rivalitas amerika serikat-tiongkok di laut china selatan

12
ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019 145 Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan dan Pengaruhnya Terhadap Indonesia Adrianus Revi Dwiguna, 1 Muhammad Syaroni 2 [email protected] Abstract Dispute in the South China Sea (SCS) is one of the important issues in the last five years. The unilateral claim made by China caused a strong reaction from ASEAN countries, including Indonesia. The rejection of ASEAN countries against China's claim is based on the UNCLOS international law of the sea. Amid efforts to resolve territorial disputes in the SCS, recently the United States has emerged as a third party trying to reduce tensions in the SCS. However, the US move received a cold response from China. The US presence has actually made China show its military presence in the SCS through troop titles and construction of military installations. Such a situation in the LCS has the potential to create a military conflict involving two major powers. If a military confrontation takes place, it is certain that ASEAN countries will be directly involved in order to protect their national sovereignty. This research is a qualitative study that seeks to explain the root causes of territorial disputes in the SCS followed by US-China rivalries and their impact on Indonesia. Keywords: Balance of power, South China Sea, territorial disputes, US-China. Copyright © 2019 Jurnal Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. All rights reserved 1 Alumni Mahasiswa Kajian Ketahanan Nasional SKSG UI 2 Dosen Sekolah Sekolah Kajian Stratejik dan Global

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

145

Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan dan Pengaruhnya Terhadap Indonesia

Adrianus Revi Dwiguna,1 Muhammad Syaroni 2

[email protected]

Abstract Dispute in the South China Sea (SCS) is one of the important issues in the last five years. The unilateral claim made by China caused a strong reaction from ASEAN countries, including Indonesia. The rejection of ASEAN countries against China's claim is based on the UNCLOS international law of the sea. Amid efforts to resolve territorial disputes in the SCS, recently the United States has emerged as a third party trying to reduce tensions in the SCS. However, the US move received a cold response from China. The US presence has actually made China show its military presence in the SCS through troop titles and construction of military installations. Such a situation in the LCS has the potential to create a military conflict involving two major powers. If a military confrontation takes place, it is certain that ASEAN countries will be directly involved in order to protect their national sovereignty. This research is a qualitative study that seeks to explain the root causes of territorial disputes in the SCS followed by US-China rivalries and their impact on Indonesia.

Keywords: Balance of power, South China Sea, territorial disputes, US-China.

Copyright © 2019 Jurnal Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. All rights reserved

1 Alumni Mahasiswa Kajian Ketahanan Nasional SKSG UI 2Dosen Sekolah Sekolah Kajian Stratejik dan Global

Page 2: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

146

1. Pendahuluan Dalam lima tahun terakhir Laut Cina

Selatan (LCS) menjadi salah satu subjek sengketa yang melibatkan Tiongkok dan negara-negara ASEAN. Manuver Tiongkok melalui gelar pasukan dan instalasi pangkalan militer di wilayah LCS lantas memicu protes dari negara-negara ASEAN yang kemudian diikuti oleh reaksi Amerika Serikat. Amerika Serikat (AS) sendiri dalam beberapa kesempatan meminta Tiongkok untuk menghentikan provokasi militer agar stabilitas kawasan tetap terjaga. Selanjutnya, pemindahan armada perang AS ke kawasan Asia Pasifik dapat dilihat juga sebagai upaya AS untuk menangkal dominasi Tiongkok. Situasi ini tentu saja memiliki dampak langsung terhadap negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Indonesia berada dalam kelompok negara yang masih terlibat sengketa wilayah di LCS dengan Tiongkok.

LCS sendiri merupakan kawasan yang sejak lama menjadi sumber sengketa. LCS memiliki nilai strategis bagi negara-negara yang beririsan dengan kawasan ini. Selain ditaksir memiliki nilai ekonomis yang tinggi, kawasan tersebut juga diproyeksi memiliki potensi yang beragam mulai dari potensi ekonomi sumber daya alam hayati maupun non hayati, hingga pengembangan milter, serta politik dan keamanan di kawasan tersebut.

Potensi konflik antar negara di sekitar LCS terus berkembang setiap waktu, terutama pasca ditemukannya ladang minyak dan gas bumi oleh berbagai lembaga survei geologi internasional.

Lembaga Informasi Administrasi Energi Amerika (EIA) merupakan salah satu lembaga survei yang menyatakan bahwa kawasan LCS memiliki kandungan 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam (Tirto, 2020). Selain itu, perusahaan minyak Filipina, Philex Petroleum Corp juga mengungkapkan hal serupa. Bahkan mereka memperkirakan kandungan gas alam di Kawasan LCS mencapai 20 triliun kaki kubik, atau lima kali lebih banyak dari perkiraan sebelumnya (Tempo,

2012). Dengan ditemukanya sumber daya alam yang melimpah di kawasan tersebut, membuat perseteruan di LCS semakin tidak terhindarkan.

Awalnya, sengketa tersebut hanya merujuk pada wilayah perairan dan daratan di dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly, serta tepi Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas hingga ke Selat Taiwan (Poltak Partogi Nainggolan, 2013). Namun dalam perkembangannya, negara-negara yang terlibat sengketa kedaulatan territorial di LCS berupaya mengklaim kepemilikan sebagian wilayah laut dan daratan di kawasan tersebut, dengan menggunakan dasar historis maupun geografis. Tiongkok, menjadi salah satu negara yang mengklaim wilayah laut serta daratan di gugusan kepulauan Paracel dan Spratly sebagai wilayah kedaulatannya, melalui batas wilayah perairan yang dikenal dengan nama “Nine-Dashed Line”(Poltak Partogi Nainggolan, 2013). Hal itu kemudian berdampak pada hilangnya sebagian besar wilayah perairan beberapa negara, seperti Indonesia (kehilangan hingga 83.000 kilometer persegi atau 30% dari luas laut di Natuna), Filipina (80% wilayah perairan), Malaysia (80%), Vietnam (50%), dan Brunei (90%) (CNBC, 2020). Kondisi ini kemudian semakin memperkeruh situasi dan berpotensi mengganggu stabilitas Kawasan, serta berdampak pada keamanan nasional masing-masing negara-negara.

