h08sdt
Post on 03-Jan-2016
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA
OLEH SHOLIHATI DIYAN TIMOR
H14103022
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
SHOLIHATI DIYAN TIMOR. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Jagung di Indonesia (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI).
Seiring dengan perkembangan industri pakan, industri makanan olahan (snack food), dan produk industri turunan berbasis jagung (integrated corn industry), jagung tidak hanya menjadi sumber karbohidrat kedua setelah beras tetapi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, penyedia bahan baku industri serta menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir (Lampiran 1). Industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di Indonesia, keberadaanya diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industri peternakan yang harus bersaing dengan produk peternakan impor. Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur, dan susu mengalami peningkatan karena tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi di era globalisasi.
Produksi jagung Indonesia selama periode tahun 1985 – 2005 dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang disertai dengan peningkatan konsumsi jagung terutama untuk industri. Namun, masih terbatasnya produksi jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan mengakibatkan impor jagung Indonesia pada kurun waktu tersebut juga mengalami peningkatan secara fluktuatif. Sebagian besar jagung yang diimpor berasal dari Cina, Amerika Serikat, dan Argentina.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji perkembangan produksi, konsumsi, dan impor jagung di Indonesia, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung di Indonesia, dan (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor jagung di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder deret waktu periode tahun 1985 – 2005, dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif dengan metode Two-Stages Least Squares (2SLS). Model yang digunakan adalah model persamaan simultan dan menggunakan alat bantu piranti lunak Microsoft Office 2003 dan E-Views 4.1. Jagung lokal dalam penelitian ini tidak dibedakan berdasarkan jenis jagung yang diproduksi, sedangkan jagung impor berdasarkan kode HS Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow maize atau corn.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produksi jagung di Indonesia disebabkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitas jagung. Luas areal mengalami peningkatan secara fluktuatif dan terkonsentrasi di Pulau Jawa, disamping itu terjadi pergeseran dari lahan kering ke lahan sawah beririgasi pada musim kemarau. Produktivitas jagung di Indonesia masih relatif rendah karena sistem usaha tani belum optimal, yaitu sebagian besar petani masih menggunakan
benih varietas jagung lokal, penggunaan pupuk yang belum berimbang, dan masih terbatasnya penggunaan pestisida untuk pengendalian hama.
Meskipun secara nasional jumlah produksi jagung lebih besar dibandingkan jumlah konsumsi jagung selama periode tahun 1985 – 2005, akan tetapi impor jagung dari tahun ke tahun pada kurun waktu tersebut mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal tersebut karena industri pakan terus mengalami perkembangan. Industri pakan sebagai konsumen jagung terbesar membutuhkan bahan baku dari jenis jagung gigi kuda (Zea mays indentata). Di satu sisi, jenis jagung yang banyak diproduksi di Indonesia adalah jagung mutiara (Zea mays indurata). Perbedaan jenis jagung inilah penyebab peningkatan impor jagung. Peran pemerintah untuk melindungi petani jagung dalam negeri adalah melalui tarif impor sebesar 5 – 10 persen dimana besarnya tarif yang diberlakukan disesuaikan dengan kondisi pertanian jagung Indonesia (musim panen atau tidak).
Hasil estimasi diperoleh pada taraf nyata lima persen. Untuk persamaan luas areal panen, variabel yang berpengaruh nyata adalah harga riil jagung di tingkat produsen, harga riil kedelai, tingkat suku bunga kredit, dan luas areal panen tahun sebelumnya; sedangkan untuk produktivitas jagung hanya variabel produktivitas tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata. Variabel harga riil jagung di tingkat produsen, tingkat inflasi, dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal, sementara variabel harga impor jagung dan jumlah impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia. Variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung, tarif impor jagung dan harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung Indonesia. Terdapat beberapa variabel yang berpengaruh nyata tetapi tidak sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis, yaitu tingkat suku bunga kredit, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan tarif impor jagung.
Untuk mewujudkan peningkatan produksi jagung sekaligus menurunkan impor jagung Indonesia adalah berupaya agar produksi jagung Indonesia lebih kompetitif melalui peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas akan tercapai dengan memperbaiki sistem usaha tani jagung, seperti beralih menggunakan benih varietas unggul (tipe jagung gigi kuda/Zea mays indentata), penggunaan pupuk yang sesuai dengan rekomendasi, pengendalian hama dengan pestisida, dan beralih ke lahan sawah beririgasi. Dengan demikian, impor akan dapat diturunkan dan harga jagung di tingkat petani akan meningkat, sehingga menggairahkan petani untuk lebih banyak menanam jagung. Kebijakan pemerintah dalam hal nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, tarif impor jagung, dan harga yang lebih berpihak kepada petani sangat dibutuhkan dalam mewujudkan tujuan pertanian jagung Indonesia.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA
Oleh
SHOLIHATI DIYAN TIMOR H14103022
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Sholihati Diyan Timor
Nomor Registrasi Pokok : H14103022
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produksi dan Impor Jagung di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.ScNIP. 131 967 243
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MSNIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2008
Sholihati Diyan Timor H14103022
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sholihati Diyan Timor lahir pada tanggal 22 April 1985
di Pati, Jawa Tengah. Penulis adalah putri pertama dari empat bersaudara, dari
pasangan Sholeh dengan Rohayati. Riwayat pendidikan dimulai dari pendidikan
TK Kenanga V Solo kemudian dilanjutkan pendidikan SD Negeri Palur 07 Solo
sampai dengan kelas lima dan dilanjutkan di SD Negeri Cendono 04 Kudus
sampai dengan lulus pada tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan ke SLTP
Negeri 1 Kudus dan lulus pada tahun 2000, selanjutnya tahun pertama sekolah
lanjutan atas penulis selesaikan di SMU Negeri 1 Sumber, Rembang dan
dilanjutkan di SMU Negeri 1 Tayu, Pati sampai dengan lulus pada tahun 2003.
Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan melanjutkan pendidikan
di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Departeman Ilmu Ekonomi. Selama
menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif pada organisasi Sharia Economics Student
Club (SESC) pada Divisi Publikasi dan Informasi, Himpunan Profesi Ekonomi
Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada Departemen Research and Development,
dan Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Ilmiah (PKMI) yang berhasil
menjadi finalis di tingkat IPB dan juara III presentasi terbaik pada Pekan Ilmiah
Mahasiswa Nasional XVIII (PIMNAS XVIII) di Padang tahun 2005.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala
karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penyusunan skripsi yang berjudul
“Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Jagung di
Indonesia” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini, khususnya:
1. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc selaku Pembimbing Skripsi yang telah
memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Sahara, SP, M.Si selaku Penguji Utama atas saran dan kritik yang telah
diberikan sehingga bermanfaat pada perbaikan skripsi ini.
3. Tony Irawan, SE, M.App.Ec selaku Penguji dari Komisi Pendidikan.
4. Papa dan Mama yang telah penuh dengan do’a dan kesabaran memberikan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-
baiknya.
5. De Cecep, De Fahni, dan De Fifi yang tanpa bosan menghibur penulis di
saat putus asa dan sedih.
6. Staf Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang penuh kesabaran
membantu penulis, baik pada saat seminar dan sidang.
7. Ibu Dewi Kartika selaku Kepala Bidang Tarif dan Non Tarif, Puslitbang
Departemen Perdagangan beserta staf (Mas Bagas Haryotejo, Bang Leo
Mualdy Christoffel, dan Mbak Aziza Rahmaniar Salam) yang telah
membantu dalam pengumpulan data.
8. Bang Charlos Mangunsong, Andina Oktariani, dan Rina Maryani yang
telah membantu dalam pengolahan data.
9. Deky Kurniawan yang telah menjadi pembahas pada seminar hasil
penelitian beserta teman-teman yang menjadi peserta pada seminar
tersebut.
10. Ika Sari Widayanti, Tirani Sakuntala Devi, dan Erni Dwi Lestari serta
teman-teman sau bimbingan skripsi penulis (Hany Larassati, Pritta
Amalia, dan Tuti Ratna Dewi) untuk saran dan kritik yang diberikan.
11. Conny, teman satu bumbingan skripsi sekaligus teman seperjuangan
penulis untuk kata ”SEMANGAT” dan kebersamaan selama penyelesaian
skripsi ini.
12. Teman-teman Ilmu Ekonomi 40, Wisma Melati, Moshi-moshi’s Crew (Teh
Manal, Kak Zaqie, Kak Tulus, Ennie, Eva, Neneng, Dewi, dan Luluk), Teh
Ipah, Teh Itoh, Ceu’ Ani, Mbak Anna, dan ”Ndunk” untuk motivasi yang
diberikan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan berguna bagi pihak
yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2008
Sholihati Diyan Timor H14103022
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................ 7
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................... 10
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................. 11
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN............. 13
2.1. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 13
2.1.1. Teori Penawaran, Permintaan, dan Harga........................... 13
2.1.2. Teori Perdagangan Internasional......................................... 21
2.1.3. Tarif..................................................................................... 25
2.1.4. Model Persamaan Simultan ................................................ 27
2.1.5. Penelitian Terdahulu ........................................................... 28
2.2. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................... 33
2.2.1. Fungsi Produksi................................................................... 33
2.2.2. Fungsi Impor ....................................................................... 40
2.2.3. Kerangka Pemikiran............................................................ 41
III. METODE PENELITIAN ..................................................................... 44
3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 44
3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ........................................... 44
3.3. Persamaan Model Ekonometrika .................................................... 45
3.3.1. Fungsi Produksi Jagung ...................................................... 45
3.3.2. Fungsi Luas Areal Jagung................................................... 46
3.3.3. Fungsi Produktivitas Jagung ............................................... 47
3.3.4. Fungsi Harga Jagung Lokal ................................................ 48
3.3.5. Fungsi Impor Jagung Indonesia .......................................... 48
3.3.6. Fungsi Harga Impor Jagung Indonesia ............................... 49
3.4. Hipotesis.......................................................................................... 51
3.5. Identifikasi Model ........................................................................... 52
3.6. Pengujian Model ............................................................................. 54
3.6.1. Uji Dugaan Variabel secara Individu.................................. 54
3.6.2. Uji Kesesuaian Model ......................................................... 55
3.6.3. Uji Multikolinearitas ........................................................... 56
3.6.4. Uji Autokorelasi .................................................................. 57
3.6.5. Uji Heteroskedastisitas........................................................ 58
3.7. Definisi Operasional ....................................................................... 59
IV. PRODUKSI, KONSUMSI, DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA..................................................................................... 62
4.1. Produksi Jagung di Indonesia ......................................................... 62
4.1.1. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Jagung ................ 62
4.1.2. Sistem Usaha Tani Jagung .................................................. 69
4.2. Konsumsi Jagung di Indonesia ....................................................... 78
4.3. Impor Jagung di Indonesia .............................................................. 84
V. ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG ....................................................................... 91
5.1. Hasil Dugaan Model ....................................................................... 91
5.2. Dugaan Model Ekonometrika ......................................................... 93
5.2.1. Luas Areal Jagung............................................................... 93
5.2.2. Produktivitas Jagung ........................................................... 97
5.2.3. Harga Riil Jagung Lokal ..................................................... 99
5.2.4. Impor Jagung Indonesia ...................................................... 103
5.2.5. Harga Impor Jagung Indonesia ........................................... 106
VI. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 111
6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 111
6.2. Saran................................................................................................ 114
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 115
LAMPIRAN.................................................................................................... 119
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005 ................................................................................. 3
1.2. Perkembangan Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005............................................................................................. 8
4.1. Produksi Jagung Menurut Pulau Terbesar di Indonesia Tahun 2005 – 2007 ................................................................................. 63
4.2. Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005 ................................................ 67
4.3. Jenis Pupuk dan Takaran Penggunaan .................................................... 75
4.4. Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Tahun 2000 – 2005 ............. 79
4.5. Daftar Perusahaan Pakan di Indonesia.................................................... 81
4.6. Impor Jagung Indonesia Menurut Negara Asal (Kg).............................. 89
5.1. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia ............................................................................................. 93
5.2. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia................ 97
5.3. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Jagung Lokal di Indonesia ................................................................................................. 100
5.4. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ................... 103
5.5. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia..................... 107
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Kurva Penawaran .......................................................................................13
2.2. Kurva Permintaan ......................................................................................19
2.3. Mekanisme Perdagangan Internasional......................................................23
2.4. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif.....................24
2.5. Fungsi Produksi..........................................................................................38
2.6. Kerangka Pemikiran Operasional ..............................................................43
3.1. Bagan Alur Sistem Persamaan Simultan ...................................................50
4.1. Kontribusi Sentra Produksi Jagung di Indonesia Tahun 2005 – 2007................................................................................................66
4.2. Perkembangan Jumlah Perusahaan Pakan di Indonesia Tahun 2001 – 2005 ....................................................................................80
4.3. Perkembangan Harga Jagung Dunia dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika ...............................................................84
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Pohon Industri Jagung........................................................................... 119
2. Produk Hasil Agroindustri Berbahan Baku Jagung .............................. 120
3. Data-data yang Digunakan dalam Penelitian ........................................ 121
4. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia ........................................................................................... 124
5. Uji Multikolinearitas Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia............................................................................... 124
6. Uji Autokorelasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia ........................................................................................... 124
7. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Luas Areal Tanaman Jagung di Indonesia ........................................................................................... 124
8. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia.............. 125
9. Uji Multikolinearitas Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia ............................................................................................... 125
10. Uji Autokorelasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia .......... 125
11. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia ............................................................................................... 125
12. Hasil Estimasi Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia ............... 126
13. Uji Multikolinearitas Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia ............................................................................................... 126
14. Uji Autokorelasi Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia............ 126
15. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia ............................................................................................... 126
16. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ................. 127
17. Uji Multikolinearitas Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ............................................................................................... 127
18. Uji Autokorelasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ............. 127
19. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ............................................................................................... 127
20. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia................... 128
21. Uji Multikolinearitas Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia ............................................................................................... 128
22. Uji Autokorelasi Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia ............................................................................................... 128
23. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia ............................................................................................... 128
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jagung sebagai salah satu komoditas subsektor tanaman pangan pada
sektor pertanian memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian nasional.
Komoditi jagung mempunyai prospek yang cukup baik sebagai bahan pangan
maupun bahan baku industri. Seiring dengan perkembangan industri pakan,
industri makanan olahan (snack food), dan produk industri turunan berbasis
jagung (integrated corn industry), jagung tidak hanya menjadi sumber karbohidrat
kedua setelah beras tetapi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor
pertanian, penyedia bahan baku industri serta menjadi penarik bagi pertumbuhan
industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir (Lampiran 1).
Industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di Indonesia (85,84 persen)
dibandingkan dengan industri snack food (6,44 persen) dan integrated corn
industry (7,73 persen). Kebutuhan jagung sebagai pakan ternak pada tahun 2007
mencapai kurang lebih 6,5 juta ton, dimana sebanyak empat juta ton digunakan
sebagai bahan baku pakan dan sisanya digunakan langsung oleh peternak
(Departemen Perindustrian, 2007).
Perkembangan industri pakan diperlukan untuk mendukung pertumbuhan
industri peternakan yang selama ini harus bersaing dengan produk peternakan
impor. Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur, dan susu mengalami
peningkatan karena tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein
hewani sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berdaya
saing tinggi di era globalisasi. Kandungan protein pada daging, telur, dan susu
lebih tinggi dibandingkan protein pada tahu. Jika harga protein telur Rp 75 per
gram sama dengan harga protein tahu per gramnya tetapi telur memiliki
kandnugan protein (12,5 persen) lebih besar dibandingkan tahu (7,5 persen),
sedangkan kandungan protein pada daging, khususnya daging ayam mencapai
18,5 persen dengan harga protein daging ayam Rp 85 per gram sedikit lebih mahal
dibandingkan dengan harga protein telur.
Rendahnya daya beli masyarakat terhadap produk peternakan
menyebabkan konsumsi akan protein hewani juga relatif rendah. Konsumsi
daging masyarakat Indonesia tahun 2006 hanya sebesar 4,5 kg per kapita masih
rendah dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 8,5 kg per kapita atau
Thailand 14 kg per kapita. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan Singapura dan
Malaysia, Indonesia sangat jauh tertinggal, karena konsumsi di kedua negara
tersebut berturut-turu telah mencapai 28 kg per kapita dan 38,5 kg per kapita
(Kompas, 2007). Oleh karena itu, ketersediaan jagung dalam negeri sangat
penting mendukung pertumbuhan industri peternakan agar dapat berproduksi
secara efisien sehingga harga produk peternakan terjangkau oleh masyarakat.
Sejak awal pertumbuhan industri peternakan dalam negeri pemerintah
terus berupaya untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri. Hal ini terbukti
selama periode tahun 1985 – 2005 produksi jagung dalam negeri relatif meningkat
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.1. Peningkatan produksi jagung tersebut
diupayakan melalui program Insus (Intensifikasi Khusus) yang berlanjut ke Supra
Insus berupa percepatan peningkatan produksi jagung hibrida dan komposit.
Kemudian program perluasan areal tanam/panen dan peningkatan Intensitas
Pertanaman (IP) di daerah-daerah penghasil jagung di Indonesia yang masih
terdapat potensi lahan cukup luas untuk pengembangan usaha tani jagung yang
mulai dirintis tahun 1996/1997. Tahun 2001 pemerintah mengadakan program
Gema Palagung (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, dan Jagung) diaktualisasikan
dalam Upaya Khusus Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional (UPSUS PKPN)
agar swasembada jagung dapat tercapai (Sumarno et al., 1998 dalam Sarasutha,
2002).
Tabel 1.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia
Tahun Produksi Jagung
Indonesia (Ribu Ton) Konsumsi Rumah
Tangga (Ribu Ton) Permintaan Industri
(Ribu Ton) 1985 4.330 2.335,78 3.797,64 1986 5.920 1.974,96 5.193,08 1987 5.156 1.668,52 4.522,32 1988 6.652 1.603,10 5.834,75 1989 6.193 1.539,33 5.431,78 1990 6.734 1.450,80 5.906,78 1991 6.256 1.327,44 5.487,39 1992 7.995 1.211,73 7.013,25 1993 6.460 1.104,65 5.666,18 1994 6.869 893,55 6.025,07 1995 8.246 720,61 7.232,92 1996 9.307 584,06 8.164,04 1997 8.771 616,23 7.693,38 1998 10.169 650,04 8.920,20 1999 9.204 682,54 8.073,35 2000 9.677 728,37 8.488,13 2001 9.347 790,34 8.198,92 2002 9.585 863,29 8.407,76 2003 10.886 869,41 9.549,08 2004 11.225 877,37 9.846,26 2005 12.014 885,40 10.537,87 Rata-rata pertumbuhan 6,20% -4,25% 6,21%
Sumber: Departemen Pertanian, 2006
Pertumbuhan produksi jagung tersebut telah mampu mencukupi konsumsi
jagung secara nasional, bahkan dapat dikatakan surplus produksi karena terjadi
penurunan konsumsi di tingkat rumah tangga meskipun konsumsi untuk industri
meningkat, sehingga diperlukan terobosan teknologi pengolahan/penyajian
(product development) untuk meningkatkan kembali konsumsi jagung di tingkat
rumah tangga. Pada dasarnya terdapat perbedaan jenis jagung yang dikonsumsi
sebagai bahan pangan pokok dan bahan baku industri, terutama industri pakan.
Jenis jagung yang digunakan untuk bahan pangan pokok adalah jagung lokal yang
ditanam pada ekosistem lahan kering dengan teknologi tradisional (subsisten),
sehingga hasilnya relatif rendah. Jagung lokal termasuk ke dalam tipe jagung
mutiara (Zea mays indurata) yang umumnya berwarna putih. Jagung untuk bahan
baku industri (jagung hibrida dan varietas unggul komposit) ditanam pada lahan
sawah atau lahan kering beriklim basah dengan menerapkan teknologi maju.
Berdasarkan tipenya termasuk ke dalam jagung gigi kuda (Zea mays indentata)
yang umumnya berwarna kuning.
Mengingat industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di dalam
negeri dan jenis jagung yang digunakan sebagai bahan baku pakan belum banyak
diproduksi oleh petani jagung dalam negeri, maka kebutuhan jagung sebagai
bahan baku pakan sejauh ini dipenuhi melalui impor. Pemerintah akan
mengijinkan impor jagung selama kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan
belum mampu dipenuhi produksi jagung dalam negeri. Akibat masih terbatasnya
produksi jagung yang digunakan industri pakan perkembangan impor jagung
Indonesia relatif meningkat selama periode tahun 1985 – 2005 secara fluktuatif.
Kebijakan impor jagung dipilih sebagai cara untuk mengatasi kekurangan
dan kontinuitas pasokan jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan
sebagai bahan baku industri pakan. Pemerintah tidak ingin memberatkan industri
pakan sebagai pendukung pertumbuhan industri peternakan menanggung biaya
produksi yang tinggi sebab hal tersebut akan berakibat pada tingginya harga
produk peternakan. Di satu sisi, pemerintah harus tetap memperhatikan petani
jagung dalam negeri agar memperoleh pendapatan yang layak dari usaha tani
jagung. Impor jagung yang terus meningkat akan berakibat pada rendahnya
insentif yang diterima petani jagung, sehingga akan menyebabkan bahaya latent,
yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Peningkatan
impor jagung juga berdampak negatif pada terkurasnya devisa negara dan neraca
perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia yang semakin defisit.
Oleh karena itu, upaya-upaya untuk meningkatkan produksi jagung
Indonesia, terutama jagung gigi kuda (Zea mays indentata) perlu segera
ditingkatkan agar secara bertahap Indonesia mampu mengurangi bahkan
menghilangkan ketergantungan impor jagung. Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan agar produksi jagung Indonesia dapat lebih ditingkatkan dan mampu
mencukupi konsumsi jagung, terutama industri pakan adalah berawal dari
perbaikan transparansi data produksi. Data produksi jagung Indonesia belum
dijelaskan apakah produksi jagung berupa jagung kering pipilan dengan kadar air
17 persen atau bentuk lain, seperti tanaman jagung, jagung sayur atau tongkol.
Data yang belum terspesifikasi sesuai dengan jenis jagung juga mempersulit
analisis konsumsi jagung sebagai bahan baku industri. Kemudian memperbaiki
variabel utama dalam penentuan produksi jagung, yaitu luas areal panen dan
produktivitas jagung. Peningkatan produksi jagung selama ini diduga dipengaruhi
oleh peningkatan produktivitas per hektar areal penanamannya, sedangkan jika
terjadi fluktuasi produksi antara lain karena mengikuti pola luas areal panen. Di
tahun 2005 produktivitas jagung Indonesia (3,43 ton per hektar) masih relatif
rendah dibandingkan dengan produktivitas jagung dunia (4,72 ton per hektar)
namun Indonesia masih berpotensi besar untuk meningkatkan produktivitas
jagung melalui perbaikan sistem usaha tani jagung.
Seiring dengan upaya peningkatan produksi melalui faktor-faktor di atas,
impor jagung Indonesia yang relatif meningkat dari tahun ke tahun meskipun
kondisi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika memiliki kecenderungan
terdepresiasi juga perlu segera diatasi. Faktor utama penyebab terjadinya
peningkatan impor jagung Indonesia, selain jenis jagung gigi kuda (Zea mays
indentata) yang masih terbatas di Indonesia adalah tingkat harga jagung dunia
yang relatif selalu menurun karena ketersediaan jagung di pasar dunia selalu
melimpah akibat peningkatan ekspor jagung Amerika Serikat dan Cina. Faktor
lain yang menjadi pendorong para pengusaha pakan melakukan impor adalah
efisiensi, dimana pengusaha pakan hanya berurusan dengan seorang eksportir
jagung dari negara asal. Jika membeli jagung lokal pengusaha pakan harus
mengumpulkan jagung sedikit demi sedikit dari beberapa petani di berbagai
wilayah sebagai pasokan bahan baku dengan kualitas yang belum terstandarisasi
dan tidak kontinu setiap waktu. Tarif impor juga dianggap sebagai faktor penting
yang harus dianalisis secara tepat, sebab tarif impor diharapkan dapat membatasi
impor jagung ketika sedang dalam musim panen.
