“keadilan masa depan adalah menjadi satu tanpa jender...
Post on 09-Mar-2019
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
PERAN DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN
PRESPEKTIF KESETARAAN JENDER
“.....Keadilan masa depan adalah menjadi satu tanpa jender Kesetaraan adalah kesamaan posisi dan kesempatan bagi siapapun...”
__ Susan Moller Okin__
2.1. Pengantar
Hubungan laki-laki dan perempuan adalah salah satu bentuk dari interaksi sosial,
sekaligus merupakan kunci dari kehidupan bersama. Pola pergaulan antara laki-laki dan
perempuan ikut ditentukan oleh peranan yang mengatur perilaku dan kedudukan yang
menunjukkan posisi identitas serta citra diri mereka dalam masyarakat. Peran dan kedudukan
yang setara antara laki-laki dan perempuan akan berdampak pada hubungan yang harmonis
dalam masyarakat sebaliknya ketidak-setaraan peran dan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan akan menyebabkan ketimpangan relasi dalam masyarakat. Penulisan bab ini
adalah tentang peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat, bertolak dari berbagai
pandangan dan pemikiran yang berkaitan dengan hal tersebut.
Umumnya peran dan kedudukan perempuan tidak seimbang dan tidak sama dengan
laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, seringkali bersifat
dominasi-subordinasi atau superior-inferior. Laki-laki menjadi pihak yang mendominasi dan
superior sedangkan perempuan menjadi pihak yang tersubordinasi dan inferior. Perempuan
seringkali menjadi jenis kelamin nomor dua dalam berbagai struktur masyarakat. Ketidak-
setaraan jender seperti ini, telah mengakar kuat dalam berbagai tradisi budaya dan adat
istiadat masyarakat termasuk di Buru Selatan.
Penulisan ini akan lebih mengarah pada pandangan tentang peran dan kedudukan perempuan
dari prespektif kesetaraan jender. Melihat peran dan kedudukan perempuan dalam kesetaraan dengan
laki-laki, merupakan salah satu cara membangun hubungan yang lebih adil dan harmonis di dalam
menata kehidupan bersama masyarakat di Indonesia khususnya di Buru Selatan.
2.2. Pengertian kata Peran dan Kedudukan
2.2.1. Peran
Setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran. Peran yang
dimiliki oleh seorang manusia (individu) bukanlah merupakan peran tunggal, tetapi
merupakan sekumpulan peran yang membuatnya dapat berfungsi secara utuh dalam
masyarakat.17
Kata peran diambil dari istilah teater dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kelompok-kelompok masyarakat. Peran ialah bagian yang dimainkan oleh
seorang manusia baik itu laki-laki maupun perempuan pada setiap keadaan, juga cara
bertingkah laku untuk menyelaraskan diri mereka dengan keadaan.18
KBBI menjelaskan kata
peran sebagai pemain; tukang lawak; perangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang
yang berkedudukan dalam masyarakat. Berperan (kata kerja) berarti bermain sebagai (dalam
drama, sandiwara, dsb); bertindak sebagai pemeran. Melakukan peranan (kata benda) adalah
bagian yang dimainkan seorang pemain; tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu
peristiwa.19
Peran juga merupakan petunjuk kelakuan yang diatur menurut norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Dengan begitu maka hubungan sosial yang ada dalam
masyarakat merupakan hubungan dari peran-peran individu-individu (baik laki-laki maupun
perempuan), yang berasal dari pola-pola pergaulan hidup masyarakat setempat.20
Ada banyak peran yang dimiliki oleh manusia sejak lahir, beranjak dewasa hingga
lanjut usia. Adapun kumpulan peran tersebut tidak pernah tetap oleh karena manusia selalu
berkembang dan bertumbuh setiap saat. Setiap tahap perkembangan memuat peran-peran
17
Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita Dalam Gereja dan Masyarakat (Yogyakarta:
Kanisius/Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 19. 18
Brunetta R Wolfman, Peran Kaum Wanita – Bagaimana Menjadi Cakap dan Seimbang dalam Aneka
Peran (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 10. 19
Em Zul Fajri & Ratu Aprilia Senja, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Difa Publisher, 2008),
641. 20
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita, 20-21.
tertentu, yang saling berurutan dan bertautan satu dengan yang lain. Setiap manusia memiliki
perannya masing-masing, baik yang sama maupun yang berbeda dari manusia lain. Oleh
karena itu, dibutuhkan adanya pembagian peran ketika manusia hidup bersama dalam
masyarakat. Pembagian peran dalam masyarakat ini penting untuk mengatur cara pergaulan
dan mengendalikan anggota masyarakat, dalam proses menyesuaikan diri dengan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut.21
Setiap peran yang dilakukan oleh seseorang memiliki unsur-unsur yang menjadi dasar
untuk membentuk peran tersebut. Adapun unsur-unsur pokok dari berbagai peran yang
dilakukan oleh manusia menurut Soerjono Soekanto antara lain adalah:22
1. Peran yang diharapkan dari masyarakat (ideal expected, prescribed role).
2. Peran sebagaimana yang dianggap oleh setiap individu (perceived role).
3. Peran yang dijalankan di dalam kenyataan (performed, actual role).
Unsur-unsur peran ini, pada kenyataannya memiliki kemungkinan untuk bertentangan satu
dengan yang lain dalam proses hidup manusia.
2.2.2. Kedudukan
Setiap peran manusia dalam pergaulan hidup mereka di masyarakat telah dinilai,
diberikan posisi atau kedudukan yang tetap dalam interaksi sosial di masyarakat tersebut.
Dengan kata lain sistem kedudukan dalam masyarakat telah tersusun secara hierarkis, yang
mengakibatkan adanya peran yang dianggap lebih bergengsi dan lebih tinggi daripada yang
lain. Contohnya peran sebagai seorang pendeta dinilai lebih tinggi kedudukannya daripada
peran sebagai seorang anggota jemaat.23
21
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita, 21. 22
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat (Jakarta: CV Rajawali
Pres, 1983), 54-55.
23
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita, 21.
Kadang-kadang ada perbedaan antara pengertian kedudukan (status) dan kedudukan
sosial (sosial status). Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu
kelompok sosial, sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang dalam lingkungan
pergaulannya, prestisenya, serta hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Kedua istilah tersebut
memiliki arti yang sama dan digambarkan dengan kedudukan (status) saja. Secara abstrak,
kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu tempat tertentu.
