pelayanan pada masyarakat
Post on 01-Feb-2016
33 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Sejak diberlakukannya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 dan kemudian
dirubah menjadi Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai penganti Undang Undang No. 5 Tahun 1974, diskusi tentang efektivitas
pelayanan publik dalam otonomi daerah menjadi semakin menarik untuk
dibicarakan.
Permasalahannya karena sudah 2 (dua) kali perubahan undang-undang
tersebut dilakukan, namun peningkatan pelayanan publik publik sebagai
sasarannya selalu dipertanyakan, bahkan ada diskusi yang membahas bahwa
Undang Undang No. 32 Tahun 2004 perlu lagi perubahan.
Undang-undang ini merupakan implimentasi pasal 18 ayat (1) UUD 1945
yang mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara kesatuan
yang dibagi atas daerah-daerah propinsi dan propinsi terdiri dari daerah kabupaten
dan kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya, pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa pemerintah daerah propinsi,
daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut azas otonomi dan tugas perbantuan. Dalam menjalankan otonomi dan
tugas perbantuan, kecuali urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain sesuai dengan ketentuan berlaku.
Pada dasarnya, maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut adalah mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
2
pemberdayaan dan peran serta masyarakat.1 Selanjutnya dijelaskan bahwa
pemerintahan daerah dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan antar susunan
pemerintahan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan RI. Dalam berbagai aspek UU No. 32 Tahun 2004
mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan selaras.
Di samping itu, dalam menjalankan perannya, daerah diberikan
kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.2
Masalah pelayanan publik di Indonesia masih sangat memprihatinkan,
karenanya pemerintah masih perlu membuat strategi dan kebijakan agar dapat
memenuhi hak azazi warga negara dan membutuhkan solusi menyeluruh untuk
membuat pelayanan publik yang baik.3 Sebagai gambaran dan fenomena pelayanan
publik di Provinsi Sumatera Barat saat ini seperti terlihat rendahnya tingkat kinerja
aparatur penyelenggara pemerintahan di daerah. Indikasi menunjukan bahwa
Pemerintah Daerah melalui Peraturan Gubenur Sumatera Barat Nomor 74 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun
2006 - 2010 menempatkan hal ini sebagai skala prioritas utama. Dalam bagian IV,
(Agenda penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dan bersih Bab II diatur
1 Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Publik CV. Jaya Jakarta, Cetakan Pertama, 2004. hal. 125. 2 Ibid, hal. 123, 124
3 Wacana HAM, Pandangan Publik yang memprihatinkan Edisi 17, Tahun III, 15 Oktober
2005, hal. 1
3
tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik)4 yang menerangkan bahwa
berdasarkan hasil identifikasi dalam pembinaan pelayanan publik masih banyak
permasalahan yang perlu ditindaklanjuti dan diselesaikan seperti : belum
kompetitif, transfaran dan akuntabilitas proses pelayanan publik, rendahnya etos
kerja aparatur, pelayanan publik belum didukung oleh teknologi informasi serta
belum ada instrumen yang jelas untuk mengevaluasi kualitas pelayanan.
Sasaran yang hendak dicapai dalam peningkatan kualitas pelayanan publik
tahun 2006-2010 ke depan adalah :
1. Terlaksananya pelayanan publik kepada masyarakat sesuai dengan standar
layanan yang ditetapkan.
2. Tercapainya transparansi dalam proses pelayanan publik.
3. Meningkatnya etos kerja, profesionalisme dan kompetensi aparatur.
4. Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam mendapatkan pelayanan
publik.
5. Meningkatnya pengguna teknologi informasi dalam pemberian pelayanan
publik.
6. Meningkatnya peran masyarakat terhadap penilaian kinerja aparatur
pelayanan publik.
Dalam RPJMD tersebut ditetapkan arah kebijakan, program pengembangan
pelayanan publik dan pengembangan partisipasi publik (masyarakat) yang berada
dalam agenda penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih bersamaan
dengan sub-sub agenda lainnya, yaitu : peningkatan kemampuan pemerintah
daerah, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberantasan korupsi, kolusi dan
4 Naskah Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 74 Tahun 2005, hal. 121
4
nepotisme, pembangunan hukum dan perlindungan hak azazi manusia, peningkatan
keamanan dan ketertiban.
Dengan demikian "masalah" Pelayanan publik sudah diakomodir dalam suatu
konsepsi dan strategi kebijakan untuk kurun waktu 2006-2010 mendatang yakni
dengan isu bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut dari tahun
ke tahun yang disinyalir seakan-akan berjalan di tempat.
Berdasarkan fakta dalam RPJMD Propinsi Sumatera Barat, betapa rendahnya
kualitas pelayanan publik tersebut, salah satu diantaranya terdapat pada Perangkat
Daerah/Dinas (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yaitu Dinas Pendapatan Daerah.
Fakta lain menjelaskan, walaupun jumlah penerimaan daerah yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung menunjukan peningkatan dan
memberikan kontribusi yang besar terhadap penerimaan daerah, pencapaian hasil
relatif masih dibawah target. Khususnya pencapaian target (realisasi) penerimaan
pajak daerah dari sub-sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor (BBN-KB).
Bertitik tolak dari fakta dan kenyataan di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dan penulisan ilmiah dengan menyingkap dan
menganalisanya secara mendalam dengan penekanan yang diarahkan kepada
peningkatan pelayanan publik terutama terhadap sub sektor pajak daerah yang
berasal dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor
melalui Dinas Pendapatan Daerah Cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi
Sumatera Barat di Padang, melalui Kantor Bersama SAMSAT.
Pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit pelayanan
Kantor Bersama SAMSAT ini terdapat 3 unit kerja yang terkait dan berhubungan,
5
yaitu pihak Pemerintah Provinsi c.q. Dinas Pendapatan Daerah, Polri c.q.
Kepolisian Daerah dan PT. AK Jasa Raharja. Dengan adanya 3 unit kerja masalah
yang ditemukan dalam pelayanan adalah bertemunya 3 (tiga) kepentingan yang
berbeda yang saling membutuhkan dan saling berhubungan, namun menyatu dan
saling berkaitan (Simbiose Mutualistis).
Ketiga unit kerja ini sama-sama bertujuan memberikan pelayanan publik
secara prima kepada masyarakat. Pihak Pemda dalam memberikan pelayanan
bertujuan untuk peningkatan penerimaan daerah yang diperlukan bagi keperluan
dana pembangunan yang berasal dari sumber-sumber PAD, sedangkan di pihak
lain Polda lebih berkepentingan dalam masalah pengidentifikasian kepemilikan
dan keamanan.
Pengelolaan kebijakan melalui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap
(SAMSAT) sudah sesuai dengan maksud Undang Undang 32 Tahun 2004, namun
efektivitas keberadaan pola dan sistem SAMSAT masih perlu penyempurnaan.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan kajian karena sepengatahuan
penulis belum ada yang menelaahnya, terutama bila dikaitkan dengan suasana dan
nuansa tuntutan tatanan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good Governance
and Clean Government). Penulisan dan penganalisaan mempedomani teori-teori
menurut Ilmu Hukum Administrasi Negara, dikaitkan dengan aspek normatif dari
berbagai ketentuan peraturan perundangan dengan judul : Efektivitas Pelayanan
Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor pada Dinas
Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif
Hukum Administrasi Negara).
6
B. Rumusan Permasalahan
Adapun pokok bahasan penelitian ini, akan ditinjau dari perspektif Hukum
Administrasi Negara yakni :
a. Sejauh mana pelayanan publik di bidang perpajakan pada Dispenda cq.
UPTD Pelayanan Pendapatan Prop. Sumbar di Padang melalui Kantor
Bersama Samsat terhadap Pengelolaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor (PKB dan BBN-KB) efektivitasnya
(efektif dan efisien) mewujudkan "Pemerintahan Yang Baik dan Bersih
(Good Governance and Glean Government)?
b. Faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi efektivitas pelayanan
sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) kepada wajib pajak agar sejalan
dengan peningkatan pemasukan pendapatan daerah (pemungutan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) baik
secara intensifikasi maupun ekstensifikasi?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui efektivitas pelayanan umum yang diberikan oleh instansi
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Cq. Dinas Pendapatan Daerah cq.
UPTD PPP di Padang, melalui kantor bersama SAMSAT kepada wajib
pajak (masyarakat pemilik kendaraan bermotor).
Mengetahui peranan dan fungsi UPTD PPP di Padang dalam mengelola
kewenangannya dalam mengelola sumber pendapatan daerah yang menjadi
tugas dan urusan sesuai dengan kewenangan dalam kompetensi wilayah
administratifnya sesuai ketentuan perundang-undangan.
7
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
kontribusi dan sumbangan pemikiran untuk pengembangan Hukum
Administrasi Negara di Bidang Tata Pemerintahan Daerah pada umumnya,
serta Hukum Perpajakan/Pajak Daerah pada khususnya.
Manfaat Praktis
Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan sebagai kontribusi sumbangan
pemikiran dalam upaya meningkatkan kinerja SKPD serta kualitas kerja
aparat pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan publiknya
kepada wajib pajak/masyarakat.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1 Kerangka Teoritis
1) Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan
pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik
pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian
dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya
adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan
sejahtera, setiap orang bias hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena
memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan
masyarakat.5
5 Parjoko, Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, Nomor 25 Tahun 1999, makalah, Makalah Falsafah Sains (Pps 720) Program
Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor, Februari, 2002, hal. 1.
8
Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya
adalah untuk memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah.
Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh
pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah
hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat.6 Berbeda halnya
dengan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi daerah sudah
melekat pada negara-negara bagian.
Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada
pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan
desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yang dipakai dalam
system pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam system
sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah,
dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat.7
Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang
menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi
kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan
kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah
yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam
sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak
dan pemerintah daerah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan
dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang
6 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka SInar Harapan, Jakarta, Cetakan
1, Juli, 1999. 7 Soetijo, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, PT Rineka Ripta, Jakarta, 1990.
9
satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang
menganut negara kesatuan.8
Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari
sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat
terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otorisasi
dalam wilayah tertentu suatu negara.9
Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi sebagai
proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang
mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada
pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah
pusat diisyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah
Daerahseagai wujud pelaksanaan desentralisasi.10
Tujuan desentralisasi secara umum oleh Smith dibedakan atas 2
(dua) tujuan utama, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis,
tujuan desentralisasi antara lain untuk memperkuat pemerintah daerah,
untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para
penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk mempertahankan
integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi,
antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah
8 Bambang Yudoyono, makalah Telaah Kritis Implementasi UU NO. 22/1999, Upaya Mencegah
Desintegrasi Bangsa, disampaikan pada seminar dalam rangka kongres ISMAHI di Bengkulu, 22 Mei
2000. 9 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
10 Ibid.
10
dalam menyediakan public good and service, serta untuk meningkatkan
efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah.11
Sedangkan D. Juliantara, dkk memberikan pengertian desentralisasi
dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi berasal dari
bahasa latin, de artinya lepas dan centrum artinya pusat.12
Lebih jauh ia
menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yang lebih luas,
bahwa konstek negara-negara demokrasi modern, kekuasaan politik
diperoleh melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular
dan serentak di setiap daerah untuk memberikan legitimasi terhadap tugas
dan wewenang lembaga-lembaga politik di tingkat nasional dan juga di
tingkat local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah
yang memintah dan menarik kembali sebagian kewenangan yang telah
diberikan kepada pemerintah pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah
pusat.13
Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan melahirkan
otonomi daerah dan bahkan kadangkala sulit untuk membedakan
pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi dan otonomi
daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu sama
lainnya. Lebih spesifik, ungkin tidak berlebihan ila dikatakan ada atau
tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh beberapa jauh wewenang
yang telah didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah
Daerah. Itulah sebabnya, dalam studi Pemerintahan Daerah, para analis
11
Syarif Hidayat (editor), Kegamangan Otonomi Daerah? Pustaka Quantum, Jakarta, 2004. 12
D. Juliantara, dkk. Desentralisasi Kerakyatan, Gagasan da Praksis, Pondok Edukasi, Bantul,
2006. 13
Ibid.
11
sering menggunakan istilah desentralisasi dan otonomi daerah secara
bersamaan, interchange”.
Adanya otonomi daerah dalam negara, dilatarbelakangi oleh
pengalaman masa lalu dimana keberadaan negara hanya dianggap sebagai
instrument oleh kaum kapitalis. Kondisi ini kemudian melahirkan konsep
Marxis tentang Instrumental State. Demikian halnya paham Sosialis yang
menghendaki adanya otonomi dari pengaruh partai politik (partai komunis)
yang cenderung mengintervensikan kehidupan negara. Dalam hubungan ini
negara menginginkan otonomi untuk memperkecil dan bahkan
menghilangkan pengaruh-pengaruh ataupun intervensi kaum-kaum
kapitalis dan sosialis. Berbeda halnya dengan pemberian otonomi dengan
pemerintah local, yaitu untuk memperbesar kewenangan mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.14
Oleh karena itu, keperluan otonomi di tingkat local pada hakikatnya
adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah.
Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh
pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah
hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya
dengan otonomi daerah di negara federal, di mana otonomi daerah sudah
melekat pada negara-negara bagian.
Reuter, mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian pengakuan
atas penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi
kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan
14
Sarundajang, op cit.
12
berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan
pengaturan dalam pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi.
Dalam hal itu Rondineli, mengatakn bahwa desentralisasi dari arti luas
mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik
kepada daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan
di daerah.15
Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi pada
dasarnya mempunyai makan bahwa melalui proses desentralisasi urusan-
urusan pemerintahan yang semua termasuk wewenang dan tanggung jawab
pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada badan/lembaga
pemerintahan di daerah.16
Prakarsa untuk menemukan prioritas, memilih alternatif dan
mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik
dalam hal menentukan kebijaksanaan, perencanaan, maupun pelaksanaan
sepenuhnya diserahkan kepada daerah.
Lebih dalam lagi, bila kita cermati prinsip-prinsip hukum dalam
pengelolaan masalah-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance
dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya dan masalah-
masalah publik dikelola secara efektif dan efisien serta aspiratif yang
didasarkan kepada transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat
serta rule of law.
15
Oentara Sm, dkk, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, Samitra Media Utama,
Jakarta, 2004. 16
Koeswara, Prospek Pengembangan desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan Titik Berat
pada Daerah Tingkat II, Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Dalam Negeri, 1996.
13
Oleh karena itu pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan
administrasi dalam mengelola masalah-masalah layanan tersebut perlu
memperhatikan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumber daya yang
dimiliki, seperti prinsip good governance, subsidiarity, equity, privaty use,
prier appropriation (first in time, first in right), sustainable development,
good sustainable development govermance dan participatory
development.
Menurut peneliti prinsip subsidiarity dalam pelaksanaan otonomi
daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan
dan tepat dipedomani dan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya
pendapatan daerah, karena menurut teori subsidiarity secara lugas dan
tegas dikatakan bahwa kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah
tingkat lebih atas (pusat) kepada pemerintah tingkat lebih rendah (seperti
provinsi dan atau kabupaten/kota) akan dapat ditarik kembali oleh tingkat
lebih atas bila ternyata tingkat lebih rendah yang menerimanya tidak dapat
melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya sebagai mana
mestinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah
provinsi dalam menjalankan urusan otonomi daerahnya di bidang
perpajakan including/ termasuk di dalamnya pemberian pelayanan publik
yang baik terhadap wajib pajak sektor tertentu jelas akan menjadi ukuran
tingkat kemampuan yang realistas bagi suatu pemerintah provinsi tersebut.
Artinya bila pemerintah provinsi ternyata tidak mampu mengelola
kewenangan dan administrasi pengelolaannya dengan baik, maka
14
pemerintah pusat memiliki otoritas penuh untuk menarik kembali
penyerahan/pemberian kewenangan untuk mengelola urusan seperti
kewenangan mengelola/memungut pajak daerah tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa salah
satu tujuan otonomi yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang
semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi diharapkan daerah akan
memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem
sentralistik. Pelayanan pemerintah dengan sistem sentralistik. Pelayanan
pemerintah di era otonomi, diharapkan akan lebih baik dan aspiratif,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran dari kemandirian daerah adalah agar daerah dapat
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kertergantungan daerah
terhadap pusat dalam pengambilan berbagai keputusan publik
diminimalkan. Diharapkan keputusan publik yang dibuat oleh daerah bagi
kepentingan masyarakatnya akan lebih cermat, lebih tepat dan lebih cepat
atau dengan kata lain pelayanan akan lebih berdaya guna dan berhasil
guna.17
Kemandirian daerah ini adalah dimaksudkan untuk tujuan
pemberian pelayanan yang efisien, partisipatif dan akhirnya peningkatan
daya saing daerah. Keputusan publik yang cermat, tepat dan cepat itu
adalah merupakan cerminan dari efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah
sekolah dikatakan efisien bila daya tampungnya terpenuhi. Keputusan
17
Syahruddin dan Werry Darta Taifur, Peranan DPRD untuk Mencapai Tujuan Desentralisasi
dan Perspektif tentang Pelaksanaan Desentralisasi, Laporan penelitian Iris Indonesia dan Pusat Studi
Kependudukan UNAND Padang, Tahun 2002, hal. 28.
15
pembuatan jalan raya efisien bila jalan tersebut bermanfaat oleh
masyarakat yang ada di sekitarnya. Begitu juga halnya dengan pendirian
rumah sakit pada lokasi tertentu.
Dalam rangka itu reposisi daerah hendaknya dipahami sebgai upaya
mengaktualisasikan berbagai potensi dan aspirasi masyarakat daerah,
sehingga rakyat di daerah dapat mengekspresikan kepentingan dan
kehendaknya. Untuk itu pemerintah daerah perlu menyusun kerangka kerja
yang memungkinkan terserapnya berbagai potensi dan aspirasi rakyat
terutama prinsip pelayanan.
Mengingat tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk
menjaga sistem ketertiban di dalam masyarakat, sehingga bisa menjalani
kehidupannya secara wajar. Pemerintah diadakan tidaklah untuk melayani
dirinya sendiri tetapi juga untuk melayani masyarakat,18
dalam
mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan
bersama.
Untuk mencapai pelaksanaan pelayanan umum tersebut dibutuhkan
oaparatur yang berkualitas, memiliki kemampuan dalam melayani,
memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan masyarakat secara
memuaskan, sesuai dengan ekspektasi (harapan) mereka melalui
kebijaksanaan, perangkat hukum yang berfungsi sebagai acuan dalam
pengendalian, pengaturan agar kekuatan sosial dan aktivitas masyarakat
tidak membahayakan negara dan bangsa.
18
Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan : Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif
Watampone, Jakarta, 1997.
16
Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa untuk
mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi
pemerintahan.19
Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan
akan semakin dekat dengan rakyat. Asumsinya pemerintahan yang dekat
denagn rakyat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat,
murah, responsif, inovatif, akomodatif dan produktif. Ryaas Rasyid
mengatakan ”the closer givernment, the better it service”.20
Dalam
desentralisasi terkandung makna otonomi dan demokratisasi. Dua kata
tersebut yakni otonomi dan demokrasi tidak mungkin dipisahkan, ia ibarat
dua sisi mata uang yang satu dan yang lain saling memberi nilai. Otonomi
tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan21
dan sebaliknya
demokratisasi tanpa otonomi adalah kebohongan. Dalam sejarah otonomi
di Indonesia sejak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan.
Yuridis formal dalam undang-undang pemerintahan daerah otonomi
diakui, tetapi dalam implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan
melalui filter-filter yuridis peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut,
akibatnya kemandirian dan otoaktivitas daerah menjadi tersumbat. Hal
itulah yang kemudian melahirkan resistensi daerah terhadap pusat yang
sangat menguras energi menyelesaikannya. Adanya otonomi kebijakan
otonomi khusus bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya memang lahir di tengah
19
Baca David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government, 1993, hal. 250 dst. 20
M. Ryaas Rasyid, Desentralisasi dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah, dalam
Administrasi Pembangunan Indonesia, LP3ES, 1998, hal. 140. 21
Yuslim, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Tesis, Pascasarjana Unpad, 1997. Kasus
Pemilihan Gubernur Riau tanggal 2 September 1985 di mana Ismail Suko yang memperoleh dukungan
DPRD dengan 19 suara, sementara H. Imam Munandar yang memperoleh dukungan 17 suara, karena
kuatnya arus sentralisasi Ismail Siko menyatakan mundur dari pencalonan Gubernur setelah diminta
menghadap Ketua Golkar, waktu itu Wakil Presiden Sudarmono.
17
derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu jika pusat menyadari secara filosofis
dan sosiologis otonomi yang dibangun bikan linear atau simetris tetapi
suatu asymmetric decentralization.22
2) Pelayanan Umum
Pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas dan fungsi utama
pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan tugas
pemerintahan secara umum, yaitu memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat,
maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan negara yaitu menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut
terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.23
Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori
sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga
komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan
publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan ketertiban, bantuan
sosial dan penyiaran.24
Dengan demikian yang dimaksud pelayanan publik
adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan perusahaan milik
negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam
rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
22
Kebijakan otonomi yang uniformitas tidak sesuai dengan esensi kebhinekaan di Indonesia, dan
juga tidak sesuai dengan ajaran rumah tangga riil. 23
Hanif Nurcholish, Teori dan Pratek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, 2005,
hal. 175. 24
Ibid, hal. 176.
18
Pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai tiga fungsi
utama : 1) memberikan pelayanan (service) baik pelayanan perorangan
maupun pelayanan publik/khalayak, 2) melakukan pembangunan fasilitas
ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (development for
economic growth), dan 3) memberikan perlindungan (protective)
masyarakat.25
Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib
memberikan pelayanan publik secara perorangan maupun khalayak/publik.
Pelayanan untuk orang perorangan misalnya pemberian KTP, SIM, IMB,
Sertifikat tanah, paspor, surat izin dan keterangan. Pelayanan publik
misalnya pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung,
trotoar, waduk, taman nasional, panti anak yatim/jompo/cacat/miskin,
tempat pedagang kaki lima dan lain-lain.26
Oleh karena itu pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan
perorangan dengan biaya murah, cepat dan baik, harus mendapatkan
pelayanan yang sama. Disamping itu juga harus diperlakukan oleh petugas
dengan sikap yang sopan dan ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya,
miskin, pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, harus diperlakukan
sama.
Tidak boleh dibeda-bedakan baik dengan sikap, biaya maupun
waktu penyelesaian. Pelayanan pemerintah daerah kepada khalayak juga
harus adil dan merata. Pemerintah Daerah tidak boleh menganakemaskan
25
Ibid, hal. 178. 26
Ibid.
19
atau menganaktirikan kelompok masyarakat tertentu, sehingga yang satu
diberi lebih dan yang lain diberi sedikit.27
Dengan demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus
dapat memuaskan publik. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah bisa diukur dengan
indikator-indikator : mudah, murah, cepat, tidak berbelit, petugasnya
murah senyum, petugasnya membantu jika ada kesulitan, adil dan merata
serta memuaskan.
3) Kualitas Pelayanan
Vincent Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan,
meliputi dimensi-dimensi berikut :28
- Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu
proses
- Akurasi pelayanan, berkaitan dengan keakuratan pelayanan dan bebas
dari kesalahan-kesalahan.
- Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, berkaitan
dengan prilaku orang-orang yang berintegrasi langsung kepada
pelanggan eksternal.
- Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan
penanganan keluhan pelanggan eksternal (masyarakat).
- Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya
petugas yang melayani dan fasilitas pendukung.
27
Ibid, hal. 182. 28
Ditjen Pemerintahan Umum, op.cit.
20
- Kenyamanan mendapat pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruangan
tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi dan petunjuk
panduan lainnya.
- Atribut pendukung lainnya, seperti lingkungan, kebersihan, ruang
tunggu, fasilitas musik, AC, dan lain-lain.
Vincent Gesperz juga mengemukakan manajemen perbaikan
kualitas yang dikenal dengan konsep Vincent.
Konsep ini terdiri dari strategi perbaikan kualitas yaitu :
- Visionary transformation (tranformasi misi)
- Infrastructure (infrastruktur)
- Need for Improvement (kebutuhan untuk perbaikan)
- Customer Focus (Fokus Pelanggan)
- Empowerment (Pemberdayaan)
- NewViews of Quality (pandangan baru tentang kualitas)
- Top Management ( Komitmen manajemen puncak)
4) Prinsip Good Governance
Word Bank maupun UNDP mengembangkan istilah baru yaitu
”governace” sebagai pendamping kata ”government”. Istilah tersebut
sekarang sedang sangat populer digunakan dikalangan akademisi maupun
masyarakat luas. Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia dalam berbagai kata. Ada yang menterjemahkan menjadi
21
”tata pemerintahan”, ada pula yang menterjemahkan menjadi
”kepemerintahan”.29
Perubahan penggunaan istilah dengan pengertiannya akan
mengubah secara mendasar pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan
di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Perubahannya akan mencakup tiga
dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi fungsional serta dimensi
kultural. Perubahan struktural menyangkut struktur hubungan antara
pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, struktur hubungan antara
eksekutif dan legislatif maupun struktur hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat. Perubahan fungsional menyangkut perubahan fungsi-
fungsi yang dijalankan pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun
masyarakat. Sedangkan perubahan kultural menyangkut perubahan pada
tata nilai dan budaya-budaya yang melandasi hubungan kerja
intraorganisasi, antarorganisasi maupun eksraorganisasi.30
United Nation Development Programe (UNDP), memberikan
batasan pada kata governance sebagai “pelaksanaan kewenangan politik,
ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa”.
Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya publik
dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien, yang
merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan
yang efektif dan efisien dan responsive terhadap kebutuhan rakyat
menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya
29
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqprint
Jatinangor, Bandung, hal. 27. 30
Ibid.
22
alam dan pengelolaan masalah-masalah publik yang didasarkan pada
keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan.
Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini berarti good
governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedangkan (good
governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik
(penyelenggaraannya). Clean government mengandung arti pemerintahan
yang bersih (lembaga), sedangkan Clean government berarti pelaksanaan
pemerintahan yang bersih.
Baik buruknya suatu pemerintahan bisa dinilai bila ia telah
bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance
sebagaimana tersebut di bawah ini.31
Partisipasi (Participation)
Sebagai pemilik kedaulatan rakyat, setiap warga negara
mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam
bernegara, berpemerintahan serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut
dapat dilakukan secara langsung maupun melalui institusi intermediasi
seperti DPRD, LSM dan lain sebagainya. Partisipasi rakyat warga
negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara
menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan,
evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara
disebut transparansi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan
berpemerintahan, yaitu :
31
Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqaprint
Jatinangor, Bandung, hal. 27, lihat juga dalam Agung Hendarto, nazar Suhendar (eds), Good government dan Penguatan Institusi Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), 2002, hal 2-3.
23
- Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan)
- Ada keterlibatan secara emosional
- Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari
keterlibatannya.
Penegakan Hukum (Rule of Law)
Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan
demokratisasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan
dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang tegas,
tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, melainkan anarki.
Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai
tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain,
termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal
penciptaan good governance adalah membangu sistem hukum yang
sehat, baik perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware)
maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya (human
ware).
Transparansi (Transparancy)
Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan.
Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka
akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup
semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik mulai dari
proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik sampai
pada tahap evaluasi.
24
Daya Tanggap (Responsiveness)
Sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan, maka setiap
komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance
perlu memiliki daya tanggap terhadap keinginan maupun keluhan para
pemegang saham (satake holder). Upaya peningkatan daya tanggap
tersebut terutama ditujukan pada sektor publik yang selama ini
cendrung tertutup, arogan serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk
mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan
oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survey tingkat
kepuasan konsumen (custumer satisfaction).
Berorientasi pada Konsenseus (Consensus Orientation)
Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat pada
dasarnya adalah kreatifitas politik, yang berisi dua hal utama yaitu
konflik dan konsensus. Di dalam good governance, pengambilan
keputusan maupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan
berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan kesedian untuk
konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama.
Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru,
karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah
melalui “musyawarah”.
Keadilan (Equity)
Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi
karena kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, maka
25
sektor publik perlu memainkan peranan agar kesejahteraan dan
keadilan dapat berjalan seiring sejalan.
Keefektifan dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia,
kegiatan domain dalam governance perlu mengutamakan efektivitas
dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan
efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini
menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa adanya
kompetensi tidak akan tercapai efisiensi.
Akuntabilitas (Accountability)
Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu
mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan
tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja melainkan
juga pada para pemegang saham (stake holder), yakni masyarakat luas.
Secara teoritis, akuntabilitas itu sendiri dapat dibedakan menjadi lima
macam yaitu sebagai berikut :
- Akuntabilitas Organisasional / administratif.
- Akuntabilitas legal
- Akuntabilitas politik
- Akuntabilitas profesional
- Akuntabilitas moral
Visi Strategis (Strategic Vision)
Dalam era yang berubah secara dinamis seperti sekarang ini,
setiap domain dalam good governance perlu memiliki visi yang
26
strategis. Tanpa adanya visi semacam itu, maka suatu bangsa dan
negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu sendiri dapat dibedakan
antara visi jangka panjang (long term vision) antara 20 sampai 25 tahun
(satu generasi) serta visi jangka pendek (short term vision) sekitar 5
tahun.
2 Kerangka Konseptual
1) Pengeseran kewenangan Administrasi Negara
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan saat ini telah diperlakukannya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai implikasi sebagai
akibat adanya pergeseran kewenangan yang semua bersifat sentralistik
menjadi desentralistik. Artinya kewenangan –kewenangan yang semua
diatur dan ditentukan oleh Pemerintah Pusat otonotis berpindah dan telah
menjadi kewenangan dan tanggung jawab Daerah.
Dalam pada itu, bila dicermati pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 diterangkan bahwa kewenangan bidang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara
makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan
lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber
daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi
yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional, disebutkan bahwa
posisi pemerintah pusat hanya sebatas menyiapkan dan berbuat yang
27
bersifat kebijakan-kebijakan saja, dengan pengertian tidak lagi bertindak
sebagai menetapkan setiap kebutuhan daerah.
Bila pergeseran kewenangan termasuk kewenangan yang bertalian
dalam menerbitkan berbagai bentuk tata usaha negara atau administrasi
negara yang semula terpusat/terkonsentrasi (dikuasai) oleh pemerintah
pusat tentu pergesaran tersebut akan termasuk berbagai kewenangan tata
usaha negara atau administrasi negara yang selama ini ditangani pusat akan
menjadi kewenangan dan tanggung jawab daerah.
Selain itu, dalam Undang-Undang Pemerintaha Daerah disebutkan
pula bahwa otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh
Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi tersebut berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Makna pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 dan pengertian otonomi bertanggung jawab, akan terlepasnya
hak dan kewenangan pusat berupa ijin yang meliputi pengesahan,
penghapusan, persetujuan, penetapan dan berbagai kewenangan lain
bergeser/berpindah menjadi hak dan kewenangan Daerah Propinsi,
Kabupaten/Kota.
Begitupun dalam pengertian otonomi luas vide Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya
saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
28
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dari Daerah dalam sistem
Negara Kesatuan RI inilah prinsip dari otonomi seluas-luasnya itu yaitu
berdasarkan asas otonomi dan urusan pembantuan.
Menurut Bagir Manan,32
ketentuan ini memberikan gambaran
bahwa otonomi daerah itu merupakan wewenang dari daerah.
2) Efektivitas Reformasi Perpajakan
Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak salah
satunya melalui:
Reformasi perpajakan (1983) dengan perubahan sistem perpajakan
yaitu dari sistem official assesment, menjadi sistem self assesment.
Perubahan sistem perpajakan didikuti dengan penyempurnaan
administrasi perpajakan melalui perubahan struktur organisasi
melalui reorganisasi, harus terus dilakukan secara
berkesinambungan. Dengan harapan dapat meningkatkan kinerja
yang dapat diukur berdasarkan produktivitas, responsivitas dan
akuntabilitas.
Sasaran Administrasi perpajakan adalah untuk meningkatkan
kepatuhan wajib pajak (Toshiyuki). : Target Akhir administrasi perpajakan
adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, bahwa dalam sistem
self assesment aktifitas utama administrasi perpajakan adalah untuk
mengawasi kepatuhan dan meyakinkan bahwa wajib pajak menjalankan
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal:
32
Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, makalah disampaikan
pada Penataran Dosen Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum BKS-PTN bidang Hukum se-
Wilayah Barat, Fakultas Hukum Universitas Lampung di Bandar Lampung, tanggal 11 November
1994, hal 2
29
- Pendaftaran wajib pajak
- Penilaian
- Menjalankan Prosedur pemungutan
- Pelaporan penghindaran dan penggelapan pajak
Menurut Bird dan Jantscher terdapat hubungan antara administrasi
perpajakan dengan kepatuhan wajib pajak yang dapat memperkecil angka
ketidak patuhan. Bukan hanya melihat dari aspek peningkatan penerimaan
saja.33
Administrasi pajak yang baik pada dasarnya tidak mampu
mengumpulkan penerimaan pajak sebesar-besarnya. Administrasi
perpajakan yang mudah ditagih, seperti gaji pegawai, tetapi tidak mampu
untuk menagih pajak dari perusahaan-perusahaan dan profesional, jadi
penerimaan pajak bukan merupakan ukuran yang tepat atas efektivitas
administrasi perpajakan. Pengukuran lebih akurat untuk mengetahui
efektivitas administrasi perpajakan adalah berapa besarnya jurang
kepatuhan, yaitu selisih antara penerimaan pajak yang sesungguhnya
dengan penerimaan pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-
masing sektor perpajakan.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kepatuhan
wajib pajak saat ini masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari aspek
pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya yang berkaitan dengan
33
Chaizi Nasuha, Reformasi Administrasi Publik Teori dan Praktek, Grasindo, Jakarta, 2004,
hal. 8-9
30
kewajiban; pendaftaran, pelaporan SPT dan pelunasan pajak terhutang,
pendeknya kepatuhan WP dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
Pertama : Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, jumlah
wajib pajak yang terdaftar pada administrasi pajak masih
sangat rendah (pada tahun 2002 dari 210 juta jumlah
penduduk wajib pajak orang pribadi dan badan yang terdaftar
hanya 2.583.960 wajib pajak. Artinya Sistem Perpajakan
Nasional belum dapat meningkatkan pembayaran beban pajak
yang terdistribusi secara merata, karena hanya 10 % lebih
wajib pajak yang menanggung beban pajak (Tax Corverage
Ratio).
Kedua : Kepatuhan wajib pajak untuk menyetor kembali Surat
Pemberitahuan (SPT).
Ketiga : Kepatuhan wajib pajak dalam perhitungan dan pembayaran
pajak terhutang masih rendah (1.068.467 WP atau 41,35%
dari keseluruhan wajib pajak efektif yaitu 2.583.960 wajib
pajak).
Keempat : Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan pajak, akumulasi
jumlah nominal tunggakan pajak cukup besar (sampai tahun
2000 Rp. 17,3 Triliun, besarnya jumlah tunggakan dan
rendahnya pencapaian penagihan pajak tiap tahun
menunjukkan bahwa penegakkan hukum melalui penagihan
aktif belum dilaksanakan secara optimal sesuai dengan
ketentuan.
31
Dengan demikian menurut Chaizi Naruha tersebut terlihat bahwa
ada hubungan/korelasi antara reformasi perpajakan dengan tingkat
kepatuhan wajib pajak.
Menurut Andreoni et, al; Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain: Pelayanan Publik, kebijakan dan keuangan
publik, penawaran tenaga kerja, jenis pekerjaan, bentuk organisasi, moral
wajib pajak, tarif pajak, demografi (jenis kelamin dan umur), kondisi sosial
masyarakat, penegakan hukum (audit dan penalti), kompleksitas dan
amnesti pajak.
Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib
pajak, untuk membatasi permasalahan penelitian ini hanya difokuskan pada
pengaruh efektivitas reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan
wajib pajak yang meliputi reformasi organisasi, prosedur organisasi,
strategi organisasi dan budaya organisasi.
Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa tingkat kepatuhan
wajib pajak dipengaruhi oleh bagaimana administrasi perpajakan
dijalanka.34
Administrasi perpajakan yang lemah, baik yang menyangkut aspek
struktur organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi maupun budaya
organisasi dapat menyebabkan akuntabilitas organisasi dan tingkat
kepatuhan wajib pajak rendah dan ini berdampak juga pada rendahnya
kinerja perpajakan.
34
Ibid, hal 28-29
32
Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
apakah reformasi administrasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini
sudah atau belum secara menyeluruh mencakup perubahan dari aspek
struktur organisasi, prosedur, strategi organisasi, dan budaya organisasi,
sehingga berpengaruh terhadap akuntabilitas organisasi,
(SAMSAT/UPTD) dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
3) Kinerja Sektor Publik
Kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi menurut,
Rue dan Bryan, kinerja adalah tingkat pencapaian (the degree of
accomplishment).
Kinerja bagi setiap organisasi sangat penting terutama penilaian
ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu tertentu. Berbagai
pendapat menyamakan kinerja (performance) dengan prestasi kualitas
pelaksanaan tugas atau aktivitas pencapaian tujuan dan misinya.35
Di samping itu ada pula pendapat yang menyamakan pengertian
kinerja dengan efisiensi dan efektivitas. (Miles dan Snow 1978, 77-78).
(Interplant, 1969 : 15)36
Atmo Sudirjo, berpendapat bahwa kinerja dapat berarti prestasi
kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu.
Levine, Lima indikator untuk mengukur kinerja sektor publik,
produktifitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan
akuntabilitas.37
35
Ibid, hal. 24 36
Opcid, hal 24 37
Loc cit
33
a. Produktivitas adalah ukuran seberapa pelayanan publik itu
menghasilkan yang diharapkan, dari segi efisiensi dan efektivitas.
b. Kualitas pelayanan adalah ukuran-ukuran citra yang diakui masyarakat
mengenai pelayanan yang diberikan yaitu masyarakat merasa puas atau
tidak puas.
c. Responsivitas adalah ukuran kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan
publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d. Responsibilitas adalah ukuran apakah pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar.
e. Akuntabilitas adalah ukuran seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau
konsisten dengan kehendak rakyat.
4) Pelayanan Publik dalam Administrasi Negara
Pengertian pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang
lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan
interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan.38
Sedangkan
pelayanan umum menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara ( Men-Pan ) No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk
pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di
daerah dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk
barang dan atau jasa, bai dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan
38
Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri,
34
masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dari pengertian tentang pelayanan umu di atas, terkait beberapa
istilah dalam administrasi Negara, seperti instansi pemerintah, tata laksana,
tata kerja, prosedur kerja, sistem kerja, kewajiban dan seterusnya yang
diuraikan di bawah ini.39
1. Instansi Pemerintah
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah di sini adalah sebutan
kolektif yang meliputi satuan kerja atau satuan organisasi suatu
departemen, lembaga pemerintah bukan departemen, instansi pemerintah
lainnya, baik instansi pemerintah di tingkat pusat maupun instansi
pemerintah di tingkat daerah, termasuk BUMN dan BUMD.
2. Tata Laksana
Yang dimaksud dengan tata laksana adalah segala aturan yang
ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah yang menyangkut tata cara,
prosedur dan sistem kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenaan
dengan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah dan pembangunan
pelayanan di bidang umum.
3. Tata Kerja
Tata kerja dimaksudkan sebagai cara-cara pelaksanaan kerja yang
efisien mengenai satu atau serangkaian tugas dengan memperhatikan segi-
segi tujuan, peralatan, fasilitas, tenaga waktu, ruang, biaya yang tersedia.
4. Prosedur Kerja
39
Ibid, hal.3
35
Yang dimaksud dengan prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja
yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya urutan secara
jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka
penyelesaian suatu bidang tugas.
5. Sistem Kerja
Sistem kerja di sini diartikan dengan rangkaian tata kerja dan
prosedur kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja tertentu dalam
rangka mencapai hasil kerja yang diharapkan.
6. Kewajiban
Kewajiban di sini diartikan sebagai aparatur penyelenggaraan
pelayanan umum untuk mengambil tindakan dalam rangka pelaksanaan
tugas dan fungsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
rangka memuaskan masyarakat sebagai pelanggan, kewajiban bukan hanya
melekat pada pejabat, tetapi setiap aparatur dalam lingkungan kerja ketika
bertemu dengan pelanggan. Misalnya wajib untuk menanyakan apa yang
diinginkan pelanggan yang hadir pada waktu itu. Artinya harus proaktif
dalam menyambut kedatangan pelanggan.
F Metode Penelitian
a. Pendekatan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan empiris
menurut penelitian hukum sosiologis untuk mengetahui efektivitas dan
dampak hukum dari adanya kebijaksanaan publik pelayanan di bidang
perpajakan. Yang diukur dari standar waktu dan biaya berdasarkan Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Dalam hal ini secara normatif apakah telah
36
berhasil atau gagal menciptakan kinerja (pencapaian target penerimaan/
pemungutan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan
bermotor) secara bersamaan yang ditilik dari aspek kepatuhan wajib pajak
(kesadaran hukum masyarakat) dan pemahaman aparat perpajakan dalam
memberikan pelayanan saat mengemban tugasnya sehari-hari. Penelitian
ini menggunakan data kuantitatif dan kualitatif yang diperdapat saat survey
deskriptif, yang disampaikan dalam bentuk deskripsi kualitatif.
b. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada Kantor Bersama SAMSAT/ UPTD
Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang dengan wilayah
kerja meliputi wilayah otonom dan Administratif Kota Padang yang terdiri
dari sebelas Kecamatan, yaitu Kecamatan Padang Timur, Padang Barat,
Padang Utara, Padang Selatan, Lubuk Begalung, Kuranji, Nanggalo, Koto
Tangah, Teluk Kabung, Lubuk Kilangan dan Pauh dengan 103
kelurahannya. Pengambilan sampel penelitian diambil dari lima kecamatan
tertentu yang padat penduduknya di Kota Padang, sedangkan kecamatan
lain (6 kecamatan) hanya 2 kecamatan (diambil/dipilih) secara acak, sesuai
dengan kompetensi keperluan situasi dan kondisi sampel.
c. Metode dan Alat Pengumpulan bahan hukum.
Teknik pengumpulan data yang digunakan tergantung kepada data
dan sumber data yang dibutuhkan, antara lain adalah :
1) Dokumentasi; untuk mengumpulkan data primer dan sekunder, penulis
menganalisa dokumen-dokumen dalam bentuk tulisan. Data yang
dikumpulkan antara lain tentang APBD, Pendapatan Asli Daerah,
37
Hukum Pajak Daerah, data kepegawaian, data statistik berupa PDRB,
laporan-laparan dan lain-lain yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
2) Observasi; untuk memperoteh informasi serta gambaran empirik
tentang data-data yang diperlukan dengan mengadakan pengamatan
langsung pada obyek penelitian.
3) Wawancara; adalah percakapan langsung dengan maksud untuk
memperkuat data sekunder yang diperlukan dalam penelitian.
Percakapan itu dilakukan aleh dua pihak yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(responden). Tehnik wawancara yang digunakan adalah wawancara
terbuka (open interview) dengan maksud agar responden tahu bahwa
mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud wawancara
tersebut. Untuk itu instrumen penelitian yang digunakan adalah
pedoman wawancara (indepth interview) yang merupakan penuntun
bagi peneliti dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat terbuka sehingga memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
bagi responden untuk menyampaikan pendapatnya.
4) Untuk melengkapi sumber data primer dalam penelitian ini, juga
ditetapkan para fungsionaris pejabat terkait yang berkompeten
mengambil kebijakan terhadap kinerja Dinas Pendapatan Daerah
Provinsi Sumatera Barat dan UPTD Samsat Padang yakni pejabat yang
menempati tingkatan (top management, middle management, dan lower
rrranagement' serta staf) serta para penentu kebijakan pada Pemerintah
Propinsi Sumatera Barat dan Jajaran Polda Sumatera Barat.
38
d. Populasi dan Sampel
Dari populasi 420 yang didapatkan dari jumlah rata-rata wajib
pajak dan aparat perpajakan terkait setiap harinya, diambil sebagai sampel
sebanyak 42 orang (10%), yang ada pada Kantor Bersama
SAMSAT/UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di
Padang, dari para wajib pajak dipilih sampelnya sebanyak 42 orang yang
berasal dari masyarakat Kota Padang dalam wilayah 5 kecamatan
sampel/terpilih yaitu Kecamatan Padang Timur 8 orang, Kecamatan
Padang Barat 8 orang, Kecamatan Koto Tangah 8 orang, Kecamatan
Lubuk Begalung 8 orang dan Kecamatan Bungus 28 orang dan 2 orang
dari aparat pajak yang berdomisili di luar Kota Padang.
Teknik yang dipakai dalam pengambilan sampel adalah Stratified
random sampling, karena dcngan cara ini sub kelompok yang spesifik akan
memiliki jumlah yang cukup terwakili dalam sampel, serta menyediakan
jumlah sampel sebagai sub analisis dari anggota kelompok tersebut. Dalam
strategi ini populasi dikategorikan dalam kelompok-kelompok yang
memiliki strata yang sama sesuai karakteristik masing-masing responden.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
responden (wajib pajak) dan petugas pajak serta pejabat yang berwenang/
terkait. Untuk melengkapi data yang diperoleh secara langsung dari
responden tersebut, data juga diperoleh dari beberapa informan tertentu,
yaitu orang-orang yang relevan dianggap mengetahui masalah objek
penelitian dengan melakukan wawancara.
39
Sedangkan Data Sekunder merupakan data yang diperoleh
dari buku referensi dan data yang ada di Dispenda Provinsi Sumatera
Barat, Ditlantas Polda Sumatera Barat, PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang
Sumatera Barat dan Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang.
Data yang diperoleh antara lain yang berkaitan dengan situasi dan Kondisi
Samsat, seperti sumber daya yang tersedia, meliputi manusia (kualitas dan
kuantitas) dan prasarana serta wajib pajak yang dilayani.
Selain itu, Data Sekunder ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan
yang bersumber dari :
1. Bahan Hukum Primer, antara lain :
a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
c. Instruktur Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintahan.
d. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu
Pelayanan Aparatur Pemerintahan Kepada Masyarakat.
e. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/
M.PAN/2003 tentang Pedoman Umum Penyeleng-garaan Pelayanan
Publik.
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah.
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
40
h. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara :
Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
i. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan
Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
j. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima
ABRI, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
PoI/KEP/13/XII/1976, Nomor KEP.1693/MK/TU/12/1976 dan
Nomor 311 Tahun 1976, tentang Peningkatan Kerjasama antara
Pemerintah Daerah Tingkat I, Komando Daerah Kepolisian dan
Aparat Departemen Keuangan dalam rangka peningkatan pelayanan
kepada masyarakat serta peningkatan Pendapatan Daerah khususrya
mengenai Pajak Kendaraan Bermotor;
k. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
l. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
m. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan
dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;
n. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1973 tentang Pembentukan Dinas
Pendapatan Daerah;
41
o. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 22 Tahun 2001
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis Dinas (UPTD) Provinsi Sumatera Barat;
p. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 57 Tahun 2004 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik di lingkungan
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
q. Surat Keputusan Bersama Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah
Sumatera Barat dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Propinsi
Sumatera Barat dan Kepala Cabang Jasa Raharja ( Persero ) Sumatera
Barat Nomor : B/24/I/2006/DITLANTAS per Nomor: 973/043/
PAJAK-2006/ Nomor: P/1/SPP/2006, tanggal 24 Januari 2006,
tentang Standar Pelayanan Minimal Penerbit STNK, Pembayaran
Pajak Kendaraan Bermotor ( PKB ), Bea Balik Nama Kendaraan
Bermtor ( BBNKB ), dan Sumbangan Wajib dana Kecelakaan Lalu
Lintas Jalan ( SWDKLLJ ). Pada Kantor Bersama SAMSAT Di
Sumatera Barat.
r. Surat Edaran Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera
Barat Nomor 065/181/Dipenda-2006, 28 Februari Tahun 2006 tentang
Standar Pelayanan Minimal ”Penerbitan Naskah Dinas dalam bentuk
surat yang berkaitan dengan Pelayanan Umum yang diberikan oleh
Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat.
s. Produk hukum yang berlaku dan relevan lainnya.
2. Bahan Hukum Sekunder
42
Dihimpun melalui kegiatan penelitian dengan memanfaatkan media cetak
dan elektronik berupa buku-buku, tesis, majalah, surat kabar, internet dan
sebagainya.
3. Bahan Hukum Tertier
Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum
sekunder, seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain
d. Teknik Analisis Bahan Hukum (Kualitatif)
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini
dilakukan secara kualitatif. Setelah data primer terkumpul, dilakukan
pengelompokan data dan pengeditan guna mengidentifikasi data yang relevan
dengan pokok permasalahan penelitian. Setelah itu data dianalisis.
Analisis data dimaksudkan adalah untuk menyederhana-kan data agar
menjadi informasi yang dapat digunakan dalam menjelaskan permasalahan
penelitian. Pada tahap ini analisis data dilakukan setelah semua informasi
dianggap cukup memadai oleh peneliti. Langkah yang dilakukan untuk
menganalisi data yaitu melakukan penyederhanaan informasi yang diperoleh
dengan memilah-milah informasi berdasarkan kategori yang telah disiapkan
dalam blanko tanggapan dan daftar wawancara dengan menggunakan aturan
positif yang ada dan teori-teori maupun pendapat yang disinggung dalam
tinjauan pustaka, sehingga dapat ditafsirkan untuk merumuskan kesimpulan
penelitian.
43
BAB II
PELAYANAN PUBLIK DIBIDANG PERPAJAKAN
A. Pelayanan Publik
1. Pengertian
Pelayanan adalah suatu cara melayani, membantu menyiapkan,
mengurus dan menyelesaikan keperluan kebutuhan mayarakat, baik
secara perorangan, kelompok dan atau golongan, organisasi ataupun
sekelompok anggota organisasi).40
Dalam pengertian pelayanan tersebut terkandung suatu kondisi
bahwa yang melayani memiliki suatu keterampilan, keahlian dibidang
tertentu. Berdasarkan keterampilan dan keahlian tersebut pihak aparat
yang melayani mempunyai posisi atau nilai lebih dalam kecakapan
tertentu, sehingga mampu memberikan bantuan dalam menyelesaikan
suatu keperluan, kebutuhan individu atau organisasi.
Dalam pengertian pelayanan tersebut secara konkrit diutarakan :
1) Pelayanan merupakan salah satu tugas utama aparatur pemerintah,
termasuk pelaku bisnis.
2) Obyek yang dilayani : masyarakat (publik)
3) Bentuk pelayanan itu berupa barang dan jasa yang sesuai dengan
kepentingan kebutuhan masyarakat dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
40
Sianipar, J.PG. Manajemen Pelayanan Masyarakat, (Jakarta:Lembaga Administrasi Negara
Republik Indonesia, 2000).
44
Dengan demikian pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu
proses pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama yang berkaitan
dengan kepentingan umum dan kepentingan golongan atau individu
dalam bentuk barang dan jasa.
Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat dan daerah maupun
BUMN dan BUMD dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan publik adalah suatu usaha untuk
membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain.41
Dalam pelaksanaannya pelayanan dilakukan secara pelayanan
profesional, dan prima artinya dilakukan secara konkrit bahwa yang
melayani harus memiliki suatu kemampuan dalam melayani, menanggapi
kebutuhan khas (unik, khusus, istimewa) orang lain agar mereka puas.
Pelayanan prima merupakan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan
terhadap permintaan, keinginan, dan harapan masyarakat yang mempunyai
nilai yang tinggi dan bermutu (berkualitas).
Selanjutnya, Drs. H. Tamaruddin dalam Pengembangan
Pelaksanaan Pelayanan Prima menyebutkan : Tujuan dari pelayanan prima
adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk
mencapai hal itu, diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan dan atau keinginan pelanggan. Zeithaml et el, (1990) seperti
41 Tamaruddin, Pengembangan Polaksanaan Polayanan Prima (Padang: Badan Pendidikan
dan Lalihan Provinsi Sumatera Barat). hal 1, tahun 2001
45
dikutip Yun, Yong, dan Loh (1998) menyatakan bahwa mutu pelayanan
didefinisikan oleh pelanggan, yaitu kesesuaian antara harapan dan atau
keinginan dengan kenyataan.
2. Konsepsi Pelayanan
Kekuasaan dan wewenang pemerintah bersumber dari rakyat.
Oleh karena itu, maju atau mundurnya suatu pemerintah ditentukan
dukungan rakyat. Untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan
diperlukan dukungan, kepercayaan, loyalitas masyarakat, seyogyanya
aparat pemerintah pada semua bidang dan tingkat menerapkan suatu
konsep pelayanan berwawasan pada pemenuhan kebutuhan, keperluan,
kepentingan masyarakat. Segala kebijakan, peraturan, program yang
ditetapkan hendaknya berorientasi kepada kepuasan masyarakat . 42
Menurut Sianipar aparatur pemerintah hendaknya selalu lebih
mengutamakan kepentingan masyarakat, lebih mempercepat proses
penyelesaian urusan masyarakat, memberikan yang lebih berkualitas, lebih
baik, lebih murah, lebih cepat, lengkap dan tuntas.
Aparat pemerintah hendaknya sudah meninggalkan konsep menjual,
yakni menawarkan secara agresif produk-produk yang dihasilkan berupa
kebijaksanaan, peraturan, program yang belum tentu kondusif dengan
kebutuhan masyarakat yang berubah cepat, keinginan dan kepuasan
masyarakat. Aparat harus cepat tanggap terhadap tuntutan dan perubahan
kebutuhan masyarakat. Melakukan berbagai perbaikan, perubahan atas
42 Sianipar, Manajemen Pelayanan Masyarakat, Opcid hal 14
46
berbagai cara, prosedur kerja, peraturan, kebijakan, program pada semua
bidang kehidupan.43
Selanjutnya Sianipar menyebutkan bahwa sejalan dengan konsepsi
pelayanan yang berwawasan masyarakat, maka timbul cara pandang baru
yakni merubah posisi masyarakat yang dilayani dari di bawah manajemen
garis depan menjadi diatas manajemen. Konsepsi memposisikan masyarakat
pada puncak manajemen, merupakan suatu cara pengaktualisasian fungsi
aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Konsepsi ini juga merupakan
pencerminan pemikiran bahwa pelanggan adalah raja.
Semua aparatur pemerintah mereformasi konsepsi, wawasan berfikir,
merubah paradigma, dan -prilaku mereka dari dilayani menjadi melayani.
Melayani dengan cepat, tepat pada setiap level dibidang masing-masing sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi. Cara kerja lama yang terkesan lamban diubah,
dirancang menjadi pelayanan yang cepat, tepat, lebih efektif, lebih efisien.
Cara-cara berfikir yang kurang terbuka, yang kaku dalam mengartikan,
menerapkan peraturan, disiplin, direformasi menjadi pemikir yang kreatif,
inovatif, dan adaptif terhadap perubahan. Peraturan kebijakan yang kurang
kondusif terhadap tuntutan masyarakat, dikaji, disempurnakan, atau diganti.
3. Sistem Pelayanan Nasional
Sebagai titik tolak, esensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik
yang perlu disadari adalah masalah pelayanan publik bersumber pada :
9Sianipar, J.P.G., Opcid
47
- Adanya kewajiban pada pihak administrasi negara untuk menjalankan
fungsi dan wewenangnya berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang
baik dan bersih.
- Adanya pengakuan terhadap hak-asasi setiap warganegara atas
pemerintahan, perilaku administratif, dan kualitas hasil pelayanan yang
baik.
