inosssssss kuuu
Post on 24-Oct-2015
61 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TUGAS FARMASI RUMAH SAKIT
OLEH :
KELOMPOK 8
ANDI RIDHAYANTI ADILLAH (PO.71.3.251.11.1.004)
DEWI YULIANINGSIH (PO.71.3.251.11.1.014)
IRNAYANTI (PO.71.3.251.11.1.024)
REZKY AMALIA (PO.71.3.251.11.1.039)
SUCI FEBRIANI (PO.71.3.251.11.1.044)
JURUSAN FARMASI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MAKASSAR
2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirobbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit
sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam
atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya,
sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “INFEKSI
NOKOSOMIAL”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak, karena itu kelompok kami mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya
kepada semua pihak yang telah memberi dukungannya. Meskipun penulis berharap
isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang
kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Makassar, 9 September 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………..
DAFTAR ISI …………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………..
A. Latar Belakang ………………………………………..
B. Rumusan Masalah …………………………………….
C. Tujuan ………………………………………………...
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………
BAB III PENUTUP ………………………………………………..
A. Kesimpulan …………………………………………...
B. Saran ………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit adalah suatu tempat dimana banyak orang yang ingin
mendapatkan perawatan yang baik dan ingin mendapatkan kesembuhan.
Terkadang penyakit yang semula hanya ada satu penyebab penyakit justru
dirumah sakit tersebut seorang pasien bisa mendapatkan berbagai penyakit lain
dikarenakan infeksi yang didapatkan dirumah sakit atau bisa disebut infeksi
nosokomial (Darmadi, 2008, hal 2).
Salah satu parameter pelayanan kesehatan yang baik di rumah sakit adalah
terkendalinya infeksi nosokomial. Tingginya angka infeksi nosokomial menjadi
masalah yang penting disuatu rumah sakit karena dari infeksi nosokomial
tersebut, kondisi pasien menjadi semakin buruk, jika kondisi pasien menjadi
buruk maka lama perawatan pasien akan semakin panjang, hal tersebut akan
sangat merugikan pasien dan keluarga, karena semakin lama pasien dirawat maka
akan bertambah biaya rawat dan keadaan pasien akan menjadi lebih buruk karena
kondisi pasien buruk karena infeksi nosokomial (Setiyawati,2008).
Infeksi luka operasi (ILO) tetap menjadi penyebab utama penundaan
kepulangan pasien dari rumah sakit dan menghabiskan banyak sumber daya
kesehatan. Di Amerika Serikat diperkirakan bahwa biaya langsung dari
penambahan waktu perawatan di rumah sakit akibat infeksi luka setahunnya
melebihi 1,5 miliyar US$ (Wenzel, 1992, dalam Gruendemann dan Fernsebner,
2005, hlm.305).
Pencegahan infeksi terutama pada pasien bedah sangat diperlukan salah
satu upaya pencegahannya adalah pemutusan transmisinya penerapan tekhnik dan
prosedur yang benar dari petugas merupakan perilaku yang paling penting dalam
upaya pencegahan infeksi. Kejadian infeksi luka operasi sangat erat kaitannya
dengan praktek keperawatan professional yang menerapkan Universal
Precautions yaitu suatu bentuk tindakan perawatan dalam upaya melakukan
antisipasi untuk pencegahan masuknya kuman kepada klien yang sakit (Potter dan
Perry 1995. Setiyawati, 2006).
Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi nosokomial
adalah multifaktorial atau banyak faktor yang mempengaruhiny. Menurut
Darmadi, (2008, hlm 16) adanya sejumlah faktor yang sangat berpengaruh dalam
terjadinya infeksi nosokomial yang menggambarkan faktor – faktor yang datang
dari luar (extrinsik factor) yaitu petugas pelayanan medis, peralatan medis,
lingkungan, makanan dan minuman, penderita lain dan penggunjung. Selain
faktor ekstrinsik (setiyawati, 2008) faktor ketidakpatuhan dari perawat yaitu
perawat yang melakukan perawatan luka post operasi ditunjukkan dengan belum
menggunakan prosedur dengan benar, misalnnya melakukan perawatan luka post
operasi dengan 1 set medikasi digunakan untuk pasien secara bersama – sama
(banyak pasien), perawat tidak mencuci tangan sebelum melakukan tindakan
medikasi, perawat tidak melakukan teknik steril seperti tidak memakai sarung
tangan steril saat medikasi.
Sebelum faktor tersebut ada faktor lain yang dapat mempengaruhi
terjadinya infeksi nosokomial, faktor tersebut adalalh faktor intrinsik yang
meliputi umur, jenis kelamin dan faktor lain faktor keperawatan yang meliputi
lamanya hari perawatan, menurunya standar perawatan dan padatnya penderita,
kondisi umum, risiko terapi, adanya penyakit lain serta faktor mikroba patogen
juga memberi kontribusi terhadap terjadinya infeksi nosokomial di suatu rumah
sakit (Darmadi, 2008, hlm 20).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan infeksi ?
2. Apa yang dimaksud dengan infeksi nosokomial?
C. Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami infeksi nosokomial yang terjadi di Rumah
Sakit
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen,
yang bersifat dinamis. Secara umum proses terjadinya penyakit melibatkan tiga
faktor yang saling berinteraksi yaitu :
1. Faktor penyebab penyakit, yang sering disebut agen
2. Faktor manusia yang sering disebut pejamu (host)
3. Faktor lingkungan
Tanda – tanda peradangan / infeksi antara lain :
Rubor (merah)
Calor (panas)
Tumor (bengkak)
Dolor (nyeri)
Fungsi laesa terganggu
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya
penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk
merawat/rumah sakit. Jadi, infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai
infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit.
Infeksi nosokomial/INOS/HAI adalah suatu infeksi yang diperoleh
atau dialami oleh pasien selama dia dirawat di rumah sakit dan menunjukkan
gejala infeksi baru setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit serta infeksi
itu tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien masuk ke rumah sakit
(Olmsted RN, 1996, Ducel, G, 2002).