Dalam KBBI, kata kedudukan berasal dari akar kata duduk (kata kerja) yang berarti
meletakan tubuh atau terletak tubuhnya dengan bertumpu pada pantat; ada di (dlm peringkat
belajar), kawin atau bertunangan dan tinggal atau diam. Kedudukan (kata benda) berarti
tempat kediaman; tempat pegawai atau pengurus organisasi tinggal untuk melakukan
pekerjaan atau jabatan; tingkatan atau martabat; letak suatu benda dan keadaan yang
sebenarnya (tentang perkara dsb).24
Kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat dapat ditempati berdasarkan
kelahiran (ascribed) dan kemampuan (achieved). Soerjono Soekanto dengan mengutip
Inkeles mendeskripsikan keduanya sebagai berikut:25
1. Ascribed status, yaitu posisi atau kedudukan seseorang dalam masyarakat yang
dicapai berdasarkan kelahiran, garis keturunan, kasta dan agama. Misalnya
kedudukan anak seorang bangsawan adalah bangsawan pula atau status seseorang
dari kasta yang tinggi dalam masyarakat akan lebih terhormat dari orang yang
berasal dari kasta yang lebih rendah.
2. Achieved status, yaitu posisi atau kedudukan yang dicapai oleh seseorang melalui
usaha atau tindakan yang dilakukannya. Dengan kata lain achieved status adalah
posisi atau kedudukan yang dicapai seseorang berdasarkan
kemampuan/prestasinya. Achieved status kebanyakan berhubungan dengan dunia
24
Fajri & Senja, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 265. 25
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi, 25-26.
politik dan pekerjaan atau profesi. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang
dokter asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut bergantung
pada yang bersangkutan bisa atau tidak menjalaninya. Apabila yang bersangkutan
tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut, ia tidak akan mendapat kedudukan
yang diinginkannya.
Biasanya hak dan kewajiban seorang manusia harus seimbang. Namun pada
umumnya kalau kedudukan seseorang lebih rendah maka kewajibannya menjadi lebih banyak
sedangkan haknya lebih sedikit. Sementara kalau kedudukannya lebih tinggi maka hak
menjadi lebih besar daripada kewajibannya. Dalam kaitan dengan kedudukan antara laki-laki
dan perempuan, maka secara hierarkis seringkali status dan posisi laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan.26
2.3. Peran dan Kedudukan Perempuan dari Prespektif Kesetaraan Jender.
2.3.1. Memahami Paradigma Jender.
Istilah jender berasal dari bahasa latin genus yang berarti ras, turunan, golongan atau
kelas.27
Dalam bahasa Inggris jender diartikan sebagai jenis kelamin. Webster‟s New World
Dictionary mengartikan jender sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dalam hal nilai dan perilaku.28
Robeth Stoller merupakan orang yang pertama menggunakan istilah jender untuk
memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefenisian yang bersifat sosial
budaya dengan pendefenisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis.29
Julia Cleves Mosse
26
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita, 21. 27
Colette Downing dalam Cinderela Complex: Women‟s hidden fear of independence (New York:
Summit Books, 1981), 22. 28
Victoria Neufeldt (ed.) Webster‟s New World Dictionary (New York: Webster’s New World
Clevenland, 1984), 561. 29
Robeth Stoller, Sex and Gender: on the development of Masculinity and Femininity (London:
Hogarth press, 1968), 7.
menyebutnya sebagai seperangkat peran seperti halnya kostum dan topeng di teater, yang
menyampaikan pada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin.30
Pengertian jender kemudian dikembangkan lagi oleh Ann Oakley31
yang menyatakan
bahwa jender adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Baginya
analisis jender akan memampukan orang untuk memahami persoalan ketidak-adilan, bukan
saja pada perempuan tapi juga keadilan sosial secara luas. Ia kemudian mengartikan jender
sebagai konstruksi sosial pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan manusia.32
Pendapat
ini dipertegas dalam Women‟s Studies Encylopedia yang menjelaskan bahwa jender adalah
suatu konsep kultural (cultural) yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal
peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat.33
Dengan kata lain jender merupakan harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan sekaligus dasar untuk menentukan perbedaan
sumbangan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan kolektif sehari-hari.34
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa jender adalah sebuah
pembedaan terhadap laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial dan budaya bukan dari
segi biologis. Jender merupakan sebuah konstruksi sosial tentang relasi antara laki-laki dan
perempuan, sekaligus merupakan salah satu faktor sosial yang penting dalam masyarakat.
Dalam kenyataannya, istilah jender seringkali dipersamakan dengan istilah seks
(kelamin). Jender dan seks telah menyatu melalui pandangan masyarakat yang mencoba
untuk memadu-padankan cara bertindak dengan kodrat biologis.35
Dengan demikian, dalam
30
Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 24. 31
Ann Oakley adalah orang yang pertama kali mengembangkan pendekatan analisis gender untuk
melihat posisi dan kerja kaum perempuan. Bagi Fakih Mansour analisis gender dapat mempertajam berbagai
analisis kritis yang telah ada dalam masyarakat. Lihat Fakih Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 9. 32
Aan Oakley, Sex, Gender and Society (London: Temple Smith, 1985), 22. 33
Helen Toerney (Ed), Women‟s Studies Encylopedia Vol 1 (New York: Green Wood Press, 1990),
153. 34
Hillary M Lips, Sex an Gender: an introduction, (London: Mayfield Publishing company, 1993), 4. 35
Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 4-5.
upaya untuk lebih memahami terminologi jender maka perlu dibedakan antara istilah jender
dengan istilah seks.
