saksi keluarga dalam pelanggaran taklik talak di...
TRANSCRIPT
SAKSI KELUARGA DALAM PELANGGARAN TAKLIK TALAK
DI PENGADILAN AGAMA KOTA BANJAR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
GHINAA HUSNA FITHRIYYAH
NIM: 11150440000140
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2019 M
iv
ABSTRAK
Ghinaa Husna Fithriyyah. NIM 11150440000140, SAKSI KELUARGA
DALAM PELANGGARAN TAKLIK TALAK DI PENGADILAN AGAMA
KOTA BANJAR. Skripsi Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M. ix +
55 Halaman + 17 Lampiran
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan tentang kekuatan pembuktian saksi dari
keluarga dalam perkara perceraian karena pelanggaran taklik talak dan mengenai pertimbangan hakim dalam perkara nomor 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr ini sudah sesuai
hukum atau tidak. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis dan studi kepustakaan
(library reseach) dengan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan,
buku-buku terkait, artikel dalam majalah/media elektronik, laporan penelitian atau
jurnal hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hakim menerima saksi keluarga dalam
perkara pelanggaran taklik talak, yaitu paman dan menantu. Alasan menerima saksi
tersebut karena dianggap telah memenuhi syarat formil saksi. Namun berdasarkan
analisis penulis, secara teori hukum perdata hakim salah menerapkan hukum. Dimana
hakim tidak memperhatikan salah satu syarat formil saksi. Karena dalam ketentuan
perundang-undangan, syarat formil pertama saksi tidak boleh berasal dari keluarga
sedarah atau keluarga semenda salah satu pihak dalam garis lurus sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 145 HIR. Kecuali, jika undang-undang menentukan lain.
Seperti halnya dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
menyebutkan bahwa alasan perceraian yang disebabkan perselisihan dan
pertengkaran itu dapat diterima setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang
yang dekat dengan suami istri itu. Sehingga seharusnya Pengadilan Agama Kota
Banjar menolak gugatan Penggugat karena dalam pembuktian saksi, salah satu syarat
formil mengandung cacat sehingga mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai alat
bukti saksi. Karena meskipun syarat materiil terpenuhi, akan tetapi hukum tidak
menolerirnya, karena syarat formil dan materiil bersifat komulatif yang
mengharuskan terpenuhi semua bukan alternatif sehingga dapat dikatakan bahwa
Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya. Akan tetapi, dalam
perkara nomor 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr menurut penulis, alasan hakim menerima
saksi dari pihak keluarga karena dalam petitumnya akumulasi, yaitu terdapat
perselisihan dan percekcokan yang terus menerus. Jadi meskipun alasan perceraian
tersebut dikarenakan suami melanggar ikrar taklik talak, saksi keluarga masih dapat
diterima.
Kata Kunci : Taklik Talak, Pembuktian, Saksi, Saksi Keluarga, Putusan.
Pembimbing : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : 1974 s.d. 2018
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan
Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat beserta
salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar sarjana pada program studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang penulis ajukan
adalah “Saksi Keluarga dalam Pelanggaran Taklik Talak di Pengadilan Agama Kota
Banjar”.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulis dengan senang hati menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ibu Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar
Lubis Lc. MA.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H, M.H, M.A Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Mesraini, M. Ag Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Bapak
Ahmad Chairul Hadi, M.A Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga
4. Bapak Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H Dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing skripsi.
5. Segenap bapak dan ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga
kepada staf perpustakaan, karyawan-karyawan, yang telah banyak membantu
penulis memfasilitasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Teristimewa Ayahanda dan Ibunda penulis (H. Basuni & Hj. Dewi Nurul
Mustaqimah), adik tersayang (Muhammad Hanif Rafi Raidul Islam Ar-Rosyad)
dan juga keluarga besar. Terimakasih atas setiap cinta dan kasih sayang,
vi
perhatian, do’a restu, bimbingan, serta dukungan yang selalu mengiringi setiap
langkah penulis.
7. Terimakasih kepada Ketua Pengadilan Agama Kota Banjar, para hakim beserta
pihak-pihak yang terkait telah meluangkan waktu dan memudahkan penulisan
dalam penulisan skripsi ini.
8. Terimakasih kepada Bapak Tedy Hendrisman, S.H., M.H selaku guru penulis
yang selalu membantu dan membimbing penulis.
9. Terimakasih kepada sahabat penulis Thara Andani dan Farahdina Fairuz Iftinan
S.E yang selalu menemani dan mendukung penulis dari sejak Pesantren (SMP)
hingga saat ini.
10. Terimakasih kepada teman sekaligus sahabat penulis Ariyall Hikam Pratama
S.H, Isrofiah, Nailah Ummi Huwaina, dan Nur Ilhamilaili F. Miswin yang selalu
mendukung penulis selama di kampus.
11. Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan Program Studi Hukum Keluarga
angkatan 2015 dan mereka yang tidak dapat disebutkan satu-persatu semoga
sehat dan sukses selalu.
12. Terimakasih kepada keluarga besar IKADA Jabodetabek dan HMI Hukum
Keluarga yang telah menemani, membantu, dan mengajarkan berbagai hal
kepada penulis.
Semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan dan manfaat kepada
para pembaca.
Jakarta, Agustus 2019
Ghinaa Husna Fithriyyah
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .......................................................... ii
LEMBAR PENYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ......................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 5
E. Review Studi Terdahulu ............................................................ 6
F. Metode Penelitian ...................................................................... 7
G. Kerangka Teori .......................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ................................................................ 11
BAB II KONSEP UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN
PEMBUKTIAN
A. Perceraian
1. Pengertian Perceraian (Talak) ............................................... 13
2. Pembagian Perceraian (Talak) .............................................. 15
3. Hukum Perceraian (Talak) .................................................... 16
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian ......................................................... 17
2. Teori Pembuktian Secara Umum ........................................... 18
3. Teori Beban Pembuktian ...................................................... 19
C. Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pembuktian
1. HIR (Herzien Inlandsch Reglement) .................................... 21
2. Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten) ............................... 22
viii
3. KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) .............. 22
4. Perma RI (Peraturan Mahkamah Agung) ............................. 23
BAB III TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA KOTA BANJAR TERHADAP PERCERAIAN
PELANGGARAN TAKLIK TALAK
A. Duduk Perkara ........................................................................... 24
B. Pemeriksaan Perkara .................................................................. 25
C. Pertimbangan Hukum ................................................................. 27
D. Putusan ...................................................................................... 30
BAB IV PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA BANJAR
MENGENAI SAKSI KELUARGA DALAM PERKARA
PERCERAIAN PELANGGARAN TAKLIK TALAK
(Nomor. 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr)
A. Analisis Terhadap Pembuktian Saksi Keluarga dalam Perkara
Perceraian Pelanggaran Taklik Talak ......................................... 31
B. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Kota Banjar Nomor
535/Pdt.G/2018/PA. Bjr ............................................................. 37
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 54
B. Rekomendasi ............................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 56
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Pembimbing
2. Surat Permintaan Data ke Pengadilan Agama
3. Surat Balasan dari Pengadilan Agama
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Talak Khulu atau biasa disebut dengan talak tebusan adalah talak
yang dijatuhkan atas permintaan istri dengan membayar sejumlah tebusan
(iwadl) kepada suaminya agar terlepas dari ikatan perkawinannya.1
Terkait dengan terjadinya perceraian, ditegaskan bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan
melakukan berbagai usaha untuk mendamaikan para pihak namun tidak
berhasil. Itupun harus ada alasan yang jelas bahwa kedua belah pihak tidak
dapat rukun kembali.2
Pada pasal 19 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 j.o pasal
116 Kompilasi Hukum Islam perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
1 Hasanudin, “Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Ditinjau dari Hukum Islam dan
Hukum Positif “, Medina-Te, Jurnal Studi Islam Volume 14, Nomor 1, (Juni: 2016), h. 49 2 Ahmad Thalabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
229
2
Dalam perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama saat ini
banyaknya perkara gugatan perceraian yang diajukan oleh istri dengan
berbagai macam alasan, diantaranya suami telah melanggar taklik talak.
Taklik talak adalah jaminan suami terhadap istri yang menyatakan bahwa ia
sanggup melaksanakan kewajibannya. Taklik talak adalah perjanjian yang
diucapkan suami setelah akad nikad yang dicantumkan dalam akta nikah
berupa janji talak yang digantungkan pada suatu keadaan tertentu yang
mungkin akan terjadi di masa yang akan datang.3 Taklik talak di Indonesia
sudah ada sejak dahulu, terutama dalam perkawinan yang dilaksanakan
menurut agama Islam. Meskipun pembacaan shigat taklik talak ini bersifat
sukarela, namun sudah mendarah daging hingga saat ini, seolah pembacaan
taklik talak tersebut sebuah kewajiban bagi suami.4
Adapun dalam hal suami melanggar taklik talak adalah setelah
suami akad nikah mengucapkan ikrar taklik talak: yaitu apabila saya: (1)
meninggalkan istri saya tersebut 2 (dua) tahun berturut-turut; (2) atau saya
tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; (3) menyakiti
badan atau jasmani istri saya itu; (4) atau membiarkan (tidak
memperdulikan) istri saya itu 6 bulan lamanya. Kemudian istri saya tidak
ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang
diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta
diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut dan istri saya itu membayar
uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti
kepada saya, maka jatuhlah talak satu kepadanya).
Setelah perkara yang diajukan telah diproses oleh pengadilan,
terdapat hal terpenting dalam persidangan yaitu pada tahap pembuktian.
Menurut Subekti, hukum pembuktian adalah cara meyakinkan hakim dalam
membenarkan dalil- dalil yang dikemukan dalam persengketaan dan
3 Abdul Majid, “Putusnya Perkawinan Berdasarkan Gugatan yang Diakibatkan oleh
Pelanggaran Taklik Talak”, (Peradilan Agama Akhwal Al Syakhsiah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta: 2009), h. 58 4 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: PrenadaMedia Group, 2016, Cet. Ke-8), h. 415
3
diajukan oleh pihak yang berperkara (penggugat/tergugat).5 Pembuktian
adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim
yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Pembuktian diperlukan dalam
suatu perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan (juridicto
contentiosa) maupun dalam perkara-perkara permohonan yang
menghasilkan suatu penetapan (juridicto voluntair). Hal tersebut telah
tertuang dalam pasal 163 HIR :“Barangsiapa yang mengaku mempunyai
hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya
itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak
atau peristiwa itu”. Dalam pembuktian terdapat beberapa macam alat bukti
yang diatur dalam pasal 164 HIR, antara lain bukti dengan surat, bukti
dengan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Dalam proses pembuktian ini, alat bukti tertulis ditempatkan di
urutan pertama. Hal ini sesuai dengan kenyataan jenis surat atau akta dalam
perkara perdata, memegang peran yang penting. Semua kegiatan yang
menyangkut dalam bidang perdata, sengaja dicatat atau dituliskan.6 Seperti
Kartu Tanda Pengenal (KTP), Surat Nikah atau surat–surat lain yang
berkaitan dengan perkara yang diajukan. Kemudian alat bukti saksi yang
dihadirkan oleh penggugat/pemohon dengan menghadirkan 2 orang saksi.
Akan tetapi, ada beberapa orang yang tidak bisa dijadikan saksi.
Hal tersebut tercantum dalam pasal 145 (1) HIR yang menyatakan:
“ Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:
1. Keluarga sedarah atau keluarga semenda salah satu pihak dalam garis
lurus;
2. Istri atau suami salah satu pihak, meskipun sudah bercerai;
3. Anak-anak yang umurnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka
sudah lima belas tahun;
4. Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.”
5 I.G.A.A. Ari Krisnawati, “Diktat Kuliah, Pembuktian Perkara Perdata”, (Fakultas
Hukum Universitas Udayana: 2015), h. 4 6 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 556-557
4
Larangan didengarnya saksi dari pihak keluarga, karena
dikhawatirkan mereka akan memberikan keterangan yang palsu
dipersidangan, karena disebabkan hubungan keluarga yang dekat.7
Sedangkan saksi keluarga baru dapat didengar keterangannya
apabila alasannya sebagaimana diatur dalam pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor. 9 Tahun 1975 j.o pasal 116 huruf (f) Kompilasi
Hukum Islam yaitu antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga, sebagaimana ditentukan pada pasal 76 (1) UU No 7 Tahun 1989
dan pasal 22 (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor. 9 tahun 1975.
Dalam salah satu putusan nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr pihak istri
selaku Penggugat mengajukan saksi yang masih memiliki hubungan
kekeluargaan yaitu Paman dan Menantu Penggugat. Sementara berdasarkan
penjelasan diatas, sebagaimana kita ketahui hal tersebut dilarang dalam hal
pembuktian. Akan tetapi, menariknya disini Hakim justru tetap menerima
keterangan saksi tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dan menyajikannya dalam sebuah skripsi dengan
judul: “Saksi Keluarga Dalam Pelanggaran Taklik Talak di Pengadilan
Agama Kota Banjar.”
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan tema yang dibahas. Ragam masalah yang muncul adalah
sebagai berikut:
1. Banyaknya kasus perceraian yang disebabkan oleh pelanggaran taklik
talak.
2. Banyaknya keterangan saksi keluarga dalam masalah perceraian.
7 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek. (Bandung: Mandar Maju, Cet-11 2009), h. 64
5
3. Terdapat pertimbangan hukum yang tetap menerima kekuatan saksi
keluarga sebagai alat bukti.
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah. Peneliti membatasi pembahasan pada saksi dan
pertimbangan hukum Pengadilan Agama Kota Banjar Nomor.
535/Pdt.G/2018/PA. Bjr dimana penggugat mengajukan gugatan
perceraian dengan alasan suami melanggar taklik talak, dan pada saat
pembuktian menghadirkan pihak keluarga sebagai saksi.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari identifikasi dan pembatasan masalah
diatas, selanjutnya peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pembuktian saksi dari keluarga dalam perkara perceraian
karena pelanggaran taklik talak ?
b. Apa alasan hakim menerima saksi dari pihak keluarga dalam putusan
perkara nomor 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian:
a. Untuk mengetahui dan menganalisa pembuktian saksi dari keluarga
dalam perkara perceraian karena pelanggaran taklik talak.
b. Untuk mengetahui dan menganalisa pertimbangan hakim dalam
perkara nomor 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr sudah sesuai hukum atau
tidak.
