pengaruh rasio c/n bahan baku pada kualitas kompos dengan
Post on 24-Oct-2021
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku pada Kualitas Kompos dengan Metode Pengomposan In Vessel
Vitriana, Gabriel S.B. Andari K., dan Irma Gusniani
Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok,
16424, Indonesia
vitriana@ymail.com
Abstrak
Sampah makanan memiliki kecenderungan timbulan semakin besar dan apabila tidak dikelola dengan tepat maka menimbulkan masalah kesehatan masyarakat dan kebersihan lingkungan. Salah satu upaya mengolah dan menambah nilai sampah tersebut yaitu pengomposan. Dengan campuran daun kering dari halaman Fakultas Teknik Universitas Indonesia, sampah makanan yang berasal dari kantin fakultas tersebut dikomposkan secara in vessel. Karena rasio C/N bahan baku kompos penting maka didisain 18, 20, dan 22, dengan perbandingan sampah makanan terhadap daun berturut-turut sebesar 3:1, 1:1, dan 1:3. Pengomposan selama 60 hari menunjukkan rasio C/N memengaruhi salinitas, konduktivitas, kadar air, volatile solids, karbon, nitrogen, volume lindi, dan warna kompos, secara signifikan. Berdasarkan kualitas kompos pada SNI 19-7030-2004, rasio C/N sebesar 20 optimal digunakan. Kata kunci: Bahan baku; in vessel; kompos; kualitas; rasio C/N
Abstract
Food waste has an increasing trend line in generation and if it is not managed properly, it will make problem in public health and environment clean. One of action to treat and add its value is composting. By mixing dry leaves from yard in Engineering Faculty Universitas Indonesia and food waste from canteen in the same faculty, they were composted in vessel. Because of ratio C/N feedstock is important, so it was designed into 18, 20, and 22, with ratio of the food waste to dry leaves in a path were 3:1, 1:1, and 1:3. Composting during 60 days showed that the ratio C/N affected salinity, electric conductivity, water content, volatile solids, carbon, nitrogen, leachate volume, and colour of compost, significantly. Based on compost quality in SNI 19-7030-2004, ratio C/N feedstock in 20 is optimal to use.
Keywords: Feedstock; in vessel; compost; quality; ratio C/N
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
Pendahuluan Sampah apabila tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan masalah kesehatan
masyarakat dan kebersihan lingkungan. Hal ini juga terjadi pada timbulan sampah di institusi
pendidikan Universitas Indonesia (UI) yang belum sepenuhnya dikelola dengan baik. Meskipun
peraturan terkait pengelolaan sampah di UI telah dibuat dan dipantau dengan program penilaian
Greenmetric UI, implementasi teknis pengelolaan sampah masih kurang. Sebagian besar sampah
yang ditimbulkan, dikumpulkan dan dibuang ke TPA Cipayung.
Timbulan sampah Kampus UI Depok tahun 2013 bila ditinjau berasal dari gedung,
kantin, dan halaman sebesar 5.475,11 kg/hari dan dapat diproyeksikan timbulan 5 dan 10 tahun
kedepan berturut-turut sebesar 5.667,77 kg/hari dan 5.857,87 kg/hari (Banaget, 2013). Antisipasi
terhadap besarnya timbulan sampah tersebut perlu dilakukan dan tidak hanya bertumpu pada
sistem pengelolaan sampah di UI yang secara keseluruhan masih berupa kumpul-angkut-buang.
Dari total timbulan sampah UI, 91,17% berupa sampah organik. Dari timbulan tersebut, potensi
pemanfaatan sampah organik sangat besar menjadi bahan yang lebih bernilai. Oleh karena itu,
upaya pengolahan sampah organik perlu dilakukan, salah satunya dengan cara proses
pengomposan. Sampah organik yang diolah menjadi kompos memiliki manfaat sebagai pupuk,
pelapis tanah, dan penyubur tanah (Li dkk. 2013).
Dalam upaya pengomposan terdapat faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan. Karena
belum adanya upaya pengomposan di UI maka salah satu faktor yaitu perbandingan jumlah
karbon dan nitrogen, yang direpresentasikan dalam rasio C/N, pada bahan baku kompos perlu
diteliti untuk mengetahui pentingnya faktor tersebut. Menurut Haug (1993) pengomposan akan
berlangsung efektif dengan rasio C/N awal sebesar (15-30)/1. Rasio C/N adalah salah satu faktor
penting yang memengaruhi proses pengomposan dan kualitas produk akhir (Zhu, 2007; Chang
dan Hsu, 2008).