Jenis Infeksi yang paling sering terjadi :
• Infeksi saluran kemih
• Infeksi saluran napas
• Infeksi luka
• Infeksi kulit dan jaringan lunak
• Septikemia (sering berhubungan dengan akses vaskular)
Persentase Infeksi Nosokomial
Laporan-laporan rumah sakit di Indonesia yang menunjukkan infeksi
nosokomial berupa infeksi luka operasi adalah :
Rumah Sakit Presentase
R.S. Hasan Sadikin Bandung 9,9%
R.S. Pirngadi Medan 13,92%
R.S. Karyadi Semarang 7,3%
R.S. Soetomo Surabaya 5,32%
RSCM 5,4%
Epidemiologi
Infeksi Presentase
Infeksi Saluran Kemih (ISK) ± 50%
Infeksi Luka Operasi (ILO) ± 25 %
Infeksi Saluran Nafas ± 12,5 %
Bakterimia ± 6,25 %
dan lain-lain ± 6,25 %
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian
terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena
penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Sekitar 8,7% dari
55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia
Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial, dengan
Asia Tenggara sebanyak10,0%.
Laporan-laporan rumah sakit di Indonesia yang menunjukkan infeksi
nosokomial berupa infeksi luka operasi adalah di R.S. Hasan Sadikin
Bandung 9,9% (1991, Warko), di R.S. Pirngadi Medan 13,92% (1987), R.S.
Dr. Karyadi Semarang 7,3% (1984), R.S.Dr. Soetomo Surabaya 5,32%
(1988) dan RSCM 5,4% (1989).
Batasan infeksi nosokomial
Batasan infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh penderita,
ketika penderita dalam proses asuhan keperawatan di Rumah Sakit.
Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi
nosokomial apabila memenuhi beberapa criteria/batasan tertentu
diantaranya:
1. Pada waktu penderita mulai di rawat di Rumah Sakit tidak didapatkan
tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam
masa inkubasi dari infeksi tersebut.
3. Tanda-tanda infeksi klinik tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah
3×24 jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.
5. Bila saat mulai dirawat di Rumah Sakit sudah ada tanda-tanda infeksi,
dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah
Sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan
sebagai infeksi nosokomial (Siregar 2004)
Factor-faktor penyebab infeksi nosokomial
Terjadinya infeksi nosokomial dipengaruhi oleh :
• Banyaknya pasien yang dirawat dapat menjadi sumber infeksi bagi
lingkungan, dan pasien lainnya.
• Kontak langsung antara pasien yang menjadi sumber infeksi dengan
pasien lainnya.
• Kontak langsung antara petugas Rumah Sakit yang tercemar kuman
dengan pasien.
• Penggunaan alat/peralatan medis yang tercemar oleh kuman.
• Kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang dideritanya.
• Tempat atau ruangan dimana penderita dirawat
• Tempat dimana penderita menjalani tindakan medis akut seperti kamar
operasi.
• Makanan dan minuman yang disajikan
• Lingkungan Rumah Sakit secara Umum.
Bakteri penyebab Infeksi Nosokomial
40%
11%
10%
9%Enterobacte-riaceae
S. aureus
Enterococcus
P. aeruginosa
Mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial
34%
32%
17%
10%7%
S. aureus, Staphylococci koagulase negatif, En-terococci
E. coli, P. aeruginosa, En-terobacter spp., & K. pneumonia
C. difficile
Fungi (kebanyakan C. Albicans)
Bakteri Gram negatif lain (Acinetobacter, Citrobac-ter,Haemophilus)
Jenis-jenis penyakit infeksi nosokomial
• Infeksi silang (cross infection)
• Infeksi lingkungan (environmental infection)
• Infeksi diri sendiri (self infection)
Transmisi
Kegiatan yang paling beresiko :
• Suntikan/ambil darah
• Tindakan bedah
• Tindakan kedokteran gigi
• Persalinan
• Cara membersihkan bekas darah/cairan lain
• Tutup jarum suntik kembali
• Salah letak jarum atau pisau/alat tajam
• Menyentuh pasien tanpa cuci tangan
a. Tahap I
Mikroba patogen bergerak menuju ke penjamu dengan mekanisme
penyebaran (made of transmission) terdiri dari :
1. Penularan langsung
melalui dropet nuclei yang berasal dari penular, kemungkinan
lain berupa darah saat transfusi darah.
2. Penularan tidak langsung
Vehicle-borne, yaitu penyebaran/penularan mikroba pathogen
melalui benda-benda mati (fomite) seperti peralatan medis
(instrument), bahan-bahan/material medis, atau peralatan
makan/minum untuk penderita.
Vector-borne, yaitu penyebaran/penularan mikroba pathogen
dengan perantara seperti lalat. Luka terbuka (Open wound),
jaringan nekrotis, luka bakar, dan gangrene adalah kasus-
kasus yang rentan dihinggapi lalat.
Food-borne, yaitu penyebaran/penularan mikroba pathogen
melalui makanan dan minuman yang disajikan oleh penderita.
Mikroba pathogen dapat ikut menyertainyasehingga
menimbulkan gejala dan keluhan gastrointestinal baik ringan
maupun berat.
Water-borne, kemungkinan terjadinya penularan/penyebaran
penyakit infeksi melalui air kecil sekali, mengingat
tersedianya air bersih di rumah sakit sudah melalui uji baku
mutu.
Air-borne, peluang terjadinya infeksi silang melalui media
perantara ini cukup tinggi karena ruangan/bangsal yang
relative tertutup, secara teknis kurang baik ventilasi dan
pencahayaanny. Kondisi ini dapat menjadi lebih buruk
dengan jumlah pendeita yang cukup banyak.
b. Tahap II
Upaya berikutnya dari mikroba patogen untuk menginvasi ke
jaringan pasien dengan mencari akses masuk untuk masing-masing
penyakit (port d’entrée) seperti adanya kerusakan jaringan/lesi kulit
atau mukosa dari rongga hidung, rongga mulut, orificium urethrae,
dan lain-lain.
