implikasi etnobotani kuantitatif dalam kaitannya dengan ... ii... · perebutan lahan belukar dengan...
Post on 10-Mar-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
80
memberikan hasil, tetapi kalau pohon ampupu sudah besar, tanaman lain akan merana
dan tidak memberikan hasil lagi.
Dahulu amaf yang memiliki lebih dari satu suf dapat membagikannya kepada
ketuynnanya, sehingga suf itu kemudian.menjadi milik bersama keturunan dari amaf
tersebut. .Pads dasarnya fidak satupun suf yang&e&pakan milik p&ro&igan. Jika ada
lahan di dalam suf yang diakui sebagai milik perorangan, sekalipun belum
bersertifikat, hal itu bisa terjadi melalui pemanfaatan yang dilakukan berulang kali atau
secara menetap oleh orang yang sama dari keturunan amaf, penguasa suf yang
bersangkutan. Setelah amaf penguasa suf tersebut meninggal, penggarap tetap
menguasai bidang garapan itu dan mewariskan kepada keturunamya sehingga jadilah
bidang lahan milik individual.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini seringkali tejadi sengketa tanah dan
perebutan lahan belukar dengan latar belakang pengalihan kepemilikan seperti
disebutkan di atas. Hal ini dapat terjadi, misalnya jika salah seorang penggarap tidak
ikut mengolah lahan dalam suf tersebut pada pengolahan lahan berikutnya, dan
digantikan oleh orang lain atas seizin pemilik SUE Setelah pemilik suf meninggal,
terjadilah perebutan lahan antara penggarap pertama dan penggarap kedua.
Sebagai wntoh, A dari keturunan suku Tunmuni mengggarap lahan B. Setelah
digarap dua atau tiga tahun, A lalu meninggalkannya untuk ditumbuhi semak dan
belukar karena menurut pengetahuan penduduk lokal, hutan yang bam dibuka clan
ditanami tanaman pangan, seperti jagung, padi, ubi jalar, dan kacang-kacangan akan
memberikan hasil yang baik jika digarap tidak lebih dari dua sampai tiga tahun.
81
Sesudah itu mereka &an meninggalkannya untuk membuka lahan yang baru lagi.
Karena luasnya suf, maka kadang-kadang mereka meninggalkan ladangnya menjadi
belukar selama bertahun-tahun, bahkan ada yang sampai puluhan tahun. Jika ada
orang dari suku Tunmuni yang lain (misal C) yang melihat lahan tersebut kosong, lalu
meminta izin kepada amaf untuk m-engelolanya, bukan tidak munglun amaf akan
mengizinkan C untuk menggarapnya secara intensif karena lahan tersebut memang
sedang kosong. Kemudian ketika pa& suatu waktu A atau keturunannya datang
kembali untuk berladang di lahan B, karena merasa bahwa orang tuanyalah yang
pertama kali membuka lahan tersebut dan ia merasa berhak terhadap lahan itu, maka
bukan tidak mungkin &an timbul sengketa di antara mereka.
11.11 Perekonomian Penduduk
Sebagian besar penduduk di kawasan gunung Mutis hidup dari usaha
pertanian berladang, berkebun, dan memelihara ternak ditambah dengan usaha
mengumpullcan hasil-hasil hutan. Ada sejumlah kecil penduduk yang bekeja sebagai
guru, pedagang, clan tukang (tukang kayu), tetapi mereka juga biasanya merangkap
sebagai petani.
Sebagai kelompok penduduk yang berdiam dekat hutan, penduduk Gunung
Mutis juga banyak menggantungkan kehidupan mereka dari sumber daya dam yang
terdapat di kawasan hutan Gunung Mutis. Penduduk lokal sudah sangat terbiasa
memanfaatkan hasil hutan secara langsung, seperti pengambilan kayu bakar, kayu
pagar, madu lebah, berburu satwa liar, dan lain-lain. Selain itu, penduduk lokal juga
82
rnemanfaatkan lahan hutan Gunung Mutis untuk tempat bercocok tanam. Namun
secara umurn pengelolan tahan belum dilakukan secara maksimal sehingga hasil yang
diperoleh juga belum mencapai keadaan yang memadai.