Dinamika yang terjadi di kawasan ini turut serta menjadi perhatian AS. Sikap AS didasari oleh pertimbangan bahwa di kawasan ini terdapat sejumlah negara yang memang merupakan mitra strategis AS sejak lama, pertimbangan lainnya adalah adanya kekhawatiran atas peran Tiongkok yang sangat mendominasi konflik tersebut dan banyak melakukan tindakan provokatif (Melita Angelin Bidara, dkk., 2018). Di sisi lain, Tiongkok tidak ingin AS ikut campur dalam permasalahan tersebut, karena keterlibatan AS dianggap mengarah kepada upaya internasionalisasi sengketa yang dapat memperkeruh keadaan. Kondisi ini kemudian terus berkembang hingga

Page 3: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

147

mempengaruhi kondisi politik dan ekonomi negara-negara kawasan.

2. Tinjauan Teoritis 2.1. Realisme dan Neorealisme

Kondisi yang terjadi di Laut China Selatan menarik untuk dilihat dari perspektif realisme dalam hubungan internasional. Berdasarkan asumsi dasar realisme bahwa dunia politik internasional pada dasarnya berfokus pada kekuasaan politik dan keseimbangan kekuasaan di antara negara-negara dalam hubungan internasional (Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, 2013). Namun dalam perkembangannya, paradigma ini terus berkembang sesuai dengan perubahan jaman. Dalam hal ini, Kenneth Waltz telah memperbaiki dan memperluas 'pemikiran' Hobbes dan Rousseau menjadi 'teori' neorealisme, sekaligus menjadikannya sebagai penerus Morgenthau sebagai realis terkemuka (Daniel Deudney, 2011).

Salah satu perbedaan utama antara realisme klasik dan neorealisme adalah pandangan mereka yang bertolak belakang tentang sumber dan isi preferensi negara. Berbeda dengan realisme klasik, neorealisme mengecualikan susunan internal negara yang berbeda, dimana realisme klasik Morgenthau bersandar pada asumsi bahwa para pemimpin negara dimotivasi oleh hasrat mereka akan kekuasaan, sementara Teori Waltz (1979) justru menghilangkan motivasi pemimpin dan karakteristik negara sebagai variabel kausal dalam hubungan internasional, kecuali terkait upaya negara untuk bertahan hidup (C. Elman dalam Paul D. W.Ed., 2008).

Dalam neorealisme, perilaku negara dapat menjadi produk kompetisi di antara mereka akibat menghitung tindakan yang dapat memberi keuntungan terbaik bagi mereka, atau karena sistem yang mereka jalani. Perilaku negara juga dapat menjadi produk sosialisasi, dimana negara dapat memutuskan untuk mengikuti norma karena mereka menghitungnya sebagai keuntungan mereka sendiri, atau karena norma menjadi menjadi bagian darinya (C. Elman dalam Paul D. W.Ed.,

2008). Dalam perspektif neorealis, struktur internasional juga dipandang anarki sehingga setiap negara harus mengorientasikan gerak-geriknya pada pencapaian kepentingan nasional negaranya (Kenneth N. Waltz, 1979). Berdasarkan penjelasan tersebut, baik realis maupun neorealis sama-sama erat kaitannya dengan kepentingan nasional suatu negara.

2.2. Kepentingan Nasional Kepentingan nasional secara konseptual

dapat dipergunakan untuk menjelaskan perilaku politik luar negeri suatu negara. Di sisi lain, kepentingan nasional dapat didefinisikan dalam istilah strategi dan kapabilitas ekonomi, karena politik internasional merupakan suatu perebutan kekuasaan antarnegara. Morgenthau mengakui definisi power akan berubah setiap waktu. Disatu sisi kekuasaan ekonomi akan menjadi krusial, meskipun disisi lain kekuasaan militer atau budaya menjadi kepentingan vital bagi negara (Scott Burchill, 2005).

Adapun obyektivitas kepentingan nasional berkaitan erat dengan tujuan utama kebijakan luar negeri suatu negara. Hal Ini juga merupakan bagian dari faktor-faktor tetap berdirinya suatu negara, seperti geografi, sejarah, kawasan, sumber daya, ukuran populasi dan etnis. Sementara subyektivitas kepentingan nasional bergantung pada preferensi pemerintah atau elit kebijakan tertentu, termasuk ideologi, agama, dan identitas kelas. Kepentingan-kepentingan ini didasarkan pada interpretasi dan bergantung pada rezim yang berkuasa (Scott Burchill, 2005).

2.3. Perimbangan Kekuatan (Balance of Power) Hans J. Morgenthau dalam buku

‘Politik Antar Bangsa’ mengungkapkan bahwa politik internasional dapat dimaknai sebagai sebuah perjuangan demi kekuasaan negara dan pemenuhan kepentingan nasional (Hans J. Morgenthau, 1991). Negara-negara dapat terlibat dalam konflik karena masing-masing diantara mereka mengejar kepentingannya sendiri. Di sinilah perimbangan kekuatan menjadi penting karena dapat dipahami sebagai faktor utama upaya menjaga stabilitas dalam

Page 4: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

148

hubungan internasional. Perimbangan kekuatan sendiri digunakan untuk mengatur kecenderungan negara-negara dalam menghimpun kekuatan secara strategis. Konsep perimbangan kekuatan dinyatakan sebagai suatu keadaan nyata di mana kekuasaan terbagi secara berimbang di antara beberapa negara (Hans J. Morgenthau, 1991).

