artikel tesis final - bahasa
TRANSCRIPT
1
Model Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca dari
Sampah Rumah Tangga menggunakan Pendekatan
Sistim Dinamik
Teuku Azuar Rizal
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Teknik Kimia1
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan melakukan simulasi mitigasi emisi gas rumah kaca dari sampah di
Kota Banda Aceh. Pemodelan untuk pelaksanaan simulasi ini dikembangkan
menggunakan pendekatan sistem dinamik. Skenario mitigasi pembentukan emisi
dilakukan dengan menggunakan pendekatan resource recovery. Simulasi dengan software
powersim ini memperlihatkan adanya potensi pembentukan emisi yang dapat dicegah.
Pada saat yang sama diperlihatkan pula adanya potensi pendapatan dari sektor
pengomposan, penjualan barang daur ulang, dan perolehan dari skema clean development
mechanism (CDM). Pada skenario pengelolaan minimum, dengan asumsi produksi 1 ton
kompos per hari, maka akan didapatkan total pengurangan emisi sebesar 200.000
megagram CO2E, dengan potensi income dari CDM mencapai Rp. 20 Milyar selama 30
tahun. Sedangkan dari sektor penjulan kompos dan material daur ulang masing-masing
mencapai Rp. 31 Milyar dan Rp. 35 Milyar, sehingga total pendapatan adalah 86 milyar
selama masa 30 tahun operasional. Jika diasumsikan hanya sekitar 60% saja dari total
pendapatan ini dapat terealisasi, maka total potensi pendapatan ini adalah Rp.51,6 Milyar
atau Rp.1,72 Milyar per tahun. Simulasi juga memperlihatkan bahwa usia pakai TPA
adalah 21 tahun. Selain itu diperlihatkan pula adanya pembentukan kompos sebesar 17,8
juta kg. Lebih lanjut simulasi ini dapat dijalankan pada berbagai kondisi skenario yang
diinginkan oleh para pihak (stakeholder).
Kata Kunci: Mitigasi Emisi, Gas Rumah Kaca, Sistem Dinamik, Powersim
PENDAHULUAN
Sampah merupakan salah satu sumber penghasil Gas Rumah Kaca (GRK) yang
cukup besar. Interpretasi terbaru menunjukkan bahwa emisi CH4 menyumbang
peningkatan sebesar sepertiga dari total GRK-tercampur (well-mixed GHG) antara tahun
1750 dan hari ini. Padahal sebelumnya laporan IPCC menyatakan bahwa peningkatan
CH4 di atmosfer hanya sekitar seperenam dari total efek GRK-tercampur terhadap
pemanasan global. Studi oleh NASA Goddard Institute for Space Studies, New York, NY,
menunjukkan bahwa CH4 cukup kuat namun berumur relatif lebih pendek dibandingkan
dengan CO2, Jika CH4 dapat dikontrol, maka pemanasan global dapat dikurangi lebih dari
1 Tesis ini telah diseminarkan pada tanggal 09 Januari 2011 di Program Pasca Sarjana Magister
Teknik Kimia, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2
apa yang disangka hari ini, dan ini bisa menjadi suatu hasil yang sangat positif (US EPA,
2010; Ramanujan, 2007).
Terlepas dari berbagai silang pendapat yang menyertai teori pemanasan global,
perubahan iklim dirasakan semakin nyata saat ini. Sebagai contoh adalah hujan es yang
melanda kota Lhokseumawe baru-baru ini 6/5/2011 (Tribunnews, 2011). Pengurangan
emisi tetap menjadi salah satu target penting yang ingin dicapai dunia dalam upaya
mitigasi dampak perubahan iklim akibat perubahan temperatur global, dan sejumlah besar
komitment pendanaan telah disiapkan hingga 2020, meskipun mekanisme untuk
melaksanakan kegiatan pengelolaan emisi sebagai skema pengganti protokol kyoto masih
belum disepakati (America.gov, 2009).
Dengan diberlakukannya UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang
mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sampah secara aman dan
higienis, maka tentu saja hal ini tampak seperti memberi tambahan beban baru kepada
Pemerintah Daerah. Pendekatan ujung pipa (end-of-pipe) yang menjadi solusi populer
hari ini sangat menitikberatkan pada hasil akhir produk yang tidak dimanfaatkan lagi
dengan mengabaikan asalnya. Pendekatan ini telah melahirkan pengembangan sistem dan
Teknologi Pembuangan dan urug (disposal/landfilling), insinerasi, daur ulang dan daur
pakai (reuse). Teknologi pembuangan memiliki dampak pembiayaan yang relatif tinggi
jika diterapkan di negara-negara berkembang (Sundberg et al., 1994).
Pemko Banda Aceh sendiri semakin terjepit dengan kenyataan bahwa sejumlah
besar anggaran tahunan kota terserap untuk belanja pegawai. Sumber dari kantor walikota
menyebutkan bahwa, lebih dari 60% dana APBD telah terpakai untuk belanja pegawai
dan sisanya untuk kegiatan pembangunan (Syaifuddin, 2010). Hal ini tentu saja
berdampak kepada sektor pengelolaan sampah, bahkan hingga akhir tahun 2010,
pemerintah belum dapat mengalokasikan sejumlah dana sebagai rencana persiapan
penggantian dan penambahan kendaraan operasional pengelolaan sampah. Di sisi lain,
pendapatan dari retribusi sampah belum memadai, yang hanya mencapai sekitar Rp.2
milyar atau 22% dari target pencapaian (2009/2010). Sayangnya, angka ini belum dapat
mencukupi biaya dari total Rp.14,2 M per tahun untuk pembiayaan operasional dan
pemeliharaan (O&P) serta pemenuhan gaji pegawai non struktural (Mirzayanto, 2011).
Undang-undang No. 18/2008 juga mewajibkan penghasil sampah untuk
mengelola sampah yang dihasilkan tersebut secara mandiri maupun dikontrakan kepada
pihak ketiga (rekanan). Hal ini membuka jalan bagi penerapan model pengelolaan
sampah kota secara desentralisasi. Model ini menekankan pengelolaan sampah dilakukan
di banyak tempat dan tidak memusat pada TPA, sehingga TPA hanya akan dimanfaatkan
sebagai tempat pembuangan residu sampah atau yang tidak dapat dimanfaatkan kembali
(Tchobanoglous, Kreith, 2002).
