bab isi
Post on 29-Nov-2015
33 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunter). (Muttaqin, 2012 dalam Price dan Wilson, 1995).
Miastenia gravis merupakan penyakit dengan kerusakan otot yang parah
dan merupakan penyakit neuromuskular dengan kombiasi atara cepatnya terjadi
kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan yang diperlukan, yaitu 10-
20 kali lebih lama dari keadaan normal.
Miastenia gravis merupakan penyakit langka, dan dapat terjadi pada setiap
rentang usia. Biasanya penyakit ini lebih sering terlihat pada usia 20-50 tahun.
Namun, kasusnya lebih banyak ditemukan pada wanita dengan rasio 6:4. Pada
wanita, penyakit ini biasanya muncul pada rentang usia 15-35 tahun, sedangkan
pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun-an. Karakteristik yang
biasanya muncul adalah berupa kelemahan yang berlebihan yang umumnya terjadi
pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh syaraf-syaraf kranial.
Walaupun penyakit ini tergolong langka namun dampak yang
ditimbulkannya cukup berat yaitu berupa gangguan imobilitas fisik pada
penderitanya. Oleh karena itu, kami sebagai penulis memilih topik Myastenia
gravis pada penyusunan makalah ini dengan harapan pembaca memahami dan
memiliki kemauan dan kemampuan untuk hidup dengan sehat agar resiko
terjadinya penyakit ini dapat dikurangi.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan myastenia gravis?
1.2.2 Bagaimanakah anatomi dan fisiologi tubuh terkait penyakit myastenia
gravis?
1.2.3 Apa sajakah klasifikasi dari penyakit myastenia gravis?
1.2.4 Apa sajakah etiologi dari penyakit myastenia gravis?
1
1.2.5 Bagaimanakah patofisiologi dari penyakit myastenia gravis?
1.2.6 Bagaimanah WOC penyakit myastenia gravis?
1.2.7 Apa sajakah manifestasi klinis yang timbul pada klien dengan myastenia
gravis?
1.2.8 Apa sajakah komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit myastenia gravis?
1.2.9 Bagaimanakah prognosis dari penyakit myastenia gravis?
1.2.10 Bagaimanakah tata cara penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada klien
dengan myastenia gravis?
1.2.11 Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien myasthenia gravis ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.3.1 Untuk mengetahui definisi myastenia gravis
1.3.2 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi tubuh terkait penyakit myastenia
gravis
1.3.3 Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit myastenia gravis
1.3.4 Untuk mengetahui etiologi dari penyakit myastenia gravis
1.3.5 Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit myastenia gravis
1.3.6 Untuk mengetahui WOC penyakit myastenia gravis
1.3.7 Untuk mengetahui manifestasi klinis yang timbul pada klien dengan
myastenia gravis
1.3.8 Untuk mengetahui komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit myastenia
gravis
1.3.9 Untuk mengetahui prognosis dari penyakit myastenia gravis
1.3.10 Untuk mengetahui tata cara penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada
klien dengan myastenia gravis
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah tumbuhnya
kesadaran, serta kewaspadaan pembaca terhadap bahaya dan dampak buruk yang
diakibatkan oleh myastenia gravis, sehingga tumbuh kemauan dan kemampuan
2
untuk meminimalisir faktor resiko terjadinya penyakit myastenia gravis sehingga
dapat mengurangi angka kesakitan dari myastenia gravis itu sendiri.
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian Myastenia Gravis
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunter). (Muttaqin, 2012 dalam Price dan Wilson, 1995).
Miastenia Gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah satu-
satunya penyakit neuromuskuler yang menggabungkan kelelahan cepat otot
voluntar dan waktu penyembuhan yang lama (penyembuhan dapat butuh
waktu 10 hingga 20 kali lebih lama daripada normal). (Sylvia A. Price : 1148)
Miastenia Gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunter). (Brunner & Suddarth : 2196)
Secara garis besar penyakit myastenia gravis ini merupakan penyakit
autoimun didapat dengan transmisi syaraf-otot yang ditadai dengan kelemaha otot.
