makalah asuhan keperawatan anak dengan gangguan pencernaan (hisprung)
Post on 31-Oct-2014
268 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
DENGAN GANGGUAN PENCERNAAN (HISPRUNG)
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini, keperawatan anak telah mengalami pergeseran yang sangat mendasar, di
mana anak sebagai klien tidak lagi di pandang sebagai miniature orang dewasa, malainkan
sebagai makhluk yang unik, yang memiliki kebutuhan spesifik dan berbeda dengan orang
dewasa. Demikian juga keluarga, tidak lagi dipandang hanya sebagai penunjang bagi anak yang
sakit, malainkan sebagai mitra bagi perawat dalam menentukan kebutuhan anak dan
pemenuhannya dalam bentuk pelayanan yang berpusat pada keluarga (family centred care).
Tindakan yang dilakukan dalam mengalami masalah anak, apapun bentuknya, harus
berlandaskan pada prinsip asuhan terapeutik.
Setiap perawat perlu memahani perspektif keperawatan anak sehingga dalam
melaksanakan asuhan keperawatan pada anak selalu berpegang pada prinsip dasar ini. Perspektif
keperawatan anak merupakan landasan berpikir bagi seorang perawat anak dalam melaksanakan
pelayanan keperawatan terhadap klien anak maupun keluarganya, yang tidak menimbulkan
trauma pada anak dan keluarganya.
Terkait dengan anak, salah satu penyakit yang diderita oleh anak-anak adalah hisprung.
Oleh karena itu, asuhan yang terapeutik tersebut dilakukan melalui tindakan pencegahan,
penetapan diagnosis, pengobatan, dan perawatan baik pada kasus akut maupun kronis dengan
intervensi yang mencakup pendekatan psikologis, misalnya menyiapkan anak untuk prosedur
fisik, memberi kesempatan pada orang tua untuk terlibat merawat anak di rumah sakit, dan
menciptakan suasana/lingkungan rumah sakit yang nyaman bagi anak dan orang tuanya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Buatlah konsep dasar penyakit hisprung (definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosa banding,
penatalaksanaan, komplikasi dll) dari kelainan-kelainan berikut!
Pembahasan :
a. Definisi hisprung
Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab gangguan
pasase usus, yang diperkenalkan pertama kali oleh Hirschprung tahun 1886. Zuelser dan
Wilson, 1948 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan
ganglion parasimpatis.
Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai
persarafan (aganglionik). Karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas)
yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar
dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang
usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.
Penyakit hisprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan
inervasi usus, di mulai dari sfingter ani interna dan meluas ke proximal, melibatkan
panjang usus yang bervariasi. Hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah
yang paling sering terjadi pada neonatus, dengan insiden 1:1500 kelahiran hidup. Laki-
laki lebih banyak daripada perempuan 4:1 dan ada insiden keluarga pada penyakit
segmen panjang. Hisprung dengan bawaan lain termasuk sindrom down, sindrom
laurance moon-barderbield dan sindrom wardenburg serta kelainan kardivaskuler.
(Behrman, 1996)
Penyakit hisprung disebabkan oleh tak adanya sel ganglion kongenital dalam
pleksus intramural usus besar. Segmen yang terkena bisa sangat pendek. Tampil pada
usia muda dengan konstipasi parah. Enema barium bisa menunjukkan penyempitan
segmen dengan dilatasi colon di proksimal. Biopsi rectum bisa mengkonfirmasi
diagnosis, jika jaringan submukosa di cakup. Terapi simtomatik bisa bermanfaat, tetapi
kebanyakan pasien memerlukan pembedahan (G. Holdstock, 1991)
b. Etiologi hisprung
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan
dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70% terbatas di daerah
rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5% dapat mengenai seluruh usus
sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada anak dengan
Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, kelainan
kardiovaskuler dan gagal eksistensi kranio kaudal pada myenterik dan sub mukosa
dinding plexus. Pada penyakit hisprung tidak memiliki plexus myenteric sehingga bagian
usus yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Dimana insiden keseluruhan 1 : 1500
kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (4: 1).
c. Klasifikasi hisprung
Klasifikasi penyakit Hisprung dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
- Tipe kolon spastik, biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala
(konstipasi periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih berganti
dengan diare. Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri bisa berupa serangan nyeri
tumpul atau kram, biasanya di perut sebelah bawah. Perut terasa kembung, mual,
sakit kepala, lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi. Buang air
besar sering meringankan gejala-gejalanya.
- Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan konstipasi yang relatif
tanpa rasa nyeri. Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan. Yang khas
adalah diare timbul segera setelah makan. Beberapa penderita mengalami perut
kembung dan konstipasi dengan disertai sedikit nyeri.
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
Megakolon kongenital segmen pendek, bila segmen aganglionik meliputi rektum
sampai sigmoid (70-80%).
Megakolon kongenital segmen panjang, bila segmen aganglionik lebih tinggi dari
sigmoid (20%).
Kolon aganglionik total, bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-
10%).
Kolon aganglionik universal, bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus
sampai pylorus (5%).
d. Patofisiologi hisprung
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen
aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga
pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rektum
tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian
proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden,
2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen
aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian
usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan
dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ). Penyakit Hirshprung
atau Megacolon diduga terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor lingkungan, namun
etiologi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit ini dapat muncul pada sembarang usia,
walaupun sering terjadi pada neonatus.
e. Manifestasi klinis
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan
Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total
saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium.
Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi akibat dari kelumpuhan usus
besar dalam menjalankan fungsinya, sehingga tinja tidak dapat keluar. Biasanya bayi
baru lahir akan mengeluarkan tinja pertamanya (mekonium) dalam 24 jam pertama.
Namun pada bayi yang menderita penyakit Hisprung, tinja akan keluar terlambat atau
bahkan tidak dapat keluar sama sekali. Selain itu perut bayi juga akan terlihat
menggembung, disertai muntah. Jika dibiarkan lebih lama, berat badan bayi tidak akan
bertambah dan akan terjadi gangguan pertumbuhan.
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia
gejala klinis mulai terlihat:
- Periode Neonatal . Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran
mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang
signifikans. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501
kasus, sedangkan artono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk
waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang mana kala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokoltis
merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderitapenyakit Hirschsprung ini,
yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4
minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa
diarrhea,distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat
hampir1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan
dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.
- Anak, di mana ada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasikronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan
peristaltik usus didinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka
feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.
Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan
biasanya sulit untuk defekasi.
Menurut Anonim (2010) gejala yang ditemukan pada bayi yang baru lahir adalah:
Dalam rentang waktu 24-48 jam, bayi tidak mengeluarkan Meconium (kotoran pertama
bayi yang berbentuk seperti pasir berwarna hijau kehitaman):
1. Malas makan
2. Muntah yang berwarna hijau
3. Pembesaran perut (perut menjadi buncit)
Pada masa pertumbuhan (usia 1 -3 tahun):
1. Tidak dapat meningkatkan berat badan
2. Konstipasi (sembelit)
3. Pembesaran perut (perut menjadi buncit)
4. Diare cair yang keluar seperti disemprot
5. Demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang usus halus dan dianggap
sebagai keadaan yang serius dan dapat mengancam jiwa.
Pada anak diatas 3 tahun, gejala bersifat kronis:
1. Konstipasi (sembelit)
2. Kotoran berbentuk pita
3. Berbau busuk
4. Pembesaran perut
5. Pergerakan usus yang dapat terlihat oleh mata (seperti gelombang)
6. Menunjukkan gejala kekurangan gizi dan anemia
f. Pemeriksaan fisikPada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit seluruhnya,
didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau jarang.
Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan
sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang
banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk sementara.
g. Pemeriksaan penunjang- Pemeriksaan Radiologi
Merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos
abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit
untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard
dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan
dijumpai 3 tanda khas:
Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.
Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah
dilatasi.
Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.
- Manometri anus yaitu pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara
mengembangkan balon di dalam rectum. Sebuah balon kecil ditiupkan pada rektum.
Ano-rektal manometri mengukur tekanan dari otot spinchter anal dan seberapa baik
seorang dapat merasakan perbedaan sensasi dari rektum yang penuh. Pada anak-anak
yang memiliki penyakit Hirschsprung otot pada rektum tidak relaksasi secara normal.
Selama tes, pasien diminta untuk memeras, santai, dan mendorong. Tekanan otot
spinchter anal diukur selama aktivitas. Saat memeras, seseorang mengencangkan otot
spinchter seperti mencegah sesuatu keluar. Saat mendorong seseorang seolah
mencoba seperti pergerakan usus. Tes ini biasanya berhasil pada anak-anak yang
kooperatif dan dewasa.
