filsafat hukum islam tentang taklik talak
Post on 06-Aug-2015
438 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam Pendahuluan Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena
tiga hal, yaitu karena kematian, karena perceraian dan atas putusan
pengadilan1.
Putusnya perkawinan karena perceraian, di Indonesia pada
umumnya mengunakan lembaga taklik talak (cerai talak). Namun tidak
sedikit pula yang putus karena putusan pengadilan, diantaranya ialah
gugat cerai dengan alasan pelanggaran taklik talak. Lembaga taklik talak
di Indonesia telah ada sejak zaman dahulu. Kenyataan yang ada sampai
saat ini pun menunjukkan hampir setiap perkawinan di Indonesia yang
dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan sighat ta’lik
thalak oleh suami. Sekalipun sifatnya suka rela, namun di negara ini,
membaca taklik talak seolah-olah menjadi kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh suami.
Sighat ta’lik dirumuskan sedemikian rupa, dengan tujuan untuk
melindungi pihak isteri supaya tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh
pihak suami. Jika isteri tidak ridha atas perlakuan suami, maka isteri dapat
mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudkan syarat ta’lik
sebagaimana disebutkan di dalam sighat ta’lik.
Eksistensi taklik talak ternyata banyak melahirkan kontoversi, baik
di kalangan fuqaha maupun para pengamat hukum Islam. Dalam pada itu,
permasalahan ini perlu dan relevan untuk dibahas agar penerapannya
benar-benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan benar-
benar dapat memenuhi serta memberikan kepastian hukum bagi pencari
keadilan.
1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah penulis
uraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
Bagaimanakah Filosofi Taklik Talak dan Pengaruhnya Terhadap
Kedudukan Wanita Dalam Rumah Tangga?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui makna filosofi taklik talak dan pengaruhnya
terhadap kedudukan wanita dalam rumah tangga.
b. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam yang
diampuh oleh Bapak Drs. Abdullah Sulaiman, M.Hum
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Agar didapatkan informasi mengenai makna filosofi taklik talak dan
pengaruhnya terhadap kedudukan wanita dalam rumah tangga
b. Agar masyarakat dan wanita mengerti akan kedudukannya dalam
rumah tangga
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Taklik talak
Yang dimaksud dengan taklik talak ialah menyandarkan jatuhnya
thalaq kepada sesuatu perkara, baik kepada aucapan, perbuatan maupun
waktu tertentu2. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga perbuatan
sewenang-wenang dari pihak suami. Taklik talak ini dilakukan setelah
akad nikah, baik langsung waktu itu mauoun di waktu lain3.
Dengan taklik talak ini berarti suami menggantungkan talaknya
kepada perjanjian yang ia setujui. Apabila perjanjian itu dilanggar, dengan
sendirinya jatuh talak kepada isterinya.
2.2 Sejarah Taklik Talak di Indonesia
Menurut catatan sejarah, pelembagaan taklik talak mulai dari
perintah Sultan Agung Hanyakrakususma, raja Mataram (1554 Jawa-1630
Masehi) dalam upaya memberi kemudahan bagi wanita untuk melepaskan
ikatan perkawinan dari suami yang meninggalkan pergi dalam jangka
waktu tertentu, disamping jaminan bagi suami bila bepergian intu adalah
dalam tugas negara. Ta’lik itu disebut Takluk Janji Dalem, atau “taklek
janjining ratu” artinya ta’lik dalam kaitan dengan tugas negara4.
2 Moch. Anwar, 1991, Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, CV. Diponegoro: Bandung., hal. 68.
3 Daniel S. Lev, 1986, Islamic Court in Indonesia (Peradilan Agama Islam di Indonesia), terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Cet. II., PT. Intermasa: Jakarta., hal. 204.
4 Ta’lik tidak dibaca oleh pengantin pria, tetapi diucapkan oleh penghulu Naib dan cukup dengan dijawab: Hinggih sendika (Saya bersedia). Bentuk itu dulu berlaku di daerah Surakarta sampai masa menjelang kemerdekaan. Lihat Moh. Adnan, 1984, Tatacara Islam, Bahasa dan Tulisan Jawa, Penerbit Mardi Kintoko: Surakarta., hal. 70.
