bab isi

43
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter). (Muttaqin, 2012 dalam Price dan Wilson, 1995). Miastenia gravis merupakan penyakit dengan kerusakan otot yang parah dan merupakan penyakit neuromuskular dengan kombiasi atara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan yang diperlukan, yaitu 10-20 kali lebih lama dari keadaan normal. Miastenia gravis merupakan penyakit langka, dan dapat terjadi pada setiap rentang usia. Biasanya penyakit ini lebih sering terlihat pada usia 20-50 tahun. Namun, kasusnya lebih banyak ditemukan pada wanita dengan rasio 6:4. Pada wanita, penyakit ini biasanya muncul pada rentang usia 15-35 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun-an. Karakteristik yang biasanya muncul adalah berupa kelemahan yang berlebihan yang umumnya terjadi pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh syaraf-syaraf kranial. 1

Upload: afriliasafira

Post on 29-Nov-2015

33 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB ISI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi

neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang

(volunter). (Muttaqin, 2012 dalam Price dan Wilson, 1995).

Miastenia gravis merupakan penyakit dengan kerusakan otot yang parah

dan merupakan penyakit neuromuskular dengan kombiasi atara cepatnya terjadi

kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan yang diperlukan, yaitu 10-

20 kali lebih lama dari keadaan normal.

Miastenia gravis merupakan penyakit langka, dan dapat terjadi pada setiap

rentang usia. Biasanya penyakit ini lebih sering terlihat pada usia 20-50 tahun.

Namun, kasusnya lebih banyak ditemukan pada wanita dengan rasio 6:4. Pada

wanita, penyakit ini biasanya muncul pada rentang usia 15-35 tahun, sedangkan

pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun-an. Karakteristik yang

biasanya muncul adalah berupa kelemahan yang berlebihan yang umumnya terjadi

pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh syaraf-syaraf kranial.

Walaupun penyakit ini tergolong langka namun dampak yang

ditimbulkannya cukup berat yaitu berupa gangguan imobilitas fisik pada

penderitanya. Oleh karena itu, kami sebagai penulis memilih topik Myastenia

gravis pada penyusunan makalah ini dengan harapan pembaca memahami dan

memiliki kemauan dan kemampuan untuk hidup dengan sehat agar resiko

terjadinya penyakit ini dapat dikurangi.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan myastenia gravis?

1.2.2 Bagaimanakah anatomi dan fisiologi tubuh terkait penyakit myastenia

gravis?

1.2.3 Apa sajakah klasifikasi dari penyakit myastenia gravis?

1.2.4 Apa sajakah etiologi dari penyakit myastenia gravis?

1

Page 2: BAB ISI

1.2.5 Bagaimanakah patofisiologi dari penyakit myastenia gravis?

1.2.6 Bagaimanah WOC penyakit myastenia gravis?

1.2.7 Apa sajakah manifestasi klinis yang timbul pada klien dengan myastenia

gravis?

1.2.8 Apa sajakah komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit myastenia gravis?

1.2.9 Bagaimanakah prognosis dari penyakit myastenia gravis?

1.2.10 Bagaimanakah tata cara penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada klien

dengan myastenia gravis?

1.2.11 Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien myasthenia gravis ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1.3.1 Untuk mengetahui definisi myastenia gravis

1.3.2 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi tubuh terkait penyakit myastenia

gravis

1.3.3 Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit myastenia gravis

1.3.4 Untuk mengetahui etiologi dari penyakit myastenia gravis

1.3.5 Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit myastenia gravis

1.3.6 Untuk mengetahui WOC penyakit myastenia gravis

1.3.7 Untuk mengetahui manifestasi klinis yang timbul pada klien dengan

myastenia gravis

1.3.8 Untuk mengetahui komplikasi yang diakibatkan oleh penyakit myastenia

gravis

1.3.9 Untuk mengetahui prognosis dari penyakit myastenia gravis

1.3.10 Untuk mengetahui tata cara penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada

klien dengan myastenia gravis

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah tumbuhnya

kesadaran, serta kewaspadaan pembaca terhadap bahaya dan dampak buruk yang

diakibatkan oleh myastenia gravis, sehingga tumbuh kemauan dan kemampuan

2

Page 3: BAB ISI

untuk meminimalisir faktor resiko terjadinya penyakit myastenia gravis sehingga

dapat mengurangi angka kesakitan dari myastenia gravis itu sendiri.