Sampah makanan dengan sumber timbulan spesifik yaitu kantin dari salah satu fakultas di
UI yaitu Fakultas Teknik (FT), memiliki potensi daur ulang mencapai 73% (Banaget, 2013).
Hingga kini belum ada penanganan khusus terhadap sampah makanan tersebut. Sedangkan
sampah halaman FT UI seperti rumput dan daun seringkali berakhir dengan open burning, yang
sebenarnya kegiatan ini telah dilarang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah, karena jumlahnya yang terlalu banyak. Oleh karena itu, penelitian ini
mengggunakan bahan baku berupa sampah makanan dan sampah daun FT UI serta akan
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
meninjau pengaruh rasio C/N bahan baku tersebut terhadap proses pengomposan dan kualitas
kompos yang dihasilkan berdasarkan spesifikasi kompos Indonesia yaitu SNI 19-7030-2004.
Adapun tujuan dari penelitian ini untuk: 1) mengetahui pengaruh perbedaan rasio C/N
bahan pembuat kompos terhadap kualitas kompos; 2) mengetahui apakah parameter yang
tercantum dalam SNI 19-7030-2004 menunjukkan kualitas kompos; serta 3) menentukan rasio
C/N bahan pembuat kompos optimal dengan kualitas akhir sesuai dengan SNI 19-7030-2004.
Tinjauan Teoritis Bahan baku kompos adalah senyawa organik, yang mana dalam struktur kimianya memiliki
unsur karbon. Senyawa organik tersebut dapat berasal dari sisa tumbuhan, hewan, maupun
manusia. Contoh sisa tumbuhan adalah sayur, buah, nasi, rumput, daun, dan kertas, sedangkan
contoh sisa hewan/manusia berupa kotoran hewan (unggas, sapi, kambing, dll.), jasad hewan
seperti sampah ikan, dan tinja.
Umumnya, pemilihan suatu sampah organik sebagai bahan baku kompos untuk
menyelesaikan permasalahan timbulan sampah tersebut yang terjadi di suatu kawasan/kota.
Penelitian di China (Zhu, 2007) menggunakan kotoran babi sebagai bahan baku utama kompos,
karena produksinya yang intensif dan banyaknya keterbatasan (pengangkutan, penyimpanan,
penyediaan nutrisi, serta sifat patogen yang dimiliki) saat kondisi segar. Di Pulau Mauritius,
sebelah timur Pulau Madagaskar Afrika, Unmar dan Mohee (2008) melakukan upaya
pengomposan dengan bahan baku sampah hijau yang terdiri dari daun hijau, ranting hijau,
rumput, ranting coklat, dan daun coklat. Pengomposan sampah hijau dipertimbangkan sebagai
pilihan terbaik di pulau kecil tersebut dalam menangani timbulannya yang begitu besar yaitu 45%
dari 70% sampah organik. Di Amerika Serikat, sampah makanan menjadi masalah karena
merupakan komponen sampah kedua terbesar (18%), setelah kertas (22%), yang dibuang ke TPA
(U.S. EPA, 2007). Di Hongkong, sampah makanan sebanyak 40% dari total sampah domestik
yang berakhir di TPA, digunakan sebagai bahan baku kompos (Wang, dkk. 2013). Sedangkan, di
Indonesia dengan kota representatif di Pulau Jawa yaitu Jakarta, 50% dari 65% total sampah
organik yang ditimbulkan berupa sampah makanan (Kristanto, 2013). Hal yang sama juga terjadi
di Kota Depok, kota padat penduduk, memiliki permasalahan timbulan sampah makanan yang
sangat besar, sehingga permasalahan sampah makanan, yang mudah membusuk, perlu disoroti.
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
Dibandingkan dengan sampah organik lain, sampah makanan mengandung senyawa organik yang
paling tinggi (Chang dan Hsu, 2008; Kumar dkk. 2010), sehingga tepat pemanfaatannya sebagai
bahan baku kompos.
Salah satu faktor penting yang memengaruhi keberhasilan pengomposan diantaranya yaitu
rasio C/N. Pengomposan akan berlangsung efektif saat perbandingan antara karbon (C) dan
nitrogen (N) atau dikenal dengan rasio C/N sebesar (15-30)/1 (Haug, 1993). Sedangkan,
Tchobanoglous dan Kreith (2002) menyatakan rasio C/N bahan baku yang ideal sebesar (20-
25)/1. Apabila kurang maka proses dekomposisi terjadi cepat, namun akan menimbulkan bau
amonia di sekitarnya. Perbandingan yang tepat akan mendorong pertumbuhan mikroba lebih
cepat. Telah ada penelitian terdahulu yang memperhatikan rasio C/N bahan baku sebagai variabel
bebas dalam pengomposan. Pada penelitian Zhu (2007), dampak rasio C/N awal dengan bahan
baku berupa kotoran babi dan kulit padi terhadap parameter fisika dan kimia kompos, dibahas.