1. Mikroba patogen masuk ke jaringan/organ melalui lesi kulit.
Hal ini dapat terjadi sewaktu melakukan insisi bedah atau
jarum suntik. Mikroba pathogen yang dimaksud antara lain
virus Hepatitis B (VHB)
2. Mikroba patogen masuk melalui kerusakan/lesi mukosa
saluran urogenital karena tindakan invasif. Seperti : tindakan
kateterisasi (sistoskopi), pemeriksaan dan tindakan ginekologi
(curettage), pertolongan persalinan per-caginam patologis,
baik dengan bantuan instrument medis, maupun tanpa
bantuan instrument medis.
3. Inhalasi. Patogen masuk melalui rongga hidung menuju
saluran napas. Partikel infeksiosa yang menular berada di
udara dalam bentuk aerosol. Penularan langsung dapat terjadi
melalui percikan ludah (droplet nuclei) apabila terdapat
individu yang mengalami infeksi saluran napas melakukan
ekshalasi paksa seperti batuk atau bersin. Dari penularan tidak
langsung juga dapat terjadi apabila udara dalamn ruangan
terkontaminasi. Contoh :virus Influenza dan M.tuberculosis
4. Ingesti. Melalui mulut masuk ke dalam saluran cerna. Terjadi
pada saat makan dan minum dengan makanan dan minuman
yang terkontaminasi. Contoh : salmonella, shigella, vibrio.
c. Tahap III
Setelah memperoleh akses masuk, mikroba pathogen segera
melakukan invasi dan mencari jaringan yang sesui (cocok).
Selanjutnya melakukan multiplikasi/berkembang biak disertai dengan
tindakan destruktif terhadap jaringan, walapupun ada upaya perlawan
dari pejamu. Sehingga terjadilah reaksi infesi yang mengakibatkan
perubahan morfologis dan gangguan fisiologis/fungsi jaringan.
Segitiga epidemiologi/Trias penyebab penyakit
Pejamu
Pasien di rumah sakit rentan terhadap infeksi sebagai akibat dari
penyakitnya atau pengobatannya, contohnya pasien dengan leukimia atau
yg mengonsumsi kemoterapi sitotoksik. Usia dan imobilitas dapat
menjadi predisposisi infeksi; iskemia dapat membuat jaringan menjadi
lebih rentan terhadap invasi bakteri. Dalam riwayat perjalanan penyakit,
Pejamu
Lingkungan Agen
pejamu yang peka (susceptable host) akan berinteraksi dengan mikroba
patogen, yang secara alamiah akan melewati 4 tahap :
1. Tahap Rentan
2. Tahap Inkubasi
3. Tahap Klinis
4. Tahap Akhir Penyakit
Dalam riwayat perjalanan penyakit, pejamu yang peka akan berinteraksi
dengan mikroba patogen yang secara alamiah akan melalui 4 tahap :
1. Tahap rentan
Pada tahap ini pejamu masih dalam kondisi relatif sehat, namun peka
atau labil, disertai faktor predisposisi yang mempermudah terkena
penyakit seperti umur, keadaan fisik, perilaku/ kebiasaaan hidup, sosial
ekonomi, dan lain- lain. Faktor – faktor predisposisi tersebut
mempercepat masuknya agen penyebab penyakit (mikroba patogen)
untuk berinteraksi dengan pejamu.
2. Tahap inkubasi
Setelah masuk ke tubuh pejamu, mikroba patogen melalui bereaksi,
namun tanda, dan gejala penyakit belum tampak. Saat mulai masuknya
mikroba patogen ke tubuh pejamu hingga saat munculnya tanda, dan
gejala penyakit disebut masa inkubasi. Masa inkubasi satu penyakit
berbeda dengan penyakit lainnya, ada yang hanya beberapa jam, dan ada
pula yang bertahun – tahun.
Masa inkubasi beberapa penyakit
N
O Penyakit Masa Inkubasi
1 Botulisme 12-36 jam
2 Kolera 3-6 jam
3 Konjungtivitis 1-3 jam
4 Difteri 2-5 jam
5 Disentri amoeba 2-4 minggu
6 Disentri basiler 1-7 jam
7 Demam berdarah dengue 4-5 hari
8 Gonorhe 2-5 hari
9 Hepatitis infektiosa 2-6 minggu
10 Herpes zoster 1-2 minggu
11 Influenza 1-3 hari
12 Keracunan makanan tersangka salmonella 6-12 jam
13 Limfogranuloma venereum 2-5 minggu
14 Morbili/campak 10-14 hari
15 Morbus Hansen/Lepra 3-5 tahun
16 Parotitis epidemika 12-25 hari
17 Poliomielitis 7-12 hari
18 Pertusis/batuk rejan 7-20 hari
19 sifilis 10-90 hari
20 Tetanus ± 7 hari
21 Tuberkulosis 4-12 hari
22 Tifus abdominalis 1-2 minggu
23 Varicella 2-3 minggu
24 Variola 7-15 hari
3. Tahap klinis
Merupakan tahap terganggunya fungsi organ yang dapat memunculkan
tanda, dan gejala penyakit. Dalam perkembangannya penyakit akan
berjalan secara bertahap. Pada tahap awal tanda, dan gejala penyakit
masih ringan. Penderita masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari,
dan masih dapat diatasi dengan berobat jalan, karena penyakit bertambah
parah, baik secara objektif maupun subjektif. Pada tahap ini penderita
sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas sehari-hari.
4. Tahap Akhir Penyakit
Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir pula. Perjalanan
penyakit tersebut dapat berakhir dengan 5 alternatif:
a. Sembuh sempurna
Penderita sembuh secara sempurna, artinya bentuk dan fungsi
sel/jaringan/organ tubuh kembali seperti sedia kala.
b. Sembuh dengan cacat
Penderita sembuh dari penyakitnya namun disertai adanya kecacatan. Cacat
dapat berbentuk cacat fisik, cacat mental, maupun cacat sosial.
c. Pembawa (carrier)
Perjalanan penyakit seolah-olah berhenti, ditandai dengan
menghilangnya tanda, dan gejala penyakit. Pada kondisi ini agen
penyebab penyakit masih ada, dan masih potensial sebagai sumber
penularan.
d. Kronis
Perjalanan penyakit bergerak lambat, dengan tanda, dan gejala yang tetap
atau tidak berubah.
e. Meninggal dunia
Akhir perjalan penyakit dengan adanya kegagalan fungsi-fungsi organ.
