model topologi jaringan antena base transceiver …
Post on 02-Oct-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MODEL TOPOLOGI JARINGAN ANTENA BASE TRANSCEIVER
STATION BERBASIS RAMAH LINGKUNGAN
DI KOTA MEDAN
DISERTASI
Oleh
SINDAK HUTAURUK
118106001
Program Doktor (S3)
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2016
Universitas Sumatera Utara
MODEL TOPOLOGI JARINGAN ANTENA BASE TRANSCEIVER
STATION BERBASIS RAMAH LINGKUNGAN
DI KOTA MEDAN
DISERTASI
SINDAK HUTAURUK
118106001
Program Doktor (S3)
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2016
Universitas Sumatera Utara
MODEL TOPOLOGI JARINGAN ANTENA BASE TRANSCEIVER
STATION BERBASIS RAMAH LINGKUNGAN
DI KOTA MEDAN
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
dalam program Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SINDAK HUTAURUK
118106001
Program Doktor (S3)
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
Universitas Sumatera Utara
P E N G E S A H A N
Judul Disertasi : MODEL TOPOLOGI JARINGAN ANTENA BASE
TRANSCEIVER STATION BERBASIS RAMAH
LINGKUNGAN DI KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : Sindak Hutauruk
Nomor Pokok : 118106001
Program Studi : Doktor (S3) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Herman Mawengkang
Promotor
Prof. Dr. Ir. Usman S. Ba’afai Prof. Dr. Nasruddin Noer, M.Eng.Sc.
Co-Promotor Co-Promotor
Ketua Program Studi, Direktur,
Dr. Delvian, SP, MP. Prof. Dr. Robert Sibarani, MS.
Tanggal Lulus : 29 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi)
Hari / Tanggal : Senin / 29 Agustus 2016
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Pemimpin Sidang :
Prof. Dr, Runtung Sitepu, SH., M.Hum. (Rektor USU)
Ketua : Prof. Dr. Herman Mawengkang (Guru Besar USU)
Anggota : Prof. Dr. Robert Sibarani, MS (Direktur Sekolah Pascasarjana USU)
Prof. Dr. Usman S. Ba’afai (Guru Besar USU)
Prof. Dr. Nasruddin M.N., M.Eng.Sc. (Guru Besar USU)
Prof. Dr. Monang Sitorus, M.Si. (Guru Besar UHN)
Dr. Delvian, Sp., MP. (Ketua Prodi S2/S3 PSL USU)
Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH. (Staf Pengajar USU)
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN
Judul Disertasi
“MODEL TOPOLOGI JARINGAN ANTENA BASE TRANSCEIVER STATION
BERBASIS RAMAH LINGKUNGAN DI KOTA MEDAN”
Dengan ini penulis menyatakan bahwa disertasi ini, yang disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Doktor (S3) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas
Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari
hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya
secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan
hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia
menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanki-sanksi lainnya
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 14 Agustus 2016
Penulis,
Sindak Hutauruk
Universitas Sumatera Utara
i
A B S T R A K
Menara antena BTS (Base Transceiver Station) ditempatkan pada seluruh wilayah
kelurahan di kota Medan dengan jumlah keseluruhan hampir mencapai 5.000
antena. Antena-antena tersebut dibangun oleh operator-operator telepon selular
pada tempat yang berdekatan dengan pemukiman, pusat perbelanjaan, sekolah,
rumah sakit bahkan pada rumah ibadah. Antena BTS memancarkan sinyal
gelombang medan elektromagnetik (EMF, Electromagnetic Field)) yang dapat
mencapai radius 3 sampai 9 km. Bila power density (PD) dari EMF tersebut
melampaui nilai ambang batas (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9
watt/m2 untuk frekuensi 1800 MHz.), maka akan menimbulkan efek negatif
terhadap lingkungan hidup yang berada pada coverage area (CA) BTS tersebut.
Lebih dari 80 % antena-antena BTS di kota Medan berada di atas nilai ambang
batas pada jarak sampai dengan sekitar 100 meter dari antena BTS. Sementara
Peraturan daerah kota Medan tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)
tidak mengatur pembangunan antena BTS yang melindungi lingkungan hidup dari
paparan radiasi EMF antena BTS. Oleh sebab itu peneliti melakukan perlindungan
lingkungan hidup khususnya kesehatan masyarakat dari efek negatif radiasi EMF
yaitu dengan melakukan pemodelan topologi antena BTS berbasis ramah
lingkungan di kota Medan. Pemodelan dilakukan dalam bentuk matematis dengan
menggunakan Mixed-Integer Linear Programming (MILP). Model tersebut
menggabungkan masalah pemilihan lokasi BTS (BTSL), masalah ketersediaan
Frequency Channel Assigment (FCA), dan koneksi BTS ke jaringan yang
semuanya berbasis nilai ambang batas power density sehingga ramah terhadap
lingkungan hidup khususnya terhadap kesehatan masyarakat pada area CA BTS.
Model yang diperoleh ini dapat meminimalkan biaya, jaminan koneksitas, dan
perlindungan lingkungan hidup secara penuh terhadap bahaya radiasi EMF antena
BTS. Model ini dapat memberikan kontribusi sebagai masukan kepada pemerintah
kota Medan untuk membuat sebuah regulasi dalam menata menara antena BTS
telepon seluler berbasis ramah lingkungan di kota Medan.
Kata kunci : antena BTS, power density, lingkungan hidup, MILP.
Universitas Sumatera Utara
ii
A B S T R A C T
Antenna tower BTS (Base Transceiver Station) is placed on the entire territory of
the village in the city of Medan with a total of nearly 5,000 antennas. These
antennas were built by telephone cellular operators I n the space close to residential
areas, shopping centers, schools, hospitals and even houses of worship. BTS
antenna emits a signal of Electromagnetic Field (EMF) wave that can reach a
radius of 3 to 9 km. When the power density (PD) of the EMF exceeded the
threshold value (4.5 watts / m2 for a frequency of 900 MHz, and 9 watts / m2 for a
frequency of 1800 MHz.), It will have a negative effect on the environment which
are in the coverage area (CA) of BTS. More than 80 % of antennas of base stations
in the city of Medan is above the threshold value at a distance of about 100 meters
away from BTS antennas. While the Regulation of Spatial Plan of medan city does
not regulate the BTS antenna development that protects the environment from
exposure to EMF radiation BTS antennas. So researchers do environmental
protection, especially public health, from the negative effects of EMF radiation that
is by modeling the topology of the antenna BTS based on Eco-Friendly in the city
of Medan. Modelling done in mathematical form by using Mixed-Integer Linear
Programming (MILP). The model incorporates the BTS site selection problem
(BTSL), Channel Frequency availability problems assigment (FCA), and the
connection to the network base stations, all based power density threshold value
that is safer to the environment, especially on public health in the CA of BTS. The
model is to minimize the costs, guarantees connectivity, and full protection of the
environment against the dangers of EMF radiation BTS antennas. This model can
contribute to the Medan city government to create a regulation in managing the
environmental based BTS antenna tower-of cellular phone.
Keywords : BTS antenna, power density, environment, MILP.
Universitas Sumatera Utara
iii
RIWAYAT HIDUP
N a m a : Sindak Hutauruk
Tempat / Tgl. Lahir : Medan / 14 Agustus 1959
A l a m a t : Jl. Karya Rakyat No. 29 G
Kelurahan Sei Agul Medan 20117
Pendidikan,
1971 : Lulus SD Kartika Chandra Kirana Persit Kodam II BB
1974 : Lulus SMP PKM Methodist 1 Jalan Hang Tuah, Medan
1977 : Lulus SMA PKM Methodist 1 Jalan Hang Tuah, Medan
1984 : Sarjana Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Universitas
Trisakti, Jakarta.
1991 : Magister Teknik Elektro, Program Pascasarjana Institut Teknologi
Bandung (ITB).
Pekerjaan,
1986 - sekarang : Dosen Tetap Fakultas Teknik Universitas HKBP Nommensen.
1992 - 1994 : Kepala Pusat Sistem Informasi Universitas HKBP
Nommensen.
1994 - 1997 : Wakil Dekan I Fakultas Teknik Universitas HKBP
Nommensen.
2000 - 2004 : Dekan Fakultas Teknik Universitas HKBP Nommensen.
2005 - 2006 : Wakil Rektor III Universitas HKBP Nommensen.
2007 - 2011 : Ketua Prodi Tek. Elektro Fak. Teknik Universitas HKBP
Nommensen.
2013 - 2014 : Menajer Proyek PT. Kudaka Automation Indonesia untuk Area
Sumatera
2013 - 2016 : Menajer Proyek PT. Transdata Satkomindo untuk Area
Sumatera
2015 - 2017 : Kepala Pusat Sistem Informasi Universitas HKBP
Nommensen.
2015 - 2019 : Wakil Rektor III Universitas HKBP Nommensen, Perioda
tahun 2015 - 2019.
Universitas Sumatera Utara
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi
ini dengan judul “
Model Topologi Jaringan Antena Base Transceiver Station Berbasis Ramah
Lingkungan di Kota Medan”. Penyusunan Disertasi ini merupakan salah satu syarat
dalam rangka penyelesaian studi program Doktor pada Program Studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
Pada kesempatan ini dengan rasa penuh hormat, penulis menyampaikan
ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak
membantu penulis sehingga Disertasi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.
Ucapan terimakasih ini secara khusus penulis sampaikan kepada :
1. Prof. Dr, Runtung Sitepu, SH., M.Hum., Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Robert Sibarani, MS., Direktur Sekolah Pascasarjana USU.
3. Dr. Delvian, Sp., MP., Penguji dan juga Ketua Program Studi PSL USU yang
telah banyak membantu, memotivasi, memberikan masukan, dan memfasilitasi
penulis selama menempuh pendidikan Doktor.
4. Prof. Dr. Herman Mawengkang, Promotor yang telah banyak sekali
membimbing, mendorong, memotivasi, dan selalu menerima kedatangan
penulis dikantor dengan senyum lebar walaupun dalam kesibukannya.
5. Prof. Dr. Usman S. Ba’afai, Co-Promotor yang selalu menyediakan waktunya
memberikan masukan dan dorongan kepada penulis untuk kesempurnaan
Disertasi.
6. Prof. Dr. Nasruddin, M.N., M.Eng.Sc., Co-Promotor yang selalu dengan ramah
dan senang hati menerima penulis datang ke kantor untuk meminta masukan
dan bimbingan.
7. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH., Penguji yang selalu dengan ramahnya
memberikan masukan dan koreksi terhadap Disertasi penulis.
8. Prof. Dr. Monang Sitorus, M.Si., Penguji yang dalam kesibukannya selalu
dapat memberikan waktunya dalam memberikan masukan dan koreksi Disertasi
penulis.
9. Dr. Ir. Mukhlis, MS., Sekretaris Program Studi PSL USU beserta seluruh Staf
Adminstrasi yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan proses
administrasi dan menyediakan fasilitas selama menempuh pendidikan Doktor.
Universitas Sumatera Utara
v
10. Seluruh Dosen Pengajar pada Program Studi PSL USU yang telah membimbing dan mendidik penulis selama menempuh pendidikan Doktor.
11. Dr. Yolanda Sitompul, Sp.Rad, istri tercinta yang selalu memberikan dorongan,
semangat, dan doa selama masa studi dan sepanjang penulisan Disertasi ini.
12. Ananda Ricardo Marcelino Hutauruk dan Alaxander Dionisius Hutauruk
tercinta yang rela menerima dengan tulus dan ikhlas tersitanya waktu penulis
untuk selalu bersama mereka dikala mereka butuhkan.
13. Ir. Nurdin Tampubolon, ketua Yayasan Universitas HKBP Nommensen yang
telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan
Doktor.
14. Dr. Ir. Sabam Malau, Rektor Universitas HKBP Nommensen yang telah
memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
pendidikan strata 3.
15. Dr. Haposan Siallagan, SH, MH. (Wakil Rektor 1 UHN), Drs. Charles Sianturi,
MSBA. (Wakil Rektor 2 UHN), Dr. Hilman Pardede, S.Pd., M.Pd. (Wakil
Rektor 4 UHN) yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis
dalam menyelesaikan pendidikan Doktor.
16. Dr. Richard Napitupulu, St., MT. (Dekan Fak. Teknik UHN), Ir. Jamser
Simanjutak, MT. (Ketua Program Studi Teknik Elektro UHN) dan seluruh staf
pengajar program studi Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas HKBP
Nommensen yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis
selama masa pendidikan Doktor.
17. Ir. Wiyanto Soegiarto dan pimpinan PT. Transdata Satkomindo Jakarta yang
telah banyak membantu penulis selama masa penelitian.
18. Ir. M.O. Hutauruk / br. Saragih dan keluarga besar Hutauruk Sipaettua kota
Medan yang selalu mendukung dan mendorong penulis dalam menyelesaikan
pendidikan Doktor.
19. Nyonya B.O. Sitompul br Pandiangan, Berto Sitompul, Lando Sitompul, Fayola
br. Sitompul, dan Yvonne br. Sitompul yang mendukung dan memberikan
semangat kepada penulis selama masa pendidikan Doktor.
20. Keluarga alm. Ir. Harun Simanjutak / alm. Sondang br. Hutauruk, keluarga alm.
Pdt. J. Aruan, S.Th. / Dra. S. br. Hutauruk Apt., MSi, keluarga alm. T.
Panggabean / alm. Y br. Hutauruk, S.Pd. serta seluruh keponakan yang telah
memberikan dukungan semangat kepada penulis selama masa pendidikan
Doktor.
21. Seluruh Staf Wakil Rektor III Universitas HKBP Nommensen yang telah
banyak membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan Doktor.
22. Seluruh rekan Alumni, dan rekan-rekan Mahasiswa Program Studi PSL USU
yang telah banyak memberikan semangat dan dorongan dalam menyelesaikan
pendidikan Doktor.
Penulis menyadari Disertasi ini masih banyak memiliki kekurangan dan
jauh dari sempurna, namum harapan penulis semoga disertasi ini dapat
Universitas Sumatera Utara
vi
bermanfaat bagi masyarakat, operator telepon selular, dan pemerintah kota
Medan dalam menata menara antena BTS yang ramah lingkungan melalui
regulasi pemerintah kota Medan. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa
memberkati kita semua. Amin.
Medan, Agustus, 2016
Sindak Hutauruk
Universitas Sumatera Utara
vii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK …………………………………………………………………. i
ABSTRACT …………………………………………………………………. ii
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………...... vii
DAFTAR TABEL………………………………………………………….... x
DAFTAR GAMBAR ….…………………………………………………... xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xii
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………. xiii
BAB I. PENDAHULUAN …………….…………………………………. 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.1.1. Efek negatif terhadap kesehatan masyarakat ................. 3
1.1.2. Efek negatif terhadap hewan dan tumbuhan .................. 5
1.1.3. Penolakan warga terhadap pembangunan antena BTS ... 6
1.2. Formulasi Masalah ................................................................... 7
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 13
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 13
1.5. Hasil Keluaran yang Diharapkan (Novelty) .............................. 13
1.6. Kerangka Berpikir .................................................................... 13
1.7. Batasan Masalah ........................................................................ 15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………........................... 16
2.1. Jaringan Telepon Seluler ……………………………………... 16
2.2. Frequency Channel Assignment (FCA) ..................................... 17
2.3. Lokasi BTS …………………………………………………… 19
2.4. Radiasi Gelombang EMF …………………………………….. 24
2.4.1. Power density ………...................................................... 25
2.4.2. Pengaruh gelombag EMF terhadap lingkungan hidup … 28
2.4.2.1. Pengaruh gelombang EMF terhadap kesehatan
manusia ............................................................... 28
2.4.2.2. Pengaruh gelombang EMF terhadap kesehatan
hewan ................................................................. 30
2.4.3. Nilai ambang batas paparan radiasi EMF …………….… 31
2.4.4. Besarnya power density EMF yang dipancarkan
antena BTS …………………………………………….. 32
2.4.4.1. Pemodelan power density mengguakan
powersim ........................................................... 33
2.4.4.2. Pemodelan power density menggunakan
estimator ITU ..................................................... 35
2.5. Mitigasi Radiasi dari Antena BTS ……..……………………... 38
2.5.1. Menurunkan kekuatan pemancar ………………………. 38
Universitas Sumatera Utara
viii
2.5.2. Menambah ketinggian antena ………………………….. 39 2.5.3. Menurunkan kemiringan (downtilt) VRP ….…………. 41
2.5.4. Mengatur directivity antena BTS ………..……………. 41
BAB III. METODE PENELITIAN …………………..…………….………. 43
3.1. Lokasi Penelitian ……………………..……………………… 43
3.2. Populasi dan Sampel ……………………………..…….…….. 43
3.3. Parameter yang di ukur …………..…………………….……. 43
3.4. Alat Ukur yang Digunakan ……..……………………….…… 43
3.5. Tahapan Penelitian ……………....…………………….…….. 43
3.6. Metode Pengukuran …………..……………………….……… 44
3.7. Rancangan Model …………..…………………….………….. 45
3.8. Program Linear …………..…………………..………………. 49
3.8.1. Program integer ……………………………………….. 50
3.8.2. Metode solusi dalam integer programming
Pendekatan Pembulatan………………………………… 51
3.8.3. Pendekatan Grafik …………………………………….. 54
3.8.4. Pendekatan Gomory …………………………………… 55
3.8.5. Kendala Gomory ( Pure Integer Programming ) …….... 56
3.8.6. Metode Branch dan Bound ……………………………. 56
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………….……………………. 62
4.1. Pemodelan Matematis .............................................................. 62
4.1.1. Model power density ……………………………………… 62
4.1.2. Hasil pengukuran EMF dan efek negatifnya terhadap
Lingkungan hidup …………………..……………………. 67
4.2. Konsep Dasar Model yang Digunakan ………..…….…….. 74
4.3. M o d e l ................................................................................. 78
4.3.1. Melakukan formulasi dari fungsi tujuan …………….. 80
4.3.1.a. Model biaya instalasi BTS …………………. 81
4.3.1.b. Model biaya koneksi BTS yang dipilih ke hub. 82
4.3.1.c. Model biaya koneksi BTS yang dipilih
dengan switch ……………………………….. 82
4.3.1.d. Model biaya koneksi hub dengan switch …….. 83
4.3.1.e. Model biaya pemindahan BTS ……………….. 83
4.4. Algoritma Penyelesaian Model …………….……..………… 90
4.5. Simulasi Model ……………………………………………... 91
4.5.1. Simulasi perlindungan lingkungan hidup pada
hubungan komunikasi antar MS pada BTS yang
berbeda dalam satu switch ………………………….... 92
4.5.2. Simulasi perlindungan lingkungan hidup pada
hubungan omunikasi antar MS pada BTS yang
berbeda dalam satu hub ………………………………. 93
4.5.3. Simulasi perlindungan lingkungan hidup pada
hubungan komunikasi antar MS dalam satu BTS
pada sel yang berbeda .……………………………….. 94
4.5.4. Simulasi perlindungan lingkungan hidup pada
Hubungan komunikasi antar MS dalam satu BTS
dan sel yang sama ……………………………………. 95
Universitas Sumatera Utara
ix
4.6. Perlindungan Lingkungan Hidup Sebelum dan Sesudah Penerapan Model …………………………………………… 96
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………….………………..……... 98
5.1. Kesimpulan …………….…………………………………… 98
5.2. Saran ………………..………………………………………. 99
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 101
Universitas Sumatera Utara
x
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1.1. Persentase pengaruh power density dari antena BTS terhadap gender .. 5
1.2. Kasus penolakan warga terhadap pembangunan menara BTS ……….. 6 2.1. Rentang frekuensi spektrum gelombang EMF ………………………………. 24
2.2. Nilai ambang batas power density untuk beberapa negara …..……….. 31
2.3. Besarnya power density sebagai fungsi dari jarak menggunakan
powersim …………………………………………………………….... 35 2.4. Besarnya power density sebagai fungsi dari jarak menggunakan estimator … 36
3.1. Jumlah sampel antena BTS ……………………………………..……. 45
3.2. Tabulasi penyelesaian masalah program integer ……………………... 53
3.3. Optimum masalah LP dengan metoda Gomory ……………………… 56
4.1. Persentase jumlah PD di bawah batas ambang,batas …………..……... 70
4.2. Dampak EMF diatas nilai ambang batas terhadap lingkungan hidup .... 70
4.3. Rpeak terdekat dan terjauh ……………………………………..………. 74
4.4. Komunikasi MS antar BTS dalam satu switch berbasis perlindungan
lingkungan hidup …………………………………………………….... 92
4.5. Komunikasi MS antar BTS dalam satu hub berbasis perlindungan
lingkungan hidup ………………………………………………..….… 94
4.6. Komunikasi antar MS dalam satu BTS pada sel yang berbeda berbasis
perlindungan lingkungan hiudp …........................................................ 94
4.7. Komunikasi antar MS dalam satu BTS dan sel yang sama berbasis
perlindungan lingkungan hidup ………………………….. …………. 96
4.8. Perbandingan hasil simulasi model dengan kondisi riil lapangan …… 97
Universitas Sumatera Utara
xi
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
1.1. Coverage Area BTS ………………………………………………. 2
1.2. Kerangka berpikir …………………………………………………. 14
2.1. FCA pada sebuah jaringan telepon seluler ………………………... 16
2.2. Arsitektur UMTS tipe bintang 3 level …………………………….. 21
2.3. Power Density …………………………………………………….. 25
2.4. Pola radiasi Omnidirectional untuk antena vertikal ………………. 26
2.5. Pola radiasi spherical bersumber dari satu titik pancar …..………. 26
2.6. Paparan radiasi EMF dari antena BTS terhadap manusia ……….... 27
2.7. Diagram alir power density dari BTS ……………………………... 34
2.8. Diagram simpal kausal power density dari BTS ………………….. 34
2.9. Grafik power density sebagai fungsi dari jarak …………………… 35
2.10. Daya yang dipancarkan oleh sebuah antenna BTS ………….…….. 36
2.11. Power density dengan menggunakan software estimator ITU …..... 37
2.12. Kumulatif paparan dari 2 buah antena BTS ……….……………… 37
2.13. Korelasi power density dengan tinggi antena BTS ….…………….. 39
2.14. Distribusi power density untuk tinggi antena 20 m dan 35 m ..…….. 40
2.15. Distribusi power density dengan metode downlitlt VRP antena BTS . 41
2.16. Distribusi power density dengan gain antena yang berbeda ………. 42
3.1. Bagan alir fishbone metode penelitian …….………………………. 44
3.2. Hubungan antar BTS pada model .................................................... 46
3.3. Flowchart rancangan model ……………………………………… 48
3.4. Solusi grafik masalah ……………………………………………… 55
3.5. Hasil perhitungan dengan metoda Branch dan Bound ….…………. 61
4.1. Tiga zona power density pada antena parabolik …………………... 63
4.2. Grafik power density antena operator A untuk GSM 1800 Mhz. …. 67
4.3. Grafik power density antena operator A untuk GSM 900 Mhz. .….. 68
4.4. Grafik power density antena operator B untuk GSM 1800 Mhz. ….. 68
4.5. Grafik power density antena operator B untuk GSM 900 Mhz. ….... 69
4.6. Jarak batas aman power density operator A
pada frekuensi 1800 MHz. ………………………………………… 71
4.7. Jarak batas aman power density operator A
pada frekuensi 900 MHz. ………………………………………….. 72
4.8. Jarak batas aman power density operator B
pada frekuensi 1800 MHz.4.8. ……………………………………… 73
4.9. Jarak batas aman power density operator B
pada frekuensi 900 MHz. ………………………………………….. 73
4.10. Flowchart model yang diperoleh …………………………………. 88
4.11. Flowchart ketentuan yang dipersyaratkan pada model
yang diperoleh ………………………………………………..…… 89
Universitas Sumatera Utara
xii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
A. Hasil Pengukuran Koordinat dan Power Density
BTS Operator A ……………………………………………..……… 113
B. Hasil Pengukuran Koordinat dan Power Density
BTS Operator B …………………………………………………….. 122
C. Data Keluhan Masyarakat yang Tinggal Dekat dengan Antena
BTS di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan baru,
Kota Medan pada Tahun 2012 ………………………………………. 130
D.1. Dua belas Kendala pada Model yang diperoleh
Fischetti et. Al. (2001) ……………………………............................. 135
D.2. Sembilan Kendala pada Model yang diperoleh
Kalvenes et. Al (2005) ……………………………………………….. 138
Universitas Sumatera Utara
xiii
DAFTAR SINGAKATAN
BTS = Base Transceiver Station
BTSL = Base Transceiver Station Location
CA = Coverage Area
CME = Civil, Mecahnical, Electric
CTND = Cellular Topological Network design
EMF = Electromagnetic Field
EMR = Electromagnetic Radiation
FAP = Frequency Assigment Problem
FCA = Frequency Channel Assigment
GPS = Global Positioning System
GSM = Global System for Mobile Communication
ICNIRP = International Commission on Non-Ionizing Radiation
Protection
IMB = Ijin Mendirikan Bangunan
IW = Ijin Warga
KKOP = Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan
LOS = Line of Sight
MILP = Mixed Integer Linear Programming
MS = Mobile Station
OTS = Operator Telepon Selular
PD = Power Density
PLCC = Program Linier Cacah Campuran
RF = Radio Frequency
RJPD = Rancangan Jaringan berbasis Power Density
RTJ = Rancangan Topologi Jaringan
SAR = Spesific Absortion Rate
SIR = Signal to Inteference Ratio
SIS = Site Investigation Survey
SITAC = Site Aquisition
TND = Topological Network Design
TP = Tower Provider
WHO = World Health Organization
Universitas Sumatera Utara
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu kemajuan di bidang teknologi informasi pada dekade 80-an adalah
diciptakannya telepon selular. Tidak dapat dihindari dengan adanya jenis telepon
selular ini telah mengubah kehidupan manusia dan meningkatkan keterhubungan
antara seseorang dengan yang lain tanpa adanya keterbatasan lokasi. Pada tahun
2014, jumlah telepon selular yang aktif di Indonesia sebanyak 281.963.665
(snapshot, Indonesia) dan menurut data World Bank, pada tahun 2014 jumlah
telepon selular yang aktif di Indonesia sebanyak 126 per 100 penduduk
(http://data.worldbank.org/indicator/IT.CEL.SETS.P2), artinya jumlah telepon
selular di Indonesia sebanyak 126 % dari jumlah penduduk Indonesia yang pada
tahun 2014 berjumlah 252 juta penduduk (http://www.bps.go.id) atau sebasar 317,52
juta telepon selular. Hal demikian dapat menimbulkan pertanyaan apakah kemajuan
teknologi seperti ini baik atau buruk. Tidak dapat dipungkiri bahwa telepon selular
pada saat ini telah banyak membantu manusia dan lingkungan, namum bagaimana
dengan radiasi elektromagnetik (electromagnetic radiation, EMR) yang ditimbulkan
oleh perangkat telepon selular ini. Sangat banyak masyarakat menggunakan telepon
seluler untuk keperluan pekerjaan maupun untuk hal-hal lain dimanapun dia berada,
tetapi sangat sedikit sekali orang yang memiliki kepedulian terhadap implikasi
paparan radiasi EMF dari telepon seluler atau dari antena BTS terhadap lingkungan
hidup (Kaushal et al., 2012).
Daerah cakupan pada suatu jaringan seluler (Gambar 1.1) dibagi secara
geografis menjadi sejumlah sel dan topologi jaringannya diatur secara hierarkhi
Universitas Sumatera Utara
2
untuk mengurangi biaya (Chamberland dan Pierre, 2005). Setiap sel dilengkapi
dengan antena Base Transceiver Station (BTS) yang mengandung gelombang radio
sebagai antarmuka udara (air interface) dengan telepon selular. Satu atau lebih BTS
dihubungkan dengan Base Station Controller (BSC) yang memfasilitasi beberapa
fungsi terkait dengan manajemen sumber daya dan mobilitas, demikian pula terhadap
operasi dan pemeliharaan untuk keseluruhan jaringan radio (Operation and
Maintenance, OM). Gelombang radio ini memiliki medan elektromagnetik yang
mengandung medan listrik dan medan magnet. Agar transmisi dari gelombang radio
ini dapat mencapai zona daerah cakupan maka pada umumnya antena BTS dipasang
pada suatu menara (Heriyanto, 2011).
Gambar 1.1. Daerah cakupan BTS
Sinyal medan elektromagnetik (electromagnetic field, EMF) yang
dipancarkan dari antena BTS menimbulkan EMR. Sinyal EMF dari antena BTS
dapat mencakup radius sampai dengan 9 km, tergantung pada besarnya daya yang
dipancarkan antena BTS tersebut. Jumlah BTS sangat tergantung pada jumlah
pemakaian telepon selular (Bikram, 2014). Di kota Medan, misalnya terdapat sekitar
7 (tujuh) operator telepon selular. Data sampai tahun 2012 jumlah antena operator
PT. Telkomsel di kota Medan (inner Medan) sebanyak 976 antena dan operator XL
memiliki antena 2G sebanyak 1.338 antena sedangkan antena 3G sebanyak 2.384
1200
1200
1200
300 300
(a) Omnidireksional (b) Sektoral
Universitas Sumatera Utara
3
antena, sehingga seluruh operator di kota Medan diperkirakan memiliki lebih dari
5.000 antena.
Satu antena BTS digunakan untuk memancarkan sinyal EMF dengan EIRP
(Effective Isotropically Radiated Power) sebesar 200 sampai dengan 1.000 watt
tergantung dari luas daerah cakupan yang akan dicakup. Semakin besar daya yang
dipancarkan maka semakin luas daerah cakupan yang dapat dicakup sinyal tersebut.
1.1.1. Efek negatif terhadap kesehatan masyarakat
Paparan radiasi dari gelombang EMF yang dipancarkan oleh antena BTS ini
dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup apabila telah
melampaui batas ambang yang diperbolehkan, khususnya bagi masyarakat dan
mahluk hidup lainnya yang berada pada daerah cakupan BTS tersebut (Berg-
Beckhoff et al., 2009; Frei et al., 2012; Kaushal et al., 2012; Bikram, 2014; Shahbazi-
Gahrouei et al., 2014; Mederiros dan Sanchez, 2015; Yadav et al., 2015). Tubuh
manusia akan lebih mudah menyerap radiasi EMF karena tubuh manusia
mengandung 70 persen air (Kaushal et al., 2012).
Penelitian yang dilakukan Kumar (2012) menyebutkan adanya ancaman
kanker untuk remaja dan anak-anak karena radiasi gelombang EMF disekitar menara
BTS. Paparan radiasi dari gelombang EMF yang berasal dari antena BTS dapat
meyebabkan masalah bagi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat seperti
resiko tumor otak (Hardell et al., 2001,2005) dan semakin meningkatnya penderita
kanker disekitar BTS (Wolf, 2004). Efek thermal dari paparan radiasi gelombang
EMF dari BTS maupun telepon selular dialami oleh bagian sekitar kepala manusia.
Terjadi peningkatan temperatur dibagian otak manusia, tetapi aliran darah mampu
mengatur terjadinya peningkatan temperatur tersebut dengan meningkatkan aliran
darah. Sedangkan kornea mata tidak memiliki mekanisme tersebut sehingga
Universitas Sumatera Utara
4
mengakibatkan bertambahnya temperatur pada bagian kornea mata (Ministry of
Communications and Information Technology Department of Telecommunications
India, 2010). Hal ini dapat mempercepat terjadinya katarak pada mata (Yadav et al.,
2015). Efek non thermal dari paparan radiasi gelombang EMF terhadap manusia
dapat mengakibatkan kelelahan, tidur terganggu, kesulitan konsentarsi, ingatan yang
berkurang, sakit kepala, jantung berdebar-debar, rasa kesemutan pada kulit kepala,
jumlah dan kualitas sperma yang menurun (Yadav et al., 2015), bangun pagi terasa
lelah, daya ingat yang menurun (Kaushal et al., 2012). Potensi gangguan kesehatan
dalam jangka panjang dapat terjadi pada berbagai sistem tubuh, antara lain sistem
darah, sistem reproduksi, sistem saraf, sistem kardiovaskular, sistem endokrin,
psikologis, dan fisiologis (Anies, 2007; Mahardika et al., 2008). Efek ini secara
signifikan akan berdampak negatif kepada orang-orang yang tinggal dalam radius
300 meter dari BTS, antara lain tendensi depressi, kelelahan otot, pola tidur
terganggu, dan kesulitan konsentrasi (Santini et al., 2002). Kesulitan tidur sering
terjadi pada usia 21 sampai dengan 31 tahun (Felix et al., 2014). Efek negatif lainnya
adalah depresi, sulit berkonsentrasi, masalah cardio vascular (Gerd et al., 2004),
kelelahan otot (Netherlands Organization for Applied Scientific Research, 2003;
Yadav et al., 2015). Pada jarak kurang dari 350 meter dari antena BTS, terjadi
peningkatan kanker terutama pada kaum wanita (Wolf dan Wolf, 2004). Orang yang
tinggal pada jarak sampai dengan 300 meter dari antena BTS akan berbahaya bagi
kesehatan manusia (Mamilus et al., 2012; Felix et al., 2014). Tingkat efek negatif
yang ditimbulkan terhadap suatu penyakit berbeda antara wanita dengan laki-laki
(Tabel 1.1.) demikian juga berbeda untuk golongan usia yang berbeda (Santini et al.,
2003), bahkan orang yang tinggal dalam radius 400 meter dari antena BTS akan
Universitas Sumatera Utara
5
memiliki resiko kanker 3 kali lebih besar dibanding bila jauh dari antena BTS
(Kaushal et al., 2012).
Tabel 1.1. Persentase pengaruh power density dari antena BTS terhadap gender
No. Gejala Laki-laki (%) Wanita (%)
1 Kelelahan 41,4 57,5
2 Lekas marah 17,9 28,3
3 Sakit kepala (headaches) 14,4 45,6
4 Mual 0 5,9
5 Kehilangan nafsu makan 1,9 8
6 Gangguan tidur 45,4 61
7 Kecenderungan depresi 9,8 26,7
8 Merasa tidak nyaman 15 25,4
9 Kesulitan berkonsentrasi 18,4 21,6
10 Sering lupa 18 27,7
11 Masalah kulit 8 13,1
12 Ganguan penglihatan 12,2 22
13 Gangguan pendengaran 9,6 19
14 Pusing (dizziness) 6 9,8
15 Sulit bergerak 3,3 2,7
16 Masalah kardiovaskular 8,3 8,8
17 Menurunkan libido 18 12
Sumber : Santini et al., (2003)
1.1.2. Efek negatif terhadap hewan dan tumbuhan.
Paparan EMF juga akan memiliki efek kepada kehidupan lingkungan lainnya,
oleh sebab itu radiasi gelombang medan elektromagnetik saat ini dimasukkan
sebagai polutan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang disebut
dengan“Electromagnetic Pollution” (Kumar et al., 2013). Radiasi EMF dari antena
BTS juga dapat mengakibatkan ancaman bagi kelangsungan kehidupan populasi
satwa burung dan juga menghilangnya kupu-kupu, lebah dan serangga lainnya dari
habitatnya di sekitar antena BTS (Gavin et al., 2000; Joris dan Birk, 2007; Andrew,
2007). Disebutkan juga bahwa burung-burung kehilangan kemampuan navigasinya
akibat mengalami disorientasi dalam menentukan arah sehingga burung-burung
tersebut salah arah untuk kembali ke sarangnya (Yadav et al., 2015; Goverment of
Universitas Sumatera Utara
6
India Ministry of Communication & Information Technology Department of
Telecommunications, 2010). Radiasi elektromagnetik dari menara BTS
mempengaruhi burung, hewan, tumbuhan dan lingkungan (Goverment of India
Ministry of Communication & Information Technology Department of
Telecommunications, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Vijay et al. (2015)
menyebutkan bahwa sejumlah besar burung seperti merpati, burung pipit, angsa
tersesat karena gangguan dari "musuh yang tak terlihat", yaitu sinyal radiasi EMF
dari menara antena BTS. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa hewan yang
berada di dekat menara BTS rentan terhadap berbagai bahaya dan ancaman terhadap
kehidupan termasuk terjadi aborsi spontan, cacat lahir, masalah perilaku dan
penurunan kesehatan secara keseluruhan. Terlepas dari burung dan hewan, radiasi
elektromagnetik yang berasal dari menara BTS juga dapat mempengaruhi sayuran,
dan tanaman.