- Biopsi rektum menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf.
- Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini
khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase (Darmawan K, 2004 :
17)
- Biopsi isap Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan
mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa (Mansjoer,dkk 2000 hal 380)
- Pemeriksaan colok anus, Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan
kadang disertai tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahui bau dari
tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan
terjadi pembusukan.
h. Diagnose banding1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
3. Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
5. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status kesehatan
anak.
i. Penatalaksanaan hisprung- Pembedahan pada penyakit hirscprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula
dilakukan kolostomi loop atau double–barrel sehingga tonus dan ukuran usus
yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3
sampai 4 bulan). Bila umur bayi itu antara 6-12 bulan (atau bila beratnya antara 9
dan 10 Kg), satu dari tiga prosedur berikut dilakukan dengan cara memotong usus
aganglionik dan menganastomosiskan usus yang berganglion ke rectum dengan
jarak 1 cm dari anus.
Prosedur Duhamel umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang
dari 1 tahun. Prosedur ini terdiri atas penarikan kolon nromal ke arah bawah
dan menganastomosiskannya di belakang anus aganglionik, menciptakan
dinding ganda yang terdiri dari selubung aganglionik dan bagian posterior
kolon normal yang ditarik tersebut.
Pada prosedur Swenson, bagian kolon yang aganglionik itu dibuang.
Kemudian dilakukan anastomosis end-to-end pada kolon bergangliondengan
saluran anal yang dilatasi. Sfinterotomi dilakukan pada bagian posterior.
Prosedur Soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan
prosedur yang paling banyak dilakukanuntuk mengobati penyakit hirsrcprung.
Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf
normal ditarik sampai ke anus, tempat dilakukannya anastomosis antara kolon
normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.
- Konservatif : Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif
melalui pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan
mekonium dan udara.
- Tindakan bedah sementara : Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien
anak dan dewasa yang terlambat didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat
dan keadaan umum memburuk. Kolostomi dibuat di kolon berganglion normal
yang paling distal.
j. Kompliksi hisprungSecara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis
dan gangguan fungsi spinkter. Sedangkan tujuan utama dari setiap operasi definitif
pull-through adalah menyelesaikan secara tuntas penyakit Hirschsprung, dimana
penderita mampu menguasai dengan baik fungsi spinkter ani dan kontinen (Swenson
dkk,1990).
Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca
operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi,
prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis
dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.
- Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua
tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok
dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Menurut pengamatan Swenson sendiri, diperoleh angka 2,5 – 5 %, sedangkan
apabila dikerjakan oleh ahli bedah lain dengan prosedur Swenson diperoleh angka
yang lebih tinggi. Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga
7,7% dengan menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan
dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu
kasuspun mengalami kebocoran. Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran
anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal,
peritonitis, sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran,
segera dibuat kolostomi di segmen proksimal (Kartono,1993; Swenson dkk,1990;
Swenson, 2002).
- Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur
Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur
Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis
hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung
penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga spinkterektomi posterior
(Lister,1996; Teitelbaum dkk,1999; Swenson,2002).
- Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat berakibat
kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat enterokolitis
mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5% masing-masing
untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya
adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel
modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda
enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan
pipa rektal untuk dekompresi, melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3
kali perhari serta pemberian antibiotika yang tepat. Sedangkan untuk koreksi
bedahnya tergantung penyebab / prosedur operasi yang telah dikerjakan. Prosedur
Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu
spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi,
penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak sempurna
sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang (Kartono,1993;
Swenson dkk,1990; Cilley dkk,2001).
- Sedangkan fungsi spinkter ani pasca bedah yang merupakan pokok bahasan utama
dari penelitian ini dapat dikatakan sebagai parameter utama keberhasilan operasi
tarik terobos, disamping komplikasi utama yang disebutkan diatas. Namun hingga
saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima universal untuk
menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit merupakan parameter
yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca
operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu
keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita,
keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya
pasca operasi sangatlah menentukan (Heikkinen dkk,1997; Lister,1996; Heij
dkk,1995). Swenson memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan
Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono
mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur
Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka 0%.
