efektivitas dan perumusan strategi kebijakan … · pernyataan dengan ini saya menyatakan bahwa...
Post on 09-Mar-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EFEKTIVITAS DAN PERUMUSAN STRATEGI
KEBIJAKAN BERAS NASIONAL
Oleh :
PURDIYANTI PRATIWI
A14104107
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
Purdiyanti Pratiwi. Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras
Nasional. Di bawah bimbingan Muhammad Firdaus.
Beras adalah komoditas yang strategis secara ekonomi dan politis di Indonesia. Secara ekonomi, lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Industri industri beras juga menjadi penggerak perekonomian dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 12.5 juta rumah tangga petani dan sebagai salah satu sumber penerimaan GDP pertanian. Secara politis, ketersedian beras akan mempengaruhi kondisi politik dan kestabilan keamanan negara. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya campur tangan pemerintah dalam menjaga kondisi perberasan nasional. Campur tangan pemerintah terhadap ekonomi beras dilakukan melalui berbagai kebijakan dan lembaga pemerintahan seperti Deptan, BULOG dan Depdag.
Tingginya konsumsi beras rata-rata penduduk (139,15kg/kap/th) membuat Indonesia menjadi salah satu negara net importer beras tertinggi dunia (rataan konsumsi dunia 80-90kg/kap/th). Besarnya konsumsi sangat dipengaruhi jumlah penduduk, makin luasnya wilayah konsumsi dan gagalnya diversifikasi pangan. Periode 1996-1997 rasio ketergantungan impor beras mencapai 3,0 persen dan meningkat secara signifikan pada periode 1998-1999 hingga mencapai 11,7 persen (impor beras sebesar 4,8 juta ton). Pada waktu itu, rasio swasembada turun hingga mencapai 88 persen atau terendah sejak tahun 1990.
Upaya pemenuhan kebutuhan dapat dari produksi dalam negri maupun impor. Produksi dalam negri telah diupayakan melalui berbagai cara, namun produksi tetap stagnan. Sebenarnya impor dapat sangat membantu jika dalam jumlah dan waktu yang tepat terlebih karena harga beras dunia lebih rendah dari harga domestik. Namun pada tingkat berlebih, dapat mengganggu kemandirian pangan. Terlebih lagi, pasca ratifikasi WTO (1994), Indonesia wajib mematuhi semua kesepakatan yang tercantum didalamnya termasuk kesepakatan penurunan tarif impor antarnegara yang tertuang dalam Agreement on Agriculture (AoA-WTO). AoA-WTO terdiri atas tiga pilar utama yaitu 1) Akses Pasar (Market Access); 2) Subsidi Domestik (Domestic Support); 3) Subsidi Ekspor (Export Subsidies yang dinilai disinsentif untuk negara berkembang karena terdistorsi kebijakan negara maju melalui berbagai subsidi dalam blue box, green box dan amber box. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan kebijakan beras yang telah dilakukan oleh pemerintah, mengevaluasi hasil kebijakan yang sudah berjalan serta merumuskan strategi dan program kebijakan perberasan nasional. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara dan penyebaran kuesioner dengan responden terpilih. Terdapat dua kelompok responden yaitu kelompok pengambil kebijakan dan kelompok ahli perberasan independen. Untuk data sekunder, berupa data deret waktu (time series) selama 30 tahun (1978-2007). Jenis data yang digunakan meliputi data produksi padi dan beras, luas areal panen, tingkat produktivitas, konsumsi per kapita, jumlah impor, HPP gabah dan beras, NTP dan volume perdangangan beras dunia. Metode analisis menggunakan metode deskriptif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif menggunakan semantic differential scale untuk
membuat Diagram Ular (Snake Diagram), Pembobotan menggunakan paired-wise comparison, Matriks SWOT dan QSPM untuk menentukan prioritas strategi. Sedangkan untuk menentukan prioritas program peningkatan produksi padi menggunakan Proses Hierarki Analitik (PHA). Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Expert Choice 2000.
Melalui Inpres No. 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan, pemerintah terus berusaha agar Ketahanan Pangan Nasional terjaga sesuai dengan amanat UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Kebijakan perberasan nasional meliputi kebijakan produksi, impor, harga dan distribusi. Kebijakan produksi dilaksanakan melalui intensifikasi dengan meningkatkan produktivitas dan Indeks Pertanaman. Sedangkan ekstensifikasi dilakukan dengan memperluas area panen terutama di luar Jawa. Program peningkatan produksi padi (P4) dimulai dengan Padi Sentra (1959), Bimas (1965), Insus (1979) dan P2BN (2007).
Kebijakan Impor dilakukan melalui penerapan tarif impor spesifik Rp 450/kg (30% Ad Valorem), hambatan nontarif, Tariff Rate Quota (TRQ) dan red line. Pengenaan tarif ini justru mendorong terjadinya penyelundupan (under invoice) karena tingginya disparitas harga harga. Akhirnya tahun 2004 pemerintah mengeluarkan SK Menperindag No.9/MPP/Kep/1/2004 tentang importasi beras, juga dengan mengembalikan Bulog sebagai State Trading Enterprise (STE) yang mengatur impor, harga dan distribusi beras melalui SK Mendag No.1109 Th 2007.
Untuk melindungi petani, pemerintah mengeluarkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Tujuannya adalah memberikan jaminan harga bagi petani. Sedangkan untuk konsumen adalah pagu harga (ceilling price), Operasi Pasar Murni dan Raskin. Kebijakan distribusi dilakukan dengan menunjuk Bulog untuk mengelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1-1,5 juta ton beras untuk menjaga ketersediaan pangan sepanjang tahun. CBP terdiri dari stok operasi, buffer stock dan pipe line stock.
Hasil analisis diagram ular menggunakan semantic differential scale menunjukkan bahwa kebijakan distribusi dinilai paling efektif dengan nilai total rata-rata indikator sebesar 2,4. Hal ini karena spesifiknya wilayah kerja Bulog, hanya mengelola CBP melalui pengadaan dalam negeri, koordinasi antarwilayah dan hak istimewanya sebagai STE sehingga stok CBP dan penyaluran Raskin terjaga. Kemudian diikuti dengan kebijakan harga dengan skor total rataan indikator sebesar 2,4. Meskipun nilainya sama dengan kebijakan distribusi, namun responden menilainya tidak efektif. Rasionalisasai HPP belum bisa menutup kenaikan biaya produksi sehingga pendapatan petani tetap rendah. Penerapan ceilling price, OPM dan Raskin sebagai bentuk transfer pendapatan justru mendistorsi harga domestik, terlebih dengan kondisi pasar yang asimetris.
Kebijakan impor juga dianggap tidak efektif dengan skor rataan 2,35. Penetapan tarif impor justru memicu penyelundupan akibat tingginya paritas harga domestik dengan harga impor, meski jumlah impor turun. Ketidakefektifan tarif juga tercermin dari perbedaan data antara The Rice Trader dengan data BPS. Kebijakan produksi dinilai paling tidak efektif (2,25) karena pemerintah tidak mampu menahan laju konversi, banyak irigasi rusak dan menurunnya kualitas DAS membuat produktivitas stagnan dan IP rendah, sementara percetakan sawah baru sangat mahal dan lama. Ditambah dengan kegagalan diversifikasi pangan. Hasil semua kebijakan itu tercermin dari fluktuasi Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai indikator pengukur kesejahteraan petani.
Analisis faktor internal diperoleh bahwa total bobot kekuatan sebesar 0,523 dan total bobot kelemahan sebesar 0,477. Artinya dalam pelaksanaan strategi perberasan, kekuatan memberikan pengaruh lebih besar terhadap kesuksesan daripada kelemahan. Faktor Program P2BN dan G4PG memiliki bobot terbesar (0,073) dan Bulog kembali memonopoli impor dan menggendalikan harga sebesar 0,055 (terendah). Elemen kelemahan, bobot tertinggi adalah faktor tertinggalnya pengembangan infrastruktur produksi dan pascapanen (0,079) dan terendah adalah kegagalan program diversifikasi pangan (0,057). Analisis faktor eksternal diperoleh bobot rataan peluang adalah 0,527 dan bobot rataan ancaman 0,475. Pengembangan teknologi produksi, pascapanen dan pengolahan produk memiliki bobot tertinggi pada elemen peluang yaitu 0,120. Sedangkan bobot terendah (0,093) diberikan pada kesepakatan negara Kelompok G-33. Untuk elemen ancaman, perubahan iklim dan bencana alam mendapat bobot tertinggi (0,104) dan terendah untuk elemen ancaman adalah pada faktor berbagai bentuk subsidi pertanian oleh negara maju (0,088).
Berdasar analisis SWOT, diperoleh delapan strategi pengembangan perberasan. Berdasarkan analisis matriks QSP diperoleh bahwa strategi prioritasnya adalah mengkombinasikan kebijakaan protektif (pengenaan tarif dan nontarif) dengan kebijakan promotif melalui peningkatan produksi padi dengan Total Attractive Score (TAS) sebesar 5,575. Sedangkan prioritas terakhir dengan TAS terendah diberikan pada strategi Reformasi Agraria dengan nilai 4,102.
Analisis menggunakan Proses Hierarki Analitik (PHA) bertujuan menentukan prioritas program peningkatan produksi padi. Ada empat faktor pertimbangan utama keberhasilan produksi yaitu: jumlah luas lahan, tingkat produktivitas, Indeks Pertanaman dan lembaga penunjang. Masing-masing faktor juga dipengaruhi oleh berbagai sub faktor pertimbangan utama. Analisis horizontal faktor pertimbangan utama menunjukkan bobot tertinggi diberikan pada faktor jumlah luas lahan (0,419); produktivitas (0,323); IP (0,163) dan lembaga penunjang (0,094) dengan Rasio Inkonsistensi 0.02. Sedangkan dari analisis vertikal diperoleh bahwa prioritas alternatif program adalah dengan membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait (bobot 0,387); mengadopsi teknologi baru sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal (bobot 0,351) dan terakhir adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan insentif bagi pemilik (0,262) dengan Rasio inkonsistensi 0,02.
Langkah awal dalam mengembangkan ekonomi perberasan dapat dilaksanakan dengan melakukan studi komperehensif untuk meningkatkan akurasi data perberasan, melakukan koordinasi yang terintegrasi antarinstansi, meningkatkan komitmen dari seluruh otoritas pengambil kebijakan baik pusat maupun daerah dan melakukan pengawasan pelaksanaan kebijakan agar terlaksana secara efektif dan efisien. Saran penelitian selanjutnya dapat menganalisis secara kuantitatif indikator-indikator kebijakan beras.
EFEKTIVITAS DAN PERUMUSAN STRATEGI
KEBIJAKAN BERAS NASIONAL
Oleh:
PURDIYANTI PRATIWI
A14104107
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Skripsi : Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras
Nasional
Nama : Purdiyanti Pratiwi
NRP : A14104107
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D
NIP. 132 158 758
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL “EFEKTIVITAS DAN PERUMUSAN STRATEGI
KEBIJAKAN BERAS NASIONAL” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN
UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.
SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR
HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-
BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN
DALAM NASKAH.
Bogor, Mei 2008
Purdiyanti Pratiwi
A14104107
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Purdiyanti Pratiwi, dilahirkan di Banjarnegara
pada tanggal 20 November 1986. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara
dari pasangan Sukardi dan Marwati. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di SDN Wanakarsa 2, Banjarnegara. Kemudian tahun 2001
penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN Wanadadi 1,
Banjarnegara dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 4
Jogjakarta pada tahun 2004.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2004 sebagai mahasiswa program studi
Manajemen Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas pertanian.
Pada tahun yang sama, penulis juga telah menjadi mahasiswa di Universitas Gajah
Mada (UGM) di Jogjakarta.
Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif diberbagai organisasi
kemahasiswaan dan LSM seperti Koperasi Mahasiswa IPB (2004-2006), Uni
Konservasi Fauna IPB (2004-sekarang) dan sebagai volenter WALHI (2006-
2007). Penulis juga aktif mengikuti kompetisi tingkat perguruan tinggi dan
berhasil memperoleh beberapa penghargaan tingkat nasional.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa atas anugerah, berkat dan kasih
sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi penelitian
yang berjudul “Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras
Nasional” dengan baik. Skripsi ini ditulis sebagai persyaratan menyelesaikan
Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan kebijakan
perberasan, menganalisis efektivitas kebijakan perberasan yang telah berjalan,
merumuskan strategi pengembangan kebijakan perberasan dan merumuskan
program kebijakan peningkatan produksi padi nasional dalam upaya mewujudkan
swasembada pangan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini masih terdapat
kekurangan dan jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Namun dengan segala
keterbatasan yang ada, skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak
dalam usaha memajukan ekonomi perberasan di Indonesia.
Bogor, Mei 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan
petunjuk dan hidayah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Bapak , Ibu, Adikku dan Kakakku serta penghargaan pada
berbagai pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan
penyusunan skripsi ini baik berupa bimbingan, dukungan dan masukan, terutama
kepada:
1. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi, atas semua
masukan, bimbingan dan kesabarannya.
2. Ir. Lukman M Baga, MEc, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih
atas perhatian dan saran-saranya selama perkuliahan maupun saat
penyusunan skripsi.
3. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama dan responden
penelitian atas segala kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
4. Eva Yolynda A, SP, MM selaku dosen penguji komisi pendidikan atas
pelbagai perbaikan dalam penyempurnaan skripsi ini.
5. Yeka Hendra Fatika, SP dan Ibu Etriya, SP atas bimbingan, masukan, saran
baik selama perkuliahan maupun selama penulisan skripsi serta bantuannya
dalam menyebar kuesioner.
6. Keluarga besar Mbah Atmo dan Mbah Sambudi atas doa, kasih sayang dan
perhatiannya selama ini.
7. Teman-teman di Nusakambangan dan teman-teman AGB 41, terima kasih
atas dukungan, bantuan, persahabatan, perhatian dan kepedulianya.
8. Ir. Ning Pribadi, MS dan Dr. Kaman Nainggolan, MsC, Ir. Deshaliman, MM;
Dr. M. Fahri, MS, Ibu Handewi P. Saliem, MS, Ir. Bubun Subroto, Prof. Dr.
Andi Hasanuddin selaku responden dan seluruh staf Deptan dan staf
Departemen Agribisnis atas bantuannya selama pengambilan data
9. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini maupun semasa
kuliah yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................... i
DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... v
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 7
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10
1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................................... 10
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ......................................... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Produksi Beras ........................................................................................ 13
2.2. Konsumsi Beras ...................................................................................... 14
2.3. Konsep Ketahanan Pangan ..................................................................... 15
2.4. Penelitian mengenai Permintaan dan Penawaran Beras ......................... 17
2.5. Penelitian Mengenai Kebijakan Impor ................................................... 18
2.6. Penelitian Mengenai Kebijakan Harga ................................................... 18
2.7. Penelitian Mengenai Kebijakan Distribsi ............................................... 19
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................. 20
3.1.1 Teori Permintaan dan Penawaran ................................................. 20
3.1.2 Teori Perdagangan Internasional .................................................. 21
3.1.3 Kebijakan Perdagangan Internasional ........................................... 24
3.1.4.Perjanjian Perdagangan Internasional ........................................... 28
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................... 31
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 32
4.2. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 32
4.3. Metode Penarikan Sampel ...................................................................... 33
4.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data ................................................... 35
4.4.1 Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ................................... 36
4.4.2 Matriks SWOT .............................................................................. 39
4.4.3 Matriks QSP .................................................................................. 40
4.4.4 Diagram Ular ................................................................................ 43
4.4.5 Proses Hierarki Analitik ................................................................ 45
ii
V. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN BERAS NASIONAL
5.1. Kebijakan Produksi ................................................................................ 52
5.2. Kebijakan Impor ..................................................................................... 56
5.3. Kebijakan Pengendalian Harga .............................................................. 57
5.4. Kebijakan Distribusi .............................................................................. 60
VI. EFEKTIVITAS KEBIJAKAN BERAS DI INDONESIA
6.1. Indikator-Indikator Efektivitas Kebijakan .............................................. 61
6.1.1. Kebijakan Produksi ...................................................................... 63
6.1.2. Kebijakan Impor .......................................................................... 72
6.1.3. Kebijakan Harga .......................................................................... 74
6.1.4. Kebijakan Distribusi .................................................................... 78
6.2. Penilaian Efektivitas Kebijakan Beras Nasional .................................... 82
6.3. Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Kesejahteraan Petani ............ 99
VII. PRIORITAS STRATEGI KEBIJAKAN PERBERASAN
7.1. Identifikasi Faktor Strategis Internal ...................................................... 106
7.1.1. Kekuatan ...................................................................................... 106
7.1.2. Kelemahan ................................................................................... 112
7.2. Identifikasi Faktor Strategis Eksternal ................................................... 117
7.2.1. Peluang ......................................................................................... 117
7.2.2. Ancaman ...................................................................................... 120
7.3. Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ............................................ 125
7.3.1. Pembobotan Faktor Internal ......................................................... 125
7.3.2. Pembobotan Faktor Eksternal ...................................................... 127
7.4. Matriks SWOT ....................................................................................... 130
7.5. Analisis Matriks QSP (Quantitative Strategic Planning) ...................... 135
VIII. PRIORITAS PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI
8.1. Identifikasi Faktor dan Sub Faktor Pertimbangan Utama Penyusun
Program Peningkatan Produksi Padi ...................................................... 138
8.1.1. Luas Lahan ................................................................................... 139
8.1.2. Tingkat Produktivitas ................................................................... 141
8.1.3. Indeks Pertanaman ....................................................................... 144
8.1.4. Lembaga Penunjang ..................................................................... 146
8.2. Analisis Model Pemilihan Alternatif Program Peningkatan Produksi ... 148
8.3. Analisis Hasil Pengolahan Horizontal .................................................... 150
8.4. Analisis Hasil Pengolahan Vertikal ........................................................ 154
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan ............................................................................................. 156
9.2. Saran ....................................................................................................... 158
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 159
LAMPIRAN ....................................................................................................... 163
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Tahun 1999-2007.................. 2
2. Jumlah Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Periode 1995-2004 ............... 5
3. Produksi Beras Dunia Tahun 2003-2007 ...................................................... 7
4. Ringkasan Jenis Data, Sumber Data dalam Penelitian .................................. 33
5. Pembobotan Faktor Internal .......................................................................... 37
6. Pembobotan Faktor Eksternal ....................................................................... 38
7. Penilaian Bobot Indikator Keberhasilan Beras Nasional .............................. 38
8. Matriks Perencanaan Strategi Kuantitatif (QSPM) ....................................... 42
9. Nilai Skala Banding Berpasangan ................................................................. 47
10. Program Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi Anjuran ............. 54
11. Konversi Lahan Sawah Selama Tahun 2000-2002 ....................................... 64
12. Produksi Padi Beberapa Provinsi Sentra Beras Nasional (Ton) .................... 69
13. Produksi Beras dan Tanaman Pangan Utama Lainnya (000 ton) .................. 71
14. Harga Rata-Rata Beras di Tingkat Konsumen di Kota Besar ....................... 77
15. Nilai Rata-Rata Penilaian Indikator Kebijakan Perberasan........................... 83
16. Impor Beras dari Berbagai Sumber Periode 1996-2005 (Ton) ..................... 93
17. Perlindungan Impor Beras pada Berbagai Negara ........................................ 95
18. Perkembangan Produksi dan Perdagangan Beras Dunia Periode
1995-2006 (000 ton) ...................................................................................... 123
19. Pembobotan Faktor Internal .......................................................................... 127
20. Pembobotan Faktor Eksternal ....................................................................... 129
21. Matriks SWOT Kebijakan Beras ................................................................... 134
22. Rataan Matrik QSP Menurut Keempat Responden ....................................... 137
23. Urutan Prioritas Faktor Pertimbangan Utama yang Mempengaruhi Program
Peningkatan Produksi Padi ............................................................................ 150
24.Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan
Produksi Padi terhadap Faktor Luas Lahan ................................................... 151
25.Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan
Produksi Padi terhadap Faktor Produktivitas ................................................ 152
26.Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan
Produksi Padi terhadap Faktor Indeks Pertanaman ....................................... 153
27.Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program Peningkatan
Produksi Padi terhadap Faktor Lembaga Penunjang ..................................... 153
28. Urutan Prioritas Alternatif Program Peningkatan Produksi Padi .................. 154
29.Urutan Prioritas Alternatif Program Peningkatan Produksi Padi dari Hasil
Pengolahan Vertikal ...................................................................................... 155
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional ......................................... 23
2. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................................. 29
3. Matriks SWOT .............................................................................................. 40
4. Contoh Quesioner Semantic Differential Scale ............................................. 44
5. Skema Diagram Ular ..................................................................................... 45
6. Matriks Pendapat Individu ............................................................................ 48
7. Matriks Pendapat Gabungan.......................................................................... 48
8. Perkembangan Luas Areal Tanam Padi Tahun 1978-2007 ........................... 65
9. Dampak Kumulatif Konversi Sawah Terhadap Masalah Pangan ................. 66
10. Perkembangan Produktivitas Padi Tahun 1978-2007 ................................... 68
11. Perkembangan Jumlah Impor Beras Tahun 1986-2006 (ton) ...................... 73
12. Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering Panen dan Gabah
Kering Giling di Tingkat Petani Periode 2000-2007 ..................................... 76
13. Realisasi Pengadaan Beras Dalam Negri oleh Bulog (ton) ........................... 79
14. Pola Distribusi Beras Dalam Negri Tahun 2004 ........................................... 80
15. Perkembangan Realisasi Raskin Dari Tahun 2000-2007 .............................. 82
16. Penilaian Keberhasilan Kebijakan Beras Menurut Responden di Bidang
Keahlian Ekonomi Pertanian, Teknologi dan Budidaya Pertanian ............... 84
17. Diagram Ular Kebijakan Beras Menurut Responden Peneliti dari Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian ............................................. 85
18. Perkembangan Konsumsi Per Kapita Beras 1978-2006 (Ton)...................... 89
19. Perkembangan Produksi, Konsumsi Padi dan Beras 1987-2007 (Ton) ........ 91
20. Perkembangan Nilai Nilai Tukar Petani Padi Periode 1992-2007 ................ 101
21. Perkembangan Harga Gabah dan Beras Rill Tahun 1993-2007 .................... 103
22. Struktur Hierarki Program Kebijakan Peningkatan Produksi Padi ............... 149
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data Produksi, Luasan Panen dan Produktivitas Padi di Indonesia ............. 164
2. Data Impor, Konsumsi dan Tarif Impor Beras .............................................. 165
3. Data Perkembangan NTP Agregat di 14 Provinsi di Indonesia Tahun
1994-2006 (1993=100) .................................................................................. 166
4. Harga Dasar Gabah dan Harga Rata-Rata Gabah di Tingkat Produsen
Tahun 2000-2007 .......................................................................................... 167
5. Realisasi Raskin Tahun 2000-2007 ............................................................... 168
6. Realisasi Pengadaan Dalam Negri Tahun 200-2007 (ton setara beras) ........ 169
7. Pembobotan Rata- Rata Faktor Strategis Internal ......................................... 170
8. Pembobotan Rata- Rata Faktor Strategis Internal ......................................... 170
9. Hasil Analisis QSPM ..................................................................................... 171
10. Hasil Pengolahan Horizontal dengan Expert Choice 2000 ........................... 176
11. Hasil Pengolahan Vertikal dengan Expert Choice 2000 ............................... 177
12. Data Responden dalam penelitian ................................................................. 178
13. Kuesioner Efektivitas Kebijakan Perberasan di Indonesia ............................ 181
14. Kuesioner QSPM ........................................................................................... 182
15. Kuesioner Proses Hierarki Analitik (PHA) ................................................... 190
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beras merupakan komoditi strategis dan penting bagi rakyat Indonesia.
Selain karena lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai
makanan pokoknya (staple food), beras juga menjadi industri yang strategis bagi
perkonomian nasional. Sawit (2005) menyatakan bahwa sumbangan industri beras
terhadap GDP pertanian mencapai 28,8 persen pada tahun 2005, penyerapan
tenaga kerja mencapai 28,79 persen dari total penyerapan tenaga kerja di sektor
pertanian (agriculture employment) atau setara dengan 12,05 juta orang. Jumlah
ini adalah jumlah terbesar dibandingkan industri lain di tanah air.
Selain bernilai strategis dari sisi ekonomi, beras juga penting sebagai
instrumen untuk menjaga kestabilan keamanan pangan rakyat Indonesia. Sejarah
telah membuktikan bahwa ketidakstabilan persediaan pangan khususnya beras
telah memicu terjadinya kerusuhan dan tindak kriminal pada periode awal
reformasi. Hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya peran dan campur tangan
pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang
merata dan harga yang stabil. Karena itu beras diperlakukan sebagai komoditi
yang strategis secara politis.
Selama beberapa dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah
mengeluarkan berbagai kebijakan perberasan agar ketahanan pangan dapat
tercapai sesuai yang diamanatkan dalam UU No.7 tahun 1996 tentang Pangan.
Campur tangan pemerintah dilakukan melalui berbagai lembaga yang memiliki
otoritas dalam ekonomi perberasan seperti Departemen Petanian, Departemen
2
Perdagangan serta Badan Urusan Logistik (Bulog). Konsep ketahanan pangan
tidak hanya meliputi ketersediaan pangan dalam jumlah cukup, tetapi juga mutu
dan gizi yang seimbang, aman dikonsumsi serta dapat dijangkau oleh individu.
Kebijakan perberasan di Indonesia meliputi kebijakan produksi, distribusi,
impor dan pengendalian harga domestik dalam rangka menjaga ketahanan
pangan nasional. Kebijakan produksi pangan, terutama padi, telah dituangkan
melalui Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang dukungan dalam rangka meningkatkan
produktivitas padi di Indonesia. Sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan
berbagai paket teknologi seperti Bimbingan Masal (Bimas) tahun 1965,
Intensifikasi Khusus (Insus) tahun 1979 dan Supra Insus tahun 1987. Sehingga
tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras. Namun kondisi tersebut
hanya berlangsung sementara karena setelah itu Indonesia harus mengimpor
beras untuk memenuhi kebutuhannya.
Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi dari Tahun1999-2007
Tahun
Luas
Panen (Ha)
Produktivitas
(Ton/Ha)
Produksi
Padi (Ton)
Produksi
Beras (Ton)
Pertumbuhan
Produksi
Beras (%)
1998 11730325 4,197 50866387 32045824 3,02
1999 11963204 4,252 49236692 31019116 -3,20
2000 11793475 4,401 51898852 32696277 5,40
2001 11499997 4,388 50460762 31790280 -2,80
2002 11521166 4,469 51489694 32438507 2,04
2003 11488034 4,538 52137604 32846691 1,26
2004 11922974 4,536 54088468 34075735 3,74
2005 11839060 4,574 54151097 34075735 0,43
2006 11786430 4,620 54454937 34306610 0,24
2007* 12165607 4,689 57048558 35940591 4,76
Sumber: BPS (2007), diolah Keterangan: *) ARAM III Konversi gabah ke beras adalah 63,2% (BPS)
3
Dari Tabel 1 terlihat bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir
telah terjadi peningkatan produksi padi, meskipun cenderung fluktuatif. Tingkat
pertumbuhan produksi beras rata-rata sekitar 2,08 persen per tahun atau setara
dengan satu juta ton beras. Penurunan produksi yang terjadi pada tahun 1999
sebesar 3,20 persen disebabkan oleh bencana El-Nino tahun 1998 sehingga
berpengaruh terhadap jumlah panen tahun berikutnya. Penurunan produksi juga
disebabkan oleh penurunan luas panen akibat konversi, pengunaan input yang
kurang berkualitas, degradasi kualitas lahan, penurunan rendemen beras dan
teknologi pascapanen yang kurang tepat. Penurunan rendemen padi menjadi
determinan yang penting dalam produksi beras di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena setiap penurunan rendemen beras sebesar 1 persen, berarti produksi beras
akan hilang sebesar 0,5 juta ton beras. Nilai ini menjadi penting untuk
diperhatikan mengingat Indonesia merupakan net importer beras dunia dengan
jumlah penduduk yang besar.
Setelah tahun 2002, produksi padi terus meningkat secara positif meskipun
pertumbuhannya sangat fluktuatif. Peningkatan produksi didorong dengan adanya
peningkatan luas areal tanam dan peningkatan produktivitas. Pascakrisis ekonomi
tahun 1998, produktivitas terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 4,46
persen per tahun. Kenaikan yang cukup besar terjadi pada tahun 2007 yaitu 4,76
persen. Hal ini didorong oleh adanya kebijakan Peningkatan Produksi Beras
Nasional (P2BN) pada awal tahun 2007. Selain itu, pertumbuhan produksi juga
dipicu oleh adanya kebijakan harga, baik Harga Dasar ataupun Harga Pengadaan
Pemerintah (procurement price) yang bertujuan untuk mengurangi kerugian
produsen padi akibat tingginya biaya produksi.
4
Dilihat dari jumlah produksinya, Indonesia merupakan salah satu negara
produsen padi terbesar di dunia dengan produksi beras mencapai 34 juta ton per
tahun. Namun tingginya tingkat konsumsi beras nasional yang tidak diimbangi
dengan peningkatan produksi yang memadai membuat Indonesia menjadi salah
satu net importer beras terbesar di dunia sejak tahun 1998. Kariyasa (2003)
mencatat bahwa Indonesia mengimpor hampir 50 persen dari stok total beras
dunia atau rata-rata sebesar 1,5 juta ton per tahun selama periode tahun 1990-99.
Konsumsi rata-rata beras per kapita rakyat Indonesia adalah 139
kg/kapita/tahun. Nilai ini jauh lebih tinggi daripada konsumsi ideal yaitu sebesar
80-90 kg/kapita/tahun (Kariyasa, 2003). Faktor utama yang mendorong tingginya
konsumsi adalah jumlah penduduk yang besar. Ditambah lagi dengan semakin
meluasnya wilayah yang mengkonsumsi beras sebagai makanan utamanya. Jika
pada tahun 90-an hanya ada tiga provinsi yang mengkonsumsi beras, kini hampir
seluruh wilayah Indonesia telah berubah menjadi konsumen beras. Tingginya
tingkat konsumsi ini membuat ketergantungan Indonesia akan beras impor
semakin meningkat karena ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan domestik.
Besarnya kebutuhan beras juga didorong oleh meningkatnya industri pangan dan
ditambah dengan gagalnya program diversifikasi pangan pokok. Kegagalan
diversifikasi pangan menjadi persoalan tersendiri bagi bangsa Indonesia karena
dipicu pola budaya makan rakyat Indonesia yang merasa belum makan jika belum
mengkonsumsi nasi, meskipun kebutuhan karbohidratnya sudah dipenuhi dari
makanan lain.
5
Tabel 2. Jumlah Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Periode 1995-2006
Tahun
Produksi Beras
(Ton)
Impor Beras
(Ton)
Konsumsi Total
(Ton)
Sisa Stok
( Ton)*
1995 32333691 1807875 29315000 4826566
1996 32193949 2149753 31328000 3015702
1997 31107544 349681 27721000 3736225
1998 32045824 2895118 25330000 9610942
1999 31019116 4751398 25468000 10302514
2000 32696277 1355666 25572000 8479943
2001 31790280 644733 25714000 6721013
2002 32438507 1805380 25888000 8355887
2003 32846691 1428506 25985000 8290197
2004 33456854 236867 26247000 7446721
2005 34075735 189617 29251000 5014352
2006 34306610 438108 31627628 3117090
Sumber: BPS dari berbagai tahun.
*) Sisa Stok = Produksi Beras + Impor Beras – Konsumsi Total
Jumlah impor beras dalam kurun waktu 1995-1999 relatif lebih tinggi
daripada periode 2000-2006. Pada periode 1996-1997 rasio ketergantungan impor
beras mencapai 3,0 persen dan meningkat secara signifikan pada periode 1998-
1999 hingga mencapai 11,7 persen. Nilai ini setara dengan 15 persen total volume
perdagangan beras di pasar dunia. Pada waktu itu, rasio swasembada turun hingga
mencapai 88 persen atau terendah sejak tahun 19901. Pascakrisis jumlah impor
beras ke Indonesia terus mengalami penurunan. Penurunan ini dipicu oleh
kebijakan tarif impor beras spesifik (Ad valorem) pada Januari tahun 2000. Selain
pengenaan hambatan tarif, masuknya beras impor juga dikenai inspeksi fisik yang
ketat (red line) untuk mengefektifkan adanya tarif impor. Pengenaan tarif impor
sebesar Rp.430/kg terbukti mampu mengurangi jumlah beras impor (Tabel 2),
meskipun pada sisi lain pengenaan tarif justru menimbulkan penyelundupan
1 Husein Sawit dan Lokollo (2007) dalam artikel Usulan Kebijakan Beras dari Bank Dunia: Resep
Yang Keliru.
6
(under invoice) beras ke Indonesia akibat tingginya disparitas harga beras impor
terhadap harga beras domestik. Akibat adanya berbagai kesulitan penerapan tarif,
akhirnya pada Januari 2004 pemerintah mengeluarkan SK Menperindag
No.9/MPP/Kep/1/2004 tentang larangan dan aturan importasi beras ke Indonesia.
Disparitas harga beras terjadi karena harga beras di pasar dunia jauh lebih
rendah daripada harga beras domestik. Jumlah beras impor yang masuk terlalu
besar akan dapat merusak keseimbangan harga beras domestik yang akibatnya
berpengaruh terhadap pendapatan petani padi dalam negeri. Karena itu untuk
meningkatkan harga jual dan melindungi petani, pemerintah kemudian
menggunakan kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) yang kemudian diganti
menjadi Harga Pembelian Pemerintah (procurement price) sebagai instrumennya.
Namun kebijakan ini ternyata juga memiliki dampak negatif bagi petani sendiri
dan konsumen karena sebagian besar petani padi di Indonesia juga menjadi
konsumen beras. Karena itu, jika terjadi peningkatan harga di tingkat produsen
maka daya beli masyarakat (petani dan konsumen) akan menurun yang pada
akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan petani.
Berdasarkan penelitian, disebutkan bahwa hubungan antara harga produksi
pertanian di tingkat konsumen dan di tingkat petani bersifat asimetri (Simatupang,
1989)2. Itu artinya peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan
tidak sempurna dan lambat ke petani. Sedangkan penurunan harga beras di tingkat
konsumen ditransmisikan secara sempurna dan cepat ke petani. Begitu pun
dengan perubahan harga gabah. Mekanisme ini terjadi akibat struktur pasar beras
2 Simatupang dalam Husein Sawit (2007), artikel Usulan Kebijakan Beras dari Bank Dunia: Resep
Yang Keliru
7
dunia yang bersifat oligopoli dan kurang efektifnya peranan Bulog sebagai
lembaga yang bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dan impor beras.
1.2. Perumusan Masalah
Sebagai negara produsen terbesar ketiga di dunia (USDA,2007), Indonesia
seharusnya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi domestiknya. Mengingat
beras merupakan bahan makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk yang
memenuhi lebih dari 52 persen total kebutuhan kalori per hari (Sawit, 2005).
Adapun usaha pemenuhan kebutuhan konsumsi dapat ditempuh melalui dua cara
yaitu melaui produk domestik dan impor.
Tabel 3. Produksi Beras Dunia Tahun 2003-2007 (juta ton)3
Sumber: USDA ( 2007), diolah *) Perhitungan hingga bulan November tahun 2007
Pemenuhan dari produksi domestik telah dilakukan dengan berbagai cara
dan melalui berbagai kebijakan, tetapi hasilnya masih kurang optimal. Produksi
beras relatif stagnan meskipun pemerintah telah mendorong melalui mekanisme
harga dasar sebagai insentif untuk memacu petani berproduksi dan meningkatkan
pendapatan. Menurut Malian (2004), rendahnya pertumbuhan produksi juga
3 World Rice Production, Consumption and Stock. www.usda.gov. [20 November 2007]
Negara 2003 2004 2005 2006 2007*
China 112,462 125,363 126,414 127,800 129,500
India 88,530 83,130 91,790 92,760 92,000
Indonesia 35,024 34,830 34,959 33,300 34,000
Bangladesh 26,152 25,600 28,758 29,000 29,000
Vietnam 22,082 22,716 22,772 22,894 23,261
Thailand 18,011 17,360 18,200 18,250 18,400
Nyamnar 10,730 9,570 10,440 10,600 10,660
Lainnya 78,752 82,457 84,723 83,441 84,336
Total Dunia 391,743 401,026 418,056 418,045 421,157
8
dipengaruhi berbagai faktor, antara lain: 1) Penurunan tingkat rendemen padi
menjadi 63.2 persen pada tahun 2004 akibat penerapan teknologi yang tidak
sesuai anjuran dan penggunaan rice milling unit (RMU) yang sudah tua. Malian
mencatat bahwa dalam kurun waktu 50 tahun telah terjadi penurunan rendemen
padi sebesar 7,5 persen karena pada tahun 50-an tingkat rendemen padi mencapai
70 persen. 2) Minimnya modal yang dimiliki oleh petani, sedangkan pascakrisis
semua harga input seperti pupuk, pestisida dan biaya tenaga kerja mengalami
peningkatan. Akibatnya produktivitas cenderung menurun. 3) Adanya
kecenderungan lahan-lahan produktif di Indonesia, terutama di pulau jawa sudah
pada tahap pelandaian (levelling off). Ditambah lagi meningkatnya konversi lahan
pertanian ke nonpertanian akibat pertumbuhan penduduk dan industrialisasi
sehingga pemenuhan kebutuhan beras dari produksi dalam negeri kurang dapat
diandalkan.
Sumber pemenuhan lain yaitu melalui impor. Kebijakan impor beras
sebenarnya sangat membantu jika jumlah dan waktunya tepat. Mengingat dari sisi
ekonomi, harga beras impor jauh lebih murah dibanding harga beras domestik.
Namun pada tingkatan berlebih akan mengganggu kemandirian pangan suatu
negara sehingga perlu kebijakan-kebijakan untuk mengurangi dampak negatif
adanya impor. Kebijakan pengenaan tarif spesifik dan berbagai hambatan nontarif
pada komoditi pertanian termasuk beras merupakan salah satu upaya pemerintah
mengurangi ketergantungan impor. Akan tetapi kebijakan ini juga menimbulkan
masalah baru yaitu meningkatnya penyelundupan beras ke Indonesia yang dapat
merusak harga pasar dalam negeri.
9
Selain dari dalam negeri, tantangan juga datang dari luar negeri.
Pengenaan tarif impor mendapat tekanan dari negara-negara maju melalui
kerangka kesepakatan-kesepakatan multilateral (misalnya: adanya Agreement on
Agriculture, WTO) dengan dalih melanggar kesepakatan perdagangan bebas yang
telah disepakati sebelumnya. Meskipun menurut Sawit (2005), rendahnya harga
beras impor di pasar internasional disebabkan karena terdistorsi berbagai
kebijakan proteksi, subsidi ekspor dan subsidi domestik negara maju melalui
green box, blue box dan amber box. Sehingga petani Indonesia tidak mampu
bersaing di pasar beras dunia, karena harga yang terjadi di pasar tidak
mencerminkan biaya produksi.
