hukum, moral, dan politikfrdaus/penelusuraninformasi/tugas2/data/makalah_2.pdf · dan politik...
Post on 27-Jan-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Hukum, Moral, dan Politik
Materi Studium Generale untuk Matrikulasi Program Doktor
Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang, tanggal
23 Agustus 2008
Studium Generale ini akan mengupas hubungan antara hukum, moral,
dan politik. Masalah utama yang akan dibahas adalah sulitnya pembuatan dan
penegakan hukum yang responsif di Indonesia karena, antara lain, lemahnya
moralitas para pembuat dan penegaknya serta sistem politik yang tidak kondusif.
Dasar etik dan moralitas hukum
Pembahasan mula-mula akan ditekankan pada hubungan hukum dengan
etika dan moral terutama dalam kaitannya dengan hukum sebagai kristalisasi
dari nilai-nilai etik dan moral yang diformalkan secara gradual menjadi hukum.
Materi ini dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan para penstudi hukum
bahwa dilihat dari sumber materiilnya hukum adalah kristalisasi atau formalisasi
dari kaidah-kaidah atau norma lainnya di dalam masyarakat yang kemudian
mempunyai sifat sendiri yakni bersifat memaksa dan dapat dipaksakan dengan
kekuatan penegak hukum.
Salah satu masalah yang sekarang timbul adalah terlepasnya sukma
hukum yakni keadilan dari banyak proses penegakan hukum karena hukum
kemudian lebih banyak dihayati sebagai persoalan teknis-prosedural semata.
Banyak sekali orang yang melanggar etika dan moral tetapi merasa atau bersikap
seakan-akan tidak bersalah karena belum diproses secara hukum, tepatnya
belum dibuktikan sebagai tindakan yang salah secara hukum oleh pengadilan.
Padahal pada waktu yang bersamaan proses hukum di lembaga peradilan juga
menghadapi masalah besar karena banyak dihinggapi oleh penyakit judicial
corruption.
Akibatnya, hukum kemudian menjadi alat permainan untuk mencari
kemenangan di dalam sengketa atau berperkara di pengadilan dan bukan untuk
menegakkan keadilan, kebenaran, dan ketertiban di dalam masyarakat.
Penegakan hukum kemudian bermain atau terjebak di dalam permainan norma-
norma tanpa mempedulikan manusianya sebagai subyek yang harus dilayani
dengan hukum yang bersukmakan keadilan serta berlandasan etika dan moral.
Di sinilah letak perlunya upaya mendiagnosis letak etika dan moral dalam
perkembangan hukum kita pada saat ini.
Hukum dan politik
Selain terlepasnya kedilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari
etika dan moral, masalah lain yang kita hadapi adalah hubungan antara hukum
dan politik sebagai dua subsistem kemasyarakatan. Dalam hal-hal penting
tertentu hukum lebih banyak didominasi oleh politik sehingga sejalan dengan
melemahnya dasar etik dan moral, pembuatan dan penegakan hukum banyak
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik kelompok dominan yang sifatnya
teknis, tidak subtansial, dan bersifat jangka pendek.
Secara teoritis hubungan antara hukum dan politik memang dapat
dibedakan atas tiga model hubungan. Pertama, sebagai das Sollen, hukum
determinan atas politik karena setiap agenda politik harus tinduk pada aturan-
aturan hukum. Kedua, sebagai das Sein, politik determinan atas hukum karena
dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga hukum apa pun yang
ada di depan kita tak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik
yang saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum berhubungan secara
interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim sedangkan hukum tanpa
pengawalan politik akan lumpuh.
Pembahasan kita dalam studium generale ini akan menyorot teori atau
berangkat dari asumsi bahwa sebagai kenyataan “politik determinan atas
hukum.” Pilihan kita pada fokus ini sejalan dengan masalah terlepasnya keadilan
sebagai sukma hukum yang bersumber dari etika dan moral.
Dengan demikian di dalam studium generale ini kita akan membedah
hubungan sebab akibat dan kait kelindan antara hukum, moral, dan politik.
Perubahan politik dan perubahan hukum1
Meskipun reformasi yang berintikan penegakan supremasi hukum sudah
berjalan lebih dari sepuluh tahun (sejak Mei tahun 1998) namun sekarang ini
masih banyak keluhan bahwa supremasi hukum tak tegak-tegak.2 Mestinya
dengan adanya reformasi situasi penegakan hukum dapat lebih baik, tetapi
nyatanya tidak juga. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih merajalela,
mafia peradilan, tepatnya judicial corruption, ditengarai semakin menggila.
Melihat situasi yang buruk itu seorang peserta program doktor di Undip
Semarang pernah bertanya kepada penulis: mengapa hukum tetap buruk meski
sudah ada reformasi? Bukankah kita melakukan reformasi karena ingin
membangun demokrasi agar hukum bisa berjalan baik dan dapat ditegakkan?
Apakah tesis Bapak bahwa hukum berubah jika politik berubah tidak berlaku
untuk kasus Indonesia?3
Penulis menjawab bahwa hal itu terjadi karena perubahan politik kita di
era reformasi ini bukan berubah dari otoriter ke demokratis melainkan dari
otoriter ke oligarkis, meskipun pada awalnya agak demokratis juga. Hukum
adalah produk politik sehingga jika politiknya tidak baik, maka hukumnya pun
1 Bagian ini dan butir-butir berikutnya disunting dan ditulis kembali dari beberapa makalah saya, antara lain, Sepuluh Tahun Penegakan Hukum dalam Pemerintahan RI Pasca Reformasi,yang dipresentasikan pada Seminar Nasional tentang Sepuluh Tahun Pembangunan Hukum, Ekonomi, dan Kiprah Otonomi Daerah Bagi Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat yang diselenggarakan dalam rangka Pelantikan Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA-UII) Propinsi Jambi tanggal 5 Juni 2008 di Jambi. 2 Pada bulan Mei tahun 2007 saya meluncurkan buku Hukum Tak Kunjung Tegak (PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007) yang berisi kumpulan artikel tentang betapa mandulnya hukum kita jika berhadapan dengan politik. 3 Pada tahun 1993 saya menulis disertasi doktor di UGM yang salah satu temuan tesisnya menyebutkan bahwa karena hukum adalah produk politik maka jika politik berubah hukum pun akan berubah; politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif sedangkan politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks.
tidak akan baik. Demikianlah penulis menjawab kepada mahasiswa program
doktor yang tampak sangat kecewa dengan perjalanan reformasi kita itu.
Berdasar asumsi bahwa hukum adalah produk politik4 maka tampaklah
fakta di depan kita bahwa begitu politik berubah hukum juga berubah. Perubahan
itu akan sejalan dengan perubahan sistem politiknya. Kita menyaksikan sendiri
betapa begitu rezim Orde Baru jatuh maka hampir semua hukum atau UU produk
politik Orde Baru diganti. Begitu juga di masa yang lebih lampau kita
menyaksikan penggantian hukum-hukum yang dibuat oleh Orde Lama begitu
Orde Baru menggantikan rezim yang diperintah oleh Presiden Soekarno itu.
Bahkan tampak jelas juga bahwa hukum-hukum lama segera harus diganti begitu
politik kolonial (penjajahan) diganti dengan politik nasional (kemerdekaan,
kebangsaan) pada tahun 1945.
Pada era reformasi penggantian hukum (terutama dalam arti peraturan
perundang-undangan) itu mula-mula menyentuh level UU yang secara lebih
khusus berbagai UU dalam bidang politik, sehingga kita melihat terjadinya
penggantian UU kepartaian, UU lembaga perwakilan, UU pemilu, UU
Pemerintahan Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Tindak Pidana Korupsi,
Pencabutan UU Subversi, dan sebagainya. Sampai dengan tahun 2008 ini rezim
reformasi sudah melahirkan tidak kurang dari 200 UU yang lebih dari 30 di
antaranya adalah UU yang lahir dari hak inisiatif DPR.
Perubahan itu kemudian (sejak tahun 1999) menyentuh level yang lebih
tinggi daripada UU yakni Tap MPR dan UUD. Mula-mula beberapa Tap MPR
dicabut dan diganti serta dibuat Tap-tap MPR yang baru yang dianggap lebih
demokratis. Kemudian dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD yang
dikerjakan dalam empat tahap dan meniadakan Ketetapan MPR sebagai bagian
dari peraturan perundang-undangan di dalam tata hukum kita. Tentang ini pada
tahun 2003 MPR mengeluarkan Tap No. I/MPR/2003 yang oleh masyarakat
dikenal sebagai Tap Sapu Jagat yang berisi pemosisian kembali secara hukum
4 Secara ilmiah ada dua asumsi lain mengenai hubungan antara politik dan hukum yaitu asumsi bahwa hukum determinan atas politik dan asumsi bahwa politik dan hukum berhubungan secara interdependen atau interdeterminan.
semua Tap MPR/S yang pernah ada sebagai peraturan perundang-undangan
level kedua (di bawah UUD, di atas UU). Di dalam Tap Sapu Jagat ini ada Tap
MPR yang dinyatakan masih berlaku, ada yang dinyatakan dicabut, ada yang
dinyatakan berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil pemilu tahun 2004,
ada yang dinyatakan masih berlaku sampai dibentuknya UU yang
menggantikannya, ada yang dinyatakan masih berlaku sampai selesai isi
perintahnya (seperti Tap tentang Timtim) dan ada yang dinyatakan tidak berlaku
dengan sendirinya karena sifatnya yang einmalig (sekali berlaku dan selesai).
Menurut penulis, perubahan UUD kita setelah reformasi ini hanyalah satu
kali tetapi disahkan dalam empat tahap. Mengapa? Karena sebenarnya selama
empat tahun MPR tak berhenti membahas perubahan itu, hanya saja
pengesahannya dilakukan setiap bulan Agustus sesuai dengan capaian tahapan
perubahan itu. Antara bulan Agustus setelah pengesahan ke bulan Agustus tahun
berikutnya MPR melalui Panitia Ad Hoc I tak pernah berhenti membahas
perubahan UUD tersebut. Oleh sebab itu tidaklah benar kalau dikatakan bahwa
MPR terlalu ceroboh karena dalam empat tahun mengubah UUD sampai empat
kali. Yang benar selama empat tahun itu MPR hanya sekali mengubah UUD
karena faktanya perubahan itu berkelanjutan dan bukan mengamandemen
terhadap hasil amandemen tahun sebelumnya. Perubahan itu didasarkan pada
kesepakatan dasar dengan satu konsepsi tertentu yang dipatok sejak tahun 1999.