Secara umum, komposisi sampah Kota Banda Aceh merupakan campuran
organik dan anorganik. Secara informal, sebagian dari kegiatan pengelolaan sampah
secara desentralisasi ini sudah dilakukan oleh banyak individual, yaitu para pemulung dan
pengepul. Meskipun demikian, para individu ini lebih menekankan pada pengelolaan
sampah non-organik saja, sedangkan sampah organik belum mendapatkan perhatian lebih.
Padahal, penggabungan konsep pengomposan dengan konsep daur ulang lebih
menunjukan hasil yang nyata dalam pengelolan sampah (Hoornweg, Otten, 1999). Dari
sektor pengelolaan sampah anorganik ini sendiri perputaran uang diyakini cukup besar
sekaligus mempekerjakan banyak orang.
Jika saja Pemda dapat merubah paradigma terhadap sampah, maka Pemda sangat
berpeluang menjadikan sampah sebagai sumber tambahan pendapatan daerah. Potensi
pendapatan yang dimaksud dapat bersifat langsung, yakni dari pengelolaan sampah
sebagai kompos, penjualan barang-barang daur ulang ataupun melalui perolehan dana
3
pengurangan emisi melalui mekanisme pembangunan bersih (Clean Development
Mechanism , CDM).
Paparan diatas, semakin menguatkan kebutuhan akan adanya metode pengelolaan
sampah yang lebih komprehensif dan berbiaya rendah, serta mampu mengurangi emisi
secara signifikan. Sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk dapat memenuhi
kebutuhan ini.
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini akan mengamati interaksi menyeluruh terhadap
aspek-aspek yang terlibat dalam sistem pengelolaan sampah Kota Banda Aceh
menggunakan pendekatan sistem dinamik. Tujuan utama adalah untuk menghitung
seberapa banyak potensi pengurangan emisi yang dapat diperoleh melalui pengelolaan
sampah Kota Banda Aceh yang menerapkan metode pengelolaan sampah secara resource
recovery. Selanjutnya adalah untuk mengestimasi keuntungan yang dapat diperoleh jika
pengelolaan sampah Kota Banda Aceh diasumsikan berjalan menggunakan pendekatan
resource recovery. Keuntungan yang diharapkan adalah adanya income yang signifikan
dari kegiatan pengelolaan sampah secara resource recovery, terutama dari sektor
penjualan kompos, barang daur ulang dan kompensasi Clean Develompment Mechanism
(CDM).
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dalam menyusun rencana
kegiatan pengelolaan sampah Kota Banda Aceh. Dan model yang dikembangkan tersebut
dapat lebih disempurnakan hingga menjadi sistem penunjang keputusan (Decission
Support System) dan dapat bermanfaat dalam membantu para pihak (stakeholders) untuk
mengambil keputusan terkait.
TINJAUAN PUSTAKA
Pembentukan Emisi dari Pengelolaan Sampah
Ada sejumlah gas yang dianggap sangat bertanggung jawab dalam meningkatkan
emisi di atmosfer. US EPA mencatat bahwa konsentrasi saat ini dan proyeksi dari enam
GRK, dalam kondisi bercampur, yaitu karbon dioksida (CO2), metan (CH4), nitrogen
oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan heksafluorida sulfur
(SF6); di atmosfer, sangat mengancam kesehatan masyarakat dan kesejahteraan generasi
sekarang dan masa depan. Hampir ke-semua zat hasil kegiatan manusia tersebut
ditambahkan ke atmosfer dalam jumlah yang dominan dengan jumlah yang tidak
seimbang.
Total emisi gas-gas utama penyebab pemanasan global antara lain adalah CO2
sebesar 72%, CH4 sekitar 18% serta N2O sebanyak 9 % dan gas lain sebesar 1%.
Meskipun CH4 hanya berkisar 19% dari nilai keseluruhan, akan tetapi CH4 memiliki
potensi pemanasan global sebesar 21 kali menurut IPCC tahun 1996 (angka ini direvisi
menjadi 25 kali menurut laporan IPCC AR4 2007). Selanjutnya, dari 18% total emisi CH4,
maka 18,1% nya yang berasal dari sektor pengelolaan sampah. Pengurangan jumlah
sampah dengan menggunakan metode pengomposan merupakan salah satu solusi terbaik
yang dapat dilakukan. Pengomposan tidak memerlukan biaya yang mahal, mampu
mengurangi lebih dari 50 % timbulan sampah, efektif pengurangan gas rumah kaca, serta
berpotensi menghasilkan produk akhir yang mempunyai nilai ekonomis. Sehingga
penggabungan konsep pengomposan dengan konsep daur ulang lebih menunjukan hasil
yang nyata dalam pengelolaan sampah (Hoornweg, 1999).
4
Di Kota Banda Aceh, sebagian sampah rumah tangga umumnya dibuang ke
pekarangan, sedangkan sebagian lagi di buang ke TPS. Sampah-sampah ini kemudian
diangkut oleh petugas menggunakan becak secara door to door di tingkat desa lalu
dikumpulkan di TPS untuk seterusnya di angkut dengan truk ke TPA. Sebagian sampah
anorganik, yang masih bernilai ekonomi, diambil oleh pemulung dan petugas
pengangkutan sebagai sumber tambahan pendapatan. Komposisi sampah organik di
Banda Aceh mencapai 70%, dan merupakan pangsa terbesar Fraksi sampah campuran
adalah komposisi yang kedua terbesar, secara teknis kandungannya didominasi oleh
bahan plastik kemasan (Lederer, 2008). Kepadatan sampahnya berkisar antara 250–325
kg/m3. Namun DKP Banda Aceh menggunakan angka perkiraan kepadatan sampah
(waste density estimate) sebagaimana yang perkirakan oleh Lederer yaitu sebesar 250
kg/m3 (DKP, 2007; EnviroSolution, 2008).
Daur Ulang dan Resource Recovery
Penerapan kegiatan daur ulang (recycling), daur pakai (reuse), pengomposan,
waste-to-energy (WTE) maupun kegiatan-kegiatan lainnya merupakan bagian dari proses
material recovery atau resource recovery karena bertujuan menghemat sumber daya
material dan sumber daya energi. Sampah telah dianggap sebagai sumber bahan baku
material alternatif yang mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya murni di alam.