Ada beberapa jenis tanaman pangan potensial yang diusahakan dan
dikembangkan oleh penduduk Gunung Mutis, antara lain: padi (Orym safiva), jagung
(Zea mays), ubi jalar (Ipomoea hatatas), kacang panjang (Vigna sinensis), kacang
tanah (Arachis hypogaea), talas atau keladi (Xarthosoma viola>eum), terong
(Solanrrm melongena)), tabu putih (Cuc-urbifa moschaia L.), wortel (Uaucus carotaj,
kangkung (Ipomoea repicuts), kentang (Solanzrm tuherosum), bawang merah (Allium
c e p ) , bawang putih (Allirim sativum), lombok (Capsicum at~iwm), dan tomat
(Solanrrm lycopersiicum). Selain itu juga ada beberapa jenis tanaman buah-buahan
seperti alpokat (Persea americana), pisang (Musa paradisiaca), mangga (Mattggera
indica), nangka (Arfocarpus heierophylla), jeruk bali (Citrus maxima Merr.), jeruk
manis (Citrus sp.), pepaya (Carica papaya), nenas (Ananas comosus), jambu biji
(Psihum guajava), dan susak (Atmnoana muricataj; juga tanaman perkebunan seperti
kopi (Cbff sp.) dan kefiri (Aleuriihes moluccana)
Hasil pertanian yang hingga kini memberi kontribusi ekonomi bagi penduduk
di Gunung Mutis, antara lain adalah bawang putih, bawang daun, kentang, jeruk
manis, jeruk bali, dan sayur-sayuran. Sebenarnya kawasan gunung Mutis pernah
menjadi daerah penghasil ape1 yang terkenal karena buahnya berukuran besar dan
rasanya enak. Namun pada tahun 1970-an hama Pcltu loncat menyerang tanaman ape1
sehingga tanaman tersebut musnah. Sejak itu pula petani di gunung Mutis tidak berani
83
lagi menanarn ape1 karena kekuatiran akan gagal dan memilih untuk menanam
tanaman-tanaman perdagangan lain yang dianjurkan oleh pemerintah
11.1 1.1 Hasil pertanian
. Bawang putih. Hasil pertanian yangmenonjol dari kawa& Gunung Mutis,
khususnya Desa Fatumnasi, Nenas, dan Naupin adalah bawang putih dan bawang
daun. Pengelolaan tanaman bawang putih masih sederhana dan ditanam dalam skala
kecil. Ada rasa keraguan akan gagal bila menanam bawang putih dalam jumlah besar,
terutama mereka hubungkan dengan keadaan i k l i yang tidak menentu di sekitar
kawasan Gunung Mutis. Penduduk Desa Nuapin dan desa Nenas biasanya berkebun
bawang putih di atas Man yang luasnya kira-kira 1 - 2 are. Penduduk yang berasal
dari suku-suku asli Mutis biasanya menanam bawang putih sebanyak 3 - 4 kg untuk
lahan seluas 1 are, sedangkan petani pendatang yang keturunan Cina, Sabu, dan Bugis
biasanya rnenanam sebanyak 4 - 5 kg bibit untuk luas lahan yang sama. Jika keadaan
iMim baik, lahan seluas 1 are dapat memberikan menghasilkan panen sampai 80 kg,
tetapi kalau i k l h tidak baik hasil yang didapat bisa jauh lebii rendah dari jumlah
tersebut. Harga penjualan bawang putih yang berukuran besar pada bulan Oktober
biasanya mencapai Rp.2.000 - 2.500 per kg, sedangkan bawang putih yang berukuran
besar kecil hanya sekitar Rp. 1.100 - Rp. 1.500 per kg. Pada bulan Maret - Mei, harga
bawang putih naik hingga Rp.4.000 - Rp. 5.000 per kg. Hal ini disebabkan karena
pada saat itu di desa Nenas sudah m u s h tanam bawang putih. Dapat ditambahkan
bahwa banyak juga petani bawang putih di sekitar kawasan Gunung Mutis yang
84
melakukan praktek ijon. Dengan cara ijon tersebut pemberi modal hanya membayar
seharga Rp. 1.000 - Rp. 1.500 per kg hasil panen bawang putih dari milik petani.
Hasil panen bawang putih dijual kepada pedagang Bugis, Sabu, dan Cina yang
datang ke setiap desa untuk mencari bawang putih. Pedagang-pedagang tersebut
menjual kembali bawang putih'tersebur ke pedagang-pedagang yang ada di pasar Sae
atau ke Kefamenanu, Atambua, Dili, Kupang, dan bahkan ada yang mengirimnya ke
Surabaya.