Lingkungan
Potensi terjadinya transmisi organisme dari orang-ke-orang di dalam
rumah sakit sangatlah besar.
1. Penyediaan Makanan
Makanan biasanya disiapkan secara terpusat di dapur rumah
sakit: pasien memiliki risiko infeksi yang ditularkan melalui makanan
(food-borne) jika standar higienisnya buruk. Organisme yang resisten
terhadapa antibiotik dapat ditransmisikan melalui rute ini.
2. Suplai Udara
Berbagai patogen, contohnya tuberkulosis yang resisten terhadap
banyak obat atau virus pernapasan dapat ditransmisikan melalui suplai
udara di ruangan terbuka dan sistem pendingin udara.
3. Fomit
Benda yang inanimate dapat terkontaminasi organisme dan
bertindak sebagai media (fomite) bagi transmisi.
4. Suplai Air
Suplai air di rumah sakit merupakan sistem yang kompleks;
sistem ini menyediakan air untuk tempat cuci tangan dan pancuran,
pemanas pusat, dan pendingin udara. Selain itu, uap panas bertekanan
tinggi dibutuhkan untuk autoklaf. Legionella spp. dapat berkoloni pada
area pipa yang sudah tidak dipakai lagi. Sistem menara pendingin
merupakan sumber infeksi tersendiri, memungkinkan terjadinya
transmisi melalui sistem pendingin udara. Untuk mengurangi risiko ini,
penyediaan air panas harus dipertahankan pada suhu di atas 45° C dan
penyediaan air dingin dipertahankan pada suhu di bawah 20°C.
Aktivitas medis
AKSES INTRAVENA
Ini merupakan sumber bakteremia yang paling sering yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Risiko infeksi dari alat
intrafena apapun meningkat seiring dengan lamanya alat tersebut
dipasang. Gangguan integritas kulit menyediakan jalan masuk bagi invasi
organisme kulit seperti Staphylococcus aureus, S. epidermidis, dan
Corynebacterium jeikeium.
Tanda-tanda inflamasi pada tempat penyuntikan dapat menjadi
bukti pertama adanya infeksi. Infeksi yang disebabkan oleh kanula dapat
diperumit oleh septikemia, endokarditis, dan infeksi metastatik (misalnya
osteomielitis).Teknik aseptik saat pemasangan akan mengurangi risiko
sepsis.
Demikian juga dengan pemilihan alat, contohnya menggunakan
yang tidak memiliki sisi port dan ruang yang tidak terpakai (dead space).
Menjaga balutan tetap dalam kondisi baik dan memastikan higiene staf
yang baik saat bekerja dengan alat tersebut juga sama pentingnya.
Tempat kanula harus diperiksa secara berkala dan hal ini terutama
penting pada pasien yang tidak sadar. Jalur perifer harus dipasang ulang
setiap 48 jam; jalur sentral dan selang harus diganti jika terbukti ada
infeksi.
KATETER URIN
Kateter urin yang dipasang di dalam (indwelling urinary catheter)
merupakan rute bagi infeksi asendens ke dalam kandung kemih. Risiko
dapat diminimalkan dengan teknik aseptik saat kateter dipasang dan
ditangani.
PEMBEDAHAN
Pasien bedah seringkali memiliki masalah kesehatan lain yang
seringkali tidak berhubungan dengan keluhan akibat pembedahan yang
dijalaninya (misalnya asma atau diabetes melitus), dan hal-hal ini dapat
menjadi predisposisi terhadap infeksi.
Pembedahan bersifat traumatik dan mengandung risiko infeksi,
contohnya terutama infeksi luka. Selain itu, potensi komplikasi mungkin
berasal dari prosedur itu sendiri, seperti iskemia pascaoperasi, yang
berkontribusi terhadap risiko lebih lanjut. Lama dan kompleksitas
operasi memengaruhi risiko infeksi, demikian pula halnya dengan
keterampilan ahli bedah: semakin sedikit kerusakan jaringan yang
muncul pada saat operasi, semakin rendah pula risiko infeksinya
Rantai penularan infeksi nosokomial
Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah bagian
berikut) yang ada pada sumber. Kuman keluar dari sumber melalui
tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan tertentu, masuk ke
tempat tertentu di pasien lain. Karena banyak pasien di Rumah Sakit
rentan terhadap infeksi (termasuk ODHA yang mempunyai system
kekebalan yang lemah). Mereka dapat tertular dan jatuh sakit
“tambahan” selanjutnya, kuman penyakit ini keluar dari pasien
tersebut dan menemukan rantau penularan lagi.
Ada 4 macam penyakit infeksi nosokomial yaitu :
1. Surgical Site Infection (Infeksi Luka Operasi/ILO)
2. Ventilator Asosiated Pneumonia (Pneumonia Ventilator)
3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
4. Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)/ phlebitis
(Depkes RI, 2001)
1. Surgical Site Infection (Infeksi Luka Operasi/ILO)
Epidemiologi
Sebanyak 30 – 50 % penggunaan antibiotik di RS diberikan untuk
tujuan profilaksis bedah. Di USA insidensi ILO diramalkan 7,5% dan
menambah biaya perawatan lebih dari 10 milyar dolar pada setiap
tahunnya. Di indonesia insiden ILO pada bedah bersih sekitar 3-12
%, sedangkan bedah kotor ± 50%.
FAKTOR RESIKO LUKA OPERASI
Luka operasi
Luka operasi merupakan terapi yang direncanakan, seperti incisi bedah,
needle introduction dan lain-lain lagi serta dikendalikan dengan asepsis
bedah.
Faktor Resiko Luka Operasi
Intrinsik
Umur, jenis kelamin, status gizi, penyakit
penyerta, berat badan
Ekstrinsik Persiapan pra bedah, persiapan intra bedah,
pembersihan n desinfeksi lingkungan sterilisasi alat
bedah, perlngkapan bedah, prawatan insisi psca bedah, kategori
operasi, klasifiksi pasien bdsrkn ASA, jenis
operasi,
Infeksi luka operasi adalah infeksi yang terjadi pada tempat/daerah insisi
akibat suatu tindakan pembedahan, diklasifikasikan menjadi :
a. Infeksi luka operasi Inisisional superfisial
Infeksi pd tempat atau daerah Insisisuperfisial (kulit dan Subcutan),
terjadi dalam 30 hari pasca bedah. Karakteristik:
1. Adanya pus yg keluar dari luka operasi atau drain yang yang dipasang
diatas fasia.