- Adanya keanekaragaman jenis serta bidang pelayanan publik di Indonesia
sebagai akibat dari adanya keragaman urusan dan kepentingan masyarakat
yang harus dipenuhi.
Terlepas dari perbedaan jenis dan bidang pelayanan di atas, aktivitas
pelayanan publik hampir selalu berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas
penyelenggaraan pemerintahan, di mana semua tugas yang harus
diselenggarakan dalam rangka merealisasikan kebijakan umum (public
policies) pemerintah harus dapat didelegasikan pada pihak-pihak atau
institusi tertentu yang memiliki kewenangan (authority), kompetensi
(competensi), dan sumber-sumber daya (resources) untuk menyelenggarakan
pelayanan publik.
Sejalan dengan itu, beberapa hal pokok yang selalu melekat sebagai ciri
dari Pelayanan Publik dan Penyelenggaraan Pelayanan Publik (public
servants) adalah :
a. Umumnya diselenggarakan sebagai pengejawantahan dari dan dalam
rangka realisasi kebijaksanaan negara yang ditujukan untuk masyarakat
umum (dalam wujud penetapan hak dan kewajiban bagi warga masyarakat)
yang ditetapkan melalui aturan-aturan dan perundang-undangan.
48
b. Diselenggarakan oleh petugas-petugas atau instansi yang berdasarkan
hukum dan peraturan perundang-undangan diberi kewenangan serta
diwajibkan untuk memenuhi kualifikasi tertentu dalam memberikan
pelayanan.
c. Menyangkut penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat yang
dijalankan berdasarkan kerangka prosedural tertentu yang telah
distandarisasi dari segi kinerja maupun kualitasnya.
d. Menyangkut pelbagai urusan dan kepentingan masyarakat pada berbagai
bidang kehidupan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, dan
penyelenggaraannya dapat berkenaan dengan pelayanan administratif,
penyediaan barang, penyediaan jasa bagi masyarakat44
atau gabungan dari
jenis-jenis pelayanan itu.
e. Tingkat keberhasilannya diukur dari tingkat kepuasan masyarakat
penerima pelayanan, baik dari segi kualitas pelayanan, praktikabilitas,
tingkat biaya pelayanan yang harus dikeluarkan, kualitas produk
(barang/jasa/status), tingkat responsitivitas terhadap keanekaragaman
kepentingan dan kebutuhan masyarakat, serta tingkat responsivitas
terhadap keluhan-keluhan yang disampaikan oleh masyarakat.
f. Selalu harus diselenggarakan berdasarkan standar kualitas hasil kerja
tertentu yang mengikat para penyelenggara pelayanan publik sehingga
dapat dijamin pencapaian tingkat kepuasan masyarakat penerima
10 Bahkan apabila sebagian dari tugas-tugas kepolisian hendak
dikategorikan sebagai pelayanan publik, maka tugas-tugas ini dapat dilihat sebagai
pelayanan publik yang khusus, yaitu pelayanan untuk penegakan hukum dan
ketertiban di dalam masyarakat.
49
pelayanan publik yang minimal seragam secara nasional dan atau seragam
di pelbagai sektor pelayanan publik yang ada.
g. Selalu berhadapan dengan pluralitas di dalam masyarakat, baik dari segi
kepentingan (interest), kebutuhan (necessities), latar belakang ekonomi,
sosial, politik, budaya dan sebagainya, sehingga dalam
penyelenggaraannya tercakup pula adanya jaminan untuk bersifat non-
diskriminatif, proporsional, obyektif dan imparsial.45
Artinya, apabila
terdapat penyimpangan hanya dapat dibenarkan bila terdapat
justifikasinya di dalam hukum.
h. Karena pada tingkat realisasinya dilaksanakan oleh petugas atau
pejabat publik tertentu, adanya standar perilaku yang mencakup
standar etik maupun manajerial dalam wujud code of good conduct
menjadi keharusan. Standar semacam itu menjadi pedoman perilaku
bagi para petugas/pejabat dan pedoman penilaian terhadap
pemenuhan hak-hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan prima.
Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Sistem
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Indonesia perlu bersinergi dan saling
mengisi dalam mendukung bekerjanya keseluruhan sistem itu secara optimal.
Faktor-faktor penentu meliputi :
45 Sebagai perbandingan, di dalam wacana tentang Pelayanan Publik di luar
Indonesia, dikenal konsep ”citizenry” yang mengandung makna bahwa pelayanan
publik lebih dari sekedar menyediakan pelayanan pada pelanggan atau kline, bukan
sekedar memberikan layanan konsultasi pada pihak-pihak yang berkepentingan,
dan bahkan lebih dari sekedar mengupayakan efisiensi demi kepentingan para
pembayar pajak. Pelayanan publik menyediakan pelayanan kepada masyarakat
secara keseluruhan, tanpa melihat pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok kepentingan yang berada di belakangnya. Disarikan dari : Shergold, Peter, Ethics
and the Changing Natur of Public Service, makalah pada The Fifth International
Conferences on Public Sector Ethics – Between Past and Future, Aurtralia, 1996.
50
a) Regulasi tentang Pelayanan Publik
Regulasi pelayanan publik berwujud seperangkat peraturan perundang-
undangan, yang sebagian besar merupakan kaidah-kaidah hukum
administrasi negara, yang memberikan dasar hukum dari beroperasinya
sistem palayanan publik. Peraturan-peraturan hukum yang menjadi dasar
keabsahan adalah :
1) Keberadaan hukum (legal existence) institusi-institusi administrasi
negara penyelenggara pelayanan publik.
2) Bekerjanya struktur organisasi, pengisian jabatan dan fungsi
penyelenggara pelayanan publik dengan pejabat dengan kualifikasi dan
kompetensi tertentu.
3) Penetapan dan pelaksanaan tugas, tanggung jawab, kewenangan dan
hak-hak penyelenggaraan pelayanan publik.
4) Pengakuan kedudukan, dan penegakan hak, kewajiban, serta tanggung
jawab warga masyarakat pengguna pelayanan jasa publik.
5) Penetapan berlakunya proses/prosedur penyeleng- garaan pelayanan
jasa publik serta standar minimum pelayanan (tolok ukur kinerja/hasil
kerja kualitas produk) termasuk indeks kepuasan masyarakat dan
proses/prosedur pengajuan dan pelayanan keluhan publik (publik
complaint/public grievance).
6) Berlakunya standar perilaku (standard of conduct) para penjabat
penyelenggara pelayanan publik.
b) Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik
51
Dimaksud dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik
adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan dalam pengorganisasian,
acuan kerja, serta pedoman penilaian kerja bagi setiap lembaga
penyelenggara pelayanan publik. Asas-asas penyelenggaraan dikategorikan
sebagai asas-asas umum administrasi publik yang baik (general principles
of good administra-tion) dan azas bersifat adaptif.
Bersifat umum karena asas ini secara langsung menyentuh hakekat
pelayanan publik sebagai wujud dari upaya melaksanakan tugas
pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak dan/atau
tugas pelaksanaan perintah peraturan perundang-undangan.
Bersifat adaptif, karena asas-asas ini secara tidak langsung
bersentuhan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat umum, baik
di bidang pelayanan administratif, pelayanan jasa, pelayanan barang,
ataupun kombinasi dari pelayanan-pelayanan tersebut.
Menurut Cadbury Committee di Inggris ( 1992) Asas-asas utama,
yang melekat secara inherent pada esensi Pelayanan Publik adalah :46
1) Asas Keterbukaan (openness)
Keterbukaan menjadi salah satu asas utama untuk menjamin bahwa
para stakeholders47
yang mengandalkan proses pengambilan keputusan,
tindakan-tindakan oleh institusi publik, pengelolaan aktivitas, serta
46 Asas-asas ini merupakan hasil modifikasi dari asas-asas yang
dikembangkan oleh: Lihat :”Report of the Committee on the Financial Aspects of
Corporate Governance”, dengan asas-asas Administrasi yang Baik (General Principles of Good Administration) yang ditetapkan oleh European Commission dalam : Code of Good Administrative Behavior: Relations ewith the Public, Official Journal of
the European Communities: OJ L 267, 20.20.2000. 47 Dalam konteks penelitian ini, stakeholders pada dasarnya adalah warga
masyarakat pengguna jasa layanan publik, masyarakat pembayar pajak.
52
pengelolaan sumber daya manusia dalam melaksanakan pelayanan
publik. Keterbukaan (mungkin setara dengan asas transparansi) yang
diwujudkan melalui pembinaan komunikasi secara penuh, terinci dan
jelas dengan para stakeholders yang menjadi salah satu prinsip utama
dari suatu good governance.
2) Asas Integritas
Integritas mengandung makna ”berurusan secara langsung”
(straightforward dealings) dan ketuntasan (completeness) dalam
pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik. Asas moral yang
mendasari asas integritas ini terutama adalah kejujuran, obyektivitas
dan standar kesantunan yang tinggi, serta tanggung jawab atas
penggunaan dana-dana dan sumber daya publik.
3) Asas Akuntabilitas
Asas ini berkenaan dengan proses di mana unit-unit pelayanan publik
dan orang-orang yang berfungsi di dalamnya harus bertanggung jawab
atas keputusan dan tindakan yang dibuatnya. Singkatnya, akuntabilitas
melahirkan kewajiban untuk bertanggung jawab atas fungsi dan
kewenangan yang secara sah dipercayakan kepada setiap public servant.
4) Asas Legalitas
Berdasarkan asas lawfulness ini, setiap tindakan, pengambilan
keputusan, serta pelaksanaan fungsi suatu institusi pelayanan publik
harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
dijalankan sesuai dengan aturan dan prosedur yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
53
6) Asas Non-Diskriminasi dan Perlakuan yang Sama
Institusi penyelenggara pelayanan publik harus bekerja atas dasar
prinsip pemberian pelayanan yang sama dan setara kepada masyarakat,
tanpa membedakan gender, ras, agama/kepercayaan, kemampuan fisik,
aspirasi politik, dan sebagainya.
7) Asas Proporsionalitas
Asas ini meletakkan kewajiban pada setiap penyeleng- gara pelayanan
publik untuk menjamin bahwa beban yang harus ditanggung oleh
masyarakat pengguna jasa layanan publik akibat tindakan-tindakan
yang diambil institusi pelayanan publik berbanding proporsional
dengan tujuan dan manfaat yang hendak diperoleh masyarakat. Asas ini
berkaitan erat dengan beban administratif, biaya dan waktu pelayanan
yang harus ditanggung oleh masyarakat apabila mereka hendak
memperoleh pelayanan publik.
8) Asas Konsistensi
Berdasarkan asas ini, warga masyarakat dan/atau stakeholders layanan
publik pada umumnya memperoleh jaminan bahwa institusi pelayanan
publik akan bekerja secara konsisten sesuai pola kerjanya yang normal
dalam perilaku administratifnya. Penyimpangan terhadap asas ini
(dispensasi, perlakuan khusus, dan sebagainya) harus memperoleh
pembenarannya secara sah (duly justified).
54
B. Perpajakan Daerah
1. Pengertian Pajak
Pajak merupakan kata yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia
dengan berbagai pengertian seperti tempat, beban dan sebagainya.
E. Soetan Harahap dalam Kamoes Indonesia menjelaskan :
Padjak I. mentoeakoe berpadjak nasi, mentoeakoe berpen-tjaharian
mendjoeal nasi dikedai (lepau nasi );
II. sem.para-para (pemidangan) tempat mendje-moer ikan;
III. membajar padjak tanah f 10,-setahoen, ia membajar bia tanah f
1C,-setahoen; lihat bia dan tjoekai;
IV. anak-anak, lih. Zoerriat. 48
Sedangkan dalam Kamus Indonesia Katjik-nya :
PADJAK, I tjukai, bia, roba-roba.
PADJAK, II padjak nasi, kedai nasi, warung nasi.
PADJAK, III pendjemuran ikan. 49
W.J.S.Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia :
Padjak : 1. kewadjiban membajar atau wang jg wadjib dibajarkan kpd
pemerintah (kotapradja, Provinsi dsb) 2 pak;hal
mengusahakan sesuatu dgn membajar pak (sewa) kpd
pemerintah; 3 + los; bagian (dipasar); mis. 1 membajar --;
kena --; wajib --,orang jang wadjib membajar padjak; --
pendapatan (-penghasilan, pentjarian), padjak, jang dikenakan
48 Harahap, E, Soetan, Kamoos lndonosia (Djakarta-Bandung: Gunseikandu
Kanri Insatu Kodjo Tjetakan ketdedjoeh), oktober 2602, 254. 49 Harahap, E.St., Kamus Indonesia Ketjik (Bandung; G,Kalff & C0,
1950),196,
55
pada pendapatan (penghasilan) orang; -- tanah -bumi, padjak
jang dikenakan pada pemilik tanah; 2 rumah --, -gadai,rumah
gadai, pegadaian; -- tjandu, pendjualan tjandu; 3 - sajur (ikan
dsb) los atau tempat mendjual sajur (-ikan dsb) dipasar. 50
Pajak merupakan salah satu sumber penghasilan negara
yang penting. Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara
yang diwajibkan berdasarkan undang-undang tanpa
rnendapat balas jasa (tegenprestatie) secara langsung. Pajak
merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor
Pemerintah. Kewajiban membayar pajak dapat dipaksakan.51
Dari keempat sumber di atas terlihat keanekaan penggunaan kata
"pajak", namun salah satunya berkaitan pengertiannya dengan kewajiban
terhadap Negara. Pengertian ini relevan dengan inti pokok penguraian,
karenanya lebih lanjut akan lebih menekankan "pajak" sebagai sumber
pendapatan.
Prof. Dr. P.J.A. Adriani memberikan batasan :
Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat di paksakan) yang
terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan dengan tidak mendapat prestasi-kembali yang langsung
dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
50 Purwadarminta, WIS., Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:
Kementerian P.P. dan K). 51 Hassan Shadili et al. Ensiklopedia Umum (Yogyakarta: Yayasan Kanisius,
1977), 774.
56
pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara
untuk menyelenggarakan Pemerintahan52
(dengan ejaan baru, Pen.)
Dari batasan tersebut dapat disimpulkan unsur-unsurnya :
pajak merupakan iuran menurut peraturan;
dibayarkan oleh wajib membayar;
tanpa prestasi kembali;
dapat dipaksakan menurut peraturan-peraturan;
membiayai tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari definisi tersebut diatas, bahwa
pajak sebagai pengertian yang dianggap, sebagai suatu species ke dalam
genus pungutan (jadi, pungutan adalah lebih luas). Dalam definisi tersebut
titik berat diletakkan pada fungsi budgetair dari pajak, sedangkan pajak
masih mempunyai fungsi lain yang tidak kalah penting, yaitu fungsi
mengatur.
2. Jenis Pajak dan Dasar Hukum
Negara dalam menyelenggarakan fungsinya melakukan berbagai
kegiatan. Semua kegiatan tersebut dimaksudkan untuk bagaimana tugas dan
tanggung jawab yang dilimpahkan (dimandatkan) kepada Pemerintah
(Presiden) agar dapat dilaksanakan, yaitu agar kesejahteraan rakyat dapat
dicapai. Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan sejumlah besar manusia,
perlengkapan, penunjang dan sebagainya. Dan pada akhirnya akan
menyerap pembiayaan.
52 Brotodihardjo, R. Santoso,SH., Penyatar Ilmu Hukum Pajak (Bandung-
Jakarta; Eresco NV, 1971).
57
Dalam rangka pengadaan dana yang diperlukan untuk membiayai
kegiatan yang dilakukan, maka berbagai sumber dipergunakan sebagai
sumber pendapatan. Sumber-sumber tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut :
yang dipungut langsung dari masyarakat;
hasil dari perusahaan-perusahaan Negara;
hasil dari penyertaan modal milik Pemerintah;
denda dan perampasan untuk kepentingan umum;
hak-hak waris atas harta peninggalan yang terlantar;
hibah wasiat dan hibah lainnya.
Semua sumber tersebut termasuk kedalam public finance, dimana
Pemerintah dapat memperoleh, mengurus dan membelanjakan Uangnya
yang diperlukan untuk menunaikan tugasnya. Di samping itu Pemerintah
juga mencetak dan mengedarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah.
Dari keseluruhan sumber pendapatan di atas, maka yang diperdapat
melalui pemungutan langsung adalah pajak, retribusi dan sumbangan,
pungutan dilakukan baik dengan memberikan prestasi kembali (imbalan)
maupun tidak. Pajak merupakan iuran kepada Negara yang dapat
dipaksakan sesuai aturan yang berlaku tanpa adanya kontraprestasi yang
gunanya untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah. Sedang retribusi
pada umumya hubungan dengan prestasi-kembalinya adalah langsung.
Sedangkan Sumbangan mengandung pikiran, bahwa biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu, tidak boleh dikeluarkan dari
58
kas umum, karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya,
melainkan hanya terhadap golongan tertentu penduduk saja.
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Pada
bahagian diatas dikemukan pengertian pajak yang secara bebas dapat
dikatakan dengan : pungutan yang dilakukan oleh Negara (dapat dengan
paksaan) kepada warga negaranya (wajib pajak) tanpa memberikan imbalan
yang langsung, dimana hasil pungutan itu dipergunakan untuk membiayai
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Perpajakan diatur
dalam undang-undang perpajakan yang merupakan bahagian dari hukum
publik, karena dia berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Hukum
perpajakan bukanlah merupakan hukum yang berdiri sendiri, tetapi
berkaitan dengan hukum lainnya yang terdapat dalam kehidupan bernegara.
Disini akan disinggung pembicaraan menyangkut antara hubungan
hukum pajak dengan hukum pidana dan hukum perdata. Hukum pajak
diartikan "adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang Pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui Kas Negara"53
Hukum perdata merupakan bahagian dari hukum yang mengatur
hubungan di antara orang-orang pribadi sebagai pendukung hak
(rechtspersoon), sedangkan hukum pajak diantara Negara dengan
perorangan sebagai wajib pajak.
Terlihat di sini bahwa terdapat hubungan yang sangat erat diantara
hukum pajak dengan hukum perdata. Hukum pajak pada dasarnya "mencari
53 Ibid, 1.
59
dasar kemungkinan pemungutan atas kejadian-kejadian, keadaan-keadaan
dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkungan perdata
seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian, penyerahan, pemindahan hak
karena warisan dan sebagainya".54
Terlihat bahwa sasaran hukum pajak
adalah peristiwa-peristiwa perdata.
Selanjutnya dengan dibaginya wilayah negara atas wilayah Daerah,
maka pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, diberlakukan Pajak
Daerah. Pajak Daerah merupakan sumber pendapatan Daerah yang berasal
dari pajak yang diserahkan Pemerintah pusat kepada Daerah untuk
menjadi sumber pendapatan Daerah. Untuk dapat berlakunya Pajak
Daerah, terlebih dahulu ditetapkan dalam Peraturan Daerah, dan setelah di
sahkan oleh Pejabat yang berwenang, maka diundangkan dalam Lembaran
Daerah.
Jadi dasar hukum setiap pajak adalah undang-undang bagi pajak
yang bersifat nasional dan dilaksanakan di daerah melalui Peraturan
Daerah. Mengenai pajak, jenis dan dasar hukum masih banyak yang perlu
diuraikan, namun mengingat dengan relevansi penulisan, maka penguraian
dibatasi sampai di sini.
3. Pajak sebagai Sumber Pendapatan Daerah
Sebagaimana diatur dalam pasal 157 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa Sumber
Pendapatan Daerah terdiri atas:
1) pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu :
54 Ibid, 5.
60
hasil pajak daerah;
hasil retribusi daerah;
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
lain-lain PAD yang sah;
2) dana perimbangan; dan
3) lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pajak sebagai sumber pendapatan terbagi atas dua bahagian, yaitu :
1) Pajak yang diserahkan Pemerintah kepada Daerah untuk dikelolanya
sebagai Sumber Pendapatan Daerah.
2) Pajak yang diatur sendiri oleh Daerah atas sumber pendapatan yang
berhasil digali oleh Daerah di wilayahnya. Sebagai contoh jenis
pajak ini adalah Pajak Izin Menangkap Ikan (Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 1972).
Dinas Pendapatan Daerah selaku instansi yang diberi tugas untuk
mengelola seluruh pendapatan daerah dihadapkan kepada wilayah yang
luas yaitu melipti wilayah Provinsi Sumatera Barat. Dalam pemungutan
dari sumber-sumber pendapatan tersebut, Dinas Pendapatan Daerah
sebagai instansi pemungut pendapatan Daerah, pemungutannva
dilakukan secara langsung kepada masyarakat wajib pajak melalui Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pelayanan Pendapatan Provinsi
Sumatera Barat sebagai perpanjangan tangan dari Dinas Pendapatan
Daerah. Pembentukan UPTD dibentuk melalui Surat Keputusan
Gubernur Sumatera Barat nomor 22 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Provinsi
61
Sumatera Barat. Sejalan dengan pembentukan UPTD, maka sekaligus
diserahkanlah sumber-sumber Pendapatan Daerah menjadi tugas dan
kewenangannya. Adapun sumber pendapatan yang menjadi tugas dan
kewenangannya dari UPTD adalah :
1) Pajak Kendaraan Bermotor (disingkat PKB) diatur berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (disingkat BBN.KB) diatur
berdasarkan Pertauran Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.
3) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan, diatur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun
2002.
4) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (disingkat PBBKB).
5) Pajak Alat-alat Berat dan Alat-Alat Besar.
6) Pajak Kendaraan Diatas Air diatur berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air Bea Balik Nama Kendaraan Diatas Air diatur
berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.
Sehubungan dengan lokus dan fokus penelitian ini, penulis hanya
akan menjelaskan kebenaran sub sektor pajak daerah yang berasal dari
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan
62
Bermotor (BBN-KB ), sistim pengelolaan penerimaannya dilakukan
dalam sistem administrasi manunggal satu atap ( SAMSAT ).
C. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
1. Pengertian
Dari sejumlah besar pajak yang berlaku dan dipungut bagi
Daerah, salah satu diantaranya Pajak Kendaraan Bermotor (sering
disingkat dengan PKB). Mengenai Pajak Kendaraan Bermotor dapat
dikemukakan sebagai berikut :
Pajak Kendaraan Bermotor, termasuk golongan pajak langsung
dan merupakan pajak lokal (daerah). Dipungut dari pemegang-
pemegang kendaraan bermotor yang a) dihidupkan dengan
generator gas arang atau b) memakai bahan baker minyak tanah
atau campuran minyak tanah dan c) bensin atau juga d)yang
tidak semata-mata menggunakan bensin sebagai bahan baker.
Kereta gandengan aanhangwagen (pada truk mis.) juga
dikenakan pajak ini. 55
Selanjutnya dalam Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor
Tahun 1934 pasal 1 dikutipkan : Dengan nama Pajak Kendaraan
Bermotor, dipungut pajak karena memegang :
(1) Kendaraan bermotor, yang digerakkan dangan motor yang
dihidupkan dengan generator gas arang atau oleh yang memakai
bahan baker minyak tanah atau campuran minyak tanah dan
bensin, terlepas dari hal apakah motor itu khusus diperuntukkan
55 Hassan Shadily, Opcit.
63
guna dipakai dengan minyak tanah atau dengan campuran minyak
tanah dan bensin;
(2) Segala kendaraan bermotor lainnya, yang tidak digerakkan oleh
motor yang semata-mata memakai bensin sebagai bahan
pembakar;
(3) Kendaraan bermotor yang digerakkan oleh motor yang semata-
mata memakai bensin sebagai bahan pembakar tetapi mempunyai
berat total yang diizinkan 5.500 kg. atau lebih; .........kendaraan
bermotor yang digerakkan oleh motor dengan semata-mata
menggunakan bensin sebagai bahan pembakar, yang mempunyai
berat total yang diizinkan 3.500 kg. atau lebih.
(4) Kereta tambahan (kereta gandengan) dari kendaraan bermotor.
(5) Kendaraan bermotor seperti dimaksudkan dibawah c yang
mempunyai berat total yang diperkenankan kurang dari 3.500 kg,
kecuali yang telah dikenakan pajak rumah tangga atau yang
dibebaskan dari pajak rumah tangga.
Memperhatikan tentang Pajak Kendaraan Bermotor
sebagaimana dijelaskan oleh kedua kutipan diatas, maka dapat ditarik
beberapa patokan pokok, antara lain :
(1) pajak ini ditimbulkan oleh adanya kendaraan bermotor yang
dimiliki;
(2) pajak dipungut dari pemilik kendaraan bermotor sebagai wajib
pajak;
64
(3) penentuan besarnya beban pajak didasarkan kepada ukuran yang
digariskan;
(4) kendaraan bermotor dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulan
dan utuh;
(5) tahun pajak ialah tahun takwim. (pasal 8 ayat 1)
Dalam pasal 1 angka (6) Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun
2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
menyebutkan bahwa Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air yang selanjutnya disebut pajak adalah pajak atas
kepemilikan dan / atau penguasaan kendaraan bermotor dan
kendaraan di atas air.
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau
lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat
dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan
lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi
tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan,
termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak (pasal 1
angka 7).
2. Dasar Hukum
Republik Indonesia sebagai negara hukum menekankan
ketentuan tentang keharusan adanya dasar hukum yang mengatur
setiap tindakan kebijaksanaan yang berhubungan kehidupan
bernegara. Pengaturan tentang Pajak Kendaraan Bermotor diadakan
untuk pertama kali dengan Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor
65
Tahun 1934. (Staatsblad tahun 1934 Nomor 718). Peninjauan-
peninjauan dan penyernpurnaan haruslah selalu dilakukan terhadap
setiap peraturan perundang-undangan. Langkah tersebut perlu
dilakukan mengingat bahwa ketentuan-ketentuan itu berhadapan
dengan masa dan manusia yang selalu berkembang. Begitupun
dengan bidang pengetahuan dan teknologi bertumbuh dengan pesat.
Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor Tahun 1934 sebagai
peraturan perundang-undangan semenjak ditetapkan telah
mengalami peninjauan-peninjauan berupa penambahan dan
perubahan sebagai berikut :
a. Staatsblad Tahun 1935 Nomor 551;
b. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 33;
c. Staatsblad Tahun 1939 Nomor 603;
d. Staatsblad Tahun 1940 Nomor 226;
e. Staatsblad Tahun 1949'Nomor 376;
f. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1959 dalam Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 101.
Dalam semua ketentuan diatas penyempurnaan terhadap
pajak ini telah dilakukan. Pemerintah Indonesia yang menganut
otonomi, menyebabkan dalam penyerahan urusan yang akan
diselenggarakan oleh Daerah diiringi dengan pemberian sumber
pendapatan yang diperlukan dalam pembiayaan.
Pajak Kendaraan Bermotor yang selama ini dikelola oleh
pemerintah sebagai pajak negara termasuk dalam sumber
66
pendapatan yang diserahkan pada daerah. Penyerahan ini dilakukan
dengan Poraturan Pcmerintah Nomor 3 Tahun 1957 tentang
Penyerahan Pajak Negara kepada Daerah. Untuk berlakunya suatu
pajak yang diserahkan kepada Daerah diterbitkanlah Peraturan
Daerah. Adapun dasar hukum pemungutan Pajak Kendaraan
Bermotor saat ini berdasar kepada Peraturan Daerah Nornor 4
Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air.
3. Obyek Pajak
Pelaksanaan pajak didasarkan pada adanya obyek yang
dikenakan beban pajak. Pajak Kendaraan Bermotor sebagai pajak
mempunyai obyek berupa kendaraan bermotor yang terdaftar.
Keberadaan kendaraan bermotor sebagai obyek yang terdaftar,
adalah melalui proses yang akan dibicarakan tersendiri. Dalam
pasal 1 ayat (2) huruf a Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934
dikutip sebagai berikut :
Kendaraan bermotor; setiap kendaraan (elkrij of Voertig),
yang diperuntukkan guna semata-mata digerakkan atau juga
turut digerakkan, selain atas ril, oleh suatu kekuatan
mekanik yang ada di atau pada kendaraan itu, begitu pula
kereta-kereta tambahan dari kendaraankendafaan itu.