3

Page 4: BAB ISI

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian Myastenia Gravis

Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi

neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang

(volunter). (Muttaqin, 2012 dalam Price dan Wilson, 1995).

Miastenia Gravis yang berarti “kelemahan otot yang serius” adalah satu-

satunya penyakit neuromuskuler yang menggabungkan kelelahan cepat otot

voluntar dan waktu penyembuhan yang lama (penyembuhan dapat butuh

waktu 10 hingga 20 kali lebih lama daripada normal). (Sylvia A. Price : 1148)

Miastenia Gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi

neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang

(volunter). (Brunner & Suddarth : 2196)

Secara garis besar penyakit myastenia gravis ini merupakan penyakit

autoimun didapat dengan transmisi syaraf-otot yang ditadai dengan kelemaha otot.

Penyakit ini dapat timbul pada semua rentang usia dan sedikit lebih banyak

menyerang perempuan daripada laki-lakidengan perbandingan 6:4. Namun pada

usia dewasa penyakit ini lebih sering ditemukan pada laki-laki.

4

Page 5: BAB ISI

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang

anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-

tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga

hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu

sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuscular

(Howard, 2008; Newton, 2008).

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang

disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di

sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post

sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian

pembentuk neuromuscular junction.

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran

post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu

lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa

yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi (Newton, 2008).

Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin

(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan

cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam

5

Page 6: BAB ISI

keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor

end plate) (Howard, 2008; Newton, 2008).

Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125

kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila

potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion

kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga

mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan

bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps.

Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan

reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik

2.3 Klasifikasi

Menurut Wahyudianto, R. 2012, dalam Myasthenia Gravis Foundation of

America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kelas I : Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat

menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal

b. Kelas II : Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta

adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

c. Kelas IIa : Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.

Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

d. Kelas IIb: Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau

keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial

lebih ringan dibandingkan klas IIa.

e. Kelas III : Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.

Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan

tingkat sedang

f. Kelas III a : Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang

ringan

g. Kelas III b : Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota

tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

6

Page 7: BAB ISI

h. Kelas IV : Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan

dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami

kelemahan dalam berbagai derajat

i. Kelas IV a : Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh

dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam

derajat ringan

j. Kelas IV b : Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau

keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada

otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat

ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

k. Kelas V : Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Sedangkan klasifikasi menurut Osserman adalah sebagai berikut :

1. Ocular miastenia

terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan

dan tidak ada kematian

2. Generalized myiasthenia

a) Mild generalized myiasthenia

Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-

otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot

baik.

b) Moderate generalized myasthenia

Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat

tidak memuaskan.

3. Severe generalized myasthenia

a. Acute fulmating myasthenia

Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi

penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang

memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi

thymoma

b. Late severe myasthenia

7

Page 8: BAB ISI

Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari

myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua

paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek

4. Myasthenia crisis

Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat

disebabkan : pekerjaan fisik yang berlebihan, emosi, infeksi, melahirkan anak.

2.4 Etiologi

Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan

transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan

unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel-partikel globuler

yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba

pada ujung akson, partikel globuler pecah dan Ach dibebaskan yang dapat

memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR)

pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat

otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian

terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada

Miasteniagravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat

kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor

imunologiklah yang berperanan (Wahyudianto, R, 2012, dalam Qittun, 2008).

Sedangkan menurut Thumbelina dalam Myastenia Gravis Penyebab Myasthenia

gravis dapat diakibatka oleh beberapa hal dibawah ini :

1. Myasthenia gravis adalah idiopatik pada kebanyakan pasien.

a. Penisilamin diketahui menyebabkan berbagai gangguan autoimun,

termasuk myasthenia gravis.

b. ACHR antibodi yang hadir di sekitar 90% dari pasien

mengembangkan myasthenia gravis sekunder untuk eksposur

penicillamine.

2. Berbagai obat bisa memperburuk gejala myasthenia gravis.

a. Antibiotik (misalnya, aminoglikosida, siprofloksasin, eritromisin,

ampisilin)

8

Page 9: BAB ISI

b. Beta-adrenergik reseptor memblokir agen (misalnya, propranolol,

oxprenolol)

c. Lithium

d. Magnesium

e. Procainamide

f. verapamil

g. kinidina

h. Klorokuin

i. Prednisone

j. timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaucoma)

k. Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl)

3. Agen yang memblokir neuromuskular, termasuk vecuronium dan curare,

harus digunakan hati-hati dalam myasthenics untuk menghindari blokade

neuromuskuler yang berkepanjangan.