Material yang telah diselamatkan tersebut masih dapat digunakan untuk jangka waktu
(life cycle) tertentu. Meskipun demikian, banyak material yang dapat ditemukan di dalam
sampah masih belum tentu bisa dimanfaatkan kembali karena keterbatasan pasar dan
teknologi yang ada saat ini (Cheremisinoff., 2003). Sektor ini sangat membantu
pengelolaan sampah kota besar. Lagipula untuk membangun sistem daur ulang formal
dan komprehensif dibutuhkan biaya yang cukup besar. Pemulung cukup berjasa dalam
mengurangi biaya pengelolaan sampah secara umum (Assaad, 1996). Pemulung dan
sebagian pekerja formal menambah pendapatan mereka dengan mengambil sampah yang
masih bernilai ekonomi (DiGregorio, 1995). Di Banda Aceh sendiri, terdapat lebih kurang
35 buah pusat penampungan bahan daur ulang yang memberikan lapangan kerja bagi
sekitar 100 orang. Di TPA sendiri ada sekitar 40 orang yang menggantungkan hidupnya
dengan memulung bahan daur ulang dan menjualnya ke 5 pedagang perantara, untuk
kemudian dipisahkan dan dijual ke pembeli di Medan (DKP, 2007). Jumlah rata-rata
bahan daur ulang per agen sekita 714 kg/hari (Lederer, 2008). Sebagai Gambaran, sebuah
sub-sektor pencacahan plastik kapasitas 250 kg per hari, mempekerjakan 20 orang
pekerja langsung dan sekitar 27 group pekerja tidak langsung dengan keuntungan bersih
sekitar Rp 4 juta – Rp 5 juta per bulan.
Semua bahan organik akan segera terdekomposisi, sampah buah-buahan dan
sayuran, sampah pertanian (kulit pisang, tangkai jagung dan sekam), sampah pekarangan
(daun-daun dan rumput), serbuk gergaji, sampah makanan, bahkan kotoran manusia dan
hewan. (Klundert, Lardinois, 1994). Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan
pengomposan antara lain adalah volume sampah dapat berkurang hingga 80% dan
diubah menjadi kompos sehingga memberikan nilai tambah terhadap sektor pertanian.
Pengomposan mudah diimplementasikan mulai skala rumah tangga dengan modal kecil
hingga industri serta dapat diintegrasikan dengan sektor informal yang ada termasuk
pengumpulan, pemisahan dan daur ulang sampah (Hoornweg, 1999).
Pengendalian Emisi dalam Kerangka Kerja Internasional
Protokol Kyoto (PK) merupakan sebuah perjanjian dimana setiap negara,
terutama negara-negara sedang berkembang dan negara maju, harus memenuhi target
5
pengurangan emisi. Ada tiga mekanisme berbasis pasar yang ditawarkan dalam PK, yaitu
(UNFCCC, 1998):
1. Emission Trading (Perdagangan emisi/pasar karbon)
2. Clean Development Mechanism (CDM)
3. Joint implementation (JI)
Protokol Kyoto, dirancang untuk membantu negara yang terlibat dalam kegiatan
pengurangan emisi untuk beradaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim. PK
memfasilitasi pengembangan dan penyebaran teknik yang dapat membantu meningkatkan
ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Pendanaan kegiatan adaptasi ini dipenuhi
melalui pembiayaan dari pangsa kegiatan proyek CDM (UNFCCC, 1997).
Sistem Dinamik dalam Pengelolaan Sampah Kota.
Sistem Dinamik, adalah suatu metodologi dan teknik simulasi komputer
pemodelan untuk pembingkaian, pemahaman, dan mendiskusikan isu dan permasalahan
yang kompleks. Konsep utamanya adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek
dalam suatu sistem saling berinteraksi satu sama lain (System Dynamics Society, 2011).
Ada dua pertanyaan berkaitan bahwa suatu perilaku (perubahan atau dinamik) dalam
kehidupan individual maupun organisasi, pertanyaan pertama menyangkut mengapa
perilaku itu terjadi (policy analysis) dan bagaimana mengubahnya sedangkan yang kedua
berhubungan dengan kelanjutan perilaku itu pada masa yang akan datang, yang kedua ini
lebih dikenal dengan istilah prediksi (prediction) atau prakiraan (forecasting). Dalam
upaya untuk menjawab ini, maka dapat digunakan suatu model dinamik (Tasrif, 1996).
Tasrif (1996) menjelaskan bahwa pembuatan suatu model menggunakan metodologi
sistem dinamik terdiri atas enam tahap, yaitu : (i) Pola referensi atau identifikasi, (ii)
Hipotesis dinamik (Pengembangan hipotesis dinamik), (iii) Batas model (Boundary
Model), (iv) Penyusunan model (Struktur umpan balik), (v) Pengujian model (validasi
model ) (vi) Analisis kebijakan.
METODOLOGI PENELITIAN
Model dengan sistem dinamik ini mengacu pada pendekatan kualitatif-kuantitatif.
Penggunaan pendekatan berpikir sistem kualitatif (soft system methodology) dalam proses
operasionalnya difasilitasi dengan penggunaan aplikasi komputer (software) powersim
constructor sebagai alat bantu pengungkapan gagasan (cognitive mapping) atau
memformulasikan model sebagai pendekatan berpikir sistem kuantitatif. Pendekatan
berpikir sistem kualitatif digunakan untuk membangun struktur, sedangkan pendekatan
berpikir sistem kuantitatif digunakan untuk mensimulasikan struktur menjadi suatu
perilaku. Penggunaan pendekatan berpikir sistem kualitatif digunakan untuk memahami
kompleksitas sistem dan untuk mendukung proses berpikir intuitif-dialogis, sedangkan
pendekatan berpikir sistem kuantitatif digunakan untuk mendukung proses berpikir
rasional. Dalam proses pemanfaatan pendekatan berpikir sistem kuantitatif-kualitatif, dua
pendekatan ini digunakan secara terpadu sesuai kebutuhan, substansi dan konteks analisis.
Pendekatan kuantitatif juga digunakan untuk menganalisis data yang
dikumpulkan pada satu saat dengan menggunakan data time series. Data time series
dimaksudkan unuk mengetahui trend dari suatu kondisi dan juga untuk mengetahui sebab
akibat pada simulasi pola dinamis. Data yang dikumpulkan dapat juga digunakan untuk
mengetahui kecenderungan perilaku tertentu. Pendekatan kualitatif digunakan untuk
mengambil suatu kesimpulan dari analisis sistem yang akan dilakukan.
6
Model Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca
Secara umum gambaran sistem yang akan ditinjau dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar tersebut memperlihatkan keseluruhan sistem model pengurangan emisi GRK dari
sampah RT. Di dalamnya juga nampak dengan jelas sejumlah variabel yang terlibat
selama sistem berlangsung. Gambar tersebut juga memperlihatkan gambaran saling
keterkaitan antara variabel-variabel yang terlibat di dalam sistem.
