decoupling amerika serikat, tiongkok dan indonesia · 2020. 9. 7. · kedua, tiongkok secara...
Post on 21-Feb-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
0
Decoupling Amerika Serikat, Tiongkok
dan Indonesia
Komisi Hukum, Pertahanan, Dan Keamanan PPI
Dunia, PPI Brief No. 7 / 2020 Penulis: Pasha Aulia Muhammad, Wasisto Raharjo Jati,
Sudharmono Saputra
1
“…AS tentu saja mempertahankan opsi, dibawah berbagai kondisi, untuk
berpisah secara penuh dari Tiongkok. ”
- Presiden Donald Trump1
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Decoupling AS-Tiongkok adalah sebuah keadaan yang dapat mengubah tatanan dunia
global
• Decoupling AS-Tiongkok bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba, tetapi memiliki latar
belakang sejarah sebelumnya
• Decoupling AS-Tiongkok dapat memiliki efek yang besar terhadap globalisasi dan
berpotensi memecah dunia kembali ke berbagai sphere of influences yang didominasi
oleh satu negara atau blok yang kuat
• Terpecahnya kembali dunia ke sphere of influences ini tidak akan terlihat persis seperti
dunia pada masa perang dingin
• Indonesia perlu untuk mulai memikirkan ulang posisinya dan strateginya di dunia yang
berubah, dikarenakan efek dari decoupling ini bisa berefek besar ke Indonesia
Latar Belakang
Ketegangan antara AS dan Tiongkok telah menarik perhatian di tanah air. Mantan Wakil Ketua
DPR, Fadli Zon misalnya, mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia sebaiknya “…jangan
ikut campur” jika AS dan Tiongkok berperang.2 Nur Meianti (2020) juga menulis di kolom
opini salah satu media nasional mengenai decoupling antara AS dan Tiongkok dan apa yang
harus dilakukan Indonesia (Nur Meianti, 2020).
Bukan hanya ketegangan antara AS dan Tiongkok saja yang menjadi perhatian, ketegangan
antara Tiongkok dan Indonesia dalam isu tertentu juga masih sangat hangat. Jika kita melihat
1 Trump, Donald J. 2020. Twitter. Juni 18, 2020.
https://twitter.com/realDonaldTrump/status/1273706102023237633?ref_src=twsrc%5Etfw%7Ctwcamp%5Etwe
etembed%7Ctwterm%5E1273706102023237633%7Ctwgr%5E&ref_url=https%3A%2F%2Fwww.dw.com%2F
en%2Fcomplete-decoupling-from-china-remains-an-option-says-trump%2Fa-53866003. 2 Vebriyanto, Widian. “Jika China Dan Amerika Jadi Perang, Baiknya Indonesia Menunggu Durian Runtuh.”
Rmol.Id, 27 Juli 2020, politik.rmol.id/read/2020/05/27/436529/jika-china-dan-amerika-jadi-perang-baiknya-
indonesia-menunggu-durian-runtuh.
2
contoh yang lebih spesifik, kebijakan pemerintah Indonesia juga baru-baru ini memprotes
klaim maritim Tiongkok di Laut Cina Selatan dengan merujuk kepada keputusan arbitrase
internasional yang memenangkan Filipina melawan Tiongkok ketika Filipina membawa
masalah sengketa wilayah di Laut Cina Selatan ke arbitrase internasional. Keputusan Indonesia
untuk merujuk kepada keputusan arbitrase tersebut mendapat perhatian yang luas dari pihak
luar.3 Ini hanya merupakan salah satu contoh kenapa isu decoupling Tiongkok dan AS dapat
memiliki efek langsung ke Indonesia.
Kebangkitan ekonomi-politik Tiongkok di kawasan regional Asia Timur menimbulkan
beberapa kekhawatiran beberapa negara tetangganya, seperti Vietnam, dan Filipina, dan juga
negara-negara sekutu Amerika Serikat di Asia seperti Korea Selatan, Jepang, dan Republik
Tiongkok (Taiwan). Amerika Serikat dan negara sekutunya merasa dengan semakin
berpengaruhnya Tiongkok akan berdampak pada instabilitas kawasan.
Hal ini tidak terlepas dari pandangan AS bahwa politik luar negeri Tiongkok semakin ekspansif
dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Klaim Laut Cina Selatan secara unilateral
dengan cara militerisasi di daerah tersebut adalah salah satu contoh nyata bentuk kebijakan luar
negeri Tiongkok yang dianggap agresif oleh AS.4 Oleh karena itulah, beberapa negara tetangga
merasa terancam kepentingan regional ekonomi-politiknya, misalnya saja perdagangan
maupun eksplorasi sumber daya laut seperti sumber daya perikanan dan migas lepas pantai.
Hadirnya Tiongkok sebagai kekuatan global baru (revisionist power) tersebut secara langsung
menantang Amerika Serikat sebagai sebagai kekuatan global yang telah eksis (super power).