Berdasarkan gambaran kondisi produksi, konsumsi, dan impor komoditi
jagung di Indonesia, maka sangat diperlukan suatu kajian atau penelitian yang
membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor
jagung Indonesia sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang berperan penting
dalam produksi dan impor jagung sekaligus mengetahui hal-hal apa saja yang
seharusnya dilakukan untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri dan
mengurangi impor jagung ke Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah
Produksi jagung Indonesia yang mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun selama periode tahun 1985 – 2005 ternyata disertai dengan peningkatan
konsumsi jagung terutama untuk industri. Jumlah produksi jagung yang lebih
besar dibandingkan dengan konsumsi jagung menunjukkan bahwa tidak pernah
terjadi ketimpangan antara produksi dan konsumsi jagung secara nasional. Akan
tetapi, selama kurun waktu tersebut impor jagung Indonesia memiliki
kecenderungan meningkat secara fluktuatif. Perbedaan jenis jagung yang banyak
diproduksi di Indonesia dengan jenis jagung yang diimpor merupakan penyebab
utama peningkatan impor meskipun Indonesia dapat dikatakan telah surplus
produksi. Produksi jagung lokal Indonesia yang umumnya tipe jagung mutiara
(Zea mays indurata) hanya enak dikonsumsi langsung sebagai campuran beras
dan tidak cocok digunakan sebagai bahan baku pakan.
Upaya untuk mengatasi kekurangan jagung gigi kuda (Zea mays
indentata) sebagai akibat tingginya konsumsi jagung sebagai bahan baku industri
pakan, pemerintah Indonesia mengijinkan para pengusaha pakan untuk
mengimpor jagung yang setiap tahunnya meningkat dan bahkan mulai tahun
1990-an status Indonesia telah berubah menjadi negara net importir jagung (Tabel
1.2) (Kasryno, 2002 dalam Kariyasa dan Sinaga, 2004). Hal tersebut telah
berdampak positif pada pengembangan sumber pendapatan dan lapangan kerja
yang luas bagi peternakan rakyat. Jika sejak awal perkembangan industri pakan
dan peternakan disertai dengan antisipasi yang efektif dalam memenuhi kebutuhan
jagung maka ketergantungan pada impor jagung tidak akan terjadi.
Tabel 1.2. Perkembangan Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005
Tahun Ekspor Impor 1985 3.542 49.8631986 4.433 57.3691987 4.680 220.9981988 37.454 63.4541989 232.093 33.3401990 136.641 5151991 30.742 323.1761992 136.523 55.4981993 52.088 494.4461994 34.091 1.109.2531995 74.880 969.1451996 26.830 616.9421997 18.957 1.098.3541998 632.515 313.4631999 96.647 618.0602000 28.066 1.264.5752001 90.474 1.035.7972002 16.306 1.154.0632003 33.691 1.345.4522004 32.679 1.088.9282005 62.748 234.706Rata-rata pertumbuhan 241,14% 3182%
Sumber: Departemen Pertanian, 2006
Sebelum tahun 1980 penggunaan jagung di Indonesia hanya sebatas untuk
kebutuhan konsumsi langsung oleh sekelompok masyarakat di daerah-daerah
tertentu. Pada tahun 1980 sekitar 94 persen penggunaan jagung untuk memenuhi
konsumsi langsung dan hanya sekitar enam persen untuk industri pakan. Selama
periode 1980 – 2002 penggunaan jagung masih didominasi untuk kebutuhan
konsumsi langsung tetapi pangsanya relatif menurun. Sejak tahun 2003 pangsa
penggunaan jagung untuk kebutuhan konsumsi langsung relatif lebih kecil
dibandingkan untuk penggunaan industri pakan. Selama periode 2000 – 2004
penggunaan jagung untuk konsumsi langsung menurun dengan laju sekitar dua
persen per tahun, sementara penggunaan jagung untuk industri pakan dan industri
pangan meningkat masing-masing sebesar 5,76 persen per tahun dan tiga persen
per tahun (Departemen Pertanian, 2005).
Konsumsi jagung oleh negara berkembang relatif meningkat karena pola
konsumsi terhadap produk peternakan cenderung meningkat akibat pertumbuhan
ekonomi, pertambahan penduduk dan urbanisasi. Pasandaran dan Kasryno (2003)
menjelaskan bahwa peningkatan permintaan jagung sebagai bahan baku pakan di
negara-negara berkembang dihadapkan pada permasalahan lambannya
peningkatan produksi jagung dalam negeri di negara masing-masing.
Perkembangan perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia menunjukkan adanya
kecenderungan peningkatan defisit dan mencapai puncaknya pada tahun 2003,
yaitu sebesar 1,31 juta ton atau setara 163,41 juta US$ (Tabel 1.2). Hal ini
disebabkan karena penggunaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan
di dalam negeri meningkat cukup tajam selama periode 1990 – 2001 dengan laju
sekitar 11,81 persen per tahun. Mulai tahun 1994 ketergantungan industri pakan
terhadap jagung impor sangat tinggi, yaitu sekitar 40,29 persen. Pada tahun 2000
penggunaan jagung impor dalam industri pakan sudah mencapai 47,04 persen,
sementara 52,96 persen sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri.
Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi oleh
pertanian jagung Indonesia, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan
dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi jagung di Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi impor jagung di Indonesia?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas,
maka tujuan dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Mengkaji perkembangan produksi, konsumsi, dan impor jagung Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung di
Indonesia.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor jagung di
Indonesia.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh seluruh
stakeholder dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan produksi jagung
Indonesia dan mengurangi bahkan menghapus ketergantungan impor jagung.
Adapun stakeholder yang terkait dalam hal ini diantaranya mencakup tiga pihak,
yaitu pemerintah sebagai pengambil kebijakan, pelaku ekonomi (produsen dan
konsumen jagung), dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai data dasar
(bench mark data) bagi penelitian selanjutnya yang terkait dalam bidang ini.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian terhadap sistem pertanian jagung nasional
dimana selalu terjadi kesenjangan dari waktu ke waktu. Permasalahan produksi
jagung di Indonesia yang dianalisis dalam penelitian ini tidak dibedakan
berdasarkan jenis jagung yang diproduksi (jagung lokal, jagung hibrida atau
jagung komposit) oleh petani jagung di Indonesia sehingga data produksi yang
digunakan adalah data produksi jagung nasional. Analisis impor jagung Indonesia
dalam penelitian ini didasarkan pada kode HS Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow
maize atau corn dan tidak dibedakan berdasarkan negara asal impor. Berdasarkan
pola data historis produksi dan impor jagung Indonesia dari tahun 1985 – 2005
dapat disimpulkan apakah terjadi kecenderungan meningkat atau menurun.
Adapun keterbatasan dari penelitian ini dimana tujuan dan penelitian dapat
dicapai dengan menggunakan data historis yang ada, antara lain:
1. Data yang digunakan adalah data tahunan, sehingga model persamaan
yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi semesteran, bulanan,
mingguan atau bahkan harian.
2. Terdapat beberapa faktor yaitu data curah hujan rata-rata di Indonesia;
jumlah penggunaan pupuk rata-rata di Indonesia; intensifikasi luas lahan
kering, sawah, dan pasang surut; harga benih jagung lokal, hibrida, dan
komposit yang dapat mewakili harga faktor produksi selain harga pupuk
urea yang diduga berpengaruh dalam menganalisis produktivitas jagung di
Indonesia.
3. Data produksi, luas areal panen, produktivitas, konsumsi, dan harga
jagung tidak dibedakan berdasarkan jenis jagung yang terdapat di
Indonesia.
4. Data impor jagung berupa volume dan nilai impor jagung Indonesia yang
digunakan tidak dibedakan berdasarkan jenis-jenis jagung yang diimpor
dan negara asal impor jagung baik oleh perusahaan pakan maupun
importir, sehingga data impor yang digunakan hanya berdasarkan kode HS
Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow maize atau corn.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Teori Penawaran, Permintaan, dan Harga
Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa dalam lingkup
ekonomi merupakan jumlah suatu barang atau jasa (komoditi) yang rela dan
mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan pada tingkat
harga tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Penawaran dalam pertanian
merupakan banyaknya komoditas pertanian yang disediakan atau ditawarkan oleh
berbagai produsen di suatu daerah. Hubungan yang terjadi antara harga dan
jumlah yang ditawarkan adalah positif, yaitu semakin tinggi harga suatu komoditi
(dari 0P1 ke 0P2), semakin banyak jumlah komoditi yang ditawarkan produsen
(dari 0Q1 ke 0Q2) (Gambar 2.1).
Harga barang
Kurva Penawaran
P2
P1
0 Q1 Q2 Jumlah barang
Gambar 2.1. Kurva Penawaran
Sebaliknya, semakin rendah harga suatu komoditi semakin sedikit jumlah
komoditi yang ditawarkan. Soekartawi (2002) dalam Rahim dan Hastuti (2007)
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran produk
pertanian meliputi teknologi, harga input, harga produk yang lain, jumlah
produsen, harapan konsumen, dan elastisitas produksi.
Asumsi yang digunakan dalam teori penawaran ini adalah ceteris paribus,
yaitu keadaan dimana faktor-faktor lain dianggap tetap. Misalnya, apabila harga
komoditi itu sendiri naik, diasumsikan ceteris paribus berarti faktor-faktor selain
harga komoditi itu sendiri tidak mengalami perubahan (Lipsey, 1995). Jumlah
produksi yang ditawarkan di pasaran berasal dari produksi pada waktu tertentu
dan inventory (persediaan) dari periode-periode sebelumnya.
Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran
suatu komoditi secara matematis dapat dituliskan dengan fungsi sebagai berikut:
QSK=f(PK, PS, PI, G, T, TX) .............................................................................. (2.1)
dimana:
QSK = Penawaran komoditi
PK = Harga komoditi itu sendiri
PS = Harga komoditi lain (substitusi atau komplementer)
PI = Harga faktor produksi
G = Tujuan perusahaan
T = Tingkat penggunaan teknologi
TX = Pajak dan subsidi
Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi secara
langsung adalah:
1. Harga komoditi itu sendiri.
Dalam keadaan ceteris paribus, harga komoditi itu sendiri mempunyai
hubungan yang positif terhadap jumlah barang yang ditawarkan. Tingkat
harga yang tinggi pada komoditi tersebut akan membuat produsen
menambah produksinya sehingga penawaran meningkat. Hal ini karena
peningkatan harga akan meningkatkan keuntungan produsen. Sebaliknya
jika harga komoditi tersebut menurun, minat produsen untuk berproduksi
akan berkurang sehingga penawaran akan turun. Dengan demikian,
perubahan harga suatu komoditi akan menyebabkan pergerakan sepanjang
kurva penawaran.
2. Harga komoditi lain (substitusi atau komplementer).
Berbagai komoditi dapat disubstitusi dan juga memiliki komoditi
pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Komoditi lain, baik
substitusi maupun komplementer juga mempengaruhi komoditi yang
bersangkutan. Peningkatan harga barang sustitusi akan menyebabkan
penurunan penawaran komoditi yang bersangkutan. Sebaliknya,
penurunan harga barang substitusi akan meningkatkan penawaran
komoditi yang bersangkutan. Sementara untuk barang komplementer,
kenaikan harganya akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi
yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, penurunan harga barang
komplementer akan berakibat turunnya penawaran komoditi yang
bersangkutan.
3. Harga faktor-faktor produksi.
Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan. Faktor-faktor produksi seperti mesin, tenaga kerja, dan bahan
baku akan mempengaruhi jumlah komoditi yang ditawarkan. Semakin
tinggi harga faktor-faktor produksi, maka keuntungan yang diperoleh
produsen berkurang, sehingga insentif produsen untuk berproduksi juga
berkurang. Jadi, kenaikan harga faktor-faktor produksi akan menurunkan
jumlah komoditi yang diproduksi dan ditawarkan.
4. Tujuan perusahaan.
Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa yang menjadi
tujuan perusahaan. Teori dasar ilmu ekonomi menyatakan bahwa tujuan
perusahaan adalah memaksimumkan laba. Akan tetapi, terdapat juga
perusahaan yang tidak berorientasi kepada maksimisasi laba. Perusahaan
seperti itu dapat meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa
terlalu memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan.
5. Tingkat penggunaan teknologi.
Kunci utama dari penawaran suatu komoditi adalah teknologi. Teknologi
mengacu kepada bagaimana input diproses menjadi output. Apabila
teknologi yang digunakan dapat mempercepat proses produksi atau
mengurangi biaya produksi, maka keuntungan dan insentif produsen untuk
berproduksi akan meningkat. Akibatnya jumlah komoditi yang ditawarkan
akan meningkat. Jadi teknologi yang digunakan berkolerasi positif
terhadap penawaran suatu komoditi.
6. Pajak dan subsidi.
Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan
mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi
insentif untuk berproduksi. Maka, penawaran komoditi tersebut akan
berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos
produksi dan meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi
tersebut akan meningkat.
Asumsi ceteris paribus digunakan dalam pasar persaingan sempurna, dimana
perubahan semua faktor kecuali harga komoditi yang bersangkutan dapat
menyebabkan pergeseran kurva penawaran yang berarti peningkatan dalam
penawaran akan berakibat turunnya harga komoditi tersebut, dan sebaliknya.
Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli
oleh konsumen selama periode tertentu dan kondisi tertentu (Pappas dan Hirschey,
1995). Dalam teori ekonomi mikro untuk mempelajari perilaku konsumen atau
masyarakat dalam mengonsumsi barang dan jasa dapat digunakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan kardinal dan pendekatan ordinal. Menurut
Sudarisman dan Algifari (1999) dalam Rahim dan Hastuti (2007), pendekatan
kardinal menganggap seorang konsumen dalam mengonsumsi suatu barang dan
jasa selalu berusaha memperoleh kepuasan total yang maksimum dari barang dan
jasa yang dikonsumsi. Sedangkan pendekatan ordinal adalah kepuasan konsumen
dapat diukur secara kondirol (absolut), tetapi kepuasannya hanya mungkin dapat
diukur dengan angka ordinal (relatif). Iswardono (1994) juga menjelaskan faktor-
faktor yang mempengaruhi permintaan secara sistematis dapat dituliskan sebagai
berikut:
QDK=f(PK, PS, I, S, PD) .................................................................................... (2.2)
dimana:
QDK = Permintaan komoditi
PK = Harga komoditi itu sendiri
PS = Harga komoditi lain
I = Pendapatan
S = Selera
PD = Populasi penduduk
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu komoditi secara
langsung adalah:
1. Harga komoditi itu sendiri.
Dengan asumsi ceteris paribus, peningkatan harga komoditi yang
bersangkutan akan menurunkan permintaannya, dan penurunan harga
komoditi yang bersangkutan akan meningkatkan permintaannya.
Permintaan dan harga komoditi yang bersangkutan memiliki hubungan
yang negatif.
2. Harga komoditi lain.
Perubahan harga komoditi substitusi akan mempengaruhi permintaan atas
komoditi yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi
substitusi akan meningkatkan permintaan atas komoditi yang
bersangkutan, dan permintaan barang yang bersangkutan akan mennurun
jika harga komoditi substitusi turun. Sedangkan perubahan harga barang
komplementer dapat mengubah permintaan komoditi yang bersangkutan
secara negatif. Semakin tinggi harga barang komplementer, semakin
rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan.
3. Pendapatan.
Kenaikan pendapatan cenderung meningkatkan permintaan untuk
komoditi yang berupa barang normal, dan sebaliknya.
4. Selera.
Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera.
Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan
meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu.
5. Populasi penduduk.
Peningkatan jumlah penduduk dapat meningkatkan permintaan atas suatu
komoditi. Hal ini diakibatkan semakin banyak jumlah penduduk maka
semakin banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi.
Harga barang
P2
P1
Kurva Permintaan
0 Q2 Q1 Jumlah barang
Gambar 2.2. Kurva Permintaan
Hubungan antara harga dengan jumlah barang yang akan dibeli adalah negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa ketika produsen meningkatkan harga barang, maka
yang terjadi pada jumlah barang yang akan dibeli akan berkurang. Kemudian
ketika harga barang diturunkan konsumen akan bersedia membeli lebih banyak
barang sehingga jumlah barang yang diminta akan meningkat (Gambar 2.2).
Permintaan suatu komoditas pertanian adalah banyaknya komoditas
pertanian yang dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen (Soekartawi, 1999 dalam
Rahim dan Hastuti, 2007). Jadi, permintaan komoditas pertanian merupakan
keseluruhan atau banyaknya jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan dan
diinginkan oleh pembeli (lembaga-lembaga pemasaran dan konsumen)
berdasarkan harga yang sudah ditentukan oleh produsen (petani, nelayan, dan
peternak).
Harga dibentuk oleh pasar yang mempunyai dua sisi, yaitu penawaran dan
permintaan. Harga merupakan sinyal kelangkaan (scarcity) suatu sumberdaya
yang mengarahkan pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumberdayanya
(Sunaryo, 2001). Perpotongan kurva penawaran dengan kurva permintaan suatu
komoditi dalam suatu pasar menentukan harga pasar komoditi tersebut, dimana
jumlah komoditi yang diminta sama dengan jumlah komoditi yang ditawarkan.
Dengan kata lain, keseimbangan harga pasar merupakan hasil interaksi kekuatan
penawaran dan permintaan kmoditi di pasar (Nicholson, 1995).
Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: (1) pemberi
informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk
memperoleh laba maksimum; (2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang
menginginkan kepuasan maksimum (Nicholson, 1995).
Permintaan mempengaruhi harga secara positif, dimana jika permintaan
turun maka kuantitas komoditi yang ada di pasar cenderung berlebihan sehingga
produsen akan menawarkan komoditinya dengan harga yang lebih rendah.
Sedangkan penawaran mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika
penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun dikarenakan kuantitas
komoditi yang ada lebih besar daripada yang diinginkan konsumen (Nicholson,
1995).
2.1.2. Teori Perdagangan Internasional
Teori perdagangan internasional menganalisis dasar-dasar terjadinya
perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh suatu negara dari
pelaksanaan perdagangan internasional tersebut. Pada dasarnya perdagangan
internasional bertujuan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor dan
memperbesar penerimaan devisa sebagai penyediaan dana pembangunan bagi
negara yang bersangkutan. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa para aliran
Merkantilisme berpendapat satu-satunya cara bagi sebuah negara untuk menjadi
kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sesedikit
mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkan selanjutnya akan dibentuk dalam
aliran emas lantakan, atau logam mulia, khususnya emas dan perak. Kaum
Merkantilisme mengukur kekayaan sebuah negara dengan stok (cadangan) logam
mulia yang dimilikinya.
Lain halnya dengan Adam Smith yang berpendapat bahwa perdagangan
antara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika
sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap)
negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien
dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam
memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh
keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam
memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya
dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. David Ricardo berpendapat
meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut
terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih tetap
terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah
pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan
mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan
komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang
memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian absolut).
Pada umumnya model perdagangan internasional didasarkan pada empat
hubungan inti, antara lain sebagai berikut:
1. Hubungan antara batas-batas kemungkinan produksi dengan kurva
penawaran relatif.
2. Hubungan antara harga-harga relatif dengan tingkat permintaan.
3. Penentuan keseimbangan dunia dengan penawaran relatif dunia dan
permintaan relatif dunia.
4. Dampak-dampak atau pengaruh nilai tukar perdagangan (terms of trade),
yaitu harga ekspor dari suatu negara dibagi dengan harga impornya,
terhadap kesejahteraan suatu negara.
Px/Py Px/Py Px/Py
Sx S(Ekspor) Sx
Eks- por
P3 A” P3 A’
P2 B E B” B’ E’ Im- por A D(Impor)
P1 A” Dx x1 X x X x2 X Kurva 1 Kurva 2 Kurva 3 (Negara 1) (Negara 2) (Negara 3)
Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 2.3. Mekanisme Perdagangan Internasional
Keterangan gambar:
Kurva 1: Menggambarkan keadaan pasar komoditi X di negara 1 (x1).
Kurva 2: Menggambarkan perdagangan internasional komoditi X negara 1 dan 2
(x).
Kurva 3: Menggambarkan keadaan pasar komoditi X di negara 2 (x2).
Mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Negara 1 akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik A berdasarkan harga
relatif komoditi X (Px/Py) sebesar P1 sebanyak x1, sedangkan negara 2 akan
berproduksi dan berkonsumsi di titik A’ pada harga relatif komoditi X di P3
sebanyak x2. Setelah hubungan perdagangan berlangsung di antara kedua negara
tersebut, harga relatif komoditi X akan berada di antara P1 dan P2. Apabila harga
relatif yang berlaku di negara 1 lebih besar dari P1, maka negara 1 akan memasok
lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestiknya. Kelebihan
produksi tersebut akan diekspor ke negara 2. Di lain pihak, jika harga relatif yang
berlaku di negara 2 lebih kecil dari P3, maka negara 2 akan mengalami
peningkatan permintaan, sehingga tingkat permintaan akan melebihi penawaran
domestiknya. Hal ini akan mendorong negara 2 untuk mengimpor komoditi X dari
negara 1.
Px
Dx Sx
E P2 G J H
P1 A C M N B
X
TRE
RE = Revenue Effect
Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 2.4. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif
Kurva pada Gambar 2.4 menunjukkan dampak diberlakukannya tarif
impor di suatu negara. Sebelum adanya tarif impor harga komoditi berada pada P1
dengan konsumsi dan produksi domestik masing-masing berada di D1 (AB) dan
S1 (AC), sehingga harus melakukan impor komoditi X sebesar CB dari negara
lain. Jika negara tersebut memberlakukan tarif impor sebesar T, maka harga akan
melonjak menjadi P2. Akibat kenaikan harga tersebut maka konsumen akan
menurunkan konsumsinya menjadi D2 (AN), dan produksi meningkat menjadi S2
(AM), sehingga impor turun menjadi sebesar MN. Dengan demikian maka
dampak adanya tarif terhadap konsumsi domestik bersifat negatif, yaitu sebesar
BN. Sementara itu dampak terhadap produksi domestik bersifat positif, yaitu
meningkatkan produksi sebesar CM. Secara keseluruhan, pemberlakuan tarif
memberi pemasukan terhadap penerimaan pemerintah (revenue effect of the
tariff) sebesar banyaknya tarif (T) dikali banyaknya komoditi X yang diimpor
setelah tarif (MN), yaitu sebesar MNHJ.
2.1.3. Tarif
Tarif adalah pajak produk internasional (impor) di pasar domestik
(Sunaryo, 2001). Sedangkan, menurut Smith dan Blakslee (1995) yang dimaksud
tarif adalah bea masuk (atau pajak) yang dikenakan terhadap barang yang
diangkut dari satu wilayah pabean ke wilayah pabean lain, baik dengan tujuan
untuk melindungi atau untuk memperoleh penghasilan. Tarif menyebabkan harga
suatu barang impor lebih tinggi, sehingga membuat barang tersebut secara umum
kurang dapat bersaing di pasar negara pengimpor, kecuali jika negara pengimpor
tersebut tidak menghasilkan barang yang dikenai tarif tersebut. Kebijakan
pemerintah dalam menentukan dan memberlakukan tarif atas suatu komoditi
impor bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri.
Hady (2004) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya, sistem (cara
pemungutan) tarif bea masuk ini dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Ad Valorem Tariff
Besarnya pungutan tarif atas barang impor ditentukan oleh tingkat
persentase tarif dikalikan harga dari barang tersebut. Sistem ini
memberikan keuntungan sebagai berikut:
1. Dapat mengikuti perkembangan tingkat harga (inflasi).
2. Terdapat diferensiasi harga produk sesuai kualitasnya.
Sedangkan kerugian dari sistem ini antara lain:
1. Memberikan beban yang cukup berat bagi administrasi pemerintahan,
khususnya bea cukai karena memerlukan data dan perincian harga
barang yang lengkap.