Namun karena proses pembahasan dan perdebatannya panjang maka
pengesahannya dilakukan secara bertahap setiap Sidang Tahunan MPR pada
bulan Agustus sesuai dengan capaian pembahasan dan kesepakatan setiap
tahun.5 Bahwa hasilnya menimbulkan perdebatan dan kekecewaan di kalangan
sebagian masyarakat itu adalah biasa, sebab, apa pun isi dan hasil amandemen
itu merupakan kesepakatan politik yang pasti ada yang setuju dan ada yang tak
5 Dalam makalah yang saya presentasikan 21 Nopember 2007 di kampus UI, Depok Jakarta, saya membuat perbandingan tentang waktu yang diperlukan serta keseriusan pembahasan antara UUD 1945 asli oleh BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945 dan UUD 1945 hasil amandemen oleh MPR yang ternyata UUD hasil amandemen jauh lebih lama dibahas dan didiskusikan dengan serius jika dibandingkan dengan UUD 1945 yang asli yang menurut Bung Karno sendiri merupakan UUD kilat sebagai produk situasi darurat agar segera merdeka. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD 1945,” makalah untuk Seminar Sehari Meninjau Kembali Prospek dan Agenda Perubahan UUD 1945 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UI tanggal 21 Nopember 2007.
setuju. Yang penting prosedurnya benar dan demokratis, sebab kata KC Wheare
konstitusi itu merupakan resultante atau kesepakatan-kesepakatan politik sesuai
dengan situasi poleksosbud pada waktu dibuat. Sebagai kesepakatan politik amat
sulit mengharapkan sebuah konstitusi disetujui oleh semua orang. Bahwa hasil
perubahan yang ada sekarang itu secara struktur dan sistematika terlihat kurang
baik, juga disebabkan oleh karena kesepakatan-kesepakatan yang harus dibuat
dan kemudian tak dapat dihindari.
Hukum belum efektif
Jika kita amati dan rasakan, ternyata sampai saat ini hukum belum efektif
memberantas korupsi, terlihat dari berita tentang korupsi sehari-hari di media
massa kita dan dari hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang
setiap menempatkan Indonesia sebagai negara yang indeks persepsi korupsinya
selalu rendah, dalam arti selalu menjadi salah satu negara dari lima negara yang
paling korup di dunia.
Mungkin banyak di antara kita yang kecewa ketika ternyata setelah
sepuluh tahun reformasi KKN bukannya hilang, tetapi semakin merebak dan
menjadi wabah menular termasuk kepada mereka yang dulu dikenal sebagai
pejuang-pejuang reformasi. Kita dikejutkan oleh tragedi korupsi di KPU yang
melibatkan mantan aktivis LSM penegakan hukum dan HAM serta beberapa guru
besar yang dulunya menawarkan konsep-konsep reformasi.6 Kita tersentak ketika
Menteri Agama dan salah seorang dirjennya dijatuhi hukuman penjara karena
terbukti mengorupsi Dana Abadi Ummat. Bahkan kita bergidik ketika Dirut
Bulog ditangkap dengan tuduhan korupsi ratusan miliar rupiah yang diduga
melibatkan istri, anak, saudara, dan menantunya. Kita bergidik dan geram ketika
ternyata ada jaksa dan beberapa anggota DPR ditangkap oleh KPK karena nekat
melakukan korupsi pada saat kita (dan mereka) sedang berteriak keras untuk
memberantas korupsi.
6 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Sudah Habis Teori di Gudang,” dalam harian KOMPAS, 11 Oktober 2005.
Yang paling spektakuler adalah kasus penyuapan Artalyta Suryani (Ayin)
terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang megguncang dunia hukum pada tahun
2008. Jaksa Urip Tri Gunawan digelandang ke pengadilan Tipikor karena
tertangkap basah menerima suap lebih dari Rp 6.000.000.000,- (enam miliar)
dari Artalyta Suryani yang didakwa mengurus perkara BLBI yang melibatkan
Sjamsul Nursalim. Spektakulernya, karena ternyata selain uang yang diurus
berjumlah triliunan rupiah, semula keduanya menyangkal uang yang disita
karena tertangkap tangan itu sebagai suap. Tetapi rekaman-rekaman penyadapan
telepon yang kemudian tidak dapat disangkal oleh keduanya telah meyakinkan
majelis hakim Tipikor bahwa tindak pidana penyuapan itu adalah benar atau
terbukti secara sah dan meyakinkan sehingga Ayin dijatuhi hukuman pidana
penjara maksimal sebagai penyuap yakni lima tahun penjara.
Korupsi telah menjadi penyakit yang sangat berbahaya yang menyebar di
semua lini kehidupan masyarakat serta melibatkan banyak yang tadinya tidak
kita sangka akan terlibat.
Dalam satu tulisan penulis pernah mengemukakan, akibat ranjau korupsi
yang menggila dan melibatkan banyak tokoh seperti itu maka banyak politisi dan
aparat penegak hukum yang kemudian melakukan politik kancil pilek atau politik
sariawan. Para politisi yang tadinya galak kemudian menjadi berperangai halus
dan arif dan meminta tak buru-buru memvonis orang korupsi serta ber-
suudzdzan. Aparat penegak hukum jerih, saling lempar badan karena tak mau
berbenturan dengan partai politik yang pimpinannya diindikasikan terlibat
korupsi. Padahal semua aparat penegak hukum langsung dapat bergerak untuk
memroses dugaan tindak pidana yang bisa dijerat dengan berbagai kategori:
korupsi, pencucian uang, gratifikasi, dan lain-lain.
Mengapa KKN merajalela dan hukum tetap tak tegak? Jawabannya dapat
diberikan dengan analisis dari sudut politik maupun dari sudut pembangunan
hukum.
Penulis mencatat sekurang-kurangnya ada empat hal yang menyebabkan
keadaan ironis terus berlanngsung. 7
1. Reformasi hanya memotong puncak
Ketika melakukan reformasi pada 1998 kita hanya memberhentikan
presiden dan kabinetnya tanpa sekaligus melakukan reformasi birokrasi, padahal
birokrasi yang mencakup sistem, prosedur dan para pejabatnya merupakan
birokrasi yang sangat korup karena dibangun secara korup pula selama puluhan
tahun.
Dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi di dalam birokrasi yang
masih korup ini yang terjadi adalah situasi saling blokade dan saling ancam di
antara mereka yang harus ditindak dan harus melakukan tindakan karena sama-
sama punya masalah korupsi. Seorang yang bertugas melakukan tindakan hukum
terpaksa harus berhenti ketika pihak yang akan ditindak menunjuk balik bahwa
dirinya pun sebagai aparat yang harus memeriksa juga punya catatan tidak
bersih.
Orang-orang baru yang ’reformis’ bisa dikepung oleh kawanan birokrat
lama untuk tidak dapat berdaya menghadapi korupsi yang terus berjalan tanpa
takut, malah pejabat baru yang hadir dengan misi memberantas korupsi itulah
yang dapat terlempar jika mau nekat membersihkan birokrasi.8 Dalam situasi
seperti ini maka seringkali, dan banyak sekali, kasus yang menggegerkan
masyarakat tiba-tiba hilang dari pemberitaan yang ketika ditanya ke mana kasus
itu jawabannya adalah ’tak cukup bukti.’ Padahal yang terjadi di sini adalah saling
7 Ketika menjadi Presiden Megawati pernah mengatakan bahwa dirinya bisa saja memegang leher para menteri untuk memberantas korupsi tetapi karena birokrasinya korup maka para menteri itu pun tak bisa berbuat apa-apa. Kata Megawati dirinya mewarisi birokrasi “tong sampah.” Itu adalah pernyataan yang benar dan sangat mudah dibuktikan. 8 Di awal reformasi ada seorang pejabat baru yang menemukan pengeluaran uang negara oleh sebuah kementerian sampai bermiliar-miliar rupiah di luar ketentuan yang harus dibayarkan oleh negara kepada pihak ketiga. Ternyata kelebihan uang itu dijadikan bancakan oleh kroni dan anak pejabat di kementerian itu. Ketika dilapori Presiden setuju untuk diusut dan dilaporkan ke kajaksaan agung. Ketika pelaporan itu sudah berproses sang pejabat baru yang menemukan kasus itu tiba-tiba dipindah untuk menduduki jabatan lain (disingkirkan secara halus) dan kasus itu jadi lenyap dari peta korupsi.
menutupi dari borok korupsi masing-masing dan bukan benar-benar tak cukup
bukti awal untuk terus diproses secara hukum.9
2. Masih dominannya pemain-pemain lama
Selain itu keadaan sekarang ini disebabkan juga oleh masih leluasanya
pemain-pemain politik lama yang dulunya ikut membangun sistem yang korup
untuk terus menguasai panggung politik. Semula, atas nama demokrasi dan
perlindungan HAM, kita tidak punya alasan untuk melarang orang tetap aktif di
panggung politik. Tapi justru itulah pula yang menyebabkan banyaknya tokoh
lama yang tetap leluasa menjadi aktivis parpol. Ketika harus terlempar dari
wadah yang lama mereka bisa berloncatan dari parpol lama ke parpol lama yang
lain atau mendirikan parpol baru. Oleh sebab itu dalam keadaan seperti sekarang
ini tidak dapatlah kita mengatakan ada parpol yang baik atau jelek, sebab dalam
kenyataanya di setiap parpol ada orang-orang yang jelek dan ada orang-orang
yang baik secara bercampur-baur dengan kecenderungan institusional yang
korup. Oleh sebab itu cap ”reformis” atau ”antireformasi” tak dapat dilekatkan
pada satu parpol mana pun melainkan pada orang-orang yang mengendalikan
parpol yang dapat berada di parpol mana saja.10
3. Politisi baru yang tanpa visi
Banyak juga politisi baru yang hadir ke panggung politik melalui parpol
tanpa visi dan misi untuk melakukan reformasi. Mereka hadir ke panggung
9 Sebagai contoh kasus pembongkaran ijazah yang diperoleh secara tidak wajar seperti membeli tanpa belajar atau mendapat ijazah kehormatan tanpa kriteria yang jelas, seperti yang pernah ditulis sebagai Doktor Kucing oleh mantan Rektor Undip Eko Budihardjo. Semula diumumkan oleh Polri adanya puluhan ribu kasus seperti itu namun ternyata sampai sekarang tak ada kabarnya lagi. Katanya sulit mencari ketentuan itu di dalam hukum pidana; padahal kalau mau bersungguh-sungguh hal itu bisa dijerat dengan ketentuan pidana yang ada di dalam UU Sisdiknas maupun KUHP seperti berdasar hasil kajian beberapa perguruan tinggi. Sebenarnya masalahnya bukan tidak ada ketentuan hukum pidana yang mengancam itu melainkan karena banyak perwira tinggi Polri, perwira TNI, dan mantan pejabat tinggi yang disebut-sebut juga memiliki ijazah secara tidak wajar seperti yang nama-namanya pernah dimuat di berbagai media massa.. 10 Ketika oleh beberapa Penggugat saya diminta menjadi saksi untuk pembubaran Golkar di Mahkamah Agung pada tahun 2001 saya menolak karena, dengan bercampurbaurnya tokoh-tokoh parpol seperti sekarang, tak mungkin kita menyalahkan satu parpol untuk dibubarkan sambil mengatakan bahwa parpol lain bersih. Bagi saya yang penting untuk diburu dan diadili bukanlah partai politiknya melainkan oknum-oknum koruptornya yang itu bisa ada di partai mana pun, termasuk di dalam partai yang meneriakkan adanya korupsi di partai lain.