2. Biakan positif dari cairan yang keluar dari luka yang ditutup primer.
3. Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksi.
4. Luka sengaja dibuka oleh dokter karena terdapat tanda peradangan,
kecuali jika hasil biakan negatif
b. Infeksi luka operasi Profunda/deepinsisional
1. Ditemukan abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai insisi
dalam pemeriksaan langsung (waktu pembedahan ulang) dengan
pemeriksaan histopatologis atau radiologis.
2. Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksi.
c. Infeksi luka operasi organ/rongga
Infeksi yang terjadi dalam 30 hari pasca bedah apabila tidak ada implant,
infeksi terjadi dalam 1 tahun pasca bedah apabila terdapat implant.
Paling sedikit menunjukkan satu gejala berikut :
1. Drainase purulen dari drain yang dipasang melalui luka ke dalam
organ/rongga
2. Ditemukan organisme melalui aseptik kultur dari organ/rongga
3. Ditemukan abses atau tanda infeksi lain yang mengenai organ atau
rongga waktu pemeriksaan langsung pd pembedahan ulang atau dng
pemeriksaan ulang atau dng pemeriksaan histopatologis/radiologis.
4. Dokter yang menangani menyatakan infeksi organ/rongga
d. Infeksi nosokomial Pneumonia
Adalah infeksi saluran napas bawah yang mengenai parenkim paru dan
terjadi setelah 48 jam masa perawatan di Rumah Sakit (Depkes, 2001).
Seorang pasien dikatakan pneumonia bila ditemukan satu diantara
criteria berikut :
1. Pada pemeriksaan fisik terdapat ronki basah atau ditetapkannya
pekak (dullness) pada perkusi.
2. Foto toraks menunjukkan adanya infiltrate, konsolidasi kavitasi, efusi
pleura baru atau progresif.
Cara pencegahannya infeksi luka operasi
• Harus melakukan pemeriksaan terhadap pasien operasi sebelum pasien
masuk/dirawat di rumah sakit (perbaikan gizi).
• Sebelum operasi, pasien dilakukan dengan benar sesuai dengan
prosedur, misalnya pasien harus puasa
• desinfeksi daerah operasi dan lain-lain.
• SOP (standard operating procedure) yaitu dengan perhatikan
waktu/lama operasi. Pasca operasi harus diperhatikan perawatan alat-alat
bantu yang terpasang sesudah operasi seperti kateter, infus dll.
Antibiotic profilaksis
• Antibiotik yg diberikan kpd penderita yg menjalani sblm adanya infeksi,
tujuan untk mencegah terjadinya infeksi akibat tindakan pembedahan.
• Antibiotik untk memperlama fase “Golden Period” yaitu fasepertahanan
tubuh terhdp infeksi.
Tujuan :
Mereduksi timbulnya infeksi yang terjadi, meminimalkan efek antibiotik
pada flora normal bakteri pasien, menurunkan mortalitas dan morbiditas
pasca operasi, mengurangi lama waktu pasien harus menjalani rawat inap,
meminimalkan perubahan – perubahan pada sistem pertahanan tubuh.
2.Ventilator Asosiated Pneumonia (Pneumonia Ventilator)
Adalah infeksi saluran nafas bawah yang mengenai Parenkim paru dan
terjadi setelah 48 jam masa Perawatan di rumah sakit (Depkes, 2001).
Contoh prosedur dan tindakan medis yg bersentuhan dengan jaringan lunak
saluran pernapasan adalah :
1. Tindakan anastesi umum menggunakan pipa endotrakeal, pipa
orofaringeal atau pipa nasofaringeal
2. Tindakan laringoskopi atau bronkoskopi
3. Tindakan invasif yg lebih jauh seperti trakeostomi, krikotirotomi
4. Pemasangan ventilator
Bakteri penyebab pneumonia:
• Pseudomonas aeroginusa
• Bakteri Coliform
• Streptococcus beta-hemolyticus
• Klebsiella pneumonia
• Neisseria
• Catarrhalis
• Staphylococcus aureus
Gejala:
1. Pada pemeriksaan fisik terdapat ronki basah atau didapatkannya pekak
(dullness) pd perkusi, dan salah satu diantara keadaan berikut :
a. timbulnya sputum purulen yg sebenarnya tdk ada, atau terjadinya
perubahan sifat sputum.
b. isolasi kuman positif pd biakan darah
c. isolasi kuman patogen positif dari aspirasu trakea, sikatan/ cuci
bronkus atau biopsi.
2. Foto toraks menunjukkan adanya infiltrat, konsolidasi, kavitasi,
efusi pleura baru atau progresif.
a. Titer igM atau igG spesifik meningkat 4 kali lipat dalam 2 kali
pemeriksaan
b. Terdapat tanda – tanda pneumonia pada pemeriksaan histopatologi.
3. Untuk pasien < 12 bln selain tanda di atas didapatkan 2 diantara
keadaan berikut: apnea, bradikardi, whizzing.
3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) : infeksi yang sering terjadi, 40% dari
seluruh inos dan dilaporkan 80% infeksi saluran kemih terjadi
sesudah instrumentasi. Bakteri masuk ke dlm kandung kemih
melalui : batang kateter melalui meatus uretra eksternus, lumen
kateter, persambungan kateter dng pipa penyalur urine, refluks urine
dr kantong penampung urine. ISK merupakan infeksi y timbul setelah
tindakan invasif/operatif pd saluran genito urinarius di RS antara
lain: kateterisasi, sistoskopi, endoskopi, tindakan operatif pd vagina.
Pencegahan ISK :
1. Pemasangan kateter dng memerhatikan syarat dasar kateter
2. Kateter menetap sedapat mungkin tdk dipakai dan hanya digunakan atas
dasar indikasi yg jelas.