Seks merupakan penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi
potensial. Seks adalah pembagian antara dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan
dengan berbagai kodratnya secara biologis. Misalnya, bahwa manusia laki-laki memiliki
penis, memiliki jakala dan memproduksi sperma sedangkan perempuan memiliki alat
reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, vagina, memproduksi telur dan
memiliki alat untuk menyusui. Alat-alat ini secara biologis melekat pada manusia laki-laki
dan perempuan serta tidak dapat dipertukarkan antara keduanya.36
Jender sendiri merupakan
elaborasi sosial dari sifat biologis. Jender membangun konstruksi sosial dari sifat biologis,
kemudian melebih-lebihkannya dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama
sekali tidak relevan.37
Dapat dikatakan bahwa jender adalah semua atribut sosial mengenai
laki-laki dan perempuan, misalnya laki-laki digambarkan mempunyai sifat maskulin seperti
keras, kuat, rasional, gagah. Sementara perempuan digambarkan memiliki sifat feminin
seperti halus, lemah, perasa, sopan, penakut. Perbedaan tersebut dipelajari dari keluarga,
teman, tokoh masyarakat, lembaga keagamaan dan kebudayaan, sekolah, tempat kerja,
periklanan dan media.38
Susan Moler Okin menyatakan bahwa jender datang untuk diakui
sebagai salah satu faktor sosial yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.39
The
Cambridge Encyclopedia memberikan batasan jender sebagai berikut:
The social expression of the basic physiological differences between men and women - social
behavior which is deemed to be appropriate to masculine or feminine roles and which is
learned through primary and secondary socialization. thus, which sex is biological, gender is
socially determined.40
36
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, 8. 37
Sugihastuti dan Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan, 4-5. 38
Tanti Hermawati, “Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender” Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 1, No. 1
(Januari 2008) 21. 39
Susan Moler Okin, Justice, Gender,and The Family (Chicago: Basic Books, Inc, 1989), 6. 40
David Crystal (ed), The Cambridge Encyclopedia (New York: Cambridge University Press, 1991),
487.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jender lebih bersifat terma budaya dan
sosial daripada terma biologis. Jender sesungguhnya merupakan perbedaan perilaku
(behavior differences) antara laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksikan secara sosial
dalam masyarakat dan bukan merupakan kodrat dari Tuhan. Perbedaan jender adalah
perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang diciptakan oleh mereka sendiri, baik individu
maupun masyarakat melalui proses sosial budaya dan telah berlangsung dalam kurun waktu
yang lama.
2.3.2. Dari Perbedaan Jender kepada Perbedaan Peran dan Kedudukan antara Laki-
laki dan Perempuan.
Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan ini
terutama didasarkan pada alat reproduksi di antara keduanya. Melalui kehidupan sosial dan
budaya masyarakat, perbedaan biologis ini dikontruksikan sedemikian rupa sehingga
melahirkan dikotomi peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Malah ada yang
menganggap bahwa pemisahan (dikotomi publik-domestik) ini merupakan kodrat hidup
manusia.41
Konstruksi jender terhadap laki-laki dan perempuan, telah dimulai sejak mereka
masih kanak-kanak, ketika keduanya diperlakukan secara berbeda oleh orang dewasa (orang
tua). Perlakuan yang berbeda ini meliputi pemberian nama, penyediaan alat permainan,
pemilihan pakaian, cara berbicara dan lingkungan bermain. Biasanya anak perempuan selalu
diperlakukan dengan lembut sementara anak laki-laki akan mendapat perlakukan yang lebih
41
Arief Budiman mengatakan hal yang sama. Menurutnya, pembagian kerja secara seksual merupakan
sebuah lembaga kemasyarakat yang tertua dan terkuat dalam masyarakat. Banyak orang yang beranggapan
bahwa pembagian kerja secara seksual adalah sesuatu yang alamiah. Padahal pembagian kerja secara seksual
jelas tidak adil bagi kaum perempuan. Meskipun demikian banyak perempuan yang tidak beranggapan seperti
ini, sebaliknya mereka menerima peran yang diberikan kepada mereka sebagai sesuatu yang mulia dan harus
dijunjung tinggi. Lihat Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual – Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1985), ix.
keras.42
Sam Keen menyatakan bahwa perbedaan utama antara laki-laki dan perempuan
adalah bahwa laki-laki selalu diharapkan untuk dapat menggunakan kekerasan bila
diperlukan, sedangkan perempuan tidak. Kapasitas dan kemauan untuk kekerasan telah
menjadi pusat defenisi diri laki-laki. Jiwa mereka belum dibangun di atas rasional “saya
berpikir maka saya ada” tapi pada irasional “saya menaklukkan karena itu saya”.43
Sejak
kecil anak laki-laki telah dipisahkan dari ibunya agar ia belajar mencari jati dirinya sebagai
seorang anak laki-laki sebelum kembali ke dalam pernikahan. Dalam pencarian jati diri itu,
laki-laki diajarkan untuk menggunakan kekerasan dan menjadi individu yang selalu
menggunakan kekuatannya dalam berbagai hal.44
Melalui diferensiasi perlakuan seperti di atas, laki-laki dan perempuan akan belajar
untuk berbeda. Perbedaan yang tampak tidak hanya perbedaan biologis tetapi telah meningkat
menjadi perbedaan tingkah laku di antara mereka. Laki-laki akan menjadi individu yang
keras, rasional, kuat sedangkan perempuan menjadi individu yang lebih lembut, emosional,
lemah. Perbedaan jender seperti inilah yang menyebabkan timbulnya dikotomi peran dan
kedudukan antara mereka. Perempuan dengan sifat-sifat femininnya dianggap selayaknya
untuk berperan di sektor domestik, sebaliknya laki-laki yang maskulin sudah sepatutnya
berperan di sektor publik. Pekerjaan domestik seperti mencuci, memasak, membersihkan
rumah, mengasuh anak, selaras dengan sifat-sifat feminin sedangkan tugas untuk mencari
nafkah dan memberikan perlindungan kepada keluarga menjadi tugas laki-laki dan sejalan
dengan sifat-sifat maskulinnya.
42
Sugihastuti dan Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan, 13-24. 43
Sam Keen, Fire in The Belly: On Being a Man (New York: Bantam Brooks, 1991), 37. 44
Keen, Fire in The Belly, 27-48. Pendapat serupa dikemukakan oleh Pieere Bourdieu Proses ini bagi
Bourdieu yang menyatakan bahwa anak laki-laki telah dipisahkan dari ibu mereka ketika mereka masih kecil
teaptnya saat mereka telah sanggup berjalan dan dibentuk untuk berprilaku seperti laki-laki. Sementara untuk
perempuan mereka dibimbing untuk menginternalisasikan prinsip-prinsi hidup yang feminin; tentang cara
membawa diri dalam masyarakat, cara berdandan dan mengenakan pakian berdasarkan jenjang (dari gadis kecil,
remaja perempuan, perawan yang siap kawin, istri dan ibu keluarga), mengerjakan pekerjaan-pekerjaaan rumah-
tangga dan lainnya. Lihat Pieere Bourdieu, Dominasi Maskulin (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 35-38.