Sedangkan di dalam Peraturan paerah Nomor 4 Tahun 2003
Pasal 3 angka (1) menyebutkan : Objek Pajak Kendaraan Bermotor
adalah kepemilikan dan / atau penguasaan kendaraan bermotor,
67
termasuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan
bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak.
4. Subyek Tanggung Pajak dan Beban Pajak
Pengenaan beban pajak didasarkan kepada adanya
kendaraan bermotor. Keberadaannya secara sah dibuktikan oleh
berbagai hal yang harus dipenuhi dan terutama bukti bahwa
kendaraan sudah terdaftar sesuai dengan ketentuan administrasi
yang ditentukan. Dalam pasal 5 angka 1, menyebutkan bahwa
Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki
dan/atau menguasai kendaraan bermotor dan atau kendaraan di atas
air. Jadi tertanggung beban pajak adalah pemilik kendaraan, yaitu
orang seorang atau kelembagaan/badan hukum. "Pajak terhutang
oleh orang yang memegang kendaraan bermotor".
Pengertian "yang memegang" adalah dikaitkan kepada siapa
yang memiliki dan atau yang berhak penuh atas kendaraan
tersebut. Jadi subyek tanggung pajak adalah pemilik
kendaraan orang seorang dan badan hukum.
Setiap wajib pajak akan dikenakan penagihan sebesar beban
pajak yang ditentukan terhadap pemilikan atas kendaraan bermotor.
Beban pajak akan dapat diketahui melalui surat penagihan yang
dicantumkan berdasarkan penentuan beban yang ditetapkan dengan
peraturan perundangan.
Dalam pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 ditentukan
Dasar Pengenaan, Tarif dan Penghitungan Pajak adalah :
68
a. Dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor dihitung sebagai
perkalian dari 2 (dua) unsur pokok
(1) Nilai jual kendaraan bermotor;
(2) Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan
dan pencemar lingkungan akibat penggunaan kndaraan bermotor.
b. Nilai jual kendaraan bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran
umum atas suatu kendaraan bermotor.
c. Dalam hal harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor
tidak diketahui, nilai jual kendaraan bermotor ditentukan
berdasarkan faktor-faktor :
(1) Isi silinder dan/atau satuan daya;
(2) Penggunaan kendaraan bermotor;
(3) Jenis kendaraan bermotor;
(4) Merek kendaraan bermotor;
(5) Tahun pembuatan kendaraan bermotor;
(6) Berat total kendaraan bermotor dan banyaknya penumpang
yang diizinkan;
(7) Dokumen impor untuk jenis kendaraan bermotor.
d. Bobot sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dihitung
berdasarkan faktor-faktor :
1) Tekanan ganda;
2) Jenis bahan baker kendaraan bermotor;
3) Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin dari
kendaraan bermotor.
69
e. Penghitungan dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dinyatakan dalam suatu table yang ditetapkan oleh
Menteri Dalam Negeri.
f. Dalam hal dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor yang belum
tercantum dalam table sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dasar
pengenaan pajak kendaraan bermotor ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD dan Menteri Dalam
Negeri.
g. Tabel sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditinjau kembali setiap
tahun.
Pasal 7 menyebutkan :
1) Tarif pajak kendaraan bermotor ditetapkan sebesar : 1,5 % (satu
koma lima persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum;
2) 1 % (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum; 0,5 % (nol
koma lima persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan
alat-alat besar.
Pasal 8 menyebutkan :
Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (7) dan ayat (8).
Selanjutnya pasal 9 menyebutkan :
70
a) Pajak kendaraan bermotor dikenakan untuk masa pajak 12 (dua
belas) bulan berturut-turut dihitung mulai saat pendaftaran
kendaraan bermotor,
b) Pajak kendaraan bermotor dibayar sekaligus di muka.
Berdasarkan patokan-patokan diatas ditetapkan-lah beban
pajak atas kendaraan bermotor yang dimiliki oleh wajib pajak.
Beban pajak ditetapkan untuk masa satu tahun yang mempedomani
tahun takwim. Terhadap pemilikan kendaraan bermotor yang
berada dalam tahun yang sedang berjalan, maka beban pajak yang
dikenakan kepada wajib pajak adalah dengan memperhatikan sisa
waktu tahun yang tersisa. Dalam hal penghitungan beban pajak
diberlakukan pembulatan ke atas.
5. Pengecualian dan atau Pembebasan
Walaupun dalam ketentuan mengenai perpajakan umurnnya
dinyatakan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan
memperhatikan sifat umum dan merata, namun Pajak Kendaraan
Bermotor tidaklah dapat dilaksanakan sepenuhnya demikian.
Pengenaan beban pajak dilaksanakan dengan mengadakan
pengecualian dan atau pembebasan. Kebijaksanaan ini dilatar
belakangi dan didasarkan kepada peranan atau pemanfaatannya.
Pasal 2 mengatur tentang pengecualian atau pembebasan
terhadap beban pajak atas kendaraan bermotor dilakukan atas :
71
a) kendaraan bermotor oleh Negara atau Daerah yang dimaksud,
dalam pasal-pasal 119, 121 dan 123 IS. Inipun jika kendaraan itu
sematamata dipergunakan untuk dinas umum;
b) kendaraan bermotor yang menurut atau berdasarkan peraturan-
peraturan Ordonansi Lalu Lintas yang diizinkan berjalan dengan
nomor percobaan;
c) kendaraan bermotor yang menurut sifatnya semata-mata
diperuntukkan guna dipakai dilain tempat dari pada dijalanan;
d) kendaraan bermotor oleh para konsul dan lain-lain skill Negara
Asing oleh orang-orang yang diperbantukan dan yang bekerja
serta bertempat tinggal padanya selanjutnya tidak
melakukan perusahaan atau pekerjaan bebas dan dengan syarat
timbale balik, jika oleh Negara yang wakil-wakilnya diizinkan,
dikenakan pajak karena memegang kendaraan bermotor;
e) kendaraan bermotor pemadam kebakaran;
f) kendaraan bermotor oleh para pelancong dan lain-lain orang
yang berada di Indonesia untuk waktu yang tidak lebih lama
dari sembilan puluh hari berturut-turut.
Pada pasal 4 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003
menyebutkan : Dikecualikan dari objek pajak adalah kepemilikan
dan/ atau penguasaan kendaraan bermotor dan/atau kendara-an
diatas air oleh :
a) Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/
Kota dan Pemerintah Desa/Nagari;
72
b) Kedutaan, Konsutat, Perwakilan Negara P.sing, dan Perwakilan
Lembaga-lembaga Internasional dengan azas timbal balik,
c) Pabrikan atau importer kendaraan bermotor baru yang semata-
mata untuk dipamerkan, untuk dijual dan tidak dipergunakan
dalam lalu lintas bebas;
d) Wisatawan asing yang berada di daerah untuk jangka waktu
sampai dengan 60 (enam puluh) hari;
e) Penguasaan kendaraan bermotor yang disegel atau disita oleh
Negara;
f) Orang Pribadi atau Badan atas kendaraan di atas air perintis;
g) Orang Pribadi atau Badan atas kendaraan di atas air yang
digunakan untuk keperluan keselamatan seperti kapal pandu
dan kapal tunda;
h) Orang Pribadi atau Badan atas Kendaraan di atas air yang
khusus digunakan untuk penelitian, SAR, kepentingan social
dan keagamaan.
Dari ketentuan di atas terlihat bahwa kendaraan bermotor
yang dibebaskan dari pajak adalah kendaraan dinas, kendaraan yang
berada dalam status percobaan, kendaraan yang bukan dipergunakan
dijalanan, kendaraan yang dipergunakan oleh perwakilan asing dan
tenaga kerja diperbantukan dalam kerja sama dansebagainya,
kendaraan pemadam kebakaran dan kendaraan yang dibawa sendiri
oleh wisatawan untuk waktu yang terbatas, kendaraan bermotor
yang disegel atau disita Negara, kapal pandu dan kapal tunda yang
73
digunakan untuk keperluan keselamatan serta kendaran penelitian
SAR.
6. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB)
Di samping Pajak Kendaraan Bermotor terdapat sumber
pendapatan yang berkaitan dengan kendaraan bermotor. Sumber
pendapatan tersebut disebut Bea Balik Nama Kendaraan Berrnotor
yang popular disingkat dengan BBN.KB. Jenis sumber pendapatan
ini dalam bentuk pajak juga yang dipungut atas dasar pengalihan hak
milik atas kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak
atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi jual beli, tukar
menukar, hibah termasuk hibah wasiat dan hadiah, warisan atau
pemasukan kedalam badan usaha.
Dasar hukum dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
adalah Undang Undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan
Pajak Negara Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN.KB),
Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio kepada Daerah. Dasar hukum
tersebut oleh Daerah dilanjutkan pengaturannya dengan menerbitkan
Peraturan Daerah.
Dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 pasal 3
menyebutkan Obyek daripada Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
adalah penyerahan Kendaraan Berrnotor, termasuk penyerahan
kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak.
74
Dalam pasal 4 diatur tentang pengecualian dalam
pemungutan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang
diserahkan kepada :
- Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi , Pemerintah
Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa/Nagari;
- Kedutaan, Konsulat, Perwakilan Asing, dan Lembaga-lembaga
Internasional dengan azaz timbal balik;
- Pabrikan atau importer kendaraan bermotor baru yang semata-
mata untuk dipamerkan, untuk dijual dan tidak dipergunakan
dalam lalu lintas bebas;
- Orang pribadi atau badan atas kendaraan di atas air perintis.
Dalam pasal 6 diatur subyek pajak Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor ;
1) Subyek pajak Bea Balik Nama adalah orang pribadi atau badan
yang dapat menerima penyerahan kendaraan bermotor dan atau
kendaraan di atas air.
2) Wajib Pajak Bea Balik Nama adalah orang pribadi atau badan
yang menerima penyerahan kendaraan bermotor dan atau
kendaraan di atas air.
3) Yang bertanggung jawab atas pembayaran Bea Balik Nama
adalah:
(a) untuk orang pribadi adalah orang yang bersangkutan,
kuasanya atau ahli warisnya.
(b) Untuk badan adalah pengurusnya.
75
Dasar Pengenaan Bea Balik Nama diatur dalam pasal 7 :
1) Dasar pengenaan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor dan
Nilai Jual Kendaraan di Atas Air.
2) Nilai Jual Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Nilai Jual Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air yang tercantum dalam
ketetapan Menteri Dalam Negeri atau Gubernur.
Dalam hal dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air belum tercantum dalam tabel
yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, dasar pengenaan Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Gubernur, dan
diberitahukan kepada DPRD dan Menteri Dalam Negeri.
Pemungutan kedua sumber pendapatan tersebut diatas
(Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor), pelaksanaan operaionalnya bergabung dengan instansi
lain Kepolisian Republik Indonesia melalui Direktorat Lalu Lintas
dan PT (Persero) A.K. Jasaraharja melalui mekanisme Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap, yang lebih populer disebut
SAMSAT.
Ketentuan pendukung tentang mekanisme ini diatur dalam
Surat Keputusan Bersama Kepala Kepolisian Republik Indonesia,
Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, dan
76
Direktur Utama PT. Jasa Raharja (Persero) Nomor :
Skep/06/X/1999, Nomor : 973 - 1228, Nomor : SKEP/02/X/1999
tentang Pedoman Tata laksana Sistem Administrasi Manunggal Di
Bawah Satu Atap dalam Penerbitan Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor,
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Tanda Coba Kendaraan
Bermotor, dan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor sera Sumbangan Wajib Dana
Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Dalam Surat Keputusan Bersama tersebut ditegaskan
bahwa dalam pelaksanaan tugas, seluruh instansi tersebut harus
bekerja sama, mempunyai otonomi masing-masing instansi dan
saling hormat menghormati serta bertanggung jawab kepada
atasan masing-masing.
D. Kebijaksanaan Nasional Untuk Efektivitas Pelayanan
1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Pelayanan
Dalam rangka penyelenggaraan peningkatan Pelayanan
Publik56
peran pemerintah sebagai konsekuensi logis dari adanya
kepentingan publik, maka pemerintah secara nasional telah menetapkan
kebijakan yang mengarah pada kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan public yang diselenggarakan oleh pemerintah. Pemerintah
dalam hal ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara menerbitkan
56Komisi Hukum Indonesia, Hasil Penelitian Normatif Sistem Penyelenggaraan Pelayanan
Publik Indonesia, 2006, hal. 19-35.
77
berbagai landasan peraturan perundang-undangan, pedoman, dan surat
edaran dibidang pelayanan publik antara lain : Keputusan Men PAN
Nomor : 63lKEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan Men PAN Nomor
KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat pada Unit PelayananInstansi Pemerintah dan
KEP/26/ M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan
Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang
optimal menjadi sangat penting untuk dilakukan. Pelayanan publik
harus memperoleh perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh,
karena merupakan tugas dan fungsi yang melekat pada setiap aparatur
pemerintah. Tingkat kualitas kinerja pelayanan publik memiliki
implikasi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan, terutama untuk
mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu upaya
penyempurnaan pelayanan publik harus dilakukan secara terus menerus,
berkelanjutan dan dilaksanakan oleh jajaran aparatur pemerintah
daerah.57
Menurut Progo Nurdjaman ada 8 prinsip-prinsip Pokok
Pelayanan Publik sebagai berikut :
a). Kesederhanaan
57Progo Nurdjaman., Penyelenggaran Pemarintahan Umum, (Jakarta;
Departemen Dalam Negeri RI)., 2004. ha1. 33
78
Prinsip kesederhanaan ini mengandung arti bahwa prosedur/tata cara
pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh
masyarakat yang meminta pelayanan.
b). Kejelasan dan kepastian
Prinsip ini mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai :
1) Prosedur tatacara pelayanan, baik persyaratan teknis maupun
administrative;
2) Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan
bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan;
3) Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;
4) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
c). Keamanan
Prinsip ini mengandung arti proses serta hasil pelayanan dapat
memberikan keamanan, kenyamanan dan dapat memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat.
d). Keterbukaan
Prinsip ini mengandung arti bahwa prosedur/tatacara, persyaratan
satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu
penyelesaian, rincian biaya/tariff serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar
mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun
tidak diminta.
79
e). Efisiensi
Prinsip ini mengandung arti : Persyaratan pelayanan hanya dibatasi
pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran
pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan. Mencegah
adanya pengulangan pernenuhan persyaratan, dalam hal proses
pelayanan masyarakat yang bersangkutan memper-syaratkan adanya
kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain
yang terkait.
f). Ekonomis
Prinsip ini mengandung arti pengenaan biaya dalam penyelenggaraan
pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :
(1) Nilai barang dan atau jasa pelayanan masyarakat dan tidak
menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar kewajaran;
(2) Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar;
(3) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g). Keadilan yang Merata
Prinsip ini mengandung arti cakupan/jangkauan pelayanan harus
diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan
diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat,
h). Ketepatan Waktu
Prinsip ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang ditentukan.
80
2. Peranan Pelayanan Administrasi Kepolisian
Di samping berfungsi sebagai salah satu lembaga penegak hukum
dan penjaga keamanan masyarakat, kepolisian juga memiliki fungsi
sebagai instansi yang memberikan pelayanan administrasi kepada
masyarakat. Pelayanan publik (yang di lingkungan kepolisian dikenal
dengan istilah pelayanan masyarakat/YANMAS) sebenarnya merupakan
esensi pekerjaan polisi, dalam rangka mewujudkan filosofi POLRI ”Rastra
Sewakottama” yang berarti abdi utama nusa dan bangsa (masyarakat).
Abdi utama di sini dimaksudkan sebagai pelayanan prima yang kemudian
menjiwai kode etik POLRI baru.
Menurut Jenderal Polisi (Purn) Drs. Chaeruddin Ismail, SH.,
pelayanan publik bagi kepolisian tercantum dalam TRI BRATA yang
merupakan filosofi POLRI yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian khususnya pasal
13 huruf c ”memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat” dan pasal 14 huruf k ”memberikan pelayanan
kepada masyarakat sesuai kepentingannya di dalam lingkup tugas
kepolisian”. Selanjutnya dalam Kode Etik POLRI berdasarkan Keputusan
Kapolri No. Pol.KEP/32/VII/ 2003 ditegaskan dalam pasal 5 bahwa
”memberikan pelayanan terbaik, memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara ikhlas dengan prosedur cvepat, sederhana, serta tidak
bermasa bodoh, apatis, mendiamkan adanya harapan masyarakat”. Secara
lebih rinci diatur beberapa tindakan atau perilaku yang harus dan dilarang
untuk dilakukan dalam rangka pelayanan publik tersebut, [e]
81
mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit, [e] tida membeda-
bedakan (diskrimiasi cara pemberian pelayanan, [g] tidak meminta biaya
kecuali diatur oleh undang-undang, [i] tidak mengeluarkan kata-kata atau
gerakan tubuh yang mengisyaratkan minta imbalan atas jasa pelayanan
yang diberikan”.58
Pelaksanaan pelayanan publik oleh kepolisian berupa
pelayanan administratif antara lain adalah penerbitan ijin seperti
Surat Ijin Mengemudi (SIM) dan Ijin Keramaian. Pelayanan SIM
dilakukan oleh Kepolisian Resor atau Kepolisian Wilayah Kota
Besar, sedang ijin keramaian diberikan oleh seluruh tingkat
kepolisian dari Kepolisian Sektor sampai Mabes POLRI tergantung
cakupan kegiatan atau keramaian yang dimintakan ijin.
3. Dimensi Kebijakan Pelayanan Publik
Progo Nurdjaman menyebutkan pelayanan publik dapat ditinjau
dari dua dimensi, yaitu dimensi internal dan eksternal. Pada dimensi
internal, pelayanan publik merupakan salah satu isu utama sejalan dengan
tuntutan demokratisasi dan desentralisasi Demokratisasi pada hakekatnya
menyuarakan pentingnya partisipasi masyarakat dan akuntabilitas
pemegang kekuasaan, yang dengan demikian suara masyarakat diletakkan
pada derajat yang paling tinggi. Semangat demokratisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan akan menjadi peluang bagi peningkatan
kualitas pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu penyelenggaraan
58 Jenderal Polisi (Purn) Drs. Chaeruddin Ismail, SH., “Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Pelayanan Publik”, Makalah pada Lokakarya Penelitian ini,
Bandung, 30 Oktober 2004, halaman 9-10.
82
pelayanan publik yang terdesentralisasi akan mendekatkan penyeleng-
garaan fungsi pelayanan publik kepada masyarakat dan memungkinkan
untuk menyelesaikan komplain (bila ada) dengan lebih cepat karena
masyarakat bisa lebih mudah bertemu dengan pihak penyelenggara
pelayanan. Pada sisi perencanaan, penyelenggaraan pelayanan publik
yang terdesentralisasi akan meningkatkan responsifitas (daya tanggap)
terhadap kebutuhan lokal dan membantu Pemerintah Daerah (lembaga
penyedia layanan) mengidentifikasi dan memhami karekteristik khas
masyarakat setempat.
Pada dimensi eksternal, pelayanan publik akan memainkan
peranan kunci dalam menghadapi tantangan globalisasi. Paling tidak
tantangan globalisasi tersebut memerlukan jawaban dalam hal
peningkatan daya saing (competitiveness) dan daya tarik (attractiveness),
baik ditingkat regional maupun internasional.
4. Faktor - faktor yang mempengaruhi Pelayanan
Selanjutnya Progo Nurdjaman menjelaskan bahwa, kualitas pelayanan publik
secara umum ditentukan oleh beberapa aspek yaitu :
1) Sistem
Yaitu kewenangan Daerah untuk mengatur struktur, tugas fungsi
serta mekanisme kerja unit-unit kerja Daerah diatur dalam Peraturan
Daerah, yang pengaturannya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah sebagai
pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000. Pembagian
kewenangan daerah tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
83
32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 serta
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67 Tahun 2002 yang
merupakan referensi pembagian tupoksi dan mekanisme kerja pada unit-
unit kerja daerah serta Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tanggal 9
Mei 2001 tentang kedudukan Tupoksi dan Susunan Organisasi Dinas
Pendapatan Daerah Sumatera Barat.
2) Kelembagaan
Berbagai tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam era
globalisasi akan semakin berat. Kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi, menjadikan masyarakat semakin tinggi tingkat pengetahuan
dan pendidikannya, sehingga permintaan masyarakat terhadap
peningkatan kualitas pelayanan publik akan menjadi hal yang penting.
Oleh sebab itu organ isasi/kelembagaan pemerintah yang ada saat ini
harus mampu menata diri menjadi organisasi yang dapat mengantisipasi
perubahan kondisi yang datang begitu cepat dan tuntutan masyarakat
yang semakin meningkat dan kompleks.
Penataan organisasi dapat diartikan sebagai upaya untuk
menciptakan postur organisasi yang lebih proporsional sesuai dengan
visi dan misi yang diembannya, sehingga dapat diciptakan efisiensi,
efektivitas, dan produktivitas aparatur, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan pelayanan publik. Disamping itu dengan penataan
organisasi dapat memperjelas wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya
masing-masing.
84
3) Sumber Daya Manusia ( SDM )
Sumber daya manusia di lingkungan pemerintahan, merupakan
salah satu penentu terciptanya pemerintahan yang bersih, efektif dan
efisien. Pemerintahan yang bersih dan efisien sangat penting bukan
hanya agar masyarakat dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya
dari pelayanan publik , melainkan juga untuk menciptakan lingkungan
yang memungkinkan dunia usaha tumbuh lebih sehat dan efisien agar
investor dari dalam dan luar negeri terdorong untuk meningkatkan
investasinya di Indonesia. Pembenahan kualitas sumber daya manusia
(PNS) sebagai aparatur Negara pada dewasa ini menjadi semakin
penting karena fungsinya yang strategis. Kebutuhan akan terciptanya
aparatur yang bersih dan efisien semakin dirasakan sejalan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari pembangunan dan
dari akibat perubahan eksternal pada tingkat regional dan global. Hal ini
tentunya menuntut pegawai negeri menjadi lebih professional, terampil,
terbuka, inovatif, peduli, berakhlak dan amanah. Untuk itu PNS harus
lebih mengedepankan kepentingan publik, menyelenggarakan pelayanan
publik dengan optimal dan menjalankan tugas dan fungsi pelayanannya
berasarkan kebijakan kebijakan publik secara proporsional.
4) Komitmen Dukungan Terhadap Keuangan Daerah
Kinerja penyelenggaraan pelayanan publik sangat dipengaruhi
oleh kinerja dalam pengelolaan keuangan daerah. Dalam arti bahwa
keberhasilan pemerintah menyelenggarakan pelayanan publik dapat
85
dilihat dari besarnya dana APBD yang dialokasikan kepada belanja
publik, dan bukan sebaliknya pada belanja aparatur.
Mengingat pentingnya kebijakan pengalokasian dana dari APBD
untuk kepentingan publik dalam rangka mengedepankan peleyanan
publik tersebut, maka sudah sewajarnya Pemerintah Daerah
memperhatikan pola perencanaan dan penyusunan APBD yang lebih
bersifat akuntabel. Dengan demikian diharapkan penyelenggaraan
pelayanan publik dapat menjadi lebih baik lagi. Dalam kaitan itu semua
maka sangat strategis posisi belanja daerah, apakah mengedepankan
belanja untuk aparatur atau untuk belanja publik.
Oleh karena itu perlu adanya analisis pola/ perilaku belanja
daerah, yang kemudian diumumkan/ diinformasi-kan melalui media
masa kepada masyarakat, agar masyarakat dapat mengkritisi kebijakan
publik secara langsung. Apalagi dalam kondisi yang multi partai seperti
saat ini, tidak menutup kemungkinan terjadinya trade-off dalam
pembahasan Rancangan APBD, yang berdampak pada alokasi kegiatan
dan dana kurang proporsional terhadap kepentingan publik
dibandingkan dengan belanja aparatur atau kegiatan-kegiatan yang tidak
berdarnpak langsung pada kepentingan publik.
5) Kebijakan Fasilitas Pelayanan Publik
Dalam rangka mendorong Pemerintah Daerah menye-lenggarakan
pelayanan publik secara optimal, telah dilaksanakan sosialisasi program
peningkatan pelayanan publik dalam bentuk Bimbingan Teknis di Daerah
berupa :
86
a) Pengembangan Lembaga Pelayanan Terpadu Satu Atap (LPTSA).
Pemerintah menaruh perhatian besar terhadap upaya-upaya reformasi di
bidang pelayanan publik, salah satunya adalah system pelayanan umum
satu atap. Adapun lembaga yang mengelola system ini biasa disebut
dengan Lembaga Pelayanan Terpadu Satu Atap (LPTSA). Sistem
pelayanan satu atap pada hakekatnya adalah penyeleng-garaan pelayanan
dalam satu gedung (satu atap). Sistem ini diyakini sebagai salah satu cikal
bakal terjadinya proses transparansi dalam pemberian pelayanan umum
oleh pemerintah kepada masyarakat.
b) Peningkatan transparansi dan akuntabilitas akan berdampak pada
pelayanan yang lebih baik (better), lebih murah (cheaper), dan lebih
cepat (faster) menjadi tujuan utarna reformasi manajeman
pelayanan publik daerah, maka LPTSA di daerah menjadi amat
penting dan strategis peranannya. Peran penting dan strategis dari
LPTSA dimaksud adalah :
(1) LPTSA bisa mendorong aparat pemerintah untuk menjadi lebih
responsive dan efisien melalui standar-standar yang telah
ditentukan. Hal ini akan memberikan dorongan dan insentif
kepada birokrasi pemerintah untuk menjadi lebih responsive dan
efisien.
(2) LPTSA memberikan kesempatan kepada aparatur pemerintah
untuk belajar dari sektor swasta terutama dalam
mengembangkan pola manajemen yang berorientasi kepada
masyarakat (what public want).
87
Sedangkan aspek-aspek dominan yang mempengaruhi optimalisasi
LPTSA antara lain :
Dari hasil monitoring dan evaluasi bahwa aspek komitmen pimpinan
daerah terhadap LPTSA sangat dominan terhadap optimalnya
LPTSA. Apabila pimpinan daerah mempunyai komitmen yang
tinggi, maka akan mampu menggerakkan unit-unit kerja terkait
untuk mendukung LPTSA. Sebaliknya apabila pemimpin daerah
kurang komitmen maka biasanya masing-masing unit kerja enggan
melepaskan fungsi-fungsi yang berkitan dengan pelayanan.
Pemahaman pendekatan ACSD yaitu Abolish (Penghapu-san), Combine
(Penggabungan), Simplified (Penyederha-naan) dan Decentralized
(Pelimpahan). Pendekatan ini memberi cara bagaimana
menyederhanakan persyaratan- persyaratan yang diperlukan dalam
suatu proses pelayanan.
Pemahaman makna kehidupan bagi para penyelenggara pelayanan
publik dan aparatur yang terkait. Pemahaman terhadap beban
pekerjaan melayani masyarakat akan berubah menjadi bekal
perjalanan di alam berikutnya akan menjadi spirit kerja dengan baik,
sungguh-sungguh dan ikhlas, tanpa memikirkan dan mendapat
income tambahan atau tidak.
6) Aspek Proses Pelaksanaan Pelayanan Prima
Pelayanan prima dilaksanakan untuk memenuhi standar
pelayanan terhadap permintaan, keinginan, dan harapan masyarakat
yang mempunyai nilai yang tinggi dan bermutu (berkualitas). Lebih
88
jauh hakekat dari pelayanan prima adalah berupa upaya-upaya sebagai
berikut :
1) Meningkatkan mutu dan produktifitas pelaksanaan tugas dan fungsi
instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.
2) Mendorong upaya mengefektifkan system dan tatalaksana
pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara
lebih berdaya guna dan berhasil guna (efektif dan efisien).
3) Mendorong tumbuhnya kreatifitas, prakarsa dan peranserta
masyarakat secara luas.