Penyakit ini dapat timbul pada semua rentang usia dan sedikit lebih banyak
menyerang perempuan daripada laki-lakidengan perbandingan 6:4. Namun pada
usia dewasa penyakit ini lebih sering ditemukan pada laki-laki.
4
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-
tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga
hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu
sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuscular
(Howard, 2008; Newton, 2008).
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian
pembentuk neuromuscular junction.
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran
post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu
lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa
yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi (Newton, 2008).
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan
cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam
5
keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor
end plate) (Howard, 2008; Newton, 2008).
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion
kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga
mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan
bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.
Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan
reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik
2.3 Klasifikasi
Menurut Wahyudianto, R. 2012, dalam Myasthenia Gravis Foundation of
America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kelas I : Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat
menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal
b. Kelas II : Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Kelas IIa : Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.
Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
d. Kelas IIb: Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial
lebih ringan dibandingkan klas IIa.
e. Kelas III : Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.
Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan
tingkat sedang
f. Kelas III a : Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang
ringan
g. Kelas III b : Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota
tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
6
h. Kelas IV : Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami
kelemahan dalam berbagai derajat
i. Kelas IV a : Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam
derajat ringan
j. Kelas IV b : Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat
ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Kelas V : Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Sedangkan klasifikasi menurut Osserman adalah sebagai berikut :
1. Ocular miastenia
terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan
dan tidak ada kematian
2. Generalized myiasthenia
a) Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-
otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot
baik.
b) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat
tidak memuaskan.
3. Severe generalized myasthenia
a. Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi
penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang
memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi
thymoma
b. Late severe myasthenia
7
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari
myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua
paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek
4. Myasthenia crisis
Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat
disebabkan : pekerjaan fisik yang berlebihan, emosi, infeksi, melahirkan anak.
2.4 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan
transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan
unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel-partikel globuler
yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba
pada ujung akson, partikel globuler pecah dan Ach dibebaskan yang dapat
memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR)
pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat
otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian
terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada
Miasteniagravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat
kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor
imunologiklah yang berperanan (Wahyudianto, R, 2012, dalam Qittun, 2008).
Sedangkan menurut Thumbelina dalam Myastenia Gravis Penyebab Myasthenia
gravis dapat diakibatka oleh beberapa hal dibawah ini :
1. Myasthenia gravis adalah idiopatik pada kebanyakan pasien.
a. Penisilamin diketahui menyebabkan berbagai gangguan autoimun,
termasuk myasthenia gravis.
b. ACHR antibodi yang hadir di sekitar 90% dari pasien
mengembangkan myasthenia gravis sekunder untuk eksposur
penicillamine.
2. Berbagai obat bisa memperburuk gejala myasthenia gravis.
a. Antibiotik (misalnya, aminoglikosida, siprofloksasin, eritromisin,
ampisilin)
8
b. Beta-adrenergik reseptor memblokir agen (misalnya, propranolol,
oxprenolol)
c. Lithium
d. Magnesium
e. Procainamide
f. verapamil
g. kinidina
h. Klorokuin
i. Prednisone
j. timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaucoma)
k. Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)
3. Agen yang memblokir neuromuskular, termasuk vecuronium dan curare,
harus digunakan hati-hati dalam myasthenics untuk menghindari blokade
neuromuskuler yang berkepanjangan.
2.5 Patofisiologi
Dasar ketidak normalan pada mestenia grafis adalah adanya kerusakan
pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena kehilangan
kemampuanatau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan
neuro muscular.
Otot kerangka atau otot lurik di persarafi oleh saraf besar bermielin yang
berasal dari sel kornum anterior medula spinalis dan batang otak. Saraf-saraf ini
mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial menuju ke
perifer. Masing-masing saraf memiliki banyak sekali cabang dan mampu
merangsan sekitar 2.000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan
serabut-serabut otot yang di persarafi disebut unit motorik. Meskipun setiap
neuron motorik mempersarafi banyak serbut otot, tetapi setiap serabut otot di
persarafi oleh hanya satu neuron motorik(price dan wilson, 1995).
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik
dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular dan hubungan neuromuskular.