Rivalitas dua negara besar tersebut telah menimbulkan berbagai perang proksi (proxy war)
dalam bentuk kebijakan perdagangan, keterlibatan operasi militer, maupun bentuk aliansi
ekonomi global. Kondisi ini menarik apabila bisa dilanjut dalam analisa akademis, bagaimana
klaim dan rivalitas kedua negara itu berlangsung?
Policy Brief ini bertujuan untuk memberikan pembaca sekilas mengenai alasan dari retak dan
memanasnya hubungan antara AS dan Tiongkok, efeknya di kawasan di Asia, dan langkah apa
yang bisa dilakukan Indonesia dalam situasi ini.
3 Laksmana, Evan A. 2020. “Why Indonesia Invokes the Philippines’ South China Sea Arbitration Win.” South
China Morning Post. Juni 2, 2020. https://www.scmp.com/week-asia/opinion/article/3087017/why-indonesia-
wont-let-beijing-forget-philippines-south-china-sea. 4 Mattis, Jim. Summary of the 2018 national defense strategy of the United States of America. Department of
Defense Washington United States, 2018. Hal 1.
3
Decoupling Dan Rivalitas AS-Tiongkok
Dalam analisa hubungan internasional, decoupling secara sederhana diartikan sebagai
pengurangan ketergantungan ekonomi dan teknologi pada suatu negara, yang kemudian
memicu adanya inovasi untuk mandiri (Wei, 2019:550). Hal tersebut menunjukkan kalau suatu
negara secara psikologis memiliki daya getar (deterrence factor) melalui kemdanirian ekonomi
dan teknologi. Hal tersebut tentunya menimbulkan pro dan kontra mengingat globalisasi kini
telah mengajak semua negara untuk membangun interdependensi satu sama lain. Adanya
kepentingan ekonomi nasional yang ekspansif adalah salah satu bentuk nyatanya. Amerika
Serikat maupun Tiongkok sama-sama memiliki kepentingan akan pemenuhan kebutuhan
dalam negerinya. Namun rivalitas keduanya kemudian membentuk adanya hubungan kurang
harmonis antar keduanya.
Hubungan antara dua kekuatan global yang tengah merenggang telah memunculkan spekulasi
berbagai pdanangan. Kondisi tersebut mengingat kedua negara merupakan negara produsen
dan konsumen terbesar di dunia yang memiliki dampak secara global. Kedua negara juga
sebenarnya telah memiliki hubungan ketergantungan satu sama lain. Namun terkadang pula
relasi kedua negara tersebut menjadi fluktuatif karena isu-isu sensitif.
Decoupling antara AS dan Tiongkok ini membuat khawatir banyak pihak. Johnson dan Gramer
(2020) berargumen bahwa terakhir kali terjadi pemisahan besar antara negara-negara besar
seperti ini pada 1914, perang besar berkecamuk selama 30 tahun. Menariknya, pemisahan besar
ini juga terjadi bersamaan dengan berakhirnya gelombang pertama globalisasi (1870-1914).5
5 Chdany, Laurence, dan Brian Seidel. "Is Globalization’s Second Wave about to Break?’." Brookings Institute Global Views 4 (2016).
4
Sumber: Global Economics dan Development at Brookings.
“Perhitungan berdasarkan IMF 2015, Lane dan Milesi-Ferretti 2013, Maddison 2001, Maddison
Project 2015, McKeown 2004, McKeown 2010, Riley 2009, U.N. 1999, U.N. 2015a, U.N. 2015b,
UNCTAD 2015, A.S.Biro Sensus 1975, Bank Dunia 2015, Bank Dunia 2016, dan WTO 2016. Ekspor
barang dagangan dan capital stock asing disini merupakan dolar dalam nilai pasar sebagai bagian
dari pendapatan global yang dinyatakan dalam dolar internasional,d an karena itu akan berbeda
dengan yang dikutip di tempat lain” (Chdany dan Seidel, 2016: 3)
Hubungan antara AS dan Tiongkok tidak selalu tegang seperti ini. Semenjak Amerika
menormalisasi hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1979, hubungan
Tiongkok dan America Serikat menghangat. Bahkan isu yang dipandang kontroversial seperti
insiden Tianamen 1989 pun dalam jangka panjang tidak memecah hubungan AS dengan
Tiongkok, dan terbatas sebagai sekedar simbol pelanggaran HAM di Tiongkok yang kadang
diungkit kembali oleh Amerika (Xuenying, 2016:215 dan 228-229). Walaupun begitu, masalah
domestik Tiongkok di Hongkong, Tibet, maupun Xinjiang sering kali menjadi titik perdebatan
panas Amerika Serikat dan Tiongkok. Hal itu masih ditambah pula masalah pelanggaran HAM
yang senantiasa diungkit oleh Amerika Serikat.