3. Aliran urin dlm kateter harus bebas hambatan
4. Penggantian kateter 2-3 kali bila keteter harus dipasang lama .
5. Urin harus dibiakkan (identifikasi) terlbh dahulu sblm kateterisasi.
6. Berikan antibiotik sblm kateter dicabut untk kasus asimptomatik
4. Infeksi aliran darah primer (IADP)/phlebitis
Infeksi yg terjadi disekitar tusukan atau bekas tusukan jarum infus di RS,
dan timbul setelah 3x24 jam dirawat di RS. Ditandai dengan : panas,
pengerasan dan kemerahan (kalor, tumor, rubor), dng atau tanpa nanah
(pus), pd daerah bekas tusukan jarum infuse.
Contoh-contoh kasus infeksi nosokomial:
1. Febris Puerperalis (Demam nifas) : infeksi yang muncul pasca
persalinan pervaginam. Sekitar 7-8% akan mngalami kesulitan atau
distosia yang terjadi karena tidak proporsionalnya antara dorongan
dari uterus. Untuk menyelesaikan persalinan distosia diperlukan
ISKISK Simpomatik
ISK Asimptomatik Prnh memakai kateter 7 hr sblm biakan,
adanya tindakan invasif . Trauma yang terjadi berupa laserasi,
robekan, serta pendarahan yang dapat menimbulkan infeksi.
Bakteri : Staphylococcus haemolyticus, Streptococcus aureus,
Escherichia coli.
2. Infeksi Saluran Cerna
Gejala : Adanya nyeri perut secara mendadak, kadang-kadang disertai
nyeri kpala, nausea dan muntah – muntah yang diikuti dengan diare,
dapat disertai/tanpa demam.
Bakteri : Salmonella, Vibrio cholerae, Escherichia colli, Staphylococcus
aureus (toksiknya), Clostridium perfringens, Clostridium botulinum.
3. Hepatitis Virus Akut
disebabkan oleh hepatitis virus A (HVA), hepatitis B (HVB) atau
hepatitis virus non-A non-B (HVNANB). Untuk menetapkan diagnosis
hepatitis virus akut nosokomial digunakan batasan klinik, laboratorik dan
waktu :
a. manifekstasi klinik
b. gambaran laboratorik yang spesifik
c. apabila manifestasi klinik muncul 2 minggu rawat inap yang merupakn
masa inkubasi terpendek dari salah satu hepatitis virus.
Cara penularan :
a. peroral = melalui makanan/minuman untuk virus hepatitis A
b. parental = melalui kulit, untuk hepatitis B sedangkan virus hepatitis
NANB melalui suntik, biopsi, infus/transfusi, hemodialisis, pembedahan.
4. Bakteremia dan Septikemia
Bakteremia : Infeksi sistemik yang terjadi akibat penyebaran bakteri atau
produknya dari suatu fokus infeksi ke dalam darah.
Septikemia : keadaan gawat, yang harus segara ditangani,Bila terlambat
ada kecenderungan mengarah ke keadaan
Syok (syok septik), dng angka kematian (50-90%).
*Pemicu : tindakan medis invasif (kateter intravaskular, nutrisi
parenteral, hemodialisis)
Dampak pengendalian, dan pencegahan infeksi nosokomial
Dampak infeksi nosokomial
Menyebabkan cacat fungsional, serta stress emosional, dan dapat
menyebabkan cacat permanen.
Dampak tertinggi pada negara berkembang dengan prevalensi HIV/AIDS
yang tinggi.
Meningkatkan biaya kesehatan
Morbiditas dan mortalitas semakin tinggi
Adanya tuntutan secara hukum
Penurunan citra Rumah Sakit.
Pengendalian infeksi nosokomial
• Setiap rumah sakit harus memiliki prosedur untuk menjamin bahwa tidak
ada transmisi infeksi di dalam lingkungannya. Bersama-sama, hal ini
membentuk kebijakan pengendalian infeksi yang, jika ingin berhasil,
harus didukung oleh semua staf rumah sakit. Tim pengendalian infeksi
terdiri dari konsultan mikrobiologi atau spesialis penyakit infeksi, dan
perawat spesialis, yang mengembangkan kebijakan tersebut .
Keterlibatan direksi rumah sakit pada tingkat tertinggi bersifat esensial
untuk mencapai keberhasilan.
• Tim tersebut akan mengatur surveilans dengan lebih ketat terhadap
organisme tertentu, misalnya Staphylococcus aureus yang resisten
terhadap metisilin (methicillin-resistant Staphylococcus aureus, MRSA).
Tim ini juga berperan dalam semua perencanaan rumah sakit, baik secara
fisik (misalnya perubahan bangunan) maupun secara fungsional
(misalnya pelayanan klinis baru).
Beberapa upaya pengendalian infeksi di Rumah Sakit
Praktek klinis yang baik
• Individu yang terinfeksi harus dipisahkan dari yang tidak terinfeksi.
Sumbernya, baik individu yang terinfeksi maupun pembawa (carrier),
harus diidentifikasi melalui langkah skrining yang tepat, misalnya
surveilans rutin pada spesimen dari pasien dan staf rumah sakit.
• Pasien yang terinfeksi harus diisolasi (isolasi sumber) dan dilakukan
tindakan untuk memutuskan rantai transmisi.
• Pasien yang secara khusus rentan thd infeksi memerlukan isolasi
perlindungan. Isolasi seringkali sulit dipertahankan jika staf rumah sakit
tidak melakukan langkah-langkah yang telah disepakati. Ini dapat terjadi
jika langkah yang sederhana seperti mencuci tangan diabaikan sebagai
akibat dari tekanan pekerjaan.
Isolasi luka dan enterik
Pasien dirawat di ruang terpisah yang memiliki tempat cuci tangan dan
fasilitas toilet tersendiri. Celemek plastik dan sarung tangan sekali pakai
Praktek klinis yang
baikIsolasi luka dan enterikIsolasi
pernapasanIsolasi ketat
Isolasi perlindunga
nTyping
Sterilisasi
digunakan selama menangani pasien atau melakukan tindakan klinis dan
prosedur higiene. Sarung tangan dan celemek (apron) kemudian dibuang
dan tangan dicuci menggunakan sabun cair dan dikeringkan dgn handuk
sekali pakai. Penggunaan disinfektan yg tepat membantu mengurangi
kontaminasi lingkungan (misalnay penggunaan agen yg mengandung
klorin untuk Clostridium difficile.