politik karena tiba-tiba mendapat peluang atas wadah yang harus mereka isi
tanpa syarat kualitas tertentu karena memiliki massa pendukung. Bahkan jika
dilihat dari fakta banyaknya tokoh-tokoh parpol, terutama di tingkat lokal, yang
bermasalah dengan hukum karena KKN, dapat dikatakan bahwa mereka hadir ke
panggung politik bukan dengan misi untuk memperbaiki melainkan ingin ikut
menikmati juga peluang-peluang KKN yang dulunya tak dapat mereka peroleh.
Keadaan ini disebabkan oleh tidak adanya sumber daya manusia yang
cukup berkualitas di kalangan parpol-parpol terutama di tingkat lokal sebagai
akibat dari sistem politik Orde Baru yang puluhan tahun sangat hegemonik.
4. Rekrutmen politik yang tertutup
Penyebab lainnya adalah sistem rekrutmen politik yang tertutup baik
untuk legislatif maupun untuk eksekutif. Jika mengambil contoh kabinet yang
memimpin eksekutif sekarang ini maka terlihat bahwa penempatan pejabat-
pejabat puncak di eksekutif yang secara formal menjadi hak prerogatif presiden,
dalam praktiknya harus dilakukan melalui negosiasi politik antara presiden dan
elit parpol atau pendukung kampanye pilpres dalam rangka kompensasi politik
sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan. Presiden yang mempunyai niat baik
untuk mebentuk kabinet yang terdiri dari para ahli dan profesional terjebak
dalam transaksi politik yang tak dapat dihindari. Akibatnya, pembentukan
zaken kabinet (kabinet ahli dan profesional) yang dijanjikan tak bisa dilakukan
dengan leluasa, bahkan fit and proper test yang semula dilakukan untuk calon
pejabat pada saat terakhir pembentukan kabinet tidak lagi menjadi pertimbangan
utama, lebih-lebih pada saat reshuffle.
Untuk lembaga legislatif rekrutmen politik yang tertutup ini terutama
melekat pada sistem pemilu yang dipergunakan untuk merekrut wakil-wakil
rakyat yakni sistem proporsional, dimana penentuan anggota lembaga
perwakilan rakyat dapat dikatakan sepenuhnya tergantung pada pimpinan partai,
rakyat hanya memilih gambar parpol sedangkan calon-calon ditetapkan oleh
pengurus parpol berdasarkan nomor urut yang dapat disusun berdasar posisi,
transaksi, atau kedekatan politik.
Dalam hal-hal yang penting situasi tersebut telah menimbulkan sistem
politik yang oligarkis, bukan lagi demokratis, karena demokrasi itu sendiri telah
dirampok oleh para elitenya. Maka jangan heran jika kemudian hukum tidak
responsif dan dunia peradilan juga korup sebab tak mungkin hukum dan
peradilan itu menjadi baik jika politik yang melatarbelakanginya tidak
demokratis melainkan oligarkis seperti sekarang ini.
Peradilan yang korup
Selain lembaga legislatif dan eksekutif kita juga merasakan bahwa judicial
corruption di lembaga yudikatif tak kalah maraknya. Kebebasan lebih luas yang
diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (mula-mula dimuat di dalam
UU No. 35 Tahun 1999) kepada para hakim bukan hanya digunakan oleh hakim
untuk bebas dari intervensi kekuatan luar dalam memutus perkara tetapi juga
oleh sebagian hakim digunakan sebagai kebebasan untuk melakukan korupsi
peradilan dengan berbagai variasinya. Ada kasus Herman Alositandi dan ada
kasus Harini Wijoso yang semuanya sudah dihukum, dan ada kasus penyuapan
jaksa Tri Urip Gunawan dan Artalyta Suryani yang kini penyuapnya sudah
divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor karena telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bahwa yang bersangkutan memang menyuap.
Ini tragis, sebab lembaga peradilan adalah leading sector dalam
pemberantasan KKN. Logikanya begini: Indonesia hancur dan terperosok ke
dalam krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga
peradilan juga korup. Karena lembaga kekuasaan kehakiman yang korup maka
lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti kejaksaan, kepolisian, dan
pengacara juga menjadi semakin korup.11
Kreativitas korupsi
11 Dua tahun lalu ini ada dua jaksa yang dipecat karena meminta uang suap dalam satu kasus, sekarang banyak polisi (sampai tingkat perwira) yang diadili karena korupsi. Kita tentu belum lupa ketika seorang pengacara kondang dilaporkan telah merekayasa saksi untuk memberi keterangan palsu dengan imbalan tertentu, tapi kasus ini sekarang menguap mungkin karena kolusi juga.
Ada yang mengatakan bahwa keadaan ini adalah warisan budaya
Indonesia. Karena merupakan warisan budaya maka kita sangat banyak akal
untuk selalu korupsi. Bagaimana pun kita mengatur hal-hal penting agar
menjadi baik atau menjadi bersih dari KKN maka peraturan itu menjadi tidak
efektif karena selalu dapat diakali untuk dikorupsi atau dimanipulasi.12 Seperti
akan dikemukakan kemudian penulis sendiri tidak terlalu percaya bahwa
keadaan buruk ini timbul dan berlangsung karena budaya kita memang budaya
korup sehingga sangat kreatif untuk korupsi; namun marilah kita lihat contoh
betapa memang kreatifnya banyak di antara kita untuk melakukan korupsi.
1. Penyatuatapan pembinaan hakim
Dulu kita berteriak agar pembinaan hakim diletakkan di bawah satu atap
Mahkamah Agung (MA). Asumsinya jika para hakim bebas dari pengaruh atau
intervensi pemerintah maka kinerja hakim akan lebih baik karena dia dapat
memutus perkara tanpa harus takut berefek pada status kepegawaian dan
stabilitas finansialnya. Namun setelah penyatuatapan itu dilakukan, seperti
dikemukakan di atas, dunia peradilan bukan menjadi lebih baik sebab ”mafia
peradilan” dan judicial corruption yang melibatkan hakim malah semakin marak.
Kebebasan yang diberikan kepada hakim ternyata oleh sebagian hakim
digunakan bukan sekedar untuk membebaskan diri dari intervensi pemerintah
melainkan digunakan untuk berbuat berbagai hal yang tidak patut, termasuk
melakukan korupsi.
2. Penghapusan recall anggota DPR/DPRD
Dulu kita juga selalu berteriak agar tidak ada recall (pemberhentian di
tengah jalan) bagi anggota DPR/DPRD kecuali karena meninggal, mengundurkan
diri, atau dijatuhi hukuman pidana dengan kualifikasi tertentu. Maksudnya agar
para wakil rakyat bisa kritis dan tidak takut untuk menyuarakan aspirasi rakyat.
12 Perlu ditekankan bahwa istilah korupsi tidak harus diartikan menurut hukum yang mensyaratkan tiga unsur komulatif, yaitu: 1)melawan hukum, 2)memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, 3)merugikan keuangan negara. Secara umum korupsi bisa berupa tindakan memanfaatkan kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri yang dalam praktik dapat berupa korupsi konvensional dan korupsi nonkonvensional.
Tetapi setelah tak bisa direcall banyak anggota lembaga perwakilan rakyat yang
berperilaku korup dan amoral, banyak yang terlibat korupsi, perjudian,
perbuatan asusila, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Ketika disorot
mereka seakan menantang balik karena tidak bisa direcall kecuali setelah ada
putusan pengadilan, padahal selain lama, proses peradilan itu masih bisa
dikolusikan.
3. Otonomi luas bagi Daerah
Dulu kita juga meneriakkan agar sistem desentralisasi kita menganut asas
otonomi luas dan DPRD diberi kedudukan politik yang kuat sebagai lembaga
Legislatif Daerah yang sejajar dengan lembaga Eksekutif Daerah. Tapi yang
terjadi sesudah itu adalah merebaknya korupsi di kalangan oknum-oknum
anggota DPRD. Banyak anggota DPRD yang kemudian berkolusi atau bahkan
memeras kepala daerah dengan ancaman ’halus’ LPJ-nya akan ditolak dan/atau
akan dijatuhi mosi tak percaya jika permintaan itu tak dipenuhi. Saat pemilihan
kepala daerah yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 dipilih oleh DPRD banyak
oknum anggota DPRD yang diberitakan menjual suaranya kepada calon tertentu.
Yang kemudian muncul sebagai pemenang adalah kepala daerah yang mampu
membeli suara terhadap lebih dari separoh dari seluruh anggota DPRD, bukan
kepala daerah yang berkualitas dan amanah.
4. Penghidupan recall dan Pilkada langsung
Berdasar pengalaman buruk atau rapor anggota DPRD berdasar UU No.
22 Tahun 1999 itu maka pada tahun 2002 UU tentang Parpol dan UU tentang
Susduk MPR/DPR/DPD/DPRD diubah lagi dengan menghidupkan kembali
lembaga recall yang diserahkan kepada Pimpinan Parpol. Pemilihan kepala
daerah pun diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 menjadi pemilihan langsung
sehingga anggota DPRD tak bisa lagi menjual suaranya kepada calon kepala
daerah.