1.1.3. Penolakan warga terhadap pembangunan antena BTS.
Beberapa kasus terjadi penolakan warga terhadap pembangunan menara
antena BTS di Indonesia pada lokasi pemukiman masyarakat seperti pada Tabel 1.2.
Dari beberapa kasus keberatan dan penolakan warga pada Tabel 1.2. dapat
disimpulkan bahwa warga disekitar menara BTS khawatir akan efek negatif dari
radiasi EMF terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di dalam radius menara
antena BTS.
Tabel. 1.2. Kasus penolakan warga terhadap pembangunan menara BTS
No. Tanggal Tempat Alasan Keberatan
1 26-03-2008 http://news.detik. com/
Akper Prima
Medan
Keberadaan tower itu dapat menimbulkan radiasi
gelombang elektromagnetik yang dapat berdampak
buruk bagi kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
7
Lanjutan Tabel. 1.2.
No. Tanggal Tempat Alasan Keberatan
2 23-05-2011 bagus@infowonogiri.co
m
Lingkungan Jarum
RT 03 RW 01
Kelurahan/Kecama
tan Sidoharjo
1. Rasa tidak nyaman saat terjadi hujan lebat
disertai angin kencang dana diiringi
halilintar.
2. Menganggu siaran televisi
3. Udara di sekitar menara juga terasa panas.
3 27-05-2011 http://www.infowonogir
i.com/wp-
content/uploads/ 2011/05/
RT 1 RW 13, Desa
Wonokarto,
Kecamatan
Wonogiri
1. Pembangunan menara belum mengantongi
ijin lingkungan.
2. Merasa khawatir keamanan dan kenyamanan
di sekitar menara akan terganggu.
4 13-07-2011 http://www. infowonogiri.com
Wonogiri Ada dua warga yang belum setuju dengan
keberadaan pemancar BTS.
5 10-03-2014 http://citraindonesia.com /diresahkan-tower-
bts-warga-bekasi-
minta-tolong-jokowi/
RT 006/03
Kelurahan
Kaliabang Tengah,
Kec. Bekasi Utara
1. Berada ditengah pemukiman padat penduduk.
2. Dapat mengundang petir
3. Radiasi membahayakan kesehatan warga
4. Roboh akan menimpa rumah disekitarnya.
6 21-03-2014 http://radaronline.co.id/
category/lintas-daerah/
Mahasiswa UMT
di Tangerang
1. Tidak memiliki IMB 2. Dapat berdampak negatif terhadap lingkungan
7 22-05-2014 http://Kabarkota.com
Perumahan Graha
Palem Indah ,
Condong Catur,
Sleman
1. Petir yang bisa merusak barang elektronik
2. Radiasi yang bisa menyebabkan penyakit
3. Jika roboh membahayakan manusia.
8 20-07-2014 http://kedirijaya. com
Dusun Barengan,
Desa Kaloran,
Kecamatan
Ngronggot
1. Dampak radiasi membahayakan kesehatan.
2. Mengganggu sinyal televisi warga.
3. Bahaya petir bagi warga sekitar menara.
4. Bila roboh maka rumah warga akan hancur.
9 3-09-2014 http://tribun-
medan.com
Kel. Bahkapul,
Kec. Siantar
Sitalasari
Dapat membahayakan penduduk setempat karena
dibangun dekat dengan perumahan warga.
10 15-04-2015 http://harianandalas.co
m/kanal-ragam/warga-tolak-pembangunan-
bts-pt-tower-bersama-
group
Jalan Datuk Bandar
Kajum dan
Komplek
Perumahan
Bengawan
IndahTebing
Tinggi
1. Khawatir terjadi atau adanya radiasi terhadap
manusia serta barang elektronik dimiliki
2. Tidak memberikan jaminan kesehatan serta
sosialisasi tentang dampak yang timbul
terhadap antena tersebut kepada masyarakat.
11 30-07-2015 Koran Tribun Medan,
31 Juli 2015
Jln Bunga Raya II
Lingk. I Kel. Asam
Kumbang Kec.
Medan Selayang
1. Radiasi dan tegangannya akan
membahayakan kesehatan warga sekitarnya.
2. Tanpa seijin warga sekitar.
1.2. Formulasi Masalah
Lingkungan yang memiliki resiko paparan secara terus menerus dalam waktu
dan amplituda yang cukup lama adalah rumah sakit, sekolah, dan pemukiman
Universitas Sumatera Utara
8
penduduk, sehingga tata letak atau topologi jaringan antena BTS yang berdekatan
dengan lingkungan tersebut harus menjadi regulasi dalam rencana pembangunan
antena BTS. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ketentuannya dimuat pada
UU No. 26 Tahun 2007 mengatur bahwa rencana tata ruang wilayah yang
diantaranya memuat rencana struktur ruang, yang mencakup rencana sistem
perkotaan dan rencana sistem jaringan prasarana utama (transportasi, energi dan
kelistrikan, telekomunikasi, dan sumber daya air). Pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 sebagai amanat UU 26 Tahu 2007 yang
menetapkan RTRW Nasional, tetapi tidak menyinggung dan mengatur tentang
penempatan sebuah menara antena BTS. Demikian juga Perda Kota Medan No. 13
Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031
tidak menyinggung dan mengatur tentang penempatan menara antena BTS. Perda
RTRW kota Medan ini dalam strateginya menyebutkan peningkatan kualitas dan
jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan
sumber daya air yang terpadu serta merata di seluruh kawasan, yang salah satunya
meliputi mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi. Dalam Perda Kota
Medan, salah satu rencana struktur ruang wilayah kota meliputi rencana sistem
jaringan telekomunikasi. Pasal 26 menyebutkan bahwa sistem jaringan
telekomunikasi bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat dan dunia usaha
terhadap layanan telekomunikasi yang meliputi sistem kabel, sistem nirkabel, dan
sistem satelit, yang terdiri atas :
a. Rencana pengembangan infrastruktur dasar telekomunikasi berupa jaringan tetap
lokal, sambungan langsung jarak jauh, sambungan internasional dan tertutup serta
penempatan lokasi pusat automatisasi sambungan telepon di CBD (Central
Business District) Polonia.
Universitas Sumatera Utara
9
b. Rencana penataan penempatan menara telekomunikasi Base Transceiver Station
(BTS) secara terpadu.
c. Rencana peningkatan pelayanan jaringan telekomunikasi di wilayah kota.
Pasal 56 ayat (2) pada tahap kedua diprioritaskan pada pengembangan dan
pemantapan jaringan telekomunikasi meliputi jaringan tetap dan bergerak. Pasal
26 butir b di atas dimaksudkan hanya penataan penempatan menara BTS secara
terpadu, yang artinya menggunakan menara bersama, tetapi tidak mengatur
penempatan BTS pada lokasi yang berbasis terhadap kepentingan yang ramah
terhadap lingkungan.
Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Kominfo Nomor :
02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan
Menara Bersama Telekomunikasi, dalam konsiderannya menyebutkan harus
memperhatikan faktor keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan estetika
lingkungan tetapi dalam keputusannya tidak ada pasal yang menyangkut
perlindungan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Demikian juga pada Surat
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri (No. 18 Tahun 2009), Menteri Pekerjaan
Umum (No. 07/PRT/M/2009), Menteri Komunikasi dan Informatika (No. 19/PER/
M.KOMINFO/03/2009), dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (No.
3/P/2009) tidak terdapat pada konsideran maupun pada pasal-pasal keputusan yang
menyangkut perlindungan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.
Regulasi yang dikeluarkan pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri
Komunikasi dan Informatika maupun melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 3
menteri tentang peraturan menara bersama bahwa menara BTS dibangun oleh
perusahaan yang khusus bergerak dibidang usaha pendirian menara. Menara yang
dibangun tersebut harus dapat digunakan oleh beberapa perusahaan operator telepon
Universitas Sumatera Utara
10
selular dengan sistem sewa, artinya menara BTS tersebut digunakan secara bersama-
sama (collocation) oleh beberapa operator telepon selular (tower sharing). Peraturan
tersebut mengharuskan setiap menara menampung beberapa antena dari operator
yang berbeda, sehingga banyak terdapat antena dalam sebuah menara. Hal ini akan
menambah besarnya EMR yang dipancarkan dari menara BTS tersebut, karena akan
terjadi akumulasi EMR (ITU K70, 2007) dari beberapa antena. Hal ini akan
menimbulkan efek negatif yang lebih besar bagi lingkungan hidup dan masyarakat
yang berdiam disekitarnya.
Pada awal adanya industri telepon selular, ijin regulasi pembangunan menara
hanya IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dan beberapa rekomendasi KKOP
(Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan) jika lokasi yang di tentukan radio
planning operator berdekatan dengan bandar udara. Namun sejak menjamur dan
tidak tertatanya pembangunan menara BTS yang terkesan menjadi hutan menara dan
keluhan dari pemerintah kabupaten/kota, maka terbitlah SKB 3 menteri dan
peraturan turunannya di tingkat kabupaten/kota seluruh Indonesia. Dalam semangat
penataan menara ini ijin regulasinya melebar menjadi ijin prinsip dan rekomendasi
cell plan. Cell plan sendiri di beberapa kabupaten/kota di buat guna penataan dan
pengendalian pembangunan menara di suatu kabupaten/kota. Adanya cell plan
dimaksudkan agar radio planning titik menara tidak asal berdiri. Pemkab/pemkot
dalam pelaksanaannya juga menerbitkan retribusi pengendalian menara 2,5 % tiap
tahun yang di atur dalam SKB 3 menteri tersebut. Namun seiring realita kebutuhan
mengatasi kemacetan lalulintas komunikasi data/suara diperkotaan dan pemenuhan
order dari operator kepada Tower Provider (TP), ketentuan cell plan yang sudah di
buat tidak jarang di abaikan dan di jadikan “transaksi” agar ijin regulasi pendirian
menara bisa di dapatkan. Meski operator menyewa menara dari para TP, tetapi
Universitas Sumatera Utara
11
terkadang TP tetap diminta oleh operator tentang kelengkapan ijin dari pemerintahan
setempat agar tidak ada gangguan dalam proses “jualan” sinyal mereka. Akibat
dilema proses perijinan menara antena BTS tersebut, membuat pengaturan menara
bersama yang sudah di buat SKB nya tersebut tidak “bergigi” Sebab kepentingan
industri yang lebih di utamakan dengan mengedepankan kebutuhan komunikasi
masyarakat tanpa memperhatikan perlindungan lingkungan hidup dari paparan EMF
dengan power density yang dapat melebihi nilai batas ambang (4.5 watt/m2 untuk
frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.). Dalam jangka
panjang perihal kesemerawutan tata letak menara dan perlindungan kesehatan
masyarakat akan jadi bom waktu bagi semua stake holder yang harus di carikan
solusi bersama, diantaranya :
1. Dari sisi pemerintah dan masyarakat harus segera ditemukan sebuah model untuk
menentukan lokasi menara antena BTS yang sesuai dengan tata ruang dan bebasis
perlindungan terhadap lingkungan hidup termasuk di dalamnya kesehatan
masyarakat.
2. Dari sisi para TP, tentu mereka ingin hubungan komunikasi dapat diandalkan
sehingga secara ekonomi dapat menguntungkan TP.
Secara realita di kota Medan, letak lokasi antena BTS tersebar dimana-mana
tanpa memperhatikan faktor yang dipersyaratkan pada kondisi setempat. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan apabila dikatakan bahwa telah tumbuh hutan menara
BTS di kota Medan. Hal demikian ini dapat terjadi karena tidak adanya rancangan
terpadu dalam membangun antena BTS, oleh sebab itu perlu dilakukan sebuah
jaringan antena BTS di kota Medan yang ramah terhadap lingkungan dengan
membuat sebuah model topologi jaringan antena BTS di kota Medan. Perencanaan
sel merupakan bagian yang sangat mendasar dari proses rancangan jaringan selular
Universitas Sumatera Utara
12
(Singh dan kaur, 2013). Teknik baku yang dapat membantu untuk melokasikan
jumlah optimal sel di zona tertentu tidak ada, hal ini disebabkan lokasi pemakai yang
tidak seragam dan fluktuasi trafik telepon (Singh dan Sengupta, 2012). Tujuan utama
perencanaan topologi pemilihan letak BTS adalah memaksimumkan cakupan dengan
memperhatikan hal-hal yang mendasar, misalnya permintaan trafik untuk mencakup
daerah tertentu, ketersediaan tempat BTS, ketersediaan kapasitas saluran di setiap
BTS dan kualitas layanan pada Traffic Demand Area (TDA) yang potensial dan yang
terpenting adalah perlindungan lingkungan hidup pada daerah cakupan antena BTS.
Pada awal konsep selular diajukan, lokasi menara antena BTS biasanya
dipilih bersesuaian dengan pola pemakaian regular. Dengan semakin bertumbuhnya
teknologi selular, semakin tinggi pula kepentingan operator selular untuk memiliki
suatu jaringan yang tidak hanya lebih baik dalam hal kualitas pelayanan dari pada
pesaing tapi juga dapat memberikan keuntungan lebih tinggi. Biaya terkait dalam
pengadaan jaringan dan kualitas pelayanan yang ditawarkan berbanding langsung
dengan jumlah BTS yang diinstalasi. Semakin banyak BTS semakin tinggi biaya
namun semakin baik cakupan (Tutschku, 1998).
Dari uraian tersebut, jelas bahwa kota Medan memerlukan rancangan
topologi penempatan jaringan antena BTS. Rancangan ini bukan saja dibutuhkan
untuk kepentingan pemerintah kota tetapi juga terkait di dalammnya kepentingan
lingkungan hidup dan operator. Penelitian ini memfokuskan pada pembuatan
rancangan topologi jaringan antena BTS yang kualitas pelayanan terhadap pelanggan
tinggi, biaya yang dikenakan terhadap operator minimum dan pengaruh terhadap
lingkungan hidup yang minimum. Seperti yang telah diutarakan terdahulu bahwa
radiasi yang dipancarkan oleh BTS dapat memberikan akibat buruk terhadap
lingkungan hidup yang didalamnya tercakup kesehatan manusia. Oleh karena itu
Universitas Sumatera Utara
13
ramah lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini berkaitan dengan lokasi
penempatan BTS dan batas power density yang aman bagi lingkungan hidup.
Penelitian ini mengajukan Rancangan Topologi Jaringan (RTJ) antena BTS
untuk telekomunikasi selular yang didalamnya tercakup penentuan lokasi BTS
(BTSL), frequency channel assigment (FCA), rancangan jaringan berbasis power
density (RJPD) untuk perlindungan lingkungan hidup.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh model topologi antena BTS
di kota Medan yang aman bagi lingkungan hidup termasuk di dalamnya kesehatan
masyarakat yang berada dalam radius daerah cakupan antena BTS.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dijadikan regulasi oleh pemerintah kota
Medan sebagai model dalam menata topologi menara BTS, baik yang dimiliki oleh
operator telepon selular maupun yang dimiliki oleh tower provider di kota Medan,
sehingga nantinya diharapkan dapat melindungi hal yang lebih penting yaitu
perlindungan lingkungan hidup.
1.5. Hasil Keluaran yang diharapkan (Novelty)
Power density gelombang EMF pada daerah cakupan antena BTS selalu
berada di bawah nilai ambang batas sehingga lingkungan hidup khususnya
masyarakat pada daerah cakupan BTS tersebut terhindar dari bahaya radiasi EMF
antena BTS.
1.6. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir pada penelitian ini disusun berdasarkan permasalahan dan
kerangka konsep untuk menghasilkan sebuah novelty seperti pada Gambar 1.2.
Universitas Sumatera Utara
14
Gambar 1.2. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dibangun didasarkan kepada beberapa hal yaitu :
1. Dampak negatif dari EMR yang melebihi nilai ambang batas terhadap manusia.
2. Realita implementasi dan banyaknya antena BTS di kota Medan yang dibangun
tanpa memperhatikan koordinat menara yang berdekatan dengan lingkungan
hidup khususnya masyarakat yang berdiam disekitarnya (dampak negatif
terhadap kesehatan).
3. Tidak ada peraturan daerah ataupun peraturan pemerintah yang mengatur tata
letak antena BTS yang berdekatan dengan lingkungan hidup.
Antena BTS
Gel. EMF
Efek pada manusia
Fisiologis Psikologis
Non Thermal Thermal
Kota Medan, ± 5.000 antena BTS - Permen Kominfo No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 -SKB 3 Menteri (Menara Bersama) - Perda Kota Medan No. 13 Tahun
2013tentang RT/RW Kota Medan T e m p a t : Diatas Gedung/Ruko (Roof Top) Diatas Tanah Penduduk (Green Field) Menara Rumah Ibadah (Kamuflase)
Lokasi
Pemukiman
P. Perbelanjaan
Rumah Sakit
Sekolah
Rumah Ibadah
Power Density Mitigasi Menara BTS
Model Matematis dari
Topologi antena BTS Batas Ambang
BTSL
FCA
Efek pada hewan Efek pada tumbuhan
Universitas Sumatera Utara
15
4. Lokasi antena BTS di kota Medan yang berada di pemukiman penduduk, rumah
sakit, sekolah, dan rumah ibadah.
5. Tempat berdirinya menara BTS berada di atas atap rumah atau gedung (roof
top), di atas tanah (green field), dan menara rumah ibadah (kamuflase).
6. Menara bersama yang digunakan oleh beberapa operator telepon selular
menempatkan antenanya pada menara yang sama sehingga terjadi akumulasi
gelombang EMF yang terpapar pada radius pancar antena tersebut.
7. Batas ambang power density (PD) yang aman terhadap manusia (4,5 watt/m2
untuk frekuensi 900 Mhz, dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1800 Mhz.)
8. Mitigasi lokasi antena BTS (BTSL)
9. Menjamin koneksitas komunikasi mobile station (FCA)
10. Biaya pembangunan dan instalasi yang minimal
1.7. Batasan Masalah
Ruang lingkup dari perencanaan suatu jaringan telepon seluler sangat luas
dan meliputi banyak faktor, sehingga perlu dibuat batasan masalah pada disain
topologi antena BTS yang dilakukan ini yaitu :
1. Jenis menara antena BTS adalah macro cell untuk aplikasi outdoor.
2. Pemodelan hanya meliputi FCA, BTSL, dan PD.
3. Pengukuran besaran power density di lokasi BTS tanpa memperhatikan terjadinya
akumulasi radiasi EMF dari pemancar lain atau tidak.
4. Tidak melakukan observasi dan pendataan efek EMR terhadap kesehatan
masyarakat di kota Medan karena membutuhkan waktu yang cukup lama.
Universitas Sumatera Utara
16
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jaringan Telepon Seluler
Sebuah jaringan komunikasi telepon selular GSM pada dasarnya (Smith dan
Collins, 2007) terdiri dari Mobile Station (MS), Base Transceiver Station (BTS),
Base Station Controller (BSC), dan Mobile Switching Center (MSC). Pada saat
berlangsung komunikasi, MS mengirim dan menerima sinyal ke dan dari BTS. BSC
mengontrol BTS dalam memproses bentuk panggilan, operation and maintenance
(O&M) dan menyediakan interface antara BSS dan MSC (A-interface). Sedangkan
fungsi utamanya adalah mengatur kanal radio dan mentransfer sinyal informasi dari
dan ke MS. BSC juga dapat berfungsi sebagai hub yang menghubungkan BTS
dengan BTS lainnya, atau BTS dengan switch. BTS menyediakan kanal radio (RF-
carriers) untuk suatu area cakupan. Kanal RF digunakan untuk hubungan antara MS
dan BSS (Air-interface). BTS mengandung transceiver radio yang menangani
sebuah sel dan hubungan dengan MS dengan menggunakan FCA seperti pada
Gambar 2.1.
sumber : Sanguthevar and Naik (2015)
Gambar 2.1. FCA pada sebuah jaringan telepon seluler
Universitas Sumatera Utara
17
Komunikasi antara BTS dengan MS maupun sebaliknya dilakukan melalui
media transmisi udara dengan menggunakan gelombang radio sebagai media untuk
menyampaikan informasi berupa sinyal yang mengandung medan elektromagnetik
atau yang disebut dengan EMF (Electromagnetic Field) dengan besar daya yang
dipancarkan antena BTS antara 20-40 watt pada GSM 900 (Mamilus et al., 2012).
MSC merupakan inti dari jaringan GSM, fungsinya untuk menghubungkan MS
dengan pelanggan PSTN (Public Switched Telephone Network) atau ke MS lainnya.
MSC berfungsi sebagai switch yang menghubungkan BTS dengan BTS lainnya
dalam area MSC yang berbeda, atau menghubungkan BTS dengan fixed telepon pada
PSTN.
2.2. Frequency Channel Assignment (FCA)
Keberhasilan suatu hubungan komunikasi melalui telepon merupakan hal
yang sangat penting dan menjadi prioritas pertama, bila keberhasilan semakin tinggi
maka kegagalan panggilan akan semakin kecil, artinya komunikasi akan semakin
baik bila kegagalan panggilan semakin kecil (Gupta et al., 2012). Dalam dunia
telekomunikasi tingkat kegagalan ini disebut dengan Grade of Service (GOS),
sebagai contoh bila sebuah jaringan telepon memiliki GOS sebesar 2% artinya dalam
100 panggilan terjadi kegagalan panggilan sebanyak 2 panggilan. Kegagalan ini
disebabkan karena tidak adanya saluran yang dapat menerimanya.
Perlu diperhatikan bahwa penempatan BTS harus dapat melayani lalu lintas
permintaan dalam daerah cakupan BTS tersebut, berarti BTS harus menerima
sejumlah tertentu spektrum frekuensi. Dalam sistem selular yang berbasis teknologi
akses medium seperti Time Division Multiple Access (TDMA) dan Frequency
Division Multiple Access (FDMA) (Rappaport, 1966; Tanenbaum, 2011), spektrum
Universitas Sumatera Utara
18
frekuensi yang tersedia dibagi diantara BTS oleh frequency chnannel (FC). Pada saat
spektrum frekuensi berkurang, frequency channel assigment (FCA) mencoba untuk
melayani permintaan jalur dari setiap BTS dan mempertahankan kualitas koneksi
dengan memperhatikan tingkat interferensi.
Smith et al. (1998) mengajukan model pewarnaan graph untuk
menyelesaikan persoalan FCA ini, namun cara demikian ini tidak dapat dipakai
untuk persoalan berskala besar (Garey dan Johson, 1979). Beberapa peneliti seperti
Floriani dan Mateus (1997), dan fischetti et al. (2003) mengajukan model program
linier cacah. Perbedaan utama dalam model yang mereka ajukan adalah pada kendala
interferensi.
Keberhasilan komunikasi melalui telepon ini sangat dipengaruhi oleh
Frequency Channel Assignment (FCA) yang diberikan kepada setiap sel dalam BTS
untuk melayani permintaan panggilan. Sementara jumlah FCA sangat tergantung
dari rentang frekuensi yang terbatas sehingga menurut Xu Ye et al. (2015),
pengendalian sel dan penjadwalan kestabilan maksimum dari jaringan sel harus
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh jumlah frekuensi (FCA) maksimum
tanpa ada interferensi (Moradi, 2010), dengan demikian diperoleh penggunaan
frekuensi yang optimal (minimum). Sedangkan Moradi et al. (2010) melakukan
pengaturan FCA dengan algoritma dalam dua tahap yaitu tahap FCA yang tetap dan
tahap FCA dengan neural network, solusi yang diperoleh mendekati optimal.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Ngo et al. (1998), model yang dihasilkannya
untuk menghindari terjadinya konflik diantara FCA yang digunakan, maka dibuat
FCA seminimum mungkin dengan NP-hard memenuhi persyaratan permintaan
trafik telekomunikasi. Pendekatan ini terdiri dari genetic-fix algorithm dan
manipulasi secara individual dengan ukuran tetap.
Universitas Sumatera Utara
19
Montemanni dan Smith (2010) mengelola FCA pada jaringan telepon seluler
dengan melakukan pemisahan frekuensi antar saluran untuk menghindari terjadinya
interferensi, tetapi pemisahan yang tidak perlu akan dapat mengakibatkan
kebutuhan/kelebihan spektrum, jadi menurut Montemanni dan Smith akan lebih baik
meminimalkan interferensi dan spektrum yang diperlukan dan ini dilakukan dengan
menggunakan algoritma tabu search. Sedangkan menurut Smith et al. (1997), untuk
meminimalkan terjadinya interferensi antar saluran dengan tingkat keberhasilan
hubungan komunikasi yang tinggi, makan dilakukan memodelkan FCA dengan
menggunakan nonlinear integer programming sebagai representasi baru dari static
channel assignment (SCA). Hal ini dilakukan dilakukan dengan menggunakan dua
model neural network yang berbeda, pertama menggunakan jaringan Hopfield dan
yang kedua menggunakan new neural network yang mampu mengorganisir diri
sendiri untuk memecahkan masalah FCA. Rajasekaran et al. (2015) menggunakan
algoritma pewarnaan untuk penetapan frekuensi FCA agar satu saluran dengan
saluran lainnya tidak terjadi interferensi, sedangkan Wang et al. (2002)
menggunakan algoritma genetic dari Ngo dan Li untuk FCA guna memenuhi
permintaan panggilan pada saluran yang terjadi dari tingkat gangguan interferensi
yang minimal. Menurut Pasapoor dan Bilstrup (2013) masalah FCA dapat
diselesaikan dengan metode ant colony optimization (ACO) sebagai sebuah metode
untuk memperoleh efesiensi FCA dengan interferensi minimal. Alokasi kanal
berbasis ACO ini memungkinkan untuk tidak tergantung terhadap jumlah cluster.
2.3. Lokasi BTS
Menetukan lokasi pembangunan sebuah menara antena BTS ditentukan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah radio planning operator, ketersedian lahan, ijin
Universitas Sumatera Utara
20
warga (Community Permit), dan regulasi pemerintah. Antena BTS harus ditempatkan
sedemikian rupa sehingga dapat mencakup daerah geografis yang memenuhi kualitas
layanan pemakai telepon selular. Namun pada umumnya dalam pemodelan BTSL
diformulasikan dengan meminimumkan biaya koneksi yang mencakup biaya
instalasi dan peralatan . Dalam beberapa literatur seperti, George dan Laurence
(1988), Mirchandani dan Francis (1990), dan Rappaport (1996) dapat diperoleh
secara rinci tentang optimasi jaringan. Model PLCC (Program Linier Cacah
Campuran) yang berkenaan dengan BTS diajukan oleh Mathar dan Niessem (2000).
Model tersebut menentukan optimalisasi lokasi base station untuk jaringan radio
seluler yang dapat dibuat sebagai masalah optimasi matematika, tergantung pada
kebijakan penetapan saluran, minimalisasi gangguan atau saluran yang diblokir.
Masing-masing memiliki keuntungan. Optimalisasi diformalkan sebagai program
linier integer dan pada optimasi ini digunakan teknik simulasi annealing sebagai
optimasi perkiraan .
Fischetti et al. (2001) menghasilkan sebuah model optimasi interkoneksi
jaringan pada sistem telepon seluler UMTS (Universal Mobile Telecommunications
Service) dengan menggunakan mixed integer linear programming yang dalam
prosedur mencari solusinya menggunakan branch and cut untuk memperoleh batas
bawah. Setiap BTS dikoneksikan melalui node inti yaitu CSS (Cell Site Switch) dan
setiap CSS dikoneksikan ke dalam jaringan melalui LE (Local Exchange) seperti
pada Gambar 2.2.
Ilustrasi dari sebuah arsitektur UMTS adalah seperti pada Gambar 2.2. dimana
terdapat 2 LE dan 4 CSS yang aktif dengan arsitektur tipe star untuk melayani 16
buah BTS.
Universitas Sumatera Utara
21
Gambar 2.2. Arsitektur UMTS tipe bintang 3 level
Biaya yang diperkirakan untuk merealisasikan koneksi jaringan tersebut adalah :
1. Biaya untuk BTS :
a. Biaya peralatan,
b. Biaya koneksi aktual yang tergantung melalui CSS atau LE, biaya ini
diasumsikan linier dengan jumlah modul yang digunakan.
2. Biaya untuk CSS :
a. Biaya perencanaan, tergantung dari jenis peralatan dan lokasi
b. Biaya koneksi, tergantung hubungan dengan LE, biaya ini linier dengan jumlah
modul yang digunakan.
3. Biaya untuk LE
a. Biaya perencanaan yang tergantung pada lokasi
Model yang diperoleh Fischetti et al. (2001) untuk meminimalkan koneksi jaringan
tersebut adalah :
LE aktif
CSS aktif
BTS aktif
LE tdk aktif
CSS tdkaktif
CSS LE
BTS
Universitas Sumatera Utara
22
∑ ∑ 𝑓𝑗𝐶𝑆𝑆−ℎ𝑦𝑗
𝐶𝑆𝑆−ℎ + ∑ 𝑓𝑘𝐿𝐸𝑦𝑘
𝐿𝐸 + ∑ ∑(𝑐𝑖𝑗𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆𝑒𝑖
𝐵𝑇𝑆 + 𝑓𝑖𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆)𝑥𝑖𝑗
𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆
𝑚
𝑗=1
𝑛
𝑖=1
𝑝
𝑗=1ℎ=1,2
𝑚
𝑗=1
+ ∑ ∑(𝑐𝑖𝑘𝐵𝑇𝑆−𝐿𝐸
𝑝
𝑘=1
𝑒𝑖𝐵𝑇𝑆 + 𝑓𝑖
𝐵𝑇𝑆−𝐿𝐸) 𝑥𝑖𝑘𝐵𝑇𝑆−𝐿𝐸 + ∑ ∑ 𝑐𝑗𝑘
𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸
𝑝
𝑘=1
𝑚
𝑗=1
𝑛
𝑖=1
𝑧𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸
dengan memenuhi ketentuan-ketentuan berupa 12 kendala seperti pada Lampiran
D.1.
Semua variabel dengan situasi yang tidak layak seperti koneksi yang terlalu
lama ditetapkan sebagai nol dan dikeluarkan dari model, dan ukuran minimal pada
model Fischetti ini adalah berdasarkan dengan lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk terkoneksi.
Mixed integer programming juga digunakan oleh Yoshihiro dan Xu (2010)
untuk optimasi topologi dengan menggunakan optimasi topologi Robust truss yang
didesain untuk beban eksternal yang tidak dapat diprediksi sebelumnya atau beban
dalam ketidakpastian, tetapi model ini sulit dilakukan untuk skala besar.
Menurut Zdunek dan Ignor (2010) masalah menentukan lokasi BTS yang
optimal, pembawa daya (pilot power), dan channel assignment pada jaringan
telepon seluler UMTS merupakan masalah NP-hard. Oleh karenanya algoritma
optimasi mateheuristik banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah optimasi
topologi antena BTS, akan tetapi mereka menggunakan sebuah algoritma yang relatif
baru yaitu algoritma Invasive Weed Optimazation (IWO) yang sukses pada beberapa
aplikasi. Algoritma ini lebih baik dibandingkan dengan algoritma Evolutionary
Strategies (ES) dan Genetic Algorithm (GA) untuk optimasi jaringan telepon seluler
UMTS, akan tetapi model yang dihasilkan tidak mencakup optimasi channel
assignment. Sedangkan Kalvenes et al. (2005) membuat sebuah model untuk
menentukan sebuah lokasi menara antena BTS dan service assignment pada
Universitas Sumatera Utara
23
jaringan telepon seluler teknologi W-CDMA (Wideband Code Division Multiple
Access). Selain pemilihan lokasi menara BTS juga dilakukan analisis permintaan
pelanggan, dan jaminan kualitas pelayanan yang diukur berdasarkan sinyal-to-noise
ratio (S/N). Pemilihan lokasi menara antena BTS untuk melayani sejumlah
pelanggan pada coverage area dilakukan dengan biaya minimal dan keuntungan
yang besar. Model yang dihasilkan oleh Kalvenes et al. (2005) untuk memperoleh
keuntungan yang maksimal adalah sebagai berikut :
𝑟 ∑ ∑ 𝑥𝑚𝑙
𝑙𝐶𝑚
− ∑ 𝑎𝑙𝑦𝑙
𝑙𝐿𝑚𝑀
pendapatan biaya
dengan sembilan kendala seperti pada Lampiran D.2.
Model yang dihasilkan Kalvenes et al. (2005) ini adalah sebuah model topologi
menara BTS yang menghasilkan keuntungan yang besar dengan biaya minimal dan
jaminan kualitas layanan yang diukur berdasarkan SIR (Signal to Interference Ratio).
Beberapa penelitian terdahulu, telah banyak aspek dari keseluruhan persoalan
rancangan jaringan yang mengacu pada sejumlah metode operasi riset yang terkenal
(operations reserach). Metode ini antara lain partisi graph (Merchant dan Sengupta,
1994; Merchant dan Sengupta, 1995), atau persoalan lokasi p-fixed hubs (Kapov dan
Kapov, 1994; Alumur dan Kara, 2008). Singh dan Kaur (2013) mengajukan
pendekatan heuristic koloni lebah untuk lokasi BTS. Munene dan Kiema (2014)
mempergunakan Geographic Information System (GIS). Namun penelitian-
penelitian tersebut mengajukan rancangan topologi jaringan antena BTS hanya
berfokus pada meminimkan biaya. Rancangan topologi antena BTS yang
Universitas Sumatera Utara
24
memfokuskan pada penghematan pemakaian energi, biaya operasi dan emisi CO2
diajukan oleh Diamantoulakis dan Karagiannidis (2013).
2.4. Radiasi Gelombang EMF
Gelombang EMF merupakan gelombang transversal, terbentuk dari medan
magnet dan medan listrik yang bergetar dalam arah yang saling tegak lurus (hukum
Faraday). Gelombang ini merambat dengan kecepatan yang nilainya ditentukan oleh
dua besaran yaitu permitivitas listrik dan permeabilitas magnetik. Kecepatan
rambatnya dalam ruang hampa udara mendekati 3 x 108 m/s. Frekuensi dari
setiap spektrum sumber gelombang elektromagnetik memiliki rentang frekuensi
yang berbeda-beda, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Rentang frekuensi spektrum gelombang EMF
Spektrum Frekuensi (Hz.)
Sinar Gamma 1019 - 1025
Sinar X 1016 - 1020
Sinar Ultraviolet 1015 - 1018
Sinar Tampak 4 x 1014 – 7,5 x 1014
Sinar Infra Merah 1011 - 1014
Gelombang Radio 104 - 1012
Besar energi yang diradiasikan oleh suatu spektrum gelombang EMF,
menurut Planck akan memenuhi persamaan,
E = hv (joule) (2.1)
dimana,
h = konstanta Planck = 6,62 x 10-34 Js,
v = frekuensi dari gelombang EMF (Hz).
Energi yang diradiasikan oleh gelombang EMF akan diterima oleh benda-
benda disekitarnya. Intensitas radiasi yang diterima oleh benda-benda tersebut
bervariasi tergantung posisi benda tersebut dari sumber radiasi, intensitas radiasi
EMF ini disebut dengan power density yang diukur dalam satuan watt/m2.
Universitas Sumatera Utara
25
2.4.1. Power density
Power density adalah besarnya daya dari EMF yang melewati luas area 1
meter persegi dalam satuan watt/m2 seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Power density
Secara matematis, intensitas dari power density (PD) dirumuskan sebagai berikut :
= Pr
A (watt/m2) (2.2)
dimana,
= power desity, besar intensitas radiasi (W/m2),
Pr = besar daya yang diterima (W) dan,
A = luas permukaan yang terkena radiasi (m2).