2. Kegunaan penelitian:
a. Memberikan penjelasan tentang cara hakim memutuskan perkara dan
metode apa saja yang digunakan dalam menetapkan perkara.
6
b. Sebagai sumbangsih kepustakaan bagi mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum serta masyarakat luas pada umumnya.
c. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah kepustakaan
Islam. Khususnya dalam bidang studi Hukum Keluarga
d. Memberikan pandangan dan menambah wawasan baru dalam
persoalan fikih kontemporer yang berkaitan dengan pemanfaatan
teknologi.
E. Review Studi Terdahulu
Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis
melakukan review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang
penulis bahas. Review kajian terdahulu yang berkaitan dengan penulis
diantaranya :
Skripsi dengan judul “Tinjauan Maqashid Al Syariah Tentang
Taklik Talaq di Indonesia” oleh Muhammad Hilman Tohari, konsentrasi
Perbandingan Madzhab Fiqh, Jurusan Perbandingan Madzhab Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. Dalam
penelitian tersebut, Muhammad Hilman Tohari membahas bagaimana
pengertian taklik talak dan sejarah tentang taklik talak serta peraturannya di
Indonesia. Kemudian pandangan Maqashid Al Syariah tentang praktek
taklik talak di Indonesia.
Skripsi dengan judul “Putusnya Perkawinan Berdasarkan Gugatan
yang Diakibatkan Oleh Pelanggaran Taklik Talak (Studi Putusan Nomor:
266/Pdt.G/2006/PA. Tng)” oleh Abdul Majid, konsentrasi Peradilan Agama,
Jurusan Akhwal Syakhsiah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009. Dalam penelitian tersebut, Abdul Majid
membahas proses pengajuan gugatan ke pengadilan dan membahas alasan
mengajukan gugatan perceraian yang disebabkan suami melanggar taklik
talak nomor 2 yaitu saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 bulan
lamanya.
7
Skripsi dengan judul “Saksi dari Pihak Keluarga dalam Cerai
Gugat Menurut Hukum Islam dan Hukum Acara Perdata” oleh Irvansyah,
konsentrasi Peradilan Agama, Jurusan Akhwal Syakhsiah Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Dalam penelitian
tersebut, Irvansyah membahas saksi keluarga yaitu ibu kandung sebagai
saksi dari pihak penggugat dengan alasan perceraian yaitu terjadinya
perselisihan dan percekcokan yang terus menerus.
Dari ketiga skripsi terdahulu diatas, terdapat perbedaan dengan
skripsi peneliti yaitu peneliti lebih memfokuskan alat bukti saksi dari pihak
keluarga dalam perkara pelanggaran taklik talak.
F. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarrnya adalah suatu kegiatan terencana,
dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru
guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.8
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu/masalah yang sedang dicoba untuk dicari
jawabannya.
Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan yuridis normatif yang menjelaskan tentang asas hukum atau
doktrin hukum positif yang mengadakan pendekatan undang-undang
yang telah berlaku dan memiliki kekuatan hukum tetap.9
Bentuk pendekatan yuridis normatif ini mengacu pada norma-
norma hukum yang ada pada peraturan perundang-undangan, literatur,
8 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h.2
9Irvansyah, “Saksi dari Pihak Keluarga Dalam Cerai Gugat Menurut Hukum Islam dan
Hukum Acara Perdata”, (Peradilan Agama Akhwal Al Syaksiah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta: 2010), h. 10
8
pendapat dan hasil penelitian yang berkaitan dengan pembuktian saksi
keluarga dalam perkara perceraian.
Penelitian yang dilakukan ini melakukan beberapa jenis
pendekatan, yaitu diantaranya:
a. Pendekatan Undang-Undang (statute approach), dilakukan dengan
menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang berkaitan dengan
isu dan permasalahan-permasalahan hukum yang sedang ditangani.
Statute Approach dalam penelitian ini adalah: Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009, Herzien Inlandch Reglement (HIR)
dan Kompilasi Hukum Islam.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach),dilakukan dengan cara melakukan
telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu-isu dan
permasalahan-permasalahan hukum yang dihadapi yang telah menjadi
putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Adapun yang menjadi kajian pokok didalam pendekatan kasus
ini adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan
Pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.10
Dalam penelitian penulis menggunakan putusan Pengadilan Agama
Kota Banjar nomor: 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr.
2. Jenis Penelitian
a. Data Penelitian
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kualitatif. Data kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk kata
variabel bukan angka.11
Data kualitatif ini adalah data yang hampir
semua menggunakan kata-kata untuk mengambarkan dan menjelaskan
fakta atau fenomena yang terjadi.
b. Sumber Data Penelitian
10
Zulfi Diane Zaini, “Implementasi Pendekatan Yuridis Normatif dan Pendekatan Yuridis
Sosiologis Dalam Penelitian Ilmu Hukum”, Pranata Hukum Volume 6, Nomor 2, (Juli: 2011), h.
129 11
Ulber Silalahi. Metode Penelitian Sosial.(Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 284
9
Dalam melakukan penelitian ilmiah ini. Penulis menyusun
sumber data sekunder. Data sekunder yaitu data yang telah
dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah. Dalam
penelitian ini data yang digunakan adalah literatur, artikel, serta jurnal
yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat yuridis
normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian adalah studi kepustakaan (library reseacrh) dengan data-data
kualitatif, yakni sumber data berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan non hukum dikumpulkan berdasarkan permasalahan
dan dikaji secara komperatif agar dapat digunakan untuk menjawab suatu
pertanyaan atau memecahkan suatu permasalahan.
a. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum utama yang akan diteliti.
Dalam penelitian hukum normatif berupa peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan memiliki kekuatan yang berlaku dan
memiliki kekuatan mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Agama Kota Banjar
Nomor 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr.
b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik terkait
dengan penelitian berupa buku-buku terkait, artikel dalam
majalah/media elektronik, laporan penelitian atau jurnal hukum.
c. Bahan Non Hukum merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan yang memiliki makna terhadap adanya bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia, dan lain-lain.12
12 Muhammad Jafar Siddiq, “ Kekuatan Hukum Pembuktian dari Surat Perjanjian Dibawah
Tangan Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan Menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia”,
10
4. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deduktif yaitu metode
yang dipakai untuk menganalisa data yang bersifat umum dan memiliki
unsur kesamaan sehingga digeneralisasikan menjadi kesimpulan khusus.
Analisa dilakukan dengan terlebih dahulu menjelaskan serta
membandingkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009, HIR dan Hukum Acara Perdata secara umum lalu ditarik
kesimpulan khusus.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan
oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2017.
G. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan landasan penelitian yang disusun
berdasarkan hasil konsep dan teori yang dikemukakan dalam bab tinjauan
teoritis. Gambaran yang difokuskan penulis adalah mengenai alat bukti
dalam perkara perdata, terutama mengenai alat bukti saksi. Dalam penelitian
ini ada beberapa teori yang dipaparkan sebagai acuan terhadap
permasalahan yang ada. Adapun teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:
Bewijstheorie, adalah teori pembuktian yang dipakai hakim dalam
proses pembuktian dalam persidangan sebagai dasar pertimbangan
mengenai pembuktian.13
Teori pembuktian memiliki empat teori
pembuktian. Akan tetapi, dalam permasalahan ini hakim menggunakan teori
(Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta: 2018),
h. 9-1013
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), h. 15
11
positief wettelijk bewijstheorie. Artinya, hakim benar-benar terikat secara
positif kepada alat-alat bukti menurut undang-undang. Dalam kasus ini,
pertimbangan hakim mengenai alat bukti surat dan saksi dinyatakan telah
sesuai berdasarkan pasal 165 HIR dan pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer) untuk alat bukti surat. Pasal 144,145,146 dan 147
HIR untuk syarat formil dan Pasal 170, 171, 172 HIR untuk syarat materiil
alat bukti saksi.
Sedangkan, peneliti lebih memilih teori pembuktian Bewijskracht.
Yaitu kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti. Sehingga dapat
diketahui apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang
diajukan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini
dibagi atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang yang
menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas tentang Perceraian: pengertian perceraian
(talak), macam-macam perceraian (talak), dan hukum perceraian (talak).
Pembuktian: pengertian pembuktian, teori pembuktian secara umum, teori
beban pembuktian. Peraturan perundang-undangan mengenai pembuktian:
HIR, Rbg, KUHPerdata, dan Perma RI.
Bab ketiga, dalam bab ini membahas Putusan Pengadilan Agama
Kota Banjar Nomor.0535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
Bab keempat, analisis untuk mengetahui pembuktian saksi keluarga
dalam perkara perceraian pelanggaran taklik talak dan analisis terhadap
putusan Pengadilan Agama kota Banjar nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr.
Bab kelima, merupakan bab terakhir dari rangkaian bab-bab yang
ada dalam skripsi ini, bab ini berisi kesimpulan hasil dari penelitian yang
12
dilakukan dan saran-saran yang diberikan oleh peneliti untuk peneliti
selanjutnya.
13
BAB II
KONSEP UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN PEMBUKTIAN
A. Perceraian (Talak)
1. Pengertian Perceraian (Talak)
Talak berasal dari bahasa Arab, yaitu: ق berarti melepaskan إطلا
suatu ikatan perkawinan dan pembebasan.1
Menurut syara’ talak adalah:
وجية لاقاةالز إنهااءالعا اجوا وا ابطاةالز را ل حا
“Melepas ikatan tali pernikahan dan mengakhiri hubungan
suami istri.”
Adapun secara istilah para ulama berbeda-beda dalam
memberikan definisi talak. Menurut mazhab Hanafi dan Hambali talak
adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan
ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Secara langsung
maksudnya adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung
berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan oleh suami. Sedangkan,
“di masa yang akan datang” maksudnya adalah berlakunya hukum talak
tersebut tertunda oleh suatu hal.” Talak tersebut adalah talak yang
dijatuhkan dengan syarat.2
Menurut madzhab Syafi’i talak adalah pelepasan akad nikah
dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. Sedangkan,
menurut madzhab Maliki talak adalah suatu sifat hukum yang
menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.
Talak adalah menghilangkan suatu ikatan perkawinan antara
suami istri, sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan tersebut maka
tidak halal istri tersebut bagi suaminya.3 Talak (perceraian) ialah
lepasnya suatu ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan suami istri.
1 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu Jilid 9, alih bahasa; Muhammad Afifi
dan Abdul Hafiz, Cet 1, Jakarta: Almahira, 2010, h.343 2 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta:Ictiar Baru Van
Hoeve, 2001, h. 53. 3 H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, ( Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 229-230
14
Baik atas tuntutan salah satu pihak (suami/istri) atau putusan Pengadilan.
Talak adalah lepasnya ikatan antara suami istri atas dasar tuntutan salah
satu pihak atau putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan.4
Dalam Hukum Perdata, Perceraian biasa disebut dengan “Cerai
talak” dan atas putusan Pengadilan yang disebut dengan “Cerai Gugat”.
Cerai talak adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami kepada
istrinya, yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam. Cerai
gugat adalah perceraian yang diajukan oleh seorang istri kepada
suaminya yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, dimana
gugatan perceraian tersebut diajukan ke Pengadilan Agama.5
Dasar Hukum Talak (Perceraian)
Al Qur’an
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah,
Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al
Baqarah 229).
4 Sudarto, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 92
5 Sudarto, Fikih Munakahat, h. 92
15
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar). dan hitunglah waktu iddah itu
serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang[1482]. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah
Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (QS. At-Thalaaq 1)
2. Pembagian Perceraian (Talak)
Secara garis besar, talak terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Talak Raj’i
Talak Raj’i yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami kepada
istrinya yang telah digaulinya dan masih dalam masa iddah. Dalam
kondisi ini, suami memiliki hak untuk merujuknya kembali, tanpa
adanya akad nikah yang baru.6
b. Talak Bain
Talak Bain yaitu talak yang menghilangkan status hubungan
suami istri. Talak bain ini terbagi menjadi dua bagian:
1) Talak Bain Shugra, ialah talak yang menghilangkan hak-hak
rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak untuk
melakukan akad nikah baru kepada bekas istrinya.
Yang termasuk dalam talak bain shugra ialah:
6 H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,h. 244
16
a) Talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang belum pernah
digauli (qabla dukhul)
b) Khulu’, yaitu permintaan cerai yang diminta oleh istri kepada
suaminya dengan memberikan uang atau lain-lain kepada
suami, agar ia menceraikannya.
2) Talak Bain Kubra, ialah talak yang menghilangkan hak rujuk
kepada bekas istrinya, dikarenakan suami telah menjatuhkan
talak ke 3 (tiga) atau sebanyak tiga kali kepada istrinya. Jika
mereka ingin bersama kembali. Maka bekas istri tersebut harus
menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain berhubungan suami
istri dan tanpa ada rekayasa antara bekas suami, suami baru dan
istri tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa talak bain
kubra adalah segala macam yang mengandung unsur-unsur
sumpah seperti ila, zihar, dan li’an.
3. Hukum Perceraian (Talak)
Hukum talak bain shugra’:
a. Hilangnya ikatan nikah antara suami dan istri;
b. Hilangnya hak bergaul bagi suami istri;
c. Tidak saling mewarisi jika salah satu meninggal dunia;
d. Bekas istri, dalam masa iddahnya, berhak tinggal di rumah bekas
suaminya dengan pisah ranjang dan berhak mendapatkan nafkah;
e. Jika ingin rujuk, harus melakukan akad nikad dan mahar yang baru.7
Hukum talak bain kubra:
a. Hilangnya ikatan perkawinan antara suami dan istri
b. Hilangnya hak untuk bergaul bagi suami istri
c. Suami haram menikahi kembali bekas istrinya, kecuali bekas istrinya
tersebut telah menikah dengan laki-laki lain.8
7 H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,h. 246
8 Sudarto, Fikih Munakahat, h. 106
17
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian (Inggris: evidentiary; Belanda: bewijs) berasal dari
kata dasar bukti, yang berarti keterangan nyata; sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa.9
Menurut M. Yahya Harahap, SH, pengertian pembuktian secara
luas adalah kemampuan pengugat atau tergugat memanfaatkan hukum
dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam
hubungan hukum yang diperkarakan.10
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah
suatu upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang
sedang dipersengketakan di muka pengadilan atau yang diperiksa oleh
hakim.11
Pembuktian merupakan prosedur penting dalam penerapan
hukum materiil. Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan
kepastian atas suatu peristiwa yang dialami dan sulit dibantah
kebenarannya oleh pihak manapun, termasuk pihak lawan. Sedangkan
membuktikan secara konvensional adalah membuktikan suatu peristiwa
namun kepastiannya bersifat relatif.12
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah suatu kegiatan
atau proses dimana para pihak memberikan keyakinan kepada hakim
dengan menggunakan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-
undang.