2.5 Patofisiologi

Dasar ketidak normalan pada mestenia grafis adalah adanya kerusakan

pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena kehilangan

kemampuanatau hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan

neuro muscular.

Otot kerangka atau otot lurik di persarafi oleh saraf besar bermielin yang

berasal dari sel kornum anterior medula spinalis dan batang otak. Saraf-saraf ini

mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial menuju ke

perifer. Masing-masing saraf memiliki banyak sekali cabang dan mampu

merangsan sekitar 2.000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan

serabut-serabut otot yang di persarafi disebut unit motorik. Meskipun setiap

neuron motorik mempersarafi banyak serbut otot, tetapi setiap serabut otot di

persarafi oleh hanya satu neuron motorik(price dan wilson, 1995).

Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik

dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular dan hubungan neuromuskular.

Hubungan neuromuskukar merupakan suatu sinap kimia antara saraf dan otot

yang terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu unsur prasinaps, elemen postsinaps,

dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200 A. Unsur prasinaps terdiri

9

Page 10: BAB ISI

atas akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan

neurotransmiter.

Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran

plasma akson terminal diebut membran prasinaps. Unsur prosinaps terdiri dari

membran membran post sinaps ( post – functional membrane ) atu lempeng akhir

motorik serabut otot.

Membran post sinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema

yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal menonjol masuk

ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan ( celah- celah subneular )

yang sangat menambah luas permukaan. Membran post sinaps memiliki reseptor

reseptor asetilkolin dan sanggup menghasilkan potensial lempeng akhir yang

selanjutny dapat mencetuskan potensial aksi otot. pada membran post sinaps juga

terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinerase.

Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membran pra sinaps dan post

sinaps. Ruang tersebut terisi macam zat gelatin dan melalui gelatin ini cairan

ekstrasel dapat berdifusi.

Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka mebran akson

terminal prasinaps mengalami depolaisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan

dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung

dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini

menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada

membran postsinaps.

Infulks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba

menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeg akhir

(EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam

membran otot yang tidak berhubungan dengan sarf, yang akan disalurkan

sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang

melibatkan kontraksi serabut otot. Setelah transmisi melewati hubungan

neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim

asetilkolinesterase.

Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari

cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi

10

Page 11: BAB ISI

neuromuskular terganggu. Jumlah resiptor asekotilkolin berkurang, mungkin

akibat cidera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin banyak

ditemukan dalam serum penderita miestenia gravis. Akibat dari kerusakan

reseptor primer atau sekunder oleh suatu agen primer yang belum di kenal

merupakan faktor yang penting nilainya dalam penentuan patogenesis yang tepat

dari miastenia gravis.

Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak

normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak di pakai.secara

mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot rangka

tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten(Wilson price dan 1995).

Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan

neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi

sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi

melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran

postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap

natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir

dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang

akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan

dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini

memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah

transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan

oleh enzim asetilkolinesterase

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas

dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada

membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi.

Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps

menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah

motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin

yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate

menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat

berlangsung lama.

11

Page 12: BAB ISI

Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara

radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara

histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan.

Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih

tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo

potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus.

2.6 WOC

Terlampir

2.7 Manifestasi Klinis

Menurut Thumbelina, 2012, dalam Myastenia Gravis tanda dan gejala

awal dari myastenia gravis ini adalah berupa gangguan otot-otot okular yang

menimbulkan ptosis dan diplopia.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator

palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja,

maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan

kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan

ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan

(otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan

pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang

menggantung.

Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari

adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien

tidak lagi mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada

kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi

kelemahan pada semua otot-otot rangka.

Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan

dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat

menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab (SilviaA. Price, Lorain M.

Wilson. 1995.);

Berikut adalah faktor lai yang menyebabkan terjadiya myastenia gravis :

12

Page 13: BAB ISI

1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi

selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid,

2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagianatas, dan

infeksi yang disertai diare dan demam,

3. Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot

apabila mereka berada dalam keadaan tegang,

4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin

(suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat

lainnya.

Pada pemeriksaan neurologik tidak ditemukan kelainan. Gejala kelemahan

otot dapat diprovokasi oleh aktivitas, stres, nervositas, demam dan obat-obat

tertentu seperti B-blocker, derivat kinine, aminoglikosida dan lain-lain.