2. Sering menimbulkan perselisihan dalam penetapan harga untuk
perhitungan bea masuk antara importir dan bea cukai sehingga dapat
menimbulkan stagnasi (kemacetan) arus barang di pelabuhan.
2. Specific Tariff
Pungutan tarif ini didasarkan pada ukuran atau satuan tertentu dari barang
impor. Di Indonesia sistem tarif ini digunakan sebelum tahun 1991.
Keuntungan yang diperoleh jika menetapkan sistem ini antara lain:
1. Mudah dilaksanakan karena tidak memerlukan perincian harga barang
sesuai kualitasnya.
2. Dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi industri dalam negeri.
Adapun kerugian dalam penetapan sistem ini adalah sebagai berikut:
1. Pengenaan tarif dirasakan kurang atau tidak adil karena tidak
membedakan harga atau kualitas barang.
2. Hanya dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi yang bersifat
statis.
3. Compound Tariff
Pungutan tarif ini merupakan perpaduan antara sistem ad valorem dan
specific tariff.
2.1.4. Model Persamaan Simultan
Model empirik yang baik dalam menjelaskan fenomena ekonomi adalah
model yang dibuat sebagai suatu persepsi mengenai fenomena ekonomi aktual dan
didasarkan pada teori ekonomika. Ada beberapa model empirik yang dianggap
paling baik dalam kerangka model persamaan tunggal, yaitu model empirik
dengan pendekatan koreksi kesalahan atau sering disebut error correction method
(ECM) (Insukindro dan Aliman, 1999 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001). Akan
tetapi model koreksi kesalahan mempunyai kelemahan yang paling berbahaya
dalam model koreksi kesalahan, yaitu kemungkinan terjadinya overparameterisasi
(Breusch dan Wickens, 1998 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001).
Pada banyak penelitian, terkadang peneliti dihadapkan pada fenomena
ekonomi aktual yang saling mempengaruhi antara variabel ekonomi yang satu
dengan yang lain dan telah disepakati sebagai suatu teori ekonomika. Hal ini biasa
disebut dalam teori ekonometrika sebagai model persamaan simultan
(simultaneous-equation models). Berbeda dengan model regresi persamaan
tunggal dimana variabel terikat (dependent variable) dinyatakan sebagai sebuah
fungsi linier dari satu atau lebih variabel bebas (independent variable), sehingga
hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas merupakan
hubungan satu arah (variabel bebas merupakan penyebab dan variabel terikat
merupakan akibat). Model persamaan simultan merupakan suatu model dimana
sejumlah persamaan membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan
ketergantungan di antara berbagai variabel dalam persamaan-persamaan tersebut,
misalnya variabel terikat (Y) tidak hanya merupakan fungsi dari variabel bebas
(X) atau (Y)=f(X) akan tetapi X=f(Y) (Sprout dan Weaver, 1993 dalam Pasaribu
dan Saleh, 2001).
Di dalam model persamaan simultan tidak mungkin menaksir hanya satu
persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan lainnya,
kecuali jika dibuat asumsi khusus. Perbedaannya dengan metode penaksiran
parameter dengan ordinary least squares (OLS) adalah pada metode ini dari setiap
persamaan satu per satu diterapkan tanpa memperhatikan kaitannya dengan
persamaan-persamaan lain, maka hasil penaksiran yang diperoleh tidak saja bias
tetapi juga tidak konsisten. Artinya jika jumlah sampel ditambah sampai tak
terhingga, penaksiran tidak akan mendekati atau tidak menggambarkan nilai
parameter yang sesungguhnya (Pasaribu dan Saleh, 2001).
2.1.5. Penelitian Terdahulu
Subandi (1998) dalam Nugraha, et al. (2003) menjelaskan bahwa
rendahnya rata-rata hasil produksi jagung nasional disebabkan oleh interaksi dari
beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
1. Lahan. Sekitar 89 persen jagung dibudidayakan pada lahan sawah tadah
hujan dan tegalan dengan curah hujan yang tidak menentu, sehingga sering
mengalami kekeringan atau tergenang, serta pada tanah-tanah yang
umumnya memiliki kesuburan rendah, pH basa atau masam.
2. Petani. Petani jagung umumnya memiliki sumber daya yang terbatas,
lahan sempit dan terpencar dan banyak di antaranya terletak di daerah
terpencil dengan fasilitas komunikasi serta akses terhadap masukan yang
terbatas. Hal ini menyebabkan rendahnya adopsi teknologi baru.
3. Teknik budidaya yang diterapkan petani. Banyak petani yang mungkin
dianggap telah mengadopsi teknologi baru, namun kebanyakan mereka
masih menerapkan sebagian atau seluruh teknik budidaya tradisional
dengan masukan rendah, seperti mutu benih rendah, varietas lokal berdaya
hasil rendah, tanpa atau dengan pupuk takaran rendah, tanpa perlindungan
hama dan penyakit, dan populasi tanaman tidak memadai. Karena
kemampuan investasi dan daya tarik harga produk yang rendah, petani
menganggap bahwa teknologi baru, terutama hibrida, merupakan teknologi
yang mahal.
4. Penanganan pasca panen. Sekitar 69 persen jagung dipanen pada musim
hujan dan pengeringan sangat tergantung pada sinar matahari dan lantai
jemur. Kadar air jagung setelah penjemuran biasanya hanya mencapai 16 –
18 persen walaupun pada musim kemarau. Kontaminasi aflatoksin
terutama pada musim hujan dapat menurunkan mutu biji jagung yang
dihasilkan.
5. Harga. Di tingkat petani, harga jagung beragam tergantung pada daerah,
dengan kisaran 35 – 64 persen dari harga di pasar kabupaten. Harga yang
lebih rendah di tingkat petani biasanya terjadi di daerah-daerah terpencil.
Fluktuasi daya serap pasar dengan harga produk yang rendah ini kurang
memacu petani untuk mengadopsi teknologi baru. Kemitraan antara
pengusaha pakan dan petani dalam produksi dan pemasaran jagung telah
terjalin akhir-akhir ini, namun komitmen dalam pelaksanaan hal-hal yang
telah disepakati masih perlu ditingkatkan.
6. Dukungan pemerintah. Berbagai dukungan telah diberikan oleh
pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung domestik, seperti
penelitian pengembangan varietas, penyuluhan, produksi benih, kredit,
kebijakan harga dan pemasaran jagung, namun dukungan yang lebih
efektif masih diperlukan.
Pasandaran dan Kasryno (2003) melakukan penelitian di sentra utama
produksi jagung di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa tujuan produksi jagung di enam propinsi sentra produksi
jagung berbeda-beda. Di Sumatera Utara produksi jagung lebih diorientasikan
untuk komersiil (dijual), sedangkan di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi
Selatan digunakan untuk bahan pangan pokok, dan di Jawa Tengah dan Jawa
Timur untuk bahan pangan pokok dan bahan baku industri. Namun, tujuan
tersebut mengalami pergeseran pangsa setelah pabrik pakan mulai berkembang,
produksi jagung lebih diorientasikan sebagai bahan baku pakan. Perubahan lain
yang terjadi adalah pergeseran penanaman jagung dari lahan kering ke lahan
beririgasi, yang ternyata telah mampu meningkatkan produktivitas, di samping
karena penggunaan hibrida.
Kasryno (2003) menganalisis perkembangan produksi jagung di Indonesia,
yang ternyata produktivitas menjadi faktor utama peningkatan produksi jagung,
meskipun luas panen jagung relatif tidak banyak mengalami perubahan.
Produktivitas dapat ditingkatkan melalui inovasi dan adopsi teknologi baru,
berupa varietas jagung unggul baru. Peningkatan produktivitas jagung akan
meningkatkan insentif petani untuk menanam jagung sehingga produksi akan
meningkat.
Rachman (2003) menganalisis kebijakan perdagangan jagung domestik
dalam penelitiannya yang berjudul Perdagangan Internasional Komoditas Jagung,
dapat disimpulkan bahwa penerapan bea masuk impor yang realistis serta sesuai
dengan siklus harga jagung dan nilai kurs rupiah dipandang penting sebagai
langkah antisipatif terhadap penurunan harag jagung di pasar internasional dan
untuk merangsang petani dalam meningkatkan produktivitas.
Situmorang (2005) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dan impor beras Indonesia menggunakan model persamaan simultan
dengan metode Two Stage Least Squares. Sebagai komoditi yang juga termasuk
dalam lingkup ketahanan pangan, ternyata produksi beras dipengaruhi oleh luas
arel panen tanaman padi, produktivitas padi, dan kebijakan harga dasar gabah.
Sedangkan dalam hal impor beras dipengaruhi harga impor beras, dimana harga
impor beras dipengaruhi oleh harga beras dunia dan harga impor tahun
sebelumnya.
Aldillah (2006) mencoba meramalkan permintaan dan penawaran jagung
nasional dengan menggunakan model ARIMA. Dari hasil peramalannya
menunjukkan bahwa permintaan jagung selalu melebihi penawarannya, sehingga
kondisi neraca jagung nasional selalu defisit hingga tahun 2015. Rendahnya
produksi jagung penyebab kecenderungan kecilnya pertumbuhan penawaran
jagung.
Purnamasari (2006) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dan impor kedelai di Indonesia, menggunakan metode Two Stage Least
Squares (2SLS) dengan menggunakan program SAS version 6.12. Dari hasil
estimasi model secara keseluruhan hasil analisis yang diperoleh, luas areal panen
kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai domestik, harga jagung, dan
lag luas areal panen kedelai. Dalam jangka panjang luas areal panen kedelai
responsif terhadap perubahan harga riil kedelai domestik dan perubahan harga
jagung. Produktivitas kedelai dipengaruhi secara nyata oleh curah hujan, harga riil
jagung, dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang
berpengaruh nyata terhadap harga kedelai domestik adalah harga riil kedelai di
tingkat produsen, harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai dan harga riil
kedelai domestik tahun sebelumnya. Harga kedelai di tingkat produsen
dipengaruhi secara nyata oleh jumlah produksi kedelai, jumlah impor kedelai,
jumlah konsumsi kedelai, dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun
sebelumnya. Jumlah impor kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai
internasional, jumlah populasi, jumlah produksi kedelai dan jumlah konsumsi
kedelai.
Variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai
impor Indonesia adalah harga kedelai internasional, nilai tukar, dan harga riil
kedelai impor tahun sebelumnya. Dalam hal intervensi pemerintah, hasil analisis
menunjukkan bahwa monopoli BULOG sangat berpengaruh terhadap harga riil
kedelai di tingkat produsen, dengan kata lain pasar bebas domestik Indonesia
masih perlu diproteksi oleh pemerintah dari pengaruh fluktuasi harga
internasional, misalnya dengan cara membatasi impor, mengupayakan agar petani
kedelai mau bermitra dengan petani, dimana petani diberi pendampingan teknis
berupa pengadaan benih, pupuk, teknologi budidaya dari pengusaha terkait.
2.2. Kerangka Pemikiran
2.2.1. Fungsi Produksi
Produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang
maupun jasa (Lipsey, 1993). Produksi komoditas pertanian merupakan hasil
proses dari lahan pertanian dalam arti luas berupa komoditas pertanian (pangan,
hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan) dengan berbagai
pengaruh faktor-faktor produksi dan faktor-faktor hasil tangkapan (perahu, alat
tangkap, nelayan, jumlah trip, operasional dan musim) (Rahim dan Hastuti, 2007).
Tidak ada produk yang dihasilkan dengan menggunakan satu input. Riset-riset
yang telah dilakukan tidak hanya berperan dalam pengembangan kualitas input
melainkan juga mempengaruhi pemakaian dan kombinasi penggunaan input-input
tersebut. Proses produksi dalam rangka menghasilkan berbagai output seperti
yang diinginkan membutuhkan bermacam-macam input dengan kombinasi
tertentu yang berbeda-beda.
Fungsi yang digunakan untuk menjelaskan kombinasi input-input yang
diperlukan untuk menghasilkan output dalam produksi, para ekonom
menggunakan sebuah fungsi yang disebut fungsi produksi. Fungsi produksi adalah
hubungan fungsi yang memperlihatkan jumlah maksimum yang dapat diproduksi
oleh setiap input dan oleh kombinasi berbagai input (Lipsey, 1993). Nicholson
(2002) menjelaskan bahwa fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum
sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif
antara modal (K) dan tenaga kerja (L). Salah satu fungsi produksi yang telah
populer digunakan untuk menjelaskan hubungan produksi dalam sektor pertanian
adalah fungsi produksi neoklasik (Debertin, 1986). Di dalam fungsi produksi
neoklasik dijelaskan bahwa peningkatan penggunaan input akan meningkatkan
produktivitas input tersebut. Kemudian produktivitas fisik marjinal (marginal
physical productivity) menjelaskan seberapa banyak tambahan output yang
dihasilkan melalui penambahan satu atau lebih input pada proses produksi dengan
menganggap input-input lainnya tidak berubah (konstan).
Fungsi produksi dapat dibuat dalam bentuk persamaan secara matematis
atau digambarkan secara grafis untuk menjelaskan bahwa setiap pelaku ekonomi
mempunyai tujuan masing-masing dalam proses kegiatan ekonominya, misalnya
seorang petani mengkombinasikan tenaga mereka dengan bibit, tanah, hujan,
pupuk dan peralatan mesin untuk memperoleh hasil panen. Produk pertanian yang
menggunakan sejumlah input tertentu, fungsi produksi secara matematis dapat
dituliskan sebagai berikut:
Y=f(X1,X2,X3,...,Xn)......................................................................................... (2.3)
dimana Y adalah output yang dihasilkan dan X1, ..., Xn adalah input yang
digunakan dalam proses produksi. Simbol fungsi f menunjukkan suatu bentuk
hubungan yang mengubah input menjadi output. Faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi komoditas pertanian dapat berupa:
1. Lahan Pertanian.
Lahan pertanian merupakan faktor utama penentu produksi komoditas
pertanian. Secara umum dinyatakan bahwa semakin luas lahan (yang
diolah/ditanami), semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan dari
lahan tersebut.
2. Tenaga Kerja.
Tenaga kerja dalam hal ini yang dimaksud adalah petani. Petani harus
mempunyai kualitas berpikir yang maju agar dapat mengadopsi inovasi-
inovasi baru, terutama dalam menggunakan teknologi untuk pencapaian
komoditas yang bernilai jual tinggi.
3. Modal.
Setiap kegiatan ekonomi untuk mencapai tujuan dibutuhkan modal terlebih
lagi dalam kegiatan proses produksi. Dalam kegiatan proses produksi
modal dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (fixed cost) dan
modal tidak tetap (variable cost). Modal tetap terdiri dari tanah, bangunan,
mesin dan peralatan dimana biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi
tidak habis dalam sekali proses produksi, sedangkan modal tidak tetap
terdiri dari benih, pupuk, pestisida dan upah yang dibayarkan kepada
tenaga kerja.
4. Pupuk.
Tanaman tidak hanya membutuhkan air sebagai konsumsi pokoknya tetapi
juga pupuk agar dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal. Sutejo
(2002) dalam Rahim dan Hastuti (2007) menjelaskan bahwa pupuk yang
sering digunakan adalah pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk
organik atau pupuk alam merupakan hasil akhir dari perubahan atau
penguraian bagian-bagian atau sisa-sisa tanaman atau binatang, misalnya
pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, bungkil, guano dan tepung tulang.
Sedangkan pupuk anorganik atau pupuk buatan merupakan hasil industri
atau hasil pabrik-pabrik pembuat pupuk, misalnya pupuk urea, TSP dan
KCL.
5. Pestisida.
Pestisida dibutuhkan ranaman untuk mencegah serta membasmi hama dan
penyakit yang menyerang tanaman tersebut.
6. Bibit.
Keunggulan suatu komoditas tanaman ditentukan dari bibit tanaman
tersbut berasal. Bibit yang unggul biasanya tahan terhadap penyakit dan
hasil komoditasnya berkualitas tinggi sehingga harganya dapat bersaing di
pasar.
7. Teknologi.
Penggunaan teknologi dapat menciptakan rekayasa perlakuan terhadap
tanaman dan mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
8. Manajemen.
Peranan manajemen dalam usahatani modern menjadi sangat penting
dalam mengelola produksi komoditas pertanian, mulai dari perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pengendalian (controlling), dan
evaluasi (evaluation).
Fungsi produksi yang digambarkan secara grafis dapar dilihat pada
Gambar 2.1. Kurva produksi akan bergerak ke atas atau meningkat pada tingkat
awal penambahan penggunaan input (x1) yang berarti akan menambah jumlah
hasil produksi. Titik A menggambarkan kondisi dimana penambahan input
tersebut menghasilkan tambahan hasil produksi yang maksimal. Kemudian pada
saat berada di Titik B kondisi yang terjadi menurunnya hasil produksi meski
penambahan penggunaan input tetap dilakukan, hal ini menunjukkan terjadinya
tambahan hasil yang menurun. Selanjutnya kurva akan mencapai titik maksimum,
yaitu pada Titik C dan mulai bergerak ke bawah atau menurun yang berarti setelah
melewati titik maksimum penambahan penggunaan input tidak akan menambah
hasil produksi. Kondisi ini terjadi misalnya ketika petani menggunakan pupuk
anorganik secara berlebihan pada lahan yang sama dengan jenis tanaman yang
sama secara berulang-ulang dari waktu ke waktu. Sehingga berakibat pada
kerusakan keseimbangan alami tanah dan produktivitas lahan tersebut semakin
berkurang.
TP 450
C B TP A x1 x2 x3 x (input) MP,AP D E AP x1 x2 x3 x (input) Biaya (Rp) MP MC SATC SAVC SAFC SAFC y1 y2 y3 y (output) Harga (Rp) Kurva Penawaran Jangka Pendek p3 p2 y (output)
Sumber: Debertin, 1986 dan Nicholson, 2002
Gambar 2.5. Fungsi Produksi
Keterangan gambar:
A : Titik balik kurva produksi C: Kondisi saat TP maksimum
B dan E: Kondisi saat AP maksimum D: Kondisi saat MP maksimum
Penambahan suatu input dalam proses produksi awalnya akan
menyebabkan kenaikan output secara signifikan, ceteris paribus. Tetapi perolehan
manfaat dari penambahan input tersebut akan semakin menurun ketika input
tersebut semakin banyak ditambahkan. Hal ini mencerminkan prinsip ekonomi
mengenai produktivitas marjinal yang semakin menurun (diminishing marginal
production). Selain memperhitungkan masalah penambahan suatu input terhadap
peningkatan output, juga perlu memperhitungkan produktivitas fisik rata-rata
(average product productivity) yaitu jumlah output per input. Skala hasil (return
to scale) dalam konsep fungsi produksi dibagi menjadi tiga. Pertama, sebuah
fungsi produksi dikatakan menunjukkan skala hasil konstan (constant return to
scale) jika peningkatan seluruh input sebanyak dua kali lipat berakibat pada
peningkatan output sebanyak dua kali lipat pula. Kedua, jika penggandaan
seluruh input menghasilkan output yang kurang dari dua kali lipatnya, maka
fungsi produksi tersebut dikatakan menunjukkan skala hasil menurun (decreasing
return to scale). Ketiga, jika penggandaan seluruh input menghasilkan output
lebih dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi mengalami skala hasil
meningkat (increasing return to scale). Dari kurva fungsi produksi dimana
produsen dapat menentukan jumlah output yang akan dihasilkan dengan tujuan
memaksimumkan keuntungan pada tingkat biaya produksi minimum dapat
diperoleh kurva penawaran dalam jangka pendek. Hal ini sesuai dengan
komoditas pertanian yang bersifat mudah rusak.
2.2.2. Fungsi Impor
Impor dapat diartikan aliran masuknya barang dan jasa ke pasar sebuah
negara untuk dipakai. Negara meningkatkan kesejahteraannya dengan mengimpor
berbagai macam barang dan jasa yang bermutu dengan harga yang lebih rendah
daripada yang dapat diproduksi di dalam negeri (Smith dan Blakeslee, 1995).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi suatu negara untuk melakukan impor
suatu komoditi antara lain harga internasional, harga domestik, jumlah permintaan
domestik, harga komoditi substitusi, serta Produk Domestik Bruto negara tersebut.
Selain itu, secara tidak langsung impor ditentukan pula oleh perubahan laju nilai
tukar uang (exchange rate) mata uang suatu negara terhadap negara lain. Di
samping itu, faktor-faktor lain seperti nilai tukar, harga impor, biaya transportasi,
tarif, selera konsumen, dan distribusi pendapatan juga berpengaruh terhadap
impor.
Hady (2004) menjelaskan bahwa kebijakan perdagangan internasional di
bidang impor dapat dikelompokkan menjadi dua macam, antara lain sebagai
berikut:
1. Kebijakan Tariff Barrier.
Kebijakan Tariff Barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut:
1. Pembebasan bea masuk (tarif) rendah adalah antara nol persen sampai
dengan lima persen dikenakan untuk bahan makanan pokok dan vital,
seperti beras, mesin-mesin vital, alat-alat militer, dan lain-lain.
2. Tarif sedang antara kurang dari lima persen sampai dengan 20 persen
dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain yang
belum cukup diproduksi di dalam negeri.
3. Tarif tinggi di atas 20 persen dikenakan untuk barang-barang mewah
dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri
dan bukan barang kebutuhan pokok.
2. Kebijakan Non-Tariff Barrier.
Kebijakan Non-Tariff Barrier adalah berbagai kebijakan perdagangan
selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi
potensi manfaat perdagangan internasional.
2.2.3. Kerangka Pemikiran Operasional
Produksi jagung pada prinsipnya ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu
luas areal dan produktivitas. Perkembangan luas areal panen jagung yang relatif
masih kecil dibandingkan dengan perkembangan produktivitas jagung
menyebabkan produksi jagung belum mencapai hasil yang maksimal. Selama
periode tahun 1985 – 2005 produksi jagung Indonesia mampu mencukupi
konsumsi jagung Indonesia. Namun demikian, impor jagung Indonesia juga
mengalami peningkatan yang signifikan.
Peningkatan konsumsi produk peternakan harus tetap dipertahankan atau
bahkan lebih ditingkatkan agar kualitas sumber daya manusia Indonesia
meningkat. Hal ini berimplikasi terhadap pneingkatan konsumsi jagung sebagai
bahan baku pakan, Produksi jagung Indonesia belum sepenuhnya mampu
mencukupi kebutuhan jagung untuk industri pakan meskipun produksi jagung di
dalam negeri relatif meningkat, sehingga Indonesia harus mengimpor jagung
untuk mencukupi konsumsi jagung industri pakan.
Penyebab utama peningkatan impor jagung adalah masih terbatasnya
produksi jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan
baku oleh industri pakan. Selain itu, rendahnya harga impor jagung dibandingkan
dengan harga riil jagung lokal turut menyebabkan peningkatan impor jagung
Indonesia. Meski demikian, produktivitas jagung masih berpotensi untuk
ditingkatkan melalui penggunaan benih hibrida dan komposit dari jenis varietas
unggul dan adopsi teknologi oleh petani.
Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan produksi dan
impor jagung Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
persamaan simultan. Setelah melakukan spesifikasi dan identifikasi model akan
dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
impor jagung Indonesia. Hasil analisis yang diperoleh diharapkan dapat
digunakan untuk seluruh stakeholder agar dapat memajukan produksi jagung
Indonesia serta mengurangi ketergantungan impor jagung. Selain itu, hasil analisis
juga diharapkan dapat menjadi literatur bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Secara grafis, kerangka pemikiran operasional dapat digambarkan pada Gambar
2.6.