Dari dua variasi rasio C/N yaitu 20 (kotoran babi lebih banyak) dan 25, diperoleh hasil bahwa
rasio C/N sebesar 20 menjadi rekomendasi untuk upaya pengomposan. Francou, dkk. (2008)
meneliti pengaruh komposisi sampah campuran yang terdiri dari sampah hijau (halaman),
biowaste (buah dan sayuran segar), dan paper-cardboard (karton dan koran) terhadap bahan
organik selama pengomposan dalam pilot-scale reactors. Stabilisasi bahan organik dihasilkan
dari penurunan fraksi biodegradable, seperti selulosa dan hemiselulosa, dan peningkatan
senyawa resisten secara relatif berasal dari bahan baku atau hasil dari aktivitas mikroba dan
humifikasi. Dengan rasio C/N awal sebesar 12, 18, dan 28 dan metode force-aeration,
pengomposan kotoran ayam dan serbuk gergaji (Gao,dkk. 2010) dilakukan selama dua bulan.
Dengan penelitian terhadap parameter suhu, pH, OM (Organic Matter), NH4+-N, NO3
-,
konduktivitas listrik (EC), SOUR (Specific Oxygen Uptake Rate), CEC (Cation Exchange
Capacity), dan GI (Germination Index), kompos dengan rasio C/N awal 28 merupakan kompos
yang paling stabil dari ketiganya. Pengomposan sampah makanan (sampah dapur dan sisa
makanan) dan sampah hijau (sampah halaman dan guguran daun) dengan rasio C/N awal rendah
menggunakan reaktor in-vessel diteliti oleh Kumar dkk. (2010). Pengomposan yang optimal
terjadi pada kadar air 60% dan rasio C/N 19,6, dimana 33% TVS dalam 12 hari dapat tereduksi.
Kadar air yang tinggi pada sampah makanan dan rendahnya nitrogen dalam sampah hijau
menyebabkan pengolahan yang lama dan tingkat degradasi rendah. Silva dkk. (2014) juga
melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh C/N bahan baku dan bulking agent
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
yaitu sekam padi, pada sekelompok komposisi kimia yaitu senyawa seperti humus, karakteristik
fisikokimia (WC, OM, TOC, TN, NH4+-N, pH, konduktivitas listrik, dan rasio C/N), parameter
stabilitas (self-heating test dan respiration activity), serta maturitas (humus) kompos. Campuran
dengan C tinggi namun C/N awal yang rendah, cenderung membentuk akumulasi dari OM
teroksidasi secara partisi, yang mana mengontribusi nilai konduktivitas elektrikal yang tinggi
pada kompos akhir dan menunjukkan ketidakstabilan.
Banyak parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas kompos. Fu (2004)
mengevaluasi kualitas kompos melalui parameter yang menunjukkan kestabilan dan kematangan
kompos. Komine dkk. (2004) mengukur nilai karbon dan nitrogen untuk evaluasi kualitas
kompos. Penelitian Chang dan Hsu (2008) menggunakan parameter kadar air, kandungan nutrisi,
logam berat, distribusi ukuran partikel, stabilitas, tingkat patogen, dan konsistensi kompos selama
suatu jangka pemakaian. Sedangkan, Gigliotti dkk. (2012) mengevaluasi kadar air, pH,
konduktivitas, nilai karbon dan nitrogen, rasio C/N, humus, dan logam berat, terhadap standar
Italia. Selain itu, kualitas kompos dapat dibandingkan dengan spesifikasi kompos yang diatur
dalam suatu standar atau peraturan suatu kawasan atau negara. Indonesia memiliki standar
spesifikasi kompos sendiri yaitu SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah
Organik.
Sistem pengomposan dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu, sistem reaktor dan
sistem nonreaktor (Haug, 1993). Sistem reaktor juga dikenal dengan sistem in vessel, sedangkan
sistem nonreaktor terkenal melalui sistem windrow yang berkembang menjadi static pile. Kedua
sistem memiliki mekanisme pengaliran oksigen alami dan dengan penarikan, bergantung pada
disain dari kedua sistem tersebut. Dari segi lahan, sistem in vessel tidak memerlukan lahan yang
luas (Li, dkk. 2013). Untuk meminimalisasi bau (Tchobanoglous, 1993) dan gangguan
serangga/hewan asing maka sistem in vessel lebih menguntungkan. Pengontrolan suhu dan aliran
udara juga lebih mudah dilakukan pada sistem in vessel karena terdapat dalam ruang yang
terbatas.