Jika radiasi tersebut bersifat omnidirectional, maka intensitas radiasi yang
diterima akan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara benda yang menerima
radiasi dengan sumber radiasi, ~ 1
𝑟2. Semakin jauh jarak dengan sumber, maka
intensitas radiasi akan semakin berkurang, semakin dekat dengan sumber radiasi
maka intensitas yang diterima akan semakin besar. Intensitas radiasi atau yang
disebut dengan power density () dapat juga dikatakan sebagai besarnya daya yang
diterima pada satu titik per meter kuadrat yang dinyatakan dengan rumus berikut :
=E2
377 = 377 𝐻2 (2.3)
dimana, E = kuat medan listrik (V/m)
1m
Power
1
1
1
Power density W/m2
1m
1W
Universitas Sumatera Utara
26
L
H = kuat medan magnet (A/m)
377 = impedansi pada ruang bebas (Ω)
Untuk pola radiasi horisontal omnidirectional pada antena vertikal (Gambar
2.4), power density dirumuskan (Marshall and Skitek, 1990) sebagai berikut :
=𝑃𝑡
2𝜋𝑅𝐿 𝑤𝑎𝑡𝑡/𝑚2 (2.4)
dimana R = Jari-jari coverage area (m)
L = Tinggi antena (m)
Gambar 2.4 Pola Radiasi Omnidirectional untuk
antena Vertikal
Untuk pola radiasi dari sebuah titik sumber radiasi dengan pola radiasi
spherical (Gambar 2.5.) dinyatakan dengan rumus berikut (ITU-R2005):
=𝑃𝑡 𝐺
4𝜋𝑅2 𝑤𝑎𝑡𝑡/𝑚2 (2.5)
dengan Pt = besarnya daya pada pemancar (W)
G = gain atau penguatan antena (dB)
R = radius coverage area (m)
Gambar 2.5. Pola radiasi spherical bersumber
dari satu titik pancar
Besarnya paparan radiasi yang diserap oleh tubuh manusia dinyatakan dengan
SAR (Spesific Absortion Rate) yang dinyatakan dengan rumus berikut :
𝑆𝐴𝑅 = 𝜎 |𝐸2|
𝑘 (2.6)
dimana,
σ = Conductivity (s/m)
k = Kerapatan massa (Kg/m3)
E = Kuat medan listrik (V/m)
Antena
L
R
R R
Universitas Sumatera Utara
27
Secara garis besar, radiasi total yang diserap oleh tubuh manusia tergantung
dari beberapa hal, diantaranya :
1. Frekuensi dan panjang gelombang elektromagnetik
2. Polarisasi EMF
3. Jarak antara badan dan sumber radiasi EMF
4. Sifat-sifat elektrik tubuh, sangat tergantung pada kadar air di dalam tubuh,
radiasi akan lebih banyak diserap pada media dengan konstanta dielektrik
tinggi seperti otak, otot dan jaringan lainnya dengan kadar air tinggi.
Setiap sinyal yang dipancarkan melalui antena pemancar BTS dari operator
telepon selular akan menghasilkan EMF. Penerima yang menggunakan telepon
selular yang berada pada suatu titik tertentu akan terpapar radiasi EMF yang berasal
dari BTS dan juga yang berasal dari telepon selular itu sendiri. Besarnya dapat diukur
dengan besaran PD dan radiasi yang diserap oleh tubuh dinyatakan dengan SAR.
Besarnya PD dan SAR diharapkan tidak melampaui nilai ambang batas yang
ditetapkan oleh ICNIRP (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 Mhz. dan 9 watt/m2 untuk
frekuensi 1800 Mhz.) karena akan dapat menimbulkan efek negatif terhadap
lingkungan hidup khususnya kesehatan manusia (efek psikologi dan fisiologis).
Secara garis besar hubungan tersebut dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.6.
=PtGt
4πR2 → =E2
377≈ 377 H2 → SAR =
σ |E2|
k
Gambar 2.6. Paparan radiasi EMF dari antena BTS terhadap manusia
Pt = Daya yang pemancar (watt)
Gt = Gain antena
E = Kuat medan listrik (V/m)
H = Kuat medan magnet (A/m)
σ = Conductivity (s/m)
k = Kerapatan massa (Kg/m3)
Universitas Sumatera Utara
28
2.4.2. Pengaruh gelombang EMF terhadap lingkungan hidup
Gelombang EMF yang dipancarkan oleh BTS mempunyai dampak negatif
terhadap lingkungan hidup terutama yang berada pada daerah cakupan antena BTS.
2.4.2.1. Pengaruh gelombang EMF terhadap kesehatan manusia
Secara garis besar radiasi gelombang elektromagnetik dibagi 2 (dua)
kelompok (The International EMF Project, May 1998) yaitu. :
1. Radiasi peng-ion (ionisasi)
2. Radiasi tidak peng-ion (non-ionisasi).
Perbedaan antara kedua kelompok radiasi gelombang elektromagnetik
tersebut terletak pada kemampuan radiasi gelombang elektromagnetik untuk
mengionisasi molekul, secara garis besar perbedaan tersebut adalah :
1. Kelompok gelombang elektromagnetik ionisasi dapat mengionisasi molekul
sehingga apabila terkena tubuh manusia, maka dapat menyebabkan efek akut
dan kronis. Efek akut yang terjadi dapat menyebabkan sindrom saraf pusat,
mual dan ingin muntah, tidak enak badan dan lesu, meningkatnya suhu tubuh
manusia. Sedangkan efek kronisnya dapat menyebabkan perubahan
genetika,kanker, katarak. Termasuk gelombang elektromagnetik ionisasi
adalah sinar x, sinar gamma, dan sebagian sinar ultra violet.
2. Kelompok gelombang elektromagnetik yang non-ionisasi adalah radiasi yang
tidak mampu meng-ionisasi molekul. Bila melampaui nilai batas tertentu
kelompok ini juga mempunyai dampak terhadap tubuh manusia seperti sakit
kepala, kelelahan mental, keguguran, sulit tidur, ganguan reproduksi, indikasi
tumor dan leukimia. Termasuk dalam kelompok ini adalah sinar tampak,sinar
infra merah, dan gelombang radio.
Universitas Sumatera Utara
29
Efek gelombang medan elektromagnetik terhadap manusia memiliki 2 efek, yaitu :
1. Efek Bio : Mempengaruhi stimulus dan perubahan di atmosfer
2. Efek Kesehatan : Mempengaruhi kesehatan baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang
Gelombang EMF yang dipacarkan oleh Jaringan Telepon Selular berdampak
negatif terhadap kesehatan manusia, dampak tersebut memiliki efek dalam jangka
waktu pendek dan dalam jangka waktu panjang (The International EMF Project, May
1998). Efek Jangka pendek dan jangkan panjangnya adalah sebagai berikut :
1. Efek Jangka Pendek
Pemanasan jaringan terjadi sebagai interaksi antara energi frekuensi radio dan
tubuh manusia, sebagian besar energi diserap oleh kulit dan jaringan permukaan
lainnya, sehingga terjadi kenaikan suhu pada otak atau organ-organ tubuh lainnya.
2. Efek Jangka Panjang
Potensi gangguan kesehatan dalam jangka panjang dapat terjadi pada berbagai
sistem tubuh, antara lain sistem darah, sistem reproduksi, sistem saraf, sistem
kardiovaskular, sistem endokrin, psikologis, dan fisiologis (I Putu Mahardika et
al., 2008). Menurut Anies (2007) gelombang EMF dapat mengakibatkan efek
negatif terhadap sistem reproduksi laki-laki, perubahan ritme jantung, sistem
saraf, sistem endokrin, dan hipersensitivitas. Efek ini secara signifikan akan
berdampak negatif kepada orang-orang yang tinggal dalam radius 300 meter dari
BTS. Efek ini antara lain tendensi depressi, kelelahan otot, pola tidur terganggu,
dan kesulitan konsentrasi (Santini et al., 2002), juga dapat menyebabkan sakit
kepala (Netherlands Organization for Applied Scientific Research, TNO 2003),
dan masalah pada cardiovascular (Oberfeld Gerd et. al. 2004). Meningkat
Universitas Sumatera Utara
30
terjadinya kanker terutama pada kaum wanita (Ronni Wolf dan Danny Wolf,
2004).
Sedangkan menurut NPRB ( The National Radiological Protection Board)
UK, Inggris, efek yang ditimbulkan oleh radiasi gelombang elektromagnetik dari
jaringan telepon selular dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Efek fisiologis, merupakan efek yang ditimbulkan oleh radiasi gelombang
elektromagnetik yang mengakibatkan gangguan pada organ-organ tubuh
manusia berupa kanker otak dan pendengaran, tumor, perubahan pada
janringan mata termasuk retina dan lensa mata, gangguan pada reproduksi,
hilang ingatan, dan pusing kepala.
2. Efek psikologi, merupakan efek kejiwaan yang ditimbulkan oleh radiasi
tersebut misalnya stress dan ketidakyamanan karena terkena radiasi
berulang-ulang.
2.4.2.2. Pengaruh gelombang EMF terhadap hewan
Paparan gelombang EMF juga akan memiliki efek kepada kehidupan
lingkungan lainnya, oleh sebab itu radiasi gelombang medan elektromagnetik saat
ini dimasukkan sebagai polutan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang disebut
dengan “Electro Pollution” .
Pada jarak sampai 200 meter dari antena BTS dapat mengakibatkan ancaman
bagi kelangsungan kehidupan populasi satwa burung dan juga menghilangnya kupu-
kupu, lebah dan serangga lainnya dari habitatnya di sekitar antenna BTS (Goverment
of India Ministry of Communication & Information Technology Department of
Telecommunications). Disebutkan juga bahwa burung-burung kehilangan
Universitas Sumatera Utara
31
kemampuan navigasinya akibat mengalami disorientasi dalam menentukan arah
sehingga burung-burung tersebut salah arah untuk kembali ke sarangnya.
2.4.3. Nilai ambang batas paparan radiasi EMF
Nilai ambang batas yang ditetapkan oleh ICNIRP (International Commission
on Non-Ionizing Radiation Protection) yang diakui oleh WHO (World Health
Organisation) dan yang ditetapkan oleh IEEE (Institute of Electrical and Electronics
Engineers) berdasarkan besarnya power density dalam satuan watt/m2 dan
berdasarkan besarnya paparan radiasi yang diserap oleh tubuh manusia yang
dinyatakan dengan SAR (Spesific Absortion Rate) dalam satuan w/kg. ICNIRP dan
IEEE menetapkan batas ambang untuk PD pada frekuensi 900 MHz. adalah sebesar
4,5 watt/m2 dan pada frekuensi 1.800 MHz. adalah 9 watt/m2 (IEEE Std C95.1, 1999)
sedangkan nilai ambang batas SAR adalah 1,6 watt/kg. Pada beberapa negara, nilai
batas ambang ini ditetapkan lebih kecil dari pada yang ditetapkan oleh WHO, seperti
negara Switzerland/Schweizer Bunndesrat menetapkan nilai ambang batas PD untuk
900 MHz. maupun untuk 1.800 MHz. adalah sebesar 0,001 watt/m2. Tabel 2.2.
memperlihatkan nilai ambang batas power density untuk beberapa negara.
Tabel 2.2. Nilai ambang batas power density untuk beberapa negara
Nama Negara/ Organisasi Dokumen
900 MHz 1800 MHz
Power Density
(W/m2)
Power Density
(W/m2)
International commision of non
ionizing radiation protection ICNIRP, 1998 4,5 9,0
International Institute of Electrical
and Electronic Engineer
IEEE, 1999
USA
6,0 12
European/European Committe for
Electro technical Standardization
CENELEC,
1995
4,5 9,0
Australia/Standard Association of
Australia AS/NSZ, 1998
2,0 2,0
Hungary/Hungarian Standard
Institution
Hungary, 1986 0,1 0,1
Universitas Sumatera Utara
32
Lanjutan Tabel 2.2.
Nama Negara/ Organisasi Dokumen
900 MHz 1800 MHz
Power Density
(W/m2)
Power Density
(W/m2)
Belgium Belgium 1,1 2,4
Italy/Ministry of Enviroment Italy 1, 1998 1,0 1,0
Italy/Ministry of Enviroment Italy 2, 1998 0,1 0,1
Switzerland/Schweizer Bunndesrat NISV, 1999 0,001 0,001
Austria Local S vorGW
1998
0,001 0,001
Sumber : Report of the inter-ministerial Committee on EMF Radiation, Government of India Ministry of
Communications & Information Technology Department of Telecommunications, 25th Nov,2010.
Pada beberapa negara dapat terjadi bahwa power density radiasi EMF dari
antena BTS 10 kali lebih besar dari yang direkomendasikan (Saeid, 2015). Ini terjadi
karena operator cenderung melakukan penambahan daya pemancar BTS dengan
tujuan memperluas daerah cakupan, dengan demikian akan menghemat dana untuk
pembangunan menara BTS sehingga akan meningkatkan profit perusahaan operator
telepon selular (Mamilus et al., 2012)
2.4.4. Besarnya power density EMF yang dipancarkan antena BTS
Besarnya daya yang dipancarkan oleh sebuah antena BTS tergantung dari
besarnya daya pada pemancar, rugi-rugi daya disepanjang saluran antena, dan
penguatan antena. sebagai contoh pemodelan power density dapat dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak powersim dan juga dapat dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak estimataor yang dikeluarkan oleh ITU.
Menara antena BTS yang dibangun oleh tower provider biasanya
disewakan untuk digunakan oleh beberapa operator telepon seluler, sehingga paparan
radiasi yang terjadi merupakan akumulasi power density dari beberapa antena BTS
tersebut. Menurut ITU-BS.1698 (2005) total power density yang dipancarkan dari
Universitas Sumatera Utara
33
sebuah menara antena BTS yang memiliki beberapa buah antena BTS adalah jumlah
dari seluruh power density antena-antena BTS tersebut, total power density (t)
tersebut adalah :
𝑡
= ∑ i
𝑛
𝑖=1
(2 .7)
dimana i adalah power density pada frekuensi fi (i = 1,2, .....n) dengan kondisi :
∑i
Li
𝑛
𝑖=1
≤ 1 (2 .8)
dimana Li adalah level referensi power density pada frekuensi fi (i = 1,2, .....n).
2.4.4.1.Pemodelan power density mengguakan powersim.
Pemodelan sederhana power density dengan menggunakan perangkat lunak
simulasi powersim dapat digambarkan sebagai berikut : sebuah pemancar dari
operator telepon selular memiliki daya sebesar 20 Watt, dipancarkan melalui antena
BTS dengan penguatan (gain) antena sebesar 18 dB dan losses (rugi-rugi daya) yang
terjadi disepanjang saluran sebesar 6 dB, sedangkan jumlah sinyal carrier yang
digunakan sebanyak tiga kanal (2 TCH, 1 BCCH). Nilai konduktivitas cairan otak
adalah 2,2380 (s/m) dan kerapatan massa cairan otak adalah 1010 (Kg/m3) (Ali and
Sudhabindu 2011). Paparan radiasi medan elektromagnetik yang diterima otak
manusia yang berada disepanjang radius 100 meter dari antena BTS tersebut adalah
: Total losses yang terjadi pada perangkat antena BTS adalah gain antena dikurangi
losses saluran antena = 18 dB - 6 dB = 12 dB. Besarnya daya keluaran (EIRP-
Effective Isotropically Radiated Power) antena BTS : 10 𝐿𝑜𝑔𝑋
20= 12 𝑑𝐵 X = 20
x 101,2 = 316 watt untuk 1 kanal, sehingga untuk ketiga kanal, BTS memancarkan 3
Universitas Sumatera Utara
34
x 316 watt = 948 Watt. Dengan menggunakan persamaan 2.3, 2.5, dan 2.6. yang
dimasukkan pada simulasi powersim maka diperoleh diagram alir dan simpal kausal
seperti pada Gambar 2.7. dan 2.8. dan besarnya power density sebagai fungsi dari
jarak diperlihatkan pada Tabel 2.3. dan Gambar 2.9.
Redam an_Saluran Penguatan_Antena
em pat_pikonstanta
K_C airan_otakKM_Cairan_otak
Daya_Pem ancar
Daya_Pancar_BTS
Total_Penguatan
Daya_BTS_2
Daya_Dens ity
Kuat_Medan_Lis trik
SAR
R
N
Gambar 2.7. Diagram alir power density dari BTS
dalam bentuk persamaan, init R = 1
flow R = +dt*N
aux N = PULSE(1,1,1)
aux Daya_BTS_2 = Daya_Pancar_BTS/empat_pi
aux Daya_Density = Daya_BTS_2*(1/R^2)
aux Daya_Pancar_BTS = Daya_Pemancar*10^(Total_Penguatan/10)*3
aux Kuat_Medan_Listrik = SQRT(Daya_Density*konstanta)
aux SAR = (K_Cairan_otak*Kuat_Medan_Listrik^2)/KM_Cairan_otak
aux Total_Penguatan = Penguatan_Antena-Redaman_Saluran
const Daya_Pemancar = 20
const empat_pi = 4*3.17
const K_Cairan_otak = 2.2380
const KM_Cairan_otak = 1010
const konstanta = 377
const Penguatan_Antena = 18
const Redaman_Saluran = 6
Total Penguatan BTS
Penguatan AntenaRedaman Saluran
-+
Daya Pancar BTS
Daya Pemancar
+
+
Daya Density
Jarak Lokasi
-
-
Medan Listrik
+
SAR
+
+
+
+
+
+
-
Gambar 2.8. Diagram simpal kausal power density dari BTS
Universitas Sumatera Utara
35
Tabel 2.3. Besarnya power density sebagai fungsi
dari jarak menggunakan powersim
R Power density 1 74,99
2 72,55
3 68,88
4 56,80
5 45,50
6 35,20
7 25,30
8 16,20
9 12,30
10 8,21
Dari Tabel 2.3. power density memiliki nilai yang berubah sebagai fungsi
dari jarak atau radius dari antena BTS, artinya semakin dekat dengan antena maka
semakin besar paparan radiasi . Semakin besar daya pancar maka semakin jauh
paparan radiasinya.
Gambar 2.9. Grafik power density sebagai fungsi dari jarak
2.4.4.2. Pemodelan power density menggunakan estimator ITU
Misalkan daya pada pemancar adalah 20 watt dan losses pada saluran
disepanjang antena sebesar 6 dB, sedangkan penguatan antena 18 dB (Gambar 2.10).
Besarnya daya yang dipancarkan antena adalah : penguatan antena dikurangi losses
pada saluran antena yaitu 20 dB – 3 dB = 17 dB sehingga daya keluaran antena adalah
75.668.6
54.7
35.5
20.412.4 9.03 6.8 5.9 5.2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00
P
D
J a r a k (m)
Universitas Sumatera Utara
36
10 Log Pout/30 = 17 dB Pout = 30 x 101,7 = 1.504 Watt untuk 1 kanal trafik. Bila
menggunakan 3 carrier maka besarnya EIRP (Effective Isotropically Radiated
Power) untuk 1 sektor BTS tersebut adalah 3 x 1.504 Watt = 4.512 Watt.
Gambar 2.10. Daya yang dipancarkan oleh sebuah antena BTS
Dengan menggunakan perangkat lunak EMF estimator yang dikeluarkan
oleh ITU (International Telecommunication Union) maka diperoleh power density
sebesar 10,265 w/m2 (melebihi nilai ambang batas) untuk HRP = 10 dB dan VRP =
10 V/V. pada jarak 100 meter. Tabel 2.4. memperlihatkan besarnya power density
sebagai fungsi dari jarak dan Gambar 2.10. memperlihatkan perhitungan power
density menggunakan software estimator dari ITU.
Tabel 2.4. Besarnya power density sebagai fungsi dari jarak menggunakan estimator
Jarak (m) 10 30 50 70 90 110 130 150 160
PD (w/m2) 64.79 45.33 28.32 18.12 12.24 8.71 6.47 4.98 4.41
Dari Tabel 2.4. dan Gambar 2.11. terlihat besarnya power density sebagai
fungsi dari jarak untuk sebuah sinyal dari antena BTS dengan daya pemancar 30 watt,
penguatan antena 20 dB., rugi-rugi pada saluran sebesar 3 dB., tinggi antena 42
meter, dan kemiringin antena sebesar 60 derajat. Pemanvar tersebut akan
BTS
TCH
TCH
BCCH
20 dBi Gain
3 dB Loss
1.504 W
GSM 900
3 Carriers
daya Tx = 30 W
1.504 W
1.504 W
Total EIRP
= 4.512 W
Universitas Sumatera Utara
37
menghasilkan power density pada jarak 10 meter dari antenna BTS sebesar 64,79
watt/m2 dan pada jarak 150 meter sebesar 4,98 watt/m2. Hal ini masih melebihi nilai
ambang batas yang ditetapkan oleh ICNIRP sebesar 4,5 watt/m2. Ambang batas
power density akan terpenuhi mulai dari jarak 160 meter dari antena BTS.
Gambar 2.11. Power Density dengan menggunakan software estimator ITU
Gambar 2.12. Kumulatif Paparan dari 2 buah antena BTS
Universitas Sumatera Utara
38
Akumulasi power density terjadi bila ada lebih dari satu carrier pada sebuah antena
BTS atau terdapat lebih dari satu antena BTS pada sebuah menara BTS, sehingga
paparan EMF akan semakin besar pada daerah cakupan dari BTS tersebut seperti
yang diperlihatkan pada Gambar 2.12.
Antena BTS dengan pola sektoral memiliki penguatan 10-20 dBi, ini artinya
daya yang dipancarkan dapat 10 sampai dengan 100 kali lebih kuat dibandingkan
bila menggunakan antena omnidirectional (Mamilus A. et al., 2012). Biasanya
sebuah antena memiliki 1-5 buah carrier dimana setiap carrier mentransmisikan
daya sebesar 10-20 watt, sehingga satu operator dapat mentransmisikan daya 50-100
watt dan bila ada 3-4 operator dalam sebuah menara BTS, maka total daya yang
ditransmisikan dapat berkisar 200-400 watt. Bila menggunakan antena sektoral
(directivity) dengan penguatan antena sebesar 17 dB (dalam numerik sama dengan
50) maka daya yang dipancarkan dapat dalam KW.
2.5. Mitigasi Radiasi dari Antena BTS
Beberapa metode teknik mitigasi untuk mengurangi tingkat radiasi EMF
terhadap lingkungan hidup yang berada pada daerah cakupan menara BTS telah
direkomendasikan oleh ITU dengan mengeluarkan rekomendasi K.70.
2.5.1. Menurunkan kekuatan pemancar
Metode paling sederhana untuk mengurangi tingkat radiasi EMF dari antena
BTS adalah dengan mengurangi kekuatan pemancar. Metode ini menurunkan
kekuatan pemancar yang akan secara linear akan menurunkan power density pada
daerah cakupan antena BTS. Hal ini juga akan menurunkan kuadrat dari besarnya
medan listrik E. Kelemahan dari metode ini adalah berkurangnya daerah cakupan
Universitas Sumatera Utara
39
dari BTS tersebut. Metode ini hanya digunakan bila hanya jika metode lain tidak
dapat diterapkan dengan berbagai alasan.
2.5.2. Menambah ketinggian antena
Sebuah antena BTS dibangun dengan ketinggian h meter dengan sudut
elevasi Ө diamati dan dilakukan pengukuran power density pada jarak x dari antena
dengan ketinggian pengukuran h’ seperti pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13. Korelasi Power Density dengan tinggi antena BTS
dimana,
h = tinggi antena (meter)
x = jarak titik pengukuran (meter)
R = Jarak antena ke titik pengukuran (meter)
h’’ = h – h’
Besarnya power density pada titik pengukuran x adalah :
= 2,56
4𝜋𝐹(𝛳)
𝐸𝐼𝑅𝑃
𝑋2+ℎ"2 (2.9)
dimana,
𝛳 = tan−1 (ℎ"
𝑥)
𝐹(𝛳) = [𝐶𝑜𝑠(
𝜋
2 𝑆𝑖𝑛 )2
𝐶𝑜𝑠Ө]
EIRP (Equivalent Isotropically Radiated Power) = Pt Gt (watt)
Pt = daya pemancar (watt)
Gt = penguatan antenna
Universitas Sumatera Utara
40
Melalui persamaan (2.9) dapat dilihat bahwa bila tinggi antena dinaikkan, maka
power density akan berkurang sehingga paparan radiasi juga akan berkurang. Dapat
juga dinyatakan bila antena dinaikkan maka sudut elevasi antena akan bergerak
berpindah sehingga paparan radiasi pada titik pengukuran semula akan berkurang
tetapi radius paparan radiasi EMF akan bertambah. Penurunan radiasi EMF ini terjadi
karena sudut elevasi berpindah ke bagian lain dari VRP (Vertical Radiation Pattern)
antena pemancar. Metode ini hanya dapat diterapkan jika kemungkinan untuk
menambah tinggi antena dapat dilakukan. Gambar 2.14. adalah grafik power density
sebagai fungsi dari jarak yang berkurang bila dilakukan penambahan tinggi antena
BTS.
K.70(07)_F.D.1
50 100 150 200 350 400 450250 3000
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
500
EMF-estimator
BSant_height_35mBSant_height_20m
Distance [m]0
Equivalent plane-wave
power density [mW/m ]2
Sumber : telecommunication standardization sector of ITU K.70 (6/2007)
Gambar 2.14. Distribusi power density untuk tinggi antena 20 m dan 35 m.
Distribusi power density seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.14.
menunjukkan penambahan ketinggian antena dapat menurunkan tingkat radiasi.
Pada gambar terlihat pada jarak 0 meter dengan tinggi antena 35 meter akan
mengalami pengurangan power density sebesar 3 kali dibanding dengan ketinggian
antena 20 meter (dari 1,75 mW/m2 menjadi 0,52 mW/m2).
Universitas Sumatera Utara
41
2.5.3. Menurunkan kemiringan (downtilt) VRP
Menurunkan kemiringan (downtilt) antena BTS akan menurunkan power
density pada daerah daerah cakupan yang jauh dari menara BTS, tetapi akan
meningkatkan power density pada jarak yang sangat dekat dengan menara BTS,
sebagai contoh pada Gambar 2.15. antena BTS diturunkan kemiringannya dari 0
derajat menjadi 10 derajat yang mengakibatkan naiknya power density pada jarak
sampai dengan 400 meter dari antena BTS pada ground level, dan akan turun pada
jarak di atas 400 meter. Kelemahan dari metoda ini adalah dengan menurunkan
kemiringan antena BTS akan mengakibatkan luas daerah cakupan antena BTS akan
menjadi berkurang dan kelemahan lainnya adalah sulitnya melihat secara visual
penurunan kemiringan antena tersebut sehingga harus dilakukan secara elektrik.
K.70(07)_F.D.2
0
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
50 100 150 200 350 400 450 500250 300
Distance [m]EMF-estimator
BSant_downtilt_0°BSant_downtilt_10°
0
Equivalent plane-wave
power density [mW/m ]2
Sumber : telecommunication standardization sector of ITU K.70 (6/2007)
Gambar 2.15. Distribusi power density dengan metode downlitlt VRP antena BTS.
2.5.4. Mengatur directivity antena BTS
Menambah gain antena berhubungan dengan directivity antena, yaitu
kemampuan untuk memancarkan lebih dalam arah yang diinginkan (terutama
terhadap horizontal) dan untuk membatasi radiasi dalam arah lain. Antena directivity
digunakan untuk mengurangi radiasi ke arah yang diakses orang. Antena directivity
Universitas Sumatera Utara
42
terkait erat dengan horizontal (HRP) dan vertikal (VRP). Perubahan antena pemancar
HRP, dibuat untuk melindungi orang terhadap radiasi khususnya pada area yang
berada dekat dengan antena BTS, akan tetapi akan mengurangi area cakupan.
Sebagai contoh tinggi antena: 35 meter, frekuensi: 947,5 MHz, daya pemancar 50
W, total atenuasi 2.34 dB, EIRP = 1038 W, maka grafik distribusi power densisty
sebagai fungsi dari jarak diperlihatkan pada Gambar 2.16.
Distance [m]
K.70(07)_F.D.4
0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
BSant_gain_18_dBi BSant_gain_15.5_dBi
EMF-estimator
0
Equivalent plane-wave
power density [mW/m ]2
Sumber : telecommunication standardization sector of ITU K.70 (6/2007)
Gambar 2.16. Distribusi power density dengan gain antena yang berbeda.
Distribusi power density dengan gain antena yang berbeda seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2.16. menunjukkan perbandingan distribusi power
density sebagai fungsi dari jarak ke antena untuk dua kasus, yaitu stasiun GSM 900
dengan gain antena sebesar 18,0 dBi dengan 7,5° VRP (garis sambung) dan stasiun
yang sama menggunakan gain antena sebesar 15,5 dBi dengan 13° VRP (garis putus-
putus).
Universitas Sumatera Utara
43
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Medan dengan mengambil data populasi
menara BTS untuk menggambarkan pemetaan antena BTS di kota Medan.
3.2. Populasi dan Sampel
Ada dua operator telepon seluler di kota Medan yang memiliki menara antena
BTS yang banyak, sehingga populasi menara antena BTS yang digunakan pada
penelitian ini berdasarkan data dari dua operator tersebut. Populasi yang diambil
pada penelitian ini tidak termasuk antena micro indoor, hanya antena macro. Satu
sampel antena diambil dari setiap menara antena BTS.
3.3. Parameter yang di ukur
Besaran yang diukur adalah koordinat BTS dan power density pada coverage
area dari BTS tersebut.
3.4. Alat Ukur yang Digunakan
Alat ukur yang digunakan adalah GPS merek Garmin tipe GPS MAP 64s dan
alat ukur power density merek Lutron tipe EMF-819
3.5. Tahapan Penelitian
Bagan alir dari penelitian ini digambarkan dengan diagram fishbone seperti pada
Gambar 3.1. Proses penelitian ini secara garis besarnya dilakukan dalam tiga tahap
utama, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
44
1. Melakukan pemetaan koordinat menara antena BTS, pengukuran power
density pada jarak sekitar 100 meter dari menara antena BTS tersebut.
2. Membuat parameter-parameter yang berhubungan dengan jaminan
koneksitas komunikasi mobile station, biaya pembangunan yang minimum,
dan pengalihan hubungan komunikasi terkait dengan ambang batas PD di
suatu BTS
3. Membuat model matematis topologi menara antena BTS dengan
mepertimbangkan ambang batas power density sebagai batasan syarat aman
terhadap lingkungan hidup khususnya terhadap kesehatan masyarakat.
Gambar 3.1. Bagan Alir Fishbone Metode Penelitian
3.6. Metode Pengukuran
Pengukuran dilakukan pada lokasi BTS sesuai dengan koordinat masing-
masing menara BTS yang digunakan oleh kedua operator telepon seluler. Besaran
yang diukur adalah kuat medan listrik (E) pada area menara antena BTS tersebut.
Hasil pengukuran tersebut dikonversikan kebesaran power density dengan
menggunakan rumus (2.3). Pengukuran dilakukan untuk satu buah antena directional
atau satu buah antena sektoral untuk masing-masing menara antena BTS setiap
operator, sehingga jumlah antena yang dilakukan pengukurannya untuk kedua
CTND-PD
Ambang batas PD
Model Topologi Jaringan Antena BTS Ramah
Lingkungan
Menara BTS F C A
Power density Meter, dan GPS
Power Density
Koordinat BTS
BTSL
Biaya minimal
Jaminan Koneksitas
Universitas Sumatera Utara
45
operator seperti pada Tabel 3.1. Jumlah seluruh antena pada menara antena ke dua
operator sebanyak 2.498 antena dan jumlah seluruh sampel yang diambil dari kedua
operator adalah sebanyak 690 antena, dan antena pengukuran kuat medan dilakukan
pada seluruh antena sampel pada jarak sekitar 100 meter dari antena BTS.
Tabel 3.1. Jumlah sampel antena BTS
Operator GSM 900 GSM 1800
Real Sampel Real Sampel
A 614 186 546 183
B 816 229 522 92
Jumlah 1430 415 1068 275
3.7. Rancangan Model
Antena BTS harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat mencakup
daerah geografis yang memenuhi kualitas layanan pemakai telepon selular. Namun
pada umumnya dalam pemodelan BTSL diformulasikan dengan meminimumkan
biaya, yang mencakup biaya instalasi dan peralatan. Dalam literatur, persoalan
penentuan lokasi BTS memiliki kesamaan dengan persoalan penempatan fasilitas,
oleh karena itu persoalan BTSL dapat dimodelkan sebagai persoalan Program Linier
Cacah Campuran (PLCC) BTSL atau yang dikenal dengan Mixed Integer Linear
Programming (MILP). Nilai cacah atau integer disini dikaitkan dengan variabel
bernilai 0-1. dengan pemahaman bahwa variabel bernilai 1 berarti di lokasi tersebut
dapat ditempatkan BTS, nilai 0 jika tidak. Dalam beberapa literatur seperti, George
dan Laurence (1988), Mirchandani dan Francis (1990), dan Rappaport (1996) dapat
diperoleh secara rinci tentang optimasi jaringan. Model PLCC yang berkenaan
dengan BTS diajukan oleh Mathar dan Niersen (2000).
Kata topologi jaringan mengandung konotasi bahwa BTS yang telah
ditempatkan harus dihubungkan dengan jaringan tetap, dalam model ia dinyatakan
Universitas Sumatera Utara
46
dalam bentuk minimum biaya. Koneksi antara BTS dan jaringan tetap pada model
yang dibuat dapat terjadi melalui switch jaringan setelah melalui hub atau langsung
melalui switch seperti pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Hubungan antar BTS pada model
Koneksi antara BTS i dan BTS j dilakukan melalui hub atau melalui switch.
Jadi persoalan demikian ini juga dikenal sebagai persoalan Rancangan Jaringan (RJ)
yaitu memilih opsi dengan biaya minimum terhadap kumpulan BTS terlokasi (Dutta
dan Kubat, 1999; Kubat dan Smith, 2000).
Seperti yang telah disampaikan terdahulu bahwa tujuan dari rancangan
topologi jaringan (RTJ) adalah mampu mencakup daerah geografis sehingga dapat
memberi layanan berkualitas terhadap permintaan pemakai atau Frequency Channel
dengan mempertimbangkan perlindungan lingkungan hidup. Cakupan dipenuhi oleh
penempatan antena BTS untuk suatu daerah, yang dalam hal ini dinyatakan sebagai
persoalan BTSL. Jadi BTSL dapat didefenisikan sebagai persoalan pemilihan, dari
kelompok calon lokasi BTS, yaitu sub-kelompok berbiaya minimum yang mampu
mencakup semua daerah geografis dan aman terhadap lingkungan. Karena persoalan
RTJ mengemukakan persoalan BTSL dan RJPD, penyelesaiannya yang terkait
dengan variabel BTSL dinyatakan oleh keseimbangan antara biaya minimum sub-
kelompok BTS dan sub-kelompok BTS yang dapat terhubung dengan jaringan tetap
pada biaya minimum. Karena itu, biaya minimum sub-kelompok BTS yang
dihasilkan oleh penyelesaian RJPD tidak perlu sama seperti yang diberikan oleh
Hub
Switch
BTS BTS
3
2
2 1
Universitas Sumatera Utara
47
penyelesaian BTSL, sehingga penyelesaian RJPD lebih baik atau setidak-tidaknya
sama dengan jumlah penyelesaian persoalan BTSL dan RJPD.
Dalam pemodelan ini, ada kaitan antara BTSL dengan FC, hal demikian perlu
dilakukan agar dapat tercapai pemenuhan kualitas layanan seperti yang diharapkan
pemakai. Jadi untuk tipe BTS terpilih harus dapat menerima FC yang cukup untuk
melayani permintaan. Persoalan demikian ini dinyatakan sebagai persoalan FCA,
yaitu membagi FC yang tersedia untuk seluruh sistem. Pada umumnya secara teoritis,
jumlah channel tidak cukup untuk melayani permintaan seluruh pemakai, berarti FC
harus dipakai ulang (reuse) dalam BTS berbeda. Namun pemakaian ulang frekuensi
mengakibatkan persoalan gangguan (interferensi) co-channel yang dapat terjadi
apabila BTS tetangga memakai FC yang sama, sehingga model yang dihasilkan harus
mampu mencegah gangguan co-channel dengan menghindari BTS tetangga
membagi channel frekuensi sama.
Terdapat hal lain selain gangguan co-channel, yaitu persoalan gangguan dari
channel terdekat dan untuk mengatasi ini, dalam model diajukan jarak frekuensi
tertentu antara pasangan FC yang diperuntukkan pada suatu BTS terpilih. Jadi secara
teoritis, untuk melayani permintaan FC yang diperlukan BTS maka diperlukan FCA
yang bertujuan untuk memaksimumkan pemakaian spektrum frekuensi dengan
mempertimbangkan tingkat gangguan yang masih dapat diterima. Pada dasarnya,
persoalan FCA dapat diselesaikan dalam suatu model tersendiri. Seperti yang
biasanya dilakukan oleh perusahaan telepon selular yaitu dengan cara membuat
model terpisah antara persoalan BTSL dan FCA, namun cara demikian dapat
menghasilkan penyelesaian RJ yang buruk.
Model jaringan telepon seluler yang dirancang, mempertimbangkan efesiensi
pemilihan lokasi BTS dengan tingkat keberhasilan koneksi yang optimal melalui
Universitas Sumatera Utara
48
pengaturan FCA. Serta juga mepertimbangkan power density untuk perlindungan
lingkungan hidup pada daerah daerah cakupan menara antena BTS.