Tingginya volume impor juga secara langsung akan berpengaruh terhadap
harga beras domestik. Sesuai dengan konsep permintaan dan penawaran, semakin
banyak jumlah impor maka semakin rendah harga beras domestik. Pada kondisi
ini diperlukan kebijakan pengendalian harga yang mampu melindungi
kepentingan produsen dan konsumen secara adil. Mekanisme kebijakan harga
melalui harga dasar yang selama ini dilakukan ternyata belum mampu
memberikan insentif yang sesuai pada petani padi.
Berbagai kebijakan perberasan yang telah dikeluarkan pemerintah
sebenarnya bertujuan akhir untuk mensejahterakan rakyat. Akan tetapi kebijakan-
kebijakan tersebut juga sangat dipengaruhi mekanisme perdagangan internasional
dan berbagai perubahan pada lingkungan internal maupun eksternal Indonesia.
Oleh karena itu perlu disusun kebijakan baik kebijakan produksi, impor, distribusi
dan pengendalian harga yang mampu memberi rasa keadilan bagi seluruh pelaku
ekonomi melalui sebuah mekanisme perdagangan.
10
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah perkembangan hasil kebijakan beras yang pernah
dilaksanakan di Indonesia?
2. Apakah pelaksanaan kebijakan beras yang sudah berjalan sudah mencapai
sasaran yang diharapkan?
3. Bagaimanakah strategi dan program kebijakan untuk mengembangkan
perberasan nasional?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya, secara umum penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi kebijakan beras nasional. Secara khusus penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mendeskripsikan perkembangan kebijakan beras nasional.
2. Mengevaluasi hasil kebijakan beras nasional yang sudah berjalan.
3. Merumuskan strategi dan program kebijakan perberasan nasional.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai berbagai
kebijakan perberasan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan. Dapat menjadi bahan masukan bagi para
pengambil kebijakan perberasan di Indonesia agar dapat merumuskan kebijakan
yang mampu memberikan perlindungan bagi petani produsen maupun konsumen
11
secara adil. Selain itu juga sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan
kebijakan perdagangan beras internasional agar tercapai perdagangan beras yang
adil (fair trade) di pasar internasional.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi
berbagai pihak yang terkait dalam industri beras untuk menyiapkan langkah-
langkah yang dapat mengingkatkan produksi dan produktivitas padi agar
kemandirian dan kecukupan pangan Indonesia segera tercapai. Sedangkan untuk
para akademisi, semoga penelitian ini dapat menjadi bahan informasi,
perbandingan dan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu kajian kritis mengenai efektivitas kebijakan
beras yang ada di Indonesia. Kebijakan yang dianalisis meliputi kebijakan
produksi beras nasional, kebijakan impor, kebijakan pengendalian harga dan
kebijakan distribusi beras. Ruang lingkup yang digunakan dalam penelitian ini
adalah skala nasional.
Bahasan mengenai kebijakan produksi lebih menekankan pada berbagai
kebijakan yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan
beras dalam negri. Aspek produksi yang dikaji adalah luas areal tanam, tingkat
produktivitas dan jumlah produksi beras. Kebijakan impor akan membahas
berbagai perubahan pada mekanisme impor yang dipengaruhi oleh perubahan
aturan dalam perjanjian perdagangan internasional WTO. Aspek utamanya adalah
tarif impor dan berbagai jenis restriksi nontarif. Kebijakan pengendalian harga
meliputi penerapan harga dasar pembelian pemerintah (HPP) dan berbagai jenis
operasi pasar dalam rangka melindungi produsen dan konsumen. Sedangkan
12
untuk kebijakan distribusi meliputi mekanisme distribusi beras yang dilakukan
Bulog dalam rangka menjamin ketahanan pangan rakyat dan keamanan stok
pangan nasional.
Keterbatasan penelitian ini terletak pada penggunaan data yaitu
penggunaan data tahunan sehingga fluktuasi bulanan (seperti harga) tidak dapat
diidentifikasi secara nyata. Beberapa faktor kritis juga tidak dimasukkan dalam
penelitian seperti inflasi, perubahan politik dan penguasa pemerintahan meskipun
beras diperlakukan sebagai komoditi politik. Penelitian ini hanya membahas
beras dari sudut pandang sebagai barang ekonomi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Produksi Beras
Produksi adalah suatu proses mengubah input menjadi output melalui
mekanisme sistem produksi baik berupa barang maupun jasa. Produksi beras
berarti proses perubahan input produksi hingga menjadi beras yang siap
dimanfaatkan oleh konsumen. Jumlah produksi beras di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh jumlah luasan panen dan tingkat produktivitas. Semakin luas
areal panen dan semakin tinggi produktivitas maka semakin besar jumlah
produksi. Selain kedua hal tersebut, produksi beras juga dipengaruhi oleh tingkat
konversi dari gabah ke beras. Di Indonesia, tingkat konversi (rendemen) gabah
sebesar 63,2 persen (BPS, 2007) dengan jumlah produksi beras berkisar antara 34
juta ton per tahun atau setara dengan 54 juta ton gabah kering giling (GKG). Nilai
rendemen ini menjadi penting karena untuk setiap penurunan sebesar 1 persen,
Indonesia akan kehilangan produksi beras sebesar 0,5 juta ton.
Meskipun terdapat kecenderungan peningkatan produksi dan
produktivitas, tetapi Indonesia belum mampu menyediakan kebutuhan pangan
domestiknya sendiri (swasembada). Hal ini disebabkan karena pertumbuhan
konsumsi beras nasional belum mampu diimbangi oleh pertumbuhan produksinya.
Stagnansi produksi beras juga dipengaruhi oleh sifat produksi padi yang musiman,
stagnansi produktivitas, penggunaan input yang kurang berkualitas, semakin
meluasnya alih fungsi lahan produktif, lemahnya penguasaan teknologi produksi
maupun pascapanen oleh petani dan pengaruh perubahan cuaca dan iklim yang
dapat menyebabkan terjadinya kegagalan panen.
14
Perubahan cuaca dan iklim dapat berpengaruh negatif maupun positif
terhadap produksi. Bila iklim mendukung, produksi padi pada suatu wilayah
biasanya akan meningkat. Tetapi bila iklim sedang tidak bersahabat, produksi di
wilayah tersebut akan menurun drastis. Selain itu padi juga merupakan salah satu
produk pertanian yang sangat rentan terhadap kerusakan (perishable). Karena itu
jumlah penawaran dan permintaan beras di pasar internasional sangat berfluktuasi
tergantung kondisi alam pada wilayah tersebut.
2.2. Konsumsi Beras
Konsumsi adalah proses menghabiskan barang atau jasa untuk memuaskan
keinginan (Lipsey, 1996). Konsumsi beras di Indonesia termasuk tertinggi di
dunia yang mencapai 32 juta ton beras pada tahun 2006 dengan konsumsi per
kapita sekitar 139,15 kg/tahun (BPS, 2007). Indonesia juga menjadi net importer
beras dunia meskipun menjadi produsen beras terbesar ketiga dunia setelah China
dan India dengan produksi sebesar 8 persen dari total produksi dunia pada tahun
20074.
Tingginya jumlah konsumsi dipengaruhi oleh tingginya jumlah penduduk
Indonesia yang makanan pokoknya beras. Tercatat lebih dari 90 persen penduduk
Indonesia mengkonsumsi beras. Jumlah ini semakin bertambah seiring dengan
pertumbuhan jumlah penduduk. Selain jumlah penduduk, meningkatnya
permintaan beras nasional dipengaruhi oleh beberapa faktor lain diantaranya
meningkatnya pendapatan masyarakat, stabilnya harga beras di pasaran,
berubahnya pola makanan pokok sebagian penduduk dari pangan nonberas
4 World Rice Trade. www.usda.gov [28 Desember 2007]
15
menjadi beras. Masyarakat Madura merubah pola konsumsinya dari jagung
menjadi beras, masyarakat Papua dari umbi-umbian menjadi beras. Hal ini
membuat semakin bertambahnya tingkat permintaan beras nasional. Selain itu,
permintaan beras juga didorong dengan semakin berkembangnya industri yang
memanfaatkan beras sebagai bahan bakunya.
2.3. Konsep Ketahanan Pangan
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 memberikan definisi ketahanan
pangan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sementara USAID (1992) mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai satu kondisi dimana masyarakat pada satu yang
bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik maupun ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dietary dalam rangka untuk peningkatan kesehatan dan
hidup yang lebih produktif. Perbedaan mendasar dari dua definisi ketahanan
pangan tersebut yaitu pada UU No 7/1996 menekankan pada ketersediaan, rumah
tangga dan kualitas (mutu) pangan. Sedangkan pada definisi USAID menekankan
pada konsumsi, individu dan kualitas hidup5.
FAO (1997) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi di mana
semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk
memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan di mana rumah tangga
tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal ini berarti konsep
ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses
5 Achmad Suryana dan Sudi Mardianto. 2003. Apa itu Ketahanan Pangan.
www.suarapembaharuandaily .com [21 Mei 2008]. Penulis adalah Kepala Litbang Badan
Ketahanan Pangan, Deptan dan Peneliti PSE-KP.
16
terhadap pangan-pangan utama. Determinan dari ketahanan pangan dengan
demikian adalah daya beli atau pendapatan yang memadai untuk memenuhi biaya
hidup (FAO, 1996).
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7
tahun 1996 tentang Pangan, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen
yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:
1. kecukupan ketersediaan pangan;
2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari
tahun ke tahun.
3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
4. kualitas/keamanan pangan
Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan
indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga
dihitung bertahap dengan cara menggambungkan keempat komponen indikator
ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga mengacu pada pangan yang cukup dan
tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan
kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga
dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan
pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk
Provinsi Lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga
dapat makan 3 kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah
tersebut. Indikator aksesibilitas dalam ketahanan pangan di tingkat rumah tangga
17
dilihat dari kemudahan rumahtangga memperoleh pangan, yang diukur dari
pemilikan lahan serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Ukuran
kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai
macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda., sehingga
ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari ada atau tidaknya bahan makanan
yang mengandung protein hewani atau nabati yang dikonsumsi rumah tangga6.
2.4. Penelitian Mengenai Permintaan dan Penawaran Beras
Rini Andriana (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jumlah
penawaran impor beras dunia terhadap Indonesia semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya produksi beras dunia. Peningkatan tersebut juga dipicu
dengan dukungan pemerintah negara eksportir pada petani melalui pemberian
insentif untuk meningkatkan produksi secara berkelanjutan. Selain itu dari segi
harga, harga beras impor relatif lebih rendah dibanding dengan harga beras
domestik. Dari sisi permintaan beras, yang dicerminkan dengan impor, jumlah
impor beras Indonesia cenderung menurun karena adanya peningkatan produksi
dalam negeri dan menurunnya konsumsi beras per kapita
Berbagai kebijakan perberasan sebenarnya telah ditetapkan oleh
pemerintah untuk melindungi petani maupun konsumen beras. Kebijakan untuk
melindungi petani seperti kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), namun
selama ini kebijakan tersebut belum berjalan secara efektif. Kebijakan untuk
melindungi konsumen melalui Operasi Pasar Murni (OPM), Operasi Pasar Khusus
(OPK) dan Raskin juga belum efektif karena tidak mampu menstabilkan harga.
6 Tim Puslit Kependudukan LIPI. 2005. Ketahanan Rumah Tangga.www.lipi.go.id [21 Mei 2007]
18
Sedangkan untuk kebijakan impor relatif sudah lebih baik dari sebelumnya
dengan diterapkannya tarif impor, pengaturan ijin, tatalaksana impor yang
ditujukan untuk melindungi produsen dan konsumen beras di Indonesia.
2.5. Penelitian Mengenai Kebijakan Impor
Tahun 2005, Lubis meneliti tentang kebijakan impor beras dan kaitannya
dengan diversifikasi pangan menggunakan data sekunder (time series) periode
tahun 1978-2002. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model
Pendekatan Simulasi Kebijakan (ATPSM - Agriculture Trade Policy Simulation
Model) dengan analisis regresi berganda.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa jumlah impor beras
dipengaruhi oleh harga di tingkat pedagang dan krisis yang terjadi. Pada kondisi
ini, kebijakan yang paling efektif untuk mengurangi impor adalah quota tariff
(out of quota tariff). Jumlah konsumsi dipengaruhi jumlah penduduk, harga terigu,
tingkat pendapatan dan harga beras di tingkat konsumen. Menurut Lubis,
kombinasi kebijakan peningkatan produksi beras dan subtitusinya akan
mengakibatkan bertambahnya variasi pangan pokok. Jika ini dilakukan dengan
pengurangan impor melalui quota tarif akan menurunkan ketersediaan pangan dan
mendorong diversifikasi pangan.
2.5. Penelitian Mengenai Kebijakan Harga
Pada tahun 2004, Ritonga meneliti keefektifan kebijakan harga dasar beras
menggunakan model ekonometrika permintaan dan penawaran beras dalam
bentuk persamaan simultan. Data yang digunakan adalah data sekunder (time
series). Dalam penelitiannya, Ritonga menyatakan bahwa faktor-faktor yang
19
mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran beras secara signifikan adalah
harga gabah di tingkat petani, teknologi yang digunakan, sarana produksi, tingkat
konversi lahan, harga beras eceran, pendapatan per kapita dan populasi penduduk.
Kebijakan peningkatan harga dasar memang meningkatkan pendapatan
petani di satu pihak, namun di pihak lain kenaikan harga dasar akan diikuti
dengan kenaikan harga beras eceran sehingga menurunkan kesejahteraan
konsumen. Secara agregat kebijakan tersebut telah menurunkan agregasi
kesejahteraan rakyat.
2.6. Penelitian Mengenai Distribusi Beras
Evy (2007) menyatakan bahwa adanya perbedaan jumlah permintaan dan
penawaran beras antarwaktu dan wilayah sebagai proses mekanisme pasar telah
mendorong perlunya distribusi yang baik antarwilayah. Hal ini juga terjadi di
wilayah DKI Jakarta yang merupakan salah satu wilayah defisit beras. Untuk
memenuhi kebutuhan penduduk, pemerintah daerah harus mendatangkan beras
dari daerah sekitarnya seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian
kecil dari luar Jawa. Tercatat pada tahun 2006 produksi padi lokal hanya 7.239 ton
sedangkan kebutuhan beras setiap hari mencapai 3000 ton. Sehingga sepanjang
tahun, DKI Jakarta mengalami defisit sekitar 1 juta ton beras. Untuk itu Pemda
DKI membangun PIC untuk mengatur arus distribusi beras dari dan ke Jakarta.
Dari hasil chow test model pertama diketahui bahwa faktor yang
berpengaruh nyata terhadap masuknya beras ke DKI Jakarta adalah tingkat
pendapatan daerah dan jumlah penduduk karena dapat mendorong meningkatnya
permintaan. Faktor daerah tujuan pemasaran, biaya transportasi antarwilayah,
tingkat produksi dan populasi daerah pemasok tidak berpengaruh nyata.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Teori Permintaan dan Penawaran
Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli
oleh konsumen selama periode tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Sedangkan
menurut Lipsey et al. (1995), permintaan adalah hubungan menyeluruh antara
kuantitas komoditas tertentu yang akan dibeli oleh konsumen selama periode
waktu tertentu dengan harga tertentu. Faktor–faktor yang mempengaruhi jumlah
permintaan suatu komoditas adalah harga komoditas itu sendiri, harga komoditas
lain, tingkat pendapatan, selera dan jumlah penduduk. Faktor-faktor tersebut dapat
digambarkan dalam sebuah fungsi, yaitu:
QD = f (Px, Py, I, S, Pop, ...) dimana:
QD = Jumlah komoditi yang diminta
Px = Harga komoditi X
Py = Harga komoditi Y
I = Pendapatan
Pop = Jumlah populasi
Sedangkan penawaran adalah jumlah suatu komoditas yang rela dan
mampu dijual oleh produsen dalam jangka waktu tertentu (Pappas dan Hirschey,
1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran adalah harga
komoditas itu sendiri, harga komoditas lain, harga input, tingkat penggunaan
teknologi, pajak dan subsidi serta tujuan perusahaan. Asumsi yang digunakan
dalam teori ini adalah ceteris paribus atau jika faktor lain dianggap tetap. Faktor-
21
faktor yang mempengaruhi penawaran dapat digambarkan dalam sebuah fungsi,
yaitu:
QS = f (Px, Py, Pi, r, T, ...) dimana:
QS = Jumlah komoditi yang ditawarkan
Px = Harga komoditi X
Py = Harga komoditi Y
Pi = Harga input
r = Biaya modal
T = Pajak
Teori ini diharapkan mampu menjelaskan keterkaitan faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran terhadap produksi dan
konsumsi beras dalam negeri.
3.1.2. Teori Perdagangan Internasional
Teori perdagangan internasional digunakan untuk menganalisa dasar
terjadinya perdagangan internasional dan keuntungannya. Terdapat dua kelompok
teori mengenai perdagangan internasional yaitu teori klasik dan teori modern.
Teori klasik terdiri dari Teori Keunggulan Absolut dari Adam Smith dan Teori
Keunggulan Komparatif dari David Ricardo. Sedangkan teori modern salah
satunya adalah Teori Faktor Proporsi dari Hecksher-Ohlin (Hady, 2001).
1. Teori Keunggulan Absolut
Dasar teori ini adalah bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat
perdagangan internasional (gain from trade) karena melakukan spesialisasi
produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan
mutlak dan akan mengimpor barang jika negara tersebut tidak memiliki
22
keunggulan absolut terhadap jenis barang tersebut. Inti dari teori ini adalah adanya
efisiensi penggunaan input, seperti tenaga kerja, akan sangat menentukan
keunggulan suatu negara dalam perdagangan. Sehingga bila hanya satu negara
yang memiliki keunggulan absolut untuk dua jenis produk, tidak akan terjadi
perdagangan yang saling menguntungkan (Tambunan dalam Hady, 2003).
2. Teori Keunggulan Komparatif
Kelemahan pada teori Adam Smith kemudian diperbaiki oleh David
Ricardo dengan Teori Keunggulan Komparatif. Pada teori ini, meskipun suatu
negara kurang efisien dalam memproduksi dua jenis produk, namun negara
tersebut masih dapat melakukan perdagangan internasional yang menguntungkan
pada produk yang memiliki biaya relatif lebih kecil dibanding produk lainnya.
Menurut David Ricardo, perdagangan antarnegara akan terjadi bila
masing-masing negara memiliki biaya relatif yang terkecil untuk jenis barang
yang berbeda. Perbedaan relatif harga-harga atas berbagai komoditi antara dua
negara merupakan pencerminan keunggulan komparatif yang menjadi dasar
hubungan dagang agar dapat saling menguntungkan (Salvatore,1997).
3. Teori Hecksher-Ohlin (H-O)
Teori ini menjelaskan bahwa pedagangan antara dua negara dapat terjadi
karena perbedaan kepemilikan sumber daya. Negara yang memilki sumber daya
yang relatif banyak akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barangnya. Sedangkan negara lain akan mengimpor barang yang sumber daya
yang relatif langka/mahal dalam memproduksinya. Misalnya, Perdagangan antara
Indonesia dan Jepang. Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja yang besar, lahan
yang luas dan sumber daya yang melimpah dibanding Jepang. Sedangkan Jepang
23
memiliki modal yang lebih banyak dari Indonesia. Struktur ini terbukti mampu
menciptakan perdagangan yang saling menguntungkan (Hady, 2001).
Pada dasarnya perdagangan antar negara dapat terjadi karena adanya
perbedaan jumlah permintaan dan penawaran suatu komoditas. Kelebihan
penawaran (excess supply) suatu negara dapat menjadi permintaan impor negara
lain yang mengalami kekurangan (excess demand). Selain jumlah permintaan dan
penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti harga
komoditas itu sendiri, harga barang subtitusi, dan berbagai hambatan perdagangan
(Salvatore, 1997).
Px/Py Px/Py Px/Py SB
PB Ekspor SA S* EB
P* E*
PA EA D* Impor DA
X X X
0 0 0 Pasar Negara A Pasar Internasional Pasar Negara B
Gambar 1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional
Sumber: Salvatore, 1997
Gambar di atas menunjukkan proses terjadinya perdagangan internasional
antara negara A dan B. DA dan SA adalah tingkat permintaan dan penawaran di
Negara A dengan harga pada titik PA, sedangkan DB dan SB pada negara B dengan
harga pada titik PB. Di negara A terjadi kelebihan penawaran suatu komoditas
(excess supply) sedangkan di negara B terjadi kelebihan permintaan suatu
komoditas (excess demand) karena tidak tercukupinya produksi dalam negeri.
24
Perdagangan kedua negara terjadi di pasar internasional dicerminkan pada
kondisi D* dan S* dengan tingkat harga P*. Harga pada tingkat P* lebih tinggi
daripada harga di pasar negara A yaitu sebesar P*-PA, sedangkan harga di negara
B lebih tinggi dari pasar internasional sebesar PB – P*. Karena itu negara B akan
memenuhi kelebihan permintaan dengan cara mengimpor dari negara A melalui
perdagangan internasional.
3.1.3. Kebijakan Perdagangan Internasional
Kesepakatan perdagangan bebas (free trade) dalam kerangka kerjasama
internasional seharusnya dapat meningkatkan keuntungan setiap negara yang
terlibat didalamnya. World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi
perdagangan internasional seharusnya mampu menciptakan mekanisme yang adil
dalam perdagangan sehingga tidak ada negara yang dirugikan akibat terjadinya
distorsi pasar melalui berbagai mekanisme hambatan.
Distorsi pasar terjadi akibat masih banyaknya negara yang menerapkan
berbagai jenis hambatan terutama negara-negara maju dengan dalih pengenaan
kebijakan perdagangan (trade policy) atau kebijakan komersil (commercial
policy). Hambatan ini berlaku terutama pada perdagangan produk-produk
pertanian. Hambatan perdagangan terdiri dari hambatan tarif dan hambatan
nontarif.
1. Hambatan Tarif (tariff barrier)
Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang
diperdagangkan melewati lintas batas teritorial. Tarif terdiri dari tarif ekspor
(export tariff ) dan tarif impor (import tariff). Menurut Salvatore (1997), tarif
impor adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari
25
negara lain. Pengenaan tarif impor akan berdampak pada penurunan konsumsi
domestik dan mendorong kenaikan produksi domestik. Berkurangnya volume
impor akan meningkatkan penerimaan dalam bentuk pajak serta terjadinya
redistribusi pendapatan dari konsumen ke produsen. Sedangkan tarif ekspor
adalah pajak yang dikenakan pada suatu komoditi yang akan diekspor.
Menurut Handono et.al (2004), berdasarkan tujuannya, penetapan tarif
terdiri atas:
a. Tarif Proteksi, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk mencegah
atau membatasi impor atas barang tertentu.
b. Tarif Revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk
meningkatkan penerimaan negara.
Karena itu Hamdy (2000) menyebutkan bahwa fungsi adanya bea masuk adalah
untuk mengatur perlindungan kepentingan ekonomi dalam negri (fungsi
regulend), sebagai sumber penerimaan negara (fungsi budgeter) dan fungsi
pemerataan distribusi pendapatan nasional.
Menurut Kariyasa (2003), ada tiga jenis tarif yang diberlakukan di
Indonesia dilihat dari cara penghitunganya, yaitu:
• Tarif ad valorem (ad valorem tariff) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan
angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Misalnya,
Indonesia mengenakan tarif 25 persen atas nilai impor beras dari Thailand.
• Tarif Spesifik (specific tariff) adalah pajak yang dikenakan sebagai beban tetap
unit barang yang diimpor, misalnya pungutan sebesar Rp.430/kg beras impor.
• Tarif Campuran adalah gabungan dari tarif ad valorem dan tarif spesifik.
26
2. Hambatan Nontarif (nontariff barrier)
Biasanya hambatan nontarif merupakan wujud campur tangan pemerintah
dalam memproteksi industri domestiknya. Berikut adalah bentuk-bentuk restriksi
perdagangan internasional:
• Kuota Impor (Quota Impor)
Kindleberger dan Lindert dalam Sawit (1978) menyatakan bahwa quota adalah
“a limit on the total quantity of import allowed into a country each year”.
Melalui quota dilakukan pembatasan jumlah impor terhadap suatu komoditi.
Biasanya pemerintah memberikan lisensi terhadap kelompok tertentu untuk
mengimpor yang jumlahnya sudah dibatasi. Menurut Irawan (2004), terdapat
beberapa alasan diberlakukanya quota impor di suatu negara.
a. Sebagai jaminan terhadap kemungkinan naiknya pengeluaran impor akibat
persaingan perdagangan luar negri yang memburuk.
b. Quota memberikan kekuatan dan fleksibilitas administrasi pada pemerintah.
Jika dilihat dari sisi ekonomi, penerapan quota tidak memberikan nilai tambah
kepada pemerintah karena tidak mempengaruhi penerimaan negara. Sehingga
penerapan kebijakan ini lebih bersifat protektif terhadap pihak tertentu.
• Subsidi Ekspor dan Impor
Subsidi ini dapat berupa pengurangan biaya ekspor/impor maupun berbagai
kemudahan lain seperti kemudahan administrasi, pemberian modal dan
pembangunan infrastruktur.
• Persyaratan-persyaratan Kesehatan
Persyaratan-persyaratan tertentu yang sengaja dibuat untuk mengurangi laju
impor suatu komoditi ke negara tersebut. Misalnya, Amerika selalu
27
mengangkat isu kesehatan manusia untuk menjatuhkan harga komoditas
pertanian yang akan masuk ke negara tersebut.
• Pajak Perbatasan
Pajak perbatasan adalah pajak tidak langsung yang dikenakan kepada
pengekspor (di luar tarif) untuk meringankan kewajiban pajak bagi importir
domestik.
• Dumping
Dumping adalah ekspor dari suatu komoditas yang harganya jauh di bawah
harga pasar, harga luar negeri lebih rendah daripada harga dalam negeri.
Dumping dibagi menjadi tiga yaitu: dumping terus-menerus, dumping predator
dan dumping sporadis.
Pembukaan perdagangan internasional beberapa komoditi pertanian oleh
pemerintah melalui impor merupakan salah satu bentuk liberalisasi perdagangan.
Sejarah telah mencatat bahwa setelah tahun 1998 pemerintah Indonesia telah
melakukan liberalisasi berbagai produk pertanian termasuk beras yang notabene
produk terpenting pertanian nasional. Peranan Bulog sebagai State Trading
Enterprise (STE) dicabut, tarif impor beras dibebaskan hingga 0 persen dan
pencabutan berbagai kebijakan subsidi serta liberalisasi tataniaga pupuk. Terlebih
lagi jika ini dikaitkan dengan berbagai perjanjian internasional yang ikut
disepakati pemerintah Indonesia seperti ratifikasi Agreement on Agriculture
(WTO) yang bertujuan untuk mereduksi berbagai hambatan perdagangan
antarnegara dalam rangka liberalisasi pasar.
Sebagian ahli berpendapat bahwa pelaksanaan liberalisasi akan
memberikan manfaat bagi perkonomian dan pembangunan pertanian Indonesia.
28
Namun untuk mencapai manfaat liberalisasi perdagangan secara optimal
diperlukan Undang-undang yang mengatur persaingan yang sehat dan melarang
praktek monopoli. Selain itu, setiap negara yang terlibat harus memiliki
kemampuan sumber daya yang sama sehingga tidak ada negara yang akan
dirugikan.
Meskipun terdapat sebagian pihak yang mendukung dilakukannya
liberalisasi perdagangan pada komoditi pertanian Indonesia, namun ada juga
sebagian pihak yang tidak setuju karena liberalisasi menimbulkan dampak negatif
bagi pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan daya saing produk pertanian
Indonesia belum sebanding dengan negara importir sehingga hanya akan
merugikan petani kecil. Selain itu berbagai jenis proteksi yang dilakukan negara
maju terhadap sektor pertanian melalui kebijakan harga (price support), subsidi
langsung (direct payment) dan bantuan pasokan (supply managemnet program)
telah menyebabkan distorsi perdagangan internasional produk pertanian dunia.
Rendahnya harga dunia hanya menyebabkan harga di negara pengimpor menjadi
tidak kompetitif sehingga kondisi persaingan menjadi tidak sehat.
3.1.4. Perjanjian Perdagangan Internasional
Pasca penandatangan ratifikasi pembentukan World Trade Organization
(WTO) melalui UU No.7 Tahun 1994, Indonesia berkewajiban mematuhi semua
perjanjian yang ada didalamnya termasuk Perjanjian Pertanian (Agreement on
Agriculture/AoA). Perjanjian ini bertujuan untuk melancarakan liberalisasi
perdagangan dunia termasuk produk pertanian. Dalam perjanjian ini terdapat tiga
pilar utama yaitu: 1) Akses Pasar (Market Access); 2) Subsidi Domestik
29
(Domestic Support); 3) Subsidi Ekspor (Export Subsidies) 7 . Di samping itu
terdapat perlakuan khusus dan berbeda untuk komoditi tertentu, sehingga
keberadannya perlu dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian Indonesia.
Sejak awal banyak negara berkembang yang meragukan akan manfaat
AoA-WTO karena adanya berbagai kelemahan dan bersifat disinsentif bagi
kebijakan pertanian negara berkembang seperti Indonesia. Kelemahannya antara
lain: 1) Sulitnya akses pasar negara berkembang ke negara maju karena sejak awal
tingkat tarifnya jauh lebih tinggi. 2) Banyaknya subsidi ekspor dan subsidi
domestik yang dilakukan negara maju untuk mendorong ekspor dari surplus
produksi yang tidak bisa dilakukan negara berkembang. 3) Tidak fleksibelnya
pengenaan tarif bagi negara berkembang untuk menyesuaikan dengan
perkembangan keadaan pada negara itu dalam menghadapi liberalisasi.
Perundingan mengenai liberalisasi sebenarnya telah dimulai pasca
penandatanganan Putaran Uruguay tahun 1986. Tujuanya adalah untuk mencegah
meningkatnya proteksionisme negara maju. Hasil perundingan itu antara lain
kesepakatan dilaksanakannya liberalisasi perdagangan dan setiap negara harus
menyusun tingkat tarif yang akan diterapkan dan melakukan konversi hambatan
nontarif ke dalam ekuivalen tarif. Hasil kesepakatan tersebut kemudian di
terapkan melalui: 1) Pengurangan hambatan pasar dengan cara penurunan tarif
rata-rata 36 persen untuk setiap jenis tarif di negara maju selama enam tahun,
sedangkan di negara berkembang hanya 24 persen selama sepuluh tahun. Selain
itu negara berkembang wajib memberikan minimum akses 5 persen dari konsumsi
domestiknya untuk kuota impor. 2) Adanya pengurangan subsidi domestik,
7 Agreement on Agriculture. www.wto.org, [29 Desember 2007]
30
dimana negara maju wajib mengurangi subsidinya sebesar 20 persen tanpa batas
waktu dan negara berkembang sebesar 13,3 persen dalam 10 tahun. 3)
Pengurangan subsidi ekspor harus dilakukan sebesar 36 persen dalam enam tahun
untuk negara maju, sedangkan negara berkembang sebesar 20 persen dalam 10
tahun (Malian, 2004). Perubahan kebijakan juga terjadi di Indonesia terutama
mengenai liberalisasi perdagangan pasca kesepakatan Putaran Uruguay yang di
tetapkan melalui AoA.
Dalam perkembanganya, negara-negara maju belum sepenuhnya
melaksanakan kesepakatan dalam AoA-WTO. Mereka masih memberikan subsidi
dan proteksi yang besar terhadap produk pertaniannya. Duncan et al dalam Malian
(2004) mencatat bahwa pada tahun 1999, Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan
Korea Selatan masih memberikan proteksi rata-rata sebesar 116,2% – 463,4%.
Hingga sekarang pun besaran proteksinya belum berubah signifikan sehingga
membuat harga di pasar dunia terdistorsi. Hal inilah yang membuat liberalisasi
menjadi tidak adil bagi negara berkembang karena negara berkembang hanya
menjadi pemain kedua dan hanya menjadi pasar, seperti Indonesia. Sawit (2003)
mencatat bahwa pascakrisis 1998, tingkat ketergantungan impor meningkat dua
kali dibanding sebelum 1998. Ketergantungan impor beras mencapai 10 persen,
jagung 20 persen, kedelai 55 persen dan gula 50 persen. Hal ini tentu saja
berpengaruh buruk selain terhadap ketahanan pangan nasional juga terhadap
kemandirian ekonomi dan politik bangsa. Mengingat bahan makanan pokok,
khususnya beras diperlakukan sebagai komoditas politik dan sosial.
31
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
Konsumsi beras per kapita Indonesia tinggi
Pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan
- Kebijakan Produksi - Kebijakan Harga - Kebijakan Distribusi - Kebijakan Impor
Analisis kuantitatif Analisis deskriptif
Indikator keberhasilan kebijakan Analisis lingkungan internal
dan eksternal
SWOT
QSPM
Prioritas program kebijakan produksi
Diagram ular
Evaluasi hasil
kebijakan beras
Prioritas strategi kebijakan pengembangan beras
AHP
Adanya berbagai hambatan
pelaksanaan kebijakan
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi Pengambilan dan Waktu Analisis Data
Penelitian mengenai efektivitas kebijakan perberasan dilakukan di
Indonesia. Pengambilan data dilakukan di Jakarta dan Bogor. Lokasi dipilih
secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan kedekatan dengan narasumber
dan instansi yang memiliki otoritas pengambilan kebijakan perberasan nasional
seperti Badan Ketahanan Pangan, Direktorat Budidaya Serealia, Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Pertanian, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Pusat Logistik dan Institut Pertanian
Bogor. Waktu analisis data mulai bulan Februari hingga April 2008.
4.2. Jenis
dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan penyebaran kuesioner
dengan pihak yang memiliki otoritas pengambil kebijakan beras seperti
Departemen Pertanian sebagai otoritas dan pelaksana kebijakan produksi, Badan
Pusat Logistik sebagai otoritas kebijakan impor dan distribusi serta para ahli
independen diberbagai bidang pertanian. Sedangkan untuk data sekunder,
merupakan data deret waktu (time series) selama 30 tahun dari tahun 1977 hingga
tahun 2007. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data produksi,
konsumsi, jumlah impor, harga dasar gabah/beras dan data nilai tukar petani
sebagai indikator keberhasilan kebijakan beras dan berbagai data pendukung
lainnya. Selain itu juga digunakan data mengenai perdagangan beras Indonesia
33
dan negara-negara Asia lain di pasar internasional. Data-data ini diinterpretasikan
baik melalui analisis deskriptif maupun secara grafis.
Tabel 4. Ringkasan Jenis Data, Sumber Data dalam Penelitian
Tujuan Jenis Data Sumber Data
Menganalisis perkembangan
kebijakan beras nasional
Data Sekunder Deptan,Bulog, Depdag,
Bea Cukai, Jurnal,
Artikel ilmiah dan buku
Menganalisis Efektivitas
kebijakan beras
Data Primer dan Data
Sekunder (Produksi,
luas lahan, HPP,NTP,
produktivitas, impor,
konsumsi, tarif
impor, stok dunia,
raskin dan pengadaan
Statistik Deptan, BPS,
Bea Cukai, Bulog,
USDA, Kuesioner dan
wawancara
Menganalisis prioritas strategi
kebijakan perberasan
Data Primer dan Data
Sekunder
Kuesioner, Wawancara,
USDA, Deptan dan
Jurnal
Menentukan prioritas program
kebijakan pengingkatan
produksi padi
Data Primer dan Data
Sekunder
Kuesioner, BPS, Jurnal
dan laporan penelitian
4.3. Metode Penarikan Sampel
Penarikan sampel dilakukan secara sengaja (purposive) dengan
menggunakan teknik non probability sampling. Menurut Natzir (2003), teknik ini
juga dinamakan judgement sampling karena pengambilan sampel dari populasi
dilakukan berdasarkan atas pertimbangan pribadi yang ditentukan oleh peneliti.
Sampel dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
pengambil kebijakan dan kelompok ahli perberasan independen yang terkait
dengan perberasan Indonesia.
Kelompok pengambil kebijakan adalah pihak yang terkait secara langsung
dengan pengambilan keputusan kebijakan beras nasional karena mereka memiliki
otoritas didalamnya. Pada penelitian ini terdapat lima pakar yang menjadi
34
responden penelitian. Pakar tersebut adalah Kepala Bidang Program dan Evaluasi,
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP); Kepala
Pusat Distribusi Pangan, Badan Ketahanan Pangan DEPTAN; Kepala Sub Bidang
Padi Irigasi dan Rawa, Direktorat Budidaya Serealia; dan Kepala Sub Divisi
Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG melalui wawancara dan pengisian
kuesioner. Wawancara juga dilakukan dengan Kepala Badan Ketahanan Pangan,
DEPTAN dan beberapa peneliti yang termasuk dalam kelompok responden kedua.
Kelompok ahli independen adalah pihak diluar otoritas dengan berbagai
bidang keahlian yang terkait secara tidak langsung dengan kebijakan perberasan.
Responden adalah ahli ekonomi pertanian, ahli budidaya pertanian, ahli teknologi
pertanian, peneliti perberasan dan kebijakan pertanian serta para akademisi di
Institut Pertanian Bogor yang telah memenuhi syarat tertentu sebagai calon
responden. Jumlah responden independen adalah 50 responden yang telah dipilih
sebelumnya. Pertimbangan pemilihan responden adalah min berpendidikan S2 atau
pakar perberasan untuk mengurangi bias pemahaman mengenai kebijakan beras.
Responden dari bidang Ekonomi Pertanian sebanyak 15 orang, 9 orang
diantaranya berpendidikan S3; 5 orang S1; 1 orang S1. Pengecualian ini terjadi
karena meskipun responden berpendidikan S1 namun beliau adalah pakar
perberasan dan menjadi anggota Komisi Pengawas Kebijakan Beras, Deptan.
Responden bidang Teknologi Pertanian sebanyak 5 orang, seluruhnya S3
(seluruhnya Profesor). Bidang Budidaya Pertanian sebanyak 7 orang, seluruhnya
berpendidikan S3 (2 orang adalah Profesor). Para peneliti terdiri atas peneliti dari
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi (PPSE) dan Peneliti Pusat
Pengembangan dan Penelitian Tanaman Pangan. Dari 11 peneliti PSE, terdiri atas
35
delapan orang S3 (4 diantaranya Professor) dan 3 orang S2. Sedangkan diantara 12
peneliti Pusbalitpa, 8 orang S3 (5 orang Profesor) dan 4 orang S2. Rincian
keahlian seluruh responden penelitian ada pada Lampiran 12.
Responden dari pengambil kebijakan diharapkan mampu mengevaluasi
sejauh mana tingkat keberhasilan kebijakan–kebijakan yang telah dilakukan oleh
pemerintah dari sudut pandang internal. Selain itu, berdasar input yang didapat
dari responden terpilih diharapkan dapat dirumuskan suatu strategi kongkrit untuk
memperbaiki kondisi perberasan Indonesia. Sedangkan penilaian dari responden
independen bermanfaat sebagai evaluasi dari sudut pandang eksternal yang
menilai kinerja pemerintah melalui berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan
dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional.