Gambar 1: Model mitigasi emisi GRK dari sampah rumah tangga
Pada dasarnya, peningkatan jumlah sampah [S] sangat erat kaitannya dengan
pertumbuhan penduduk [P]. Sampah yang terbentuk dari rumah tangga, sebagian besar
akan dikumpulkan [SC] sedangkan sebagai yang tidak terjangkau akan tetap tertinggal di
dalam sistem [SNC]. Sebagian sampah yang telah dikumpulkan melalui sistem
transportasi [T] akan dibawa ke fasilitas pemrosesan. Sampah yang akan diproses tersebut
[SP] akan proses menjadi kompos [K], barang daur ulang [ME] dan sebagian yang tidak
terpakai akan menjadi Residu [R]. Sampah yang tidak di proses [SUP] bersama-sama
dengan residu sampah dari kegiatan proses akan dibuang ke TPA [D]. Sampah yang tidak
terkumpul dan yang tidak diproses berpotensi melepaskan emisi [E] ke atmosfer.
Sehingga untuk dapat mengurangi jumlah emisi, maka diperlukan intervensi melalui
peningkatan kegiatan pengolahan sampah [KP]. Untuk meningkatkan jumlah sampah
yang akan diproses, maka perlu dilakukan peningkatan laju pengumpulan sampah [KC].
Pengomposan menyebabkan volume sampah yang dibuang ke TPA mengalami
pengurangan, sehingga potensi pembentukan emisi juga akan berkurang. Pengurangan
emisi dari pengomposan ini, pada dasarnya dianggap bisa dihitung untuk mendapatkan
kompensasi CDM karena mencegah pembentukan metan, namun angka ini harus
dikurangi dengan emisi yang dilepaskan dari penggunaan transportasi dan mesin-mesin
pendukung. Perolehan CDM ini umumnya dapat digunakan kembali untuk mendukung
kegiatan pengelolaan sampah sehingga beban pemerintah daerah menjadi berkurang
dengan harapan dapat menurunkan besaran retribusi yang dianggap membebani penduduk
Kota Banda Aceh. Selain itu, potensi income juga dapat diperoleh melalui penjualan
material daur ulang dan kompos. Secara lebih detail, sistem dinamik sebagaimana yang
diperlihatkan melalui Gambar 1 di atas, dapat dijelaskan pada sub bagian berikut.
7
Batas Sistem (Sistem Boundary)
Batas-batas sistem dalam penelitian ini dapat digambarkan pada Gambar 2
berikut:
Gambar 2: System Boundary
Input koefesien pengumpulan sampah (Kebijakan no.1) dan koefesien
pemrosesan sampah (Kebijakan no.2) merupakan kebijakan pemerintah yang mendukung
pelaksanaan kegiatan pengelolaan sampah. Kedua kebijakan ini memberi peran penting
bagi output yang lebih baik, misalnya dalam kaitannya dengan pengurangan emisi,
penggunaan lahan TPA dan juga penyediaan lapangan kerja dari sektor pengelolaan
sampah. Artinya jika kedua kebijakan ini bisa dipilih dan dilaksanakan dengan baik, maka
kedua input tersebut dapat memengaruhi pola pelaksanaan pengelolaan sampah di Kota
Banda Aceh.
Parameter Dalam Simulasi
Untuk dapat menjalankan persamaan-persamaan di atas didalam lingkungan
perangkat lunak Powersim Studio 2005, maka dibutuhkan pendefinisian parameter yang
terlibat di dalam simulasi.
Tabel 0-1: Parameter input dalam simulasi
No Parameter Nilai Referensi
Jumlah Penduduk Banda Aceh (init.)
[kapita]
P 223.446 Pemda, BPS
Rate pertumbuhan penduduk
[%/thn]
rP 2,61 Lampiran B.2
1 Laju pembentukan sampah [% berat
per tahun]
rS 1- 3 (DKP, 2007)
2 massa pembentukan sampah harian
[kg/kapita.hari]
Sh 0.32 (Lederer, 2008)
4 Asumsi laju peningkatan massa
sampah RT menurut PDRB [% berat
per tahun]
1,5 Asumsi
Asumsi Rencana peningkatan 1,5 Asumsi penambahan
Pertumbuhan Penduduk;
Pertumbuhan Sampah;
Pengumpulan Sampah;
Pemrosesan Sampah;
Pembuangan Sampah;
Kebijakan 1: Koefesien
Pengumpulan Sampah
Kebijakan 2: Koefesien
Pemrosesan Sampah
Emisi
Usia TPA
Income
Infla
RP
end
8
No Parameter Nilai Referensi
kapasitas pengumpulan sampah oleh
DKP [%/thn]
armada truk 2 unit pada
tahun kedua
5 Rencana peningkatan service
resource recovery[kg/tahun]
CP 2.317.750 Asumsi bahan baku untuk
produksi 1 ton kompos
6 Kepadatan sampah Kota Banda
Aceh [kg/m3]
250 (EnviroSolution, 2008)
7 Rata-rata Tingkat Inflasi [% per
tahun]
6,61 (Bank Indonesia, 2011)
(data diolah)
9 Ritasi [kali/hari] 2 (DKP, 2007)
10 Koefesien Sampah organik [%] sa 57 (EnviroSolution, 2008)
11 Koefesien sampah bernilai ekonomis
[%]
se 32,1 (EnviroSolution, 2008)
(data diolah)
12 Koefesien sampah residu [%] sr 10,9 (EnviroSolution, 2008)
(data diolah)