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
Metode Penelitian Penelitian terhadap pengomposan in vessel berlangsung selama dua bulan dengan dua
bahan baku berupa sampah makanan yang berasal dari Kantin FT UI dan daun kering yang
berasal dari Halaman FT UI. Diawali pengukuran C/N tiap bahan baku, variasi dibuat tiga yang
disimbolkan K1, K2, dan K3 dengan rasio C/N berturut-turut sebesar 18, 20, dan 22. Untuk
perbandingan komposisi bahan baku (kg), sampah makanan terhadap daun kering, diperoleh
untuk K1 sebesar 3:1, K2 sebesar 1:1, dan K3 sebesar 1:3.
Bahan baku dikumpulkan selama 5 hari untuk memenuhi 70% dari volume komposter,
kemudian dicacah. Setelah pencacahan, pencampuran komponen dilakukan diluar vessel terlebih
dahulu, kemudian dimasukkan ke tiap vessel berikut ini, diikuti penempatan dua batang
termometer.
Gambar 1 Disain Komposter (1:100) dalam Satuan cm
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
Selama proses pengomposan, aerasi dilakukan dengan cara pembukaan tiap kran yang
terdapat pada komposter kemudian diaduk dengan cara pemutaran komposter. Aerasi dan
pengadukan dilakukan dua kali dalam seminggu pada dua minggu pertama, kemudian satu kali
tiap minggu berikutnya.
Pengukuran dilakukan terhadap beberapa parameter yaitu suhu, pH, konduktivitas, salinitas,
kadar air, bahan organik, karbon, nitrogen, volume lindi, warna, dan tekstur. Dalam dua minggu
pertama, suhu diperiksa setiap hari. Pada bulan pertama nilai pH, konduktivitas, salinitas,
diperiksa dua kali tiap minggu. Volume lindi yang ditampung dengan kontainer dibawah tiap
komposter, warna, dan tekstur dari kompos diukur saat pengambilan sampel. Parameter sisanya
diukur sebanyak enam kali.
Hasil Penelitian Hasil dari pengukuran tiap parameter dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
Gambar 2 Grafik Pengukuran Tiap Parameter pada Tiga Variasi Kompos
Untuk gambar parameter warna dan tekstur dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
Tabel 1 Perbedaan Warna (kiri) dan Tekstur (kanan) Tiap Variabel
Pembahasan Suhu paling tinggi yaitu 50oC dicapai pada hari ke-3 oleh komposter 2 (K2). Dari ketiga
komposter, tahap awal berlangsung cepat hingga suhu maksimum tiap komposter tercapai. Tahap
aktif, dimana terjadi peningkatan jumlah mikroba secara eksponensial diikuti intensifikasi
aktivitas mikroba, berlangsung kurang lebih satu minggu, dilanjutkan tahap maturasi yang
ditandai dengan penurunan suhu hingga mencapai suhu konstan.
Untuk pH, rata-rata ketiga kompos memiliki nilai pada rentang 6,00-8,00. Nilai pH berawal
dari kondisi asam, dibawah 7, tepatnya untuk nilai K1, K2, dan K3 berturut-turut sebesar 4,50,
5,67, dan 4,57. Nilai tersebut dapat menunjukkan terjadi produksi asam organik akibat
dekomposisi sampah oleh mikroba. Selanjutnya, pH dari ketiga kompos bergerak naik yang
menunjukkan perkembangan mikroba yang mengonsumsi asam sebagai substrat sedang
berlangsung atau senyawa fenol teroksidasi (Gigliotti, dkk. 2012; Tchobanoglous dan Kreith,
2002). Selain itu, mineralisasi kation basa yang berasal dari protein juga dapat terjadi dan
menyebabkan peningkatan pH (Pramaswari, dkk. 2011). Setelah itu, nilai pH menurun
mengindikasikan terjadi perubahan amonia menjadi amonium yang selanjutnya dapat teroksidasi
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
(Gigliotti, dkk. 2012; Kumar, dkk. 2010). Nilai pH yang mendekati netral umumnya
menunjukkan pH kompos matang.