4.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dan
metode kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis
perkembangan perubahan kebijakan perberasan yang terjadi di Indonesia dan
dampaknya terhadap ekonomi beras nasional selama beberapa tahun terakhir.
Metode ini juga untuk menganalisis pengaruh perubahan kebijakan perdagangan
internasional terhadap kondisi perberasan Indonesia dalam kerangka WTO.
Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis efektivitas dan
keberhasilan kebijakan beras meliputi kebijakan produksi, kebijakan impor,
kebijakan distribusi dan kebijakan pengendalian harga. Sebelum dilakukan
analisis kuantitatif, terlebih dahulu ditentukan indikator-indikator keberhasilan
kebijakan beras melalui wawancara mendalam dengan responden. Indikator-
indikator tersebut ditentukan berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan
36
mempertimbangkan faktor-faktor internal maupun eksternal kondisi ekonomi
beras di Indonesia. Selanjutnya disusun strategi pengembangan perberasan
berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan para pengambil kebijakan yang
telah dilakukan sebelumnya.
Analisis kuantitatif menggunakan tiga metode yang berbeda. Untuk
melihat tingkat efektivitas dan keberhasilan implementasi kebijakan dari sudut
pandang eksternal digunakan snake diagram (diagram ular) dengan menggunakan
sematic differential scale. Sedangkan untuk menyusun strategi pengembangan
kebijakan perberasan dikuantifikasikan dengan Quantitive Strategic Planning
Matrix. Matriks ini bermanfaat untuk mencari suatu strategi yang paling menarik
unuk dimplementasikan. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan software
Microsoft Exel 2007 dan alat hitung lainnya. Kemudian hasilnya disajikan dalam
bentuk tabel, diagram dan gambar untuk memudahkan interpretasi bagi pembaca.
Sedangkan untuk menentukan prioritas program peningkatan produksi padi
digunakan metode Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP)
yang hasilnya diolah dengan software Expert Choice 2000.
4.4.1. Pembobotan Faktor Internal dan Ekstenal
Tahap ini bertujuan untuk menilai bobot faktor-faktor internal dan
eksternal yang berpengaruh terhadap keberhasilan kebijakan perberasan nasional.
Faktor internal terdiri atas elemen kekuatan (sthrengths) dan kelemahan
(weaknesess). Dalam hal ini adalah kondisi perberasan Indonesia secara makro
dari sisi permintaan (demands) maupun penawaran (supply). Selain itu juga
berbagai faktor pendukung lain seperti kondisi ekonomi, sosial budaya, politik
dan lingkungan alam. Faktor eksternal terdiri atas elemen peluang (opportunities)
37
dan ancaman (threats) kebijakan perberasan. Dalam hal ini adalah pertumbuhan
produksi dan konsumsi dunia, perubahan harga dunia dan perubahan
kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional. Faktor-faktor untuk setiap
elemen dimasukan dalam kolom pertama.
Penentuan bobot setiap elemen dalam penelitian ini dilakukan dengan
metode matriks banding berpasangan (paired-wise comparison). Paired-wise
Comparison merupakan metode untuk membandingkan secara bersamaan dua
faktor (vertikal-horizontal) berdasar tingkat kepentingan dan pengaruhnya
terhadap kebijakan beras (Kinnear, 1991). Penilaian dilakukan dengan
memberikan nilai numerik dengan skala 1 sampai 3, dimana:
Nilai 1: jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal.
Nilai 2: jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal.
Nilai 3: jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal.
Nilai hasil pembobotan dimasukkan pada kolom dua. Bobot yang
diberikan pada suatu faktor akan menunjukkan tingkat kepentingan relatif
antarfaktor. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kinerja kebijakan diberikan
bobot paling tinggi dan jumlah seluruh bobot harus sama dengan 1,0. Ilustrasi
pembobotan terdapat Tabel 4 dan 5.
Tabel 5. Pembobotan Faktor Internal
Faktor Strategis Internal Bobot
Kekuatan - -
Kelemahan - -
Total
38
1
1 n
i
i
i
x
xα
=
=
∑
Tabel 6. Pembobotan Faktor Eksternal
Faktor Strategis Eksternal Bobot
Peluang - -
Ancaman - -
Total
Perbandingan berpasangan merupakan proses kuantifikasi hal-hal yang
bersifat kualitatif sehingga pembobotan tidak dapat diberikan semata-mata
berdasar paremeter secara simultan. Akan tetapi dengan persepsi pembandingan
atau perbandingan yang diskalakan secara berpasangan. Ilustrasi pemberian bobot
indikator kebijakan beras nasional dapat dilihat pada Tabel 7. Bobot dapat
diperoleh dengan membagi total nilai setiap faktor terhadap jumlah nilai
keseluruhan faktor dengan rumus:
Keterangan:
α 1 = Bobot variabel ke-i
xi = nilai variabel ke-i
i = 1, 2, 3, …
n = jumlah variabel
Tabel 7. Penilaian Bobot Indikator Keberhasilan Kebijakan Beras Nasional
Faktor Penentu Strategis A B C D …… Bobot rata-rata
A
B
C
D
……………
Total
Sumber: Kinnear, 1991
39
4.4.2. Matriks SWOT
Setelah mengidentifikasi faktor internal dan eksternal, tahap selanjutnya
adalah tahap pencocokkan (Matching Stage). Tahap ini akan dilakukan dengan
analisis SWOT. Analisis SWOT adalah proses mengidentifikasi berbagai faktor
untuk merumuskan strategi organisasi (David, 2004). Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, tetapi secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman.
Menurut David (2004), Matriks Kekuatan-Kelemahan-Peluang-Ancaman
(Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) atau Matriks SWOT adalah alat
untuk mencocokan yang penting untuk membantu pengambil keputusan
mengembangkan empat tipe strategi, yaitu: Strategi SO (Strengths-Weaknesses),
Strategi WO (Weaknesses-Opportunities), Strategi ST (Strengths-Threats) dan
Strategi WT (Weaknesses-Threats). Mencocokkan faktor eksternal dengan faktor
internal merupakan bagian tersulit dalam pengembangan matriks SWOT karena
membutuhkan penilaian objektif dan tidak ada pencocokan terbaik.
Strategi S-O disusun dengan menggunakan kekuatan internal organisasi
untuk memanfaatkan peluang eksternal. Strategi W-O bertujuan untuk
memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang eksternal
organisasi. Strategi S-T disusun dengan menggunakan kekuatan organisasi untuk
menghindari atau mengurangi pengaruh dari ancaman eksternal. Sedangkan
strategi W-T adalah suatu taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi
kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal.
40
Langkah-langkah dalam menyusun matrik SWOT:
1. Menuliskan peluang dan ancaman eksternal kunci organisasi
2. Menuliskan kekuatan dan kelemahan internal kunci organisasi
3. Mencocokkan kekuatan internal dengan peluang eksternal masukkan hasil
strategi S-O pada sel yang telah ditentukan.
4. Mencocokkan kelemahan internal dengan peluang eksternal masukkan hasil
strategi W-O pada sel yang telah ditentukan
5. Mencocokkan kekuatan internal dengan ancaman eksternal, masukkan hasil
strategi S-T pada sel yang telah ditentukan.
6. Menocokkan kelemahan internal dengan ancaman eksternal, masukkan
hasil strategi W-T pada sel yang telah ditentukan.
STRENGTHS (S) 1. 2.
(Faktor Kekuatan Internal)
3.
WEAKNESS (W) 1. 2. (Faktor Kelemahan Internal) 3.
OPPORTUNITIES (O) 1. 2.
(Faktor Peluang Eksternal) 3.
STRATEGI SO
STRATEGI WO
THREATS (T) 1. 2. (Faktor Ancaman Eksternal) 3
STRATEGI ST
STRATEGI WT
Gambar 3. Matriks SWOT
Sumber: David, 2004
4.4.3. Matrik QSP
Tahap selanjutnya dalam analisis data penelitian ini adalah tahap
keputusan. Pada tahap ini, teknik yang digunakan untuk menentukan daya tarik
relatif dari alternatif tindakan yang layak adalah Matriks Perencanaan Strategi
41
Kuantitatif (Quantitative Strategic Planning Matrix-QSPM). Teknik ini dapat
secara objektif mengindikasikan strategi mana yang terbaik karena menggunakan
input dari tahap-tahap sebelumnya.
QSPM merupakan alat yang memungkinkan penyusun strategi untuk
mengevaluasi alternatif strategi secara objektif berdasarkan faktor keberhasilan
kunci internal dan eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya. Penilaian
intuitif yang baik sangat diperlukan pada teknik ini. Secara konsep, QSPM
menentukan daya tarik relatif berbagai strategi berdasarkan seberapa jauh faktor
keberhasilan tersebut dimanfaatkan atau diperbaiki. Daya tarik relatif masing-
masing strategi dalam satu set alternatif dihitung dengan menentukan pengaruh
kumulatif masing-masing faktor keberhasilan. Jumlah alternatif strategi bisa
berapa saja tetapi hanya strategi dalam set yang sama yang dapat dievaluasi satu
sama lain (David, 2004).
Beberapa komponen QSPM yaitu: Alternatif Strategi, Faktor Keberhasilan
Kunci, Bobot, Nilai Daya Tarik (Attractiveness Score-AS), Total Nilai Daya Tarik
(Total Attractiveness Score-TAS) dan Penjumlahan Total Nilai Daya Tarik (Sum
Total Attractiveness Score-STAS). Matriks QSP dapat dilihat pada Tabel 7.
Menurut David (2004), langkah-langkah mengembangkan matriks QSPM adalah:
1. Membuat daftar peluang/ancaman eksternal dan kekuatan/kelemahan internal
pada kolom kiri matriks QSPM. Informasi ini harus diambil langsung dari
identifikasi faktor internal dan eksternal sebelumnya.
2. Memberikan bobot pada masing-masing faktor internal maupun eksternal.
3. Mengevaluasi matriks pada tahap 2 untuk mengidentifikasi alternatif-alternatif
strategi yang harus dipertimbangkan organisasi untuk dilaksanakan.
42
Tabel 8. Matriks Perencanaan Strategi Kuantitatif (QSPM)
Faktor Keberhasilan
Kunci
Bobot
Alternatif Strategi
Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3
AS TAS AS TAS AS TAS
Peluang - Ancaman - Kekuatan - Kelemahan -
Total
Sumber: David, 2004
4. Tentukan Nilai Daya Tarik (Attractiveness Score-AS). AS didefinisikan
sebagai angka yang mengindikasikan daya tarik relatif dari masing-masing
strategi dalam set alternatif tertentu. Nilai ini ditentukan dengan memeriksa
masing-masing faktor sambil mengajukan pertanyaan, “Apakah faktor ini
berpengaruh terhadap pilihan strategi yang dibuat?” Nilai daya tarik harus
diberikan pada masing-masing strategi untuk menunjukkan daya tarik relatif
strategi satu terhadap strategi lainnya. Jangkauan nilai daya tarik adalah:
1 = tidak berpengaruh , 2 = agak berpengaruh, 3 = berpengaruh, 4 = sangat
berpengaruh.
5. Hitung Total Nilai Daya Tarik (TAS). TAS adalah hasil dari perkalian bobot
dengan nilai daya tarik (AS) dalam masing-masing baris. Semakin tinggi total
nilai daya tarik maka semakin berpengaruh terhadap alternatif strategi
6. Total Nilai Daya Tarik dihitung dengan menambahkan semua total nilai daya
tarik pada masing-masing kolom strategi dari QSPM. Penjumlahan ini akan
menunjukkan strategi mana yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan.
Semakin besar nilai penjumlahan maka strategi tersebut makin dapat
diprioritaskan.
43
Sebagai salah satu alat analisis, matrik QSP memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan alat analisis lain yaitu: alternatif strategi dapat
dievaluasi secara bertahap atau bersama-sama dalam berbagai tingkatan struktur
organisasi. Kelebihan lainnya adalah matriks ini membutuhkan penyusun strategi
untuk mengintegrasikan faktor internal dan eksternal yang relevan dalam proses
keputusan. Sedangkan kelemahannya adalah selalu membutuhkan penilaian
intuitif dan asumsi yang berdasar serta hanya dapat digunakan sebagai informasi
pendahuluan dan analisis pencocokkan yang mendasari penyusunannya.
4.4.4. Diagram Ular (Snake Diagram)
Menurut Churchil (1992) dan Kinnear (1991), ada tiga metode yang paling
populer untuk mengukur sikap, persepsi dan preferensi melalui self-report
techniques. Melalui teknik ini, responden diminta secara langsung untuk
memberikan penilaian dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner.
Biasanya penilaian diinterpretasikan menggunakan skala angka agar mudah
diukur hasilnya. Metode tersebut meliputi Summated Rating Scale, Semantic
Differential Scale dan Staple Scale. Summated Rating Scale lebih dikenal dengan
sebutan Skala Likert, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur tingkat
kesetujuan/ketidaksetujuan atau kesukaan/ketidaksukaan pada pernyataan yang
terdapat di kuesioner. Semantic Differential Scale yaitu teknik pengukuran sikap
dimana responden memberikan penilaian diantara sifat yang bertentangan seperti
sangat buruk hingga sangat baik dan sangat berhasil hingga sangat tidak berhasil.
Sedangkan Staple Scale merupakan modifikasi dari Semantic Differential Scale.
Penelitian ini menggunakan Semantic Differential Scale untuk mengukur
efektivitas kebijakan perberasan di Indonesia. Teknik ini sangat populer dan
44
mudah diadaptasi untuk berbagai jenis pengukuran sikap, selain itu juga mudah
dikembangkan menurut subjeknya. Menurut penemunya, Charles Osgood,
Semantic Differential Scale memiliki tiga dimensi dasar untuk menentukan reaksi
responden terhadap objek yaitu: 1) Dimensi penilaian, ditunjukkan dengan adanya
dua sikap seperti baik dan buruk. 2) Dimensi potensi, ditunjukkan dengan sifat
seperti berpengaruh dan tidak berpengaruh, kuat dan lemah. 3) Dimensi aktivitas,
ditunjukkan dengan sifat seperti cepat dan lambat. Pada umumnya penilaian
menggunakan lima hingga tujuh skala. Namun dalam penelitian kali ini hanya
menggunakan empat skala untuk menghindari central tendency jawaban
responden.
Uraian Skala
Sangat Baik Baik Buruk Sangat Buruk
A
B
C
D
…
Gambar 4. Contoh Kuesioner Semantic Differential Scale
Analisis data dilakukan dengan pendekatan analisis profil yaitu dengan
cara memetakan rata-rata jawaban responden dari setiap pertanyaan pada skala
yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian jawaban masing-masing pertanyaan
dihubungkan dengan garis lurus untuk melihat kecenderungan jawaban responden.
Hasil jawaban inilah yang biasanya disebut dengan Snake Diagram (diagram
ular). Menurut Churchill (1992), diagram ini disebut demikian karena bentuknya
yang menyerupai ular. Diagram Ular adalah diagram yang menghubungkan rata-
rata penilaian responden dengan garis lurus pada sekelompok pernyataan
mengenai objek.
45
Uraian Sangat Baik Baik Buruk Sangat Buruk
A
B
C
D
…
: : :
: : :
: : :
: : :
Gambar 5. Skema Diagram Ular
Sumber: Kinnear dan Taylor, 1991
4.4.5. Proses Hierarki Analisis (PHA)
Untuk memperoleh program yang komperehensif dalam rangka
pelaksanaan strategi kebijakan perberasan, maka sebelum analisis PHA seluruh
data dan informasi akan dianalisis terlebih dahulu dengan melihat data produksi
dan konsumsi beras. Kemudian faktor-faktor tersebut akan menjadi acuan
penyusunan program kebijakan perberasan. Seluruh data dan informasi yang
sudah diperoleh akan diolah dan dianalisis untuk menterjemahkan angka-angka
yang didapat dari hasil penelitian di lapangan. Analisis diperlukan untuk
memudahkan peneliti menjawab tujuan penelitian. Analisis data penelitian
menggunakan Metode Proses Hierarki Analitik (PHA).
Alasan penggunaan Proses Hierarki Analitik (PHA) sebagai alat analisis
adalah: 1) Proses Hierarki Analitik merupakan suatu proses yang sederhana untuk
menganalisis masalah yang komplek, dapat memodelkan masalah yang tidak
terstruktur pada masalah pemasaran. 2) Proses Hierarki Analitik menunjukan
prioritas untuk suatu kriteria yang diturunkan dari hasil perbandingan berpasangan
dengan cara mengiterpretasikan konsistensi dari penilaian kualitatif ke kuantitatif.
3) Proses Hierarki Analitik menghargai adanya subjektivitas pendapat responden.
46
Penelitian ini dimulai dengan melakukan pengumpulan data dari
responden melalui wawancara dan kuesioner dengan pihak yang kompeten.
Selanjutnya adalah penyusunan struktur hierarki. Kemudian seluruh data hasil
ditabulasikan dan di proses dengan program komputer Expert Choice Version
2000. Berikut adalah langkah kerja utama dalam PHA (Saaty, 1993):
1. Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan persoalan yang diinginkan.
Penguasaan peneliti terhadap masalah secara mendalam mutlak diperlukan
pada tahap ini. Pemilihan tujuan, kriteria, kreativitas, dan elemen-elemen yang
menyusun struktur hierarki ditentukan oleh peneliti tergantung pada
permasalahan yang sedang dikaji.
2. Membuat struktur hierarki dari sudut pandang pengambil kebijakan secara
keseluruhan. Penyusunan hierarki berdasarkan pada jenis keputusan yang akan
diambil. Setiap set elemen akan menduduki suatu tingkat pada hierarki dan di
tingkat puncak hanya akan ada satu elemen yang disebut fokus, yaitu sasaran
keseluruhan yang bersifat luas. Tingkat berikutnya dapat terdiri dari beberapa
elemen yang dibagi dalam kelompok yang homogen untuk dapat
diperbandingkan dengan tingkat sebelumnya.
3. Menyusun matriks banding berpasangan. Dalam matriks ini, pasangan elemen
akan dibandingkan dengan kriteria di tingkat yang lebih tinggi untuk melihat
kontibusi dan pengaruh setiap elemen terhadap kriteria yang setingkat di
atasnya. Dimulai dari puncak hierarki untuk fokus, yang merupakan dasar
untuk melakukan perbandingan berpasangan antarelemen yang terkait di
bawahnya. Kemudian dilanjutkan pada elemen berikutnya. Model struktur
hierarki dapat dilihat pada pembahasan.
47
4. Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil perbandingan
berpasangan antar elemen pada langkah 3. Pada langkah ini dilakukan
perbandingan berpasangan antarelemen pada kolom ke-i dengan setiap
elemen pada baris ke-j yang berhubungan dengan fokus G. Pembandingan
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan: ”Seberapa kuat elemen baris ke-i
dipengaruhi oleh fokus G dibandingkan dengan elemen kolom ke-j?”. Untuk
mengisi matriks ini digunakan skala banding yang dapat dilihat pada Tabel 9.
5. Memasukan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal
utama, dan dibawah diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikanya.
Angka 2 sampai 9 digunakan bila Fi lebih mendominasi/berpengaruh terhadap
sifat G dibanding sifat Fj. Bila sifat Fi kurang berpengaruh dibanding Fj, maka
gunakan angka kebalikanya.
Tabel 9. Nilai Skala Banding Berpasangan
NILAI
SKALA
DEFINISI
PENJELASAN
1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen dipengaruhi sama kuat pada sifat itu
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada lainnya
Pengalaman sedikit membantu satu elemen diatas lainnya.
5 Elemen yang satu jelas lebih penting dibanding elemen lainnya.
Pengalaman atau pertimbangan didorong dengan kuat dan dominasinya terlihat dalam praktik
7 Suatu elemen mutlak lebih penting dibanding lainnya
Satu elemen dengan didukung dan dominasinya terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih penting dibandingkan elemen lainya.
Dukungan elemen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan yang tertinggi
2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua pertimbangan yang berdekatan
Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan.
Kebalikan nilai-nilai di atas
Bila nilai diatas dianggap membandingkan antara elemen A dan B, maka nilai kebalikanya (1/2, 1/3, 1/4,....,1/9) digunakan untuk membandingkan kepentingan B terhadap A.
Sumber: Saaty, 1993
6. Melaksanakan langkah 3, 4, 5, untuk semua elemen pada setiap tingkat
keputusan. Ada dua matriks perbandingan yang dipakai dalam PHA, yaitu:
48
a. Matriks Pendapat Individu/MPI (Gambar 7), merupakan matriks hasil
perbandingan yang dilakukan oleh individu, dimana elemennya
disimbolkan dengan aij, yaitu matriks pada baris ke-i dan kolom ke-j. Nilai
yag dihasilkan dapat diubah-ubah oleh individu yang bersangkutan. Tetapi,
bila ada MPI yang tidak memenuhi persyaratan rasio inkonsistensi maka
MPI tidak dimasukkan dalam analisis.
Gambar 6. Matriks Pendapat Individu (MPI)
Sumber: Saaty (1993).
b. Matriks Pendapat Gabungan (MPG), pada gambar, merupakan matriks baru
yang elemennya Gij. Berasal dari rata-rata geometrik pendapat yang rasio
inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 0,1.
Gambar 7. Matriks Pendapat Gabungan (MPG)
Sumber: Saaty, 1993
Rumus matematikanya untuk mencari rata-rata geometrik adalah:
Gij = mm
k
ij kaC1
)(=
G A1 A2 A3 ... An
A1
A2
A3
...
...
An
A11
A21
A31
...
...
An1
A12
A22
A23
...
...
An2
A13
A23
A33
...
...
An3
...
...
...
...
...
...
A1n
A2n
A3n
...
...
Ann
G G G 2 G 3 ... G n
G1
G2
G3
...
...
Gn
G11
G21
G31
...
...
Gn1
G12
G22
G23
...
...
Gn2
G13
G23
G33
...
...
Gn3
...
...
...
...
...
...
G1n
G2n
G3n
...
...
Gnn
49
Dimana: Gij = elemen MPG baris ke-i kolom ke-j
(aij) k = elemen baris ke-i kolom ke-j dari MPI ke-k
k = Indeks MPI dari individu ke-k memenuhi syarat
m = jumlah MPIyang memenuhi syarat
mm
k
C1=
= perkalian elemen ke-k sampai ke-m.
7. Penilaian prioritas untuk melakukan pembobotan faktor-faktor prioritas.
Menggunakan komposisi secara hierarki untuk membobotkan vektor-vektor
prioritas dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai
prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah
berikutnya, dan seterusnya.
Pengolahan kedua matriks terdiri atas dua tahap, yaitu:
a. Pengolahan horizontal, untuk melihat prioritas suatu elemen terhadap
tingkat yang persis berada satu tingkat di atasnya. Terdiri tiga bagian
yaitu: penentuan vektor prioritas (Rasio Vektor Eigen), uji konsistensi dan
revisi MPI dan MPG yang memiliki rasio inkonsistensi tinggi.
Penghitungan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
• Perkalian baris (Z) atau Vektor Eigen (VE) dengan rumus:
1
n
n
k
i ijz a=
= ∏ (i,j = 1,2,..,n)
• Perhitungan vektor prioritas (VP) atau Rasio Vektor Eigen adalah:
1 1
n
n ij
n
nn
n ij
i k
a
VP
a= =
=
∑
C
C VP = (VPi), untuk i = 1,2,3,...n
50
• Perhitungan nilai Eigen Maks (λmaks), dengan rumus:
VA = (aij) x VA dengan VA = (Vai)
VB = VA dengan VB = (Vbi)
VPi
λ maks = 1/ n ∑=
n
i
ivb1
untuk i = 1, 2, 3, ..n
• Perhitungan Indeks Rasio Inkonsistensi (CI) dengan rumus:
1
maks nCI
n
λ −=
−
• Perhitungan Rasio Inkonsistensi (CR) adalah:
CI
CRRI
=
RI = indeks acak
Nilai rasio inkonsistensi yang lebih kecil atau sama dengan 10 persen
merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan. CR menjadi tolak ukur bagi konsisten atau
tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu matriks
pendapat.
b. Pengolahan Vertikal, yaitu menyusun prioritas pengaruh setiap elemen
pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap fokus. Bila CVij
didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i
terhadap sasaran utama, maka:
CVij = Σ CHij (t,i – 1) x VWt (i-1)
Untuk : i = 1, 2, 3,...,n
j = 1, 2, 3,...,n
t = 1, 2, 3,...,n
51
dimana : CHij (t,i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-i terhadap
elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i-1), yang
diperoleh dari pengolahan horizontal.
VWt (i-1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat
ke (i-1) terhadap sasaran utama yang diperoleh
dari hasil perhitungan horizontal.
P = jumlah tingkat hierarki keputusan
r = jumlah elemen pada tingkat ke-i
s = jumlah elemen pada tingkat ke (i-1)
8. Mengevaluasi konsistensi untuk seluruh hierarki. Tahap ini dilakukan dengan
mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas kriteria bersangkutan dan
menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang
menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing-
masing matriks. Setelah itu, setiap indeks konsistensi acak juga dibobot
berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. Jika
rasio inkonsistensinya lebih besar dari sepuluh persen, maka mutu informasi
harus diperbaiki. Perbaikan dapat dilakukan dengan cara mengajukan
pertanyaan pada saat menyusun matriks banding berpasangan atau melakukan
pengisian ulang kuesioner.
V. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN BERAS NASIONAL
Kebijakan adalah suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui
untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, misalnya mempengaruhi
pertumbuhan baik besaran maupun arahnya pada masyarakat umum. Kebijakan
berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan dalam mempengaruhi
perubahan secara sektoral dalam masyarakat termasuk didalamnya kebijakan pada
sektor pertanian.
Pada dasarnya ada dua tipe kebijakan pemerintah di bidang pertanian yaitu
Development Policy dan Compensating Policy (Hardono et.al, 2004).
Development policy bertujuan mendorong produksi dan peningkatan pendapatan
petani. Compensating policy bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani
tetapi dengan kecenderungan menekan produksi. Kebijakan pertanian Indonesia
sendiri terdiri atas kebijakan produksi, impor, pengendalian harga dan distribusi.
Development policy banyak dilakukan di negara yang defisit produk pertanian
seperti Indonesia. Sedangkan compensating policy banyak dilakukan di negara
yang surplus produk pertanian dan sulit memasarkannya. Kebijakan harga dasar
gabah (HDG) dan kebijakan subsidi pupuk merupakan contoh development policy.
Tujuan akhir kebijakan ini adalah peningkatan produksi padi dan peningkatan
pendapatan petani padi.
5.1. Kebijakan Produksi
Dalam rangka mencukupi kebutuhan beras dalam negeri sepanjang tahun,
pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi beras nasional melalui
berbagai kebijakan produksi sesuai dengan amanat UU No.7 Th.1996 tentang
53
Pangan. Kebijakan ini dilakukan melalui dua cara yaitu intensifikasi dan
ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas
tanaman dan Indeks Pertanaman (IP). Indeks Pertanaman adalah jumlah intensitas
penanaman padi dalam satu tahun pada luasan lahan tertentu. Sedangkan
ekstensifikasi lebih ditekankan pada peningkatan luas areal panen terutama pada
wilayah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Melalui Departemen Pertanian,
pemerintah terus menginisiasi berbagai program peningkatan produksi beras.
Program Peningkatan Produksi Padi nasional (P4) diawali dengan
dikeluarkanya Program Padi Sentra tahun 1959. Program ini dilakukan melalui
dua paket teknologi yaitu bantuan alat dan bahan (hard technology) dan
pendekatan sosial individu (soft technology). Akan tetapi program ini kurang
berhasil sehingga pemerintah terus melakukan perubahan kebijakan dalam upaya
meningkatan produksi padi. Kemudian tahun 1965, pemerintah mengeluarkan
Program Bimbingan Masal (Bimas) dan Program Intensifikasi Khusus (Insus)
melalui SK Mentan No. 003 Tahun 1979. Hingga akhirnya Indonesia berhasil
mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 melalui teknologi Panca
Usahatani. Program peningkatan produksi padi juga terus menerus dievaluasi
sesuai dengan perubahan lingkungan baik alam maupun sosial ekonomi.
Kebijakan produksi yang berlaku saat ini dikenal dengan sebutan Program
Peningkatan Beras Nasional (P2BN) yang dimulai sejak awal tahun 2007. Target
dari program ini adalah peningkatan produksi 2 juta ton beras atau tumbuh sekitar
5 persen GKG untuk pengadaan beras dalam negri. Selain itu juga untuk
mendorong penurunan ketergantungan impor dalam rangka mencapai target
54
swasembada beras pada tahun 2015. Secara ringkas perubahan kebijakan dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Program Peningkatan Produksi Padi dan Paket Teknologi Anjuran
Program Tahun Hard Technology Soft Technology Evaluasi
Padi Sentra 1959 Varietas Si Gadis, Jelita, Dara dan Bengawan
Komando Operasi Gerakan Makmur
Tidak berhasil, kurang partisipasi petani
Bimbingan Masal
1965 Sama dengan Padi Sentra
Perbaikan kelembagaan dan kredit
Varietas unggul meluas
Intensifikasi Masal
1968 Pengenalan varietas PB5 dan PB8 (IRRI)
Sama dengan Padi Sentra, tanpa kredit
Gagal karena masalah pendanaan
Bimas Gotong Royong
1969 Penggunaan varietas PB5 dan PB8
Penguatan kelembagaan modal swasta
Munculnya Koperasi Unit Desa (KUD)
Intensifikasi Khusus
1979 Panca Usahatani Pembentukan kelompok tani
Swasembada beras tahun 1984
Supra Intensifikasi Khusus
1987 Sapta Usahatani Penguatan kelompok tani
Kurang berhasil, produksi stagnan
SUTPA 1995 Varietas Cibodas dan Membramo
Diversifikasi pertanian
Tidak Berhasil
INBIS 1997 Varietas Cibodas dan Membramo
Pendampingan petani
Gagal karena El-Nino
Gema Palagung
1998 Sapta Usahatani Kredit Usaha Tani (KUT)
Kurang berhasil, kredit macet
Corporate Farming
2000 Varietas Cibodas dan Membramo
Konsolidasi petani sehamparan
Gagal karena kesalahan persepsi petani
Proyek Ketahanan Pangan
2000 Varietas Cibodas dan Membramo
Bantuan dana langsung
Kurang berhasil, petani sulit dimonitor
Pengelolaan Tanaman & Sumberdaya Terpadu
2001 Perpaduan sumberdaya
Kelompok usaha agribisnis dan penguatan modal
Kurang berhasil, tekanan kerjasama LN
Program Peningkatan Beras Nasional
2007 Bantuan benih, pupuk bersubsidi, pupuk organik, perbaikan irigasi
Pengendalian OPT, manajemen pasca panen dan kelembagaan
Berhasil meningkatan produksi 2.6 juta ton GKG8
Keterangan: SUTPA : Sistem Usahatani Berbasis Padi dengan Orientasi Agribisnis INBIS : Intensifikasi Berwawasan Agribisnis Gema Palagung: Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung
8 Berdasarkan Berita Resmi BPS tanggal 3 Maret 2008 di www.bps.go.id.
55
Melalui berbagai kebijakan tersebut, produksi padi nasional terus
mengalami peningkatan akibat peningkatan produktivitas dan luas areal. Menurut
BPS, selama 30 tahun terakhir rata-rata produtivitas padi mencapai 4,13 ton/ha
dengan produksi padi rata-rata sekitar 44 juta ton. Pada tahun 2006 saja, produksi
padi nasional telah mencapai 54,5 juta ton dengan produktivitas 4,62 ton/ha.
Selain melalui berbagai progam di atas, pemerintah juga mendorong peningkatan
produksi dengan cara memberi kepastian harga jual gabah melalui penetapan HPP
sebagai insentif yang memadai bagi petani untuk berproduksi.
Beberapa kendala yang menghambat peningkatan produksi padi nasional
antara lain seperti rendahnya penerapan teknologi produksi dan pascapanen.
Teknologi produksi seperti sarana irigasi yang memadai, input yang berkualitas,
pengaturan pola tanam, pemupukan dan penggunaan pestisida secara berimbang
belum dikuasai sepenuhnya oleh petani karena kualitas sumber daya petani yang
masih rendah. Selain itu juga sering terjadi serangan hama penyakit yang
menurunkan produksi. Teknologi pascapanen juga masih rendah seperti banyak
gabah yang hilang pada saat perontokkan di sawah dan banyak mesin
penggilingan yang sudah tua, akibatnya rendemen padi rendah. Dari sisi
permodalan juga mengalami hambatan karena sebagian besar petani kita adalah
petani kecil dengan kemampuan modal yang sangat terbatas. Selain itu juga
hambatan yang berasal dari alam seperti bencana banjir dan kekeringan yang
mempengaruhi produksi beras. Seperti pada tahun 1998 saat terjadi bencana El-
Nino yang menyebabkan produksi turun drastis.
56
5.2. Kebijakan Impor
Tujuan dari kebijakan ini ialah menekan jumlah dan mengurangi tingkat
ketergantungan impor beras Indonesia. Kebijakan ini diimplementasikan melalui
dua instrumen pokok yaitu hambatan tarif dan restriksi nontarif. Pasca
penandatanganan perjanjian pertanian WTO tahun 1995, ekonomi beras Indonesia
cenderung makin terpuruk karena membanjirnya impor. Liberalisasi perdagangan
beras dilakukan dengan pembebasan bea masuk impor (0%), pencabutan Bulog
sebagai State Trading Enterprice (STE), pencabutan subsidi input dan liberalisasi
tataniaga pupuk pada tahun 1998. Selain itu, paritas harga yang terlalu tinggi
menyebabkan harga beras dalam negri menjadi tidak kompetitif dibandingkan
beras impor. Hal ini sangat menyengsarakan petani, terutama para petani kecil.
Pada tahun 2000, pemerintah melakukan kebijakan protektif dengan
menetapkan tarif impor spesifik sebesar Rp 430/kg (30% ad valorem). Nilai tarif
ini (applied tariff) ternyata jauh lebih kecil daripada tariff line yang telah
dicatatkan di WTO yaitu sebesar 40 persen, kecuali untuk beras (bound rate
160%) dan gula (95%) untuk periode 1995-2004. Kemudian nilai tarif tersebut
dikoreksi kembali pada akhir tahun 2004 menjadi sebesar Rp 450/kg yang berlaku
mulai awal tahun 2005.
Ternyata pengenaan tarif spesifik sebesar Rp 430/kg ataupun Rp 450/kg
tidak efektif mengangkat harga dalam negri dan justru mendorong terjadinya
penyelundupan (under invoice) beras ke Indonesia. Sawit (2005) menyatakan
bahwa selama tahun 2000-2003, tidak kurang dari 50 persen beras yang masuk ke
Indonesia ilegal. Akhirnya pada tahun 2004 pemerintah mengeluarkan Ketentuan
Impor Beras dalam SK Menperindag No. 9/MPP/Kep/1/2004. SK ini menyatakan
57
bahwa impor beras hanya dapat dilakukan oleh importir yang telah mendapat
pengakuan sebagai Importir Produsen Beras (IP), impor juga dilarang selama 1
bulan sebelum panen raya, selama panen raya dan 2 bulan setelah panen raya
(sekitar bulan Januari-Juni) dan beras hanya boleh dibongkar di pelabuhan yang
telah disetujui pemerintah.
Proteksi nontarif juga dilakukan melalui quota tariff (Tariff Rate
Quota/TRQ) dan pengawasan jalur perdagangan. Tarif quota banyak
dimanfaatkan negara maju maupun berkembang untuk melindungi industri
domestiknya. Tarif ini relatif transparan sehingga tidak bertentangan dengan
ratifikasi AoA yang tercantum dalam green box dan blue box. Akan tetapi
Indonesia juga memiliki kewajiban untuk membuka akses pasar minimum
(minimum market acess) sebesar 70.000 ton beras atau minimal 5 persen dari total
kebutuhan domestiknya untuk impor, sesuai dengan kesepakatan AoA (1995).
Sebenarnya impor dapat menjadi solusi yang tepat untuk menjaga
ketahanan pangan jika dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan jumlah yang
tepat. Sehingga impor tidak berakibat menekan harga domestik. Selama ini yang
terjadi justru harga beras impor mendikte harga beras dalam negri. Karena itu
pemerintah akhirnya mengembalikan kedudukan Bulog sebagai STE pada
pertengahan 2003 dan menugaskan lembaga ini sebagai satu-satunya pengendali
impor dan harga beras dalam negri dengan harapan sentralisasi akan memudahkan
pengaturan dan pengawasan impor dan stabilisasi harga.
5.3. Kebijakan Pengendalian Harga
Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi petani dan konsumen beras
melalui mekanisme stabilisasi harga. Untuk melindungi petani, sejak tahun 1970
58
pemerintah mengeluarkan kebijakan harga dasar (floor price) gabah dan beras.
Tujuan diberikannya harga dasar adalah untuk memberikan jaminan pada para
petani bahwa hasil produksinya akan dibeli sesuai harga yang ditetapkan
pemerintah atau perusahaan yang ditunjuk. Kebijakan ini juga berfungsi sebagai
perangsang untuk meningkatkan produksi. Untuk melindungi konsumen,
pemerintah menetapkan harga maksimum (ceilling price), yaitu harga tertinggi
yang boleh diterapkan pedagang kepada konsumen. Pagu harga atau ceilling price
ditetapkan berbeda antarwilayah untuk mendorong distribusi perdagangan antar
daerah produsen (surplus) ke daerah konsumen (minus). Ceilling price juga
digunakan untuk menjamin agar harga pasar masih dalam jangkauan daya beli
konsumen sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat mengakses beras.
Pemerintah menunjuk Perum Bulog melalui SK Mendag No.1111 Tahun
2007 untuk menjaga stabilisasi harga beras dalam negeri melalui penerapan HPP
dan ceilling price. Hal ini juga sesuai dengan Inpres No.2 Tahun 2005 yang
kemudian diperbaharui melalui Inpres No.3 Tahun 2007 tentang Kebijakan
Perberasan. Keluarnya SK Mendag No.1109 Tahun 2007 yang berlaku efektif
sejak bulan Agustus menyatakan bahwa Bulog memonopoli kembali pengendalian
harga dan impor beras telah membuka wewenang Bulog menjadi pengendali
kebijakan impor. Karena itu, agar kebijakan impor efektif, Bulog telah
menetapkan berbagai kebijakan penunjang seperti operasi buffer stock, pengaturan
impor, kredit lunak untuk mitra Bulog, subsidi input produksi dan mekanisme
khusus. Pengaturan impor perlu dilakukan karena selama beberapa tahun terakhir,
harga beras impor terus mendistorsi harga beras domestik. Hal ini disebabkan
59
karena harga beras di pasar internasional lebih rendah dari harga domestik
sehingga memicu terjadinya penyelundupan (under invoice) beras ke Indonesia.
