edisi 26, april 2014 issn 1412-9639 jurnal ilmiah k u t e i2. artikel ditulis menggunakan bahasa...
Post on 07-Nov-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Edisi 26, APRIL 2014 ISSN 1412-9639
JURNAL ILMIAH
K U T E IPERLINDUNGAN HUKUM BAGI
PEMEGANG SAHAM DI PASAR MODALMELALUI PENGEMBANGAN
GOOD CORPORATE GOVERNANCE
PENINGKATAN BUDAYA HUKUMTENTANG PENDAFTARAN HAK CIPTA
BAGI PENGERAJIN BATIK BASUREK DI KOTA BENGKULU
INKONSISTENSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM
PERLINDUNGAN HAK ATAS TANAH MASYARAKAT HUKUM ADAT
KEBIJAKAN KRIMINAL DAN KEBIJAKAN SOSIAL DALAM PENEGAKAN
UU NO. 35 TAHUN 2009 DAN UU NO. 5 TAHUN 1997 DI BENGKULU
PERBANDINGAN LEGALITY PRINCIPLEDAN THE LAW ENFORCEMENT AGENCIES
AND OTHER ACTORS/INSTITUTION IN THE CRIMINAL PROCEDURE DI INDONESIA DAN NORWEGIA
NON CUSTODIAL SANCTION DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
Dekan FH Universitas Bengkulu
Pembantu Dekan 1 FH Universitas Bengkulu
Prof Dr Herawan Sauni S.H.M.Si
Fakultas Hukum Universitas BengkuluJalan Raya Kandang Limun Kota Bengkulu
DITERBITKAN OLEH BADAN PENERBIT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU
Jurnal Ilmiah Kutei diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dimaksudkan sebagai media komunikasi dalam pengembangan ilmuditerbitkan 2 (dua) kali setahun yaitu April dan September. Redaksi menepenelitian dan artikel konseptual. Naskah dikirim kepada redaksI minimal 8 halaman dan maksimal 20 halaman dengan spasi 1,5 , disertai biodata penulis dan memgikuti ketentuan penulisan. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak
JURNAL ILMIAH KUTEI
Penanggung Jawab Dekan FH Universitas Bengkulu
Wakil Penanggung JawabPembantu Dekan 1 FH Universitas Bengkulu
Pimpinan RedaksiHerlita Eryke
Mitra BestariProf Dr Herawan Sauni S.H.M.Si
Prof Dr Juanda,S.H.M.H Dr. Herlambang,S.H.M.H
Dr.Hamzah Hatrik,S.H.M.HDr. Iskandar,S.H.M.Hum
Alamat Redaksi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu
Jalan Raya Kandang Limun Kota BengkuluTelp 0736 20653, 21184
DITERBITKAN OLEH BADAN PENERBIT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU
Jurnal Ilmiah Kutei diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dimaksudkan sebagai media komunikasi dalam pengembangan ilmu hukum dan ilmu-ilmu sosial. Jurnal Ilmiah Kutei diterbitkan 2 (dua) kali setahun yaitu April dan September. Redaksi menerima naskah laporan penelitian dan artikel konseptual. Naskah dikirim kepada redaksI minimal 8 halaman dan maksimal 20 halaman dengan spasi 1,5 , disertai biodata penulis dan memgikuti ketentuan penulisan. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak mengubah subtansi tulisan.
Jurnal Ilmiah Kutei diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dimaksudkan sebagai ial. Jurnal Ilmiah Kutei
rima naskah laporan penelitian dan artikel konseptual. Naskah dikirim kepada redaksI minimal 8 halaman dan maksimal 20 halaman dengan spasi 1,5 , disertai biodata penulis dan memgikuti ketentuan
tansi tulisan.
PENGANTAR REDAKSI
Pada edisi 26, April 2014 ini cukup banyak penulis yang berpartisipasi untuk
mempublikasikan pemikiran konseptualnya maupun hasil penelitiannya. Namun dalam Jurnal
Ilmiah Kutei edisi ini tulisan yang ditampilkan beragam dan variatif. Dewan redaksi akan
menampilkan tulisan hasil penelitian maupun artikel,antara lain: artikel dibidang hukum perdata
ekonomi maupun dibidang agraria serta taklah menarik tulisan dibidang hukum pidana.