Gambar 3.3. Flowchart rancangan model
Flow chart blok rancangan model ini seperti pada Gambar 3.3. Pada
flowchart dapat dilihat bahwa awal terjadinya sebuah koneksi pada jaringan telepon
seluler antara BTS j dengan BTS i dilakukan dengan pemilihan BTS i. Kemudian
melakukan koneksi dengan hub j dengan pemilihan biaya yang efisien, bila BTS
yang dituju tidak berada pada lokasi hub j maka hub j melakukan koneksi dengan
ya
Power density
Inisialisasi
tdk
tdk tdk
ya ya
Pilih BTS i
Hub j
Switch k
R > Rpeak
i = i’
Drop Call
Selesai
Koneksi ke BTS j
BTSL j – BTS i = R
i’= i + 1 FCA
Universitas Sumatera Utara
49
switch k dengan pemilihan biaya yang efisien. Memeriksa ketersediaan FCA
dilakukan setelah koneksi BTS i dengan hub j dan atau koneksi hub j dengan switch
k berhasil dilakukan. Kemudian menghitung jarak (R) BTS j dengan BTS i, bila
jarak tersebut lebih kecil dari Rpeak (jarak yang dilarang karena power density () nya
lebih besar dari nilai ambang batas, efek negatif terhadap lingkungan hidup) maka
dilakukan kembali pemilihan BTS pengganti BTS i yaitu BTS i’. Bila jarak BTS j
dengan BTS i lebih besar dari Rpeak (jarak yang diperbolehkan karena power density
() nya tidak melebihi nilai ambang batas, aman bagi lingkungan hidup) maka BTS
j terkoneksi dengan BTS i.
3.8. Program Linear
Program Linear merupakan metode matematika untuk mengalokasikan
sumber daya yang biasanya terbatas supaya mencapai hasil yang optimal, misalnya
memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Oleh karena itu program
linear banyak dipergunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah antara lain
ekonomi dan industri.
Para pengambil keputusan sering menghadapi masalah dalam menentukan
alokasi sumber daya yang terbatas karena mereka menginginkan hasil yang
seoptimal mungkin. Dengan menggunakan model program linear, para pengambil
keputusan dapat memprediksi hasil yang akan diperolehnya.
Bentuk umum model program linear adalah :
Max (min) Ž = ∑cj xj
Kendala ∑aj xj (≤,=,≥) bi, ( i=1,2….m)
xj ≥ 0, ( j=1,2….m)
dimana
xj : banyaknya kegiatan j (j=1,2…..n)
Universitas Sumatera Utara
50
Ž : nilai fungsi tujuan
cj : sumber per unit kegiatan, untuk masalah memaksimalkan, cj menunjukkan
keuntungan per unit kegiatan, sedangkan untuk kasus meminimalkan, cj
menunjukkan biaya per unit perkegiatan
bi : besarnya sumber daya i (i = 1,2, …… ,m) aij
aij : banyaknya sumber daya i yang dipakai sumber daya j.
3.8.1. Program integer
Pada masalah program linear penyelesaian optimalnya dapat berupa bilangan
real yang berarti penyelesaian bisa berupa bilangan pecahan. Untuk penyelesaian
yang berbentuk pecahan jika mengalami pembulatan ke integer terdekat maka hasil
yang diperoleh bisa menyimpang jauh dari yang di harapkan. Akan tetapi banyak
permasalahan dikehidupan nyata yang memerlukan penyelesaian variabel,
keputusannya berupa integer sehingga harus dicari model penyelesaian masalah
untuk memperoleh penyelesaian integer yang optimum. Program integer
merupakan program pengembangan dari program linear dimana beberapa atau semua
variabel keputusannya harus berupa integer. Jika hanya sebagian variabel
keputusannya merupakan integer maka disebut program integer campuran (mixed
integer programming ) . Jika semua variabel keputusannya bernilai integer disebut
program integer murni (pure integer programming). Sedangkan Program integer 0-
1 merupakan bentuk program integer dimana sebuah variabel keputusannya harus
bernilai integer 0 atau 1 (binary)
Bentuk umum model program integer adalah :
Max(min) Ž = ∑ cj xj
Kendala ∑aij xj(≤,=,≥) bi, (i=1,2….m)
xj ≥ 0, (j=1,2….m)
xj bernilai integer untuk beberapa atau semua j
Universitas Sumatera Utara
51
Bentuk umum model program integer 0-1 adalah :
Max(min) Ž = ∑ cj xj
Kendala ∑aij xj(≤,=,≥) bi, (i=1,2….m)
Xj = 0 atau xj = 1 , (j=1,2,,n)
Sedangkan bentuk umum dari model mixed integer linear programming (Hoffman
dan Ralphs, 2012) adalah :
Max ∑ 𝑐𝑗𝑥𝑗 + ∑ 𝑐𝑗
𝑗𝐼
𝑥𝑗 + ∑ 𝑐𝑗𝑥𝑗
𝑗𝑐𝑗𝐵
dengan batasan,
∑ 𝑎𝑖𝑗𝑥𝑗 + ∑ 𝑎𝑖𝑗𝑥𝑗 𝑗𝐼𝑗𝐵
+ ∑ 𝑎𝑖𝑗𝑥𝑗
𝑗𝑐
≤=≥
𝑏𝑖∀𝑖 𝑀
Kendala,
𝑙𝑗 ≤ 𝑥𝑗 ≤ 𝑢𝑗 ∀𝑗 𝑁 = 𝐵 ∪ 𝐼 ∪ 𝐶
𝑥𝑗 0,1 ∀𝑗 𝐵,
𝑥𝑗 ℤ ∀𝑗 𝐼, 𝑑𝑎𝑛
𝑥𝑗 ℝ ∀𝑗 𝐶.
3.8.2. Metode solusi dalam integer programming pendekatan pembulatan
Suatu metode yang sederhana dan kadang-kadang praktis untuk
menyelesaikan integer programming adalah dengan membulatkan hasil variabel
keputusan yang diperoleh melalui LP. Pendekatan ini mudah dan praktis dalam hal
usaha, waktu dan biaya yang diperlukan untuk memperoleh suatu solusi. Bahkan
pendekatan pembulatan dapat merupakan cara yang sangat efektif untuk masalah
integer programming yang besar dimana biaya-biaya hitungan sangat tinggi atau
untuk masalah nilai-nilai solusi variabel keputusan sangat besar.
Universitas Sumatera Utara
52
Contoh : pembulatan nilai solusi jumlah pensil yang harus diproduksi dari 14.250,2
menjadi 14.250,0 semestinya dapat diterima. Namun demikian sebab utama
kegagalan pendekatan ini adalah bahwa solusi yang diperoleh mungkin bukan solusi
integer optimum yang sesungguhnya. Dengan kata lain, solusi pembulatan dapat
lebih jelek dibanding solusi integer optimum yang sesungguhnya atau mungkin
merupakan solusi tak layak. Ini membawa konsekuensi besar jika jumlah produk-
produk seperti pesawat angkut komersial atau kapal perang yang harus diproduksi
dibulatkan kebilangan bulat terdekat. Tiga masalah berikut disajikan untuk
mengilustrasikan prosedur pembulatan :
Masalah 1
Maksimumkan Ž=100X1 + 90 X2
Dengan syarat 10 X1 + 7 X2 ≤ 70
5 X1 + 10 X2 ≤ 50
X1 + X2 ≥ 0
Masalah 2
Minimumkan Ž = 200X1 + 400 X2
Dengan syarat 10 X1 + 25 X2 ≥ 100
3X1 + 2X2 ≥ 12
X1 ; X2 ≤ 0
Masalah 3
Maksimumkan Ž = 80 X1 + 100 X2
Dengan Syarat 4X1 + 2X2 ≤ 12
X1 + 5X2 ≤ 15
X1 + X2 ≤ 0
Universitas Sumatera Utara
53
Perbandingan antara solusi dengan metode simplek tanpa pembatasan
bilangan bulat, pembulatan kebilangan bulat terdekat dan solusi integer optimum
yang sesungguhnya untuk ketiga masalah tersebut seperti pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Tabulasi penyelesaian masalah program integer
No. Masalah Solusi dengan metode simpleks
Dengan Pembulatan terdekat
Bulat Optimum yang sesungguhnya
1 Ž=100X1 + 90 X2 Syarat : 10 X1 + 7 X2 ≤ 70 5 X1 + 10 X2 ≤ 50 X1; X2 ≥ 0
X1 = 5,38 X2 = 2,31 Z = 746,15
X1 = 5 X2 = 2 Z = 680
X1 = 7 X2 = 0 Z = 700
2 Ž = 200X1 + 400 X2
Syarat : 10 X1 + 25 X2 ≥ 100 3X1 + 2X2 ≥ 12 X1 ; X2 ≥ 0
X1 = 1,82 X2 = 3,27 Z = 1.672,73
X1 = 2 X2 = 3 Z = tak layak
X1 = 3 , X2 = 3 X1 = 5, X2 = 2 Z = 1.800
3 Ž = 80 X1 + 100 X2 Syarat : 4X1 + 2X2 ≤ 12 3X1 + 5X2 ≤ 15 X1; X2 ≥ 0
X1 = 2,14 X2 = 1,71 Z = 343
X1 = 2 X2 = 2 Z = tak layak
X1 = 0 X2 = 3 Z= 300
Masalah pertama adalah masalah maksimasi, dimana solusi pembulatan
menghasilkan keuntungan 680, hanya lebih kecil 20 dibanding yang dihasilkan solusi
bulat optimum 700. Masalah kedua adalah masalah minimasi dimana solusi
pembulatan adalah tak layak. Ini menunjukkan bahwa meskipun pendekatan adalah
sederhana, namun kadang-kadang menyebabkan solusi tak layak. Untuk mencegah
ketidaklayakan, nilai solusi simplek dalam masalah minimasi harus dibulatkan ke
atas, misalnya pada masalah kedua jika solusi dibulatkan ke atas diperoleh X1 = 2
dan X2 = 4 dan merupakan solusi layak. Sebaliknya, pada masalah maksimasi nilai
solusi simplek semestinya dibulatkan ke bawah.
Pada masalah ketiga, solusi pembulatan juga tak layak. Namun, seperti dalam
masalah minimasi, jika solusi simpleknya X1 = 2,14 dan X2 = 1,71 dibulatkan ke
Universitas Sumatera Utara
54
bawah menjadi X1 = 2 dan X2 =1, maka solusinya menjadi layak, ini dapat dibuktikan
dengan meneliti masing-masing kendala model dengan nilai variabel keputusan yang
dibulatkan ke bawah.
Suatu metode yang serupa dengan pendekatan pembulatan adalah prosedur
coba-coba (trial and error). Dengan menggunakan cara ini, pengambil keputusan
mengamati solusi Integer dan memilih solusi yang mengoptimumkan nilai fungsi
tujuan. Metode ini sangat tidak efektif jika masalahnya melibatkan sejumlah besar
kendala dan variabel, terlebih lagi memeriksa kelayakan setiap solusi yang
dibulatkan memakan banyak waktu.
3.8.3. Pendekatan Grafik
Masalah Integer Programming yang melibatkan hanya 2 (dua) variabel dapat
diselesaikan secara grafik. Pendekatan ini identik dengan metode grafik LP dalam
semua aspek, kecuali bahwa solusi optimum harus memenuhi persyaratan bilangan
bulat. Mungkin pendekatan termudah untuk menyelesaiakan masalah integer
programming dua dimensi adalah dengan menggunakan kertas grafik dan
menggambarkan sekumpulan titik-titik integer dalam ruang solusi layak. Masalah
berikut akan diselesaikan dengan pendekatan grafik.
Maksimumkan Z = 100X1 + 90X2
Dengan syarat 10X1 + 7X2 < 70
5X1 + 10X2 < 50
X1 ; X2 non negative integer
Model ini serupa dengan mode LP biasa. Perbedaannya hanya pada kendala terakhir
yang mengharapkan bahwa variabel terjadi pada nilai non negative integer. Solusi
grafik masalah ini ditunjukkan pada Gambar 3.4.
Universitas Sumatera Utara
55
B
C
Gambar 3.4. Solusi Grafik Masalah
Ruang solusi layak adalah OABC. Solusi optimum masalah LP ditunjukkan pada
titik B, dengan X1 = 5,38 dan X2 = 2,31 serta Z =746,15. Untuk mencari solusi integer
optimum masalah ini, garis Z (slope = -9/10) digeser secara sejajar dari titik B
menuju titik asal. Solusi integer optimum adalah titik integer pertama yang
bersinggungan dengan garis Z. Titik itu adalah A, dengan X1 =7 dan X2 = 0 serta Z =
700.
3.8.4. Pendekatan Gomory
Suatu prosedur sistematik untuk memperoleh solusi integer optimum tehadap
pure integer programming pertama kali dikemukakan oleh R.E. Gomory . Ia
kemudian memperluas prosedur ini untuk menangani kasus yang lebih sulit yaitu
mixed integer programming. Langkah-langkah prosedur Gomory diringkas sebagai
berikut :
1. Selesaikan masalah integer programming dengan menggunakan metode simplek.
Jika masalah sederhana, dapat diselesaikan dengan pendekatan grafik, sehingga
pendekatan Gomory kurang efisien.
A
5
10
X2
X1 0 7 10
5 X1 + 10 X2 = 50
Z = 746,15
10 X1 + 7 X2 = 70
Z = 700
Universitas Sumatera Utara
56
2. Periksa solusi optimum. Jika semua variabel basis memiliki integer, solusi
optimum integer optimum integer telah diperoleh dan proses telah berakhir. Jika
satu atau lebih variabel basis masih memiliki nilai pecah, teruskan ke tahap 3.
3. Buatlah suatu skala Gomory ( Suatu bidang pemotong atau cutting plane ) dan
cari solusi optimum melalui prosedur dual simplek, kembali ke tahap 2.
3.8.5. Kendala Gomory ( Pure Integer Programming )
Tabel 3.3. Optimum masalah LP dengan metoda Gomory
Basis Xi 1)
Xm Wj 2)
Wn solusi
Z 0… 0 C1…. Cn b0
Xi 1… 0 a11 a1n b1
Xm 0 1 am1 amn b1
1) Variabel Xi ( i = 1, ….., m) menunjukan variabel basis.
2) Variabel Wj ( j = 1, ….., n) adalah variabel non bebas
Pada persamaan ke i, variabel Xi diasumsikan bernilai non integer
Xi = bi - ∑aij wj, dimana b non integer.
Pisahkan bi dan aij menjadi bagian yang bulat dan bagian yang pecah non negative
seperti berikut :
bi = bi + fi jadi fi = bi – bi , dimana 0 < f i < 1
aij = aij + fij jadi fij = aij – aij , dimana 0 < f ij < 1
3.8.6. Metode Branch dan Bound
Metode Branch dan Bound merupakan kode komputer standar untuk integer
programming dan penerapan-penerapan dalam praktek tampaknya menyarankan
bahwa metode ini lebih efisien dibanding dengan pendekatan Gomory. Teknik ini
dapat diterapkan baik untuk masalah pure maupun mixed integer programming.
Universitas Sumatera Utara
57
Langkah-langkah metode Branch dan Bound untuk masalah maksimasi dapat
dilakukan sebagai berikut :
1. Selesaikan masalah LP dengan metode simplek biasa tanpa pembatasan
bilangan bulat.
2. Teliti solusi optimumnya, jika variabel basis yang diharapakan bulat adalah
bulat, solusi optimum telah tercapai. Jika satu atau lebih variabel basis data yang
diharapkan bulat ternyata tidak bulat, lanjutkan ke langkah 3.
3. Nilai solusi pecah yang layak dicabangkan ke dalam sub-sub masalah.
Tujuannya adalah untuk menghilangkan solusi kontinyu yang tidak memenuhi
persyaratan bulat dalam masalah itu. Pencabangan itu dilakukan melalui
kendala-kendala mutually exclusive yang perlu untuk memenuhi persayaratan
bulat dengan jaminan tidak ada solusi bulat layak yang diikutsertakan.
4. Untuk setiap sub-masalah, nilai solusi optimum kontinyu fungsi tujuan
ditetapkan sebagai batas atas. Solusi bulat terbaik menjadi batas bawah (pada
awalnya, ini adalah solusi kontinyu yang dibulatkan ke bawah). Sub-sub
masalah yang memiliki batas kurang dari batas bawah yang ada tidak
diikutsertakan pada analisa selanjutnya. Suatu solusi bulat layak adalah sama
baik atau lebih dari batas atas untuk setiap sub masalah yang dicari. Jika solusi
yang demikian terjadi, suatu sub masalah dengan batas atas terbaik dipilih untuk
dicabangkan, kembali ke langkah 3.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang metode Branch dan Bound,
disajikan sebuah contoh masalah berikut,
Maksimumkan Z = 3X1 + 5X2
Dengan syarat 2X1 + 4X2< 25
X1< 8
Universitas Sumatera Utara
58
2X2 <10
X1 ; X2 non negative integer
Solusi optimum kontinyu masalah ini adalah X1 =8, X2 = 2,26 dan Z =35,25. Solusi
ini menunjukkan batas awal. Batas bawah adalah solusi yang dibulatkan ke bawah
X1 =8, X2 = 2 dan Z = 34 dalam metode Branch dan Bound, masalah itu dibagi ke
dalam dua bagian untuk mencari nilai solusi bulat yang mungkin dibagi X1 dan X2.
Untuk melakukan ini, variabel dengan solusi pecah yang memiliki bagian pecah
terbesar dipilih. Karena pada solusi ini hanya X2 yang memiliki bagian pecahan, ia
dipilih. Untuk menghilangkan bagian pecah dari nilai X2 = 2,25, dua kendala baru
dibuat. Kendala-kendala ini mewakili dua bagian baru dari masalah itu. Dalam hal
ini, dua nilai bulat terdekat terhadap 2,25 adalah 2 dan 3. sehingga diperoleh dua
masalah baru melalui dua kendala mutually exclusive, X2 < 2 dan X2 > 3, yang akan
diuraikan berikut ini sebagai bagian dari A dan B. Kendala-kendala ini secara efektif
menghilangkan semua nilai pecah yang mungkin bagi X2, antara 2 dan 3.
Pengaruhnya mereka mengurangi ruang solusi layak sedemikian rupa sehingga
angka solusi bulat yang dievakuasi pada masalah ini semakin sedikit.
Bagian A
Maksimumkan Z = 3X1 + 5X2
Dengan syarat 2X1 + 4X2 < 25
X1 < 8
2X2 < 10 (berlebih)
X2 < 2
X1; X2 ≥ 0
Bagian B
Maksimumkan Z = 3X1 + 5X2
Dengan syarat 2X1 + 4X2 < 25
X1 < 8
2X2 < 10
Universitas Sumatera Utara
59
X2 ≥ 3
X1; X2 ≥ 0
Bagian A : X1 = 8 ;X2 = 2 ; dan Z = 34,
Bagian B : X1 = 6, 5 ; X2 = 3 ; dan Z = 34, 5.
Bagian A menghasilkan suatu solusi yang semuanya bulat. Untuk bagian A batas
atas dan bawah adalah Z = 34. Solusi pecah bagian B membenarkan pencarian lebih
lanjut karena menghasilkan nilai fungsi tujuan yang lebih besar dari batas atas bagian
A. Sangat mungkin bahwa pencarian lebih lanjut dapat menghasilkan suatu solusi
yang semuanya bulat dengan nilai fungsi tujuan melebihi batas atas bagian A = 34.
Bagian B dicabangkan ke dalam dua sub bagian b1 dan b2 pertama dengan kendala
X1 ≤ 6 dan yang lainnya dengan X2 ≥ 7. Kedua sub masalahnya dinyatakan sebagai
berikut :
Sub bagian B1
Maksimumkan Z= 3X + 5X2
Dengan syarat 2X1 + 4X2 ≤ 25
X1 ≤ 8 (berlebih)
2X2 ≤ 10
X2 ≥ 3
X1 ≤ 6
X1 ; X2 ≥ 0
Sub Bagian B2
Maksimumkan Z = 3X1 + 5X2
Dengan syarat 2X1 + 4X2 ≤ 25
X1 ≤ 8
2X2 ≤ 10
X2 ≥ 3
X1 ≥ 7
X1 ;X2 ≥ 0
Solusi simpleksnya adalah :
Universitas Sumatera Utara
60
Sub-bagian B1 : X1= 6 , X2 =3,25 dan Z = 34,25
Sub bagian B2 : tidak layak
Karena sub-bagian B1 menghasilkan nilai fungsi tujuan yang lebih besar dari
34 batas atas bagian A, maka harus dicabangkan lagi ke dalam dua sub
masalah, dengan kendala X2 ≤ 3 dan X2 ≥ 4. Kedua kendala sub masalah
diberi nama bagian B1a dan B1b
Bagian B1a
Maksimumkan Z = 3X1 + 5X2
Dengan Syarat 2X1 + 4X2 ≤ 25
X1 ≤ 8
2X2 ≤ 10
X2 ≥ 3
X1 ≤ 6
X1 ; X2 ≥ 0
Bagian B1b
Maksimumkan Ž=3X1 + 5X2
Dengan syarat 2X1 + 4X2 ≤ 25
2 X2 ≤ 10
X2 ≥ 3 (berlebih)
X2 ≥ 4
X1 ≤ 6
X1 ; X2 ≥ 0
Solusi optimum dengan metode simpleks adalah :
Sub Bagiab B1a ; X1 = 6, X2 = 3 dan Z = 33
Sub bagian B1b : X1 = 4,25, X2 = 4 dan Z = 33,5
Kedua solusi itu memiliki batas atas (Z = 33 dan Z = 33,5) yang lebih buruk
dibanding dengan solusi yang dihasilkan oleh bagian A. karena itu, solusi bulat
optimum adalah X1 = 8, X2 = 2 dan Z = 34 yang dihasilkan oleh bagian A.
Universitas Sumatera Utara
61
Jika pencarian telah diselesaikan, solusi bulat dengan fungsi tujuan tertinggi
(dalam masalah maksimasi) dipilih solusi optimum. Hasil perhitungan di atas dapat
digambarkan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Hasil Perhitungan dengan Metoda Branch dan Bound
Universitas Sumatera Utara
62
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pemodelan Matematis
Kerangka dasar model yang dirumuskan untuk Cellular Topological
Network Design (desain topologi jaringan seluler) adalah dengan
mempertimbangkan power density (CTND - PD). Model yang dirumuskan dalam
penelitian ini didasarkan pada Mazzini et al. (2001) . Namun demikian, pada Model
yang mereka buat, hanya melakukan integrasi lokasi BTS , Frequency Channel
Assigment (FCA ) dan desain jaringan. Mereka tidak memasukkan pertimbangan
tentang efek radiasi EMF terhadap lingkungan hidup yang bersumber dari antena
BTS tersebut ke dalam model yang mereka lakukan.
4.1.1. Model power density
Pada Penelitian ini juga dilakukan penyelidikan banyaknya antena BTS di
kota Medan yang memiliki power density melebihi nilai ambang batas (4,5 watt/m2
untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.). Efek negatif
terhadap lingkungan hidup akan lebih berbahaya bila besarnya power density
melebihi nilai ambang batas. Bahaya yang dapat diakibatkan oleh power density yang
melebihi nilai ambang batas terhadap lingkungan hidup di kota Medan diantaranya
seperti yang tertera pada Tabel 4.2. dan besar, luas, serta banyaknya antena BTS
yang telah melampaui nilai ambang batas power density di kota Medan seperti yang
dapat dilihat pada Gambar 4.2., 4.3., 4.4., dan Tabel 4.1.
Ada tiga model numerik yang berhubungan dengan power density yang
dapat digunakan untuk menentukan zona eksklusi di sekitar BTS pada Global System
Universitas Sumatera Utara
63
of Mobiles (GSM), yaitu model Far Field, model Silinder, dan model Non -
vanishing (Bikram, 2014). Menurut Komisi Internasional tentang Perlindungan
terhadap Non Radiasi Pengion (ICNIRP-International Commission on Non-Ionizing
Radiation Protection, 1998) radiasi yang dipancarkan dari BTS harus berada di
bawah nilai ambang batas power density ( < 4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz.
dan < 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.) radiasi tidak berbahaya bagi
lingkungan hidup. Dengan menggunakan model Far Field (Gambar 4.1), power
density (ρ) dapat dinyatakan sebagai berikut (ITU-K70, 2007) :
24
PG
R
watt/m2 (4.1.)
dimana,
ρ = power density (w/m2)
P = daya yang dipancarkan antena (watt)
G = penguatan antena
R = jarak dari antena (m)
sumber ITU-R BS.1698 (2005)
Gambar 4.1. Tiga zona power density pada antena parabolik
Pada model ini, dapat dikatakan bahwa radiasi medan elektromagnetik
yang dipancarkan antena BTS akan mencakup seluruh daerah R yang merupakan
radius atau jari-jari dari sinyal EMR yang dipancarkan antena BTS dengan pusat
pancaran adalah antena BTS itu sendiri. Model ini akan hanya berlaku untuk daerah
B1
C B A
Transition zone
D
Near field zone Far field zone
Feed
A = 0,25 D2/ B1 = 0,6 D2/ B = B1 - A C > B1
Universitas Sumatera Utara
64
medan yang jauh (far field region) dengan jarak melebihi 2D2/λ, dimana D adalah
dimensi maksimum dari antena dan λ adalah panjang gelombang yang dipancarkan
antena BTS. Nilai ambang batas minimum dari power density dilakukan dengan
membatasi jarak dari antena BTS, dan ini merupakan zona eksklusi dimana bila
power density yang dimilikinya lebih tinggi dari nilai ambang batas (4,5 watt/m2
untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.) akan
menimbulkan resiko bahaya terhadap lingkungan hidup khususnya kesehatan
masyarakat.
Pada jarak kurang dari 2D2/λ dari titik antena BTS adalah daerah yang
sangat dekat dengan menara antena BTS. BTS tidak dapat diasumsikan menjadi
sumber titik dan daerah yang dicakup tidak dapat dianggap bulat. Untuk antena
vertical collinear dipole yang biasa digunakan dalam komunikasi selular dimana
pada model ini dianggap daerah silinder dekat dengan antena BTS untuk
memperkirakan besarnya PD. Dengan model ini, spasial rata-rata PD paralel dengan
antena dapat diperkirakan dengan membagi daya net input antena dengan luas
permukaan imajiner silinder disekitar panjang pancaran antena. Kemudian, nilai rata-
rata PD yang dekat dengan sekitar antena BTS dapat dihitung sebagai :
2
P
LR
watt/m2 (4.2.)
dimana L adalah tinggi antena. Untuk antena GSM tipe sektor, maka besarnya PD
dihitung berdasarkan rumus berikut :
180
BW
P
LR
watt/m2 (4.3.)
dimana θBW adalah azimuth 3 dB beam witdh dalam satuan derajat dan memiliki
sudut azimuth φ dalam arah OX. Dengan Bertambahnya jarak dari antena BTS,
maka dengan model ini akan terjadi over prediction terhadap level paparan radiasi
Universitas Sumatera Utara
65
EMR karena kenyataannya total daya radiasi yang dipancarkan melalui permukaan
lateral dari silinder akan berkurang.
Jelas terlihat pada persamaan (4.2) dan (4.3) bahwa besarnya power density
sangat tergantung dari besarnya daya yang dipancarkan (P) dan jarak dari antena
BTS (R). Bila daya pemancar dibesarkan maka pada jarak yang sama, power density
akan semakin besar artinya radiasi EMF akan semakin besar, akibatnya efek negatif
terhadap lingkungan hidup juga akan semakin bertambah besar. Demikian juga
apabila daya yang dipancarkan tetap dan jarak semakin dekat dengan antena BTS,
maka power density akan semakin besar dan juga akan menambah besarnya efek
negatif terhadap lingkungan hidup disekitarnya.
Untuk model Far Field, R akan menjadi lebih kecil pada daerah spherical
sehingga iluminasi akan menjadi lebih kecil dan cenderung menjadi nol karena R
mendekati nol, tetapi dalam kenyataannya perilaku ini tidak benar karena dimensi
fisik antena adalah terbatas dan non vanishing . Kesalahan tersebut dapat dihilangkan
dengan formulasi berikut .
24 ( )4
PG
GR wh
watt/m2 (4.4.)
dimana h dan w adalah tinggi dan lebar dari antena, dan model ini disebut model
Vanishing (Bikram, 2014).
Besarnya puncak PD dapat dihitung (Kamo et al., 2011.; Miclaus dan Bechet,
2006.; Cicchetti dan Faraone, 2004.) dengan menggunakan model berikut :
23( / )
2
3
0
2( , )
1 2( )
dB
Peak rad
dB
WR
RRL
watt/m2 (4.5.)
Universitas Sumatera Utara
66
dimana Wrad = ηPin; dengan η adalah efesiensi antena dan Pin adalah daya input pada
konektor antena.
30
6
dBAD L
(4.6.)
dimana DA adalah diameter antena
Jarak dari antena BTS adalah sebagai fungsi dari PD yang dapat ditentukan dengan
rumus berikut (Kamo et al., 2011.; Miclaus dan Bechet, 2006.; Cicchetti dan
Faraone, 2004).
024
2( )
1 (4 )
Peak Peak qR R
q
meter (4.7.)
Besarnya q dapat dihitung dengan rumus berikut :
23( )
2 2
3
3 2 dB
Rad
Peak
dB A
Wq
L D
(4.8.)
Dari persamaan (4.7), Rpeak adalah jarak terjauh dari antena BTS dimana
besarnya power density berada tepat pada nilai ambang batas (4,5 watt/m2 untuk
frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800 MHz.), atau dengan kata
lain nilai ambang batas power density berada pada jarak Rpeak.. Sepanjang jarak Rpeak
dari antena BTS akan memiliki power density diatas nilai ambang batas sehingga
akan berbahaya bagi lingkungan hidup yang berada disekitarnya.
Dalam rangka menjaga lingkungan hidup dan kondisi sehat orang-orang
yang tinggal di dekat antena BTS sebagai dampak EMR dari BTS, maka perlu untuk
merubah lokasi BTS yang dipilih sedemikian rupa sehingga jarak antara BTSi dan
BTSj lebih besar dari Rpeak. Dari Persamaan Rpeak di atas, maka dapat dengan mudah
dilihat bahwa Rpeak adalah merupakan fungsi dari power density ρPeak. Oleh karena
itu perlu dilakukan penetapan bahwa pada masalah lokasi antena BTS, lokasi antena
BTS yang dilarang adalah pada lokasi BTSj dalam jarak RPeak dari BTSi ( i j ).
Universitas Sumatera Utara
67
4.1.2. Hasil pengukuran EMF dan efek negatifnya terhadap lingkungan hidup
Dari hasil pengukuran power density di lapangan pada menara-menara BTS
operator A (lampiran A) dan menara-menara BTS operator B (lampiran B) baik
untuk GSM dengan frekuensi kerja 900 MHz. maupun untuk GSM dengan frekuensi
kerja 1.800 MHz. dapat digambarkan dalam bentuk grafik.
Gambar 4.2. Grafik power density antena operator A untuk GSM 1.800 MHz.
Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator A dengan jumlah 183 antena
BTS yang bekerja pada frekuensi 1.800 MHz seperti yang digambarkan pada
Gambar 4.2. Dari 183 antena BTS tersebut hanya ada 14 antena atau sebesar 8 persen
yang berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 9
watt/m2). Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari
antena-antena BTS (untuk frekuensi 1.800 MHz.) yang dimiliki operator A, ada
sebanyak 92 persen antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak negatif
terhadap lingkungan hidup di kota Medan.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 50 100 150 200
X
Jumlah BTS
Universitas Sumatera Utara
68
Gambar 4.3. Grafik power density antena operator A untuk GSM 900 MHz.
Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator A dengan jumlah 186 antena
BTS yang bekerja pada frekuensi 900 MHz seperti yang digambarkan pada Gambar
4.3. Dari 186 antena BTS tersebut hanya ada 13 antena atau sebesar 7 persen yang
berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 4,5 watt/m2).
Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari antena-antena
BTS (untuk frekuensi 900 MHz.) yang dimiliki operator A, ada sebanyak 93 persen
antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak negatif terhadap
lingkungan hidup di kota Medan.
Gambar 4.4. Grafik power density antena operator B untuk GSM 1.800 Mhz.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 50 100 150 200
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 20 40 60 80 100
X
Jumlah BTS
Jumlah BTS
X
Universitas Sumatera Utara
69
Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator B dengan jumlah 92 antena
BTS yang bekerja pada frekuensi 1.800 MHz seperti yang digambarkan pada
Gambar 4.4. Dari 92 antena BTS tersebut hanya ada 20 antena atau sebesar 21 persen
yang berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 9
watt/m2). Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari
antena-antena BTS (untuk frekuensi 1.800 MHz.) yang dimiliki operator B, ada
sebanyak 79 persen antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak negatif
terhadap lingkungan hidup di kota Medan.
Gambar 4.5. Grafik power density antena operator B untuk GSM 900 Mhz.
Sebaran titik-titik sampel antena BTS operator A dengan jumlah 229 antena
BTS yang bekerja pada frekuensi 900 MHz seperti yang digambarkan pada Gambar
4.5. Dari 229 antena BTS tersebut hanya ada 24 antena atau sebesar 10,5 persen
yang berada di bawah nilai ambang batas (garis X) power density (di bawah 4,5
watt/m2). Hal ini menyatakan bahwa pada jarak sampai dengan 100 meter dari
antena-antena BTS (untuk frekuensi 900 MHz.) yang dimiliki operator B, ada
sebanyak 89,5 persen antena BTS yang memiliki radiasi EMF yang berdampak
negatif terhadap lingkungan hidup di kota Medan.
0
2
4
6
8
10
12
0 50 100 150 200 250
X
Jumlah BTS
Universitas Sumatera Utara
70
Tabel 4.1. Persentase jumlah PD di bawah nilai ambang batas
Operator GSM 900 GSM 1.800
Sampel
% < nilai ambang
batas PD Sampel
% < nilai ambang
batas PD
A 186 7 (13) 183 8 (14)
B 229 10,5 (24) 92 21 (20)
Jumlah 415 17,5 (37) 275 29 (34)
Catatan : nilai ambang batas PD 4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2
untuk frekuensi 1.800 MHz.
Dari total sampel antena BTS sebanyak 690 (Tabel 4.1) hanya 71 buah atau
sebanyak 10,2 persen antena BTS yang berada di bawah nilai ambang batas power
density (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi 1.800
MHz.). Kondisi demikian sangat berisiko terhadap lingkungan hidup khususnya
terhadap kesehatan masyarakat yang berdomisili disekitar menara antena BTS.
Mengingat lebih dari 80 persen antena BTS dari dua operator pada jarak 100 meter
yang ada dikota Medan memiliki power density EMF di atas nilai ambang batas. Efek
negatif yang terjadi terhadap kesehatan masyarakat dikelurahan Padang Bulan,
kecamatan Medan Baru, kota Medan juga dinyatakan oleh Nasution F.K.T. (2012),
adanya keluhan gangguan kesehatan berupa sakit kepala, gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, keletihan, sakit pada otot, dan rasa mual dengan persentase di atas 60
persen (data pada lampiran C). Tabulasi dampak yang terjadi terhadap lingkungan
hidup akibat level EMF di atas nilai ambang batas diperlihatkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Dampak EMF diatas nilai ambang batas terhadap lingkungan hidup
Level Power Density EMF Dampak Lingkungan Hidup
f = 900 MHz. f = 1.800 MHz. Kesehatan Manusia Hewan
> 4,5 watt/m2 > 9 watt/m2
Kelelahan *) Hilang kemampuan navigasi
Lekas marah Ancaman kelangsungan
Sakit kepala (headaches) *) populasi unggas
Mual *) Tersesat kembali ke habitatnya
Kehilangan nafsu makan Aborsi spontan
Universitas Sumatera Utara
71
Lanjutan Tabel 4.2.
Level Power Density EMF Dampak Lingkungan Hidup
f = 900 MHz. f = 1.800 MHz. Kesehatan Manusia Hewan
Gangguan tidur *) Cacat lahir
Kecenderungan depresi Masalah prilaku
Merasa tidak nyaman
Kesulitan berkonsentrasi *)
Sering lupa
Masalah kulit
Ganguan penglihatan
Gangguan pendengaran
Pusing (dizziness)
Sakit pada otot *)
Masalah kardiovaskular
Indikasi Kanker
Katarak
Depressi
Sistem Reproduksi
Menurunkan libido
Catatan : *) data penelitian di kota medan yang dilakukan Nasution F.K.T. (2012)
Dengan demikian model yang dibuat pada penelitian ini menjadi solusi untuk
melindungi lingkungan hidup khususnya kesehatan masyarakat di kota Medan dari
bahaya radiasi EMF antena BTS.