4
Dalam suasana pemerintahan Hindia Belanda, sejak Daendels
mengeluarkan instruksi bagi Bupati tahun 1808, kemudian ditegaskan
dalam Stb. 1835 No. 58 untuk mengawasi tugas para penghulu, Stb. 1882
No. 152 tentang pembentukan Raad Agama di mana penghulu juga
menjadi ketuanya, kemudian keluar Ordonansi Pencatatan Perkawinan
Stb. 1895 No. 198 jis Stb. 1929 No. 348 dan Stb. 1931 No. 348, Stb. 1933
No. 98 untuk Solo dan Jogya, maka timbul gagasan para Penghulu dan
Ulama dengan persetujuan Bupati, untuk melembagakan taklik talak
sebagai sarana pendidikan bagi para suami agar lebih mengerti
kewajibannya terhadap isteri, yaitu dengan tambahan rumusan sighat
tentang kewajiban nafkah dan tentang penganiayaan suami.
Melihat bahwa bentuk ta’lik thalak di Jawa itu bermanfaat dalam
menyelesaikan perselisihan suami isteri, maka banyak penguasa adaeah
luar Jawa dan Madura memberlakukannya di daerah masing-masing. Ini
menjadi lebih merata dengan berlakunya Ordonansi Pencatatan Nikah
untuk luar Jawa dan Madura, yakni Stb. 1932 No, 4825.
Ketika Indonesia merdeka, dengan berlakunya UU No.2 Tahun
1946 jo. UU No. 32 Tahun 1952, maka ketentuan tentang sighat taklik
talak diberlakukan seragam di sluruh Indonesia, dengan pola saran Sidang
Khusus Birpro Peradilan Agama pada Konferensi Kerja Kementerian
Agama di Tretes, Malang tahun 18566, dan terakhir setelah UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 dengan bunyi sighat taklik yang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990, seperti di bawah ini:
Sesudah akad nikah saya.........bin.........berjanji dengan sesungguh hati,
bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan
akan saya pergauli isteri saya bernama ........ binti....... dengan baik
(mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syariat Agama Islam
5 Sekitar tahun 1925 sudah berlaklu taklik talak di daerah Minangkabau, bahkan di Muara Tembusi sudah sejak 1910, begitu juga pula di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Selatan serta Sulawesi Selatan. Zaini Ahmad Noeh, Pembacaan Sighat Taklik Thalaq sesudah Akad Nikah , dalam Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII, 1997, hal. 66.
6 Buku Laporan Kementerian Agama 1956, hal. 322.
5
Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas isteri saya itu
sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
(1) Meningalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;
(2) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan
lamanya;
(3) Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;
(4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam
bulan lamanya:
Kemudian isteri saya itu tidak ridha dan mengadukan halnya kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurusi
pengaduan itu, dan pengaduannya dibenartkan serta diterima oleh
pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya membayar uang
sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada
saya, makla jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk
menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya
kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, untuk keperluan
ibadah sosial7.
2.3 Eksistensi Taklik Talak
Pembahasan mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian
telah dibahas para ulama fiqih dalam berbagai kitab fiqih. Dalam
pembahasan mengenai hal ini mereka ikhtilaf. Ada yang membolehkan
dan ada pula yang menolaknya, ada yang pro dan ada pula yang kontra.
Perbedaan tersebut sampai sekarang mewarnai perkembangan Hukum
Islam.
Di antara yang membolehkan pun terdapat dua pendapat. Ada
yang membolehkan secara mutlak dan ada yang membolehkan dengan
syarat-syarat tertentu. Perbedaan faham di antara mereka yang
membolehkan, pada dasarnya terletak pada bentuk sifat dan sighat taklik
talak yang bersangkutan. Yang membolehkan secara mutlak, mereka
membolehkan semua bentuk sighat taklik, baik yang
7 Mimbar Hukum, No. 23 Tahun VI, 1995, hal. 70.
6
bersifat syarthi maupun qasami, yang bersifat umum maupun yang
dikaitkan dengan sesuatu. Sedang yang membolehkan ialah sighat taklik
yang bersifat syarthi, dan sesuai dengan maksud tujuan hukum syar’i8.