Hubungan neuromuskukar merupakan suatu sinap kimia antara saraf dan otot
yang terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur prasinaps, elemen postsinaps,
dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200 A. Unsur prasinaps terdiri
9
atas akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan
neurotransmiter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran
plasma akson terminal diebut membran prasinaps. Unsur prosinaps terdiri dari
membran membran post sinaps ( post – functional membrane ) atu lempeng akhir
motorik serabut otot.
Membran post sinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema
yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal menonjol masuk
ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan ( celah- celah subneular )
yang sangat menambah luas permukaan. Membran post sinaps memiliki reseptor
reseptor asetilkolin dan sanggup menghasilkan potensial lempeng akhir yang
selanjutny dapat mencetuskan potensial aksi otot. pada membran post sinaps juga
terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinerase.
Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membran pra sinaps dan post
sinaps. Ruang tersebut terisi macam zat gelatin dan melalui gelatin ini cairan
ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka mebran akson
terminal prasinaps mengalami depolaisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan
dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini
menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada
membran postsinaps.
Infulks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeg akhir
(EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam
membran otot yang tidak berhubungan dengan sarf, yang akan disalurkan
sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang
melibatkan kontraksi serabut otot. Setelah transmisi melewati hubungan
neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase.
Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari
cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi
10
neuromuskular terganggu. Jumlah resiptor asekotilkolin berkurang, mungkin
akibat cidera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin banyak
ditemukan dalam serum penderita miestenia gravis. Akibat dari kerusakan
reseptor primer atau sekunder oleh suatu agen primer yang belum di kenal
merupakan faktor yang penting nilainya dalam penentuan patogenesis yang tepat
dari miastenia gravis.
Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak
normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak di pakai.secara
mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot rangka
tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten(Wilson price dan 1995).
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan
neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi
sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi
melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran
postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir
dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang
akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan
dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini
memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah
transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan
oleh enzim asetilkolinesterase
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas
dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada
membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi.
Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps
menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah
motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin
yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate
menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat
berlangsung lama.
11
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara
radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara
histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan.
Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih
tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo
potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus.
2.6 WOC
Terlampir
2.7 Manifestasi Klinis
Menurut Thumbelina, 2012, dalam Myastenia Gravis tanda dan gejala
awal dari myastenia gravis ini adalah berupa gangguan otot-otot okular yang
menimbulkan ptosis dan diplopia.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator
palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja,
maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan
kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan
ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan
(otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan
pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang
menggantung.
Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari
adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien
tidak lagi mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada
kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi
kelemahan pada semua otot-otot rangka.
Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan
dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat
menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab (SilviaA. Price, Lorain M.
Wilson. 1995.);
Berikut adalah faktor lai yang menyebabkan terjadiya myastenia gravis :
12
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi
selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid,
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagianatas, dan
infeksi yang disertai diare dan demam,
3. Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot
apabila mereka berada dalam keadaan tegang,
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin
(suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat
lainnya.
Pada pemeriksaan neurologik tidak ditemukan kelainan. Gejala kelemahan
otot dapat diprovokasi oleh aktivitas, stres, nervositas, demam dan obat-obat
tertentu seperti B-blocker, derivat kinine, aminoglikosida dan lain-lain.
Dahulu Miastenia gravis diduga tidak akan timbul sebelum pubertas, akan
tetapi dengan uji prostigmin dapat dibuktikan pada anak umur 18 bulan – 10
tahun. Endang Thamrin dan P. Nara, 1986 (dalam Millichap dan Dodge) membagi
Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe sebagai berikut :
1. Neonatal transient Miastenia gravis
Tipe ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita
Miastenia gravis. Beratnya gejala tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada
ibu . Segera atau beberapa jam setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan
gerakan berkurang, tidak dapat mengisap, sukar menelan, pernapasan melemah.
Gejalaini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi berangsur-angsur kembali
normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara transplasenter ke dalam tubuh
bayi.
2. Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis)
Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis.
Gejala hampir sama dengan tipe neonatal transient Miastenia gravis, bersifat
ringan, berlangsung lama,makin lama makin buruk . Relatif resisten terhadap
pengobatan dan remisi komplit jarang.