Gambar 4.6. Jarak batas aman power density operator A pada
frekuensi 1.800 MHz.
Besarnya power density yang dicatat pada pengukuran dilokasi BTS adalah
pengukuran power density yang tertinggi (ρpeak) dilokasi BTS. Gambar 4.6.
menggambarkan jarak aman dari setiap antena BTS yang diukur dimana pada jarak
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
0 50 100 150 200
Jumlah BTS
Universitas Sumatera Utara
72
tersebut (Rpeak) besarnya power density berada pada nilai ambang batas yaitu 9 w/m2
untuk frekuensi 1.800 Mhz. Besarnya Rpeak dihitung berdasarkan rumus (4.7). Untuk
operator A diperoleh jarak terdekat lingkungan hidup yang aman terhadap radiasi
EMF adalah sebesar 425 meter. Jarak terjauh lingkungan hidup yang aman terhadap
radiasi EMF adalah 780 meter dari antena BTS.
Gambar 4.7. Jarak batas aman power density operator A pada
frekuensi 900 MHz.
Jarak aman minimal dari antena BTS (Rpeak) operator A untuk frekuensi
900 Mhz adalah seperti yang terlihat pada Gambar 4.7. dengan nilai ambang batas
power density 4,5 w/m2. Dari hasil pengukuran, jarak terdekat lingkungan hidup yang
aman terhadap radiasi EMF adalah sebesar 175 meter. Jarak terjauh lingkungan
hidup yang aman terhadap radiasi EMF adalah sebesar 475 meter dari antena BTS.
Jarak aman minimal dari radiasi EMF antena BTS (nilai ambang batas
power density 9 w/m2) terhadap lingkungan hidup (Rpeak) operator B untuk frekuensi
1.800 Mhz adalah seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.8.
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0 50 100 150 200
Jumlah BTS
Universitas Sumatera Utara
73
Dari hasil pengukuran, jarak aman lingkungan hidup dengan antena
BTS yang terdekat adalah sebesar 290 meter. Jarak aman lingkungan hidup dengan
antena BTS yang terjauh adalah sebesar 685 meter.
Gambar 4.9. Jarak batas aman power density operator B pada frekuensi 900 MHz.
Jarak aman minimal dari radiasi EMF antena BTS (nilai ambang batas power
density 4,5 w/m2) terhadap lingkungan hidup (Rpeak) operator B untuk frekuensi 900
Mhz adalah seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.9. Dari hasil pengukuran, jarak
aman lingkungan hidup dengan antena BTS yang terdekat adalah sebesar 150 meter.
Jarak aman lingkungan hidup dengan antena BTS yang terjauh adalah sebesar 495
meter.
0
100
200
300
400
500
600
700
800
0 20 40 60 80 100
0
100
200
300
400
500
600
0 50 100 150 200 250
Jumlah BTS
Jumlah BTS
Gambar 4.8. Jarak batas aman power density operator B pada frekuensi 1.800 MHz.
Universitas Sumatera Utara
74
Dari data yang diperoleh pada Gambar 4.6, 4.7, 4.8, dan 4.9. dapat diambil
sebuah gambaran bahwa jarak aman terdekat lingkungan hidup dari radiasi EMF
antena BTS di kota Medan adalah 150 sampai dengan 175 meter dari antena BTS.
Jarak aman terjauh lingkungan hidup dari radiasi EMF antena BTS di kota Medan
adalah 685 meter sampai dengan 780 meter dari antena BTS seperti yang tertera pada
Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Rpeak terdekat dan terjauh
J a r a k (m) Operator A Operator B
900 Mhz. 1.800 Mhz. 900 Mhz. 1.800 Mhz.
Terdekat 175 425 150 290
Terjauh 475 780 495 685
4.2. Konsep Dasar Model yang Digunakan
Masalah dalam menentukan BTSL (BTS Location) adalah menemukan F
sedemikian rupa sehingga BTS ini akan mampu mencakup seluruh area dalam sistem
dengan biaya yang minimum. Memilih lokasi site yang baik akan dapat mengurangi
jumlah BTS dan masih memiliki kualitas layanan yang baik terhadap pengguna.
Masalah untuk memilih lokasi tertentu dapat dilakukan dengan cara kombinasi
optimasi. Dalam literatur Mathar dan Niessem (2000), Amadi dan Capone (2003),
Amadi et al. (2006, 2008), Mazzini dan Mateus (2001a) menggunakan model mixed
integer programming untuk memecahkan masalah BTSL. Erradi et al. (2013)
mengusulkan sebuah model pemrograman matematika untuk masalah BTSL, dan
kemudian hasilnya didapatkan dengan menggunakan model algoritma genetika.
Zdunek dan Ignor (2010) menggunakan Optimization Weed Invasif untuk
menemukan lokasi terbaik BTS. Sementara Gonzales et al. (2010) menggunakan
Universitas Sumatera Utara
75
pemrograman stokastik, di mana diharapkan pengguna menggunakan distribusi
untuk optimasi BTSL.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa permintaan untuk komunikasi
selular sangat banyak, khususnya di kota Medan. Tingkat kenaikan dalam
penggunaan telepon selular memiliki konsekuensi serius, ketersediaan frekuensi
yang dapat digunakan yang diperlukan untuk komunikasi antara pengguna ponsel
dan BTS pada jaringan radio selular telah melebihi lebar pita frekuensi yang
disediakan. Perencanaan yang memerlukan kehati-hatian dalam merancang jaringan
diperlukan untuk memastikan penggunaan yang efisien dari sumber daya frekuensi
yang terbatas. Salah satu isu yang paling penting pada desain jaringan radio selular
untuk menentukan alokasi spektrum adalah efisien dan bebas dari konflik saluran
antar sel, sementara juga dapat melayani baik permintaan trafik dan kendala
kompatibilitas elektromagnetik (EMC). Hal ini biasanya disebut sebagai Channel
Assigment atau Frequency Assignment Problem (FAP). Masalah FAP pertama sekali
muncul pada tahun 1960 (Metzger et al.,1970). Pengembangan layanan nirkabel baru
seperti jaringan telepon selular menyebabkan kelangkaan frekuensi yang dapat
digunakan dalam spektrum radio. Frekuensi yang diberikan atau yang dilisensi oleh
pemerintah kepada operator dikenakan biaya untuk penggunaan setiap frekuensi
tunggal secara terpisah. Ini menandakan agar operator dapat mengembangkan
rencana kebutuhan frekuensi yang tidak hanya untuk menghindari tingkat gangguan
yang tinggi, tetapi juga meminimalkan biaya lisensi.
Kebutuhan alokasi frekuensi merupakan masalah assignment, dimana hal
ini dapat diatasi dengan menggunakan model optimasi kombinatorial. Oleh karena
itu masalah ini dapat dirumuskan sebagai masalah Assigning Frequency Channels
yang dibutuhkan oleh BTS yang dipilih dan juga untuk mengatasi kendala gangguan
Universitas Sumatera Utara
76
frekuensi. Fungsi dari pemecahan masalah ini dapat bervariasi sesuai dengan konteks
masalah. Ketika Assignment didasarkan pada variabel ukuran spektrum frekuensi,
maka biasanya bertujuan untuk meminimalkan jumlah kanal frekuensi yang
digunakan (Smith dan Palaniswani, 1998., Jaimes et al., 1996). Karena permintaan
komunikasi seluler meningkat, maka untuk mendapatkan kanal yang bebas
interferensi akan sulit atau tidak ada frekuensi yang tersedia. Tujuan dari
meminimalkan jumlah frekuensi adalah juga untuk meminimalkan interferensi, dan
terpenuhinya permintaan dalam spektrum frekuensi tetap (Aardal, 2007.; Ngo et al.,
1998.). Beberapa pendekatan heuristik telah diusulkan untuk memecahkan berbagai
versi dari FAP, seperti Neural Networks (Ngo et al., 1998.; Smith dan Palaniswani,
1998.; Moradi, 2010.), genetik dan evolusi algoritma (Wang, 2002.; Fu et al., 2006.;
Acan et al., 2003.; Aizaz et al., 2012.; Chia et al., 2012), teknik Local Search (Amadi
dan Capone, 2003), Particle Swarm Optimization (Hasselbach et al., 2008.;
Mundada, 2011.), Ant Colony Optimization (Parsapoor dan Bilstrup, 2013.).
Telah disebutkan tentang bagaimana untuk menentukan lokasi menara
antena BTS yang dirancang dengan jaringan yang efisien dan dari sumber daya
frekuensi yang terbatas. Agar fungsi ponsel seperti yang diharapkan, maka perlu
merancang konfigurasi topologi untuk menghubungkan kandidat BTS untuk jaringan
telepon tetap. Masalah rancangan ini telah dibahas dalam literatur sebagai Topology
Network Design (TND) (Dutta dan Kubat, 1999.; Kubat dan Smith, 2000.). Karena
ini adalah masalah untuk merancang topologi konfigurasi, maka umumnya itu
termasuk optimasi kombinatorial juga. Masalah ini dapat dirumuskan sebagai
rancangan topologi jaringan yang mampu menghubungkan kandidat BTS untuk
jaringan telepon yang tetap sehingga meminimalkan biaya. Beberapa fitur yang dapat
dipertimbangkan dalam perumusan masalah ini adalah penggunaan hub, berbagai
Universitas Sumatera Utara
77
jenis media, dan kapasitas link yang tersedia. Desain topologi jaringan adalah salah
satu masalah klasik yang telah dieksplorasi dalam konteks jaringan lainnya, dan pada
umumnya adalah masalah NP-hard.
Sinyal medan elektromagnetik (EMF) yang dipancarkan oleh antena BTS
menimbulkan Radiasi elektromagnetik (EMR). Sinyal ini dapat mencakup hingga
radius 9 km jaraknya dari BTS, tergantung pada kekuatan daya yang dipancarkan
oleh BTS. Jumlah BTS sangat tergantung pada jumlah pengguna seluler (Bikram,
2014). Di kota Medan, misalnya, ada tujuh operator telepon selular, akibatnya
banyak orang yang terkena paparan gelombang medan elektromagnetik yang
dipancarkan antena BTS. Santini et al. (2003), Abde-Rassoul et al. (2007), Shahbazi-
Gahrouei et al. (2014) membuat laporan tentang efek kesehatan bagi masyarakat
yang tinggal di dekat antena BTS. Sementara Government of India Ministry of
Communications & Information Technology Department of Telecommunications
(2010) membuat sebuah laporan bahwa radiasi EMF dari antena BTS berdampak
negatif terhadap lingkungan hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan). Oleh karena itu
pada penelitian ini bukan saja hanya berfokus pada masalah merancang topologi
konfigurasi jaringan sistem selular, tetapi juga bertujuan mengurangi dampak negatif
EMR dari antena BTS terhadap lingkungan hidup disekitar antena BTS. Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan sebuah model matematis yang disebut Cellular
Topological Network Design (CTND) yang ramah lingkungan, dalam hal ini
digunakan faktor power density untuk mengukur besaran EMR.
Cellular topological network design (CTND) adalah merupakan masalah
optimasi kombinasi dengan skala yang sangat besar yang didalamnya juga termasuk
masalah BTSL, FCA dan masalah TND. Oleh karena itu, CTND adalah masalah NP-
hard selama BTSL, FCA dan masalah TND merupakan NP-hard. Sangat mudah
Universitas Sumatera Utara
78
untuk mengetahui bahwa masalah CTND dapat diselesaikan secara terpisah
(separately) atau terpadu (integratedly). Banyak formulasi pemrograman
matematika telah diusulkan untuk menyelesaikan secara terpisah masing-masing
masalah ini, dan keduanya menghasilkan yang sama baik dengan menggunakan
teknik yang sesuai. Namun, tampaknya intuitif yang baik untuk kedua masalah FCA
dan TND tergantung pada solusi masalah BTSL, sesuai dengan solusi terbaik mereka
masing-masing. Analisis komputasi sebelumnya dilaporkan dalam Mazzini et al.
(2003) yang menunjukkan bahwa ada trade off antara BSL dan FCA dan antara
BTSL dan masalah TND. Untuk menunjukkan hubungan ini, para penulis
memecahkan masalah CTND untuk sebuah contoh kecil. Masalah ini diselesaikan
baik secara terpisah maupun secara terpadu.
Penelitian ini menyajikan model mixed integer linear programming
(MILP) untuk memecahkan masalah desain jaringan seluler untuk jaringan generasi
kedua. Pada penelitian ini diperluas model yang dilakukan oleh Gonzales et al.
(2010) dengan memberlakukan pembatasan jarak antara BTS di lokasi yang dipilih
karena efek radiasi EMF terhadap orang-orang di sekitarnya.
4.3. M o d e l
Pada pemodelan ini mencakup kandidat BTS yang akan dipilih / dibangun.
BSC yang berfungsi sebagai hub yang menghubungkan antara BTS asal MS dengan
BTS dimana MS yang dituju berada. MSC berfungsi sebagai switch yang
menghubungkan antara MS pada sebuah BTS dengan MS yang berada pada BSC
yang berbeda. Pada model ini juga harus diperhitungkan interferensi antar BTS, dan
lokasi BTS yang dilarang. Pada arsitektur jaringan telepon seluler, BSC berfungsi
sebagai hub yang menghubungkan BTS dengan BTS yang dituju, dan juga dapat
Universitas Sumatera Utara
79
menghubungkan BTS dengan MSC (switch). Sedangkan switch dapat
menghubungkan antara BSC (hub) dengan BSC (hub) yang dituju, dan juga dapat
menghubungkan antara BSC (hub) dengan PSTN . Set dari notasi-notasi yang
digunakan adalah sebagai berikut :
Set
I : set dari kandidat base transceiver station (BTS)
J : set dari hub
K : set of switch
L : set dari titik yang diinginkan
M : set dari frequency channels (FCs)
Ni : set dari interferensi antara BTS-BTS ke BTS i
F : Set dari BTS dalam lokasi yang dilarang
1,..., N n adalah satu set lokasi menara antena BTS dan F N adalah satu
set calon lokasi menara antena BTS yang akan diinstalasi antena BTS. Setiap j lokasi
pada N memiliki permintaan panggilan trafik tertentu.
Parameter-parameter yang digunakan pada pemodelan ini khususnya untuk
meminimalkan biaya lokasi BTS adalah untuk instalasi BTS, koneksi BTS dengan
hub, koneksi BTS dengan switch, koneksi hub dengan switch, dan biaya
memindahkan BTS i ke BTS i’ karena tidak terpenuhinya power density. Parameter-
parameter biaya tersebut adalah :
i : biaya untuk instalasi BTS i ∀𝑖 ∈ 𝐼
ij : biaya untuk menghubungkan BTS i dengan hub j ∀𝑖 ∈ 𝐼, ∀𝑗 ∈ 𝐽
ik : biaya untuk menghubungkan BTS i dengan switch k ∀𝑖 ∈ 𝐼, ∀𝑘 ∈ 𝐾
jk : biaya untuk menghubungkan hub j dengan switch k ∀𝑗 ∈ 𝐽, ∀𝑘 ∈ 𝐾
'ii : biaya untuk memindahkan BTS i ke i’ ∀𝑖 ∈ 𝐼, ∀𝑖′ ∈ 𝐼
Universitas Sumatera Utara
80
sedangkan parameter lainnya adalah memaksimumkan agar koneksi dapat
berlangsung tanpa terjadinya drop call , parameter tersebut adalah :
𝜅i : Jumlah maksimum MS dari titik-titik yang dapat dilayani oleh BTS i ∀𝑖 ∈ 𝐼
λi : Jumlah maksimum dari FC yang dapat di digunakan oleh BTS i ∀𝑖 ∈ 𝐼
pl : Jumlah kanal komunikasi pada titik l yang diminta ∀𝑙 ∈ 𝐿
σ : Jumlah saluran komunikasi yang dibawa oleh FC
d : Jarak minimum frekuensi orthogonal antara FCs yang berdekatan
ρ : Power density
𝜇𝑖𝑗 = 1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐵𝑇𝑆 𝑖 𝑚𝑒𝑙𝑖𝑝𝑢𝑡 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑗0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
∀𝑖 ∈ 𝐼, ∀𝑙 ∈ 𝐿
dan variabel-variabel biner ditetapkan sebagai berikut :
𝑦𝑖 = 1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐵𝑇𝑆 𝑖 𝑑𝑖𝑝𝑖𝑙𝑖ℎ 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
∀𝑖 ∈ 𝐼
𝑞𝑖𝑗 = 1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐵𝑇𝑆 𝑖 𝑑𝑖ℎ𝑢𝑏𝑢𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒 ℎ𝑢𝑏 𝑗0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
∀𝑖 ∈ 𝐼, 𝑖 ∉ 𝐹, ∀𝑗 ∈ 𝐽
𝑟𝑖𝑘 = 1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐵𝑇𝑆 𝑖 𝑑𝑖ℎ𝑢𝑏𝑢𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒 𝑠𝑤𝑖𝑡𝑐ℎ 𝑘0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
∀𝑖 ∈ 𝐼, 𝑖 ∉ 𝐹, ∀𝑘 ∈ 𝐾
𝑢𝑗𝑘 = 1 𝑗𝑖𝑘𝑎 ℎ𝑢𝑏 𝑗 𝑑𝑖ℎ𝑢𝑏𝑢𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒 𝑠𝑤𝑖𝑡𝑐ℎ 𝑘0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
∀𝑗 ∈ 𝐽, ∀𝑘 ∈ 𝐾
𝑣𝑖𝑚 = 1 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐹𝐶 𝑚 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒 𝐵𝑇𝑆 𝑖 0 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎
∀𝑖 ∈ 𝐼, 𝑖 ∉ 𝐹, ∀𝑚 ∈ 𝑀
Variabel kontiniu :
ilx tingkat liputan permintaan l yang dilayani oleh BTS I dimana ∀𝑖 ∈ 𝐼, ∀𝑙 ∈ 𝐿
Besaran ilx berada diantara 0 dan 1
4.3.1. Melakukan formulasi dari fungsi tujuan
Secara umum, tujuan dari jaringan distribusi adalah untuk meminimalkan
biaya. Oleh karena itu, akan sama halnya untuk kasus cellular topology network
design dengan mempertimbangkan power density (CTND-PD). Tujuan CTND-PD
meliputi tiga hal yaitu :
Universitas Sumatera Utara
81
1. Biaya instalasi BTS,
2. Biaya untuk menghubungkan BTS ke jaringan telepon tetap,
3. Biaya mengubah lokasi BTS karena tidak terpenuhi nilai ambang batas power
density (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi
1.800 MHz.).
Model dari meminimalkan biaya untuk BTSL dapat dilakukan dengan
menjumlahkan model biaya minimal untuk instalasi atau penempatan BTS, biaya
minimal untuk koneksi BTS yang dipilih dengan hub, biaya minimal koneksi BTS
dengan switch, biaya minimal koneksi hub dengan switch, dan biaya minimal
pemindahan BTS i ke BTS i’. Diagram alir dari model meminimalkan biaya ini dapat
dilihat pada Gambar 4.10.
4.3.1.a. Model biaya instalasi BTS
Biaya instalasi BTS dimodelkan sebagai berikut :
𝐶1 = ∑ 𝛼𝑖𝑦𝑖 (4.9)𝑖∈𝐼
Model yang diperoleh pada persamaan 4.9. menyatakan bahwa biaya instalasi
seluruh BTS-BTS yang dipilih merupakan jumlah dari setiap biaya instalasi BTS
yang dipilih dimana BTS-BTS tersebut merupakan kumpulan BTS yang
direncanakan pada sebuah jaringan telepon seluler. Kumpulan BTS i yang
direncanakan ini adalah kumpulan BTS dengan biaya instalasi yang minimal dengan
memperhatikan besarnya power density. BTS i dipilih bila power density nya berada
di bawah nilai ambang batas (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2
untuk frekuensi 1.800 MHz.). C1 mengandung variabel yi , yang menyatakan bahwa
BTS yang dipilih memiliki power density di bawah nilai ambang batas, artinya
Universitas Sumatera Utara
82
lingkungan hidup pada daerah tersebut sudah terlindungi dari bahaya radiasi EMF
dari antena BTS tersebut.
4.3.1.b. Model biaya koneksi BTS yang dipilih ke hub
Biaya koneksi BTS yang dipilih untuk terhubung dengan hub dapat ditulis
sebagai :
𝐶2 = ∑ 𝛽𝑖𝑗 ∑ 𝑞𝑖𝑗
𝑗∈𝐽𝑖∈𝐼
atau
𝐶2 = ∑ ∑ 𝛽𝑖𝑗𝑞𝑖𝑗
𝑗∈𝐽𝑖∈𝐼
(4.10)
Model yang diperoleh pada persamaan 4.10. menyatakan biaya minimum
untuk melakukan koneksi antara BTS i yang dipilih dengan hub j dimana BTS i tidak
berada pada lokasi yang dilarang dalam arti lokasi yang tidak melebihi nilai ambang
batas power density (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk
frekuensi 1.800 MHz.). Koneksi BTS i dengan hub ini dilakukan untuk
menghubungkan BTS i dengan BTS lainnya yang berada dalam satu hub dengan BTS
i. dalam hal ini BSC berlaku sebagai hub pada jaringan telepon seluler.
4.3.1.c. Model biaya koneksi BTS yang dipilih dengan switch
Biaya koneksi untuk setiap BTS yang dipilih dengan switch, ditulis sebagai
berikut :
𝐶3 = ∑ 𝛾𝑖𝑘 ∑ 𝑟𝑖𝑘
𝑘∈𝐾𝑖∈𝐼
atau
𝐶3 = ∑ ∑ 𝛾𝑖𝑘𝑟𝑖𝑘
𝑘∈𝐾𝑖∈𝐼
(4.11)
Universitas Sumatera Utara
83
Model yang diperoleh pada persamaan 4.11. adalah biaya minimal koneksi
antara BTS i yang dipilih dengan switch dimana lokasi BTS i tidak berada pada lokasi
yang dilarang. Pada jaringan telepon seluler, switch dapat berupa MSC sebagai
media untuk menghubungkan BTS i yang dipilih melalui BSC (hub) dengan BTS
yang dituju melalui BSC (hub) lainnya atau menghubungkan BTS i yang dipilih
melalui BSC (hub) dengan jaringan telepon tetap PSTN.
4.3.1.d. Model biaya koneksi hub dengan switch
Biaya koneksi hub dengan switch:
𝐶4 = ∑ 𝛿𝑗𝑘 ∑ 𝑢𝑗𝑘
𝑘∈𝐾𝑗∈𝐽
atau
𝐶4 = ∑ ∑ 𝛿𝑗𝑘𝑢𝑗𝑘
𝑘∈𝐾𝑗∈𝐽
(4.12)
Model yang diperoleh pada persamaan 4.12. adalah biaya minimal koneksi
antara hub dengan switch. Koneksi ini terjadi karena BTS yang dituju oleh BTS i
berada pada kelompok BTS di bawah koordinasi BSC (hub) yang berbeda dengan
BTS i. Pada jaringan seluler hub dapat berupa BSC dan switch dapat berupa MSC
dimana hubungan koneksi keduanya dapat dilakukan melalui media transmisi udara
(microwave link) atau dapat juga dilakukan menggunakan media transmisi kabel
fiber optic (FO).
4.3.1.e. Model biaya pemindahan BTS
Biaya pemindahan BTS dari i ke i’:
𝐶5 = ∑ 𝜂𝑖𝑖′ ∑ 𝑦𝑖𝑖′
𝑖′∈𝐼,𝑖′∉𝐹𝑖∈𝐼
atau
Universitas Sumatera Utara
84
𝐶5 = ∑ ∑ 𝜂𝑖𝑖′𝑦𝑖𝑖′
𝑖′∈𝐼,𝑖′∉𝐹𝑖∈𝐼
(4.13)
Model yang diperoleh pada persamaan 4.13. menyatakan biaya untuk
melakukan pemindahan BTS dari lokasi i ke lokasi yang baru yaitu lokasi i’.
pemindahan ini dilakukan karena pada lokasi BTS i dinyatakan tidak layak atau tidak
memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup (melebihi nilai ambang batas
power density) sehingga harus dipindahkan ke lokasi yang baru.
Model akhir yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan biaya minimum
untuk penentuan lokasi BTS (BTS Location) yang aman bagi kesehatan lingkungan
hidup dan jaminan ketersediaan FCA untuk melayani hubungan komunikasi telepon
seluler. Model yang dihasilkan merupakan penjumlahan dari model biaya instalasi
BTS (C1), model biaya koneksi BTS yang dipilih ke hub (C2), model biaya koneksi
BTS yang dipilih dengan switch (C3), model biaya koneksi hub dengan switch (C4),
dan model biaya pemindahan BTS (C5). Model yang dihasilkan untuk pemecahan
masalah ini dapat dinyatakan sebagai meminimalkan biaya sebagai berikut :
𝑴𝒊𝒏 𝒁 = 𝑪𝟏 + 𝑪𝟐 + 𝑪𝟑 + 𝑪𝟒 + 𝑪𝟓 (4.14)
Model tersebut menjamin terjadinya hubungan komunikasi telepon seluler
pada sebuah jaringan telepon seluler dengan melakukan pemilihan BTS di dalam
kelompok BTS yang dibangun yang pada saat terjadinya koneksi memiliki power
density yang aman terhadap kesehatan manusia yang berada pada lokasi l, jaminan
koneksi ini dinyatakan dengan ketersediaan FCA. Ada beberapa ketentuan yang
perlu dilakukan untuk menjamin kelayakan desain jaringan BTSL, FCA dan desain
jaringan seluler berbasis power density (PD-CND), yaitu :
Universitas Sumatera Utara
85
Pertama, merumuskan masalah BTSL, seperti biasanya dalam masalah
lokasi perlu menjamin bahwa setiap titik permintaan dilayani oleh antena BTS.
Dengan kata lain, kita perlu memastikan bahwa untuk BTS yang dipilih benar-benar
dapat melayani (mencakup) permintaan, asalkan BTS tidak berada di lokasi
terlarang. Untuk hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
∑ 𝜇𝑖𝑙𝑥𝑖𝑙 𝑖𝐼,𝑖𝐹
≥ 1, ∀ 𝑙 𝐿 (4.15)
Lokasi terlarang adalah lokasi dimana power density nya berada diatas nilai
ambang batas (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2 untuk frekuensi
1.800 MHz.) sehingga tidak boleh ada BTS yang dipilih pada lokasi tersebut. Jarak
lokasi yang dipilih harus berada lebih besar dari Rpeak artinya lokasi antena BTS yang
dilarang adalah pada lokasi BTSj dalam jarak RPeak dari BTSi ( i j ).
Model 4.15. menyatakan bahwa BTS i yang dipilih benar-benar dapat
melayani permintaan koneksi pada titik l sehingga komunikasi itu dapat berlangsung
dengan baik. Selanjutnya, dalam model ini harus dijamin bahwa calon lokasi BTS
yang tidak dipilih tidak harus melayani permintaan setiap titik, dan harus ada batas
atas untuk jumlah poin yang dilayani oleh BTS yang dipilih, kondisi ini dinyatakan
pada (4.16).
∑ µ𝑖𝑙𝑥𝑖𝑙 ≤ 𝐾𝑖𝑌𝑖 ,𝑙=𝐿
∀𝑖 𝐼 (4.16)
Model 4.16. menyatakan bahwa bahwa BTS i yang dipilih melayani
permintaan koneksi dari titik l dengan batasan jumlah maksimum K yang dapat
dilayani. Set titik-titik L sebagai mewakili permintaan area layanan jaringan selular.
Parameter il mewakili wilayah cakupan dari masing-masing base station. Akhirnya,
Universitas Sumatera Utara
86
variabel linear xil didefinisikan sebagai berapa banyak titik l dilayani oleh base
station i. Jika xil = 1, berarti base station i berfungsi sepenuhnya (100%) melayani
permintaan dari titik l. Jika bervariasi antara 0 dan 1, BTS i ( )i F hanya melayani
sebahagian dari permintaan titik l. Dalam hal ini, ketentuan (4.15) menjamin bahwa
BTS lainnya melayani permintaan yang tersisa yang tidak dilayani oleh BTS i. Jika
xil = 0, titik l tidak dilayani oleh BTS i.
Kedua, untuk masalah CTND . Untuk menjamin kelayakan masalah
CTND, model harus memastikan bahwa semua BTS yang dipilih dan jaringan tetap
(fixed network) terhubung dengan baik . Ketentuan (4.17) merupakan jaminan untuk
semua BTS bahwa jika BTS i dipilih yang tidak berada pada lokasi terlarang ( )i F
, harus terhubung setidaknya ke hub atau switch, hal ini dilakukan agar BTS yang
dipilih dapat melakukan koneksi dengan BTS yang dituju melalui hub atau melalui
switch.
∑ 𝑞𝑖𝑗
𝑗𝐽
+ ∑ 𝑟𝑖𝑘
𝑘𝐾
≥ 𝑦𝑖 , ∀𝑖 𝐼, 𝑖 𝐹 (4.17)
Sedangkan Persamaan ( 4.18) sebagai jaminan untuk semua hub bahwa jika ada base
station yang dipilih, yang tidak di lokasi terlarang terhubung ke hub j dan harus
terhubung setidaknya untuk switch k.
∑ µ𝑗𝑘
𝑘𝐾
≥ 𝑞𝑖𝑗 , ∀𝑖 𝐼, 𝑖 𝐹, ∀𝑗 𝑣 𝐽 (4.18)
Untuk masalah FCA, kelayakan masalah tergantung pada gangguan
saluran, permintaan dan keterbatasan kapasitas. Ketentuan set FCA yang diwakili
oleh rumus (4.19) melalui (4.22). Persamaan (4.19) menjamin bahwa kanal frekuensi
yang berdekatan yang diberikan ke BTS yang sama akan dipisahkan satu sama lain
Universitas Sumatera Utara
87
oleh setidaknya d kanal frekuensi orthogonal, ini dilakukan dengan maksud agar
tidak terjadi interferensi terhadap kanal yang berdekatan (co-channel interference).
∑ 𝑣𝑖𝑚
𝘨+𝑑
𝑚=1
≤ 1, ∀𝑖 𝐼, ∀𝘨 1, … , 𝑀 − 𝑑 (4.19)
Ketentuan (4.20.) adalah untuk memastikan bahwa jika kanal frekuensi m diberikan
ke BTS i, maka tidak boleh diberikan untuk salah satu dari BTS-BTS yang memiliki
set interferensi Ni. Set interferensi Ni diperoleh untuk setiap BTS i dan BTS lainnya
yang menyebabkan gangguan saluran frekuensi, artinya frekuensi kanal tidak akan
diberikan kepada BTS yang sedang mengalami interferensi.
𝑣𝑖𝑚 + ∑ 𝑣𝘨𝑚 ≤ 1,
𝘨𝑁𝑖
∀𝑖 𝐼, ∀𝑚 𝑀 (4.20)
Persamaan (4.21) menyatakan bahwa jumlah kanal frekuensi yang diberikan ke BTS
i sudah cukup untuk melayani permintaan dari titik-titik yang dilayani oleh base
station. Parameter σ didefinisikan sebagai berapa banyak saluran komunikasi dapat
dibawa oleh kanal frekuensi. Dalam hal teknologi FDMA sudah di-set menjadi 1,
sementara itu dapat di-set menjadi 3 dalam kasus teknologi TDMA.
∑ 𝑣𝑖𝑚
𝑚𝑀
≥ ∑ 𝑝𝑙
𝑙𝐿
𝑥𝑖𝑗 , ∀𝑖 𝐼, (4.21)
Sedangkan set ketentuan pada (4.22) menjamin bahwa kanal frekuensi dapat
diberikan ke BTS i hanya pada base station dipilih, dan masih sebagai penyebab
terikatnya pada jumlah maksimum kanal frekuensi yang diberikan ke BTS i.
∑ 𝑣𝑖𝑚
𝑚𝑀
≤ 𝜆𝑖𝑦𝑖 , ∀𝑖 𝐼 (4.22)
Universitas Sumatera Utara
88
Ketentuan pada persamaan (4.23) dan (4.24) dinyatakan dalam biner dan variabel-
variabel kontiniu, masing-masing sebagai berikut :
𝑦𝑖, 𝑣𝑖𝑚, 𝑞𝑖𝑗 , 𝑟𝑖𝑘, 𝑢𝑗𝑘 0,1, ∀𝑖𝐼, ∀𝑚𝑀, ∀𝑗𝐽, ∀𝑘𝐾 (4.23)
0 ≤ 𝑥𝑖𝑙 ≤ 1, ∀𝑖 𝐼, ∀𝑙𝐿, (4.24)
Gambar 4.10. Flowchart model yang diperoleh
Set notasi :
I, J, K, L, M, Ni, F
Parameter biaya :
i ’ ij’ ik , jk
’ 'ii
Variabel biner :
𝑦𝑖, 𝑞𝑖𝑗, 𝑟𝑖𝑘, 𝑢𝑗𝑘, 𝑣𝑖𝑚
𝐶1 = ∑ 𝛼𝑖𝑦𝑖
𝑖∈𝐼
𝐶2 = ∑ ∑ 𝛽𝑖𝑗𝑞𝑖𝑗
𝑗∈𝐽𝑖∈𝐼
𝐶3 = ∑ ∑ 𝛾𝑖𝑘𝑟𝑖𝑘
𝑘∈𝐾𝑖∈𝐼
𝐶4 = ∑ ∑ 𝛿𝑗𝑘𝑢𝑗𝑘
𝑘∈𝐾𝑗∈𝐽
𝐶5 = ∑ ∑ 𝜂𝑖𝑖′𝑦𝑖𝑖′
𝑖′∈𝐼,𝑖′∉𝐹𝑖∈𝐼
𝑀𝑖𝑛 𝑍 = 𝐶1 + 𝐶2 + 𝐶3 + 𝐶4 + 𝐶5
Model biaya instalasi BTS
Model biaya koneksi BTS
Yang dipilih ke hub
Model biaya koneksi BTS
Yang dipilih ke switch
Model biaya koneksi hub
Dengan switch
Model biaya pemindahan BTS
Model yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
89
Gambar 4.11. Flowchart ketentuan yang dipersyaratkan pada model yang diperoleh
Secara ringkas, model yang diperoleh dapat digambarkan dengan flowchart
seperti pada Gambar 4.10. dengan beberapa ketentuan yang juga dapat digambarkan
dengan flowchart seperti pada Gambar 4.11. Ketentuan-ketentuan yang
dipersyaratkan pada model yang diperoleh harus terpenuhi. Hal ini terlihat pada
flowchart Gambar 4.11., bahwa pemilihan atau instalasi BTSL harus memenuhi nilai
BTSL
CTND
FCA
Parameter koneksitas :
𝜅i , λi, pj, σ, d
𝜇𝑖𝑗
Parameter power density :
ρ
Variabel kontiniu :
Dengan beberapa ketentuan model
:
∑ 𝜇𝑖𝑙𝑥𝑖𝑙
𝑖𝐼,𝑖𝐹
≥ 1
∑ µ𝑖𝑙𝑥𝑖𝑙 ≤ 𝐾𝑖𝑌𝑖
𝑙=𝐿
Variabel biner :
𝑦𝑖, 𝑞𝑖𝑗, 𝑟𝑖𝑘, 𝑢𝑗𝑘, 𝑣𝑖𝑚
0,1
∑ 𝑞𝑖𝑗
𝑗𝐽
+ ∑ 𝑟𝑖𝑘
𝑘𝐾
≥ 𝑦𝑖
∑ µ𝑗𝑘
𝑘𝐾
≥ 𝑞𝑖𝑗
∑ 𝑣𝑖𝑚
𝘨+𝑑
𝑚=1
≤ 1
𝑣𝑖𝑚 + ∑ 𝑣𝘨𝑚 ≤ 1
𝘨𝑁𝑖
∑ 𝑣𝑖𝑚
𝑚𝑀
≥ ∑ 𝑝𝑙
𝑙𝐿
𝑥𝑖𝑗
∑ 𝑣𝑖𝑚
𝑚𝑀
≤ 𝜆𝑖𝑦𝑖
Universitas Sumatera Utara
90
ambang batas power density (4,5 watt/m2 untuk frekuensi 900 MHz. dan 9 watt/m2
untuk frekuensi 1.800 MHz.). Demikian juga pada perancangan jaringan telepon
selular (CTND) memasukkan power density sebagai parameter yang harus terpenuhi.