Tetapi lagi-lagi kreativitas korupsi muncul dari pintu lain. Kalau dulu
anggota DPR/DPRD bisa melakukan manipulasi karena tak dapat direcall,
sekarang gantian pengurus parpol yang dapat mengancam akan (dan sudah
terbukti ada yang) merecall anggotanya dengan alasan yang masih kontroversial.
Pada pihak lain setelah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
langsung dan anggota DPRD tak dapat menjual suaranya secara eceran maka
giliran oknum pengurus parpol yang kini gencar diberitakan memungut uang
yang tidak sedikit untuk keluarnya sebuah rekomendasi pencalonan. Kasus
pilkada DKI dulu diramaikan oleh gugatan calon-calon yang gagal diusung
karena mereka telah membayar uang kepada (oknum) parpol.13 Sungguh, orang
kita ini sangat kreatif untuk korupsi.
Apakah karena budaya?
Tampak dan terasalah bahwa berbagai peraturan perundang-undangan
untuk membetrantas KKN dan menegakkan hukum selalu bisa diakali untuk
dikorupsi. Itulah yang kemudian dijadikan salah satu argumen untuk
mengatakan bahwa korupsi adalah budaya kita; sebab bagaimana pun kita
mengatur untuk mengubah kebiasaan korup itu ternyata selalu muncul
kreativitas untuk mengakalinya lagi.
Benarkah begitu? Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian
Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, mengatakan ”nonsens” jika
dikatakan korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Dalam kaitannya
dengan dunia peradilan menurut Pompe judicial corruption baru muncul setelah
peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan
mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer. Itu terjadi ketika Soeharto mulai
melangkah untuk mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan
13 Saat ini sudah ada UU No. 10 Tahun 2008 yang membuka pintu bagi calon perseorangan (sering disebut sebagai calon i ndependen) di dalam Pilkada. UU merupakan follow up atas putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa calon perseorangan harus diberi peluang mengikuti pilkada sebab banyak calon yang potensial tetapi tidak mendapat parpol pendukung sebagai kendaraan untuk berkompetisi di dalam pilkada.
kehakiman. 14Sejak itu, kata Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian
amplop atau upeti) di kalangan hakim.15
Penulis sependapat dengan Pompe. Hasil studi yang pernah penulis
lakukan menujukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya
pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui
pimpinan-pimpinan yang tegas dan penuh integritas. Pada periode itu kita
mencatat nama harum Jaksa Agung Soeprapto yang tegas mengajukan siapapun,
termasuk menteri, ke pengadilan karena melakukan tindak pidana; begitu juga
pada saat itu terlihat munculnya hakim-hakim yang jujur dan berani menghukum
pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.
Dengan demikian pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak
dapat kita terima karena dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan
fakta sejarah; kedua, kalau kita mempercayai pandangan itu berarti percaya pula
bahwa apa pun yang akan kita lakukan akan cenderung gagal sebab budaya itu
sangat sulit untuk diubah.
Etika dan Moral Tak Landasi Penegakan Hukum16
Selanjutnya marilah kita lihat hubungan antara hukum, khususnya
penegakan hukum, dengan etika dan moral. Seperti dikemukakan di atas, banyak
sekali pelanggar hukum (termasuk penegak hukum yang sengaja melanggar
hukum melalui judicial corruption) yang mempermainkan formalitas hukum
untuk melemahkan hukum itu sendiri. Atas nama kepastian hukum banyak
pelanggar hukum yang bersikap dan berlagak tidak salah hanya karena belum
dibuktikan kesalahannya di pengadilan. Padahal secara etik dan moral mereka
14 Pada era Orde Lama di bawah Bung Karno pengadilan juga dikooptasi oleh eksekutif sehingga tak berdaya, tetapi ketika itu ketidakberdayaan lembaga peradilan lebih merupakan ketidakberdayaan politik yang kemudian dituangkan secara resmi di dalam UU bahwa Presiden dapat mengintervensi Pengadilan. Buruknya dunia peradilan sekarang bukan pada soal politik tetapi disinyalir lebih dipengaruhi oleh jual beli perkara. 15 Lihat dalam majalah mingguan GATRA No. 21 Tahun XII, tanggal 8 April 2006. 16 Bagian ini dan beutir-butir berikutnya disunting dan ditulis ulang dari makalah penulis yang disampaikan sebagai orasi ilmiah pada wisuda sarjana Universitas Islam Kadiri (UNISKA) tanggal 15 Desember 2007 yang kemudian ditulis ulang dan dipresentasikan dengan judul “Kepemimpinan Nasional yang Berbasis Konstitusi” pada Seminar Nasional tentang Kepemimpinan Nasional yang diselenggarakan oleh Keluarga Alumni UII Wilayah Sulawesi Selatan dan CDLS Yogyakarta di Palembang tanggal 5 Mei 2008.
ini nyata-nyata bersalah atau sekurang-kurangnya ada common sense
(pandangan umum yang wajar) bahwa mereka bersalah. Mereka bebas
berkeliaran kemana-mana sambil berorasi tentang pembangunan dan penegakan
hukum. Mereka tidak mau mundur dari jabatannya dengan alasan belum
dibuktikan oleh pengadilan dirinya bersalah, padahal pengadilan selain
memakan waktu lama juga mengalami krisis kepercayaan. Akibatnya, ada
guyonan agak sinis bahwa negara kita ini dipimpin oleh para pelaku kriminal,
utamanya para koruptor, yang berlindung di bawah formalitas-formalitas
hukum.
Hal ini ada kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan kita yang lebih
banyak berorientasi pada keahlian teknis bahkan lebih buruk dari itu
berorientasi pada pengeluaran ijasah untuk dijadikan tiket meraih kedudukan
tertentu di pemerintahan dan di tengah-tengah masyarakat.
Marilah kita fokuskan perhatian kita pada kinerja hukum sebagai akibat
runtuhnya etika keilmuan dan integritas kecendekiawanan dari konsepsi
pendidikan yang juga salah dalam bidang hukum.
Pada saat ini banyak sekali orang melakukan pelanggaran hak-hak negara
dan hak masyarakat tetapi merasa tidak bersalah karena tidak merasa melanggar
hukum formal. Mereka dengan senaknya merampok hak-hak masyarakat tetapi
karena tidak salah secara hukum formal maka mereka merasa tak melakukan
kesalahan apa pun. Hukum formal kemudian dijadikan alasan untuk berlindung
dari kejahatan etik dan moral padahal hukum formal itu merupakan legalisasi
dari etika dan moral. Artinya sebenarnya semua hukum formal itu adalah etika
dan moral yang diformalkan. Oleh sebab itu seharusnya etika dan moral itu lebih
diutamakan dari sekadar formalitas-formalitas hukum.
Dalam kaitan etika ini penulis pernah menyajikan artikel di Harian Jawa
Pos berjudul “Politik-Hukum Kancil Pilek,”17 Di dalam cerita fiktif ini dikisahkan
bahwa orang bisa menjadi tak jujur dan tidak berani berbicara apa adanya karena
tersandera oleh keadaan, dihegemoni oleh kekuatan di luar dirinya, dan takut
untuk mengatakan sesuatu yang salah karena dirinya sendiri melakukan
17 Moh. Mahfud MD, “Politik-Hukum Kancil Pilek,” dalam harian Jawa Pos, (tanggal, tak terlacak tapi sekitar Mei 2007).
kesalahan yang sama sehingga dia bersikap seperti kancil pilek dalam cerita di
bawah ini.
Syahdan di sebuah hutan rimba hiduplah harimau si raja rimba yang
memerintah rimba itu dengan sewenang-wenang dan kejam. Pada suatu hari
sang harimau mendengar kabar, di kalangan rakyatnya beredar gunjingan bahwa
badan sang raja bau, pesing, dan membuat mual binatang lain. Merasa risih
dengan desas desus itu. Si raja rimba memanggil tiga pimpinan binatang untuk
mendapat kepastian.
Mula-mula dia memanggil pimpinan binatang anjing, seekor herder yang
besar. “Menurutmu benarkah badan saya ini bau?” tanya harimau sambil
menyorongkan badannya kepada herder itu agar dibau. “Ampun tuan raja yang
mulia, memang benar badan tuan bau dan memualkan,” jawab herder tersebut
dengan jujur. Mendengar itu sang harimau jadi marah. “Kurang ajar, berani
benar kamu menghina raja di rimba ini,” kata sang harimau sambil menerkam
dan merobek-robek si herder sampai lumat.
Kemudian dipanggillah pimpinan rakyat kijang. “Apakah menurutmu
badanku ini bau?” tanya harimau kepada pimpinan kijang itu. Karena takut
dirobek-robek seperti herder maka, setelah membau badan harimau, pimpinan
kijang itu berkata. “Ampun yang mulia, ternyata badan yang mulia harum
menyegarkan,” katanya. Tapi tiba-tiba sang harimau menerkam pimpinan kijang
sambil mengaum keras. “Kurang ajar, munafik; berani benar kamu membohongi
raja,” teriaknya sambil mencabik-cabik tubuh pimpinan kijang.
Berikutnya dipanggillah pimpinan rakyat kancil yang kemudian datang
dengan gelisah dan ketakutan. Bagaimana dirinya harus menjawab pertanyaan
harimau si raja rimba? Kalau menjawab jujur seperti herder bisa dirobek-robek
karena dianggap berani kurang ajar, kalau berbohong agar raja senang bisa
dicabik-cabik seperti kijang.
Ketika membau tubuh harimau si kancil bersin (wahing) karena tubuh
raja rimba itu baunya memang menyengat. “Bagaimana menurutmu, kancil? Apa
badan saya memang bau?,” tanya harimau sambil membentak. Dengan gemetar
kancil itu menjawab. “Maaf raja rimba yang mulia, saya sedang pilek, hidung lagi
mampet; jadi tak tahu apakah badan tuan bau atau tidak,” jawab sang kancil.
“Kok, tadi kamu bersin? Apa karena badan saya bau?” kejar sang harimau. “Ya,
saya bersin justru karena pilek itu,” jawab kancil lebih berani. Sang harimau
akhirnya melepaskan sang kancil yang cerdik itu.