5
Pada awal dekade 2000-an, santer terdengar istilah “Chimerica”, untuk mendeskripsikan
hubungan erat dan interdependensi ekonomi antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang
menopang dan mendorong ekonomi dunia (Ferguson & Schularick, 2007). Namun hubungan
dekat ini pada akhirnya mendingin, hingga puncaknya dengan munculnya isu decoupling
antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Perspektif Amerika Serikat
Analisa decoupling dari Amerika Serikat memperlihatkan tendensi kembalinya Amerika
Serikat untuk beraliansi dengan Uni Eropa atau malah mungkin Rusia untuk membendung
pengaruh global Tiongkok. Adanya hubungan fluktuatif terhadap Tiongkok membuat Amerika
Serikat untuk berupaya membangun kemitraan strategis dengan negara-negara yang berpotensi
menjadi kekuatan global. Terlepas dari isu Krimea, Amerika Serikat sepertinya enggan untuk
menanggapinya. Mungkin saja salah satu pertimbangan AS adalah untuk tetap membuka opsi
aliansi dengan Rusia untuk menghadang laju Tiongkok.
Ketegangan antara AS dan Tiongkok ini sedikit banyak diawali oleh ketegangan di bidang
perdagangan antara AS dan Tiongkok, tetapi setelah itu mulai menjurus ke arah persaingan
antar negara yang lebih luas. Mattis, J. (2018) dalam Rangkuman Strategi Pertahanan Nasional
Amerika Serikat 2018 menyatakan bahwa era “persaingan antar negara” adalah perhatian
utama bagi keamanan AS, dan bukan lagi terorisme.6
Bagi Amerika Serikat, kebangkitan Tiongkok tersebut memberikan dua sinyal elemen
penting:
Pertama, Tiongkok ingin menunjukkan diri sebagai salah satu kekuatan global yang muncul
dari kawasan regionalnya sendiri. Asia Timur selama ini dikenal sebagai kawasan strategis
karena aktivitas aktif perdagangan internasional dan juga potensi perikanan dan sumber daya
migas bawah laut. Kedua faktor itu yang mendorong Tiongkok untuk bisa tampil sebagai
kekuatan global baru (revisionist power).
Kedua, Tiongkok secara psikologis merasa terancam kedaulatannya dengan “kepungan”
Amerika Serikat dan negara sekutunya di Asia Timur. Adapun negara sekutu Tiongkok seperti
Korea Utara tidaklah cukup kuat sebagai zona penyeimbang (buffer zone) antara Jepang dan
6 Mattis, Jim. Ibid.
6
Korea Selatan. Hal itu juga yang memicu Tiongkok untuk menyeimbangkan pendulum
keseimbangan kekuatan global di kawasan, atau malah mungkin mendominasi kawasan Asia
Timur secara geopolitik.
Perspektif Tiongkok
Analisa decoupling dari Tiongkok memperlihatkan kalau itu lebih ditujukan pada membangun
kemdanirian diri. Hal tersebut mengingat Tiongkok yang memiliki kapasitas untuk
memproduksi dan membeli produksinya sendiri. Hal ini dikarenakan daya konsumerisme
masyarakat Tiongkok yang besar. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah aliansi
Tiongkok dengan negara-negara lain seperti halnya BRICS maupun Belt Road Initiative telah
membuat kekuatan diplomasi Tiongkok bertambah kuat. Dengan mempertimbangkan aspek
tersebut, tampaknya bukan hal sulit bagi Tiongkok melepaskan diri dari Amerika Serikat.
Ada dua hal yang menjadi perhatian Tiongkok
Pertama, posisi AS di kawasan. Bagi Tiongkok sejak lama keberadaan AS di kawasan adalah
sebuah tantangan yang harus dihadapi. Dari segi keamanan, AS sudah sejak lama menunjukkan
bahwa keamanan Republik Tiongkok (Taiwan) merupakan salah satu hal yang merupakan
kepentingan AS.7 Hal ini adalah hal yang membuat Tiongkok lama gusar. Zhao (2012:45)
misalnya beragumen bahwa salah satu penyebab menegangnya hubungan AS dengan Tiongkok
pada tahun 2010 adalah ketika AS menjual senjata kepada Taiwan.
Selain itu, kekuatan angkatan laut AS dan keberadaan AS di kawasan bisa saja digunakan untuk
membatasi pertumbuhan ekonomi Tiongkok dengan mengontrol akses Tiongkok ke sumber
energi dan pasar internasional.8 Walaupun AS sejauh ini belum pernah menggunakan kekuatan
militernya untuk membatasi akses Tiongkok ke kedua hal tersebut, sikap AS yang sangat
kombatif ketika menghadapi upaya salah satu perusahaan Tiongkok, Huawei, untuk mengikuti
tender infrastruktur 5G di berbagai negara bukan tidak mungkin membuat ketakutan Tiongkok
kalau AS bisa saja menggunakan kekuatan militernya untuk membatasi akses Tiongkok ke
energi dan pasar dengan menggunakan kekuatan militer.