Hal ini juga terjadi pada pemberian FCA ke kanal BTS yang harus memenuhi nilai
ambang batas power density. Dengan demikian pemilihan BTS, pemberian FCA
pada perancangan CTND memenuhi nilai ambang batas power density dengan
tujuan memberikan jaminan perlindungan lingkungan hidup dari bahaya paparan
radiasi EMF antena BTS.
4.4. Algoritma Penyelesaian Model
Penelitian ini mengadopsi uji pendekatan untuk mengurangi masalah di
mana sebagian besar variabel-variabel bilangan integer adalah tetap konstan dan
hanya sebagian kecil diperbolehkan bervariasi dalam langkah-langkah diskrit.
Langkah-langkah prosedur dapat diringkas sebagai berikut :
Langkah 1. Memecahkan masalah dengan mengabaikan persyaratan integral .
Langkah 2. Memperoleh (sub-optimal) solusi bilangan integer yang layak,
menggunakan pembulatan heuristik dari solusi berkelanjutan .
Langkah 3. Membagi set I dari variabel integer ke dalam set I1, pada batas-batas
dimana yang nonbasic pada solusi kontiniu, dan set 2I , 1 2I I I .
Langkah 4. Melakukan pencarian pada fungsi tujuan, menjaga variabel dalam
nonbasic I1 dan memperbolehkan hanya perubahan diskrit dalam nilai-
nilai dari variabel dalam I2.
Langkah 5. Melakukan pengurangan biaya dalam variabel I1. jika ada harus
dibebaskan dari batasan, dan tambahkan ke set I2 dan ulangi dari
langkah 4 , jika tidak maka akhiri.
Universitas Sumatera Utara
91
Perlu dicatat bahwa prosedur di atas memberikan kerangka untuk
pengembangan strategi khusus untuk masalah klasifikasi tertentu. Hasil bilangan
integer disimpan dalam variabel superbasic. Kemudian melakukan pencarian garis
bilangan integer untuk meningkatkan solusi bilangan integer yang layak
(Mawengkang H. et al. 2012) .
Model mitigasi antena BTS untuk melindungi kesehatan masyarakat yang
ada pada rekomendasi ITU-T K70 (2007) dilakukan dengan perlakuan antena BTS
itu sendiri baik dengan cara merubah besaran daya maupun merubah arah fisik
antena tanpa merelokasi antena BTS itu sendiri. Ini dilakukan untuk melindungi
sebahagian kecil daerah dari daerah cakupan seluruhnya. Demikian juga dengan
penelitian lainnya yang telah dilakukan sebagaimana uraian pada tinjauan pustaka
mencari lokasi antena BTS dengan tujuan untuk meminimalkan jumlah pemakaian
FCA. Juga ada dengan tujuan meminimalkan cost pembangunan sebuah jaringan
BTS dengan cara meminimalkan jumlah BTS dalam sebuah jaringan telepon selular.
Sedangkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti berupa model matematis
adalah membangun jaringan BTS dengan biaya koneksi yang minimal, keberhasilan
hubungan komunikasi yang maksimal dengan melakukan manajemen pengaturan
pemakaian FCA, dan melakukan perlindungan kesehatan masyarakat melalui
pertimbangan power density.
4.5. Simulasi Model
Simulasi model topologi antena BTS ini dalam melakukan perlindungan
lingkungan hidup pada hubungan komunikasi telepon selular antar MS dapat
dilakukan dengan simulasi beberapa kemungkinnan hubungan komunikasi, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
92
1. Perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS pada BTS
yang berbeda dalam satu switch.
2. Perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS pada BTS
yang berbeda dalam satu hub yang sama
3. Perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS dalam satu
BTS pada sel yang berbeda
4. Perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS dalam satu
BTS dan sel yang sama
4.5.1. Simulasi perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi
antar MS pada BTS yang berbeda dalam satu switch
Pada model yang diperoleh, simulasi perlindungan lingkungan hidup
dalam hubungan komunikasi yang dibangun untuk menghubungkan MS A dengan
MS B pada BTS berbeda yang berada dalam satu switch dilakukan seperti pada Tabel
4.4.
Tabel 4.4. Komunikasi MS antar BTS dalam satu switch berbasis perlindungan
lingkungan hidup.
Frekuensi 900 MHz
ASAL HUB SWITCH
TUJUAN
MS
BTS
1
BTS
2
BTS
3 MS
BTS
11 BTS 12
BTS
13
A
PD > 4,5 < 4,5 < 4,5 + +
B
PD > 4,5 < 4,5 < 4,5
FCA - - + + + FCA - + -
BTSL + + - + + BTSL + - +
Keterangan : tanda (+) pada baris FCA menyatakan ketersediaan kanal, tanda (-) sebaliknya.
tanda (-) pada baris BTSL menyatakan biaya yang minimum, tanda (+) sebaliknya
tanda (+) pada kolom hub dan switch menyatakan hub dan switch dapat melayani
dengan baik
Pada hubungan komunikasi tersebut MS A di cakup oleh BTS 1, BTS 2,
dan BTS 3, akan tetapi hanya BTS 2 dan BTS 3 yang memiliki power density < 4,5
watt/m2, artinya BTS 2 dan BTS 3 memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup.
Universitas Sumatera Utara
93
Selanjutnya dapat dilihat bahwa ketersediaan kanal (FCA) hanya ada pada BTS 3,
kemudian dapat dilihat bahwa biaya koneksi BTSL juga lebih minimum pada BTS
3. Maka yang menangani MS A pada daerah asal adalah BTS 3. Dengan demikian
MS A sudah terlindungi dari bahaya radiasi EMF antena BTS asal karena power
density yang berada pada lokasi MS A telah berada di bawah nilai ambang batas (<
4,5 watt/m2) . Pada hubungan komunikasi ini diasumsikan bahwa hub dan switch
dapat melaksanakan koneksi antar BTS tersebut dengan baik. Hal yang sama
dilakukan pada daerah tujuan (MS B), BTS 12 yang memenuhi syarat perlindungan
lingkungan hidup karena memiliki power density dibawah nilai ambang batas (< 4,5
watt/m2), juga FCA tersedia, dan biaya koneksi BTSL minimum. Dengan demikian
komunikasi MS A dengan MS B dilakukan melalui BTS 3 dan BTS 12. Dapat
disimpulkan bahwa dengan model ini, hubungan komunikasi antar MS pada BTS
yang berbeda dalam satu switch dapat melakukan perlindungan lingkungan hidup
dari paparan radiasi EMF antena BTS, baik pada daerah asal MS maupun pada
daerah tujuan MS.
4.5.2. Simulasi perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi
antar MS pada BTS yang berbeda dalam satu hub
Pada hubungan komunikasi ini, hampir sama dengan pembahasan butir 4.5.1.
di atas, yang berbeda cuma hubungan komunikasi ini tidak melalui switch tetapi
hanya melalui hub saja, seperti yang terlihat pada Tabel 4.5. Perlindungan
lingkungan hidup pada kasus ini sama dengan penjelasan butir 4.5.1. di atas, yang
menangani MS A pada daerah asal adalah BTS 3 karena terpenuhinya syarat
perlindungan lingkungan hidup dimana power density BTS 3 berada dibawah nilai
batas ambang (< 4,5 watt/m2). Disamping itu juga adanya ketersediaan kanal FCA,
dan biaya koneksi BTS yang minimum. Hal yang sama dilakukan pada daerah
Universitas Sumatera Utara
94
tujuan, BTS 12 memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup karena power
density yang dimiliki BTS 12 berada di bawah nilai ambang batas (< 4,5 watt/m2).
dan juga adanya FCA yang tersedia, dan biaya koneksi BTS yang minimum.
Tabel 4.5. Komunikasi MS antar BTS dalam satu hub berbasis perlindungan
lingkungan hidup
Frekuensi 900 MHz.
ASAL HUB
TUJUAN
MS
BTS
1 BTS 2
BTS
3 MS
BTS 11 BTS 12 BTS 13
A
PD > 4,5 < 4,5 < 4,5 +
B
PD > 4,5 < 4,5 < 4,5
FCA - - + + FCA - + -
BTSL + + - + BTSL + - +
Keterangan : tanda (+) pada baris FCA menyatakan ketersediaan kanal, tanda (-) sebaliknya.
tanda (-) pada baris BTSL menyatakan biaya yang minimum, tanda (+) sebaliknya
tanda (+) pada kolom hub menyatakan hub dapat melayani dengan baik
Dengan demikian yang melayani hubungan komunikasi MS A dengan MS B adalah
BTS 3 pada daerah asal dan BTS 12 pada daerah tujuan.
4.5.3. Simulasi perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi
antar MS dalam satu BTS pada sel yang berbeda.
Pada model yang diperoleh, simulasi perlindungan lingkungan hidup
dalam hubungan komunikasi yang dibangun untuk menghubungkan MS A dengan
MS B dalam satu BTS pada sel yang berbeda dilakukan seperti pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Komunikasi antar MS dalam satu BTS pada Sel yang berbeda berbasis
perlindungan lingkungan hidup
Frekuensi 900 MHz.
ASAL (BTS 1) TUJUAN (BTS 1)
MS SEL 1 SEL 2 SEL 3 MS SEL 1 SEL 2 SEL 3
A
PD < 4,5 < 4,5 > 4,5
B
PD > 4,5 < 4,5 < 4,5
FCA + - + FCA + + +
BTSL - + - BTSL - + -
Keterangan : tanda (+) pada baris FCA menyatakan ketersediaan kanal, tanda (-) sebaliknya.
tanda (-) pada baris BTSL menyatakan biaya yang minimum, tanda (+) sebaliknya
Universitas Sumatera Utara
95
Pada simulasi hubungan komunikasi tersebut MS A di cakup oleh Sel 1 ,
Sel 2, dan Sel 3. Hanya Sel 1 dan Sel 2 yang memiliki power density < 4,5 watt/m2,
artinya hanya Sel 1 dan Sel 2 yang memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup.
Selanjutnya dapat dilihat bahwa ketersediaan kanal (FCA) hanya ada pada Sel 1, dan
biaya koneksi BTS juga lebih minimum pada Sel 1. Maka yang menangani MS A
pada daerah asal adalah Sel 1. Dengan demikian MS A sudah terlindungi dari bahaya
radiasi EMF antena BTS asal karena power density yang berada pada lokasi MS A
telah berada di bawah nilai ambang batas (< 4,5 watt/m2). Hal yang sama dilakukan
pada daerah tujuan, Sel 3 yang memenuhi syarat perlindungan lingkungan hidup
karena power density pada Sel 3 berada dibawah nilai ambang batas (< 4,5 watt/m2).
Disamping itu adanya ketersediaan FCA, dan biaya koneksi BTS yang minimum.
Dalam hal ini hubungan komunikasi MS A dengan MS B dilakukan melalui sel 1
pada daerah asal dan sel 3 pada daerah tujuan. Dapat disimpulkan bahwa dengan
model ini, hubungan komunikasi antar MS pada BTS yang sama dapat melakukan
perlindungan lingkungan hidup dari paparan radiasi EMF antena BTS, baik pada
daerah asal MS maupun pada daerah tujuan MS.
4.5.4. Perlindungan lingkungan hidup pada hubungan komunikasi antar MS
dalam satu BTS dan sel yang sama.
Pada model yang diperoleh, simulasi perlindungan lingkungan hidup
dalam hubungan komunikasi yang dibangun untuk menghubungkan MS A dengan
MS B pada BTS dan sel yang sama dilakukan seperti pada Tabel 4.7.
Pada Tabel 4.7. kolom Sel 1a dan Sel 1b berada pada Sel yang sama, akan
tetapi untuk membedakan pengurangan power density akibat pengurang daya
Universitas Sumatera Utara
96
pemancar antena BTS maka sel 1a dibedakan dengan sel 1b hanya untuk kejelasan
dari uraian penjelasan.
Tabel 4.7. Komunikasi antar MS dalam satu BTS dan Sel yang sama berbasis
perlindungan lingkungan hidup.
Frekuensi 900 MHz.
ASAL (BTS 1) TUJUAN (BTS 1)
MS SEL 1a SEL 1b MS SEL 1a SEL 1b
A
PD > 4,5 < 4,5
B
PD < 4,5 > 4,5
FCA + + FCA + +
BTSL - - BTSL - -
Keterangan : tanda (+) pada baris FCA menyatakan ketersediaan kanal, tanda (-) sebaliknya.
tanda (-) pada baris BTSL menyatakan biaya yang minimum, tanda (+) sebaliknya
Pada hubungan komunikasi tersebut, MS A di cakup oleh sel 1 pada BTS
1 yang dalam hal ini disebut sel 1a. Sel 1a memiliki power density di atas nilai
ambang batas (> 4,5 watt/m2), maka untuk melakukan perlindungan lingkungan
hidup pada daerah Sel 1a, daya (P) yang dipancarkan oleh antena BTS 1 (persamaan
4.2) dikurangi sampai menghasilkan power density di bawah nilai ambang batas (<
4,5 watt/m2), dan sel ini dinyatakan sebagai sel 1b. Dalam hal ini diasumsikan
ketersediaan kanal (FCA) dan koneksi BTS yang minimum terpenuhi. Hal yang
sama dilakukan pada daerah tujuan, dan yang memenuhi syarat perlindungan
lingkungan hidup adalah sel 1a karena memiliki power density di bawah nilai
ambang batas (< 4,5 watt/m2). Dengan demikian hubungan komunikasi antar MS
dalam satu sel tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat perlindungan lingkungan
hidup dari paparan radiasi EMF antena BTS 1.
4.6. Perlindungan Lingkungan Hidup Sebelum dan Sesudah Penerapan Model.
Hasil simulasi penerapan model menunjukkan hasil yang signifikan dalam
melakukan perlindungan lingkungan hidup terhadap paparan gelombang EMF yang
Universitas Sumatera Utara
97
dipancarkan oleh antena BTS, hal ini diperlihatkan pada pembahasan butir 4.5. di
atas. Perbandingan hasil simulasi model dengan paparan gelombang EMF hasil
pengukuran di kota Medan (Tabel 4.1.) seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Perbandingan hasil simulasi model dengan kondisi riil di lapangan
Power Density Kondisi di lapangan Simulasi Model Jarak dari antena BTS (m)
PD > NAB 89,8 % 0 % 100
PD < NAB 10,2 % 100 % 100
Pada Tabel 4.8. dapat dilihat bahwa pada jarak 100 meter dari antena BTS,
perlindungan lingkungan hidup hasil simulasi model dapat dilakukan dengan sangat
baik (100 %) dibandingkan dengan kondisi riil lapangan yang hanya sebesar 10,2
%. Hal ini menyatakan bahwa model yang diperoleh dapat melakukan perlindungan
lingkungan hidup dari paparan gelombang EMF yang dipancarkan oleh antena BTS.
Universitas Sumatera Utara
98
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dituangkan pada Disertasi ini, dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut :
1. Paparan radiasi EMF yang bersumber dari menara antena BTS di kota Medan
memiliki resiko terhadap lingkungan hidup khususnya kesehatan masyarakat yang
berada pada jarak sampai dengan 500 meter dari antena BTS. Pada jarak sampai
dengan 100 meter, lebih dari 80 % antena BTS tersebut memiliki power density
yang melebihi nilai batas ambang, sehingga sangat berbahaya bagi lingkungan
hidup yang berada pada radius tersebut. Paparan radiasi ini lebih besar pada
menara antena BTS yang menggunakan menara bersama (tower sharing) karena
terjadinya kumulatif power density yang dihasilkan oleh beberapa antena BTS
dari operator telepon selular yang berbeda.
2. Penelitian ini telah berhasil memberikan suatu model jaringan topologi antena
(BTS) yang dapat memberikan perlindungan penuh terhadap lingkungan hidup
khususnya kesehatan masyarakat dari bahaya paparan radiasi EMF antena BTS,
dengan demikian novelty dari penelitian ini tercapai.
3. Model ini memberikan perlindungan penuh terhadap lingkungan hidup berbasis
Rpeak dan ambang batas power density.
4. Model ini juga menjamin koneksitas komunikasi melalui FCA dengan biaya yang
minimal sehingga pembangunan jaringan antena BTS akan lebih menguntungkan
Universitas Sumatera Utara
99
operator telepon selular dan juga perlindungan lingkungan hidup khususnya
terhadap kesehatan masyarakat.
5. Model ini peneliti sebut sebagai model Cellular Topological Network Design
(CTND) ramah lingkungan. Model dibangun berdasarkan gabungan antara
persoalan penentuan lokasi BTS, persoalan Frequency Channel Assignment
(FCA) dan rancangan topologi jaringan (TND) yang semuanya berbasis power
density dan ini berarti berbasis ramah lingkungan hidup.
6. Secara optimisasi, model ini termasuk dalam bentuk Mixed-Integer programming
problem dengan metode pencarian sekitar (Neighborhood Search Method) yang
dikembangkan untuk menyelesaikan model yang diperoleh.
5.2. Saran
Untuk menjaga keamanan, kenyamanan, estetika, dan lingkungan hidup
khususnya kesehatan masyarakat di kota Medan, maka disarankan beberapa hal
berikut :
1. Adanya regulasi pemerintah kota Medan yang mengatur tata letak BTS agar
memasukkan perlindungan lingkungan hidup sebagai syarat utama dalam
perencanaan dan pembangunan menara antena BTS.
2. Pemerintah kota Medan harus melakukan pengawasan secara terus menerus
terhadap besarnya paparan radiasi EMF pada lingkungan hidup yang memerlukan
perlindungan dari paparan radiasi EMF antena BTS.
3. Meninjau ulang regulasi pemerintah tentang menara bersama (tower sharing) yang
dapat menyebabkan terjadinya akumulasi paparan radiasi EMF pada coverage
area BTS.
Universitas Sumatera Utara
100
4. Ijin warga yang dipersyaratkan pada pembangunan menara antena BTS harus
diperluas sampai dengan jarak Rpeak dari antena BTS, karena power density
disepanjang jarak tersebut berada diatas nilai ambang batasnya.
Universitas Sumatera Utara
101
DAFTAR PUSTAKA
Aardal, K. I., van Hoesel, S. P. M., Koster, A. M. C. A., Mannino, C. dan Sassano,
A. 2007. Models an d solution techniques for frequency assignment
problems. Annals Op. Res. 153(1) : 79-120.
Abdel-Rassoul, G., El-Fateh, O.A., Salem, M.A., Michael, A., Farahat, F., El-
Bataroung, M. dan Salem, E. 2007. Neurobehavioral effects among
inhabitants around mobile phone base stations. Neurotoricology. 28(2) :
434-440.
Acan, A., Altinacy, H., Tekol, Y. dan Uveren, A. 2003. A genetic algorithm with
multiple crossover operator for optimal frequency assignment problem. The
2003 Congress on Evolutionary Computing [CEC]. 1 : 256-263.
Adey, W.R., Byus, C.V., Cain, C.D., Higgins, R.J., Jones, R.A., Kean, C.J., Kuster,
N., Mac Murray, A., Stagg, R.B., Zimmerman, G., Phillips, J.L. dan Haggren,
W. 1999. Spontaneous and nitrosoureainduced primary tumors of the central
nervous system in Fischer 344 rats chronically exposed to 836 MHz
modulated microwaves. Radiat Res. 152 : 293-302.
Aizaz, Z., Tirmizi, A. dan Raeen, S. 2012. Implementation of genetic algorithm in
dynamic channel allocation. International Journal os Scientific Engineering
and Technology [IJSET]. 1(2) : 108-111.
Al-khlaiwi Thamir dan Meo Sultan, A. 2004. Association of mobile phone radiation
with fatigue, headache, dizziness, tension and sleep disturbance in Saudi
population. Saudi medical journal, 25(6) : 732-736.
Ali Faruk Md dan Sudhabindu, R. 2011. SAR analysis in a realistic grounded human
head for radiating dipole antenna. 2011. National Conference on
Communication, IEEE. pp. :1-5.
Alumur Sibel dan Kara Bara, Y. 2008. Network hub location problem : The state of
the art. European journal of operational research. 190 : 1-21.
Amadi, E., Capone, A., Cesana, Filippini, I. dan Malucelli, F.2008. Optimization
models and methods for planning wireless mesh networks. Computer
networks. 52(11) : 2159-2171.
Amadi, E. dan Capone, A. 2003. Planning UMTS base station location: Optimization
models with power control and algorithms. IEEE Transactions on Wireless
Communications. 2(5).
Universitas Sumatera Utara
102
Amadi, E., Belotti, P., Capone, A. dan Malucelli, F. 2006. Optimizing base station
location and configuration in UMTS networks. A.Oper. Res. DOI
10.1007/s10479-006-0046-3.
Anies. 2003. Pengendalian dampak kesehatan akibat radiasi medan elektromagnetik.
Jurnal media medika Indonesia. 38(4) : 213-219.
Anies. 2007. Mengatasi gangguan kesehatan masyarakat akibat radiasi
elektromagnetik dengan manajemen berbasis lingkungan. Pidato pengukuhan
Guru Besar kesehatan masyarakat. Universitas Dipanegoro [UNDIP].
Anu Karinen, Sirpa Heinävaara, Reetta Nylund dan Dariusz Leszczynski. 2008.
Mobile phone radiation might alter protein expression in human skin. BMC
Genomics. 9 : 77.
[ATSI] Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia. 2012. Menara telekomunikasi
menjamur tahun Ini.http://fokus.news.viva.co.id/news/read/ 279808-menara-
bts-menjamur-di-tahun-ini. [10 Agustus 2015].
Berg-Beckhoff, G., Blettner, M., Kowallb, Breckenkamp, J., Schlehofer, B.,
Schniedel, S., Borrkessel, C., Reis, U., Potthoff, P. dan Schuz, J. 2009.
Mobile phone base stations and adverse health effects : Phase 2 of a Cross-
Sectional Study With Measured Radio Frequency Electromagnetic Fields.
Occup. Environ. Med. 66(2): 124-130.
Bikram, A.N. 2014. Electromagnetic radiation compatibility survey and safety
analysis around mobile base transceiver stations: Case studies around
Kathmandu Valley. Research Journal of Engineering Sciences. 3(8): 11-17.
Calegari, P., Giudec, F. dan Kuonen, P. 1996. Paralel genetic approach to transceiver
placement optimization. SIPAR Workshop ’96 : Paralel Distributed Systems.
Laussane, Switzerland. : 21-24.
Castillo, E., Conejo, A.J., Pedregal, P., Garc´ia, R. dan Alguacil, N. 2002. Building
and solving mathematical programming models in engineering and science,
pure and applied mathematics series. Wiley, New York, John Wiley and
Sons, Inc.
Cember, H. 1983. Pengantar fisika kesehatan. Pergamon Press. New York . pp: 198-
202.
Chamberland, S. dan Pierre, S. 2005. On the design problem of cellular wireless
networks. Wireless Networks. 11: 489-496.
Chan, P. T., Palaniswani, M. dan Everitt, D. 1994. Neural network-based dynamic
channel assignment for cellular mobile communication systems. IEEE
Transactions on Vehicular Technology. 43(3) : 279-288.
Universitas Sumatera Utara
103
Chia, Y. S., Siew, Z.W., Yew, H.T., Yang, S.S. dan Teo, K.T.K. 2012. An
evolutionary algorithm for channel assignment problem in wireless mobile
networks. ICTACT Journal on Communication Technology. 03(04) : 613-
618.
Cicchetti, R. dan Faraone, A. 2004. Estimation of the peak power density in the
vicinity of cellular and radio base station antennas. IEEE Trans. On
Electromagnetic Compatibility. 46(2): 275-290.
Diamantoulakis, P.D. dan Karagiannidis, G.K. 2013. On the design of an optimal
hybrid system for base tranceiver stations. Journal of Green Engineering.
3(2): 127-146.
[Dirjen] Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi. 2005. Keputusan Direktur
Jenderal Pos dan Telekomunikasi No. 193/Dirjen/2005 tentang persyaratan
teknis alat dan perangkat komunikasi radio microwave link. Jakarta : Dirjen
Pos dan Telkom.
Dutta, A. dan Kubat, P. 1999. Design of partially survivable networks for cellular
telecommunication systems. European Journal of Operational
Research.118: 52-64.
Erradi, N., Alami, F.T., Aknin, N. dan El Moussaoui, A. 2013. Genetic algorithms
to optimize base station sitting in WCDMA networks. International Journal
of Advanced Computer Science [IJACSA]. 4(3) : 218-220.
Felix Opara, K., Gabriel Adigwe, U. dan Emmanuel Agbaraji, C. 2014. Investigation
and analysis on electromagnetic radiation from cellular Base Station
Transmitters and the Implications to human body. Macrothink Institute,
Journal of Environment and Ecology. 5(1) : 46-60.
Fischetti Matteo, Romanin GiorgioJacur dan Gonzalez, J.J.S. 2003. Discrete
optimization of the interconnecting network of a UMTS radio mobile
telephone system. European Journal of Operational Research. 144 : 56–67.
Floriani, L. C. P. dan Mateus, G. R. 1997. Optimization models for effective cell
planning design. Proceedings of the First international workshop on discrete
algorithms and methods for mobilie computing and communications.
Budapest, Hungary.
Frei, P., Mohler, E., Burgi, A., Frohlich, J., Neubauer, G., Braun-Fahrlander, C. dan
Rossli, M. 2009. A prediction model for personal radio frequency
electromagnetic field exposure. Sci. Total Environ. 408 (1) : 102-108.
Frei, P., Mohler, E., Braun-Fahrlander, C., Frohlich, J., Neubauer, G. dan Roosli, M.
2012. Cohort study on the effects of everyday life radio frequency
electromagnetic field exposure on non-specific symptoms tinnitus. Environ
Int.38(1) : 29-36.
Universitas Sumatera Utara
104
Fu, X., Bourgeois, A.G., Fan, P. dan Pan, P. 2006. Using a genetic algorithm
approach to solve the dynamic channel-assignment problem. Int. Journal
Mobile Communications. 4(3) : 333-353.
Fügenschuh Armin, E. dan Fügenschuh Marzena. 2008. Integer linear programming
models for topology optimization in sheet metal design. 2008. Journal
mathematical methods of operations research. 68: 313-331.
Garey, M. R. dan Johnson, D. S. 1979. Computers and intractability: A guide to the
theory of NP-completeness. A series of books in the mathematical sciences.
San Francisco, Calif.
Gavin, G. Shire, Karen Brown dan Gerald Winegrad. 2000. Communication Tower
: A Deadly Hazard to Bird. http://www.abcbirds.org
George, L. Nemhauser, Laurence, A. dan Wolsey. 1988. Integer and combinatorial
optimization. Wiley-Interscience Series in Discrete Mathematics and
Optimization, New York.
Gerd, O., Navarro, A., Enrique, Portoles Manual, Maestu Ceferine dan Gomez-
Perretta Claudi. 2004. The Microwave Syndrome. Further aspect of Spanish
Study.
Gholamali Jelodar, Saeed Nazifi dan Milad Nuhravesh. 2011. Effect of
electromagnetic field generated by BTS on hematlogical parameters and
cellular composition of bone marrow in rat. Journal Comparative
Haematology International - Comp Haematol Int. 19(4) : 1-5.
Goldsworthy Endrew. 2007. Biological Effect of Weak Electromagnetic Fields.
http:www. hese‐uk/en/papers/goldsworthy_bio_weak_em_07.pdf. [17 Desember 2015]
Gonzales-Brevis, P., Gondzio, J., Fan, Y., Poor, H.V., Thomson, J., Krikidis, J. dan
Chung, P. 2010. Base station location for minimal energy consumption in
wireless networks. Technocal Report ERGO 10-002, School of Mathematics,
University of Edunburgh.
Gornick dan Larry. 2005. Kartun Fisika. Jakarta, KPG., pp.: 149-156, 117-122.
Government of India Ministry of Communications & Information Technology
Department of Telecommunications. 25th Nov., 2010. Report of The Inter-
Ministerial Committee on EMF Radiation.
Gupta, V.K., Ali Muntaser Abdelsalam Faraj dan Mohamed Seidi Ahmed Hmadi.
2012. Grade service in end-to-end service quality of service broadband
networks. International journal of advanced research in computer science
and software engineering. 2(12): 148-151.
Universitas Sumatera Utara
105
Hamilton Janice. 1996. Electromagnetic interference can cause hospital device to
malfunction. McGill Group Warns. Can Med Assoc Journal. 154(3) : 373-
375.
Hardjono dan Isna Qadrijati. 2004. Pengaruh paparan medan elektromagnetik
terhadap kecemasan penduduk. Nexus medicus. 16 : 68-78.
Hardell, L., Hansson Mild, K., Pahlson, A. dan Hallquist, A. 2001. Ionizing
radiation, celluler telephones and the risk for brain tumours”, European
journal of cancer prevention. 10 : 523-529.
Hardell, L., Carlberg, M. dan Hansson Mild, K. 2005. Use of cellular telephones and
brain tumour risk in urban and rural areas. Journal of Occup Environ Med.
62. : 390-394.
Hasselbach, P. P., Klei, A. dan Gaspard, I. 2008. Dynamic resource assignment
(DRA) with minimum outage in cellular mobile radio networks. COST 2100
TD (08) 429, Wroclaw, Poland.
Hendra Rahmatullah. 2009. Pengaruh Gelombang Elektromagnetik Frekuensi
Ekstrim Rendah terhadap Kadar Trigliserida Tikus Putih (rattus norvegicus).
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Heryanto, I. 2011. Perencanaan BTS (Base Transceiver Station) di wilayah layanan
operasi seluler GSM. Jurnal Mediatel. 2(1) : 1-10.
Hoffman Karla, L. dan Ralphs, T.K. 2012. Integer and Combinatorial Optimization,
Industrial and Systems Engineering, Computational Optimization Research
at Lehigh. Technical Report 12T-020.
Hruby, R., Neubauer, G., Kuster, N. dan Frauscher, M. 2008. Study on potential
effects of 902-MHz GSM-type wireless communication signals on DMBA-
induced mammary tumours in Sprague-Dawley rats. Mutat Res. 649: 34-44.
[IEEE] Institute of Electrical and Electronics Engineering. 1999. IEEE Standard for
Safety Level with Respect to Human Exposure to Radio Frequency
Electromagnetic Field, 3 kHz to 300 GHz. (IEEE Std. C95.1.)
[IEEE] Institute of Electrical and Electronics Engineering. 2005. IEEE Standard for
Safety Level with Respect to Human Exposure to Radio Frequency
Electromagnetic Field, 3 kHz to 300 GHz. (IEEE Std. C95.1.)
[IEGMP] Independent Expert Group on Mobile Phone. 2000. Mobile Phones and
Health. Report of Stewart Group, pp.: 120-121.
[ITU] International Telecommunication Union. 2005. Evaluating fields from
terrestrial broadcasting transmitting systems operating in any frequency band
for assessing exposure to non-ionizing radiation. Recommendation ITU-R
BS.1698.
Universitas Sumatera Utara
106
[ITU] International Telecommunication Union. 2007. Mitigation technique to limit
human exposure to EMFs in the vicinity of radiocommunication stations.
recommendation K70.
[ITU] International Telecommunication Union. 2013. ICT Facts and Figures,
Geneva-Switzerland.
[IARC] International Agency for Research on Cancer. 2010. Interphone study report
on mobile phone use and brain cancer risk. WHO : Press Realease N0 200.
[ICNIRP] International Commission On Non-Ionizing Radiation Protection
Guidelines . 1998. For limiting exposure to time-varying electric, magnetic
and electromagnetic fields (Up To 300 GHz.). Health Physics, 74 (4): 494-
522.
International EMF Project. 2005. “Electromagnetic field and public health effects
of EMF on enviroment.Information sheet. http://www.who.int/peh-
emf/project/en/ [20 Januari 2015].
International EMF Alliance. 2013. Workshop on risk communication-
electromagnetic fields and human health. Brussel.
Ismail, A., Din, N.M., Jamaluddin, M.Z. dan Balasubramaniam, N. 2009.
Electromagnetic assessment for mobile phone base stations at major cities in
Malaysia. Communications (MICC), IEEE 9th Malaysia International
Conference on, 15-17 Dec. 2009, pp : 150-153.
Jaimes-Romero, F. J., D. Munoz-Rodriguez dan Tekinay, S. 1996. Channel
assignment in cellular system using genetic algorithm. In: Proceedings of the
46th IEEE Vehicular Technology Conference, Atlanta USA, pp. : 741-745.
Joris Everaest dan Birk Banwens. 2007. Possible effect of electromagnetic radiation
from mobile phone base station on the number of breeding house sparrow.
http://.www. informaworld.com [11 Oktober 2015]
Kapov Darko Skorin dan Kapov Jadranka Skorin. 1994. On tabu search for location
of interacting hub facilities. Eropean Journal of Operational Research. 73
(3): 502-509.
Kalvenes Joakim, Jeffery Kennington dan Eli Olinick. 2005. Base station location
and service assignment in W-CDMA network. Informs Journal on
Computing. 18(3) : 366-376.
Kamo, B., Miho ,R., Vladi, V., Cela, S. dan Lala, A. 2011. Estimation of peak power
density in the vicinity of cellular base stations, FM, UHF and WiMAX
antennas.Int. J. of Engineering & Technology IJET-IJENS. 11(2) : 58-64.
Universitas Sumatera Utara
107
[Kemeninfo] Kementrian Informasi dan Informatika Indonesia. 2008.
Permenkominfo RI No.02/Per/M.Kominfo/3/2008 tentang Pedoman
Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi.
Kubat, P. dan Smith, J. M. 2000. A multi-period network design problem for cellular
telecommunications systems. Technical report, Department of Mechanical
and Industrial Engineering, University of Massachusetts, Amherst
Massachusetts 01003.
Kumar Neha dan Kumar Girish. 2009. Biological effect of cell tower radiation on
human body”. International Symposium on Microwave and Optical
Technology [ISMOT] 09/C/318, pp. : 1365 – 1368.
Kumar Neha. 2011. Biological effect of electromagnetic radiation.
http://www.slideshare.net/ nehakumar01/biological-effects-of-emr.
Kumar Giris. 2012. Better Radiation Norms for Cell Phones/Cell Towers. Presentasi
Lokakarya di Associated Chambers of Commerce & Industry of India
[ASSOCHAM] EMF,New Delhi, gkumar@ee.iitb.ac.in
Kumar Amit dan Tanvir Singh; Vasishath Kaushal; Divya Khurana; JNV Theog;
Shimla. 2013. Electromagnetic pollution : Experimental comparison of 2G
and 3G wireless communication networks. 2013. Proceeding of conference
on emerging trends in engineering and technology. Association of Computer
Electronics and Electrical Engineers. 559-564.
Kaushal Mohit, Singh Tanvir dan Kumar Amit. 2012. Effects of mobile tower
radiations &case studies from different countries pertaining the issue.
International journal of applied engineering research, ISSN 0973-4562.
7(11) : 1252-1255.
Krewski Daniel. 2001. Report on the potential health risk of radiofrequency fields
from wireless telecommunication devices 1999. Journal of Toxicology &
Enviromental Health. Part B. 4-4.
Linet, M.S., Hatch, E.E., Kleinerman, R.A., Robison, L.L., Kaune, W.T., Friedman,
D.R., Severson, R.K., Haines, C.M., Hartsock, C.T., Niwa, S.,Wacholder. S.
dan Tarone,R.E. 1997. Residential exposure to magnetic fields and acute
lymphoblastic leukemia in children. N Engl J Med. 337 : 1-7.
Mamilus, A., Ahaqneku, Anthony, N. dan Nzeako. 2012. GSM Base Station
Radiation Level : A case study of university of Nigeria environment.
International Journal ofg Scientific & Technology Research. 1: 102-107.
Mahardika Putu, I. Efek Radiasi Gelombang Elektromagnetik Ponsel Terhadap
Kesehatan Manusia.
https://mahardikaholic.files.wordpress.com/2009/12/efek-radiasi-gelom
bang-elektromagnetik-pada-ponsel.pdf [10 Mei 2015].
Universitas Sumatera Utara
108
Marshall Stanley, V. dan Skitek Gabriel, G. 1990. Electromagnetic concepts and
applications. Third edition, Prentice-Hall International Editions.
Mathar, R. dan Niessem, T. 2000. Optimum position of base stations for cellular
radio networks. Wireless Networks. 6 : 421–428.
Matthias Otto dan Karl Ernst von Műhlendahl. 2007. Electromagnetic field (EMF) :
Do they play a role in children’s environmental health (CEH) ?. International
Journal of Hygiene and Enviromental Health. 210(5) : 635-644.
Mathar, R. dan Schmeink, M. 2000. Optimal base station positioning and channel
assignment for 3G mobile networks by integer programming. Technical
report, RWTH Aachen, RWTH Aachen, W¨ullnerstr. 3, D-52056 Aachen.