Melalui Inpres No. 9 Tahun 2002, pemerintah dengan sangat halus
merubah istilah Harga Dasar Gabah (HDG) menjadi Harga Dasar Gabah
Pembelian Pemerintah (HDPG) atau lebih dikenal dengan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP). Perubahan ini sekilas tidak terlalu berbeda, akan tetapi
sebenarnya sangat mendasar. Dengan kebijakan HDPG/HPP pemerintah hanya
menjamin harga gabah pada tingkat tertentu di lokasi yang telah ditetapkan, tidak
lagi menjamin harga dasar gabah minimum di tingkat petani. HDPG juga berlaku
di gudang BULOG, bukan di tingkat petani sebagaimana kebijakan HDG. Karena
itu peningkatan harga dasar yang terjadi tahun 2002 menjadi Rp 1725/kg atau
setara dengan Rp 2.790/kg beras tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan
kesejahteraan petani. Selain itu, berubahnya status Bulog dari lembaga pemerintah
nondepartemen menjadi perusahaan umum (Perum) juga memiliki konsekuensi
lain terhadap orientasi perlindungan terhadap petani padi.
Bentuk price policy yang lain pada beras yang masih berlaku hingga saat
ini adalah Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK). OPM
merupakan bagian dari general price subsidy yang digunakan pada saat harga
beras terlalu tinggi akibat excess demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara
pemotongan harga sekitar 10-15 persen di bawah harga pasar. Sedangkan OPK
merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan awal OPK adalah
penyaluran bantuan pangan pada masyarakat miskin yang rawan pangan saat
krisis tahun 1998 akibat tidak efektifnya OPM. OPK masih terus dilakukan Bulog
hingga sekarang dengan target masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK dirubah
60
namanya menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Program Raskin juga
masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring pengaman sosial yang volumenya
semakin meningkat dari tahun ke tahun karena adanya kecenderungan kenaikan
harga beras di tingkat konsumen.
5.4. Kebijakan Distribusi
Distribusi beras mutlak diperlukan dalam menjaga ketahanan pangan
karena beras memiliki ciri membutuhkan waktu dalam penyediaannya. Lag
penyediaan beras terjadi karena produksi padi sangat tergantung musim tanam.
Karena itu pada bulan-bulan tertentu, terutama saat musim panen raya (Februari–
Mei), pasokan beras melimpah. Sedangkan pada musim paceklik (Agustus-
September) pasokan beras cenderung berkurang, bahkan sering terjadi kerawaan
pangan pada daerah-daerah tertentu. Persediaan beras antardaerah tidak merata
karena kemampuan produksi antarwilayah yang tidak sama. Sehingga pengaturan
distribusi pangan yang baik sangat diperlukan.
Tujuan kebijakan distribusi adalah untuk menjamin ketersediaan pangan
sepanjang tahun secara merata dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Karena
itu sejak tahun 1967 pemerintah menunjuk Bulog untuk mengatur penyediaan
beras dalam negri dan menstabilkan harga. Menurut Abu Bakar (2007), Perum
Bulog memiliki setidaknya 4 tugas publik yang terkait dengan beras, yaitu; (i)
jaminan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, (ii) stabilisasi harga,
(iii) pengelolaan raskin, dan (iv) cadangan atau stok pangan nasional9. Sesuai
dengan PP No. 7 Tahun 2003 dan Inpres No. 2 Tahun 2005 tentang kebijakan
9 Orasi Ilmiah Direktur BULOG di Kampus IPB. www.ipb.ac.id. [26 November 2007]
61
perberasan, keempat tugas publik Bulog harus dilakukan secara bersama-sama
karena tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain.
Tugas pembelian gabah secara nasional bertujuan memberikan harga yang
wajar pada petani terutama pada saat panen raya melalui HPP sebagai sumber
pengadaan dalam negri. Kemudian gabah dan beras hasil pengadaan dari dalam
negri akan menjadi persediaan yang tersimpan dalam gudang-gudang (Divre) di
seluruh tanah air sebagai Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1-1,5 juta
ton (buffer stock) yang dapat digunakan pemerintah sebagai sumber bantuan
sosial, operasi pasar, keperluan darurat dan suplai pasar tertentu. Dibandingkan
dengan jumlah konsumsi total, besarnya CBP tersebut belum merepresentasikan
pengaruh Bulog terhadap distribusi beras dalam negeri. Sebagian besar distribusi
beras di Indonesia (lebih dari 90%) melalui mekanisme pasar.
Untuk menjaga kualitas dan kuantitas CBP, pemerintah menugaskan
Bulog untuk mendistribusikanya kepada keluarga miskin melalui Raskin. Apabila
dalam penyaluran beras terjadi kekurangan stok yang tidak dapat dipenuhi dari
produksi dalam negri, maka Perum Bulog dapat melakukan impor agar cadangan
pangan nasional tercukupi. Seperti yang pernah dilakukan pada pertengahan tahun
2007, impor dilakukan karena pada saat itu stok beras di gudang Bulog hanya
sekitar 600 ribu ton sehingga tidak cukup untuk menjaga stok aman cadangan
pangan selama minimal 3 bulan ke depan10
. Jumlah ini juga tergolong rawan
karena masih dibawah buffer stock yang minimal 1 juta ton beras. Karena itu,
pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengimpor beras sebesar 250 ribu ton
10 Wawancara langsung dengan Kepala Sub Divisi Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG
62
dari Vietnam. Tetapi akibat besarnya protes dari berbagai pihak, hanya sekitar 100
ribu ton beras yang diimpor Indonesia dari Vietnam.
Proses distribusi beras di Indonesia sendiri dilakukan dengan dua cara
yaitu melalui Bulog dan mekanisme pasar. Bulog hanya menguasai sekitar 10
persen market share beras, sedangkan sisanya melalui mekanisme pasar. Bulog
juga hanya berperan sebagai stabilitator harga untuk pengadaan beras dalam
negeri, bukan sebagai penentu harga pasar beras secara keseluruhan. Karena itu
pengenaan HPP sering kali menjadi kurang efektif dalam menstabilkan harga,
terlebih lagi terkena dampak distorsi harga beras impor. Sedangkan untuk
mencegah terjadinya kerawanan pangan, Bulog mendistribusikan berasnya pada
gudang-gudang (divre dan subdivre) di seluruh provinsi di Indonesia.
VI. EFEKTIVITAS KEBIJAKAN BERAS DI INDONESIA
6.1. Indikator-Indikator Efektivitas Kebijakan
Berdasarkan Impres No. 2/2005 tentang Kebijakan Perberasan, kebijakan
beras di Indonesia terbagi menjadi Kebijakan Produksi, Kebijakan Harga,
Kebijakan Distribusi dan Kebijakan Impor. Keempat kebijakan tersebut saling
terkait sehingga perubahan peraturan pada salah satu kebijakan akan
mempengaruhi kinerja kebijakan yang lainnya. Dalam rangka mengukur
keberhasilan dan efektivitas kebijakan terlebih dahulu perlu disusun indikator-
indikator keberhasilannya. Indikator keberhasilan inilah yang nantinya akan
menjadi tolak ukur penilaian keberhasilan kebijakan yang telah berjalan.
6.1.1. Kebijakan Produksi
1. Meningkatnya luas areal panen secara berkelanjutan
Luas areal panen merupakan salah satu determinan utama peningkatan
produksi padi nasional di samping tingkat produktivitas tanaman. Karena itu perlu
peningkatan yang berkelanjutan agar dapat mengimbangi laju pertumbuhan
penduduk. Di Indonesia, pertumbuhan luas areal menjadi masalah yang serius
karena terhalang oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, industrialisasi
dan pembangunan infrastruktur publik. Faktor-faktor tersebut telah mendorong
terjadinya konversi lahan pertanian ke nonpertanian terutama lahan-lahan
produktif di Pulau Jawa. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 2003, selama
tahun 2000-2002 total lahan sawah yang dikonversi menjadi lahan nonpertanian
rata-rata seluas 187,7 ribu ha/tahun. Sedangkan luas percetakan sawah baru rata-
64
rata hanya seluas 48,4 ribu ha/tahun. Sehingga luas lahan sawah rata-rata
berkurang seluas 141,3 ribu ha/tahun.
Tabel 11. Konversi Lahan Sawah Selama Tahun 2000-2002
Wilayah
Konversi Lahan Sawah (000ha/th) Alokasi Penggunaan (000ha/th)
Luas Area % Terhadap
Sawah
Nonpertanian Pertanian
nonsawah
Jawa 55,72 (24,73)
1,68 43,60 (78,25)
12,12 (21,75)
Luar Jawa
132,01 (75,27)
2,98 66,56 (50,42)
65,44 (49,58)
Total 187,72 (100,00)
2,42 110,16 (58,68)
77,56 (41,32)
Sumber: Deptan (2003) Ket: ( ) = Persentase (%)
Berdasarkan data BPS, pertumbuhan luas areal panen relatif stagnan,
hanya sekitar 0,01 persen per tahun hingga tahun 2006 atau rata-rata 11 juta
hektar. Meskipun berbagai kebijakan sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Reformasi Agraria yang telah ditetapkan pun belum berjalan efektif karena masih
banyak kendala di lapangan. Namun pertumbuhan luas areal panen relatif tinggi
terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 338,4 ribu hektar (2,87%) di seluruh
Indonesia. Di luar pulau Jawa luas areal bertambah seluas 372,04 ribu hektar
(6,10%), sedangkan di pulau Jawa sendiri mengalami penurunan sebesar 32,64
ribu hektar (0,57%)11 dari tahun sebelumnya. Itu artinya, luasan lahan sawah
produktif di pulau Jawa terus menurun karena meningkatnya pembangunan
ekonomi. Ditengarai, jumlah ini didorong dengan adanya kebijakan Program
Peningkatan Beras Nasional (P2BN) pada awal tahun 2007.
Di negara lain, konversi lahan telah menjadi isu yang sangat serius dan
mendapat perhatian lebih oleh pemerintah karena berhubungan langsung dengan
11 www.agrinewsonline.go.id, Diakses tanggal 26 Maret 2008
65
ketahanan pangan suatu negara. Sementara itu, pemerintah kita justru terkesan
kurang peduli terhadap dampak konversi terhadap pembangunan pertanian.
Padahal konversi lahan yang berlebih dapat berakibat buruk bagi ketahanan
pangan karena sifatnya yang laten.
Gambar 8. Perkembangan Luas Areal Tanam Padi Tahun 1978-2007
Sumber: BPS, 2007 (diolah)
Sifat konversi lahan terhadap masalah pangan di Indonesia menurut Irawan (2005)
adalah:
a. Dampak konversi lahan bersifat permanen.
Berbagai masalah dalam proses produksi ada yang bersifat temporer dan
bersifat permanen. Serangan hama dan penyakit, bencana alam dan fluktuasi
harga bersifat temporer karena hanya muncul ketika masalah itu terjadi. Tetapi
pada kasus konversi lahan, akibat yang ditimbulkan bersifat permanan dan
jangka panjang. Artinya sekali konversi lahan terjadi, akibat yang ditimbulkan
tidak berhenti pada saat itu juga tetapi akan terus terjadi sesudahnya karena
66
luasan lahan yang sudah dikonversi tidak dapat kembali lagi menjadi areal
persawahan.
Ada tiga faktor yang menyebabkan dampak konversi lahan tidak dapat segera
dipulihkan yaitu: a) Lahan sawah yang sudah dikonversi ke lahan nonpertanian
tidak akan kembali menjadi lahan pertanian (bersifat irreversible). b) Upaya
pencetakan lahan sawah baru dalam rangka pemulihan produksi membutuhkan
waktu yang panjang. Asyik dalam Irawan (2005) mengatakan bahwa
diperlukan waktu lebih dari sepuluh tahun untuk membuat sawah baru dapat
berproduksi secara optimal. c) Sumber daya lahan yang potensial untuk
produksi pertanian terutama di Pulau Jawa semakin terbatas akibat cepatnya
pertumbuhan penduduk dan proses industrialisasi
b. Dampak konversi lahan bersifat kumulatif
Pengurangan luas sawah yang bersifat permanen akan menyebabkan terjadinya
masalah pangan selama periode tertentu (t0–tn) yang bersifat kumulatif.
Ilustrasinya adalah sebagai berikut:
Produksi, Permintaan dan Impor
QD = QS
M1 = dk1 M2 = dk1+ dk2 QS1
dk2 QS2 Tahun t0 t1 t2 tn
Gambar 9. Dampak Kumulatif Konversi Sawah Terhadap Masalah Pangan
Sumber: Irawan, et.all, 2000
67
Dari gambar di atas dapat diilustrasikan jika pada tahun ke-0 (t0), jumlah
permintaan dan penawaran beras diasumsikan sama dan digambarkan dengan
garis lurus QS = QD . Asumsi lain yang digunakan adalah tidak ada konversi
sawah dan pencetakan sawah baru pada periode itu. Garis QD berhimpit dengan
garis QS, jika diasumsikan tidak terjadi perubahan permintaan dan penawaran
pada periode tersebut maka pada t0 tidak diperlukan impor. Tapi jika tahun t1
terjadi konversi maka produksi akan turun menjadi QS1, sedangkan QD tetap.
Pemerintah harus mengimpor sebesar M1 pada t1. Jumlah impor pada t1 pada
dasarnya adalah dampak konversi (dk1) atau selisih QD – QS1. Begitu juga
seterusnya, jika terus terjadi konversi pada tahun ke-2 maka jumlah impor akan
semakin besar karena merupakan penjumlahan dari dk1 + dk2 = M2. Begitu pula
dengan Indonesia, jika Indonesia tidak mampu menekan laju konversi maka di
tahun-tahun mendatang ancaman ketergantungan impor akan semakin
meningkat.
c. Dampak konversi bersifat progresif
Luasnya konversi setiap tahun cenderung meningkat karena sifat konversi
lahan yang menular. Artinya jika di suatu titik dibangun sebuah lokasi aktivitas
ekonomi, maka permintaan lahan di sekitarnya akan meningkat sebagai
wilayah penyangga. Karena itu luasan lahan yang dikonversi akan semakin
besar. Melihat besarnya dampak konversi yang begitu besar, sudah sepatutnya
pemerintah segera memberikan perhatian lebih dan mengeluarkan kebijakan
yang dapat mengurangi laju konversi sawah di Indonesia dan melakukan upaya
pencetakan sawah baru terutama pada lahan-lahan yang belum termanfaatkan
di luar pulau Jawa.
68
2. Meningkatnya produktivitas padi secara berkelanjutan
Tingkat produktivitas padi juga menjadi penentu keberhasilan
implementasi kebijakan produksi. Hal ini disebabkan peningkatan luas areal dan
produktivitas akan menentukan produksi total padi di Indonesia. Peningkatan
produktivitas dipengaruhi oleh input produksi, teknik budidaya, kondisi lahan dan
iklim. Kondisi lahan dan iklim wilayah Indonesia sangat mendukung untuk
budidaya, hanya saja faktor input produksi dan teknik budidaya masih perlu terus
diperbaiki, mengingat sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil dan
miskin dengan kemampuan permodalan dan pendidikan yang masih tergolong
rendah. Input yang sangat mempengaruhi produksi terutama adalah bibit unggul
dan faktor pemupukan.
Gambar 10. Perkembangan Produktivitas Padi Tahun 1978-2007
Sumber: BPS, 2007 (diolah)
Pada tabel di atas terlihat bahwa terdapat kecenderungan kenaikan
produktivitas dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Namun sejak tahun 1978,
kenaikannya cenderung stagnan. Banyak ahli yang berpendapat bahwa stagnansi
69
ini terjadi karena lahan-lahan di Indonesia ini sudah pada tahap pelandaian
produksi (levelling off). Sehingga produktivitas rata-ratanya hanya 4,34 ton/ha.
Tahun 1998-1999 terjadi penurunan produktivitas sekitar 0,24 ton/ha dari tahun
sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya bencana El-Nino dan La-Nina yang
merusak sebagian besar areal persawahan beberapa provinsi sentra padi.
Akibatnya produksi tahun 1999 turun sekitar 3,2 persen dibanding sebelumnya.
Selama ini, Pulau Jawa merupakan penyumbang terbesar produksi padi di
Indonesia. Sejak swasembada beras tahun 1984, sumbangan Pulau Jawa tidak
pernah kurang dari 50 persen dari total produksi nasional, meskipun terdapat
kecenderungan terus menurun. Tahun 2006 Pulau Jawa mampu menyumbang
sekitar 55 persen produksi padi nasional. Beberapa provinsi penyumbang produksi
padi terbesar dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Produksi Padi Beberapa Provinsi Sentra Beras Nasional (Ton)
Provinsi 2003 2004 2005 2006 2007
Sumut 3403075 3418782 3447394 3007636 3204441
Sumbar 1823739 1875188 1907390 1889489 1982487
Sumsel 1977345 2260794 2320110 2456251 2726728
Lampung 1966293 2091996 2124144 2129914 2303491
Jabar 8776889 9602302 9787217 9418572 9900660
Jateng 8123839 8512555 8424096 8729291 8632210
Jatim 8914995 9002025 9007265 9346947 9501432
Banten 1691923 1812495 1861776 1751468 1879766
Kalsel 1410141 1519432 1598835 1636840 1811284
Sulsel 4003079 3552835 3390397 3365509 3675252
Jawa 28167484 29635840 29764392 29960638 30631496
Luar Jawa 23970120 24452628 2438675 24494299 26417062
Indonesia 52137604 54088468 54151097 54454937 57048558
% Jawa 54,02% 54,79% 54,96% 55,02% 53,69%
Sumber: BPS, 2007 (diolah)
Beberapa faktor yang mendukung tingginya produksi dan produktivitas
padi di Pulau Jawa antara lain: kesesuaian lahan dan iklim untuk tanaman padi,
70
sarana irigasi yang lebih baik dibandingkan wilayah di luar Jawa, penerapan
teknologi yang lebih baik dan penyebaran informasi teknik budidaya yang lebih
cepat melalui berbagai penyuluhan di daerah.
Berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas perlu terus dilakukan,
mengingat pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Produktivitas lahan di
luar pulau Jawa masih tergolong rendah, yaitu rata-rata 3,69 ton/ha pada tahun
2006 dan meningkat menjadi 3,74 ton/ha tahun 2007. Produktivitas ini tentu
masih dapat ditingkatkan jika didukung dengan berbagai terobosan terutama
inovasi teknologi pertanian yang selama ini lambat dirasakan petani di luar Jawa.
3. Meningkatnya produksi pangan pokok nonberas
Pada dasarnya, pemenuhan kebutuhan energi tidak hanya dapat dipenuhi
melalui konsumsi beras saja. Berbagai bahan pangan lain juga memiliki
kandungan energi yang cukup seperti jagung, ubi jalar, ubi kayu, kentang dan
gandum. Tetapi hingga saat ini, beras masih menjadi makanan pokok (staple food)
bagi lebih dari 95 persen penduduk Indonesia dengan konsumsi per kapita sekitar
133,15 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini menjadikan Indonesia sebagai salah
satu negara konsumen beras terbesar di dunia.
Berbagai kebijakan untuk mengurangi konsumsi beras sebenarnya sudah
dirintis sejak tahun 60-an dengan konsep menganekaragamkan dan meningkatkan
mutu gizi bahan pangan sehari-hari sesuai dengan kebijakan diversifikasi pangan.
Namun, berbagai kelebihan beras seperti rasa beras yang lebih enak serta mudah
diolah, budaya makan penduduk serta tingginya suplai beras justru membuat
posisi beras semakin kuat di semua provinsi. Pangan lokal seperti jagung, umbi-
umbian dan sagu mulai ditinggalkan masyarakat, sebaliknya pangan global seperti
71
mi instan justru semakin digemari. Jika produksi beras semakin meningkat,
produksi tanaman pangan lain justru semakin menurun atau cenderung stagnan.
Hal ini disebabkan semakin menurunnya minat penduduk baik di kota maupun di
desa untuk mengonsumsi bahan pangan nonberas.
Rendahnya kebutuhan pangan nonberas secara ekonomi akan menurunkan
insentif petani untuk berproduksi karena rendahnya tingkat permintaan konsumen.
Terlihat pada Tabel 13, selama enam tahun terakhir, hanya jagung yang cenderung
meningkat. Sedangkan komoditas lain justru mengalami penurunan produksi.
Umumnya komoditas lain seperti ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai
hanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan sampingan sehari-hari dan sebagai
bahan baku industri pangan. Jumlah kebutuhan kedelai nasional sebenarnya
sangat tinggi sehingga kita harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan. Tetapi
potensi peningkatan kedelai nasional memang kurang dikembangkan dibanding
dengan produksi padi. Selain karena input yang kurang memadai, juga karena
masih rendahnya insentif bagi petani untuk berproduksi tanamanan kedelai.
Tabel 13. Produksi Beras dan Tanaman Pangan Utama Lainnya (000 ton)
Jenis Tanaman 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Padi 51490 52138 54089 54151 54455 57049
Jagung 9654 1088 11225 12524 11609 13280
Ubi Kayu 16913 18524 19425 19321 19987 18950
Ubi Jalar 1772 1992 1902 1857 1854 1874
Kacang Tanah 718 786 838 836 838 789
Kedelai 637 672 724 808 748 608
Sumber: Statistik Deptan, 2007
72
6.1.2. Kebijakan Impor
1. Penetapan hambatan tarif dan nontarif efektif
Selain melalui pengenaan tarif, upaya untuk memproteksi perdagangan
dilakukan melalui restriksi nontarif. Sejak tahun 2000, Indonesia mengenakan
tarif spesifik untuk beras sebesar Rp 430/kg (30% Ad valorem) kemudian direvisi
menjadi Rp 450/kg pada tahun 2005 (efektif mulai 1 Januari 2005). Tujuan utama
dikenakanya tarif adalah mengurangi jumlah impor ke Indonesia. Selama ini
impor beras Indonesia tergolong tinggi dibandingkan negara berkembang lain
dengan rataan 1,5 juta ton pada periode 1995-2000. Proteksi ini juga tergolong
transparan dan masih dapat diterima oleh negara maju mengingat harga beras
dunia cenderung lebih rendah dari harga beras domestik, nilai tarif impor masih
berada dibawah 160 persen bound rate untuk beras, dan Indonesia masih
membuka akses pasar untuk impor. Nilai tarif ini diharapkan mampu menutupi
paritas harga beras dunia terhadap harga beras dalam negri yang cenderung lebih
rendah selama beberapa tahun terakhir sehingga harga beras dalam negri menjadi
lebih stabil.
Kebijakan tarif impor juga dikombinasikan dengan berbagai retriksi
nontarif agar lebih efektif seperti pengenaan quota impor, lisensi importir,
pengaturan waktu impor sesuai SK. Mendag No. 9 Tahun 2004, pengenaan pajak
perbatasan, subdidi ekspor dan impor dan persyaratan kesehatan. Selain itu juga
dilakukan pengawasan ketat selama pelayaran dan pemeriksaan barang dan
karantina pada saat memasuki wilayah Indonesia (red line). Berbagai hal tersebut
bertujuan untuk menjamin keamanan beras impor saat dikonsumsi dan
mengurangi terjadinya penyelundupan beras selama masa impor.
73
2. Penurunan Jumlah Impor Beras
Salah satu indikator keberhasilan kebijakan impor adalah menurunnya
jumlah impor beras ke Indonesia. Penurunan impor ini dapat disebabkan karena
dua hal yaitu: penurunan konsumsi beras penduduk Indonesia atau peningkatan
produksi beras dalam negeri. Selama ini, meskipun terus terjadi peningkatan
produksi beras nasional melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, peningkatan
tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan domestik. Sehingga Indonesia
masih harus mengimpor. Perkembangan impor beras Indonesia dilihat pada
Gambar 11.
Gambar 11. Perkembangan Jumlah Impor Beras Tahun 1986-2006 (ton)
Sumber: BPS, 2007 (diolah)
Dari grafik di atas terlihat bahwa impor beras tertinggi terjadi pada periode
1995-2000. Pada tahun 1999, impor beras bahkan mencapai 4,8 juta ton (BPS,
2007). Krisis ekonomi tahun 1997 menyebabkan produksi padi nasional menurun
secara drastis karena kondisi ekonomi, politik dan keamanan yang kurang
kondusif. Berbagai tindak kerusuhan dan penjarahan terjadi pada masa itu juga
didorong adanya kekhawatiran kurangnya stok pangan pokok di pasar. Selain itu,
74
tingginya jumlah impor juga disebabkan oleh bencana El-Nino pada tahun1998
yang merusak sebagaian areal pertanian produktif di wilayah sentra beras.
Produktivitas padi turun hingga menyebabkan produksi beras turun sekitar 2 juta
ton, sementara jumlah penduduk terus meningkat. Selain itu pemerintah juga
melakukan liberalisasi perdagangan dengan membebaskan tarif impor hingga 0
persen akibat tekanan IMF dan WTO. Akibatnya tingkat ketergantungan impor
beras Indonesia semakin meningkat.
Pascakrisis, jumlah impor beras cenderung terus menurun. Hal ini
disebabkan semakin baiknya kebijakan peningkatan produksi padi nasional dan
diberlakukanya kebijakan tarif impor beras kembali tahun 2000. Berbagai insentif
juga diberikan kepada petani sebagai pendorong untuk berproduksi. Karena itu,
selama lima tahun terakhir, produksi beras terus mengalami peningkatan. Jika
beberapa tahun terakhir Indonesia masih terus mengimpor, hal itu lebih
disebabkan untuk kebutuhan Raskin dan menjaga stok aman dalam negri terutama
pada musim paceklik.
6.1.3. Kebijakan Harga
1. Harga beras di tingkat petani layak
Instrumen kebijakan harga yang digunakan untuk melindungi petani
domestik adalah melalui Harga Pembelian Pemerintah (HPP). HPP adalah harga
gabah/beras yang ditentukan pemerintah untuk menjamin penerimaan petani
produsen gabah/beras. Bulog bersama mitranya akan membeli gabah/beras petani
sesuai HPP. Berdasarkan Inpres No. 3 Th 2007 tentang Kebijakan Perberasan,
disebutkan bahwa harga pembelian GKP dalam negri dengan kadar air
maksimum 25 persen dan kadar hampa maksimum 10 persen adalah Rp 2000/kg
75
di tingkat petani atau Rp 2.035/kg di penggilingan. Harga GKP dengan kualitas
kadar air maksimum 14 persen dan kadar hampa 3 persen adalah Rp 2.575/kg di
tingkat petani atau Rp 2.600/kg di gudang Bulog. Sedangkan harga beras dengan
patahan 20 persen adalah Rp 4.000/kg di gudang Bulog.
Besarnya HPP dihitung dari komponen biaya produksi, biaya input seperti
pupuk, obat, benih, tenaga kerja, biaya pascapanen seperti penjemuran dan
penggilingan, nilai tukar dan inflasi menggunakan rumus R/C rasio. Karena itu,
untuk mendorong peningkatan pendapatan petani padi, besarnya HPP terus
mengalami rasionalisasi. Idealnya, besarnya HPP harus mampu menutupi biaya
produksi yang dikeluarkan petani sehingga petani mendapatkan keuntungan dari
usahatanianya.
Besarnya HPP tidak lagi ditentukan oleh Bulog, tetapi oleh pemerintah
dengan pertimbangan usulan dari Bulog setelah perubahan status Bulog menjadi
Perum pada tahun 2003. Tahun 2003 istilah Harga Dasar diganti menjadi HPP,
perggantian istilah ini ternyata memuat perubahan substansial mengenai
pembelian gabah petani. Jika dengan kebijakan harga dasar, pemerintah wajib
membeli seluruh kelebihan panen petani dengan harga dasar di tingkat petani.
Maka melalui HPP, pemerintah hanya berkewajiban membeli gabah petani sesuai
dengan tingkat kebutuhan pengadaan dalam negri sebesar HPP di gudang Bulog,
bukan di tingkat petani lagi. Perkembangan HPP dapat dilihat pada Gambar 12.
76
Gambar 12. Perkembangan Harga Pembelian Pemerintah Gabah Kering
Panen dan Gabah Kering Giling di Tingkat Petani Periode
2000-2007
Sumber: BULOG, 2007 (diolah)
Dari grafik terlihat bahwa dalam kurun waktu 2000-2007, baik HPP GKP
maupun GKG terus mengalami peningkatan. Untuk GKG riil tahun 2003-2004,
rata-ratanya di bawah HPP karena terjadinya over supply. Bulog tidak mampu
menyerap seluruh kelebihan panen petani sehingga harga jatuh sepanjang tahun
berjalan. Sedangkan untuk Harga GKP, pada periode tersebut cenderung sama
dengan HPP GKP di tingkat petani. Sepanjang tahun 2006-2007, baik harga riil
GKP maupun GKG rata-rata berada di atas HPP. Hal ini didorong peningkatan
kebutuhan beras dalam negri baik untuk pangan maupun untuk industri.
2. Harga beras di tingkat konsumen terjangkau
Perlindungan terhadap konsumen beras dilakukan melalui kebijakan Harga
Eceran Tertinggi (HET). Pemerintah akan menetapkan pagu harga (ceilling price)
terutama komoditas pangan utama seperti beras. Hal ini dilakukan untuk menjaga
agar komoditas pangan pokok masih dalam jangkauan daya beli konsumen,
77
terlebih golongan ekonomi bawah. Idealnya, harga beras di tingkat konsumen
harus mampu di akses oleh seluruh golongan masyarakat dengan harga yang
sesuai untuk setiap jenis dan kualitas beras. Selain itu, harga di pasar seharusnya
memberikan keuntungan bagi petani produsen maupun konsumen yang membeli.
Jika terjadi kerawanan pangan, Bulog sebagai stabilitator harga beras akan
melakukan OPM di wilayah yang mengalami kelangkaan dan kerawanan pangan.
Beras yang dijual melalui OPM berasal dari CBP dan dijual lebih rendah sekitar
10-15 persen dibanding harga pasar. Sedangkan untuk kelompok masyarakat
miskin, Bulog akan mendistribusikan Raskin sebagai bentuk perlindungan
konsumen akibat peningkatan harga beras.
Tabel 14. Harga Rata-Rata Beras di Tingkat Konsumen di Kota Besar
No Kota 2003 2004 2005 2006 2007 Pertumbuhan 06-07
1 Jakarta 3.436 3.374 3.671 4.840 5.095 5,26%
2 Bandung 2.720 2.700 3.132 4.129 4.375 5,96%
3 Semarang 3.047 3.011 3.417 4.361 4.664 6,29%
4 Jogjakarta 2.709 2.722 3.291 4.361 4.664 6,97%
5 Surabaya 2.637 2.647 3.643 4.284 4.123 -3,76%
6 Medan - - - - 5.355 -
7 Makasar - - - - 4.126 -
Sumber: Statistik Pertanian, Deptan (2007) Sejak tahun 2007, kota pengamatan ditambah dengan Medan dan Makasar
Harga rata-rata beras di semua kota pengamatan terus mengalami
peningkatan. Penyebab peningkatan harga adalah meningkatnya biaya produksi
seperti harga pupuk, benih unggul, obat-obatan dan biaya tenaga kerja. Selain itu
juga dipengaruhi meningkatnya harga BBM, harga barang kebutuhan pokok lain
dan tingkat inflasi yang secara agregat akan mendorong terjadinya peningkatan
harga barang dalam negeri termasuk beras.
78
6.1.4. Kebijakan Distribusi
1. Kecukupan stok beras sepanjang tahun
Beras merupakan pangan pokok rakyat Indonesia yang dibutuhkan
sepanjang tahun. Namun pengadaanya membutuhkan waktu karena bergantung
pada musim tanam. Bulan-bulan tertentu saat panen raya (Februari-Mei),
pasokannya melimpah, tetapi saat paceklik, sering terjadi kerawanan pangan di
beberapa daerah. Padahal jika dilihat dari total produksi dan konsumsi beras per
tahun, produksi dalam negeri sebenarnya sudah mampu mencukupi kebutuhan,
tetapi karena belum lancarnya proses distribusi menyebabkan kerawanan pangan
sering terjadi.
Bulog merupakan lembaga yang mengatur distribusi beras ke seluruh
wilayah Indonesia. Pengadaan beras dalam negri yang dibeli dari petani disimpan
dan didistribusikan pada gudang-gudang Bulog (divre/subdivre). Saat ini terdapat
lebih dari 1500 gudang Bulog di seluruh provinsi dengan kapasitas total ± 3,9 juta
ton beras12
. Selain berfungsi sebagai Cadangan Beras Pemerintah (CBP), beras
yang disimpan di gudang Bulog juga digunakan sebagai beras Raskin, bantuan
sosial, operasi pasar dan untuk keadaan darurat. CBP terdiri atas stok operasi, stok
penyangga (buffer stock) dan pipe line stock. Pemerintah mewajibkan Bulog untuk
menjaga stok penyangga aman sepanjang tahun sebesar 1-1,5 juta ton beras. Jika
jumlah ini berkurang, maka kewajiban Bulog untuk segera mengisinya kembali
baik melalui pengadaan beras dalam negeri maupun melalui impor.
12 Wawancara dengan Kepala Sub Divisi Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG [3 April 2008]
79
Gambar 13. Realisasi Pengadaan Beras Dalam Negri oleh Bulog (ton)
Sumber: BULOG, 2007 (diolah)
Kecukupan persediaan beras di tingkat provinsi perlu diperhatikan karena
wilayah Indonesia yang sangat luas dan berbentuk kepulauan. Untuk menghindari
kerawanan pangan, beras pemerintah disimpan di berbagai tempat. Sejak tahun
2003, fungsi Bulog lebih diutamakan pada pengadaan dan pendistribusian pangan
pokok golongan masyarakat tertentu melalui Raskin. Jumlah beras yang dikuasai
oleh Bulog sangatlah kecil dibandingkan dengan jumlah yang beredar di pasar,
hanya sekitar 10 persen. Karena itu sebenarnya manajemen stok dan distribusi
beras Bulog hanya berpengaruh kecil dan lebih sebagai upaya antisipasi terhadap
kerawanan pangan nasional. Pola distribusi beras di Indonesia dapat dilihat pada
Gambar 14.
Bulog membeli beras dari petani melalui beberapa cara yaitu melalui KUD
dan pedagang rekanan Bulog dengan harga sesuai HPP yang berlaku. Tetapi
sebagian besar beras untuk pengadaan dalam negeri dibeli Bulog dari pedagang.
Seharusnya, Bulog langsung membeli beras ke tingkat petani agar harga jual di
tingkat petani meningkat. Untuk meningkatkan efesiensi, Bulog dapat
80
memberdayakan kembali peranaan KUD. Keberadaan KUD dalam distribusi beras
sangat strategis bagi petani untuk mendapatkan harga sesuai ketentuan
pemerintah, khususnya saat panen raya. Beras yang sudah terkumpul kemudian
disimpan di gudang Bulog, yang kemudian disalurkan ke pasar melalui grosir.
KUD juga harus mengikuti pergerakan harga beras di pasar agar ketika harga
gabah di pasar lebih tinggi dari HPP, petani tidak lebih memilih untuk menjual ke
pedagang pengumpul dengan harga lebih tinggi.
Gambar 14. Pola Distribusi Beras Dalam Negeri Tahun 200413
2. Penyaluran beras untuk rakyat miskin terjamin
Sesuai dengan Inpres No. 3 Th 2007 tentang Kebijakan Perberasan, salah
satu tugas Bulog adalah sebagai penyalur beras kepada golongan masyarakat
tertentu melalui program Raskin. Raskin merupakan penyempurnaan program
Operasi Pasar Khusus (OPK) yang telah dilakukan sejak pertengahan 1998.
13 Distribusi Beras. www.bulog.co.id. Diakses tanggal 2 Januari 2008
Petani/Produsen
KUD
Pedagang Antar
Daerah
Pedagang Pengumpul Desa
Pengumpul Kec/ Penggilingan
SUB DOLOG Pedagang Antar
Daerah
GROSIR
Pedagang Antar Pulau
Konsumen
Pengecer
Pengecer Konsumen
81
Tujuan utama program ini adalah untuk menjamin kecukupan pangan bagi rakyat
miskin di seluruh nusantara. Beberapa pertimbangan mengapa bantuan pangan ini
diberikan dalam bentuk beras, antara lain karena beras merupakan pangan pokok
mayoritas penduduk yang porsi pengeluarannya sekitar 30 persen bagi penduduk
miskin14
. Model bantuan lainnya yaitu dalam bentuk uang tunai, namun pola ini
dirasa cukup rawan terhadap penyimpangan. Melalui Raskin, diharapkan
kelompok masyarakat miskin masih dapat mengakses beras yang bermutu.
Penyaluran raskin dilakukan melalui KUD dan biasanya biaya transportasi
dibebankan kepada penerima bantuan. Namun di berbagai daerah ditemukan
kasus penyelewengan program ini seperti pembagian beras yang tidak tepat
sasaran atau beras Raskin dimanfaatkan oleh oknum desa untuk dijual kembali.
Kelemahan lain program ini adalah kualitas beras yang kurang memenuhi standar
terutama beras yang dari pengadaan impor. Karena itu dalam penyalurannya perlu
pengawasan dari semua pihak agar target program tepat sasaran dan berjalan baik.
Dari grafik terlihat bahwa selama lima tahun terakhir, jumlah relalisasi
Raskin maupun RTM penerima terus mengalami penurunan. Realisasi Raskin
tertinggi terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 2,4 juta ton untuk 14,4 juta RTM.
Menurut data BPS, jumlah KK miskin meningkat sekitar 3 juta RTM pada periode
2006-2007 menjadi sekitar 19,1 juta RTM, tetapi pada tahun 2007 pagu yang
dialokasikan hanya 1,74 juta ton dengan alokasi penerima berjumlah 16,7 juta
RTM. Artinya beras yang diterima RTM semakin sedikit dibanding sebelumnya.
14 Ashari dan Mewa Ariani. 2003. Arah, Kendala dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi Pangan
di Indonesia. FAE Vol.21.No.2
82
Gambar 15. Perkembangan Realisasi Raskin Dari Tahun 2000-2007*
Sumber: BULOG, 2007
Ket: RTM = Rumah Tangga Miskin 2007* = Realisasi hingga Oktober 2007
Tahun 1998-2005, data miskin menggunakan versi BKKBN. Tahun 2006-2007 menggunakan versi BPS
6.2. Penilaian Efektivitas Kebijakan Beras Nasional
Penilaian efektivitas kebijakan beras di Indonesia dilakukan oleh
responden yang memahami perkembangan perberasaan di Indonesia. Penilaian
diukur dengan menggunakan rentang skala 1 - 4, dimana skala 1 adalah sangat
buruk, 2 adalah buruk, 3 adalah baik dan 4 adalah sangat baik. Penggunaan empat
skala ini bertujuan untukmengurangi central tendency jawaban responden. Skala
ini digunakan untuk menilai indikator-indikator keberhasilan masing-masing
komponen kebijakan perberasan. Setiap indikator disusun berdasarkan tujuan
akhir pencapaian setiap kebijakan perberasan. Nilai rata-rata penilaian dari setiap
kelompok responden dapat dilihat pada Tabel 15.