Konduktivitas berpotensi menghantarkan panas atau listrik. Pada penelitian ini dilakukan
pengukuran konduktivitas elektrik (EC) kompos dengan satuan pada alat ukur yaitu miliSiemens
per cm (mS/cm). Konduktivitas ini dapat menentukan kestabilan kompos dan menunjukkan
garam terlarut akibat mineralisasi bahan organik. Semakin tinggi garam terlarut maka semakin
tinggi pula konduktivitas elektrik kompos (Gigliotti, dkk. 2012; Silva, dkk. 2014). Dari nilai
konduktivitas akhir ketiga kompos belum ada yang memenuhi standar kompos stabil yang
disarankan Soumare dkk. (2002) sebesar 3,00 mS/cm maupun batas maksimum toleran pada
tanaman bersensivitas medium sebesar 4,00 mS/cm (Silva, dkk., 2014).
Salinitas kompos menunjukkan tingkat atau konsentrasi garam relatif yang terkandung
dalam kompos. Oleh karena itu, grafik nilai salinitas akan serupa dengan grafik konduktivitas
kompos. Dari grafik salinitas yang diperoleh terlihat kemiripan dengan grafik konduktivitas. Hal
ini menunjukkan salinitas dan konduktivitas berbanding lurus. K1 memiliki salinitas awal paling
besar yaitu 3,3o/oo dari ketiga variasi. Hal ini menunjukkan bahwa kompos K1 yang memiliki
komposisi makanan lebih banyak memiliki kandungan garam yang lebih besar.
Dari grafik perubahan kadar air tampak jelas perbedaan dari ketiga variasi kompos. Tetapi,
perbedaan tersebut memiliki satu kesamaan yaitu nilai kadar air mengalami penurunan selama
pengomposan karena digunakan untuk proses dekomposisi. Kompos K1 dengan komponen
sampah makanan yang cenderung basah dan lebih banyak dibandingkan daun keringnya,
memiliki kadar air yang paling tinggi diantara ketiganya.
Bahan organik dapat direpresentasikan oleh parameter volatile solids (Epstein, 1997) yang
diperoleh dari pembakaran kompos pada suhu 550oC. Nilai VS dari ketiga komposter mengalami
kecenderungan penurunan yang menunjukkan terjadi dekomposisi bahan organik selama
pengomposan (Epstein, 1997). Bahan organik yang mudah terurai seperti gula, kanji, asam
amino, asam organik, dan hemiselulosa, (Tchobanoglous, dkk. 1993). Sedangkan, kandungan
organik yang sulit terurai berupa lignin, lipid/lemak, polifenol, dan pektin (Gigliotti, dkk. 2012).
Untuk lignin, serat yang paling tahan terhadap hidrolisis maupun degradasi oleh bakteri
(Sumanto, 2009), dapat berasal dari kentang, wortel, akar sayuran, dan komponen kayu serta
lipid, yang tersusun dari asam lemak, dapat berasal dari mentega dan daging ayam. Sumber
polifenol dalam kompos yaitu kulit jeruk dan sisa sayuran berwarna hijau seperti kol, kangkung,
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
dan selada (Yuli, 2014). Sedangkan, pektin, salah satu penyusun dinding sel tumbuhan selain
lignin, dapat ditemukan pada keping jagung, wortel, pisang, kulit buah apel, dan kulit jeruk.
Untuk nilai karbon, unsur makro dan spesifik penyusun senyawa organik, paling besar
diperoleh dari K1. Selain daun, kandungan karbon yang tinggi disuplai oleh sampah makanan,
terutama nasi dan mie. Nilai karbon menurun karena sebagian terdegradasi menjadi gas CO2 dan
sebagian lagi digunakan mikroorganisme sebagai sumber energi (Epstein, 1999). Berikut reaksi
yang berlangsung (Tchobanoglous, 1993) selama pengomposan.
sampah organik + O2 + nutrisi à sel baru + zat organik resisten + CO2 + H2O + NH3+ SO2- +
panas
Komposter tiga mengalami penurunan paling kecil. Hal ini mungkin disebabkan kandungan zat
organik yang sulit terurai paling banyak. Senyawa karbon yang sulit terurai umumnya berbentuk
siklik yang sukar diputus seperti selulosa.
Nitrogen adalah unsur organik utama kompos selain karbon. Nitrogen sebagian dilepas
menjadi senyawa amonia dan sebagian didaur ulang untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Nitrogen pada K1 di hari ke-0 paling besar karena komponen sampah makanan, penyumbang
cukup banyak senyawa nitrogen mencapai 5,10% (OCA, 2012), paling banyak. Selama
pengomposan, peningkatan nitrogen terjadi karena sintesa protein membentuk sel baru.