Mawengkang, H., Guno, M.M., Hartama Dedy, Siregar, A.S., Adam, H.A. dan
Alfina, O. 2012. An improved direct search approach for solving mixed-
integer nonlinear programming problems. Accepted to be published in Global
Journal of Technology and Optimization.
Mazzini, F. F. dan Mateus, G. R. 2001a. A mixed-integer programming model for
the cellular telecommunication network design. Proceedings ofthe 5th
international workshop on Discrete algorithms and methods for mobile
computing and communications. ACM Press. pp. 68–76.
Mazzini, F. F. 2001b. Modelos e algoritmos para o projeto de redes celulares.
[Master’s thesis]. Departamento de Ciˆencia da Computac ao, Universidade
Federal de Minas Gerais, Belo Horizonte, MG.
Mazzini, F. F., Mateus, G. R. dan Luna, H. P. L. 2001c. Cellular telecommunication
network design.in ALGOTEL’2001 - Actes 3`emes rencontres francophones
sur les Aspects Algoritmiques des T´el´ecommunications. Saint Jean de Luz,
France.
Mazzini, F. F., Mateus, G. R. dan Smith, J. M. 2003. Lagrangean based methods for
solving large-scale cellular network design problems. Wireless Networks. 9 :
659-672.
Mederiros Luisa Nascimento dan Sanchez Tanit Ganz. 2015. Tinnitus and cell phone
: the role of electromagnetic radiofrequency radiation. Brazilian Journal of
Otorhinolary ngology. 82(1) : 97-104.
Merchant, A. dan Sangupta, B. 1994. Multiway graph partitioning with applications
to PCS network. 13th Proceeding of IEEE Networking for Global
Communications, INFOCOM. 2: 593-600.
Merchant, A. dan Sangupta, B. 1995. Assignment of cells to switches in PCS
networks. IEEE/ACM Transactions on networking. 3(5) : 521-526.
Universitas Sumatera Utara
109
Metzger, B. H. 1970. Spectrum management technique. Presentation at 38th National
ORSA Meeting (Detroit, MI).
Miclaus, S.; Bechet, P. 2006. Estimated and measured values of the radiofrequency
radiation power density around cellular base station. 7th International Balkan
Workshop on Applied Physics, 5 – 7 July 2006, Romania.
Ministry of Communications and Information Technology Department of
Telecommuni cations India. 2010. Report of The Inter-Ministerial Committee
on EMF Radiation. Bombay, India.
Mirchandani dan Francis, R. 1990. Discrete Location Theory. Wiley, New York.
Moradi, O. 2010. Fixed channel assignment and neural network algorithm for
channel assignment problem in cellular radio networks. Computer and
Information Science. 3(4) : 93-103.
Montemanni Roberto dan Smith Derek, H. 2010. Heuristic manipulation, tabu search
and frequency assignment. Computer & Operations Research. 37(3) : 543-
551.
Mouly Michel dan Pautet Marie-Bernadette. 1992. The GSM system for mobile
communications. Palaiseau.
Mundada, G. S., Chaudhari, B.S. dan Lohiya, P.M. 2011. Nover channel allocation
scheme for mobile cellular networks. International Journal of Advanced
Engineering Technology. 2(4) : 218-225.
Munene, E.N. dan Kiema, J.B.K. 2014. Optimizimg the location of base transceiver
stations in mobile communication network planning : cae stydy of the Nairobi
central business district, Kenya. International Interdisciplinary Journal of
Science Research. 1(2).
[NASA] National Aeronautics and Space Administration Occupational Health
Conference. July 25, 2007. Radio Frequency Radiation Safety Program.
Denver Colorado.
Nasution, F.T.K. 2012. Besar frekuensi gelombang elektromagnetik dari base
transceiver station (BTS) dan gejala hipersensitifitas di kelurahan padang
bulan kecamatan medan baru. [Skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara,
Fakultas Kesehatan Masyarakat.\
Ngo Chiu Y., Victor, O.K. dan Li. 1998. Fixed channel assignment in cellular
networks using modified genetic algorithm. IEEE Transactions on Vehicular
Technology. 47:163-171.
[NOASR] Netherlands Organization for Applied Scientific Research, TNO. 2003.
Studied the effect of Global Communications System radio.
Universitas Sumatera Utara
110
Parsapoor Mahmoobeh dan Bilstrup Urban. 2013. Ant colony optimization for
channel assignment problem in a clustered mobile ad hoc network.
proceeding of The 4th International Conference, ICSI. 7928 : 314-322.
Peraturan daerah kota Medan No. 13 Tahun 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Medan Tahun 2011-2031.
Rajasekaran Sanguthevar, Naik, K. dan Wei David. 2015. On frequency assignment
in cellular networks. http://www.engr.uconn.edu/~rajasek/Cmobile2.pdf. [2
September 2014]
Rappaport, T. S. 1996. Wireless Communications. Principles & Practice, Prentice
Hall PTR.
Reyes, C. dan Ramos, B. 2010. Mitigation of radiation levels for Base Transceiver
Stations based on ITU-T Recommendation K.70.World Academy of Science,
Engineering and Technology. 45: 743 – 749.
Richa Chitranshi, Kumar Rakesh Mehrotra dan Prakash Pancoli. 2014. Analysis of
cell tower radiation, RF safety and practical realization of compliance
distance. International Journal of Scientific and Research Publications. 4 :
1- 6.
Rika Sustika. 2007. Analisis aspek-aspek perencanaan BTS pada sistem
telekomunikasi seluler berbasis CDMA. 2007. Jurnal INKOM. 1 : 31-38.
Roy Rakhi dan Saha Himadri Subrah. 2012. Mitigation of the excessive non-
ionized radiation of Base Transceiver in developing countries. International
Journal of Information & Network Security (IJINS). 1(4) : 321-329.
Saeid Sabah Hawar. 2015. Comparative study of radio frequency radiations from
GSM base stations in residential areas. International Journal of Engineering
and Innovative Technology (IJEIT). 4 :1-5.
Santini, R., Santini, P., Danze, J. M., Le Ruz, P. dan Seigne, M. 2002. Investigation
on the health of people living near mobile telephone relay stations.
Incidence according to distance and sex, Pathol. Biol. (Paris). 50(6): 369-
373.
Santini R., Santini P., Le Ruz, Danze J.M. dan Seigne M. 2003. Survey study of
people living in the vicinity of cellular phone base stations. Electromagnetic
Biology and Medicine. 22: 41-49.
Shahbazi-Gahrouei, D., Karbalae, M., Moradi, H. A. dan Baradaran-Ghahfarokhi,
M. 2014. Health effects of living near mobile phone base transceiver station
(BTS) antenna. A report from Isfahan, Iran, Electromagn. Biol. Med., Sep.
33(3): 206-210.
Universitas Sumatera Utara
111
Simko, M. 2007. Cell type specific redox status is responsible for diverse
electromagnetic field effect. Current Medicinal Chemistry. 14 : 1141-1152.
Singh, S. dan Kaur, K. 2013. Base station localization using artificial bee colony
algorithm. International journal of computer applications. 64 (9).
Singh, W. dan Sengupta, J. 2012. An optimized approach for selecting an optimal
number of cell site locations in cellular networks. International journal of
computer applications. 40(8) : 10-16.
Smith, K. dan Palaniswani, M. 1997. Static and dynamic channel assignment using
neural networks. IEEE Journal on Selected Areas in Communications. 15(2)
: 238-249.
Smith Clin dan Collins Daniel. 2007. 3G Wireless Networks. McGraw-Hill
Telecom.
Soetrisno. 1979. Fisika Dasar Gelombang dan Optik. Bandung. ITB. pp : 22-26.
Surat Keputusan Menteri Kominfo [No : 02/PER/M.KOMINFO/3/2008] tentang
Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi.
Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri [No. 18 Tahun 2009], Menteri
Pekerjaan Umum [No. 07/PRT/M/2009], Menteri Komunikasi dan
Informatika [No. 19/PER/M.KOMINFO/03/2009], dan Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal [No. 3/P/2009].
Swamardika, I.B.A. 2009. Pengaruh radiasi gelombang elektromagnetik terhadap
kesehatan manusia (Suatu Kajian Pustaka). Teknik Elektro. 8 (1) : 106-109.
Tanenbaum, A.S. dan Wetherall, D.J. 2011. Computer Network. Fifth edition.
Printice Hall.
Taufiqurahman dan Mohammad Arief. 2000. Teratogenitas embrio tikus setelah
paparan medan listrik frekuensi rendah. Nexus. 13:2-62.
The International EMF Project [fact Sheet N183. Reviewed May 1998]. 2011.
Electromagnetic fields and public health, health effects of radio frequency
fields. http://www.who.int.[24 Juni 2015]
The International EMF Project [Fact Sheet N181]. May 1998. Electromagnetic field
and public health.
The Royal Society of Canada. 2001. Recent advances in research on radio frequency
fields and health : 2001-2003. Report on the potential health risk of radio
frequency fields from wireless telecommunication device. Journal of
toxicology & enviromental health, part B. 4-4.
Universitas Sumatera Utara
112
Tutschku, K. 1998. Demand-based radio network planning of celluar mobile
communication systems. Proceeding INFOCOM’98. Seventeenth annual
joint conference of the IEEE computer and communications societies. 3 :
1054-1061.
Vijay Suchetha, Hegde Asha dan Sushma. 2015. Study on electromagnetic radiation
from cell phone towers and their effects on animals, plants and environment.
International Journal of Innovative Research in Computer and
Communication Engineering. 3 : 370-374.
Wang Lipo, Arunkumaar, S. dan Wen Gu. 2002. Genetic algorithm for optimal
channel assignment in mobile communications. Proceedings of the 9th
International Conference on Neural Information Processing [ICONIP]. 3 :
1221-1225.
Wolf Ronni, MD. dan Wolf Danny, MD. 2004. Increased incidence of cancer near
a cell phone transmitter station. Int. J Cancer Prev.1:1213-128.
Xu Ye dan Sakho Ibrahima. 2015. Frequencies assignment in cellular networks,
maximum stable approach. 2015. Intelligent information and database
system. Springer international publishing Switzerland. 9011: 211-220.
Yadav Karan, Neelam, R. dan Prakash. 2015. Harmful effects of electromagnetic
field (EMF) radiation from mobile towers and handsets on humans : A
Review. International Journal of Engineering, Busines and Enterprise
Applications (IJEBEA). 7(11): 99-103.
Yoshihiro Kanno dan Xu Guo. 2010. A Mixed integer programming for Robust truss
topology optimization with stress constraints. Journal numerical methods in
engineering. 83(13) : 1675-1699.
Zdunek, R. dan Ignor, T. 2010. Umts base station location planning with invasive
weed optimization. Proceedings of the 10th international conference on
Artical intelligence and soft computing. Part II. Berlin, Heidelberg. Springer-
Verlag. pp. 698–705.
Zhang, Y. dan O’Brien, G.C. 2005. Fixed channel assignment in cellular radio
networks using particle swarm optimization. Proceedings of the IEEE
International Symposium on Industrial Electronics ISIE. 4 : 1751-1756.
Zook, B.C. dan Simmens, S.J. 2001. The effects of 860 MHz radio frequency
radiation on the induction or promotion of brain tumors and other
neoplasms in rats. Radiat Res.155: 572-583.
Universitas Sumatera Utara
113
Lampiran A.
Tabel A. Hasil Pengukuran Power Density Antena BTS Operator A
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
1 1 98.685050 3.586780 Macro 1800 11.60 580
2 2 98.674400 3.587467 Macro 1800 10.40 520
3 3 98.651580 3.577650 Macro 1800 10.40 520
4 4 98.658056 3.757306 Macro 1800 11.20 560
5 5 98.645083 3.609833 Macro 1800 10.80 540
6 6 98.708500 3.540900 Macro 1800 10.20 510
7 7 98.688620 3.607320 Macro 1800 9.80 490
8 8 98.717883 3.587833 Macro 1800 11.05 553
9 9 98.669550 3.541017 Macro 1800 8.90 445
10 10 98.700967 3.627800 Macro 1800 9.70 485
11 11 98.668920 3.583060 Macro 1800 11.20 560
12 12 98.686990 3.577200 Macro 1800 10.90 545
13 13 98.605800 3.531760 Macro 1800 8.90 445
14 14 98.639230 3.522240 Macro 1800 10.20 510
15 15 98.701567 3.568233 Macro 1800 10.40 520
16 16 98.681610 3.680000 Macro 1800 9.50 475
17 17 98.687675 3.587800 Macro 1800 9.80 490
18 18 98.705550 3.597217 Macro 1800 12.50 625
19 19 98.675067 3.576767 Macro 1800 10.50 525
20 20 98.626583 3.591867 Macro 1800 11.40 570
21 21 98.679700 3.540630 Macro 1800 9.20 460
22 22 98.710934 3.598438 Macro 1800 11.60 580
23 23 98.633217 3.555717 Macro 1800 11.40 570
24 24 98.669014 3.675080 Macro 1800 10.40 520
25 25 98.620990 3.572310 Macro 1800 9.80 490
26 26 98.694470 3.648080 Macro 1800 11.50 575
27 27 98.684422 3.585488 Macro 1800 12.40 620
28 28 98.685817 3.538617 Macro 1800 9.80 490
29 29 98.730011 3.682080 Macro 1800 9.60 480
30 30 98.698968 3.560562 Macro 1800 11.40 570
31 31 98.646000 3.605170 Macro 1800 11.50 575
32 32 98.668617 3.570733 Macro 1800 10.20 510
33 33 98.683275 3.600410 Macro 1800 11.20 560
34 34 98.656446 3.552680 Macro 1800 10.90 545
35 35 98.697117 3.784167 Macro 1800 11.40 570
36 36 98.660667 3.580483 Macro 1800 11.40 570
37 37 98.680090 3.606120 Macro 1800 9.80 490
38 38 98.663950 3.703260 Macro 1800 9.50 475
39 39 98.660533 3.602517 Macro 1800 9.80 490
40 40 98.669194 3.720722 Macro 1800 11.40 570
41 41 98.656006 3.529710 Macro 1800 10.20 510
Universitas Sumatera Utara
114
Lanjutan Tabel A.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
42 42 98.660833 3.626883 Macro 1800 10.50 525
43 43 98.623400 3.538650 Macro 1800 9.20 460
44 44 98.665570 3.684320 Macro 1800 10.40 520
45 45 98.717867 3.556733 Macro 1800 11.20 560
46 46 98.674630 3.580710 Macro 1800 10.90 545
47 47 98.683817 3.573083 Macro 1800 10.50 525
48 48 98.643967 3.591200 Macro 1800 10.20 510
49 49 98.695483 3.583500 Macro 1800 11.40 570
50 50 98.675283 3.597167 Macro 1800 9.50 475
51 51 98.694420 3.598260 Macro 1800 9.80 490
52 52 98.678250 3.592283 Macro 1800 8.50 425
53 53 98.692067 3.586683 Macro 1800 8.90 445
54 54 98.661567 3.554817 Macro 1800 12.40 620
55 55 98.667220 3.600130 Macro 1800 11.60 580
56 56 98.653034 3.598664 Macro 1800 9.80 490
57 57 98.653150 3.590040 Macro 1800 9.70 485
58 58 98.684472 3.591530 Macro 1800 10.50 525
59 59 98.670870 3.590940 Macro 1800 11.50 575
60 60 98.692280 3.581220 Macro 1800 12.50 625
61 61 98.703778 3.579611 Macro 1800 11.05 553
62 62 98.680017 3.576183 Macro 1800 12.40 620
63 63 98.679200 3.653000 Macro 1800 12.50 625
64 64 98.652183 3.566350 Macro 1800 11.20 560
65 65 98.685283 3.597700 Macro 1800 10.90 545
66 66 98.673333 3.644400 Macro 1800 10.40 520
67 67 98.703150 3.595700 Macro 1800 12.50 625
68 68 98.689720 3.567490 Macro 1800 11.40 570
69 69 98.677879 3.723788 Macro 1800 9.50 475
70 70 98.628417 3.573383 Macro 1800 9.80 490
71 71 98.673733 3.748067 Macro 1800 12.50 625
72 72 98.691920 3.638780 Macro 1800 15.60 780
73 73 98.660040 3.595860 Macro 1800 10.50 525
74 74 98.707944 3.563028 Macro 1800 9.20 460
75 75 98.669850 3.575630 Macro 1800 11.60 580
76 76 98.697520 3.589770 Macro 1800 12.40 620
77 77 98.675389 3.571056 Macro 1800 11.60 580
78 78 98.672833 3.601306 Macro 1800 10.50 525
79 79 98.677060 3.583826 Macro 1800 12.40 620
80 80 98.620915 3.563640 Macro 1800 12.10 605
81 81 98.690750 3.546833 Macro 1800 11.40 570
82 82 98.693722 3.621667 Macro 1800 9.80 490
83 83 98.645389 3.568417 Macro 1800 8.90 445
84 84 98.643830 3.582910 Macro 1800 8.90 445
Universitas Sumatera Utara
115
Lanjutan Tabel A.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
85 85 98.642150 3.576880 Macro 1800 8.80 440
86 86 98.634194 3.585278 Macro 1800 9.50 475
87 87 98.655306 3.594194 Macro 1800 9.60 480
88 88 98.715861 3.573889 Macro 1800 9.40 470
89 89 98.689260 3.613850 Macro 1800 8.90 445
90 90 98.672590 3.613620 Macro 1800 10.40 520
91 91 98.664139 3.614806 Macro 1800 9.50 475
92 92 98.652310 3.613180 Macro 1800 9.80 490
93 93 98.637583 3.599611 Macro 1800 10.50 525
94 94 98.631750 3.606167 Macro 1800 12.40 620
95 95 98.745250 3.530750 Macro 1800 13.40 670
96 96 98.666800 3.655500 Macro 1800 9.20 460
97 97 98.721750 3.614583 Macro 1800 11.60 580
98 98 98.611056 3.539361 Macro 1800 9.80 490
99 99 98.718972 3.533722 Macro 1800 9.40 470
100 100 98.683110 3.768350 Macro 1800 9.80 490
101 101 98.622944 3.615806 Macro 1800 11.50 575
102 102 98.663389 3.523917 Macro 1800 12.60 630
103 103 98.615889 3.579500 Macro 1800 9.80 490
104 104 98.650667 3.520611 Macro 1800 9.60 480
105 105 98.652917 3.539472 Macro 1800 10.50 525
106 106 98.688450 3.583610 Macro 1800 11.50 575
107 107 98.692522 3.593298 Macro 1800 12.40 620
108 108 98.696333 3.569972 Macro 1800 10.50 525
109 109 98.710840 3.592810 Macro 1800 11.50 575
110 110 98.706348 3.575773 Macro 1800 10.50 525
111 111 98.697167 3.607056 Macro 1800 11.50 575
112 112 98.675800 3.606810 Macro 1800 12.40 620
113 113 98.656083 3.573278 Macro 1800 12.50 625
114 114 98.694778 3.563778 Macro 1800 10.50 525
115 115 98.695194 3.554611 Macro 1800 12.60 630
116 116 98.662056 3.565806 Macro 1800 12.40 620
117 117 98.639100 3.563750 Macro 1800 11.40 570
118 118 98.712111 3.579556 Macro 1800 9.60 480
119 119 98.719056 3.582639 Macro 1800 12.40 620
120 120 98.686490 3.620230 Macro 1800 10.50 525
121 121 98.700750 3.601670 Macro 1800 11.50 575
122 122 98.706954 3.612513 Macro 1800 10.50 525
123 123 98.653722 3.604417 Macro 1800 11.50 575
124 124 98.662310 3.608690 Macro 1800 11.80 590
125 125 98.636111 3.529056 Macro 1800 9.80 490
126 126 98.630280 3.515917 Macro 1800 10.50 525
Universitas Sumatera Utara
116
Lanjutan Tabel A.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
127 127 98.619240 3.605340 Macro 1800 11.50 575
128 128 98.687083 3.594300 Macro 1800 11.60 580
129 129 98.611417 3.518556 Macro 1800 15.60 780
130 130 98.686070 3.578360 Macro 1800 14.50 725
131 131 98.664320 3.588520 Macro 1800 9.80 490
132 132 98.704700 3.588389 Macro 1800 12.50 625
133 133 98.679963 3.709988 Macro 1800 10.50 525
134 134 98.685820 3.687720 Macro 1800 9.80 490
135 135 98.676140 3.666430 Macro 1800 9.60 480
136 136 98.656472 3.710722 Macro 1800 8.90 445
137 137 98.668111 3.607056 Macro 1800 8.80 440
138 138 98.690222 3.591083 Macro 1800 8.70 435
139 139 98.711000 3.550180 Macro 1800 9.80 490
140 140 98.672028 3.594528 Macro 1800 9.70 485
141 141 98.684443 3.582450 Macro 1800 10.50 525
142 142 98.665020 3.584040 Macro 1800 10.40 520
143 143 98.728639 3.577361 Macro 1800 11.00 550
144 144 98.657790 3.644560 Macro 1800 12.40 620
145 145 98.680811 3.583635 Macro 1800 10.50 525
146 146 98.633600 3.590360 Macro 1800 10.50 525
147 147 98.666093 3.594854 Macro 1800 12.60 630
148 148 98.677170 3.618180 Macro 1800 11.60 580
149 149 98.722020 3.601740 Macro 1800 14.50 725
150 150 98.712640 3.784560 Macro 1800 11.50 575
151 151 98.730250 3.591670 Macro 1800 9.80 490
152 152 98.680890 3.550610 Macro 1800 12.40 620
153 153 98.646417 3.551444 Macro 1800 10.50 525
154 154 98.657150 3.689540 Macro 1800 9.80 490
155 155 98.717140 3.635720 Macro 1800 10.40 520
156 156 98.694635 3.673078 Macro 1800 10.40 520
157 157 98.713983 3.689880 Macro 1800 12.50 625
158 158 98.669203 3.621394 Macro 1800 12.40 620
159 159 98.671500 3.586860 Macro 1800 11.05 553
160 160 98.610590 3.572090 Macro 1800 12.40 620
161 161 98.635400 3.616400 Macro 1800 11.20 560
162 162 98.722583 3.566972 Macro 1800 11.20 560
163 163 98.645330 3.599720 Macro 1800 10.90 545
164 164 98.637056 3.539889 Macro 1800 10.50 525
165 165 98.614528 3.592000 Macro 1800 10.20 510
166 166 98.626300 3.599750 Macro 1800 13.50 675
167 167 98.681095 3.637871 Macro 1800 12.50 625
168 168 98.701042 3.547847 Macro 1800 15.40 770
169 169 98.698278 3.634806 Macro 1800 9.80 490
Universitas Sumatera Utara
117
Lanjutan Tabel A.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
170 170 98.662386 3.575919 Macro 1800 9.50 475
171 171 98.699060 3.538990 Macro 1800 11.50 575
172 172 98.696209 3.775921 Macro 1800 9.80 490
173 173 98.663134 3.634185 Macro 1800 9.60 480
174 174 98.655920 3.619310 Macro 1800 12.40 620
175 175 98.700880 3.585600 Macro 1800 9.40 470
176 176 98.653380 3.547700 Macro 1800 9.50 475
177 177 98.651520 3.558600 Macro 1800 9.70 485
178 178 98.659396 3.664036 Macro 1800 8.70 435
179 179 98.740650 3.619420 Macro 1800 8.60 430
180 180 98.619260 3.598690 Macro 1800 9.40 470
181 181 98.649160 3.700340 Macro 1800 10.20 510
182 182 98.633570 3.504020 Macro 1800 10.50 525
183 183 98.661684 3.560269 Macro 1800 8.50 425
184 1 98.685050 3.586780 Macro 900 4.50 225
185 2 98.651580 3.577650 Macro 900 6.80 340
186 3 98.705517 3.589117 Macro 900 7.60 380
187 4 98.658056 3.757306 Macro 900 4.60 230
188 5 98.645083 3.609833 Macro 900 5.40 270
189 6 98.708500 3.540900 Macro 900 4.60 230
190 7 98.688620 3.607320 Macro 900 4.60 230
191 8 98.717883 3.587833 Macro 900 4.80 240
192 9 98.669550 3.541017 Macro 900 6.50 325
193 10 98.700967 3.627800 Macro 900 6.80 340
194 11 98.668920 3.583060 Macro 900 5.40 270
195 12 98.686990 3.577200 Macro 900 6.50 325
196 13 98.701567 3.568233 Macro 900 6.90 345
197 14 98.621833 3.521350 Macro 900 6.80 340
198 15 98.705550 3.597217 Macro 900 6.80 340
199 16 98.675067 3.576767 Macro 900 7.50 375
200 17 98.677100 3.588190 Macro 900 4.50 225
201 18 98.626583 3.591867 Macro 900 6.60 330
202 19 98.679700 3.540630 Macro 900 4.20 210
203 20 98.710934 3.598438 Macro 900 4.10 205
204 21 98.633217 3.555717 Macro 900 5.40 270
205 22 98.694470 3.648080 Macro 900 5.80 290
206 23 98.685817 3.538617 Macro 900 6.10 305
207 24 98.698968 3.560562 Macro 900 5.70 285
208 25 98.647620 3.574330 Macro 900 5.70 285
209 26 98.668617 3.570733 Macro 900 5.60 280
210 27 98.683275 3.600410 Macro 900 5.90 295
211 28 98.631100 3.596270 Macro 900 6.70 335
Universitas Sumatera Utara
118
Lanjutan Tabel A.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
212 29 98.697117 3.784167 Macro 900 7.50 375
213 30 98.660667 3.580483 Macro 900 4.80 240
214 31 98.680090 3.606120 macro 900 7.80 390
215 32 98.663950 3.703260 Macro 900 4.60 230
216 33 98.660533 3.602517 Macro 900 6.90 345
217 34 98.669194 3.720722 Macro 900 5.70 285
218 35 98.656006 3.529710 Macro 900 6.40 320
219 36 98.660833 3.626883 Macro 900 5.40 270
220 37 98.623400 3.538650 Macro 900 5.70 285
221 38 98.665570 3.684320 Macro 900 6.70 335
222 39 98.717867 3.556733 Macro 900 5.70 285
223 40 98.674630 3.580710 Macro 900 4.10 205
224 41 98.683817 3.573083 Macro 900 4.50 225
225 42 98.643967 3.591200 Macro 900 4.20 210
226 43 98.695483 3.583500 Macro 900 4.10 205
227 44 98.675283 3.597167 Macro 900 5.70 285
228 45 98.694420 3.598260 Macro 900 4.60 230
229 46 98.690090 3.563470 Macro 900 7.40 370
230 47 98.678250 3.592283 Macro 900 5.70 285
231 48 98.692067 3.586683 Macro 900 5.70 285
232 49 98.661567 3.554817 Macro 900 7.60 380
233 50 98.667220 3.600130 Macro 900 7.80 390
234 51 98.653034 3.598664 Macro 900 5.70 285
235 52 98.653150 3.590040 Macro 900 6.50 325
236 53 98.670870 3.590940 Macro 900 4.50 225
237 54 98.692280 3.581220 Macro 900 4.20 210
238 55 98.703778 3.579611 Macro 900 4.10 205
239 56 98.680017 3.576183 Macro 900 5.70 285
240 57 98.679200 3.653000 Macro 900 6.80 340
241 58 98.652183 3.566350 Macro 900 7.50 375
242 59 98.685283 3.597700 Macro 900 7.60 380
243 60 98.673333 3.644400 Macro 900 7.40 370
244 61 98.703150 3.595700 Macro 900 6.70 335
245 62 98.689720 3.567490 Macro 900 5.70 285
246 63 98.677879 3.723788 Macro 900 6.80 340
247 64 98.628417 3.573383 Macro 900 7.60 380
248 65 98.678750 3.614990 Macro 900 4.50 225
249 66 98.673733 3.748067 Macro 900 4.60 230
250 67 98.691920 3.638780 Macro 900 8.70 435
251 68 98.680740 3.627030 Macro 900 7.50 375
252 69 98.660040 3.595860 Macro 900 4.60 230
253 70 98.707944 3.563028 Macro 900 8.90 445
254 71 98.669850 3.575630 Macro 900 8.70 435
Universitas Sumatera Utara
119
Lanjutan Tabel A.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
255 72 98.697520 3.589770 Macro 900 5.80 290
256 73 98.675389 3.571056 Macro 900 5.40 270
257 74 98.672833 3.601306 Macro 900 8.70 435
258 75 98.677060 3.583826 Macro 900 8.40 420
259 76 98.620915 3.563640 Macro 900 5.90 295
260 77 98.690750 3.546833 Macro 900 8.70 435
261 78 98.693722 3.621667 Macro 900 8.40 420
262 79 98.689560 3.630580 Macro 900 6.70 335
263 80 98.645389 3.568417 Macro 900 5.80 290
264 81 98.643830 3.582910 Macro 900 5.70 285
265 82 98.642150 3.576880 Macro 900 6.70 335
266 83 98.634194 3.585278 Macro 900 4.70 235
267 84 98.655306 3.594194 Macro 900 5.80 290
268 85 98.715861 3.573889 Macro 900 5.70 285
269 86 98.689260 3.613850 Macro 900 5.60 280
270 87 98.672590 3.613620 Macro 900 6.70 335
271 88 98.664139 3.614806 Macro 900 6.40 320
272 89 98.652310 3.613180 Macro 900 5.60 280
273 90 98.637583 3.599611 Macro 900 7.80 390
274 91 98.631750 3.606167 Macro 900 9.50 475
275 92 98.745250 3.530750 Macro 900 8.60 430
276 93 98.666800 3.655500 Macro 900 7.60 380
277 94 98.721750 3.614583 Macro 900 5.80 290
278 95 98.611056 3.539361 Macro 900 4.70 235
279 96 98.718972 3.533722 Macro 900 4.90 245
280 97 98.683110 3.768350 Macro 900 4.80 240
281 98 98.622944 3.615806 Macro 900 6.70 335
282 99 98.663389 3.523917 Macro 900 6.70 335
283 100 98.615889 3.579500 Macro 900 8.90 445
284 101 98.650667 3.520611 Macro 900 5.40 270
285 102 98.652917 3.539472 Macro 900 8.90 445
286 103 98.679722 3.588889 Macro 900 5.90 295
287 104 98.688450 3.583610 Macro 900 6.20 310
288 105 98.690889 3.573111 Macro 900 8.50 425
289 106 98.692522 3.593298 Macro 900 8.70 435
290 107 98.696333 3.569972 Macro 900 7.90 395
291 108 98.710840 3.592810 Macro 900 4.50 225
292 109 98.706348 3.575773 Macro 900 4.60 230
293 110 98.697167 3.607056 Macro 900 4.40 220
294 111 98.675800 3.606810 Macro 900 4.70 235
295 112 98.656083 3.573278 Macro 900 3.80 190
296 113 98.694778 3.563778 Macro 900 3.50 175
297 114 98.695194 3.554611 Macro 900 3.90 195
Universitas Sumatera Utara
120
Lanjutan Tabel A.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
298 115 98.662056 3.565806 Macro 900 3.70 185
299 116 98.639100 3.563750 Macro 900 4.80 240
300 117 98.712111 3.579556 Macro 900 4.70 235
301 118 98.719056 3.582639 Macro 900 4.20 210
302 119 98.686490 3.620230 Macro 900 4.60 230
303 120 98.700750 3.601670 Macro 900 5.80 290
304 121 98.706954 3.612513 Macro 900 5.70 285
305 122 98.653722 3.604417 Macro 900 5.90 295
306 123 98.662310 3.608690 Macro 900 6.30 315
307 124 98.636111 3.529056 Macro 900 5.70 285
308 125 98.630280 3.515917 Macro 900 4.70 235
309 126 98.669840 3.629430 Macro 900 5.70 285
310 127 98.619240 3.605340 Macro 900 6.40 320
311 128 98.687083 3.594300 Macro 900 6.10 305
312 129 98.611417 3.518556 Macro 900 6.20 310
313 130 98.686070 3.578360 Macro 900 6.40 320
314 131 98.679963 3.709988 Macro 900 7.10 355
315 132 98.685820 3.687720 Macro 900 7.20 360
316 133 98.676140 3.666430 Macro 900 5.60 280
317 134 98.656472 3.710722 Macro 900 7.80 390
318 135 98.619000 3.585556 Macro 900 9.50 475
319 136 98.668111 3.607056 Macro 900 8.60 430
320 137 98.690222 3.591083 Macro 900 7.60 380
321 138 98.711000 3.550180 Macro 900 5.90 295
322 139 98.672028 3.594528 Macro 900 6.70 335
323 140 98.684443 3.582450 Macro 900 4.50 225
324 141 98.665020 3.584040 Macro 900 6.80 340
325 142 98.728639 3.577361 Macro 900 4.50 225
326 143 98.657790 3.644560 Macro 900 6.50 325
327 144 98.680811 3.583635 Macro 900 5.50 275
328 145 98.633600 3.590360 Macro 900 5.40 270
329 146 98.677170 3.618180 Macro 900 5.40 270
330 147 98.722020 3.601740 Macro 900 5.90 295
331 148 98.712640 3.784560 Macro 900 6.20 310
332 149 98.730250 3.591670 Macro 900 8.50 425
333 150 98.680890 3.550610 Macro 900 8.70 435
334 151 98.646417 3.551444 Macro 900 7.90 395
335 152 98.657150 3.689540 Macro 900 7.70 385
336 153 98.717140 3.635720 Macro 900 6.10 305
337 154 98.694635 3.673078 Macro 900 6.20 310
338 155 98.713983 3.689880 Macro 900 5.80 290
339 156 98.671500 3.586860 Macro 900 5.40 270