83
Tabel 15 . Nilai Rata-Rata Penilaian Indikator Kebijakan Perberasan
Indikator Ekonomi
Pertanian
Budidaya
Pertanian
Teknologi
Pertanian
Peneliti
PPSE
Peneliti
Balitan
Rata-
rata
Meningkatanya luas areal panen
2 2,1 2,6 2,5 2,1 2,3
Peningkatan Produktivitas Padi secara kontinyu
2,1 2,1 2,6 2,6 2,4 2,4
Bertambahnya pangan pokok nonberas
2,0 1,9 1,8 2,1 2,3 2,0
Jumlah impor beras menurun
2,4 2,1 2,4 3,0 2,0 2,4
Penetapan tarif,
quota, hambatan
nontarif
2,0 2,0 2,6 2,7 2,4 2,3
Harga beras di tingkat konsumen terjangkau
2,3 2,3 2,4 2,1 2,4 2,4
Harga beras di tingkat produsen layak
2,4 2,4 2,6 2,5 2,5 2,4
OPM dapat menstabilkan harga
2,2 2,2 2,8 2,2 2,2 2,4
Kecukupan stok Bulog
2,4 2,4 3,2 2,8 2,3 2,6
Penyaluran Raskin terjamin
2,0 2,1 2,2 2,5 2,0 2,2
Dari nilai rata-rata yang telah dihitung sebelumnya, kemudian akan
disajikan dalam bentuk diagram ular. Diagram ini digunakan untuk melakukan
penilaian sikap responden terhadap pencapaian kebijakan beras di Indonesia.
Diagram Ular juga memudahkan penilaian secara visual karena diagram ini
menghubungkan nilai rata-rata setiap indikator dengan sebuah garis lurus. Hasil
penilaian sikap setiap kelompok responden dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17.
84
Gambar 16. Penilaian Keberhasilan Kebijakan Beras Menurut Responden di
Bidang Keahlian Ekonomi Pertanian, Teknologi Pertanian dan
Budidaya Pertanian.
Keterangan: : Ahli Ekonomi Pertanian : Ahli Teknologi Pertanian : Ahli Budidaya Pertanian
1 : Sangat Buruk 2 : Buruk 3 : Baik 4 : Sangat Baik
Instrumen Kebijakan 1 2 3 4
Meningkatanya luas areal
panen
Peningkatan Produktivitas
padi secara kontinyu
Bertambahnya pangan
pokok nonberas
Jumlah impor beras
menurun
Penetapan tarif, quota tarif
dan hambatan nontarif
Harga beras di tingkat
konsumen terjangkau
Harga beras di tingkat
produsen layak
Pelaksanaan OPM dapat
menstabilkan harga
Kecukupan stok Bulog
sepanjang tahun
Penyaluran beras ke rakyat
miskin terjamin
85
Gambar 17. Diagram Ular Kebijakan Beras Menurut Responden Peneliti
dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Keterangan:
: Peneliti Pusbalitan
: Peneliti PSE-KP
Pada kebijakan produksi, tiga indikator utama yaitu peningkatan luas areal
panen, produktivitas yang kontinyu dan pertambahan pangan pokok nonberas
dinilai buruk dengan total nilai rata-rata indikator kebijakan produksi adalah 2,25.
Indikator peningkatan luas panen dinilai buruk oleh responden dengan nilai rata-
rata 2,3. Hanya kelompok responden teknologi pertanian dan peneliti PSE yang
memberi penilaian agak baik dengan rata-rata penilaian 2,6 dan 2,5. Buruknya
penilaian ini disebabkan karena menurut responden kinerja pemerintah dalam
Indikator Skala
Instrumen Kebijakan 1 2 3 4
Meningkatanya luas areal
panen
Peningkatan Produktivitas
padi secara kontinyu
Bertambahnya pangan
pokok nonberas
Jumlah impor beras
menurun
Penetapan tarif, quota tarif
dan hambatan nontarif
Harga beras di tingkat
konsumen terjangkau
Harga beras di tingkat
produsen layak
Pelaksanaan OPM dapat
menstabilkan harga
Kecukupan stok Bulog
sepanjang tahun
Penyaluran beras ke rakyat
miskin terjamin
86
mengurangi konversi lahan terutama di pulau Jawa belum optimal. UU Pokok
Agraria No. 5 Tahun 1960 yang selama ini berlaku belum dilaksanakan secara
benar. Fragmentasi lahan terus terjadi akibat sistem waris yang telah mendorong
konversi lahan pertanian. Menurut BPS, pada tahun 2007 terjadi peningkatan luas
areal panen sebesar 2,87 persen atau sebesar 338,4 ribu hektar. Peningkatan luas
panen terutama terjadi di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi sebesar 372,04 ribu
ha. Tetapi luas panen di pulau Jawa justru mengalami penurunan sebesar 32,64
ribu ha dibanding tahun sebelumnya. Penurunan luas lahan diduga akibat
tingginya konversi lahan pertanian produktif untuk perumahan dan kegiatan
ekonomi.
Upaya percetakan sawah baru juga terus mengalami hambatan. Selain
karena mahalnya biaya percetakan lahan baru, juga karena lamanya waktu yang
dibutuhkan agar lahan tersebut mampu berproduksi optimal. Akibatnya, luas areal
panen padi fluktuatif (Gambar 8) baik untuk lahan sawah irigasi maupun lahan
kering. Menurut Kasubid Padi Irigasi dan Rawa, Deptan, menurunnya jumlah
lahan irigasi disebabkan banyaknya infrastruktur irigasi yang rusak dan
menurunnya debit air sungai akibat kerusakan daerah serapan air. Dari sekitar 5,5
juta saluran irigasi, hanya sekitar 4,5 juta yang kondisinya masih baik sedangkan
sisanya rusak berat. Karena itu antara tahun 2000-2006, kenaikan luas lahan hanya
terjadi pada tahun 2001 dan 2004, masing-masing 0,01 persen dan 0,04 persen.
Tahun 2000-2002, total konversi sawah mencapai 187,7 ribu ha/th dengan
percetakan sawah baru rata-rata hanya 48,4 ribu ha/th. Sedangkan penurunan
lahan kering didorong konversi lahan menjadi area perkebunan terutama di luar
87
Jawa. Peningkatan lahan kembali terjadi tahun 2007 karena adanya program
P2BN sebagai upaya peningkatan produksi padi nasional.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga membuat luas areal per kapita
terus menurun. Hal ini akibat laju pertumbuhan percetakan lahan baru lebih kecil
daripada pertumbuhan jumlah penduduk. Karena itu, salah satu cara yang dapat
dilakukan dalam rangka meningkatkan produksi padi dalam negri adalah dengan
cara mengingkatkan Indeks Pertanaman (IP). Menurut Mentan (2007), IP padi
nasional rata-rata 1,6 per tahun. Nilai ini bahkan lebih rendah di luar Jawa. Jika
nilai IP ini dapat ditingkatkan menjadi 2,0 per tahun maka secara agregat produksi
padi nasional dapat meningkat sekitar 13,5 juta ton padi.
Kebijakan peningkatan produktivitas dinilai buruk oleh responden dengan
nilai rata-rata 2,4. Hanya responden dari bidang teknologi pertanian dan peneliti
PSE yang menilai agak baik dengan nilai 2,6. Responden berpendapat bahwa
selama lima tahun terakhir peningkatan produktivitas cenderung satgnan.
Peningkatan produktivitas rata-rata hanya 0,01 persen per tahun. Stagnansi ini
oleh beberapa ahli diduga karena lahan pertanian yang sudah jenuh (levelling off)
karena penggunaan input terutama pupuk yang tidak sesuai dengan kesesuaian
tanah dan rendahnya inovasi teknologi yang dikembangkan lembaga penelitian
dalam negri. Dilihat dari Gambar 10, selama tiga dekade terakhir memang terjadi
peningkatan produktivitas dari rata-rata 3,9 ton/ha pada tahun 80-an menjadi 4,3
ton/ha pada tahun 90-an dan meningkat menjadi 4,5 ton/ha mulai tahun 2000.
Berbagai kebijakan intensifikasi yang dikeluarkan pemerintah seperti Bimbingan
Massal, Insus dan Supra Insus dengan paket teknologi Panca Usahatani bahkan
berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984.
88
Menurut beberapa responden, sebenarnya produktivitas padi Indonesia
relatif sama dengan China, Thailand dan Vietnam, tetapi petani Indonesia kalah
pada beberapa aspek, diantaranya:
- Penerapan teknologi yang rendah, baik teknologi produksi maupun pascapanen.
Di negara lain, saluran irigasinya relatif lebih baik dan ada sepanjang tahun.
Selain itu, pola tanam padi dilakukan secara bergilir sehingga ketersediaan
pangan ada sepanjang tahun. Tetapi biasanya muncul masalah baru yaitu
serangan hama dan penyakit, sehingga hama dan penyakit harus dikelola
dengan baik. Sedangkan di Indonesia, banyak sekali saluran irigasi yang telah
rusak, cara pemanenan yang masih tradisional sehingga persentase gabah yang
hilang tinggi (menurut Bulog sekitar 20 persen), dan mesin penggilingan tua.
- Penyuluhan petani oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) mengenai produksi
masih sangat kurang sehingga petani berproduksi dengan pengetahuan
seadanya, terlebih lagi di daerah terpencil yang sukar dijangkau. Saat ini
terdapat 44.000 orang PPL yang tersebar di seluruh nusantara. Jumlah ini masih
sangat kurang bila dibanding dengan jumlah petani yang mencapai 21 juta RTP.
- Penggunaan input yang kurang berkualitas. Umumnya benih yang dipakai
petani bukan benih unggul melainkan benih dari hasil panen sebelumnya.
Selain itu juga penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebih sehingga lahan
menjadi jenuh dan hama menjadi resisten.
- Modal petani yang kecil. Karena sebagian besar petani kita adalah petani
miskin, maka perlu komitmen lebih dari pemerintah dalam rangka mendorong
peningkatan produksi padi.
89
Indikator peningkatan bahan pangan nonberas dinilai buruk oleh semua
kelompok responden dengan nilai rata-rata 2,0. Responden menilai selama ini
kebijakan diversifikasi pangan masih dalam skala wacana sehingga meskipun
gerakan diversifikasi sudah digalakkan melaui Inpres No. 20 Tahun 1979, namun
hasilnya belum optimal. Konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia masih
tetap tinggi yaitu 139,15 kg/kapita/tahun dengan konsumsi totalnya mencapai 32
juta ton (BPS,2007). Perkembangan konsumsi beras per kapita dapat dilihat pada
Gambar 18.
Gambar 18. Perkembangan Konsumsi Per Kapita Beras 1978-2006 (Ton)
Sumber: BPS, 2007 (diolah)
Tingginya konsumsi beras dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya:
rasa beras/nasi yang lebih enak dan mudah diolah dibanding bahan pangan lain,
kandungan gizi beras, konsep makan (merasa belum makan jika belum
mengkonsumsi beras/nasi), rendahnya pengembangan teknologi pengolahan dan
promosi/sosialisasi pangan nonberas, pendapatan masyarakat yang masih rendah,
kebijakan impor gandum promosi mie instan yang gencar, dan kebijakan
pemerintah yang tumpang tindih (Ashari, et all. 2003).
90
Konsep ketahanan pangan dalam bentuk menyediakan pangan pokok
dengan harga murah telah membuat kebijakan diversifikasi pangan gagal.
Berbagai bentuk perlindungan harga dan kecukupan ketersediaan membuat beras
menjadi komoditas superior yang ketersediaannya melimpah dengan harga murah.
Operasi pasar dan program Raskin juga turut mendistorsi efektifitas kebijakan
diversifikasi pangan. Harga yang murah membuat masyarakat enggan untuk
mengkonsumsi pangan nonberas, bahkan wilayah yang dulunya mengonsumsi
pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian pun kini beralih ke beras.
Menurut Sawit (1996), konsep diversifikasi dapat dibedakan menjadi dua
yaitu: 1) Pengendalian konsumsi beras dengan mensubtitusinya dengan komoditas
penghasil karbohidrat lain. 2) Memperbaiki mutu gizi dengan
menganekaragamkan jenis makanan yang dikonsumsi. Konsep pertama gagal
karena dilihat dari elastisitas silang beras yang rendah dan masih sangat
terbatasnya pangan alternatif yang setara dengan beras. Sedangkan konsep yang
kedua terhambat oleh rendahnya tingkat pendapatan masyarakat terutama
masyatakat bawah sehingga tidak mampu untuk membeli bahan pangan yang
beraneka ragam. Karena itu dalam upaya mengurangi konsumsi beras, beberapa
karakter seharusnya dipenuhi oleh pengganti beras, diantaranya: 1) Memiliki
kandungan protein dan karbohidrat yang cukup tinggi, 2) Ketersediaan yang
cukup di masyarakat, 3) Kemudahan pengolahan menjadi makanan pokok, dan 4)
Dari segi selera, pangan alternatif dapat diterima oleh lidah masyarakat Indonesia.
Meskipun dari ketiga indikator kebijakan produksi, responden menilai
belum efektif (skor rataan indikator 2,3), tetapi responden mengapresiasi
peningkatan kinerja pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi beras
91
nasional. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya produksi beras nasional
selama tiga dekade. Perkembangan produksi padi dan beras dapat dilihat pada
Gambar 19.
Gambar 19. Perkembangan Produksi, Konsumsi Padi dan Beras 1987-2007
(Ton)
Sumber: BPS, 2007 (diolah)
Selama 30 tahun terakhir, produksi beras terus mengalami peningkatan
hingga dua kali lipatnya dibanding tahun 1978. Produksi padi tahun 2007 bahkan
mencapai 57.052 juta ton, meningkat sekitar 4,76 persen atau 2,6 juta ton GKG
dari tahun 2006. Peningkatan ini merupakan keberhasilan dari program P2BN
yang dicanangkan Presiden SBY awal 2007 dengan target peningkatan produksi
sebesar 2 juta ton beras. Paket kebijakan ini sangat komperehensif karena relatif
terintegrasi dari praproduksi hingga pascapanen melalui berbagi skim pembiayaan,
subsidi benih unggul dan perlindungan harga jual melalui HPP dan program
LUEP. Meskipun realisasi distribusi benih bersubsidi baru tercapai sekitar 30
persen dan banyaknya bencana banjir di berbagai daerah, namun pemerintah
mampu mendekati target peningkatan produksi padi yang telah ditetapkan.
92
Untuk kebijakan impor, baik indikator penetapan tarif, quota tarif dan
hambatan nontarif maupun indikator penurunan jumlah impor beras dinilai buruk
oleh responden dengan nilai masing-masing 2,3 dan 2,4. Sehingga nilai total
rataan indikator kebijakan impor adalah 2,35 atau buruk. Hanya responden dari
peneliti PSE yang memberikan penilaian agak baik terhadap efektivitas kebijakan
impor dengan nilai 3,0. Menurut responden, kebijakan tarif yang dikenakan pada
beras pada satu sisi memang dapat mereduksi tingkat impor beras. Akan tetapi
tingginya disparitas harga beras impor terhadap harga beras dalam negri selama
beberapa tahun terakhir justru mendorong berbagai penyelundupan yang dapat
mendistorsi harga pasar. Sawit (1999) mencatat bahwa selama tahun 1998 beras
impor ilegal yang masuk ke Indonesia tidak kurang dari 6 juta ton. Umumnya
penyelundupan dilakukan dengan pemalsuan dokumen kepabeanan dan masuk ke
Indonesia melalui perdagangan antarpulau, terutama di perairan Sulawesi dan
Semenanjung Malaka.
Tujuan penerapan tarif spesifik adalah untuk mengurangi resiko
penyelewengan penentuan harga beras yang berbeda karena perbedaan
kualitasnya. Namun para importir memanfaatkan hal tersebut dengan cara
melaporkan jumlah impor lebih sedikit dari volume sebenarnya (under invoice).
Akhirnya pemerintah menambah perlindungan dengan inspeksi fisik ketat (red
line) pada beras. Akan tetapi hal tersebut sulit untuk memberantas penyelundupan
karena beberapa faktor, yaitu: 1) Infrastruktur yang kurang memadai, jumlah
kapal penjaga pantai sangat terbatas dan tua; 2) Terbatasnya biaya anggaran
APBN untuk operasional di perbatasan terutama kawasan perairan; 3) Rendahnya
gaji dan insentif pelaksana pengamanan sehingga mudah sekali untuk disuap
93
(moral hazard) dan 4) Banyaknya celah perairan untuk jalur keluar masuk barang
selundupan.
Ketidakefektifan tarif impor juga dapat dilihat secara tidak langsung dari
perbedaan data jumlah impor beras dari negara eksportir dengan data BPS yang
berasal dari laporan Bea Cukai. Data impor dari The Rice Trader dalam bentuk
The Rice Report jauh lebih tinggi dari laporan Bea Cukai. Perbedaan ini
disebabkan karena TRR mencatat seluruh beras yang diekspor ke Indonesia di
tingkat eksportir. Sedangkan Bea Cukai hanya mencatat impor beras yang
dilaporkan secara resmi. Semakin tinggi paritas harga beras dunia dibanding harga
beras dalam regri maka semakin tinggi insentif untuk penyelundupan. Pada
periode 1998-1999, laporan BPS lebih rendah 25 persen dari data TRR dan
meningkat menjadi 44 persen pada periode 2000-2003. Hal inilah yang
menyebabkan semakin buruknya penilaian responden terhadap efektivitas
kebijakan impor.
Tabel 16. Impor Beras dari Berbagai Sumber Periode 1996-2005 (Ton)
Tahun BPS TRR % Perbedaan (BPS/TRR)
1996 1.469.572 1.173.014 25
1997 351.992 781.604 -55
1998 2.900.550 6.076.542 -52
1999 4.751.850 4.182.774 14
2000 1.375.498 1.500.611 -9
2001 649.488 1.404.051 -54
2002 1.811.988 3.707.037 -51
2003 1.437.472 2.775.328 -48
2004 246.256 633.756 -61
2005 195.015 446.678 -56
Sumber: BPS dan TRR dalam Sawit dan Lokollo (2007)
Tingginya impor beras ke Indonesia juga akibat tekanan organisasi dunia
seperti WTO dan IMF pasca penandatangan kesepakatan AoA WTO. WTO secara
lugas sangat mendorong Indonesia membuka akses pasarnya untuk impor
94
minimum 5 persen dari kebutuhan domestik. Pasca liberalisasi tahun 1998, Bulog
dibatasi perannya, bahkan setahun kemudian perannya sebagai STE dicabut.
Akibatnya rataan impor beras meningkat hingga 1,5 juta ton per tahun.
Sebenarnya tingkat tarif impor Indonesia masih di bawah tariff line yang
dicatatkan di WTO yaitu sebesar 40 persen Ad Valorem dengan bound rate 160
persen. Tarif impor dan ekivalen tarif yang terapkan negara maju untuk produk
pertanian seperti Amerika dan Uni Eropa, Australia, Jepang dan Korea Selatan
umumnya lebih tinggi dengan nilai masing-masing 116,2 persen; 2,4 persen;
352,7 persen (Duncan et al. dalam Malian, 1999). Tetapi berbagai usulan untuk
meminta fleksibilitas tarif bagi negara-negara berkembang (G33) selalu mendapat
tentangan dari negara maju.
Indonesia adalah negara yang perlindungan impornya sangat lemah baik
dari tingkat tarif maupun nontarif. Indonesia belum memanfaatkan perlindungan
dari market acces, domestic support dan export subsidies seperti Safeguard,
Phytosanitary, TRQ, pajak perbatasan dan proteksi lain, tidak seperti negara lain
yang mengikat berbagai peraturan impor. Perlindungan melalui special product
untuk mendapatkan Special Safeguard Mechanism (SSM) WTO juga belum
dimanfaatkan untuk melindungi petani.
Menurut beberapa peneliti, rendahnya harga beras dunia sebenarnya tidak
mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya, karena banyak negara maju yang
memberikan berbagai subsidi dan kemudahan untuk petani di negaranya seperti
kredit lunak untuk pertanian, subsidi input, kemudahan ekspor dan berbagai
insentif perdagangan sehingga mendistorsi harga beras dunia. Sehingga beras
95
negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak dapat bersaing di pasar dunia.
Berbagai jenis proteksi impor beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Perlindungan Impor Beras pada Berbagai Negara
Negara Akses Pasar Dukungan Domestik Subsidi Ekspor
China Tarif, nontarif, quota, TRQ
Bantuan khusus produk yang berhubungan dengan pertanian
-
Korea Tarif, nontarif, quota, countervailing duty, anti dumping, safeguard
R n D daerah, subsidi impor Reverse for export losess, pengurangan pajak untuk perusahaan DN, voluntary export
resistant.
Jepang Tarif, larangan dan lisensi, quota, countervailing duty, anti dumping, safeguard
Tax break, interest loan Skim pembiayaan ekspor, asuransi, jaminan dan duty drawbook
Thailand Tarif, safeguard, quota Price support, paddy
pledging scheme, soft loan,
green border, subsidi input
Subsidi transport internal, external freight cost, pajak produk
Vietnam Bound tariff, izin impor, quota, phytosanitary,
safeguard
Subsidi pertanian, perlindungan hak cipta, iklim baik untuk investasi
Lisensi ekspor, pajak internal
Sumber: Siregar dan Lubis, 2003
Pada kebijakan Pengendalian Harga, total nilai rata-rata seluruh indikator
adalah 2,4 atau buruk. Harga di tingkat petani (HPP) dinilai buruk oleh responden
dengan nilai rata-rata indikator sebesar 2,4. Meskipun HPP terus meningkat tetapi
peningkatannya belum menutup biaya produksi sehingga pendapatan petani kecil
tetap rendah. Hal ini disebabkan karena banyaknya skala produksi petani padi
yang belum mencapai skala ekonomis. Dari kelima kelompok responden, hanya
responden peneliti PSE dan Teknologi Pertanian yang memberi penilaian
mendekati baik yaitu 2,7 dan 2,6.
Sejak tahun 1998, HGD sudah tidak efektif karena unsur penopang
kebijakan telah dicabut seperti: 1) Insulasi pasar domestik, dicabutnya monopoli
impor Bulog dan disubtitusi dengan tarif impor sebesar Rp 430/kg, 2) Captive
96
market Bulog dihilangkan sehingga kemampuan Bulog menyerap beras petani
turun, 3) Dana KLBI dicabut sehingga Bulog harus menggunakan dana komersial
untuk pengadaan beras, 4) Pencabutan berbagai subsidi input oleh pemerintah.
Akibatnya secara teknis, Indonesia tidak mungkin lagi menerapkan HDG dan
menggantinya dengan HPP (Kariyasa, 2007).
Sama dengan kebijakan HGD sebelumnya, penerapan HPP juga tidak
sepenuhnya efektif. Berdasarkan kajian PPSE, sepanjang tahun 2004 HPP tidak
efektif karena petani mendapatkan harga di bawah HPP (Gambar 13). Tahun 2005,
dari kajian di tiga sentra produksi padi (Jatim, Sulsel, Sumut), rata-rata petani
hanya menerima sekitar Rp 1500/kg GKP (86.7%) dari harga HPP. Rasionalisasi
HPP menjadi tidak efektif karena tidak menghitung berbagai biaya seperti biaya
transportasi. HPP umumnya ditetapkan di wilayah yang mudah dijangkau
transportasi. Petani yang ada di sekitar area itu akan mendapatkan harga gabah
sesuai HPP karena mereka tidak mengeluarkan biaya transportasi. Tetapi petani
yang berada jauh dari titik pembelian akan mendapat harga yang jauh lebih rendah
dengan alasan pemotongan biaya transportasi. Karena itu untuk mengefektifkan
HPP perlu kebijakan perberasan yang komperehensif dan terintegrasi dengan
kebijakan lainnya sesuai dinamika ekonomi perberasan.
Selain rendahnya insentif HPP, lemahnya akses informasi petani, terutama
di daerah, mengenai HPP menyebabkan banyak petani yang menjual panennya ke
tengkulak, meskipun dengan harga lebih rendah dari HPP. Sistem panen tebas
sehamparan dan ijon juga semakin merugikan petani. Petani tidak mempunyai
banyak pilihan karena biasanya mereka terjerat utang pada waktu musim tanam
dan membutuhkan uang untuk hidup.
97
Dalam rangka melindungi konsumen, pemerintah melakukan berbagai
kebijakan seperti penerapan harga eceran tertinggi, operasi pasar murni (OPM)
program Raskin. Baik penerapan HET maupun OPM dinilai buruk oleh responden
(nilai rata-rata 2,4). Penerapan berbagai kebijakan tersebut, di satu sisi memang
menguntungkan konsumen tetapi di sisi lain justru sangat merugikan petani.
Konsep ketahanan pangan kita yang menganut ketersediaan pangan murah,
telah mendorong pemerintah menekan harga dengan alasan agar beras dapat
dijangkau semua golongan ekonomi. Bulog sebagai stabilitator akan segera
melakukan operasi pasar ketika harga di pasar domestik melambung tinggi.
Bahkan jika stok dalam negri tidak mencukupi, Bulog diizinkan untuk mengimpor
beras sesuai kebutuhan. Akan tetapi OPM ternyata lebih banyak dinikmati oleh
konsumen berpendapatan menengah ke atas karena perbedaan kemampuan daya
beli. Kemudian pemerintah mengeluarkan program Raskin sebagai bentuk transfer
pendapatan kepada masyarakat kalangan bawah. Namun kebijakan seperti ini
justru dianggap mendistorsi harga pasar domestik. Malian (2004), menyatakan
bahwa OPM dan Raskin telah merusak mekanisme pasar beras dalam negri karena
tidak mencerminkan harga sebenarnya. Pada kondisi demikian, upaya peningkatan
produksi dengan peningkatan HPP dan penerapan tarif impor menjadi tidak efektif.
Dari sisi ekonomi, adanya HET dapat dikatakan berhasil karena dapat
menjaga kestabilan harga beras meskipun cenderung tejadi kenaikan akibat inflasi.
Pengendalian harga oleh Bulog juga membuat beras dapat diakses oleh seluruh
masyarakat. Namun hal ini semakin menguatkan persepsi bahwa pemerintah
cenderung lebih membela konsumen dibanding petani. Terlebih lagi, keterkaitan
harga produksi di tingkat produsen dan konsumen bersifat asimetri.
98
Keberhasilan Bulog dalam menstabilkan harga beras ternyata memiliki
dampak negatif bagi ekonomi perberasan Indonesia, antara lain: 1) Biaya yang
sangat mahal. Pemerintah harus mengeluarkan biaya yang sangat besar terutama
untuk pembelian dan biaya penyimpanan gabah/beras. Sawit mencatat periode
1998-1999, Bulog mensubsidi harga beras sebesar 14 Triliun dengan menjual
beras murah di bawah harga border. 2) Proteksi yang tidak tepat sasaran. Konsep
harga yang stabil dan murah ternyata lebih memihak konsumen karena produsen
terpaksa menjual beras/gabah untuk hidup karena mahalnya biaya simpan tidak
tertutupi pergerakan harga musiman (Pakpahan,et all,1992). 3) Margin pemasaran
tipis. Intervensi pemerintah melalui OPM dan Raskin membuat kondisi pasar
tidak sempurna sehingga harga pasar bebas tertekan lebih rendah. Akibatnya pasar
menjadi tidak efisien dan margin pelaku pasar turun. 4) Perubahan pola konsumsi
dari nonberas ke beras. Harga yang murah membuat konsumen enggan
mengkonsumsi pangan nonberas, sehingga program diversifikasi pangan gagal.
Hal inilah yang menyebabkan besarnya pengeluaran pemerintah untuk membiayai
kebijakan subsidi untuk beras.
Pada kebijakan distribusi, total nilai rata-rata seluruh indikator sebesar 2,4
atau buruk. Responden menilai kecukupan stok Bulog sudah baik (rata-rata 2,6).
Namun untuk penyaluran Raskin, responden menilai buruk (2,2). Baiknya
distribusi beras didukung oleh terbatasnya intervensi Bulog terhadap distribusi
beras nasional (kurang dari 10% dari pangsa pasar), gudang yang tersebar di
seluruh Indonesia, koordinasi yang baik antarwilayah dan hak istimewa yang
dimiliki Bulog sebagai STE dan stabilitator harga. Jika CBP berada di bawah stok
99
aman maka Bulog akan segera mengimpor untuk menutup kekurangan stok.
Sehingga buffer stock beras nasional tetap terjaga.
Penyaluran Raskin dinilai buruk oleh responden dengan rata-rata nilai 2,2.
Menurut responden, kebijakan ini hanya semakin membuat penduduk enggan
mendiversifikasikan pangannya dan menambah beban subsidi negara. Raskin juga
tidak efektif karena tidak dapat merangsang peningkatan pendapatan penerima
program. Seharusnya kebijakan subsidi lebih ditekankan dalam bentuk
pemberdayaan masyarakat miskin dan bersifat produktif. Berbagai bentuk
penyelewengan juga sering terjadi pada penyaluran Raskin seperti penjualan beras
Raskin kembali oleh penerima dan pengurangan jatah penerima oleh aparat desa.
Karena itu sebaiknya pemerintah segera mengurangi kebijakan Raskin dan
menggantinya dengan kebijakan yang lebih produktif sehingga masyarakat lebih
sejahtera.
Dari keempat kebijakan, kebijakan distribusi adalah kebijakan yang dinilai
paling efektif dibandingkan kebijakan lainnya. Menurut responden, meskipun
nilai total rata-rata indikator kebijakan distribusi sama dengan kebijakan harga
namun dampak distorsi kebijakan distribusi relatif kecil dibanding dengan dampak
distorsi kebijakan harga. Kebijakan yang dinilai paling buruk adalah kebijakan
produksi dengan total nilai rata-rata indikator terkecil. Buruknya penilaian
responden terhadap kinerja pemerintah disebabkan oleh kegagalan pemerintah
dalam mengembangkan determinan utama peningkatan produksi padi nasional.
6.3. Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Kesejahteraan Petani
Kompleksitas masalah ekonomi perberasan di Indonesia membuat
pemerintah harus lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan pangan baik
100
kebijakan produksi, impor, pengendalian harga maupun kebijakan distribusi beras.
Besarnya rumah tangga yang bergantung pada komoditas beras sebagai sumber
pendapatanya dari hulu hingga hilir menyebabkan setiap perubahan kebijakan
dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan rakyat.
Untuk mengetahui keberhasilan kebijakan perberasan, selain dilihat dari
data tingkat pertumbuhan PDB pertanian, juga diperlukan data pengukur tingkat
kesejahteraan penduduk khususnya petani. Salah satu indikator tingkat
kesejahteraan petani dan keadaan perekonomian pedesaan adalah nilai tukar
petani (NTP). NTP merupakan nilai pengukur kemampuan tukar (term of trade)
barang/produk pertanian yang dihasilkan petani terhadap barang dan jasa yang
diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan kebutuhan dalam memproduksi
hasil pertanian. Dengan kata lain, NTP adalah alat ukur daya beli petani.
NTP diperoleh dari persentase rasio indeks harga yang diterima petani (IT)
dengan indeks harga yang dibayar petani (IB). NTP > 100 menunjukkan
kemampuan/daya beli (kesejahteraan) petani lebih baik dibandingkan keadaan
pada tahun dasar (1993). NTP = 100 berarti kemampuan/daya beli petani sama
dengan keadaan pada tahun dasar. NTP < 100 menunjukkan kemampuan daya beli
petani menurun dibanding tahun dasar.
101
Gambar 20. Perkembangan Nilai NTP-Padi Periode 1992-2007
Sumber: BPS, berbagai tahun (diolah).
Pada Gambar 20 terlihat bahwa pada periode sebelum dan saat krisis
ekonomi, nilai rata-rata cenderung berfluktuasi setiap tahun. Penurunan secara
signifikan terjadi pada tahun 2000, pada saat memasuki masa pemulihan
pascakrisis. Penurunan NTP salah satunya disebabkan karena kondisi ekonomi
dan situasi politik yang belum kondusif. Tingginya inflasi dan depresiasi rupiah
terhadap dollar juga memicu harga-harga barang dalam negri meningkat tajam.
Petani yang umumnya berpendapatan kecil tidak mampu membeli kebutuhan
pokok, terlebih lagi input pertanian. Penurunan produksi pada selama periode
1997-1999 juga menjadi salah satu faktor penyebabnya. Pada periode tersebut,
Indonesia juga mengimpor beras dengan jumlah sangat besar sehingga terjadi over
supply di dalam negri. Harga di tingkat petani semakin jatuh dan secara agregat
kesejahteraan petani kecil semakin menurun. Dibandingkan pada tahun dasar
(1993 = 100) maka, secara umum kesejahteraan petani padi tidak meningkat atau
102
dapat dikatakan bahwa petani padi Indonesia lebih miskin dibandingkan
sebelumnya.
Periode 2000-2007, nilai NTP terus berfluktuasi sepanjang tahun. NTP
akan cenderung menurun pada saat panen raya dan kembali meningkat
sesudahnya. Selain berfluktuasi, nilai tukar petani padi juga lebih kecil dari nilai
tukar petani komoditas lain seperti perkebunan yaitu sebesar 195 (Outlook
Perkebunan, 2006). Kondisi ini mengindikasikan bahwa secara eksplisit, petani
komoditas perkebunan relatif lebih sejahtera daripada petani tanaman pangan.
Fluktuasi ini dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut di pasar, fluktuasi harga
barang konsumsi, biaya produksi pertanian dan penambahan barang modal (BPS,
2004).
Rendahnya nilai NTP petani padi sangat terkait dengan kebijakan harga
tanaman pangan. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang paling dilematis bagi
pemerintah. Pada satu sisi, pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan petani
melalui peningkatan HPP dan di sisi lainya pemerintah harus menjaga kestabilan
harga beras di tingkat konsumen agar tidak melebihi kemampuan daya beli riil
masyarakat.
Jika dilihat dari data realisasi HPP, sepanjang tahun 2006-2007, harga
GKP rill berada di atas HPP. Akan tetapi oleh beberapa peneliti dan petani,
tingkat HPP masih dianggap terlalu rendah bahkan belum mampu menutupi biaya
pupuk selama produksi15 . Petani berharap pemerintah merasionalisasi kembali
tingkat HPP agar lebih sesuai. Sebaliknya konsumen juga sering merasa bahwa
harga beras masih terlalu tinggi. Sepanjang tahun 2007 harga beras cenderung
15 Wawancara dengan Beberapa Peneliti PPSE dan Pusbalitan serta beberapa petani di Karawang
103
meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Akibatnya kebijakan harga
dianggap tidak berpihak pada petani dan tidak melindungi konsumen.
Salah satu penyebab tidak efektifnya kebijakan harga adalah besarnya
disparitas harga di tingkat petani dan konsumen. Besarnya disparitas harga
disebabkan belum efisiennya tataniaga beras dan ditambah dengan kondisi pasar
yang bersifat asimetris. Alur tataniaga yang panjang membuat margin pemasaran
petani sangat kecil. Banyak pedagang sekaligus berperan sebagai pemilik
penggilingan sehingga sering mengambil kesempatan untuk memainkan harga.
Pedagang juga sering memanfaatkan isu menjelang impor dengan mengurangi
pembelian dari petani. Maka saat beras impor datang terjadi over supply di pasar,
harga di tingkat petani turun. Pada saat tersebut banyak pedagang besar yang
membeli gabah petani dengan harga murah untuk disimpan di gudang.
Gambar 21. Perkembangan Harga Gabah dan Beras Rill Tahun 1993-2007
Sumber: Statistik Pertanian, Deptan 2007
Sifat pasar beras yang asimetris terjadi karena lemahnya posisi tawar
(bargaining position) petani. Menurut Simatupang, petani lebih banyak menjadi
penerima harga (price taker), sementara penentuan harga lebih dominan dilakukan
pedagang. Sehingga ketika harga naik di tingkat konsumen, kenaikan itu
Harga riil Eceran
Harga riil HPP
Harga riil GKP
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
104
ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke petani tetapi tidak berlaku
sebaliknya. Pedagang umumnya tidak terlalu menerima dampak negatif dari
fluktuasi harga di pasar karena dapat dengan mudah menyesuaikan marjinnya.
Kelemahan lain petani kecil adalah lebih banyak menjual gabah dalam
bentuk GKP daripada GKG ataupun beras. Harga GKP relatif lebih rendah
dibandingkan harga GKG/beras dan sangat mudah rusak karena perubahan
lingkungan. Sepanjang bulan Maret 2008, harga GKG dan beras cenderung
meningkat melebihi HPP namun harga GKP jatuh di pasar. Kondisi ini sangat
merugikan petani, padahal rentang waktu tersebut belum memasuki panen raya.
Jatuhnya harga GKP disebabkan beberapa faktor yaitu: 1) Panen terjadi pada
bulan basah karena anomali iklim sehingga kadar air tinggi; 2) Kapasitas dryer
Rice Milling Unit (RMU) terbatas sehingga membeli gabah petani dalam jumlah
terbatas; 3) Buruknya manajemen pascapanen seperti perontokan yang tidak
sesuai dan panen yang terlalu dini; 4) Sistem penjualan melalui ijon dan tebasan
ke tengkulak karena ingin mendapat uang tunai dengan cepat16
.
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani, usaha yang paling
relevan adalah melalui peningkatan produksi diiringi dengan efisiensi produksi
dan tataniaga. Beberapa peneliti juga berpendapat bahwa untuk meningkatkan
pendapatan, petani harus dilibatkan lebih luas dalam penanganan pascapanen
hingga tingkat penggilingan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dominasi RMU.
Pemberdayaan kelembagaan seperti KUD harus dioptimalkan kembali sebagai
sarana bagi petani untuk meningkatkan posisi tawar.
16 Wawancara dengan Kepala Sub Bidang Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG
105
Efisiensi produksi dan tataniaga menuntut peran pemerintah baik melalui
regulasi maupun bantuan dana. Insentif untuk mendorong produksi padi juga
harus terus diperbaiki agar pendapatan petani meningkat, mengingat sebagian
besar petani Indonesia adalah petani kecil dan miskin yang tidak memiliki
kemampuan bersaing dengan petani negara lain yang sarat akan proteksi dan
subsidi.
Menurut Sugema (2006), ada empat hal yang dapat dilakukan pemerintah
untuk meningkatkan efisiensi produksi dan tataniaga yaitu: 1) Pembangunan
sarana infrastruktur fisik pertanian dan pedesaan. Selama ini infrastruktur irigasi,
jalan desa dan kecamatan terus mengalami kemerosotan. Akibatnya disparitas
harga di tingkat petani dan konsumen tinggi. Membaiknya infrastruktur terutama
jalan diperdesaan akan mengurangi biaya produksi dan tataniaga. 2) Mengadopsi
bibit unggul sehingga produktivitas dapat ditingkatkan. Dalam hal ini terdapat dua
masalah yaitu: a. Dana riset terutama untuk pemuliaan tanaman yang terbatas; b.