Jerak. Tanaman jeruk biasanya dibudidayakan oleh penduduk di sekitar
pekarangan mmah. Tanaman jemk dibiarkan tumbuh secara alami tanpa didukung
tindakan perawatan. Di Desa Bonleu hasil tanaman jeruk memberikan sumbangan
yang tidak sedikit bagi petani. Petani jemk di Desa Bonleu dapat menanam 25 - 50
pohon jeruk di pekarangan mmah dan mampu menghasilkan uang sebesar Rp.800.000
- Rp.3.000.000 per tahun. Keadaan di desa-desa lain seperti Fatumnasi, Nenas, dan
Nuapin agak berbeda. Di desa-desa tersebut tanaman jemk tidak banyak memberikan
kontribusi ekonomi bagi penduduk. Hasil tanaman jemk biasanya dipasarkan di pasar
mingguan di Desa Fatumnasi dan di pasar Kapan. Selain itu ada juga yang dipasarkan
ke Kupang, Kefamenanu, dan ke Dili (Propinsi Timor Timur).
Bawang daun dan kentang. Bawang daun dan kentang ditanam di
pekarangan mmah dalam jumlah yang tidak banyak. Bawang daun biasanya dijual
borongan kepada pengijon yang datang ke rumah-rumah penduduk. Untuk tanaman'
bawang daun seluas 1 are, dijual borongan dengan harga Rp.50.000 - Rp.75.000.
85
Selain bawang daun, petani juga menanam kentang yang hasilnya mereka jual di pasar
mingguan di Fatumnasi. Harga jual kentang antara Rp. 1000 - Rp.2000 per kg.
11.11.2 Hasil hutan
Kayu. ~ a s ~ a r a k a t di sekitar kawasan Gunung ~ u t $ mengambil kayu
bangunan dan kayu bakar dari dalam kawasan hutan Gunung Mutis. Namun kayu-
kayu tersebut hanya dimanfaatkan untuk keperluan sendiri, tidak untuk dijual. Dalam
ha1 yang berkaitan dengan penebangan pohon cendana, penduduk di kawasan ini
kebanyakan tidak berani menebang sendiri tanpa izin dari pemerintah. Pada tahun
1991 pemerintah daerah memberi izin penebangan pohon cendana kepada CV. Doto
Indah, rnilik seorang pengusaha keturunan Cina di Kapan. Penebangan ini didampingi
oleh petugas kehutanan yang bernama Leo Nani dengan mengerahkan masyarakat
dalam kegiatan tersebut. Wilayah penebangannya adalah di Kuafenu, Nuapin,
Leolboko, dan Fatumnasi. Jumlah pohon cendana yang ditebang cukup banyak dan
hasilnya dibawa dengan beberapa truk yang datang bolak balik. Sebagai kompensasi
pemerintah daerah TTS memberikan bantuan ke desa Nuapin sebanyak 100 lembar
seng dan 100 kantong semen.
Untuk keperluan membuat pagar, jembatan dan bangunan rumah, masyarakat
mengambil kayu dalarn kawasan hutan Gunung Mutis setelah mendapat izin dari
aparat kehutanan setempat. Akan tetapi ddam kenyataannya, kebanyakan penduduk
mengambil kayu dari dalam kawasan hutan tiunung Mutis tanpa mernnta izin dari
Cabang Dinas Kehutanan setempat. Ada penduduk yang mengatakan bahwa "kami
86
biasanya mengambil kayu dari dalam kawasan hutan dengan tidak minta izin karena
terlalu lama dan berbelit-belit, sementara kebutuhan kayu sudah mendesak". Untuk
bahan bakar, masyarakat mengambil kayu kering dan kayu tumbangan dari dalam
kawasan hutan Gunung Mutis
Madu. Bunga ampupu (Eucalyptz~s urophylla) menyediakaa sumber makanan
terbesar bagi lebah biasa (Bombidae), lebah madu bersengat (Apidae), dan lebah madu
yang tidak bersengat (Meliponidae), selain bunga hue (Eucalyptus alba). Kawasan
hutan gunung Mutis didominasi oleh ampupu yang menyediakan habitat yang amat
menguntungkan bagi perkembangbiakan lebah madu, sehingga hasil hutan bempa
madu memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat di sekitar kawasan Gunung Mutis.