Fakta yuridis mengenai alasan perceraian sebagaimana yang
tersebut dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan beserta penjelasannya,
maupun dalam Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, tidak disinggung mengenai
taklik talak sebagai alasan perceraian.
Pembuat undang-undang menganggap bahwa perceraian
berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan jo. Pasal 19 PP
No.9 Tahun 1975 telah cukup memadai, sesuai dengan jiwa undang-
undang tersebut yang antara lain menganut asas mempersukar terjadinya
perceraian. Sehingga tidak perlu lagi ditambah atau diperluas.
M. Yahya Harahap dalam karyanya Tinjauan Masalah Perceraian di
Indonesia, juga mengatakan demikian. Dinyatakan bahwa UU Perkawinan
tidak menutup perceraian. Pada saat yang bersamaan undang-undang
juga tidak membuka lebar-lebar pintu perceraian. Oleh karena itu jumlah
perceraian harus dibatasi. Apa yang diatur dalam aturan perundang-
undangan dianggap cukup memadai, mensejajari kebutuhan masyarakat.
Apalagi jika dilihat dari keluwesan Pasal 19 f PP No.9 Tahun 1975, dan
dikaitkan dengan perluasan alasan “melalaikan kewajiban” sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan. Alasan perceraian
yang kita miliki lebih dari cukup. Tidak perlu ditambah, dan memang
alasan perceraian telah ditetapkan oleh undang-undang secara limitatif.
Di liar itu tidak ada lasan yang dapat dipergunakan9.
Namun bila dicermati dari fakta yang ada saat ini, nampak jelas
bahwa perkara cerai gugat dengan alasan taklik talak yang diterima oleh
8 Mahmoud Syaltut, 1978, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqh, terjemahan
Ismuha, Bulan Bintang: Jakarta., hal. 218-219.9 M. Yahya harahap, 1989,Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia, FH-UI: Jakarta.,
hal. 4.
7
Pengadilan Agama mencapai jumlah yang tidak sedikit, mencapai puluhan
ribu setiap tahunnya.
Mengenai sikap Pengadilan Agama yang tampaknya telah
membenarkan alasan perceraian di luar undang-undang dapat
dirumuskan beberapa hal:
Pertama, taklik talak dari segi esensinya sebagai perjanjian yang
digantungkan kepada syarat dengan tujuan utamanya melindungi isteri
dari kemudharatan karena tindakan sewenang-wenang suami,
mempunyai landasan hukum yang kuat, yaitu dalil-dalil dari kitab suci
Alquran dan Hadis.
Kedua, taklik talak sebagai alasan perceraian telah melembaga
dalam Hukum islam sejak lama, sejak masa sahabat. Sebahagian besar
ulama sepakat tentang sahnya dan sampai sekarang diamalkan oleh
kaum muslimin di berbagai penjuru dunia, khususnya di Malaysia dan
Indonesia.
Ketiga, substansi taklik talak yang telah ditetapkan oleh Menteri
Agama RI, dipandang telah cukup memadai, dipandang dari asas Hukum
Islam ataupun jiwa UU Perkawinan.
Keempat, di Indonesia lembaga taklik talak secara yuridis formal
telah berlaku sejak zaman penjajahan Belanda, berdasarkan Staatblaad
1882 No. 152 sampai sekarang setelah merdeka menjelang
diundangkannya UU Perkawinan bahkan sampai menjelang
diundangkannya UU No.7 Tahun 1989. Sekalipun Staatblad 1882 No. 152
yang memberi landasan yuridis berlakunya hukum taklik talak telah
dicabut dengan UU No.7 Tahun 1989 pada saat sekarang ini dengan
diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam melalui INPRES No.1 Tahun 1991
yang antara lain mengatur juga mengenai taklik talak maka taklik talak
dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis.