Tarif Impor
Komoditas Pertanian
Subsektor Tanaman Pangan (Jagung)
Penawaran Jagung Indonesia
Era Perdagangan Bebas
Permintaan Jagung oleh Rumah Tangga dan
Industri
Produksi Jagung Indonesia
Konsumsi Jagung Indonesia
Persamaan Model Ekonometrika
Harga Impor Jagung Indonesia
Jumlah Impor Jagung
Luas Areal Panen Jagung
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produksi Jagung
Harga Jagung Lokal
Produktivitas Jagung
Kesimpulan dan Saran
Interpretasi
Metode Two Stages Least Square
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Jagung
Impor Jagung Indonesia
Analisis Deskriptif
Analisis Kuantitatif
Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran Operasional
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dalam
bentuk data deret waktu (time series) dengan periode waktu 21 tahun, yaitu tahun
1985 – 2005, serta hasil wawancara dengan beberapa pihak yang berhubungan
dengan permasalahan penelitian. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi
pemerintah atau lembaga-lembaga terkait diantaranya Departemen Pertanian,
Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Badan Pusat Statistik
(BPS), Badan Urusan Logistik (BULOG), Gabungan Pengusaha Makanan Ternak
(GPMT), Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, Pusat Studi
Ekonomi, perpustakaan Institut Pertanian Bogor, studi literatur dan internet. Jenis
data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah produksi jagung Indonesia,
luas areal panen tanaman jagung, produktivitas tanaman jagung, volume atau
jumlah impor jagung Indonesia, harga jagung lokal, harga jagung di tingkat
produsen, harga pupuk urea, harga impor jagung, harga jagung dunia, tarif impor
jagung, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, pendeflasi Produk
Domestik Bruto (2000=100), Indeks Harga Perdagangan Jagung Dunia
(2000=100) dan lain-lain.
3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dan metode kuantitatif. Gambaran perkembangan produksi dan impor
jagung Indonesia dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi. Metode kuantitatif
digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
impor jagung Indonesia. Model analisis data yang digunakan adalah model
persamaan simultan. Masing-masing persamaan dalam penelitian diduga dengan
metode Two-Stage Least Squares (2SLS) dengan menggunakan program Eviews
version 4.1 yang sebelumnya dilakukan penghitungan dengan menggunakan
Microsoft Excel 2003.
3.3. Persamaan Model Ekonometrika
Model persamaan yang dirumuskan dalam penelitian ini terdiri dari satu
persamaan identitas, yaitu fungsi produksi jagung. Model persamaan produksi
jagung berbentuk persamaan identitas karena pada persamaan tersebut tidak
mengandung error, merupakan hubungan yang sudah pasti bukan perkiraan
(estimasi). Model persamaan lainnya merupakan fungsi persamaan struktural yang
menggambarkan respon pelaku ekonomi dan mencakup hubungan ekonomi.
Persamaan struktural dalam penelitian ini terdiri dari fungsi luas areal panen
tanaman jagung, fungsi produktivitas jagung, fungsi harga jagung lokal, fungsi
impor jagung, dan fungsi harga impor jagung. Model persamaan terdiri dari
variabel endogen dan variabel eksogen.
3.3.1. Fungsi Produksi Jagung
Produksi jagung pada tahun ke-t (QJt) merupakan perkalian antara luas
areal produktif atau panen jagung (LAPt) dengan produktivitas jagung pada tahun
tersebut (Yt). Persamaan produksi jagung dirumuskan sebagai berikut:
QJt=LAPt*Yt .................................................................................................... (3.1)
dimana:
QJt = Produksi jagung pada tahun ke-t (ribu ton).
LAPt = Luas areal panen jagung tahun ke-t (ribu ha).
Yt = Produktivitas jagung tahun ke-t (ton/ha).
3.3.2. Fungsi Luas Areal Jagung
Luas areal panen digunakan dalam model fungsi luas areal sebab diduga
sebagai proksi terhadap luas areal tanam yang dihasilkan. Luas areal panen
tanaman jagung (LAPt) diduga dipengaruhi oleh harga riil jagung di tingkat
produsen (PDt), harga riil kedelai (PKt), harga riil padi (PPt), tingkat suku bunga
kredit di Indonesia (SBBt) dan luas areal panen tahun sebelumnya (LAPt-1).
Tanaman kedelai dapat diusahakan secara tumpangsari dengan tanaman jagung
dalam penanamannya sehingga diharapkan akan memberikan pendapatan yang
lebih tinggi dibandingkan ketika mengusahakan jagung secara monokultur
(Purwono dan Hartono, 2006). Variabel harga riil padi dipilih untuk dimasukkan
ke dalam persamaan karena diduga tetap menjadi kompetitor dalam penggunaan
lahan. Persamaan luas areal panen tanaman jagung dapat dirumuskan sebagai
berikut:
LAPt=a0+a1PDt+a2PKt+a3PPt+a4SBt+a5LAPt-1+μ1 .......................................... (3.2)
dimana:
LAPt = Luas areal panen tanaman jagung tahun ke-t (ribu ha).
PDt = Harga riil jagung di tingkat produsen tahun ke-t (Rp/kg).
PKt = Harga riil kedelai tahun ke-t (Rp/kg).
PPt = Harga riil padi tahun ke-t (Rp/kg).
SBt = Tingkat suku bunga kredit di Indonesia tahun ke-t (%).
LAPt-1 = Luas areal panen tanaman jagung tahun sebelumnya (ribu ha).
a0 = Intersep.
ai = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4,5).
μ1 = Variabel pengganggu.
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, a1, a2>0; a3, a4<0; 0<a5<1.
3.3.3. Fungsi Produktivitas Jagung
Produktivitas jagung (Yt) diduga dipengaruhi oleh harga riil jagung lokal
(PJt), harga riil pupuk urea (PUt), tingkat suku bunga kredit di Indonesia (SBt) dan
produktivitas jagung tahun sebelumnya (Yt-1).
Persamaan produktivitas jagung dapat dirumuskan sebagai berikut:
Yt=b0+b1PJt+b2PUt+b3SBt+b4Yt-1+μ2............................................................... (3.3)
dimana:
Yt = Produktivitas jagung tahun ke-t (ton/ha).
PJt = Harga riil jagung lokal tahun ke-t (Rp/kg).
PUt = Harga riil pupuk urea tahun ke-t (Rp/kg).
SBt = Tingkat suku bunga bank di Indonesia tahun ke-t (%).
Yt-1 = Produktivitas jagung tahun sebelumnya (ton/ha).
b0 = Intersep.
bi = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4).
μ2 = Variabel pengganggu.
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, b1>0; b2, b3<0; 0<b4<1.
3.3.4. Fungsi Harga Jagung Lokal
Harga riil jagung lokal (PJt) diduga dipengaruhi oleh harga riil jagung di
tingkat produsen (PDt), produksi jagung Indonesia (QJt), tingkat inflasi di
Indonesia (INFt) dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya (PJt-1).
Persamaan harga riil jagung lokal dapat dirumuskan sebagai berikut:
PJt=d0+d1PDt+ d2QJt+d3INFt+d4PJt-1+μ3.......................................................... (3.4)
dimana:
PJt = Harga riil jagung lokal tahun ke-t (Rp/kg).
PDt = Harga riil jagung di tingkat produsen tahun ke-t (Rp/kg).
QJt = Produksi jagung Indonesia tahun ke-t (ribu ton).
INFt = Tingkat inflasi di Indonesia tahun ke-t (%).
PJt-1 = Harga riil jagung lokal tahun sebelumnya (Rp/kg).
c0 = Intersep.
ci = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4).
μ3 = Variabel pengganggu.
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, d1, d3>0; d2<0; 0<d4<1.
3.3.5. Fungsi Impor Jagung Indonesia
Jumlah impor jagung Indonesia (IJt) diduga dipengaruhi oleh Produk
Domestik Bruto Indonesia (PDBt), harga impor jagung (PMt), harga riil jagung
dunia (PWt) dan jumlah impor jagung tahun sebelumnya (IJt-1).
Persamaan jumlah impor jagung Indonesia dapat dirumuskan sebagai
berikut:
IJt=e0+e1PDBt+e2PMt+e3PWt+e4IJt-1+μ5 .......................................................... (3.5)
dimana:
IJt = Jumlah impor jagung Indonesia tahun ke-t (ton).
PDBt = Produk Domestik Bruto Indonesia tahun ke-t (Rp milliar).
PMt = Harga impor jagung tahun ke-t (Rp/kg).
PWt = Harga riil jagung dunia tahun ke-t (US$/ton).
IJt-1 = Jumlah impor jagung Indonesia tahun sebelumnya (ton).
e0 = Intersep.
ei = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4).
μ5 = Variabel pengganggu.
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, e1>0; e2, e3<0; 0<e7<1.
3.3.6. Fungsi Harga Impor Jagung Indonesia
Harga impor jagung Indonesia (PMt) diduga dipengaruhi oleh nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (ERt), jumlah impor jagung Indonesia
(IJt), harga riil jagung dunia (PWt), tarif impor jagung Indonesia (TIt) dan harga
impor jagung tahun sebelumnya (PMt-1).
Persamaan harga impor jagung Indonesia dapat dirumuskan sebagai
berikut:
PMt=f0+f1ERt+f2IJt+f3PWt+f4TIt+f5PMt-1+μ6 .................................................. (3.6)
dimana:
PMt = Harga impor jagung Indonesia tahun ke-t (Rp/kg).
ERt = Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat tahun ke-t (Rp/US$).
IJt = Jumlah impor jagung Indonesia tahun ke-t (ton).
PWt = Harga riil jagung dunia tahun ke-t (US$/ton).
TIt = Tarif impor jagung Indonesia tahun ke-t (%).
PMt-1 = Harga impor riil jagung Indonesia tahun sebelumnya (Rp/kg).
f0 = Intersep.
fi = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4,5).
μ6 = Variabel pengganggu.
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, f1, f2, f3, f4>0; 0<f5<1.
QJt
PMtIJt
PJt
YtLAPt
PDt
PKtPPt
SBt
LAPt
PUt Yt-1
INFt PJt-
PD PWt
IJt-1
ERt
TIt PMt
Gambar 3.1. Bagan Alur Sistem Persamaan Simultan
Keterangan gambar:
: Variabel independen
: Variabel dependen
: Hubungan dua arah antara variabel dependen dan independen
: Hubungan satu arah antara variabel dependen dan independen
Berdasarkan persamaan model ekonometrika dari model persamaan
identitas produksi jagung dan persamaan struktural luas areal panen tanaman
jagung, produktivitas jagung, harga jagung lokal jagung, jumlah impor jagung dan
harga impor jagung di atas dapat dibuat bagan alur sistem persamaan identitas dan
struktural analisis faktor yang mempengaruhi produksi dan impor jagung di
Indonesia. Bagan alur tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1 bagaimana
hubungan antara variabel dalam masing-masing persamaan ataupun dengan
persamaan lain. Terdapat pula hubungan dua arah antara variabel seperti pada
hubungan luas areal panen tanaman jagung, produktivitas jagung, dan produksi
jagung.
3.4. Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran,
dan model persamaan analisis yang telah dirumuskan sebelumnya, maka dapat
diajukan hipotesis penelitian. Hipotesis didasarkan pada fungsi-fungsi di atas yang
diduga ada beberapa variabel eksogen yang memiliki hubungan signifikan
terhadap variabel endogen. Variabel-variabel tersebut dapat diukur nilainya dan
data untuk masing-masing variabel tersebut tersedia.
Hipotesis-hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Luas areal panen tanaman jagung diduga dipengaruhi secara positif oleh
harga riil jagung di tingkat produsen dan harga riil kedelai. Harga riil padi
sebagai tanaman kompetitor dalam penggunaan lahan serta tingkat suku
bunga kredit di Indonesia sebagai proksi atas modal yang dapat dimiliki
petani berpengaruh negatif terhadap luas areal panen tanaman jagung.
2. Produktivitas jagung diduga dipengaruhi secara positif oleh harga riil
jagung lokal dan sebaliknya dipengaruhi secara negatif oleh harga riil
faktor produksi pupuk urea dan suku bunga kredit di Indonesia.
3. Jumlah impor jagung diduga dipengaruhi secara positif oleh Produk
Domestik Bruto Indonesia. Sedangkan, harga impor jagung dan harga riil
jagung dunia berpengaruh secara negatif.
Adapun hipotesis-hipotesis yang diturunkan dari hipotesis utama antara
lain sebagai berikut:
1. Harga riil jagung lokal dipengaruhi secara positif oleh harga riil jagung di
tingkat produsen dan tingkat inflasi di Indonesia. Produksi jagung
Indonesia berpengaruh negatif terhadap harag riil jagung lokal.
2. Harga impor jagung dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung Indonesia, harga riil jagung
dunia dan tarif impor jagung Indonesia.
3.5. Identifikasi Model
Menurut Hallam (1990) dalam Kariyasa dan Sinaga (2004) model
merupakan abstraksi atau penyederhanaan dari fenomena yang terjadi. Secara
ideal sebuah model menampilkan komponen-komponen utama dari fenomena
nyata yang diamati, agar dapat dilakukan estimasi secara akurat. Salah satu model
pendekatan kuantitatif yang sering dipakai untuk menganalisis masalah ekonomi
adalah model ekonometrika. Intriligator et al. (1996) dalam Kariyasa dan Sinaga
(2004) menjelaskan model ekonometrika adalah suatu model statistika yang
menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena ekonomi yang
mencakup unsur stokastik. Suatu model yang baik harus dapat memenuhi kriteria
ekonomi, statistika, dan ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977 dalam Situmorang,
2005).
Perumusan model persamaan dalam penelitian ini, khususnya digunakan
pada pendugaan perilaku luas areal panen tanaman jagung dan produktivitas
jagung secara nasional. Melalui model tersebut dalam upaya meningkatkan
produksi jagung nasional dapat dilakukan dengan disagregasi pada luas areal
panen tanaman jagung dan produktivitas jagung. Mengacu pada model Nerlove
dalam penelitian ini produksi jagung bukan merupakan persamaan struktural,
namun hanya merupakan persamaan identitas yaitu perkalian antara luas areal
panen tanaman jagung dengan produktivitas jagung.
Sebelum menentukan metode pendugaan yang akan digunakan, maka
terlebih dahulu perlu dilakukan uji keidentifikasian persamaan simultan dalam
model (Koutsoyiannis, 1977 dalam Purnamasari, 2006). Rumus uji
keidentifikasian model menurut order condition adalah:
K-M G-1 ........................................................................................................ (3.7) ≥
dimana:
G = Total banyaknya persamaan.
K = Total banyaknya variabel dalam model.
M = Total banyaknya variabel dalam model tertentu.
Jika suatu persamaan menunjukkan (K-M)>(G-1), maka persamaan terdentifikasi
berlebih (over identified). Jika suatu persamaan menunjukkan (K-M)=(G-1), maka
persamaan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), sedangkan jika suatu
persamaan menunjukkan kondisi (K-M)<(G-1), maka persamaan tidak
teridentifikasi (underidentified). Hasil uji keidentifikasian setiap persamaan
struktural harus exactly identified atau over identified agar dapat diduga
parameternya.
Model persamanan dalam analisis produksi dan impor jagung di Indonesia
terdiri dari lima model persamaan struktural, antara lain persamaan luas areal
panen tanaman jagung, produktivitas tanaman jagung, harga jagung lokal, jumlah
impor jagung dan harga impor jagung, serta satu persamaan identitas yaitu
produksi jagung di Indonesia. Model terdiri dari enam variabel current
endogenous, lima variabel lag endogenous, 10 variabel exogenous, sehingga ada
15 variabel predetermine. Hasil uji keidentifikasian model menunjukkan
persamaan adalah over identified (G=6, K=21, M=5). Dengan demikian, salah
satu metode pendugaan parameter yang dapat digunakan adalah dengan
menggunakan metode 2SLS (Two Stage Least Squares).
3.6. Pengujian Model
3.6.1. Uji Dugaan Variabel secara Individu
Uji-t digunakan untuk membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model
secara statistik bersifat signifikan atau tidak signifikan. Melalui uji-t akan terlihat
apakah secara statistik koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas yang
digunakan dalam model secara terpisah memiliki pengaruh yang nyata terhadap
variabel terikat. Uji-t ini akan diuji apakah koefisien regresi satu per satu secara
statistik signifikan atau tidak signifikan.
Jika nilai tstatistik lebih besar dari nilai ttabel atau nilai p-value lebih kecil dari
nilai critical value (α) berdasarkan suatu level of significance tertentu maka
hipotesis H0=b1=0 ditolak, variabel bebas signifikan. Sebaliknya jika nilai tstatistik
lebih kecil dari ttabel atau nilai p-value lebih besar dari nilai critical value (α)
berdasarkan suatu level of significance tertentu, maka hipotesis H0 diterima dan
hipotesis H1 ditolak, variabel bebas tidak signifikan. Untuk menghitung nilai
tstatistik adalah:
t1=1
1
Sb ........................................................................................................... ......(3.8)
Sj= ( ) 1'21 −⎟⎠⎞
⎜⎝⎛
− ∑ jjXXeKN
....................................................................... ......(3.9)
dimana:
H0 : b1=b2=...=bi=0
H1 : bi≠ 0
N = Jumlah observasi
S = Jumlah variabel independen
3.6.2. Uji Kesesuaian Model
Uji-F digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh
koefisien regresi juga signifikan dalam menentukan nilai dari variabel bebas. Jika
seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol, dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang linear antara variabel dependen
dengan variabel independen.
Fhitung=( )(( )
)⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−
−
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡−
kNR
kR
2
2
11
.............................................................................................(3.10)
dimana:
R = Koefisien determinasi
N = Jumlah data
k = Jumlah koefisien regresi dugaan
H0 : b1=b2=...=bi=0
H1 : bi≠ 0
Jika nilai Fstatistik lebih besar dari Ftabel atau nilai p-value lebih kecil dari
nilai critical value (α) berdasarkan suatu level of significance, maka hipotesis H1
diterima, artinya minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata
terhadap variabel terikat. Jika hasil nilai Fstatistik lebih kecil dari Ftabel atau nilai p-
value lebih besar dari nilai critical value (α) berdasarkan suatu level of
significance tertentu, maka hipotesis H0 diterima, artinya tidak ada satu pun
variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya.
3.6.3. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas mengacu pada kondisi dimana terdapat hubungan yang
linear diantara variabel penjelas dalam suatu model. Terjadinya multikolinearitas
disebabkan karena adanya kecenderungan variabel-variabel dalam ekonomi
bergerak secara bersamaan. Dalam penetapan suatu model seringkali terdapat
kesulitan untuk memisahkan pengaruh antara dua atau lebih variabel bebas
dengan variabel terikatnya. Multikolinearitas sering terjadi ketika R2 tinggi, yaitu
ketika nilainya antara 0,7 sampai dengan satu. Jika diantara variabel bebas
berkolerasi sempurna, maka estimasi koefisien tidak dapat ditentukan.
Ada beberapa cara untuk mengetahui apakah terjadi multikolinearitas pada
suatu model atau tidak. Salah satu caranya adalah dengan melihat koefisien
korelasi. Jika nilai koefisien korelasi lebih besar 8,o , maka pada model terdapat
gejala multikolinearitas. Menurut Koutsoyiannis (1977) dalam Situmorang (2005)
berdasarkan ketentuan dari uji Klein, disebutkan bahwa masalah korelasi
sederhana antara variabel bebas bisa diabaikan jika nilai koefisien korelasinya
lebih kecil dari nilai koefisien korelasi determinasi atau keragamannya (korelasi
keseluruhannya).
3.6.4. Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara serangkaian
observasi yang diurutkan menurut deret waktu (time series) (Gujarati, 1978).
Adanya gejala autokorelasi dalam suatu persamaan akan menyebabkan persamaan
tersebut memiliki selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi
kurang akurat. Akibatnya, varian residual yang diperoleh akan lebih rendah
daripada semestinya sehingga mengakibatkan R2 menjadi lebih tinggi, hasil uji-t
dan uji-F tidak sah dan penaksir regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi
pengambilan contoh.
Uji yang sering digunakan untuk mendeteksi apakah data yang diamati
terjadi autokorelasi atau tidak adalah uji Durbin-Watson (uji-d). Nilai statistik-d
yang berada pada kisaran angka dua menandakan tidak terdapat autokorelasi.
Sebaliknya, jika semakin jauh dari angka dua, maka peluang terjadinya
autokorelasi semakin besar. Pengujian lain untuk melihat apakah ada autokorelasi
atau tidak, dapat dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey-Serial
Correction Langrange Multiplier Test. Kriteria uji yang digunakan sebagai
berikut:
1. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared > nilai critical value (α) yang
digunakan, maka terima H0 yang berarti pada persamaan tidak terjadi
autokorelasi.
2. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared < nilai critical value (α) yang
digunakan, maka tolak H0 yang berarti pada persamaan terjadi autokorelasi.
3.6.5. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan suatu kondisi dimana nilai ragam error
term pada variabel bebas tidak memiliki nilai yang sama untuk setiap observasi
(Nachrowi dan Usman, 2002). Heteroskedastisitas tidak merusak sifat ketakbiasan
dan konsistensi dari penaksir 2SLS, tetapi penaksir yang dihasilkan tidak lagi
mempunyai variasi minimum (efisien). Bila pada suatu persamaan terjadi
heteroskedastisitas, maka akan berakibat:
1. Hasil estimasi tidak akan memiliki varians yang minimum atau estimator
tidak efisien.
2. Estimasi dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai
varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien.
3. Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan
dengan menggunakan rumus yang berkaitan dengan nilai variansnya.
Pengujian untuk mendeteksi gejala heteroskedastisitas dengan
menggunakan uji White Heteroskedasticity. Kriteria uji yang digunakan:
1. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared > nilai critical value (α) yang
digunakan, maka terima H0 yang berarti pada persamaan tidak terjadi
heteroskedastisitas.
2. Jika nilai probabilitas pada Obs*R-Squared < nilai critical value (α) yang
digunakan, maka tolak H0 yang berarti pada persamaan terjadi
heteroskedastisitas.
3.7. Definisi Operasional
1. Jagung yang dimaksud dalam penelitian ini tidak dipisahkan menurut
jenisnya menjadi jagung gigi kuda (Zea mays indentata), jagung mutiara
(Zea mays indurata), jagung manis (Zea mays saccharata), jagung
berondong (Zea mays everta), jagung tepung (Zea mays amylaceae),
jagung polong (Zea mays tunicata), ataupun jagung ketan (Zea mays
ceratina) karena jagung yang dikonsumsi sebagai bahan pangan pokok
dan sebagai bahan baku industri tidak dispesifikasikan secara khusus, baik
dalam hal produksi, konsumsi, maupun impor.
2. Produksi jagung Indonesia adalah jumlah total produksi jagung di
Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ribu ton.
3. Luas areal panen tanaman jagung adalah luas seluruh areal produktif atau
panen tanaman jagung di Indonesia dinyatakan dalam satuan ribu ha.
4. Produktivitas jagung merupakan hasil bagi antara produksi jagung
Indonesia dengan luas areal panen tanaman jagung per tahun yang
dinyatakan dalam satuan ton per ha.
5. Volume impor jagung Indonesia adalah jumlah seluruh impor jagung yang
dipasarkan di pasar domestik setiap tahun baik untuk konsumsi langsung
maupun bahan baku industri, tidak termasuk impor jagung ilegal yang
dinyatakan dalam satuan ton.
6. Harga riil jagung lokal adalah harga jagung lokal setelah dideflasi
(2000=100) dengan pendeflasi Produk Domestik Bruto yang dinyatakan
dalam satuan rupiah per kilogram.
7. Harga riil jagung di tingkat produsen adalah harga jagung di tingkat
produsen yang dideflasi (2000=100) dengan pendeflasi Produk Domestik
Bruto yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram.
8. Harga riil pupuk urea yang mewakili harga riil faktor produksi merupakan
harga pupuk urea yang dideflasi (2000=100) dengan pendeflasi Produk
Domestik Bruto yang dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram.