340 157 98.610590 3.572090 Macro 900 6.70 335
Universitas Sumatera Utara
121
Lanjutan Tabel A.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
341 158 98.635400 3.616400 Macro 900 5.70 285
342 159 98.722583 3.566972 Macro 900 4.50 225
343 160 98.645330 3.599720 Macro 900 4.50 225
344 161 98.637056 3.539889 Macro 900 5.70 285
345 162 98.614528 3.592000 Macro 900 5.70 285
346 163 98.626300 3.599750 Macro 900 8.20 410
347 164 98.681095 3.637871 Macro 900 5.90 295
348 165 98.701042 3.547847 Macro 900 8.90 445
349 166 98.698278 3.634806 Macro 900 4.80 240
350 167 98.662386 3.575919 Macro 900 5.60 280
351 168 98.699060 3.538990 Macro 900 5.80 290
352 169 98.696209 3.775921 Macro 900 7.60 380
353 170 98.663134 3.634185 Macro 900 6.50 325
354 171 98.655920 3.619310 Macro 900 6.70 335
355 172 98.700880 3.585600 Macro 900 6.80 340
356 173 98.653380 3.547700 Macro 900 7.60 380
357 174 98.651520 3.558600 Macro 900 6.80 340
358 175 98.659396 3.664036 Macro 900 5.80 290
359 176 98.740650 3.619420 Macro 900 4.60 230
360 177 98.619260 3.598690 Macro 900 5.60 280
361 178 98.649160 3.700340 Macro 900 7.80 390
362 179 98.633570 3.504020 Macro 900 9.50 475
363 180 98.675750 3.737340 Macro 900 8.70 435
364 181 98.675750 3.737340 Macro 900 5.80 290
365 182 98.675750 3.737340 Macro 900 8.60 430
366 183 98.606535 3.546869 Macro 900 7.90 395
367 184 98.661684 3.560269 Macro 900 8.70 435
368 185 98.717643 3.541347 Macro 900 8.90 445
369 186 98.626143 3.557174 Macro 900 8.70 435
Universitas Sumatera Utara
122
Lampiran B
Tabel B. Hasil Pengukuran Power Density Antena BTS Operator B
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
1 1 98.5512 3.58917 DCS1800 9.7 485
2 2 98.5993 3.48081 DCS1800 8.7 435
3 3 98.6082 3.52022 DCS1800 5.8 290
4 4 98.6444 3.59956 DCS1800 9.9 495
5 5 98.6446 3.59966 DCS1800 9.6 480
6 6 98.6461 3.5845 DCS1800 9.8 490
7 7 98.6468 3.56375 DCS1800 9.6 480
8 8 98.6472 3.61645 DCS1800 8.9 445
9 9 98.6477 3.55339 DCS1800 11.5 575
10 10 98.6561 3.61014 DCS1800 11.5 575
11 11 98.6564 3.60058 DCS1800 12.8 640
12 12 98.6609 3.71103 DCS1800 12.6 630
13 13 98.6621 3.58966 DCS1800 8.9 445
14 14 98.6632 3.59211 DCS1800 9.3 465
15 15 98.6651 3.58622 DCS1800 10 500
16 16 98.6671 3.59094 DCS1800 10.5 525
17 17 98.6672 3.58472 DCS1800 10.1 505
18 18 98.669 3.58967 DCS1800 10.4 520
19 19 98.6708 3.61989 DCS1800 9.6 480
20 20 98.6719 3.57169 DCS1800 9.5 475
21 21 98.6719 3.58286 DCS1800 9.4 470
22 22 98.6721 3.58317 DCS1800 10.8 540
23 23 98.6721 3.58647 DCS1800 12.3 615
24 24 98.6721 3.6165 DCS1800 8.9 445
25 25 98.6734 3.58414 DCS1800 9.8 490
26 26 98.6735 3.5895 DCS1800 9.5 475
27 27 98.6745 3.58401 DCS1800 9.5 475
28 28 98.675 3.62289 DCS1800 11.5 575
29 29 98.6756 3.59647 DCS1800 12.1 605
30 30 98.6761 3.56639 DCS1800 9 450
31 31 98.6764 3.58283 DCS1800 11.8 590
32 32 98.6768 3.59111 DCS1800 9.8 490
33 33 98.6773 3.58564 DCS1800 8.8 440
34 34 98.6782 3.58856 DCS1800 9.7 485
35 35 98.6787 3.5865 DCS1800 9.8 490
36 36 98.6787 3.58839 DCS1800 12.5 625
37 37 98.6788 3.59381 DCS1800 11.5 575
38 38 98.6789 3.65092 DCS1800 13.5 675
39 39 98.6794 3.6058 DCS1800 13.5 675
40 40 98.6801 3.51739 DCS1800 9.9 495
Universitas Sumatera Utara
123
Lanjutan Tabel B.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
41 41 98.6807 3.58636 DCS1800 8.7 435
42 42 98.6822 3.58337 DCS1800 8.9 445
43 43 98.6822 3.59814 DCS1800 8.7 435
44 44 98.6826 3.58114 DCS1800 8.9 445
45 45 98.683 3.58622 DCS1800 10.2 510
46 46 98.6831 3.60053 DCS1800 11.5 575
47 47 98.6833 3.5825 DCS1800 11.6 580
48 48 98.6849 3.5833 DCS1800 10.2 510
49 49 98.6853 3.58042 DCS1800 9.9 495
50 50 98.686 3.57831 DCS1800 10.5 525
51 51 98.6869 3.58836 DCS1800 10.5 525
52 52 98.6869 3.59869 DCS1800 11.4 570
53 53 98.6873 3.57753 DCS1800 12.4 620
54 54 98.6883 3.58152 DCS1800 10.4 520
55 55 98.6883 3.59792 DCS1800 11.2 560
56 56 98.6896 3.58403 DCS1800 11.5 575
57 57 98.6915 3.56669 DCS1800 13.7 685
58 58 98.6921 3.59997 DCS1800 11.4 570
59 59 98.6924 3.56558 DCS1800 10.6 530
60 60 98.6942 3.55704 DCS1800 11.5 575
61 61 98.6953 3.55764 DCS1800 12.3 615
62 62 98.697 3.5793 DCS1800 11.2 560
63 63 98.6975 3.58747 DCS1800 8.9 445
64 64 98.7036 3.58205 DCS1800 9.8 490
65 65 98.7048 3.5845 DCS1800 9.7 485
66 66 98.7056 3.59744 DCS1800 9.6 480
67 67 98.7081 3.54417 DCS1800 9.5 475
68 68 98.7105 3.49206 DCS1800 11.5 575
69 69 98.7122 3.78483 DCS1800 11.2 560
70 70 98.7137 3.55894 DCS1800 6.8 340
71 71 98.7159 3.51517 DCS1800 11.5 575
72 72 98.7162 3.53458 DCS1800 12.4 620
73 73 98.7171 3.58644 DCS1800 9.8 490
74 74 98.7171 3.58645 DCS1800 10.2 510
75 75 98.7172 3.59339 DCS1800 8.6 430
76 76 98.7175 3.66209 DCS1800 8.9 445
77 77 98.7206 3.55134 DCS1800 8.5 425
78 78 98.7243 3.56828 DCS1800 7.8 390
79 79 98.7284 3.61486 DCS1800 9.8 490
80 80 98.7286 3.57764 DCS1800 9.3 465
Universitas Sumatera Utara
124
Lanjutan Tabel B.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
81 81 98.7286 3.59786 DCS1800 12.3 615
82 82 98.7342 3.53422 DCS1800 11.3 565
83 83 98.7371 3.58619 DCS1800 11.2 560
84 84 98.7387 3.60547 DCS1800 11.6 580
85 85 98.7481 3.56958 DCS1800 11.5 575
86 86 98.7504 3.59852 DCS1800 8.9 445
87 87 98.7524 3.61958 DCS1800 8.9 445
88 88 98.7524 3.61958 DCS1800 9.8 490
89 89 98.7524 3.66563 DCS1800 10.5 525
90 90 98.7559 3.53181 DCS1800 9.4 470
91 91 98.7562 3.58544 DCS1800 8.9 445
92 92 98.7622 3.68341 DCS1800 8.9 445
93 1 98.551 3.52981 GSM900 5.4 270
94 2 98.5512 3.58917 GSM900 5.6 280
95 3 98.5515 3.55747 GSM900 4.6 230
96 4 98.5557 3.59924 GSM900 4.2 210
97 5 98.5729 3.58908 GSM900 4.9 245
98 6 98.5743 3.49916 GSM900 4.5 225
99 7 98.5808 3.60094 GSM900 4.7 235
100 8 98.5808 3.61608 GSM900 4.9 245
101 9 98.5883 3.56125 GSM900 4.8 240
102 10 98.5888 3.52058 GSM900 5.6 280
103 11 98.5935 3.64972 GSM900 5.4 270
104 12 98.5945 3.63136 GSM900 5.8 290
105 13 98.5946 3.58522 GSM900 5.7 285
106 14 98.5957 3.66808 GSM900 5.9 295
107 15 98.596 3.61131 GSM900 5.8 290
108 16 98.5979 3.59883 GSM900 5.7 285
109 17 98.5989 3.70031 GSM900 5.4 270
110 18 98.6002 3.49033 GSM900 5.8 290
111 19 98.6038 3.56086 GSM900 5.7 285
112 20 98.6053 3.52675 GSM900 6 300
113 21 98.6054 3.61819 GSM900 6.1 305
114 22 98.6067 3.54197 GSM900 6.4 320
115 23 98.6094 3.60856 GSM900 6.5 325
116 24 98.6121 3.55452 GSM900 6.8 340
117 25 98.6149 3.58464 GSM900 4.5 225
118 26 98.6149 3.72717 GSM900 5.5 275
119 27 98.6156 3.51058 GSM900 4.6 230
120 28 98.6165 3.56961 GSM900 5.4 270
121 29 98.6187 3.59408 GSM900 5.6 280
122 30 98.6192 3.61824 GSM900 6.2 310
123 31 98.6212 3.54153 GSM900 6.3 315
Universitas Sumatera Utara
125
Lanjutan Tabel B.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
124 32 98.6223 3.57683 GSM900 5.3 265
125 33 98.6244 3.52644 GSM900 5.4 270
126 34 98.6256 3.57047 GSM900 5.2 260
127 35 98.6262 3.58555 GSM900 5.6 280
128 36 98.6264 3.60692 GSM900 5.1 255
129 37 98.6279 3.56244 GSM900 5.8 290
130 38 98.6283 3.59717 GSM900 5.7 285
131 39 98.6298 3.55319 GSM900 5 250
132 40 98.632 3.57858 GSM900 5.9 295
133 41 98.6331 3.61014 GSM900 4.5 225
134 42 98.6337 3.59075 GSM900 3.5 175
135 43 98.6341 3.70321 GSM900 3.5 175
136 44 98.6345 3.61603 GSM900 4 200
137 45 98.6348 3.51078 GSM900 5.4 270
138 46 98.6356 3.60066 GSM900 5.6 280
139 47 98.6361 3.54736 GSM900 6.4 320
140 48 98.6361 3.58419 GSM900 6.8 340
141 49 98.6377 3.57103 GSM900 4.7 235
142 50 98.6378 3.53981 GSM900 5 250
143 51 98.6379 3.52883 GSM900 7 350
144 52 98.639 3.59428 GSM900 5.4 270
145 53 98.6394 3.56397 GSM900 5.2 260
146 54 98.6409 3.71075 GSM900 6.6 330
147 55 98.6416 3.54736 GSM900 3.5 175
148 56 98.6426 3.59025 GSM900 3 150
149 57 98.6433 3.57808 GSM900 3.8 190
150 58 98.6434 3.68733 GSM900 4.9 245
151 59 98.6461 3.60489 GSM900 4.8 240
152 60 98.647 3.70039 GSM900 4.7 235
153 61 98.6477 3.55339 GSM900 5.7 285
154 62 98.6478 3.57222 GSM900 5.1 255
155 63 98.6481 3.59486 GSM900 4.6 230
156 64 98.6494 3.51142 GSM900 4.8 240
157 65 98.6496 3.53561 GSM900 6.5 325
158 66 98.6521 3.52806 GSM900 5.7 285
159 67 98.6527 3.57756 GSM900 5.7 285
160 68 98.6527 3.59047 GSM900 4.8 240
161 69 98.6533 3.54733 GSM900 4.7 235
162 70 98.6544 3.46697 GSM900 3.8 190
163 71 98.6551 3.58547 GSM900 5.4 270
164 72 98.6557 3.53934 GSM900 5.4 270
165 73 98.6558 3.56172 GSM900 5.2 260
166 74 98.6563 3.68686 GSM900 5 250
Universitas Sumatera Utara
126
Lanjutan Tabel B.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
167 75 98.6564 3.60058 GSM900 5.4 270
168 76 98.6564 3.66756 GSM900 4.6 230
169 77 98.6566 3.56986 GSM900 5.6 280
170 78 98.6573 3.62033 GSM900 4.5 225
171 79 98.6576 3.65614 GSM900 4 200
172 80 98.6587 3.59128 GSM900 3.5 175
173 81 98.6596 3.64436 GSM900 3.8 190
174 82 98.6597 3.59486 GSM900 3.9 195
175 83 98.6606 3.62564 GSM900 4.1 205
176 84 98.6608 3.57847 GSM900 4.2 210
177 85 98.6617 3.56539 GSM900 4.4 220
178 86 98.6619 3.55897 GSM900 4.7 235
179 87 98.6625 3.5325 GSM900 4.5 225
180 88 98.6628 3.52392 GSM900 4.6 230
181 89 98.6629 3.69772 GSM900 4.4 220
182 90 98.6634 3.59867 GSM900 4.7 235
183 91 98.6634 3.69075 GSM900 5.8 290
184 92 98.6635 3.48967 GSM900 6 300
185 93 98.6642 3.54189 GSM900 7 350
186 94 98.6642 3.61247 GSM900 7 350
187 95 98.6648 3.62119 GSM900 5.4 270
188 96 98.6649 3.5915 GSM900 8 400
189 97 98.6649 3.60342 GSM900 8 400
190 98 98.6653 3.57506 GSM900 4.6 230
191 99 98.6656 3.65778 GSM900 4.2 210
192 100 98.6659 3.58206 GSM900 4.3 215
193 101 98.6665 3.66092 GSM900 4.8 240
194 102 98.6671 3.56969 GSM900 4.7 235
195 103 98.6677 3.51603 GSM900 4.5 225
196 104 98.6677 3.58872 GSM900 5.4 270
197 105 98.6681 3.60678 GSM900 5.6 280
198 106 98.6682 3.67525 GSM900 5.4 270
199 107 98.6682 3.68503 GSM900 4.5 225
200 108 98.6684 3.59981 GSM900 5.6 280
201 109 98.6686 3.59386 GSM900 6.4 320
202 110 98.6687 3.57942 GSM900 5.6 280
203 111 98.6689 3.54701 GSM900 5.6 280
204 112 98.6698 3.62244 GSM900 6.9 345
205 113 98.6703 3.63153 GSM900 6.8 340
206 114 98.6706 3.5045 GSM900 7.1 355
207 115 98.6706 3.64508 GSM900 6.5 325
208 116 98.6711 3.59206 GSM900 5.9 295
209 117 98.6728 3.60228 GSM900 7.4 370
Universitas Sumatera Utara
127
Lanjutan Tabel B.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
300 118 98.6732 3.72967 GSM900 5.8 290
301 119 98.6732 3.72967 GSM900 6.7 335
302 120 98.6732 3.72967 GSM900 6.8 340
303 121 98.6734 3.53674 GSM900 5.4 270
304 122 98.6734 3.59025 GSM900 7.5 375
305 123 98.6735 3.586 GSM900 5.6 280
306 124 98.6735 3.60756 GSM900 4.6 230
307 125 98.6736 3.62836 GSM900 4.9 245
308 126 98.6744 3.58075 GSM900 4.8 240
309 127 98.6755 3.59214 GSM900 6.4 320
310 128 98.6759 3.52744 GSM900 7.3 365
311 129 98.6759 3.58786 GSM900 7.5 375
312 130 98.676 3.58997 GSM900 7.8 390
313 131 98.6762 3.74898 GSM900 5.5 275
314 132 98.6771 3.69469 GSM900 5.8 290
315 133 98.6777 3.6675 GSM900 6.4 320
316 134 98.6778 3.59889 GSM900 6.5 325
317 135 98.6779 3.62303 GSM900 4.5 225
318 136 98.6785 3.58758 GSM900 5.6 280
319 137 98.68 3.58311 GSM900 6.1 305
320 138 98.6801 3.57653 GSM900 6.3 315
321 139 98.6802 3.76396 GSM900 6.5 325
322 140 98.6806 3.55558 GSM900 5.6 280
323 141 98.6811 3.47797 GSM900 7.9 395
324 142 98.6813 3.61242 GSM900 7.8 390
325 143 98.6814 3.63136 GSM900 6.8 340
326 144 98.6816 3.64103 GSM900 6.8 340
327 145 98.6817 3.58986 GSM900 5.6 280
328 146 98.682 3.54781 GSM900 4.5 225
329 147 98.6821 3.58106 GSM900 4.6 230
330 148 98.6826 3.71011 GSM900 4.8 240
331 149 98.6828 3.58442 GSM900 4.2 210
331 150 98.6833 3.49341 GSM900 4.6 230
332 151 98.6843 3.58925 GSM900 5.1 255
333 152 98.6847 3.585 GSM900 5.3 265
334 153 98.685 3.59586 GSM900 5.3 265
335 154 98.6851 3.53722 GSM900 5.4 270
336 155 98.6851 3.77941 GSM900 5.4 270
337 156 98.6852 3.61919 GSM900 5.6 280
338 157 98.6853 3.58286 GSM900 5.7 285
339 158 98.6855 3.60759 GSM900 5.8 290
340 159 98.6857 3.5795 GSM900 6.1 305
341 160 98.6858 3.59214 GSM900 6.4 320
Universitas Sumatera Utara
128
Lanjutan Tabel B.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
342 161 98.6861 3.78394 GSM900 7.2 360
343 162 98.6863 3.67897 GSM900 6.8 340
344 163 98.6872 3.56867 GSM900 5.7 285
345 164 98.6879 3.58236 GSM900 5.6 280
346 165 98.6879 3.58803 GSM900 5.5 275
347 166 98.6881 3.57561 GSM900 7.8 390
348 167 98.6886 3.55064 GSM900 5.4 270
349 168 98.689 3.59289 GSM900 6.8 340
350 169 98.6891 3.52619 GSM900 5.4 270
351 170 98.6891 3.62864 GSM900 7.8 390
352 171 98.6893 3.56167 GSM900 5.8 290
353 172 98.6903 3.63745 GSM900 9.3 465
354 173 98.6908 3.50788 GSM900 8.4 420
355 174 98.6914 3.6088 GSM900 8.5 425
356 175 98.6915 3.58167 GSM900 5.4 270
357 176 98.6916 3.61608 GSM900 5.6 280
358 177 98.6918 3.58656 GSM900 4.6 230
359 178 98.6921 3.53839 GSM900 4.5 225
360 179 98.6923 3.65478 GSM900 4.6 230
361 180 98.6923 3.68922 GSM900 4.5 225
362 181 98.6935 3.56986 GSM900 5.6 280
363 182 98.6944 3.78064 GSM900 3.9 195
364 183 98.6946 3.59775 GSM900 3.8 190
365 184 98.6951 3.57593 GSM900 4.1 205
366 185 98.6958 3.58372 GSM900 4.2 210
367 186 98.6961 3.59214 GSM900 7 350
368 187 98.6963 3.54606 GSM900 5.8 290
369 188 98.6967 3.56497 GSM900 8 400
370 189 98.6969 3.62219 GSM900 8 400
371 190 98.6992 3.63439 GSM900 4.6 230
372 191 98.6992 3.63439 GSM900 4.8 240
373 192 98.6997 3.58683 GSM900 4.9 245
374 193 98.6999 3.59958 GSM900 7.8 390
375 194 98.7002 3.57322 GSM900 7.5 375
376 195 98.7004 3.61397 GSM900 7.4 370
377 196 98.7009 3.60853 GSM900 4.5 225
378 197 98.7011 3.59494 GSM900 5.9 295
379 198 98.7012 3.53419 GSM900 6.8 340
380 199 98.7017 3.55241 GSM900 6.7 335
381 200 98.7019 3.58225 GSM900 6.6 330
382 201 98.7027 3.56286 GSM900 6.4 320
383 202 98.7029 3.517 GSM900 9.9 495
384 203 98.7038 3.56867 GSM900 6.8 340
Universitas Sumatera Utara
129
Lanjutan Tabel B.
No BTS Longitude Latitude Tipe Sel PD (w/m2) Rpeak
385 204 98.7044 3.58553 GSM900 6.9 345
386 205 98.706 3.59256 GSM900 6.8 340
387 206 98.7063 3.57533 GSM900 5.6 280
388 207 98.7073 3.58211 GSM900 5.6 280
389 208 98.7073 3.63317 GSM900 5.8 290
390 209 98.7081 3.62636 GSM900 7.4 370
391 210 98.7082 3.59861 GSM900 5.8 290
392 211 98.7091 3.58655 GSM900 6.7 335
393 212 98.7125 3.60836 GSM900 6.8 340
394 213 98.7132 3.50328 GSM900 5.6 280
395 214 98.7137 3.55894 GSM900 5.6 280
396 215 98.7148 3.57856 GSM900 5.6 280
397 216 98.7149 3.54481 GSM900 5 250
398 217 98.7152 3.58287 GSM900 6.4 320
399 218 98.7155 3.61433 GSM900 6.5 325
400 219 98.7161 3.64011 GSM900 6.1 305
401 220 98.7202 3.574 GSM900 7.3 365
402 221 98.7224 3.58248 GSM900 7.5 375
403 222 98.7248 3.542 GSM900 7.8 390
404 223 98.7377 3.62417 GSM900 5.5 275
405 224 98.7394 3.51142 GSM900 5.7 285
406 225 98.7419 3.69408 GSM900 9.8 490
407 226 98.7481 3.56958 GSM900 5.8 290
408 227 98.7519 3.64042 GSM900 5.5 275
409 228 98.7673 3.60892 GSM900 4.5 225
500 229 98.7699 3.59581 GSM900 4.2 210
Universitas Sumatera Utara
130
Lampiran C
Data Keluhan Masyarakat yang Tinggal Dekat dengan Antena BTS di Kelurahan
Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan pada Tahun 2012 Sumber : Nasution F.T.K. (2012)
C.1. Hipersensitifitas Berupa Gangguan Sakit Kepala
Tabel C.1. Distribusi responden berdasarkan gangguan hipersensitifitas sakit kepala
No Keluhan Hipersensitifitas Berupa
Gangguan Sakit Kepala
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
1
2
Ada
Tidak Ada
17
10
62,9
37,1
Jumlah 27 100,0
Tabel C.2. Keluhan hipersensitiftas sakit kepala berdasarkan umur
No Kelompok
Umur
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Sakit Kepala
Ada Tidak Ada
n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
3
20 – 30 Tahun
31 – 41 Tahun
42 – 52 Tahun
4
11
2
57,1
68,8
50
3
5
2
42,9
31,2
50
7
16
4
100
100
100
Total 17 62,9 10 37,1 27 Org (100%)
Tabel C.3. Keluhan hipersensitiftas sakit kepala berdasarkan lama bermukim
No Lama Bermukim
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Sakit Kepala
Ada Tidak Ada
n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
2 – 12 Tahun
13 – 23 Tahun
11
6
73,3
50
4
6
26,7
50
15
12
100
100
Total 17 62,9 10 37,1 27 Org (100%)
C.2. Keluhan Hipersensitifitas Berupa Gangguan Tidur
Tabel C.4. Ditribusi responden berdasarkan gangguan hipersensitifitas gangguan tidur
No Keluhan Hipersensitifitas Berupa
Gangguan Tidur
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
1
2
Ada
Tidak Ada
15
12
88,5
11,5
Jumlah 27 100,0
Universitas Sumatera Utara
131
Tabel C.5. Keluhan hipersensitiftas gangguan tidur berdasarkan umur
No Kelompok
Umur
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Gangguan Tidur
Ada Tidak Ada
n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
3
20 – 30 Tahun
31 – 41 Tahun
42 – 52 Tahun
1
13
1
14,3
81,2
25
6
3
3
85,7
18,8
75
7
16
4
100
100
100
Total 15 55,5 12 44,5 27 Org (100%)
Tabel C.6. Keluhan hipersensitiftas gangguan tidur berdasarkan lama bermukim
No Lama Bermukim
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Gangguan Tidur
Ada Tidak Ada
n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
2 – 12 Tahun
13 – 23 Tahun
7
8
46,7
66,7
8
4
53,3
33,3
15
12
100
100
Total 15 55,5 12 44,5 27 Org (100%)
C.3. Keluhan Hipersensitifitas Berupa Gangguan Konsentrasi
Tabel C.7. Keluhan hipersensitifitas gangguan konsentrasi
No Keluhan Hipersensitifitas Berupa
Gangguan Konsentrasi
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
1
2 Ada
Tidak Ada
14
13
51,9
48,1
Jumlah 27 100,0
Tabel C.8. Keluhan hipersensitiftas gangguan konsentrasi berdasarkan umur
No Kelompok
Umur
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Gangguan Konsentrasi
Ada Tidak Ada n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
3
20 – 30 Tahun
31 – 41 Tahun
42 – 52 Tahun
8
4
2
50
57,1
50
8
3
2
50
42,9
50
16
7
4
100
100
100
Total 14 51,9 13 48,1 27 Orang (100%)
Universitas Sumatera Utara
132
Tabel C.9. Keluhan hipersensitiftas gangguan konsentrasi berdasarkan lama bermukim
No Lama Bermukim
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Gangguan Konsentasi
Ada Tidak Ada n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
2 – 12 Tahun
13 – 23 Tahun
11
3
33,3
25
4
9
26,7
75
15
12
100
100
Total 14 51,9 13 48,1 27 Orang (100%)
C.4. Keluhan Hipersensitifitas Berupa Keletihan Konstan
Tabel C.10. Keluhan hipersensitifitas berupa keletihan konstan
No Keluhan Hipersensitifitas Berupa
Keletihan Konstan
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
1
2
Ada
Tidak Ada
24
3
88,9
11,1
Jumlah 27 100,0
Tabel C.11. Keluhan hipersensitiftas keletihan konstan berdasarkan umur
No Kelompok
Umur
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Keletihan Konstan
Ada Tidak Ada
n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
3
20 – 30 Tahun
31 – 41 Tahun
42 – 52 Tahun
5
15
3
71,4
93,7
100
2
1
1
7
6,3
0
12
16
4
100
100
100
Total 24 88,9 3 11,1 27 Orang (100%)
Tabel C.12. Keluhan hipersensitiftas keletihan konstan berdasarkan lama bermukim
No Lama Bermukim
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Keletihan Konstan
Ada Tidak Ada
n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
2 – 12 Tahun
13 – 23 Tahun
12
12
80
100
3
0
20
0
15
12
100
100
Total 24 88,9 3 11,1 27 Orang (100%)
Universitas Sumatera Utara
133
C.5. Keluhan Hipersensitifitas Berupa Sakit Pada Otot
Tabel C.13. Keluhan hipersensitifitas sakit pada otot
No Keluhan Hipersensitifitas
Berupa Sakit Pada Otot
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
1
2
Ada
Tidak Ada
25
2
92,6
7,4
Jumlah 27 100,0
Tabel C.14. Keluhan hipersensitiftas sakit otot berdasarkan umur
No Kelompok
Umur
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Sakit Otot
Ada Tidak Ada n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
3
20 – 30 Tahun
31 – 41 Tahun
42 – 52 Tahun
6
15
3
86,7
93,7
92,8
1
1
1
14,3
6,3
7,2
7
16
4
100
100
100
Total 25 92,6 2 7,4 27 Orang (100%)
Tabel C.15. Keluhan hipersensitiftas sakit otot berdasarkan lama bermukim
No Lama Bermukim
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Sakit Otot
Ada Tidak Ada n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
2 – 12 Tahun
13 – 23 Tahun
14
11
93,3
91,7 1
1
6,7
8,3
15
12
100
100
Total 25 92,6 2 7,4 27 Orang (100%)
C.6. Keluhan Hipersensitifitas Berupa Mual
Tabel C.16. Keluhan hipersensitifitas mual
No Keluhan Hipersensitifitas
Berupa Mual
Jumlah
(orang)
Persentase
(%)
1
2
Ada
Tidak Ada
5
22
18,5
81,5
Jumlah 27 100,0
Universitas Sumatera Utara
134
Tabel C.17. Keluhan hipersensitiftas mual berdasarkan umur
No Kelompok
Umur
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Mual
Ada Harian Tidak Ada
n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
3
20 – 30 Tahun
31 – 41 Tahun
42 – 52 Tahun
0
5
0
0
31,2
0
7
11
4
100
68,8
100
7
16
4
100
100
100
Total 5 18,5 22 81,5 27 Orang (100%)
Tabel C.18. Keluhan hipersensitiftas mual berdasarkan lama bermukim
No Lama Bermukim
Keluhan Hipersensitifitas Berupa Mual
Ada Tidak Ada
n % Jumlah
(Orang) %
Jumlah
(Orang) %
1
2
2 – 12 Tahun
13 – 23 Tahun
2
3
13,3
25,0
13
9
86,7
75,0
15
12
100
100
Total 5 18,5 22 81,5 27 Orang (100%)
Universitas Sumatera Utara
135
Lampiran D.1.
Dua belas Kendala pada Model yang diperoleh Fischetti et al. (2001)
Kendala (1) : setiap BTS terkoneksi dengan CSS atau LE,
1. ∑ 𝑥𝑖𝑗𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆 + ∑ 𝑥𝑖𝑘
𝐵𝑇𝑆−𝐿𝐸 = 1
𝑝
𝑘=1
𝑚
𝑗=1
untuk i = 1, ........., n,
Kendala (2) : batasan trafik yang diberikan CSS,
2. ∑ 𝑇𝑖𝐵𝑇𝑆
𝑛
𝑖=1
𝑥𝑖𝑗𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆 ≤ ∑ 𝑇𝑗
𝐶𝑆𝑆−ℎ
ℎ=1,2
𝑦𝑗𝐶𝑆𝑆−ℎ
untuk j = 1, ........., m,
Kendala (3) : membuat jumlah BTS terkoneksi sejumlah yang disediakan oleh CSS,
3. ∑ 𝑥𝑖𝑗𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆
𝑛
𝑖=1
≤ ∑ 𝑁𝑗𝐶𝑆𝑆−ℎ
ℎ=1,2
𝑦𝑗𝐶𝑆𝑆−ℎ
untuk j = 1, ........., m,
Kendala (4) : batasan jumlah modul terkoneksi sesuai dengan yang disediakan oleh
CSS,
4. ∑ 𝑒𝑖𝐵𝑇𝑆𝑥𝑖𝑗
𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆
𝑛
𝑖=1
≤ ∑ 𝐸𝑗𝐶𝑆𝑆−ℎ𝑦𝑗
𝐶𝑆𝑆−ℎ
ℎ=1,2
untuk j = 1, ........., m,
Kendala (5) : hubungan kesesuaian antara variabel 𝑥𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸 dan juga 𝑧𝑗𝑘
𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸
sebagai batasan jumlah modul yang terhubung sesuai dengan yang disediakan CSS
5. ∑ 𝑑𝑖𝐵𝑇𝑆𝑥𝑖𝑗
𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆 ≤ 𝑄 ∑ 𝑧𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸
𝑝
𝑘=1
𝑛
𝑖=1
untuk j = 1, ........., m,
Universitas Sumatera Utara
136
Kendala (6) : 𝑧𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸 akan nol bila 𝑥𝑗𝑘
𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸 berharga nol, besaran Mjk merupakan
batas atas jumlah modul diantara j dan k,
6. 𝑧𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸 ≤ 𝑀𝑗𝑘𝑥𝑗𝑘
𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸
untuk j = 1, ........., m, k = 1, ........., p,
Kendala (7) : batasan yang digunakan untuk arus trafik sesuai dengan yang diberikan
oleh LE,
7. ∑ 𝑤𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸 + ∑ 𝑇𝑖
𝐵𝑇𝑆
𝑛
𝑖=1
𝑚
𝑗=1
𝑥𝑖𝑘𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆 ≤ 𝑇𝑘
𝐿𝐸𝑦𝑘𝐿𝐸
untuk k = 1, ........., p,
Kendala (8) : seluruh trafik yang masuk ke CSS harus didistribusikan ke LE,
8. ∑ 𝑇𝑖𝐵𝑇𝑆
𝑛
𝑖=1
𝑥𝑖𝑗𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆 = ∑ 𝑤𝑗𝑘
𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸
𝑝
𝑘=1
untuk j = 1, ........., m,
Kendala (9) : 𝑥𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸 akan nol bila 𝑤𝑗𝑘
𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸 berharga nol (besaran Fjk akan
memberikan batas atas pada arus trafik diantara j dan k ),
9. 𝑤𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸 ≤ 𝐹𝑗𝑘𝑥𝑗𝑘
𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸
untuk j = 1, ........., m, k = 1, ........., p,
Kendala (10) : batasan jumlah modul yang terkoneksi dengan LE yang diberikan,
10. ∑ 𝑧𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸
𝑚
𝑗=1
+ ∑ 𝑒𝑖𝐵𝑇𝑆
𝑛
𝑖=1
𝑥𝑖𝑘𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆 ≤ 𝐸𝑘
𝐿𝐸 𝑦𝑘𝐿𝐸
untuk k = 1, ........., p,
Kendala (11) : hanya satu CSS yang dapat aktif sesuai dengan lokasi yang diberikan,
11. ∑ 𝑦𝑖𝐶𝑆𝑆−ℎ
ℎ=1,2
≤ 1
untuk j = 1, ........., m,
Universitas Sumatera Utara
137
Kendala (12) : membuat aktif setiap CSS yang terkoneksi dengan LE,
12. ∑ 𝑥𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸
𝑝
𝑘=1
= ∑ 𝑦𝑗𝐶𝑆𝑆−ℎ
ℎ=1,2
untuk j = 1, ........., m,
𝑦𝑗𝐶𝑆𝑆−ℎ 0,1 untuk j = 1, ........., m, h = 1,2
𝑦𝑘𝐿𝐸 0,1 untuk k = 1, ........., p,
𝑥𝑖𝑗𝐵𝑇𝑆−𝐶𝑆𝑆 0,1 untuk i = 1, ........., n, j = 1, ........., m,
𝑥𝑖𝑘𝐵𝑇𝑆−𝐿𝐸 0,1 untuk i = 1, ........., n,k = 1, ........., p,
𝑥𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸 0,1 untuk j = 1, ........., m,k = 1, ........., p,
𝑧𝑗𝑘𝐶𝑆𝑆−𝐿𝐸 ≥ 0 dan integer untuk j = 1, ........., m,k = 1, ........., p,
Universitas Sumatera Utara
138
Lampiran D.2.
Sembilan Kendala pada Model yang diperoleh Kalvenes et al. (2005)
kendala pertama : memastikan bahwa pelanggan dapat dilayani hanya jika ada
menara yang mencakup permintaan tersebut,
𝑥𝑚𝑙 ≤ 𝑑𝑚𝑦𝑙 ∀ 𝑚 M, 𝑙 Cm
kendala kedua : memastikan bahwa tidak ada satupun yang bisa melayani lebih
banyak pelanggan di lokasi untuk melayani permintaan yang datang,
∑ 𝑥𝑚𝑙 ≤ 𝑑𝑚 ∀ 𝑚 M 𝑙𝐶𝑚
Batasan minimum layanan dapat dilakukan dengan tiga set kendala, yaitu : set
pertama menyatakan bahwa pelanggan tidak dapat dilayani di lokasi m jika tidak ada
menara yang dibangun dapat menjangkau daerah permintaan m , set kedua
menyatakan jika ada setidaknya satu menara yang dapat menjangkau daerah m ,
maka pelanggan di lokasi ini dapat dilayani, dan set ketiga memastikan bahwa
layanan yang tersedia didaerah permintaan yang memiliki setidaknya proporsi (persyaratan minimum yang dilayani) dari semua pelanggan total area layanan
operator. Catatan, namun yang ada tidak harus menjadi cukup kapasitasnya untuk
melayani semua pelanggan yang dapat dicapai dengan jaringan dan ini sebagai set
kendala ketiga, keempat, dan kelima:
𝑞𝑚 ≤ ∑ 𝑦𝑙
𝑙𝐶𝑚
∀ 𝑚 𝑀,
𝑞𝑚 ≥ 𝑦𝑙 ∀ 𝑚 𝑀, 𝑙 𝐶𝑚 ,
∑ 𝑑𝑚𝑞𝑚 ≥ ∑ 𝑑𝑚,𝑚𝑀𝑚𝑀
Set kendala berikutnya memberlakukan pembatasan layanan kualitas sinyal yang
diterima di lokasi menara l ∈ L , pelanggan yang berkontribusi dengan gangguan di
lokasi adalah orang-orang yang menerima layanan dari menara. Jadi, bukan
menghitung gangguan total pada menara l dari semua pelanggan yang dilayani,
hanya menghitung gangguan yang dihasilkan oleh pelanggan pada lokasi m yang
telah ditentukan menara untuk layanan, yaitu , Xml ≥ 1. sehingga set kendala keenam
dan ketujuh dapat ditulis sebagai berikut :
∑ ∑𝑔𝑚𝑙
𝑔𝑚𝑗𝑥𝑚𝑗
𝑗𝐶𝑚𝑚𝑀
= ∑𝑔𝑚𝑙
𝑔𝑚𝑙𝑚𝑀𝑙𝐶𝑚
𝑥𝑚𝑙 + ∑ ∑𝑔𝑚𝑙
𝑔𝑚𝑗 𝑥𝑚𝑗
𝑗𝐶𝑚𝑙𝑚𝑀
∀ 𝑙 𝐿
Universitas Sumatera Utara
139
dimana Cm adalah BTS yang potensial untuk melayani pelanggan m, dan gm adalah
faktor redaman dari pelanggan pada lokasi m terhadap lokasi menara l. Dengan
kondisi ini dapat dinyatakan bahwa telah dilakukan pemisahan gangguan yang
disebabkan oleh pelanggan yang dilayani oleh menara dari gangguan yang
disebabkan oleh pelanggan lain. Dengan mengobservasi,
𝑔𝑚𝑗 ≥ 0 ∀ 𝑚 𝑀, 𝑗 𝐿, 𝑑𝑎𝑛 𝑥𝑚𝑙 ℕ
maka dapat diperoleh sebagai set kendala ke delapan :
∑ 𝑥𝑚𝑙 ≤ ∑ ∑𝑔𝑚𝑙
𝑔𝑚𝑙𝑗𝐶𝑚𝑚𝑀𝑚𝑃𝑙
𝑥𝑚𝑗 ∀ 𝑙 𝐿
dengan demikian setelah ketidaksetaraan valid maka dapat ditambahkan
keformulasi berikut sebagai set kendala kesembilan :
∑ 𝑥𝑚𝑙 ≤ 1 + 1
𝑆𝐼𝑅𝑚𝑖𝑛 ∀ 𝑙 𝐿.
𝑚𝑃𝑙
dimana SIR adalah signal to interference ratio sebagai perbandingan kuat sinyal
yang diterima dengan interferensi yang diterima.
Universitas Sumatera Utara
top related