2. Juvenile Miastenia gravis
13
Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala
sama seperti pada orang dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis
atau gejala THT seperti gangguan mengunyah, menelan atau suara sengau.
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang biasanya terjadi pada klien dengan myastenia gravis
adalah sebagai berikut :
1. Gagal nafas
2. Disfagia
3. Komplikasi sekunder dari terapi obat
- Penggunaan steroid yang lama
a. Osteoporosis, katarak, hiperglikemi
b. Gastritis, penyakit peptic ulcer
c. Pneumocystis carinii
2.9 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada
orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang,
terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada
otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal,
10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat,
mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-
20 tahun dan ± 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal
penyakit terjadi pada 10% Miasteniagravis (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).
2.10 Penatalaksanaan
Pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang
ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selama
10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja
dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari factor-faktor pencetus
dan harus minum obat tepat pada waktunya (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson.
1995).
14
Walaupun belum didapatka penelitian terkait strategi pengobatan yang
pasti, tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat
diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan
(Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu :
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan
bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah
ambang rangsang dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin,
edroponium atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita,
biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat
dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak besar 30
mg, kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya
perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang
harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang
permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang
15
telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun ± 25%
penderita akan mengalami remisi klinik dan40-50% mengalami perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah
efek samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan
sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk
mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja
langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine,
Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin
(imuran) dengan dosis 2½ mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang
secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat
imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi
azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama
pada kasus-kasus berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat
diturunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b. Alat bantuan non medika mentosa Pada Miastenia gravis dengan ptosis
diberikan kaca mata khusus yang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata.
Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan
untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang merangsang,
menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi
neuromuskuler seperti B-blocker, derivat kinine, phenintoin, benzodiazepin,
antibiotika seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
16
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
Meliputi: nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
3.1.2 Riwayat Kesehatan
3.1.2.1 Keluhan Utama
Hal yang sering menyebabkan klien myastenia meminta bantuan medis
adalah karena adanya penurunan atau kelemahan pada otot, dengan
manifestasi: diplopia (penglihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata)
merupakan keluhan utama dari 90 % klien myastenia gravis, disfonia
(gangguan suara), masalah menelan dan mengunyah makanan. Pada
kondisi berat, keluhan utama biasanya adalah ketidakmampuan menutup
rahang, ketidakmampuan batuk efektif, dan dispnea.
3.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Myastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien
mencoba menelan (otot-otot palatum); menimbulkan suara yang abnormal
atau suara nasal; dan klien tidak mampu menutup mulut yang disebut
sebagai tanda rahang menggantung. Terserangnya otot-otot pernapasan
terlihat dari adanya batuk yang lemah, akhirnya dapat berupa serangan
dispnea dan klien tidak lagi mampu membersihkan lendir dari trakea dan
cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat
terserang pula; dapat pula terjadi kelemahan semua otot-otot rangka.
Biasanya gejala-gejala myastenia gravis dapat diredakan dengan
beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase.
3.1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji faktor-faaktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat
kondisi myastenia gravis, seperti hipertensi dan diabetes melitus.
3.1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai kesamaan
dengan keluhan klien saat ini
3.1.3 Pola Fungsional Gordon
17
a. Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan
Pasien myastenia gravis tidak dapat memenuhi/ merawat dirinya sendiri
tanpa bantuan orang lain.
b. Pola Aktivitas-Latihan
Terganggunya mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan fungsi otot
rangka.
c. Pola Nutrisi dan Metabolik
Adanya penurunan asupan nutrisi sehubungan ketidakmampuan menelan
makanan dan adanya peningkatan asam lambung yang menyebabkan klien
mual dan muntah
d. Pola Eliminasi
Adanya penurunan volume pengeluaran urine, yang berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e. Pola tidur dan istirahat
Kurang terpenuhinya kebutuhan istirahat dikarenakan ketidak efektifan
pola napas dan kebersihan jalan napas
f. Pola Kognitif dan sensorik
Pada pasien myastenia gravis daya penglihatannya, pendengaran,
penciuman, perabaan, dan kognitif pasien tidak mengalami gangguan.