Sedangkan, penurunan nilai nitrogen dapat terjadi karena mineralisasi protein, asam amino, dan
peptida serta volatilisasi amonia (Kumar, 2010). Hasil pembagian nilai karbon dan nitrogen dapat
direpresentasikan dalam nilai rasio C/N. Bila nilai rasio C/N hari ke-0 dan hari ke-60
dibandingkan maka penurunan rasio C/N terjadi.
Volume lindi dari K1, K2, dan K3 masing-masing bernilai 2004 mL, 615 mL, dan 484 mL.
Komponen sampah memengaruhi jumlah produksi lindi, dimana kompos yang memiliki
komponen sampah basah (kadar air tinggi) lebih besar maka akan menimbulkan lindi yang lebih
besar (Lan, dkk. 2012), sedangkan sampah yang memiliki kadar air rendah menimbulkan lindi
yang lebih sedikit. Tidak adanya proses penambahan material basah selama pengomposan,
termasuk air, juga menimbulkan produksi lindi yang tidak kontinyu selama pengomposan.
Warna di tiap komposter pada mulanya berbeda satu sama lain. Hal ini juga dipengaruhi
komponen sampah pembentuk kompos yang dominan. Pada K1, kompos berwarna kuning
kehijauan. Pada kompos K2 berwarna hijau kecoklatan. Sedangkan, K3 sudah berwarna
kecoklatan. Selama proses pengomposan dan di saat pengambilan sampel, warna dari ketiga
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
kompos juga ditinjau. Semakin lama, kompos berubah warna menjadi gelap. Dan untuk kompos
K1 memiliki warna yang lebih gelap yaitu hitam, dibandingkan kedua lainnya, yang menuju
warna kehitaman. Terkait tekstur, pada awalnya ketiga kompos terasa lebih kasar. Sebelum
mengalami pengayakan di hari ke-60, tekstur kompos juga masih terasa kasar. Secara rinci, K1
memiliki tekstur yang menggumpal namun terlihat menyatu antar dua komponen bahan penyusun
kompos. Pada K2, masih terlihat fraksi sampah makanan dan daun kering. Dan untuk K3, fraksi
tersebut cukup terlihat jelas. Setelah pengayakan dengan saringan berukuran 3/8”, saringan untuk
agregat halus, kompos yang lolos ditampung. Kompos setelah pengayakan menghasilkan butiran
kompos yang lebih halus. Menurut SNI 19-7030-2004, ukuran kompos berkisar 0,55-25 mm.
Hasil dari pengayakan menghasilkan butiran kompos berdiameter 9,5 mm yang memenuhi SNI.
Dari hasil pengujian parameter terlihat perbedaan signifikan pada ketiga komposter yaitu pada
nilai salinitas, konduktivitas, kadar air, bahan organik, karbon, nitrogen, volume lindi, dan warna.
Menurut Switzenbaum, dkk. (1997) kualitas dan standar evaluasi kompos bergantung pada
kebutuhan pengguna. Kualitas kompos yang biasanya ditunjukkan dari nilai akhir parameter,
menjadi penentuan digunakannya atau tidak kompos tersebut. Sebenarnya, parameter kualitas
kompos juga dapat dilihat dari standar yang ditetapkan di suatu kawasan/ negara, yang telah
mempertimbangkan tujuan penggunaan kompos. Karena Indonesia memiliki standar mengenai
spesifikasi kompos, yaitu SNI 19-7030-2004, maka kualitas kompos juga dapat dievaluasi
melalui standar tersebut. Adapun perbandingan hasil dari penelitian (nilai hari ke-60) dan standar
SNI tersebut, dapat dilihat dalam tabel berikut.
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
Tabel 2 Evaluasi Parameter Kualitas Kompos terhadap SNI 19-7030-2004
No. Parameter Satuan Variabel C/N Standar SNI Meme-
nuhi K1 (18/1) K2 (20/1) K3 (22/1) min maks 1 Kadar Air % 68,07 45,07 37,82 - 50 K2; K3
2 Temperatur °C 28 27 28 suhu air tanah semua
3 Warna hitam kehitaman kehitaman kehitaman semua
4 Ukuran Partikel mm 9,5 9,5 9,5 0,55 25 semua
5 pH 8 7,8 7,5 6,80 7,49 K3
Unsur makro
6 Bahan organik % 61,66 57,94 66,84 27 58 K1; K2
7 Nitrogen % 3,98 3,92 2,94 0,40 - semua 8 Karbon % 41,07 55,93 46,03 9,80 32 tidak 9 C/N-rasio 10,32 14,27 15,66 10 20 semua
Dari Tabel 2 diperoleh bahwa kompos dengan rasio C/N awal sebesar 18/1 tidak memenuhi
parameter kadar air dan nilai karbon. Kompos dengan rasio C/N awal 20/1 tidak memenuhi
parameter pH dan karbon, sedangkan kompos dengan rasio C/N awal sebesar 22/1 tidak
memenuhi parameter bahan organik dan karbon.