13 Harga Kompos (init.) [IDR/ton] hK 500.000 (Temesi Recycling, 2010)
dll
14 Harga Sampah Daur Ulang (init.)
[IDR/kg]
hME 500 Asumsi (harga komoditas
terendah, plastik kresek)
17 Harga Karbon di pasar dunia untuk
kegiatan pengurangan emisi metan
[USD]
hC 12 - 18 Lampiran B.5
18 Berat kering komponen rapid 28,57 Lampiran C.1
19 Berat kering komponen Slow 9,60 Lampiran C.1
20 Komposisi CH4 rapid [%] 61,67 Lampiran C.5
21 Komposisi CO2 rapid [%] 38,34 Lampiran C.5
22 Komposisi CH4 slow [%] 71,98 Lampiran C.5
23 Komposisi CO2 slow [%] 28,02 Lampiran C.5
24 Volume pembentukan gas landfill
cepat mengurai [m3/kg]
0,783 Lampiran C.6
25 Volume pembentukan gas landfill
lambat mengurai [m3/kg]
0,8897 Lampiran C.6
26 Simulation-run 30 tahun Konstanta
PEMBAHASAN
Pertumbuhan Penduduk
Melalui simulasi dengan menggunakan perangkat lunak powersim studio 2005,
dapat diamati bahwa pertumbuhan penduduk bergerak dalam angka relatif mendekati
dengan pertumbuhan penduduk sebagaimana yang diperkirakan oleh BPS, karena
memang pada dasarnya menggunakan angka pertumbuhan yang relatif sama. Namun
9
karena kedua angka pertumbuhan penduduk Kota Banda Aceh sama-sama dihasilkan dari
penggunaan model, maka validasi terhadap data ini sulit dilakukan. Namun demikian,
pertumbuhan yang diperlihatkan tidak begitu tajam dan juga tidak begitu lambat,
sehingga angka pertumbuhan ini dapat dikategorikan cukup mewakili kondisi umum
pertumbuhan, sehingga model ini dianggap layak dipakai untuk melihat kecenderungan
pertumbuhan yang ada. Hasil simulasi pertumbuhan penduduk digambarkan pada
Gambar 3 berikut ini:
Gambar 3: Grafik Simulasi Pertumbuhan Penduduk
Simulasi Laju Pembentukan Sampah Perubahan pada massa sampah ini terjadi akibat adanya asumsi peningkatan
tingkat pendapatan domestik regional brutto (PDRB), sebagaimana yang telah
diterangkan pada bagian sebelumnya. Dan karena PDRB Kota banda Aceh terjadi
peningkatan sebesar rata-rata 4,6 % selama beberapa tahun terakhir maka diasumsikan
terjadi peningkatan jumlah sampah sebesar 1,5% per tahun. Angka pertumbuhan sebesar
1,5% per tahun ini relatif logis karena tidak menyebabkan pertumbuhan yang terlalu cepat
terhadap massa sampah. Namun demikian, studi yang lebih detail terhadap pengaruh
perubahan tingkat pendapatan masyarakat terhadap peningkatan massa sampah harian
masih perlu dilakukan. Simulasi memperlihatkan rata-rata produksi sampah harian di
Kota Banda Aceh adalah sebagaimana pada Gambar 4 berikut ini:
10
Gambar 4: Laju perubahan massa sampah
Pertumbuhan jumlah penduduk kota Banda Aceh secara langsung memengaruhi
pertumbuhan sampah sehingga tren pertumbuhan penduduk, akan terlihat selaras dengan
produksi sampah. Jumlah produksi sampah harian menunjukkan hasil seperti pada
Gambar 5 berikut ini:
Gambar 5: Laju permbentukan sampah harian (berat)
Kebijakan Pemerintah dalam Kegiatan Pengelolaan Sampah
Ada dua kebijakan yang akan menjadi peubah (variabel) dalam simulasi ini,
dimana perubahan pada kedua kebijakan ini akan berpengaruh signifikan terhadap pola
pengelolaan sampah. Kedua hal yang dimaksud adalah:
1. kebijakan peningkatan pengumpulan sampah dalam hal ini berkaitan langsung
dengan peningkatan jumlah armada sampah, dan
2. kebijakan untuk melakukan pemrosesan terhadap sampah yang berarti terjadi
pembangunan atau penambahan fasilitas pengolahan sampah.
11
Simulasi Pengumpulan Sampah
Saat ini, baru sekitar 65% penduduk dilayani langsung oleh DKP. Laju
pengumpulan ini diasumsikan dapat meningkat jika pemerintah memang memiliki
kemampuan dan komitmen untuk meningkatkan laju pengumpulan sampah. Namun jika
pemerintah ingin lebih meningkatkan cakupan pelayanan terhadap masyarakat, maka
pemerintah harus siap untuk meningkatkan laju pengumpulan sampah pada tingkatan 1,5%
per tahun (setara dengan penambahan dua unit truk pada tahun pertama). Meskipun
demikian, diasumsikan pula bahwa tingkat pengumpulan maksimum 100% tidak akan
pernah dapat tercapai. Hal ini didasarkan pada pertimbangan adanya sejumlah kendala
yang tidak memungkinkan DKP Kota Banda Aceh untuk memungut 100% sampah dari
sumber rumah tangga. Sehingga angka maksimum masyarakat yang dapat dilayani adalah
95% saja. Simulasi peningkatan kapasitas pengumpulan sampah (skenario peningkatan
laju pengumpulan 1,5% per tahun) diperlihatkan pada Gambar 6 berikut ini:
Gambar 6: Simulasi Kapasitas Pengumpulan Sampah oleh DKP
Simulasi memperlihatkan bahwa tingkat pencapaian kapasitas pengumpulan
maksimum 95% terjadi pada tahun 2032. Sehingga jumlah sampah yang dapat
dikumpulkan oleh DKP sehari-hari adalah sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar
7, dengan jumlah operasional truk seperti pada Gambar 8:
Gambar 7: Laju Pengumpulan Sampah harian (kg)
12
Gambar 8: Laju peningkatan kebutuhan unit transportasi Sampah
Disisi lain, laju peningkatan pengumpulan sampah yang gradual tersebut, tetap
menyisakan sejumlah besar sampah yang tidak dapat dikumpul, dengan asumsi masih
dikelola oleh masyarakat secara tradisional, yaitu dibakar, ataupun dibiarkan membusuk
di tempat sampah rumah tangga atau tempat pembuangan sampah liar. Hasil simulasi
diperlihatkan pada Gambar 9.
Gambar 9: Laju sampah yang tidak terkumpul dalam m3/hari
Simulasi Konsumsi BBM
Peningkatan pada jumlah armada transportasi sampah secara langsung memberi
dampak kepada peningkatan jumlah konsumsi bahan bakar minyak (BBM) Laju
konsumsi BBM menyebabkan beban biaya BBM diperlihatkan pada Gambar 10 berikut
ini:
13
Gambar 10: Laju Konsumsi BBM harian
Laju konsumsi BBM berdampak kepada sektor pembiayaan. Harga BBM akan
semakin meningkat. Beberapa hal penting yang akan merubah harga BBM antara lain
adalah laju inflasi, ketersediaan BBM, perubahan harga per barrel dan situasi politik
global akan memengaruhi laju kebutuhan biaya untuk memenuhi kebutuhan BBM.
Namun dalam simulasi ini hanya inflasi yang akan dihitung sebagai faktor peubah harga
BBM. Gambar 11, adalah laju kebutuhan biaya BBM harian.