Susan Moller Okin menyatakan bahwa dikotomi publik-domestik yang membedakan
peran antara laki-laki dan perempuan pada ranah publik (luar rumah tangga) dan ranah
domestik (dalam rumah tangga) akan sangat membatasi peran dan kedudukan dari kaum
perempuan dibandingkan dengan kaum laki-laki. Dikotomi publik-domestik adalah politik
untuk menyesatkan dan mengaburkan pola siklus ketidak-setaraan antara pria dan wanita.
Dikotomi publik dan domestik mengakibatkan timbulnya pembagian kerja secara seksual
dalam keluarga dan masyarakat. Pembagian kerja dalam struktur jender (antara laki-laki dan
perempuan) di keluarga akan menimbulkan hambatan praktis dan psikologis terhadap
perempuan di semua bidang kehidupan.45
Perempuan akan digiring untuk melakukan peran-
peran yang tidak diinginkannya, melainkan peran-peran sesuai dengan perspektif tradisional
dalam masyarakat, yang secara umum mengandung diskriminasi dan ketidak-adilan.
Meskipun perempuan telah melakukan banyak peran dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat, namun kedudukan dan posisi mereka masih berada di bawah laki-laki. Kadang-
kadang keberadaan perempuan di ruang publik tidak terlihat atau terdengar. Perempuan
terkadang dibungkam dan direndahkan atau dilecehkan secara seksual.46
Tugas-tugas yang banyak dan padat dalam rumah-tangga membuat perempuan
kehilangan kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk mengembangkan dirinya secara
optimal sebagai individu yang bebas.47
Perempuan harus seorang diri melakukan berbagai
tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci, mengasuh anak dan bahkan mengurus suami.
Kondisi perempuan yang demikian mengakibatkan dia tidak leluasa terlibat dalam pekerjaan
publik, meskipun tersedia kesempatan baginya. Sementara itu, karena pekerjaan para istri
dalam rumah tangga bukan pekerjaan yang dibayar, maka dengan sendirinya ia dipandang
tidak memiliki penghasilan apa-apa. Akibatnya, ia tergantung kepada suami secara sosial dan
45
Okin, Justice Gender and The Family, 111. 46
Okin, Justice Gender and The Family, 132. 47
Thobias Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana University Press,
2007), 78-79.
ekonomi. Hal inilah yang membuat kedudukan dan posisi perempuan (istri) dalam keluarga
dan masyarakat selalu menjadi lebih rendah di bawah laki-laki.
Pieere Bourdieu mengemukakan bahwa dalam sistem pembagian kerja secara seksual
seperti yang nampak dalam kehidupan masyarakat Qubail, peran dan posisi perempuan
(sebagai yang terdominasi) akan sangat kecil dan lemah dibandingkan kaum laki-laki (yang
mendominasi). Pembagian kerja secara seksual berfungsi sebagai sistem atau skema yang
mengatur persepsi, pikiran dan tindakan masyarakat. Dalam sistem pembagian kerja secara
seksual ini, terlihat jelas kekuatan tatanan maskulin (laki-laki) yang hadir dengan justifikasi
terhadap berbagai peran dan posisi antara mereka dan kaum perempuan.48
Masyarakat
seringkali mengambil kehidupan laki-laki sebagai norma dalam kehidupan bersama sehingga
mereka selalu berusaha untuk merajut perempuan dalam pakaian laki-laki.49
Laki-laki selalu mendapat tempat dalam lingkup yang eksterior, resmi atau publik
sementara perempuan pada lingkup interior atau rumah tangga. Itulah kedudukan yang
semestinya untuk perempuan. Dengan begitu maka perempuan diberikan peran untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah tangga antara lain menjaga dan mengasuh anak,
memelihara binatang, memasak dan mencuci. Perempuan terkurung dalam dunia yang
terbatas seperti rumah, sehingga harus tunduk kepada orang yang mendominasi mereka (laki-
laki).50
Dalam kehidupan masyarakat, dominasi maskulin dan kekerasan simbolik yang
merendahkan peran dan posisi perempuan ini, terstruktur dalam tiga institusi sosial yakni
keluarga, gereja dan sekolah. Keluarga yang pertama mengajarkan anak-anaknya tentang visi
dasar dominasi maskulin. Gereja yang secara eksplisit didominasi oleh nilai-nilai patriarkhat
ikut menjaga tatanan dominasi laki-laki, melalui berbagai dogma dan ajarannya tentang
48
Bourdieu, Dominasi Maskulin, 10-13. 49
Carol Gillingan, Dalam Suara yang Lain: Teori Psikologi dan Perkembangan Perempuan (Jakarta:
Pustaka Tangga, 1997), 9 50
Bourdieu, Dominasi Maskulin, 42-43.
inferioritas perempuan. Sementara itu, sekolah melengkapi lewat pencitraan diri manusia
lewat berbagai varian filsafat, kebudayaan dan sastra.51
Dominasi maskulin ini termanifestasi
ke dalam bentuk berbagai ketidak-adilan jender yang menimpa perempuan seperti
marginalisasi, stereotipe, kekerasan, subordinasi dan adanya beban kerja ganda.52
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan jender antara laki-laki dan
perempuan memiliki akses yang sangat besar, yang menciptakan adanya perbedaan peran dan
kedudukan di antara mereka. Laki-laki yang dikontruksikan maskulin memiliki ruang untuk
berperan di sektor publik (di luar rumah tangga) dengan kedudukan yang lebih tinggi,
sedangkan perempuan yang dikontruksikan feminin lebih banyak berperan dalam ruang
domestik (dalam rumah tangga) dengan kedudukan yang lebih rendah. Dikotomi publik-
domestik seperti ini yang menyebabkan adanya pembagian kerja secara seksual, yang
menimbulkan kesenjangan jender (gender gap) dan ketidak-setaraan jender (gender
inequality) antara laki-laki dan perempuan. Pada akhirnya, kesenjangan dan ketidak-setaraan
jender ini menyebabkan terjadinya marginalisasi dan penyisihan terhadap hak-hak
perempuan, subordinasi dan dijadikan jenis kelamin nomor dua53
(the second sex) dalam
masyarakat, stereotip atau pemberian label tertentu terhadap diri perempuan, kekerasan baik
fisik maupun psikis serta adanya beban kerja ganda yang harus dipikul oleh mereka setiap
waktu.
