perbuatan melawan hukum materiil … hukum pidana indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan...

33
1 PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL (MATERIEL WEDERRECHTELIJKEHEID) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PRAKTIK PERADILAN INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 OLEH: NINIL EVA YUSTINA, S.H., M.Hum 2 A. PENDAHULUAN Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isinya maka dikenal adanya pembagian hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik merupakan Hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene belangen) sedangkan hukum privat mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen). Apabila ditinjau dari aspek fungsinya maka salah satu ruang lingkup Hukum Publik adalah Hukum Pidana yang secara esensiel dapat dibagi lagi menjadi Hukum Pidana Materiil (materieel strafrecht) dan Hukum Pidana Formal (formeel strafrecht/strafprocesrecht). 3 Selanjutnya ketentuan Hukum Pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana Umum (ius comune) dan Hukum Pidana Khusus (ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht). 4 Ketentuan Hukum Pidana Umum dimaksudkan berlaku secara umum seperti termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan ketentuan Hukum Pidana Khusus diartikan sebagai 1 Tulisan ini merupakan rangkuman Tesis penulis yang telah dipertahankan pada tanggal 21 Februari 2009 untuk meraih gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Universitas Merdeka Malang di bawah bimbingan Pembimbing I (Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.) dan Pembimbing II (Muhari Agus Santoso, S.H., M.Hum) 2 Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur 3 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Anti Korupsi 2003, PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm 1 4 Ibid

Upload: vuminh

Post on 13-May-2018

250 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

1

PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL (MATERIEL

WEDERRECHTELIJKEHEID) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

PADA PRAKTIK PERADILAN INDONESIA PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI1

OLEH:

NINIL EVA YUSTINA, S.H., M.Hum2

A. PENDAHULUAN

Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isinya maka

dikenal adanya pembagian hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik

merupakan Hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene belangen)

sedangkan hukum privat mengatur kepentingan perorangan (bijzondere

belangen). Apabila ditinjau dari aspek fungsinya maka salah satu ruang

lingkup Hukum Publik adalah Hukum Pidana yang secara esensiel dapat

dibagi lagi menjadi Hukum Pidana Materiil (materieel strafrecht) dan Hukum

Pidana Formal (formeel strafrecht/strafprocesrecht).3 Selanjutnya ketentuan

Hukum Pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana Umum (ius

comune) dan Hukum Pidana Khusus (ius singulare, ius speciale atau bijzonder

strafrecht).4 Ketentuan Hukum Pidana Umum dimaksudkan berlaku secara

umum seperti termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), sedangkan ketentuan Hukum Pidana Khusus diartikan sebagai

1Tulisan ini merupakan rangkuman Tesis penulis yang telah dipertahankan pada tanggal 21 Februari 2009 untuk meraih gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Universitas Merdeka Malang di bawah bimbingan Pembimbing I (Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.) dan Pembimbing II (Muhari Agus Santoso, S.H., M.Hum) 2Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur

3Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm 1

4Ibid

Page 2: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

2

ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai kekhususan subyeknya

dan perbuatan yang khusus (bijzonderlijk feiten).

Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu bagian dari Hukum

Pidana Khusus (ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht) dan

ketentuan hukum positif (ius constitutum) Indonesia tentang tindak pidana

korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Secara yuridis formal pengertian Tindak Pidana Korupsi5 terdapat

dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan 20 Bab III

5 Secara etimologis kata “Tindak Pidana” dan “Korupsi” berasal dari kata:

a) Istilah “Tindak Pidana” merupakan istilah teknis-yuridis dari kata bahasa Belanda “Stafbaar feit” atau “Delict” dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan hokum pidana dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Dalam kepustakaan ilmu hukum pidana istilah “Stafbaar feit” atau “Delict” ini ada yang menerjemahkan dengan istilah-istilah:

1. “Peristiwa Pidana” (Pasal 14 ayat (1) KRIS dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950).

2. “Perbuatan Pidana” (Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Pidana Dies Natalis UGM VI di Yogyakarta, 1955), : Gajahmada, hlm. 9).

3. “Perbuatan yang Boleh Dihukum” (Mr. Kami, Ringkasan tentang Hukum Pidana, Balai Bukum Indonesia, Jakarta, 1959, hlm. 34).

4. “Pelanggaran Pidana” (MH. Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta, 1955, hlm. 18).

b) Istilah “Korupsi” berasal dari bahasa latin Corruptie (Foklema Andeae:

1951) atau Corrutus (Webster Dictionary: 1960). Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata Corrumpore, suatu kata latin yang tua. Dari bahasan latin inilah turun kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris: Corruption, Cor5rupt; Perancis: Corruption; dan Belanda Corruptie (korruptie) (Andi Hamzah, Op. cit., hlm. 9). Dsalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan: Korupsi (dari Lat.” Corruptio = penyuapan; dari corrumpore = merusak). Gejala di mana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. (Ensiklopedia Indonesia Jilid 4, : Ichtiar Baru van Hoeve dan Elsevier Publising Project, Jakarta, 1983, hlm. 1876). Sedangkan arti harafiah dari “korupsi” dapat berupa:

1. kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan ketidakjujuran. (S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Hasta, Bandung, hlm. 33 dan 150).

Page 3: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

3

tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999.

Dengan bertitik tolak pada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor

31 tahun 1999, unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi dalam pasal tersebut

adalah:

1. Setiap Orang

2. Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum

3. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

Korporasi

4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dari unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi tersebut maka rumusan

mengenai unsur Perbuatan Melawan Hukum penjabarannya lebih lanjut

terdapat dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 1999 yang

menentukan bahwa yang dimaksud dengan ”secara melawan hukum” dalam

pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun

dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap

tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma

kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat

dipidana. Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara” menunjuk bahwa tindak

pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi

2. perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan

uang sogok dan sebagainya W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, 1976, hlm. 468).

3. -perbuatan yang kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk.

-perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejadan moral. -penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran.

-sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat. - Pengaruh-pengaruh yang korup. (Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-Undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 17).

Page 4: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

4

cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan

bukan dengan timbulnya akibat.