Dari cerita itulah di dalam dunia politik kita sering mendengar istilah
“politik kancil pilek,” yang biasa diartikan sebagai politik diam meski melihat
kemungkaran karena ingin selamat dari kekejaman penguasa. Politik kancil
pilek di Indonesia bukan hanya karena dalam posisi lemah dan takut kepada
penguasa yang busuk (harimau bau) melainkan juga banyak diantaranya yang
menjadi kancil pilek karena mereka sendiri menjadi bagian dari kebusukan itu
(ikut bau). Oleh sebab itu mereka menjadi takut berbicara yang sebenarnya dan
menjadi kancil pilek jika ditanya tentang korupsi karena mereka sendiri ternyata
juga korupsi.
Jadi mereka takut pada perbuatannya sendiri, bukan takut pada penguasa
yang kuat dan kejam. Lihat saja sekarang ini, banyak tokoh yang semula galak
tiba-tiba menjadi pendiam dan menyerukan kearifan untuk tidak
mempersoalkan sangkaan korupsi atas orang lain, padahal dulunya galaknya
setengah mati meneriakkan pemberantasan korupsi. Mereka lalu berpura-pura
pilek karena ternyata mereka juga terjerat kasus korupsi.
Mereka ini kemudian berbicara secara sangat normatif (tapi palsu) agar
semua masalah dikembalikan kepada hukum. Padahal menurut teori dan fakta,
hukum itu baru bisa ditegakkan kalau ada dukungan politik, sekurang-kurangnya
kalau ada imbangan politik atas kekuatan politik lain yang selalu menelikung
hukum.
Dalam pada itu lembaga penegak hukum sendiri juga terserang penyakit
kancil pilek dan tidak berani melakukan tindakan hukum karena takut pada
terkaman harimau jahat, takut dicopot. Yang menjadi harimau jahat sekarang
ini adalah oligarki politik. Contoh paling aktual tentang ini adalah tindak lanjut
hukum atas vonis kasus korupsi dana Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) yang telah menghukum (dan berhenti pada) mantan menteri DKP
Rokhmin Dahuri. Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK sekarang ini sering membuang
badan untuk menangani kelanjutan kasus korupsi yang menyangkut tokoh-tokoh
politik kuat; padahal kasus itu sekurang-kurangnya dapat dikaitkan dengan
empat tindak pidana pidana lain oleh para penerimanya seperti penadahan,
(ikut) korupsi, gratifikasi, dan pencucian uang. Alasan yang dikemukakan
bermacam-macam, seperti karena belum adanya bukti awal (padahal bukti awal
sudah sangat jelas), karena tidak ada laporan atau pengaduan (padahal kasusnya
bukan delik aduan), karena kasusnya secara administratif menjadi domain
lembaga lain seperti KPU (padahal kasus itu bersifat concursus atau gabungan
tindak pidana yang bisa diurus oleh beberapa lembaga dari aspek hukumnya
masing-masing sehingga kasus pidananya bisa ditangani kepolisian, kejaksaan,
dan KPK).
Persoalan Etika
Hal-hal tersebut pada saat ini menjadi problem besar di negara kita.
Hukum bisa dipermainkan dengan formalitas-formalitas belaka dan dilepaskan
dari ruh etiknya. Para penegak hukum bukan lagi mencari kebenaran melainkan
bagaimana mencapai kemenangan riil sesuai dengan yang diinginkan dirinya
maupun klien yang memesannya. Penyelesaian kasus-kasus hukum di
pengadilan pun tidak lagi mengandalkan kekuatan argumen yang murni hukum
melainkan diselesaikan melalui lobi-lobi politik dan negosiasi tentang cara
penyelesaian atau materi putusan yang dapat dinilai dengan harga uang tertentu.
Sekarang ini banyak orang melanggar hak-hak masyarakat, tetapi tetap
bersikukuh tak bersalah hanya karena tidak atau belum dibuktikan secara formal
melalui proses peradilan, padahal proses peradilan pun sudah berjalan dengan
penuh judicial corruption. Orang yang bersalah kemudian melenggang dengan
tenang dan tetap mengelabuhi masyarakat tanpa tahu malu dengan selalu
berlindung di balik asas praduga tak bersalah. Sangat terasa bahwa buruknya
kinerja penegakan hukum belakangan ini karena hukum sudah dilepaskan dari
etika dan moral, orang yang melanggar etika merasa tidak bersalah karena
merasa tak melanggar hukum padahal etika adalah dasar dari adanya hukum;
atau hukum merupakan peningkatan gradual (legalisasi atau formalisasi) dari
etika.
Sebenarnya sudah sejak lama kita mengidentifikasi masalah tersebut
sebagai salah satu penyebab buruknya penegakan hukum di Indonesia. Itulah
sebabnya pada tahun 2001 kita mengeluarkan Tap MPR No. VI/MPR/2001
tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menekankan pentingnya etika dalam
kehidupan berbangsa agar kita tidak disandera oleh krisis yang berkepanjangan.
Namun sampai sekarang Tap MPR tersebut masih tumpul dan seperti tak
pernah dihiraukan termasuk oleh mereka yang dulu ikut membuatnya. Tidaklah
heran jika kita melihat banyak orang yang terus bermain pelesetan hukum dalam
kenyataan hidup yang sebenarnya sangat serius ini. Kalau pelesetan kata di
dalam ketoprak humor atau di dalam parodi “Republik Mimpi” bisa menggelikan
dan menghibur. Misalnya memlesetkan Yusuf Kalla menjadi Ucup Kelik,
memlesetkan kepanjangan JK menjadi Jarwo Kuwat, memlesetkan pepatah
“hujan batu” di negeri sendiri menjadi “hujan babu” di negeri sendiri merupakan
contoh pelesetan kata yang lucu dan menggelikan.
Tetapi kalau pelesetan hukum bukanlah permainan kata melainkan
pembelokan kasus hukum. Ada kasus yang berindikasi kuat sebagai kasus pidana
tetapi prosesnya menjadi mandek karena diselesaikan secara adat. Korupsi Dana
Abadi Umat yang fantastis berhenti pada penghukuman mantan menteri agama
dan seorang dirjennya sebagai tumbal padahal dana itu mengalir ke berbagai
pejabat. Ada juga orang yang ingin kembali ke jabatannya setelah dihukum
karena kasus korupsi dengan alasan belum pernah menerima surat
pemberhentian. Di sini ada dua pelesetan, yang pertama pelesetan orang yang
tak tahu diri karena sudah merusak negara dengan korupsi tetapi masih mau
menjabat, yang kedua pelesetan karena kelalaian pemerintah yang ternyata tidak
segera mengeluarkan SK pemberhentian begitu yang bersangkutan dinyatakan
bersalah dan vonis pengadilan tentang itu telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap. Agak sejalan dengan ini, ada juga yang ingin atau mau didudukkan di
dalam jabatan publik padahal yang bersangkutan sedang menjadi tersangka
dalam kasus korupsi. Ini lebih banyak menyangkut etika dan moral.
Ada contoh lain lagi dalam kasus ini, yakni, adanya pejabat yang
menyalahgunakan wewenang dan terindikasi kuat melanggar hukum tetapi
mengaku tak bersalah. Mereka mau bertahan pada jabatannya dengan alasan, tak
ada putusan pengadilan bahwa dirinya bersalah. Padahal kita tahu untuk pejabat
tinggi level tertentu aparat penegak hukum selalu tak berani menyentuh sehingga
selama dia menjabat kecil kemungkinannya disentuh oleh hukum.
Harus diingat, menurut Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa seorang pejabat publik harus berhenti dari jabatannya jika
membuat kebijakan atau melakukan sesuatu yang menimbulkan keresahan atau
sorotan publik. Menurut Tap MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa itu
pejabat publik harus mengundurkan diri tanpa harus lebih dulu terbukti bersalah
secara hukum jika membuat policy atau melakukan sesuatu yang menimbulkan
sorotan atau ketidakpercayaan publik. Tegasnya, menurut Lampiran Tap MPR
No. VI/MPR/2001 (Bab II butir 2) setiap pejabat harus jujur…, dan “siap
mundur” dari jabatannya apabila… “secara moral” kebijakannya bertentangan
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat; yang harus diwujudkan dalam
bentuk … tidak melakukan “kebohongan publik.” Ingat, di sini ada soal moral,
rasa keadilan, dan kebohongan publik. Selain itu pada tahun yang sama MPR
mengeluarkan Tap No. VIII/MPR/2001 tentang Arah Kebijakan dan
Rekomendasi Pembarantasan KKN yang juga berisi ketentuan bahwa pejabat
publik dapat dikenakan tindakan administratif jika terlibat kasus hukum tanpa
harus menunggu vonis pengadilan lebih dulu. Oleh sebab itu agak kurang tepat
ketika Presiden menyatakan bahwa para menterinya sudah menandatangani
surat pernyataan bersedia mengundurkan diri apabila terbukti melakukan
pelanggaran hukum. Kurang tepat, karena kalau sudah terbukti melakukan
pelanggaran hukum mestinya tak perlu bersedia mengundurkan diri melainkan
harus langsung diberhentikan meskipun tak bersedia mengundurkan diri.
Tuntutan untuk bersedia mengundurkan diri itu bukannya setelah terbukti
bersalah secara hukum atas putusan poengadilan, melainkan cukup membuat
kebijakan atau melakukan kecerobohan atau kesalahan yang mendapat sorotan
negatif dari publik karena sangat tidak wajar tanpa harus dibuktikan lebih dulu
melalui putusan pengadilan. Ini adalah soal etika yang dihukumkan melalui Tap
MPR No. VI/MPR/2001.
Perlu ditegaskan bahwa Tap MPR No. VI/MPR/2001 dan Tap No.
