makalah kerajaan kota kapur dam tulang bawang
Post on 15-Apr-2017
8.632 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerajaan Tulangbawang berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang,
Lampung sekarang. Musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Nusantara pada abad
VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha, dalam catatannya
menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang ("Tulangbawang"), suatu kerajaan
di pedalaman Chrqse (Pulau Sumatera). Ahli sejarah Dr. J. W. Naarding
memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara
Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Kerajaan kota kapur adalah kerajaan di mana sejarah terbentukya kerajaan
sriwijaya atau lebih tepatnnya bibit dari kerajaan sriwijaya yang sudah berada di pulau
Bangka dengan bukti bukti seperti arca durga mahisasramardhani
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah dari Kerajaan Tulang bawang?
2. Bagaimana Sejarah Dari Kerajaan Kota Kapur?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KERAJAAN TULANG BAWANG
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Sriwijaya, nama Kerajaan Tulang
Bawang semakin memudar. Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang memungkinkan
setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin Adat yang berkuasa selalu
berganti ganti Trah. Status sosial dalam masyarakat Pepadun tidak semata-mata ditentukan oleh
garis keturunan. Setiap orang memiliki peluang untuk memiliki status sosial tertentu, selama
orang tersebut dapat menyelenggarakan upacara adat Cakak Pepadun. Gelar atau status sosial
yang dapat diperoleh melalui Cakak Pepadun diantaranya gelar Suttan, Raja, Pangeran, dan
Dalom. Hingga saat ini belum diketemukan benda benda arkeologis yang mengisahkan tentang
alur dari kerajaan ini.
Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung adalah
kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Berita Cina tertua yang berkenaan dengan
daerah Lampung berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-sung-Shu, sebuah kitab sejarah dari
masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420– 479). Kitab ini di antaranya mengemukakan bahwa
pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara bagian barat bernama P’u-
huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina. Lebih lanjut
kitab Liu-sung-Shu mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis
barang yang diperdagangkan ke Cina. Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang
dan Cina berlangsung terus sejak pertengahan abad ke-5 sampai abad ke-6, seperti halnya dua
kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.
Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’inghuang- yu-chi yang ditulis
pada tahun 976–983 M, disebutkan sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-huang yang oleh G.
Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di daerah
pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi).
2
L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi
pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk Pelayaran”. Namun, di samping itu
Damais kemudian memberikan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan identifikasi P’o-
huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat bernama Bawang (Umbul Bawang) yang
sekarang terletak di daerah Kabupaten Lampung Barat, yaitu di daerah Kecamatan Balik Bukit di
sebelah utara Liwah. Tidak jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa Hanakau, sejak tahun 1912
telah ditemukan sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah batu tegak, dan tidak jauh dari
tempat tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah
inskripsi batu yang lainnya.
a. Kehidupan Sosial-Budaya
Ketika ditemukan oleh I-Tsing pada abad ke-4, kehidupan masyarakat Tulang Bawang
masih tradisional. Meski demikian, mereka sudah pandai membuat kerajinan tangan dari logam
besi dan membuat gula aren. Dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan masyarakat Tulang
Bawang juga masih ditandai dengan kegiatan ekonomi yang terus bergeliat. Pada abad ke-15,
daerah Tulang Bawang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di Nusantara. Pada saat itu,
komoditi lada hitam merupakan produk pertanian yang sangat diunggulkan. Deskripsi tentang
kehidupan sosial-budaya masyarakat Tulang Bawang lainnya masih dalam proses pengumpulan
data.
b. Kehidupan Agama
Sungguhpun kita telah dididik diajar digembleng dan diresapi oleh Agama Islam yang
sudah berabad-abad lamanya ini, namun pengaruh Animisme Hindu nampaknya sampai pada
dewasa ini masih belum juga dapat dikuras habis.
Dimana-mana lebih-lebih di Kampung-kampung dan dipedalaman hal ini masih
dipraktekkan oleh Rakyat disana. Mereka masih meyakinkan bahwa Roh-roh itu masih aktif,
masih bekerja masih tetap mengawasi anak-cucunya dimana saja berada.