Selanjutnya mengenai dimensi sifat melawan hukum

(wederrechtelijkeheid) dalam Ilmu Hukum dikenal dua macam yaitu sifat

melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) dan sifat melawan

hukum formil (formale wederrechtelijkeheid). Sifat melawan hukum materiil

(materiel wederrechtelijkeheid) merupakan sifat melawan hukum yang luas yaitu

melawan hukum itu sebagai suatu unsur yang tidak hanya melawan hukum

yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (dasar-dasar hukum

pada umumnya). Jadi walaupun Undang-Undang tidak menyebutkannya

maka melawan hukum adalah tetap merupakan unsur dari tiap tindak

pidana. Sedangkan sifat melawan hukum formal (formale wederrechtelijkeheid)

adalah merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga ia

baru merupakan unsur dari tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan

dalam rumusan tindak pidana.6

Sifat melawan hukum materiil terdiri dari sifat melawan hukum

materiil dalam fungsi positif dan sifat melawan hukum dalam fungsi negatif.

Pengertian sifat melawan hukum secara materiil dalam arti positif akan

merupakan pelanggaran asas legalitas, pada Pasal 1 ayat 1 KUHP, artinya

ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi positif yaitu meskipun suatu

perbuatan secara materiil merupakan perbuatan melawan hukum apabila

tidak ada aturan tertulis dalam perundang-undangan pidana, perbuatan

tersebut tidak dapat dipidana.7 Ajaran sifat melawan hukum materiil hanya

diterima dalam fungsinya yang negatif, dalam arti bahwa suatu perbuatan

dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum, apabila secara materiil

perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum.8

6M. Sudrajad Basar (1998:5) dalam Guse Prayudi , “Sifat Melawan Hukum

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari 2007, IKAHI , Jakarta , 2007, hlm. 25.

7Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara & Konsultan Hukum “ Prof. Oemar Seno Adji & rekan”, Jakarta, 2002, hlm 18

8Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm 26

Page 5: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

5

Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan

hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari

asas legalitas. Hal tersebut ternyata terdapat dalam Yurisprudensi antara lain

pada Putusan Nomor 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Maret 1977. Selanjutnya juga

harus diperhatikan Yurisprudensi yakni Putusan MA Nomor 572 K/Pid/2003

tanggal 12 Februari 2004, dimana dalam perkara tersebut terdapat fakta dari

ahli Loebby Loqman yang menyatakan bahwa ajaran melawan hukum

materiil negatif ada batasannya, yaitu harus dicari aturan formilnya dan

orang tidak boleh dihukum kalau tidak ada aturan formil yang dilanggar.9

Tetapi Yurisprudensi tersebut bukanlah Yurisprudensi yang konstan

karena Mahkamah Agung RI ternyata mengakui juga adanya sifat melawan

hukum materiil dalam fungsi positif yakni sebagaimana dalam putusannya

Nomor 275K/Pid/1982 dalam Perkara Korupsi Bank Bumi Daya. Mahkamah

Agung secara jelas mengartikan sifat melawan hukum materiil, yaitu

menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara tindak

pidana korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas berlebihan

serta keuntungan lainnya dengan maksud agar ia menyalahgunakan

kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya. Hal itu menurut

Mahkamah Agung merupakan perbuatan tercela atau perbuatan yang

menusuk rasa keadilan masyarakat banyak.10

Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran

perbuatan melawan hukum materiil kearah fungsi positif melalui kriteria

limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi

rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi,

ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi

masyarakat/negara dibanding dengan keuntungan dari perbuatan pelaku

yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.11

9Guse Prayudi, “Sifat Melawan Hukum ....., Op. Cit., hlm. 25 10 Ibid. 11Lilik Mulyadi, Pergeseran Perspektif dan Praktek dari Mahkamah Agung

Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXI, No. 246, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2006, hlm. 22

Page 6: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

6

Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung ini

dianggap sebagai perkembangan interprestasi futuristis yang menyelami

perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan lainnya berpendapat

bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiil telah

mempunyai fungsi positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum

pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas

legalitas.12

Akan tetapi, yurisprudensi tetap (Veste Jurisprudentitie) yang mengacu

kepada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah dibatalkan

oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli

2006 yang menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31

tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.13

Adanya Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Ir. DAWUD

DJATMIKO, yang tersangkut perkara dugaan Korupsi dalam Jakarta Outer

Ring Road, dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya

Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 berdampak pada penerapan

unsur perbuatan melawan hukum materiel dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

12Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik

dan Masalahnya, PT Alumni, Bandung, 2007, hlm. 83 13Ibid., hlm 85

Page 7: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

7

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25

Juli 2006 telah memutuskan rumusan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor

31 tahun 1999 yang berkaitan dengan dengan unsur perbuatan melawan

hukum materiil bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak

mampunyai kekuatan hukum mengikat. Adanya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 003 /PUU-IV/2006 tersebut maka tidak diatur lagi

mengenai unsur perbuatan melawan hukum materiil dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi namun dalam praktik apakah

perbuatan melawan hukum materiil tersebut masih dapat diterapkan hakim

dalam praktik peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.

Dalam perkara tersebut Mahkamah Konstitusi menilai memang

terdapat persoalan konstitsionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sehingga Mahkamah perlu

mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut :

1. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengakui dan melindungi hak

konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan

perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum,

pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam pasal 1

ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan

kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas

dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta)

yang telah lebih dulu ada;

2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur

melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku,

yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan

manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya

dapat dituntut dan dipidana sesuai dengan prinsip nullum crimen sine

lege stricta;

Page 8: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

8

3. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele

wederrechtelijk) yang mewajibkan pembuat Undang-Undang untuk

merumuskan secermat dan serinci mungkin (Vide Jan Remmelink,

Hukum Pidana, 200: 358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian

hukum (lex certa) atau dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot;

- Bahwa berdasarkan uraian diatas, konsep melawan hukum materil

(materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis

dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup

dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan

ukuran yang tidak pasti, dan berbeda beda dari satu lingkungan

masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa

yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima

dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum,

menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat,

sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, SH

dalam persidangan.

- Bahwa oleh karena Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi kalimat pertama tersebut , merupakan hal yang tidak

sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil

yang dimuat dalam pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian,

Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

sepanjang mengenai frasa“ yang dimaksud dengan “Secara melawan

hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam

arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan

tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun

apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai

dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Harus

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Akan tetapi, walaupun demikian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 tersebut dalam praktiknya

Page 9: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

9

Mahkamah Agung RI tetap menganut ajaran perbuatan melawan mukum

materiil (materiele wederrechtelijkheid) sebagaimana dari sekian banyak Putusan

tersebut nampak diantaranya adalah pada Putusan Mahkamah Agung RI

Nomor 2064K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama Terdakwa H.