Isolasi pernapasan
• Selain tindakan pencegahan yang telah disebutkan, staf rumah sakit harus
mengenakan masker wajah saat berada di ruangan. Jika pasien dikirim ke
bagian lain di dalam rumah sakit, pasien tersebut harus mengenakan
masker wajah.
• Metode isolasi pernapasan yang lebih ketat diperlukan untuk
mengendalikan transmisi dari organisme yang berhubungan dengan
tuberkulosis yang resisten terhadap banyak obat (mulitidrug-resistant
tuberculosis, MDRTB) dan severe acute respiratory syndrome (SARS).
Hal ini memerlukan penggunaan ruangan bertekanan negatif dan masker
yang efektif (dust mist mask atau respirator pribadi). Tindakan
pencegahan yang demikian bersifat esensial , terutama selama prosedur
yang memungkinkan terbentuk aerosol (misalnya bilas bronkoalveolar).
Isolasi ketat
Bentuk isolasi ini dirancang untuk mencegah transmisi infeksi seperti
demam berdarah akibat virus. Unit isolasi yg tertutup mencegah
transmisi organisme secara aerosol melalui sistem udara yg tertutup dan
bertekanan negatif, disertai dgn prosedur dekontaminasi yg ketat.
Isolasi perlindungan
Isolasi perlindungan diperlukan pada pasien yang memiliki kerentanan
tinggi terhadap infeksi, seperti pada pasien neutropenia.
Perlindungannya meliputi isolasi ruang khusus, penyediaan udara
terfiltrasi , dan langkah-langkah untuk mengendalikan risiko adanya
organisme dalam makanan, seperti organisme Gram-negatif yang
resisten pada sayuran atau Listeria pada kayu lunak.
Sterilisasi dan disinfeksi
Sterilisasi
• Sterilisasi menginaktivasi semua organisme infeksius dan diperoleh
melalui proses dengan autoklaf atau iradiasi.
• Dalam autoklaf, benda-benda seperti instrumen bedah dipanaskan
dengan uap air bertekanan yg sangat panas untuk menginaktivasi bahan
infeksius apapun yg mengontaminasi.
• Instrumen yg lunak dapat disterilisasi dengan tekanan dan suhu yg
rendah pada alat autoklaf khusus yg mengalirkan uap air yg disertai
formaldehid.
• Bahan yg mudah rusak seperti kanula plastik, syring (alat suntik), atau
alat prostetik disterilisasi menggunakan radiasi g selama produksi
komersial
• Aldehid (glutaraldehid dan formaldehid) dapat mensterilisasi instrumen
jika instrumen tersebut telah lebih dahulu dibersihkan secara adekuat
dan peralatannya direndam dalam waktu yang cukup.
• Senyawa seperti seperti klorin dioksida mulai menggantikan
glutaraldehid untuk mengurangi toksisitas terhadap manusia sebagai
operator.
Disinfeksi
• Ini merupakan proses untuk mengurangi jumlah partikel infeksius .
Mencuci tangan dengan sabun atau detergen merupakan komponen
penting dalam disinfeksi.
• Disinfektan adalah bahan kimia yang membunuh atau menghambat
mikroba. Zat ini digunakan pada keadaan dimana tidak mungkin
diperoleh kondisi yang steril (misalnya persiapan kulit sebelum
pembedahan), atau setelah tumpahnya cairan biologis (urin, darah, atau
feses) pada permukaan inanimate.
• Senyawa hipoklorit seperti (natrium hipoklorit, pemutih) yg merupakan
senyawa yg paling aktif untuk mengatasi virus juga berguna mengatasi
tumpahan cairan biologis, tetapi bersifat korosif terhadap logam.
• Senyawa halogen seperti iodin bersifat aktif melawan bakteri, termasuk
organisme yang membentuk spora, tetapi kerjanya relatif lambat.
Senyawa ini digunakan pada disinfeksi kulit.
• Disinfektan fenol sangat aktif melawan bakteri dan digunakan untuk
mendisinfeksi permukaan yang terkontaminasi di rumah sakit dan
laboratorium bakteriologi.
• Alkohol (70%) bekerja dengan cepat melawan bakteri, jamur, dan virus,
dan berguna dalam mendisinfeksi kulit praoperasi
• Klorheksidin aktif melawan bakteri, terutama stafilokokus; zat ini juga
digunakan untuk disinfeksi kulit.
Pencegahan terjadinya infeksi nosokomial
• Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dng cara mencuci
tangan, penggunaan sarung tangan, tindakan septik, aseptik, sterilisasi,
desinfektan.
• Mengontrol resiko penularan dari lingkungan
• Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi
yang cukup, dan vaksinasi.
• Membatasi infeksi, mengontrol penyebarannya.
• Mencegahan penularan dari lingkungan rumah sakit
• Mengecek dengan menginspeksi
Pencegahan infeksi di ruangan/bangsal perawatan
Ruangan atau bangsal merupakan tempat dimana asuhan keperawatan
dilakukan. Disini ditempatkan sejumlah tempat tidur untuk penderita, serta
sejumlah peralatan medis dan non medis lainnya. Walaupun Inos dapat terjadi
di semua tempat pelayanan. Namun frekuensi dan intensitas lebih banyak
terjadi di ruangan/bangsal .
Idealnya Rumah sakit dengan jumlah tmpt tidur terbatas (120-150 buah)
mempunyai tempat Perawatan sebagai berikut :
a. Kamar perawatan dengan 1-4 buah tempat tidur
1.lbh banyak bersifat privasi
2. untk perawatan kasus tidak berisiko
b. Ruangan/bangsal perawatan
1. Bangsal Perawatan umum : gender, quantity
2. Bangsal Perawatan Anak
3. Bangsal perawatan Intensif : observasi, pemisah, ICCU, NICU
4. Bangsal Perawatan isolasi : sifat penyakit
Ruang perawatan isolasi
Dalam ruang isolasi penderita dirawat dengan pertimbangan :
a. Karena sifat penyakit : mudah menular (TB terbuka, hepatitis
akut), dapat mengganggu penderita lain (kanker stadium akhir,
diabetes)
b. Karena kerentanan fisiknya (HIV/AIDS,Luka bakar, leukimia)
c. Memerlukan perlakuan khusus (tetanus)
d. Mencegah transmisi mikroba patogen melalui gigitan nyamuk
Sterilisasi dan aplikasinya di Rumah Sakit
Sterilisasi sebagai kegiatan khusus atau tersendiri di rumah sakit yang
mengelola peralatan medis yang siap pakai. Unit ini disebut Central Sterile
Supply Departement (CSSD) atau Instalasi Sterilisasi Sentral (ISS).