9. Harga impor jagung adalah harga jagung Indonesia yang merupakan hasil
bagi antara nilai impor jagung dengan volume impor jagung, dideflasi
(2000=100) dengan pendeflasi Produk Domestik Bruto yang dinyatakan
dalam satuan rupiah per kilogram.
10. Harga riil jagung dunia adalah harga jagung di Amerika Serikat Free on
Board dideflasi (2000=100) dengan Indeks Harga Perdagangan Jagung
Dunia yang dinyatakan dalam satuan dollar Amerika per ton.
11. Nilai tukar mata uang rupiah adalah perbandingan dari perubahan mata
uang Amerika Serikat terhadap mata uang Indonesia yang dinyatakan
dalam satuan rupiah per dollar Amerika.
12. Tarif impor jagung adalah tarif yang ditetapkan pemerintah terhadap
jagung, dengan sistem (cara pemungutan) ad valorem yang dinyatakan
dalam satuan persen.
13. Pendeflasi Produk Domestik Bruto mengukur tingkat harga yang diterima
produsen pada tiga tahapan, yaitu barang jadi, barang setengah jadi, dan
barang jadi.
IV. PRODUKSI, KONSUMSI, DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA
4.1. Produksi Jagung di Indonesia
4.1.1. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Jagung
Penelitian ekonomi jagung di Indonesia diketahui pertama kali dilakukan
oleh Peter Timmer bersama dengan tim dari The Food Research Institute of The
Stanford University pada tahun 1983 – 1985. Sejak penelitian tersebut pertanian
jagung di Indonesia mengalami banyak perkembangan didukung dengan adanya
Revolusi Hijau komoditi jagung yang dimotori oleh perubahan pola konsumsi
masyarakat dan Revolusi Peternakan sehingga konsumsi akan produk-produk
peternakan meningkat sebagai pemenuh kebutuhan sumber protein. Sebelum
dilakukan penelitian sekitar tahun 1970 – 2000 sentra produksi jagung di
Indonesia adalah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi
Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1970 keenam propinsi tersebut
memiliki pangsa areal tanam sekitar 84 persen dari total areal tanam di Indonesia
dengan pangsa produksi sekitar 83 persen dari total produksi di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2001, pangsa areal tanamnya menurun menjadi 82 persen tetapi
pangsa produksinya meningkat menjadi 85 persen. Selama kurun waktu 1970 –
2001 hampir tidak terjadi perubahan antara keenam propinsi tersebut dengan
propinsi-propinsi lain di Indonesia sebagai sentra produksi jagung di Indonesia,
baik dari segi pangsa areal tanam maupun pangsa produksi (Pasandaran dan
Kasryno, 2003).
Tabel 4.1. Produksi Jagung Menurut Pulau Terbesar di Indonesia Tahun 2005 – 2007 (Ton)
Pulau 2005 2006 (ASEM) 2007 (ARAM I) Sumatera 2.655.130
(21,20%)2.388.491(20,57%)
2.429.024(19,62%)
Jawa 7.455.724(59,53%)
6.688.571(57,61%)
7.085.179(57,22%)
Bali dan Nusa Tenggara
730.782(5,84%)
766.716(6,60%)
725.515(5,86%)
Kalimantan 189.141(1,51%)
215.872(1,86%)
254.726(2,06%)
Sulawesi 1.459.460(11,65%)
1.515.378(13,05%)
1.850.651(14,95%)
Maluku dan Papua
33.657(0,27%)
35.618(0,31%)
36.466(0,29%)
Indonesia 12.523.894(100%)
11.610.646(100%)
12.381.561(100%)
Sumber : Departemen Pertanian, 2007 ( ) : Persentase Laju Pertumbuhan Produksi per Tahun
Seiring dengan perkembangan ekonomi Indonesia saat ini produksi jagung
dalam negeri sangat ditentukan oleh produksi tujuh propinsi sentra jagung di
Indonesia, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Jawa Barat. Pangsa areal panen ketujuh
propinsi tersebut mencapai 84,43 persen dari total area panen jagung nasional,
sementara pangsa produksinya mencapai 87,80 persen dari total produksi jagung
nasional (Tabel 4.1). Secara umum produksi jagung Indonesia ditentukan oleh dua
faktor utama, yaitu luas areal dan produktivitas per satuan luas. Produksi jagung
tahun 2006 (Angka Sementara) sebesar 11,61 juta ton turun sekitar 913,25 ribu
ton (7,29 persen) dibandingkan produksi tahun 2005. Penurunan produksi terjadi
karena luas panen turun seluas 279,56 ribu hektar (7,71 persen), selain itu faktor
iklim yang tidak sebaik tahun sebelumnya juga berpengaruh terhadap penurunan
produksi jagung dalam negeri, sedangkan produktivitas naik sebesar 0,16 kuintal
per hektar (0,46 persen). Produksi jagung tahun 2007 (Angka Ramalan I)
diperkirakan sebesar 12,38 juta ton, naik sebesar 770,92 ribu ton (6,64 persen)
dibandingkan tahun 2006. Kenaikan produksi tersebut terjadi karena peningkatan
luas panen sekitar 104,22 ribu hektar (3,11 persen) dan produktivitas sebesar 1,18
kuintal per hektar (3,40 persen).
Jagung yang dibudidayakan di Indonesia pada umumnya dibedakan
menjadi tiga, antara lain (www.deptan.go.id):
1. Jagung lokal adalah jagung yang merupakan hasil pertanaman spesifik
lokasi, tidak merupakan benih hibrida dan impor, contoh Jagung Kodok,
Jagung Kretek, Jagung Manado Kuning dan Jagung Metro. Jagung jenis
lokal Indonesia umumnya tipe jagung mutiara (Zea mays indurata/ flint
corn) berbentuk bulat dan umumnya berwarna putih.. Jagung mutiara
biasanya berumur genjah sehingga hasilnya relatif rendah. Meskipun
demikian, banyak masyarakat yang menyukai jenis ini karena bila
dicampur beras tidak keras.
2. Jagung hibrida adalah jagung yang benihnya merupakan keturunan
pertama dari persilangan dua galur atau lebih dimana sifat-sifat
individunya Heterozygot dan Homogen. Contohnya: kelompok Cargil
seperti C1, C2, kelompok Pioneer seperti P1, P2, kelompok Bisi seperti
Bisi 1, kelompok Semar seperti Semar 1 dan kelompok CPI seperti CPI 1.
Termasuk ke dalam tipe jagung gigi kuda (Zea mays indentata/ dent corn)
yang berwarna kuning dan hampir 95 persen jagung yang diimpor
merupakan jagung jenis ini.
3. Jagung komposit adalah jagung yang benihnya campuran dari beberapa
varietas, sehingga individunya Heterozygot dan Heterogen. Contohnya:
Lamuru, Krisna, Gumarang, Bisma dan lain-lain.
Produksi jagung di Indonesia yang ditentukan oleh luas areal panen dan
produktivitas jagung selalu dikatakan meningkat berdasarkan data yang tersedia.
Meski demikian, tidak sedikit industri berbasis jagung di Indonesia, terutama
industri pakan yang membutuhkan jagung dalam jumlah besar dan kontinu
menyatakan sering terjadi kelangkaan jagung di pasar dalam negeri. Kondisi
produksi jagung di Indonesia sebagai salah satu negara produsen jagung dunia
peringkat kedelapan berdasarkan FAO (2005) dalam Outlook Tanaman Pangan
(2006) jika dibandingkan dengan negara-negara produsen jagung di dunia masih
sangat rendah dilihat dari persentase kontribusi produksi jagung Indonesia
terhadap produksi jagung dunia, yaitu hanya sebesar 1,73 persen. Meskipun
persentase kontribusi luas areal panen jagung di Indonesia terhadap luas areal
panen dunia sebesar 2,38 persen. Jika Indonesia dibandingkan dengan Amerika
Serikat sebagai negara produsen jagung peringkat pertama di dunia sangat
berbeda kondisinya. Kontribusi produksi jagung Amerika Serikat di pasar dunia
mencapai 40,35 persen dengan kontribusi luas areal panen hanya sebesar 20,44
persen. Dengan demikian dapat diketahui bahwa luas areal panen bukanlah yang
utama dari dua variabel utama yang diduga mempengaruhi produksi jagung.
Perkembangan produksi jagung di Indonesia selama periode tahun 1985 –
2005 lebih banyak ditentukan oleh perkembangan produktivitas, sedangkan
terjadinya fluktuasi produksi selama periode tersebut antara lain karena mengikuti
pola luas areal panen. Pola perkembangan produksi jagung di Indonesia berbeda
untuk wilayah Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Perkembangan produksi jagung
yang terjadi di Pulau Jawa memiliki kecenderungan lebih fluktuatif dibandingkan
di luar Pulau Jawa, hal ini disebabkan oleh besarnya persaingan dalam
penggunaan lahan di Pulau Jawa. Kondisi luas areal panen di luar Pulau Jawa
yang relatif meningkat didukung oleh daya saing jagung yang ditanam di lahan
sawah tadah hujan dan lahan kering relatif lebih baik dibanding jagung yang di
tanam di lahan sawah di Pulau Jawa.
20%
59%
6%
2% 13% 0%
Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2007
Gambar 4.1. Kontribusi Sentra Produksi Jagung di Indonesia 2005 – 2007
Sentra produksi jagung di Indonesia masih didominasi oleh Pulau Jawa
yaitu sekitar 59 persen, sedangkan di luar Pulau Jawa hanya sekitar 41 persen
(Gambar 4.1). Sejak tahun 2001 pemerintah menggalakkan program Gema
Palagung (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung) yang telah berhasil
memacu petani untuk meningkatkan produktivitasnya dan terbukti dapat
meningkatkan produksi jagung di dalam negeri tetapi tetap belum mampu
memenuhi kebutuhan konsumsi untuk industri pakan di dalam negeri. Upaya
peningkatan produktivitas jagung akan lebih berhasil jika tidak hanya
meningkatkan penggunaan benih varietas unggul tetapi juga disertai dengan
pengelolaan lingkungan fisik dan hayati serta penerapan teknologi produksi yang
sesuai dengan lingkungan tumbuh.
Tabel 4.2. Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005
Tahun Produksi
(Ribu Ton) Luas Areal Panen
( Ribu Ha) Produktivitas
(Ton/Ha) 1985 4.330 2.440 1,77 1986 5.920 3.143 1,88 1987 5.156 2.626 1,96 1988 6.652 3.406 1,95 1989 6.193 2.944 2,10 1990 6.734 3.158 2,13 1991 6.256 2.909 2,15 1992 7.995 3.629 2,20 1993 6.460 2.940 2,20 1994 6.869 3.109 2,21 1995 8.246 3.652 2,26 1996 9.307 3.744 2,49 1997 8.771 3.355 2,61 1998 10.169 3.848 2,64 1999 9.204 3.456 2,66 2000 9.677 3.500 2,77 2001 9.347 3.286 2,85 2002 9.585 3.109 3,08 2003 10.886 3.359 3,24 2004 11.225 3.357 3,34 2005 12.014 3.626 3,43 Rata-rata pertumbuhan 6,20% 2,96% 3,23%
Sumber: Departemen Pertanian, 2006
Laju pertumbuhan luas areal panen tanaman jagung Indonesia hanya
sebesar 2,96 persen per tahun, masih terlalu rendah dibandingkan dengan Amerika
Serikat dimana laju pertumbuhan luas arealnya mencapai 20,44 persen per tahun,
mengingat Indonesia memiliki potensi lahan yang luas dan banyak yang belum
termanfaatkan. Berdasarkan data series yang dikeluarkan oleh Departemen
Pertanian (2005) menunjukkan bahwa selama periode tahun 1969 – 2006 terjadi
penambahan luas areal panen tanaman jagung di Pulau Jawa mencapai angka
345.000 hektar atau meningkat sebesar 21,58 persen, sementara itu penambahan
luas areal panen tanaman jagung di luar Pulau Jawa mencapai angka 802.000
hektar atau meningkat sebesar 95,82 persen. Tingginya tingkat penambahan luas
areal panen tanaman jagung di luar Pulau Jawa dibandingkan dengan penambahan
luas areal panen tanaman jagung di Pulau Jawa dikarenakan daya saing produksi
jagung yang ditanam pada lahan sawah tadah hujan atau lahan kering di luar Pulau
Jawa relatif lebih baik dibandingkan daya saing produksi jagung yang ditanam
pada lahan sawah di Pulau Jawa. Meskipun demikian, perkembangan luas areal
panen tanaman jagung hingga saat ini masih dominan terjadi di Pulau Jawa meski
secara perlahan mengalami pergeseran ke luar Pulau Jawa. Faktor utama
penyebab penurunan pangsa luas areal panen tanaman jagung di Pulau Jawa
adalah adanya persaingan dalam penggunaan lahan antara komoditi jagung
dengan komoditi pangan lainnya seperti padi dan kedelai (Outlook Tanaman
Pangan, 2006).
4.1.2. Sistem Usaha Tani Jagung
Penerapan sistem usaha tani jagung berpengaruh terhadap perkembangan
produksi jagung. Analisis sistem usaha tani jagung memberikan informasi
bagaimana perkembangan produksi jagung Indonesia dilihat berdasarkan
perluasan areal tanam, penggunaan benih varietas unggul dan sarana produksi
serta penerapan teknologi. Perluasan areal dapat mengalami perubahan sesuai
dengan penemuan benih varietas yang lebih unggul. Kemudian penggunaan
varietas unggul dapat disesuaikan dengan jenis lahan yang ditanam. Sedangkan
salah satu bentuk penerapan teknologi adalah melalui penggunaan pupuk. Berikut
ini akan diuraikan usaha-usaha yang telah diterapkan di Indonesia dalam rangka
peningkatan produksi jagung melalui produktivitas jagung.
Jagung sebagian besar (60 – 65 persen) ditanam di lahan kering dan 35 –
40 persen ditanam di lahan sawah, dimana 10 – 15 persen diantaranya
diperkirakan ditanam di lahan sawah beririgasi. Pada periode 1970 – 1980 areal
beririgasi mengalami peningkatan dengan pesat dalam rangka pencapaian
swasembada beras. Hal tersebut berakibat pada berkurangnya luas lahan sawah
tadah hujan yang berarti berkurang pula lahan yang ditanami jagung. Setelah
swasembada beras tercapai pada tahun 1984 investasi yang dialokasikan untuk
irigasi dihentikan, sehingga setelah tahun 1990-an terbuka peluang untuk
peningkatan lahan sawah tadah hujan sebagai sarana pengembangan jagung.
Masalah utama penanaman jagung di lahan kering adalah kebutuhan air
yang sepenuhnya tergantung pada curah hujan. Selain itu, faktor kesuburan lahan
yang bervariasi dan adanya erosi yang mengakibatkan penurunan kesuburan lahan
juga menjadi kendala penanaman jagung di lahan kering. Jagung yang ditanam di
lahan kering dapat berupa varietas unggul bersari bebas atau varietas unggul
hibrida. Beberapa varietas bersari bebas yang dapat dipilih antara lain Arjuna,
Bisma, Lagaligo, Kalingga, Wiyasa, Rama dan Wisanggeni. Kemudian varietas
unggul hibrida yang dapat digunakan diantaranya Semar-2, Semar-3, CP-1, CP-2,
Bisi-1, Bisi-2, Pioneer-3, Pioneer-4 dan Pioneer-5.
Penggunaan lahan sawah untuk penanaman jagung setelah tanaman padi
hingga saat ini masih berkisar 21 persen dari total lahan sawah yang ada di
Indonesia (Adisarwanto dan Widyastuti, 2004). Padahal peluang peningkatan
produktivitas jagung per satuan luas lebih baik dibandingkan di lahan kering
sebab kendala teknis pada kondisi tanah dan pendukung dari lahan sawah irigasi
relatif sedikit. Beberapa kelebihan lahan sawah irigasi diantaranya tingkat
kesuburan tanah yang lebih baik, ketersediaan air lebih terjamin, lebih dekat
dengan tempat penjualan sarana produksi dan kondisi prasarana umumnya juga
sudah lebih baik. Kemudian pada dasarnya semua varietas unggul jagung dapat
ditanam di lahan sawah baik yang bersari bebas atau hibrida maupun berumur
pendek, sedang atau dalam. Faktor lain yang perlu diperhatikan jika penanaman
jagung dilakukan di lahan sawah adalah permintaan spesifikasi konsumen pasar
setempat. Hal ini terkait dengan warna biji kuning atau putih dari varietas yang
ditanam. Di beberapa daerah, varietas jagung berbiji putih lebih disenangi
konsumen karena biasanya dicampur dengan nasi untuk bahan makanan pokok
dan keperluan lain. Sementara di daerah lain lebih memilih biji kuning karena
akan digunakan untuk bahan baku pakan dan industri.
Selain penanaman jagung di lahan kering dan lahan sawah terdapat salah
satu jenis lahan lain yang cukup potensial untuk penanaman jagung yaitu lahan
pasang surut. Lahan pasang surut pada umumnya mempunyai dua jenis tanah
yaitu aluvial dan gambur. Lahan pasang surut di Indonesia relatif masih cukup
luas dan belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Masalah utama pada lahan
pasang surut adalah tingkat kesuburan tanah yang masih rendah, keadaan tanah
masam (pH 3 – 5) dan tingkat kelarutan mineral (Al) dan besi (Fe) masih tinggi
sehingga mempengaruhi ketersediaan fosfat dalam tanah. Salah satu cara untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pemberian kapur dan fosfat pada
lahan pasang surut. Varietas jagung yang dapat ditanam pada lahan pasang surut
tidak jauh berbeda dengan varietas yang ditanam di lahan kering.
Perkembangan penanaman jagung mengalami pergeseran dari lahan kering
ke lahan beririgasi sebagai akibat adanya Revolusi Hijau pada komoditi jagung.
Sebelum tahun 1970 sekitar 80 persen jagung ditanam di lahan tegalan/lahan
kering tetapi dengan penemuan bibit unggul yang tanggap terhadap pemupukan
dan kelembaban tanah penanaman jagung mulai bergeser ke lahan basah atau
sawah beririgasi. Bahkan jagung hibrida banyak ditanam di lahan sawah atau
lahan kering dengan curah hujan dan pada musim hujan yang tinggi. Penanaman
jagung di lahan sawah umumnya dilakukan pada musim kemarau setelah panen
padi tetapi pada lahan sawah yang berdrainase baik atau ketika ketersediaan air
tidak mencukupi untuk padi petani juga menanam jagung pada musim hujan. Jenis
jagung yang ditanam pada kondisi lahan demikian adalah jenis jagung hibrida.
Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas pada musim kemarau sekitar 75
persen lahan sawahnya ditanami jagung hibrida karena dinilai lebih kompetitif
dibanding padi atau palawija lainnya. Petani jagung di Jawa Timur, Jawa Tengah
dan Lampung memanfaatkan pengairan air tanah secara intensif pada musim
kemarau untuk menanam jagung hibrida. Meski demikian, tidak sedikit petani di
beberapa wilayah Indonesia yang masih menanam jagung lokal. Jagung lokal
termasuk ke dalam tipe jagung mutiara yang hasilnya relatif rendah.
Penggunaan varietas jagung juga dibedakan berdasarkan ketinggian tempat
penanaman. Pada daerah dataran rendah dapat digunakan jagung berumur dalam
atau sedang dan berumur genjah, seperti Harapan Baru, Metro, Parikesit, Bogor,
Composite-2, Arjuna, Bromo, Kalingga, Wiyasa, Harapan, dan Hibrida untuk
jenis varietas jagung berumur dalam atau sedang. Jenis jagung berumur genjah
untuk daerah dataran rendah yang dapat dipilih antara lain Penjalinan, Genjah
Kretek dan Genjah Kertas, dimana ketiga varietas jagung berumur genjah tersebut
merupakan varietas lokal. Lain halnya untuk varietas jagung di daerah dataran
tinggi yang hanya dapat menggunakan jagung berumur dalam seperti Bastar
Kuning, Bima, Pandu dan Harapan.
Faktor lain yang menyebabkan masih rendahnya peningkatan produksi
jagung di Indonesia adalah jenis jagung yang ditanam oleh petani. Jika mayoritas
petani jagung di Indonesia telah beralih menanam jagung varietas unggul, seperti
hibrida dan komposit diduga akan meningkatkan produktivitas jagung sehingga
produksi jagung juga meningkat secara signifikan. Penggunaan varietas jagung
unggul merupakan faktor penting lain dalam upaya peningkatan produksi jagung
di Indonesia. Produktivitas jagung Indonesia hanya sebesar 3,43 ton per hektar
sangat rendah jika dibandingkan dengan produktivitas jagung Amerika Serikat
yang telah mencapai 9,31 ton per hektar. Hal ini mengingat masih tertinggalnya
adopsi teknologi oleh petani jagung dalam negeri karena teknologi baru
membutuhkan biaya yang relatif mahal sehingga pemerintah bersama pihak
swasta, khususnya pengusaha pakan seharusnya bekerjasama dalam hal investasi
teknologi pertanian jagung.
Secara umum benih jagung dikelompokkan menjadi dua, yaitu benih
varietas jagung bersari bebas dan hibrida. Benih varietas bersari bebas adalah
varietas yang benihnya dapat digunakan terus menerus pada setiap penanaman.
Benih ini berasal dari tongkol tanaman yang sesuai dengan varietas bersangkutan.
Benih varietas bersari bebas masih sering diusahakan oleh petani terutama untuk
keperluan sendiri. Varietas bersari bebas dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu varietas sintetik dan komposit. Benih varietas sintetik berasal dari campuran
dua atau lebih galur perkawinan sendiri, sedangkan varietas komposit berasal dari
campuran sejumlah plasma nutfah yang telah mengalami perkawinan acak
(Adisarwanto dan Widyastuti, 2004). Keuntungan menggunakan benih varietas
bersari bebas adalah harganya relatif murah dan dapat ditanam beberapa kali tanpa
mengalami degenerasi yang serius tetapi potensi hasil yang diperoleh lebih rendah
dibanding benih varietas hibrida. Beberapa contoh varietas unggul bersari bebas
adalah Arjuna, Rama, Kalingga, Wiyasa dan Bisma.
Benih jagung hibrida merupakan benih dari varietas jagung hibrida yang
berasal dari keturunan pertama (F1) hasil persilangan varietas jagung bersari
bebas dan bersari bebas, bersari bebas dan galur, atau galur dan galur.Varietas
unggul jagung hibrida menjadi andalan utama meningkatkan produksi jagung
karena memiliki beberapa keunggulan dibanding varietas jagung bersari bebas,
seperti hasil yang diperoleh lebih tinggi yaitu sekitar tujuh ton per hektar,
pertumbuhannya lebih seragam dan tahan penyakit. Keunggulan-keunggulan yang
dimiliki varietas jagung hibrida diimbangi dengan harga yang relatif mahal untuk
kalangan petani dengan skala usaha kecil yang relatif dominan di Indonesia dan
tersedia dalam jumlah terbatas. Terlebih lagi benih jagung hibrida hanya dapat
digunakan untuk sekali tanam. Beberapa varietas benih jagung hibrida yang
dianjurkan ditanam di Indonesia diantaranya Hibrida C-1 dan C-2, Pioneer-1, 2, 7
dan 8, CPI-1, Bisi-2 dan Bisi-3 serta Semar-1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9.
Penanaman varietas jagung unggul adalah salah satu komponen penting
dalam program intensifikasi peningkatan produksi jagung. Selain penggunaan
benih varietas unggul tingkat produktivitas jagung juga ditentukan oleh mutu
benih. Penggunaan benih yang bermutu tinggi bersifat lebih responsif terhadap
teknologi produksi yang diterapkan dan menentukan kepastian populasi tanaman
yang tumbuh. Mutu benih didasarkan pada mutu genetik, fisik dan fisiologi. Mutu
genetik berhubungan dengan unsur kontaminasi benih itu sendiri terhadap benih
tanaman atau varietas lain. Mutu fisik benih dapat dilihat dari tingkat kebersihan
benih dari sisa tanaman, tangkai, batang, dan pecahan benih yang ukurannya
kurang dari ukuran sebenarnya atau kerikil. Sementara mutu fisiologi benih dapat
diukur dari tingkat stabilitasnya, termasuk daya kecambah dan vigor.