Fahrani Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006

Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama Terdakwa Hamdani Amin, Putusan

Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober 2006 atas

nama Terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H., kemudian Putusan

Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 91/Pid.B/2008/PN. Kpj. Tanggal 29

April 2008 atas nama terdakwa Abdul Mukti dan Putusan Pengadilan Negeri

Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj. Tanggal 23 April 2008 atas nama

terdakwa Prayitno.14 Pada dasarnya, keseluruhan putusan tersebut yaitu baik

yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (Mahkamah

Agung RI Nomor 2064K/Pid/2006, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor

996 K/Pid/2006, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006)

maupun oleh Pengadilan Negeri Kepanjen (Putusan Pengadilan Negeri

Kepanjen Nomor 91/Pid.B/2008/PN. Kpj. dan Putusan Pengadilan Negeri

Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj.) dan kasus tersebut telah

mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Oleh karena itu, dengan titik tolak demikian maka tulisan ini lebih

lanjut akan membahas mengenai bagaimana pengaturan perbuatan melawan

hukum materiil dalam Tindak Pidana Korupsi pada kebijakan legislasi

Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan bagaimana praktik

peradilan terhadap perbuatan melawan hukum materiil dalam Tindak Pidana

Korupsi Indonesia pada kebijakan aplikasi Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi

II. KERANGKA PEMIKIRAN

Secara substansial, penelitian tesis yang berjudul “PERBUATAN

MELAWAN HUKUM MATERIIL (MATERIEL

14Ibid, hlm. 86

Page 10: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

10

WEDERRECHTELIJKEHEID) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

PADA PRAKTIK PERADILAN INDONESIA PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI” mempergunakan beberapa teori yaitu untuk

teori Induk/Utama atau Grand Theory dipergunakan Teori Negara Hukum,

kemudian pada tataran teori antara atau Middle Range Theory dipergunakan

Teori Hukum Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi dan pada tataran

Applied Theory (Teori Terapan) dipergunakan Teori-Teori Pemidanaan.

Penelitian ini memilih Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory

karena pertimbangan Negara Indonesia merupakan Negara Hukum

(rechtsstaat) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen

ketiga juga karena teori negara hukum mengkedepankan kepastian hukum

(rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (human

rights). Pada dasarnya suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus

menjamin persamaan (equality) setiap individu. Hal ini merupakan conditio

sine quanon mengingat bahwa negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan

individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan

sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah penguasa tidak boleh

bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus

dibatasi.15 Oleh karena itu dalam suatu negara hukum selain terdapat

persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batas-batas kekuasaan ini

juga berubah-ubah, tergantung kepada keadaan. Namun sarana yang

dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik

negara maupun individu adalah subyek hukum yang memiliki hak dan

kewajiban. Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan

hubungan individu dengan negara senantiasa dalam keseimbangan. Kedua-

duanya mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum.16

Secara teoretis Konsepsi Negara Hukum yang dianut Indonesia tidak

dari dimensi formal, melainkan dalam arti materiil atau lazim dipergunakan

terminologi Negara Kesejahteraan (welfare state) atau Negara kemakmuran.

15Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, PT Alumni, Bandung, 1983, hlm.3 dalam: Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi......., Op. Cit., hlm. 35

16Ibid

Page 11: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

11

Oleh karena itu tujuan yang hendak dicapai Negara Indonesia adalah

terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik spiritual maupun materiil

berdasarkan Pancasila, sehingga disebut juga sebagai negara hukum yang

memiliki karakteristik mandiri yaitu Negara Hukum berdasarkan pancasila.17

Pada dasarnya konsep Negara Hukum merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari doktrin Rule Of law dimana dari beberapa doktrin dapat

disimpulkan bahwa semua tindakan (termasuk) Pemerintah harus

berdasarkan atas hukum dan adanya jaminan terhadap hak–hak asasi

manusia antara lain Asas Praduga tidak bersalah (presumption of innocence)

dan Asas Legalitas (principle of legality). Asas Praduga tidak bersalah dan asas

legalitas merupakan bagian dari Hukum Pidana Formil dan Hukum Pidana

Materiil yang merupakan Sub sistem dari Sistem Hukum Pidana. Marc Ancel

menyebutkan sistem hukum pidana abad XX masih harus diciptakan. Sistem

demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama

semua orang yang beritikad baik dan juga oleh semua ahli di bidang ilmu-

ilmu sosial.18 Sistem Hukum Pidana asasnya memiliki empat elemen

substantif yaitu nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic), adanya asas-

asas hukum (legal principles), adanya norma atau peraturan perundang-

undangan (legal rules) dan masyarakat hukum sebagai pendukung sistem

hukum tersebut (legal society). Keempat elemen dasar ini tersusun dalam

suatu rangkaian satu kesatuan yang membentuk piramida, bagian atas adalah

nilai, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang berada di

bagian tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat.19 Walau sistem hukum

pidana masih harus diciptakan, bukan berarti hal ini tidak dapat

didifinisikan. Marc Ancel memberi pengertian sistem hukum pidana dalam

17Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, hlm. 109 18Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London, Routledge & Kegan Paul, 1965), hlm. 4-5 19Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 22

Page 12: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

12

tiap masyarakat yang terorganasir memiliki sistem hukum pidana yang

terdiri dari:

(a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.

(b) suatu prosedur hukum pidana, dan

(c) suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).20

A. Mulder21 dengan tolok ukur pengertian Marc Ancel tersebut di atas

juga memberikan dimensi sistem hukum pidana merupakan garis kebijakan

untuk menentukan:

(a) seberapa jauh ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu

diubah dan diperbaharui ;

(b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana ;

(c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan.