Hal ini dapat dimengerti jikalau kita mencermati perbedaan prosedur operasi yang
dipergunakan. Jika memakai prosedur Swenson asli (I), maka kita melakukan
reseksi rektum 2 cm diatas anal verge, yang tentunya tidak sama struktur
anatominya antara neonati dan anak yang sudah agak besar. Pada anak yang
sudah agak besar, pemotongan 2 cm dari anal verge dapat mencederai spinkter ani
interna sehingga inkontinensia dapat terjadi. Oleh sebab itu Swenson
menganjurkan pemotongan rektum pada level yang berbeda: 2 cm di anterior dan
0,5-1 cm di posterior (Swenson II).Disamping itu penyebab lain kecipirit pada
prosedur Swenson disebabkan oleh stenosis sirkuler yang terjadi. Pemotongan
rektum yang terlalu tinggi memang dapat menyelamatkan fungsi spinkter ani,
namun menyebabkan obstipasi berulang. Hal ini terlihat pada prosedur Rehbein
dimana reseksi dan anastomose kolorektal dilakukan intraabdominal, memberikan
hasil kontinensia yang sangat memuaskan namun tinggi angka obstipasi sehingga
kurang disukai ahli bedah. Sedangkan prosedur Duhamel modifikasi merupakan
prosedur yang paling logis dalam mengatasi masalah inkontinensia dan obstipasi.
Pemotongan rektum 2 cm dari anal verge pada ½ lingkaran posterior tidak akan
mencederai spinkter ani interna, sedangkan mengatasi sisa kolon aganglionik
yang terlalu panjang adalah dengan membelah septum sepanjang mungkin. Hal
ini dapat menerangkan mengapa dengan prosedur Duhamel modifikasi, diperoleh
angka stenosis, kecipirit dan obstipasi kronik yang rendah (Kartono,1993;
Fonkalsrud,1997; Reding dkk,1997; Swenson dkk,1990; Tamate dkk,1994;
Swenson,2002).
Namun kecipirit tidaklah sama dengan inkontinensia. Kartono mengusulkan
pembagian inkontinensia atas: kecipirit, kontinensia kurang, inkontinensia dan
obstipasi berulang. Kriteria tersebut bersifat subjektif dan bersifat non skala
sehingga sulit dipergunakan dalam menilai keberhasilan operasi tarik terobos.
Sedangkan Hekkinen (1997) mengusulkan 7 parameter objektif untuk menilai
fungsi anorektal dengan masing-masing memiliki skor. (Tabel 1) Dikatakan
normal apabila skor 14, kontinensia baik apabila skor 10–13, kontinensia sedang
jika skor antara 5–9, sedangkan inkontinensia apabila skor sama dengan atau kecil
dari 4 (Heikkinen dkk,1997).
2. Buatlah konsep dasar asuhan keperawatan dari kelainan-kelainan diatas (lengkapi
dengan pathway):
a. Pengkajian (data-data senjang apa saja yang ditemukan, tidak perlu mengarang
kasus)
b. Diagnosa
c. Rencana intervensi
d. Evaluasi
Pembahasan:
a. Pengkajian
- Identitas.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan
kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan
lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang
melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada
anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).
- Riwayat Keperawatan.
a. Keluhan utama.
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering
ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir),
perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
b. Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat
lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi
sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa
konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus
akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi
abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
c. Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Hirschsprung.
d. Riwayat kesehatan keluarga.
e. Riwayat kesehatan lingkungan.
f. Imunisasi.
g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
h. Nutrisi.
- Pemeriksaan fisik.
a. Sistem kardiovaskuler.
b. Sistem pernapasan.
c. Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada
anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan
jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan
mekonium atau tinja yang menyemprot.
d. Sistem genitourinarius.
e. Sistem saraf.
f. Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
g. Sistem endokrin.
h. Sistem integumen.
i. Sistem pendengaran.
- Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
a. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran
obstruksi usus rendah.
b. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran
kontraksi usus yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada segmen
yang melebar dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
c. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
d. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
e. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan
aktivitas enzim asetilkolin eseterase.
b. Diagnosa
- Gangguan eliminasi BAB: obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
- Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
- Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
- Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
c. Rencana Intervensi
Diagnosa Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil
Intervensi Rasional
Gangguan eliminasi BAB: obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya dorong.
Pasien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria defekasi normal, tidak distensi abdomen.