Dari variasi rasio C/N bahan baku, K2 dan K3 memiliki dua parameter yang tidak
memenuhi dan K1 memiliki 3 parameter yang tidak terpenuhi. Apabila keputusan rasio C/N
bahan baku yang optimal perlu diambil maka rasio C/N bahan pembuat kompos dengan nilai 20/1
yang dipilih. Dengan perbandingan komponen sampah makanan dan dedaunan kering sebesar
1:1, kompos yang disimbolkan dengan K2 dapat dikatakan berkualitas lebih baik. Parameter yang
tidak memenuhi K2, salah satunya adalah pH, yang mana nilai pH tersebut sudah hampir
mendekati rentang pH netral dan memenuhi bila dievaluasi dengan standar negara Amerika,
Inggris, Thailand dan Italia, yang tercantum dalam Subbab 2.11. Tidak seperti kadar air pada K1
dan bahan organik pada K3 yang cukup jauh dari batas yang ditetapkan. Untuk nilai karbon, yang
mana ketiganya memiliki kekurangan tersebut, sebenarnya dapat ditutupi dengan nilai nitrogen
yang mana kedua nilai tersebut akan membentuk rasio C/N. Dari rasio C/N akhir, yang
merupakan salah satu faktor kunci kualitas kompos, ketiganya telah memenuhi.
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, jawaban dari tujuan penelitian dapat dituangkan dalam
pernyataan berikut: 1) Rasio C/N bahan pembuat kompos memengaruhi parameter salinitas,
konduktivitas, kadar air, volatile solids, karbon, nitrogen, volume lindi, dan warna, secara
signifikan, sedangkan parameter suhu, pH, dan tekstur tidak dipengaruhi secara signifikan; 2)
Parameter yang tercantum dalam SNI 19-7030-2004 dan diukur berupa kadar air, suhu, warna,
pH, volatile solids yang merepresentasikan bahan organik, nitrogen, karbon, serta rasio C/N,
menunjukkan kualitas kompos. Dari sekian parameter diatas, terdapat parameter kunci yang harus
dipenuhi yaitu kadar air, bahan organik, dan rasio C/N; serta 3) Setelah dilakukan evaluasi
terhadap SNI 19-7030-2004, rasio C/N bahan pembuat kompos yang optimal untuk digunakan
yaitu 20 dengan rasio campuran sampah makanan dan sampah daun kering sebesar 1:1.
Saran
Untuk perbaikan dan perkembangan penelitian berikutnya, beberapa saran terkait teknis dan
konsep, dapat diberikan sebagai berikut: 1) Peningkatan volume sampah agar kehilangan panas
tidak mudah terjadi selama proses pengomposan; 2) Penggunaan tongkat pemutar/pengaduk
mekanik dapat menjadi alternatif untuk memudahkan pencampuran sampah dan distribusi udara
dalam sampah, selain penggunaan roda dalam disain komposter pada penelitian ini; 3)
Penggunaan kompresor untuk aerasi (prinsip forced aeration) dapat menjadi alternatif, selain
proses aerasi alami yang telah dilakukan dalam penelitian ini; 4) Perlu dilakukan penelitian
lanjutan mengenai penambahan bioaktivator alami dengan rasio sampah makanan dan sampah
daun sebesar 1:1. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses pengomposan, mengingat
timbulan sampah untuk pengomposan berlangsung kontinyu dan lokasi pengomposan terbatas; 5)
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai potensi pengomposan di fakultas/institusi lain atau
dalam skala yang lebih besar.
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
Daftar Referensi Banaget, Cut Keumala. 2013. Karakteristik dan Potensi Daur Ulang Sampah di Lingkungan
Kampus Universitas Indonesia (Studi Kasus: FISIP, FE, dan FT). Depok: Universitas
Indonesia.
Chang, J.I. dan Hsu, T.E. 2008. Effects of Compositions on Food Waste Composting.