9 M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: UII
Press Yogyakarta, 2013), h. 1 10
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, 239 11
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, h. 3 12
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group. 2018),
h. 98
18
2. Teori Pembuktian
Dalam hukum pembuktian terdapat beberapa parameter hukum
pembuktian, yang didalam juga terdapat teori pembuktian secara umum.
Pertama, Bewijstheorie. Bewijstheorie adalah teori pembuktikan
yang dipakai oleh hakim sebagai dasar pembuktian dalam persidangan.
Ada empat teori pembuktian yang dipakai oleh hakim.
1) Positief Wettelijk Bewijstheorie: Teori dimana hakim terikat secara
positif terhadap alat-alat bukti menurut Undang-Undang. Artinya,
kebenaran hanya didasarkan pada alat bukti semata sebagaimana yang
disebutkan dalam undang-undang. Kemudian hakim hanya memeriksa
alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Sehingga hakim
menjatuhkan putusan tanpa memerlukan keyakinan.
2) Conviction intime: Sebelum menjatuhkan putusan, dalam proses
pembuktian hakim memerlukan keyakinannnya. Dia tidak terikat
kepada alat bukti, tetapi didasari pada keyakinan yang timbul dari hati
nurani dan sifat bijaksananya.
3) Conviction raisonee: Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim
dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis. Artinya, hakim
diberi kebebasan untuk memakai alat-alat bukti disertai dengan alasan
yang logis.
4) Negatief wetterlijk bewijstheorie: Teori ini lebih dianut dalam sistem
peradilan pidana.13
Kedua, Bewijsmiddelen. Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti
yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa
hukum.
Ketiga, Bewijsvoering. Bewijsvoering diartikan sebagai
penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim
di Pengadilan. Hanya saja, penjelasan mengenai Bewijsvoering lebih
dalam pada sistem peradilan pidana.14
13
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, h. 17-18 14
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, h. 23
19
Keempat, Bewijslast atau burden of proof. Bewijslast atau burden
of proof adalah pembagian beban pembuktian yang diwajibkan oleh
undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa hukum.
Kelima, Bewijskracht. Bewijskracht diartikan sebagai kekuatan
pembuktian masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian
terbuktinya suatu dakwaan. Penilaian ini merupakan otoritas hakim.
Dimana hakim menilai dan menentukan kesesuaian antara alat bukti yang
satu dengan alat bukti yang lain. Sehingga kekuatan pembuktian yang
terletak pada alat bukti yang diajukan tersebut dapat diketahui relevan
atau tidaknya dalam perkara yang sedang diajukan serta mengarah pada
apakah bukti tersebut dapat diterima atau tidak.15
Keenam, Bewijs Minimmum. Bewijs Minimmum adalah bukti
minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan
hakim. Dalam hukum acara perdata, minimum bukti yang diperlukan
oleh hakim untuk memutus perkara minimal adalah dua alat bukti.16
3. Teori Beban Pembuktian
a. Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloat
affirmatief).
Teori ini menyatakan bahwa siapa yang mengajukan suatu hal,
maka ia harus membuktikannya, bukan pada pihak yang
mengingkari atau yang menyangkal dalil yang diajukan oleh orang
yang mengajukan suatu hal itu. Dasar hukum teori ini adalah
pendapat yang menyatakan bahwa segala yang bersifat negatif tidak
mungkin dapat dibuktikan (negative non sunt probanda).17
b. Teori Hukum Subjektif
Teori ini bertujuan untuk mempertahankan hukum subjektif
dan merupakan pelaksana dari hukum subjektif. Untuk mengetahui
peristiwa mana yang harus dibuktikan terdapat peristiwa umum dan
15
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, h. 24 16
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, h. 26 17
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 244
20
peristiwa khusus. Peristiwa khusus ini dibagi menjadi peristiwa
khusus yang bersifat menimbulkan hak, peristiwa khusus yang
bersifat membatalkan hak. Dalam peristiwa khusus yang bersifat
menimbulkan hak, penggugat berkewajiban membuktikan peristiwa-
peristiwa khusus yang menimbulkan hak. Sedangkan tergugat harus
membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa umum dan adanya
peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi dan
yang bersifat membatalkan hak.
Teori ini hanya dapat memberikan banyak kesimpulan yang
abstrak dan tidak dapat memberikan jawaban atas persoalan-
persoalan tentang pembuktian dalam sengketa yang bersifat
prosesuil. Kemudian tidak dapat memberikan solusi terhadap hal-hal
yang timbul dalam masalah dan sering menimbulkan ketidakadilan
karena terlalu memberi kelonggaran kepada hakim dalam
mengadakan pengalihan beban pembuktian.18
c. Teori Hukum Objektif
Apalagi seseorang mengajukan gugatan atau tuntutan hak ke
pengadilan berarti meminta kepada hakim agar menerapkan
ketentuan undang-undang hukum objektif kepada peristiwa yang
diajukan. Hakim yang memeriksa perkara tersebut hanya dapat
mengabulkan gugatan apabila unsur-unsur yang diterapkan oleh
hukum objektif ada. Atas dasar inilah beban pembuktian.19
Akan tetapi teori ini sudah lama ditinggalkan oleh para praktisi
hukum. Karena banyak hal yang tidak dapat menjawab persoalan-
persoalan hukum yang tidak diatur dalam undang-undang.
d. Teori Hukum Publik
Teori ini bertujuan untuk mencari kebenaran suatu peristiwa
terhadap suatu gugatan yang diajukan oleh penggugat dilaksanakan
18
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, h. 115 19
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 245
21
berdasarkan kepentingan publik. Oleh karena itu, hakim harus diberi
kewenangan yang besar untuk mencari kebenaran di dalam hal
pembuktian dari suatu perkara.20
e. Teori Hukum Acara
Teori ini didasarkan pada asas kedudukan prosesuil yang sama
dari pihak-pihak yang berperkara di muka majelis hakim atau disebut
dengan asas audi et alteram partem. Pembebanan beban pembuktian
ini adalah sama diantara para pihak, sehingga kesempatan untuk
menang bagi para pihak juga sama, seimbang dan patut.
Teori ini banyak digunakan oleh para praktisi saat ini, karena
dianggap lebih mendekati kepada prinsip keadilan dan kebenaran.21
C. Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pembuktian
1. HIR (Herzien Inlandsch Reglement)
HIR berasal dari IR (Inlandsch Reglement atau Reglement
Bumiputera) yang termuat dalam Stb. No. 16 jo 57 Tahun 1848. Isi dari
HIR terbagi dalam dua bagian yaitu Bagian Acara Pidana, yang diatur
dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 114 dan Pasal 246 sampai dengan
Pasal 371, bagian Acara Perdata, yang diatur dalam Pasal 115 sampai
dengan Pasal 245, sedangkan title ke-15 yang merupakan Peraturan
Rupa-rupa (Pasal 372 sampai dengan Pasal 394).
Ketentuan yang terdapat dalam HIR yang mengatur tentang
pembuktian diatur di Bagian kedua, Pasal 162 sampai dengan 177, Bab
IX yang berjudul Perihal Mengadili Perkara Perdata yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri.22
Peraturan Mengenai Pembuktian dalam Herzien Inlandsch
Reglement ini diatur dalam Pasal 144-148, 155-158, 162-165,169-177.
20
Maisara Sunge, “Beban Pembuktian dalam Perkara Perdata”, Jurnal Inovasi Volume 9
Nomor.2, (Juni:2012), h. 7. Diakses pada tanggal 30 Mei 2019, Pukul 05.36 WIB 21
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 246 22
Wiratmanto, Buku Ajar Hukum Acara Perdata, (Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 2018), h. 10
22
2. RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)
RBg yang termuat dalam Stb. No. 227 Tahun 1927 merupakan
pengganti berbagai peraturan yang berupa reglement yang tersebar dan
berlaku hanya dalam satu daerah tertentu saja seperti reglement bagi
derah Ambon, Aceh, Sumatera Barat, Pelembang, Bali, Kalimanatan,
Minahasa, dan lain-lain. Meskipun RBg berlaku untuk daerah luar Jawa
dan Madura, namun ada daerah yang dikecualikan dari berlakunya RBg
seperti daerah Irian Barat bagian selatan. Untuk saat ini, pasal-pasal yang
terdapat RBg sebagian masih tetap berlaku dan sebagian lainnya
berdasarkan UU Darurat No. 1 Tahun 1951 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Bagian acara perdata yang termuat dalam Bab II titel I, II, III, VI
dan VII untuk saat ini tidak diperlukan karena Pengadialn
Districtgerecth, Districaad, Magistraadgerecht, Residentiegerecht dan
Raad van Justitie sudah tidak ada lagi. Sedangkan titel IV dan V yang
berlaku bagi Landraad (Pengadilan Negeri) masih tetap berlaku. Hukum
pembuktian diatur dalam Titel V dalam Pasal 282 sampai dengan Pasal
341.23
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Mengenai pengaturan hukum pembuktian selain yang terdapat
dalam HIR dan RBg, diatur juga dalam KUHPerdata yang merupakan
terjemahan dari BW (Burgerlijk Wetboek) dalam Buku IV tentang
Pembuktian bersama-sama dengan Daluwarsa yaitu dalam Pasal 1865
sampai dengan 1945 KUH Perdata.
Pengaturan hukum pembuktian dalam KUH Perdata ini
merupakan aturan hukum materiil yang disebabkan karena adanya aliran
yang ingin membedakan hukum acara dalam suatu bagian materiil, dan
karenanya juga dapat diatur dalam suatu Kitab Undang-Undang yang
23
Wiratmanto, Buku Ajar Hukum Acara Perdata, (Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 2018), h. 10
23
memuat hukum perdata.24
Buku IV bab I- pembuktian pada umumnya,
bab II- pembuktian dengan tulisan pasal 1867-1894, bab III- pembuktian
dengan saksi-saksi pasal 1895-1912, bab IV- pembuktian dengan
persangkaan pasal 1915-1922, bab V- pembuktian dengan pengakuan
pasal 1923-1928, dan bab VI- pembuktian dengan sumpah di hadapan
hakim pasal 1929-1945.25
4. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI
Perma merupakan peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum
acara sebagaimana dimaksud Lampiran Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011. Tanggal 05 Januari 2011,
kedudukan Perma diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Perma berdasarkan
Undang-Undang tersebut berperan untuk mengisi kekosongan hukum
terhadap materi yang belum diatur dalam undang-undang. Mahkamah
Agung sebagai lembaga yudikatif diberikan kewenangan yang bersifat
atributif untuk membentuk suatu peraturan. Kewenangan ini dibatasi
dalam penyelenggaraan peradilan.26
Perma RI juga merupakan salah satu
objek dan hasil dari kegiatan fungsi pengaturan yang dimiliki oleh
Mahkamah Agung berdasarkan ketentuan Pasal 79 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985. Mengenai pembuktian perdata, Perma RI Nomor.
5 Tahun 2015 mengaturnya dalam pasal 11-13. 27
24
Wiratmanto, Buku Ajar Hukum Acara Perdata, (Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 2018), h. 12
25
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek,
(Jakarta: 2014, Cet-41), h. 475-490 26
Nur Solikin,“Mencermati Pembentukan Peraturan Mahkamah Agung”, dalam Jurnal
Rechtsvinding, Februari 2017, hal. 2 27
Ronald S. Lumbuun, PERMA RI Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan
Pemisahan Kekuasaan, (Jakarta: Raja Graindo Persada, 2011), h. 6
24
BAB III
TINJAUAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA BANJAR
TERHADAP PERCERAIAN PELANGGARAN TAKLIK TALAK
(No. 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr)
A. Duduk Perkara
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis akan menjelaskan duduk
perkara nomor 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr dengan suatu kasus seperti berikut:
Pada hari Senin tanggal 01 Desember 2008 Penggugat dengan
Tergugat melangsungkan pernikahan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjar, Kota Banjar, dengan kutipan
Akta Nikah Nomor : xxx/xx/xxx tertanggal 01 Desember 2008.
Kemudian setelah akad nikah terlaksana, Tergugat mengucapkan
Sighat taklik yaitu: “Selanjutnya saya membaca sighat taklik talak atas istri
saya itu sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya: 1. Meninggalkan istri saya
tersebut dua tahun berturut-turut; 2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib
kepadanya tiga bulan lamanya; 3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri
saya itu; 4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu
enam bulan lamanya. Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan
halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus
pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh
Pengadilan atau petugas tersebut dan istri saya itu membayar uang sebesar
Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti kepada saya,
maka jatuhlah talak satu kepadanya).
Setelah pernikahan, Penggugat dan Tergugat tinggal bersama di
rumah saudara Penggugat, pada awalnya kondisi rumah tangga antara
Penggugat dengan Tergugat berjalan harmonis hingga dikaruniai seorang
anak perempuan yang saat ini telah berusia 8 tahun.
Pada bulan Januari 2012 rumah tangga Penggugat dan Tergugat
mulai goyah karena terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Perselisihan
dan pertengkaran tersebut dikarenakan Tergugat tidak memberikan nafkah
ekonomi, sehingga sering menjadi bahan percekcokan yang terus menerus.
Puncak dari perselisihan dan pertengkaran tersebut terjadi pada pertengahan
25
tahun 2012, dimana Tergugat pergi dari rumah dan tidak kembali sampai
saat ini. Penggugat mencoba memusyawarahkan dengan pihak keluarga
Penggugat untuk mengatasi permasalahan dan kemelut rumah tangga yang
dihadapi demi menyelamatkan perkawinannya. Namun usaha tersebut tidak
membuahkan hasil.