1. Monitor cairan yang keluar dari kolostomi
2. Pantau jumlah cairan kolostomi
3. Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi
Mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana selanjutnya
Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk penggantian cairan
Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi terganggu.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat.
Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet sesuai kebutuhan secara parenteal atau per oral.
1. Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
2. Pantau pemasukan makanan selama perawatan
3. Pantau atau timbang berat badan.
Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400 kalori
Untuk mengetahui perubahan berat badan
Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami dehidrasi, turgor kulit normal.
1. Monitor tanda-tanda dehidrasi.
2. Monitor cairan yang masuk dan keluar.
3. Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan
Mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya
Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh
Mencegah terjadinya dehidrasi
Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur
1. Kaji terhadap tanda nyeri
2. Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan
3. Berikan obat analgesik sesuai program
Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem saraf pusat
d. Evaluasi
Evaluasi tujuan dan kriteria hasil, apakah sudah berhasil atau tidak, yang meliputi:
- Apakah klien masih mengalami gangguan eliminasi
- Apakah kebutuhan nutrisi, cairan dan elektrolit, dan rasa nyaman sudah terpenuhi
Masalah Pemenuhan Kebutuhan Dasar (pohon masalah)
(PATHWAY)
3. Carilah trend dan issue terkini tentang penyakit/kelainan-kelainan diatas
(Hirschsprung Disease/HD)!
Trend dan issu yang kami angkat dari penyakit Hisprung ini adalah mengenai tata laksana
yang bisa dilakukan. Klien dengan penyakit Hisprung paling seting didiagnosis saat periode
neonatal, dengan gejala klinis seperti muntah dan distensi abdomen. 10% klien dengan
penyakit Hisprung dibarengi dengan anterocolitis, demam, distensi perut, nyeri perut, dan
kasus yang paling parah, septicemia. Hal ini merupakan kondisi yang mungkin mengancam
jiwa. Plain abdominal radiographs biasanya menunjukkan gulungan dilatasi usus,
sementara itu untuk diagnosis pasti biopsi rektal diperlukan untuk evaluasi histologis. Tidak
Absensi ganglion Meissner dan Auerbach
Usus spastis dan daya dorong tidak
ada
Perubahan status kesehatan anak
Mual, muntah, diare
Nutrisi kurang dari kebutuhan
Distensi abdomen hebat
Gangguan rasa nyamanan nyeri
Koping keluarga tidak efektif
Pembedahan
Obstipasi, tidak ada mekonium
Volume cairan tubuh
Resti gangguan integritas kulit Kurang
pengetahuan
Gangguan pola BAB
adanya sel-sel gangkion dalam pleksus myenteric dan submukosa dan temuan batang saraf
hipertrofik adalah patognomonik untuk penyakit hisprung.
Manajemen Operasi:
Operasi Transabdominal
Manajemen bedah untuk HD bertujuan menghapus aganglionik usus dan
merekonstruksi saluran usus dengan membawa usus biasanya, diinervasi ke anus sambil
menjaga fungsi sfingter secara nornal. Swenson dan Bill adalah yang pertama untuk
menggambarkan operasi untuk HD dengan menghapus aganglionik usus dengan pull-through
pada tahun 1948. Secara tradisional, Prosedur Swenson itu dilakukan secara tiga tahap
dengan mengalihkan kolostomi sebelum rekonstruksi operasi. Duhamel, Soave, dan juga
Rehbein menjelaskan teknik untuk rekonstruksi HD, modifikasi yang telah banyak
digunakan. Pendekatan bedah berubah secara bertahap dari tiga tahap prosedur satu tahap
melalui pull- tanpa kolostomi pada 1980- an. Hal ini ternyata untuk menjadi seperti yang
menguntungkan sebagai prosedur multistage dengan manfaat bagi pasien dan penurunan
kesehatan perawatan karena tetap rumah sakit lebih pendek dan lebih sedikit biaya.