Berkaitan dengan kriteria mutu benih maka ditetapkan standarisasi dalam
serifikasi benih. Standarisasi mutu benih dalam program sertifikasi benih diatur
dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Tanaman Pangan. Kemudian dalam hal
perdagangan benih di Indonesia, mutu benih yang diperdagangkan dibina oleh
Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) yang berkedudukan di masing-
masing daerah. Pembagian benih berdasarkan tingkat mutunya dibedakan menjadi
benih berlabel (warna label merah jambu) dan benih bersertifikasi (warna label
biru atau hijau).
Pupuk yang digunakan dalam penanaman jagung antara lain urea, SP-36,
KCl dan ZA, sedangkan jumlah takaran yang direkomendasikan untuk
memperoleh hasil maksimal serta penggunaan jagung oleh petani secara umum
dapat dilihat pada Tabel 4.3. Petani jagung di Indonesia, khususnya di sentra-
sentra produksi jagung menggunakan pupuk urea lebih dari jumlah takaran yang
direkomendasikan, yaitu rata-rata 378 kg per hektar karena diduga harga pupuk
urea lebih murah dibandingkan dengan harga pupuk-pupuk lain. Penggunaan rata-
rata pupuk SP-36 oleh petani sebanyak 142 kg per hektar, pupuk KCl rata-rata
sebanyak 72 kg per hektar tetapi baru digunakan oleh 39 persen petani, sedangkan
pupuk ZA masih digunakan oleh sebagian kecil petani (14 persen) rata-rata
sebanyak 54 kg per hektar.
Tabel 4.3. Jenis Pupuk dan Takaran Penggunaan Pupuk* Rekomendasi
Takaran (Kg per Hektar)
Takaran Pemakaian (Kg
per Hektar)
Harga Pupuk per
Kg (Rp)
Jumlah Petani (%)**
Urea 200 – 300 378 1.500 100SP-36 100 – 200 142 1.800 80KCl 0 – 100 72 1.750 39ZA 0 – 100 54 - 14
Sumber: Djulin, Syafa’at, dan Kasryno (2002) *Pemakaian pupuk disesuaikan dengan pertumbuhan tanaman ** Rata-rata petani di Indonesia
Pengendalian hama penyakit dapat dilakukan melalui penggunaan
pestisida. Petani jagung di Indonesia menggunakan dua jenis pestisida, yaitu
pestisida padat dan pestisida cair. Penggunaan pestisida padat hanya digunakan
oleh 21 persen petani jagung di Indonesia, sedangkan 42 petani jagung
menggunakan pestisida cair, dan 37 persen petani jagung belum menerapkan
teknologi baru berupa pengendalian hama penyakit (Djulin, Syafa’at, dan
Kasryno, 2002).
Adisarwanto dan Widyastuti (2004) menjelaskan bahwa penerapan sistem
usaha tani sebagai upaya peningkatan produksi jagung di Indonesia akan berhasil
jika pemerintah mau bekerja sama dengan petani secara terpadu melalui beberapa
hal, antara lain:
1. Memperluas Areal Panen.
Perluasan areal panen adalah faktor potensial dalam mendukung
peningkatan produksi jagung yang dapat dilakukan melalui beberapa cara,
sebagi berikut:
a. Ekstensifikasi. Upaya pengadaan sumber pertunbuhan baru berupa
perluasan/penambahan areal penanaman. Perluasan penanaman
sebaiknya dilakukan di daerah-daerah seperti Hutan Tanaman Industri
(HTI), daerah transmigrasi, lahan pasang surut, lahan lebak, lahan tidur
dan lahan belum produktif lainnya.
b. Diversifikasi. Kegiatan penganekaragaman komoditas pertanian yang
dibudidayakan. Jika peningkatan jgaung dilakukan engan menjadikan
jagung sebagai tanaman pokok pada suatu kegiatan pola tanam, maka
kegiatan tersebut dikenal dengan diversifikasi horizontal. Sedankan
diversifikasi vertikal merupakan kegiatan penganekaragaman produk
industri yang berbahan baku jagung.
c. Rehabilitasi. Perbaikan potensi varietas unggul dengan pemurnian
benih atau penggantian benih hibrida yang sudah berkali-kali ditanam.
Di samping itu juga perlu dilakukan perbaikan kesuburan lahan,
misalnya dengan pemberian kapur pada lahan masam dan perbaikan
drainase di lahan pasang surut.
d. Peningkatan Intensitas Pertanaman (IP). Intensitas Pertanaman (IP)
diartikan banyaknya pertanaman dalam satu tahun pola tanam di suatu
daerah. Biasanya ditujukan untuk lahan tidur dengan pola tanam
monokultur maupun tumpang sari.
e. Penambahan periode panen jagung. Penanaman jagung di Indonesia
masih dilakukan pada waktu tanam tertentu saja, hal ini berakibat
produksi jagung relatif fluktuatif, yaitu berlebihan ketika musim panen
dan kekurangan ketika tidak di musim panen.
2. Meningkatkan Produktivitas.
Produktivitas dapat ditingkatkan dengan penanaman varietas unggul
disertai pengelolaan fisik yang dan hayati serta penerapan teknologi yang
efektif dan efisien.
3. Menekan Senjang Hasil.
Kesenjangan hasil merupakan perbedaan antara hasil riil yang dicapai
petani dengan potensi genetik dari suatu varietas yang ditanam.
Kesenjangan antara hasil yang diperoleh petani dengan hasil yang
mungkin dapat dicapai disebabkan oleh faktor biofisik dan faktor sosial
ekonomi dalam proses alih teknologi.
4. Mempertahankan Stabilitas Produksi.
Stabilitas hasil jagung pada suatu wilayah diartikan sebagai besarnya
perubahan hasil dari tahun ke tahun di wilayah tersebut dengan penerapan
teknologi produksi yang sam. Faktor yang mempengaruhi stabilitas hasil,
antara lain perkembangan hama penyakit dan kondisi lingkungan
(kekeringan, genangan, dan gulma).
5. Menurunkan Kehilangan Hasil.
Menurunkan persentase kehilangan hasil melalui penggunaan alat dan
mesin pertanian yang tepat dapat membantu meningkatkan total produksi
nasional. Peningkatan jasa mesin pertanian pascapanen menjadi faktor
penting dalam menekan kerugian petani.
4.2. Konsumsi Jagung di Indonesia
Permintaan suatu komoditas pertanian pada umumnya terdiri dari
permintaan langsung (dikonsumsi) dan permintaan tidak langsung (diolah lebih
lanjut menjadi produk konsumsi atau lainnya) (Departemen Pertanian, 2006).
Pada dasarnya konsumsi jagung dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai
bahan pangan, bahan baku industri olahan, dan bahan baku pakan (Purwono dan
Hartono, 2005). Peningkatan permintaan jagung pada periode 1990 – 2000
sebesar 3,4 persen tidak diimbangi dengan peningkatan produksi jagung dalam
negeri. Saat itu peningkatan jagung hanya sebesar 1,4 persen per tahun. Akhirnya,
kekurangan pasokan tersebut ditutup dengan impor yang terus meningkat sejak
tahun 1990. Permintaan jagung untuk bahan pangan pokok cenderung menurun
sejak tahun 1984, akan tetapi relatif konstan mulai tahun 1990, yaitu sekitar tiga
juta ton per tahun. Krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997 kembali
meningkatkan permintaan jagung untuk bahan pangan pokok, sedangkan
penggunaan jagung untuk bahan baku pakan mengalami penurunan pada tahun
1998 dan kembali meningkat seiring dengan pulihnya perekonomian. Sebagian
besar negara berkembang mempunyai masalah yang sama dalam pertanian jagung
di dalam negerinya. Indonesia yang masih dapat dikatakan sebagai negara
berkembang meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian
nasional mulai digantikan oleh sektor industri juga menghadapi masalah tersebut.
Masalah utama pertanian jagung negara berkembang adalah peningkatan produksi
jagung yang relatif rendah dibandingkan dengan konsumsi jagung secara nasional
(Tabel 4.4).
Tabel 4.4. Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Tahun 2000 – 2005 (Ribu Ton)
Tahun Produksi Konsumsi Industri Pangan
Industri Pakan
2000 9.677 4.657 234 3.7132001 9.347 4.567 2.415 3.9552002 9.585 4.478 2.489 4.1972003 10.886 4.388 2.564 4.4382004 11.225 4.299 2.638 4682005 12.524 4.174 2.713 3.419Rata-rata pertumbuhan
5,48%/tahun -2,17%/tahun 188,77%/tahun 111,90%/tahun
Sumber: Departemen Perdagangan, 2007
Permintaan jagung di Indonesia baik di tingkat rumah tangga maupun
industri menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Permintaan jagung di
tingkat rumah tangga meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk
yang relatif meningkat meskipun hanya di beberapa wilayah di Indonesia.
Sebelum tahun 1990 permintaan jagung untuk konsumsi langsung (rumah tangga)
lebih tinggi dibandingkan konsumsi industri. Kemudian pada tahun 2006
kondisinya telah berubah secara signifikan dimana permintaan jagung untuk
konsumsi industri jauh lebih besar dibandingkan konsumsi rumah tangga.
Tingginya permintaan jagung untuk konsumsi industri setelah tahun 1990
merupakan akibat perkembangan industri pakan secara nasional, dimana lebih dari
50 persen bahan baku pakan adalah jagung sehingga hasil produksi jagung banyak
diserap oleh indutri pakan (Gambar 4.2).
48 48 48
56 59
0
10
20
30
40
50
60
Unit
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Jumlah Perusahaan Pakan
Sumber: Statistik Peternakan, 2006
Gambar 4.2. Perkembangan Jumlah Perusahaan Pakan di Indonesia 2001 – 2005
Upaya-upaya untuk mengembangkan industri berbasis jagung sebagai
salah satu sektor yang potensial karena mempunyai rantai nilai yang cukup
panjang, seperti minyak jagung, industri tepung, dan pati jagung akan terus
digalakkan (Lampiran 2). Hal ini dapat terwujud apabila disertai dengan upaya-
upaya peningkatan dari sisi produksi jagung dalam negeri yang akan menjamin
ketersediaan jagung di dalam negeri baik dari segi jumlah, kualitas, harga, dan
kepastian pasokan.
Tabel 4.5. Daftar Perusahaan Pakan di Indonesia No. Nama Perusahaan Kota 1. PT. Cheil Jedang Superfeed Serang, Banten 2. PT. Charoen Pokphand Indonesia Jakarta Utara 3. PT. Cargill Indonesia Bogor, Jawa Barat 4. PT. Citra Ina Feedmill Jakarta Timur 5. PT. Gold Coin Indonesia Bekasi Barat 6. PT. Metro Inti Sejahtera Bekasi Barat 7. PT. Sierad Produce, Div. Feedmill Jakarta Selatan 8. PT. Central Pangan Pertiwi Jakarta 9. PT. Japfa Comfeed Indonesia Tanjung Bintang, Lampung 10. Vista Grain Corp Lampung 11. PT. Japfa Comfeed Indonesia Cirebon, Jawa Barat 12. PT. Welgro Feedmill Indonesia Bogor, Jawa Barat 13. PT. Wonokoyo Jaya Kusuma Serang, Banten 14. PT. Japfa Comfeed Indonesia Tangerang 15. PT. Sentra Profeed Intermitra Bandar Lampung 16. PT. Malindo Feedmill Jakarta Selatan 17. PT. Sinta Prima Feedmill Jakarta Barat 18. PT. Japfa Comfeed Indonesia Sidoarjo, Jawa Timur 19. PT. Charoen Pokphand Indonesia Surabaya, Jawa Timur 20. PT. Gold Coin Indonesia Surabaya, jawa Timur 21. PT. Sierad Produce, Div. Feedmill Sidoarjo, Jawa Timur 22. PT. Berlian Unggas Sakti Medan 23. PT. Bintang Terang Gemilang Serang, Banten 24. Universal Agribisnisindo/Luxindo Internusa Bekasi 25. Multiphala Agrinusa Sragen, Jawa Tengah 26. PT Suri Tani Pemuka Sidoarjo, Jawa Timur 27. PT. Wirifa Sakti Surabaya, Jawa Timur 28. PT. Bintang Terang Gemilang Sidoarjo, Jawa Timur 29. PT. Central Proteina Prima Semarang, Jawa Tengah 30. PT. Cheil Jedang Feed Jombang Jombang, Jawa Timur 31. PT. Cargill Indonesia Pasuruan, Jawa Timur 32. PT. Wonokoyo Jaya Corporindo Surabaya, Jawa Timur 33. PT. Mabar Feed Indonesia Medan 34. PT. Charoen Pokphand Indonesia Medan 35. PT. Indojaya Agrinusa Medan 36. PT. Gold Coin Indonesia Medan 37. PT. Allied Feeds Indonesia Bogor, Jawa Barat 38. PT. Panca Patiot Prima Sidoarjo, Jawa Timur 39. PT. Matahari Sakti Surabaya, Jawa Timur 40. PT. Arta Citra Terpadu (Tutup) - 41. PT. Subur Ripah (Tutup) - 42. PT. Farmindo Utama (Tutup) - 43. PT. Hirema (Tutup) - 44. PT. Buana Superior (Tutup) - 45. PT. Unggul Citra Top Feed (Tutup) - 46. PT. Restu Jaya (Tutup) - 47. PT. Satwa Biga Sampurna (Tutup) -
Sumber: GPMT, 2007
Industri pakan berkembang pesat setelah tahun 1980. sebagian besar
berlokasi di Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Utara. Berdasarkan
data Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian
(2007) di Indonesia terdapat 67 perusahaan pakan yang memanfaatkan jagung
sebagai bahan baku utama produksinya dengan total kapasitas terpasang sebesar
12 juta ton per tahun. Berbeda dengan data Gabungan Pengusaha Makanan
Ternak (GPMT) (2007) bahwa hanya terdapat 47 perusahaan pakan yang terdaftar
menjadi anggota GPMT dan delapan perusahaan diantaranya dinyatakan telah
tutup. Nama-nama perusahaan pakan anggota GPMT di Indonesia beserta
wilayahnya dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Perusahaan yang termasuk dalam industri makanan olahan berbahan baku
jagung (snack food) berjumlah 17 perusahaan dengan kapasitas terpasang sebesar
18.018 ton per tahun. Selain industri pakan dan industri makanan olahan (snack
food) juga terdapat industri berbasis jagung lain, seperti PT. Suba Indah
(integrated corn industry) yang dalam kegiatan produksinya menghasilkan produk
turunan pengolahan jagung seperti Corn Starch, Corn Gluten dan Corn Meal yang
juga memanfaatkan jagung sebagai bahan baku industrinya dengan kapasitas
terpasang sebesar 360 ribu ton per tahun (Departemen Perindustrian, 2007).
Rata-rata pertumbuhan permintaan jagung oleh industri selama periode
tahun 1998 – 2005 adalah sebesar 4,31 persen lebih kecil jika dibandingkan
dengan rata-rata pertumbuhan sebelum krisis (1985 – 1997) yaitu sebesar 7,47
persen. Kondisi ini diduga karena pada saat krisis banyak industri pakan yang
tidak mampu bertahan sehingga permintaan akan jagung sebagai bahan baku
menurun drastis. Sebaliknya kondisi permintaan jagung untuk konsumsi langsung
yang relatif menurun pada saat krisis mengalami peningkatan hingga mencapai
12,13 persen sebagai akibat masyarakat melakukan diversifikasi pangan (Outlook
Tanaman Pangan, 2006). Berdasarkan data Departemen Perdagangan (2007)
menunjukkan bahwa kondisi lima tahun terakhir produksi dan konsumsi jagung di
Indonesia mengalami surplus produksi (Tabel 4.4). Dengan demikian, permintaan
jagung dalam negeri baik untuk konsumsi langsung dan bahan baku industri telah
mampu dipenuhi oleh produksi jagung dalam negeri tetapi kenyataannya
Indonesia masih mengimpor jagung yang kecenderungannya selalu meningkat.
Industri pakan sebagai konsumen utama komoditi jagung mulai
berkembang pesat di Indonesia setelah tahun 1980. Sebagian besar lokasi
pabriknya berada di daerah-daerah yang menjadi sentra produksi jagung di
Indonesia, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung dan Sumatera Utara.
Pemilihan lokasi ini berhubungan dengan pasokan jagung sebagai bahan baku
utama pakan sehingga dalam hal kuantitas dan kualitas dapat terjamin. Kapasitas
terpasang perusahaan pakan mengalami peningkatan dimana selama periode tahun
1990 – 1994 hanya sebesar tujuh juta ton per tahun menjadi 11 juta ton per tahun
pada periode tahun 1995 – 2004. Kemudian meningkat lagi hingga mencapai 12
juta ton per tahun pada tahun 2005. Hal ini merupakan salah satu ciri dari
keberhasilan Revolusi Peternakan. Berbeda dengan kondisi perkembangan
produksi padi dan jagung akibat adanya Revolusi Pertanian yang bersifat supply
driven, sebab yang terjadi pada Revolusi Peternakan bersifat demand driven,
terjadi karena perubahan pola konsumsi msyarakat dengan meningkatnya
konsumsi daging, telur, dan susu.
4.3. Impor Jagung di Indonesia
Perubahan era pasar komoditas pertanian yang mengarah pada pasar bebas
membawa konsekuensi terhadap harga komoditas pertanian, yaitu harga pangan di
pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar internasional. Harga
komoditas pangan di pasar dunia secara langsung akan mempengaruhi harga
komoditas pangan di dalam negeri. Sebagai salah satu komoditas pangan,
fluktuasi perubahan harga jagung tidak terlepas dari arah kebijakan perdagangan,
pasar komoditas pangan dunia, stabilitas harga, dan fluktuasi nilai tukar rupiah
(Gambar 4.3). Akumulasi berbagai perubahan tersebut secara simultan akan
mempengaruhi fluktuasi harga jagung di dalam negeri (Meng dan Ekboir, 2001
dalam Rachman, 2003).
0.00
2,000.00
4,000.00
6,000.00
8,000.00
10,000.00
12,000.00
1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005
Tahun
Rp/US$
Harga Jagung Dunia Nilai Tukar
Sumber: Departemen Perdagangan, 2007
Gambar 4.3. Perkembangan Harga Jagung Dunia dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika
Terdapat dua kondisi yang menjadi alasan mengapa suatu negara
mengimpor jagung dan bagaimana pemerintah seharusnya menyikapi
permasalahan tersebut. Kondisi pertama, produksi jagung lokal relatif cukup
memenuhi kebutuhan dalam negeri dan pada saat yang sama harga jagung dunia
lebih murah dari harga jagung lokal. Pada kondisi seperti ini konsumen jagung
dalam negeri yang tingkat kebutuhannya sangat tinggi, seperti perusahaan pakan
akan lebih memilih impor jagung dibandingkan membeli jagung lokal. Impor
jagung oleh perusahaan pakan mendorong harga jagung lokal turun menyamai
harga jagung dunia. Hal ini akan memukul produsen jagung di dalam negeri,
sehingga pemerintah menetapkan tarif tertentu terhadap impor jagung. Kebijakan
tarif impor jagung ternyata belum mendorong petani jagung di dalam negeri
menjadi lebih efisien.
Kondisi kedua adalah ketika produksi jagung lokal relatif rendah
dibandingkan jumlah kebutuhan jagung di dalam negeri. Seperti pada kondisi
pertama, misalnya kebutuhan oleh pabrik pakan tidak dapat dipenuhi produksi
jagung lokal, maka pabrik pakan akan mengimpor jagung dari pasar dunia
sekalipun harganya lebih mahal. Jika harga jagung dunia lebih mahal maka pabrik
pakan akan melakukan pengurangan produksi, namun keputusan tersebut juga
dipengaruhi oleh rasio harga pakan dan harga hasil peternakan. Pada kondisi
seperti ini, seharusnya pemerintah terdorong untuk menetapkan kebijakan kuota
impor dengan tetap memperhatikan dampak atau konsekuensi yang timbul seperti
”pasar gelap”. Melalui struktur tataniaga jagung yang baik, produsen (petani)
jagung lokal dapat mengambil keuntungan atau insentif untuk meningkatkan
produksi jagung lokal karena kenaikan harga jagung dunia akan mendongkrak
kenaikan harga jagung di dalam negeri.
Kebutuhan jagung untuk bahan pangan pokok, bahan baku pakan serta
bahan baku industri olahan terus meningkat. Kebutuhan jagung untuk bahan baku
pakan semakin meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan industri
peternakan yang menuntut kontinuitas pasokan bahan baku. Oleh karena itu,
volume impor jagung terus meningkat mengingat harga jagung di pasar dunia
relatif lebih murah dibanding harga jagung lokal serta kualitas produk lebih
terjamin (Rachman, 2003).
Pengenaan tarif impor atas komoditi jagung bertujuan untuk melindungi
petani jagung dalam negeri. Selama tahun 1974 – 1979 besarnya tarif impor yang
diberlakukan adalah sebesar lima persen, kemudian ditingkatkan menjadi 10
persen pada tahun 1980-1993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi lima
persen pada tahun 1994 hingga saat ini, bahkan penurunannya mencapai nol
persen ketika kondisi pertanian jagung di Indonesia tidak sedang dalam musim
panen. Pemenuhan jagung sebagai bahan baku industri pakan dan industri olahan
berbasis jagung sepenuhnya dipenuhi dari impor. Kebijakan pengenaan tarif
impor dan bentuk-bentuk proteksi lainnya tidak akan efektif mempengaruhi
kesejahteraan petani jagung di dalam negeri sebelum sistem produksi jagung
nasional dapat bersaing secara efisien (Rachman, 2003).
Keputusan terbaru mengenai besarnya tarif impor jagung telah ditetapkan
berdasarkan SK Menteri Keuangan Nomor 600/PMK.010/2004 tanggal 23
Desember 2004 dinyatakan bahwa tarif impor jagung meningkat dari nol persen
menjadi lima persen. Kemudian tidak hanya impor jagung yang dikenakan tarif
impor tetapi juga impor pakan dikenakan tarif impor meski hanya sebesar nol
persen. Pati jagung sebagai produk olahan industri berbasis jagung yang juga
harus bersaing dengan produk impor yang harganya relatif lebih murah turut serta
dilindungi pemerintah. Hal ini ditetapkan berdasarkan Permenkeu Nomor
108/PMK.010/2005 bahwa impor pati jagung dikenakan tarif sebesar 10 persen
tetapi dengan tingkat tarif impor yang dinilai cukup harmonis tersebut ternyata
belum mampu meningkatkan daya saing industri pengolahan jagung (Departemen
Perindustrian, 2007).
Melihat perkembangan impor jagung sebagai bahan baku pakan semakin
meningkat karena kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan belum seluruhnya
dapat dipenuhi dari jagung lokal, maka pelaksanaan impor bahan baku tersebut
perlu dilakukan pengawasan secara ketat oleh pemerintah. Salah satu tujuan
pengawasan tersebut dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi para pihak
baik aparatur maupun Badan Usaha yang melakukan kegiatan importasi bahan
baku pakan, yaitu perusahaan importir dan perusahaan pakan, serta dalam upaya
pembinaan dan pengawasan dengan tujuan agar bahan baku pakan yang diimpor
dapat dijamin mutu dan aman dari media penyakit hewan menular, sebab bahan
baku pakan dapat menjadi agent penyakit hewan menular. Pengawasan ini
dilakukan melalui pemberian Surat Keterangan Bahan Baku Impor. Pengaturan
pemberian Surat Keterangan Bahan Baku Impor dilakukan oleh pemerintah yang
didasarkan pada tindakan Sanitary and Phitosanitary (SPS-Measures), World
Trade Organization (WTO), dan Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office
Internatinal des Epizootes/OIE) yang telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 63/TN.240/Kpts/DJBPP/Deptan/2002
(Departemen Pertanian, 2002).