Pada konsepsi negara hukum maka teori hukum pembuktian

merupakan aspek yang memegang peranan penting untuk menjatuhkan

suatu pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana pada umumnya

maupun tindak pidana korupsi pada khususnya. Untuk itu pada tataran teori

antara (middle range theory) tesis ini akan mempergunakan teori hukum

pembuktian. Andi Hamzah menyebutkan mengenai dimensi mengenai teori

pembuktian ada 4 (empat) yaitu Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-

Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijstheorie), Teori Pembuktian

Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu, Teori Pembuktian Berdasar

Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (Laconviction Raissonnee) dan Teori

Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief

Wetteljke).22 M. Yahya Harahap, membagi pembuktian menjadi Conviction-in

Time, Conviction-Raisonee, Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara

Positif dan Pembuktian Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk

20A. Mulder, Loc. Cit. 21A. Mulder, Ibid., hlm. 28 22Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 245-253

Page 13: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

13

Stelsel).23 Martiman Prodjohamidjojo membagi teori pembuktian menjadi

teori tradisional yang terdiri dari teori negatif, teori positif dan teori bebas

sedangkan teori modern dibagi menjadi teori pembuktian dengan

keyakinan belaka, teori pembuktian menurut undang-undang secara positif,

teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif, teori keyakinan

atas alasan logis, teori pembuktian negatif menurut undang-undang dan teori

pembuktian terbalik.24 Djoko Prokoso25 membagi pembuktian menjadi

Sistem Keyakinan Belaka, Sistem melulu menurut Undang-Undang (positief

wettelijk) dan Sistem menurut Undang-Undang sampai suatu batas (negatief

wettelik). Lilik Mulyadi26 dengan titik tolak pandangan beberapa doktrina

kemudian membagi hukum pembuktian menjadi tiga klasifikasi yaitu hukum

pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs

Theorie), Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim (Conviction

Intime/Conviction Raisonce) dan Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang

Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie). P.A.F. Lamintang27

membagi hukum pembuktian menjadi negatief-wettelijke stelsel, positief

wettelijke systeem dan conviction intieme. Adami Chazawi28 membagi hukum

pembuktian menjadi Sistem Keyakinan Hakim (Conviction in Time), Sistem

Keyakinan dengan Alasan Logis (Laconviction in Rainsonnee), Sistem

Pembuktian Melulu Undang-Undang (Positief Wettelijk Bewijstheorie), dan

Sistem Undang-Undang Secara Terbatas (Negatief Wettelijk Bewijstheorie).

Lebih lanjut maka Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse dan Ruben

23M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 277-279 24Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), CV Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 99-101 25Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 36-44 26Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya), Alumni, Bandung, 2007, hlm. 191-196 27P.A.F. Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi Dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 421 28Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 24-30

Page 14: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

14

Achmad29 membagi hukum pembuktian menjadi menurut Undang-Undang

secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie), Sistem Pembuktian

Berdasarkan Keyakinan Hakim (Conviction Intime/Conviction Raisonce) dan

Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief

Wettelijke Bewijs Theorie).

Hari Sasangka dan Lily Rosita30 membagi hukum pembuktian menjadi

Conviction in Raisone, Sistem Pembuktian Negatif dan Sistem Pembuktian

Positif. Ramelan31 membagi hukum pembuktian menjadi Teori (system)

pembuktian berdasarkan undang-Undang secara positif (Positief Wettelijk

Bewijstheorie), Teori (system) pembuktian berdasarkan keyakinan hakim

(conviction intime), Teori (system) pembuktian berdasarkan keyakinan hakim

atas alasan yang logis (conviction in Rainsonnee), dan Teori (system)

pembuktian berdasarkan undang- undang secara negatif (Negatief Wettelijk

Bewijstheorie).

Secara gradual dan fundamental dengan tolok ukur teoritik dan praktik

maka dalam ketentuan Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana hakikatnya

teori-teori sebagaimana dikemukakan doktrina tersebut dapat dibagi menjadi

3 (tiga) teori tentang Sistem Pembuktian. Pertama, Sistem Pembuktian

menurut Undang-Undang Secara Positif dengan tolok ukur sistem pembuktian

tergantung kepada eksistensi alat-alat bukti sebagaimana disebut limitatif

dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan

adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana

hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan

bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara

yang sedang diadili.

Kedua, Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim polarisasinya

hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan 29Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, hlm. 39-42 30Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 14-17 31Ramelan, Hukum Acara Pidana Teori Dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 2006, hlm. 224-225

Page 15: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

15

tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam perkembangannya, sistem

pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk

polarisasi, yaitu “Conviction In time”, dimana kesalahan terdakwa

tergantung kepada “keyakinan” belaka, sehingga hakim tidak terikat oleh

suatu peraturan dan sistem pembuktian “Conviction Raisonce” asasnya identik

sistem “Conviction Intime”, yaitu keyakinan hakim tetap memegang peranan

penting untuk menentukan tentang kesalahan terdakwa, akan tetapi

penerapan keyakinan tersebut dilakukan secara selektif dalam arti “dibatasi”

oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil putusan.

Ketiga, Sistem Pembuktian menurut Undang-undang Secara Negatif yaitu

hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila alat bukti

tersebut secara limitatif ditentukan undang-undang dan didukung pula

adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.

Secara historis, ternyata sistem pembuktian negatif merupakan “peramuan”

antara sistem pembuktian undang-undang secara positif dan sistem

pembuktian berdasarkan keyakinan hakim. Konsekuensi logis peramuan ini,

maka substansi sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

tentulah melekat anasir prosedural dan tata cara pembuktian sesuai alat-alat

bukti sebagaimana limitatif ditentukan undang-undang dan terhadap alat-

alat bukti tersebut hakim terikat baik secara material maupun prosedural.

Pada dasarnya, teori hukum pembuktian ini relevan bagi hakim

dalam membuktikan terhadap anasir perbuatan melawan hukum materiil

dalam tindak pidana korupsi. Tegasnya, dengan teori pembuktian tersebut

maka perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut apakah dapat

dikategorisasikan sebagai perbuatan melawan hukum materiil, sehingga

terdakwa tersebut dapat dijatuhkan pidana.

Untuk itu maka kemudian tesis ini dalam tataran teori terapan (applied

theory) mempergunakan teori-teori pemidanaan. Pada dasarnya dalam teori

pemidanaan dikenal ada 3 (teori) pemidanaan32, yaitu:

32Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 105

Page 16: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

16

1) Teori Absolut atau teori pembalasan (absulute/vergeldings theorien)

2) Teori Relatif atau teori tujuan (utilitarian/doel theorien)

3) Teori Gabungan (verenigings theorien)

Menurut Sahetapy33 teori absolut adalah teori tertua, setua sejarah

manusia. Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan

suatu kejahatan (quia peccatum est). Konsekuensi logis aspek ini maka pidana

adalah akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang

melakukan kejahatan. Meskipun kecendrungan melakukan pembalasan

merupakan gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut dapat dikaji

melalui optik sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena

itu irrasional. Menurut Johannes Andenaes tujuan primair penjatuhan

pidana menurut teori absolut bersifat “untuk memuaskan tuntutan keadilan

(to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruh yang

menguntungkan bersifat skunder.