Untuk mendukung terselenggaranya pelayanan prima tersebut
harus dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang
mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
a) Sederhana, artinya dalam pelaksanaan tidak menyulitkan,
prosedurnya tidak berbelit-belit, dan persyaratannya mudah
dipenuhi.
b) Terbuka, artinya masyatakat ingin dilayani secara jujur. Oleh karena
itu aparat yang bertugas melayani harus memberikan penjelasan
sejujur-jujurnya, dan apa adanya sesuai dengan peraturan
perundangan yang mengaturnya.
c) Lancar, artinya petugas pelayanan harus bekerja secara ikhlas dan
sepenuh hati, dengan didukung sarana dan prasarana yang
menunjang kecepatan pelayanan itu sendiri.
89
d) Tepat, artinya pemberian pelayanan dapat dilakukan secara tepat
arah dan sasarannya, tepat jumlahnya tidak lebih dan tidak kurang,
dan tepat waktu.
e) Lengkap, artinya apa yang diharapkan dan diinginkan masyarakat
terhadap suatu pelayanan tertentu dapat tersedia secara lengkap.
f) Wajar, artinya pelayanan dilakukan sebagaimana mestinya dan tidak
dibuat-buat.
g) Terjangkau, artinya biaya pelayanan tersebut dapat dijangkau oleh
masyarakat.
Setelah dilakukan hal-hal sebagaimana diuraikan diatas,
diharapkan pemerintah dapat memberikan kepada masyarakat suatu
pelayanan publik yang prima, sehingga dengan demikian persepsi
masyarakat terhadap kinerja birokrasi pemerintah akan menjadi lebih
baik lagi, yang pada akhirnya nanti dapat dibangun hubungan yang
harmonis antara pemerintah dan masyarakat. Pada satu sisi pemerintah
akan memiliki legitimasi yang kuat dihadapan masyarakat dan pada sisi
yang lain masyarakat akan mendapat pelayanan yang baik dan prima
dari pemerintah.
7) Lembaga Penampungan Pengaduan Masyarakat
Dalam rangka menciptakan good governance khususnya dalam
hal pelayanan publik serta untuk memicu kinerja Pemerintah Daerah
dalam menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakatnya
diperlukan suatu lembaga pengawas eksternal yang bersifat independent
dan non struktural.
90
Sistem penampungan keluhan yang berkembang di daerah saat
relatif bervariasi, namun belum berjalan efektif terhadap upaya
peningkatan kinerja pelayanan publik. Dewasa ini ada berbagai media
yang digunakan masyarakat untuk menyampaikan keluhan mengenai
pelayanan publik, antara lain, melalui mass-medya cetak dan elektronik
seperti koran, radio TV, ataupun menemui langsung instansi terkait.
Namun jumlah keluhan yang masuk relatif sedikit karena msyarakat
cenderung :
a) Tidak mengetahui kemana masyarakat harus mengadu; atau
b) Merasa pesimis bahwa keluhan masyarakat tersebut akan
ditindaklanjuti.
Seluruh Pemerintah Daerah yang pernah disurvei menyatakan setuju
jika lembaga khusus penampungan aspirasi/keluhan masyarakat
dibentuk didaerah. Alasan perlunya pembentukan lembaga khusus
tersebut bervariasi, antara lain :
a) Untuk mencairkan kebekuan informasi/misko-munikasi antara
masyarakat dan pemerintah karena kurang berfungsinya lembaga
yang sudah ada.
b) Untuk menampung keluhan dan aspirasi masyarakat digunakan
untuk masukan dalam penyusunan program.
c) Untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik pada khususnya dan
Pemerintah Daerah pada umumnya.
d) Untuk melakukan penilaian yang obyektif terhadap masalah yang
timbul antara eksekutif, legislatif dan masyarakat.
91
e) Sebagai alat kontrol bagi Pemerintah Daerah dalam menetapkan
berbagai kebijakan publik.
f) Sebagai upaya pengoptimalan mekanisme penampungan keluhan
masyarakat maka perlu untuk mengembangkan Lembaga
Penampungan Pengaduan Masyarakat Daerah sesuai dengan situasi
dan kondisi daerah masing-masing.
92
BAB III
PELAKSANAAN PELAYANAN PKB DAN BBN-KB
A. Diskripsi Wilayah
Propinsi Sumatera Barat terletak di sebelah Barat pulau Sumatera. Propinsi ini
memiliki luas wilayah 42,2 ribu Km (2,17 persen dari luas Indonesia). Secara
administratif Propinsi Sumatera Barat terbagi dalam 12 (dua belas) kabupaten dan 7
(tujuh) kota yaitu : Kabupaten Pesisir Selatan, Solok, Sawahlunto/Sijunjung, Tanah
Datar, Padang Pariaman, Agam, 50 Kota, Pasaman, Mentawai, Pasaman Barat,
Dharmasraya, Solok Selatan dan Kota Solok dan, Kota adalah Padang, Solok,
Sawahlunto, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan Pariaman.
Berdasarkan perkiraan Sensus Penduduk (SP) Tahun 2000 dan Survey
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Tahun 2005, jumlah penduduk Propinsi Sumatera
Barat pada tahun 2006 adalah sekitar 4.632.152 jiwa dengam laju pertumbuhan rata-
rata sekitar 1,87% per tahun. Masalah umum kependudukan di Propinsi Sumatera
Barat sama seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, yaitu terdapat penyebaran yang
tidak merata antar wilayah menurut kabupaten dan kota.
Penyebaran tidak merata ini disebabkan perbedaan karakteristik dan potensi
daerah serta pengaruh demografi yang dimiliki masing-masing daerah. Disamping itu,
faktor mobilitas penduduk (migrasi) antar daerah cukup tinggi, sehingga efektivitas
proses pembangunan masing-masing daerah sangat dipengaruhi oleh kecenderungan
arus penduduk yang pindah dan pergi ke kota (urbanisasi) serata menetap tinggal di
kota. Urbanisasi disebabkan daerah perkotaan lebih menarik (pull factors), sedangkan
93
di daerah kabupaten yang mempunyai ciri pedesaan dianggap kurang tertarik (push
factors).
Faktor pull and push faktor didasarkan kepada ekspetasi penduduk kehidupan
di kota jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan daerah kabupaten. Ekspetasi
kehidupan penduduk ( expectation of life ) kota, yaitu ada harapan untuk memperoleh
pekerjaan dan peluang mendapatkan pendapatan. Faktor urbanisasi ini membawa
kecenderungan kepadatan penduduk kota lebih tinggi di bandingkan daerah
kabupaten.
Dari jumlah penduduk Propinsi Sumatera Barat tahun 2006 sekitar 4.632.152
jiwa tersebut, dimana sebanyak 72,89% tinggal di 12 kabupaten dan sisanya sekitar
27,11 % di 7 daerah kota. Apabila diperhatikan distribusi antar daerah kabupaten dan
kota, jumlah penduduk Kota Padang merupakan jumlah terbanyak, yaitu sekitar
819.765 jiwa. Kemudian diikuti Kabupaten Pesisir Selatan sebanyak 429.647 jiwa dan
Agam sebanyak 426.767 jiwa. Sedangkan daerah yang relatif sedikit jumlah
penduduknya adalah terdapat pada beberapa daerah perkotaan, seperti Padang Pajang
sebanyak 49.779 jiwa, kemudian diikuti oleh Sawahlunto sebanyak 53.327 jiwa dan
Solok sebanyak 55.784 jiwa.
Untuk jelasnya distribusi dapat dilihat Tabel 1 berikut :
94
Tabel 1 :
Jumlah Penduduk Sumatera Barat, 2000, 2004-2006
( Dalam orang )
No. Kabupaten/Kota 2000 2004 2005 2006
I.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
II 13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
KABUPATEN
Pesisir Selatan
S o l o k
Swl/Sijunjung
Tanah Datar
Pdg Pariaman
A g a m
Lim Puluh Kota
Pasaman
Mentawai
Solok Selatan
Dhamasraya
Pasaman Barat
KOTA P a d a n g
S o l o k
Swhlunto
Padang Panjang
Bukittinggi
Payakumbuh
Pariaman
3.186.311
388.153
434.425
306.817
326.874
495.757
414.844
310.918
508.523
--
--
--
--
1.034.007
708.369
47.883
48.616
40.103
91.444
97.592
---
3.309.220
417.708
457.389
343.819
339.216
375.538
428.433
324.258
555.486
67.375
--
--
--
1.219.022
784.740
55.709
53.837
44.699
100.254
104.377
75.406
3.331.142
423.093
342.930
188.217
331.576
378.208
424.789
324..201
244.554
64.540
126.812
165.194
316.928
1.224.668
799.736
54.049
53.081
45.439
100.512
101.819
70.032
3.376.542
429.647
347.286
192.997
334.258
381.803
426.767
327.203
248.930
66.332
128.614
170.347
322.356
1.255.610
819.765
55.784
53.327
49.779
102.515
104.084
70.356
J u m l a h 4.220.318 4.528.242 4.555.810 4.632.152
Catatan : * Angka SP 2000
** Angka SUPAS 2005
-- Sebelum pemekaran
Sumber : BPS, Kantor Statistik Sumbar
B. Keadaan Ekonomi
Berdasarkan laporan Kantor Statistik Daerah (BPS, 2007) Propinsi Sumatera
Barat, pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat tahun 2006 mengalami kenaikan sekitar
5,7 %. Pertumbuhan ekonomi tahun 2007 diperkirakan lebih tinggi sekitar 6,2 %
dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun 2005 sekitar 5,73% dan tahun 2004 sekitar
5,37%. Dengan laju pertumbuhan sekitar 5,9 %, jumlah Produk Domestik Regional
(PDRB) menurut harga konstan tahun dasar 2000) mencapai Rp 30.949,95 milyar,
95
sedangkan pada tahun 2005 baru mencapai Rp 29.159,48 milyar dan tahun 2004
sebanyak Rp.27.578,14 milyar.
Perkembangan yang cukup mengembirakan ini terjadi akibat pertumbuhan 4
(empat) sektor dominan, seperti sektor pertanian, pengangkutan dan perdagangan,
hotel dan restoran. Pada tahun 2006 sektor pertanian memberi sumbangan terhadap
pembentukan PDRB Sumatera Barat sekitar 25,30%, sektor perdagangan, hotel dan
restoran sekitar 17,62%. sektor industri dan pengolahan sekitar 14,30% dan sektor
pengangkutan dan komunikasi sekitar 14,02%.
Apabila diperhatikan perkembangan ke empat sektor dominan tersebut, pada
tahun 2006 sektor pertanian naik sekitar 6,70%, sektor industri dan pengolahan naik
sekitar 4,0%, sektor perdagangan, hotel dan restoran naik sekitar 5,99% dan sektor
pengangkutan dan komunikasi naik sekitar 9,84%. Diantara ke empat sektor dominan
diatas, khusus sektor pengangkutan dan komunikasi sangat potesial dan relevan
apabila dikaitkan dengan topik pemahasan ini, karena indikator yang digunakan dalam
perhitungan PDRB adalah jumlah kendaraan bermotor.
96
Tabel 2 :
Produk Domestk Regionl Bruto Propinsi Sumatera Barat atas
Harga Konstan Tahun 2000, Menurut Lapangan Usaha
Tahun 2002-2006
( Dalam Rp. Juta )
No Lapangan Usaha 2002 2003 2004 2005 2006
1. Pertanian. 6.091.915,6 6.557.510,7 6.937.172,9 7.293.205,7 7.658.394,8
2.
Pertambangan dan
penggalian
884.878,7 894.245,3 923.379,1 951.882,6 980.826,8
3.
Industri pengolahan. 3.404.309,8 3.472.186,0 3.629..455,7 3.808.287,0 3.978.641,1
4.
Listrik,gas,air bersih 271.084,9 284.294,0 301.070,7 338.722,9 368.981,7
5.
Bangunan 1.194.839,2 1.278.358,4 1.375.769,3 1.440.337,6 1.544.889,6
6.
Perdagangan,hotel dan
restoran
4.543.977,6 4.755.166,3 5.006.640,3 5.305.757,2 5.662.879,4
7.
Pengangkutan dan
komunikasi.
2.928.943,5 3.165.005,3 3.419.244,7 3.754.819,8 4.140.569,9
8.
Keuangan,persewaan,j
asa perusahaan
1.230.509,4 1.294.725,5 1.376.937,7 1.464.102,8 1.579.347,5
9. Jasa-jasa. 4.289.729,1 4.445.290,3 4.608.466,1 4.802.365,0 5.035.414,3
Jumlah 24.840.187,7 26.146.781,6 27.578.136,6 29.159.480,5 30.949.945,1
Sumber : Kantor Sensus dan Statistk Propinsi Sumatera Barat
Struktur perekonomian daerah dalam satu dekade terakhir masih didominasi
oleh tiga sektor utama yaitu sektor peranan sektor pertanian dalam tahun 2003 sebesar
24,18% dan mengalami peningkatan pada tahun 2004 menjadi 24,40%, sedangkan
dalam tahun 2005 mencapai 25,06%. Dari perkembangan tersebut menandakan sektor
pertanian semakin dominan dan masih tetap menjadi penggerak perekonomian untuk
beberapa tahun ke depan. Oleh sebab itu pembangunan sektor pertanian tahun 2007
tetap menjadi prioritas pembangunan dalam kerangka pengembangan perekonomian
daerah dan peningkatan pendapatan penduduk yang sebahagian besar masih
mengandalkan lapangan kerja pada sektor pertanian ini.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran yang merupakan penyumbang kedua
terbesar dalam pembentukan PDRB daerah dengan kontribusi sebesar 18,79% dalam
tahun 2003 dan pada tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 18,71%, selanjutnya
pada tahun 2005 juga mengalami penurunan menjadi 18,18%. Hal ini disebabkan
97
semakin menurunnya kontribusi sektor pertambangan dan penggalian serta sektor
industri pengolahan yang sangat mempengaruhi sektor perdagangan ini. Sedangkan
sektor jasa-jasa sebagai penyumbang ketiga dalam pembentukan PDRB juga
mengalami penurunan sejak tahun 2002 sehingga menjadi dibawah 17%, hal ini
berlangsung sampai dengan tahun 2004.
Pertumbuhan ekonomi daerah pada tahun 2005 sebesar 5,53% yang berarti
lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada tahun 2004 sebesar 5,46%.
Diharapkan perekonomian daerah terus membaik dengan pertumbuhan sebesar 6,00%
pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 diharapkan lebih tinggi lagi yaitu sebesar
6,20%. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 dari sisi permintaan, didukung oleh
konsumsi masyarakat yang mengalami pertumbuhan sebesar 3,5% dan konsumsi
pemerintah sebesar 4,0%, sedangkan ekspor mengalami pertumbuhan yang cukup
tinggi yaitu sebesar 15,0%. Diharapkan ekspor ini terus mengalami peningkatan
sehingga dapat lebih mendorong gerak perekonomian daerah. Dari sisi penawaran,
sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar 6,96% sementara sektor industri
pengolahan hanya mengalami pertumbuhan sebesar 3,56% yang berarti berada
dibawah sektor pertanian. Diharapkan untuk masa yang akan datang pertumbuhan
sektor industri dapat lebih tinggi dari sektor pertanian sehingga terjadi kegiatan
ekonomi yang memberikan nilai tambah bagi daerah. Untuk langkah-langkah yang
dapat meningkatkan industri pengolahan terutama yang berbasis pertanian akan terus
diupayakan, baik melalui pemberdayaan usaha yang sudah ada maupun dengan
mendorong investor mengembangkan industri pengolahan dimaksud.
Untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 5,9 % pada tahun
2006 dibutuhkan investasi sebesar Rp. 6.234 milyar menurut harga konstan tahun
98
2000, sedangkan untuk merealisasikan pertumbuhan sebesar 6,20 % pada tahun 2007
dibutuhkan investasi sebesar Rp. 7.104 milyar menurut harga konstan tahun 2000.
Investasi tersebut berasal dari pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Investasi
masyarakat dan dunia usaha akan berperan lebih besar dibandingkan investasi
pemerintah, untuk itu program kerja pemerintah akan lebih diarahkan kepada
penyiapan kerangka kebijakan dan peningkatan pelayanan serta menyediakan sarana
prasarana yang dapat mendorong aktivitas penanaman modal.
Dengan terjadinya peningkatan perekonomian daerah melalui berbagai
kebijakan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi telah terjadi peningkatan
diberbagai sektor, terutama pada sektor dominan yang diharapkan meningkat seperti
digambarlan diatas. Diharapkan peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut
membawa pengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin dan jumlah
pengangguran. Perkembangan kondisi perekonomian Sumatera Barat, dalam temuan
dan hasil wawancara dalam penelitian ini, termasuk peningkatan investasi daerah
sangat besar artinya terhadap efektifitas penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
khususnya penerimaan pajak daerah yang berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor
(PKB) dan Bea balik Nama (BBN).
Di samping itu, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dimana tingkat
kemiskinan dan pengangguran mempunyai efek tidak langsung kepada efektivitas
penerimaan daerah. Pada tahun 2005 berdasarkan hasil pendataan Susenas, 2006,
jumlah penduduk miskin di Propinsi Sumatera Barat tercatat sebanyak 1.079.241
orang atau sebanyak 233.825 Kepala Keluarga. Jumlah ini diperkirakan sebanyak
22,07% dari jumlah penduduk Sumatera Barat. Pada tahun 2006 jumlah ini
diperkirakan mengalami peningkatan, yaitu sekitar 30,0% dari jumlah penduduk tahun
99
2006. Peningkatan jumlah penduduk miskin dalam temuan penelitian sangat
mempengaruhi efektivitas pemasukan penerimaan yang berasal dari PAD, salah satu
diantanya adalah Penerimaan yang bersumber dari pajak daerah, khususnya Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama (BBN). Namun dalam tahun 2007
dengan berbagai program penanggulangan kemiskinan diantara adalah
penanggulangan kemiskinan yang berbasis nagari, diharapkan angka kemiskinan
tahun 2007 menjadi 17,09%.
Demikian halnya dengan angka pengganguran terbuka, Jumlah pengangguran
terbuka di Propinsi Sumatera adalah cukup tinggi, dimana dari jumlah pencari kerja
sebanyak 2.026.950 orang diperkirakan tingkat pengangguran terbuka sekitar 16,53%,
sedeangkan pada tahun 2004 jumlah tersenbut diperkirakan akan terjadi penurunan,
yaitu sekitar 14,40% dan awal tahun berikutnya akan mengalami penurunan lagi
menjadi 13,10%.
Namun, masalah pengangguran bukan terletak kepada penanganan penurunan
tingkat pengangguran terbuka menjadi 13,10% tersebut, tetapi yang lebih penting dan
erat kaitannya dengan efektivitas pembayaran PKB dan BBN adalah tenaga yang
bekerja yang dikelompokan kedalam setengah penganggur. Berdsarkan data Kantor
Sensus dan Statistik Sumatera Barat, pengangguran tersebut adalah :
Kelompok orang yang bekerja dibawah jam kerja yang sudah ditentukan (Under –
Employment).
Kelompok orang yang bekerja tidak pada tempatnya dan tidak sesuai dengan latar
belakang serta keahliannya, sehingga bekerja tidak seperti yang diharapkan.
(Under - Utilized).
100
Bekerja tidak sepantasnya bekerja, seperti anak-anak, hubungan keluarga, teman dan
saudara serta bentuk KKN lainnya (Disquised Un-Employment).
Ketiga bentuk pengangguran ini jumlahnya cukup besar, Dalam Rencana Kerja
Pemerintah Daerah ( RKPD ) Propinsi Sumatera Barat Tahun 2007, pada tahun 2004
jumlah sekitar 44,0 % dan tahun 2005 sekitar 44,5 %. Penyebab tingginya angka
orang bekerja yang disebut setengah penganggur tersebut disebabkan rendah kualitas
sumberdaya manusia seperti pendidikan, kesehatan, gizi dan tekanan urbanisasi.
Kemudian secara alamiah kenaikan jumlah penduduk satu dekade sebelumnya
menjadi pencari dan menyebabkan tingginya jumlah pencari kerja, belum lagi
termasuk pertambahan kelompok pencari dari anak sekolah/mahasiswa yang
menamatkan pendidikan.
Kedua faktor penyebab tenaga kerja setengah penganggur tersebut akan
mempengaruhi efektivitas pelayanan sumber daya bagi pusat-pusat pelayanan, seperti
pada kasus pelayanan publik pembayaran pembayaran melalui calo dalam pengurusan
pajak daerah, perizinan, adanya parkir liar yang mengganggu tata tertib pelayanan.
C. Efektivitas Pajak Daerah
Dalam membahas efektivitas pajak daerah terhadap penerimaan daerah,
penulis menguraikan kemampuan daerah dalam pemungutan pajak daerah, khususnya
penerimaan daerah yang bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea
Balik Nama (BBN). Untuk menjelaskan efektivitas pemungutan pajak daerah ini,
kemampuan untuk merealisasikan target yang telah ditetapkan di awal tahun anggaran
berjalan dengan realisasi pemungutan yang dilakukan pada tahun bersangkutan.
101
Kemampuan daerah dalam memajukan perekonomian daerahnya terlihat dari
perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang positif disisi penerimaan dan
peranannya dari tahun ketahun yang semakin meningkat. Pendapatan Asli Daerah
merupakan salah satu sumber utama keuangan daerah untuk membiayai biaya
administrasi umum dan biaya operasi pemeliharaan disamping penerimaan lainnya
berupa bagi hasil pajak/bukan pajak, bantuan pembangunan serta pinjaman daerah.
Keuangan daerah merupakan salah satu faktor terpenting dalam menganalisa potensi
dan kebutuhan daerah. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Sumatera Barat dari
tahun ketahun terus mengalami peningkatan rata-rata 32,69% pertahun, akan tetapi
persentase pertumbuhannya berfluktuatif.
Tabel 3
Pertumbuhan PAD Propinsi Sumatera Barat
Selama Tahun Anggaran 2002 - 2006
(dalam Rp. 000)
No. Tahun
Anggaran
Realisasi
PAD
Kenaikan
Rp %
1 2002 213.284.546 72.521.346 34,00
2 2003 281.450.709 68.166.163 31,96
3 2004 375.074.888 93.624.179 33,26
4 2005 406.649.236 31.574.348 8,42
5 2006 457.256.065 50.606.829 12,44
Sumber : Dinas Pendapatan Prop. Sumbar Tahun 2006.
Besarnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) menunjukkan tingkat ketergantungan daerah terhadap
Pemerintah Pusat. Kontribusi PAD Sumatera Barat Tahun Anggaran 2002 sampai
dengan 2006 dapat dilihat pada tabel IV.4 berikut :
102
Tabel 4
Kontribusi PAD terhadap APBD Propinsi Sumbar
Dalam Tahun Anggaran 2002 – 2006
(Dalam Rp. ribuan)
Tahun
Anggaran
Realisasi %
PAD APBD
2002 213.284.546 561.809.383 37,96
2003 281.450.709 704.409.383 39,96
2004 375.074.888 724.431.755 51,78
2005 406.649.236 738.641.236 55.50
2006 457.256.065 985.149.165 46,41
Sumber : - Dinas Pendapatan Prop. Sumbar.Tahun 2006.
Dari data di atas terlihat bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
mengalam fluktuasi, namun apapabila dilihat perkembangan selama 5 tahun terakhir
jumlahnya menunjukan peningkatan. Pada tahun 2006, konstribusi PAD terhadap
APBD Sumatera adalah sebanyak 46,41%. Angka ini sedikit lebih rendah
dibandingkan tahun 2005 sekitar 55,50 %.
Menurut undang-undang nomor 34 tahun 2000 jenis-jenis pajak daerah
propinsi meliputi :
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan kendaraan di atas air
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan kendaraan di atas air
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Permukaan
Kontribusi PKB dan BBN KB terhadap PAD dan APBD Propinsi Sumatera
Barat Tahun Anggaran 2002-2006 rata-rata sekitar 61, 12 % sampai 80,57 %,
sedangkan dibandingkan dengan jumlah PDRB Propinsi Sumatera Barat adalah rata-
rata sekitar 23,20 % sampai 37,40 %. Rendahnya konstribusi perimaan ini sebagai
103
sumber PAD utama adalah disebabkan penerimaan daerah yang terbesar adalah
berasal dari dana perimbangan keuangan yang bersumber dari APBN seperti DAU,
DBH dari pajak dan bukan pajak serta DAK.
Untuk mengetahui kontribusi pajak daerah terhadap penerimaan asli daerah
dan penerimaan total daerah (APBD) di Propinsi Sumatera Barat selama tahun 2002
sampai dengan tahun 2006 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5
Kontribusi PKB dan BBN KB terhadap PAD dan APBD
Propinsi Sumatera Barat Tahun Anggaran 2002-2006
Tahun
Target PKB
dan BBNKB
Realisasi PAD
( Rp. 000 )
Kontr.
thd
PAD
( % )
Kontr. thd
APBD
( % ) ( Rp.000) %
2002
2003
2004
2005
2006
100.500.000
119.800.000
187.975.000
272.500.000
327.000.000
130.356.216
174.365.197
244.404.980
294.763.945
368.454.931
129,71
145,55
130,02
108.17
112,68
213.284.546
281.450.709
375.074.888
406.649.236
457.256.065
61,12
61,95
65,16
72,48
80,57
23,20
24,75
33,74
39,90
37,40
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Prop. Sumbar.Tahun 2006.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kontribusi pajak daerah (PKB dan
BBNKB) Propinsi Sumatera Barat terhadap Pendapatan Asli Daerah setiap tahunnya
masih berluktuatif dengan rata – rata kontribusinya selama lima tahun terakhir
sebesar 61,12%. Sedangkan kontribusinya terhadap APBD adalah sebesar 23,20%
sampai dengan 37,40%.
Pada tahun 2003 konstribusinya terhadap PAD adalah sekitar 61,95%,
sedangkan pada tahun 2006 adalah sekitar 80,57%. Sedangkan konstribusinya
terhadap APBD, pada tahun 2003 adalah sekitar 23,20% dan pada tahun 2006 naik
menjadi 37,40%. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, dimana fakta yang dikemukakan
104
Tabel 6 terlihat bahwa realisasi telah melampaui target yang ditetapkan. Dilihat dari
segi penerimaan daerah pencapaian target telah kinerja memuaskan.
Secara terinci kinerja dari aspek penerimaan tersebut dapat dilihat tabel
berikut:
Tabel 6
Target dan Realisasi PKB dan BBNKB
Selama tahun anggaran 2002 s/d 2006
(Dalam Rp. 000)
N
o Tahun
Pajak Kendaraan Bermotor %
Bea Balik Nama
KendaraanBermotor %
Target Realisasi Target Realisasi
1.
2.
3.
4.
5.
2002
2003
2004
2005
2006
48.000.000
56.300.000
80.575.000
106.000.000
127.200.000
59.463.557
74.869.162
95.245.946
125.418.588
192.669.237
123,88
132,98
118,21
118,32
151.469
52.500.000
63.500.000
107.400.000
166.500.000
199.800.000
70.892.658
99.496.034
149.159.033
169.345.358
264.586.828
135,03
156,69
138,88
101,70
132,43
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Prop.Sumbar 2006.
D. Hasil Penelitian dan Analisis
Keadaan Personil Kantor Bersama Samsat
Berdasarkan situasi kantor per akhir Januari 2006, jumlah personil yang
terdapat di Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat adalah sebagai berikut :
Dit. Lantas Polda : 30 orang
Dispenda : 33 orang
Jasa Raharja : 2 orang
Jumlah : 65 orang
Distribusi petugas yang terdapat pada setiap pokja/loket yang langsung
berhubungan dengan masyarakat wajib pajak dapat dilihat pada tabel 7 berikut :
105
Tabel 7
Distribusi Jumlah Petugas Samsat
Pada Setiap Loket Pelayanan
Pokja/ Loket Polda Dispenda Jasa Raharja Jumlah
Loket I
Loket II
Loket III
Loket IV
Loket V
3
4
6
0
2
2
0
9
3
1
0
0
1
1
1
5
4
16
4
4
Jumlah 15 15 3 33
Sumber : Ditlantas Polda Sumatera Barat.