Masalah perlindungan hukum bagi pemegang saham di pasar modal disajikan secara
menarik oleh Tito Sofyan, tulisan bagaimana peningkatan budaya hukum tentang pendaftaran
Haki bagi pengerajin Batik basurek yang merupak warisan budaya masyarakat Bengkulu
disajikan oleh Rahma Fitri di bidang agraria mengenai inkonsistensi peraturan perundangan
mengenai hak milik tanah masyarakat hukum adat disajikan oleh Hamdani Ma’akir. Dalam
tulisan edisi April kali ini tulisan dibidang hukum pidana sebanyak tiga tulisan. Masalah
kebijkan kriminal dan kebijakan sosial penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika dan
psikotropika di kemukan oleh Noeke Sri Wardhani, kajian perbandingan mengenai prinsip dasar
penegakan hukum antara Negara Indonesia dan Norwegia dikemukan oleh Ria Anggraeni serta
taklah menarik tulisan yang diketengahkan oleh Herlita Eryke mengenai alternatif pidana
perampasan kemerdekaan dalam hukum positif Indonesia saat ini.
Demikian pengantar redaksi, selamat membaca dan berdiskusi.
REDAKSI,
DAFTAR ISIREDAKSI JURNAL KUTEI iDAFTAR ISI iiPENGANTAR REDAKSI ii
Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Saham Di Pasar ModalMelalui Pengembangan Good Corporate GovernanceDr.Tito Sofyan,S.H.M.S.
1-14
Peningkatan Budaya Hukum Tentang Pendaftaran Hak Cipta Bagi Pengerajin Batik Basurek Di Kota Bengkulu Rahma Fitri,S.H.M.H.
15-25
Inkonsistensi Peraturan Perundangan-Undangan Dalam Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum AdatHamdani Ma’akir,S.H.M.Hum,Dr Emelia Kontesa,S.H.M.Hum
26-38
Kebijakan Kriminal dan KebijakanSosial Dalam Penegakan UU No. 35 Tahun 2009 dan UU No.5 Tahun Di BengkuluNoeke Sri Wardahani,S.H.M.Hum
39-55
Perbandingan Legality Principle Dan The Law Enforcement AgenciesAnd Other Actors/InstitutionIn The Criminal Procedure Di Indonesia Dan NorwegiaRia Anggraeni Utami,S.H.M.H.
56-67
Non Custodial Sanction Dalam Hukum Positif IndonesiaHerlita Eryke,S.H.M.H.
68-90
KETENTUAN PENULISAN1. Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik 1,5 spasi pada kertas
kuarto, panjang tulisan 8-25 halaman, diserahkan dalam bentuk print out dan CD , diketik
dengan menggunakan Ms Word
2. Artikel ditulis menggunakan Bahasa Indonesia atau Inggris dengan standar bahasa yang
baik dan benar
3. Artikel berupa tulisan ilmiah hukum maupun humaniora lainnya, baik yang berasal dari
hasil penelitian atau artikel ilmiah konseptual tentang hukum dan ilmu humaniora lainnya
4. Artikel yang berasal dari hasil penelitian/tesis/disertasi disajikan dengan sistematika
sebagai berikut : (a) Judul, (b) Nama Penggarang, (c) Abstrak (dalam Bahasa
Indonesia/Bahasa Inggris), (d) Pendahuluan (berisi latar belakang, permasalahan), (e)
Metode Penelitian, (f) Hasil Penelitian dan Pembahasan,
(g) Kesimpulan dan Saran, (h) Daftar Pustaka.
5. Artikel ilmiah konseptual disajikan dengan sistematika sebagai berikut : (a) Judul, (b)
Nama Penggarang, (c) Abstrak (dalam Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris), (d)
Pendahuluan, (e) Pembahasan, (f) Kesimpulan, (g) Daftar Pustaka
6. Daftar Pustaka/sumber (teks books/jurnal/majalah/makalah) disajikan secara alpebatis
7. Setiap kutipan harus menyebutkan sumbernya secara lengkap dan jelas, dengan
menggunkan system end note atau foot note
8. Dewan redaksi berhak menggubah naskah, sepanjang tidak mengubah subtansi tulisan,
redaksi berhak menolak tulisan yang disampaikan dalam hal tulisan tidak memenuhi
ketentuan penulisan
9. Tulisan/artikel untuk edisi April diserahkan pada pengelola Jurnal ilmiah kutei paling
lambat tanggal 20 Maret sedangkan untuk Edisi September diterima oleh pengelola
Jurnal Ilmiah Kutei paling lambat tanggal 20 Agustus.