Tingkat adopsi petani yang rendah terhadap teknologi baru. Karena itu, dalam hal
riset sebaiknya kita mencontoh Thailand yang memberikan perhatian penuh
terhadap riset pertanian. 3) Perlunya reformasi agararia yang fokus pada
pemanfaatan lahan tidur dan tidak produktif. 4) Rekayasa ulang kelembagaan
pangan Indonesia17. Desentralisasi dan euforia otonomi daerah membuat program
pembangunan pertanian menjadi terpecah-pecah dan tergantung pada kebijakan
pemerintah daerah. Sehingga pencapaian target produksi sulit dicapai. Sebaiknya
masalah pangan tetap dipegang oleh pemerintah pusat dengan dikoordinasikan ke
pemerintah daerah agar seluruh program dapat berjalan dengan baik.
17 Imam Sugema. Krisis Kebijakan Beras. www.kompas.com [26 November 2007]
VII. PRIORITAS STRATEGI KEBIJAKAN PERBERASAN
7.1. Identifikasi Faktor Strategis Internal
Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
internal dari ekonomi perberasan di Indonesia. Kekuatan dan kelemahan ini
ditinjau dari semua elemen kebijakan baik kebijakan produksi, impor,
pengendalian harga dan kebijakan distribusi. Dari hasil identifikasi akan dapat
diketahui potensi dan rumusan strategi pengembangan kebijakan perberasan yang
tepat di masa mendatang dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Semua
faktor, baik internal maupun eksternal ditentukan dengan mengacu pada indikator-
indikator efektivitas kebijakan beras.
7.1.1. Kekuatan
1. Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan Gerakan
Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Gabah (G4PG).
P2BN merupakan program yang dikeluarkan pemerintah tahun 2007
dalam rangka meningkatkan produksi padi nasional. Target program ini adalah
peningkatan 3,6 juta ton GKP atau setara 2 juta ton beras. Paket kebijakan ini
terdiri dari 4 strategi yang sangat komprehensif yaitu peningkatan
produktivitas, perluasan areal panen, pengamanan produksi serta
pemberdayaan kelembagaan dan dukungan pembiayaan. Sedangkan G4PG
adalah program pemerintah dalam rangka mengurangi kehilangan pasca
panen. Menurut Mustafa (2007), tingkat kehilangan pascapanen kita sekitar 20
persen, sehingga bila dapat dikurangi maka produksi akan meningkat.
107
Dalam rangka mencapai target, pemerintah melengkapi paket
kebijakan ini melalui berbagai program penunjang seperti: 1) Subsidi input
(benih unggul nonhibrida seperti varietas Ciherang, Cibogo, Ciliwung,
Mekongga dan Situbagendit, benih hibrida serta subsidi pupuk); 2) Perbaikan
jaringan irigasi, pemanfaatan lahan kering, lahan kurang produktif,
percetakaan sawah baru dan hujan buatan; 3) Program pengendalian hama
terpadu (PHT); 4) Revitalisasi dan penerapan manajemen pascapanen untuk
mendukung G4PG; 5) Pemberdayaan kelompok tani dan penyuluhan pertanian
(PPL); 6) Bantuan peralatan melalui berbagai skim pembiayaan pertanian
seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan
Pertanian (SP3) dan Dana Penguatan Modal-Lembaga Usaha Ekonomi
Pedesaan (DPM-LUEP) 18 . Berbagai skim kredit ini bertujuan untuk
mendorong petani berproduksi agar meningkatkan pendapatan. Berkat paket
kebijakan ini, tahun 2007 produksi padi nasional mencapai 57,052 juta ton
GKG atau naik 4,77 persen (2,60 juta ton) dibanding produksi tahun 200619
.
Meskipun belum mencapai target, tetapi pemerintah terus melakukan
perbaikan agar Indonesia dapat mencapai swasembada beras pada tahun 2015.
2. Kebijakan tarif impor dan hambatan nontarif seperti quota, harga impor
minimum, lisensi dan Tarif Rate Quota
Proteksi beras dalam negri juga dilakukan dengan penerapan berbagai
hambatan impor baik melalui pengenaan tarif, restriksi nontarif, penerapan
quota impor, dan penerapan Tariff Rate Quota (TRQ). Tarif impor spesifik
mulai dikenakan Indonesia sejak tahun 2000 sebesar Rp 430/kg yang kemudian
18
Pedoman Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), Deptan 2007
19 BPS: Produksi Padi 2007 Naik 4,77%, NTP 108,63; www.agrinewsonline.go.id [26 Maret 2008]
108
dirasionalisasi menjadi Rp 450/kg tahun 2005. Hal ini disebabkan karena
pasca liberalisasi beras, ekonomi perberasan Indonesia menjadi tidak kondusif.
Insentif petani untuk berproduksi sangat rendah karena serbuan beras impor
dan penetapan HPP menjadi tidak efektif untuk mengangkat harga beras di
tingkat petani. Meskipun berbagai kajian menunjukkan bahwa pengenaan tarif
impor belum efektif karena dari hasil perhitungan masih ada perbedaan sekitar
Rp 200/kg antara harga gabah dalam negri dangan harga paritas impor (setelah
tarif) dalam equivalen gabah dengan asumsi harga beras impor US$ 300/ton20
.
Karena itu selain tarif spesifik, pemerintah kemudian memperketat impor
dengan mengenakan berbagai hambatan nontarif seperti quota, red line dan
memberi dukungan melalui lisensi impor.
TRQ merupakan bentuk hambatan perdagangan, tetapi relatif transparan
karena bukan sebagai quantitative restriction karena tetap membuka pasar dan
menerapkan tarif (tarif lebih rendah di dalam quota dan lebih tinggi di luar
qouta). Untuk beras Indonesia, akses minimumnya sebesar 70.000 ton (tarif
90%) dan di luar quota sebesar 160 persen (bound rate). TRQ juga masih
ditoleransi oleh WTO karena masih membuka pasar dan Indonesia merupakan
negara berkembang sehingga penurunan tarif hingga 0 persen menjadi lebih
lama. Semua kebijakaan ini dilakukan untuk melindungi beras domestik dari
serbuan beras impor serta mengurangi tingkat ketergantungan impor Indonesia
karena dapat mengancam ketahanan negara dan menghabiskan devisa negara.
20 Hermanto (Kepala Pusat Pengembangan Distribusi Pangan, BKP, Deptan) dalam artikel
Implementasi Kebijakan Perberasan Nasional; www.suarapembaharuan.com [26 November 2007]
109
3. SK Menperindag No. 9 Tahun 2004 tentang Importasi Beras.
Selain melalui hambatan tarif dan nontarif, mekanisme impor beras di
Indonesia juga diatur melalui SK Menperindag No. 9 Th.2004 tentang aturan
Importasi Beras. Dalam SK ini, tertuang bahwa impor beras dilarang selama 1
bulan sebelum panen raya, selama panen raya dan 2 bulan setelah panen raya.
Impor beras juga hanya diperbolehkan untuk importir yang telah diakui sebagai
Importir Produsen Beras (IP Beras) dan telah ditunjuk sebagai Importir
Terdaftar (IT). Pelaksanan importasi oleh IT hanya dapat dibongkar di
pelabuhan tujuan yang telah ditetapkan Dirjen Perdagangan Luar Negri.
Sedangkan beras yang diimpor oleh IP hanya boleh digunakan sebagai bahan
baku produknya saja, tidak diperbolehkan untuk diperdagangkan kembali.
Sedangkan periode di luar panen raya, beras impor dapat masuk dengan
pengaturan jumlah, tempat (pelabuhan), kualitas dan waktu.
SK ini merupakan salah satu kebijakan yang komprehensif untuk
memproteksi beras dalam negri. Karena itu perlu koordinasi dari berbagai
elemen agar kebijakan ini dapat berfungsi secara optimal melindungi petani.
4. BULOG kembali memonopoli impor dan mengendalikan harga.
Faktor strategis lain dari kebijakan beras nasional adalah diakuinya
kembali Bulog sebagai STE oleh WTO mulai bulan Agustus tahun 2003. Status
ini memberikan peluang baru Indonesia untuk dapat memproteksi dan
menstabilkan ekonomi perberasan dalam negri. Selain itu Bulog juga kembali
memonopoli impor dan mengendalikan harga beras di Indonesia sejak 2007
melalui Surat K eputusan Mendag No.1109 tahun 2007. Diharapkan jika beras
110
dimonopoli oleh STE, sistem kontrolnya akan lebih mudah. Namun kebijakan
ini menuai banyak kritik karena dikhawatirkan sarat akan praktek KKN
sehingga perlu pengawasan dari semua pihak.
5. Beberapa Pelabuhan aktif untuk ekspor impor dan distribusi dan adanya
Cadangan Beras Pemerintah
Untuk memperlancar proses distribusi beras ke seluruh tanah air, di
Indonesia juga terdapat beberapa pelabuhan aktif untuk ekspor impor dan
ratusan pelabuhan untuk perdagangan antar pulau. Kemudahan lalu lintas
transportasi sangat penting mengingat kondisi wilayah Indonesia yang terdiri
atas ribuan pulau. Sedangkan untuk menjaga ketersediaan pangan sepanjang
tahun, pemerintah menerapkan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) minimal 1
juta ton di gudang Bulog. CBP terdiri dari stok operasional, stok penyangga
(buffer) dan pipeline stock. CBP dipenuhi dari pengadaan dalam negri dan
digunakan sebagai insulasi HPP. Berdasar prognosa awal tahun 2008,
kebutuhan beras Bulog dari pengadaan dalam negri sebesar 2,7-3 juta ton setara
beras. CBP dapat digunakan sewaktu-waktu terutama untuk keadaan darurat
dan sebagian didistribusikan sebagai beras Raskin agar kualitas beras Bulog
tetap terjaga.
6. Kebijakan HPP dan Harga Eceran Tertinggi
Harga Pembelian Pemerintah mulai digunakan sebagi instrumen untuk
melidungi petani sejak tahun 2003. Sebelumnya, HPP lebih dikenal sebagai
Harga Dasar (HD). HPP sendiri terdiri atas Harga Gabah Kering Panen (GKP),
Harga Gabah Kering Giling (GKG) dan Harga Beras. Penetapan HPP telah
111
tertuang dalam Inpres No.9 Tahun 2002 dan terus dirasionalisasi seiring dengan
perubahan harga input, inflasi dan harga beras internasional.
Kebijakan HPP bertujuan untuk melindungi pertani dengan cara
menetapkan harga pembelian gabah maupun beras untuk pengadaan dalam
negri terutama pada saat panen raya. Berdasarkan data Bulog, sepanjang tahun
2006 hingga pertengahan 2007, harga GKP maupun GKG berada di atas harga
HPP yang ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan Harga Eceran Tertinggi
(HET) bertujuan untuk melindungi konsumen. Pemerintah akan menetapkan
pagu harga ketika harga beras melambung tinggi sehingga masih berada di
kisaran daya beli masyarakat.
7. Operasi Pasar Murni dan program Raskin
Selain melalui HPP dan HET, perlindungan harga juga dilakukan
melalui Operasi Pasar Murni (OPM) pada saat harga beras di pasar melambung
tinggi baik yang disebabkan over demand maupun kelangkaan stok. Umumnya
OPM ditetapkan lebih rendah sebesar 10-15 persen dari harga pasar. Bulog
juga akan melepas stok berasnya agar jumlah penawaran beras naik sehingga
harga turun. Sedangkan untuk melindungi rakyat miskin, pemerintah juga
melakukan Program Raskin sejak tahun 1997 sebagai bentuk perlindungan agar
rakyat miskin tetap dapat mendapatkan pangan yang layak dalam jumlah cukup
sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2002 dan Inpres No.3 Tahun 2007.
8. Adanya berbagai kredit pertanian dan program DPM-LUEP
Untuk mendukung efektivitas kebijakan perberasan, pemerintah juga
mengeluarkan berbagai skim kredit pertanian untuk membantu petani
mangatasi permasalahan permodalan. Bantuan peralatan dikucurkan melalui
112
berbagai skim pembiayaan pertanian seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP)
sebesar Rp 387 Miliar dan Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3)
sebesar Rp 1 Triliun. Hingga September 2007, realisasi KKP untuk tanaman
pangan baru mencapai 62, 61 persen dari plafon yang disediakan pemerintah.
Sedangkan untuk mempermudah penyaluran KKP, pemerintah menunjuk 10
bank sebagai penyalur kredit pada petani. Bank tersebut adalah Bank BRI,
BNI, BCA, Mandiri, Bukopin, Agro, Niaga, BII, Danamon dan BPD.
Selain memberikan kredit pertanian, pemerintah juga membentuk Dana
Penguatan Modal-Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) sejak
tahun 2005. Program DPM-LUEP bertujuan untuk mengamankan kebijakan
HPP sehingga petani mendapatkan harga sesuai ketentuan pemerintah terutama
di wilayah yang tidak dijangkau Bulog. Tahun 2007, pemerintah
menganggarkan dana sebesar Rp 223 Miliar21. Program ini diharapkan dapat
mengangkat harga di tingkat petani dan meningkatkan posisi tawar petani dari
srtuktur pasar yang oligopsoni yang selama ini lebih dikendalikan oleh para
tengkulak dan pedagang besar.
7.1.2. Kelemahan
1. Penguasaan lahan sempit dan tingginya konversi lahan
Beberapa kelemahan yang harus diperbaiki dalam pembangunan
pertanian Indonesia antara lain penguasaan lahan yang sempit menyebabkan
pendapatan petani tidak mencukupi kebutuhan hidup jika hanya dari
usahataninya saja. Rata-rata penguasaan lahan petani kurang dari 0,3 ha/RTP22
.
Karena itu sebagian petani padi selain menjadi produsen juga menjadi net
21 Pedoman Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), Deptan 2007
22 Wawancara dengan Kepala Badan Ketahanan Pangan, Deptan [14 April 2007].
113
consumer beras. Sempitnya pengusahaan lahan, terutama di Jawa terjadi karena
sistem warisan yang turun temurun dan tingginya konversi lahan pertanian
menjadi lahan nonpertanian. Sistem warisan yang membagi rata lahan
pertanian kepada keturunan menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan yang
akhirnya mendorong terjadinya konversi dengan alasan ekonomi. Jika konversi
tidak segera ditanggulangi maka dalam jangka panjang jumlah lahan produktif
terutama di Pulau Jawa akan semakin berkurang, padahal selama ini Pulau
Jawa selalu mensuplai lebih dari 50 persen total produksi padi nasional.
2. Infrastruktur produksi dan teknologi pascapanen yang masih tertinggal
serta rendemen padi yang menurun
Tertinggalnya penerapan teknologi produksi dan pascapanen juga
menjadi kelemahan tersendiri bagi peningkatan produksi padi. Selain terkait
dengan kualitas sumber daya petani yang umumnya masih rendah juga karena
minimnya inovasi teknologi lembaga-lembaga penelitian dalam negri. Sarana
infrastruktur produksi seperti sarana irigasi banyak yang rusak dan peralatan
produksi masih sangat sederhana dibanding negara lain.
Dari hasil inventarisasi Dirjen Pengairan, Dinas Pekerjaan Umum tahun
1999, dari sekitar 6,7 juta ha total jaringan irigasi sekitar 1,4 juta ha rusak
ringan dan 126 ribu ha rusak berat. Jumlah ini pun diperkirakan akan semakin
bertambah mengingat semakin minimnya anggaran pemerintah dan
desentralisasi. Teknologi pascapanen juga masih tertinggal. Karena itu
sebagian besar petani menjual gabah dalam bentuk GKP dengan harga rendah.
Selain itu sebagian besar mesin pemanen, perontok, penggiling (RMU) maupun
pengering di Indonesia menggunakan mesin-mesin yang sudah tua
114
(Malian,2004). Akibatnya rendemen padi terus menurun dari 70 persen pada
tahun50-an menjadi 63,2 persen saat ini. Karena efisiensi dan optimalisasi
produksi tidak tercapai.
3. Indeks Pertanaman masih rendah terutama di luar Jawa
Minimnya infrastuktur juga menyebabkan produksi padi tidak dapat
dilakukan sepanjang tahun karena terkendala masalah pengairan. Rata-rata
Indeks Pertanaman Indonesia sekitar 1,5-1,6 per tahun. Nilai IP di luar Jawa
bahkan cenderung lebih rendah karena banyaknya lahan yang kurang produktif,
lahan yang tidak sesuai dan kurangnya saluran irigasi. Jika IP nasional dapat
ditingkatkan menjadi 2,0 per tahun, Indonesia berpeluang menambah produksi
lebih dari 13,5 juta ton GKG atau setara 9 juta ton beras akan semakin
terbuka23.
4. Mahalnya harga input yang berkualitas seperti bibit jenis unggul, pupuk
dan obat-obatan.
Mahalnya harga input yang berkualitas disebabkan sebagian besar input
terutama obat-obatan dan bibit unggul masih diimpor dari luar negri. Selain itu
juga adanya ketergantungan petani terhadap penggunaan pupuk buatan dan
pestisida anorganik. Sehingga pada saat pemerintah mencabut subsidi pupuk
pada tahun 1998, produksi padi kita menurun drastis. Apalagi ditambah dengan
kemampuan modal petani kecil yang sangat terbatas untuk mengakses input.
Berbagai upaya efisiensi produksi sebenarnya telah dilakukan, tetapi
hasilnya belum efektif karena semua elemen berkerja sendiri-sendiri dan
kurang terkoordinasi. Pengembangan bibit unggul sebenarnya banyak
23 BPS: Produksi Padi 2007 Naik 4,77%, NTP 108,63; www.agrinewsonline.go.id [26 Maret 2008]
115
dilakukan oleh lembaga riset dalam negeri. Tetapi karena minimnya dukungan
dana pemerintah maka sebagian besar masih pada tahap laboratorium.
5. Kegagalan program diversifikasi pangan pokok
Tingkat ketergantungan konsumsi beras rakyat Indonesia yang tinggi
menyebabkan kegagalan program diversifikasi pangan pokok. Bahkan terdapat
kecenderungan masyarakat yang dulunya tidak mengkonsumsi beras saat ini
beralih untuk mengkonsumsi beras. Kegagalan program ini juga didorong oleh
tumpang tindihnya kebijakan pemerintah seperti kampanye swasembada beras
dan impor gandum yang mendistorsi kebijakan diversifikasi. Padahal di
Indonesia terdapat berbagai jenis sumber karbohidrat nonberas seperti ubi
kayu, ubi jalar, kentang, jagung, talas, sagu dan umbi-umbian lainya.
Berbagai kelebihan beras dan kemudahan teknologi pengolahan juga
membuat masyarakat enggan untuk berpindah pada bahan pangan lain.
Ketersedian beras dalam jumlah banyak di pasar dan murah membuat
masyarakat semakin menyukai beras. Selain itu juga ada anggapan bahwa jika
mengkonsumsi makanan pokok selain beras akan menurunkan prestise
konsumennya. Faktor inilah yang membuat posisi beras sukar digantikan.
Berdasarkan wawancara dengan Kasubid Pengamatan Harga dan Pasar,
Bulog (2008), saat ini pemerintah sedang menyusun rencana untuk
mendiversifikasi CBP sehingga tidak hanya dalam bentuk beras saja.
Rencananya bantuan Raskin juga akan didiversifikasi dengan bahan pangan
pokok lain seperti tepung dan gandum. Pemerintah juga sedang membahas
aturan bahwa pabrik makanan tidak boleh menggunakan tepung terigu
seluruhnya tetapi harus dicampur dengan tepung lokal. Hal ini bertujuan untuk
116
mengurangi ketergantungan impor gandum dan meningkatkan konsumsi
pangan lokal. Permasalahanya adalah apakah sumber daya Indonesia mampu
untuk menghasilkan tepung lokal dalam jumlah besar. Rata-rata konsumsi
beras nasional mencapai 2,7 juta ton/bulan (prognosa Bulog 2008). Jika 10
persen saja total konsumsi diganti dengan tepung lokal, berarti harus
memproduksi tepung lokal sekitar 270 ribu ton per bulan.
6. Sering terjadinya kelangkaan beras di saat paceklik dan fluktuasi harga
akibat ulah spekulan
Meskipun secara agregat jumlah produksi beras dapat mencukupi
kebutuhan nasional sepanjang tahun tetapi masih sering terjadinya kelangkaan
beras di pasar terutama pada saat paceklik, mengingat pengadaan beras yang
membutuhkan waktu. Pada saat itu, harga beras akan meningkat tajam dan hal
ini sering dipicu ulah spekulan dan pedagang besar yang menahan beras di
gudang. Spekulan juga sering memanfaatkan isu impor beras untuk membuat
shock petani dan konsumen sehingga harga beras di pasar fluktuatif. Kebijakan
perlindungan harga yang ditetapkan oleh pemerintah cenderung menjadi tidak
efektif dan petani yang merupakan konsumen beras semakin menderita karena
harus membeli beras dengan harga yang tinggi.
7. Fluktuasi Nilai Tukar Petani pascakrisis ekonomi
Pascakrisis ekonomi, Nilai Tukar Petani (NTP) terus berfluktuasi. NTP
merupakan salah satu indikator untuk mengukur daya beli petani melalui nilai
tukar produk pertanian terhadap produk nonpertanian lain. Selama periode
1994-1998 rata-rata NTP sebesar 106 per tahun dan mengalami peningkatan
menjadi 107 periode tahun 1999-2007. Stagnansi NTP ini menunjukkan bahwa
117
kesejahteraan petani padi terus menurun pascakrisis ekonomi bila dilihat dari
pengaruh inflasi dan nilai tukar sepanjang waktu. Penurunan NTP tentu
menjadi suatu kelemahan pemerintah karena mengindikasikan bahwa berbagai
upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani gagal.
7.2. Identifikasi Faktor Strategis Eksternal
Analisis faktor eksternal bertujuan untuk mengidentifikasi peluang dan
anaman pengembangan kebijakan perberasan Indonesia. Peluang maupun
ancaman ini dapat datang dari perubahan lingkungan ekonomi, politik, teknologi
perkembangan lembaga internasional dan berbagai kerjasama multilateral. Faktor
eksternal dapat berpengaruh positif maupun negatif sehingga perlu diidentifikasi
terlebih dahulu pengaruhnya terhadap kebijakan perberasan nasional.
7.2.1. Peluang
1. Nilai tukar rupiah terhadap dollar relatif stabil
Beberapa peluang yang dapat pemerintah Indonesia manfaatkan dalam
mengembangkan kebijakan perberasan Indonesia di masa mendatang antara
lain semakin stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Semakin
menguat (apresiasi) nilai tukar rupiah terhadap dollar, maka harga produk
impor akan relatif semakin murah. Perkembangan nilai tukar sangat penting
karena Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar dunia.
Apresiasi nilai rupiah akan menentukan besarnya devisa negara yang harus
dikeluarkan untuk impor beras.
Menurut Hadi dan Wiryono (2005), harga beras impor tercermin pada
harga impor (CIF) di pelabuhan Indonesia dalam mata uang rupiah dapat
dihitung dengan rumus:
118
PWR = PWD * ER dimana:
PWR = Harga impor di pelabuhan Indonesia dalam rupiah (Rp/kg)
PWD = Harga impor di pelabuhan Indonesia (CIF) dalam dollar ($US/kg)
ER = Nilai tukar (Rp/$US)
Sedangkan harga paritas impor di tingkat grosir (PMG) diperoleh melalui
perkalian PWR dengan bilangan 1.08 (biaya adminsistrasi dan bongkar muat di
pelabuhan Indonesia umumnya sekitar 8%), maka:
PMG = 1.08 * PWR
Jadi semakin tinggi nilai tukar rupiah terhadap dollar maka semakin murah
harga beras impor sehingga akan semakin menghemat devisa negara.
2. Pengembangan bibit unggul dan padi hibrida
Peluang lainnya adalah pengembangan benih padi varietas unggul dan
padi hibrida oleh berbagai lembaga penelitian. Lembaga-lembaga penelitian
baik lokal maupun internasional seperti International Rice Research Institute
(IRRI) terus mengembangkan benih padi varietas unggul dan tahan hama
penyakit. Pengembangan padi hibrida juga membuka peluang peningkatan
produksi karena varietas ini memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi
daripada varietas nonhibrida. China adalah contoh negara yang telah berhasil
memanfaatkan padi hibrida sehingga menjadi salah satu produsen padi terbesar
dunia dan mampu mencukupi kebutuhan penduduknya yang besar.
3. Kesepakatan kerjasama antar negara G33 untuk mengurangi dampak
perdagangan bebas
Terkait dengan ratifikasi WTO mengenai perdagangan internasional,
semakin sulit bagi negara berkembang untuk memproteksi produk
119
pertaniannya. Terlebih lagi dengan kemampuan dana negara berkembang
terbatas. Untuk itu negara-negara berkembang sepakat untuk bekerjasama
mengurangi dampak perdagangan bebas yang dirasakan lebih menguntungkan
negara maju. Kelompok ini dikenal dengan kelompok G-33. Tujuan dari G-33
adalah mendesak negara maju dan negara berkembang tertentu agar
menurunkan subsidi domestik dan subsidi ekspornya secara signifikan.
4. Pengembangan teknologi produksi, pascapanen dan pengolahan hasil
pertanian
Berbagai jenis teknologi produksi, pascapanen, dan pengolahan produk
pertanian juga terus dikembangkan untuk mengefisienkan produksi dan
meningkatkan nilai tambah produk. Mekanisasi sektor pertanian telah dimulai
dari praproduksi, pemeliharaan tanaman, panen, perontokan hingga siap untuk
dikonsumsi. Berbagai peralatan pendukung yang dapat membantu petani
berproduksi seperti traktor, mesin penyemai, mesin penabur pupuk, mesin
perontok (huller), dryer, mesin penggilingan dan berbagai jenis teknik
budidaya padi terus diperbaiki untuk meningkatkan produksi. Selain itu,
berbagai teknologi pengolahan hasil pertanian seperti mesin-mesin juga terus
dikembangkan untuk meningkatkan nilai tambah beras hingga dapat
dikonsumsi dalam berbagai jenis dan bentuk pangan.
5. Adanya Special Product dan Special Safeguard Mechanism berdasarkan
Agreement on Agriculture (AoA)
Beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia sedang
mengupayakan agar produk pertanian strategis seperti beras dan gula dapat
dimasukkan dalam Special Product (SP) WTO. Special Product merupakan
120
salah satu kelonggaran yang tercantum dalam Agreement on Agriculture
(AoA) WTO karena produk yang sudah mendapat pengakuan Special Product
secara otomatis akan mendapatkan Special Safeguard Mechanism (SSM)24
.
SSM disebut sebagai salah satu pasal pengecualian dalam Agreement
on Safeguard (AoS) WTO yang memungkinkan negara penerima
memproteksi produk pertanianya secara fleksibel dari serbuan impor dengan
cara meningkatkan tarif sementara di atas bound tariff atau membatasi impor
(import restriction). Namun penggunanya harus memenuhi persyaratan AoS-
WTO dan Article XIX GATT 1994. Saat ini Indonesia hanya mencatatkan
produk turunan susu (10 jenis) dan cengkeh (3 jenis) yang mendapatkan SSM.
Hingga tulisan ini ditulis, Indonesia masih terus memperjuangkan agar beras
dan gula mendapatkan SSM-WTO bersama kelompok G-33 lainnya pada
sidang-sidang Komite Pertanian. Berbagai peluang yang ada terutama yang
berkaitan dengan WTO harus dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah
sebelum Indonesia mampu melindungi produk pertanian melalui blue box dan
green box.
7.2.2. Ancaman
1. Kesepakatan penurunan tarif impor antarnegara sesuai AoA
Kesepakatan perdagangan bebas WTO juga memberikan ancaman
tersendiri bagi negara berkembang. Hal ini terjadi akibat perbedaan penguasaan
sumber daya antarnegara dan kepemilikan modal. Dalam perundingan Putaran
Uruguay (1995) di bidang pertanian, terdapat tiga aspek yang telah disepakati
bersama yaitu: 1) Penurunan hambatan akses pasar melalui penurunan tarif
24 Agreement on Agriculture. www.wto.org [3 Desember 2007]
121
rata-rata sebesar 36 persen untuk negara maju selama 6 tahun dan 24 persen
untuk negara berkembang selama 10 tahun; 2) Pengurangan subsidi domestik
sebesar 20 persen untuk negara maju tanpa batas waktu dan untuk negara
berkembang sebesar 13,3 persen dalam 10 tahun; 3) Pengurangan subsidi
ekspor sebesar 36 persen dari seluruh nilai ekspor dalam 6 tahun dan untuk
negara berkembang sebesar 20 persen selama 10 tahun (Malian, 2004).
Meskipun terdapat perbedaan tingkat maupun waktu penurunan untuk
tarif dan subsidi antara negara berkembang dengan negara maju, tetapi menurut
banyak pengamat mekanisme ini tidak efektif. Ketidakefektifan tersebut karena
besarnya perbedaan tingkat pembangunan ekonomi, teknologi, infrastruktur
dasar serta kualitas sumber daya manusia sehingga negara berkembang tidak
dapat bersaing secara seimbang. Keberadaan WTO juga lebih banyak
didominasi negara maju yang lebih banyak memperhatikan akses pasar
dibandingkan dua pilar yang lain.
Posisi dan hak negara berkembang yang relatif tidak setara dengan
negara maju dalam WTO juga menjadikan liberalisasi perdagangan yang terjadi
saat ini memberikan manfaat yang tidak sama antara negara berkembang
dengan negara maju. Kerugian negara berkembang semakin nyata, karena
ternyata pertumbuhan ekonomi negara berkembang tidak berkorelasi kuat
dengan liberalisasi perdagangan, tidak seperti yang terjadi di negara maju.
Produk negara berkembang tidak dapat berkompetisi secara adil dengan produk
negara maju di pasar dunia karena telah terdistorsi oleh berbagai bentuk subsidi
ekspor, bantuan domestik, dan berbagai rintangan perdagangan.
122
2. Adanya subsidi oleh negara maju terhadap produk pertanianya.
Menurut Malian (2004), negara maju seperti Amerika dan Uni Eropa
memproteksi lebih dari 110 persen untuk beras dan dan produk susu. Jepang
dan Korea Selatan bahkan mencapai 310-350 persen untuk beras dan kacang-
kacangan. Berdasarkan penelitian Oxfam dalam Lokollo (2007), pemerintah
Amerika dan Uni Eropa masing-masing mengeluarkan sekitar US$ 50.7 M dan
€ 50 M per tahun untuk subsidi domestik melalui green box. Hal ini memicu
terjadinya praktek dumping termasuk pada beras, akibatnya harga dunia tidak
mencerminkan besarnya biaya produksi. Negara maju juga memberikan
berbagai kemudahan pembiayaan dan subsidi ekspor untuk memperluas pasar.
Selain itu juga berusaha merintangi masuknya produk pertanian dari negara
berkembang dengan mengajukan berbagai jenis persyaratan kesehatan seperti
sanitary dan phyosanitary.
3. Harga beras di pasar dunia lebih rendah dengan struktur pasar oligopoli.
Rendahnya harga beras internasional selama ini telah terdistorsi oleh
berbagai bentuk subsidi negara maju sehingga rendahnya harga tersebut tidak
memcerminkan besarnya biaya produksi. Dalam satu dekade terakhir harga
rata-rata beras dunia cenderung menurun antara US$ 150-250 per ton. Harga
ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras domestik yang rata-rata
mencapai US$ 350-500 per ton25
.
25 Wawancara dengan Kepala Badan Ketahanan Pangan RI, Deptan [14 April 2008]
123
Tabel 18. Perkembangan Produksi dan Perdagangan Beras Dunia Periode
1995-2006 (000 ton)26
Tahun Produksi Perdagangan Dunia Persentase (%)
1995 371.432 20.800 5,60
1996 380.157 19.700 5,18
1997 386.821 18.818 4,86
1998 394.082 27.670 7,02
1999 408.392 24.941 6,11
2000 396.894 22.846 5,76
2001 392.823 24.414 6,22
2002 381.240 27.813 7,30
2003 391.636 27.550 7,03
2004 400.777 27.116 6,77
2005 418.002 27.716 6,63
2006 416.565 28.985 6,95
Rataan 394.902 24.864 6,29
Sumber: USDA, 2007 (diolah)
Tingginya ketergantungan rakyat Indonesia terhadap beras membuat
Indonesia juga menjadi salah negara importir beras terbesar dunia. Padahal,
jumlah beras yang diperdagangkan di pasar dunia sangatlah tipis (thin market),
hanya sekitar 5-7 persen dari produksi dunia dengan struktur pasar oligopoli.
Negara produsen utama beras dunia antara lain Amerika Serikat, Pakistan,
Myanmar, Thailand, China dan Vietnam. Kondisi ini sangat riskan terutama
pada saat terjadi kenaikan harga beras dunia seperti saat ini. Bulan Februari
2008, harga beras dunia mencatatkan nilai tertinggi selama 34 tahun terakhir
yaitu US$ 700 per ton27
. Kenaikan ini dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia
dan konversi lahan pertanian untuk bahan baku bioetanol di Amerika.
Tingginya harga beras dunia saat ini juga membuat negara-negara pengekspor
lebih suka menyimpannya untuk stok dalam negri karena muncul kekhawatiran
dunia akan terjadinya krisis pangan.
26 World Rice Production and International Trade, www.usda.gov [2 Januari 2008]
27 Wawancara dengan Kepala Sub Divisi Pengamatan Harga dan Pasar, BULOG [3 April 2008]
124
4. Tingginya penyelundupan akibat tarif impor tidak mampu menutup
disparitas harga.
Besarnya perbedaan harga beras domestik dengan beras dunia telah
mendorong oknum importir mengambil keuntungan pribadi. Banyak importir
yang menyelundupkan beras ke Indonesia karena tingginya disparitas harga
impor melalui pemalsuan dokumen (under invoice) maupun penyelundupan
antarpulau di perbatasan. Pengenaan tarif ternyata belum mampu menutupi
paritas harga beras. Sedangkan untuk menaikan tarif impor sangatlah sulit. Di
samping akan mendapat kecaman dari negara-negara maju karena dianggap
melanggar kesepakatan AoA, kenaikan tarif juga akan mengakibatkan
terjadinya pengingkatan harga beras di tingkat konsumen.
Banyaknya penyelundupan terjadi karena luasnya wilayah Indonesia
dan banyaknya celah perairan yang dapat digunakan sebagai titik
penyelundupan. Lemahnya patroli pengamanan perairan karena keterbatasan
anggaran juga salah satu pendorong lainnya. Permasalahan ini harus segera
diatasi karena banyaknya beras impor yang masuk akan mendikte harga beras
domestik dan akhirnya hanya akan menyengsarakan rakyat.
5. Perubahan iklim yang tidak menentu dan seringnya terjadi bencana alam.
Selain berbagai faktor diatas, acaman terhadap keberhasilan kebijakan
perberasan juga dipengaruhi oleh iklim. Perubahan iklim yang tidak menentu
sering mengganggu penentuan masa tanam padi. Akibatnya siklus hama
menjadi tidak terputus karena masa tanam tidak serempak dalam satu daerah.
Pemanasan global (Global warming), juga diduga sebagai salah satu penyebab
sering terjadinya kemarau panjang dan bencana banjir disepanjang tahun 2007.
125
Bencana banjir yang terjadi di berbagai daerah sentra produksi padi seperti di
provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi selatan dapat mempengaruhi
produksi padi dan mengancam ketahanan pangan nasional.
7.3. Analisis Faktor Internal dan Eksternal
Setelah mengidentifikasi faktor-faktor strategis internal dan eksternal
kebijakan perberasan nasional, kemudian data yang diperoleh dari responden
diinterpretasikan dalam tabel. Faktor internal terdiri dari kekuatan (Strengths) dan
kelemahan (Weaknesess) kebijakan beras. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas
peluang (Opportunities) dan ancaman (Threaths) dari lingkungan luar. Analisis
tersebut bertujuan menilai sejauh mana faktor-faktor strategis berpengaruh
terhadap keberhasilan pelaksanaan strategi perberasan mendatang.
7.3.1. Analisis Faktor Internal
Hasil analisis diperoleh bahwa total bobot elemen kekuatan sebesar 0,523
dan total bobot elemen kelemahan sebesar 0,477. Artinya dalam pelaksanaan
strategi kebijakan perberasan, elemen kekuatan memberikan pengaruh lebih besar
terhadap kesuksesan kebijakan daripada elemen kelemahan.
Pada elemen kekuatan, Program P2BN dan G4PG memiliki bobot rata-rata
terbesar yaitu 0,073. Meskipun target kedua program tersebut belum tercapai
secara optimal, namun keempat responden sepakat bahwa program tersebut
mampu meningkatkan produksi padi nasional hingga 2,6 juta ton GKG. Jumlah
yang sangat sulit dicapai selama beberapa tahun terakhir meski pemerintah terus
melakukan berbagai perbaikan kebijakan baik dari sisi permodalan, penerapan
teknologi maupun subsidi input untuk petani.
126
Sedangkan bobot terendah terdapat pada faktor Bulog kembali
memonopoli dan impor dan menggendalikan harga yaitu sebesar 0,055. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa menurut responden faktor pengendalian harga dan
monopoli impor berpengaruh paling kecil terhadap kesuksesan pelaksanaan
strategi kebijakan perberasan karena hanya mempengaruhi jumlah pelaksana
impor dan mekanisme pengontrolan.
Untuk elemen kelemahan, bobot terbesar diberikan pada tertinggalnya
pengembangan sarana infrastruktur produksi dan pascapanen sehingga tingkat
rendemen padi terus menurun. Nilai bobot rata-ratanya adalah 0,079. Responden
menggangap penurunan rendemen padi merupakan masalah yang sangat penting
karena berpengaruh secara langsung terhadap produksi beras nasional. Penurunan
kualitas infrastruktur produksi dan tekonlogi pascapanen terjadi akibat minimnya
anggaran dana pemerintah untuk pemeliharaan dan pembangunan infastruktur
baru pascakirisis. Sebagian besar petani kita adalah petani miskin yang
kemampuan modalnya sangat terbatas. Sehingga sangat sulit untuk mendorong
pembangunan infrastruktur pertanian secara swadaya. Hasil akhir analisis
pembobotan faktor internal dapat dilihat pada Tabel 19.
Bobot terendah untuk elemen kelemahan adalah pada faktor kegagalan
program diversifikasi pangan pokok dengan bobot 0,057. Rendahnya bobot
menunjukkan bahwa faktor ini dianggap paling kurang berpengaruh terhadap
kebijakan perberasan Indonesia. Untuk faktor-faktor yang nilai bobotnya berada
diantaranya berarti berdasar penilaian responden, tingkat pengaruhnya terhadap
keberhasilan kebijakan di masa mendatang semakin kecil.