Perkembangan impor jagung Indonesia setelah tahun 1990 menunjukkan
kecenderungan yang selalu meningkat. Kemudian pada tahun 2003 impor jagung
Indonesia meningkat signifikan sebagai akibat tingginya permintaan jagung untuk
industri pakan yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi jagung dalam negeri.
Sistem produksi dan distribusi jagung nasional yang belum bekerja dengan baik
diduga sebagai penyebab peningkatan impor jagung dari tahun ke tahun meskipun
produksi jagung dikatakan meningkat. Sistem statistik data sebagai peramalan dan
informasi perlu segera diperbaiki sebab hingga saat ini data produksi jagung di
Indonesia belum terdefinisi dengan baik dan jelas apakah perhitungan produksi
tersebut berupa jagung pipilan kering dengan kadar air 17 persen atau bentuk lain
seperti tanaman jagung sebagai pakan hijauan ternak, jagung sayur, dan lain-lain
(Kompas, 2007).
Di pasar jagung dunia, Indonesia menempati peringkat kedelapan sebagai
produsen jagung dengan kontribusi produksi jagung sebesar 1,73 persen (FAO,
2005 dalam Outlook Tanaman Pangan, 2006). Indonesia menjadi negara satu-
satunya dari kawasan Asia Tenggara yang telah masuk peringkat sepuluh terbesar
produsen jagung dunia. Meskipun demikian, Indonesia juga termasuk sebagai
konsumen jagung terbesar di dunia yang menempati peringkat kedelapan dengan
proporsi konsumsi sebesar 1,55 persen (FAO, 2005 dalam Outlook Tanaman
Pangan, 2006).
Tabel 4.6. Impor Jagung Indonesia Menurut Negara Asal (Kg) Negara 2000 2001 2002 2003 2004 2005
India 270.000 1.835.982 17.650.000 2.920.000 2.314.720 97.565.440
Argentina 35.846.493 37.657.731 23.818.980 222.292 1.024.047 372.128.472
Thailand 2.233.182 1.723.874 173.844.859 31.483.562 26.461.299 278.471.453
USA 192.240.257 219.764.033 465.097.422 71.553.249 8.344.800 150.532.671
Cina 387.338.271 885.635.118 325.933.707 1.032.736.361 1.308.677.535 192.490.004
Total 617.928.203 1.146.616.738 1.006.344.968 1.138.915.464 1.346.822.401 1.091.188.040 Sumber: Departemen Pertanian, 2006
Perkembangan impor jagung Indonesia selama periode 1985 – 2005 yang
relatif meningkat disebabkan karena harga jagung dunia lebih murah
dibandingkan harga jagung lokal. Peningkatan ekspor Amerika Serikat sebagai
produsen jagung peringkat pertama di pasar dunia diduga sebagai faktor utama
terjadinya penurunan harga jagung dunia. Ketika terjadi peningkatan jumlah
ketersediaan jagung di pasar dunia akan berdampak pada penurunan harga jagung
dunia dan peningkatan impor jagung Indonesia, Hal ini memaksa petani jagung
lokal untuk menurunkan harga sebab jika tidak maka jagung lokal tidak akan
terserap oleh industri berbasis jagung. Jika dilihat berdasarkan negara asal impor
jagung Indonesia selama lima tahun terakhir maka USA (Amerika Serikat) dan
Cina merupakan negara yang mempunyai kontribusi besar terhadap jumlah jagung
yang diimpor oleh Indonesia, masing-masing sebesar 31 persen dan 63 persen
kemudian sisanya berasal dari Argentina, India, dan Thailand (Tabel 4.6).
Kebijakan tarif impor jagung yang bertujuan untuk melindungi petani
jagung lokal, mulai tahun 1994 hingga saat ini adalah sebesar 0 – 5 persen.
Besarnya tarif tersebut sebenarnya kurang efektif baik dari sisi peningkatan
produktivitas petani jagnng lokal maupun pembatasan impor oleh industri
berbasis jagung. Petani jagung Indonesia masih menjadikan jagung sebagai
tanaman sekunder setelah padi, sebab harga padi selalu lebih baik dibandingkan
dengan harga jagung, sehingga kegiatan penanaman jagung cenderung bersifat
musiman. Kemudian dari sisi pembatasan impor, jika tarif impor jagung
ditingkatkan untuk membatasi impor jagung yang menjadi bahan baku industri
ternyata belum ada kepastian atau jaminan bahwa produksi jagung dalam negeri
akan mampu memenuhi kebutuhan jagung oleh industri berbasis jagung yang
membutuhkan pasokan jagung secara kontinu. Oleh karena itu, diperlukan
kerjasama yang baik untuk mengatasi permasalah tersebut.
V. ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG
5.1. Hasil Dugaan Model
Berdasarkan hasil dugaan dari seluruh model persamaan yang telah dibuat
cukup baik dilihat dari kriteria ekonomi, statistik, dan ekonometrik seperti yang
terlihat dari besarnya nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing persamaan
struktural yaitu berkisar antara 0,63 sampai dengan 0,98. Nilai koefisien
determinasi (R2) yang diperoleh pada persamaan luas areal panen tanaman jagung
adalah sebesar 0,63, produktivitas tanaman jagung sebesar 0,98, harga riil jagung
lokal sebesar 0,63, jumlah impor jagung sebesar 0,80 dan harga impor jagung
sebesar 0,73. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum variabel-variabel bebas
yang ada dalam persamaan struktural mampu menjelaskan variabel terikatnya
dengan baik.
Besarnya nilai p-value untuk Fstatistik pada setiap persamaan umumnya
lebih kecil dari nilai taraf nyata (α) yang berarti variasi variabel-variabel bebas
dalam setiap persamaan struktural secara bersama-sama cukup mampu
menjelaskan dengan baik variasi variabel terikat pada taraf nyata lima persen.
Setiap persamaan struktural mempunyai variabel-variabel bebas dengan beberapa
tanda parameter yang sesuai dengan hipotesis dan cukup logis dari sudut pandang
ekonomi. Jika terdapat tanda parameter yang tidak sesuai dengan harapan dan
teori ekonomi, hal tersebut dikarenakan masih banyak variabel yang berpengaruh
namun tidak dimasukkan dalam persamaan karena keterbatasan akses data atau
ketersediaan data.
Nilai tstatistik digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel
bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya. Hasil uji-t yang diperoleh
menunjukkan bahwa ada beberapa variabel bebas yang tidak signifikan atau tidak
berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya pada taraf nyata lima persen.
Besarnya nilai taraf nyata yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima persen
agar interpretasi hasil estimasi mendekati fenomena ekonomi aktual.
Masalah multikolinearitas dalam persamaan simultan dapat diabaikan jika
nilai koefisien sesuai dengan harapan atau logis dari sudut pandang ekonomi.
Multikolinearitas dipandang hanya sebagai gejala dalam persamaan simultan yang
tidak mempengaruhi validitas estimasi. Pengujian masalah autocorrelation dapat
dilakukan dengan uji Durbin Watson (DW) Statistic, tetapi karena dalam
persamaan terdapat variabel beda kala maka uji DW Statistic menjadi tidak valid,
sehingga digunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Syaratnya jika
nilai probabilitas Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari
taraf nyata lima persen maka dapat disimpulkan dalam persamaan tersebut tidak
terdapat masalah autocorrelation. Dari hasil analisis diperoleh nilai probabilitas
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari taraf nyata lima
persen. Dengan demikian dapat disimpulkan dalam setiap persamaan struktural
tidak terdapat masalah autocorrelation.
Pengujian masalah heteroskedastisitas digunakan White Heteroskedasticity
Test. Syaratnya jika nilai probabilitas White Heteroskedasticity Test lebih besar
dari nilai taraf nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan tidak terdapat
masalah heteroskedastisitas. Hasil analisis menunjukkan bahwa persamaan-
persamaan dalam penelitian ini tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.
5.2. Dugaan Model Ekonometrika
Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model persamaan, maka
akhirnya diperoleh model persamaan produksi dan impor jagung Indonesia yang
terdiri dari lima model persamaan struktural.
5.2.1. Luas Areal Jagung
Nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan luas areal panen tanaman
jagung adalah sebesar 0,6259 yang artinya 62,59 persen keragaman luas areal
panen tanaman jagung dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel bebas
di dalam model persamaan yakni variabel harga riil di tingkat produsen, harga riil
kedelai, harga riil padi, tingkat suku bunga kredit di Indonesia dan luas areal
panen tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya sebesar 37,41 persen dijelaskan oleh
faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Hasil estimasi selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 4.
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C (Intersep) 10.52293 2.453830 4.288369 0.0006LN_PDT (Harga riil jagung di tingkat produsen) 1.254833 0.434681 2.886794 0.0113LN_PKT (Harga riil kedelai) -0.555688 0.146156 -3.802023 0.0017LN_PPT (Harga riil padi) -0.296317 0.425239 -0.696824 0.4966SBT (Tingkat suku bunga kredit) 0.011249 0.003695 3.044093 0.0082LN_LAPT1 (Luas areal panen tahun sebelumnya) -0.547945 0.224392 -2.441913 0.0275R-squared 0.625942 Prob(F-statistic) 0.006692 Adjusted R-squared 0.501256 Durbin-Watson stat 1.871053 Sumber: Lampiran 4, Halaman 124
Berdasarkan nilai probability untuk Fstatistik sebesar 0,0067 yang lebih kecil
dari taraf nyata lima persen menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam
model persamaan luas areal panen jagung secara bersama-sama berpengaruh nyata
terhadap luas areal tanaman jagung.
Hasil uji-tstatistik menunjukkan bahwa variabel harga riil jagung di tingkat
produsen, harga riil kedelai, tingkat suku bunga kredit di Indonesia, dan luas areal
panen tanaman jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap luas areal
panen tanaman jagung pada taraf nyata lima persen. Sedangkan, harga riil padi
tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman jagung (Lampiran 4).
Seperti terlihat dari tanda koefisien dugaannya, harga riil jagung di tingkat
produsen berpengaruh positif dan berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen
terhadap luas areal panen tanaman jagung. Nilai koefisien dugaan variabel harga
riil jagung di tingkat produsen sebesar 1,25, artinya jika terjadi peningkatan harga
riil jagung di tingkat produsen sebesar satu persen maka akan meningkatkan
keinginan petani untuk menanam jagung karena petani beranggapan bahwa
insentif yang akan mereka terima lebih tinggi, sehingga luas areal panen tanaman
jagung akan meningkat sebesar 1,25 persen, sebaliknya jika terjadi penurunan
harga riil jagung lokal sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung
akan menurun sebesar 1,25 persen, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan kondisi
pasar jagung dalam negeri yang telah ditentukan oleh mekanisme pasar sejak
tahun 1990 yaitu sejak dicabutnya kebijakan harga dasar jagung. Sejak saat itu
BULOG tidak lagi melakukan intervensi dalam pemasaran jagung dengan
pertimbangan: (1) intervensi BULOG memerlukan biaya besar, (2) kompetisi
antar pedagang akan menciptakan keuntungan bagi petani jagung, dan (3)
permintaan jagung cukup tinggi sepanjang tahun (Rachman, 2003).
Nilai koefisien dugaan variabel harga riil kedelai sebesar -0,56 yang
berarti jika terjadi kenaikan harga riil kedelai sebesar satu persen akan
menurunkan luas areal panen tanaman jagung sebesar 0,56 persen, dan sebaliknya
jika terjadi penurunan harga riil kedelai sebesar satu persen akan meningkatkan
luas areal panen tanaman jagung sebesar 0,56 persen, ceteris paribus. Persaingan
dalam penggunaan lahan antara komoditi jagung dan kedelai saat ini mulai
berkurang, sebab dengan berkembangnya sistem tumpangsari usahatani jagung
tidak hanya dapat dilakukan secara monokultur. Berdasarkan analisis usahatani
jagung sistem tumpangsari dengan kedelai dapat meningkatkan pendapatan yang
akan diperoleh petani dibandingkan dengan sistem monokultur (Purwono dan
Hartono, 2006).
Harga riil padi tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen
dengan nilai koefisien dugaan sebesar -0,30. Artinya jika terjadi peningkatan
harga riil padi sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung akan
menurun sebesar 0,30 persen, sebaliknya jika harga riil padi mengalami
penurunan sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung akan
meningkat sebesar 0,30 persen, ceteris paribus. Hal ini dapat dipahami karena
padi masih menjadi tanaman pangan utama di Indonesia yang dikonsumsi oleh
mayoritas penduduk di Indonesia. Meskipun telah diadakan program perluasan
areal tanam tanaman jagung ke luar Pulau Jawa pada lahan sawah tadah hujan dan
lahan kering tetapi masih tetap terjadi persaingan dalam penggunaan lahan dengan
tanaman padi untuk di wilayah Pulau Jawa (Departemen Pertanian 2005).
Petani Indonesia dapat dikatakan masih tergolong lemah karena sebagian
besar menjalankan kegiatan produksi pertaniannya secara tradisional dan luas
areal pertanian yang dimiliki relatif sempit. Hal inilah yang menyebabkan petani
kesulitan dalam mengajukan permohonan kredit kepada bank dibandingkan para
pelaku produksi di sektor industri. Tingkat suku bunga kredit di Indonesia
berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman jagung dengan nilai
koefisien dugaan sebesar 0,01 yang berarti jika terjadi peningkatan tingkat suku
bunga kredit sebesar satu persen maka luas areal panen tanaman jagung akan
meningkat sebesar 0,01 persen. Ketika tingkat suku bunga kredit yang berlaku
meningkat petani akan mengusahakan pertanian jagung lebih efisien karena
dengan besarnya jumlah kredit yang diterima akan menambah modal yang dapat
digunakan untuk usaha pertanian jagung. Begitu pula sebaliknya dengan
menurunnya tingkat suku bunga kredit sebesar satu persen maka akan terjadi
peningkatan luas areal panen tanaman jagung sebesar 0,01 persen, ceteris paribus.
Kenaikan tingkat suku bunga kredit tidak berpengaruh besar terhadap luas areal
panen tanaman jagung karena masih banyak petani yang belum menggunakan
pinjaman kredit dari bank sebagai modal untuk mengadopsi teknologi, misalnya
dengan membeli bibit jagung unggul (hibrida atau komposit).
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, luas areal panen juga
dipengaruhi secara nyata oleh peubah beda kala. Nilai koefisien dugaan luas areal
panen tanaman jagung tahun sebelumnya sebesar -0,55. Yang mana dapat
diartikan ketika luas areal panen tanaman jagung tahun sebelumnya mengalami
peningkatan sebesar satu persen akan menurunkan luas areal panen tanaman
jagung sebesar 0,55 persen. Sedangkan jika luas areal panen tanaman jagung
tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar satu persen akan meningkatkan
luas areal panen sebesar 0,55 persen, ceteris paribus. Pengembangan lahan
pertanian tanaman pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian
produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti pemukiman. Oleh karena itu,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perluasan areal panen tanaman jagung
saat ini diarahkan pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering di luar Pulau
Jawa dan telah terbukti dapat memberikan daya saing produksi relatif lebih baik.
5.2.2. Produktivitas Jagung
Nilai koefisien determinasi (R2) dari persamaan produktivitas jagung
adalah sebesar 0,9823, artinya 98,23 persen keragaman produktivitas jagung dapat
diterangkan oleh keragaman variabel-variabel bebas yakni variabel harga riil
jagung lokal, harga riil pupuk urea, tingkat suku bunga kredit di Indonesia dan
produktivitas tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 1,77 persen
dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam persamaan. Hasil
estimasi dapat dilihat pada Lampiran 8.
Tabel 5.2. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C (Intersep) -0.296517 0.580733 -0.510591 0.6166LN_PJT (Harga riil jagung local) 0.008087 0.111265 0.072683 0.9430LN_PUT (Harga riil pupuk urea) 0.041094 0.061023 0.673415 0.5103SBT (Tingkat suku bunga kredit) -0.000276 0.000754 -0.365684 0.7194LN_YT1 (Produktivitas tahun sebelumnya) 0.998728 0.035322 28.27459 0.0000R-squared 0.982299 Prob(F-statistic) 0.000000 Adjusted R-squared 0.977874 Durbin-Watson stat 1.747706 Sumber: Lampiran 8, Halaman 125
Dari nilai probability yang diperoleh untuk Fstatistik sebesar 0,0000 pada
taraf nyata lima persen berarti bahwa variabel-variabel bebas dalam model secara
bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman jagung. Hasil
uji-tstatistik menunjukkan bahwa hanya produktivitas tahun sebelumnya yang
berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas jagung pada taraf nyata lima
persen.
Harga riil jagung lokal tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas
jagung pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien sebesar 0,01, yang
berarti produktivitas jagung akan meningkat sebesar 0,01 persen ketika harga riil
jagung lokal dapat ditingkatkan sebesar satu persen. Demikian juga ketika harga
riil jagung lokal mengalami penurunan sebesar satu persen maka akan
menurunkan produktivitas jagung sebesar 0,01 persen. Harga riil jagung lokal
menjadi ukuran seberapa besar insentif petani menanam jagung, sehingga
diharapkan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat berpihak kepada petani jagung.
Harga riil faktor produksi pupuk urea ternyata tidak berpengaruh secara
nyata pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien dugaan sebesar 0,04.
Artinya jika terjadi peningkatan harga riil pupuk urea sebesar satu persen maka
produktivitas jagung akan meningkat sebesar 0,03 persen, sebaliknya jika terjadi
penurunan harga riil pupuk urea maka produktivitas jagung akan menurun sebesar
0,03 persen, ceteris paribus. Meningkatnya harga pupuk berdampak pada
peningkatan biaya produksi yang harus ditanggung petani, dalam kondisi seperti
ini petani diduga berusaha seefektif dan seefisien mungkin, agar mendapat nilai
jual hasil yang lebih tinggi. Oleh karena itu, seharusnya petani tanaman pangan
mendapatkan prioritas perlindungan oleh pemerintah melalui harga jual dan
subsidi produksi karena petani membawa amanah bagi ketahanan pangan, petani
pangan perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak (www.nakertrans.go.id).
Tingkat suku bunga kredit di Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap
produktivitas jagung pada taraf nyata lima persen dengan nilai koefisien dugaan
sebesar -0,0003 yang berarti jika tingkat suku bunga kredit meningkat satu persen
maka akan menyebabkan produktivitas jagung menurun sebesar 0,0003 persen,
dan sebaliknya produktivitas akan meningkat sebesar 0,0003 persen jika tingkat
suku bunga kredit diturunkan sebesar satu persen, ceteris paribus. Melalui
pemberian keringanan bunga kredit kepada petani disertai dengan program-
program peningkatan usaha tani dengan cara menggunakan bibit jagung yang
lebih unggul diharapkan dapat mewujudkan peningkatan produksi jagung
Indonesia sehingga swasembada jagung dapat segera tercapai yang seharusnya
telah terealisasi pada tahun 2007.
Nilai koefisien dugaan variabel produktivitas jagung tahun sebelumnya
sebesar 1,00, artinya jika terjadi kenaikan produktivitas jagung tahun sebelumnya
sebesar satu persen maka produktivitas jagung akan meningkat sebesar satu
persen. Sebaliknya jika terjadi penurunan produktivitas jagung tahun sebelumnya
sebesar satu persen maka produktivitas jagung akan turun sebesar satu persen,
ceteris paribus.
5.2.3. Harga Riil Jagung Lokal
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model persamaan harga riil jagung
lokal sebesar 0,6347, yang artinya 63,47 persen keragaman harga riil jagung lokal
dapat diterangkan oleh variabel-variabel bebas di dalam model persamaan yakni
harga riil jagung di tingkat produsen, produksi jagung Indonesia, tingkat inflasi di
Indonesia dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya
sebesar 36,53 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam
model persamaan. Hasil estimasi harga riil jagung lokal selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 12.
Tabel 5.3. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Jagung Lokal di Indonesia
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C (Intersep) -2.234024 1.915697 -1.166168 0.2606LN_PDT (Harga riil jagung di tingkat produsen) 0.740092 0.235168 3.147074 0.0062LN_QJT (Produksi jagung Indonesia) -0.038279 0.071956 -0.531970 0.6021INFT (Tingkat inflasi Indonesia) 0.011173 0.002804 3.985187 0.0011LN_PJT1 (Harga riil jagung tahun sebelumnya) 0.640446 0.210810 3.038027 0.0078R-squared 0.634713 Prob(F-statistic) 0.001927 Adjusted R-squared 0.543391 Durbin-Watson stat 1.592565 Sumber: Lampiran 12, Halaman 126
Variabel-variabel bebas yang terdapat dalam model persamaan harga riil
jagung lokal secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung
lokal. Kondisi ini dapat dilihat dari nilai probability untuk Fstatistik sebesar 0,0019
pada taraf nyata lima persen. Hasil uji-tstatistik pada taraf nyata lima persen
menunjukkan variabel harga riil jagung di tingkat produsen, tingkat inflasi di
Indonesia dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata
pada taraf nyata lima persen. Produksi jagung Indonesia tidak berpengaruh nyata
terhadap harga riil jagung lokal pada taraf nyata lima persen.
Instrumen kebijakan pemerintah dalam hal harga jagung lokal yang
menonjol adalah kebijakan harga dasar jagung yang dimandatkan kepada
BULOG, serta stabilisasi harga jagung dalam negeri dan perdagangan. Kebijakan
harga dasar jagung dimaksudkan untuk melindungi petani dari penurunan harga
yang berlebihan ketika musim panen. Kebijakan harga dasar jagung dimulai tahun
1977/1978, jauh setelah pemerintah menetapkan kebijakan harga dasar gabah
yang dimulai sejak tahun 1969 (Rachman, 2003). Penetapan harga dasar jagung
dipandang penting karena produksi jagung pada saat itu cenderung meningkat dan
ekspor cukup prospektif. Disamping itu, jagung merupakan bahan pangan pokok
kedua setelah padi, meski hanya di daerah-daerah tertentu dan juga menjadi bahan
baku utama pakan. Seiring dengan perkembangannya kebijakan harga dasar
jagung tidak mampu memacu produksi jagung lokal, sehingga pada tahun 1990
kebijakan harga dasar jagung tidak diberlakukan lagi.
Salah satu peran BULOG adalah untuk melakukan pengadaan jagung yang
bersumber dari petani lokal dan impor, kemudian disalurkan ke pasar-pasar dalam
negeri dan ekspor. Dari hasil analisis pada penelitian ini dapat dilihat bahwa harga
riil jagung di tingkat produsen berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal,
dengan koefisien dugaan variabel harga riil jagung di tingkat produsen sebesar
0,74. Berarti jika terjadi kenaikan pada harga riil jagung di tingkat produsen
sebesar satu persen akan meningkatkan harga riil jagung lokal sebesar 0,74
persen. Sebaliknya, jika terjadi penurunan harga riil jagung di tingkat produsen
sebesar satu persen akan menurunkan harga riil jagung lokal sebesar 0,74 persen,
ceteris paribus.
Produksi jagung Indonesia berpengaruh negatif terhadap harga riil jagung
lokal dan tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Nilai koefisien
dugaan variabel produksi jagung Indonesia sebesar -0,04. Artinya jika terjadi
peningkatan produksi jagung sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal
akan menurun sebesar 0,04 persen, sebaliknya jika produksi jagung mengalami
penurunan sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal akan meningkat
sebesar 0,04 persen, ceteris paribus. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh
pedagang besar untuk mengekspor jagung ketika musim panen, dengan membeli
jagung melalui pedagang pengumpul/penebas yang membeli langsung dari petani
jagung dengan harga rendah, sehingga memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Sedangkan ketika produksi jagung Indonesia menurun pengusaha importir jagung
dan pabrik pakan memilih untuk mengimpor jagung yang dianggap lebih murah
dan efisien, karena hanya berurusan dengan satu eksportir dari negara pengekspor,
dibanding membeli jagung lokal yang harus dikumpulkan dari beberapa petani
sedikit demi sedikit karena ketiadaan pengepul jagung. Hal ini memaksa petani
jagung untuk tidak terlalu tinggi dalam meningkatkan harga jagung ketika
ketersediaan jagung terbatas, bahkan terkadang harus menyesuaikan dengan harga
jagung impor agar tetap dapat diserap oleh pabrik pakan.