8
Dalam praktik di Pengadilan Agama baik ia sebagai perjanjian atau
pun alasan perceraian, maka hakim secara tegas mempertimbangkannya
dalam putusannya. Hendaknya hakim mempertajam upaya dalam
mengkonstatir, mengkualifisir maupun mengkonstituir perkaranya,
sehingga kecenderungan selama ini untuk menggiring atau mengarahkan
perkara cerai gugat menjadi perkara taklik talak dapat dikurangi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kiranya ketentuan-ketentuan
mengenai hukum acara dapat dilaksanakan dengan benar, dan ketentuan
sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 62 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989,
yakni: Segala Penetapan dan Putusan Pengadilan, setelah memuat alasan-
alasan atau dasar-dasarnya, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan, dapat terpenuhi.
Atas dasar ini pula penulis berpendapat bahwa taklik talak sebagai
alasan perceraian relevan dan dapat dibenarkan menurut hukum10.
2.4. Rumusan Perjanjian Taklik Talak
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa para ahli hukum Islam
berbeda pendapat dalam pembahasan mengenai taklik talak. Ibn Hazm
berpendapat bahwa dari dua macam bentuk taklik talak, yaitu
taklik qasamy dan taklik syarthi, keduanya tidak sah dan ucapannya tidak
mempunyai akibat apa-apa. Alasannya karena Allah telah mengatur
secara jelas mengenai talak, sedang taklik talak tidak ada tuntunannya
dalam Alquran dan Sunnah11.
Ada juga yang berpendapat bahwa taklik qasamy yang
mengandung masud, tidak mempunyai akibat jatuhnya talak. Faham ini
dianut di Mesir, dimuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Negara tersebut
10 Pada Pasal 116 (g) Bab VI dalam Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwa alasan perceraian adalah suami melanggar taklik talak. Lihat Mohd. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Islam Perkawinan (Suatu Analisis Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara: Jakarta., hal. 153.
11 Sayyid Sabiq, 1983, Fiqh Sunnah, Jilid III, Dar al-Fikr: Beirut., hal. 223.
9
No. 25 Tahun 1929 yang intinya sebagai berikut: Talak tidak tunai terjadi
jika dengan talak tersebut yang dimaksud ialah menyuruh berbuat
sesuatu atau meninggalkannya semata-mata. Ketentuan yang sama juga
dipakai di Sudan sejak tahun 1935, dengam maklumat Syar’i No. 41.
Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang telah
mentaklikkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi
syarat-syaratnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh mereka masing-
masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik,
baik taklik itu mengandung sumpah (qasamy) atau mengandung syarat
biasa. Karena orang yang mentaklikkan talaknya itu tidak menjatuhkan
talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi orang itu
menggantungkan talak kepada telah terpenuhinya syarat yang
terkandung dalam ucapannya12.
Pendapat jumhur inilah yang dianut oleh Pemerintah Hindia
Belanda di Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Staatblad 1882 No. 152, bahwa Raad Agama berwenang untuk memeriksa
bahwa syarat taklik telah berlaku.
Setelah Indonesia merdeka rumusan sighat taklik talak ditentukan
oleh Departemen Agama. Tidak lain maksudnya adalah untuk membatasi
agar bentuk sighat taklik talak tidak secara bebas begitu saja diucapkan
oleh suami, juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak talak
yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan
terhadap isteri dari perbuatan kesewenang-wenangan suami.
Berdasarkan fakta yuridis yang dihimpun dapat diketahui bahwa
sejak tahun 1940 sampai sekarang, rumusan sighat taklik talak telah
mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan itu bila diamati, tidak
mengenai unsur-unsur pokoknya, tetapi mengenai volume/kualitas dari
syarat taklik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
12 Mahmoud Syaltout, Op.Cit., hal. 227.
10
Unsur-unsur dimaksud ialah: 1. suami meninggalkan isteri, 2.