VIII/MPR/2008 itu menurut Tap MPR No. I/MPR/200318 masih berlaku sampai
ada UU yang menggantikannya.19
Paradigma UUD 1945
Dari sudut konstitusi penekanan pada pentingnya pemenuhan rasa
keadilan di negara hukum Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi landasan
resmi politik hukum kita. Adanya dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan kaidah
18 Sebenarnhya sejak amadnemen UUD 1945 tata hukum kita tidak lagi mengenal Tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan, tetapi ada satu Tap terakhir yakni Tap No. I/MPR/2003 yang memosisikan kembali untuk terakhir kali semua Tap MPRS/MPR yang sudah terlanjur ada sehingga ada yang dinyatakan dicabut, ada yang dinyatakan berlaku dengan ketentuan, ada yang dinyatakan berlaku sampai waktu atau keadaan tertentu, ada yang dinyatakan berlaku sampai ada UU yang menggantikannya, dan ada yang dinyatakan tidak memerlukan tindakan hukum karena sudah selesai dengan sendirinya. 19 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Paradoks Pelesetan Hukum,” dalam Harian KOMPAS tanggal 28 Agustus 2007; juga dalam Moh. Mahfud MD, “Surat Terbuka Kepada Presiden SBY, Masyarakat Risau Soal Syamsul Bahri,” dalam Harian Jawa Pos tanggal 15 Oktober 2007.
penuntun toleransi beragama yang berkeadaban dan berkeadilan sebenarnya
harus dipahami sebagai landasan etika dan moral dalam pembangunan hukum
kita. Pilihan landasan ini kemudian diperkuat ketika kita melakukan amandemen
atas UUD 1945 (1999-2002) yang memindah ketentuan tentang negara hukum
ke dalam pasal 1 ayat (3) dengan meniadakan istilah rechtsstaat. Melalui
amandemen tersebut istilah rechtsstaat yang semula dimuat di dalam Penjelasan
Umum UUD 1945 dihapuskan sehingga istilah negara hukum tidak lagi
disambung dengan istilah rechtsstaat yang diletakkan di dalam kurung. Melalui
amandemen tahap ke tiga (tahun 2001) istilah negara hukum itu dipindahkan20
ke dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara
hukum.” Tampak jelas bahwa di dalam kalimat tersebut kata rechtsstaat tidak
lagi dipergunakan karena sebenarnya negara kita tidak hanya menganut
rechtsstaat tetapi juga menganut the Rule of Law dan sistem hukum lainnya
dengan inti filosofinya masing-masing yang kemudian digabungkan sebagai
paradigma negara hukum Pancasila. Paradigma yang penulis sebut sebagai
prismatik (mengambil dari Fred W. Riggs) ini merajut nilai-nilai baik semua
sistem hukum secara eklektis sehingga menjadi hukum nasional Indonesia.
Secara lebih jelas dapat dikemukakan bahwa penghilangan istilah
rechtsstaat dari UUD tersebut bukanlah masalah semantik semata melainkan
juga menyangkut masalah yang substantif dan paradigmatik. Sebab, seperti
diketahui, ada dua istilah yang berbeda yaitu rechtsstaat dan the Rule of Law
(RoL). Kedua istilah tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dalam
satu istilah yang sama, yaitu, negara hukum padahal kedua istilah (rechtsstaat
dan RoL) meempunyai konsepsi dan pelembagaan secara berbeda.
Istilah rechtsstaat adalah istilah untuk negara hukum yang dipakai
negara-negara kawasan Eropa Kontinental yang lebih menekankan pada
pentingnya “hukum tertulis (civil law)” dan kepastian hukum. Kebenaran dan
keadilan hukum di dalam rechtsstaat lebih berpijak atau menggunakan ukuran
formal; artinya yang benar dan adil itu adalah apa yang ditulis di dalam hukum
20 Pemindahan isi ini dilakukan juga sebagai konsekuensi dari salah satu kesepakatan dasar dalam perubahan UUD 1945 yakni meniadakan Penjelasan dan memindahkan isinya yang bersifat normatif ke dalam pasal-pasal UUD.
tertulis. Titik berat penegakan hukum di dalam rechtsstaat adalah kepastian
hukum sehingga hakim yang baik adalah hakim yang dalam membuat putusan
dapat menemukan hukum-hukum tertulis yang pasti. Di dalam rechtsstaat
hakim merupakan corong UU. Sedangkan the Rule of Law (RoL) adalah istilah
untuk negara hukum di negara-negara kawasan Anglo Saxon yang lebih
menekankan pada pentingnya “hukum tak tertulis” (common law) demi
tegaknya keadilan substansial. Kebenaran dan keadilan hukum di dalam RoL
lebih berpijak atau menekankan tegaknya substansi keadilan daripada kebenaran
formal-prosedural semata; artinya yang benar dan adil itu belum tentu tercermin
di dalam hukum tertulis melainkan bisa yang tumbuh di dalam sanubari dan
hidup di dalam masyarakat; dan karenanya hukum tertulis (UU) dapat
disimpangi oleh hakim jika UU itu dirasa tidak adil. Karena titik berat RoL
adalah keadilan maka dalam membuat putusan hakim tidak harus tunduk pada
bunyi hukum tertulis melainkan dapat membuat putusan sendiri dengan
menggali rasa dan nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.
Sejak perubahan tahap ketiga UUD 1945 konstitusi kita sudah
mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut
secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechtsstaat dan The Rule of Law
sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan
substansial. Bahkan kalau kita telah lebih jauh UUD 1945 hasil amandemen
bukan hanya menekankan pentingnya asas kepastian hukum dan keadilan tetapi
juga menekankan pada pentingnya asas manfaat yakni asas yang menghendaki
agar setiap penegakan hukum itu harus bermanfaat dan tidak menimbulkan
kerusakan atau mudharat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.21
Penganutan lebih dari satu asas yang berasal dari konsepsi, tradisi, dan
kawasan yang berbeda ini secara literatur penulis sebut sebagai konsepsi
21 Baik asas keadilan maupun asas manfaat seringkali diperdebatkan karena bisa selalu menjadi kontroversi karena ukurannya tidak pasti, tetapi jika putusan itu jelas dasar argumen keadilan dan kemanfaataannya yang didukung oleh suasana kebatinan yang berkembang di dalam masyarakat maka hal itu dapat dilakukan atau diformulasikan oleh para hakim; buktinya di negara-negara Anglo Saxon hampir tak ada putusan hakim yang tidak dianggap sebagai hukum yang final karena argumen untuk memunculkan keadilan itu di sana dapat diurai dengan baik oleh para hakim.
prismatik. Istilah ini diambil dari Fred W. Riggs22 di dalam bukunya,
Administration in Developing Countries, yang menunjukkan adanya pemaduan
antara konsep-konsep yang sebenarnya tidak sama. Di dalam prismatika sistem
hukum Pancasila saya melihat bahwa negara hukum kita memadukan secara
harmonis unsur-unsur baik dari rechtsstaat (kepastian hukum) dan the Rule of
Law (keadilan substansial). Di dalam konsepsi ini prinsip rechtsstaat dan the
Rule of Law tidak diposisikan sebagai dua konsepsi yang bersifat alternatif atau
kompilatif yang dalam penerapannya bisa dipilih berdasar selera sepihak,
melainkan sebagai konsepsi yang kumulatif sebagai satu kesatuan yang saling
menguatkan. Menurut penulis, pengambilan konsepsi prismatika ini tepat karena
sesuai dengan nilai-nilai hukum yang memang akan kita tegakkan. Tidaklah
mungkin kita hanya mengambil salah satunya secara mutlak-kategoris, seperti
halnya tidak mungkinnya kita mengambil salah satu antara “individualisme” dan
“komunalisme” atau antara “negara agama” dan “negara sekuler.” Konsepsi
prismatik memungkinkan kita mengambil unsur-unsur yang baik dari konsep-
konsep yang berbeda itu sebab sistem kemasyarakatan kita pun, sejak dulu,
sebenarnya bersifat prismatik.
Penegasan konstitusi kita tentang pentingnya pengambilan asas kepastian
hukum, keadilan, dan manfaat dalam penegakan hukum kita ini bukan hanya
dapat dinukil dari ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menetralkan negara
hukum kita dari istilah rechtsstaat atau istilah asing lainnya melainkan juga
tertuang, sekurang-kurangnya, di dalam pasal 24 ayat (1), pasal 28D ayat (1), dan
pasal 28H ayat (2) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
“keadilan.”
Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.
22 Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries, the Theory of Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston, 1964.
Pasal 28 H ayat (2): Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan “manfaat” yang sama
guna persamaan dan “keadilan.”23
Dari uraian itu penulis berpendapat bahwa kepastian hukum haruslah
dibangun untuk memastikan bahwa keadilan itu dapat tegak sesuai dengan
penegasan pasal 28D ayat (1) yang menegaskan perlunya “kepastian hukum yang
adil” dan bukan kepastian sekedar kepastian. Oleh karena keadilan itu selalu
dapat tercermin dan dipenuhi oleh hukum-hukum tertulis, maka di sinilah letak
pentingnya “etika” sebagai sumber isi dan dasar penegakan hukum di dalam
negara hukum Pancasila yang bersifat prismatik ini.
Sudah jelas bahwa salah satu persoalan pokok yang kita hadapi dalam
penegakan hukum adalah tidak sinkronnya pelaksanaan etika dan norma dengan
implementasi hukum di lapangan. Sekarang ini banyak sekali “terduga, terdakwa,
dan tertuduh” pelanggar hukum tampil dan berargumen ke depan publik bahwa
dirinya tidak bersalah karena belum ada putusan pengadilan yang mengadili atau
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kalau melanggar etika
dan moral mereka merasa tidak bersalah karena “demi kepastian hukum”
pengadilan belum pernah memutus bahwa mereka bersalah; padahal pengadilan
pun sangat kolutif dan dililit oleh judicial corruption. Kalau diadili mereka dan
para pengacaranya berkelit-kelit di seputar pasal-pasal formal tanpa peduli pada
rasa keadilan yang diteriakkan oleh nurani yang sehat. Kelitan ini ditengarai
dapat pula dimainmatakan dengan hakim maupun jaksa sesuai dengan transaksi
yang dapat dilakukan di dalam proses judicial corruption itu.
Dengan demikian salah satu agenda penting dalam pembangunan hukum
kita adalah, bagaimana meletakkan etika dan moral sebagai sumber norma
23 Tanda petik dalam pasal-pasal yang dikutip berasal dari saya (pengutip) untuk menunjukkan letak asas hukum kita.
hukum serta dasar implementasi atau penegakan hukum itu. Dalam situasi
seperti ini diperlukan munculnya hakim, jaksa, dan pengacara yang tidak
terbelenggu oleh hukum yang formal prosedural serta dapat bersikap progresif
untuk menegakkan keadilan dan menjadikan etika dan moral sebagai fondasi
penegakan hukum.
Etika dalam pendidikan hukum
Untuk jangka panjang, pendidikan hukum di negara kita haruslah ditata
sedemikian rupa agar hukum tidak hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang
kaku dan harus dilaksanakan melainkan harus dikuatkan juga dengan
pendidikan atau nilai-nilai moral dan etika sebagai sumber kristalisasi dan
legalisasi hukum. Masalah ini tak dapat dilepaskan juga dari orientasi pendidikan
hukum yang kita selenggarakan.