g. Pola Toleransi diri-Koping Stress
Pada pasien myastenia gravis, koping terhadap stress, adaptasi terhadap
stress, pertahanan diri terhadap stress, dan pemecahan masalah
sepenuhnya diserahkan kepada keluarga.
h. Pola Persepsi diri-Konsep diri
Pada pasien myastenia gravis body image nya mengalami gangguan.
i. Pola Peran Hubungan
Peran sosial menjadi terganggu karena ketidakmampuan beraktifitas
normal.
j. Pola Seksual-Reproduktif
Kebutuhan seksual tidak terpenuhi
k. Pola nilai Kepercayaan
Meiputi agama, keyakinan, dan ritualitas
18
3.2 Pemeriksaan Fisik
3.2.1 B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif,
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien dengan kelemahan pada
otot-otot pernapasan.
3.2.2 B2 (Blood)
Hal yang harus dikaji pada sistem ini adalah denyut nadi dan tekanan darah
klien.
3.2.3 B3 (Brain)
3.2.3.1 Pengkajian Syaraf Kranial
3.2.3.1.1 Syaraf I
Biasanya pada pasien epilepsi tidak terdapat kelainan, terutama pada fungsi
penciuman.
3.2.3.1.2 Syaraf II
Terdapat penurunan pada tes ketajaman penglihatan, dan klien sering
mengeluhkan adanya penglihatan ganda.
3.2.3.1.3 Syaraf III, IV, dan VI
Pada sistem ini, serig ditemukan adanya ptosis, oftamoplegi, serta mimik dari
pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada nervus VI.
3.2.3.1.4 Syaraf V
Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-
otot wajah.
3.2.3.1.5 Syaraf VII
Terganggunya persepsi pengecapan akibat adanya gangguan motorik
lidah/triple-furrowed lidah.
3.2.3.1.6 Syaraf VIII
Tidak ditemukan adanya tuli kondusif dan tuli persepsi.
3.2.3.1.7 Syaraf IX dan X
Ditemukan adanya gangguan menelan pada klien.
3.2.3.1.8 Syaraf XI
Tidak ditemukan atrofi pada sternokleidomastoideus dan trapezius.
19
3.2.3.1.9 Syaraf XII
Lidah ditemukan tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat
kelemahan otot motorik pada lidah atau triple-furrowed lidah.
3.2.3.2 Pengkajian Sistem Motorik
Karakteristik utama myastenia gravis adalah adanya kelemahan pada sistem
motorik.
3.2.3.3 Pengkajian refleks
Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tedon, ligamentum atau
periosteum ditemukan derajat refleks pada respons normal.
3.2.3.4 Pengkajian Sistem Sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan sensasi raba dan
suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.
3.2.4 B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya ditemukan adanya penurunan
volume pengeluaran urine, yang berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
3.2.5 B5 (Bowel)
Adanya mual dan muntah sebagai akibat peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada kien dengan myastenia mengalami penurunan
karena ketidakmampuan menelan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan.
3.2.6 B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas
dan mengganggu aktivitas perawatan diri.
3.3 Diagnosa Keperawatan
3.3.1 Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan.
3.3.2 Jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan akumulasi sekret,
kemampuan batuk menurun.
3.3.3 Resiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan penurunan kontrol
tersedak dan batuk efektif.
3.3.4 Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan.
20
3.3.5 Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot
volunter.
3.3.6 Intoleransi aktifitas
3.3.7 Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia,
gangguan berbicara.
3.3.8 Gangguan citra diri yang berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal.
Aplikasi Nanda, NOC, dan NIC pada klien Myastenia Gravis
1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan.