Penduduk di Gunung Mutis terakhir kali mengambil madu lebah pada tahun
1922. Sejak itu hingga bulan mei 1996 mereka tidak pernah panen madu lagi. Hal ini
disebabkan karena sebelum madu datang sudah ada hewan yang mereka sebut 'tabuh'
(sejenis lebah besar, yang berwarna hitam) di sekitar wilayah Mutis. Jika hewan ini
sudah hadir, maka lebah madu tidak akan datang, walaupun pohon ampupu dan
pohon hue berbunga.
Hasil madu biasanya tidak terlalu banyak clan hanya cukup untuk dikonsumsi
sendiri, karena mereka mengambil madu lebah secara bersama-sama dan dibagi secara
merata, sehingga paling banyak setiap orang hanya mendapat 2 - 8 botol. Jika ada
pembeli yang mencari madu ke desa-desa Gunung Mutis, pencari madu dapat
membeli madu Rp. 1.000 - Rp. 1.500 per botol. Kadang-kadang mereka menjualnya
juga di pasar mingguan di Fatumnasi atau di Kapan dengan harga yang sama dengan
87
yang disebut di atas Jika mereka mempunyai rnadu sebanyak satu baskom (+ 30
botol), penduduk biasanya menukar madu dengan seekor babi yang berumur 2 tahun
Lilin. Lilin sarang lebah biasanya dijual kepada orang yang datang mencari
lilin dari desa ke desa Pencari lilin biasanya datang ke desa-desa pada saat panen
lebah dan membeli lilin dengan harga Rp.1 500 per kg Akan tetapi jika mereka
menjual sendiri di Kapan, harganya bisa mencapai Rp.2.500 per kg. Kebanyakan
pemilik lilin lebah menjual di mmah mereka sendizi, kecuali jika kebetulan mereka ada
keperluan di Kapan, barn menjual tilin di pasar Lilin ini biasanya dibentuk bulat-bulat
seperti bola ping pong, gunanya untuk penguat benang tenunan. Sepuluh buah sarang
lebah madu dapat menghasilkan lilin f 2 kg
IL11.3 Hasil ternak
Masyarakat di kawasan Gunung Mutis juga banyak yang memelihara ternak
seperti sapi, ayam, babi, dan kambing. Sapi dipelihara dengan sistem lepas di kawasan
hutan. Pemilikan sapi dan kuda merupakan simbol status sosial bagi pemiliknya.
Mereka biasanya tidak akan menjual sapi dan kuda, kecuali jika a& kebutuhan yang
mendesak, misalnya panen gagal, kebutuhan anak sekolah, dan membeli pakaian pada
hari raya keagamaannya. Sapi dijual kepada orang yang datang mencari hewan itu ke
desa-desa. Sapi satu adik biasanya dijual dengan harga Rp.300.000 - Rp.400.000 per
ekor, sedangkan sapi dua adik dijual seharga Rp.700.000 - Rp 800.000 per ekor.
Ayam, babi, dan kambing biasanya ditemakkan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dan untuk jamuan pada upacara adat. Mereka akan menjual ayam di pasar
rningguan jika mereka membutuhkan uang untuk membeli gula, sabun, atau tembakau
88
Seekor ayarn berukuran sedang d i u d seharga Rp.5.000 dan yang besar Rp.lO.OOO -
Rp.20 000. Jika ada keperluan adat, babi dapat ditukar dengan sapi. Babi yang
berumur 2 tahun bisa ditukar dengan seekor sapi yang berusia satu adik. Jual beli
dengan sistem barter seperti ini biasanya berlaku di kalangan penduduk Mutis sendiri #
Dahulu penduduk Mutis menjual hasil pertanian dan temak mereka ke Kapan
Kini harga penjualan ditentukan oleh para tengkulak, sehingga penduduk cendemng
menjual hasil pertanian dan peternakan mereka di desa mereka sendiri, dan pembeli
yang datang mencari ke desa-desa. Dengan demikian petani pemilik yang akan
menjual hasil pertanian atau ternak bisa menentukan harga yang mereka inginkan.
IL11.4 Hasil hewan buruan
Hasil hewan buman seperti rusa, babi hutan, bumng, kus-kus, dan lain-lain
tidak dipejualbelikan oleh penduduk lokal, tetapi hanya dikonsumsi sendiri. Jika hasil
buruan berlebihan, mereka menyimpannya sebagai makanan cadangan di musim
penghujan karena mereka tidak dapat ketuar kampung untuk berburu
top related