127
Tabel 19. Pembobotan Faktor Internal
No FAKTOR STRATEGIS INTERNAL Bobot
Rataan KEKUATAN
1 Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan Gerakan
Penanganan Pascapanen dan Pemasaran Gabah (G4PG)
0,073
2 Berbagai kredit pembiayaan pertanian dan Program DPM- LUEP 0,071
3 Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) bagi produsen dan
Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk konsumen
0,070
4 Adanya Operasi Pasar Murni (OPM) dan program Raskin 0,067
5 Kebijakan tarif impor dan hambatan nontarif seperti quota, harga impor
minimum, dan lisensi serta Tariff Rate Quota (TRQ)
0,066
6 Keluarnya SK Menperindag No.9 Th.2004 tentang aturan Importasi
Beras
0,063
7 Terdapat beberapa pelabuhan aktif untuk distribusi dan adanya
Cadangan Beras Pemerintah
0,058
8 Bulog kembali memonopoli impor dan mengendalikan harga beras di
Indonesia.
0,055
Total 0,523
KELEMAHAN Bobot
1 Sarana infrastruktur produksi dan teknologi pascapanen yang tertinggal
sehingga tingkat rendemen padi terus menurun
0,079
2 Mahalnya harga input yang berkualitas seperti bibit unggul, pupuk dan
obat-obatan serta sering terjadinya kelangkaan pupuk
0,078
3 Penurunan kesejahteraan petani padi, ditandai dengan fluktuasi NTP
pascakrisis ekonomi
0,073
4 Penguasaan lahan yang sempit oleh petani dan tingginya konversi lahan
pertanian terutama di pulau Jawa.
0,072
5 Sering terjadinya kelangkaan beras di pasar pada saat paceklik dan
fluktuasi harga akibat ulah spekulan
0,059
6 Tingkat Indeks Pertanaman (IP) yang rendah terutama di luar Jawa 0,059
7 Kegagalan program diversifikasi pangan pokok 0,057
Total 0,477
7.3.2. Analisis Faktor Eksternal
Dari hasil analisis diketahui bahwa bobot rataan elemen peluang lebih
besar daripada bobot rataan elemen ancaman. Nilai bobot rataan peluang adalah
0,527 dan bobot rataan ancaman adalah 0,475. Artinya dalam pelaksanakan
128
kebijakan perberasan dimasa mendatang dapat memanfaatkan peluang dalam
menghadapi ancaman dari luar yang dapat mempengaruhi ekonomi perberasan.
Pengembangan teknologi produksi, pascapanen dan pengolahan hasil
produk pertanian memiliki bobot tertinggi pada elemen peluang yaitu 0,120.
Menurut responden, dikembangkanya berbagai teknologi pertanian akan
membuka peluang peningkatan produksi padi. Lambatnya adopsi teknologi oleh
petani membuat produksi padi kurang optimal karena banyak yang hilang pada
saat panen dan pascapanen. Bobot terendah untuk peluang dengan nilai 0,093
diberikan pada faktor kesepakatan negara Kelompok G-33. Kecilnya penilaian
responden terhadap faktor ini karena pengaruh adanya kerjasama terhadap
Indonesia tidak signifikan. Berbagai perundingan pada Konferensi Pertanian
WTO yang meminta fleksibilitas pengenaan tarif impor bagi negara berkembang
belum berhasil karena selalu mendapat tekanan negara maju dengan alasan akan
mengurangi efisiensi liberalisasi perdagangan. Terlebih lagi lemahnya posisi
negara berkembang dalam WTO dibandingkan negara-negara maju. Hasil akhir
analisis Matriks EFE dapat dilihat pada Tabel 20.
Untuk elemen ancaman, perubahan iklim yang tidak menentu dan
seringnya bencana alam mendapat respon tertinggi dari responden dengan bobot
rataan 0,104. Perubahan iklim sangat sukar diprediksi dan terjadinya bencana
alam sangat sukar untuk dicegah. Kita hanya bisa melakukan upaya preventif,
itupun juga sulit karena teknologi pendeteksi dini untuk bencana alam masih
sangat tertinggal. Bencana alam seperti banjir dapat merusak lahan pertanian
secara permanen dan akan menurunkan produksi padi jika terjadi pada wilayah
129
yang luas seperti pada tahun 2007. Iklim yang tidak menentu juga akan
mengganggu penentuan musim tanam padi dan memicu terjadinya ledakan hama.
Tabel 20. Pembobotan Faktor Eksternal
No FAKTOR STRATEGIS EKSTERNAL Bobot
Rataan PELUANG
1 Pengembangan teknologi produksi, pascapanen dan pengolahan
hasil produk pertanian
0,120
2 Pengembangan benih padi varietas unggul dan padi hibrida oleh
berbagai lembaga penelitian
0,118
3 Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang relatif stabil 0,099
4 Adanya Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism
sesuai kesepakatan WTO
0,097
5 Kesepakatan kerjasama antarnegara berkembang (G-33) untuk
mengurangi dampak perdagangan bebas
0,093
Total 0,527
ANCAMAN Bobot
1 Perubahan iklim yang tidak menentu dan seringnya terjadi
bencana alam seperti banjir dan kemarau panjang
0,104
2 Tingginya penyelundupan beras ke Indonesia akibat tingkat tarif
impor yang tidak mampu menutupi paritas harga
0,095
3 Kesepakatan penurunan tarif impor produk pertanian antarnegara
sesuai Agreement on Agriculture (AoA)
0,095
4 Harga beras di pasar dunia yang lebih rendah daripada harga
beras domestik dengan struktur pasar oligopoli
0,093
5 Berbagai bentuk subsidi dilakukan oleh negara maju pada produk
pertanianya, sehingga mendistorsi harga pasar dunia
0,088
Total 0,475
Bobot rataan terendah elemen ancaman adalah pada faktor berbgai bentuk
subsidi pertanian oleh negara maju dengan nilai 0,088. Walaupun faktor ini
berpengaruh terhadap harga beras domestik, namun dibandingkan dengan
penyelundupan, kesepakatan penurunan tarif bagi anggota WTO dan rendahnya
harga dunia, pengaruhnya masih bisa diatasi dengan berbagai restriksi impor dan
peningkatan produksi nasional. Apabila produksi nasional mampu mencukupi
130
kebutuhan maka fluktuasi beras dunia tidak akan begitu berpengaruh terhadap
kondisi perberasan dalam negeri.
7.4. Matriks SWOT
Setelah dianalisis, tahap selanjutnya yaitu tahap pemaduan (matching
stage) seluruh elemen dengan menggunakan matriks SWOT. Tujuan tahap ini
adalah untuk merumuskan alternatif strategi untuk mengembangkan kebijakan
perberasan di masa mendatang berdasarkan faktor strategis internal dan eksternal
sebelumnya. Empat strategi utama dalam matriks SWOT adalah Strategi SO, ST,
WO dan WT. Beberapa alternatif strategi daalam matriks SWOT adalah sebagai
berikut:
1. Strategi Strengths-Opportunities (S-O)
Strategi ini disusun dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang diusulkan adalah:
a. Menerapkan Tariff Rate Qouta (TRQ) sebagai upaya melindungi beras
domestik serta bekerjasama dengan negara berkembang agar segera
memasukkan beras dalam special product untuk mendapatkan Special
Safeguard Mechanism (SSM) WTO. Meskipun dalam bentuk hambatan, TRQ
masih diperbolehkan oleh WTO karena bukan termasuk hambatan jumlah
(quantitive restriction). TRQ masih membuka pasar dan menetapkan tarif (in-
out quota) sehingga tidak bertentangan dengan konsep market access WTO.
Terlebih lagi pasca notifikasi Bulog sebagai STE oleh WTO. Sebagai STE,
Bulog memiliki peluang untuk mendapatkan hak yang sama dengan STE
negara lain dalam mengatur kebijakan impornya. Bulog harus pandai
131
memanfaatkan celah-celah aturan WTO untuk melindungi beras domestik dari
dampak negatif perdagangan internasional (S 2,3,4 & O 1,2,5).
2. Strategi Weaknesses-Opportunities (W-O)
Strategi ini disusun untuk mengurangi kelemahan kebijakan perberasan
Indonesia dengan memanfaatkan peluang yang ada. Strategi W-O terdiri dari:
a. Perbaikan infrastruktur, penerapan teknologi budidaya, pascapanen, pengolahan
(penggilingan) yang tepat dan informasi pemasaran yang terintegrasi melalui
pemberdayaan kelompok tani. Pemerintah memiliki andil besar dalam rangka
perbaikan infrastruktur dan induksi teknologi karena dana yang dibutuhkan
sangat besar. Sebagai pendukung, penambahan jumlah dan optimalisasi fungsi
PPL di daerah juga harus ditingkatkan untuk mempercepat adopsi teknologi.
Pemerintah juga dapat bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi dalam
penyebaran teknologi ke petani. Sedangkan untuk memperluas akses informasi
dan posisi tawar petani harus dilakukan reformasi kelembagaan dan
pemberdayaan kelompok tani. KUD harus dikembalikan pada tujuan awalnya
dengan cara merekrut pihak luar sebagai pengelola disertai pemberian insentif
yang memadai. Hal ini untuk mengurangi kecenderungan KKN seperti yang
terjadi sebelumnya (W1,2,4 & O 3,4).
b. Memperbaiki mekanisme pemberian kredit untuk mendorong produksi padi
secara optimal. Mengingat sebagian besar petani kita adalah petani miskin,
maka perlu adanya skim pembiayaan yang dapat membantu petani mengatasi
permasalahan modal. Selama ini pemerintah memang terus meningkatkan
plafon kredit pertanian. Tetapi pada pelaksanaanya masih belum optimal
132
bahkan sering menyulitkan petani. Tahun 2007, hanya sekitar 62.61% yang
terealisasi dari 585.135 M (W3,4,8 & O 3,4).
c. Pengembangan teknologi benih dan input lain di dalam negri melalui sistem
kemitraan dengan swasta agar harga input lebih kompetitif. Selama ini
pengembangan teknologi benih hanya dilakukan oleh pemerintah saja sehingga
bila terjadi keterbatasan anggaran maka riset akan terhambat. Karena itu
diperlukan kerjasama dengan pihak swasta agar dapat menghasilkan benih dan
input lain dengn harga yang kebih kompetitif (W3 & O3).
d.Pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal dengan
pemberdayaan teknologi pengolahan pangan disertai pemberian insentif bagi
masyarakat lokal. Salah satu alasan mengapa masyarakat enggan
mengkonsumsi pangan nonberas adalah karena minimnya teknologi
pengolahannya. Untuk mendukung diversifikasi, pangan nonberas harus
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menarik untuk dikonsumsi. Setelah itu,
upaya promosi kepada masyarakat harus digalakkan disertai dengan insentif
bagi penduduk berupa subsidi untuk bahan pangan lain (S 5, 7 & O 4).
3. Strategi Strengths-Threats (S-T)
Strategi ini disusun dengan menggunakan peluang untuk menghindari
ancaman. Strategi yang terpilih diantaranya:
a. Kombinasi kebijakan protektif melalui pengenaan tarif dan nontarif seperti
quota, pengaturan impor dan pengawasan jalur pelayaran dengan kebijakan
promotif melalui peningkatan produksi dalam negri sebelum negara eksportir
bersedia mengurangi subsidi ekspor dan subsidi domestiknya. Kombinasi
kebijakan ini harus segera dilakukan untuk menekan dampak perdagangan
133
bebas secara terkoordinasi. Sebenarnya proteksi sudah lama dilakukan oleh
pemerintah, tetapi masih parsial dan kurang koordinasi antara berbagai instansi
terkait sehingga sering dimanfaatkan untuk kepentingan golongan tertentu saja
(S 1, 2, 5 & T 1, 2, 3, 4).
2. Pengawasan semua pihak terhadap kinerja dan transparansi Bulog sebagai
badan pengelola cadangan beras pemerintah, pengendali harga dan
memonopoli impor beras. Notifikasi Bulog STE oleh WTO dan sebagai
monopoli impor serta pengendali harga beras sejak 2007 membuat Bulog
memiliki kewenangan penuh dalam pelaksanaan kebijakan impor. Karena itu,
untuk menjaga kinerja lembaga tersebut perlu pengawasan semua pihak agar
kecurigaan bahwa Bulog dapat kembali menjadi kendaraan politis dan bisnis
pengusaha besar tidak terjadi (S 5,6,7 & 1,2).
4. Strategi Weaknesses-Threats (W-T)
Strategi ini diperoleh untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari
ancaman perberasan Indonesia. Strategi tersebut adalah:
a. Penegakan peraturan mengenai pemanfaatan lahan (Reformasi Agraria) untuk
mencegah semakin luasnya konversi lahan produktif dengan disertai adanya
insentif dan disinsentif bagi pelaksananya. Konversi lahan pertanian merupakan
masalah laten yang akibatnya baru dirasakan dalam jangka panjang. Karena itu
perlu upaya pencegahan sejak dini. Reformasi Agraria dapat dilakukan melalui
peraturan pemerintah mengenai larangan fragmentasi lahan produktif dan
sistem kepemilikan lahan sehamparan untuk menghambat konversi. Kebijakan
ini juga harus dilengkapi dengan insentif bagi pemilik seperti pembebasan
134
pajak tanah pertanian seperti yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam. (S1 &
T 5). Hasil analisis matriks WOT dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Matriks SWOT Kebijakan Beras
KEKUATAN KELEMAHAN
1. Program P2BN dan G4PG 2. Kebijakan tariff, hambatan nontarif
dan Tarif Rate Quota 3. SK Menperindag No.9 th 2004 tentang
aturan importasi beras. 4. BULOG memonopoli impor dan
mengendalikan harga. 5. Beberapa Pelabuhan aktif distribusi
dan Cadangan Beras Pemerintah 6. HPP dan Harga Eceran Tertinggi 7. Operasi Pasar Murni dan Raskin 8. Berbagai kredit pertanian dan DPM-
LUEP
1.Penguasaan lahan sempit dan tingginya konversi lahan
2.Infrastruktur produksi,pascapanen yang tertinggal dan penurunan rendemen padi
3.Mahalnya harga input yang berkualitas 4.Rendahnya Indeks Pertanaman
terutama di luar Jawa 5.Terjadinya kelangkaan beras dan
fluktuasi harga akibat ulah spekulan 6.Kegagalan program diversifikasi
pangan 7.Fluktuasi Nilai Tukar pascakrisis
PELUANG STRATEGI SO
1. Penerapan TRQ sebagai upaya melindungi harga beras domestic serta bekerjasama dengan negara berkembang agar segera memasukan beras dalam special product untuk mendapatkan SSM (S 2,3,4 & O 1,2,5)
STRATEGI WO
1. Perbaikan infrastruktur, penerapan teknologi budidaya, pascapanen, pengolahan yang tepat dan pemasaran yang terintegrasi melalui pemberdayaan kelompok tani (W1,2,4 & O 3,4)
2. Memperbaiki mekanisme pemberian kredit untuk mendorong produksi padi secara optimal (W3,4,8 & O 3,4)
3.Pengembangan teknologi benih dan input lain di dalam negri melalui sistem kemitraan dengan swasta agar harga input lebih kompetitif (W3 & O3)
4.Pengembangan diversifikasi pangan berbasis bahan baku tanaman pangan lokal dengan pemberdayaan teknologi pengolahan pangan disertai pemberian insentif bagi masyarakat lokal (S 5, 7 & O 4)
1.Nilai tukar rupiah terhadap dollar relatif stabil
2.Kesepakatan kerjasama negara
G33 untuk mengurangi dampak perdagangan bebas
3.Pengembangan bibit unggul
dan padi hibrida 4.Pengembangan teknologi
produksi, pascapanen dan pengolahan hasil pertanian
5.Adanya Special Product dan Special Safeguard Mechanism.
ANCAMAN STRATEGI ST
1. Kombinasi kebijakan protektif melalui pengenaan tarif dan nontarif seperti quota, pengaturan impor dan pengawasan jalur pelayaran dengan kebijakan promotif melalui peningkatan produksi dalam negri sebelum negara eksportir bersedia mengurangi subsidi ekspor dan subsidi domestiknya (S 1, 2, 5 & T 1, 2, 3, 4)
2.Pengawasan semua pihak terhadap kinerja dan transparansi BULOG sebagai badan pengelola cadangan beras pemerintah, pengendali harga dan memonopoli impor beras (S 5,6,7 & 1,2).
STRATEGI WT
1. Penegakan peraturan mengenai pemanfaatan lahan (Reformasi Agraria) untuk mencegah semakin luasnya konversi lahan produktif dengan disertai adanya insentif dan disinsentif bagi pelaksananya (S1 & T 5)
1.Tingginya penyelundupan akibat tinginya paritas harga impor.
2.Kesepakatan penurunan tarif impor antarnegara sesuai AoA
3.Harga beras dunia lebih rendah dengan struktur pasar oligopoli.
4.Subsidi oleh negara maju terhadap produk pertanianya.
5.Perubahan iklim yang tidak menentu dan terjadinya bencana alam.
135
7.5. Analisis Matriks QSP (Quantitative Strategic Planning)
Berdasarkan analisis matrik SWOT, strategi yang diusulkan dalam
rangka peningkatan efektivitas kebijakan perberasan nasional antara lain:
1. Menerapkan Tariff Rate Qouta (TRQ) sebagai upaya melindungi beras
domestik serta bekerjasama dengan negara berkembang agar segera
memasukkan beras dalam special product untuk mendapatkan Special
Safeguard Mechanism (SSM) WTO (S 2,3,4 & O 1,2,5).
2. Perbaikan infrastruktur, penerapan teknologi budidaya, pascapanen,
pengolahan yang tepat dan informasi pemasaran yang terintegrasi melalui
pemberdayaan kelompok tani (W1,2,4 & O 3,4).
3. Memperbaiki mekanisme pemberian kredit untuk mendorong produksi padi
secara optimal (W3,4,8 & O 3,4).
4. Pengembangan teknologi benih dan input lain di dalam negri melalui sistem
kemitraan dengan swasta agar harga input lebih kompetitif (W3 & O3).
5. Pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal dengan
pemberdayaan teknologi pengolahan pangan disertai pemberian insentif bagi
masyarakat lokal (S 5, 7 & O 4).
6. Kombinasi kebijakan protektif melalui pengenaan tarif dan nontarif seperti
quota, pengaturan impor dan pengawasan jalur pelayaran dengan kebijakan
promotif melalui peningkatan produksi dalam negri sebelum negara eksportir
bersedia mengurangi subsidi ekspor dan domestiknya (S 1, 2, 5 & T 1, 2, 3, 4).
7. Pengawasan semua pihak terhadap kinerja dan transparansi Bulog sebagai
badan pengelola cadangan beras pemerintah, pengendali harga dan
memonopoli impor beras (S 5,6,7 & 1,2).
136
8. Penegakan peraturan mengenai pemanfaatan lahan (Reformasi Agraria) untuk
mencegah semakin luasnya konversi lahan produktif dengan disertai adanya
insentif dan disinsentif bagi pelaksananya (S1 & T 5).
Tahap selanjutnya dari formulasi strategi adalah tahap pengambilan
keputusan (decision making) dengan menggunakan matrik QSP. Analisis ini
bertujuan untuk menentukan prioritas strategi yang dapat dilakukan oleh
pengambil kebijakan perberasan Indonesia menurut keempat responden. Prioritas
dalam analisis QSPM dilihat dari total nilai Total Attractiveness Score (TAS).
Nilai TAS merupakan hasil dari perkalian antara bobot dengan Attractive Score
(AS). Nilai TAS yang paling besar akan menjadi prioritas utama kebijakan.
Dari hasil analisis QSPM terlihat bahwa strategi yang menjadi prioritas
utama dalam mengingkatkan efektivitas kebijakan perberasan adalah strategi ke-6
dengan Total Attractiveness Score (TAS) sebesar 5,575 yaitu strategi “Kombinasi
kebijakan protektif melalui pengenaan tarif dan nontarif seperti quota, pengaturan
impor dan pengawasan jalur pelayaran dengan kebijakan promotif melalui
peningkatan produksi dalam negri sebelum negara eksportir bersedia mengurangi
subsidi ekspor dan subsidi domestiknya”. Hasil rata-rata TAS menurut keempat
responden dapat dilihat pada Tabel 22.
Prioritas strategi disusun berdasarkan nilai TAS tertinggi hingga TAS
terendah. Adapun prioritas strateginya adalah sebagai berikut:
1. Kombinasi kebijakan protektif melalui pengenaan tarif dan nontarif seperti
quota, pengaturan impor dan pengawasan jalur pelayaran dengan kebijakan
promotif melalui peningkatan produksi dalam negri sebelum negara eksportir
bersedia mengurangi subsidi ekspor dan subsidi domestiknya (5,575)
137
2. Menerapkan Tariff Rate Qouta (TRQ) sebagai upaya melindungi beras
domestik serta bekerjasama dengan negara berkembang agar segera
memasukan beras dalam special product untuk mendapatkan Special
Safeguard Mechanism (SSM) WTO (4,876)
3. Pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal dengan
pemberdayaan teknologi pengolahan pangan disertai pemberian insentif bagi
masyarakat lokal (4,857).
4. Pengembangan teknologi benih dan input lain di dalam negri melalui sistem
kemitraan dengan swasta agar harga input lebih kompetitif (4,813).
5. Perbaikan infrastruktur, penerapan teknologi budidaya, pascapanen,
pengolahan yang tepat dan informasi pemasaran yang terintegrasi melalui
pemberdayaan kelompok tani (4,692).
6. Memperbaiki mekanisme pemberian kredit untuk mendorong produksi padi
secara optimal (4,540).
7. Pengawasan semua pihak terhadap kinerja dan transparansi Bulog sebagai
badan pengelola CBP, pengendali harga dan memonopoli impor beras (4,380).
8. Penegakan peraturan mengenai pemanfaatan lahan (Reformasi Agraria) untuk
mencegah semakin luasnya konversi lahan produktif dengan disertai adanya
insentif dan disinsentif bagi pelaksananya (4,102).
Tabel 22. Rataan Matriks QSP Menurut Keempat Responden
Responden S6 S1 S5 S4 S2 S3 S7 S8
Pakar 1 5,791 5,631 5,817 5,813 5,783 5,545 5,854 5,363
Pakar 2 6,307 4,570 4,384 4,657 3,757 3,952 3,757 3,551
Pakar 3 5,214 4,581 4,197 4,115 4,795 4,222 3,795 3,522
Pakar 4 4,989 4,523 5,031 4,669 4,435 4,439 4,112 3,971
Prioritas 5,575 4,876 4,857 4,813 4,692 4,540 4,380 4,102
Keterangan: S1 = Strategi 1
VIII. PRIORITAS PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI PADI
Tujuan pada tahap ini adalah untuk merumuskan program peningkatan
produksi padi nasional. Selama ini produksi padi nasional cenderung stagnan,
padahal jumlah penduduk terus meningkat. Sehingga perlu dicari upaya untuk
meningkatkan kemandirian pangan Indonesia di masa mendatang. Metode yang
digunakan pada tahap ini adalah Proses Hierarki Analitik (PHA) untuk mencari
prioritas program yang dapat dilakukan mengingat kompleksnya masalah
perberasan nasional. Untuk itu, sebelumnya perlu dilakukan indentifikasi faktor-
faktor dan sub faktor pertimbangan utama yang mempengaruhi peningkatan
produksi padi nasional.
Penentuan prioritas program peningkatan produksi dilakukan oleh dua
responden dari kelompok pengambil kebijakan beras yaitu Kepala Pusat Distribusi
Pangan, Badan Ketahanan Pangan dan Kepala Sub Bidang Pengamatan Harga dan
Pasar, Bulog. Penilaian dilakukan melalui wawancara mendalam dan pengisian
kuesioner.
8.1. Identifikasi Faktor dan Sub Faktor Pertimbangan Utama Penyusun
Program Peningkatan Produksi Padi
Sebagai tindak lanjut dari pemilihan strategi kebijakan perberasan, maka
diperlukan rancangan program kebijakan perberasan dalam upaya mewujudkan
swasembada pangan. Salah satu aspek yang sangat esensial adalah mengenai
upaya meningkatkan produksi padi nasional. Hal ini disebabkan karena tingkat
produksi padi dalam negri akan mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan
139
perberasan pada saat tersebut. Untuk itu perlu diidentifikasi faktor-faktor dan sub-
faktor pertimbangan utama yang mempengaruhi produksi padi dalam negeri.
Ada empat determinan utama yang sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan produksi yaitu: jumlah luas lahan sawah, tingkat produktivitas padi,
Indeks Pertanaman dan parsitipasi lembaga penunjang. Keempat faktor tersebut
akan saling mempengaruhi sehingga untuk mengkaji kebijakan peningkatan
produksi padi tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
8.1.1. Luas Lahan
Jumlah luas areal tanaman padi pada lahan basah (sawah) dan lahan
kering merupakan faktor andalan bagi produksi beras. Data statistik menunjukkan
bahwa 95 persen produksi padi dihasilkan dari lahan sawah dan sisanya (5%)
dihasilkan pada lahan kering. BPS mencatat bahwa pada tahun 2006, dari total
luas areal panen ( 11,7 juta ha), luas areal panen padi sawah mencapai 10,71 juta
ha dan luas areal panen padi ladang baru mencapi 1,07 juta ha. Luas ini meningkat
sekitar 0,65 juta ha dalam kurun waktu 10 tahun atau rata-rata hanya meningkat
sekitar 65.000 ha per tahun.
Lambatnya peningkatan areal panen padi disebabkan beberapa sub faktor
pertimbangan utama yaitu:
1. Status Kepemilikan
Sebagian dari petani padi di Indonesia terutama petani kecil tidak memiliki
lahan garapan sendiri. Umumnya mereka mengerjakan lahan melalui beberapa
sistem, diantaranya melalui sewa lahan, gadu dan bagi hasil dengan pemilik.
Status kepemilikan ini menjadi masalah tersendiri karena membuat petani kurang
memiliki hak dalam pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan lahannya.
140
Di beberapa wilayah perdesaan, banyak petani yang mengerjakan sawah
milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Biasanya, petani pekerja adalah bekas
pemilik lahan terdahulu. Selain itu juga banyak ditemukan petani yang
menyewakan sawah miliknya pada petani lain atau menjadi pekerja pada petani
penyewa karena terbatasnya permodalan. Perubahan status kepemilikan tersebut
membuat proses alih fungsi lahan dari lahan sawah menjadi nonsawah maupun
non pertanian menjadi lebih mudah terjadi. Selain itu juga membuat kesejahteraan
petani semakin menurun karena petani tidak lagi menjadi pemilik lahan melainkan
hanya sebagai pekerja atau beralih pada mata pencaharian lain.
2. Konversi Lahan
Konversi lahan pertanian adalah salah satu persoalan laten dalam
pengembangan pertanian Indonesia. Seiring dengan kemajuan ekonomi dan
pertumbuhan jumlah penduduk, banyak lahan pertanian yang beralih fungsi
menjadi area industri maupun pemukiman penduduk. Seharusnya pembangunan
pemukiman diarahkan untuk ke atas, bukan ke arah samping. Seperti yang telah
dilakukan banyak negara maju dalam upaya mengurangi konversi lahan produktif.
Sifat dampak konversi yang bersifat permanen, kumulatif, progresif dan
baru terlihat dalam jangka panjang. Menurut data BPS, tahun 2007 terjadi
konversi sawah sebesar 32,64 ribu ha di pulau Jawa. Penurunan ini bisa
berdampak negatif cukup besar, karena sebagian besar padi dihasilkan di Pulau
Jawa. Tingginya konversi lahan juga dipicu ketidakefektifan UU Pokok Agraria
No.5 Tahun 1960 dan UU Pelestarian Lahan karena tidak dilaksanakan secara
konsisten.
141
Fragmentasi lahan juga menjadi penyebab konversi lahan. Pergantian
pemilik membuat kepemilikan lahan petani semakin sempit sehingga semakin
mudah untuk dikonversi. Seharusnya pemerintah segera mengefektifkan UU
Agraria dan mengatur secara ketat proses pengalihan fungsi lahan terutama di
pulau Jawa jika ingin swasembada pangan segera tercapai. Peraturan ini juga tidak
boleh serta merta diterapkan karena akan melanggar hak pemilik. Peraturan ini
harus disertai insentif yang memadai agar petani mempertahankan lahan miliknya.
3. Pencetakan Lahan Baru
Lambatnya peningkatan luas lahan sawah juga disebabkan karena
lambatnya pencetakan sawah baru. Dengan kondisi keuangan negara saat ini,
tidak mungkin untuk mencetak lahan sawah dan sarana irigasinya dalam jumlah
besar meskipun potensi lahan yang dapat dijadikan area persawahan cukup besar.
Selain mahal juga membutuhkan waktu yang sangat lama (sekitar 10 tahun) agar
sawah baru dapat berproduksi secara optimal. Pada dekade terakhir, percetakan
lahan sawah rata-rata hanya sekitar 48.000 ha/tahun (Sensus Pertanian, 2003).
8.1.2. Tingkat Produktivitas
Ditinjau dari tingkat produktivitasnya, padi yang dibudidayakan di
Indonesia relatif sama dengan produktivitas padi negara lain seperti Vietnam dan
Thailand. Produktivitas rata-rata nasional tahun 2007 adalah 4,77 ton/ha. Jumlah
ini menunjukkan telah terjadi kenaikan produktivitas padi sekitar 0,7 ton/ha
selama 20 tahun terakhir. Tingkat produktivitas menjadi sangat penting karena
semakin terbatasnya lahan produktif untuk menanam padi akibat tingginya
konversi sawah. Selama ini tingkat produktivitas di pulau Jawa relatif lebih tinggi
142
yaitu 5,37 ton /ha daripada di luar Jawa yaitu 4,08 ton/ha sehingga untuk wilayah
di luar Jawa masih berpotensi untuk terus ditingkatkan.
Untuk dapat berproduksi secara optimal, tingkat produktivitas padi
dipengaruhi oleh beberapa sub-faktor pertimbangan utama, antara lain:
1. Kualitas Input
Kualitas input yang digunakan petani sangat menentukan produktivitas
padi selanjutanya. Semakin berkualitas input maka potensi produktivitas yang
optimal semakin besar. Input produksi padi terdiri atas varietas benih unggul,
pupuk, obat-obatan. Semuanya harus dicukupi sesuai kebutuhan tanaman untuk
mendapat hasil yang optimal.
Kendala terutama petani adalah modal untuk membeli input yang
berkualitas. Untuk benih, umumnya petani banyak menggunakan benih dari hasil
panen sebelumnya sehingga produktivitas terus menurun. Dalam kurun waktu
lima tahun terakhir produksi benih berlabel nasional hanya meningkat sebesar
9.900,54 ton atau menjadi 120.884,69 ton. Kecilnya peningkatan produksi benih
disebabkan masih sedikitnya penangkar benih resmi dan masih rendahnya
permintaan benih berlabel oleh petani. Selain benih, kualitas pupuk dan obat-
obatan juga mempengaruhi produktivitas padi. Umunnya petani padi sangat
bergantung pada pupuk anorganik untuk menyuburkan tanaman.
2. Teknik Budidaya
Hal lain yang mempengaruhi produktivitas adalah teknik budidaya yang
meliputi proses persiapan lahan, pengolahan tanah, persemaian, pemupukan,
pengaturan air, teknik menanam, pengendalian hama dan pemanenan. Kualitas
143
input yang baik disertai dengan teknik budidaya yang tepat akan mendorong
produksi lebih optimal.
Tantangan dalam adopsi soft technology pertanian di Indonesia adalah
masih rendahnya kualitas SDM petani sehingga mereka tidak mudah menerima
pengetahuan baru yang disampaikan PPL. Terlebih jika mereka masih
beranggapan bahwa pertanian yang mereka usahakan sebagai tradisi turun-
temurun. Seringkali petani juga tidak mematuhi aturan budidaya padi dan
cenderung menggunakan insting atau berdasarkan pengalaman. Misalnya untuk
penggunaan pupuk, seharusnya dihitung dahulu berdasar luas lahan dan hanya
digunakan tiga kali selama produksi. Namun di lapangan, petani sering kali
menggunakan pupuk melebihi dosis. Begitu juga dengan penggunaan obat-obatan,
petani belum mampu mengukur sejauh mana daya lenting lingkungan terhadap
hama. Setiap ada hama, langsung disemprot dengan bahan-bahan kimia yang
melebihi dosis. Dampak dari keduanya adalah produksi justu menurunkan
produksi karena lahan telah jenuh (levelling off) dan hama menjadi resisten.
Selama ini Pengendalian Hama Terpadu (PHT) belum berjalan dengan
baik dan penggunaan pupuk organik juga masih sedikit. Padahal keduanya dapat
meningkatakan produksi karena tidak merusak keseimbangan tanah. Selain itu
juga tidak membebani petani karena petani dapat menggunkan bahan-bahan di
sekitar sebagai bahan baku obat dan pupuk organik.
3. Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan berpengaruh terhadap produktivitas karena tidak semua
varietas padi dapat ditanam di semua jenis tanah. Untuk jenis tertentu seperti
varietas IR 64 cocok untuk tanah yang lembab dan banyak air seperti di pulau
144
Jawa, sedangkan varietas Mekongga cocok untuk tanah merah dan relatif kering
seperti di Sulawesi.
Mengingat wilayah Indonesia yang sering dilanda banjir dan kekeringan,
maka untuk wilayah-wilayah yang sering dilanda banjir sebaiknya menggunkan
varietas padi tahan banjir dan varietas tahan kering untuk wilayah yang sering
kekeringan seperti Nusa Tenggara Timur. Hal ini dilakukan sebagai wujud
antisipasi kegagalan panen.
8.1.3. Indeks Pertanaman
Pada tahun 2005, luas sawah irigasi dan tadah hujan yang ditanami padi
adalah 6,84 juta ha, dengan rataan indeks pertanaman (IP) 1,61. Angka ini
menunjukkan masih adanya potensi untuk meningkatkan produksi padi melalui
peningkatan indeks pertanaman. Peningkatan IP merupakan kebijakan strategis
sebagai kompensasi dari konversi lahan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat IP padi di Indonesia adalah:
1. Perubahan Iklim
Iklim menjadi determinan penting dalam produksi padi karena padi
membutuhkan air dalam jumlah cukup sepanjang produksi. Anomali iklim akan
mempengaruhi IP karena sebagian besar sawah petani masih mengandalkan hujan
sebagai sumber pengairan. Jumlah saluran irigasi yang sangat terbatas membuat
produksi kurang optimal. Anomali iklim yang tidak menentu pada awal MT ke-3
tahun 2007 membuat petani terlambat menanam padinya karena sulitnya
penentuan masa tanam.
Meskipun iklim tidak dapat dikendalikan manusia, sebenarnya kita masih
dapt melakukan tindakan preventif dengan cara mendeteksi dini untuk bencana
145
alam terutama bencana banjir. Sehingga dampak peristiwa El-Nino dan La-Nina
seperti tahun 1997 tidak terjadi lagi. Namun upaya ini memerlukan komitmen dan
dukungan dari pemerintah, selain karena minimnya dana petani juga karena upaya
deteksi dini untuk produksi juga membutuhkan teknologi dan keahlian tersendiri.
2. Sarana Irigasi
Pada tahun 2005 luas lahan sawah (diluar lahan pasang surut) yang
ditanami padi di Indonesia sekitar 6,84 juta ha. Dari lahan sawah seluas itu,
sekitar 3,23 juta ha diantaranya berada di Jawa dan 3,61 juta ha di luar Jawa.
Berdasarkan sistem pengairan, 2,19 juta dari lahan tersebut beririgasi teknis,
sekitar 0,99 juta beririgasi setengah teknis, 1,58 juta ha irigasi
sederhana/perdesaan, dan 2,09 juta ha sawah tadah hujan (BPS, 2006). Sedangkan
berdasarkan intensitas tanam, sekitar 2,64 juta ha ditanami padi sekali dan 4,20
juta ha ditanami padi dua kali dalam setahun. Dengan demikian rata-rata indeks
IP-padi adalah 1,61. Angka ini mengindikasikan adanya potensi dan peluang
untuk meningkatkan produksi melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan lahan.
Terbatasnya irigasi membuat IP relatif stagnan karena ketersediaan air
tidak merata sepanjang tahun. IP-padi untuk lahan irigasi teknis adalah 1,4
sedangkan untuk sawah tadah hujan 1,25. Dari nilai tersebut, kita sudah dapat
menyimpulkan bahwa pembangunan irigasi sangat perlu dalam rangka
meningkatkan produksi melalui peningkatan IP. Sementara tidak mungkin hanya
mengandalkan bantuan dari pemerintah karena keterbatasan dana negara untuk
membangun saluran irigasi. Karena itu diperlukan kemitraaan maupun upaya
swadaya dari petani dalam membangun irigasi.
146
8.1.4. Lembaga Penunjang
Beberapa lembaga penunjang yang diperlukan dalam upaya peningkatan
produksi padi adalah:
1. Lembaga Permodalan
Minimnya permodalan yang dimiliki petani membuat petani sulit
mendapatkan input yang berkualitas dan mengintroduksi teknologi maju.
Kebutuhan akan dana tunai yang cepat mendorong petani meminjam atau menjual
hasil panennya ke tengkulak dan pedagang pengumpul meskipun dengan harga
rendah. Namun dalam hal ini, kita tidak dapat menyalahkan petani karena
minimnya sumber daya ekonomi yang dimiliki petani. Terlebih lagi peranan
lembaga keuangan perdesaan seperti KUD yang sebenarnya diharapkan mampu
melindungi petani melalui pengimpunan dana dari petani sekitar tidak berjalan.
Beberapa skim kebijakan pembiayaan sebenarnya telah dikeluarkan
pemerintah melalui Kredit Ketahanan Pangan (KKP), SP3 serta bantuan lain
seperti subsidi input dan bantuan alat pascapanen. Hingga September 2007,
realisasi KKP baru mencapai 366.337 Miliar dari plafon 585.135 Miliar. Bantuan
ini sendiri disalurkan melalui berbagai bank baik pemerintah maupun swasta.
Namun skim kredit seperti ini masih sulit didapatkan petani karena sulitnya
mekanisme pengajuan kredit dan proses yang sangat panjang. Akibatnya sebagian
petani lebih suka meminjam dana pada tengkulak dan renternir.
2. Insulator Harga
Bulog adalah insulator harga yang ditunjuk pemerintah untuk melindungi
dan mengendalikan harga padi dan beras. Perlindungan dilakukan melalui HPP
agar petani mendapat kepastian harga jual. Selain itu, mulai tahun 2005
147
pemerintah juga mengeluarkan program Dana Penguatan Modal-Lembaga Usaha
Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP) yang bertujuan untuk membeli gabah/beras
dari petani dengan berpatokan pad HPP.
Tujuan lain program DPM-LUEP sebenarnya juga untuk mengurangi
dominasi tengkulak di daerah. Secara ekonomi, bertambahnya jumlah pelaku
pasar akan membuat petani memiliki lebih banyak pilihan dalam menjual padinya
melalui peningkatan posisi tawar.
3. Lembaga Riset
Di Indonesia hanya terdapat beberapa lembaga riset yang khusus
menangani masalah padi. Padahal keberadaan lembaga riset sangat penting untuk
terus mengembangkan teknologi yang dapat meningkatkan produksi. Untuk
pengembangan benih, baru LIPI dan lembaga penelitian Deptan yang
mengembangkan varietas benih unggul. Seharusnya lembaga riset melakukan
rekayasa paket teknologi spesifik lokasi mengingat keragaman wilayah Indonesia.