Tujuan :
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien
kembali efektif
Kriteria Hasil :
Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalambatas normal, bunyi nafas
terdengar jelas, respiratorterpasang dengan optimal
Intervensi Rasional
a. Kaji kemampuan ventilasi Untuk klien dengan penurunan
kapasitas ventilasi, perawat
mengkaji frekuensi pernapasan,
kedalaman, dna bunyi nafas,
pantau hasil tes fungsi paru-paru
(volume
tidal, kapasitas vital, kekuatan
inspirasi), dengan interval yang
sering dalam mendeteksi
masalah pau-paru, sebelum
perubahan kadar gas darah arteri
dan sebelum tampak gejala
klinik.
b. Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman
pernapasan, laporkan setiap perubahan
Dengan mengkaji kualitas,
frekuensi, dan kedalaman
21
yang terjadi. pernapasan, kita dapat
mengetahui sejauh mana
perubahan kondisi klien.
c. Baringkan klien dalam posisi yang
nyaman dalam posisi duduk
Penurunan diafragma
memperluas daerah dada
sehingga ekspansi paru
bisa maksimal.
d. Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR). Peningkatan RR dan takikardi
merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot
volunter
Tujuan :
Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema
inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi
pernapasan minor yang tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki
paru-paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Kriteria Hasil :
Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit, dan kemampuan
batuk efektif dapat optimal,tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.
Intervensi Rasional
a. Kaji kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas
Menjadi data dasar dalam
melakukan intervensi
selanjutnya.
b. Atur cara beraktivitas klien sesuai
kemampuan.
Sasaran klien adalah
memperbaiki kekuatan dan daya
tahan. Menjadi partisipan dalam
pengobatan, klien harus belajar
tentang fakta-faakta dasar
mengenai agen-agen
antikolinesterase-kerja, waktu,
penyesuaian dosis, gejala-gejala
22
kelebihan dosis, dan efek toksik.
Dan yang penting pada
pengguaan medikasi dengan
tepat waktu adalah ketegasan.
c. Evaluasi kemampuan aktivitas motorik Menilai singkat keberhasilan
dari terapi yang boleh diberikan
3. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia,
gangguan berbicara
Tujuan :
Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu meng
ekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
Kriteria Hasil :
Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi, klien
mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi Rasional
a. Kaji komunikasi verbal klien Kelemahan otot-otot bicara klien
krisis miastenia gravis dapat
berakibat pada komunikasi.
b. Lakukan metode komunikasi yang
ideal sesuai dengan kondisi klien.
Teknik untuk meningkatkan
komunikasi meliputi
mendengarkan klien,
mengulangi apa yang mereka coba
komunikasikan dengan jelas dan
membuktikan yang
diinformasikan, berbicara
dengan klien terhadap kedipan
mata mereka dan atau
goyangkan jari-jari tangan atau
kaki untuk menjawab ya/tidak.
Setelah periode krisis klien
selalu mampu mengenal
kebutuhan mereka.
23
c. Beri peringatan bahwa klien di ruang
ini mengalami gangguan berbicara,
sediakan bel khusus bila perlu.
Untuk kenyamanan yang berhubungan
dengan ketidakmampuan
komunikasi.
d. Antisipasi dan bantu kebutuhan klien Membantu menurunkan frustasi
oleh karena ketergantungan atau
ketidakmampuan
berkomunikasi.
e. Ucapkan langsung kepada klien dengan
berbicara pelan dan tenang, gunakan
pertanyaan dengan jawaban ”ya” atau”tidak”
dan perhatikan respon klien
Mengurangi kebingungan atau
kecemasan terhadap banyaknya
informasi. Memajukan stimulasi
komunikasi ingatan dan kata-
kata.
f. Kolaborasi: konsultasi ke ahli terapi
bicara.
Mengkaji kemampuan verbal
individual, sensorik, dan
motorik, serta fungsi
kognitif untuk mengidentifikasi
defisit dan kebutuhan terapi.
4. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal.
Tujuan :
Citra diri klien meningkat.
Kriteria Hasil :
Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang
situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri
terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri
dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi Rasional
a. Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan
hubungan dengan derajat
ketidakmampuan
Menentukan bantuan individual
dalam menyusun rencana perawatan
atau pemilihan intervensi.
24
b. Identifikasi arti dari kehilangan atau
disfungsi pada klien.