Terkait dengan ini perlu diingat bahwa salah satu landasan filosofi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang kita anut adalah
filosofi bahwa Iptek itu dalam pengembangannya tidak boleh dinetralkan. Iptek
hanya dapat dikembangkan jika tidak merusak dan membahayakan masyarakat.
Berdasarkan itu ada dua batas pengembangan Iptek; Pertama, Iptek
dikembangkan dengan wawasan rasional tetapi tidak berdasar rasionalisme,
sebab bagi bangsa yang bertuhan (menganut agama) sumber kebenaran bukan
hanya yang rasional atau bisa diuji secara ilmiah dengan berbagai metode dan
eksperimen melainkan juga mencakup hal-hal yang secara ilmiah dan
rasionalitas manusia tidak dapat dijangkau (ghaib). Kedua, Iptek hanya boleh
dikembangkan sejauh tidak membahayakan umat manusia dan alam sehingga
Iptek, meski dasar teorinya dapat netral, tetapi penerapan dan
pengembangannya tetaplah harus memihak bagi kemaslahatan ummat. Itulah
dasar etik dan moral yang harus dikuatkan dalam proses pendidikan dan
penguatan profesi hukum kita.
Ketentuan yang demikian kemudian menuntut munculnya integritas
kecendekiawanan sehingga tugas universitas bukan hanya mencetak ijasah
melainkan mendidik dan memanusiakan sivitas akademikanya agar berakhlak
atau beretika di dalam kehidupannya. Sikap kecendekiawanan adalah sikap
penuh tanggung jawab atas kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu sarjana
dan cendekiawan itu berbeda, sebab sarjana lebih menekankan pada kecerdasan
otak, sedangkan cendekiawan menekankan pada keseimbangan antara
kecerdasan otak dan keluhuran watak.
Masalahnya sekarang ini banyak sekali lembaga pendidikan yang tidak
lagi mengindahkan filosofi yang harus menjadi landasan etik dan moral. Banyak
lembaga pendidikan, mulai dari tingkat SD sampai peruruan tinggi, yang hanya
mengeluarkan ijazah untuk keperluan formalitas orang mencari kerja dan
mengejar jabatan. Kedalaman ilmu dan landasan etik dan moral tidak terlalu
diperhatikan sehingga banyak lulusan universitas yang bukan saja tidak mampu
memajukan masyarakat tetapi sebaliknya merusak sendi-sendi kehidupan
masyarakat.
Kita dapat mencatat adanya kesalahan pendidikan kita karena dalam
praktiknya menekankan pada ijazah formal, bukan pada substansinya untuk
memanusiakan manusia. Dengan praktik pendidikan yang menekankan pada
“ijazah sekolah formal” yang dianut seperti sekarang, maka jabatan seseorang di
tengah-tengah masyarakat ditentukan oleh ijazah sekolah yang dimilikinya,
bukan ditentukan oleh kompetensi dan kualitas riilnya. Semakin tinggi ijazah
formal yang dimiliki seseorang akan semakin tinggi kedudukannya di dalam
masyarakat. Jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan kedudukan bergengsi
di tengah-tengah masyarakat biasanya bisa dimasuki oleh seseorang dengan
ukuran ijazah tertentu. Betapa pun seseorang bodoh, jika memiliki ijazah sekolah
formal maka ia bisa meraih jabatan-jabatan penting. Sebaliknya betapa pun
pandainya seseorang, biasanya sulit untuk menduduki jabatan pemerintahan
kalau tak punya ijazah formal sekolah. Akibat konsepsi pendidikan yang seperti
itu di negara kita banyak sekali orang memburu ijazah formal hanya karena ingin
gengsi-gengsian dan mendapat jabatan resmi. Orang belajar ke sekolah bukan
untuk mencari ilmu tetapi untuk mencari ijazah demi syarat formal untuk
mendapat kedudukan. Mutu pendidikannya sendiri kemudian menjadi tidak
terlalu penting.
Janganlah heran kalau ribuan orang beken dan penting di negara kita
memburu ijazsah dengan cara haram. Pada penghujung tahun 2005 kita
diributkan oleh ditemukannya banyak pejabat, pengusaha, pegawai negeri yang
ternyata menggunakan ijazah aspal. Bahkan ada orang yang tiba-tiba menjadi
profesor, padahal profesor adalah jabatan akademik yang hanya bisa diraih jika
seseorang mengajar di perguruan tinggi dalam minimal waktu dan kompetensi
tertentu dengan mengumpulkan angka kredit prestasi minimal tertentu pula
yakni angka kredit 850 untuk profesor madya dan 1000 kredit untuk profesor.24
Bahaya praktik pendidikan yang seperti itu pernah juga dikemukakan oleh
Ivan Illich melalui bukunya Deschooling Society yang mengusulkan
pembentukan “masyarakat bebas sekolah.” Kata Illich, yang diperlukan adalah
pendidikan yang membebaskan manusia, bukan sekolah yang hanya
mengeluarkan ijazah. Sistem pendidikan formal dengan berbagai jenis dan
jenjang sekolah, menurut Illich, hanya memproduksi ijazah yang kemudian
menciptakan kasta-kasta dan ketidakadilan di dalam masyarakat karena dengan
ijazah sekolah itulah kedudukan seseorang ditentukan. Ini menyebabkan banyak
orang yang hanya ingin mendapat ijazah tetapi tidak ingin mendapat, apalagi
mengembangkan, ilmunya. Dan untuk ini ijazah bisa dicari dengan berbagai cara
termasuk dengan membeli, menyuap, dan memalsukannya yang kemudian
dijadikan syarat untuk menduduki jabatan penting. Tentu kita tidak harus
mengikuti Illich untuk membangun masyarakat yang bebas sekolah. Sekolah
dengan berbagai jenjang dan jenisnya tetap harus ada. Ijazah formal sekolah
tetap diperlukan untuk menunjukkan tingkat-tingkat kemampuan dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja lembaga pendidikan
harus dikontrol dan diarahkan sedemikian rupa agar tumbuh secara bermutu
sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak
sekedar menjadi tempat jual beli ijazah.
Ivan Illich benar sebab kesalahan praktik atau implementasi pendidikan
yang seperti itu kemudian telah merusak etika dan menyuburkan ketidakjujuran
ilmiah. Sekarang ini banyak bermunculan karya tulis ilmiah yang tidak ilmiah
karena hanya dibuat secara formalitas untuk mendapat ijazah atau untuk naik
pangkat. Yang lebih parah dari itu banyak karya ilmiah yang merupakan hasil
24 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Pendidikan yang Tak Membebaskan,” dalam Harian Seputar Indonesia, tanggal 20 September 2007
jiplakan dari karya orang yang kemudian diklaim sebagai hasil karya sendiri.
Ada yang asal tulis tapi bisa terbit karena mampu membayar penerbit instant
yang mau menerbitkannya asal penulisnya mau membayar mahal.
Banyak juga politisi yang menulis buku atau artikel di media massa, tetapi
dituliskan oleh orang lain alias “ghost writer”. Ada juga politisi yang suka
mengomentari sesuatu di koran kemudian komentar-komentar itu
disuruhtuliskan kepada seorang wartawan agar diberi landasan teori dan
analisis, padahal wartawan itu tak kompeten di bidang itu.
Seorang dirjen di satu departemen pernah dengan bangga menyerahkan
buku kepada saya yang berisi masalah-masalah hukum. Ternyata buku itu
merupakan himpunan pidatonya yang semula dituliskan oleh stafnya untuk
kemudian disuruh menulis kepada seorang wartawan menjadi buku. Karena
wartawan itu hanya bagus dalam menulis berita atau artikel pop tapi jarang
menulis ilmiah, maka buku itu menjadi aneh dan sama sekali tidak ilmiah.
Jangankan membuat sitasi rujukan, menulis daftar pustaka saja tidak benar.
Tradisi keilmuan kita menjadi lebih buruk karena banyaknya tulisan
sekarang ini jiplakan bukan hanya menjadi trend politisi atau pejabat birokrasi
yang ingin gengsinya naik, tetapi juga banyak melanda kalangan akademisi,
mahasiswa pascasarjana, bahkan dosen yang ingin menaikkan jabatan
akademiknya. Mereka ini kerapkali menggunakan penulis hantu (ghost writer),
misalnya wartawan pop atau mahasiswa, untuk menulis karya atas namanya
guna dipublikasikan ke tengah-tengah masyarakat dalam bentuk buku maupun
dalam bentruk artikel untuk dimuat di media massa. Si ghost writer mendapat
uang, sedangkan si dosen atau figur publik yang sejatinya agak bodoh mendapat
nama sebagai penulis.
Orang seperti ini sama sekali tidak punya integritas keilmuan (kejujuran
ilmiah) dan tak mungkin dapat memberi sumbangan apa pun bagi kemajuan
pendidikan. Malah dosen yang seperti ini membuat mutu perguruan tinggi kita
jadi berantakan. Orientasinya hanya ingin naik jabatan akademik tetapi tak mau
berpikir dan bekerja secara ilmiah sehingga dia suka menyewa ghost writer atau
menjiplak.
Penulis pernah diminta menjadi penelaah sebuah disertasi yang isinya
bagus, tetapi setelah diuji ternyata yang bersangkutan sama sekali tak menguasai
isinya. Ternyata sebagian besar isinya menjiplak karya orang lain. Penulis
memrotes keras dan menyatakan bahwa demi integritas ilmiah dan
menyelamatkan dunia akademik yang bersangkutan harus di-drop out atau
harus memulai dari awal lagi.
Berdasar hasil perbincangan penulis dengan banyak akademisi, sekarang
ini memang banyak dosen yang menggunakan ghost writer baik untuk menulis
disertasi maupun untuk menulis makalah, bahkan menulis kolom-kolom di
koran. Untuk naik pangkat tak jarang ada dosen yang mencuri karya temannya
bahkan ada yang mencuri data dan analisis karya mahasiswa yang dibimbingnya
yang kemudian diklaim sebagai karyanya sendiri.25
Orang yang tak punya integritas keilmuan dengan mengaku-aku dan
mencuri karya orang lain pasti tidak akan jujur kepada masyarakat. Kalau ada
peluang korupsi, orang yang seperti ini akan korupsi juga terhadap hak-hak
masyarakat. Malahan kalau tak ada peluang dia akan mencari-cari dan membuat
peluang untuk korupsi. Menurut penulis, itulah salah satu penjelasan mengapa
bangsa kita sekarang ini terjerembab ke dalam krisis multidimensi, yakni, karena
banyak pengelola lembaga pendidikan dan lulusan perguruan tinggi yang tidak
lagi memiliki integritas kecendekiawanan.