Suami tidak memberi nafkah kepada isteri, 3. Suami menyakitti isteri,
atau 4. Suami membiarkan (tidak memedulikan isteri), 5. Isteri tidak
ridha, 6. Isteri mengadukan halnya ke Pengadilan, 7. Pengaduan isteri
diterima oleh Pengadilan, 8. Isteri membayar uang iwadh, 9. Jatuhnya
talak suami satu kepada isteri dan 10. Uang iwadh oleh suami diterimakan
kepada Pengadilan untuk diserahkan kepada pihak ketiga untuk
kepentingan ibadah sosial.13
Perubahan mengenai kualitas syarat taklik talak yang berlaku di
Indonesia sejak sebelum merdeka (19400 hingga setelah merdeka, yakni
yang ditentukan oleh Departemen Agama, masing-masing pada tahun
1947, 1950, 1956 dan tahun 1975 semakin menunjukkan kualitas yang
lebih sesuai dengan asas syari’i, yakni mempersukar terjadinya
perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari perbuatan sewenang-
wenang suami14.
Perlunya pengaturan sighat taklik secara formal oleh Menteri
Agama adalah dimaksudkan agar relevan dengan asas-asas syar’i tentang
perceraian, demikian pula agar relevan dengan asas-asas yang
terkandung dengan UU Perkawinan khususnya yang berkaitan dengan
alasan perceraian.
Oleh karena itu rumusan sighat taklik talak sebagaimana yang
terakhir ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1990
juncto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 46 ayat (2) KHI
dianggap telah memadai dan relevan dengan asas-asas tersebut. Dengan
kata lain (mafhum mukhalafahnya) maka semua bentk taklik talak selain
(di luar) yang ditentukan oleh Departemen Agama/Menteri Agama
seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.
13 Arso Sastroadmodjo, 1975, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan I, Penerbit Bulan Bintang: Jakarta., hal. 91.
14 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit., hal. 119.
11
2.5 Pengaruh Taklik Talak terhadap Kedudukan Wanita dalam
Rumah Tangga
Dalam sistem hukum dunia, kompetensi perceraian sepenuhnya
berada di tangan hakim. Pengadilan adalah astu-satunya forum yang
dapat memenuhi permohonan cerai dan mengesahkan pembubaran
mahligai perkawinan. Walaupun dalam hukum Islam diketahui bahwa
hakim sama sekali tidak mempunyai hak menjatuhkan talak terhadap istri
dalam kondisi apapun15.
Perceraian adalah hak pria, asalkan ia berlaku secara wajar
terhadap istrinya. Perilaku yang wajar dari seorang pria terhadap isterinya
ialah bahwa apabila ia berkehendak untuk hidup bersama isterinya, maka
ia harus mengurusinya dengan sepatutnya, menghormati hak-hak
isterinya, dan berlaku kasih sayang terhadapnya. Apabila tidak ada jalan
baginya untuk meneruskan kehidupan bersama isterinya itu maka ia
harus secara sopan dan ramah menceraikannya.
Kenyataan di lapangan terlihat banyaknya perceraian yang
disebabkan kelalaian suami terhadap isteri dalam hal pengurusan,
pemberian nafkah, dan penghargaan terhadap wanita16. Dalam hal inilah
tampak akan fungsi taklik talak yang mengikat pertanggungjawaban
suami terhadap isterinya.
Dari satu sisi suami akan lebih konsisten dan bertanggungjawab
terhadap kelangsunan rumah tangga dan di sisi lain isteri akan lebih
dihargai. Pelanggaran suami terhadap hal-hal yang termaktub dalam
15 Islam tidak mengekang wanita, tetapi memberi kesempatan untuk menuntut talak di hadapan hakim seandainya ia merasakan penderitaan yang sangat berat dan tidak bisa hidup dalam naungan suami. Ia boleh meminta cerai atas dasar penderitaan ini dan hakim harus membuktikan dan menyelidiki perkaranya. Lihat Ibrahim Muhammad al-Jamal,1995, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Fiqh Muslimah), terjemahan Zaid Hussein al-Hamid, Cet. II, Pustaka Amani: Jakarta., hal. 311.