7 Zablocki, Clement J. 1979. “United States-Taiwan Relations Act.” Cia.Gov. https://www.cia.gov/library/readingroom/docs/CIA-RDP85-00003R000100050016-5.pdf. Hal. 5 8 Yunheng, Zhou. 2011. “ ’Lun Zhongmei Zhijian De Haiquan Maodun’ (On Sino-US Sea Power Conflict).” Xidanai
Guoji Guanxi (Contemporary International Relations), no. 2.
7
Kedua, Tiongkok juga merasa perlu untuk menaikan kemampuan teknik dan teknologi basis
manufakturnya. Inilah salah satu alasan kenapa Tiongkok meluncurkan program “Made in
China 2025.”9 Walau slogan ini akhirnya dicabut kembali oleh Tiongkok akibat protes AS yang
menganggap program menggunakan kebijakan-kebijakan yang akan merugikan industri AS
demi membuat Tiongkok maju10, programnya sendiri tetap ada11. Aksi AS yang merespons
dengan sangat kuat kebijakan ini meningkatkan kecurigaan Tiongkok kepada AS, yang
dianggap berusaha menahan agar Tiongkok tidak menyalip AS.
Efek decoupling ke kawasan di Asia Tenggara dan Asia Timur
Laut Cina Selatan
Kawasan lautan ini akan menjadi salah satu titik sentral decoupling. Tiongkok secara garis
besar akan berupaya mempertahankan kepentingannya di kawasan ini melalui penguatan
armada angkatan laut. Sementara itu di sisi lain, Amerika Serikat beserta para sekutunya akan
berupaya menghadang laju Tiongkok tersebut dengan berbagai macam latihan operasi militer.
Dengan kata lain, decoupling ini akan menambah intens rivalitas antara Amerika Serikat dan
Tiongkok di kawasan. Mungkin saja aktivitas militer dari kedua belah pihak akan terus naik di
kawasan ini. Tanda-tanda dari hal ini sudah mulai terlihat.
Tiongkok pada 2020 misalnya mengirim kapal induknya ke kawasan Laut Cina Selatan untuk
melakukan latihan militer.12 AS sendiri melakukan reorganisasi besar-besaran marinirnya agar
dapat beroperasi dengan lebih mudah di lingkungan kepulauan di Pasifik, seperti misalnya (tapi
tidak terbatas di) pulau-pulau dan karang di Laut Cina Selatan.13
Laut Cina Timur
Kawasan lautan ini mungkin menjadi menjadi bagian dari perang proksi sekutu Amerika
Serikat yakni Korea Selatan dan Jepang maupun sekutu Tiongkok yakni Korea Utara. Kondisi
tersebut sangat memungkinkan terjadinya konflik bersenjata sewaktu-waktu. Tiongkok sendiri
9 Liu, Kerry. "Chinese manufacturing in the shadow of the China–US trade war." Economic Affairs 38.3 (2018) 10 Lee, John. End of Chimerica: The passing of global economic consensus dan the rise of US--China strategic 136 technological competition. Australian Strategic Policy Institute. Hal. 2 11 Wei, Lingling. "Beijing Drops Contentious 'made in China 2025' Slogan, but Policy Remains; U.S. has Slammed Program as a Subsidy-Stuffer to Advance China as Global Technology Leader at U.S. Expense." Wall Street Journal (Online), Mar 05 2019, ProQuest. Web. 14 Juli 2020. 12 Global Times. 2020. “Chinese Aircraft Carrier Liaoning Conducts Exercises in South China Sea: PLA Navy Spokesperson.” Global Times. April 13, 2020. https://www.globaltimes.cn/content/1185471.shtml. 13 Cancian, Mark F. 2020. “The Marine Corps’ Radical Shift toward China.” CSIS. Maret 25, 2020. https://www.csis.org/analysis/marine-corps-radical-shift-toward-china.
8
juga sudah berupaya untuk menunjukkan pengaruhnya di wilayah Laut Cina Timur yang
diklaim sebagai wilayah Tiongkok dengan memproklamasikan adanya ADIZ di Laut Cina
Timur yang mewajibkan semua pesawat yang melintas di kawasan untuk memberi notifikasi
terlebih dahulu kepada otoritas Tiongkok.14
Selain itu, laut Cina Timur juga merupakan lokasi dari Republik Tiongkok (Taiwan). Tiongkok
baru-baru ini baru saja menghilangkan rujukan ke “reunifikasi secara damai” dalam laporan
tahunan Perdana Menteri RRT Li Keqiang.15 Di sisi lain, AS juga baru-baru ini memperkuat
undang-undang baru yang memperkuat dukungan AS terhadap posisi internasional Taiwan.16
Jika Tiongkok berusaha untuk mempersatukan kembali Tiongkok dengan Taiwan dengan cara
paksa, maka AS bisa saja mengintervensi.