Dalam perkembangannya, bentuk perimbangan kekuatan dapat diwujudkan melalui campur tangan negara luar dalam suatu wilayah maupun kawasan yang sama dalam bentuk kerja sama bilateral maupun multilateral. Dengan kerja sama yang dibangun, diharapkan terdapat kesamaan pola pikir, nilai, tujuan, dan tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan (Hans J. Morgenthau, 1991). Oleh karena itu, konsep perimbangan kekuatan secara umum memperlihatkan adanya tradisi klasik dari kaum realis dengan menekankan asas kesetaraan (ekuilibrium) antara negara-negara besar dalam suatu kawasan. Di samping itu, penyebaran merata kekuatan militer juga dipandang sebagai suatu hal yang baik, karena dengan kekuatan yang seimbang akan menciptakan perdamaian.

3. Metodologi Jenis Penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada dan masih berlangsung saat ini atau di masa lampau. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa sumber-sumber buku, jurnal, maupun pemberitaan media terkait dengan sengketa teritrorial dan keterlibatan AS di LCS, sehingga metode pengumpulan data yang digunakan secara komprehensif dalam penelitian ini adalah studi literature. Sementara itu, teknik analisa data yang digunakan adalah kualitatif dengan menyusun dan mengintegrasikan, serta menyelidiki dan menemukan pola hubungan yang spesifik dari data yang telah dikumpulkan.

4. Pembahasan Besarnya potensi ekonomi di Laut Cina

Selatan (LCS) telah menjadi daya tarik

tersendiri bagi sejumlah negara di dunia, yang kemudian menimbulkan konflik berkepanjangan antara negara-negara di kawasan. Bahkan konflik tersebut saat ini turut melibatkan negara adidaya, seperti AS dan Tiongkok yang kemudian berkembang semakin kompleks dan telah beberapa kali menimbulkan ketegangan di antar negara-negara di kawasan.

Potensi yang dimiliki LCS berupa natural resources yang tinggi, baik berupa cadangan minyak dan gas alam ataupun perikanan dan sumber laut lainnya, LCS juga digunakan sebagai jalur lintas perdagangan Sea Lane of Transfortation dan Sea Lane of Communication kapal-kapal yang bergerak dari wilayah Timur Tengah ke Asia – Amerika dan sebaliknya, dengan lebih kurang 40.000 kapal melintas setiap tahunnya. Kondisi tersebut membuat negara-negara pengklaim, seperti Tiongkok, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam, serta negara-negara berkepentingan lainnya, seperti AS, Jepang, Australia, Korea Selatan, India, dan Rusia juga memanfaatkan wilayah LCS sebagai jalur utama transportasi, perdagangan, pasokan energi, navigasi internasional, dan penerbangan, serta strategi keamanan global (Muhar Junef, 2018).

Sementara itu, dalam Survei Prioritas Preventif tahun 2020, para pakar kebijakan luar negeri menempatkan konfrontasi bersenjata atas daerah-daerah maritim yang disengketakan di LCS antara Tiongkok dan sejumlah negara yang terlibat, sebagai konflik utama yang paling menyita perhatian dunia pada tahun 2020. Sebagai salah satu jalur laut yang paling strategis di dunia, LCS merupakan rumah bagi tiga jenis sengketa internasional yang telah lama bertahan, yakni sengketa wilayah yang diklaim, sengketa perairan yang diklaim, dan sengketa tentang jenis kegiatan maritim yang diizinkan di perairan tersebut berdasarkan hukum internasional. Selama beberapa dekade, Brunei, Tiongkok, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam masing-masing mengklaim wilayah daratan dan perairan LCS sebagai daerah kawasan berdaulatnya masing-masing. Sementara Tiongkok yang telah mengadopsi

Page 5: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

149

interpretasi luas dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) sudah beroperasi secara unilateral untuk mengklaim hak teritorial dan maritim yang luas di wilayah tersebut melalui “Nine-Dashed Line” (Mira Rapp-Hooper, 2020).

Sebagai negara besar yang secara geografis jelas berada jauh dari kawasan LCS, AS justru memainkan peran yang cukup signifikan melalui sejumlah manuvernya, baik secara ekonomi dan perdagangan, maupun secara geopolitik atau menyangkut isu keamanan. Hal itu dapat diidentifikasi melalui beberapa instrumen berikut.

4.1. Kebijakan Luar Negeri AS Memasuki abad ke-21, Roberts J. Art

mengidentifikasi enam kepentingan nasional (national interests) AS yang mendasari sikap politik dan kebijakan negara tersebut di dunia internasional. Keenam poin tersebut yakni, fokus pada perlindungan terhadap tanah air dari berbagai serangan; menjaga perdamaian yang mendalam di antara kekuatan besar Eurasia; melestarikan jaminan dan stabilitas akses terhadap pasokan minyak; melestarikan tatanan ekonomi internasional yang terbuka; menyebarkan konsep demokrasi dan supremasi hukum; melindungi hak asasi manusia dan mencegah pembunuhan massal dalam perang saudara; serta mencegah perubahan iklim global (Roberts J. Art, 2010).

Sementara itu dalam sengketa teritorial LCS, keterlibatan AS merupakan salah satu hal penting yang menjadi sorotan internasional. Sejak pertengahan tahun 1990-an, AS telah mengartikulasikan kebijakan luar negerinya di LCS saat terjadi ketegangan akibat okupasi yang dilakukan Tiongkok pada Mischief Reef di akhir tahun 1994. Merespons hal tersebut, pada Mei 1995 juru bicara Departemen Luar Negeri AS menekankan lima poin penting mengenai kebijakan AS di LCS (U.S. Department of State, 1995) yang berisi: (1) penyelesaian sengketa secara damai; (2) menjaga perdamaian dan kestabilan kawasan; (3) menjaga kebebasan bernavigasi; (4) netralitas dalam sengketa; dan (5) menghargai

prinsip-prinsip internasional dalam UNCLOS yang telah ditetapkan pada tahun 1982 (Arief Bakhtiar Darmawan dan Gebyar Lintang Ndadari, 2017). Kelima poin tersebut kemudian dijadikan dasar bagi AS dalam menyikapi situasi di LCS yang hinga saat ini masih relevan dan diimplementasikan ke dalam sejumlah kebijakan luar negeri AS terhadap LCS.