16 Victor Situmorang, 1988, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Cetakan I, PT Bina Aksara: Jakarta, hal. 10.
12
sighat taklik talak sudah merupakan alasan bagi istri untuk mengajukan
keberatan dan menuntut dijatuhkannya talak.
Walau masih terdapat beberapa pendapat yang kontradiktif
terhadap keberadaan taklik saat ini, namun pengaruhnya terhadap
penghargaan terhadap wanita dalam rumah tangga lebih besar.
Menurut Abdul Karim Amrullah, lembaga taklik talak dapat
menolong wanita dari perbuatan kesewenang-wenangan laki-laki.
Sebagaimana dahulu banyak terjadi di daerah Minangkabau, banyak
perempuan yang terkatung-katung, tidak pernah begaul dan tidak pernah
diberi nafkah oleh suami, tetapi tidak pula diceraikan.
Apabila mereka mengadu ke Pengadilan, mereja justru disalahkan
karena sulitnya Hakim Agama mengabulkan gugatan perceraian dari
mereka, padahal mereka benar-benar ditelantarkan oleh suaminya,
kemudian banyak diantara mereka yang murtad, dengan sendirinya
putuslah nikah dengan suaminya. Oleh karena itu pada tahun 1916, untuk
membebaskan perempuan dari laki-laki yang tidak bertanggungjawab,
atas usul beliau di daerah Minangkabau diberlakukan taklik talak17.
Mahmoud Syaltout dalam buku Perbandingan Mazhab menjelaskan
bahwa para ahli hukum Islam berpendapat bahwa perjanjian taklik talak
adalah jalan terbaik dalam melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak
baik dari pihak suami. Sekiranya seorang suami telah mengadakan
perjanjian taklik talak, ketika akad nikah dilaksanakan dan bentuk
perjanjian itu telah disepakati bersama, maka perjanjian taklik talak itu
dianggap sah untuk semua bentuk taklik. Apabila suami melanggar
perjanjian yang telah disepakati itu maka isteri dapat meminta cerai
kepada hakim yang telah ditunjuk oleh pihak yang berwenang18.
17 Hamka, 1981, Tafsir al-Azhar, Juz V, Panji Masyarakat: Jakarta., hal. 7118 Daniel S. Lev, Op.Cit., hal 4.
13
Untuk itulah maka sesuai dan menurut kemaslahatan bagi suami
maupun isteri, eksistensi taklik talak sangatlah penting19. Murtadha
Muthahhari mengilustrasikan perceraian yang wajar dan normal ibarat
suatu kelahiran yang normal, yang berlangsung sendirinya secara normal,
tetapi perceraian dari seorang suami yang tidak mau melaksanakan
kewajibannya dan tidak mau pula menceraikan isterinya ibarat suatu
kelahiran yang tidak alami dan tidak normal, dimana diperlukan seorang
dokter atau ahli bedah (hakim)20.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahawa
keberadaan taklik talak sangatlah penting. Eksistensi taklik talak yang
19 Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, terjemahan M. Hashem, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997, hal. 197.
20 Ibid.
14
sudah ditopang oleh kekuatan hukum yang jelas dalam Kompilasi Hukum
Islam serta pengaruhnya terhadap keberadaan wanita menambah
pentingnya arti taklik talak dalam kehidupan rumah tangga.
Kedudukan wanita akan lebih berarti karena akan terhindar dari
sikap kesewenang-wenangan suami, tanggung jawab suami sebagai
pemimpin rumah tangga akan lebih dihargai dan pada akhirnya tentunya
tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku:
Arso Sastroadmodjo, 1975, Hukum Perkawinan di Indonesia,
Cetakan I, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.
15
Daniel S. Lev, 1986, Islamic Court in Indonesia (Peradilan Agama
Islam di Indonesia), terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Cet.