Selanjutnya menurut Nigel Warker34 bahwa ada dua golongan

penganut teori retributif. Pertama, penganut teori retributif murni yang

memandang pidana harus sejalan dengan kesalahan si pelaku. Kedua,

penganut teori retributif tidak murni yang diklasifikasi menjadi penganut

teori retributif terbatas (The Limiting Retribution) yang memandang bahwa

pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Kemudian penganut teori

retributif distribusi (Retribution in Distribution) yang menegaskan bahwa

sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pada

pembalasan, namun juga gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat

dalam retribusi pada beratnya sanksi.

Pada dasarnya, apabila dikaji lebih detail maka hakikatnya teori

retributif secara filosofis bersumber dari landasan pemikiran Imanuel Kant

(1724-1804) yang dikenal dengan terminologi retributivisme atau yang populer

dengan istilah just desert theory sebagaimana dikenal pakar kriminologi di

33Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 198 34Nigel Warker, Sentencing in a Rational Society, Basic Books, Inc, Publishers, New York, hlm. 8-15

Page 17: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

17

Amerika Serikat. Menurut pandangan Kant, bahwa pidana itu merupakan

konsekuensi logis yang tidak terpisahkan akibat kejahatan yang telah

dilakukan seseorang, bukan sebagai suatu kontrak sosial. Konkretnya,

pidana dijatuhkan bukan ditujukan sebagai perbaikan si pelaku atau

masyarakat. Kant hanya menerima satu-satunya alasan bahwa pidana

dijatuhkan karena pelaku tersebut telah melakukan kejahatan. Oleh karena

itu, secara konkret dapat dikatakan bahwa dari latar belakang filsafat

pemidanaan yang dikembangkan Imanuel Kant tersebut lahirlah teori

retributif yang mendasari tujuan pemidanaan yang menitikberatkan pada

pertanggungjawaban pelaku kejahatan terhadap korbannya.

Kemudian terhadap teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doel

theorien) maka Muladi dan Barda Nawawi Arief35 mengatakan teori ini

menegaskan penjatuhan pidana bukanlah merupakan guna memuaskan

tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan tersebut tidak mempunyai nilai,

tetapi hanyalah sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, menurut Johannes Andenaes teori ini disebut juga sebagai

“teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence). Menurut Nigel

Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the “reductive”

point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah

mengurangi frekuensi kejahatan. Konsekuensi logisnya, penganut teori ini

dapat disebut golongan “Reducers” (penganut teori reduktif). Pidana

bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada

orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-

tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga

disebut dengan teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya

pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.

Memang, hakikatnya teori pemidanaan tersebut ditransformasikan

melalui kebijakan pidana (criminal policy) pada kebijakan legislatif. Ada

35Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, PT Alumni, Bandung, 1998, hlm. 11

Page 18: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

18

beberapa aspek mengapa kebijakan ini perlu dirumuskan, yaitu36: Pertama,

untuk sedapat mungkin diharapkan relatif menekan adanya disparitas dalam

pemidanaan (sentencing of disparity) terhadap kasus atau perkara yang sejenis,

hampir identik dan ketentuan tindak pidana yang dilanggar relatif sama.

Pada hakikatnya, disparitas Molly Cheang merupakan penerapan pidana

yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau

terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat

diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran

yang jelas.37 Dengan adanya pedoman pemidanaan pada kebijakan legislatif

maka hakim dalam hal penerapan peraturan sebagai kebijakan aplikatif dapat

menjatuhkan pidana lebih adil, manusiawi dan mempunyai rambu-rambu

yang bersifat yuridis, moral justice dan sosial justice. Konkritnya,

konsekuensi logis aspek ini maka putusan hakim atau putusan pengadilan

diharapkan lebih mendekatkan diri pada keadilan yang mencerminkan nilai-

nilai yang hidup di masyarakat. Teori Hukum Pembuktian tersebut dalam

middle range theory akan berkorelasi dengan teori-teori pemidanaan sebagai

applied theory yang pada dasarnya mengacu kepada konsepsi Negara Hukum

sebagai grand theory dalam penyusunan tulisan ini.

Untuk lengkapnya kerangka pemikiran ini maka grand theory berupa

Negara Hukum kemudian middle range theory berupa Teori Hukum

Pembuktian dan applied theory berupa Teori-Teori Pemidanaan dapat dilihat

dalam bentuk bagan 1 berikut ini.

36Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban ..., Op Cit. ,hlm 215 37Molly Cheang, Disparity of Sentencing, Singapore Malaya Law Journal, PTE Ltd., 1977, hlm. 2

Page 19: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

19

KERANGKA PEMIKIRAN

Teori Hukum Pembuktian

Teori Negara Hukum

Negara Hukum Indonesia

Teori Pembuktian Positif

Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Praktik Peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Teori Pemidanaan

Gra

nd T

heor

yM

iddl

e Ra

nge

Theo

ryA

pplie

d T

heor

y

Teori Keyakinan HakimTeori Pembuktian Negatif

Teori AbsolutTeori Relatif

Teori Gabungan

Page 20: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

20

C. PENGATURAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA KEBIJAKAN

LEGISLASI INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI

Sudah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu bahwasanya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006

menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Konsekuensi logis dimensi demikian

maka dikaji dari perspektif kebijakan legislasi Indonesia maka perbuatan

melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi tidak ada

pengaturannya. Tegasnya, dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak

mengenal lagi perbuatan melawan hukum materiil.

Konsekuensi adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 maka terdapat kekosongan norma

hukum terhadap eksistensi pengaturan perbuatan melawan hukum materiil.

Di satu sisi, perbuatan melawan hukum materiil tidak dikenal lagi dalam

norma hukum yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia khususnya

dalam ketentuan hukum positif Indonesia, akan tetapi di sisi lainnya ternyata

perbuatan melawan hukum materiil eksistensinya tetap ada dan terjadi dalam

praktik peradilan.