Bioresource Technology 99, 8068-8074
Environmental Protection Agency (EPA). 2014. Inventory of U.S. Greenhouse Gas Emissions
and Sinks: 1990-2012. <http://www.epa.gov/climatechange/Downloads/ghgemissions/US-
GHG- Inventory-2014-Chapter-8-Waste.pdf>
Epstein, Eliot. 1997. The Science of Composting. USA: CRC Press.
Francou, C., Lineres, M., Derenne, S., Villio-Poitrenaud, M.L., dan Houot, S. 2008.
Influence of Green Waste, Biowaste, and Paper-cardboard Initial Ratios on Organic
Matter Transformations during Composting. Bioresource Technology 99, 8926-8934.
Fu, Z.Y. 2004. A Fuzzy Inference System for Synthetic Evaluation of Compost Maturity and
Stability. Kanada: University of Regina.
Gao, M., Liang, F., AnYu, Li, B., dan Yang, L. 2010. Evaluation of Stability and Maturity
during Forced-aeration Composting of Chicken Manure and Sawdust at Different C/N
Ratios. Chemosphere 78, 614-619
Gigliotti, G., Proietti, P., Said-Pullicino, D., Nasini, L., Pezzola, D., Rosati, L., dan Porceddu,
P.R. 2012. Co-composting of Olive Husks with High Moisture Contents: Organic Matter
Dynamics and Compost Quality. International Biodeterioration & Biodegradation 67, 8-14
Haug, Roger T. 1993. The Practical Handbook of Compost Engineering. USA: Lewis
Publishers.
Komine, N., Shiiba, K., Kanzaki, K., dan Matsumoto, S.O.L. 2004. A Proposal for Quality
Evaluation of Animal Waste Compost by Statistic Analysis. Nogyo Kikai Gakkaishi 66,
55-60.
Kristanto, Gabriel Andari. 2013. Makanan di Dalam Sampah Kita.
<http://opinikompas.blogspot.com/2013/12/makanan-di-dalam-sampah- kita.html>
Kumar, M., Ou, Y., dan Lin, J. 2010. Co-composting of Green Waste and Food Waste at Low
C/N Ratio. Waste Management 30, 602-609
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
Ohio Compost Assosiation (OCA). 2012. Ohio Compost Operator Education Course: Lab
Workbook. USA: Ohio State University.
Pramaswari, I.A.A., Suyasa, I.W.B., dan Putra A.A.B. 2011. Kombinasi Bahan Organik pada
Pengolahan Lumpur Limbah Pencelupan. Jurnal Kimia 5, 64-71.
Silva, M.E.F., Lamos, L.T., Nunes, O.C., dan Cunha-Queda, A.C. 2014. Influence of The
Composition of The Initial Mixtures on The Chemical Composition, Physiochemical
Properties, and Humic-like Substances Content of Composts. Waste
Management 34, 21-27
Soumare, A.H., Mccaskey, T.A., Ruffin, B.G. 1990. A Survey of Broiler Litter Composition
and Potential Value as Nutrient Resource. Biology Waste 34, 1-9.
Sumanto, Agus. 2009. Tetap Langsing dan Sehat dengan Terapi Diet. Tangerang: PT.
AgroMedia Pustaka.
Tchobanoglous, George and Kreith, Frank. 2002. Handbook of Solid Waste Management
2nd Ed. USA: McGraw-Hill, Inc.
Tchobanoglous, G., Theisen H., and Vigil, S. 1993. Integrated Solid Waste Management.
USA: McGraw-Hill, Inc.
Unmar, G. dan Mohee, R. 2008. Assessing The Effect of Biodegradable and Degadrable
Plastics on The Composting of Green Wastes and Compost Quality. Bioresource
Technology 99, 6738-6744.
Wang, X., Selvam A., Chan, M., dan Wong, J.W.C. 2013. Nitrogen Conservation and Acidity
Control during Food Wastes Composting through Struvite Formation. Bioresource
Technology 147, 17-22.
Wong, J.W.C., Mak, K.F., Chan, N.W., Lam, A., Fang, M., Zhou, L.X., Wu, Q.T., dan
Liao X.D. 2001. Co-composting of Soybean Residues and Leaves in Hongkong.
Bioresource Technology 76, 99-106.
Yuli. 2014. Makanan yang Mengandung Polifenol Tinggi.
<http://www.carakhasiatmanfaat.com/artikel/makanan-yang-mengandung- polifenol-
tinggi.html>
Zhu, Nengwu. 2007. Effect of Low Initial C/N Ratio on Aerobic Composting of Swine Manure with Rice Straw. Bioresource Technology 98, 9-13.
Pengaruh rasio..., Vitriana, FT UI, 2014
top related