Dalam kaitan ini saya teringat ketika saya akan mengakhiri pendidikan
doktor di UGM pada tahun 1993. Saat itu saya dinasehati oleh Prof. Koesnadi
Hardjasoemantri dan Prof. Sri Soemantri agar saya dan para sarjana hukum
menjaga integritas kecendekiawanan, yakni sikap untuk membangun dan
memihak kepentingan masyarakat seperti meneriakkan dan berusaha agar
politik selalu tunduk pada hukum. Kata kedua profesor itu, ilmu bukanlah untuk
ilmu semata, tetapi untuk kebaikan bagi masyarakat. Ilmu jangan hanya
mengandalkan logika tetapi juga harus berlandaskan moral dan etika untuk
menyelamatkan masyarakat dari tindakan sewenang-wenang. Ilmuwan harus
mempunyai integritas kecendekiawanan, yakni cerdas otaknya dan luhur
25 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Ancaman Lunturnya Kejujuran Ilmiah,” dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat, tanggal 16 Oktober 2007
wataknya. Meminjam ungkapan Gus Dur, kita tak boleh menjadi ilmuwan tukang
yang dapat membuat pandangan-pandangan yang “seolah-olah ilmiah” berdasar
pesanan atau kepentingan politik.
Pesan ini sangat penting karena sekarang ini hukum banyak
diporakporandakan oleh demagogi politik seperti yang dicemaskan oleh kedua
Soemantri itu. Itu disebabkan oleh lunturnya integritas kecendekiawanan.
Ilmuwan kita banyak yang suka memanipulasi logika di atas etika dan moral
karena kepentingan kue politik. Gubernur Lemhanas Muladi pernah
mengemukakan bahwa sekarang ini banyak ilmuwan hukum yang menjadi saksi
ahli di pengadilan dengan mendapat bayaran tinggi agar bersaksi untuk
menyelamatkan koruptor; misalnya membelokkan kasus pidana menjadi kasus
perdata atau administrasi.
Di kalangan akademisi sekarang ini banyak yang suka melacurkan diri
dengan menjadi ilmuwan tukang yang siap memberi fatwa ilmiah sesuai dengan
keinginan pemesan asal dibayar dengan harga (uang, proyek, atau posisi)
tertentu.26
Itulah salah satu masalah serius yang kita hadapi, yakni, membusuknya
integritas kecendekiawanan dan hilangnya kejujuran secara masif yang kalau
dibiarkan dapat mengancam eksistensi bangsa dan negara Indonesia.
Ranah pembangunan hukum kita
Jika kita menggunakan teori yang ditawarkan oleh Lawrence M.
Friedman maka kita akan dapat menemukan kerangka penjelasan atas
berbagai persoalan tersebut. Seperti diketahui ranah pembangunan hukum
menurut Lawrence M. Friedman sekurang-kurangnya harus menyangkut
tiga hal yakni substance (isi atau materi hukum), structure (aparat penegak
hukum), dan culture (budaya hukum).
26 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Integritas Kecendekiawanan,” dalam Koran Seputar Indonesia, tanggal 3 Oktober 2007; juga dalam Moh. Mahfud MD, Aroma Busuk Dunia Akademik, dalam majalah GATRA, edisi 24 Januari 2007.
Perubahan yang terjadi pada era reformasi sebagian besar
menyangkut pada isi hukum, sedangkan pembangunan struktur hukum
baru menyangkut struktur organisasi penegakan hukum tanpa menyentuh
para penegak hukumnya. Begitu juga budaya hukum belum banyak
disentuh dalam proses reformasi.
Seperti kita ketahui begitu rezim Orde Baru runtuh maka diubahlah
semua perundang-undangan yang dianggap tidak kondusif bagi
demokratisasi dan penegakan hukum, mulai dari undang-undang bidang
politik, bidang HAM, bidang peradilan, korupsi, pencucian uang dan
sebagainya.
Kita juga sudah mengubah bahkan menambah struktur lembaga
penegak hukum dengan tujuan agar penegakan hukum, terutama untuk
memberantas KKN, bisa berjalan efektif. Pembinaan hakim sudah
disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung. Kita juga sudah membentuk
Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial melalui amandemen konstitusi;
bahkan kita juga sudah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi,
Peradilan HAM, Peradilan Tipikor, dan berbagai peradilan khusus lainnya.
Namun dalam kaitan structure ini kita belum memperbaiki birokrasi dalam
arti pejabat penegak hukum sehingga upaya pemberantasan KKN
mengalami komplikasi bahkan blokade dari dalam diri aparat sendiri.
Pembangunan budaya hukum belum efektif karena tampaknya
belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Pembangunan budaya hukum di
sini harus diartikan sebagai upaya mengubah pemahaman, penghayatan,
dan perilaku masyarakat dalam bidang hukum agar menjadi kondusif bagi
penegakan hukum. Pembangunan budaya hukum harus dilakukan bukan
karena budaya hukum kita merupakan budaya korup, melainkan karena
kita perlu menghidupkan kembali budaya hukum yang baik yang telah lama
kita miliki.
Belajar dari fakta sejarah, ketegasan dalam penegakan hukum
merupakan kunci penting untuk mengatasi berbagai problem yang kita
hadapi terutama untuk membangun budaya disiplin dan ketaatan hukum.
Selama ini kita sudah sangat banyak memproduk berbagai undang-undang
untuk mengatur langkah mencapai tujuan reformasi, tetapi belum banyak
pemimpin-pemimpin yang tegas dan berani menegakkan hukum.
Langkah-langkah
Mengingat berbagai persoalan yang dikemukakan pada awal makalah
ini maka selain mencari ”penegak hukum” yang tegas dan berani ada
beberapa langkah lain yang juga perlu dilakukan secara serius dan simultan.
Pertama, melakukan reformasi birokrasi agar segera bersih dari
sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup. Selama ini kita selalu
menyatakan yakin bahwa salah satu kunci penting keberhasilan reformasi
adalah reformasi birokrasi, tetapi langkah nyata dan tegas ke arah itu belum
juga dilakukan.
Kedua, memutus hubungan secepatnya dengan persoalan-persoalan
KKN yang diwariskan oleh Orde Baru agar kita keluar dari blokade yang
mengepung dari berbagai lini. Pemutusan hubungan ini bisa dengan radikal
(amputasi tanpa pandang bulu) dan bisa juga dengan kompromi (ampuni
dan rekonsiliasi dengan permakluman) yang kemudian ditindaklanjuti
dengan tindakan-tindakan tegas.
Ketiga, membangun sistem rekrutmen politik yang demokratis dan
terbuka melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Pemilu dengan
sistem proporsional terbuka dapat menyeimbangkan peran parpol untuk
menyeleksi kader-kadernya dan peran rakyat pemilih untuk menentukan
sendiri wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif sesuai dengan yang
ditawarkan oleh parpol. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka juga
lebih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk. Untuk
lembaga eksekutif sistem pemilihan presiden secara langsung harus disertai
dengan instrumen atau subsistem rekrutmen pejabat yang mendorong
Presiden membentuk zaken kabinet (kabinet ahli, bersih, dan profesional)
dengan membebaskan presiden dari belenggu untuk melakukan itu karena
transaksi politik kompensasi dan dukungan. Adalah fakta sekarang ini
presiden tidak sekuat yang dibayangkan ketika kita menetapkan pemilihan
presiden langsung agar presiden lebih kuat. Sekarang ini presiden tampak
tersandera oleh, dan karenanya selalu memberi kompensasi politik, kepada
parpol-parpol agar kebijakannya tidak diganggu. Seleksi pejabat kemudian
tidak lagi berdasar keahlian dan profesionalitas melainkan berdasar hasil
kompromi dan pertimbangan kompensasi politik.27
Tak kalah penting dari semua itu, ada masalah yang lebih mendasar
yang harus kita perhatikan secara sungguh-sungguh, yakni memosisikan
kembali etika dan moral sebagai sumber materiil hukum yang sekaligus
menjadi dasar tindakan dalam semua proses penegakan hukum dan hukum
sukmanya, yakni keadilan.
27 Lihat dalam Moh. Mahfud MD, “Presidensiil Bergaya Parlementer,” dalam majalah GATRA edisi 16 Maret 2007.
Daftar Pustaka
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, CV
Mandar Maju, Bandung, 1995.
Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and
Practice in Europe and America, Weldham, Mass: Blaisdell Publishing
Conmpany, 5th edition, 19673.
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1978.
David kairys, The Politics of Law, A Progressive Critique, Pantheon Books, New
York, 1982.
Edward S. Corwin dan JW Peltason, Understanding Constitution, Holt, Rinehart
and Winston, Inc., New York, Chicago, San Fransisco, Toronto,
London, 1967.
Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan
Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.
Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Thoery of
Prismatic Society, Houghton Mifflin Company, Boston, 1964.
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Cornell University Press,
Ithaca-London, 1978.
Harsya W. Bachtiar, Percakapan dengan Sidney Hook tentang Empat Masalah
Filsafat: Etika, Ideologi Nasional, Marxisme, Eksistensialisme,
Djambatan, Jakarta, 1980.
James A. Curry, Ricard B. Railey, dan Richard M. Battistoni, Constitutional
Government, The American Experince (1989),
Jason L. Finkle dan Richard W. Gable, Political Development and and Social
Change, John Wiley & Sons, Inc. Second Edition 1970.
John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, 1973.
KC Wheare, the Modern Constitutions, Oxford University Press, 3rd Impression,
London-New York, Toronto, 1975.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan
Pemasyarakatan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Setjen MPR-RI, Cet. III, Juni 2007.
Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh
Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, disertasi
Bidang Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 1993.
Moh. Mahfud MD, Amandemen Konstitusi dalam Rangka Reformasi Tata
Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES,
Jakarta, 2006.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007.
Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, PT Citra Aditya Bhkati,
Bandung, 2007.
RAB Kusumah, Lahirnya UUD 1945, Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta,
2004.
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol,
Rajawali, Jakarta, 1985.
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam
Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985.
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2003.
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif, Penjelasan Satu Gagasan, dalam majalah
Newsletter, Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis, No. 59, Desember
2004.
Satjipto Rahardjo, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, Suatu Pembahasan
dari Optik Ilmu Hukum Umum, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2007.
top related