Dikaji dari perspektif kebijakan aplikasi maka Hakim harus

mempertimbangkan dimensi demikian. Apabila Hakim bertitik tolak pada

polarisasi pemikiran yang bersifat formal legalistik maka akan bertentangan

dengan norma-norma keadilan yang terdapat dalam suatu masyarakat. Akan

tetapi, apabila Hakim lebih mengkedepankan dimensi keadilan maka Hakim

akan dihadapkan kepada norma-norma formal legalistik dalam suatu Negara

Hukum. Oleh karena dimensi yang demikian Hakim harus memilih suatu

langkah yang tepat dalam menghadapi suatu kasus konkrit yang diajukan

Page 21: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

21

kepadanya, apakah akan lebih mengkedepankan asas formil legalistik di satu

sisi dengan mengabaikan asas keadilan di sisi lainnya, ataukah adanya suatu

peramuan antara dimensi yang bersifat formal legalistik dengan asas keadilan

di lain pihak.

Dalam ilmu hukum pada umumnya maka dalam memutus suatu

perkara Hakim dapat melakukan suatu penafsiran hukum, sehingga suatu

kasus konkrit dapat diputus oleh Hakim yang dapat bersifat peramuan antara

dimensi yang bersifat formal legalistik dengan asas keadilan di lain pihak.

Penafsiran yang dilakukan oleh Hakim merupakan penafsiran yang bersifat

konkrit oleh karena Hakim dihadapkan dalam memutus suatu perkara yang

konkrit pula. Pada kebijakan legislasi hukum di Indonesia maka penafsiran

hukum oleh Hakim diperkenankan dan malah merupakan suatu kewajiban

dari Hakim Indonesia. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa, “Hakim

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat”. Kemudian penjelasan ketentuan Pasal 28 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

dengan tegas menyebutkan bahwa, “ketentuan pasal ini dimaksudkan agar

putusan Hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”

Dengan bertitik tolak dimensi yang demikian, yaitu pasca Putusan

Mahkamah Konsitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 memang

telah terjadi kekosongan norma hukum pada kebijakan legislasi Indonesia

yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum materiil (materiel

wederrechtelijkeheid). Aspek ini dapat dideskripsikan sebagaimana penelitian

terhadap responden tentang adanya kekosongan norma hukum pada

kebijakan legislasi Indonesia tentang perbuatan melawan hukum materiil

pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25

Juli 2006 sebagaimana Tabel 1 berikut ini.

Page 22: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

22

Tabel 1. Pengetahuan Responden Mengenai kekosongan norma hukum pada kebijakan legislasi Indonesia

tentang perbuatan melawan hukum materiil pasca Putusan Mahkamah Konsitusi

Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006

(n= 30 responden)

A / % B / % C/% Pertanyaan Tahu Tidak Tahu Tidak

menjawab Apakah ada kekosongan norma hukum pada kebijakan legislasi Indonesia tentang perbuatan melwan hukum materiil pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006?

30/100%

0/0%

-

Sumber: Jawaban Responden

Analisis:

Seluruh responden mengetahui adanya kekosongan norma hukum

pada kebijakan legislasi Indonesia khususnya UU Nomor 31 Tahun 1999 jo

UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perbuatan melawan hukum materiil pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli

2006. Menurut pendapat penulis, maka putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut telah diketahui seluruh responden yang menyatakan penjelasan

ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

sehingga terjadi kekosongan norma hukum tentang perbuatan melawan

hukum materiil dalam kebijakan legislasi Indonesia.

Page 23: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

23

Konsekuensi logis, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 maka perbuatan melawan hukum

materiil tidak dikenal lagi dalam kebijakan legislasi Indonesia. Akan tetapi,

bagaimanakah dalam praktiknya? Ternyata, mayoritas responden tetap

menterapkan perbuatan melawan hukum materiil. Konklusi dasarnya,

ternyata Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25

Juli 2006 diabaikan dalam kebijakan aplikasi.

Aspek ini dapat dideskripsikan penelitian terhadap responden tentang

tetap diterapkannya perbuatan melawan hukum materiil pada praktik

peradilan tindak pidana korupsi sebagaimana terdapat dalam Tabel 2 berikut

ini.

Tabel 2. Pengetahuan responden tentang perlunya diterapkan Perbuatan melawan hukum materiil pada praktik

peradilan tindak pidana korupsi

(n= 30 respondent) A / % B / % C/% Pertanyaan

Tahu Tidak tahu Tidak menjawab

Apakah menurut Sdr/i perbuatan melwan hukum materiil tetap diterapkan pada praktik peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia

25/83 %

5/17%

-

Sumber: Jawaban Responden

Analisis:

Keseluruhan Responden yang berjumlah 30 orang maka 5 orang

(17%) menyatakan tidak perlu eksistensi perbuatan melawan hukum materiil

tetap diterapkan pada praktik peradilan tindak pidana korupsi dan sebanyak

25 orang (83%) menyatakan perbuatan melawan hukum materiil tetap perlu

dan diterapkan pada praktik peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Page 24: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

24

Data pengetahuan responden menunjukan 83% responden menyatakan

tentang masih pentingnya eksistensi perbuatan melawan hukum materiil

tetap diterapkan pada praktik peradilan tindak pidana korupsi. Menurut

penulis, perbuatan melawan hukum materiil tetap diterapkan pada praktik

peradilan tindak pidana korupsi tersebut relatif diketahui dan dipahami serta

dirasakan penting eksistensinya secara substansial.

Tabel 3 berikut mendeskripsikan mayoritas responden tetap

menginginkan perlunya pengaturan perbuatan melawan hukum materiil

pada kebijakan legislasi Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 sebagaimana tabel berikut ini.

Tabel 3. Perlunya pengaturan perbuatan melawan hukum materiil pada kebijakan legislasi Indonesia

(n= 30 responden)

A / % B / % Pertanyaan Perlu Tidak perlu

Menurut Sdr/i apakah perlu perbuatan melawan hukum materiil diatur dalam kebijakan legislasi Indonesia khususnya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Masa Mendatang (ius constituendum)?

25/83 %

5/17%

Sumber: Jawaban Responden

Analisis:

Mengenai hasil respondent tentang apakah perlu perbuatan melawan

hukum materiil diatur dalam kebijakan legislasi Indonesia khususnya dalam

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Masa Mendatang (ius

constituendum) maka dari 30 responden sebanyak 25 orang (83%) mengatakan

perlunya perbuatan melawan hukum materiil diatur dalam kebijakan legislasi

Page 25: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

25

Indonesia khususnya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Masa

Mendatang (ius constituendum) dan sebanyak 5 orang (17%) menjawab tidak

perlu perbuatan melawan hukum materiil diatur dalam kebijakan legislasi

Indonesia khususnya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Masa

Mendatang (ius constituendum).