BAGI PEMBACA YANG BERMINAT BERLANGGANANDAPAT MENGHUBUNGI TATA USAHA
JURNAL ILMIAH KUTEI HARGA PER EKSEMPLAR Rp 50.000,-
26
Inkonsistensi Peraturan Perundangan-Undangan Dalam Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
Oleh :Hamdani Ma’akir dan Emelia Kontesa.1
ABSTRAK
Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi Inkonsistensi dapat terjadi peraturan perundang-undangan dalam perlindungan hak atas tanah Masyarakat hukum adat baik secara vertikal maupun horizontal. dengan type penelitian yuridis normatif, dengan Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Permasalahan dalam penelitian ini: 1).Bagaimanakah bentuk inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum adat ?; 2).Bagaimanakah analisis hukum terhadap inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum adat ? hasil penelitian menunjukkan bahwa: Bentuk Inkonsistensi Peraturan perundang-undangan Dalam Perlindungan Hak atas tanah masyarakat Hukum Adat dimulai dari Pemahaman yang keliru tentang masyarakat Hukum adat, bermula terjadinya inkonsitensi perumusan bahasa atau kejelasan istilah terhadap hak-hak atas tanah. Belum dilakukan upaya komprehensif dari lembaga legislatif untuk uji materil semakin menjumbuhkan persoalan yang berujung pada ketidakpastian hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah. Terhadap inkonsistensi vertikal dapat dilakukan dengan menempuh jalan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam produk hukum terjadi “ambiguitas” pengaturan,dan“inkonsistensi” pengaturan, yang berimplikasi terjadinya conflictof norm, solusinya digunakan terhadap inkonsistensi horizontal adalah asas” Lex posterior derogat legi priori ( hukum yang terbaru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama (prior) dan asas “Lex specialis derogat legi generali “(penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Kata Kunci : inkonsistensi, perlindungan , hak Masyarakat hukum adat
A.PENDAHULUAN
Istilah "Masyarakat Hukum Adat" dan "Hak Ulayat" untuk pertama kali digunakan
oleh Pembuat Undang-undang pada 1960 dalam UUPA, tepatnya pada Pasal 3. Inti dari Pasal 3
adalah bahwa pelaksanaan Hak Ulayat atau hak-hak serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat
harus sesuai dengan kepentingan bangsa dan Negara. Mengenai apa yang dimaksud
dengan"Masyarakat Hukum Adat" tidak ada penjelasan baik dalam Pasal 3 maupun Penjelasan
Umum/Khusus yang merupakan tafsir resmi dari Pembuat Undang-undang. Istilah Hak Ulayat
dimaksud adalah apa yang selama ini dikenal sebagai "beschikkingsrecht" dalam kepustakaan
hukum Adat.
1 Hamdani Ma’akir,S.H.M.Hum , Dr.Emelia Kontesa,S.H.M.Hum Staf Pengajar FH UNIB
27
Sebenarnya istilah "Masyarakat Hukum Adat" dan"Hak Ulayat" dalam UUPA itu masih
menimimbul pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah persekutuan masyarakat yang merupakan
penduduk asli setempat selalu bisa diartikan sama dengan "Masyarakat Hukum Adat", apakah
hak-hak yang mereka miliki selalu dapat ditafsirkan sama dengan "Hak Ulayat"? Pembuat
UUPA sendiri tidak menyediakan jawaban dalam tafsir resminya yang termuat dalam Penjelasan
Umum/Khusus. Demikian juga dengan semua tanah dan sumber-sumber agraria yang dikuasai
secara bersama-sama dalam kelompok dianggap sebagai tanah-tanah Hak Ulayat. Sehingga
ketika di dalam masyarakat dikenal dengan nama yang berbeda (seperti di Bengkulu: dikenal
dengan nama tanah Marga; tanah Kaum) seolah-olah tidak terakomodir dalam istilah yang
dirumuskan undang-undang), sehingga pemahaman pemerintahpun berbeda dan hal ini
berpengaruh langsung terhadap perlindungan hukumnya.
Berdasarkan Penjelasan UUPA angka II Pembuat Undang-undang menyatakan
bahwa...berhubung dengan yang disebutnya hak ulayat dalam UUPA yang pada hakikatnya
berarti pula pengakuan hak itu maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan sepanjang
hal tersebut menurut kenyataanya masih ada masyarakat hukum yang bersangkutan. di atas
tanah-tanah Hak Ulayat itu Pemerintah berwenang menerbitkan hak-hak baru seperti Hak
Guna Usaha2.
ekonomi).