Salah satu intervensi yang bisa dilakukan AS, selain dengan intervensi langsung di kawasan
ini atau di Taiwan dengan asset militernya, bisa saja dengan melakukan “karantina” atau
blokade terhadap arah transportasi energi dan pasar ke Tiongkok yang melewati Selat Malaka
atau mengawal konvoi kapal negara lain di kawasan melalui laut lepas ke energi dan pasar,
sesuatu yang mungkin, bergantung pada situasi, bisa merugikan Tiongkok pada keadaan krisis.
Karantina seperti ini pada masa damai pernah digunakan oleh AS pada masa Krisis Rudal
Kuba.17 Pengawalan sendiri pada masa damai pernah dilakukan di Teluk Persia pada masa
Perang Irak-Iran melalui Operasi Ernest Will.18 Hal ini bisa berpotensi menyeret Indonesia ke
tengah ketegangan antara AS dan Tiongkok.
Korea Utara
Tiongkok diperkirakan dalam posisi netral dalam kasus Korea Utara ini. Adanya persetujuan
atas sanksi tambahan dari PBB kepada Korea Utara membuktikkan kalau Tiongkok “sedikit
14 Ministry of National Defense The People’s Republic of China. 2013. “Announcement of the Aircraft Identification Rules for the East China Sea Air Defense Identification Zone of the P.R.C.” November 28, 2013. https://web.archive.org/web/20131128215834/http://eng.mod.gov.cn/Press/2013-11/23/content_4476143.htm. 15 Huang, Kristin. 2020. “Chinese Government Drops References to ‘Peaceful’ Taiwan Reunification.” South China Morning Post. Mei 22, 2020. https://www.scmp.com/news/china/politics/article/3085700/chinese-government-drops-references-peaceful-reunification. 16 116th Congress. 2020. “Text - S.1678 - 116th Congress (2019-2020): Taiwan Allies International Protection dan Enhancement Initiative (TAIPEI) Act of 2019.” Congress.Gov. Maret 26, 2020. https://www.congress.gov/bill/116th-congress/senate-bill/1678/text. 17 Naval History dan Heritage Commdan. 2020. “The Naval Quarantine of Cuba.” Mei 8, 2020. https://www.history.navy.mil/research/library/online-reading-room/title-list-alphabetically/n/the-naval-quarantine-of-cuba.html. 18 Froehlich, Paul. 1988. “In Harm’s Way.” All Hdans Magazine of the US Navy, Maret 1988. https://www.navy.mil/ah_online/archpdf/ah198803.pdf. Hal 4-11
9
melepas tangan” terhadap Korea Utara. Namun untuk kepentingan strategis lainnya, Tiongkok
akan membantu Korea Utara dalam hal lainnya seperti pertahanan seandainya ada konflik
terbuka. Hal ini mengingat Tiongkok memandang Korea Utara sebagai zona penyangga
terhadap keutuhan wilayahnya. Jika Tiongkok misalkan tidak membantu Korea Utara, berat
kiranya bagi Tiongkok untuk menghadapi pasukan AS langsung di perbatasan Tiongkok.19
Indonesia Mengayuh di Antara Banyak Karang
Terhadap potensi konflik yang akan melanda ke depan, Indonesia sebenarnya tidak terlalu
terkena dampak konflik terbuka antara Tiongkok dan Amerika Serikat, selama konflik ini tidak
bergerak menuju arah konflik bersenjata. Namun demikian, Indonesia tetap riskan bisa terjebak
diantara kedua kekuatan ini, atau bahkan menjadi salah satu tempat konflik kedua kekuatan
Pertama, salah satu efek tidak langsung dari decoupling AS dan Tiongkok adalah mungkin
munculnya blok perdagangan yang dipelopori dua negara kekuatan global tersebut. Yang
dimaksud dengan munculnya blok perdagangan disini bukan hanya melingkupi blok
perdagangan seperti misalnya area perdagangan bebas yang eksklusif, tetapi juga ekosistem
teknologi berbeda dan tidak kompatibel. Misalnya, teknologi 5G. Jika laju berpisah Tiongkok
dan AS terus bergerak dalam tren ini, maka bukan gtidak mungkin kalau teknologi 5G dari
Tiongkok dan teknologi 5G dari atau yang didukung oleh AS tidak akan kompatibel dengan
satu sama lain.
AS pada 1998 melarang komponen AS untuk diluncurkan oleh Tiongkok, yang secara praktis
membuat industri luar angkasa Tiongkok tidak bisa meluncurkan sebagian besar satelit di
dunia.20 Di masa depan, dengan Tiongkok yang dengan gencar memasarkan teknologinya,
bukan tidak mungkin banyak negara akan terjebak dalam ekosistem teknologi AS atau
Tiongkok karena teknologi dari kedua negara ini tidak bisa digunakan bersamaan, baik karena
alasan teknis maupun alasan hukum.