Dari dimensi ini, ternyata keseluruhan responden pada tabel 2 tentang

perbuatan melawan hukum materiil tetap diterapkan pada praktik peradilan

tindak pidana korupsi identik dengan keseluruhan responden tentang

perlunya diatur dalam kebijakan legislasi indonesia khususnya dalam

Undang-Undang Tipikor. Ternyata, perilaku responden konsisten antara

yang tetap menterapkan perbuatan melawan hukum materiil dalam praktik

pradilan dengan pengaturan perbuatan melawan hukum materiil dalam

kebijakan legislasi Indonesia khususnya dalam Undang-Undang Tindak

Pidana Korupsi selaku ius constituendum.

Hasil penelitian responden terhadap perbuatan melawan hukum

materiil dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya mengetahui bahwa ada

kekosongan norma hukum pada kebijakan legislasi Indonesia terhadap

pengaturan perbuatan melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid)

pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25

Juli 2006 yang seluruhnya diketahui oleh para respondent (100%). Akan

tetapi, walaupun para respondent mengetahui adanya kekosongan norma

hukum terhadap pengaturan perbuatan melawan hukum materiil (materiel

wederrechtelijkeheid) tetapi praktiknya hampir mayoritas respondent (83%)

tetap menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum materiil diterapkan

para praktik peradilan tindak pidana korupsi pada kebijakan aplikasi. Aspek

ini relatif significant dibandingkan respondent (17%) yang tidak menerapkan

perbuatan melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid). Dari

keseluruhan respondent tersebut mendeskripsikan bahwa pada praktik

peradilan hendaknya tetap diterapkan perbuatan melawan hukum materiil.

Konsekuensi logis keseluruhan respondent yang diteliti pun menginginkan

perlunya pengaturan perbuatan melawan hukum materiil pada kebijakan

Page 26: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

26

legislasi Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-

IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 pada hampir hampir mayoritas respondent

(83%).

D. PRAKTIK PERADILAN TERHADAP PERBUATAN MELAWAN

HUKUM MATERIIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

INDONESIA PADA KEBIJAKAN APLIKASI PASCA PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI

Pada dasarnya, kebijakan aplikasi khususnya Mahkamah Agung

Republik Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 /PUU-

IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 tetap mempergunakan perbuatan melawan

hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid). Aspek ini menggariskan bahwa

Mahkamah Agung tetap mempertahankan dan menerapkan ajaran perbuatan

melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid), walaupun di sisi

lainnya kebijakan legislasi tidak mengaturnya lagi.

Putusan Mahkamah Agung khususnya Putusan Mahkamah Agung

RI Nomor Nomor 2064 K/Pid/2006 Tanggal 8 Januari 2007 atas nama

terdakwa H. Fahrani Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996

K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama Terdakwa Hamdani Amin

dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober

2006 atas nama Terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, SH dimana

Mahkamah Mahkamah Agung RI tetap mempergunakan perbuatan melawan

hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dengan melalui penafsiran

hukkum dan beserta argumentasi sebagai berikut:

Bahwa dengan dinyatakannya penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

sebagai bertentangan dengan Undang-Undang dasar 19451945 dan

telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan

demikian unsur “melawan hukum” tersebut menjadi tidak jelas

rumusannya, oleh karena itu berdasarkan doktrin “Sen-Clair” atau “La

Page 27: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

27

doctrine du Sen-Clair” hakim harus melakukan penemuan hukum

dengan memperhatikan :

a) Pasal 28 Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004 yang

menentukan, “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, dan juga

ketentuan Pasal 16 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Pengadilan

tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;

b) Hakim dalam mencari makna “melawan hukum” seharusnya

mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur

pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit

(Bandingkan M.Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan

dan penerapan KUHAP, Edisi Kedua, halaman 120);

c) Bahwa Hamaker dalam karangannya Het recht en de

maatschappij dan juga Recht, Wet en Recht antara lain

berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusan

sesuai kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang

hidup dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi

I.H. Hymans (dalam karangan: Het recht der werkelijkdend),

hanya putusan hakim yang sesuai dengan kesadaran hukum dan

kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan hukum

dalam makna yang sebenarnya (het recht der werkelijkheid)(lihat

Prof.Dr. Achmad Ali, SH,MH. Menguak tabir Hukum Suatu Kajian

Filosofis dan sosiologis ). Cetakan ke II (kedua), 2002, hal. 140).

d) Bahwa apabila kita memperhatikan Undang-Undang , ternyata bagi

kita bahwa Undang-Undang tidak saja menunjukkan banyak

kekurangannya dan bahkan seringkali tidak jelas. walaupun

demikian Hakim harus melakukan peradilan. Teranglah , bahwa

dalam hal sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kepada

hakim untuk menetapkan sendiri ketentuan maknanya suatu

Page 28: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

28

ketentuan Undang-Undang. Dan Hakim boleh menafsirsuatu

ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau historis baik

”recht maupun wethistoris” (Lie Oen Hock, Jurisprudensi sebagai

Sumber Hukum, Pidato diucapkan pada waktu Pengresmian

Pemangkuan Djabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu

Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada fakultas

Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di

Djakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11).