Berdasarkan ketentuan Pasal 28 huruf I ayat (3) undang-undang Dasar NegaraTahun 1945 :
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”Dari pernyataan tersebut disatu sisi sudah mulai ada upaya pemerintah untuk menguatkan
kembali pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dengan istilah “masyarakat tradisional”.
Pengakuan tersebut belum menyelesaikan berbagai persoalan pengaturan terhadap perlindungan
hak atas tanah masyarakat hukum adat. Faktanya masih terdapat inkonsistensi pengaturan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang kedudukannya berada di bawah Undang-
undang Dasar. Seperti Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Kedua undang-undang di atas merupakan contoh inkonsistensi pengaturan hak atas tanah
masyarakat hukum adat. Masih ada lagi peraturan perundang-undangan lainnya yang akan
diidentifikasi dan ditelaah serta dicarikan alternatif solusi dalam penelitian ini. Dalam sistem
28
peraturan perundangan di Indonesia, pengaturan tentang hak masyarakat adat dilakukan secara
sektoral. Akibatnya, masing-masing undang-undang sektoral mencantumkan pengaturan tentang
masyarakat adat menurut kepentingannya masing-masing, termasuk Undang-undang Nomor. 18
Tahun 2004 Tentang Perkebunan, Inkonsistensi pengaturan hak atas tanah masyarakat adat
terkesan memposisikan masyarakat hukum adat sebagai objek yang dikorbankan. Situasi ini
sesungguhnya tidak sesuai dengan landasan falsafah bangsa Pancasila, guna mengatasi persoalan
tersebut saat ini sudah disusun rancangan undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan
Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA), yang rencananya diundangkan pada tahun 2013.
B.PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah bentuk inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum adat ?
2. Bagaimanakah analisis hukum terhadap inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat
Hukum adat ?
C.METODE PENELITIAN
Penelitian ini meupakan penelitian hukum normatif drngan pendekatan perundang-
undangan (statute approach), yang dimaksud dengan statute berupa legislasi dan regulasi.
Dengan demikian pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan
legislasi dan regulasi.sedangkan produk yang merupakan beschikking/decree (keputusan pejabat
administrasi ) tidak dapat digunakan dalam pendekatan ini3.
C.Bahan Hukum
1.Bahan Hukum Primer
a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945b). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alamc). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agrariad). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunane). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananf). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adatg). Putusan Mahkamah Konstitusi (Perkara Nomor 21, 22/PUU- V/2007), Tanggal 28 Maret 2008.
2.Iman Soetiknjo,1987, Proses Terjadinya UUPA, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Hlm 2733 Peter Mahmud Marzuki, 2007,Penelitian Hukum, Jakarta. Kencana, ,Hlm:97.
29
2. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti RUU, hasil-hasil penelitian, hasil karya dan kalangan hukum dan seterusnya.
3.Bahan Hukum Tertier
Yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum
primer dan sekunder, contohnya: kamus, ensiklopedia dan seterusnya.
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan proses dan langkah-langkah sebagai
berikut:Pengumpulan data/bahan-bahan yang akan diteliti dan yang akan membantu dalam
penelitian, meliputi:
(a) fakta(misalnya rangkaian peristiwa dan/atau perbuatan yang membentuk
masalah atau peristiwa atau objek hukum yang akan diteliti);
(b) norma yang terdapat dalam pasal undang undang, dan berbagai peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi atau hukum kebiasaan);
(c)pendapat para ahli.4
E. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang sudah diperoleh akan diklasifikasikan berdasarkan rumusan
masalah penelitian ini, kemudian dianalisis. Analisis bahan hukum menurut berbagai
cara interpretasi, yaitu; interpretasi gramatikal dan otentik.
