset or liability (ie the most liquid market, assuming
that the entity can access that market). As a result, the boards decided to specify that an entity
can use the price in the market in which it normally enters into transactions, unless there is
evidence that the principal market and that market are not the same. Consequently, an entity
does not need to perform an exhaustive search for markets that might have more activity for the
asset or liability than the market in which that entity normally enters into transactions. Thus,
IFRS 13 addresses practical concerns about the costs of searching for the market with the
greatest volume or level of activity for the asset or liability.
Jadi di sini, IFRS 13 atau PSAK 68 memperkenalkan dua pasar dimana transaksi tersebut
dapat dilakukan
Pasar utama (principal market) adalah pasar dengan volume dan tingkat aktivitas
terbesar untuk aset atau liabilitas.
Pasar yang paling menguntungkan (most advantegous market) adalah pasar yang
memaksimalkan jumlah yang akan diterima untuk menjual aset atau meminimalkan
jumlah yang akan dibayar untuk mengalihkan liabilitas, setelah memperhitungkan biaya
transaksi dan biaya transpor.
Karena penekanannya pada bagaimana pihak pelaku pasar mempersepsikan harga yang akan
diminta, maka transaksi tersebut dalam konteks penentuan nilai wajar tidak mesti transaksi
yang sesungguhnya, akan tetapi transaksi hipotetis, sebagaimana disebutkan dalam paragraf
BC30 Basis for Conclusions dari IFRS 13:
[Paragraf BC30] : Like the previous definition of fair value, the revised definition assumes a
hypothetical and orderly exchange transaction (ie it is not an actual sale or a forced
transaction or distress sale)…..
Jadi kalau kita telaah, “nilai wajar” yang dimaksudkan PSAK 68/IFRS 13, HANYA
mempertimbangkan sudut pandang pihak “penjual” (seller), makanya ditekankan bahwa ini
“[current] exit price”, yaitu harga yang diminta kalau pihak penjual akan bersedia melepas aset-
nya kepada pihak calon pembeli. Nilai wajar ini tetap berbasis pasar, artinya apa yang akan
dilakukan oleh pihak penjual/pembeli, tidak relevan, sehingga akan lebih mempertimbangkan
apa yang akan dilakukan oleh pihak “pemain/pelaku pasar”. Tapi ini juga tidak mudah…siapa
yang bisa tahu pikiran “pihak pemain/pelaku pasar”, terutama untuk aset yang tidak
diperdagangkan di publik, misalnya saham.
www.futurumcorfinan.com
Page 15
Sudut Pandang Penilai
Berbeda dengan pihak akuntan, pihak penilai menggunakan istilah “nilai pasar” (=market
value2), dan bukan “nilai wajar”, yang wajib mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak
dalam suatu transaksi, yaitu pihak penjual dan pihak pembeli, yang tentunya bukan merupakan
suatu hal yang relatif mudah untuk dilakukan.
Kita gunakan Standar Penilaian Indonesia (SPI) 20133.
SPI 101 : Nilai Pasar Sebagai Dasar Penilaian
[Paragraf 3.1] : Nilai pasar didefinisikan sebagai estimasi sejumlah uang yang dapat diperoleh
dari hasil penukaran suatu aset atau liabilitas pada tanggal penilaian, antara pembeli yang
berminat membeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas
ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara layak, di mana kedua pihak masing-masing
bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-hatian dan tanpa paksaan.
Setiap unsur dari definisi Nilai Pasar ini memiliki kerangka pengertian masing-masing:
[Paragraf 3.2.1] : “estimasi sejumlah uang…” merujuk pada harga yang dinyatakan dalam
satuan uang (biasanya dalam Rupiah), yang dapat dibayarkan secara tunai pada tanggal
penilaian atas suatu aset dalam transaksi pasar bebas ikatan. Nilai Pasar diukur sebagai harga
yang paling memungkinkan diperoleh secara wajar di pasar pada tanggal penilaian, dengan
memenuhi definisi Nilai Pasar. Ini merupakan harga terbaik yang dapat diperoleh oleh
penjual secara wajar dan harga yang paling menguntungkan yang dapat diperoleh oleh
pembeli secara wajar pula.