Tindakan Tergugat yaitu membiarkan Penggugat dengan tidak
memberikan nafkah lahir maupun batin, sehingga Penggugat tidak ridha atas
tindakan dan perilaku Tergugat. Oleh karena itu, Tergugat telah melanggar
janji Taklik Talak yang di ikrarkan saat akad nikah. Tergugat telah
melanggar point 1, 2, dan 4 yaitu: meninggalkan istri dua tahun berturut-
turut, tidak memberi nafkah wajib tiga bulan lamanya, dan membiarkan
(tidak memperdulikan) selama 6 tahun.
Dalam petitumnya Penggugat memohon kepada Pengadilan Agama
Kota Banjar untuk mengabulkan gugatan penggugat dengan menyatakan
syarat taklik talak telah terpenuhi, menjatuhkan talak satu khul’I Tergugat
terhadap Penggugat, membebankan biaya perkara menurut hukum, dan
apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya.1
B. Pemeriksaan Perkara
Dalam menindaklanjuti perkara tersebut, Pengadilan memanggil
para pihak untuk hadir dalam persidangan yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan. Pihak Penggugat hadir didampingi oleh kuasanya yang sah
berdasarkan surat kuasa yang telah terdaftar di register Kepaniteraan
Pengadilan Agama Kota Banjar. Sedangkan pihak Tergugat tidak hadir dan
tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai wakilnya yang sah.
Meskipun Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut melalui mass
media.
Pemeriksaan dimulai dengan dibacakan surat gugatan penggugat
dan kemudian pembuktian atas dalil-dalil yang digugat dengan mengajukan
alat-alat bukti yang berupa: Bukti pertama yaitu: Surat. Surat tersebut berisi
1 Salinan Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr, h. 3
26
fotokopi Kartu Tanda Penduduk penggugat dengan NIK xxxxxxx.
Kemudian fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor xxx/x/xx/xxxx.
Bukti kedua, yaitu: Saksi. Dalam pembuktian selanjutnya,
Penggugat membawa dua orang saksi dalam persidangan. Saksi diperiksa
satu persatu oleh Majelis. Saksi pertama berusia 80 tahun. Dibawah
sumpahnya, ia menyatakan bahwa saksi adalah paman Penggugat.
Saksi kedua berusia 39. Dibawah sumpahnya, ia menyatakan
bahwa saksi adalah menantu Penggugat sejak tahun 2002.
Dalam keterangannya, para saksi menyatakan bahwa saksi pertama
hadir saat Penggugat dan Tergugat menikah dan ia mendengar Tergugat
mengucapkan sighat taklik talak setelah ijab qabul. Sedangkan saksi kedua
tidak hadir dalam pernikahan Penggugat dan Tergugat, namun saksi
mengetahui bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri. Setelah
pernikahan Penggugat dan Tergugat tidak pernah bercerai. Kemudian para
saksi juga tidak pernah melihat dan mendengar Penggugat dan Tergugat
bertengkar. Namun pada tahun 2012 Tergugat pergi meninggalkan
Penggugat, yang hingga saat ini Tergugat tidak pernah kembali ke Banjar
dan sudah tidak tinggal bersama dengan Penggugat. Mereka tidak
mengetahui alasan Tergugat meninggalkan Penggugat. Sejak kepergiannya,
Tergugat tidak pernah memberi kabar kepada Penggugat. Kemudian
Penggugat beserta keluarga mencari Tergugat ke keluarga dan teman-
temannya, namun tidak berhasil. Selama kepergiannya, Tergugat tidak
pernah mengirim atau memberi nafkah kepada Penggugat dan tidak ada
harta atau usaha yang ditinggalkan oleh Tergugat. Sehingga Penggugat yang
menanggung dan membiayai kebutuhan hidupnya dan anak-anak
Penggugat. Saksi pernah memberi nasehat kepada Penggugat agar tetap
bertahan dan bersabar. Namun penggugat tetap ingin bercerai sehingga
upaya perdamaian sudah tidak dapat diupayakan lagi.2
2 Salinan Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr, h. 4-7
27
C. Pertimbangan Hukum
Sebelum menjatuhkan putusan dalam perkara ini, majelis hakim
membuat beberapa pertimbangan hukum yaitu:
1) Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) dan (2) serta penjelasan Pasal 49
ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan keduanya
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka perkara ini
termasuk kompetensi absolut Pengadilan Agama.
2) Pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan
Penggugat hadir sendiri di persidangan beserta kuasanya,
sedangkan Tergugat tidak hadir menghadap di persidangan dan
tidak pula mengutus orang lain untuk datang sebagai wakil atau
kuasanya yang sah, meskipun telah dipanggil secara resmi dan
patut berdasarkan Pasal 125 HIR j.o. Pasal Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 melalui Mass Media (Radio CA Kota
Banjar), sehingga gugatan Penggugat dapat diperiksa secara
verstek.
3) Penggugat telah melangsungkan perkawinan dengan Tergugat
secara Hukum Islam dan telah tercatat pada Kantor Urusan
Agama dengannya antara Penggugat dengan Tergugat telah
menjalin hubungan suami istri sah sebagaimana maksud dalam
Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka Penggugat dan Tergugat dalam perkara ini
merupakan pihak yang memiliki kepentingan hukum, oleh
karena itu Penggugat dinyatakan sebagai orang yang berhak
untuk mengajukan gugatan perceraian terhadap Tergugat dalam
perkara ini (persona stand in judicio).
4) Gugatan Penggugat adalah berdasarkan pelanggaran taklik talak
yang dilakukan oleh Tergugat, karena sejak tahun 2012
Tergugat pergi meninggalkan Penggugat dan berpisah tempat
28
tinggal dengan Penggugat hingga sekarang dan selama berpisah
Tergugat tidak pernah memberi nafkah lahir maupun bathin
serta tidak memperdulikan Penggugat bahkan keberadaan
Tergugat tidak diketahui keberadaannya.
5) Perkara ini diperiksa tanpa hadirnya Tergugat (secara verstek),
namun berdasarkan Pasal 125 ayat (1) HIR, putusan yang
dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat dapat dikabulkan sepanjang
berdasarkan hukum dan beralasan, oleh karena itu Majelis
membebani Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil
gugatannya.
6) Penggugat telah mengajukan alat bukti surat berupa P.1 dan P.2
serta dua orang saksi. Bukti P.1 ini berupa fotokopi Kartu Tanda
Penduduk yang dinyatakan cocok, sehingga dapat memenuhi
syarat formil dan materil sebagaimana ketentuan dalam Pasal
165 HIR dan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Bukti P.1 juga merupakan akta otentik sehingga mempunyai
nilai pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat
(bindende). Sehingga dapat diterima sebagai bukti dalam
perkara ini dan dapat dipertimbangkan.
7) Bukti P.2 berupa fotokopi kutipan akta nikah yang telah
bermaterai, kemudian dicocokkan dengan aslinya dan
dinyatakan cocok, sehingga bukti P.2 telah memenuhi syarat
formil dam materil sebagaimana ketentuan dalam Pasal 165 HIR
dan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bukti
P.2 juga merupakan akta otentik sehinggga mempunyai nilai
pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende),
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam bahwa
pernikahan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah, maka terbukti bahwa
Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang sah dan belum
pernah bercerai setelah Tergugat membaca sighat taklik talak.
29
8) Penggugat mengajukan dua orang saksi, yaitu dibawah
sumpahnya, kedua orang saksi tersebut telah memenuhi syarat
formil sebagaimana ketentuan dalam Pasal 144, 145, 146 dan
147 HIR. Kemudian keterangan yang diberikan oleh para saksi
memiliki sumber pengetahuan yang jelas, serta antara
keterangan dari kedua saksi Penggugat saling bersesuaian dan
mendukung dalil-dalil gugatan Penggugat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 170, 171 dan 172 HIR, sehingga telah
memenuhi syarat materiil pembuktian saksi, dan dapat
dipertimbangkan lebih lanjut.
9) Dalam keterangannya di persidangan para saksi menerangkan
bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri sah yang pada
awalnya kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat
harmonis, namun kemudian rumah tangga Penggugat dan
Tergugat tidak rukun. Kemudian, rumah tangga Penggugat dan
Tergugat tidak rukun karena Tergugat pergi meninggalkan
Penggugat 6 tahun lamanya dan selama itu Tergugat tidak
pernah kembali ke kediaman bersama serta tidak ada nafkah
yang seharusnya diberikan Tergugat kepada Penggugat.
Tergugat juga tidak meninggalkan harta yang dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bahkan Tergugat
sudah tidak mengurus, membiarkan dan tidak memperdulikan
Penggugat lagi bahkan Tergugat sudah tidak diketahui
keberadaannya hingga saat ini. Para saksi telah menasehati
Penggugat agar tetap bersabar mempertahankan rumah
tangganya namun Penggugat tetap ingin bercerai dengan
Tergugat.
10) Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka alasan
perceraian Penggugat tidak melawan hak dan beralasan. Selain
itu terbukti Tergugat melanggar Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta telah memenuhi
30
ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 116 huruf (g) Kompilasi
Hukum Islam, sehingga gugatan Penggugat dalam petitumnya
dapat dikabulkan dengan menjatuhkan talak satu khul’i Tergugat
terhadap Penggugat dengan iwadh sebesar Rp. 10.000,-
(Sepuluh ribu rupiah).
11) Perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka sesuai
ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, biaya perkara
dibebankan kepada Penggugat.
D. Putusan
Majelis hakim memutuskan perkara ini dengan amar sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut
untuk menghadap di persidangan tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan Verstek;
3. Menjatuhkan talak satu Khul’i Tergugat terhadap Penggugat dengan
membayar iwadl Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah);
4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp. 311.000 (tiga ratus sebelas ribu rupiah).3
3 Salinan Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA. Bjr, h. 13
31
BAB IV
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KOTA BANJAR MENGENAI SAKSI
KELUARGA DALAM PERKARA PERCERAIAN PELANGGARAN
TAKLIK TALAK
A. Analisis Terhadap Pembuktian Saksi Keluarga Dalam Perkara
Perceraian Pelanggaran Taklik Talak
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1874
tentang Perkawinan jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
g. Suami melanggar taklik talak;
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.1
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa
melanggar taklik talak adalah salah satu alasan perceraian yang dapat
diajukan ke Pengadilan Agama.
Untuk menguatkan alasan perceraian serta fakta-fakta yang terjadi.
Maka Penggugat harus membuktikan dengan alat-alat bukti yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang, minimal dua alat bukti. Pembuktian
adalah cara menyakinkan hakim atas perkara yang ajukan dalam
persidangan
1 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2017 Cet-7) h. 33-34
32
sehingga masalah yang dialami oleh penggugat atau tergugat dapat nilai
apakah benar memiliki kekuatan atau tidak.2
Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam
pemeriksaan di persidangan. Karena hasil dari pembuktian itu akan
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara.
Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa /
fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan
hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan
sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi,
yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum
antara para pihak.3
Dalam persidangan di Pengadilan, biasanya Penggugat mengajukan
dua alat bukti, yaitu: Alat bukti surat dan alat bukti saksi. Menurut Sudikno
Mertokusumo, SH. Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat
tanda baca yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menuangkan
isi pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dalam perkara
perdata alat bukti (pembuktian) yang utama adalah tulisan.4
Surat yang dijadikan sebagai alat bukti tertulis ini dibedakan
menjadi akta dan surat bukan akta. Akta adalah suatu tulisan dalam bentuk
surat yang dibuat dengan sengaja sebagai bukti tentang peristiwa yang
ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan. Dalam proses pemeriksaan di
Pengadilan, penggugat mengajukan alat bukti surat berupa: Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan Buku Nikah sebagai akta otentik yang sah.5
Alat bukti kedua yaitu Saksi. Saksi adalah orang yang memberi
kepastian di hadapan Hakim dalam persidangan tentang peristiwa yang
dipersengketakan oleh para pihak dengan cara memberitahukan secara lisan
2 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018),
h. 98 3 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2004, Cet-V), h.141 4 Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Balai Pustaka, 2015 Cet-19), h. 19
5 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 254
33
dan pribadi. Pada dasarnya pembuktian dengan saksi, baru dapat diperlukan
apabila alat bukti surat kurang lengkap atau bahkan tidak ada. Keterangan
saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut hukum sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 284 R.Bg harus terbatas
pada peristiwa-peristiwa yang dialami, dilihat atau didengar sendiri, dan
harus disertai alasan-alasan bagaimana ia mengetahui peristiwa-peristiwa
yang diterangkannya. Keterangan yang diberikan oleh seorang saksi
haruslah kejadian yang telah dialami sendiri, bukan pendapat ataupun
dugaan yang diperoleh secara berpikir, karena pendapat dan dugaan
bukanlah termasuk dalam suatu kesaksian. Bukti saksi diperlukan untuk
mendukung dan menguatkan dalil-dalil yang menjadi dasar pendirian
masing-masing para pihak. 6
Dalam kesaksian terdapat dua keadaan dimana ia dapat dikatakan
sebagai saksi. Pertama, saksi-saksi yang secara kebetulan melihat atau
mengalami sendiri peristiwa atau kejadian yang harus dibuktikan
kebenaraannya di dalam persidangan. Kedua, saksi-saksi yang memang
dengan sengaja dihadirkan dan diminta menyaksikan suatu peristiwa atau
perbuatan hukum yang sedang dilangsungkan. Misalnya, menyaksikan akad
nikah, pembagian warisan, jual beli tanah, dan lain sebagainya.7
Dalam mengajukan alat bukti saksi terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi, yaitu: syarat formil dan syarat materiil.
Syarat formal alat bukti saksi:
1) Orang yang cakap
Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi
menurut Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBg, dan Pasal 1909 KUH Perdata,
antara lain pertama, keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak
yang berperkara menurut garis lurus. Kedua, suami atau istri dari salah
satu pihak meskipun sudah bercerai. Ketiga, anak-anak yang belum
cukup berumur 15 tahun. Keempat, orang gila, meskipun terkadang
6 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, h. 128
7 Subekti, Hukum Pembuktian, h. 37
34
ingatannya terang. Kelima, orang yang selama proses perkara sidang
berlangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Pasal
1912 KUH Perdata).8
Golongan orang yang dianggap tidak mampu menurut hukum
terbagi menjadi dua macam, ada yang bersifat mutlak dan ada yang
bersifat relatif. Golongan orang yang dianggap tidak mampu secara
mutlak adalah keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut
keturunan yang lurus dari salah satu pihak dan suami atau istri dari
salah satu pihak, meskipun sudah bercerai. Alasan larangan keluarga
dijadikan saksi didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka itu tidak
cukup objektif dalam memberi keterangan. Kemudian menjaga
hubungan kekeluargaan agar tetap baik. Untuk mencegah terjadinya
pertengkaran yang membuat mereka saling dendam.9 Sedangkan
golongan orang yang dianggap tidak mampu secara relatif adalah anak-
anak yang belum mencapai umur 15 tahun dan orang gila, meskipun
ingatannya terkadang terang atau sehat.10
2) Memberikan keterangan di depan sidang pengadilan.