Gambar 11: Laju kebutuhan biaya BBM
Perubahan harga BBM diatas mengikuti laju inflasi 6.61% per tahun, seperti pada
Gambar 12 sebagai berikut:
14
Gambar 12: Peningkatan Harga BBM
Simulasi menunjukkan peningkatan harga yang tajam, bergerak secara mencolok
dari taraf Rp.4.500 per liter pada tahun 2011 hingga mencapai Rp.30.000 pada 2042.
Simulasi ini dibuat dalam bentuk yang paling sederhana karena hanya inflasi yang
dihitung secara prorata selama masa waktu simulasi serta tidak menghitung pengaruh-
pengaruh lain. Pengaruh lain yang dimaksudkan disini adalah faktor ketersediaan BBM
dan permintaan pasar, selain permasalah politik dan trend perkembangan pemakaian
energi dunia dalam beberapa masa mendatang.
Simulasi Pemrosesan Sampah (Resource Recovery)
Tingkat pemrosesan sampah ditentukan berdasarkan kebijakan untuk membangun
fasilitas pengelolaan sampah. Pada dasarnya hal ini dilakukan untuk menyelamatkan
lahan TPA, karena jika tidak TPA akan segera penuh dalam waktu yang singkat. Kesulitan
yang ditimbulkan dalam hal membangun fasilitas pengelolaan sampah tidaklah serumit
mencari lahan baru untuk TPA, apalagi di dalam kawan perkotaan. Investasi yang
diperlukan untuk membangun fasilitas pemrosesan sampah juga bersifat aktif karena
mampu memberikan peluang kerja dan income pada saat yang bersamaan selama masa
operasionalnya. Namun, sebagai baseline, simulasi ini mengasumsikan tidak terjadi peningkatan pada kegiatan pemrosesan sampah.
Pada fasilitas ini, skenario yang secara umum dikembangkan adalah pada
pengolahan terhadap sampah yang masuk. Sampah organik yang masuk ke fasilitas ini
diproses untuk dijadikan sebagai kompos. Sedangkan sampah anorganik yang bernilai
ekonomis akan dikumpulkan untuk kemudian di jual. Sampah anorganik ini juga
memiliki potensi untuk ditingkatkan nilainya melalui proses tambahan seperti pencacahan
plastik maupun pembuatan produk-produk lain dari bahan-bahan daur ulang. Kompos
yang dapat diproduksi sangat bergantung kepada jumlah fasilitas yang dibangun. Semakin
banyak fasilitas pemrosesan sampah yang akan dibangun, maka semakin banyak pula
kompos yang dapat diroduksi. Demikian pula dengan barang daur ulang yang bisa dijual.
Gambar 13 berikut ini adalah skema hubungan parameter dalam produksi kompos dan barang daur ulang.
15
Gambar 13: Laju Produksi pada kegiatan Resource Recovery
Simulasi Pembuangan Sampah
Sampah yang dibuang ke TPA, merupakan sampah sampah-sampah hasil
pengumpulan yang tidak dapat diproses pada fasilitas pengelolaan sampah ditambah
dengan residu hasil proses yang tidak bisa digunakan lagi. Sampah-sampah ini akan
terkumpul dan berakumulasi hingga mencapai batas maksimum yang dapat ditampung di
TPA. TPA yang dimaksudkan dalam hal ini adalah TPA masa depan yang sedang dalam
tahap perencanaan, yaitu Regional Reusable Sannitary Landfill Blang Bintang dengan
kemampuan maksimum penerimaan sampah sebesar 2,3 juta m3. Secara skematis,
diagram konstruktor digambarkan pada Gambar 14 berikut ini:
Gambar 14: Akumulasi buangan sampah di TPA
16
Gambar 15: Diagram usia pakai TPA
Pada skenario kapasitas pengumpulan sampah 65% dengan laju pemrosesan 7 ton
sampah per hari, TPA dapat digunakan hingga masa pakai 30 tahun lebih (garis merah).
Sedangkan pada skenario pengelolaan sampah 1 ton per hari dengan kapasitas
pengumpulan yang sama usia pakainya menjadi lebih singkat yaitu sekitar 20 tahun saja
(garis biru). Sementara ketersediaan lahan untuk TPA di Kota Banda Aceh dapat
dikatakan tidak tersedia. Oleh karena itu Kota Banda Aceh harus merubah paradigma
pengelolaan sampah dari “membuang sampah” menjadi “mengolah sampah”.
Simulasi Pembentukan Emisi GRK dari pengelolaan sampah
Emisi total dari kegiatan pengelolaan sampah, adalah penjumlahan dari potensi
emisi oleh sampah yang tidak diproses dengan emisi dari BBM yang digunakan selama
kegiatan transportasi pengelolaan sampah. Diagram konstruktor digambarkan dalam
hubungan pada Gambar 16 berikut:
Gambar 16: Pembentukan Emisi Sampah
Berikut ini adalah gambaran trend pembentukan emisi. Nilai ini diperoleh
berdasarkan skenario nilai terendah, yaitu pada kondisi pengumpulan 65% dengan
pemrosesan sampah untuk bahan baku produksi kompos sebesar 1 ton perhari (garis
17
merah), dibandingkan dengan pada kondisi produksi 7 ton kompos per hari (garis biru).
Gambaran pembentukan emisi diperlihatkan pada Gambar 17 berikut:
Gambar 17: Emisi pada produksi kompos 1 ton/hari dengan 7 ton/hari
Simulasi Potensi Income
Ada dua sumber income yang dapat diperoleh dari pemrosesan sampah. yaitu
dari penjualan produk kompos dan material daur ulang. Pengurangan emisi dari total
sampah yang sudah diproses dianggap sebagai emisi yang dapat dicegah pembentukannya.
Dengan mengasumsikan harga emisi karbon per ton (megagram) adalah USD 12 atau
sekitar Rp.108.000 pada kurs Rp.9.000 per USD.1. Trend pendapatan dari kegiatan
pengelolaan sampah diperlihatkan pada Gambar 18 berikut:
Gambar 18: Simulasi potensi income dari CDM
Pada skenario pengelolaaan sampah dengan kapasitas produksi kompos satu ton
per hari hanya memberikan potensi income sebesar Rp.20 Milyar untuk akumulasi 30
tahun, sedangkan jika produksi kompos dapat digenjot menjadi 7 ton per hari maka
potensi income dari CDM menjadi jauh lebih besar yaitu lebih dari Rp.150 Milyar pada
akumulasi 30 tahun. Namun sumber income yang dapat diperoleh tidak hanya dari sektor
CDM, namun juga dari sektor penjualan kompos dan material daur ulang sebagiamana
diperlihatkan pada Gambar 19 berikut:
18
Gambar 19: Simulasi income dari Kompos & Daur Ulang
Potensi masing-masing dapat diamati mencapai Rp.250 Milyar untuk penjualan
material daur ulang (garis biru) dan Rp.215 Milyar untuk penjualan produk kompos
(garis merah). Angka tersebut adalah pada kondisi produksi 7 ton kompos per hari,
Sedangkan pada kondisi skenario produksi minimum diperoleh Rp.35 Milyar untuk
penjualan material daur ulang (garis coklat), dan Rp.31 Milyar untuk penjualan kompos
(garis hijau).