2.3.3. Perbedaan Jender dalam Kehidupan Sosial Budaya di Masyarakat.
Kebudayaan merupakan sesuatu yang komprehensif, yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, moral, hukum, seni, serta kebiasaan masyarakat, yang dimiliki bersama oleh
51
Bourdieu, Dominasi Maskulin, 120-122. 52
Nunuk Muniarti, Getar Gender 1 (Yogyakarta: Yayasan Indonesiatera, 2004), xx-xiii. 53
Annie Leclerc menyatakan bahwa berbagai bentuk diskriminasi dan subordinasi yang terjadi kepada
perempuan, baik di rumah tangga, tempat kerja membuat perempuan menjadi individu kelas dua dan pembantu
bagi kaum laki. Pada akhirnya perempuan menjadi individu yang pasif, yang tidak mampu untuk bangkit dan
memperbaiki nasib mereka. Lihat Annie Leclerc, Kalau Perempuan Angkat Bicara (Yogyakarta: Kanisius,
2000), vi.
manusia baik sebagai individu maupun masyarakat.54
Nilai-nilai budaya memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap pembentukan jati diri seorang manusia. Ia berfungsi untuk
mengatur dan menata tingkah laku manusia dalam interaksi sosialnya bersama orang lain.
Nilai-nilai budaya ini termanifestasi lewat berbagai tindakan dan perilaku manusia dalam
kehidupannya setiap waktu.
Perbedaan jender merupakan salah satu manifestasi dari nilai-nilai budaya yang ada
dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sebagai manifestasi nilai-nilai budaya,
perbedaan jender menciptakan ruang bagi pembagian peran dan kedudukan antara laki-laki
dan perempuan. Gadis Arivia mengatakan bahwa budaya yang memiliki pengaruh sangat
besar dan penting terhadap peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat adalah
budaya patriarkhi, yang mengasosiasikan laki-laki dengan segala yang positif dan aktif
sementara perempuan diasosiasikan negatif dan pasif.55
Dengan cara memfragmentasi
kehidupan manusia (perempuan dalam dunia domestik dan laki-laki di ranah publik),
masyarakat partriarkhal mampu membuat perempuan terpecah dan mengisolasi mereka
dalam dunia publik, sehingga tidak memiliki kekuatan politis dan semakin terdiskriminasi
dari laki-laki.56
Menurut Tantri Hermawati, budaya patriarkhi berkembang dalam kehidupan
masyarakat di seluruh dunia dan mengakibatkan adanya pembagian kerja di antara laki-laki
dan perempuan. Pembagian kerja ini menyebabkan berkembangnya peran-peran sosial yang
terbatas bagi kedua jenis kelamin, dan terciptanya perbedaan kekuasaan, yang dalam
beberapa hal lebih menguntungkan kaum lelaki.57
Dari perbedaan kekuasaan inilah, tercipta
istilah-istilah dalam masyarakat yang merendahkan harkat dan martabat perempuan.
Contohnya dalam budaya Jawa, ada menyebutkan bahwa istri sebagai kanca wingking,
54
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi, 157-163. 55
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati (Jakarta: Kompas, 2006), 41. 56
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, 111. 57
Tanti Herawati, “Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender”, 19.
artinya teman belakang, sebagai teman dalam mengelola urusan rumah tangga, khususnya
urusan anak, memasak, mencuci dan lain-lain. Ada lagi istilah lain suwarga nunut neraka
katut. Istilah itu juga diperuntukkan bagi para istri, bahwa suami adalah yang menentukan
istri akan masuk surga atau neraka. Kalau suami masuk surga, berarti istri juga akan masuk
surga, tetapi kalau suami masuk neraka, walaupun istri berhak untuk masuk surga karena
amal perbuatan yang baik, tetapi tidak berhak bagi istri untuk masuk surga karena harus katut
atau mengikuti suami masuk neraka. Ada lagi istilah yang lebih merendahkan lagi bagi para
istri, yaitu bahwa seorang istri harus bisa manak, macak, masak dan berapa kata yang berawal
„m‟ yang lain lagi. Bahwa seorang istri itu harus bisa memberikan keturunan, harus selalu
berdandan untuk suaminya dan harus bisa memasak untuk suaminya. Istilah lain yang
melekat pada diri seorang perempuan atau istri yakni dapur, pupur, kasur, sumur dan
mungkin masih ada akhiran “ur-ur” yang lain yang bisa diteruskan untuk dilekatkan pada
perempuan.58
Semua hal di atas, membuktikan bahwa perbedaan jender antara laki-laki dan
perempuan serta didukung oleh pengaruh budaya (adat istiadat) masyarakat, memiliki
pengaruh yang besar terhadap pencitraan diri mereka. Pencitraan diri laki-laki dan perempuan
ini selanjutnya menentukan pula status sosial (kedudukan) dan peran mereka masing-masing.
Laki-laki memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dengan peran-peran yang lebih populer di
masyarakat, sedangkan perempuan mendapatkan kedudukan yang lebih rendah dengan peran-
peran yang kecil dalam lingkup rumah tangga.
2.3.4. Perbedaan Jender dalam Hubungan dengan Peran dan Kedudukan Perempuan
di Gereja
58
Tanti Herawati, “Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender”, 20.
Perbedaan jender memiliki pengaruh yang besar terhadap berbagai peran dan
kedudukan dari laki-laki dan perempuan, dalam berbagai bidang kehidupan. Salah satunya
adalah peran dan kedudukan perempuan di dalam gereja. Anne Hommes menyatakan bahwa
di dalam kehidupan gereja, masih ada diskirminasi terhadap peran dan kedudukan kaum
perempuan. Otoritas sebagai pejabat gereja masih banyak dipegang oleh kaum laki-laki.
Lapangan kerja mereka di dunia publik mencakup baik di gereja maupun masyarakat
(pemerintah). Dan mereka juga selalu dilayani oleh kaum perempuan, yang setia
melaksanakan keputusan laki-laki.59
Sementara itu, kaum perempuan cenderung hanya
menjadi pelengkap atau pembantu bagi laki-laki.
Hommes menjelaskan peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan gereja melalui uraiannya tentang gereja dalam bentuknya sebagai sebuah lembaga
(Gesellschaft) dan sebagai sebuah persekutuan/keluarga (Gemeinschaft). Hommes meminjam
istilah ini dari Ferdinand Toennies60
, seorang sosiolog Jerman yang menyebut masyarakat
dalam dunia jenis kelompok sosial yakni gesellschaft dan gemeinschaft.61
Gereja sebagai gesellschaft memiliki ciri-ciri berupa ikatan lahir di mana anggota-
anggota bertalian dengan kontrak (sidi dalam gereja). Tujuan utama hubungan di antara
mereka berkaitan dengan urusan dan kepentingan yang mereka ingin capai bersama.