Alat bukti saksi hanya dapat disampaikan dan diberikan di depan sidang
Pengadilan, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 144 HIR, pasal 171
RBg dan Pasal 1905 KUH Perdata. 11
3) Diperiksa satu per satu
Syarat ini diatur dalam pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat
(1) Rbg. Menurut ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus
dipenuhi agar keterangan saksi yang diberikan sah sebagai alat bukti.
Hal yang harus dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan saksi
dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi, dan
ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.
8 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, h. 129
9 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, h. 67
10 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 139
11 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, h. 129
35
Berdasarkan Pasal 146 ayat (1) HIR dan 174 ayat (1) R. Bg, ada
kelompok orang yang berhak mengundurkan diri kesediaannya untuk
diperiksa sebagai saksi. Yaitu saudara dan ipar dari salah satu pihak
yang berperkara, keluarga istri atau suami dari kedua belah pihak
sampai derajat kedua, orang-orang karena jabatannya diharuskan
menyimpan rahasia jabatan.12
4) Mengangkat atau mengucapkan sumpah menurut agama yang
dipeluknya.
Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan
sumpah di depan persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan
menerangkan apa yang sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar
dengan bersumpah/berjanji menurut agamanya.13
Sedangkan syarat materiil alat bukti saksi:
1) Keterangan yang diberikan mengenai peristiwa yang terjadi dialami,
didengar dan dilihat sendiri oleh saksi.
Apabila saksi tidak mengalami, mendengar atau melihat sendiri,
maka keterangan yang diberikan saksi tidak memenuhi syarat materiil.
Keterangan saksi tersebut dalam hukum pembuktian disebut dengan
testimonium de auditu. Sehingga keterangan yang diberikannya tersebut
tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUHPerdata, keterangan
dari seorang saksi saja tidak dapat dipercaya (unus testis nullus testis),
sehingga minimal dua saksi harus dipenuhi atau ditambah alat bukti
lain.14
12
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 264 13
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, h. 129 14
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 263
36
2) Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan yang jelas
Keterangan yang diberikan oleh saksi harus berdasarkan alasan
mempunyai sumber pengetahuan yang jelas. Ketentuan ini didasarkan
pada pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 308 ayat (1) R.Bg.15
3) Keterangan saling bersesuaian
Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu
dengan yang lain atau alat bukti yang sah. Saling bersesuaian ini diatur
dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Keterangan saksi
yang bernilai sebagai alat bukti, hanya terbatas pada keterangan yang
saling bersesuaian atau mutual onfir.16
Pada prinsipnya, pembuktian dengan saksi diperbolehkan dalam
segala hal, kecuali jika Undang-Undang menentukan lain. Sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi:
“Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang
tidak dikecualikan oleh Undang-Undang”.
Dalam Pasal 76 (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 terdapat
pengecualian mengenai kesaksian dari pihak keluarga, yaitu:
“Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka
untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar dari keluarga atau
orang-orang yang dekat dengan suami istri.”
Kemudian Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yaitu:17
1) “Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f,
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.
2) “Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup
jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan
pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-
orang yang dekat dengan suami-istri itu.”
15
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, h. 130 16
M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, h. 72 17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 227
37
Dari penjelasaan diatas, menurut penulis dapat diartikan bahwa
saksi keluarga baru dapat didengar keterangannya apabila alasan
perceraiannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 j.o Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum
Islam, yaitu:
“Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.”
Diluar alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus
kembali ke Pasal 145 HIR.
B. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Kota Banjar Nomor
535/Pdt.G/2018/PA. Bjr
Dalam perkara nomor 535/Pdt. G/2018/ PA. Bjr yang telah
dijelaskan secara rinci dapat dilihat bahwa alasan Penggugat mengajukan
gugatannya ke Pengadilan yaitu karena Tergugat telah melanggar sighat
taklik talak yang diucapkannya sewaktu akad nikah yaitu angka 1, 2 dan
angka 4 (meninggalkan istri dua tahun berturut-turut, tidak memberi nafkah
wajib selama 3 bulan lamanya dan membiarkan atau tidak memperdulikan 6
bulan lamanya).
Dalam kasus ini Penggugat mengajukan alat bukti tulis serta
mendatangkan dua orang saksi. Alat bukti tulis ini secara syarat formil dan
materiil telah memenuhi syarat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 165
HIR dan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kemudian saksi-saksi yang didatangkan oleh Penggugat adalah dua
orang saksi, dimana saksi tersebut masih memiliki hubungan keluarga
dengan Penggugat, yaitu paman Penggugat dan menantu Penggugat.
Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim menerima para saksi tersebut
dengan alasan telah memenuhi syarat formil sebagaimana ketentuan dalam
38
Pasal 144, 145, 146 dan 147 HIR serta telah memenuhi syarat materiil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170, 171 dan 172 HIR.
Menurut penulis, Putusan Pengadilan Agama Kota Banjar dalam
perkara nomor 535/Pdt/G/2018/PA. Bjr ini hakim salah menerapkan hukum.
Karena hakim tidak memperhatikan ketentuan Pasal 145 HIR, yaitu:
“Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:
1. Keluarga sedarah atau keluarga semenda salah satu pihak dalam garis
lurus;
2. Istri atau suami salah satu pihak, meskipun sudah bercerai;
3. Anak-anak yang umurnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka
sudah lima belas tahun;
4. Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.”
Seharusnya Pengadilan Agama Kota Banjar menolak gugatan
Penggugat karena dalam pembuktian saksi salah satu syarat formil
mengandung cacat, sehingga mengakibatkan alat bukti itu tidak sah sebagai
alat bukti saksi. Meskipun syarat materiil terpenuhi, akan tetapi hukum tidak
menolerirnya,18
sehingga dapat dikatakan bahwa Penggugat tidak dapat
membuktikan dalil-dalil gugatannya.
Akan tetapi, jika dilihat dari data perceraian akibat suami
melanggar taklik talak di Pengadilan Agama Kota Banjar, terdapat beberapa
perkara yang dalam proses pembuktiannya mengajukan saksi keluarga:19
NO NOMOR PERKARA
HUBUNGAN
SAKSI
DENGAN
PENGGUGAT
PERTIMBANGAN
HAKIM
MENERIMA
SAKSI
1. 535/Pdt.G/2018/ PA. Bjr
Paman dan
Menantu
Penggugat
Karena para saksi
telah memenuhi
syarat formil
sebagaimana
18
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, h. 633 19
Sumber berasal dari bagian Panitera Pengadilan Agama Kota Banjar.
39
ketentuan Pasal
144, 145, 146, 147
HIR dan telah
memenuhi syarat
materiil
sebagaimana pasal
170, 171 dan 172
HIR.
2. 122/Pdt. G/ 2018/PA. Bjr
Saudara Sepupu
dan Adik
Kandung
Penggugat
Karena para saksi
telah memenuhi
syarat formil
sebagaimana
ketentuan Pasal
144, 145, 146, 147
HIR dan telah
memenuhi syarat
materiil
sebagaimana pasal
170, 171 dan 172
HIR.
3. 321/Pdt. G/2017/ PA. Bjr
Adik Kandung
dan Keponakan
Penggugat
Karena para saksi
telah memenuhi
syarat formil
sebagaimana
ketentuan Pasal
144, 145, 146, 147
HIR dan telah
memenuhi syarat
materiil
sebagaimana pasal
40
170, 171 dan 172
HIR.
4. 500/Pdt. G/2018/PA. Bjr
Saudara Sepupu
dan Keponakan
Penggugat
Karena para saksi
telah memenuhi
syarat formil
sebagaimana
ketentuan Pasal
144, 145, 146, 147
HIR dan telah
memenuhi syarat
materiil
sebagaimana pasal
170, 171 dan 172
HIR.
5. 196/Pdt. G/2019/PA. Bjr Paman
Penggugat
Karena para saksi
telah memenuhi
syarat formil
sebagaimana
ketentuan Pasal
144, 145, 146, 147
HIR dan telah
memenuhi syarat
materiil
sebagaimana pasal
170, 171 dan 172
HIR.
41
Dari penguraian diatas menjelaskan bahwa dalam pertimbangannya
hakim tetap menerima saksi yang masih memiliki hubungan kekeluargaan
dengan Penggugat. Hal ini menarik untuk dilakukan analisis.
Menurut penulis, berdasarkan penjelasan diatas. Hakim Pengadilan
Agama Kota Banjar sebelum memberi pertimbangan serta putusan. Dalam
hal pembuktian, hakim memberikan beban pembuktian yang merupakan
kewajiban salah satu pihak untuk membuktikan fakta-fakta yang
dikemukakan dalam persidangan. Fakta-fakta tersebut dikemukakan dalam
persidangan untuk meyakinkan hakim bahwa hal itu adalah benar.20
Beban pembuktian ini diatur dalam Pasal 163 HIR dan pasal 1865
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
“Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu
peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak
orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang
dikemukakan itu.”
Dalam beban pembuktian terdapat beberapa teori beban
pembuktian yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim, terutama hakim
Pengadilan Agama Kota Banjar dalam memeriksa perkara ini. Adapun teori
yang digunakan yaitu:
1. Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloat affirmatief).
Teori ini menyatakan bahwa siapa yang mengajukan suatu hal,
maka ia harus membuktikannya, bukan pada pihak yang mengingkari
atau yang menyangkal dalil yang diajukan oleh orang yang mengajukan
suatu hal itu. Dasar hukum teori ini adalah pendapat yang menyatakan
bahwa segala yang bersifat negatif tidak mungkin dapat dibuktikan
(negative non sunt probanda).21
20
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, h. 117 21
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 244
42
2. Teori Hukum Publik
Bertujuan untuk mencari kebenaran suatu peristiwa terhadap suatu
gugatan yang diajukan oleh penggugat dilaksanakan berdasarkan
kepentingan publik. Hakim harus diberi kewenangan yang besar untuk
mencari kebenaran di dalam hal pembuktian dari suatu perkara.22
3. Teori Hukum Acara
Teori ini didasarkan pada asas kedudukan prosesuil yang sama
dari pihak-pihak yang berperkara di muka majelis hakim atau disebut
dengan asas audi et alteram partem. Pembebanan beban pembuktian ini
adalah sama diantara para pihak, sehingga kesempatan untuk menang
bagi para pihak juga sama, seimbang dan patut.
Jika rumusan teoritis ini dihubungkan dengan praktik yang terjadi
di Peradilan Agama, maka akan ditemukan mekanisnme beban
pembuktian sebagai berikut:
1) Beban pembuktian dibebankan kepada Penggugat
2) Beban pembuktian ditentukan sendiri oleh undang-undang
3) Beban Pembuktian dibagi dalam hal-hal tertentu. 23
Karena pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan
penting dalam proses persidangan, maka terdapat teori pembuktian secara
umum yang dapat digunakan oleh hakim.
Dalam hal ini hakim Pengadilan Agama Kota Banjar
menggunakan teori Positief Wettelijk Bewijstheorie: Teori dimana hakim
terikat secara positif terhadap alat-alat bukti menurut Undang-Undang.
Artinya, kebenaran hanya didasarkan pada alat bukti semata sebagaimana
yang disebutkan dalam undang-undang. Kemudian hakim hanya memeriksa
alat bukti yang diajukan oleh para pihak. Sehingga hakim menjatuhkan
22Maisara Sunge, “Beban Pembuktian dalam Perkara Perdata”, Jurnal Inovasi Volume 9
Nomor.2, (Juni:2012), h. 7. Diakses pada tanggal 30 Mei 2019, Pukul 05.36 WIB 23
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 246
43
putusan tanpa memerlukan keyakinan. 24
Hal ini dapat diliat dalam
pertimbangan hukum mengenai saksi, yaitu:
“Menimbang bahwa Penggugat mengajukan dua orang saksi, yaitu
dibawah sumpahnya, kedua orang saksi tersebut telah memenuhi syarat
formil sebagaimana ketentuan dalam Pasal 144, 145, 146 dan 147 HIR.”
Sedangkan menurut penulis, dalam kasus saksi keluarga dalam
perkara perceraian karena taklik talak ini teori yang lebih tepat adalah teori
Bewijskracht, yaitu dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-
masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan.
Penilaian ini merupakan otoritas hakim. Dimana hakim menilai dan
menentukan kesesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang
lain. Sehingga kekuatan pembuktian yang terletak pada alat bukti yang
diajukan tersebut dapat diketahui relevan atau tidaknya dalam perkara yang
sedang diajukan serta mengarah pada apakah bukti tersebut dapat diterima
atau tidak.25
Jadi hakim tidak hanya terfokus dan terikat pada alat-alat bukti
menurut Undang-Undang saja, tetapi harus melihat kekuatan pembuktian
dari alat bukti tersebut. Terutama dalam alat bukti saksi, dimana terdapat
beberapa orang yang dilarang untuk dijadikan saksi.
Hakim di dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara
berkewajiban melakukan tindakan berupa mengkonstatir, mengkualifikasi,
dan mengkonstitusikan suatu peristiwa.
1. Mengkonstatir
Berarti melihat, mengakui dan membenarkan telah terjadinya
peristiwa yang diajukan. Untuk sampai pada konstatering demikian itu,
hakim harus mempunyai kepastian akan kebenaran dengan alat-alat
bukti untuk mendapatkan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan kepadanya. Jadi mengkonstatir peristiwa berarti sekaligus juga
24
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, h. 17 25
Eddy O.S. Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, h. 24
44
membuktikan atau menganggap telah terbuktinya peristiwa yang
bersangkutan.
2. Mengkualifikasikan peristiwanya
Hakim harus menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar
terjadi termasuk menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah
dikonstatir. Untuk menemukan hukumnya, hakim sering melakukan
penerapan hokum terhadap peristiwanya. Jadi mengkualifikasikan pada
umumnya berarti menemukan hukumnya dengan jalan menerapkan
peraturan hokum terhadap peristiwanya.