[Paragraf 3.2.1] : “…dapat diperoleh dari hasil penukaran suatu aset atau liabilitas…” merujuk
pada fakta bahwa nilai suatu aset atau liabilitas lebih merupakan estimasi jumlah uang
dari pada harga yang ditetapkan sebelumnya atau harga jual sebenarnya…..
2 Istilah “fair market value” digunakan oleh otoritas perpajakan di Amerika Serikat, dimana didefinisikan
dalam Internal Revenue Code and Ruling 59-60 sebagai: “the amount at which the property would change hands between a willing buyer and a willing seller when the former is notunder compulsion to buy and the latter is not under any compulsion to sell, both parties having reasonable knowledge of the relevant facts.” Di sini, pihak otoritas perpajakan di Amerika Serikat menganut prinsip bahwa “nilai” mesti mempertimbangkan sisi penjual dan sisi pembeli dari suatu transaksi. 3 SPI 2013 ditetapkan 1 Mei 2013 dan berlaku efektif 1 November 2013. SPI 2013 diterbitkan untuk
Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (disingkat MAPPI).
www.futurumcorfinan.com
Page 16
[Paragraf 3.2.3] : “…pada tanggal penilaian…” mensyaratkan bahwa estimasi Nilai Pasar
berlaku hanya pada tanggal dimana opini nilai diberikan saja. Karena pasar dan kondisi pasar
dapat berubah, maka estimasi nilai dapat saja tidak benar atau tidak tepat pada waktu yang
lain. Nilai Pasar hasil penilaian akan mencerminkan keadaan dan kondisi pasar actual pada
tanggal efektif penilaian dan bukan pada tanggal sebelumnya atau tanggal yang akan datang.
[Paragraf 6.2] : Konsep Nilai Pasar tidak harus tergantung pada transaksi sebenarnya yang
terjadi pada tanggal penilaian. Nilai Pasar lebih merupakan estimasi harga yang mungkin
terjadi dalam penjualan pada tanggal penilaian sesuai dengan persyaratan definisi Nilai
Pasar.
[Paragraf 6.6] : Konsep Nilai Pasar juga menganggap bahwa dalam transaksi Nilai Pasar
suatu aset atau properti akan ditawarkan secara bebas dan cukup lama di pasar dan
dengan publikasi yang cukup pula. Penawaran in dianggap dilaksanakan sebelum tanggal
penilaian. Pasar untuk real properti serta personal properti berwujud biasanya berbeda dengan
pasar untuk jenis properti lainnya seperti saham, obligasi atau aset lancar lainnya. Properti
tersebut biasanya lebih jarang terjual dan pasarnya pun cenderung kurang formal dan kurang
efisien dibandingkan, misalnya, dengan efek yang dicatatkan di bursa. Lebih lanjut, jenis
properti in biasanya kurang likuid. Karena alasan ini, dan karena real properti dan personal
properti berwujud tidak biasanya diperdagangkan di bursa, Nilai Pasar-nya harus
mempertimbangkan penawaran yang memadai dan cukup waktu sehingga pemasaran yang
layak dan penyelesaian negosiasi dapat terlaksana.
Jadi di sini, penentuan nilai pasar suatu objek penilaian, merupakan gabungan dari “exit price”
(harga keluaran) dan “entry price” (harga masukan), sisi penjual dan sisi pembeli dari suatu
transaksi turut dipertimbangkan. Dan nilai pasar ini hanya merupakan “estimasi” harga,
sehingga tidak mesti menjadi harga transaksi sesungguhnya, dan kemungkinan [besar] bisa
berbeda, karena dalam penentuan harga dalam suatu transaksi yang ditentukan oleh kekuatan
pasar, atau antar pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa, akan terjadi proses
negosiasi, permintaan diskon atau premium yang akan dinegosiasikan besarannya, dan lain-
lain. Dan nilai pasar ini akan terbentuk sesudah objek penilaian dipublikasikan di antara
pelaku/pemain pasar dalam cakupan waktu yang cukup guna membantu para pelaku/pemain
pasar untuk mempertimbangkan harga titik temu.