Beberapa klien dapat menerima
dan mengatur beberapa fungsi
secara efektif dengan sedikit
penyesuaian diri, sedangkan
yang lain mempunyai kesulitan
membandingkan mengenal dan
mengatur kekurangan.
c. Bantu dan anjurkan perawatan yang baik
dan memperbaiki kebiasaan.
Membantu meningkatkan
perasaan hargadiri dan
mengontrol lebih dari satu area
kehidupan.
d. Anjurkan orang yang terdekat untuk
mengizinkan klien
melakukan hal untuk dirinya sebanyak-
banyaknya.
Menghidupkan kembali
perasaan kemandirian dan
membantu perkembangan harga
diri serta mempengaruhi proses
rehabilitasi.
e. Kolaborasi : rujuk padaahli
neuropsikologi dankonseling bila ada
indikasi.
Dapat memfasilitasi perubahan
peran yang penting untuk
perkembangan perasaan.
5. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan.
Tujuan :
- Klien tidak kekurangan nutrisi
- Klien dapat mengunyah dan menelan
Kriteria Hasil :
- BB tidak turun
- 1 porsi habis dalam sekali makan dalam 3x sehari
Intervensi Rasional
a. Kaji kemampuan pasien untuk
mengunyah, menelan, batuk dan
mengatasi sekresi
menentukan pemilihan terhadap
jenis makanan sehingga klien
harus terlindungi dari aspirasi
b. Timbang berat badan sesuai indikasi mengevaluasi keefektifan atau
25
kebutuhan mengubah pemberian
nutrisi
c. Tinggikan kepala tempat tidur selama
makan atau selama pemberian makan
lewat selang NG
menurunkan resiko regurgitasi
dan waktu terjadinya aspirasi
. d. Berikan makan dalam jumlah kecil dan
dalam waktu yang sering (3x sehari, 1
porsi) dengan teratur
meningkatkan proses
pencernaan dan toleransi klien
terhadap nutrisi yang diberikan
dan dapat meningkatkan
kerjasama pasien saat makan
6. Jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan akumulasi sekret,
kemampuan batuk menurun.
Tujuan :
Peningkatan dan mempertahankan keefektifan jalan nafas
Kriteria Hasil :
- Bunyi nafas terdengar bersih
- Trachea tube bebas hambatan
- Ronchi berkurang
Intervensi Rasional
a. auskultasi bunyi nafas tap 2-4 jam Mengevaluasi keefektifan jalan
nafas
b. Kaji suara nafas sebelum dan sesudah
penghisapan
Menentukan lokasi penumpukan
sekret dan mengevaluasi
keberhasilan tindakan
c. Lakukan fisiologi nafas / dada sesuai
indikasi dengan cara clapping,
vibrating, dan postural drainage
Untuk mengencerkan sekret
d. Lakukan penghisapan (suction) jika
terdengar ronchi
Untuk membersihkan sekret
e. Monitor status hidrosi klien Untuk mencegah sekrsesi mejadi
kental
26
f. Observasi tanda-tanda vital sebelum
dan sesudah melakukan tindakan
g. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat mukolitik
Untuk mengencerkan sekret dan
mempercepat proses
penyembuhan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
27
Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunter). (Muttaqin, 2012 dalam Price dan Wilson, 1995).
Miastenia gravis merupakan penyakit langka, dan dapat terjadi pada setiap
rentang usia. Biasanya penyakit ini lebih sering terlihat pada usia 20-50 tahun.
Namun, kasusnya lebih banyak ditemukan pada wanita dengan rasio 6:4. Pada
wanita, penyakit ini biasanya muncul pada rentang usia 15-35 tahun, sedangkan
pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun-an. Karakteristik yang
biasanya muncul adalah berupa kelemahan yang berlebihan yang umumnya terjadi
pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh syaraf-syaraf kranial.
4.2 Saran
Dengan adanya makalah ini, semoga dapat digunakan sebagai pedoman bagi
pembaca baik tenaga kesehatan khususnya perawat dalam pemberian asuhan
keperawatan secara professional. Selain itu pembaca diharapkan dapat
mengaplikasikan tindakan pencegahan dan penanggulangan untuk menghindari
penyakit Miastenia gravis ini. Mungkin dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan penyusunan makalah ini.
28
top related