Sejak pertama kali mengumumkan kepentingannya di LCS tahun 1995, secara bertahap kepentingan AS menjadi semakin jelas terlihat, terutama di bawah pemerintahan Obama dan Trump. Pejabat AS secara terbuka kerap menyatakan bahwa AS memiliki "kepentingan vital" dan "kepentingan nasional teratas" di LCS yang pada dasarnya memiliki tiga dimensi. Pertama adalah kepentingan mendasar dalam kebebasan navigasi, termasuk akses tidak terbatas ke LCS untuk kapal dan pesawat militer AS. Kedua adalah mempertahankan keunggulan luar biasa dari kekuatan militer AS dan kemampuan pencegahan strategis yang dapat dipercaya melalui kontrol laut dan proyeksi kekuatan untuk mencegah konflik militer dan pemaksaan politik. Ketiga adalah membangun "tatanan regional berbasis aturan" yang didominasi oleh AS (Chen Xiangmiao, 2010).

Dari ketiga dimensi tersebut, upaya menjaga kepemimpinan global menjadi kepentingan utama politik luar negeri AS. Sehingga untuk memenuhi tuntutan tersebut, AS meyakini perlunya kehadiran dan menunjukkan kemampuannya dalam setiap kesempatan penting di tingkat internasional. Sengketa LCS telah menjadi salah satu media penting bagi AS dalam menunjukkan kemampuan, sekaligus menyangkal prediksi mengenai melemahnya pengaruh AS di Dunia. Kondisi tersebut membuat AS semakin konsisten dengan kebijakan mempertahankan status unipolarnya karena beranggapan bahwa hegemoni global yang dimiliki AS mampu menjaga stabilitas sistem internasional.

Salah satu upaya intervensi AS terkait ketegangan di LCS dilakukan melalui kerja sama di berbagai bidang, baik secara kolektif dengan Association of Southeast Asian Nations

Page 6: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

150

(ASEAN) maupun secara bilateral dengan negara-negara anggota ASEAN. Selain meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, politik, maupun teknologi, AS juga aktif mengeluarkan kebijakan strategis khususnya memberikan bantuan keamanan.

NEGARA 2010 2015

Myanmar 0 0,5 Thailand 15,9 3,2 Kamboja 7,0 6,2 Indonesia 66,5 32,1 Singapura 0,7 0,2 Brunei Darussalam

0,1 0

Laos 5,7 13,6 Vietnam 6,8 17,7 Filipina 73,9 67,4 Malaysia 5,5 2,3

Tabel 1. Bantuan Keamanan AS kepada Negara- negara Asia Tenggara (dalam juta dollar AS)

Sumber : Council on Foreign Relations (2015) dalam Darmawan dan Ndari (2017: 10)

Berdasarkan table di atas, Filipina dan Indonesia merupakan negara yang mendapatkan bantuan keamanan dari AS lebih banyak daripada negara lainnya di Asia Tenggara. Sementara itu, tren peningkatan bantuan keamanan justru terjadi pada Laos dan Vietnam di tahun 2015. Padahal secara geografis maupun kultural, kedua negara Indocina tersebut cenderung dekat dengan Tiongkok. Hal ini mengindikasikan bahwa AS secara eksplisit memiliki kepentingan di terhadap kedua negara tersebut, utamanya melalui pemberian bantuan keamanan. Namun demikian, data di atas tentu akan selalu mengalami perubahan tergantung dengan kebijakan luar negeri AS, khsusnya dalam menyikapi konflik LCS. Untuk itu, bukan tidak mungkin bila di tahun-tahun mendatang terjadi peningkatan signifikan terhadap pemberian bantuan keamanan yang didapat negara-negara ASEAN, khususnya mereka yang dianggap memiliki pengaruh kuat

atau secara langsung berkepentingan dalam sengketa teritorial LCS.

Hal itu sedikit terlihat dalam beberapa tahun belakangan, dimana AS semakin intens memberikan bantuan kepada negara-negara ASEAN, melalui bantuan maritim untuk keamanan kawasan, seperti pelatihan Penjaga Keamanan Laut dan pemangku kepentingan lainnya melalui Southeast Asia Maritime Lane Enforcement Initiative; program bantuan keamanan, seperti Foreign Military Financing, International Military Education and Training and the Maritime Security Initiative, guna mendukung profesionalisme militer masing-masing negara ASEAN dan meningkatkan keamanan maritim kawasan; serta penyelenggaraan ASEAN-AS Maritime Exercise yang pertama kali digelar di Thailand September 2019 untuk membangun kapasitas kesadaran dalam bidang maritim, berbagi informasi, dan larangan di bidang kelautan (US Embassy, 2020). Hal tersebut terus dilakukan AS tentunya untuk mendapat dukungan dari ASEAN dalam rangka melawan dan meredusir pengaruh Tiongkok di kawasan, meskipun di sisi lain Tiongkok juga banyak mendapatkan dukungan sebagai dampak dari kerja samanya dengan sejumlah negara ASEAN.

4.2. Rivalitas AS – Tiongkok Dalam satu dekade terakhir, perseteruan

Tiongkok dan AS di LCS telah bertransformasi menjadi kasus "konfrontasi dingin”, dimana AS lebih memandang Tiongkok sebagai "negara revisionis" dan "musuh strategis”. AS juga terus berupaya tidak hanya memperkuat operasi militernya sendiri di kawasan, tetapi juga menyatukan sekutu globalnya, seperti Jepang, Korea Selatan dan Australia untuk bersaing melawan Tiongkok, sehingga mengakibatkan masifnya frekuensi ketegangan antara kedua pihak. Di sisi lain, kondisi divergensi keinginan dan kepentingan kedua pihak juga semakin memanas, sehingga hubungan bilateral kedua negara secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi situasi keamanan regional (Chen Xiangmiao, 2010).