Adapun jumlah wajib pajak yang dilayani rata-rata per hari adalah
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8
Jumlah Rata-rata Wajib Pajak yang Dilayani Per hari
Pokja/ Loket Jumlah WP
Loket I
Loket II
Loket III
Loket IV
Loket V
650 orang
200 orang
400 orang
650 orang
200 orang
Sumber : Ditlantas Polda Sumatera Barat.
Rata-rata setiap loket melayani 420 orang wajib pajak.
Dari tabel 8 terlihat bahwa jumlah wajib pajak yang dilayani pada setiap loket
tidak sama. Rata-rata wajib pajak yang datang setiap hari ke Loket I lebih banyak jika
dibandingkan dengan Loket II, yang jumlahnya paling sedikit (rata-rata 200 orang
wajib pajak perhari). Jumlah wajib pajak yang dilayani memang dapat berbeda, karena
sifat pekerjaan di setiap loket mempunyai spesifikasi yang berbeda. Menurut pedoman
tata laksana Sistim Administrasi Manunggal Dibawah Satu Atas (Samsat), tidak
semua kendaraan bermotor wajib melakukan cek phisik (khususnya untuk
mengesahkan STNK setiap tahun), walaupun dalam prakteknya semua kendaraan
106
bermotor diharuskan untuk melakukan cek phisik, tetapi yang terdaftar hanya yang
sesuai dengan ketentuan. Semua kendaraan bermotor yang hendak membayar PKB,
BBN-KB dan SWDKLLJ wajib mengambil formulir di Loket I. Umumnya wajib
pajak setelah mengambil formulir di Loket I, melanjutkan cek phisik kendaraan
bermotor di Loket II, lalu melakukan pendaftaran di Loket III. Setelah selesai di Loket
III kebanyakan wajib pajak pergi meninggalkan Kantor Samsat, karena untuk
membayar PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ, petugas memerlukan waktu untuk
menghitung besarnya PKB, di samping adanya wajib pajak yang belum
mempersiapkan dana untuk melakukan pembayaran pada saat itu. Kebanyakan wajib
pajak baru datang kembali ke Kantor Bersama Samsat pada keesokan harinya.
Masyarakat yang hendak membayar PKB atau memperpanjang STNK diperkenankan
untuk melakukannya sebulan sebelum tanggal jatuh tempo.
Data Primer
Data primer diperoleh dari wawancara dan kuesioner, dijelaskan sebagai
berikut :
Terhadap Karakteristik Responden
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data sebagaimana dijelaskan
berikut ini :
Pada tabel 9 dapat dilihat profil responden berdasarkan pekerjaan. Umumnya
responden bekerja sebagai wiraswastawan, yaitu sebanyak 19 responden atau sebesar
45,24%, sebagai pegawai sebanyak 15 responden atau 35,71% dan sebanyak 8 orang
atau 19,05% memiliki pekerjaan selain wiraswasta dan pegawai.
107
Tabel 9
Profil Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Wiraswasta
Pegawai
Pengemudi
Lainnya
19
15
5
3
45,24
35,71
11,91
7,14
Jumlah 42 100
Berdasarkan umur responden, usia 15-30 tahun sebanyak 6 responden atau
14,29%, umur 31-40 tahun sebanyak 17 responden atau 40,48% dan yang berumur 41-
50 tahun sebanyak 15 responden atau 35,71%. Sisanya berumur di atas 51 tahun, yaitu
4 responden atau 9,52%. Variasi umur wajib pajak yang menjadi responden dianggap
bisa mewakili seluruh usia wajib pajak. Profil umur responden dapat dilihat pada
tabel 10.
Tabel 10.
Profil Responden Berdasarkan Umur
Umur (Tahun)
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
15 – 30
31 – 40
41 – 50
51 ke atas
6
17
15
4
14,29
40,48
35,71
9,52
Jumlah 42 100
Umumnya responden mempunyai pendidikan SLTA yaitu sebanyak 18
responden atau 42,86%, Perguruan Tinggai (PT) 14 responden atau 33,33%.
Responden yang berpendidikan dasar (SD dan SLTP) ada 8 responden atau 19,05%.
Berarti tingkat pendidikan responden cukup baik. Profil responden berdasarkan
tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 11.
108
Tabel 11.
Profil Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
SD
SLTP
SLTA
PT
Lainnya
2
6
18
14
2
4,76
14,29
42,86
33,33
4,76
Jumlah 42 100
Hasil penelitian yang diperoleh dari kuesioner yang diedarkan dengan
menanyakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan urusan pada setiap loket
pelayanan, mulai dari Loket I hingga Loket V, dapat diuraikan berikut ini.
Loket I (Penyediaan Formulir dan Penerangan)
Hasil angket yang disebarkan kepada 42 responden wajib pajak yang
berurusan ke Samsat mengenai waktu yang digunakan untuk pelayanan pada Loket I
adalah sebagai mana yang dapat dilihat pada tabel 12.
Dari sebaran kuesioner diperoleh hasil 29 orang atau 69,05% responden
menjawab waktu yang diperlukan di Loket I kurang dari 15 menit, 12 orang atau
28,57% responden mengatakan waktu yang diperluken antara 15 menit – 30 menit dan
1 orang atau 2,38% responden mengatakan lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 60
menit.
109
Tabel 12.
Profil Responden Berdasarkan Waktu
Yang Digunakan Pada Loket I
Waktu
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Kurang dari 15 menit
15 menit – 30 menit
31 menit – 60 menit
Lebih dari 60 menit
29
12
1
0
69,05
28,57
2,38
0
Jumlah 42 100
Rata-rata seorang wajib pajak menghabiskan waktu 12,68 menit di Loket I
(lihat tabel 13).
Loket II (Cek Phisik Kendaraan Bermotor)
Loket II melayani pekerjaan cek phisik kendaraan bermotor meliputi
pengecekan nomor rangka, nomor mesin, warna, merek serta tahun pembuatan
kendaraan bermotor.
Hasil yang diperoleh dari sebaran kuesioner adalah sebagaimana yang dapat
dilihat pada tabel 13.
Dari jawaban kuesioner yang diberikan kepada 42 responden wajib pajak
menunjukkan bahwa banyak waktu yang digunakan pada Loket II, yang dimulai dari
menyerahkan formulir cek phisik, lalu petugas lapangan melaksanakan tugasnya
dengan menggesek nomor rangka dan nomor mesin kendaraan bermotor, sampai
pengesahan yang dilakukan oleh petugas yang berwenang yaitu Perwira Urusan Cek
Phisik menunjukkan 18 orang atau 42,86% responden mengatakan kurang dari 15
menit, 21 orang atau 50% responden mengatakan antara 15 menit – 30 menit.
Sedangkan 3 orang atau 7,14% responden mengatakan antara 31 menit – 60 menit dan
yang mengatakan lebih dari 60 menit nihil.
110
Tabel 13.
Profil Responden Berdasarkan Waktu
Yang Digunakan Pada Loket II
Waktu
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Kurang dari 15 menit
15 menit – 30 menit
31 menit – 60 menit
Lebih dari 60 menit
18
21
3
0
42,86
50
7,14
0
Jumlah 42 100
Rata-rata seorang wajib pajak menghabiskan waktu 17,68 menit di Loket II
(lihat tabel 13).
Loket III (Pendaftaran, Penelitian dan Penetapan)
Pada Loket III dilaksanakan pendaftaran, penelitian berkas dan hasil cek
phisik, merekam data STNK dan melakukan order TNKB (Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor), selanjutnya menyerahkan notice, KTP, BPKB atau identitas lainnya, di
mana kegiatan ini dilakukan oleh petugas Polri. Sedangkan kegiatan yang dilakukan
oleh Dispenda meliputi penelitian pajak, penetapan PKB dan print notice untuk
diteruskan ke loket berikutnya. Selanjutnya kegiatan Jasa Raharja menetapkan
SWDKLLJ untuk asuransi kendaraan bermotor. Dari hasil sebaran kuesioner yang
dilakukan, diperoleh komposisi sebagaimana dapat dilihat pada tabel 14.
111
Tabel 14.
Profil Responden Berdasarkan Waktu
Yang Digunakan Pada Loket III
Waktu
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Kurang dari 15 menit
15 menit – 30 menit
31 menit – 60 menit
Lebih dari 60 menit
8
27
5
2
19,05
64,29
11,90
4,76
Jumlah 42 100
Komposisi hasil penelitian yang diperoleh adalah 27 orang atau 64,29%
responden mengatakan lebih dari 15 menit tetapi kurang dari 30 menit, 8 orang atau
19,05% responden mengatakan kurang dari 15 menit, 5 orang atau 11,90% responden
mengatakan lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 60 menit dan 2 orang atau 4,76%
responden yang mengatakan lebih dari 60 menit.
Rata-rata pelayanan seorang wajib pajak pada Loket III adalah 24,11 menit
(lihat tabel 13).
Loket IV (Pemeriksaan, Pembayaran PKB, BBN-KB, Administrasi STNK,
TNKB dan SWDKLLJ)
Pada Loket IV, dilakukan pembayaran, validasi dan menyerahkan notice 1 dan
2 yang dilakukan oleh Kas Daerah (Dispenda). Hasil sebaran kuesioner pada Loket
IV, di dalam penggunaan waktu adalah 24 orang atau 57,14% responden mengatakan
diperlukan waktu kurang dari 15 menit, 14 orang atau 33,33% responden mengatakan
lebih dari 15 menit tetapi tidak lebih dari 30 menit, 4 orang atau 9,53% responden
memerlukan waktu 31 menit – 60 menit. Untuk lengkapnya dapat dilihat pada
tabel 15.
112
Rata-rata seorang wajib pajak menghabiskan waktu 16,07 menit untuk
berurusan di Loket IV (lihat tabel 15).
Tabel 15.
Profil Responden Berdasarkan Waktu
Yang Digunakan Pada Loket IV
Waktu
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Kurang dari 15 menit
15 menit – 30 menit
31 menit – 60 menit
Lebih dari 60 menit
24
14
4
0
57,4
33,33
9,53
0
Jumlah 42 100
Loket V (Pengesahan dan Penyerahan)
Loket V bertugas memberikan pelayanan pengesahan dan penyerahan berkas
yang dikirim dari Loket IV. Pada Loket V petugas yang melayani terdiri dari instansi
Polri, Dispenda dan Jasa Raharja, dengan melakukan kegiatan untuk pekerjaan
verifikasi, melakukan pencetakan STNK, menerbitkan Penning PKB dan validasi
dengan mencetak KTL (PKB dan SWDKLLJ). Pekerjaan Polri mencetak STNK dan
validasi, sedangkan Dispenda dan Jasa Raharja menerbitkan Penning PKB dan
mencetak KTL. Dari kuesioner yang diisi responden hasilnya dapat dilihat pada
tabel 16.
Komposisi yang diperoleh dari hasil penelitian adalah 8 orang atau 19,05%
responden mengatakan kurang dari 15 menit, 25 orang atau 59,52% responden
mengatakan diperlukan waktu antara 15 menit sampai dengan 30 menit, 7 orang atau
16,67% responden mengatakan diperlukan waktu lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 60 menit, dan 2 orang atau 4,76% responden mengatakan lebih dari 60 menit.
113
Tabel 16.
Profil Responden Berdasarkan Waktu
Yang Digunakan Pada Loket V
Waktu
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Kurang dari 15 menit
15 menit – 30 menit
31 menit – 60 menit
Lebih dari 60 menit
8
25
7
2
19,05
59,52
16,67
4,76
Jumlah 42 100
Rata-rata pelayanan untuk seorang wajib pajak di Loket V adalah 25,18 menit (lihat
tabel 17).
Penilaian Terhadap Kriteria Pelayanan
Penilaian terhadap 8 (delapan) kriteria pelayanan adalah untuk mengetahui
kepuasan wajib pajak terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas Samsat. Hasil
penilaian terhadap kriteria ini dapat dilihat pada tabel 18 sampai dengan tabel 23.
Dari tabel 8 dapat diketahui, pada umumnya yaitu 57,14% responden atau 24
orang mengatakan pelayanan mudah, bahkan 28,57% responden atau 12 orang
mengatakan pelayanan sangat mudah. Sebesar 11,91% responden atau 5 orang
mengatakan pelayanan tidak mudah dan hanya 2,38% responden atau 1 orang
mengatakan pengurusan sangat tidak mudah atau sulit.
Untuk efisiensi dan kesederhanaan dalam pelayanan, prosesnya
diselenggarakan dengan mudah, cepat, tidak berbelit-belit dan dapat dipahami serta
efisien. Tabel 19 memperlihatkan hasil sebaran kuesioner yang telah diolah.
Sebanyak 14,29 % responden atau 6 orang mengatakan bahwa pembuatan
STNK dilakukan dengan sangat efisien, 28,57% responden atau 12 orang mengatakan
efisien. Sedangkan yang menjawab tidak efisien ada 47,62 % responden atau 20 orang
114
dan 9,52% responden atau 4 orang tidak menjawab atau tidak melingkari salah satu
nomor pilihan yang telah disediakan.
Tabel 18.
Profil Responden Berdasarkan Kemudahan
Kejelasan Dalam Pelayanan
Kategori
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Sangat Mudah
Mudah
Tidak Mudah
Sangat Tidak Mudah / Sulit
12
24
5
1
28,57
57,14
11,91
2,38
Jumlah 42 100
Tabel 19.
Profil Responden Berdasarkan Efisiensi dan
Kesederhanaan Dalam Pembuatan STNK
Kategori
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Sangat Efisien
Efisien
Tidak Efisien
Tidak Menjawab
6
12
20
4
14,29
28,57
47,62
9,52
Jumlah 42 100
Mengenai keamanan dan kenyamanan, baik dari segi dokumen maupun
lingkungan dan dalam pemerosesan berkas wajib pajak, jawaban responden dapat
dilihat pada tabel 20. Dari tabel 20 tersebut terlihat 23,81 % responden atau 10 orang
menjawab sangat aman, 59,52 % responden atau 25 orang mengatakan aman.
Sedangkan yang menjawab tidak aman ada 4,76 % responden atau 2 orang dan 11,91
% responden atau 5 orang rnemilih tidak menjawab.
115
Tabel 20
Profil Responden Berdasarkan Keamanan dan
Kenyamanan Selama Penyelesaian STNK
Kategori
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Sangat Aman
Aman
Tidak Aman
Tidak Menjawab
10
25
2
5
23,81
59,52
4,76
11,91
Jumlah 42 100
Sebaran responden berdasarkan rasa keadilan dalam pelayanan yang diberikan
oleh petugas Samsat sebagaimana yang dapat dilihat pada tabel 21 adalah, 23,81%
responden atau 10 orang menjawab sangat adil, 54,76 % responden atau 23 orang
mengatakan adil. Sedangkan responden yang mengatakan tidak adil ada 19,05 %
responden atau 8 orang dan 2,38 % responden atau 1 orang mengatakan sangat tidak
adil.
Dari hasil kuesioner terlihat bahwa tarnyata petugas di dalam memberikan
pelayanan tidak membeda-bedakan antara calo dan yang bukan ca1o.
Mengenai ketersediaan prasarana, sarana dan fasilitas yang ada dapat dilihat,
8,43% responden atau 9 orang menjawab bahwa prasarana, sarana dan fasilitas yang
tersedia sangat memadai, 61,90% responden 26 orang mengatakan prasarana, sarana
dan fasilitas yang ada cukup memadai, sedangkan 14,29 % responden atau 6 orang
mengatakan kurang memadai dan 2,38 % responden atau 1 orang mengatakan tidak
memadai. Selengkapnya dapat dilihat pada label 22.
116
Tabel 21
Profil Responden Berdasarkan Keadlan
Dalam Pelayanan yang Diberikan oleh Petugas Samsat
Kategori
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Sangat Adil
Adil
Tidak Adil
Sangat Tidak Adil
10
23
8
1
23,81
54,76
19,05
2,38
Jumlah 42 100
Tabel 22
Profil Responden Berdasarkan Prasarana
Sarana dan Fasilitas yang Tersedia
Kategori
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Sangat Memadai
Cukup Memadai
Kukrang Memadai
Tidak Memadai
9
26
6
1
21,43
61,90
14,29
2,38
Jumlah 42 100
Prasarana, sarana serta fasilitas yang tersedia, misalnya peralatan kerja,
ruangan yang tersedia untuk pelayanan, fasilitas umum seperti mushalla, toilet, kantin
dan lain-lain.
Berdasarkan pelayanan secara keseiuruhan yang diberikan oleh petugas,
11,91% responden atau 5 orang mengatakan sangat balk, 30,95% responden atau 13
orang mengatakan cukup baik, dan 52,38% responden atau 22 orang mengatakan
kurang baik dan 4,76% responden atau 2 orang mengatakan tidak baik. Hasil sebaran
kuesioner mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh petugas secara
keseluruhan dapat dilihat pada tabel 23.
117
Tabel 23
Profil Responden Berdasarkan Kualitas Pelayanan
Secara Keseluruhan
Kategori
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Sangat Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
Tidak Baik
5
13
22
2
11,91
30,95
52,38
4,76
Jumlah 42 100
Terhadap Identitas Pribadi Responden
Umumnya responden masih berusia niuda yaitu 31-40 tahun (40,48%) dan 41-
50 tahun (35,71%) dengan tingkat pendidikan cukup dominan SLTA (42,86 %) dan
Perguruan Tinggi (33,33 %). Pekerjaan responden sebagian besar adalah Wiraswasta
(45,24 %) dan Pegawai (35,71 %).
Ketersediaan Prasana, Sarana dan Fasilitas
Ketersediaan prasarana, sarana dan fasilitas yang ada di Kantor Bersama
Samsat Sumatera Barat di Padang, secara umum cukup baik. Prasarana, sarana dan
fasilitas yang disediakan diantaranya ruang tunggu dan kursi tamu yang mencukupi,
tempat parkir yang cukup luas, peralatan kerja seperti komputer dan ruangan kerja
petugas yang memadai, tersedianya mushalla, telepon umum dan warung atau kantin.
Menurut Moenir (1998), sarana pelayanan adalah segala jenis peralatan peralatan,
perlengkapan kerja dan fasilitas lain yang berfungsi sebagai alat utama atau
pendukung di dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga berfungsi sosial dalam rangka
memenuhi kebutuhan orang-orang yang sedang berhubungan dengan orang kerja.
118
Bila dilakukan analisis untuk melihat kaitan antara ketersediaan prasarana,
sarana dan fasilitas di Kantor Bersama Samsat dengan kepuasan dalam pelayanan,
maka akan diperoleh hubungan antara dua variabel dengan nilai yang cukup baik,
yang berarti bahwa kaitan yang sangat nyata antara ketersediaan prasarana, sarana dan
fasifitas dengan kepuasan pelayanan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik
pelayanan dan ketersediaan prasarana, sarana dan fasilitas yang disediakan di kantor
tersebut, maka akan semakin besar pula kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat
pemohon STNK, sehingga pelayanan satu hari selesai (one day service) diharapkan
dapat dilaksanakan atau diwujudkan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Moenir
(1998), bahwa salah satu fungsi dari sarana pelayanan adalah menimbulkan perasaan
puas dan nyaman pada orang yang berkepentingan, sehingga dapat mengurangi sifat
emosional mereka yang berlebihan.
E. Mekanisme Pelayanan Kantor Bersama SAMSAT
Secara kelembagaan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pelayanan
pendapatan daerah berada dibawah Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat
yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor : 5 Tahun 2001 tanggal, 9 Mei
2001 tentang Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi, dan Susunan Organisasi Dinas
Pendapatan Daerah Sumatera Barat.
Pada UPTD Pelayanan Pendapatan Daerah mempunyai tugas pokok
melaksanakan pemungutan pendapatan daerah sesuai dengan bidang teknisnya. Dalam
pelaksanaan operasional mempunyai fungsi :
a. Melakukan pendaftaran dan penetapan, penagihan dan pelaporan
pendapatan daerah.
119
b. Melakukan penatausahaan pemungutan pendapatan daerah.
c. Memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pelaksanaan pelayanan terhadap PKB dan BBN-KB yang dilkelola pada
UPTD dilaksanakan melalui Simtim Administrasi Manunggal Dibawah Satu Atap
yang dikenal dikenal dengan SAMSAT.
Sebelum adanya Samsat pembayaran PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ maupun
pengurusan STNK, dilakukan di tempat masing-masing instansi, yang sangat
melelahkan, membebani dan tidak efisien bagi masyarakat. Dengan adanya Perda No.
3 Tahun 1973 tentang Dinas Pendapatan Daerah pengurusan PKB dan BBN-KB
dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat yang dipusatkan
di Padang, STNK oleh Ditlantas Polda Sumatera Barat dan Asuransi (SWDKLLJ)
oleh PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera Barat.
Dengan demikian, sebelum adanya SAMSAT pembayaran PKB, BBN-KB,
SWDKLLJ serta pengurusan STNK melibatkan 3 (tiga) instansi yang terpisah yaitu
Dispenda, Ditlantas Polda, dan PT. Jasa Raharja. Karena masing-masing instansi
berada di lokasi yang berjauhan menyebabkan masyarakat sangat terbebani, karena
memerlukan waktu yang lama, dan biaya yang relatif besar untuk mengurus PKB,
BBN-KB, SWDKLLJ serta STNK. Masyarakat yang mengurus atau membayar pajak
atas pemilihan atau penguasaan kendaraan bermotor harus dan pergi ke Padang untuk
mengunjungi ketiga instansi tersebut di lokasi yang berjauhan.
Pengurusan dan pembayaran pajak berkenaan dengan pemilikan dan
penguasaan kendaraan bermotor pada waktu itu bisa menghabiskan waktu sekitar 10
(sepuluh) hari kerja. Masyarakat pemilik kendaraan bermotor melihat lebih penting
membayar STNK dan plat nomor polisi kendaraan bermotor dari pada membayar PKB
120
dan SWDKLLJ, karena yang selalu melakukan razia kendaraan bermotor di jalan raya
hanya Ditlantas Polda Sumatera Barat. Akibat pembayaran yang terpisah-pisah jumlah
penerimaan dari pemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor sangat rendah.
Melihat kerepotan yang dialami oleh masyarakat dan rendahnya penerimaan
pembayaran atas pemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor, pada tahun 1976
diadakan instruksi bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan
Menteri Pertahanan dan Keamanan, tentang pembentukan Samsat. Dimana ketiga
instansi yang terkait dengan pembayaran PKB, BBN-KB, SWDKLLJ maupun
pengurusan STNK bernaung di dalam satu kantor atau satu atap, sehingga sangat
memudahkan bagi masyarakat dan dapat meningkatkan penerimaan. Di dalam Samsat
ketiga instansi tetap melakukan tugas masing-masing seperti sebelumnya.
Jadi Samsat bukanlah suatu institusi atau organisasi baru. Hanya pekerjaan
yang tadinya dilakukan di tempat atau di kantor masing-masing, kini bernaung dalam
satu atap atau satu kantor, sehingga masyarakat hanya cukup datang kesatu tempat.
Dengan adanya Samsat, pada waktu itu pengurusan PKB atau BBN-KB bisa
dipersingkat menjadi sekitar 6 (enam) hari kerja. Masing lamanya waktu yang
diperlukan karena pembayaran PKB maupun BBN-KB untuk Provinsi Sumatera Barat
masih dipusatkan di Kota Padang.
Selanjutnya, untuk lebih mempermudah masyarakat di daerah, dibentuk
cabang-cabang Samsat sehingga masyarakat tidak perlu lagi harus datang ke Padang.
Jangka waktu pengurusan PKB, BBN-KB, SWDKLLJ maupun pengurusan STNK
bisa ditekan menjadi 2-3 hari kerja.
Dalam era otonomi daerah dimana tujuan penyelenggaraan pemerintah daerah
adalah memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, maka pelayanan pada
121
Samsat untuk membayar PKB, BBN-KB, SWDKLLJ dan atau perpanjangan STNK
dilaksanakan dengan motto ”one day service”. Artinya dalam pengurusan atau
pembayaran PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ diharapkan bisa diselesaikan dalam 1
(satu) hari kerja.
Maksud dilaksanakan one day servises adalah untuk peningkatan efisiensi dan
efektivitas pelayanan dalam pembayaran PKB dan BBN-KB karena :
- Menghabiskan banyak waktu dan biaya karena pembayaran atau
pengurusannya dilakukan di masing-masing instansi yang letaknya berjauhan
- Biaya pengurusan ( social cost ) yang dikeluarkan masyarakat cukup besar.
- Penerimaan rendah, karena adakalanya masyarakat hanya membayar di satu
instansi sesuai dengan kepentingannya.
Dengan dilaksanakan one day services masyakat merasa diuntungkan karena :
- Sangat meringankan masyarakat dari sisi waktu dan biaya pengurusan karena
pembayarannya dilakukan di satu tempat atau kantor.
- Di tiap-tiap kabupaten dan kota dibentuk cabang Samsat sehingga sangat
membantu masyarakat.
- Penerimaan PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ dilakukan sekaligus atau
bersamaan.
- Prosedur pelayanan pada Kantor Bersama SAMSAT pada dasarnya dilakukan
melalui kelompok kerja (pokja) atau loket, yang terbagi atas 3 (tiga) golongan :
Golongan I, merupakan pendaftaran Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK), dilayani
melalui 3 (tiga) pokja atau loket pelayanan, yaitu :
Pokja I/Loket I, melayani penyediaan formulir, penerangan KTL (PKB dan
SWDKLLJ)
122
Pokja II/Loket II, melayani pendaftaran, penelitian, registrasi dan penyerahan.
Pokja III/Loket III, melayani pengarsipan.
Golongan II, meliputi pendaftaran kendaraan bermotor baru, kendaraan bermotor
tukar identitas pemilik dan atau kendaraan bermotor, kendaraan bermotor khusus,
kendaraan bermotor setelah 5 tahun, dan kendaraan bermotor pindah keluarga
daerah. Golongan ini dilakukan melalui 6 (enam) pokja/loket pelayanan, yaitu :
Pokja I/Loket I, melayani penyediaan formulir dan penerangan.
Pokja II/Loket II, melayani cek phisik kendaraan bermotor.
Pokja III/Loket III, melayani pendaftaran, penelitian dan penetapan.
Pokja IV/Loket IV, melayani penerimaan pembayaran PKB, BBN-KB, biaya
administrasi STNK, TNKB dan SWDKLLJ.
Pokja V/Loket V, melayani pengesahan dan penyerahan.
Pokja VI/Loket VI, melayani pengarsipan.
Loket khusus, dibentuk berdasarkan tuntutan kebutuhan pelayanan di luar
mekanisme Pokja I hingga Pokja VI, berfungsi melaksanakan kegiatan
pelayanan beberapa persyaratan meliputi blokir, kuasa wajib pajak dan ektra
cover.
Golongan III, melayani pendaftaran pengesahan STNK setiap 1 (satu) tahun.
Dilakukan melalui 5 (lima) pokja/loket pelayanan, di mana pelayanannya hampir
sama dengan pelayanan pada Golongan II.
Rincian kegiatan ke 3 (tiga) unsur, yaitu Dispenda, Polri dan PT. Jasa Raharja
(Persero), dilihat dari kewajib mereka melayani permohonan pembuatan STNK
menurut masing-masing pokja/loket adalah sebagai berikut :
123
Pokja I/Loket I (Polri, Dispenda, PT. Jasa Raharja (Persero))
Polri, bertugas menyediakan dan menyerahkan formulir, memberikan penerangan
tentang syarat-syarat pendaftaran, membukukan keluar/masuk suatu formulir,
memberikan paraf pada formulir, terima dan ganti formulir, menerima biaya
administrasi STNK, TNKB, dan nota cepat phisik.
Dispenda, bertugas memberikan penerangan tentang kewajiban membayar pajak.
PT. Jasa Raharja (Persero), bertugas memberikan penerangakan SWDKLLJ dan
premi asuransi, pemeriksaan premi asuransi Jasa Raharja.