KESIMPULAN
Simulasi menunjukkan bahwa pelepasan emisi GRK yang dapat dicegah
berbanding lurus dengan peningkatan jumlah fasilitas pengelolaan sampah. Pencegahan
pelepasan GRK ini, dapat diartikan sebagai potensi pendapatan melalui mekanisme
CDM. Dua skenario yang dipakai dalam simulasi ini adalah skenario kondisi pemrosesan
sampah dengan kapasitas produksi 1 ton sampah per hari (skenario minimum) dengan
kondisi produksi 7 ton kompos per hari (Skenario 7 ton). Kapasitas pengumpulan sampah
diasumsikan tetap pada kondisi 65% setiap tahunnya. Simulation run terhadap dua
kondisi yang berbeda ini memperlihatkan bahwa pada kondisi minimum, maka akan
didapatkan pengurangan emisi sebesar 200.000 megagram CO2E atau setara dengan
200.000 ton CO2E. dari total emisi yang terbentuk sebesar 4 juta megagram CO2. Pada
skenario ini potensi income dari CDM mencapai Rp. 20 Milyar selama 30 tahun.
Sedangkan dari sektor penjualan kompos dan material daur ulang masing-masing
mencapai Rp. 31 Milyar dan Rp. 35 Milyar. Sehingga total pendapatan pada kondisi
penambahan 1 fasilitas kompos berkapasitas produksi 1 ton kompos per hari memberikan
keuntungan finansial sebesar 86 milyar selama masa 30 tahun operasional. Pada skenario
produksi kompos 7 ton per hari, diperlihatkan potensi Rp.215 Milyar untuk penjualan
produk kompos dan potensi Rp.250 Milyar untuk penjualan material daur ulang.
Sedangkan dari sektor CDM memiliki potensi income sebesar Rp.150 Milyar. Totalnya
nilai mencapai Rp.615 Milyar. Perkiraan pada asumsi 60 % realisasi dari total potensi
pendapatan, maka pendapatan pada skenario minimum adalah Rp.51,6 Milyar atau
Rp.1,72 Milyar per tahun. Sedangkan pada skenario kedua diperkirakan potensi yang ada
adalah Rp.369 Milyar. Potensi pendapatan yang diperoleh ini dapat dipakai sebagai
pengganti ataupun tambahan bagi subsidi retribusi pengelolaan sampah kota bagi
masyarakat.
Pada dua skenario yang ada, simulasi juga memperlihatkan masa efektif
operasional TPA. Pada kondisi pemrosesan sampah minimum, maka masa pakai TPA
19
hanya 20 tahun saja, sedangkan pada kondisi skenario lanjut TPA dapat dipertahankan
hingga 30 tahun lebih. Selain itu simulasi juga menunjukkan bahwa pupuk kompos yang
dapat diproduksi pada masing-masing skenario adalah 17.8 juta kg berbanding 124,6 juta
kg.
Tabel 0-1: Rangkuman perolehan dari simulasi pemrosesan sampah
Parameter Skenario 1 Skenario 2
Total Pembentukan Emisi
[CO2E]
4 juta Megagram
Pengurangan emisi [CO2E) 200.000 Megagram 1.426.000 Megagram
Potensi income dari CDM
[Rp]
20.000.000.000 150.000.000.000
Penjualan kompos [Rp.] 31.000.000.000 215.000.000.000
Penjualan material daur ulang
[Rp.]
35.000.000.000 250.000.000.000
Total pendapatan [Rp.] 86.000.000.000 615.000.000.000
Asumsi Realisasi 60% 51.600.000.000 369.000.000.000
Usia TPA [tahun] 20 30
Produksi Kompos [kiloton] 17,8 124,6
REKOMENDASI
Model yang telah dikembangkan ini masih memiliki banyak kekurangan, karena
pada dasarnya model ini masih merupakan bentuk awal dari pemodelan pengelolaan
emisi dari pengelolaan sampah secara menyeluruh. Peluang-peluang pelaksanaan kajian
lanjutan terhadap model ini dapat dilakukan pada beberapa pokok bahasan terkait, antara
lain:
1. Pengaruh pilihan teknologi pengendalian emisi terhadap kondisi keuangan
DKP/Daerah
2. Pengaruh perubahan komposisi sampah terhadap pembentukan emisi
3. Pengendalian emisi melalui optimasi transportasi/pengumpulan sampah
4. Penerapan teknologi pengomposan skala rumah tangga terhadap pengurangan
emisi
5. Optimalisasi pengendalian emisi dalam pengelolaan sampah kota Banda Aceh
Beberapa topik di atas hanyalah sedikit dari pokok bahasan berkaitan dengan isu
emisi yang dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi penelitian yang akan datang.
Diharapkan dari semakin luasnya cakupan kajian yang dimasukkan ke dalam model yang
telah ada ini, maka akan diperoleh sebuah alat pengambilan keputusan yang
komprehensif yang dapat digunakan oleh para pihak
Khusus kepada para pengambil keputusan, pengelolaan sampah akan menjadi isu
yang semakin serius di kemudian hari, apalagi dengan segala keterbatasan daya dukung
yang dimiliki oleh Kota Banda Aceh. Untuk itu, pemda mau tidak mau harus segera
merumuskan sebuah pendekatan baru yang inovatif dalam mengelola sampah Kota Banda
Aceh, atau jika tidak maka kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh persoalan sampah
ini akan semakin rumit. Paling tidak, pemerintah harus mengubah paradigma pengelolaan
sampah dari pendekatan end of pipe menjadi resource recovery.
20
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Tim Leader GTZ SLGSR Aceh, Dipl. Helmut Krist, Ir. Idris
Maxdoni Kamil M.Sc.Phd., Komisi Pembimbing Dr. Ir. Syaubari. M.Sc., Hizbullah, ST.