Gesellschaft terbentuk sebagai suatu organisasi, suatu mesin dengan macam-macam onderdil,
di mana peranan, fungsi dan prestasi lebih penting daripada orang yang melaksanakannya
59
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita,123. 60
Ferdinand Tonnies lahir di Schleswig, Jerman Timur pada tahun 1855. Ia merupakan salah seorang
sosiolog Jerman yang turut melatar-belakangi berdirinya German Sosiological Association (1909) bersama
dengan George Simmel, Max Webber, Werner Sombart, dan lainnya. Ferdinand Tonnies membedakan tipe
masyarakat menjadi dua yakni Zweckwille dan Tribwille. Zweckwille adalah kemauan rasional yang hendak
mencapai suatu tujuan, sementara Tribwille adalah dorongan batin berupa perasaan. Tonnies mengembangkan
pemikirannya tentang Zweckwille - Tribwille dan berhasil membedakan konsep tradisional dan modern dalam
suatu organisasi sosial, yaitu Gemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeinschaft adalah bentuk hidup bersama yang
lebih bersesuai dengan “triebwille”. Kebersamaan dan kerja sama tidak diadakan untuk mencapai suatu tujuan
diluar, melainkan dihayati sebagai tujuan dalam dirinya, contohnya keluarga, lingkungan tetangga, sahabat-
sahabat dll. Sedangkan Gesselschaft adalah tipe asosiasi dimana relasi-relasi kebersamaan dan kebersatuan
antara orang berasal dari faktor–faktor lahiriah, seperti persetujuan, peraturan, undang-undang dan sebagainya.
Diunduh dari htpp://keslipit.wordpress.com/2011/01/24/Ferdinand Tonnies. 61
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita, 124-125.
baik laki-laki maupun perempuan.62
Jadi peran dan kedudukan perempuan menjadi seimbang,
sejajar dan sama dengan laki-laki dalam gereja sebagai gesellschaft, tergantung kualitas dan
keahlian mereka sebagai bagian (onderdil) dari organisasi (mesin) yaitu lembaga gereja.
Sementara itu, gereja sebagai gemeinschaft atau gereja sebagai sebuah keluarga
memiliki ciri-ciri ikatan batin di mana anggota-anggota saling bertalian secara intim dengan
rasa cinta. Gemeinschaft terbentuk sebagai organ atau tubuh bukan sesuatu yang mekanis
tetapi hidup. Dalam kategori ini hubungan timbal balik di antara anggota-anggota tubuh lebih
penting daripada hasil karya mereka. Pada model seperti ini status quo benar-benar
dipertahankan, di mana laki-laki sebagai kepala sementara perempuan adalah hati atau
jantung. Gereja sebagai gemeinschaft akan sangat membatasi peran dan kedudukan dari
perempuan, yakni hanya sebagai penunjang bagi kaum laki-laki. Peran dan kedudukan
mereka telah ditetapkan seperti dalam keluarga mikro dan sulit untuk diubah, oleh karena hal
tersebut tidak didasarkan pada kemampuan dan keahlian tetapi berdasarkan sifat biologis
mereka.63
Kedua model kelembagaan gereja ini pada akhirnya memberikan arah kepada peran
dan kedudukan perempuan dalam gereja sendiri. Kenyataannya bahwa model gemeinschaft
yang membatasi peran dan kedudukan perempuan lebih banyak digunakan dalam berbagai
gereja. Akibatnya terjadi pemilahan dan ketimpangan peran serta kedudukan di antara laki-
laki dan perempuan. Pemilahan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam
gereja, sesungguhnya berasal dari berbagai ajaran gereja, yang bersumber pada tiga hal yaitu
Alkitab, pengaruh gereja zending yang telah mengkristenkan orang di seluruh dunia
(termasuk Indonesia) dan kebudayaan setempat (kebudayaan di mana gereja ada dan
berkembang).
62
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita, 125. 63
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita, 125-126.
Sistem budaya patriarkhat yang sangat mengesampingkan peran dan merendahkan
kedudukan kaum perempuan banyak tersaji dalam cerita-cerita Alkitab, baik dalam PL
maupun PB. Dalam PL terdapat tekanan antara dinamika Allah yang membebaskan umatnya
dan memandang kaum laki-laki dan perempuan sederajat dengan daya tarik sistem patriarkhat
yang berbau diskriminasi seks, misalnya dalam Kejadian 12:13 & 20:12 yang berisi tentang
kebohongan Abram pada waktu dia bersama Sarai masuk ke Mesir. Versi yang kedua (kej
20:12) lebih bersifat patriarkhat karena Abram menyalahkan Sarai, meskipun Abram dipakai
Allah sebagai alat keselamatan dan penyebaran firman-Nya.64
Sementara dalam PB sendiri
juga terlihat diskriminasi peran dan kedudukan terhadap perempuan dalam beberapa ajaran
Paulus. Ada pembatasan tertentu kepada kaum perempuan dalam hubungan dengan peran dan
kedudukan mereka di tengah-tengah gereja. Apa yang dapat dan pantas dilakukan oleh
perempuan dan apa yang tidak dapat dan tidak pantas dilakukan oleh mereka, misalnya dalam
I Tim 2:8-15, di sini Paulus membatasi perempuan untuk tidak mengajar dalam gereja, juga
mengenai cara berpakaian yang diharuskan bagi perempuan.65
Di satu pihak perempuan itu digambarkan berstatus sangat rendah. Ia digambarkan
lebih rendah dari laki-laki, suami bahkan anak-anaknya. Namun di lain pihak ia digambarkan
bernilai sangat tinggi lebih dari permata. Di sebagian teks Alkitab, diperlihatkan bahwa status
dan peran yang layak bagi seorang perempuan adalah sebagai ibu dan istri, untuk melahirkan
anak, melayani suami, tidak boleh berperan aktif dalam masyarakat apalagi mengajar laki-
laki. Tetapi sebagian teks Alkitab yang lain memperlihatkan status dan peran perempuan itu
bukan hanya sebagai istri atau ibu tetapi sebagai mitra kerja laki-laki, sebagai penasihat
hikmat istana, nabi, dan hakim.66
64
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita, 128. 65
Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita, 128-129. 66
Risnawaty Sinulingga, “Gender ditinjau dari Sudut Pandang Agama Kristen” Jurnal Wawasan,
Volume 12, Nomor 1 (Juni 2006) 49.