Page 7: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

151

Hingga saat ini AS tidak mengklaim wilayah atau hak maritim apa pun di LCS, namun AS memiliki kepentingan untuk memastikan agar kawasan LCS tetap menjadi bagian terbuka dan milik bersama global dengan mengizinkan arus bebas lalu lintas komersial dan militer sesuai dengan apa yang menjadi kepentingan nasionalnya. Adanya rivalitas dengan Tiongkok, secara khusus telah mendorong AS untuk terus memastikan keseimbangan kekuasaan di Pasifik Barat, serta memastikan bahwa wilayah tersebut tidak akan memberikan keuntungan apapun bagi Tiongkok.

Dalam perkembangannya, Tiongkok justru secara massif terus melakukan provokasi di LCS, dimulai dengan mengubah tujuh terumbu karang dan bebatuan menjadi pulau buatan di Kepulauan Spratly, yang dilanjutkan dengan membangun lapangan terbang dan fasilitas pelabuhan kelas militer, serta memasang sistem senjata utama pada tahun 2014 (Chen Xiangmiao, 2010). Sejak itu, Tiongkok terus melakukan militerisasi pulau-pulau di wilayah tersebut untuk menujukan dominasi dan klaimnya di wilayah tersebut, terlepas dari kenyataan bahwa pengadilan internasional telah memutuskan banyak diantara kegiatan tersebut adalah illegal.

Menurut Departemen Pertahanan AS, Tiongkok terus berupaya untuk mengamankan status sebagai kekuatan besar untuk memperoleh keunggulan regional melalui kekuatan militer yang mampu menentang kepentingan AS. Meskipun Tiongkok belum menjadi kekuatan militer global, setidaknya Tiongkok mampu mendekati status AS. Bahkan jika Tiongkok secara drastis terus meningkatkan anggaran belanja militernya, keuntungan teknologi dan kapabilitas militer AS akan mampu dicapainya. Tiongkok juga tengah fokus pada doktrin ‘active defense’ yang secara umum menekankan pada pertahanan wilayah jika terjadi serangan dan invasi militer. Hal itu membuat Tiongkok lebih menekankan modernisasi pasukan jarak dekat sehingga dapat sepenuhnya memfokuskan kapasitas militernya

pada keamanan territorial (Roberto Bendini, 2016).

Walaupun Tiongkok belum mampu menyaingi kekuatan militer AS di kawasan Asia Pasifik, saat ini Tiongkok telah menjadi kekuatan regional yang harus diperhitungkan. Dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, Tiongkok mampu menjadi negara dengan kekuatan militer terbesar ketiga di dunia berdasarkan data Global Firepower. Dengan powerindex mencapai 0,0691 (0,0000 adalah indeks sempurna), militer Tiongkok juga menjadi yang terkuat di Benua Asia. Sementara itu, AS masih kokoh diposisi pertama sebagai negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia dengan index 0,0606 (Global Firepower, Military Strength Ranking 2020).

Di sisi lain, berdasarkan hasil survei Global Soft Power Index tahun 2020 yang dirilis Brand Finance menyebutkan bahwa AS merupakan negara paling berpengaruh di dunia. Dengan mengedepankan pendekatan diplomasi dan persuasi dibandingkan tekanan militer dan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, AS diklaim berhasil menjaga tatanan dunia. Sedangkan, Tiongkok sendiri tercatat menempati peringkat kelima, di bawah Jerman, Inggris dan Jepang (Brand Finance, 2020).

Meskipun berada cukup jauh dari AS, data tersebut telah menunjukan bahwa kemajuan Tiongkok mengalami tren positif, baik dalam hal kekuatan militer maupun non militer. Hal ini yang kemudian semakin membuat AS merasa terganggu karena mengancam statusnya sebagai negara adidaya. Pesatnya perkembangan Tiongkok di dunia internasional bahkan telah banyak menyita perhatian masyarakat global. Selain karena akselerasi perekonomiannya yang begitu pesat, perang dagang melawan AS selama beberapa tahun terakhir juga membuatnya cukup disegani dunia. Hal itulah yang disinyalir membuat Tiongkok semakin percaya diri membangun kekuataan, baik melalui kehadiran militer ataupun diplomasi perdagangan dan pemberian bantuan ekonomi berupa pembiayaan sejumlah proyek-proyek pembangunan di kawasan Pasifik hingga Afrika (Vinsensio M.A. Dugis,

Page 8: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

152

2018), termasuk melalui proyek ‘One Belt One Road’ (OBOR) yang begitu fenomenal.

4.3. Perimbangan Kekuatan dan Keamanan Kawasan

Dalam hubungan antar negara, persepsi berperan penting dalam membentuk politik luar negeri. Persepsi ancaman merupakan salah satu faktor penting yang dipertimbangkan oleh pembuat keputusan luar negeri, bahkan jauh lebih penting dari ancaman itu sendiri. Kemunculan (kembali) Tiongkok sebagai salah satu kekuatan penting di tatanan dunia baru menjadi perhatian banyak kalangan (Vinsensio M.A. Dugis, 2018). Dalam menghadapi kebangkitan Tiongkok, banyak pihak menggunakan berbagai pendekatan guna menyikapi hal tersebut. “China threat theory”atau "Teori Ancaman Tiongkok" merupakan salah satu yang paling banyak digunakan. Di dunia internasional, kognisi dominan dari negara yang sedang bangkit didasarkan pada pemikiran realis menyangkut politik kekuasaan dan pilar teoretisnya sebagai keseimbangan kekuasaan (Xirong Ai, 2017). Secara khusus teori tersebut memandang berbagai aspek kebangkitan Tiongkok, meliputi ancaman militer, ekonomi dan kultural-ideologi. Dalam hal ini, persaingan ideologi antara AS dan Uni Soviet yang berlangsung cukup lama telah memberikan banyak keuntungan pada Tiongkok yang memanfaatkan stabilitas lingkungan internasional dengan menerapkan kebijakan modernisasi dan pintu terbuka. Pada akhirnya, politik ini berhasil membawa Tiongkok pada pembangunan ekonomi dan pengembangan kapabiltas militer, sehingga perannya yang lebih asertif telah menyebabkan Tiongkok dianggap sebagai ancaman keamanan di Asia Timur (Vinsensio M.A. Dugis, 2018).