Mereka masih meyakinkan bahwa kayu-kayu besar, gunung-gunung besar mempunyai
penunggu dan penjaganya, inilah yang dinamakan Animisme.
3
c. Kehidupan Ekonomi
Semua alat-alat pertanian seperti : pacul, gobek, kapak, dibuat dari besi, demikian juga
alat senjata : tombak, badik, keris dan sebagainya bukankah ini dari besi? Diatas telah penulis
singgung pada tahun 671 Pendeta Tiongkok I TSING pernah mengadakan pencatatan-pencatatan
tentang Kerajaan Tulang Bawang, bahwa didapatinya Rakyat disana sudah maju, pandai
membuat gula dan membuat besi.
Jelas disini gula aren yang kita minum sekarang, demikian juga senjata-senjata dari besi
adalah dari Zaman Hindu dari Kerajaan Tulang Bawang asalnya, malahan di Pagar Dewa
sekarang ini masih ada pandai besi (tukang membuat senjata) badik, keris, dan sebagainya.
Malahan menurut keterangan Batu Tempaan Kuno ada pada orang tersebut, orang Kalianda
mengakui atas kebenaran ini, mereka punya bahannya (besi segelungan), Pagar Dewa punya
tepaannya.bahkan di Lampung pembuatan sarung-sarung dari pada senjata-senjata ini yang
dikenal hanya Pagar Dewalah tempat pembuatan sarung badik yang terbaik, berita ini sampai
sekarang masih disebut-sebut.
d. Kehidupan Politik
Struktur pemerintahan Kerajaan Tulang Bawang belum didapat datanya. Berikut ini akan
dibahas tentang bagaimana sistem pemerintahan daerah Tulang Bawang pada masa pra-
kemerdekaan, yaitu ketika daerah ini menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Pada
tanggal 22 November 1808, pemerintahan Kesiden Lampung ditetapkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda berada di bawah pengawasan langsung Gubernur Jenderal Herman Wiliam. Hal ini
berakibat pada penataan ulang pemerintahan adat yang kemudian dijadikan alat untuk menarik
simpati masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Herman
Wiliam kemudian membentuk Pemerintahan Marga yang dipimpin oleh Kepala Marga
(Kebuayan). Wilayah Tulang Bawang dibagi ke dalam tiga kebuayan, yaitu Buay Bulan, Buay
Tegamoan, dan Buay Umpu. Pada tahun 1914, dibentuk kebuayan baru, yaitu Buay Aji.
Namun, sistem ini tidak berjalan lama karena pada tahun 1864 mulai dibentuk sistem
Pemerintahan Pesirah berdasarkan Keputusan Kesiden Lampung No. 362/12 tanggal 31 Mei
1864. Sejak saat itu, pembangunan berbagai fasilitas yang menguntungkan kepentingan Hindia
Belanda mulai dibangun, termasuk di Tulang Bawang. Ketika Kesiden Lampung dijajah oleh
4
Jepang, tidak banyak hal yang berubah. Setelah Indonesia merdeka, Lampung ditetapkan sebagai
keresidenan dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Setelah Indonesia merdeka, banyak
terjadi perubahan sistem pemerintahan Lampung. Bahkan, sejak pemekaran wilayah provinsi
marak terjadi di era otonomi daerah, Lampung ditetapkan sebagai wilayah provinsi yang terpisah
dari Provinsi Sumatera Selatan. Sejak saat itu, status Menggala ditetapkan sebagai Kecamatan
Menggala di bawah naungan Provinsi Lampung Utara.
Sejarah Kabupaten Tulang Bawang tidak berdiri begitu saja, melainkan melalui proses
pertemuan penting antara sesepuh dan tokoh masyarakat bersama dengan pemerintah yang
diadakan sejak tahun 1972. Pertemuan tersebut merencanakan pembentukan Provinsi Lampung
menjadi sepuluh kabupaten/kota. Pada tahun 1981, Pemerintah Provinsi Lampung kemudian
membentuk delapan Lembaga Pembantu Bupati, yang salah satunya adalah Bupati Lampung
Utara Wilayah Menggala. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.821.26/502 tanggal
8 Juni 1981, dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan
Lampung Utara Wilayah Provinsi Lampung.