3. Mengkonstitusikan
Mengkonstitusikan berarti hakim menetapkan hukumnya kepada
peristiwa yang bersangkutan. 26
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping
itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.27
Pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya memuat tentang
hal-hal sebagai berikut:
1. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak
disangkal.
2. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek
menyangkut semua fakta / hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
3. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus
dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat
menarik kesimpulan tentang terbukti / tidaknya dan dapat dikabulkan /
tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.28
26 Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, h. 195
27 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004, Cet-V), h.140. 28
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 141
45
Pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan yang
berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim
yang memeriksa perkara. Di dalamnya memuat analisis yang jelas
berdasarkan undang-undang pembuktian sebagai berikut: Bertitik tolak dari
analisis tersebut, pertimbangan melakukan argumentasi mengenai
pembuktian dalil gugat atau dalil bantahan dilakukan sesuai ketentuan
hukum yang diterapkan. Dari hal tersebut hakim menjelaskan mengenai
pendapatnya yang dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai landasan
penyelesaian perkara yang dituangkan dalam diktum putusan. Dan bila
putusan dinyatakan tidak lengkap dan saksama mendeskripsikan serta
mempertimbangkan pertimbangan hukum perkara maka putusan dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-
Undang nomor 4 Tahun 2004, disebabkan putusan tidak mempertimbangkan
fakta dan pembuktian dengan saksama. 29
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu
didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga
didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori
dan praktek.30
Sebelum menjatuhkan putusan untuk menyelesaikan perkara yang
sedang ditanganinya, terlebih dahulu hakim akan menempuh beberapa
langkah sebagai proses yang dilakukan secara bertahap, yaitu:
a. Tahap inventarisasi
Hakim berusaha untuk memperoleh pokok sengketa yang telah
diperselisihkan oleh para pihak yang bersengketa yang meliputi:
petitum penggugat dan hal-hal yang telah disampaikan penggugat untuk
menunjang apa yang menjadi dasar tuntutannya, demikian pula
sebaliknya hakim berusaha untuk memperoleh jawaban dari tergugat
dan segala apa yang menjadi dasar penyangkalan dari tergugat.
29
Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, (Jakarta: PrenadaMedia Group,
2014), h. 207 30
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 142
46
b. Tahap penentuan sistem hukum yang berlaku dalam perkara yang
sedang dihadapi
Tahap penentuan sistem hukum perdata yang berlaku bagi para
pihak, hakim akan meneliti apakah sudah univikasi hukum/sudah ada
ketentuan yang mengatur hal tersebut.
c. Tahap seleksi
Proses seleksi dimana hakim akan meneliti, apakah pelanggaran
norma yang dikemukakan oleh para pihak masuk dalam sistem
peraturan hukum atau apakah dalam sistem peraturan hukum nasional
terdapat satu atau lebih kaidah hukum (yang secara tepat dapat
diterapkan) pada peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh para pihak
yang mengharapkan suatu hukum tertentu.
Pada tahap seleksi ini, hakim akan meneliti apakah pelanggaran
yang dilakukan oleh tergugat menimbulkan akibat hukum sebagaimana
dimaksud penggugat di dalam gugatannya dan merupakan pelanggaran
terhadap kaidah hukum.
d. Tahap penerapan
Setelah hakim memilih satu atau lebih kaidah hukum, maka
hakim akan menerapkan peraturan hukum tersebut pada hubungan
peristiwa yang telah dikemukakan oleh para pihak artinya hakim akan
meneliti, apakah unsur-unsur yang disebutkan dalam peraturan hukum
tersebut, agar timbul akibat hukum yang dituju oleh peraturan tersebut,
dalam kenyataannya juga telah dikemukakan secara lengkap oleh yang
berkepentingan.
e. Tahap penentuan
47
Hakim berusaha memperoleh kejelasan tentang hal-hal yang
merupakan pokok sengketa yang masih harus diputuskan dengan
membuat klasifikasi pokok sengketa secara berurutan.
f. Tahap redaksi.
Hakim berkewajiban untuk menyusun redaksi putusan yang
didalamnya memuat pertimbangan hukum yang dibuat sebagai dasar
putusan dan redaksi putusan yang disusun secara runtut akan
memberikan alasan hukum atau pertimbangan sehingga para pihak yang
bersengketa atau pihak lain yang membaca putusan tersebut dapat
memperoleh gambaran yang jelas mengenai proses pengambilan
putusan dan alasan-alasan yang menjadi dasar dalam pengambilan
putusan tersebut.
Redaksi suatu putusan yang disusun hakim dengan runtut akan
mengakibatkan para pihak yang bersengketa atau pihak lain yang
membaca putusan tersebut akan memperoleh gambaran mengenai:
1. Pokok-pokok perselisihan yang harus diputus.
2. Proses jalannya penyelesaian yang ditempuh dan alasan-alasan
yang dipakai sebagai dasar pertimbangan hakim. 31
Untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, hakim memiliki
kekuasaan kehakiman tersendiri yang diatur dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-Undang
Nomor 48 tahun 2009. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya
sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam
Pasal 24, terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
31
Sunarto, Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata, h. 193-194
48
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia
tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.32
Kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung
pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan
pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam
Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi
hakim yang tidak memihak (impartial judge) sebagaimana dalam Pasal 5
ayat (1) Undang- Undang Nomor. 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di
sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim
harus memihak yang benar. Dalam hal ini diartikan tidak berat sebelah
dalam pertimbangan dan penilaiannya. Sebagaimana dalam Undang-Undang
Nomor. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.33
Dari peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan
kehakiman, maka ditemukan asas-asas kekuasaan kehakiman yang merdeka,
di antaranya:
1. Asas Kebebasan Hakim
Asas kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka diatur di
dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada pasal 24 ayat (1).
Dengan adanya jaminan konstitusional tersebut, hakim harus
menjalankan tugasnya dengan menegakkan hukum dan keadilan bebas
dari segala tekanan dari pihak manapun, sehingga dapat memberikan
putusan yang seadil-adilnya. Akan tetapi tetap memberi batasan-batasan
dalam hal menjalankan kemerderkaan kekuasaan kehakiman. Menurut
Sudikno Mertokusumo, secara mikro hakim dibatasi oleh Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, ketertiban umum,
kesusilaan, dan perilaku atau kepentingan para pihak. Sedang secara
makro, hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi, dan
sebagainya. Kebebasan kekuasaan kehakiman penyelenggaraannya
32
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h. 142 33
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 95.
49
diserahkan kepada badan-badan peradilan yang merupakan salah satu
ciri khas daripada negara hukum.34
2. Asas Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”
Dasar hukum asas ini adalah Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945
setelah amandemen dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009: “Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Asas ini berlaku untuk semua lingkungan
badan peradilan. Irah-Irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” adalah sebagai kekuatan eksekutorial. Dengan adanya
irah-irah tersebut, maka setiap putusan dan/atau penetapan badan
peradilan mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (eksekusi). 35
3. Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan
sebagai bentuk penegasan bahwa tugas peradilan adalah sebagai tempat
bagi rakyat untuk mencari keadilan dan kepastian hukum, sehingga
harus dilakukan sesederhana mungkin dengan biaya yang terjangkau
dan waktu proses persidangan tidak berlarut-larut. Karena dengan
cepatnya proses peradilan, akan meningkatkan kewibawaan pengadilan
dan menambah kepercayaan masyarakat kepada pengadilan.36
4. Asas Persidangan Terbuka untuk Umum
Dasar hukum asas ini adalah Pasal 13 ayat (1), (2), (3) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009. Asas sidang terbuka untuk umum ini
berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan
pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini adalah untuk memberi
34
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, (Jakarta: PrenadaMedia
Group, 2012), h. 51 35
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, h. 52 36
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, h. 53
50
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan
serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan, dengan
mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta
putusan yang adil kepada masyarakat, sesuai peraturan hukum yang
berlaku.
Apabila putusan itu diucapkan dalam sidang yang tidak terbuka
untuk umum, berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut
hukum. 37
5. Asas Susunan Persidangan Majelis
Susunan persidangan untuk semua peradilan pada asas-asasnya,
terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim. Akan tetapi, untuk
perkara-perkara tertentu dapat dibentuk untuk sebanyak lima orang atau
lebih.
Asas majelis hakim ini dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan
yang seobjektif mungkin guna memberikan perlindungan hak-hak
warga negara di pengadilan.
6. Asas Objektivitas
Penyelesaian sengketa akan baik dan dapat diterima oleh semua
pihak, jika dilakukan secara imparsial (tidak memihak), objektif dan
adil. Penyelesaian perkara secara objektif dan tidak memihak ini
didasari oleh Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Sebagai bentuk upaya untuk mewujudkan objektivitas hakim dalam
mengadili, maka di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 telah
diatur bahwa pihak-pihak yang diadili berhak ingkar atas hakim-hakim
yang mengadilinya, akan tetapi harus disertai dengan alasan-alasan
yang jelas terhadap penolakan tersebut. Alasan-alasan yang diajukan
tersebut setidaknya menyangkut hubungan sedarah atau semenda
37
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, h. 55
51
sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun sudah
bercerai dengan ketua atau salah seorang hakim anggota, jaksa,
advokat, atau panitera.
Maka dengan itu asas objektivitas dalam proses persidangan di
pengadilan adalah suatu keharusan. Dengan cara memperlakukan semua
pihak sama di depan hukum, tidak memihak dan tidak berat sebelah
kepada para pihak yang perkaranya sedang diperiksa di pengadilan.38
Berdasarkan penjelasan diatas, menurut penulis hakim dalam
menyelesaikan perkara perdata di Pengadilan, mempunyai tugas untuk
menemukan hukum yang tepat. Karena menemukan hukum tidak cukup
dalam undang-undang saja, sebab undang-undang tidak mengatur secara
jelas, lengkap dan merinci. Sehingga hakim harus menggali nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat. Adapun putusan yang dijatuhkan oleh
hakim Pengadilan Agama Kota Banjar ini sebenarnya mencerminkan dan
mengandung unsur keadilan, dimana majelis hakim menerapkan kesesuaian
antara peraturan yang ada dengan putusan hakim dan sesuai dengan
keadilan yang diinginkan oleh masyarakat, dimana pihak yang menang
dapat menuntut apa yang sebenarnya menjadi haknya dan pihak yang kalah
harus memenuhi apa yang menjadi kewajibannya. Putusan hakim ini
memang lebih menekankan pada unsur keadilan. Akan tetapi bukan berarti
kepastian hukum dan kemanfaatannya tidak ada. Kedua unsur tersebut tetap
ada dalam putusan hakim tersebut. Unsur kepastian hukum tersebut dapat
dilihat dari putusan ini yaitu dengan cara memberikan jalan keluar dari
masalah hukum bagi kedua belah pihak tersebut terutama pihak penggugat.
Putusan hakim ini didasarkan pada undang-undang, dan telah memberi
kesempatan yang sama bagi para pihak dalam beban pembuktian. Kepastian
hukum yang dituangkan dalam putusan hakim ini merupakan hasil yang
didasarkan pada fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis serta
dipertimbangkan dengan hati nurani. Putusan hakim ini juga menuntut
hakim untuk selalu dapat menafsirkan makna undang-undang dan peraturan-
38 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi, h. 58-59
52
peraturan lain yang dijadikan dasar penerapan dalam kasus yang terjadi.
Sehingga hakim dapat mengkontruksi kasus yang diadili secara utuh,
bijaksana dan objektif.39
Adapun unsur kemanfaatan dalam putusan ini adalah menciptakan
kepuasaan bagi pihak yang berperkara, menghilangkan polemik atau konflik
bagi yang bersengketa.40
Unsur kemanfaatan ini tidak hanya membawa
manfaat bagi kedua belah pihak saja, tetapi juga berpengaruh pada putusan
perkara yang nantinya muncul di kemudian hari. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa perkara yang diajukan ke Pengadilan dengan posisi kasus dan alat
bukti yang diajukan sama dengan perkara nomor 535/Pdt. G/2018/PA. Bjr
Jadi, kesimpulannya hakim dalam memutus perkara ini memiliki
tujuan untuk menerapkan keadilan bagi semua pihak, yaitu dengan cara:
pertama melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari
masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat dan tergugat),
sehingga meskipun alat bukti saksi yang diajukan itu dilarang tetapi hakim
tetap menerimanya. Kedua, putusan hakim mengandung efisiensi, yaitu
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketiga, putusan hakim harus
mengandung aspek stabilitas yaitu ketertiban sosial dan ketentraman
masyarakat.
Dalam memutus suatu perkara, hakim tidak selamanya harus
terpaku pada satu asas saja, karena pada setiap kasus yang ditangani hakim
bisa saja berubah-rubah dari asas satu ke asas yang lainnya sesuai dengan
kasus tersebut. Kemudian sebab-sebab lain hakim menerima saksi keluarga
dalam putusan pelanggaran taklik talak, terutama dalam putusan ini adalah
terdapat beberapa komulasi antara syiqaq dan pelanggaran taklik talak.
Sehingga meskipun alasan utama gugatannya adalah suami melanggar taklik
talak, akan tetapi dalam petitumnya tidak murni Tergugat meninggalkan
39 Fence M. “Wantu, Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan, dam Kemanfaatan dalam
Putusan Hakim di Peradilan Perdata”, Jurnal Dinamika Hukum Volume 12 Nomor 3,
(September: 2012), h. 484 40
Fence M. “Wantu, Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan dalam
Putusan Hakim di Peradilan Perdata”, h. 486-487
53
Penggugat tanpa alasan. Sehingga hakim tetap menerima saksi dari pihak
keluarga.
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada prinsipnya, pembuktian dengan saksi diperbolehkan dalam
segala hal, kecuali jika undang-undang menentukan lain. Sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata. Akan tetapi, dalam Pasal
76 (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 terdapat pengecualian
mengenai kesaksian dari pihak keluarga, yaitu: “Apabila gugatan
perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian harus didengar dari keluarga atau orang-orang
yang dekat dengan suami istri.” Kemudian Pasal 22 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa saksi keluarga baru dapat didengar keterangannya
apabila alasan perceraiannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19
huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 j.o Pasal 116
huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Diluar alasan perselisihan dan
pertengkaran yang terus-menerus kembali ke Pasal 145 HIR.