Pesatnya ekspansi pengaruh ekonomi dan politik di dunia, membuat Tiongkok semakin berani melakukan maneuver di kancah internasional. Pada bulan Maret 2010, Asisten Menteri Luar Negeri Cui Tiankai mengatakan kepada dua pejabat senior AS, direktur NSC Jeffrey Bader dan Wakil Sekretaris Negara James Steinberg, bahwa Tiongkok menganggap

LCS sebagai "kepentingan inti", seperti halnya Tibet dan Taiwan, sehingga akan menunjukan tekad untuk mengamankan sumber daya laut dan perairan strategis di lokasi tersebut. Empat bulan kemudian, Kedutaan Besar Tiongkok di Washington meminta kepada Departemen Luar Negeri untuk tidak mengangkat masalah LCS sebagai isu internasional, dengan harapan bahwa AS akan setuju atas minatnya terhadap LCS. Sayangnya kenyataan yang terjadi tidak sesuai harapan mereka. Meskipun menyatakan tidak memiliki masalah apapun terhadap klaim atas wilayah di LCS, AS tetap menolak gagasan pembagian wilayah dan mendorong terciptanya kebebasan navigasi di daerah tersebut. Bahkan, mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton secara massif terus menggalang para penuntut ASEAN yang khawatir dengan tekanan Tiongkok ataupun mereka yang meminta bantuan AS untuk melawan Tiongkok. Dalam keterangannya, Hillary menegaskan bahwa AS memiliki kepentingan di LCS sambil menekankan perlunya "proses diplomatik kolaboratif oleh semua penuntut" yang bertentangan dengan desakan Tiongkok pada negosiasi bilateral dengan para penuntut dari ASEAN (Leszek Buszynski, 2020).

Dari sanalah, AS merasa memiliki kewajiban untuk menanggapi tekanan Tiongkok dan menegaskan minatnya terhadap LCS untuk mencegah posisinya di Pasifik Barat terurai. Jika AS telah memenuhi harapan Tiongkok dan menepis permohonan ASEAN, mereka akan mengkonfirmasi kepada audiens di Asia bahwa pengaruh Tiongkok mengalami peningkatan. Hal itu akan mengakibatkan AS kehilangan kredibilitas di hadapan sekutu-sekutunya di Asia. Bahkan, sistem keamanan yang dikembangkan AS selama beberapa dekade terakhir, terutamanya mencakup kemitraan keamanan dengan negara-negara utama di kawasan seperti Vietnam dan Indonesia akan rusak (Leszek Buszynski, 2020).

Oleh karena itu, upaya AS untuk terlibat dalam sengketa di LCS merupakan bentuk perimbangan kekuatan Tiongkok yang sulit terbendung oleh negara-negara ASEAN, sekaligus untuk melawan kebangkitan dan

Page 9: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

153

perluasan pengaruh Tiongkok, khususnya di wilayah Pasifik Barat. Di sisi lain, konfrontasi Tiongkok di LCS merupakan salah satu upayanya dalam mengimbangi kekuatan dan dominasi AS di Kawasan Pasifik, meskipun dalam prosesnya manuver Tiongkok justru mendapat resistensi dari negara-negara di kawasan.

Kondisi tersebut sedikit banyak telah menunjukan bahwa kebutuhan AS untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan Asia-Pasifik berkaitan erat dengan kebangkitan Tiongkok. Berdasarkan perspektif neorealis, kebangkitan Tiongkok jelas berpotensi menimbulkan konflik antara kekuatan-kekuatan besar dalam melakukan rekonstruksi pengaturan kekuatan di kawasan. Dengan demikian, kawasan Asia-Pasifik (termasuk LCS) akan menjadi tempat kompetisi berbagai kekuatan besar dunia, seperti AS dan Tiongkok untuk menciptakan struktur baru dalam mencapai kesetimbangan. Pasalnya, eksistensi AS di dunia internasional saat ini sedang menghadapi tantangan ekonomi dan militer, terutama berasal dari Tiongkok yang terus tumbuh untuk menciptakan “momen unipolar”dan prospek distribusi kekuatan internasional yang lebih seimbang (Charles Kruthammer, 1990).

4.4. Pengaruh Terhadap Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara

yang memiliki klaim atas Laut China Selatan terutama pada perairan Natuna. Indonesia di satu sisi sejak awal telah menyatakan bahwa Natuna merupakan bagian tidak terpisahkan dari Indonesia sesuai dengan konsep UNCLOS. UNCLOS secara spesifik memberikan perlakuan khusus bagi negara-negara kepulauan di dunia. Atas dasar konsensus internasional tersebut, Indonesia sudah menganggap urusan Natuna sudah selesai. Namun demikian dalam perkembangannya, ternyata Tiongkok memiliki versi sendiri terkait LCS. Dalam peta yang dipublikasikan oleh Tiongkok dengan menggunakan konsep ninde-dash line bahwa pulau-pulau yang berada di dalam sembilan garis tersebut merupakan wilayah Tiongkok

dan memiliki nama sendiri versi Tiongkok bagi setiap pulau. Klaim sepihak dari Tiongkok lantas menimbulkan reaksi keras dari Indonesia. Indonesia melayangkan protes terhadap peta yang dipublikasikan oleh Tiongkok. Reaksi pemerintah Indonesia semakin keras lantaran adanya aktifitas nelayan dan pasukan penjaga laut Tiongkok di perairan Natuna membuat Indonesia menyatakan konsennya atas manuver Tiongkok.