Selanjutnya, dalam SPI 102: Dasar Penilaian Selain Nilai Pasar, para penilai menggunakan
definisi “Nilai Wajar” sesuai dengan definisi dalam IFRS 13 (paragraf 3.19.1).
www.futurumcorfinan.com
Page 17
Terdapat penegasan terkait Nilai Wajar oleh pihak penilai:
[Paragraf 6.18] : Nilai Wajar adalah istilah yang digunakan di dalam akuntansi, yang penting
dibedakan dengan Nilai Pasar. Meskipun Nilai Wajar dan Nilai Pasar dapat memiliki besaran
yang sama di dalam kondisi tertentu, kedua nilai ini memiliki definisi yang berbeda. Sebagai
contoh, estimasi Nilai Wajar mungkin tidak memenuhi persyaratan Nilai Pasar mengenai
adanya pasar bagi properti maupun kondisi transaksi.
[Paragraf 6.19] : Nilai Wajar merupakan konsep yang lebih luas dari Nilai Pasar. Meskipun
dalam banyak kasus harga yang wajar antara dua pihak akan sama dengan yang diperoleh di
pasar, akan tetapi terdapat kasus di mana penilaian dengan Nilai Wajar akan
mempertimbangkan berbagai hal yang diabaikan dalam penilaian dengan Nilai Pasar,
sepertinya pada Nilai Khusus yang timbul karena adanya kombinasi kepentingan.
[Paragraf 6.20] : Penggunaan Nilai Wajar Khusus meliputi:
Penentuan harga yang wajar untuk suatu kepemilikan saham dalam bisnis tertutup,
dapat merupakan harga yang wajar di antara kedua pihak tertentu dalam
kepemilikan bisnis, akan tetapi dapat berbeda dengan harga yang dapat diperoleh
di pasar.
….
Rangkuman
Kalau kita perhatikan di atas, Nilai Wajar dan Nilai Pasar dapat berbeda, dan lebih jauh, kedua
nilai tersebut dapat berbeda dengan Nilai Transaksi Sesungguhnya (atau penulis, gunakan
“price” (=Harga) guna membedakan dengan “value” (=nilai).
Sebagaimana dari bacaan PSAK 68/IFRS 13 dan SPI 2013, baik pihak akuntan dan pihak
penilai, keduannya menyebutkan bahwa Nilai Wajar atau Nilai Pasar adalah pengukuran
berbasis pasar dan bukan spesifik pada pihak pembeli atau penjual tertentu.
Ini yang menarik.
Karena justru Harga yang terbentuk di pasar, adalah SPESIFIK TERHADAP PIHAK PENJUAL
DAN PIHAK PEMBELI TERTENTU. Harga adalah representasi kas tunai atau ekivalen kas
yang diminta dalam suatu transaksi yang SUDAH TERJADI, dan bukan dalam suatu transaksi
www.futurumcorfinan.com
Page 18
hipotetis, asumsi yang dipakai oleh PSAK 68/IFRS 13 dan SPI 2013 dalam mendefinisikan Nilai
Wajar atau Nilai Pasar.
Antara satu calon pembeli dengan calon pembeli lainnya, bisa memberikan Nilai Wajar yang
sama, namun dalam transaksi, Harga yang terbentuk, akan hanya spesifik pada satu pembeli
saja. Suatu perusahaan pembeli katakana berani menawar harga yang lebih tinggi daripada
Nilai Wajar suatu objek, karena mereka dapat menciptakan sinergi atau skala ekonomis yang
lebih baik daripada calon pembeli lainnya, atau bahkan hal tersebut belum tentu tersedia bagi
pihak pembeli lainnya.
Ini membawa kepada pemahaman bahwa Harga yang kemudian sesungguhnya terjadi dalam
suatu transaksi, tidak selalu sama dengan Nilai Wajarnya (baik menurut pihak akuntan ataupun
pihak penilai). Walaupun informasi mengenai suatu objek penilaian, katakan, tersedia secara
publik kepada semua calon pembeli, namun bagaimana pihak calon pembeli memproses
informasi tersebut dapat mengakibatkan Harga Transaksi berbeda dengan Nilai Wajarnya.