Perbedaan status (kedudukan) dan peran yang dikemukakan di atas sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat yang melatar-belakangi tujuan penulisan setiap bagian
Alkitab. Teks-teks Alkitab ini, ditulis pada konteks yang berbeda sehingga memberikan
gambaran yang berbeda pula terhadap para perempuan. Ada perempuan-perempuan yang
mendapat tempat yang tinggi dan sejajar dengan laki-laki (Miryam, Ribka, Debora dan Maria
ibu Yesus), namun ada juga perempuan yang mendapat tempat yang rendah dari laki-laki
(Hagar dan Tamar). Konteks penulisan teks yang berbeda, melahirkan juga konsep yang
berbeda tentang perempuan dalam Alkitab. Kebanyakan teks-teks yang mengandung
diskriminasi kepada perempuan, yang lebih banyak dipakai untuk memperkuat posisi dan
peran laki-laki di dalam gereja.
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan jender dalam masyarakat mengakibatkan pula
perbedaan kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam gereja. Dalam
perbedaan tersebut, laki-laki seringkali mendapat posisi (kedudukan) yang lebih baik dan
lebih tinggi daripada perempuan. Dengan bercermin pada teks-teks Alkitab yang memuat
diskriminasi terhadap perempuan, kaum laki-laki berupaya untuk memperkuat posisi mereka
baik dalam birokrasi dan pelayanan gereja.67
Jabatan-jabatan struktural dan pelayanan yang
diperoleh laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Dengan begitu maka di dalam gereja,
terjadi juga ketimpangan jender antara laki-laki dan perempuan.
2.3.5. Peran dan Kedudukan Perempuan dari Prespektif Kesetaraan Jender.
67
Pendapat yang hampir sama, dikemukakan oleh Mahadma Gandhi tentang peran dan kedudukan
perempuan yang rendah dalam kehidupan masyarakat khususnya di India. Menurut Gandhi hal itu ikut
dipengaruhi juga oleh teks-teks Smriti (kita suci Hindu), yang dianut oleh masyarakat. Dalam beberapa teks
seperti Atri 136-137, Vasistha 21-24, Manu 8-371 dll, termuat jelas gambaran seorang perempuan yang harus
tunduk kepada laki-laki, bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih dari perempuan sehingga harus
dihormati dalam masyarakat. Lihat Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2002) 25-26. Bandingkan pula Jeanne Becher, Perempuan, Agama dan Seksualitas (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2000), 92-117.
Pada hakikatnya, manusia terlahir berpasangan yakni laki-laki dan perempuan.
Keduanya lahir dengan derajat, harkat, dan martabat yang sama sebagai manusia, meskipun
dalam konteks masyarakat yang berbeda-beda. Perempuan dan laki-laki adalah makhluk
sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain. Keduanya adalah mitra atau patner
hidup yang setara, yang harus saling melengkapi dalam hidup bersama. Gandhi menyebut
perempuan adalah mitra kaum laki-laki yang diciptakan dengan kemampuan-kemampuan
mental yang setara.68
Artinya bahwa perempuan adalah individu yang secara sosial sama dan
sederajat dengan kaum laki-laki.
Kesamaan dan kesederajatan antara laki-laki dan perempuan itulah yang disebut
sebagai kesetaraan jender. Kesetaraan jender sebagaimana terlampir dalam instruksi presiden
nomor 9 tahun 2000 adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan
nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.69
Kesetaraan jender
adalah sebuah kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati status (kedudukan) dan
peran yang sama. Kesetaraan jender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak-
adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian maka, dalam
wujud kesetaraan jender ini ada kesederajatan dan kesamaan kepada laki-laki dan perempuan.
Bersamaan dengan adanya kesetaraan jender, muncul juga keadilan jender sebagai
suatu proses menuju perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan
jender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan
kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam kondisi ini, perempuan memiliki hak
dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, termasuk untuk melakukan berbagai peran dan
menempati posisi yang sesuai dengan keinginan dan ketrampilan dirinya.
68
Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, 5. 69
Wayan Gede Suacana dan Diah Rukmawati, “Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Kegiatan Adat
Istiadat bagi Perempuan Bali” Jurnal Gender Sarathi Vol 16 no 3 (Oktober 2009) 373.
Brunetta Reid Wolfman menyatakan bahwa perempuan terpanggil untuk melakukan
banyak peran dalam kehidupan mereka. Ada peran yang dapat mereka lakukan sekaligus
dalam satu waktu, dan ada juga peran yang dapat dilakukan pada waktu yang berbeda-beda.
Perempuan adalah individu yang telah memiliki beberapa peran sejak lahir, yang tidak pernah
terpikirkan olehnya tetapi telah menjadi bagian dari kehidupannya.70
Menurutnya, dahulu
peran kaum perempuan hanya terbatas dalam keluarga saja. Sedangkan pada masa kini, peran
perempuan tidak hanya sebatas keluarga tetapi telah mencakup dunia kerja (publik).
Perempuan telah melibatkan diri dengan berbagai peran di luar lingkungan keluarga seperti
menjadi guru, sekretaris, dokter atau pekerja sosial.71
Meskipun demikian, ada beberapa peran tertentu terutama yang berkaitan dengan
kepemimpinan dalam masyarakat yang dipandang tidak layak dilakukan dan ditempati oleh
perempuan seperti kades, kepala adat atau presiden. Perempuan akan mengalami kesulitan
untuk melakukan peran-peran tersebut karena bertentangan dengan pandangan umum dalam
masyarakat. Peran-peran kepemimpinan semacam itu, dipandang hanya layak dilakukan oleh
laki-laki. Kebanyakan masyarakat selalu mengharapkan perempuan untuk menjadi istri dan
ibu rumah tangga. Mereka diharuskan untuk mengurus rumah tangga/keluarga. Selain itu,
perempuan juga memiliki keraguan untuk memegang peran-peran yang secara tradisonal
telah dimonopoli oleh laki-laki dan yang secara adat istiadat dilarang bagi mereka.