Total transanal endorectal pull-through (TERPT)
Dilakukan dengan sayatan melingkar di mukosa rektum sekitar 5 mm di atas garis
dentate. Diseksi tersebut kemudian dilakukan di daerah luka bahwa untuk panjang variabel
meninggalkan aganglionik otot manset belakang, meminimalkan risiko cedera pada struktur
panggul. Deskripsi asli metode TERPT termasuk meninggalkan sekitar 6 cm otot manset
panjang, yang dipecah dengan sebuah myectomy longitudinal pada dinding posterior. Selama
beberapa tahun terakhir, laporan operasi TERPT menggunakan manset otot lebih pendek
tanpa myectomy telah terbukti sama manfaatnya. Setelah panjang yang sesuai tercapai, dubur
dinding otot dibagi melingkar dan ketebalan penuh rektum dimobilisasi keluar melalui anus,
membagi pedikel pembuluh darah kecil di sepanjang rektum dan usus besar. Sebuah
ketebalan penuh biopsi diambil dari usus besar ganglionic makroskopik yang normal untuk
bagian beku untuk menentukan tingkat reseksi usus besar sebelum penjahitan anastomosis
akhir. Beberapa ahli bedah lebih memilih untuk mengambil biopsi dari sigmoid usus besar
melalui sayatan infra-umbilikalis kecil untuk mengkonfirmasi tingkat dari zona transisi
sebelum memulai pembedahan transanal.
Laparoscopic Assisted Pull-Through
Prosedur tersebut dilakukan dengan memasukkan 4-5 mm 300 lingkup di kanan atas
kuadran tepat di bawah tepi hati setelah mendapatkan 12 cm H2O pneumoperitoneum dengan
jarum Varess di umbilikus. Dua trocars 4-5 mm yang kemudian dimasukkan, satu di kuadran
kanan bawah dan satu di sebelah kiri kuadran atas perut. Kadang-kadang tambahan trocar
memerlukan supra-pubically untuk traksi yang lebih baik dari usus besar selama pembedahan
laparoskopi dari rektum. Setelah mobilisasi penuh dari aganglionik usus besar dan rektum
prosedur terus dari perineum dengan diseksi transanal dari mukosa rektum dengan cara yang
sama seperti dijelaskan di atas untuk metode TERPT. Keuntungan utama dari pendekatan
laparoskopi adalah kemungkinan untuk mengambil seromuscular biopsi untuk identifikasi
awal ganglionic yang normal usus besar. Ini juga menyediakan mobilisasi yang lebih baik
dan diseksi dari aganglionik distal usus besar dan rektum bawah penglihatan langsung,
sehingga meminimalkan pembedahan transanal. Ini mungkin merupakan faktor penting
karena meminimalkan dilatasi lubang anus sering dibutuhkan dalam prosedur TERPT.
Pendekatan laparoskopi memiliki, seperti yang TERPT metode, ditampilkan lebih cepat
waktu pemulihan lebih pendek dengan tinggal di rumah sakit dibandingkan dengan metode
terbuka. hal ini juga telah menunjukkan hasil kosmetik yang lebih baik, kurang perioperatif
komplikasi dan hasil fungsional yang lebih unggul.
Botulinum Toxin Injection
Gejala obstruktif ringan sering dapat dikelola oleh diet, obat pencahar atau enema.
Kadang-kadang gejala yang lebih parah dengan serangan berulang dari enterocolitis dan
penerimaan ulang ke rumah sakit. Metode ini pertama kali dijelaskan oleh Langer dkk pada
tahun 1997. Botulinum toksin, sebuah disuntikkan ke dalam sfingter internal di bawah umum
anestesi. Dosis yang diberikan sangat bervariasi, dari 15 sampai 120 unit, biasanya setelah 3-
4 bulan. Sebuah awal calon studi menunjukkan hasil yang sangat baik. Hasilnya telah kurang
menguntungkan dalam penelitian lain. Sebuah terakhir penelitian melaporkan bahwa 80%
dari pasien menanggapi suntikan pertama tapi 69% diperlukan suntikan kedua. Jumlah
penerimaan ke rumah sakit untuk obstruktif gejala menurun secara signifikan.
BAB III
PENUTUP
Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase
usus (Ariff Mansjoer, dkk. 2000). Dikenalkan pertama kali oleh Hirschprung tahun 1886. Zuelser
dan Wilson , 1948 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan
ganglion parasimpatis. Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan
masalah. Baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Penyakit ini disebabkan
aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus
ke arah proksimal, 70 % terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan
sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus. Penyakit ini sebagian besar
ditemukan pada bayi akibat dari kelumpuhan usus besar dalam menjalankan fungsinya,
sehingga tinja tidak dapat keluar. Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter.
Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus dipahami dengan benar oleh
tenaga medis maupun keluarga. Guna untuk tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin
hubungan kerja sama yang baik antara pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis
lainnya dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.
top related