Variabel tingkat inflasi di Indonesia berpengaruh secara nyata pada taraf
nyata lima persen terhadap harga riil jagung lokal. Nilai koefisien dugaan variabel
tingkat inflasi di Indonesia sebesar 0,01. Artinya jika terjadi peningkatan tingkat
inflasi di Indonesia sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal akan
meningkat sebesar 0,01 persen, sebaliknya jika tingkat inflasi di Indonesia
mengalami penurunan sebesar satu persen maka harga riil jagung lokal akan
menurun sebesar 0,01 persen, ceteris paribus.
Variabel harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh nyata
terhadap harga riil jagung lokal dengan nilai koefisien dugaannya sebesar
0,64. Artinya jika terjadi peningkatan harga riil jagung lokal pada tahun
sebelumnya sebesar satu persen, maka harga riil jagung lokal akan meningkat
sebesar 0,64 persen, sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil jagung lokal
tahun sebelumnya sebesar satu persen, maka akan menurunkan harga riil jagung
lokal sebesar 0,64 persen, ceteris paribus. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
ekspektasi dan kekhawatiran petani jagung. Jika harga riil jagung tahun
sebelumnya dianggap terlalu tinggi akan menyebabkan perusahaan pengimpor
jagung dan pabrik pakan lebih memilih jagung impor. Oleh karena itu, untuk
mencegah terjadinya impor pada tahun berikutnya maka petani jagung
menetapkan harga yang tidak terlalu tinggi.
5.2.4. Jumlah Impor Jagung Indonesia
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model persamaan jumlah impor
jagung Indonesia adalah sebesar 0,8048. Artinya keragaman dari variabel terikat
mampu diterangkan oleh variabel-variabel bebas di dalam model yakni Produk
Domestik Bruto Indonesia, harga impor jagung Indonesia, harga riil jagung dunia
dan jumlah impor jagung tahun sebelumnya sebesar 80,48 persen. Sedangkan
sisanya sebesar 19,52 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model.
Hasil estimasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 16.
Tabel 5.4. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C (Intersep) 46.03297 63.62185 0.723540 0.4813LN_PDBT (Produk Domestik Bruto Indonesia) 0.654427 1.373705 0.476395 0.6411LN_PMT (Harga impor jagung Indonesia) -3.677738 0.619206 -5.939444 0.0000LN_PWT (Harga riil jagung dunia) -4.534638 11.93973 -0.379794 0.7098LN_IJT1 (Jumlah impor jagung Indonesia -0.317484 0.133696 -2.374669 0.0324R-squared 0.804818 Prob(F-statistic) 0.000145 Adjusted R-squared 0.735111 Durbin-Watson stat 1.537057 Sumber: Lampiran 16, Halaman 127
Nilai probability untuk Fstatistik yang diperoleh sebesar 0,0001 pada taraf
nyata lima persen menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model
persamaan jumlah impor jagung Indonesia secara bersama-sama berpengaruh
nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia. Melalui uji-tstatistik variabel yang
berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen terhadap impor jagung Indonesia
yaitu harga impor jagung Indonesia dan jumlah impor jagung Indonesia tahun
sebelumnya.
Produk Domestik Bruto Indonesia berpengaruh positif sebesar 0,65
terhadap jumlah impor jagung Indonesia pada taraf nyata lima persen, dapat
diartikan bahwa jika Produk Domestik Bruto Indonesia meningkat sebesar satu
persen maka jumlah impor jagung Indonesia akan meningkat juga sebesar 0,65
persen, dan sebaliknya jika Produk Domestik Bruto mengalami penurunan sebesar
satu persen akan menurunkan jumlah impor jagung Indonesia sebesar 0,65 persen,
ceteris paribus. Berdasarkan Angka Ramalan II tahun 2007 Badan Pusat Statistik
data produksi jagung Indonesia yang tersedia hanya sebanyak 12,44 juta ton lebih
rendah dari jumlah yang ditargetkan yaitu sebesar 13,54 juta ton. Dibandingkan
dengan produksi tahun 2003 lalu, produksi jagung Indonesia memang meningkat
1,56 juta ton di tahun 2007, karena adanya peningkatan luas areal panen seluas
73.000 hektar. Permasalahan mendasar yang harus segera diperbaiki berhubungan
dengan data produksi jagung Indonesia yang tidak pernah dijelaskan secara rinci
apakah produksi tersebut dalam bentuk jagung kering pipilan dengan kadar air 17
persen atau dalam bentuk lain, seperti tanaman jagung sebagai pakan hijauan
ternak sapi, jagung sayur, atau tongkol. Sehingga ketersediaan jagung lokal yang
tidak pernah jelas kuantitas dan kontinuitasnya tersebut menyebabkan impor
jagung Indonesia selalu meningkat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industri pakan sebagai pendukung perkembangan industri peternakan dan industri
pengolahan berbasis jagung. Semakin meningkatnya impor jagung Indonesia dari
tahun ke tahun mengakibatkan tujuan penghematan devisa negara akan sulit
tercapai dalam waktu singkat dengan hanya meningkatkan pemanfaatan
sumberdaya lokal.
Nilai koefisien dugaan variabel harga impor jagung Indonesia sebesar
-3,68, artinya setiap kenaikan harga impor jagung Indonesia sebesar satu persen
maka akan menurunkan jumlah impor jagung sebesar 3,68 persen, sebaliknya jika
harga impor jagung Indonesia turun sebesar satu persen maka jumlah impor
jagung Indonesia akan menurun sebesar 3,68 persen, ceteris paribus. Kenaikan
harga impor jagung terjadi bukan karena dipengaruhi oleh tingkat tarif impor
jagung Indonesia melainkan ditentukan oleh ketersediaan jagung di pasar
internasional. Salah satu contohnya ketika terjadi penurunan ekspor dari negara-
negara utama penghasil jagung, seperti Amerika Serikat yang dewasa ini
membutuhkan lebih banyak jagung sebagai bahan baku pembuatan ethanol sebab
pemerintah Amerika Serikat telah memutuskan untuk beralih ke bahan bakar
biofuel agar tingkat pencemaran yang berasal dari bahan bakar fosil dapat segera
diatasi. Negara-negara maju diduga sebagai penyebab pemanasan globalkarena
tingginya tingkat penggunaan bahan bakar fosil dalam aktivitas perindustriannya.
Harga riil jagung dunia berpengaruh negatif terhadap jumlah impor jagung
Indonesia meskipun tidak secara nyata pada taraf nyata lima persen dengan nilai
koefisien dugaan sebesar 4,53 persen. Harga riil jagung dunia dari waktu ke waktu
memiliki kecenderungan menurun dikarenakan bertambahnya negara-negara yang
menjadi produsen jagung sehingga ketersediaan jagung di pasar internasional
selalu surplus jika dibandingkan kondisi pasar jagung di Indonesia yang belum
mampu memenuhi kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan yang selalu
meningkat. Oleh karena itu, para pengusaha di dalam industri peternakan selalu
berharap tarif impor jagung dapat dihapuskan agar biaya produksi industri
peternakan dapat ditekan karena jagung masih menjadi komponen bahan baku
utama pakan.
Variabel jumlah impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh secara nyata
pada taraf nyata lima persen dan dari tanda koefisien dugaannya dapat diartikan
jika terjadi peningkatan jumlah impor jagung tahun sebelumnya sebesar satu
persen maka jumlah impor jagung akan menurun sebesar 0,32, sebaliknya jika
jumlah impor jagung tahun sebelumnya mengalami penurunan sebesar satu persen
maka jumlah impor akan menigkat sebesar 0,32 persen, ceteris paribus. Maka dari
itu, ketersediaan jagung di dalam negeri baik jumlah, kualitas, harga dan kepastian
pasokan perlu terus ditingkatkan.
5.2.5. Harga Impor Jagung Indonesia
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model harga impor jagung adalah
sebesar 0,7272, artinya 72,72 persen keragaman harga impor jagung dapat
dijelaskan oleh keragaman variabel-variabel bebas di dalam persamaan yakni
variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung
Indonesia, harga riil jagung dunia, tarif impor jagung Indonesia dan harga impor
jagung tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 27,28 persen
dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Hasil estimasi selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran 20.
Tabel 5.5. Hasil Estimasi Harga Impor Jagung Indonesia Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C (Intersep) -0.000453 9.135913 -4.96E-05 1.0000LN_ERT (Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika)
-0.535793 0.252542 -2.121601 0.0509
LN_IJT (Jumlah impor jagung Indonesia) -0.242829 0.041327 -5.875819 0.0000LN_PWT (Harga riil jagung dunia) 2.758088 2.415975 1.141605 0.2715TIT (Tarif impor jagung Indonesia) -0.123123 0.028649 -4.297615 0.0006LN_PMT1 (Harga impor jagung Indonesia tahun sebelumnya
0.351007 0.151977 2.309608 0.0356
R-squared 0.727150 Prob(F-statistic) 0.001241 Adjusted R-squared 0.636200 Durbin-Watson stat 2.301778 Sumber: Lampiran 20, Halaman 128
Berdasarkan nilai probability untuk Fstatistik sebesar 0,0012 pada taraf nyata
lima persen menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan secara
bersama-sama berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung Indonesia
(Lampiran 20). Hasil uji-tstatistik menunjukkan bahwa variabel nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung Indonesia, tarif impor jagung
Indonesia dan harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap
harga impor jagung pada taraf nyata lima persen (Lampiran 20).
Variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika berpengaruh negatif
dan nyata pada taraf nyata lima persen terhadap harga impor jagung Indonesia.
Nilai koefisien dugaan variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika adalah
sebesar 0,05 yang berarti ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
terapreasi sebesar satu persen maka akan menurunkan harga impor jagung
Indonesia sebesar 0,05 persen, begitu juga sebaliknya ketika kondisi nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika terdepresiasi maka akan meningkatkan harga
impor jagung Indonesia, ceteris paribus. Jika ketersediaan jagung lokal di pasar
dalam negeri belum mampu dipenuhi seluruhnya oleh produksi jagung lokal maka
pemerintah harus berperan dalam menjaga kestabilan nilai tukar agar kegiatan
produksi industri pakan dapat terlindungi dari fluktuasi nilai tukar yang akan
berpengaruh pada biaya produksi.
Jumlah impor jagung Indonesia mempunyai nilai koefisien dugaan
variabel sebesar -0,24. Berarti jika terjadi peningkatan jumlah impor jagung
sebesar satu persen maka akan menurunkan harga impor jagung Indonesia sebesar
0,23 persen, sebaliknya harga impor jagung Indonesia akan meningkat sebesar
0,23 persen jika terjadi penurunan jumlah impor jagung Indonesia sebesar satu
persen, ceteris paribus.
Nilai koefisien dugaan variabel harga riil jagung dunia sebesar 2,76 yang
tidak berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung pada taraf nyata lima
persen. Seiring dengan perkembangan harga riil jagung di pasar internasional
yang memiliki kecenderungan menurun maka harga impor jagung selalu dinilai
lebih murah dibanding harga riil jagung lokal. Tanda pada nilai koefisien dugaan
variabel harga riil jagung dunia dapat diartikan jika terjadi peningkatan harga riil
jagung dunia sebesar satu persen maka harga impor jagung Indonesia akan
meningkat sebesar 2,76 persen, sebaliknya jika harga riil jagung dunia mengalami
penurunan sebesar satu persen maka harga riil jagung impor akan menurun
sebesar 2,76 persen, ceteris paribus. Terbentuknya harga impor jagung ditentukan
oleh kekuatan tawar menawar (bargaining position) perusahaan pengimpor dan
pabrik pakan yang mengimpor jagung dengan produsen (petani) jagung negara
asal sangat berpengaruh. Tetapi dalam hal ini sulit untuk diproksikan.
Tarif impor jagung Indonesia berpengaruh negatif terhadap harga impor
jagung Indonesia dengan nilai koefisien dugaan variabel sebesar 0,13 dan
berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Penentuan besar tarif impor
jagung yang disesuaikan dengan kondisi pertanian jagung di Indonesia bertujuan
untuk melindungi petani jagung lokal, tetapi ternyata hingga saat ini belum
mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing jagung lokal. Ketika
Indonesia berada di musim panen jagung maka tarif impor jagung yang
diberlakukan adalah sebesar 10 persen, agar jumlah impor jagung Indonesia dapat
berkurang dan produksi jagung lokal dapat terserap oleh industri pakan dan
industri pengolahan berbasis jagung. Sedangkan pada kondisi dimana Indonesia
tidak mempunyai pasokan jagung lokal yang cukup, tarif impor jagung yang
diberlakukan akan diturunkan menjadi lima persen untuk memberikan keringanan
kepada pengusaha importir jagung dan pengusaha pakan, sehingga biaya produksi
pada industri-industri berbasis jagung dapat ditekan.
Harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh positif pada taraf
nyata lima persen sebesar 0,35. Artinya jika terjadi peningkatan harga impor
jagung tahun sebelumnya sebesar satu persen maka hargaimpor jagung akan
meningkat sebesar 0,35 persen, sebaliknya jika harga impor jagung tahun
sebelumnya mengalami penurunan sebesar satu persen maka harga impor jagung
akan menurun sebesar 0,35 persen, ceteris paribus.
Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia (2006) dari
sejumlah industri yang ada, baik industri pakan, industri snack food serta
intregated corn industry, maka kebutuhan jagung untuk industri setiap tahunnya
adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan kurang lebih 6,5 juta ton,
dimana empat juta ton digunakan sebagai bahan baku industri pakan
ternak, sedangkan sisanya digunakan langsung oleh peternak.
2. Kebutuhan jagung untuk industri makanan olahan kurang lebih 300 ribu
ton yang digunakan sebagai bahan baku makanan olahan atau snack food.
3. Kebutuhan Jagung untuk integrated corn industry adalah 1000 ton per hari
atau kurang lebih 360 ribu ton per tahun.
4. Total kebutuhan jagung untuk bahan baku industri sebesar kurang lebih
4,66 juta ton per tahun.
5. Impor jagung untuk memenuhi kebutuhan industri sebesar kurang lebih
1,27 juta ton per tahun selama periode 2000 – 2005.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Kondisi produksi jagung di Indonesia selama periode tahun 1985 – 2005
meningkat secara fluktuatif karena peningkatan luas areal dan produktivitas
tanaman jagung. Luas areal pada periode tersebut terkonsentrasi di Pulau Jawa
dan mengalami pergeseran penggunaan jenis lahan dari lahan kering ke lahan
beririgasi pada musim kemarau. Jenis jagung yang banyak diproduksi oleh petani
jagung dalam negeri adalah jagung lokal yang termasuk jenis jagung mutiara (Zea
mays indurata). Dari sisi produktivitas, produktivitas jagung Indonesia masih
relatif rendah meskipun meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan
sistem usaha tani petani jagung di Indonesia belum optimal, seperti terbatasnya
penggunaan benih varietas unggul, pemupukan yang belum berimbang lebih
dominan menggunakan pupuk urea, dan masih kurangnya penggunaan pestisida
untuk pengendalian hama.
Di satu sisi, konsumsi jagung juga mengalami peningkatan terutama
konsumsi untuk industri. Selama periode tahun 1985 – 2005 tidak terjadi
ketimpangan antara jumlah produksi dan konsumsi jagung secara nasional.
Industri pakan sebagai pendukung pertumbuhan industri peternakan merupakan
konsumen utama jagung di Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan
kesadaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Akan tetapi,
peningkatan industri pakan belum diimbangi dengan produksi jagung gigi kuda
(Zea mays indentata) dalam negeri yang digunakan sebagai bahan baku pakan.
Maka dari itu, meskipun produksi jagung meningkat tetapi impor jagung
Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan
industri pakan. Jenis jagung yang diimpor adalah jagung gigi kuda (Zea mays
indentata) sebagai bahan baku pakan. Negara Cina, Amerika Serikat, Argentina,
Thailand, dan India merupakan negara-negara asal impor jagung Indonesia.
Perkembangan harga jagung di pasar dunia yang relatif menurun karena selalu
terjadi kelebihan penawaran jagung juga menjadi penyebab peningkatan impor
jagung Indonesia. Pemerintah menetapkan tarif impor jagung Indonesia bertujuan
untuk melindungi petani jagung dalam negeri. Namun demikian, kebijakan tarif
impor jagung selama ini lebih berpihak pada industri pakan agar tetap dapat
berproduksi pada biaya seminimal mungkin sehingga tidak terjadi kenaikan pada
harga produk-produk peternakan.
Analisis faktor produksi pada taraf nyata lima persen berdasarkan variabel
utama yang mempengaruhi produksi, yaitu luas areal panen dan produktivitas
jagung, memberikan informasi bahwa untuk persamaan luas areal panen, variabel
yang berpengaruh nyata adalah harga riil jagung di tingkat produsen, harga riil
tanaman palawija lain, yaitu harga riil kedelai yang menjadi kompetitor jagung
dalam penggunaan lahan, tingkat suku bunga kredit, dan luas areal panen tahun
sebelumnya; sedangkan untuk produktivitas jagung hanya variabel produktivitas
tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata. Variabel harga riil jagung di tingkat
produsen, tingkat inflasi, dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya
berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal. Variabel harga riil jagung di
tingkat produsen, tingkat inflasi, dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya
berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal.
Analisis impor jagung memberikan informasi bahwa variabel harga impor
jagung Indonesia dan jumlah impor Indonesia jagung tahun sebelumnya
berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia. Meskipun Produk
Domestik Bruto tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia
tetapi memiliki tanda yang sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis. Variabel nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung, tarif impor jagung,
dan harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga
impor jagung Indonesia. Terdapat beberapa variabel yang berpengaruh nyata
tetapi tidak sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis, yaitu tingkat suku bunga
kredit, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan tarif impor jagung.
6.2. Saran
Saran yang dapat direkomendasikan kepada pihak-pihak terkait dalam
upaya mewujudkan peningkatan produksi jagung adalah pengembangan luas areal
panen sebaiknya dialihkan ke luar Pulau Jawa dan lahan yang digunakan
sebaiknya mempunyai sistem irigasi yang baik sehingga penanaman jagung tidak
lagi bersifat musiman. Peningkatan produktivitas tanaman jagung melalui
perbaikan sistem usaha tani diwujudkan dengan penyediaan dan penggunaan
benih varietas unggul baik hibrida dan komposit, penggunaan pupuk yang
berimbang untuk urea, SP-36, KCl. dan ZA, serta penggunaan pestisida untuk
pengendalian hama. Peningkatan produktivitas jagung, terutama jagung gigi kuda
(Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan akan
berdampak positif terhadap penurunan impor jagung Indonesia. Dengan demikian,
harga jagung di tingkat produsen akan meningkat dan mendorong petani untuk
lebih banyak menanam jagung. Pemerintah diharapkan dapat merumuskan
kebijakan dalam hal nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan tarif impor
jagung Indonesia yang lebih berpihak kepada petani jagung dalam negeri tanpa
memberatkan pengusaha di industri pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. dan Yustina Erna Widyastuti. 2004. Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Kering, Sawah, dan Pasang Surut. Penebar Swadaya, Jakarta.
Aldillah, Rizma. 2006. Analisis Peramalan Permintaan dan Penawaran Jagung
Nasional serta Implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Agribisnis Jagung [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anonim. 10 September 2007. “Hapus Bea Masuk Impor Jagung”. Kompas: 17. Anonim. 2007. “Indonesia Berpotensi Jadi Pemasok Jagung Dunia” [Sinar
Harapan Online]. http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0115/ukm2.html [18 Mei 2007].
Anonym. 2007. "Jagung" [Wikipedia Indonesia].
http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung [6 April 2007]. Anonim. 2007. "Revitalisasi Pertanian".
http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/revitalisasi%20pertanian%202005.pdf [27 Mei 2007].
Anonim. 2007. "Statistik Usaha Tani".
http://www.deptan.go.id/editama/statistik/pengolahan_analisis_data/statistik%20usahatani.doc [1 Juni 2007].
Anonim. 2007. "Pangan dan Teknologi Produktivitas Menuju Kemandirian
Pertanian Indonesia". http://www.nakertrans.go.id/hasil_penelitiantrans/ketahanan_pangan.phpKETAHANAN [1 Juni 2007].
Anonim. 2007. ”Produksi Jagung”.
http://www.bi.go.id/sipuk/id/lm/jagung/pendahuluan.asp [18 Mei 2007]. Debertin, David L. 1986. Agricultural Production Economics. Macmillan
Publishing Company, New York. Departeman Perindustrian. 2007. Kebijakan Nasional Program Pengembangan
Industri Pengolahan Berbasis Jagung. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Jakarta.
Departemen Perdagangan. 2006. Statistik Perdagangan. Pusat Data Perdagangan, Jakarta.
Departemen Pertanian. 2003. Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan, Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan
2005-2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2006. Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan.
Pusat Data dan Informasi Pertanian, Jakarta. Departemen Pertanian. 2006. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal
Peternakan, Jakarta. Doll, John P. dan Frank Orazem. 1984. Production Economics: Theory with
Application Second Edition. John Wiley & Sons, New York. Erwidodo, Hermanto dan Herena Pudjihastuti. 2003. Impor Jagung: Perlukah
Tarif Impor Diberlakukan? Jawaban Analisis Simulasi. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 21 No. 2: 175-195.
Erwidodo. 2006. Kebijakan Perdagangan Unggas dan Jagung. Departemen
Perdagangan, Jakarta. Lipsey, Richard G., Paul N. Courant, Douglas D. Purvis, Peter O. Steiner. 1995.
Economics 10th ed. A. Jaka Wasana dan Kirbrandoko [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta.
Mutiaratri, Dyah Ayu. 2005. Analisis Peramalan dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Impor Gandum di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Ign Bayu
Mahendra [penerjemah]. PT Penerbit Erlangga, Jakarta. Pasaribu, Syamsul Hidayat dan Samsubar Saleh. 2001. Pendekatan Koreksi
Kesalahan dalam Persamaan Simultan Studi Kasus: Pendapatan dan Penawaran uang di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Volume 16 No. 1: 18-29.
Prabowo, Hermas P. 8 November 2007. ”Jagung, Sebuah Contoh Keruwetan”.
Kompas: 34.
Purnamasari, Rika. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purwono dan Rudi Hartono. 2006. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya,
Jakarta. Rahim, Abd. Dan Diah Retno Dwi Hastuti. 2007. Ekonomika Pertanian
(Pengantar, Teori, dan Kasus). Penebar Swadaya, Jakarta. Rosmawati, Arvita. 2007. 2007 Swasembada Jagung. Jakarta. Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Haris Munandar
[penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Salvatore, Dominick. 2001. Managerial Economics dalam Perekonomian Global.
Erlangga, Jakarta. Sarasutha, IG. P. 2002. Kinerja Usaha Tani dan Pemasaran Jagung di Sentra
Produksi. Jurnal Litbang Pertanian, Volume 21 No. 2: 39-47. Situmorang, Manris Tua. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Produksi dan Impor Beras Indonesia [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Smith, Michael B. dan Merritt R. Blakeslee. 1995. Bahasa Perdagangan. Kusnedi
[penerjemah]. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Sunaryo, T. 2001. Ekonomi Manajerial: Aplikasi Teori Ekonomi Mikro. Erlangga,
Jakarta. United States Department of Agriculture. 2007. World Agricultural Supply and
Demand Estimates. World Agricultural Outlook Board, United States. Warisno. 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Kanisius, Yogyakarta. Yusdja, Yusmichad dan Adang Agustian. 2003. Analisis Kebijakan Tarif Jagung
Antara Petani Jagung dan Peternak. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume I No. 1: 36-54.
top related