Pemusatan kegiatan sterilisasi ini mempunyai keuntungan, yaitu:
1. Efisiensi dalam penggunaan sarana dan peralatan, sehingga mampu
menghemat biaya
2. Efesiensi tenaga paramedis.
3 Adanya standardisasi prosedur kerja dan adanya jaminan mutu hasil
sterilisasi.
Garis besar terjadinya CSSD/ISS:
• Dekontaminasi : peralatan medis yang terkontaminasi didisinfeksi terlebih
dahulu untuk memilimalisasi jenis dan jumlah mikroba patogen
• Pembersihan : peralatan medis dibersihkan untuk menghilangkan materi
organik yg menempel
• Pengemasan : mengemas scara rapi peralatan medis disertai pemasangan label
dan siap untuk disterilkan
• Proses sterilisasi : peralatan medis yang telah dibungkus selanjutnya
menjalani sterilisasi
• Penyimpanan : disimpan dan dijaga kualitas sterilisasinya
• Pendistribusian : peralatan medis yang siap dipakai selanjutnya
didistribusikan ke unit – unit yang memerlukan.
Unit CSSD/ISS dalam Rumah Sakit
• Kegiatan sterilisasi dan keberadaan unit CSSD/ISS mutlak adanya terutama
bagi Rumah sakit besar.
• Diharapkan mutu kualitas sterilisasi lebih menjamin serta siap memenuhi
permintaan semua unit kerja di rumah sakit.
• Pengawasan terhadap kualitas sterilisasi alat.
Peran farmasis dan petugas kesehatan lainnya
• Diagnosis bakteriologik
• Diagnosis bakteriologik yang tepat adalah sangat penting untuk menentukan
antibiotika yang tepat .
• Menentukan dosis yang tepat agar tidak terjadi resistensi.
• Monitoring Efek Samping Obat
• Tim PPIRS perlu mengetahui kuman infeksi nosokomial berasal dari mana
sumbernya
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saat ini dunia kedokteran dihadapkan pada kenyataan bahwa penyebaran dan penularan penyakit infeksi tidak hanya terjadi ditengah masyarakat luas, namun ternyata kondisi tersebut dapat terjadi di tengah komunitas penderita yang sedang menjalani asuhan keperawatan di rumah sakit. Infeksi yang diperoleh seorang yang dirawat di Rumah Sakit ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial (INOS)
Dalam batasan dan definisinya, sebuah infeksi dapat menyetakan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi persyaratan antara lain :
1. Persyaratan tempat infeksi terjadi (Rumah Sakit) 2. Persyaratan waktu ,yaitu kurang waktu penderita menjalani asuhan
keperawatan 3. Persyaratan orang, yang tidak lain adalah yang sedang menajalani asuhan
keperawatan 4. Persyaratan agen penyebab, berasal dari berbagai sumber dirumah sakit.
Selama dalam asuhan keperawatan, penderita tidak selalu menetap diruangan/bangsal/kamar perawatan, tetapi tidak jarang harus bergerak dari satu unit kerja dirumah sakit ke unit kerja lainnya yang merupakan satu rangkaian kegiatan dalam upaya menekankan diagnosis serta terapi sini tampak jelas. Bahwa terjadinya infasi mikroba patogen dapat berasal dari unit kerja diuar ruangan/bangsal/kamar perawatan. Dengan demikian ini tugas dan tanggung jawab mengeliminasi mikroba patogen menjadi tanggung jawab semua unit kerja.
Munculnya infeksi nosokomial ini sangat merugikan penderita antara lain hari rawat menjalani lebih panjang serta akibat subjektifnya adalah penderitaan fisik dan psikis akan bertambah berat, dan hal ini dapat meningkatkan mobilitas dan mortalitas, serta beban biaya akan meningkatkan. Identik dengan permasalahan yang dihadapi oleh penderita, pihak rumah sakit juga dihapkan pada persoalan yang lebih luas yang berkaitan dengan menajemen pelayanan medis secara keseluruhan. Dari sini dapat dinilai beberapa efektifnya penerapan kewaspadaan standar disetiap unit kerja yang merupakan salah satu parameter penilaian mutu pelayanan (quality assurance).
Untuk mengantisipasi munculnya infeksi nosokomial, semua petugas di semua unit kerja harus menyadari dan ikut berperan aktif dalam upaya “mengamankan” penderita dari infasi mikroba patogen dengan cara menerapkan kewaspadaan standar sebaik – baiknya.
Persoalan infeksi nosokomial terkait dengan permasalahan tidak aman atau terlindunginya perderita oleh infasi mikroba patogen, hal ini dapat dinilai sebagai “kecerobahan” pihak rumah sakit sehingga merugikan penderita sebagai konsumen kesehatan. Oleh karenanya pihak manajemen harus benar – benar menangani hal ini secara bijak, jangan sampai persoalannya berkembang atau menjurus ke aspek hukum.
Dengan demikian manajemen asuhan keperawatan professional yang berada diruangan/bangsal/kamar perawatan merupakan ujung tombak pengendalian infeksi sekaligus sebagai tangan pertama yang mendata penyakit infeksi nosokomial
DAFTAR PUSTAKA
Fatimah, Siti. 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Infeksi
Nosokomial Luka Operasi di Ruang Bedah RSUP Fatmawati. Jakarta: Universitas
Pembangunan Nasional Veteran.
Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta:
Salemba Medika
Septiari, Betty Bea. 2012. Infeksi Nosokomial. Yogyakarta: Nuha Medika
Gillespie, Stephen dan Kathleen Bamford. 2007. At a Glance: MIKROBIOLOGI MEDIS DAN INFEKSI. Jakarta: Erlangga.
top related