D.PEMBAHASAN
A. Bentuk Inkonsistensi Peraturan perundang-undangan Dalam Perlindungan Hak atas
tanah masyarakat Hukum Adat
Dalam penelitian ini peraturan perundang-undangan dimaknai setiap keputusan tertulis
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berlaku dan bersifat umum. Dengan
demikian bentuk dari ilmu pengetahuan perundang-undangan tidak lain adalah ketentuan-
ketentuan hukum yang tertulis yang bersifat dan berlaku mengikat umum. Bentuk inkonsistensi
dalam peraturan perundang-undangan ditemukan mulai dari:
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan negara yang baik
4 Sunaryati Hartono, Op.Cit. Hlm:l. 148
30
Asas pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) menurut I.C.van der vlies sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S5, membagi a). asas-asas formal ( asas tujuan yang jelas; asas organ/lembaga yang tepat;asas perlunya pengaturan; asas dapat dilaksanakan; asas konsensus) dan b). Asas –asas yang material meliputi (asas tentang terminologi dan sistematika yang benar; asas tentang dapat dikenali; asas perlakuan yang sama dalam hukum; asas kepastian hukum; asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individu);
Asas inipun dikenal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 dalam Pasal 5 yang
menyatakan:
”Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:a. kejelasan tujuan;b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dang. Keterbukaan”
Pada penjelasan dinyatakan : yang dimaksudkan kejelasan rumusan adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,serta bahasa hukum yang jelas
dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
Mencermati asas material yang berkaitan dengan tentang terminologi yng benar, pilihan
kata yang tepat agar tidak menimbulkan pulti tafsir terlihat dalam berbagai ketentuan perundang
–undangan hal ini kurang dicermati oleh para legislator.
Tabel 1Penggunaan Istilah Hak Masyarakat Hukum adatDalam Beberapa perundang-undangan Indonesia
Ketentuan perundang-undangan
Istilah yang digunakan
UUDN RI Tahun 1945Pasal 18 B ayat (2)
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya
Pasal 28 I ayat (3) hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,Pasal
“Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip... mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam
5 Maria Farida Indrati S., 2007,Ilmu Perundang-undangan I, Kanisius, Jakarta, Hlm:253-254
31
4 Huruf J Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok AgrariaPasal 3
Dengan Mengingat Ketentuan-Ketentuan Dalam Pasal 1 Dan 2 Pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak Yang Serupa Itu Dari Masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, Sepanjang Menurut Kenyataannya Masih AdaDalam Penjelasan Umum huruf A 1c “rakyat asli “
Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 39 Tahun 1999Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6
1. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 2 Ayat (9) juga disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 67.(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya berhak:a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; Undang-undang Republik IndonesiaNomor 18 tahun 2004TentangPerkebunan
Pasal 9(2) Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.
UU Nomor 11Tahun 1967 tentang Ketentuan –ketentuan Pokok Pertambangan
Pasal 11Pertambangan Rakyat. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai Pertambangan Rakyat dan cara serta syarat-syarat untuk memperoleh Kuasa Pertambangan (Izin) Pertambangan Rakyat diatur dalam Peraturan Pemerintah Rakyat setempat berdasarkan hukum adat dan untuk penghidupan mereka sendiri sehari-hari telah melakukan usaha-usaha pertambangan menurut cara-cara mereka sendiri. Hal ini harus dilindungi dan dibimbing.
Undang Undang Republik IndonesiaNomor 25 tahun 2007TentangPenanaman Modal Pasal 14
Huruf bYang dimaksud dengan 'tanggung jawab sosial perusaham"adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan. . penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, noma, dan budaya masyarakat setempat.Pasal 15 Setiap penanam modal berkewajiban:d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasikegiatan usaha penanaman modal; dan
Sumber: bahan hukum primer
32
Lemahnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat
diindikasikan bermula dari ketidakkonsistenan pembentuk peraturan perundang-undangan dalam
merumuskan istilah/ kata dengan jelas sesuai dengan “asas kejelasan rumusan”. Akibatnya
kemudian terjadi multi tafsir dalam menginterpretasikan hak masyarakat hukum adat atas tanah
yang sangat merugikan hak-hak masyarakat hukum adat.
Inkonsistensi pengaturan Perlindungan hak atas tanah Masyarakat Hukum Adat
Pengaturan Perlindungan hak atas tanah Masyarakat Hukum Adat berdasarkan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria disingkat dengan
UUPA dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK),Undang-undang
Nomor 18 tahun 2004Tentang Perkebunan (UUP) dapat dijabarkan dalam tabel 2 berikut:
Tabel 2Inkonsistensi antara UUPA, UUK,UUP
(UUPA) UUK UUP
Pasal 3 Dengan Mengingat Ketentuan-Ketentuan Dalam Pasal 1 dan 2 Pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-Hak Yang Serupa Itu Dari Masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, Sepanjang Menurut Kenyataannya Masih Ada, Harus Sedemikian Rupa Sehingga Sesuai Dengan Kepentingan Nasional Dan Negara, Yang Berdasarkan Atas Persatuan Bangsa Serta Tidak Boleh Bertentangan Dengan Undang-Undang Dan Peraturan-Peraturan Lain Yang Lebih Tinggi
Pasal 1 Huruf f Pasal Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat..