Salah satu temuan terbaru IRRI adalah varietas padi tahan banjir. Varietas
ini merupakan turunan varietas IR 64 yang diberi nama IR 64 Sub-1. LIPI juga
sedang menggembangkan varietas padi tahan kering. Berbagai inovasi tersebut
membuka peluang peningkatan produksi ke depan. Hanya saja, ketergantungan
lembaga penelitian terhadap dana pemerintah harus segera di kurangi karena jika
tidak akan menyebabkan kemunduran penemuan teknologi baru.
Berdasarakan faktor dan sub faktor pertimbangan utama program
kebijakan peningkatan produksi padi, maka disusunlah beberapa alternatif
program yang dapat dilakukan oleh otoritas kebijakan perberasan. Alternatif
tersebut antara lain:
148
1. Alternatif I yaitu memperketat aturan alih fungsi lahan dan pemberian insentif
bagi pemilik lahan.
2. Alternatif II yaitu mengadopsi teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan
sumber daya lokal.
3. Alternatif III yaitu membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan Pemda
terkait.
8.2. Analisis Model Pemilihan Alternatif Program Peningkatan Produksi
Penetapan prioritas terhadap alternatif-alternatif program dapat menjadi
pertimbangan bagi pengambil kebijakan perberasan karena merupakan hasil
penilaian dari pemegang otoritas. Prioritas program diperoleh dengan metode
Proses Hierarki Analitik (PHA). Bentuk model hierarki keputusan program dapat
dilihat pada Gambar 23.
Tingkat 1 adalah Fokus (Goal) dari model yaitu program peningkatan
produksi padi nasional. Tingkat 2 adalah faktor pertimbangan utama yaitu luas
lahan, tingkat produktivitas, Indeks Pertanaman dan lembaga penunjang. Tingkat
3 adalah sub-faktor pertimbangan utama program yang mempengaruhi faktor
pertimbangan utama. Sedangkan tingkat 4 adalah alternatif-alternatif yang dapat
dilakukan dalam rangka mengingkatkan produksi padi dalam jangka pendek.
14
9
Fok
us
Fak
tor
Perti
mb
an
gan
Uta
ma
Su
b F
ak
tor
Perti
mb
an
gan
Uta
ma
Alt
ern
ati
f P
rogram
Gam
bar 2
2. S
tru
ktu
r H
ierark
i P
rogram
Pen
ing
kata
n P
rod
uk
si P
ad
i
Lu
as L
ahan
L
emb
aga
Pen
un
jan
g
Ind
eks
per
tan
aman
P
rodu
kti
vit
as
Sta
tus
Kep
emil
ikan
Kon
ver
si
Saw
ah
Per
ceta
kan
L
ahan
Bar
u
Ku
alit
as I
np
ut
Tek
nik
B
ud
iday
a
Kes
esu
aian
L
ahan
Per
ub
ahan
Ikli
m
Sar
ana
Irig
asi
Lem
bag
a per
mod
alan
Insu
lato
r H
arga
Lem
bag
a R
iset
Mem
per
ket
at a
tura
n a
lih
fun
gsi
lah
an d
an i
nse
nti
f
bag
i pem
ilik
Men
gad
op
si t
ekn
olo
gi
ses
uai
den
gan
ko
nd
isi
wil
ayah
dan
sum
ber
day
a l
okal
Mem
ban
gun s
alu
ran
irig
asi
ber
ko
ord
inas
i
den
gan
Pem
da
terk
ait
Pro
gra
m P
enin
gk
atan
Pro
du
ksi
Pad
i
150
8.3. Analisis Hasil Pengolahan Horizontal
Analisis Horizontal bertujuan untuk melihat bersarnya pengaruh faktor
maupun sub faktor pertimbangan utama terhadap satu faktor diatasnya.
Berdasarkan pengolahan data hasil penilaian yang dilakukan oleh kedua
responden, diperoleh hasil analisis sebagai berikut.
Tabel 23.Urutan Prioritas Faktor Pertimbangan Utama yang Mempengaruhi
Program Peningkatan Produksi Padi.
Faktor Pertimbangan Utama Pembobotan Prioritas
Jumlah luas lahan 0,419 1
Tingkat produktivitas 0,323 2
Indeks Pertanaman 0,163 3
Lembaga Penunjang 0,094 4
Rasio Inkonsistensi 0,02
Dari Tabel 23 diketahui bahwa prioritas terbesar dimiliki oleh faktor luas
lahan dengan nilai 0,419, kemudian tingkat produktivitas dengan bobot 0,323.
Luas lahan menjadi prioritas utama karena jumlahnya yang terbatas. Keterbatasan
lahan pertanian ini dipengaruhi oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk,
pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan pembangunan infrastruktur di
seluruh wilayah nusantara, dan konversi lahan pertanian menjadi area industri dan
pemukima terutama di Jawa.
Untuk mengurangi dampak negatif akibat terus menurunnya jumlah lahan
dilakukan secara preventif melalui regulasi maupun peningkatan produktivitas dan
peningkatan IP. Peningkatan produktivitas dan IP merupakan kompensasi dari
penurunan luas lahan. Jika produktivitas dapat ditingkatkan menjadi 6 ton/ha dan
IP-padi dapat dinaikkan menjadi 200 persen maka produksi padi akan meningkat.
Peranan lembaga penunjang mendapatkan prioritas terendah dari
responden karena selama ini keberadaan lembaga penelitian dan permodalan
151
kurang dapat menyentuh petani kecil. Banyak hasil penelitian yang potensial
dikembangkan tetapi masih dalam skala laboratorium sehingga manfaatnya
kurang dirasakan petani. Sedangkan untuk permodalan, rumitnya mengakses
permodalan baik dari swasta atau dari pemerintah membuat petani tidak mendapat
manfaatnya secara optimal.
Hasil pengolahan horizontal sub faktor pertimbangan utama yang
mempengaruhi peningkatan produksi padi terhadap faktor luas lahan adalah:
Tabel 24. Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program
Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Luas Lahan
Sub Faktor Pertimbangan Utama Pembobotan Prioritas
Konversi lahan 0,455 1
Percetakan lahan baru 0,430 2
Status kepemilikan 0,114 3
Rasio Ikonsistensi 0,00
Dari Tabel 24 diketahui bahwa sub faktor yang paling berpengaruh
terhadap luas lahan adalah konversi lahan dengan bobot 0,455, kemudian
percetakan lahan baru dengan bobot 0,430. Konversi menjadi prioritas utama
karena menurut responden dampak konversi bersifat laten dan baru terlihat dalam
jangka panjang. Sifat jumlah lahan yang statis membuat semua pihak seharusnya
mengefisienkan penggunaan lahan dan menjaga kelestarianya. Ditambah lagi
dengan terbatasnya kemampuan pemerintah mencetak sawah baru. Karena itu,
salah satu upaya yang harus segera dilakukan adalah mengoptimalkan lahan-lahan
kurang produktif dan lahan tidur terutama di pulau Jawa serta memperketat
pengaturan perpindahan kepemilikan lahan yang dapat mempercepat konversi.
152
Tabel 25. Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program
Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Produktivitas
Sub Faktor Pertimbangan Utama Pembobotan Prioritas
Teknik budidaya 0,481 1
Kualitas Input 0,405 2
Kesesuain lahan 0,114 3
Rasio Ikonsistensi 0,03
Pada Tabel 25 terlihat bahwa prioritas yang mempengaruhi produktivitas
adalah teknik budidaya dengan bobot 0,481 dan kualitas input dengan bobot
0,405. Penerapan teknik budidaya sangat terkait dengan kualitas sumber daya
petani dalam menyerap teknologi baru. Meskipun kualitas inputnya baik, jika
pengetahuan petani sangat minim maka produksi akan stagnan, begitu pula
sebaliknya. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan secara bersama-sama.
Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan dengan memperbanyak
penyuluhan di lapangan agar informasi dan teknologi dapat segera diadopsi
petani. Petani juga harus diberi arahan bagaimana menghitung penggunaan input
agar lahan tidak jenuh yang dapat berakibat menurunkan produksi. Selain itu,
petani juga harus dibekali pengetahuan melihat kesesuaian lahan yang dimiliknya
sehingga dapat mengurangi kesalahan penggunaan input terutama untuk benih.
Sub faktor yang menjadi prioritas utama terhadap Indeks Pertanaman adalah
ketersediaan sarana irigasi dengan bobot 0,833. Perubahan iklim mendapat
prioritas kedua dengan bobot 0,167. Hasil pembobotan dapat dilihat pada Tabel
26. Sarana irigasi merupakan faktor penting dalam produksi padi karena
ketersediaan air akan secara langsung mempengaruhi hasil panen. Keterbatasan
dana pemerintah membuat pembangunan infrastrukur produksi seperti jalan desa
dan saluran irigasi berjalan lambat.
153
Tabel 26. Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program
Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Indeks Pertanaman
Sub Faktor Pertimbangan Utama Pembobotan Prioritas
Sarana irigasi 0,833 1
Perubahan iklim 0,167 2
Rasio Ikonsistensi 0,00
Selama ini, sebagian besar area panen padi masih menggunakan irigasi
sederhana yang tergantung sumber mata air di sekitarnya. Ketersedian air tersebut
sangat dipengaruhi oleh intensitas hujan dan resapan air tanah. Sehingga ketika
musim hujan, jumlah air berlimpah. Sedangkan ketika musim kemarau terjadi
kekeringan. Ditambah lagi dengan semakin tidak menentunya perubahan iklim
akibat fenomena global warming. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian
besar lahan terutama di luar Jawa hanya bisa ditanami satu kali dalam setahun
(IP=100). Untuk membangun irigasi membutuhkan dana yang besar, karena itu
perlu dukungan dan komitmen dari pemerintah dalam pelaksanaanya. Petani dan
Pemda juga perlu dilibatkan secara langsung agar pembangunan irigasi lancar.
Berdasarkan analisis, sub faktor yang menjadi prioritas pertama terhadap
lembaga penunjang adalah insulator harga dengan bobot 0,639. Urutan prioritas
dapat dilihat pada Tabel 27. Kepastian harga merupakan insentif terbesar petani
untuk berproduksi. Adanya HPP telah menjadi solusi yang digunakan pemerintah
untuk menggendalikan harga selama 30 tahun.
Tabel 27. Urutan Prioritas Sub faktor Pertimbangan Utama Program
Peningkatan Produksi Padi terhadap Faktor Lembaga
Penunjang
Sub Faktor Pertimbangan Utama Pembobotan Prioritas
Insulator Harga 0,639 1
Lembaga permodalan 0,259 2
Lembaga riset 0,102 3
Rasio Ikonsistensi 0,03
154
Lembaga permodalan mendapat prioritas kedua karena selama ini berbagai
skim pembiayaan yang diberikan pemerintah kurang efektif. Adanya skim
permodalan diharapkan dapat mendorong petani untuk berproduksi lebih optimal.
Sebenarnya jika ketiga lembaga penunjang bekerja secara sinergis maka kendala
mengenai pengembangan teknologi, pembiayaan pertanian dan didorong
kepastian harga dari pemerintah akan dapat diatasi.
Untuk hasil pembobotan sub faktor pertimbangan utama terhadap
alternatif program dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Urutan Prioritas Alternatif Program Peningkatan Produksi Padi
Sub Faktor Pertimbangan Utama Alternatif
RI I II III
Status kepemilikan 0,160 0,276 0,564 0,03
Konversi lahan 0,586 0,266 0,147 0,00
Percetakan sawah baru 0,402 0,114 0,484 0,03
Kualitas input 0,082 0,646 0,272 0,05
Teknik budidaya 0,114 0,445 0,430 0,00
Kesesuaian lahan 0,082 0,663 0,254 0,02
Perubahan iklim 0,112 0,535 0,353 0,00
Sarana irigasi 0,130 0,222 0,649 0,00
Lembaga penunjang 0,111 0,326 0,563 0,03
Insulator harga 0,184 0,574 0,241 0,02
Lembaga riset 0,130 0,666 0,204 0,01
8.4. Analisis Hasil Pengolahan Vertikal
Analisis Vertikal bertujuan untuk menghitung pengaruh seluruh elemen
terhadap pencapaian tujuan melalui penilaian prioritas alternatif. Hasil pengolahan
data pembobotan secara vertikal melalui PHA untuk program peningkatan
produksi padi diperoleh bahwa prioritas program yang harus dilakukan
pemerintah adalah membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan Pemda
terkait (bobot 0,387). Kerjasama bertujuan untuk mengatasi kendala pendanaan
dan mempercepat pelaksanaan program. Program ini juga harus melibatkan petani
155
dan lembaga pembiayaan baik pemerintah maupun swasta. Keberadaan kelompok
tani maupun gabungan kelompok tani (Gapoktan) dapat juga menjadi sarana
penghimpunan modal yang dapat dimanfaatkan oleh anggotanya.
Tabel 29. Urutan Prioritas Alternatif Program Peningkatan Produksi Padi
dari Hasil Pengolahan Vertikal
Alternatif Pembobotan Prioritas
Membangun saluran irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait
0,387 1
Mengadopsi teknologi baru sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal
0,351 2
Memperketat aturan alih fungsi lahan dan insentif bagi pemilik
0,262 3
Rasio Ikonsistensi 0,02
Alternatif kedua yaitu mengadopsi teknologi baru sesuai dengan kondisi
wilayah dan sumber daya lokal menjadi prioritas kedua dengan nilai 0,351.
Pengembangan teknologi juga menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak hanya
pemerintah melainkan juga petani dan swasta. Semua elemen harus bekerja secara
kooperatif dalam rangka meningkatkan produksi. Lembaga pembiayaan
mendorong melalui skim kredit lunak, lembaga penelitian terus mengembangkan
teknologi dan teknik budidaya tepat guna dan petani juga harus mau belajar dan
mengaplikasikan teknologi yang dapat meningkatkan produksi agar berbagai hasil
penelitian yang telah ditemukan tidak sia-sia.
Alternatif ketiga juga perlu segera dilakukan untuk mengurangi dampak
konversi lahan. Pemerintah harus mempertegas pelaksanaan UU Pokok Agraria
dan UU Kelestarian lahan. Kita dapat mencontoh upaya China dan Vietnam dalam
melindungi lahan petanian. Vietnam melakukan pembebasan pajak tanah
pertanian untuk petani kecil dan miskin untuk mengurangi beban biaya produksi
dan sebagai insentif bagi petani mempertahankan lahan pertanian miliknya.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan
1. Kebijakan peningkatan produksi dintervensi pemerintah melalui berbagai
program peningkatan produksi padi (P4) seperti program Bimas (1965), Insus
(1798) dan Program P2BN (2007). Pelaksanaan program dilakukan melalui dua
paket teknologi yaitu bantuan alat dan bahan serta pendekatan sosial. Kebijakan
impor dilakukan melalui penetapan tarif spesifik, kuota tarif dan red line untuk
menekan jumlah impor beras. Kebijakan harga dilakukan dengan menetapkan
HPP untuk produsen, OPM, Raskin dan menetapkan pagu harga untuk
konsumen. Sedangkan kebijakan distribusi dilakukan dengan menunjuk Bulog
sebagai pengelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sekaligus sebagai
penyalur Raskin. Keempat kebijakan tersebut dalam pelaksanaanya mengalami
berbagai hambatan baik yang berasal dari internal maupun eksternal sehingga
belum mencapai sasaran yang diharapkan.
2. Dari empat kebijakan, kebijakan distribusi adalah kebijakan yang paling efektif
dibandingkan kebijakan lainnya. Baiknya distribusi beras didukung oleh
spesifiknya intervensi Bulog terhadap distribusi beras nasional. Bulog hanya
menguasai kurang dari 10 persen pangsa pasar beras dan hanya digunakan
sebagai CBP melalui pengadaan dalam negri. Selain itu juga didukung dengan
gudang yang tersebar di seluruh Indonesia, koordinasi yang baik antarwilayah
dan hak istimewa yang dimiliki Bulog sebagai State Trading Enterprise (STE)
dan stabilitator harga. Kebijakan harga dinilai tidak efektif karena
kecenderungan pemerintah melindungi konsumen melalui ceiling price, OPM
157
dan Raskin justru medistorsi harga pasar beras karena sarat subsidi. Kebijakan
impor juga dinilai tidak efektif karena tarif impor justru memicu tingginya
penyelundupan yang akibatnya merusak harga beras domestik. Selain itu juga
tercermin dari perbedaan data jumlah impor antar instansi. Kebijakan produksi
adalah kebijakan yang dinilai paling tidak efektif karena kegagalan pemerintah
mengurangi konversi, mendiversifikasi pangan dan produktivitas yang stagnan.
3. Prioritas strategi kebijakan pengembangan perberasan nasional adalah
mengkombinasikan kebijakan protektif dengan kebijakan promotif untuk
melindungi beras dalam negri. Strategi kebijakan lainnya adalah menerapkan
TRQ, mengembangkan diversifikasi berbasis pangan lokal, mengembangkan
input dan teknologi melalui kemitraan, memperbaiki infrastruktur dan
teknologi budidaya, memperbaiki mekanisme kredit, mengawasi kinerja dan
transparansi Bulog serta melakukan reformasi agraria. Pelaksanaan kebijakan
tersebut harus saling terintegrasi mengingat kompleksitas masalah perberasan.
4. Prioritas pertama program peningkatan produksi padi adalah dengan
membangun sarana irigasi berkoordinasi dengan Pemda terkait. Hal ini karena
masih tingginya potensi peningkatan produksi di masa mendatang tetapi
ketersediaan sarana irigasi sangat terbatas. Prioritas kedua adalah mengadopsi
teknologi sesuai dengan kondisi wilayah dan sumber daya lokal dan yang
terakhir adalah memperketat aturan alih fungsi lahan dan pemberian insentif bagi
pemilik lahan sehingga tingkat konversi lahan pertanian dapat dikurangi.
158
9.2. Saran
1. Meningkatkan akurasi data perberasan nasional melalui studi yang
komprehensif dengan meningkatkan kerjasama antarinstansi terkait agar
perbedaan data dapat dinimimalkan. Selama ini, salah satu penyebab
ketidakefektifan kebijakan beras adalah ketiadaan data yang akurat tentang
perberasan nasional.
2. Meningkatkan koordinasi yang terintegrasi dan komitmen yang tinggi dari
seluruh otoritas pengambil kebijakan baik tingkat pusat maupun daerah,
mengingat kompleksnya masalah perberasan. Hal ini untuk mengurangi
tumpang tindih kebijakan beras yang akibatnya hanya mendistorsi kebijakan
satu sama lain. Selain itu, pengawasan dan pemantauan pelaksanaan kebijakan
harus dilakukan semua pihak agar terlaksana secara efektif, tepat sasaran dan
sesuai kebutuhan serta aspirasi petani.
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya diversifikasi pangan
bagi ketahanan pangan nasional melalui pendidikan pangan dan penyebaran
informasi yang berkelanjutan.
4. Saran untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan menganalisis
keefektifan kebijakan dengan menghitung secara kuantitatif indikator-
indikator kebijakan beras. Misalnya menggunakan analisis regresi berganda
untuk menghitung nilai tarif yang dapat menutupi paritas impor atau
penggunaan data beras bulanan sehingga pengaruh fluktuasi data dapat
dihitung secara akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Azziz, A. A. 2007. Analisis Impor Beras Serta Pengaruhnya Terhadap Harga
Beras Dalam Negeri. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Ashari. 2003. Tinjauan Tentang Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Non Sawah dan
Dampaknya di Pulau Jawa. FAE.Vol.21 No.2,Desember 2003:83-98.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
-------- dan Mewa Ariani. 2003.Arah, Kendala dan Pentingnya Diversifikasi
Konsumsi Pangan Indonesia. FAE.Vol.21 No.2,Desember 2003:99-112.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Adriana, R. 2007. Penawaran Beras Dunia dan Permintaan Impor Beras
Indonesia Serta Kebijakan Perberasan di Indonesia. Skripsi. Departemen
Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Badan Pusat Statistik.2007. Statistik Indonesia, Statistic Yearbook of Indonesia.
Dari berbagai tahun. BPS. Jakarta.
Badan Ketahanan Pangan.2007. Instruksi Presiden No.3 Tahun 2007 Tentang
Kebijakan Perberasan. Badan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian.
Churchill Jr, G. A. 1992. Basic Marketing Research. 2th Edition. Dryden Perss.
United State of America.
David, F. R. 2004. Strategic Management 10th
Edition. Prentice Hall. New Jersey.
USA.
Departemen Pertanian. 2007. Statistik Pertanian 2007. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2007. Pedoman Gerakan Peningkatan
Produksi Beras Nasional (P2BN). Departemen Pertanian. Jakarta.
Erfansjah, H. 2007. Pengelolaan Kebijakan Perangsang Berproduksi. Majalah
Warta Intra Bulog Edisi Mei, No.5. Bulog. Jakarta
FAO. 2007. WTO Rules for Agriculture Compatible with Development. Trade and
Market Division, FAO. Rome.
Gafar, S.. 2007. Surplus Beras Kok Impor?. Kreasi Wacana. Jakarta.
Hady, H. 2001. Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan Perdagangan
Internasional. Ghalia Indonesia. Jakarta.
160
Handono, et.all. 2004. Liberalisasi Perdangangan: Sisi Teori, Dampak Empirik
dan Perspektif Ketahanan Pangan. FAE. Vol.22. No.2. Desember 2004.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Hadi, P. U. dan Budi Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap
Ekonomi Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi. Vol.23 No.2,
Oktober 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatan
dan Faktor Determinan. FAE. Vol.23 No.1. Juli 2005:1-18. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Jamal,E. et all. 2007. Beras dan Jebakan Kepentingan Jangka Pendek. AKP.
Vol.5 No.3, September 2007: 224-238. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Kinnear, T. C. dan James R. Taylor. 1991. Marketing Research, An Applied
Approach. 4th
Edition. McGraw-Hill, Inc. United State of America.
Kariyasa, K. 2003. Dampak Tarif Impor dan Kinerja Kebijakan Harga Dasar
Serta Implikasinya Terhadp Daya Saing Beras Indonesia di Pasar
Dunia. AKP. Vol.1 No.4, Desember 2003. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
--------------------. 2007. Usulan HET Pupuk Berdasarkan Tingkat Efektivitas
Harga Pembelian Pemerintah. AKP. Vol 5.No.1, Maret 2007: 72-85.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Lubis, A.D. 2005. Analisis Kebijakan Impor Beras Dan Kaitanya Dengan
Diversifikasi Pangan Pokok. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Malian, A. H. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian
Indonesia. AKP. Vol. 2. No.2, Juni 2004. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Naibaho, S. 2007. Analisis Dampak Impor Beras Terhadap Keragaab Beras
Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nurmalina, R. 2007. Model Neraca Ketersediaan Beras Yang Berkelanjutan
Untuk Ketahanan Pangan Nasional. Desertasi. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Natzir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Pappas, L dan Mark Hirschey.1995. Ekonomi Manajerial. Jilid 1. Daniel
Wirajaya, penerjemah. Binarupa Aksara. Jakarta.
161
Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2005. Outlook Komoditi Pertanian Tanaman
Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2006. Outlook Komoditi Perkebunan.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Robinson, S, El-Said, M, dan San, N. 1998. Rice Policy, Trade, and Exchange
Rate Changes In Indonesia : A General Equilibrium Analysis. Journal of
Asian Economics. JAI Press Inc.
Ritonga, T. C. E. 2004. Analisis Keefektifan Kebijakan Harga Dasar Beras. Tesis.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pakpahan, A. et all. 1992. Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan
Rendah. Laporan Penelitian. PPSE. Bogor.
Salvatore, D.1996. Ekonomi Internasional. Erlangga. Jakarta
Siregar, H dan A.D Lubis. 2003. Rangkuman Kebijakan Pertanian. Working
Paper 7. Kerjasama Direktorat Pangan dan Pertanian Bapenas dengan
Lembaga Penelitian IPB. Jakarta.
Sawit, M. H. 2003. Indonesia Dalam Perjanjian Pertanian WTO: Proposal
Harbinson. Analisis Kebijakan Pertanian Vo.1 No.1, Maret 2003. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
------------------------. 2005. Melindungi Industri Padi/Beras: Menerapkan Tarif
Quota dan Memerankan STE. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.3 No.4,
Desember 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Simatupang, P dan Wahyuning K. Sejati. 2004. Isu Kontemporer Kebijakan
Pembangunan Pertanian 2000-2004: Pandangan Peneliti. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor
---------------------, dkk. 2005. Evaluasi Kebijakan Harga Gabah Tahun 2004.
AKP. Vol.3. No.1, Maret 2005:1-11. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
---------------------, dkk. 2005. Evaluasi Pelaksanaan Harga Gabah Pembelian
Pemerintah Tahun 2005 dan Perspektif Penyesuaianya Tahun 2006.
AKP. Vol.3. No.3, September 2005:187-200. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2006. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk
Indonesia 2006. BPS. Jakarta.
Syaifullah, A. 2007. Cadangan Beras Pemerintah. Dalam Majalah Warta Intra.
Bulog. Jakarta.
162
Tabor, S.R. dan M. Husein Sawit. 2005. RASKIN: A Macro-Program Assessment.
Review Kebijakan. Bulog.
Umar, H. 2005. Strategic Management in Action. Gramedia. Jakarta.
Wahyuni, S dan Kurnia S I. 2003. Dinamika Program dan Kebijkan Peningkatan
Produksi Padi. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol.21.No.2.
Desember 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor.
Winniasri, E. F. 2007. Analisis Distribusi Spasial dan Aliran Perdagangan Beras
Dari dan Ke DKI Jakarta. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial
Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
163
LAMPIRAN
164
Lampiran 1. Data Produksi, Luasan Panen dan Produktivitas Padi di
Indonesia.
Tahun Luas Panen
(ha)
Produktivitas
(ton/ha)
Produksi Padi
(ton)
Konversi
Produksi Beras
(ton)
1978 8929169 2.886 25771570 0.65 17524668
1979 8803564 2.985 26282663 0.65 17872211
1980 9005065 3.293 29651905 0.65 20163295
1981 9381839 3.493 32774176 0.65 22286440
1982 8988455 3.736 33583677 0.65 22836900
1983 9162469 3.853 35303106 0.65 24006112
1984 9763580 3.906 38136446 0.65 25932783
1985 9902293 3.942 39032945 0.65 26542403
1986 9988453 3.977 39726761 0.65 27014197
1987 9922594 4.039 40078195 0.65 26050827
1988 10138155 4.111 41676170 0.65 27089511
1989 10531207 4.247 44725582 0.65 29071628
1990 10502357 4.302 45178751 0.65 29366188
1991 10281519 4.346 44688247 0.65 29047361
1992 11103317 4.345 48240009 0.65 31356006
1993 11012776 4.375 48181087 0.65 31317707
1994 10733830 4.345 46641524 0.65 30316991
1995 11438764 4.349 49744140 0.65 32333691
1996 11569729 4.417 51101506 0.65 32193949
1997 11140594 4.432 49377054 0.63 31107544
1998 11730325 4.197 50866387 0.63 32045824
1999 11963204 4.252 49236692 0.63 31019116
2000 11793475 4.401 51898852 0.63 32696277
2001 11499997 4.388 50460762 0.63 31790280
2002 11521166 4.469 51489694 0.63 32438507
2003 11488034 4.538 52137604 0.63 32846691
2004 11922974 4.536 54088468 0.63 34075735
2005 11839060 4.574 54151097 0.63 34075735
2006 11786430 4.62 54454937 0.63 34306610
2007* 12165607 4.77 57048558 0.63 35940591
Sumber: BPS dari berbagai tahun
* Angka sementara (ARAM III)
165
Lampiran 2. Data Impor, Konsumsi dan Tarif Impor Beras
Tahun
Produksi
Beras
Impor
Beras
Konsumsi
Total
Konsumsi
per Kapita
Tarif
impor
Sisa Stok
(ton)
(Ton) (Ton) (ton) (kg/kap/th)
1978 17524668 1841500 17325000 0.1234 2041168
1979 17872211 1922900 17865000 0.1234 1930111
1980 20163295 2011400 18486000 0.12341 3688695
1981 22286440 538300 19050000 0.12382 0 3774740
1982 22836900 309600 19568000 0.1244 0 3578500
1983 24006112 1168800 22707000 0.14521 0 2467912
1984 25932783 414300 23346000 0.1402 0 3001083
1985 26542403 33800 23485000 0.14316 0 3091203
1986 27014197 27756 24407000 0.14736 0 2634953
1987 26050827 54982 25045000 0.14238 0 1060809
1988 27089511 32730 26075000 0.15003 0 1047241
1989 29071628 268321 27670000 0.1536 0 1669949
1990 29366188 49577 28037000 0.14424 0 1378765
1991 29047361 170994 28220000 0.14115 0 998355
1992 31356006 611679 29962000 0.16105 0 2005685
1993 31317707 24317 27245000 0.14405 0 4097024
1994 30316991 633048 28779000 0.14972 0 2171039
1995 32333691 1807875 29315000 0.15213 0 4826566
1996 32193949 2149753 31328000 0.15795 0 3015702
1997 31107544 349681 27721000 0.13765 0 3736225
1998 32045824 2895118 25330000 0.1351 0 9610942
1999 31019116 4751398 25468000 0.13261 0 10302514
2000 32696277 1355666 25572000 0.13804 430 8479943
2001 31790280 644733 25714000 0.14086 430 6721013
2002 32438507 1805380 25888000 0.14234 430 8355887
2003 32846691 1428506 25985000 0.14329 430 8290197
2004 33456854 236867 26247000 0.14787 430 7446721
2005 34075735 189617 29251000 0.1363 450 5014352
2006 34306610 438108 31627628 0.13927 450 3117090
2007* 35940591 - - 0.13915 450 35940591
Sumber: BPS dari berbagai tahun
* Angka sementara (ARAM III)
- ) Belum ada data
166
Lam
pir
an
3. D
ata
Perk
em
ba
nga
n N
TP
Agregat
di
14 P
rovin
si d
i In
do
nesi
a T
ah
un
1994
-2006 (
1993=
100)
S
eb
elu
m K
ris
is
Saat
Kris
is
Pasc
a K
ris
is
Provin
si
1994
1995
19
96
19
97
1998
1
999
2000
2001
2002
20
03
2004
2005
200
6
Nan
gro
e A
ceh D
103
98
9
7
95
85
88
92
90
98
122
136
108
100
Sum
atra
Uta
ra
88
90
8
7
86
81
86
89
93
98
101
94
95
93
Sum
atra
Bar
at
108
11
5
10
9
122
108
104
95
86
89
91
82
68
74
Sum
atra
Sel
atan
104
12
1
99
105
122
106
93
76
73
73
108
119
137
Lam
pu
ng
88
89
7
9
76
73
79
80
80
76
74
90
107
106
Jaw
a B
arat
102
10
6
10
1
104
101
108
105
109
12
5
133
131
112
116
Jaw
a T
engah
100
10
1
10
9
104
95
101
92
102
11
3
124
118
92
97
D I
Yo
gyak
arta
108
10
9
11
1
115
131
125
116
126
12
8
133
126
122
126
Jaw
a T
imur
102
10
6
10
7
113
105
102
104
114
11
1
121
115
92
94
Bal
i
111
11
2
11
8
120
128
150
128
144
15
9
147
134
117
121
Nusa
Ten
ggar
a B
arat
103
11
3
11
6
116
143
113
87
89
86
87
72
57
48
Kal
iman
tan S
elat
an
94
99
10
7
106
107
130
118
112
11
2
105
99
83
90
Sula
wes
i U
tara
95
96
9
8
102
94
116
144
192
15
2
92
153
161
143
Sula
wes
i S
elat
an
105
10
8
11
3
115
124
135
111
109
11
7
118
106
95
97
Rata
an
103
10
5
10
3
107
108
109
104
109
11
0
109
112
102
103
Su
mb
er:
Sta
tist
ik P
erta
nia
n, D
ep
tan
2007
167
Lam
pir
an
4. H
arga D
asa
r G
ab
ah
da
n H
arga R
ata
-Rata
Ga
bah
di
Tin
gk
at
Prod
use
n T
ah
un
20
00-2
007
Tah
un
K
elom
pok
H
D
Jan
P
eb
Mar
A
pr
Mei
Ju
n
Jul
Ags
S
ep
Okt
No
v
Des
R
ataa
n
20
00
Wil
I
GK
P
10
20.0
0
996.0
0
970.7
9
883.4
1
885.0
1
982.6
0
975.1
1
10
17.6
8
99
8.9
0
970.9
0
980.4
0
955.3
8
960.4
9
964.7
2
Wil
I
GK
G
14
00.0
0
12
06.2
5
12
00.0
0
12
50.0
0
12
21.6
7
13
37.8
0
12
93.0
0
- -
12
06.2
5
- -
12
00.0
0
12
39.3
7
20
01
G
KP
10
95.0
0
10
35.6
4
10
14.2
1
11
19.0
0
10
75.9
5
11
19.1
5
11
09.5
7
11
24.0
5
11
53.7
4
11
95.8
7
12
49.2
0
12
52.9
1
12
45.4
0
11
41.2
2
G
KG
15
00.0
0
14
17.2
6
14
22.5
0
13
67.0
0
15
45.2
1
14
35.0
0
15
16.0
8
14
80.0
0
15
75.0
0
15
45.0
0
14
91.8
9
14
90.4
5
15
29.0
0
14
84.5
3
20
02
G
KP
10
95.0
0
13
96.1
3
13
20.5
9
11
77.7
9
12
09.2
2
12
53.5
8
12
16.8
8
12
10.5
9
12
28.1
3
12
24.4
6
12
49.5
3
12
95.8
4
12
82.8
4
12
55.4
6
G
KG
15
19.0
0
16
78.5
0
16
04.1
7
14
29.6
5
14
74.1
7
15
92.1
4
15
32.3
3
15
63.7
7
15
47.5
0
15
80.0
0
15
53.3
3
15
96.4
3
15
70.5
6
15
60.2
1
20
03
G
KP
12
30.0
0
12
78.1
0
12
96.2
8
12
57.9
2
11
95.4
1
12
43.8
9
12
17.6
6
11
74.2
1
12
68.2
8
12
72.3
2
12
72.8
6
12
53.4
7
12
61.6
0
12
49.3
3
G
KG
17
25.0
0
16
80.5
6
15
52.1
4
-
15
54.5
0
15
81.4
3
-
15
10.0
0
17
25.0
0
17
02.8
6
-
15
72.5
0
15
66.6
7
16
05.0
7
20
04
G
KP
12
30.0
0
13
13.8
8
12
28.2
0
11
38.5
2
11
88.6
8
12
60.9
9
12
62.3
7
12
30.6
4
12
35.7
7
12
55.6
4
13
10.1
3
13
25.7
5
13
49.2
1
12
58.3
1
G
KG
17
25.0
0
16
14.1
7
-
17
25.0
0
15
57.7
1
16
90.0
0
17
15.0
0
18
52.5
0
13
25.0
0
-
-
-
15
34.0
0
16
26.6
7
20
05
G
KP
12
30.0
0
14
33.2
2
14
73.7
8
- -
- -
- -
- -
- -
14
53.5
0
G
KG
17
25.0
0
16
65.0
0
17
93.9
8
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
17
29.4
9
20
05
G
KP
13
30.0
0
14
33.2
2
15
65.6
9
14
35.5
5
13
93.6
8
13
93.4
2
14
68.2
6
14
82.5
4
15
52.0
9
16
66.9
2
17
62.6
1
18
07.8
2
18
50.2
1
15
67.6
7
G
KG
17
40.0
0
16
65.0
0
17
93.9
8
18
85.6
3
19
20.6
7
18
98.1
8
17
77.8
1
16
57.5
0
17
47.5
0
17
93.3
3
17
67.7
8
20
27.5
0
18
12.2
6
20
06
G
KP
17
30.0
0
20
38.6
6
20
66.5
2
18
37.1
4
18
99.9
4
20
52.3
3
21
40.0
7
20
51.4
5
21
63.3
1
21
34.0
7
21
48.4
8
22
47.9
2
24
29.3
1
21
00.7
7
G
KG
22
50.0
0
23
57.3
5
23
56.4
6
25
00.6
9
22
40.0
0
23
28.9
5
23
84.4
8
24
37.8
3
23
94.4
2
24
33.2
0
24
61.4
1
24
31.5
1
26
34.9
5
24
13.4
4
20
07
G
KP
17
30.0
0
26
71.0
9
27
50.3
7
25
59.2
6
- -
- -
- -
- -
- 26
60.2
4
G
KG
22
50.0
0
28
95.7
0
29
09.5
3
29
24.0
9
-
-
-
-
-
-
-
-
-
29
09.7
7
Su
mb
er:
BP
S (
dio
lah
)
Wil
ay
ah
I:
Jaw
a, B
ali
, N
TB
, S
uls
el,
Su
ltra,
Su
mse
l
168
Lam
pir
an
5. R
eali
sasi
Rask
in T
ah
un
2000-2
00
7
No
Ta
hu
n
Satu
an
2
000
2001
20
02
2003
20
04
20
05
2006
20
07
1
Jum
lah
KK
Mis
kin
K
K
16
.00
0.0
00
15
.00
0.0
00
1
5.1
35
.561
15
.74
6.8
43
1
5.7
46
.843
15
.791
.884
15
.50
3.2
95
1
9,1
00
,905
2
KK
Sas
aran
K
K
7.5
00.0
00
8
.70
0.0
00
9
.790
.000
8.5
80.3
13
8
.590
.804
8.3
00
.000
10
.83
0.0
00
1
5,7
81
,884
3
KK
Sas
aran
Thd
T
ota
l %
46
,88
58
,00
64
,68
54
,49
54
,56
52
,56
69
,86
82
.62
4
Pag
u A
lokas
i to
n
1.3
50.0
00
1
.50
1.2
74
2
.349
.600
2.0
59.2
76
2
.061
.793
1.9
91
.897
1.6
24.5
00
1
,736
,007
5
Rea
lisa
si
Pen
yal
ura
n
ton
1.3
53.2
48
1
.48
1.8
29
2
.235
.141
2.0
23.6
64
2
.060
.198
1.9
91
.131
1.6
24.0
89
1
,519
,632
6
% R
eal
thd A
lokas
i %
1
00,2
4
98
,70
95
,13
98
,27
99
,92
99
,96
99
,97
87
.54
7
Pen
erim
a m
anfa
at
KK
10
.93
4.8
61
11
.80
7.3
16
1
4.3
55
.227
11
.83
2.8
97
1
1.6
64
.050
11
.109
.274
13
.88
2.7
31
1
6,7
03
,158
8
% P
M t
hd
KK
sa
sara
n
%
145,8
0
135,7
2
14
6,6
3
137,9
1
13
5,7
7
13
3,8
5
128,1
9
10
5.8
4
9
% P
M t
hd
KK
M
iskin
%
68
,34
78
,72
94
,84
75
,14
74
,07
70
,35
89
,55
87
.45
Su
mb
er:
Bu
log (
20
07)
Cata
tan
:
a.
top related