Bahwa memperhatikan butir 1 tersebut, maka Mahkamah Agung

dalam memberi makna unsur “melawan hukum” dalam ketentuan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 akan memperhatikan doktrin dan

Yurisprudensi MARI yang berpendapat bahwa unsur “melawan

hukum” dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan

melawan hukum dalam arti formil maupun materiil dan mengenai

perbuatan melawan hukum dalam arti materiil dan mengenal

perbuatan melawan hukum yang meliputi fungsi positif dan negatif ,

yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada :

a) bahwa tujuan diperluas unsur perbuatan “melawan hukum”

adalah untuk mempermudah pembuktian di persidangan sehingga

suatu perbuatan yang dipandang oleh masyarakat sebagai

melawan hukum secara materiil atau tercela perbuatannya,

dapatlah dihukum pelakunya melakukan tindak pidana korupsi,

meskipun perbuatannya itu tidak melakukan perbuatan melawan

hukum secara formal.(Dr. Indriyanto Seno Adji, SH, MH, Korupsi

dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, hlm 14);

b) bahwa pengertian “melawan hukum” menurut penjelasan Pasal 1

ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971, tidak hanya

melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup

pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau

Page 29: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

29

kepatutan dalam pergaulan masyarakat atau dipandang tercela

oleh masyarakat.

c) Bahwa dari butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI tanggal 11 Juli

1970 sebagai pengantar diajukannya RUU Nomor 3 Tahun 1971

dapat disimpulkan pengertian perbuatan “melawan hukum” secara

materiil adalah dititikberatkan pada pengertian yang diperoleh dari

hukum tidak tertulis, hal ini tersirat dari surat tersebut yang pada

pokoknya berbunyi, “maka untuk mencakup perbuatan-perbuatan

yang sesungguhnya bersifat koruptif akan tetapi sukar dipidana,

karena tidak didahukui suatu kejahatan atau pelanggaran-

pelanggaran dalam RUU ini dikemukakan sarana, “melawan

hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang pengertiannya

juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan

norma-norma yang lazim atau bertentangan dengan keharusan

dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang

lain, barang maupun haknya” ;

d) Bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi

dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1983

tanggal 28 Desember 1983, untuk pertama kalinya dinyatakan

secara tegas bahwa korupsi secara materiil melawan hukum,

karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut,

tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan

memakai tolok ukur asas-asas hukum yang bersifat umum dan

menurut kepatutan dalam masyarakat.

bahwa Yurisprudesi dan doktrin merupakan Sumber Hukum Formil

selain Undang-Undang dan kebiasaan serta Traktat yang dapat

digunakan oleh mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang

dihadapinya. Yurisprudensi tentang makna perbuatan elawan hukum

dalam arti formil dan dalam arti materiil harus tetap dijadikan

pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-

perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran

Page 30: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

30

hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat ,

kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat ;

Kemudian pada tingkat yudex facti di tingkat Pengadilan Negeri

ternyata Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen dalam Nomor

91/Pid.B/2008/PN. Kpj. Tanggal 29 April 2008 dan Putusan Pengadilan Negeri

Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj. Tanggal 23 April 2008 tetap

mempergunakan perbuatan melawan hukum materiil dengan dasar

pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa pengertian “MELAWAN HUKUM” adalah dalam

pengertian formil maupun materiil dimana ajaran sifat melawan

hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan

telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak

pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana dan ajaran yang

materiil mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat

formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam

rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh

masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela (Vide:

Ny. Komariah Emong Sapardjaja, “Ajaran Sifat Melawan Hukum

Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus Tentang

Penerapan Dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi)”, Penerbit PT.

Alumni, Bandung, 2001, hlm. 25.);

Bahwa sifat melawan hukum formal berarti semua bagian (tertulis

dalam undang-undang) dari rumusan delik telah terpenuhi dan

sifat melawan hukum materiel berarti bahwa karena perbuatan itu,

kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tertentu

telah dilanggar (Vide: D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sitorus,

“Hukum Pidana”, Editor Penerjemahan J.E. Sahetapy, Penerbit

Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 50);

Bahwa Profesor Van Hattum mengatakan bahwa : “menurut ajaran

wederrechtelijkheid dalam arti formal suatu perbuatan hanya dapat

Page 31: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

31

dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk apabila perbuatan

tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan

suatu delik menurut undang-undang dan menurut ajaran

wederrechtelijkheid dalam arti material, apakah suatu perbuatan itu

dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk atau tidak,

masalahnya bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan-

ketentuan hukum yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau

menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis”

(Vide: P.A.F. Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”,

Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 351) ;

Menimbang, bahwa dalam praktik peradilan khususnya melalui

perkembangan yurisprudensi pengertian “melawan hukum” terjadi

pergeseran dari perbuatan melawan hukum materiil dengan fungsi

positif dan negatif dimana fungsi negatif sebagai alasan peniadaan

pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun

penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana sedangkan

pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif

melalui kretaria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang

tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum

yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak

seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari

perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut ;

Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-

IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 menyatakan penjelasan ketentuan

Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun

2001 yang mengatur perbuatan melawan hukum materiil

bertentangan dengan UUD 1945 dan telah pula dinyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006

tanggal 25 Juli 2006 Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya (Putusan

Page 32: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

32

Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 atas

nama terdakwa Hamdani Amin dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor

1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Prof. Dr.

Rusadi Kantaprawira SH.) tetap menerapkan ajaran perbuatan melawan

hukum materiil sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun

1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001

E. PENUTUP

Adanya kekosongan norma hukum terhadap pengaturan perbuatan

melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) dalam Tindak Pidana

Korupsi pada kebijakan legislasi Indonesia Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi. Oleh karena itu Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003

/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tidak diatur lagi tentang perbuatan

melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) dalam Tindak Pidana

Korupsi. Kemudian praktik peradilan terhadap perbuatan melawan hukum

materiil dalam Tindak Pidana Korupsi Indonesia pada kebijakan aplikasi

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25

Juli 2006 maka hakim melalui penafsiran hukum tetap mempergunakan dan

menerapkan perbuatan melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid)

dalam Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terdapat pada Putusan

Mahkamah Agung RI Nomor 2064 K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas

nama Terdakwa H. Fahrani Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor

996 K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama Terdakwa Hamdani

Amin, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006 Tanggal 13

Oktober 2006 atas nama Terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H.,

kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 91/Pid.B/2008/PN.

Kpj. Tanggal 29 April 2008 atas nama terdakwa Abdul Mukti dan Putusan

Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj. Tanggal 23

April 2008 atas nama terdakwa Prayitno. Oleh karena itu, hendaknya

kebijakan legislasi dalam pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi masa mendatang (ius constituendum) merumuskan kembali tentang

Page 33: PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL … Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari asas

33

formulasi pasal yang mengatur perbuatan melawan hukum materiil (materiel

wederrechtelijkeheid) dalam Tindak Pidana Korupsi sehingga dapat menjamin

adanya kepastian hukum (recht-zekerheids) pada kasus tindak pidana korupsi

in-concreto, serta pembentuk Undang-Undang melakukan revisi terhadap

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Tindak Pidana Korupsi sehingga Undang-Undang tersebut

relatif dapat mengikuti perkembangan zaman Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006. *****