2. Putusan Pengadilan Agama Kota Banjar dalam perkara nomor
535/Pdt/G/2018/PA. Bjr ini secara teori perdata hakim salah
menerapkan hukum. Dimana hakim tidak memperhatikan ketentuan
Pasal 145 HIR dan seharusnya Pengadilan Agama Kota Banjar
menolak gugatan Penggugat karena dalam pembuktian saksi, salah
satu syarat formil mengandung cacat sehingga mengakibatkan alat
bukti itu tidak sah sebagai alat bukti saksi. Karena meskipun syarat
materiil terpenuhi, akan tetapi hukum tidak menolerirnya, karena
syarat formil dan materiil bersifat komulatif yang mengharuskan
terpenuhi semua bukan alternatif sehingga dapat dikatakan bahwa
Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya. Akan
tetapi hakim dalam putusan ini menggunakan kekuasaan
55
kehakimannya demi mewujudkan unsur kepastian hukum, keadilan
serta kemanfaatan bagi semua pihak. Kemudian sebab-sebab lain
hakim menerima saksi keluarga dalam putusan pelanggaran taklik
talak, terutama dalam putusan ini adalah terdapat beberapa komulasi
antara syiqaq dan pelanggaran taklik talak. Sehingga meskipun alasan
utama gugatannya adalah suami melanggar taklik talak, akan tetapi
dalam petitumnya tidak murni Tergugat meninggalkan Penggugat
tanpa alasan. Sehingga hakim tetap menerima saksi dari pihak
keluarga.
B. Rekomendasi
Melihat dari beberapa putusan yang ada di Pengadilan Agama Kota
Banjar mengenai perkara taklik talak, maka penulis mengajukan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Hakim harus lebih teliti dalam memeriksa saksi keluarga diluar
perkara perselisihan yang terus menerus. Karena secara formil
terdapat beberapa orang yang tidak dapat bertindak sebagai saksi
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 145 HIR.
2. Hendaknya hakim lebih mempertimbangkan tentang sejauhmana
seseorang memenuhi syarat-syarat sebagai saksi, terutama dalam
hubungan saksi dengan para pihak.
3. Meskipun hakim mengutamakan asas peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan sera demi mewujudkan kepastian hukum, keadilan
dan kemanfaatan. Hakim harus lebih teliti terhadap undang-undang
atau peraturan-peraturan yang ada. Sebab, ketidaktelitian dalam
menerapkan undang-undang akan berdampak bagi dirinya maupun
para pihak.
56
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad dan Wiwie Heryani. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata.
Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Asikin, Zainal. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia
Group. 2018.
Asnawi, M. Natsir. Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia.
Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2013.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam wa Adillatuhu Jilid 9. Alih Bahasa; Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk. Cet-1. Jakarta: Gema Insani. 2011.
Bakhri, Syaiful. Dinamika Hukum Pembuktian Dalam Capaian Keadialan.
Depok: Rajagrafindo Persada, 2018.
H.M.A, Timahi dan Sohari Sahrani. Fiqh Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika,
2005.
Hasanudin. Kedudukan Taklik Talak dalam Perkawinan Ditinjau dari
Hukum Islam dan Hukum Positif . Medina-Te, Jurnal Studi Islam
Vol. 14, No 1. Juni: 2016. Diakses pada tanggal 23 Februari 2019.
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R). Diakses pada tanggal 19 Februari 2019
pukul 21.19 WIB
Irvansyah. “Saksi dari Pihak Keluarga Dalam Cerai Gugat Menurut Hukum
Islam dan Hukum Acara Perdata”.Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
57
Jafar Siddiq, Muhammad. “Kekuatan Hukum Pembuktian dari Surat
Perjanjian Dibawah Tangan Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan
Menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia”. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018.
Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2017.
Krisnawati, I.G.A.A. Ari. “Diktat Kuliah, Pembuktian Perkara Perdata
(Bagian Hukum Acara Perdata)”, Fakultas Hukum, Universitas
Udayana, 2015.
Lubis, Sulaikin dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: Prenadamedia Group, 2018.
Majid, Abdul. “Putusnya Perkawinan Berdasarkan Gugatan Yang
Diakibatkan Oleh Pelanggaran Taklik Talak”. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
Nayasari, Dhevi. Pelaksanaan Ruju’ Pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Lamongan. Jurnal Independent Vol. 2 No. 1. Diakses
pada tanggal 23 Februari 2019.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2016.
O.S. Hiariej, Eddy. Teori & Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga, 2012.
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan
Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau
Pejabat Pemerintah.
Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
58
Rimdan. Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi. Jakarta:
PrenadaMedia Group, 2012.
S. Lumbuun, Ronald. PERMA RI Wujud Kerancuan Antara Praktik
Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan. Jakarta: Raja Graindo
Persada, 2011.
Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Bandung:
Alumni, 2004.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial . Bandung: PT. Refika Aditama,
2009.
Simanjuntak, P.N.H. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia
Group, 2016.
Sirajudin. Konstruksi Hukum Keluarga Islam Di Indonesia: Analisis
Terhadap Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan KHI. Istinbath, Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 2,
Desember, 2015, h. 170. Diakses pada tanggal 21 Februari 2019.
Solikin, Nur.“Mencermati Pembentukan Peraturan Mahkamah Agung”.
Jurnal Rechtsvinding, Februari, 2017.
Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Burgerlijk Wetboek. Jakarta: 2014.
Subekti. Hukum Pembuktian, Jakarta: Balai Pustaka, 2015
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT.Intermasa, 2011.
Sudarto. Fikih Munakahat. Yogyakarta: Deepublish, 2017
Sunarto. Peran Aktif Hakim dalam Perkara Perdata. Jakarta: PrenadaMedia
Group, 2014.
Sunge, Maisara. “Beban Pembuktian Dalam Perkara Perdata”, Jurnal
Inovasi Volume 9 Nomor. 2, Juni:2012. Diakses pada tanggal 30
Mei 2019, Pukul 05.36 WIB.
59
Supramono, Gatot. Hukum Pembuktian di Peradilan Agama. Bandung:
Alumni, 1993.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara
Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Alumni, 1979.
Thalabi Kharlie, Ahmad. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 1.
Bandung: Nuansa Aulia, 2017.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar
Grafika, 1991.
Widodo. Faktor-Faktor serta Alasan yang Menyebabkan Tingginya Angka
Cerai Gugat. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Surakarta.
Wiratmanto. Buku Ajar Hukum Acara Perdata. Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 2018.
Zaini, Zulfi Diane. Implementasi Pendekatan Yuridis Normatif dan
Pendekatan Yuridis Sosiologis Dalam Penelitian Ilmu Hukum.
Pranata Hukum Volome 6, Nomor 2. Juli: 2011.
Hal. 1 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
PUTUSAN
Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Kota Banjar yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu pada tingkat pertama dalam sidang majelis hakim telah menjatuhkan
putusan dalam perkara cerai gugat antara:
xxxxxx Binti xxxx, tempat dan tanggal lahir Ciamis, 22 Oktober 1975,
agama Islam, pekerjaan Mengurus Rumah Tangga,
Pendidikan Sekolah Dasar, tempat kediaman di
xxxxxxx xxxxxxx, Kecamatan Banjar, Kota Banjar,
sebagai Penggugat,
melawan
xxxxx Bin xxxxx, tempat dan tanggal lahir Tasikmalaya, 05 April 1970,
agama Islam, pekerjaan Dagang, Pendidikan Sekolah
Dasar, tempat kediaman dahulu beralamat di xxxxxx
xxxxxxx, Kecamatan Cisayong, Kabupaten
Tasikmalaya, sekarang tidak di ketahui
keberadaaannya di seluruh wilayah Negara Indonesia
sebagai Tergugat;
Pengadilan Agama tersebut;
Telah mempelajari surat-surat yang berkaitan dengan perkara ini;
Telah mendengar keterangan Penggugat dan memeriksa bukti-bukti di
persidangan;
DUDUK PERKARA
Bahwa Penggugat dalam surat gugatannya tanggal 13 Agustus 2018
telah mengajukan gugatan cerai, yang telah terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan Agama, dengan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr, tanggal 14 Agustus
2018, dengan dalil-dalil pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan Tergugat pada
hari Senin Tanggal 01 Desember 2008 Selasa,di hadapan Pegawai
Hal. 2 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Banjar, Kota Banjar,
dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : xxx/xx/XII/xxxx tertanggal 01
Desember 2008;
2. Bahwa setelah menikah Tergugat mengucapkan Sighat taklik yaitu :
“Selanjutnya saya membaca sighat taklik atas istri saya itu sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
1) Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut;
2) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
3) Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu,
4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan
lamanya,
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu,
dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas
tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu
rupiah) sebagai iwadl (pengganti kepada saya, maka jatuhlah talak satu
kepadanya .
3. Bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat dilangsungkan
berdasarkan kehendak kedua belah pihak dengan tujuan membentuk
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah yang diridhoi oleh Allah
Swt
4. Bahwa setelah menikah, Penggugat dengan Tergugat tinggal di rumah
saudara Penggugat sebagaimanaalamatPenggugatdi atas;
5. Bahwa selama perkawinan tersebut Penggugat dan Tergugat telah
berkumpul sebagaimana layaknya suami isteri dan dikarunia 1 orang anak
perempuan bernama xxxxx xxxx xxxx berusia 8 tahun;
6. Bahwa mulai bulan Januari 2012 rumah tangga Penggugat dengan
Tergugat mulai goyah yang disebabkan tejadi perselisihan dan
pertengkaran, perselisihan dan pertengkaran tersebut terjadi karena
Tergugat tidak memberikan nafkah ekonomi, sehingga hal tersebut sering
menjadi membuat percekcokan yang terus menerus;
Hal. 3 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
7. Bahwa puncak dari perselisihan antara Penggugat dan Tergugat terjadi
pada pertengahan tahun 2012 dimana Tergugat memutuskan untuk keluar
dari rumah sampai dengan sekarang tidak kembali;
8. Bahwa atas permasalahan dan kemelut rumah tangga yang dihadapi,
Penggugat telah mencoba memusyawarahkan dengan keluarga Penggugat
untuk mencari penyelesaian dan demi menyelamatkan perkawinan, namun
usaha tersebut tidak membuahkan hasil;
9. Bahwa dengan tindakan Tergugat membiarkan Penggugat dan tidak
memberi nafkah lahir maupun batin kepada Penggugat, maka Penggugat
tidak ridha;
10. Bahwa Tergugat telah melanggar janji Taklik Talaknya point 1, 2 dan 4 yaitu
meninggalkan, membiarkan dan tidak memberikan nafkah wajib selama 6
tahun.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon memohon kepada
Pengadilan Agama Kota Banjar, agar menjatuhkan putusan yang amarnya
sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat ;
2. Menyatakan syarat taklik talak telah terpenuhi;
3. Menjatuhkan talak satu khul’i Tergugat (xxxx Bin xxxx) terhadap Penggugat
(xxxx Binti xxxx);
4. Membebankan biaya perkara menurut hukum;
5. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya
Bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah ditetapkan Penggugat
didampingi oleh kuasanya yang sah berdasarkan surat kuasa khusus yang
telah terdaftar di register Kepaniteraan Pengadilan Agama Kota Banjar
menghadap ke persidangan, sedangkan Tergugat tidak menghadap dan tidak
pula menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai wakilnya yang sah
meskipun menurut relaas Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr tertanggal 19 Maret
2018 dan 19 April 2018 yang dibacakan di persidangan, Tergugat telah
dipanggil secara resmi dan patut melalui mass media;
Bahwa Penggugat menyatakan sudah tidak dapat mempertahankan
rumah tangganya dan tetap akan melanjutkan gugatannya maka selanjutnya
Hal. 4 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
pemeriksaan dimulai dengan dibacakan surat gugatan Penggugat yang isinya
tetap dipertahankan oleh Penggugat;
Bahwa Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya telah
mengajukan alat bukti berupa :
A. Surat :
1. Fotokopi KTP atas nama Penggugat NIK xxxxxxxxxxxxxx tertanggal
10 Juni 2013, bukti tersebut telah diberi meterai cukup, dinazzegelend
dan telah dicocokkan dengan aslinya yang ternyata sesuai kemudian
oleh Ketua Majelis diberi kode P.1, dan diparaf;
2. Fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor xxx/x/XI/xxxx tanggal 1 November
1996 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
Lengkong, Kota Bandung, bukti tersebut telah diberi meterai cukup,
dinazegellend dan telah dicocokkan dengan aslinya yang ternyata
sesuai kemudian oleh Ketua Majelis diberi kode P.2, dan diparaf;
B. Saksi :
1. Xxxxx xxxx, umur 80 tahun, agama Islam, pekerjaan Buruh, tempat
tinggal di xxxxxx xxxxxx xxx, Kelurahan Pataruman, Kecamatan
Pataruman, Kota Banjar dan di bawah sumpahnya menerangkan sebagai
berikut :
- Bahwa saksi adalah paman Penggugat;
- Bahwa saksi hadir ketika Penggugat dan Tergugat menikah dan
mendengar Tergugat mengucapkan sighat taklik talak setelah ijab
kabul;
- Bahwa sejak pernikahannya Penggugat dan Tergugat tidak pernah
bercerai;
- Bahwa selama menikah Penggugat dan Tergugat berumah tangga di
rumah Penggugat;
Hal. 5 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
- Bahwa awalnya rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun namun
sekarang tidak rukun;
- Bahwa saksi tidak pernah melihat dan mendengar Penggugat dan
Tergugat bertengkar;
- Bahwa pada tahun 2012 Tergugat pergi meninggalkan Penggugat
namun hingga saat ini Tergugat tidak pernah kembali lagi ke Banjar
dan tidak pernah lagi tinggal bersama dengan Penggugat;
- Bahwa saksi tidak mengetahui alasan Tergugat meninggalkan
Penggugat;
- Bahwa sejak kepergiannya sampai sekarang Tergugat tidak pernah
memberi kabar kepada Penggugat;
- Bahwa Penggugat beserta keluarga pernah mencari Tergugat ke
keluarga dan teman-teman Tergugat tetapi tidak berhasil bahkan
sekarang tidak diketahui keberadaannya;
- Bahwa selama kepergiannya Tergugat tidak mengirimkan nafkah
kepada Penggugat dan tidak ada harta / usaha yang ditinggalkan oleh
Tergugat yang dapat digunakan sebagai pengganti nafkah sehingga
Penggugat lah yang menanggung kebutuhan hidup Penggugat dan
anak-anak Penggugat;
- Bahwa antara Penggugat dan Tergugat tidak dapat diupayakan
perdamaian karena Tergugat tidak diketahui keberadaannya;
- Bahwa saksi telah memberikan nasehat kepada Penggugat agar
bersabar mempertahankan rumah tangganya namun Penggugat tetap
ingin bercerai dengan Tergugat;
2. Xxxxxx xxxx bin xxxxx, umur 39 tahun, agama Islam, pekerjaan Buruh,
tempat tinggal di xxxxx xxxxx xxxxx, Kecamatan Pamarican, Kota Banjar
dan di bawah sumpahnya menerangkan sebagai berikut :
- Bahwa saksi adalah menantu Penggugat sejak tahun 2002;
Hal. 6 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
- Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri namun saksi tidak
menghadiri pernikahannya;
- Bahwa sejak pernikahannya Penggugat dan Tergugat tidak pernah
bercerai;
- Bahwa Penggugat dan Tergugat berumah tangga di rumah
Penggugat;
- Bahwa saksi tidak pernah melihat dan mendengar Penggugat dan
Tergugat bertengkar;
- Bahwa pada tahun 2012 Tergugat pergi meninggalkan Penggugat
namun hingga saat ini Tergugat tidak pernah kembali lagi ke Banjar
dan tidak pernah lagi tinggal bersama dengan Penggugat;
- Bahwa saksi tidak mengetahui alasan Tergugat meninggalkan
Penggugat;
- Bahwa sejak kepergiannya sampai sekarang Tergugat tidak pernah
memberi kabar kepada Penggugat;
- Bahwa Penggugat beserta keluarga pernah mencari Tergugat ke
keluarga dan teman-teman Tergugat tetapi tidak berhasil bahkan
sekarang tidak diketahui keberadaannya;
- Bahwa selama kepergiannya Tergugat tidak mengirimkan nafkah
kepada Penggugat dan tidak ada harta / usaha yang ditinggalkan oleh
Tergugat yang dapat digunakan sebagai pengganti nafkah sehingga
Penggugat lah yang menanggung kebutuhan hidup Penggugat dan
anak-anak Penggugat;
- Bahwa antara Penggugat dan Tergugat tidak dapat diupayakan
perdamaian karena Tergugat tidak diketahui keberadaannya;
Hal. 7 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
- Bahwa saksi telah memberikan nasehat kepada Penggugat agar
bersabar mempertahankan rumah tangganya namun Penggugat tetap
ingin bercerai dengan Tergugat;
Bahwa selanjutnya Penggugat memberi kesimpulan secara lisan yang
pada pokoknya menyatakan Penggugat tetap pada gugatannya serta mohon
perkaranya diberikan keputusan;
Bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, Pengadilan menunjuk
segala yang dicatat dalam berita acara sidang sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat sebagaimana
terurai di atas;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 49 ayat (1) dan (2) serta
penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan keduanya dengan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009, maka perkara ini termasuk kompetensi absolute
Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal persidangan yang telah
ditentukan Penggugat hadir sendiri di persidangan beserta kuasanya
sedangkan Tergugat tidak hadir menghadap di persidangan dan tidak pula
mengutus orang lain untuk datang sebagai wakil / kuasanya yang sah,
meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut berdasarkan Pasal 125 HIR jo.
Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 melalui Mass Media
(Radio Cempaka Angkasa Kota Banjar), maka gugatan Penggugat dapat
diperiksa secara verstek;
Menimbang, bahwa Penggugat mendalilkan bahwa Penggugat telah
melangsungkan perkawinan dengan Tergugat secara Hukum Islam dan telah
tercatat pada Kantor Urusan Agama dengannya antara Penggugat dengan
Hal. 8 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
Tergugat telah terjalin hubungan suami isteri sah sebagaimana maksud dalam
Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka
Penggugat dan Tergugat dalam perkara ini merupakan pihak yang memiliki
kepentingan hukum secara langsung dari akibat putusan ini, oleh karenanya
Penggugat dapat dinyatakan sebagai orang yang berhak untuk mengajukan
gugatan perceraian terhadap Tergugat dalam perkara ini (persona standi in
judicio);
Menimbang, bahwa gugatan Penggugat adalah berdasarkan alasan
pelanggaran Taklik Talak oleh Tergugat karena sejak tahun 2012 Tergugat
pergi meninggalkan Penggugat dan berpisah tempat tinggal dengan Penggugat
hingga sekarang dan selama berpisah tersebut Tergugat tidak pernah memberi
nafkah lahir maupun batin serta telah tidak mempedulikan Penggugat bahkan
keberadaan Tergugat tidak diketahui keberadaannya;
Menimbang, bahwa meskipun perkara ini dapat diperiksa tanpa hadirnya
Tergugat (secara verstek) namun berdasarkan pasal 125 ayat (1) HIR, putusan
yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat dapat dikabulkan sepanjang
berdasarkan hukum dan beralasan, oleh karena itu Majelis membebani
Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya;
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya Penggugat
telah mengajukan alat bukti surat berupa P.1 dan P.2 serta dua orang saksi;
Menimbang, bahwa bukti P.1 berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, telah bermeterai cukup, telah
dinagezelen dan telah dicocokkan dengan aslinya dan cocok, sehingga bukti
P.1 telah memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 165 HIR dan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata oleh
karenanya dapat diterima sebagai alat bukti dalam perkara ini dan dapat
dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa bukti P.1 merupakan akta otentik sehingga
mempunyai nilai pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat
(bindende) kecuali dibuktikan sebaliknya maka terbukti bahwa Penggugat
Hal. 9 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
berdomisili di Kota Banjar, yang merupakan wilayah hukum (yurisdiksi)
Pengadilan Agama Kota Banjar;
Menimbang, bahwa bukti P.2 berupa fotokopi kutipan akta nikah yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, telah bermeterai cukup, telah
dinagezelen dan telah dicocokkan dengan aslinya dan cocok, sehingga bukti
P.2 telah memenuhi syarat formil dan materil sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 165 HIR dan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata oleh
karenanya dapat diterima sebagai alat bukti dalam perkara ini dan dapat
dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa bukti P.2 merupakan akta otentik sehingga
mempunyai nilai pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat
(bindende) kecuali dibuktikan sebaliknya dan berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam bahwa pernikahan hanya dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah maka terbukti bahwa
Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang sah sejak tanggal 1 Desember
2008 dan belum pernah bercerai dan setelah akad nikah Tergugat membaca
sighat taklik talak;
Menimbang, bahwa Penggugat mengajukan dua orang Saksi, yaitu di
bawah sumpahnya, kedua orang saksi tersebut telah memenuhi syarat formil
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 144, 145, 146 dan 147 HIR;
Menimbang, bahwa keterangan dari saksi-saksi Penggugat memiliki
sumber pengetahuan yang jelas, serta antara keterangan dari kedua Saksi
Penggugat saling bersesuaian dan mendukung dalil-dalil gugatan Penggugat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170, 171 dan 172 HIR, dengannya juga
telah memenuhi syarat materiil pembuktian saksi, sehingga keterangan saksi
pertama dan kedua Penggugat dapat dipertimbangkan lebih lanjut;
Menimbang, bahwa saksi-saksi Penggugat di persidangan menerangkan
bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri sah yang pada awalnya
kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun dan harmonis
kemudian rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak rukun;
Hal. 10 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
Menimbang, bahwa saksi-saksi Penggugat menerangkan jika antara
Penggugat dan Tergugat tidak rukun karena Tergugat pergi meninggalkan
Penggugat sehingga keduanya sudah tidak tinggal bersama kurang lebih
6 tahun lamanya dan selama itu Tergugat tidak pernah kembali ke tempat
kediaman bersama serta tidak ada nafkah yang diberikan oleh Tergugat dan
Tergugat tidak ada meninggalkan harta yang dapat digunakan oleh Penggugat
sebagai penghidupan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bahkan
Tergugat sudah tidak mengurus, membiarkan dan tidak mempedulikan
Penggugat lagi bahkan Tergugat tidak diketahui keberadaannya;
Menimbang, bahwa saksi-saksi Penggugat memberikan keterangan
bahwa saksi-saksi telah menasehati Penggugat agar bersabar
mempertahankan rumah tangganya namun Penggugat tetap ingin bercerai
dengan Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap alat bukti
surat, saksi-saksi dan keterangan Penggugat dipersidangan, maka Majelis
Hakim telah menemukan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah yang telah
menikah pada tanggal 1 Desember 2008;
2. Bahwa sesudah akad nikah Tergugat mengucapkan sighat taklik talak;
3. Bahwa pada awalnya rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun namun
kemudian Tergugat pergi meninggalkan Penggugat dan selama Tergugat
pergi, Tergugat tidak pernah memberikan nafkah wajib kepada Penggugat,
telah melalaikan kewajibannya dan telah membiarkan atau tidak
mempedulikan Penggugat sampai dengan sekarang telah kurang lebih
6 tahun lamanya;
4. Bahwa terhadap perbuatan Tergugat tersebut, Penggugat telah
menyatakan dan menunjukkan sikap tidak ridha;
Hal. 11 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
5. Bahwa saksi telah memberikan nasehat kepada Penggugat agar
mempertahankan rumah tangganya namun Penggugat tetap ingin bercerai
dengan Tergugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta angka 1 maka terbukti bahwa
Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah dan belum pernah
bercerai;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta angka 2 terbukti bahwa Tergugat
telah mengucapkan sighat taklik talak dimana taklik talak tersebut merupakan
perceraian bersyarat dan tidak dapat dicabut kembali serta dinyatakan jatuh
demi hukum jika persyaratan tersebut terwujud;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta angka 3 di atas, terbukti bahwa
antara Penggugat dengan Tergugat telah pisah tempat tinggal hingga kini telah
kurang lebih 6 tahun lamanya karena Tergugat telah pergi meninggalkan
Penggugat dan selama itu Tergugat tidak pernah lagi memberi nafkah wajib
kepada Penggugat dan telah membiarkan atau tidak memperdulikan
Penggugat, oleh karenanya Tergugat telah melanggar sighat taklik talak yang
diucapkannya sewaktu akad nikah yaitu angka 1, 2 dan angka 4 (meninggalkan
isterii dua tahun berturut-turut, tidak memberi nafkah wajib selama 3 bulan
lamanya dan membiarkan atau tidak mempedulikan 6 bulan lamanya)
sebagaimana yang terdapat dalam Kutipan Akta Nikah Penggugat dan
Tergugat, dan terhadap perlakuan Tergugat tersebut ternyata Penggugat tidak
ridha sebagaimana fakta angka 4 selanjutnya di persidangan Penggugat telah
membayar iwadh sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu sebesar
Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dengan demikian syarat taklik talak telah
terpenuhi;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim perlu juga mengetengahkan doktrin
hukum yang diambil alih sebagai sandaran pertimbangan dari Kitab Syarqawy
Alat Tahrir juz II halaman 302 yaitu:
وقع بصفة طلقا علق ومن بوجودها عمال بمقتضى اللفظ
Hal. 12 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
Artinya : Barang siapa menggantungkan talak dengan suatu sifat, maka
jatuhlah talaknya dengan adanya sifat-sifat tadi sesuai dengan
lafalnya;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta angka 5 dimana saksi-saksi telah
menasehati Penggugat agar mempertahankan rumah tangganya dan Majelis
telah berusaha mendamaikan Penggugat dengan cara memberi nasehat
kepada Penggugat agar rukun lagi dengan Tergugat, namun Penggugat tetap
ingin bercerai dengan Tergugat maka Majelis Hakim menilai bahwa tidak
adanya keinginan lagi bagi Penggugat untuk meneruskan rumah tangganya
bersama dengan Tergugat dan antara keduanya telah sulit disatukan kembali
untuk menjadi rumah tangga harmonis, sejahtera lahir dan batin, sehingga
tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang
nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia tidak dapat diwujudkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka alasan perceraian Penggugat tidak melawan hak dan beralasan,
selain itu terbukti Tergugat melanggar pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan serta telah memenuhi ketentuan Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Pasal 116 huruf
(g) Kompilasi Hukum Islam, sehingga gugatan Penggugat petitum angka 2
dikabulkan dengan menjatuhkan thalak satu khul’i Tergugat terhadap
Penggugat dengan iwadh sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah);
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan,
maka sesuai ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama, biaya perkara dibebankan kepada Penggugat;
Mengingat pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini;
Hal. 13 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
MENGADILI
1. Menyatakan, Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
menghadap di persidangan tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan penggugat dengan Verstek;
3. Menjatuhkan talak satu khul’i Tergugat (Munir Bin Mustopa) terhadap
Penggugat (Ai Ratnasih Binti Abas) dengan iwadl Rp. 10.000,00 (sepuluh
ribu rupiah);
4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp. 311.000,00 ( tiga ratus sebelas ribu rupiah);
Demikian putusan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan Majelis
yang dilangsungkan pada hari Selasa tanggal 18 Desember 2018 Masehi,
bertepatan dengan tanggal 9 Rabiul Akhir 1440 Hijriah, oleh kami Siti Alosh
Farchaty, S.H.I sebagai Ketua Majelis, Mustolich, S.H.I dan Ana Faizah, S.H.
masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga, oleh Ketua Majelis tersebut
dengan didampingi oleh Hakim Anggota dan dibantu oleh Hj. Dewi Nurul
Mustaqimah, S.Ag sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Penggugat
tanpa hadirnya Tergugat;
Hakim Anggota,
ttd
Mustolich, S.H.I
Ketua Majelis,
ttd
Siti Alosh Farchaty, S.H.I
Hakim Anggota,
ttd
Ana Faizah, S.H.
Panitera Pengganti,
ttd
Hj. Dewi Nurul Mustaqimah, S.Ag
Hal. 14 dari 14 hal. Putusan Nomor 535/Pdt.G/2018/PA.Bjr
Perincian biaya :
1. Pendaftaran Rp. 30.000,00 2. Proses Rp. 60.000,00 3. Panggilan Rp.210.000,00 4. Redaksi Rp. 5.000,00 5. Meterai Rp. 6.000,00
Jumlah Rp.311.000,00 ( tiga ratus sebelas ribu rupiah )