Pasal 9(2) Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayatdan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.
Pasal 5
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
Pasal 5Status dan Fungsi Hutan(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak.(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
Pasal 21Setiap orang dilarang melakukan pengamanan usaha kerusakan kebun dan/atau assetlainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yangmengakibatkan terganggunya
33
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
a, dapat berupa hutan adat. (3) Pemerintah menetapkan
status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat
ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya.(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan
tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
usah perkebunan. (Pasal ini sudah di yudisial revieu ke MK)
Ketidakkonsistenan antara UUPA dengan UUK dari tabel 2 di atas terlihat jelas antara
lain pada hal-hal berikut: Pertama ketika hukum agraria nasional mengakui keberadaan: tanah
yang dikuasai negara, tanah hak ulayat masyarakat hukum adat (meskipun diberbagai
masyarakat disebut dengan nama yang berbeda; Seperti di Propinsi Bengkulu dikenal dengan
nama Tanah Marga; tanah Kaum di Kabupaten Mukomuko) dan tanah hak yang dapat
dipunyai oleh subyek hak atas tanah. Selanjutnya dalam Undang-undang Kehutanan justru
timbul keanehan karena apabila membaca materi Pasal 1 dan pasal 5 ayat (1,2dan 3) justru tidak
mengakui hak masyarakat hukum adat namun tiba-tiba pada Pasal 5 ayat (4 ) menyebutkan
masyarakat hukum adat, hutan adat dimasukkan dalam kategori hutan negara.
Menurut Maria Sumardjono6 Pemahaman tentang status hutan tersebut berimplikasi
terhadap dua hal:
Pertama, UUK tidak mengakui keberadaan hutan adat, yang sejatinya merupakan bagian dari
hak ulayat MHA. Namun demikian, UUK yang tidak mengakui keberadaan hutan adat itu,
mengakui dan menentukan persyaratan keberadaan MHA; hal ini merupakan suatu kontradiksi
karena UUK tidak mengakui obyeknya (hutan adat) tetapi mengakui keberadaan subyeknya
(MHA) jika memenuhi persyaratan. Jika terjadi sengketa hak ulayat MHA terkait dengan hutan
6https://www.google.com/search?q=sesi1-maria-sw-sumardjono-harmonisasi-regulasi-kehutanan-fhugmakses 15 Juli 2013 pkl 21.52
34
adat, penyelesaiannya menurut UUPA dan UUK akan berbeda. Kedua, terkait status hutan,
disebutkan bahwa hutan negara adalah “hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani
dengan hak atas tanah”. Dalam konteks UUPA, tanah yang tidak dibebani dengan hak atas tanah
itu adalah tanah negara (garis bawah oleh penulis). Dengan demikian konsekuensinya adalah: (a)
tanah-tanah di kawasan hutan negara itu sejatinya adalah tanah negara.
2.Analisis hukum terhadap inkonsistensi pengaturan Hak atas tanah masyarakat Hukum
adat
Sering dipersoalkan apakah masih relevan Pengaturan hak atas tanah masyarakat hukum
adat? Sehingga negara diberi tugas untuk memproteksi melalui hukum negara. Sementara itu
didalam perumusannya masih terdapat disana sini kekaburan makna bahkan saling kontradiksi.
Dalam bukunya yang berjudul “Sesat Pikir Politik Hukum Agraria”, Maria Rita Ruwiastuti
mengemukakan pertanyaan apa pentingnya hak-hak adat bagi masyarakat lokal? Betapa tidak
saat kita semua sedang tergila-gila ingin memasuki dunia modern dan berlomba-lomba membeli
pengetahuan (termasuk hukum-hukum) yang canggih tiba-tiba kita diingatkan oleh sesuatu yang
kuno, usang, ketinggalan zaman.7 Ada dua (2) alasan yang dikemukakan: “Pertama; lepas dari
cita-cita menuju dunia modern yang ada dibenak kita selama ini, faktanya di negeri ini masih
terdapat kelompok masyarakat lokal. Kedua; Fakta lain yang tidak bisa dipungkiri bahwa
belakangan ini kepentingan kelompok-kelompok tersebut sering dikorbankan”.