Selain itu, bisa saja internet akan terbelah dua antara internet yang mengikuti nilai-nilai
Tiongkok dan nilai-nilai AS. Tiongkok saat ini mulai mengekspor teknologi dan keahlian
pemantauan internet kepada konsumen diluar Tiongkok.21 Bukan tidak mungkin, jika suatu
19 Bennet, Bruce W. 2013. “Preparing for the Possibility of a North Korean Collapse.” Rdan Corporation. Hal xvii 20 Mitsuru, Obe, dan Yifan Yu. 2020. “SpaceX Success Had Asian Start-Ups Dreaming of the Stars.” Financial Times. Juli 12, 2020. https://www.ft.com/content/8351b52a-78ba-4148-b4e8-4e11b7919126. 21 Mozur, Paul, Jonah M Kessel, dan Melissa Chan. 2019. “Made in China, Exported to the World: The Surveillance State.” The New York Times, April 24, 2019. https://www.nytimes.com/2019/04/24/technology/ecuador-surveillance-cameras-police-government.html.
10
negara menggunakan teknologi pemantauan internet dari Tiongkok, perusahaan teknologi dari
Barat dapat berupaya untuk menggunakan teknologi untuk menjamin agar nilai-nilai yang
dibawa perushaan tersebut, seperti misalnya nilai privasi komunikasi, tidak terganggu atau
direbut dengan penggunaan teknologi pemauntauan internet dari Tiongkok.
Kedua, dilihat secara militer, Indonesia berbatasan dengan selat Malaka dan selat Lombok.
Kedua selat ini digunakan Tiongkok dan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan
Republik Tiongkok (Taiwan) untuk mengakses suplai energi di Timur Tengah dan pasar bagi
produk mereka. Jika terdapat ketegangan di kawasan yang menyebabkan salah satu saja dari
negara di sepanjang rute pelayaran kapal dari Teluk Persia atau Terusan Suez ke Asia Timur
untuk melakukan aksi yang dapat dipandang oleh Tiongkok atau negara Asia Timur lainnya
menarget arus transportasi mereka ke sumber energi dan pasar, maka mereka bisa saja
mengunakan kekuatan militer untuk berusaha untuk membuka akses transportasinya kembali.
Hal ini bisa saja menarik Indonesia ke dalam permainan geopolitik atau bahkan konflik dimana
Indonesia bukan hanya menjadi salah satu pemain, tetapi juga menjadi medan perang negara-
negara tersebut.
Dalam konteks ini, Indonesia perlu untuk meninjau kembali politik bebas aktifnya untuk bukan
hanya menyinergiskan kepentingan nasional di tengah kompetisi global tersebut, tetapi juga
agar Indonesia tidak terjebak di tengah pusaran ketegangan di antara Tiongkok, AS, dan negara
lain di kawasan, agar Indonesia tidak bernasib seperti Polandia atau Belgia di Perang Dunia
Kedua, yang relatif lebih lemah dari kekuatan besar di kawasan dan berusha mempertahankan
kedaulatannya, tetapi pada akhirnya malah menjadi korban.
Hal konkretnya mungkin Indonesia berperan sebagai pelopor kekuatan negara menengah
(middle power) yang berhak untuk bersuara di tengah rivalitas kedua negara itu. Suara
Indonesia sebagai negara yang strategis di Asia Tenggara itu akan diperhatikan oleh Tiongkok
maupun Amerika Serikat. Walaupun demikian, Indonesia juga perlu mempertimbangkan untuk
meningkatkan kemampuannya agar tidak dipandang militer dalam konflik militer.
Mencapai MEF adalah salah satu langkah konkret menuju arah tersebut, tetapi langkah lainnya
untuk semakin memperkuat posisi Indonesia, entah dengan menjalin hubungan kerjasama
11
bilateral atau multilateral yang kuat dengan negara-negara lain dan/atau memperkuat potensi
militer Indonesia sangat diperlukan.
Pertanyaan yang dihadapi pemangku kebijakan Indonesia kedepan bisa jadi adalah pertanyaan-
pertanyaan berikut:
- Langkah apa yang bisa diambil Indonesia agar mendapat keuntungan maksimal dari
decoupling AS dan Tiongkok?
- Sejauh apa Indonesia harus dekat atau menjaga jarak dengan kekuatan dan negara-
negara di kawasan, seperti ASEAN, tetapi juga termasuk AS dan Tiongkok, baik dari
segi ekonomi, teknologi, maupun militer?
- Langkah apa yang harus dilakukan Indonesia untuk memperkuat posisi militernya
dalam atmosfer decoupling AS dan Tiongkok? Sejauh apa langkah yang harus diambil
Indonesia?