Sebagai bentuk protes, Indonesia memanggil duta besar Tiongkok untuk Indonesia untuk diminta penjelasan terkait aktifitas pasukan penjaga laut dan nelayan Tiongkok. Dalam pergaulan internasional, tindakan Indonesia yang memanggil duta besar Tiongkok menunjukkan bahwa Indonesia melihat tindakan Tiongkok sebagai sebuah pelanggaran. Selain itu, pemerintah Indonesia juga meningkatkan penjagaan di perairan laut Natuna sebagai langkah untuk mencegah manuver serupa dari Tiongkok di masa depan. Bahkan Presiden Indonesia Joko Widodo pada Januari 2020 melakukan kunjungan kerja khusus di pulau Natuna dengan dikawal oleh armada perang milik Indonesia. Kunjungan serupa pernah dilakukan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 dengan melakukan rapat di atas kapal perang KRI Imam Bonjol 383 tidak lama setelah TNI AL berhasil menyergap kapal-kapal Tiongkok. Kehadiran Presiden Indonesia serta pengerahan pasukan militer dalam jumlah besar juga merupakan strategi Indonesia untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah Tiongkok bahwa Natuna merupakan wilayah Indonesia (CNN Indonesia, 2020).

Reaksi Indonesia baik melalui jalur diplomasi maupun pengerahan pasukan di perairan Natuna mendapat respon dari pemerintah Tiongkok. Melalui duta besar Xiao Qian, pemerintah Tiongkok menyatakan bahwa Natuna merupakan wilayah Indonesia, dimana, secara spesifik duta besar Tiongkok menjelaskan "Pertama, tidak ada perselisihan antara Indonesia dengan Tiongkok terkait teritorial kita. Natuna adalah milik Indonesia.Tiongkok tidak pernah permasalahkan itu.

Page 10: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

154

Tiongkok juga memiliki klaim teritorial sendiri terkait Kepulauan Spratly dan Indonesia pun tidak pernah mempermasalahkan itu"(CNBC Indonesia, 2020). Penjelasan duta besar Tiongkok adalah bentuk upaya meredam tensi yang melibatkan Indonesia-Tiongkok terkait klaim wilayah. Sikap duta besar Tiongkok juga memperlihatkan bahwa Indonesia dianggap sebagai mitra penting di kawasan sehingga konfrontasi dengan Indonesia berpotensi mendatangkan kerugian bagi pihak Tiongkok. Besarnya investasi Tiongkok di Indonesia dalam lima tahun terakhir juga memiliki kontribusi perubahan sikap Tiongkok di LCS ketika berhadapan dengan Indonesia. Fakta lain yang juga tidak boleh diabaikan adalah bahwa Indonesia merupakan mitra penting AS di kawasan sehingga memelihara konflik dengan Indonesia membuka peluang bagi AS untuk mengeliminasi peran Tiongkok di kawasan.

5. Kesimpulan Memanasnya konflik di Laut Cina

Selatan (LCS), terutama akibat sengketa wilayah perairan maupun daratan, serta penguasaan sumber daya di wilayah tersebut telah mempengaruhi situasi politik dan keamanan di kawasan. Masifnya provokasi Tiongkok yang menjadikan LCS sebagai kepentingan utamanya membuat Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu kekuatan global bereaksi keras dan menentang perluasan pengaruh Tiongkok di Kawasan LCS. Selain ingin menjaga kebebasan navigasi dan akses tidak terbatas di wilayah tersebut, AS juga terus berupaya mempertahankan keunggulan serta dominasinya dalam menjaga dan mengatur tatanan dunia. Hal tersebut kemudian diturunkan dan menjadi dasar kebijakan luar negeri AS, terutama menyangkut isu LCS. Salah satu kebijakan yang menonjol adalah membangun kerja sama multilateral dengan ASEAN ataupun secara bilateral dengan masing-masing anggota ASEAN. Upaya ini sekaligus ditujukan untuk meningkatkan eksistensi dan memperkuat dukungan negara-negara ASEAN terhadap AS di LCS.

Di sisi lain, rivalitasnya dengan Tiongkok juga menjadi dasar keterlibatan AS dalam sengketa LCS, khususnya antara Tiongkok dan negara-negara penuntut di Asia Tenggara. Dengan memandang Tiongkok sebagai negara revisionis dan musuh strategis, AS berupaya memperkuat operasi militer bersama sekutunya di Kawasan Pasifik seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Pada saat yang sama, Tiongkok juga semakin berupaya memperkuat militernya untuk mampu menghadapi AS. Meskipun terbilang jauh, namun kapasitas militer Tiongkok saat ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Berada di peringkat ketiga dunia, dan peringkat pertama di Asia, Tiongkok tengah memfokuskan diri pada doktrin ‘active defense’ yang berfokus pada pertahanan wilayah, sekaligus melakukan modernisasi pasukan jarak dekat untuk menjamin keamanan teritorialnya.

Lebih lanjut, keterlibatan AS dalam konflik LCS merupakan upaya untuk menyeimbangkan kekuatan yang kurang berimbang antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN yang terkena dampak klaim wilayah perairan LCS. Kebangkitan Tiongkok, khususnya pada aspek militer, ekonomi dan kultural-ideologi merupakan implikasi dari stabilitas lingkungan internasional yang selama ini terjadi, dimana Tiongkok mampu memanfaatkannya untuk membangun ekonomi dan mengembangkan kapabiltas militer. Hal itu kemudian dianggap telah mengancam unipolaritas AS sebagai kekuatan tunggal dunia. Di sisi lain, perluasan pengaruh yang terus dilakukan Tiongkok di LCS merupakan upayanya untuk merekonstruksi pengaturan kekuatan di kawasan Pasifik yang selama ini didominasi oleh AS.

Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN yang juga terkena dampak langsung dari potensi konflik di LCS perlu mempersiapkan semua skenario baik menggunakan pendekatan diplomasi maupun militer. Ditengah ketegangan yang belakangan melibatkan AS-Tiongkok tentu saja berpotensi menciptakan konflik militer secara terbuka manakala masing-masing pihak menolak untuk

Page 11: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

155

menyelesaikan sengketa LCS melalui jalur perundingan dan mekanisme arbitrase internasional. Indonesia sebagai salah satu pemain kunci di kawasan memiliki peran untuk membangun komunikasi dengan semua negara ASEAN untuk memastikan ASEAN berada dalam satu suara dan memastikan kawasan ASEAN tetap stabil. Sebab konfrontasi langsung yang melibatkan AS-Tiongkok akan memberikan ekses negative baik secara ekonomi maupun keamanan dalam jangka waktu yang panjang.

Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal

Ai, Xirong. 2017. An Intertextual Analysis of the Formation of “China Threat Theory. New York: Atlantis Press.

Bendini, Roberto. 2016. United States - China Relations: A Complex Balance Between Cooperation and Confrontation. Directorate General for External Policies Policy Department, European Union.

Bidara, Melita Angelin, dkk., 2018. Kepentingan Amerika Serikat dalam Konflik Laut Cina Selatan. Jurnal Eksekutif, Volume 1 No. 1.

Burchill, Scott. 2005. The National Interest in International Relations Theory. New York: Palgrave Macmillan.

Buszynski, Leszek. 2012. Chinese Naval Strategy, the United States, ASEAN and the South China Sea. Institute for Regional Security, Vol. 8 No. 2.

Darmawan, Arief Bakhtiar dan Gebyar Lintang Ndadari. 2017. Keterlibatan Amerika Serikatdalam Sengketa Laut Tiongkok Selatan pada Masa Pemerintahan Presiden Barack Obama. Jurnal Hubungan Internasional UMY Vol. 6 Edisi 1/ April – September 2017.

Deudney, Daniel. 2011. “Anarchy and Violence Interdependence” dalam Ken Booth (Ed.), Realism and World Politics, Abingdon: Routledge.

Dugis, Vinsensio M.A. 2018. Memahami Peningkatan Kehadiran China di Pasifik Selatan: Perspektif Realisme Stratejik. Jurnal Global dan Strategis Th. 9, No. 1.

Junef, Muhar. 2018. Sengketa Wilayah Maritim di Laut Tiongkok Selatan. Jurnal Penelitian Hukum ‘De Jure’ Vol. 18 No. 2.

Kruthammer, Charles. 1990. The Unipolar Moment. Foreign Affairs.

Morgenthau, H. J. 1991. Politik Antar Bangsa, Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nainggolan, Poltak Partogi. 2013. Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan. Jakarta Pusat: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika.

Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. 2013. International Relation and World Politics: Fifth Edition. Boston: Pearson Education, Inc.

Waltz, Kenneth N. 1979. Theory of International Politics. Massachusetts: Addison‐Wesley Publishing Company.

Media Internet Brand Finance. 2020. Global Soft Power Index

2020(https://brandirectory.com/globalsoftpower, diakses pada 26 Maret 2020).

Global Firepower. 2020 Military Strength Ranking(https://www.globalfirepower.com/countries-listing.asp#google_vignette, diakses pada 13 April 2020).

Hooper, Mira Rapp. 2020. Top Conflicts to Watch in 2020: An Armed Confrontation in the South China Sea, Council on Foreign Relations(https://www.cfr.org/blog/top-conflicts-watch-2020-armed-confrontation-south-china-sea, diakses pada 13 April 2020).

Kantor Juru Bicara Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia. 2019. Lembar Fakta: Amerika Serikat dan ASEAN –Kemitraan Abadi

Page 12: Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di Laut China Selatan

ISSN: 2620-7419 Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional, Vol..2, No.2, 2019

156

(https://id.usembassy.gov/id/lembar-fakta-amerika-serikat-dan-asean-kemitraan-abadi/, diakses pada 13 April 2020).

Tempo. Filipina Temukan Gas Alam di Laut CinaSelatan(https://dunia.tempo.co/read/399509/filipina-temukan-gas-alam-di-laut-cina-selatan/full&view=ok, diakses pada 11 April 2020).

Xiangmiao, Chen. The ‘Cold Confrontation’ Underway in the South China Sea(https://thediplomat.com/2019/06/the-cold-confrontation-underway-in-the-south-china-sea/, diakses pada 13 April 2020).

CNN Indonesia, Aksi Simbolik Jokowi Redam Tensi di Natuna,https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200109185354-32-463994/aksi-

simbolik-jokowi-redam-tensi-di-natuna, diakses 28 Asustus 2020.

CNBC Indonesia, Tak Galak Lagi, China Akui Natuna Milik Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20200124141716-4-132491/tak-galak-lagi-china-akui-natuna-milik-indonesia, akses 28 Agustus 2020.

___________, Bukan Cuma RI, Laut Malaysia s/d Vietnam Juga Diklaim China(https://www.cnbcindonesia.com/news/20200124141716-4-132491/tak-galak-lagi-china-akui-natuna-milik-indonesia, diakses pada 28 Agustus 2020).

Tirto, Kepentingan di Balik Unjuk Kekuatan di Laut Cina Selatan(https://tirto.id/kepentingan-di-balik-unjuk-kekuatan-di-laut-cina-selatan-bnS6, diakses pada 11 April 2020).