Melalui proses yang begitu panjang, akhirnya keberadaan Kabupaten Tulang Bawang
diputuskan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 Maret 1997. Sebagai
tindak lanjutnya, keputusan tersebut dikembangkan dalam UU No. 2 Tahun 1997 tentang
Pembentukan Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Tingkat II Tagamus.
2.2 KERAJAAN KOTA KAPUR
Penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994,
diperoleh petunjuk tentang adanya kekuasaan sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Temuan-
temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) bersama dengan
arca-arca batu, di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang
ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal
dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari
Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula
peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga
5
Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di
Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa.
Pusat kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-sisa dari
sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap dengan arca-arca batu,
di antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-arca Wisnu yang
ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang
berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari
Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula
peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga
Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di
Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng
pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah,
masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3
meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870
M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut
agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang
akhir abad ke-7.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi
Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya
mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh
Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari
jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh
Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.
6
TRADISI HINDU BUDHA DI SEKITAR
Rasulan adalah sebuah tradisi yang sudah berlangsung sejak lama bagi masyarakat
kabupaten Gunungkidul dan sekitarnya. Biasanya di tempat lain tradisi ini di sebut
dengan tradisi merti dusun atau merti desa. Rasulan diadakan setelah selesai melakukan
panen dan merupakan acara yang diadakan oleh masyarakat sebagai ungkapan syukur
atas panen yang diberikan oleh Sang Pemberi rejeki. Biasanya kegiatan rasulan ini
diselenggarakan per pedukuhan/ dusun dengan waktu pelaksanaan yang berbeda- beda.
Kenduren/ selametan adalah tradisi yang sudaah turun temurun dari jaman dahulu, yaitu
doa bersama yang di hadiri para tetangga dan di pimpin oleh pemuka adat atau yang di
tuakan di setiap lingkungan, dan yang di sajikan berupa Tumpeng, lengkap dengan lauk
pauknya. Tumpeng dan lauknya nantinya di bagi bagikan kepada yang hadir yang di
sebut Carikan ada juga yang menyebut dengan Berkat.
Tradisi selapanan sering dikenal dalam adat jawa. Tradisi Selapanan adalah suatu bentuk
upacara selamatan kelahiran yang diselenggarakan pada waktu bayi telah berusia 35 hari,
dan diisi dengan upacara pencukuran rambut dan pemotongan kuku jari bayi. Tidak
jarang tradisi selapan ini dibarengi dengan prosesi aqiqah. Padahal aqiqah sendiri adalah
ajaran Islam, yaitu penyembelihan hewan qurban berupa kambing pada hari ke tujuh dari
kelahiran anak, untuk laki-laki 2 ekor kambing dan 1 ekor kambing untuk
perempuan.namun pada kebanyakan masyarakat jawa yang mengadakan acara selapan
dibarengi aqiqah dilakukan pada 35 hari setelah bayi lahir. dan pelaksanaan itu sendiri
disesuaikan dengan hari weton yang berasal dari penanggalan Jawa yaitu: Pon, Wage,
Kliwon, Legi dan Pahing dengan mengadakan kenduri. Upacara Selapanan bertujuan
memohon keselamatan bagi si bayi.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kerajaan Tulangbawang berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung
sekarang sedangkan Kerajaan kota kapur terletak di Bangka Sumatra rajaraja nya masih belum di
ketahuai serta masih banyak sekali hal yang masih belum di ketahui tentang kedua kerajaan
tersebut.
3.2 Saran
Dari keberadaanya kerajaan kota di wilayah kita pada masa yang lalu. Maka kita wajib
mensyukurinya. Rasa syukur tersebut dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan hati
yang tulus serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan dan memelihara
budaya nenek moyang kita.
8
DAFTAR PUSTAKA
http://habtaa.blogspot.co.id/2014/11/makalah-kerajaan-kota-kapur.html
http://northmelanesian.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-kerajaan-tulang-bawang-lampung.html
http://www.mikirbae.com/2015/10/sejarah-kerajaan-tulang-bawang-dan-kota.html
http://diyananurfa.blogspot.co.id/2014/11/kerajaan-buleleng-tulang-bawang-dan.html
9
top related