Secara eksplisit Permenag/Ka BPN Nomor 5 Tahun 1999 mengemukakan kriteria masih
berlangsungnya hak ulayat masyarakat hukum adat berdasarkan pada keberadaan masyarakat
hukum adat yang diakui sebagai subyek hak atas tanah.
Adanya pengakuan dalam bebarapa pasal yang terkandung dalam Permenag/Ka BPN Nomor
5 Tahun 1999 menguatkan eksistensi masyarakat hukum adat/lokal yang secara faktual masih
ada di wilayah nusantara. Selanjutnya perlindungan hak masyarakat adat semakin dikuatkan hal
ini dinyatakan dengan frase “apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai
hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria”. Artinya
persekutuan masyarakat adat sebagai subjek hak atas tanah diakui menurut hukum positif.
Meskipun selama ini hal tersebut belum terrelisasi, faktanya tanah pesekutuan masyarakat adat
belum ada yang bersertipikat. Persoalannya terletak pada materi muatan Pasal 4 ayat (2) tetap
35
mengacu kepada mekanisme memberian HGU dengan cara masyarakat hukum adat melepaskan
haknya, karena tanah diberikan kepada perusahaan perkebunan.
Seharusnya apabila hak masyarakat adat telah diakui eksisitensinya, mereka tidak perlu
melepaskan hak atas tanah, melainkan tanah dapat dijadikan asset masyarakat untuk ikut
bermitra dengan pengusaha perkebunan. Dengan cara ini sebenarnya ekses negatif dapat
dihindari karena baik pemerintah,pengusaha perkebunan serta masyarakat adat diposisikan
sejajar dalam penyelenggaraan usaha perkebunan, dengan kata lain tidak ada pihak yang
dikorbankan.
Akibatnya kemudian pengakuan hak masyarakat adat atas sumber daya alam dalam produk
hukum terjadi “ambiguitas” pengaturan, “inkonsistensi” pengaturan, Implikasi dari
ketidaksinkronan adalah terjadinya conflict of norm, solusinya digunakan asas hierarki untuk
vertikal, sedangkan untuk horizontal digunakan asas” Lex posterior derogat legi priori adalah
asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (posterior)
mengesampingkan hukum yang lama (prior). Asas ini biasanya digunakan baik dalam hukum
nasional maupun internasional. dan asas Lex specialis derogat legi generali adalah asas
penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)8
Terjadi disharmoni antar peraturan perundang-undangan menyebabkan inkonsistensi horizontal disebabkan oleh: Ada 6 (enam) faktor yang menyebabkanxdisharmonixsebagaixberikut:1. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun Waktufyangfberbeda;2. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugasvatauvpenggantian;3.Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem;4. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum;5. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangannmasihnterbatas; 6.Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.9
7 Maria Rita Ruwiastuti, Sesat Pikir Hukum Agraria, (Yogyakarta: INSIST PRESS KPA dan Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 153-155.8 http://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali akses 22November 2013 pkl,21.35 Wib9http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html akses 22November 2013 pkl,21.30 Wib.
36
Akibat nyata dari conflict of norm tersebut menimbulkan multi tafsir dalam pengakuan
dan perlindungan hak atas tanah masyarakat hukum adat pengelolaan sumber daya alam sesuai
dengan kepentingan sektor masing-masing. Selanjutnya akan mengakibatkan kecenderungan
eksploitasi Hak atas tanah masyarakat hukum adat dan rusaknya sumber daya alam. Contoh
konkrit terjadinya sengketa tanah antara masyarakat Hukum adat Kaum 14 Kabupaten
Mukomuko dengan pemerintah daerah Kabupeten Mukomuko berkaitan dengan rencana Dinas
Perhubungan ingin melanjutkan pembangunan perluasan bandar Udara Mukomuko. Anak cucu
kaum 14 mengklaim tanah tersebut sebagai tanah leluhur mereka yang harus mereka hormati,
karena di sana terdapatmakam leluhur mereka yang harus mereka jaga. Sehingga mereka
menamakan tanah tersebut tanah pusaka tinggi. Sengketa tanah bandara Mukomuko dengan anak
cucu Kaum 14 hingga saat ini belum terselesaikan.