Perempuan tidak menyadari apa arti peran-peran yang mereka lakukan tersebut. Kebanyakan
peran yang dilakukan oleh perempuan adalah peran-peran yang diwariskan dalam keluarga
dan lingkungan kebudayaan di mana perempuan tersebut tinggal. Perempuan hanya
mengikuti untuk melakukan berbagai peran tersebut, sama seperti yang dipraktekkan oleh
perempuan-perempuan yang telah lebih ada sebelum mereka.72
70
Wolfman, Peran Kaum Wanita, 10. 71
Wolfman, Peran Kaum Wanita, 11-12. 72
Wolfman, Peran Kaum Wanita,12-17.
Adanya stereotipe tertentu yang dikenakan kepada perempuan dalam masyarakat
sering membuat mereka tidak bebas untuk berperan. Lingkungan masyarakat beserta
pandangan umum yang berkembang di sana, kadangkala bertentangan tentang keinginan dan
kualitas diri perempuan untuk berkembang dan melakukan berbagai peran. Mereka dibatasi
karena dianggap tidak pantas, lemah dan tidak mampu melakukan peran-peran tertentu dalam
masyarakat.73
Padahal perempuan berhak dan dapat melakukan banyak peran serta menempati
berbagai posisi seperti kaum laki-laki. Perempuan yang tingkat pendidikannya tinggi, kini
telah banyak berperan dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan telah menduduki
jabatan/posisi penting dalam pemerintah, pendidikan sebagai kepala sekolah, pengacara,
bisnis-woman, tenaga ahli, dosen, politikus, kepolisian dan sebagainya. Posisi-posisi ini
sebelumnya dikhususkan hanya kepada laki-laki, namun kini telah ditempati oleh perempuan.
Hal ini membuktikan bahwa perempuan ternyata mampu untuk menyesuaikan diri dengan
berbagai peran dan tanggung-jawab yang dilakukannya.74
Untuk itulah maka masyarakat perlu memandang perempuan sebagai individu yang
utuh yang memiliki hak, peran dan kedudukan yang setara dan sama dengan kaum laki-laki.
Perempuan memiliki potensi yang tidak kalah dari laki-laki untuk terlibat dalam berbagai
kerja di dunia publik, untuk belajar dan meraih pendidikan yang sama tinggi dengan laki-laki,
untuk menentukan dan memutuskan masa depan sesuai kehendak (keinginan diri) mereka.
Seperti yang dikatakan Susan Moller Okin bahwa perempuan harus diberikan kesempatan
dan peluang yang sama dengan laki-laki (kesamaan posisi dan kesempatan bagi siapapun).75
Pada akhirnya dalam perspektif kesetaraan jender, perempuan dan laki-laki memiliki
status (kedudukan) dan peran yang sama dalam masyarakat. Perempuan merupakan mitra
73
Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, 44. 74
Wolfman, Peran Kaum Wanita, 18-21. 75
Okin, Justice Gender and The Family, 171.
setara dari laki-laki, sehingga mereka memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam
berbagai bidang aktivitas seperti yang dilakukan laki-laki. Kaum perempuan berhak untuk
memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas yang dia lakukan, tanpa ada pembatasan.
Dengan adanya jaminan persamaan dan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, akan
ada keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang menjamin adanya ekualitas (kesetaraan)
kewajiban dan tanggungjawab dari laki-laki dan perempuan dalam menanggung beban
pekerjaan yang sama (dengan dan tanpa nafkah, produksi dan reproduksi, peran dalam
keluarga/kehidupan domestik). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa keadilan dan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah menjadi satu tanpa perbedaan jender.
2.4. Rangkuman.
Ketidak-setaraan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat, merupakan akibat dari adanya konstruksi sosial tentang laki-laki dan perempuan,
yang kemudian melahirkan dikotomi publik dan domestik yang menyebabkan pula timbulnya
pembagian kerja secara seksual di antara mereka. Ada tiga faktor utama yang melatar-
belakangi adanya hal tersebut. Pertama adalah perbedaan biologis di antara laki-laki dan
perempuan. Pada umumnya, laki-laki secara fisik lebih kuat dan lebih kekar daripada
perempuan. Hal ini menjadikan perempuan sering dianggap lemah dan tidak mampu untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan di luar area keluarga.
Kedua adalah pengaruh adat istiadat (budaya) dan dogma agamais dalam masyarakat
terhadap laki-laki dan perempuan. Di banyak negara (termasuk di Indonesia), masyarakat
masih menjalani kehidupannya dalam pengaruh adat budaya dan dogma agama yang kuat.
Adat budaya dan dogma agama tersebut yang membentuk identitas mereka termasuk juga
berbagai persepsi hidup mereka. Umumnya budaya yang berkembang di dalam masyarakat
adalah budaya patriarkhat. Sementara dogma-dogma agama pun kebanyakan bersifat
patriarkhi dengan lebih mengedepankan kaum laki-laki. Dengan begitu maka, berbagai
persepsi atau pandangan yang tumbuh dalam masyarakat akan menganggap laki-laki sebagai
yang lebih utama dan lebih tinggi posisinya daripada perempuan.
Ketiga adalah kecenderungan kaum perempuan sendiri untuk didominasi oleh kaum
laki-laki. Memang ada banyak perempuan yang keras berjuang untuk mendapatkan
kesetaraan dengan kaum laki-laki. Namun masih banyak pula perempuan yang tidak
menyadari bahwa mereka sedang berada dalam kehidupan yang tidak setara dengan laki-laki.
Mereka justru menganggap bahwa kehidupan yang dijalani setiap hari itu sudah menjadi
kodrat mereka, termasuk ketika harus selalu berada di dalam keluarga dengan peran-peran
yang hanya terbatas pada memasak, merawat keluarga, mengasuh anak atau sekedar
mendampingi suami. Semua faktor itu bergabung menjadi penghalang yang kuat, yang
membatasi gerak perempuan untuk berperan dan memiliki kedudukan yang setara dengan
kaum laki-laki dalam masyarakat.
Dengan demikian maka kecenderungan untuk melihat peran dan kedudukan
perempuan dari prespektif kesetaraan jender, menjadi sebuah kebutuhan yang penting dalam
upaya mengkaji secara kritis relasi sosial antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Dengan melihat peran dan kedudukan perempuan dalam prespektif kesetaraan jender, maka
masyarakat akan lebih terbuka untuk menerima berbagai peran yang dilakukan dan
kedudukan yang ditempati oleh mereka dalam berbagai bidang kehidupan. Hanya dengan
memandang dan menerima kaum perempuan sama dan setara dengan kaum laki-laki, akan
ada keadilan yang tercipta di tengah-tengah dunia.
top related