- Apa ada langkah atau opsi yang mungkin terlalu berat untuk diambil Indonesia? Jika
ya, apakah asumsi yang mendasari perhitungan tersebut perlu dipikirkan kembali?
Kesimpulan
Jika decoupling pada akhirnya terus berlanjut, relasi dependensi antara Amerika Serikat dan
Tiongkok berubah menjadi hubungan rivalitas. Hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik
terbuka maupun perang proksi di level regional maupun internasional. Kondisi ini tentu saja
akan menganggu, jika tidak memutus, relasi interdependensi semua negara yang telah terbina
dalam globalisasi. Indonesia dapat berperan sebagai pelopor kekuatan menengah bisa
mereduksi dampak konflik itu dan berperan sebagai orator kepentingan negara kawasan
terhadap rivalitas kedua negara global itu.
Di sisi lain, Indonesia, karena posisi strategisnya, bisa saja menjadi korban dari perang proksi
ataupun konflik terbuka diantara AS, Tiongkok, dan negara di kawasan. Karena itu, penting
bagi Indonesia untuk mulai memikirkan bagaimana posisi terbaik yang bisa mempertahankan
posisi dan mengamankan kedaulatan bangsa, baik melalui diplomasi maupun melalui
meningkatkan kapasitas militer dan ekonomi.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. 116th Congress. 2020. “Text - S.1678 - 116th Congress (2019-2020): Taiwan Allies
International Protection dan Enhancement Initiative (TAIPEI) Act of 2019.”
Congress.Gov. Maret 26, 2020. https://www.congress.gov/bill/116th-congress/senate-
bill/1678/text.
2. Bennet, Bruce W. 2013. “Preparing for the Possibility of a North Korean Collapse.”
Rdan Corporation
3. Cancian, Mark F. 2020. “The Marine Corps’ Radical Shift toward China.” CSIS. Maret
25, 2020. https://www.csis.org/analysis/marine-corps-radical-shift-toward-china.
4. Chdany, Laurence, dan Brian Seidel. "Is Globalization’s Second Wave about to
Break?’." Brookings Institute Global Views 4 (2016).
5. Ferguson, Niall, dan Moritz Schularick. "‘Chimerica dan the global asset market boom."
International Finance 10, no. 3 (2007): 215-239.
6. Froehlich, Paul. 1988. “In Harm’s Way.” All Hdans Magazine of the US Navy, Maret
1988. https://www.navy.mil/ah_online/archpdf/ah198803.pdf.
7. Global Times. 2020. “Chinese Aircraft Carrier Liaoning Conducts Exercises in South
China Sea: PLA Navy Spokesperson.” Global Times. April 13, 2020.
https://www.globaltimes.cn/content/1185471.shtml.
8. Hu, XueYing. "Legacy of Tiananmen Square Incident in Sino-US Relations (post-2000)."
East Asia 33, no. 3 (2016): 213-232.
9. Huang, Kristin. 2020. “Chinese Government Drops References to ‘Peaceful’ Taiwan
Reunification.” South China Morning Post. Mei 22, 2020.
https://www.scmp.com/news/china/politics/article/3085700/chinese-government-drops-
references-peaceful-reunification.
10. Johnson, Keith, dan Robbie Gramer. 2020. “The Great Decoupling.” Foreign Policy. Mei
14, 2020. https://foreignpolicy.com/2020/05/14/china-us-pdanemic-economy-tensions-
trump-coronavirus-covid-new-cold-war-economics-the-great-decoupling/.
11. Laksmana, Evan A. 2020. “Why Indonesia Invokes the Philippines’ South China Sea
Arbitration Win.” South China Morning Post. Juni 2, 2020. https://www.scmp.com/week-
asia/opinion/article/3087017/why-indonesia-wont-let-beijing-forget-philippines-south-
china-sea.
13
12. Lee, John. End of Chimerica: The passing of global economic consensus dan the rise of
US--China strategic 136 technological competition. Australian Strategic Policy Institute.
Hal. 2
13. Liu, Kerry. "Chinese manufacturing in the shadow of the China–US trade war." Economic
Affairs 38.3 (2018)
14. Mattis, Jim. Summary of the 2018 national defense strategy of the United States of
America. Department of Defense Washington United States, 2018.
15. Ministry of National Defense The People’s Republic of China. 2013. “Announcement of
the Aircraft Identification Rules for the East China Sea Air Defense Identification Zone
of the P.R.C.” November 28, 2013.
https://web.archive.org/web/20131128215834/http://eng.mod.gov.cn/Press/2013-
11/23/content_4476143.htm.
16. Mitsuru, Obe, dan Yifan Yu. 2020. “SpaceX Success Had Asian Start-Ups Dreaming of
the Stars.” Financial Times. Juli 12, 2020. https://www.ft.com/content/8351b52a-78ba-
4148-b4e8-4e11b7919126.