M.Eng.Sc., dan Komisi Pembahas Dr. Ir. Izarul Machdar M.Eng., Dr. Ir. Darmadi, MT.,
Sofyana, ST., MT. Demikian juga kepada semua kolega, teman dan keluarga atas
dukungan selama penelitian ini dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
ATSDR; ATSDR (ed.) (2001): „Chapter 2: Landfill Gas Basics“. In: Landfill Gas Pri-
mer: An Overview for Environmental Health Professionals. Atlanta, Georgia:
Agency for Toxic Substances and Disease Registry.
Alfian; Nurhayati, Desy (2010): „Emissions trading scheme remains available beyond
Kyoto“. The Jakarta Post. Jakarta.
America.gov (2009): „Copenhagen Accord Politically Significant but Not Legally Bind-
ing“. America.gov. Online im Internet: URL: http://www.america.gov/st/energy-
english/2009/December/20091222131726lcnirellep0.1802179.html#ixzz16kP2l6lh
(Stand: 30.11.2011).
Assaad, R. (1996): „Formalizing the Informal? The Transformation of Cairo’s Refuse
Collection System“. In: Journal of Planning Education and Research. 16 (2),
pp. 115-126.
Bank Indonesia (2011): „Tingkat Inflasi di Aceh“. Online im Internet: URL:
http://www.bi.go.id/biweb/Templates/Moneter/Default_Inflasi_ID.aspx?NRMODE
=Published&NRNODEGUID={A7760121-1768-4AE8-B333-
0C91E746F1E3}&NRORIGINALURL=/web/id/Moneter/Inflasi/Data+Inflasi/&NR
CACHEHINT=Guest (Stand: 2011).
Brown, Sally; Kruger, Chad; Subler, Scott (2002): „Greenhouse Gas Balance for Com-
posting Operations“. In: Journal of Environmental Quality. pp. 1396-1410.
DKP (2007): Laporan Master Plan Pengelolaan Sampah untuk Kota Banda Aceh Pasca
Tsunami. Banda Aceh, INA.
DiGregorio, Michael (1995): „Recycling in Hanoi“. Asian Institute of Technology. Online
im Internet: URL: http://www.hartford-hwp.com/archives/25b/003.html (Stand:
2011).
EnviroSolution (2008): Waste Arising Study: Nanggroe Aceh Darussalam October 2008.
Historical Studies. Banda Aceh.
Forrester, Jay W; Greene, Kenyon B. De (ed.) (1991): „System Dynamics and the Les-
sons of 35 Years“. In: The Systemic Basis of Policy Making in the 1990s. Massachu-
setts pp. 1-35.
Gillenwater, Michael (2010): „What is a Global Warming Potential? And which one do I
use?“. Online im Internet: URL: http://ghginstitute.org/2010/06/28/what-is-a-global-
warming-potential/ (Stand: 01.12.2010).
Hoornweg, Daniel (1999): „What a Waste : Solid Waste Management in Asia“. Washing-
ton, D.C. 20433, U.S.A.
Hoornweg, Daniel; Otten, Lambert (1999): „Composting and Its Applicability in Devel-
oping Countries“. Washington, D.C. 20433, U.S.A.
21
KencanaOnline (2010): „Rotary Klin Manual ( 5 Unit / IPKK) Biophoskko@“. Keca-
naOnline.com. Online im Internet: URL:
http://www.kencanaonline.com/online/index.php?cPath=44&osCsid=a7df189b26e9
c94457d671b041c7cd1f (Stand: 08.2011).
Klundert, Arnold van de; Lardinois, Inge (1994): „Recovery of organic waste in cities“.
ILEIA Newsletter. Gouda, Netherlands.
Lederer, Jakob (2008): „A goal-oriented assessment of solid waste management strategies
in high and lower income countries“. Vienna University of Technology.
Mirzayanto (2011): Biaya-biaya Pengelolaan Sampah: Wawancara Dengan Pejabat
DKP Banda Aceh. Banda Aceh, INA.
ROU-UNSW (ed.) (2007): Life Cycle Inventory and Life Cycle Assessment for Windrow
Composting Systems. 2. Aufl. Sydney, Australia: The University of New South
Wales.
Ramanujan, Krishna (2007): Methane’s Impacts on Climate Change May Be Twice Pre-
vious Estimates. Nasa.gov.
Sundberg, J; Gipperth, P; Wene, C (1994): „A systems approach to municipal solid waste
management: A pilot study of G�teborg“. In: Waste Management & Research. 12
(1), pp. 73-91.
Suprihatin; Indrasti, Nastiti Siswi; Romli, Muhammad (2003): „Potensi Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca Melalui Pengomposan Sampah“. In: Teknologi, Industri dan Per-
tanian. 18 (1), pp. 53-59.
Syaifuddin, Teuku (2010): Status Kepegawaian Kota Banda Aceh: Wawancara dengan
Sekda Kota Banda Aceh. Banda Aceh, INA.
System Dynamics Society (2011): „The Field of System Dynamics“.
www.systemdynamics.org. Online im Internet: URL:
http://www.systemdynamics.org/what_is_system_dynamics.html (Stand:
07.09.2011).
Tasrif, Muhammad (1996): „System Thinking & Dynamics Modeling“. Bandung.
Tchobanoglous, George; Kreith, Frank (2002): Handbook of Solid Waste Management.
Waste Management & Research. 2. Aufl. New York: McGraw-Hill.
Temesi Recycling (2010): Temesi Composting Technology. Gianyar, Bali.
Tribunnews (2011): „Hujan es terjadi di sejumlah desa di Kecamtan Pirak Timur. Aceh
Utara“. Tribunnews. Online im Internet: URL:
http://www.tribunnews.com/2011/05/06/hujan-es-landa-sejumlah-desa-di-aceh-utara
(Stand: 21.10.2011).
UNDP TRWMP (2011): Resume Rencana Pembangunan TPA RSL Blang Bintang. Banda
Aceh.
UNFCCC (2009): „Copenhagen Accord/ CP . 15“. In: English. UNFCCC 464 (7292).
UNFCCC (1998): Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Cli-
mate Change. Kyoto.
UNFCCC (1997): „Kyoto Protocol, Resume“. Online im Internet: URL:
http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php (Stand: 30.01.2011).
22
US EPA (2009): „Sources and Emissions | Methane | Climate Change | U.S. EPA“.
Online im Internet: URL: http://www.epa.gov/methane/sources.html (Stand:
30.01.2011).
US EPA (2010): „Transportation and Climate | US EPA“. Online im Internet: URL:
http://www.epa.gov/otaq/climate/index.htm (Stand: 30.01.2011).