E.KESIMPULAN
1. Bentuk Inkonsistensi Peraturan perundang-undangan Dalam Perlindungan Hak atas tanah
masyarakat Hukum Adat dimulai dari Pemahaman yang keliru tentang masyarakat Hukum
adat, bermula terjadinya inkonsitensi perumusan bahasa atau kejelasan istilah terhadap hak-
hak atas tanah. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan negara yang baik a). asas-
asas formal ( asas tujuan yang jelas; asas organ/lembaga yang tepat;asas perlunya
pengaturan; asas dapat dilaksanakan; asas konsensus) dan b). Asas –asas yang material
meliputi (asas tentang terminologi dan sistematika yang benar)
2. Terjadi inkonsistensi vertikal terhadap Undang-undang akibat pemahaman yang keliru dan
ego sektoral. Belum dilakukan upaya komprehensif dari lembaga legislatif untuk uji materil
semakin menjumbuhkan persoalan yang berujung pada ketidakpastian hak-hak masyarakat
hukum adat atas tanah. Terhadap inkonsistensi vertikal dapat dilakukan dengan menempuh
jalan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam produk hukum terjadi “ambiguitas”
pengaturan,dan“inkonsistensi” pengaturan, yang berimplikasi terjadinya conflict of norm,
solusinya digunakan asas” Lex posterior derogat legi priori ( hukum yang terbaru (posterior)
mengesampingkan hukum yang lama (prior) dan asas “Lex specialis derogat legi generali
“(penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)
37
Daftar Pustaka
B.Hestu Cipto Handoyo,2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Depdiknas, 1990 Kamus Besar Bahasa Indnesia, Jakarta PN. Balai Pustaka.
Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, 2010 Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Salemba Humanika.
Hilman Hadikusuma, 2003.Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung.
Iman Soetiknjo,1987, Proses Terjadinya UUPA, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007,Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat
Hukum Adat, (Jakarta: Komnas HAM Pres, cetakan 1, Edisi 2.
Lily Rasjidi1988, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu, Bandung: Remaja Karya,
Mandar Maju
Maria Rita Ruwiastuti, 2000Sesat Pikir Hukum Agraria, Yogyakarta: INSIST
Maria S.W. Sumardjono, , 2001 Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi,
(Jakarta: Kompas).
Peter Mahmud Marzuki, 2007,Penelitian Hukum, Jakarta. Kencana.
Philipus M.Hadjon.1987,Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT .Bina
Ilmu
Satjipto Rahardjo, 2006,Hukum dalam Jagad Ketertiban, Jakarta: UKI PRESS,
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Metode Penelitian Normatif, Rajawali,
Jakarta,
Van Vollenhoven, 1983 Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia Jakarta: (Jakarta: Jambatan.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
38
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Putusan Mahkamah Konstitusi (Perkara Nomor 21, 22/PUU- V/2007), Tanggal 28 Maret 2008.
Internet
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/01/hukum-adat-dalam- erkembangan.html,
diakses tanggal 10 Februari 2011, pk. 10.15 wib
http://www.infogigi.com/PENGANTAR-DAN-ASAS-ASAS-HUKUM-ADAT-
INDONESIA.html diakses tanggal 23 Februari 2011, pk. 12.00 wib.
http://www.gudangmateri.com/2010/10/pengertian-hukum-adat-menurut-ahli.html,
diakses tanggal 10 Februari 2011.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/pengakuan-masyarakat-
hukum-adat-2.html, diakses pada hari Rabu tanggal 8 Maret 2011, pk. 11.00 wib.
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-
undangan.html akses 22November 2013 pkl,21.30 Wib.
http://id.wikipedia.org/wiki/Lex_specialis_derogat_legi_generali akses 22November 2013
pkl,21.35 Wib
http://www.academia.edu/3559789/Beberapa_Issu_Kritis_Seputar_Pengakuan_Hak-
hak_Masyarakat_Adat oleh Yando Zakaria akses16-11-2012 pkl 10-15Wib
http://retnoanggraeni.student.esaunggul.ac.id/pengertian-hak/ akses 24 -11-2013 pkl 10.20
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/01/hukum-adatdalamperkembangan.html, diakses
tanggal 10 Februari 2011, pk. 10.15 wib
http://www.infogigi.com/PENGANTAR-DAN-ASAS-ASAS-HUKUM-ADAT-
INDONESIA.html iakses tanggal 23 Februari 2011, pk. 12.00 wib.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/pengakuan-masyarakat-hukum-adat-
2.html, diakses pada hari Rabu tanggal 8 Maret 2011, pk. 11.00 wib.
39
top related