Sebagai contoh, persepsi terkait tingkat resiko dan tingkat imbal hasil investasi, tekanan untuk
segera menuntaskan suatu transaksi, ketertarikan akan objek penilaian dalam kaitannya
dengan strategi perusahaan, atau tidak tersedianya sumber daya manusia yang diperlukan
akan objek penilaian, dapat berbeda-beda antara satu calon pembeli dengan calon pembeli
lainnya. Semua faktor tersebut akan turut mengakibatkan Harga Transaksi berbeda dengan
Nilai Wajar atau Nilai Pasarnya.
Dalam pembentukan Harga Transaksi, akan turut dipengaruhi:
Kondisi permintaan dan ketersediaan objek penilaian di pasar
Kondisi mood pemain/pelaku pasar, gosip di pasar terkait objek penilaian, dan lain-lain
Hal ini berimplikasi bahwa pihak eksternal tidak dapat dengan mudah menghitung “Price”
(Harga Transaksi). Satu-satunya objek yang relatif mudah ditentukan Harga Transaksi, adalah
uang tunai. Diluar uang tunai, nilainya bisa menjadi apa saja.
Contoh sederhana, misalkan ada piutang usaha yagn dialihkan atau dijual. Secara teoritis,
standar akuntansi, mengatakan menggunakan net realizable value.
Secara umum, dapat dikatakan, piutang usaha akan dibayar pada nilai tagihan. Kembali, kita
lihat digunakan kata “value”. Apakah ini sama dengan “price” transaksi? Belum tentu…..
Ini tergantung, kondisi “market” saat transaksi dilakukan. Misalkan perusahaan debitur, dimana
tagihan tersebut muncul, dalam kondisi rugi besar, apakah anda berpikir, anda dapat menagih
www.futurumcorfinan.com
Page 19
seluruh nilai tagihan. Kemungkinan, anda ragu. Kalau ragu, lalu berapa besar diskon yang akan
anda berikan?
10%, 20%, 30%, 40%, 50%...
Ini juga kembali tergantung kondisi keuangan pihak penjual, kalau dia “butuh uang”, mungkin ia
bersedia menerima diskon besar.
Nilai Wajar, karena hanya mempertimbangkan pihak penjual, dia tidak perlu menerapkan
“diskon”. Secara logika, siapa yang mau menjual dengan diskon? Bagaimana dengan Nilai
Pasarnya, dimana perlu mempertimbangkan sisi beli dan sisi jual, disinilah, muncul
diskon/premium, dll.
Lalu bagaimana merekonsiliasi ini?
Menurut penulis, “nilai” inilah yang perlu dicari titik temu, dan bukannya dihitung kembali oleh
pihak otoritas perpajakan, seperti dalam beberapa kasus sengketa pajak yang melibatkan
laporan pihak konsultan eksternal. Kemungkinan “nilai” yang dihitung kembali oleh pihak
otoritas perpajakan, justru merupakan nilai “hipotetis” semata.
Lalu bagaimana?
Kedua belah pihak, yaitu pihak WP dan otoritas perpajakan, mesti memahami bahwa ada
perbedaan antara “value” dan “price”. Dan nilai yang dihitung pihak konsultan eksternal, bisa
jadi, hanya “value”. Di sinilah pihak WP mesti bisa mendokumentasikan bagaimana “value”
menjadi “price” dan menjelaskan kepada pihak otoritas perpajakan. Dalam konteks transaksi
non-afiliasi, atau transaksi bebas ikatan, “value” dapat dikatakan tidak sama dengan “price”.
“Value” cenderung tidak dapat diamati secara langsung, sedangkan “Price” dapat diamati
secara langsung. Ini saja sudah membuat perbedaan yang signifikan.
Price is what you paid, and value is what you get (Warren Buffett)
~~~~~~ ####### ~~~~~~
www.futurumcorfinan.com
Page 20
Disclaimer
This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of
writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have been
compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any
representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising from
the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is not
intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your advisors
for specific advice.
This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the
authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com
© FUTURUM. All Rights Reserved
top related