II., PT. Intermasa, Jakarta.
Hamka, 1981, Tafsir al-Azhar, Juz V, Panji Masyarakat, Jakarta.
Ibrahim Muhammad al-Jamal, 1995, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Fiqh
Muslimah), terjemahan Zaid Hussein al-Hamid, Cet. II,
Pustaka Amani, Jakarta.
M. Yahya Harahap, 1989, Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia,
FH-UI, Jakarta.
Mahmoud Syaltut, 1978, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqh,
terjemahan Ismuha, Bulan Bintang, Jakarta.
Moch. Anwar, 1991, Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan
Keputusan di Pengadilan Agama, CV. Diponegoro, Bandung,
1991.
Moh. Adnan, 1984, Tatacara Islam, Bahasa dan Tulisan Jawa,
Penerbit Mardi Kintoko, Surakarta.
Mohd. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Islam Perkawinan (Suatu Analisis
Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta.
Murtadha Muthahhari, 1997, The Rights of Women in Islam,
terjemahan M. Hashem, Penerbit Pustaka, Bandung.
Sayyid Sabiq, 1983, Fiqh Sunnah, Jilid III, Dar al-Fikr, Beirut.
Victor Situmorang, 1988, Kedudukan Wanita di Mata Hukum,
Cetakan I, PT Bina Aksara, Jakarta.
Zaini Ahmad Noeh, 1997, Pembacaan Sighat Taklik Thalaq sesudah
Akad Nikah , dalam Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII.
16
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1990
C. Majalah, jurnal, laporan
Buku Laporan Kementerian Agama 1956.
Mimbar Hukum, No. 23 Tahun VI, 1995.
TUGAS MANDIRI
FILOSOFI TAKLIK TALAK DAN PENGARUHNYA TERHADAP
KEDUDUKAN WANITA DALAM RUMAH TANGGA
D O S E N P E N G A M P U:Drs. ABDULLAH SULAIMAN, M.Hum
17
MATA KULIAH
FILSAFAT HUKUM ISLAM
DISUSUN OLEH:
NAMA : YUDI HARDIYANTO
NPM : 121020008
KELAS : A/B REGULER
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2012
DAFTAR ISI
18
HALAMAN JUDULKATA PENGANTAR DAFTAR ISIBAB I PENDAHULUAN.................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................2
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ...............................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan .............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................3
2.1 Pengertian Taklik Talak .....................................................................3
2.2 Sejarah Taklik Talak di Indonesia ......................................................3
2.3 Eksistensi Taklik Talak .......................................................................5
2.4 Rumusan Perjanjian Taklik Talak .......................................................8
2.5 Pengaruh Taklik Talak terhadap Kedudukan Wanita dalam Rumah Tangga ...................................................................................................10
BAB III PENUTUP......................................................................13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................14
KATA PENGANTAR
19
Segala puji kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas mandiri matakuliah Filsafat Hukum Islam dengan
judul Filosofi Taklik Talak dan Pengaruhnya Terhadap Kedudukan
Wanita Dalam Rumah Tangga ini dengan baik dan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan,
dorongan dan pengarahan dari banyak pihak, karena itu penulis
mengucapkan banyak terimakasih yang tidak terhingga kepada semua
pihak yang telah berperan dan membantu dalam penyelesaian tugas
makalah ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dengan
adanya penulisan makalah seperti ini, dapat kita pelajari tentang Filosofi
Taklik Talak dan Pengaruhnya Terhadap Kedudukan Wanita Dalam Rumah
Tangga untuk kepentingan proses belajar kita terutama dalam bidang
kajian Filsafat Hukum Islam. Semoga segala yang telah kita kerjakan
merupakan bimbingan yang lurus dari Yang Maha Kuasa.
Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena
itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan
penyempurnaan tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam
pembuatan tugas-tugas yang lain di masa mendatang. Semoga dengan
adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan
kemajuan ilmu pengetahuan.
Pekanbaru, 06 Desember
2012
Penulis
YUDI HARDIYANTO
top related