17. Mozur, Paul, Jonah M Kessel, dan Melissa Chan. 2019. “Made in China, Exported to the
World: The Surveillance State.” The New York Times, April 24, 2019.
https://www.nytimes.com/2019/04/24/technology/ecuador-surveillance-cameras-police-
government.html.
18. Naval History dan Heritage Commdan. 2020. “The Naval Quarantine of Cuba.” Mei 8,
2020. https://www.history.navy.mil/research/library/online-reading-room/title-list-
alphabetically/n/the-naval-quarantine-of-cuba.html.
19. Nur Meianti. 2020. “OPINI: Bagaimana Indonesia Memposisikan Diri Di Era
Decoupling.” Liputan6.Com, Juni 14, 2020.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4279085/opini-bagaimana-indonesia-
memposisikan-diri-di-era-decoupling.
20. Trump, Donald J. 2020. Twitter. Juni 18, 2020.
https://twitter.com/realDonaldTrump/status/1273706102023237633?ref_src=twsrc%5Etf
w%7Ctwcamp%5Etweetembed%7Ctwterm%5E1273706102023237633%7Ctwgr%5E&r
ef_url=https%3A%2F%2Fwww.dw.com%2Fen%2Fcomplete-decoupling-from-china-
remains-an-option-says-trump%2Fa-53866003.
21. Wei, Li. "Towards Economic Decoupling? Mapping Chinese Discourse on the China–US
Trade War." The Chinese Journal of International Politics 12, no. 4 (2019): 519-556.
14
22. Wei, Lingling. "Beijing Drops Contentious 'made in China 2025' Slogan, but Policy
Remains; U.S. has Slammed Program as a Subsidy-Stuffer to Advance China as Global
Technology Leader at U.S. Expense." Wall Street Journal (Online), Mar 05 2019,
ProQuest. Web. 14 Juli 2020.
23. Yunheng, Zhou. 2011. “ ’Lun Zhongmei Zhijian De Haiquan Maodun’ (On Sino-US Sea
Power Conflict).” Xidanai Guoji Guanxi (Contemporary International Relations), no. 2.
24. Zablocki, Clement J. 1979. “United States-Taiwan Relations Act.” Cia.Gov.
https://www.cia.gov/library/readingroom/docs/CIA-RDP85-00003R000100050016-
5.pdf.
25. Zhao, Xiuye. "Chinese Perception of the US Strategic Position in East Asia: An Analysis
of Civilian dan Military Perspectives." American Intelligence Journal 30, no. 1 (2012): 45-
54.
Tentang Penulis
Wasisto Raharjo Jati, biasa dipanggil Wasis, telah
menjadi staf peneliti di Pusat Penelitian Politik – LIPI sejak
tahun 2014. Gelar sarjana strata satu (S-1) Politik dan
Pemerintahan diraih dari Universitas Gadjah Mada (UGM)
pada tahun 2012. Sekarang ini dia sedang menempuh
pendidikan strata dua (S-2) di Program Master of Political
Science di the Australian National University (ANU).
15
Pasha Aulia Muhammad terlahir di Bandung pada 21 Juni
1999. Penulis saat ini masih berada pada tahun ketiga dari
empat tahun total waktu pendidikan Bachelor (S-1) Political
Science and World Politics di National Research University
Higher School of Economics St. Petersburg Filial.
Penulis juga sempat mendapat kehormatan untuk mengikui program pertukaran pelajar
Erasmus selama satu semester di University College London School of Slavonic and East
European Sciences (UCL SSEES). Selain itu, penulis juga aktif di berbagai aktivitas
ekstrakurikuler, seperti MUN misalnya, baik sebagai delegate maupun chair, dan berpartisipasi
aktif di berbagai organisasi dan menjadi sukarelawan di berbagai kegiatan baik di dalam
maupun di luar negeri, seperti misalnya di Permira Rusia, AIESEC Rusia, KMI-REET, dan
KNPI.
Sudharmono Saputra, S.H., M.H., lahir di Tanjung Karang
tanggal 12 Maret 1991. Jenjang pendidikan dasar ia tempuh
di SDN 2 Rawa Laut, Bandar Lampung dan SMPN 1 Bandar
Lampung. Adapun jenjang pendidikan menengah di SMAT
Krida Nusantara Bandung dan SMA N 9 Bandar Lampung.
Kemudian, ia menempuh kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Lampung dan melanjutkan jenjang Magister
Hukum Bisnis di Universitas Gajah Mada.
Saat ini, ia telah menyelesaikan pendidikan LLM International Commercial Law di
Bournemouth University. Sampai saat ini, ia tercatat sebagai Advokat pada Organisasi Advokat
PERADI dan juga tercatat sebagai Kurator dan Pengurus pada Organisasi AKPI.
top related