Pokja II/Loket III (Polri)
Polri, bertugas melakukan cek phisik lengkap, mengaman-kan dan menugaskan tim
pemeriksa, membubuhkan paraf pada lembar cek phisik dan registrasi kendaraan
bermotor yang telah melakukan cek phisik.
Pokja III/Loket III (Polri, Dispenda, PT. Jasa Raharga (Persero))
Polri, bertugas menerima dan meneliti kelengkapan dan keabsahan berkas,
memberikan paraf dan resi pada pemohon, memberikan dan menetapkan No. Pol.
serta menuliskannya dalam formulir, meneruskan berkas ke sub pokok pengetikan
notice/STNK dan mengorder TNKB ke pabrik TNKB.
Dispenda, bertugas menetapkan besarnya PKB dan BBN-KB, memberi No. Skum
pada nota pajak atau notice, meneruskan berkas ke sub pokja SWDKLLJ dan
menerima kembali berkas tersebut, menyerahkan pening PKB ke pokja penyerahan
STNK (Pokja V).
PT. Jasa Raharja (Persero), bertugas menetapkan SWDKLLJ atau denda serta paraf
pada nota pajak, mengembalikan berkas ke sub pokja penetapan PKB dan BBN-KB.
124
Pokja IV/Loket IV (Dispenda, PT. Jasa Raharja (Persero))
Dispenda, bertugas melayani penerimaan pembayaran PKB, BBN-KB, SWDKLLJ
dan administrasi STNK, menyerahkan lembar asli nota/notice, mendistribusikan
tindasan nota ke Dispenda dan Jasa Raharja.
PT. Jasa Raharja (Persero), menerima dan mengadminis-trasikan SWDKLLJ
Pokja V/Loket V (Polri, Dispenda dan PT. Jasa Raharja (Persero))
Polri, bertugas melaksanakan penyerahan STNK yang akan diketik, menyerahkan
STNK ke pokja penyerahan. Ketiga pimpinan instansi (Dispenda, Polri dan PT. Jasa
Raharja (Persero) memberikan pengesahan pada STNK, bukti pembayaran pajak dan
asuransi (Surat Ketetapan Pajak Daerah-SKPD) PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ.
Dispenda, memberikan pengesahan pada STNK.
PT. Jasa Raharja (Persero), memberikan pengesahan pada STNK.
Pokja VI/Loket VI (Polri)
Polri, bertugas menerima berkas dari Pokja V dan meneruskannya ke petugas Pokja
VI. Pkja VI menyiapkan dan mencari berkas yang diminta pokja pendaftaran,
menatausahakan berkas untuk memudahkan pencarian, membukukan dan mencatat
berkas yang diterima dan yang keluar, menandai dan menyisihkan berkas yang
diblokir.
Berdasarkan hasil penelitian masih ditemui beberapa kelemahan antara lain :
a. Masih panjangnya proses birokrasi karena diharuskan melalui loket-loket
dan pokja-pokja yang telah ditetapkan di atas.
b. Walaupun bekerja dalam satu atap atau kantor sulit menyatukan ego masing-
masing instansi.
125
c. Dalam pelaksanaan di lapangan, hanya sebahagian kecil masyarakat yang
dapat menikmati pelayanan one day sevice.
Hal ini disebabkan masih terdapat pengurusan pembayaran Pajak Kendaraan
Bermotor penyelesaiannya dalam dua atau tidak tiga hari kerja. Berdasarkan penelitian
ditemukan faktor penyebabnya adalah masih adanya kelalaian oknum aparat,
masalah prosedur admintrasi baik pada petugas maupun pada masyarakat wajib pajak
yang ingin serba cepat dan melalui jalan pintas.
Penilaian terhadap keberhasilan pelayanan satu hari selesai (one day serice)
yang dilakukan oleh Samsat, dapat diukur melalui ketepatan waktu penyelesaian
berkas. Selain itu kriteria lain yang dapat mendukung terwujudnya one day service
adalah faktor kesederhanaan, kejelasan, keamanan dan keterbukaan serta
memperhitungkan efisiensi, ekonomis dan keadilan yang merata bagi setiap wajib
pajak. Standar pelayanan one day service (1 x 24 jam), dihitung mulai saat wajib pajak
memasukkan berkas pada Loket I dan berakhir pada Loket V. Standar kualitas waktu
pelayanan setiap pajak pada setiap loket diupayakan mendekati Surat Keputusan
Kapolri yaitu Skep No. Pol. : Skep/1320/VIII/ 1998 sebagai berikut :
Loket I : 3 menit
Loket II : 5 menit
Loket III : 6 menit
Loket IV : 4 menit
Loket V : 4 menit
Jika dihitung total waktu yang diperlukan dari Loket I sampai dengan Loket V
memerlukan 22 menit, seandainya perpindahan dari satu loket ke loket lainnya
126
diperlukan waktu seluruhnya sekitar 60 menit, berarti total waktu yang diperlukan
dalam berurusan di Kantor Bersama Samsat berdasarkan Skep Kapolri tersebut,
seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu paling lama 2 jam.
Berdasarkan keterangan dari staf Ditlantas Polda Sumatera Barat di Kantor
Bersama Samsat Padang, jumlah waktu pelayanan seluruhnya dari Loket I sampai
dengan Loket V adalah 35 menit dan jumlah petugas operasional yang langsung
berhubungan dengan wajib pajak 33 orang. Dari sini dapat diambil kesimpulan jumlah
petugas telah cukup memadai untuk melayani masyarakat yang datang berurusan
setiap hari, sehingga kurang relevan untuk mengukur berapa jumlah petugas yang
ideal dalam penelitian ini. Yang perlu kita ketahui adalah apakah dengan jumlah
petugas yang ada dan jumlah wajib pajak yang dilayani setiap hari, one day service
dapat terwujud atau apakah masyarakat telah dapat menikmati pelayanan selesai
dalam satu hari dan bagaimana fungsi-fungsi manajemen dijalankan.
Berdasarkan Visi Kantor Bersama SAMSAT : Terwujudnya Pendapatan
Daerah Yang Optimal Untuk Mendukung Keberhasilan Pembangunan Daerah, maka
perlu dilaksanakan Misi yang telah ditetapkan :
1. Untuk menjadikan Pendapatan Asli Daerah Sebagai Tulang Punggung
Pendapatan Daerah.
2. Memberikan Pelayanan Yang Prima Kepada Masyarakat Melalui Peningkatan
Kinerja Aparatur Pemerintahan Secara berkesinambungan.
Maka untuk melaksanakan Visi dan Misi tersebut perlu dilakukan strategi dan
kebijakan Kantor SAMSAT sebagai berikut :
- Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
- Memberikan keamanan dan keselamatan kepada pemilik kenderaan bermotor.
127
- Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD )
Berdasarkan strategi dan kebijakan diatas, maka hasil penelitian ini
merekomendasikan pengelolaan PKB dan BBN-KB pada Kantor SAMSAT sebagai
berikut :
1. Dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat perlu dilakukan :
a. Penyederhanaan sistim prosedur.
b. Kemudahan, kepastian dan kecepatan pelayanan.
c. Menerapkan pelayanan prima
2. Dalam memberikan keamanan dan keselamatan kepada pemilik kendaraan
bermotor.
a. Memberikan pelayanan tepat waktu
b. Mengurangi kasus dan penyimbangan sistem prosedur
3. Meningkatkan PAD dilakukan :
a. Melaksanakan pemungutan secara efektif dan efisien’
b. Melaksanakan tertib administrasi dan tertib pungutan.
c. Meningkat sistem koordinasi dengan instansi terkait.
Oleh karena itu, dalam pelayanan pembayaran PKB dan BBN-KB terhadap
wajib pajak sesuai dengan makna otonomi daerah untuk meningkatkan pelayanan ke
depan sebetulnya dapat dilakukan pelayanan PKB dan BBN-KB melalui mekanisme
dua loket atau dilayani dua pintu saja yakni :
1. Loket Pendaftaran dan Penetapan
2. Loket Pembayaran dan Penyerahan
128
BAB IV
ANALISIS PROSEDUR DAN MEKANISME
PELAYANAN PKB / BBN-KB
A. Prosedur Pelayanan ke dalam dan keluar
Berdasarkan hasil penelitian terhadap responden diatas diperoleh gambaran
bahwa, profil pelayanan secara keseluruhan yang diberikan oleh petugas, 11,91%
responden atau 5 orang mengatakan sangat baik, 30,95% responden atau 13 orang
mengatakan cukup baik, dan 52,38% responden atau 22 orang mengatakan kurang
baik dan 4,76% responden atau 2 orang mengatakan tidak baik. Hasil sebaran
kuesioner mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh petugas secara
keseluruhan dapat dilihat pada tabel 24.
Tabel .24
Profil Responden Berdasarkan Kualitas Pelayanan
Secara Keseluruhan
Kategori
Responden
Jumlah Sampel
(n)
Prosentase
(%)
Sangat Baik
Cukup Baik
Kurang Baik
Tidak Baik
5
13
22
2
11,91
30,95
52,38
4,76
Jumlah 42 100
Pelayanan terhadap responden dapat dikelompokkan dalam 2 bentuk, yaitu
pelayanan kedalam (intern) dan pelayanan keluar (ekstern).
1. Pelayanan Kedalam (Intern)
Menurut petugas untuk peningkatan pelayanan Polri dalam sistem dan
prosedur SAMSAT senantiasa mempedomani standar kualitas pelayanan untuk setiap
129
wajib pajak (pemohon pembuatan STNK). Pada dasarnya pelayanan dilakukan
melalui kelompok kerja (pokja) atau loket, yang terbagi atas 3 (tiga) golongan seperti
diuraikan diatas. Kelompok kerja atau loket terdiri dari golongan merupakan prosedur
pembayaran pajak kendaraan seperti berikut :
Golongan I, merupakan pendaftaran Surat Tanda Coba Kendaraan (STCK), dilayani
melalui 3 (tiga) pokja atau loket pelayanan, yaitu :
Pokja I/Loket I, melayani penyediaan formulir, penerangan KTL (PKB dan
SWDKLLJ)
Pokja II/Loket II, melayani pendaftaran, penelitian, registrasi dan
penyerahan.
Pokja III/Loket III, melayani pengarsipan.
Golongan II, meliputi pendaftaran kendaraan bermotor baru, kendaraan bermotor
tukar identitas pemilik dan atau kendaraan bermotor, kendaraan bermotor khusus,
kendaraan bermotor setelah 5 tahun, dan kendaraan bermotor pindah keluarga daerah.
Golongan ini dilakukan melalui 6 (enam) pokja/loket pelayanan, seperti diuraikan
pada bagian diatas.
Golongan III, melayani pendaftaran pengesahan STNK setiap 1 (satu) tahun.
Dilakukan melalui 6 (enam) pokja/ loket pelayanan, di mana pelayanannya hampir
sama dengan pelayanan pada Golongan II, serti rinciannya diuraikan diatas.
Berdasarkan hasil penelitian ternyata pembentukan Pokja dan Loket diatas
tidak berjalan sebagai mana mestinya, karena masalah birokrasi dan panjangnya
prosedur pada masing instansi, sehingga proses pembayaran pajak berjalan panjang
dan lama. Permasalahan terlihat pada :
130
a. Loket I
Setelah dilakukan penelitian, ternyata berdasarkan banyaknya waktu yang
digunakan responden pada Loket I, sebagian besar (69,05% responden atau 29
orang) menyatakan bahwa lamanya waktu yang diperlukan pada Loket I adalah
kurang dari 15 menit, tetapi sebagian responden yang lain (30,95% responden atau
13 orang) menyatakan bahwa lamanya waktu yang digunakan pada Loket I lebih
dari 15 menit.
Bila dilakukan analisis dengan menggunakan frekuensi yang muncul untuk
melihat dominasi antara variabel lamanya waktu (alokasi waktu yang digunakan
pada Loket I) dengan efisiensi dan kesederhanaan dalam pembuatan STNK,
ternyata tidak terdapat hubungan yang paralel antara kedua variabel tersebut. Hal
ini berarti bahwa semakin sedikit waktu yang digunakan pada Loket I, tidak ada
kaitan dengan tingkat kepuasan pemohon STMK (wajib pajak) terhadap pelayanan
yang diberikan. Selain itu peneliti melihat melihat nilai kepuasan pelayanan
dengan kualitas kerja petugas dalam melayani masyarakat yang ingin membuat
atau memperpanjang STNK, pada tingkat sedang atau 01,92 %, sehingga dapat
dikatakan bahwa semakin baik kualitas kerja petugas semakin besar kepuasan
yang dirasakan masyarakat yang berurusan ke Kantor Bersama Samsat.
b. Loket II
Di pelayanan yang diberikan pada Loket II adalah melaksanakan cek
phisik lengkap, mengamankan dan menugaskan tim pemeriksa, membubuhkan
paraf pada lembar cek phisik dan registrasi kendaraan bermotor yang telah dicek
phisik. Pada Loket II yang nelayani adalah petugas dari Polri.
131
Menurut petunjuk lapangan peningkatan pelayanan dalam era reformasi,
menyatakan bahwa standar kualitas pelayanan setiap wajib pajak (pemohon perbitan
STNK) pada Loket II diupayakan waktu selama 5 menit. Setelah dilakukan penelitian,
ternyata dari sebaran kuesioner sebagian besar responden (57,14 % responden atau
sebanyak 24 orang) mengatakan banyaknya waktu yang digunakan pada Loket lI lebih
dari 15 menit. Sebagian responden yang lain (42,86 % responden atau 18 orang)
mengatakan lamanya waktu yang digunakan kurang dari 15 menit. Berarti pada Loket
II, lamanya waktu yang digunakan tidak sesuai dengan petunjuk lapangan yang telah
ditetapkan yaitu hanya 5 menit. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak sesuainya
alokasi waktu yang disediakan dengan kenyataan, diantaranya adalah karena pada
Loket II merupakan pelayanan cek phisik terhadap kendaraan bermotor, dimana setiap
satu kendaraan yang di cek phisik memerlukan waktu lebih kurang 20 menit dan
setiap hari kendaraan yang dicek phisik sekitar 50 unit (menurut petugas, walaupun
dalam prakteknya semua kendaraan bermotor harus di cek phisik), dengan jumlah
petugas 4 (empat) orang.
Bila dilakukan analisis data untuk melihat hubungan antara variabel lamanya
waktu (alokasi waktu) yang digunakan pada Loket II dengan kesederhanaan dan
efisiensi pelayanan masyarakat pemohon penerbitan STNK (wajib pajak), ternyata
terdapat hubungan yang positif antara kedua variabel tersebut dengan kategori tidak
efisien diperoleh sebesar 47,62%. Ini berarti terdapat hubungan yang paralel antara
ketidak kepuasan dalam pelayanan dengan alokasi waktu atau lamanya waktu yang
digunakan pada loket tersebut. Selain itu peneliti membuat prosentase terhadap
variabel kepuasan pelayanan dengan variabel kualitas pelayanan petugas dalam
melayani masyarakat yang ingin membuat atau memperpanjang STNK pada Loket II,
132
ternyata hubunganan antara kedua variabel tersebut dengan nilai sangat baik dan
cukup baik 42,86%, sedangkan kurang baik dan tidak baik 57,14%, sehingga dapat
dikatakan bahwa kualitas kerja petugas yang ada di Loket II belum sesuai dengan
harapan masyarakat.
Jika dianalisa secara mendalam terdapat keluhan wajib pajak, akibat adanya
pungutan liar yang dilakukan oleh petugas (92%) dan adanya keharusan untuk
melakukan cek phisik setiap tahun bagi seluruh kendaraan bermotor (81%).
Bila alokasi waktu dan pelayanan dikaitkan dengan adanya pungutan liar dan
keharusan untuk melakukan cek phisik, terdapat hubungan yang positif, yang berarti
secara keseluruhan masyarakat tidak puas terhadap pelayanan pada Loket II.
c. Loket III
Sebagian besar responden mengatakan banyaknya waktu yang digunakan
pada Loket III lebih dari 15 menit (80,95% responden atau 34 orang). Berarti pada
Loket III waktu yang diperlukan tidak sesuai dengan juklak. Faktor yang dapat
mempengaruhi lamanya pelayanan adalah karena kurangnya petugas yang
melayani pemohon pembuatan STNK (wajib pajak) yang cukup banyak setiap
harinya.
Jika dilakukan analisis data menggunakan prosentase dengan melihat
hubungan variabel lamanya waktu yang digunakan pada Loket III terhadap
kualitas pelayanan masyarakat pemohon penerbita STNK (wajib paJak), ternyata
ada hubungan yang positif antara kedua variabel tersebut dengan nilai yang
diperoleh pada kategori kurang baik (52,38%). Hal ini berarti bahwa semakin
banyak waktu yang digunakan pada Loket III, akan semakin tidak puas
masyarakat pemohon STNK (wajib pajak) terhadap pelayanan yang diberikan.
133
d. Loket IV
Setelah dilakukan penelitian, ternyata dari sebaran responden, berdasarkan
banyaknya waktu yang digunakan pada Loket IV, lebih dari setengah responden
(57,14% responden atau 24 orang) menyatakan bahwa lamanya waktu yang
digunakan pada Loket IV adalah kurang dari 15 menit. Sebagian responden
lainnya menyatakan lamanya waktu yang digunakan pada Loket IV lebih dari 15
menit, yaitu sebanyak 18 orang atau sebesar 42,86% responden.
Bila dilakukan analisis dengan menggunakan metode prosentase untuk
melihat variabel alokasi waktu yang digunakan pada Loket IV dengan kepuasan
pelayanan masyarakat pemohon penerbitan STNK (wajib pajak), ternyata terdapat
hubungan antara kedua variabel tersubut pada kondisi cukup memuaskan, dengan
nilai prosentase sebesar 14% responden atau 24 orang. Hal ini berarti bahwa
semakin sedikit waktu yang digunakan pada Loket IV, maka akan semakin puas
masyarakat pemohon STNK (wajib pajak terhadap pelayanan yang diberikan.
e. Loket V
Berdasarkan banyaknya waktu yang digunakan pada Loket V, 19,05%
responder atau sebanyak 8 orang yang menyatakan lamanya waktu yang
digunakan pada Loket V adalah kurang dari 15 menit, sebagian besar responden
yaitu 80,95% responden atau 34 orang menyatakan waktu yang diperlukan lebih
dari 15 menit. Pada Loket V ini wajib pajak menerima STNK yang telah selesai.
Bila dilakukan analisis data dengan menggunakan metode prosentase
untuk melihat hubungan antara variabel lamanya waktu (alokasi waktu) yang
digunakan pada Loket V, dengan variabel kepuasan pelayanan masyarakat
134
pemohon penerbitan STNK (wajib pajak), ternyata dapat dilihat hubungan antara
kedua variabel tersebut dengan nilai prosentase yang diperoleh sebesar 80,95%
memerlukan waktu di atas 15 menit. Hal ini berarti bahwa semakin banyak waktu
yang digunakan pada Loket V, maka semakin tidak puas masyarakat pemohon
STNK (wajib pajak) terhadap pelayanan yang diberikan.
2. Pelayanan Keluar (Ekstern)
Dari hasil penelitian umumnya responden merasa mudah dan jelas dalam
mengikuti aturan-aturan atau ketentuan yang ada di Kantor Bersama Samsat.
Peraturan tersebut berupa prosedur atau tata cara pemohon (wajib pajak) untuk
membuat atau memperpanjang STNK. Sebanyak 28,57% responden atau 12 orang
menyatakan sangat mudah dalam mengikuti peraturan pelayanan yang ada di
kantor tersebut, dan sebesar 67,14% responden atau 24 orang menyatakan mudah.
Hal ini berarti pada kantor Samsat, kriteria kesederhanaan terhadap pelayanan
yang diberikan pada wajib pajak telah dapat dirasakan oleh wajib pajak.
Kesederhanaan mengandung arti prosedur atau tata cara pelayanan yang
diselenggarakan mudah, tepat, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan
dilaksanakan oleh masyarakat yang berurusan. Sedangkan kejelasan dan kepastian
artinya kejelasan mengenai penetapan dan penanganan hak dan kewajiban yang
dilayani dan yang melayani. Keterbukaan berkaitan dengan proses pelayanan yang
wajib diinformasikan secara terbuka.
Umumnya wajib pajak datang ke Kantor Bersama Samsat untuk mengurus
sendiri hak kendaraan yang harus dibayar, tanpa melalui biro jasa atau calo.
Walaupun ada sebagian kecil responden yang mengatakan mengurus lewat biro
135
jasa atau calo, tetapi salahnya tidak terdata dan di Kantor Bersama Samsat tidak
satupun biro jasa yang daftar atau melakukan kerja sama dalam pengurusan PKB,
BBN-KB, maupun STNK wajib pajak. Untuk mencegah agar masyarakat jangan
sampai mengurus lewat calo, setiap sudut telaih dicantumkan beberapa tulisan
yang menghimbau agar masyarakat jangan berurusan lewat calo, karena akan
merugikan wajib pajak sendiri.
Sebanyak 28,57% responder atau 12 orang menyatakan, bahwa biaya yang
dikeluarkan untuk pembuatan STNK adalah ekonomis dan efisien. Hal ini berarti
sesuai dengan ketentuan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pemohon
pembuatan STNK (wajib pajak). Sebagian responden menjawab bahwa biaya
dalam pembuatan STNK tidak ekonomis dan tidak efisien, yaitu 4762 %
responden atau 20 orang. Tidak ekonomis mengandung arti biaya pelayanan
adalah tidak wajar, karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan
efisien mengandung arti bahwa persyaratan dan pelayanan prosesnya tidak
berbelit-belit.
Begitu pun hasil penelitian dapat menggambarkan bahwa responden
merasa aman dan nyaman selama pengurusan STNK di kantor Samsat, dimana
59,52% responden atau 25 orang menyatakan hal tersebut. Berarti dalam
pengurusan STNK responden tidak merasa takut akan kehilangan barang atau
uang karena kondisinya cukup aman dan nyaman. Hal ini menunjukkan bahwa
Kantor Bersama Samsat memenuhi 8 (delapan) kriteria pelayanan yang baik
dalam hal kenyamanan yang harus diberikan kepada pemohon pembuatan atau
penerbitan STNK (wajib pajak). Pengertian nyaman adalah pelayanan di Kantor
Bersama Samsat harus memberikan rasa aman serta kepastian hukum.
136
Dalam pada itu juga dapat dilihat sebaran responden berdasarkan keadilan
dalam pelayanan yang diberikan oleh petugas Samsat, dimana ternyata mereka
tidak membeda-bedakan pelayanan antara calo dengan yang bukan calo, di dalam
permohonan penerbitan STNK. Terdapat sehanyak 54,76% responden atau 23
orang yang menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan cukup adil terhadap
masyarakat pemohon pembuatan STNK, hanya 19,05% responden atau 8 orang
yang menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan tidak adil dan 2,38%
responden atau 1 orang menyatakan sangat tidak adil.
Dari penjelasan di atas, berarti kriteria pelayanan yang harus adil terhadap
para pemohon yang datang ke Kantor Bersama Samsat, harus dilayani secara
keseluruhan, tanpa memandang apa dan siapapun. Sedangkan keadilan yang
merata artinya adalah pelayanan yang diberikan, dilakukan secara merata dan adil
hagi selruh lapisan masyarakat. Tepat waktu mengandung arti bahwa pelayanan
yang diberikan dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
B. Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Direktur Lalu Lintas Kepolisian
Daerah Sumatera Barat dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera
Barat serta Kepala Cabang PT. Jasa Raharja (Persero) Sumatera Barat
No.B/24/I/2006 DITLANTAS per Nomor : 973/043/PAJAK-2006 per Nomor :
P/1/SPP/I/2006 24 Januari 2006, bahwa Standar Pelayanan Minimal adalah ukuran
yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan penertiban Surat Tanda Nomor
Kendaraan (STNK), pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan
137
Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) yang wajib ditaati oleh aparatur Kantor Bersama
Samsat di Padang sebagai pemberi pelayanan maupun pemilik kendaraan bermotor
sebagai penerima pelayanan.
Standar Pelayanan Minimal ( SPM ) tersebut dalam penerbitan STNK,
pembayaran PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ adalah sebagai berikut :
a. Prosedur Pelayanan
Prosedur Pelayanan penerbitan STNK, pembayaran PKB, BBN-KB dan
SWDKLLJ telah diatur dan ditetapkan dalam petunjuk pelaksanaan Keputusan
Bersama Kepolisian RI, Dirjen PUOD dan Direktur Utama PT. Jasa Raharja
(Persero) Nomor : SKEP/06/10/1999, Nomor : 9731228 dan Nomor :
SKEP/02/X/1999 tanggal 15 Gktober 1999. Prosedur pelayanan diumumkan
secara terbuka pada ruangan pelayanan atau loket-loket pelayanan Kantor Bersama
Samsat. Hal ini telah didapatkan pamflet dipajangkan pada Loket Pelayanan, tetapi
masih dengan gambaran sistem 5 Loket dan belum sistem 2 Loket.
b. Persyaratan Administratif
Dalam penyelenggaraan pelayanan Penerbitan STNK, Pembayaran PKB,
BBN-KB dan SWDKLLJ telah ditetapkan dalam Keputusan Bersama Kepclisian
RI, Dirjen PUOD dan Direktur Utama PT. Jasa Raharja (Persero) Nomor :
SKEP/06/10/1999, Nomor : 973-1228 dan Nomor : SKEP/02/X/1999 tanggal 15
Oktober 1999. Persyaratan Administratif telah diumumkan secara terbuka pada
ruangan pelayanan pada loket - loket pelayanan yang tersedia di Kantor Bersama
Samsat.
138
c. Waktu Penyelesaian
1) Pengesahan STNK, pembayaran PKB dan SWDKLLJ setiap tahun selesai
dalam waktu 1 (satu) hari kerja.
2) Perpanjangan STNK dan TNKB setelah 5 tahun, pembayaran PKB dan
SWDKLLJ selesai dalam waktu 1 (satu) hari kerja.
3) Pembayaran BBN-KB, penggantian STNK dan TNKB selesai dalam waktu 2
(dua) hari kerja.
4) Pengurusan kendaraan bermotor yang pindah dalam Daerah dan Luar Daerah
selesai dalam waktu 1 (satu) hari kerja.
5) Pengurusan kendaraan bermotor yang masuk dari dalam Daerah dan luar
Daerah selesai dalam waktu 2 (dua) hari kerja.
Dalam penyelenggaraannya belum terlaksana sebagaimana mestinya.
d. Biaya Pelayanan
1) Biaya pelayanan adalah beberapa jenis biaya yang dipungut oleh Aparatur
Kantor Bersama Samsat berdasarkan Ketentuan Perundangundangan yang
berlaku yaitu sebagai berikut :
a) Pajak Kendaraan Bermotor terhutang sebesar tercantum dalam SKPD
sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat tentang Pajak
Kendaraan Bernnotor dan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang
Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor.
b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebesar tercantum dalam SKPD
sesuai dengan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat tentang Pajak
Kendaraan Bermotor dan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang
139
Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor.
c) Biaya SWDKLLJ sebesar tercantum dalam SKPD sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Penetapan
Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
d) Khusus Angkutan Penumpang Umum, dipungut Premi Asuransi Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (termasuk kru angkutan)
besarnya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia tentang Penetapan Santunan dan lyuran
Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penurnpang Umum di
Uarat, Sungai/Danau, Ferry/ Penyeberangan, Laut dan Udara.
e) Biaya Administrasi STNKITNKB/BPKB besarnya sesuai dengan yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
f) Semua biaya pelayanan terbuka untuk masyarakat dan diumumkan
melalui ruangan pelayanan dan diketahui secara jelas oleh masyarakat.
g) Semua pernbayaran oleh pemilik kendaraan bermotor harus mempunyai
tanda bukti penerimaan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.
e. Produk Pelayanan
1) Hasil pelayanan yang akan diterima oleh pemilik kendaraan bermotor sebagai
penerima pelayanan adalah:
a) Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
140
b) Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK)
c) Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB).
d) Buku Pemilik Kendaraan Bermotor.
2) Penyerahan STNK, TNKB, BPKB dan SKPD dilakukan melalui loket
penyerahan. Khusus penyerahan STNK bagi Kendaraan Angutan Umum,
diwajibkan terlebih dahulu melampirkan Asli Bukti Pelunasan Premi Asuransi
Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (termasuk kru angkutan)
untuk beberapa bulan kedepan sesuai masa jatuh tempo pengesahan STNK
tahun berikutnya.
f. Sarana dan Prasarana.
1) Prasarana pelayanan pernbayaran Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas
Jalan serta penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan yaitu berupa Kantor
Bersama Samsat yang sekaligus berupa Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas
(UPTD) Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di Padang.
2) Sarana pelayanan juga dilengkapi fasilitas pendukung dan sistim komputer
dalam rangka mempercepat penyelesaian produk pelayanan, sehingga batas
waktu pelayanan yang dijanjikan dapat dipenuhi.
g. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan
Kompetensi petugas ditetapkan berdasarkan keteram-pilan sikap dan prilaku.
Petugas harus menjaga kesopanan, ramah tamah dan kejujuran dalam pemberian
pelayanan.
141
Petugas harus bekerja menurut waktu yang telah ditetapkan dalam jam kerja pada
Kantor Samsat, namun tidak tertutup kemungkinan jam kerja ditambah sesuai
dengan situasi dan kondisi yang ada.
h. Kesamaan Hak
1) Dalam pemberian pelayanan tidak bersifat diskriminatif, kecuali bagi orang
lanjut usia, wanita hamil dan penyandang cacat.
2) Pemilik kendaraan yang mengurus sendiri diutamakan daripada pengurusan
melalui perantara atau pihak ketiga.
i. Pengawasan Pelayanan
Pengawasan pelayanan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor, Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas
Jalan dan Surat Tanda Nomor Kendaraan dilaksanakan melalui :
1) Pengawasan melekat oleh atasan langsung.
2) Pengawasan Fungsional oleh masing-masing instansi.
3) Pengawasan oleh Tim Pembina Samsat.
4) Pengawasan oleh masyarakat melalui Kotak Saran dan keluhan masyarakat.
j. Penanganan Saran dan Keluhan Masyarakat
1) Saran dan keluhan masyarakat dapat disampaikan secara tertulis dengan
mencantumkan identitas yang bersangkutan dengan jelas.
2) Saran dan keluhan dari masyarakat yang sifatnya non teknis diselesaikan dan
di koordinir Kantor Samsat bersama Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas
(UPTD) Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di Padang serta
Petugas Jasa Raharja.
142
3) Saran dan keluhan masyarakat yang bersifat teknis seperti Surat Tanda Nomor
Kendaraan (STNK), Tanda Nomor kendaraan (TNKB), Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor (BPKB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) serta Sumbangan Wajib Dana
Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) diselesaikan oleh masing-masing
unit kerja yang berada pada Kantor Bersama Samsat. Dengan demikian bila
ditijau dari aspek hukum Adminstrasi Negara khususnya Pemerintahan Daerah
dilihat dari sisi Azas legalitas, kewenangan pengelolaan PKB dan BBN-KB
oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sudah sesuia dengan ketentuan
aturan yang lebih tinggi dan berlaku dimana PKB- dan BBN-KB ini
dilaksanakan berdasarkan Perda No. 41 Tahun 2003 dan Perda No. 5 Tahun
2003 yang di serahkan secara atributif dan delegatif / distributif dari pusat
kepada daerah sesuai Peraturan Pemerintah RI No. 3 Tahun 1957 dan undang –
undang No. 10 Tahun 1968 sebagaimana penulis terangkan pada hal. 80 dan
hal. 87 dimuka. Dengan demikian secara hakekatnya dengan adanya regulasi
tersebut diatas akan terdapat jaminan adanya kepastian hukum dan kesamaan
perlakuan ( keadilan ) sebab secara tertulis telah dapat dipedomani semua
pihak secara transparan, namun disisi lain secara teoritis azar legalitas
menemui kesulitan dalam penerapannya ditengah masyarakat sebagaimana di
katakan Bagir Manan bahwa adanya kelemahan penerapan azas legalitas. Oleh
sebab itu menurut Prajudi Atmosudirjo 59
menyebutkan beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintah yaitu sebagai berikut :
59
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara, Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2006 hal. 99
143
1) Efektivitas artinya kegiatanya harus mengenai sasaran yang telah
ditetapkan
2) Legimitas artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai
menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat
setempat atau lingkungan yang bersangkutan
3) Yuridikitas artinya syarat yang menentukan bahwa perbuatan para pejabat
administrasi negara tidak boleh melanggar hukum dalam arti luas.
C. Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pelayanan
a) SDM Kantor Bersama Samsat
Berdasarkan situasi pada akhir Januari 2006, jumlah personil yang
terdapat di UPTD Pelayanan Pendapatan yang sekaligus juga berada pada
Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang adalah sebagai berikut :
- Dit. Lantas Polda : 30 orang
- Dispenda : 33 orang
- Jasa Raharja : 2 orang
- Jumlah : 65 orang
Sedangkan Distribusi petugas yang terdapat pada setiap pokja/loket
praktis yang langsung berhubungan dengan masyarakat wajib pajak dapat
dilihat pada tabel 7 terdahulu.
Adapun jumlah wajib pajak yang dilayani rata-rata per hari adalah
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 8 terdahulu yaitu sebanyak 420 wajib
pajak per hari.
Namun dari tabel 8 terlihat bahwa jumlah wajib pajak yang dilayani
pada setiap loket tidak sama. Rata-rata wajib pajak yang datang setiap hari ke
144
Loket I lebih banyak jika dibandingkan dengan Loket II, yang jumlahnya
paling sedikit (rata-rata 50 orang wajib pajak per hari). Jumlah wajib pajak
yang dilayani memang dapat berbeda, karena sifat pekerjaan di setiap loket
mempunyai spesifikasi yang berbeda.
Menurut pedoman tata laksana Sistim Administrasi Manunggal
Dibawah Satu Atas (Samsat), tidak semua kendaraan bermotor wajib
melakukan cek phisik (khususnya untuk mengesahkan STNK setiap tahun),
walaupun dalam prakteknya semua kendaraan bermotor diharuskan untuk
melakukan cek phisik, tetapi yang terdaftar hanya yang sesuai dengan
ketentuan. Semua kendaraan bermotor yang hendak membayar PKB, BBN-KB
dan SWDKLLJ wajib mengambil formulir di Loket I. Umumnya wajib pajak
setelah mengambil formulir di Loket I, melanjutkan cek phisik kendaraan
bermotor di Loket II, lalu melakukan pendaftaran di Loket III. Setelah selesai
di Loket III kebanyakan wajib pajak pergi meninggalkan Kantor Samsat,
karena untuk membayar PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ, petugas memerlukan
waktu untuk menghitung besarnya PKB, di samping adanya wajib pajak yang
belum mempersiapkan dana untuk melakukan pembayaran pada saat itu.
Kebanyakan wajib pajak baru datang kembali ke Kantor Bersama Samsat pada
keesokan harinya. Masyarakat yang hendak membayar PKB atau
memperpanjang STNK diperkenankan untuk melakukan-ya sebulan sebelum
tanggal jatuh tempo.
Dengan demikian Akibat dari sistem dan prosedur tersebut terlihat
waktu pelayanan pada Kantor Bersama SAMSAT adalah sebagaimana terlihat
pada tabel 23 berikut ini:
145
Tabel. 23
Perhitungan Alokasi Waktu Rata-rata Pengurusan
Di setiap Loket Pelayanan (Loket Is/d Loket V)
Untuk Setiap Wajib Pajak
Loket
Rata-Rata
Waktu
Pelayanan
(Menit)
Jumlah
Responden (n)
Jumlah Waktu
(Menit)
Rata-rata
Waktu
(Menit)
Loket I 7,50
22,50
45,00
60,00
29
12
1
0
217,50
270
45
0
J u m l a h 42 532,50 12,68
Loket II 7,50
22,50
45,00
60,00
18
21
3
0
135,00
472,50
135,00
0
J u m l a h 42 742,50 17,68
Loket III 7,50
22,50
45,00
60,00
8
27
5
2
60,00
607,50
225,00
120,00
J u m l a h 42 1.012,50 24,11
Loket IV 7,50
22,50
45,00
60,00
24
14
4
0
180,00
315,00
180,00
0,00
J u m l a h 42 675,00 16,07
Loket V 7,50
22,50
45,00
60,00
8
25
7
2
60,00
562,50
315
120
J u m l a h 42 1.057,50 25,18
Jumlah Waktu Pelayanan dari Loket I s/d Loket V 95,72
b) Prasarana dan sarana Kantor Bersama SAMSAT
Prasarana, sarana serta fasilitas yang tersedia, misalnya peralatan
kerja, ruangan yang tersedia untuk pelayanan, fasilitas umum seperti
mushalla, toilet, kantin dan lain-lain. Ketersediaan prasarana, sarana dan
fasilitas yang ada di Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang,
146
secara umum cukup baik. Prasarana, sarana dan fasilitas yang disediakan
diantaranya ruang tunggu dan kursi tamu yang mencukupi, tempat parkir
yang cukup luas, peralatan kerja seperti komputer dan ruangan kerja
petugas yang memadai, tersedianya mushalla, telepon umum dan warung
atau kantin.
Bila dilakukan analisis untuk melihat kaitan antara ketersediaan
prasarana, sarana dan fasilitas di Kantor Bersama Samsat dengan
kepuasan dalam pelayanan, maka akan diperoleh hubungan antara dua
variabel dengan nilai yang cukup baik, yang berarti bahwa kaitan yang
sangat nyata antara ketersediaan prasarana, sarana dan fasifitas dengan
kepuasan pelayanan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik pelayanan
dan ketersediaan prasarana, sarana dan fasilitas yang disediakan di kantor
tersebut, maka akan semakin besar pula kepuasan yang dirasakan oleh
masyarakat pemohon STNK, sehingga pelayanan satu hari selesai (one
day service) diharapkan dapat dilaksanakan atau diwujudkan. Sesuai
dengan apa yang dikatakan Moenir (1998), bahwa salah satu fungsi dari
sarana pelayanan adalah menimbulkan perasaan puas dan nyaman pada
orang yang berkepentingan, sehingga dapat mengurangi sifat emosional
mereka yang berlebihan.
c) Rekomendasi kebijakan terhadap Pelayanan
Upaya yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas
kerja petugas, sehingga dapat memberkan pelayanan yang memuaskan
masyarakat adalah :
a. Menciptakan budaya pelayanan, agar :
147
1) Setiap loket atau kelompok kerja mengenali dimana dan siapa-siapa
yang menjadi pelanggannya.
2) Secara terus menerus melakukan penelitian tentang harapan-
harapan masyarakat dan kritik yang dilontarkan terhadap pelayanan
yang diberikan.
3) Menetapkan dan menyepakati standar dan tingkat pelayanan secara
terukur yang hanrs diberikan setiap loket.
4) Menyelenggarakan proses dimana setiap petugas pelaksana
memahami standar pelayanan dalam praktek sehari-hari.
5) Terus menerus melakukan evaluasi terhadap kualitas pelayanan dan
berupaya untuk selalu meningkatkannya.
b. Menciptakan budaya kerja ;
1) Setiap petugas pelaksana menetapkan bersama dengan
supervisornya, tentang tugas yang halus dilaksanakan dan sasaran
yang harus dicapai secara periodik.
2) Merumuskan pembagian tugas (job description) pada setiap loket,
selanjutnya digunakan sebagai dasar penilaian dan
pertanggungjawaban tugas secara berlanjut.
3) Setiap suvervisor selalu berupaya meningkatkan keteram-pilan
yang dimiliki oleh setiap petugas pelaksana.
4) Memperhatikan secara khusus pemanfaatan sumber daya yang
tersedia untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya.
c. Meningkatkan pengawasan dan memperkuat unit-unit pelayanan
148
1) Meningkatkan pengawasan secara berjenjang, yang didukung
dengan sistim pertanggungjawaban sesuai dengan tingkatan-ya.
2) Mengadakan pertemuan secara rutin dengan supervisor untuk
mengetahui kendala-kendala di lapangan serta mendorong
kemampuan untuk pengambilan keputusan.
3) Meningkatkan peranan pengawas atau supervisor secara nyata
dalam mendukung keberhasilan pelayanan tersebut.
4) Menggunakan sumber daya yang, ada secara maksimal untuk
mencapai keberhasilan petugas pelayanan.
5) Supervisor memberikan kesempatan dan mendorong setiap anggota
untuk bekerja secara maksimal dan membina mereka untuk
Inenjadi yang terbaik sesuai kemampuan masing-masing.
6) Secara terus menerus mengadakan evaluasi kualitas supevisor,
kerja sama antar kelompok kerja atau loket dan petugas polaksana,
agar termotivasi dan tetap pada sasaran.
d. Melaksanakan Stándar Pelayanan Minimal (SPM).
Penyelenggaraan pelayanan publik yang berkwalitas sudah
merupakan kebutuhan organisasi untuk merespon tuntutan dan harapan
masyarakat yang terus meningkat. Pelayanan yang berkwalitas harus
memenuhi beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
1) Cepat, artinya pemenuhan kebutuhan dengan cepat, tidak melalui
birokrasi yang berbelit.
2) Tepat, artinya apa yang diberikan atau dilakukan sesuai menurut
apa yang dibutuhkan.
149
3) Murah, dimana masyarakat memperoleh apa yang diinginkan itu
dengan biaya murah.
4) Ramah, artinya pelayanan atas hubungan antara aparat dengan
masyarakat dilakukan dengan sopan dan bersahabat.
e. Peningkatan Sumber Daya Aparatur
1) Aparatur Pelayanan di SAMSAT belum mempunyai persepsi yang
sama dalam pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat
Wajib Pajak, maka perlu penyamaan persepsi tentang pelayanan.
2) Mengurangi egoisme sektoral kelembagaan dalam pelayanan.
3) Meningkatkan koordinasi antar kelembagaan yang terkait.
4) Peningkatan sarana dan prasarana pendukung pada Kantor Bersama
SAMSAT
5) Anggaran biaya untuk memperbaiki tata ruang pelayanan masih
terbatas.
f. Langkah antisipasi untuk mengatasi adanya pendapat bahwa birokrasi
di Kantor SAMSAT masih agak berbelit.
1) Memperbanyak informasi dan pengumuman kepada Wajib Pajak.
2) Melakukan penyederhanaan prosedur dalam proses pembayaran
Pajak, pengurusan STNK/TNKB dan pembayaran SWDKLLJ.
3) Melakukan koordinasi yang baik dengan mitra kerja guna
mengatasi adanya kendala dalam percepatan pelayanan di Kantor
SAMSAT.
4) Melakukan pembenahan ruang kantor sehingga terdapat
kenyamanan, ketenangan, dan keamanan bagi Wajib Pajak.
150
g. UPTD berada langsung di bawah Dipenda Propinsi Sumatera Barat
sementara Kantor Bersama SAMSAT yang dilaksanakan secara
sinergis hal ini dapat berjalan tanpa pengabaian tupoksi UPTD.
Beberapa faktor yang menyebabkan adanya kelemahan disebabkan antara
lain :
1) Belum adanya pemisahan Personil UPTD yang bekerja di SAMSAT
dengan bertugas di UPTD karena sistim rekruitmen personil yang bertugas
di SAMSAT tidak ada kejelasan.
2) Struktur organisasi UPTD yang ada saat ini membingung-kan karena dari 3
(tiga) unit kerja yang ada, yang mana yang bertugas di SAMSAT dan yang
mana bertugas di UPTD tidak ada penegasan yang jelas.
3) Ruang Kantor UPTD menyatu dengan Kantor SAMSAT, seharusnya ada
pemisahan yang jelas. Hal ini terjadi karena terbatasnya pembiayaan untuk
pembangunan/ revisi gedung kantor.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu hal sebagai berikut :
1) Memperbaharui struktur organisai UPTD dan sekaligus ada penegasan
Unit Kerja UPTD yang akan bertugas di SAMSAT dalam memungut
PKB/BBN KB, sedangkan Unit Kerja yang lain hanya bertugas di UPTD
tidak di SAMSAT. Untuk itu idealnya struktur UPTD tersebut salah satu
seksinya adalah Seksi PKB/BBN KB yang langsung bertugas di SAMSAT
sedangkan Kasubag Tata Usaha dan seksi lainnya bertugas di UPTD. Atau
ada Pejabat Fungsional yang bertugas memonitor proses pembayaran
PKB/BBN KB di SAMSAT dan bertanggung jawab langsung kepada
Kepala UPTD.
151
2) Pemisahan ruang kerja UPTD dengan SAMSAT. Dalam artian bahwa
jajaran aparatur dan Kepala UPTD tidak lagi fokus pada kerja di SAMSAT
akan tetapi tugas utamanya lebih banyak koordinasi, pengawasan,
melahirkan kebijakan, penyusunan rencana kerja / /kegiatan dan lain-lain.
Karena Pembentukan UPTD dimaksud juga untuk pengelolaan
pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah lainnya.
3) Perlunya adanya penetapan atau produk hukum yang disepakati oleh ketiga
instansi di Kantor SAMSAT tentang tata cara penunjukan personil masing-
masing yang akan bertugas di SAMSAT sehingga diharapkan jumlah
personil yang bertugas di SAMSAT sebanding dengan beban kerja yang
ada, dan hubungan kerja antara satu dengan lainnya berjalan harmonis.
152
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelayanan Kantor Bersama Samsat melibatkan 3 (tiga) instansi yaitu, Dina
Pendapatan Daerah (Dispenda), Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah
(Ditlantas Polda) dan PT Jasa Raharja (Persero). Ketiga instansi ini bekerja
sama melayani masyarakat dan bernaung dibawah satu atap atau satu kantor
yang disebut dengan sistim Administrasi Manunggal Dibawah Satu Atap
(Samsat). Sebelum ada nya samsat, masyarakat harus mendatangi ketiga
instansi tersebut di tempat yang berbeda, sehingga membutuhkan waktu biaya
dan tenaga dan hal ini sangat dirasakan tidak efesien serta memberatkan
masyarakat. Pengurusan PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ oleh masyarakat pada
awalnya dilakukan di ibu kota provinsi, karena belum dibentuknya cabang-
cabang samsat di daerah kabupaten atau kota.
PKB, BBN-KB dan SWDKLLJ merupakan pajak provinsi yang
sangat berperan untukpenyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di
daerah. Sedemikian besarnyaperanan pajak tersebut, sehingga pemerintah
daerah perlu memberikan pelayanan yang baik kepada Masyarakat yang
berurusan ke Kantor Bersama Samsat.
Unit Pelaksana Teknis Dinas ( UPTD ) Pelayanan Pendapatan
Propinsi Sumatera Barat di Padang merupakan instansi teknis pemerintah
daerah yang diberi kewenangan urituk menggali dan memungut pajak daerah
sebagai sumber pendapatan daerah yang berada dalam wilayah kerjanya
153
melalui SAMSAT pada Kantor Bersama SAMSAT Padang, harus mampu
merealisir sesuai dengan potensi yang ada sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Walaupun UPTD Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di
Padang berhasil merealisir sumber pendapatan daerah yang menjadi
kewenangannya dengan melampaui sejumlah beban target yang ditetapkan
oleh instansi induknya (Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat),
namun UPTD Padang belum dapat dikatakan berhasil dalam melaksanakan
tugasnya. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya wajib pajak yang tidak
membayar pajak serta masih banyaknya potensi yang menjadi sumber
pendapatan daerah yang belum terdata.
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat wajib pajak,
UPTD Pelayanan Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di Padang melalui
Kantor Bersama Samsatnya belum efektif dan efisien mampu memberikan
pelayanan seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat. Keluhan-keluhan
masyarakat masih dijumpai baik dari pelayanan yang diberikan oleh aparat itu
sendiri, maupun terhadap sarana dan prasarana yang tersedia sehingga secara
umum dapaat dikatakan bahwa efektivitas pelayanan pengelolaan PKB dan
BBN-KB belum sesuai dengan SPM dan Kepmen PAN No. 63 Tahun 2003.
Pelayanan Kantor bersama samsat selama ini sering mendapat
sorotan tajam dari masyarakat, terutama yang berurusan dengan kantor
tersebut. Sorotan dilakukan karena lambatnya proses pelayanan pengurusan
pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor (BBN-KB), Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
154
(SWDKLLJ), maupun Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), serta masih
adanya pungutan-pungutan yang tidak resmi atau pungutan liar, sarana,
prasarana dan fasilitas yang tidak memadai, banyaknya calo, sikap petugas
yang kurang simpatik dalam melayani masyarakat sampai kepada tidak
terampilnya petugas dalam melaksanakan pekerjaannya.
Karena adanya kritikan, terutama pelayanan dalam pengurusan
pembayaran pajak berkaitan dengan pemilikan atau penguasaan kendaraan
bermotor oleh masyarakat, Kantor Bersama Samsat Khusunya di Provinsi
Sumatera Barat bertekat untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, dengan
mencanangkan pelayanan satu hari selesai atau yang dikenal dengan One day
Service dan bahkan diwacanakan denga pelayanan cepat One Hour Service (
Pelayanan 1 Jam ).
Kantor Bersama Samsat telah memiliki acuan lamanya pelayanan
disetiap loket, yang dikeluarkan oleh kapolri melalui Petunjuk Pelaksanaan,
yaitu selama 22 (dua puluh dua) menit untuk setiap wajib pajak. Agar jangka
waktu yang telah ditentukan dapat terealisir, diperlukan pengawasan dari
atasan,terutama oleh Pembina SAMSAT di tingkat Provinsi Sumatera Barat (
Gubernur dan Kapolda ).
Dengan dioperasikannya sistim 2 (dua) loket di Samsat Padang dan
Samsat-Samsat di seluruh Propinsi Sumatera Barat berarti pelayanan kepada
Pemilik kendaraan bermotor dalam membayar pajak kendaraan bermotornya
sudah sesuai dengan INBERS tahun 1999 berarti tercermin bahwa pelayanan
Samsat lebih cepat dan mudah serta akan tercipta team works yang solid,
efektif dan efisien.
155
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi belum tercapainya kepuasan pelayanan
dan waktu penyelesaian dalam pembuatan STNK adalah karena kurangnya
pengawasan petugas oleh atasan, sehingga tidak sesuai dengan waktu
pelayanan menurut juklak. Koordinasi antar tiga instansi yang berada pada
SAMSAT ( Dispenda, Polri, dan PT. Jasa Raharja / Persero ) kurang cepat dan
delapan kriteria pelayanan yang belum terpenuhi dengan baik, seperti efisiensi
dan kesederhaan prosedur yang kurang lengkap serta pemahaman wajib pajak
terhadap mekanisme prosedur pelayanan yang masih relatif rendah. Disamping
itu karena SAMSAT adalah kantor kerja bersama, dimana masig – masing
membawa nama instansi, maka ego sektoral masih terasa cukup kental.
Penilaian terhaap delapan kriteria standar pelayanan yang
dilaksanakan SAMSAT Provinsi Sumatera Barat pada tingkatan cukup baik,
artinya berdasarkan hasil analisis data, prosentase dominan memilih kategori
mudah, sedang, efisien, cukup baik, cukup adil dan aman. Artinya pilihan
responden adalah baik, walaupun belum pada tingkatan sangat baik.
Sedangkan kriteria pelayanan mengenai ketepatan waktu yang sesuai dengan
standar pelayanan, masih dalam kategori harus ditingkatkan. Kondisi ini masih
dapat diterima, karena mayoritas responden menyatakan bahwa pelaksanaan
one day service belum berjalan dan belum dapat dirasakan oleh wajib pajak.
Upaya yang dilakukan untuk peningkatan one day service, meliputi
aktivitas meciptakan budaya pelayanan yang tinggi, berusaha menciptakan
budaya kinerja melalui pemahaman tugas masing – masing, menghidupkan
paengawasan dan memperkuat unit – unit pelayanan dengan melihat kendala
dan peluang yang ada melalui supervisi dan evaluasi pelayanan yang optimal.
156
Fungsi manajemen pada Kantor Bersama SAMSAT belum dapat
berjalan sebagaimana seharusnya untuk suatu organisasi yang baik. Hal ini
dapat dilihat dari jumlah waktu yang diperlukan oleh masyarakat untuk
berurusan pada setiap loket pelayanan yang masih relatif lama dibandingkan
dengan juklak yang telah ditetapkan. Begitu juga adanya pungutan tidak resmi
yang dilakukan oleh petugas di Loket II. Berarti fungsi pengawasan tidak
berjalan dengan baik.
B. Saran -Saran
1. Regulasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai acuan bagi aparatur Dinas
Pendapatan Daerah dalam memberikan Pelayanan PKB dan BBN-KB bagui
Wajib Pajak dan untuk menerbitkan surat dinas yang dibutuhkan oleh
penerima pelayanan, agar dapat dievaluasi oleh Gubernur Sumatera Barat
selaku unsur Pembina SAMSAT dan atau bahkan ditinjau kembali, sesuai
dengan kebutuhan masyarakat sebagai penerima pelayanan sesuai dengan yang
diharapkannya.
2. Dalam rangka rneningkatkan pendapatan Daerah, UPTD Pelayanan
Pendapatan Propinsi Sumatera Barat di Padang dapat lebih berperan aktif lagi
dalam rnengelola sumber pendapatan Daerah yang ada dalam wilayah
kerjanya. Aparat UPTD dapat lebih jeli dalam memantau, mendata dan
sekaligus menagih terhadap objek pajak yang masih menunggak dan belum
terpantau dan terdata, karena masih banyak tunggakan kendaraan bermotor
yang tidak membayar pajak dan BBN–KB.
3. Apabila dilakukan perbandingan antara Samsat-Samsat yang ada di Propinsi
Sumatera Barat khususnya Samsat di Padang dengan Samsat-Samsat Propinsi
157
lainnya di Indonesia yang sudah mendapatkan penilaian pelayanan yang
berstandar Internasional (ISO 1999-2001), maka Samsat yang ada di Sumatera
Barat perlu berbenah diri dalam beberapa sisi pelayanan. Untuk itu disarankan
agar system pelayanan yang ada sekarang ini masih memakai sistem 5 (lima)
Loket harus dirobah menjadi Sistem 2 (dua) loket dan system pelayanan
lainnya harus ditingkatkan terus sehingga samsat yang ada di Propinsi
Sumatera Barat tidak jauh tertinggal dari daerah lainnya di Wilayah Indonesia
serta peningkatan pelayanan tersebut diharapkan sebagai cikal untuk
mempersiapkan diri meraih pelayanan prima yang berstandar lnternasional
seperti yang diprogramkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara.
4. Sehubungan dengan hal tersebut, Kantor Bersama SAMSAT melalui
Pemerintah Daerah perlu memperbaharui struktur organisai UPTD dan
sekaligus ada penegasan Unit Kerja UPTD. Idealnya struktur UPTD tersebut
salah satu seksinya adalah Seksi PKB/BBN KB yang langsung bertugas di
SAMSAT sedangkan Kasubag Tata Usaha dan seksi lainnya bertugas di
UPTD.
5. Pemisahan ruang kerja UPTD dengan SAMSAT, yaitu Kepala UPTD tidak
lagi fokus pada kerja di SAMSAT akan tetapi tugas utamanya lebih banyak
koordinasi, pengawasan, melahirkan kebijakan, penyusunan rencana
kerja/kegiatan, penentuan kebijakan dan lain-lain yang bersifat strategis.
6. Perlunya adanya penetapan atau produk hukum yang disepakati oleh ketiga
instansi di Kantor SAMSAT tentang tata cara penunjukan personil masing-
masing yang akan bertugas di SAMSAT sehingga diharapkan jumlah personil
158
yang bertugas di SAMSAT sebanding dengan beban kerja yang ada, dan
hubungan kerja antara satu dengan lainnya berjalan harmonis.
top related