Dahulu Miastenia gravis diduga tidak akan timbul sebelum pubertas, akan

tetapi dengan uji prostigmin dapat dibuktikan pada anak umur 18 bulan – 10

tahun. Endang Thamrin dan P. Nara, 1986 (dalam Millichap dan Dodge) membagi

Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe sebagai berikut :

1. Neonatal transient Miastenia gravis

Tipe ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita

Miastenia gravis. Beratnya gejala tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada

ibu . Segera atau beberapa jam setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan

gerakan berkurang, tidak dapat mengisap, sukar menelan, pernapasan melemah.

Gejalaini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi berangsur-angsur kembali

normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara transplasenter ke dalam tubuh

bayi.

2. Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis)

Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis.

Gejala hampir sama dengan tipe neonatal transient Miastenia gravis, bersifat

ringan, berlangsung lama,makin lama makin buruk . Relatif resisten terhadap

pengobatan dan remisi komplit jarang.

2. Juvenile Miastenia gravis

13

Page 14: BAB ISI

Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala

sama seperti pada orang dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis

atau gejala THT seperti gangguan mengunyah, menelan atau suara sengau.

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang biasanya terjadi pada klien dengan myastenia gravis

adalah sebagai berikut :

1. Gagal nafas

2. Disfagia

3. Komplikasi sekunder dari terapi obat

- Penggunaan steroid yang lama

a. Osteoporosis, katarak, hiperglikemi

b. Gastritis, penyakit peptic ulcer

c. Pneumocystis carinii

2.9 Prognosis

Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada

orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang,

terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada

otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal,

10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat,

mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-

20 tahun dan ± 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal

penyakit terjadi pada 10% Miasteniagravis (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).

2.10 Penatalaksanaan

Pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang

ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selama

10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja

dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari factor-faktor pencetus

dan harus minum obat tepat pada waktunya (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson.

1995).

14

Page 15: BAB ISI

Walaupun belum didapatka penelitian terkait strategi pengobatan yang

pasti, tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat

diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi

merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase

biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien

dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang

rutin.

Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan

pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya

mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.

Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan

kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi

memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan

(Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).

Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu :

1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:

a. Istirahat

Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan

bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah

ambang rangsang dapat berkontraksi.

b. Memblokir pemecahan Ach

Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin,

edroponium atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita,

biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat

dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak besar 30

mg, kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.

2. Mempengaruhi proses imunologik

a. Timektomi

Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya

perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang

harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang

permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang

15

Page 16: BAB ISI

telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun ± 25%

penderita akan mengalami remisi klinik dan40-50% mengalami perbaikan.

b. Kortikosteroid

Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah

efek samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan

sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk

mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja

langsung pada transmisi neromuskuler.

c. Imunosupresif

Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine,

Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin

(imuran) dengan dosis 2½ mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang

secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum

memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat

imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi

azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama

pada kasus-kasus berat.

d. Plasma exchange

Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat

diturunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik.

3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot

Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:

a. Penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.

b. Alat bantuan non medika mentosa Pada Miastenia gravis dengan ptosis

diberikan kaca mata khusus yang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata.

Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan

untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang merangsang,

menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi

neuromuskuler seperti B-blocker, derivat kinine, phenintoin, benzodiazepin,

antibiotika seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

16

Page 17: BAB ISI

3.1 Pengkajian

3.1.1 Identitas

Meliputi: nama, alamat, umur, jenis kelamin, status

3.1.2 Riwayat Kesehatan

3.1.2.1 Keluhan Utama

Hal yang sering menyebabkan klien myastenia meminta bantuan medis

adalah karena adanya penurunan atau kelemahan pada otot, dengan

manifestasi: diplopia (penglihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak mata)

merupakan keluhan utama dari 90 % klien myastenia gravis, disfonia

(gangguan suara), masalah menelan dan mengunyah makanan. Pada

kondisi berat, keluhan utama biasanya adalah ketidakmampuan menutup

rahang, ketidakmampuan batuk efektif, dan dispnea.

3.1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Myastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.

Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien

mencoba menelan (otot-otot palatum); menimbulkan suara yang abnormal

atau suara nasal; dan klien tidak mampu menutup mulut yang disebut

sebagai tanda rahang menggantung. Terserangnya otot-otot pernapasan

terlihat dari adanya batuk yang lemah, akhirnya dapat berupa serangan

dispnea dan klien tidak lagi mampu membersihkan lendir dari trakea dan

cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat

terserang pula; dapat pula terjadi kelemahan semua otot-otot rangka.

Biasanya gejala-gejala myastenia gravis dapat diredakan dengan

beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase.

3.1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji faktor-faaktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat

kondisi myastenia gravis, seperti hipertensi dan diabetes melitus.

3.1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai kesamaan

dengan keluhan klien saat ini

3.1.3 Pola Fungsional Gordon

17

Page 18: BAB ISI

a. Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan

Pasien myastenia gravis tidak dapat memenuhi/ merawat dirinya sendiri

tanpa bantuan orang lain.

b. Pola Aktivitas-Latihan

Terganggunya mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan fungsi otot

rangka.

c. Pola Nutrisi dan Metabolik

Adanya penurunan asupan nutrisi sehubungan ketidakmampuan menelan

makanan dan adanya peningkatan asam lambung yang menyebabkan klien

mual dan muntah

d. Pola Eliminasi

Adanya penurunan volume pengeluaran urine, yang berhubungan dengan

penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

e. Pola tidur dan istirahat

Kurang terpenuhinya kebutuhan istirahat dikarenakan ketidak efektifan

pola napas dan kebersihan jalan napas

f. Pola Kognitif dan sensorik

Pada pasien myastenia gravis daya penglihatannya, pendengaran,

penciuman, perabaan, dan kognitif pasien tidak mengalami gangguan.

g. Pola Toleransi diri-Koping Stress

Pada pasien myastenia gravis, koping terhadap stress, adaptasi terhadap

stress, pertahanan diri terhadap stress, dan pemecahan masalah

sepenuhnya diserahkan kepada keluarga.

h. Pola Persepsi diri-Konsep diri

Pada pasien myastenia gravis body image nya mengalami gangguan.

i. Pola Peran Hubungan

Peran sosial menjadi terganggu karena ketidakmampuan beraktifitas

normal.

j. Pola Seksual-Reproduktif

Kebutuhan seksual tidak terpenuhi

k. Pola nilai Kepercayaan

Meiputi agama, keyakinan, dan ritualitas

18

Page 19: BAB ISI

3.2 Pemeriksaan Fisik

3.2.1 B1 (Breathing)

Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif,

produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan

frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien dengan kelemahan pada

otot-otot pernapasan.

3.2.2 B2 (Blood)

Hal yang harus dikaji pada sistem ini adalah denyut nadi dan tekanan darah

klien.

3.2.3 B3 (Brain)

3.2.3.1 Pengkajian Syaraf Kranial

3.2.3.1.1 Syaraf I

Biasanya pada pasien epilepsi tidak terdapat kelainan, terutama pada fungsi

penciuman.

3.2.3.1.2 Syaraf II

Terdapat penurunan pada tes ketajaman penglihatan, dan klien sering

mengeluhkan adanya penglihatan ganda.

3.2.3.1.3 Syaraf III, IV, dan VI

Pada sistem ini, serig ditemukan adanya ptosis, oftamoplegi, serta mimik dari

pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motorik pada nervus VI.

3.2.3.1.4 Syaraf V

Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-

otot wajah.

3.2.3.1.5 Syaraf VII

Terganggunya persepsi pengecapan akibat adanya gangguan motorik

lidah/triple-furrowed lidah.

3.2.3.1.6 Syaraf VIII

Tidak ditemukan adanya tuli kondusif dan tuli persepsi.

3.2.3.1.7 Syaraf IX dan X

Ditemukan adanya gangguan menelan pada klien.

3.2.3.1.8 Syaraf XI

Tidak ditemukan atrofi pada sternokleidomastoideus dan trapezius.

19

Page 20: BAB ISI

3.2.3.1.9 Syaraf XII

Lidah ditemukan tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat

kelemahan otot motorik pada lidah atau triple-furrowed lidah.

3.2.3.2 Pengkajian Sistem Motorik

Karakteristik utama myastenia gravis adalah adanya kelemahan pada sistem

motorik.

3.2.3.3 Pengkajian refleks

Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tedon, ligamentum atau

periosteum ditemukan derajat refleks pada respons normal.

3.2.3.4 Pengkajian Sistem Sensorik

Pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan sensasi raba dan

suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh.

3.2.4 B4 (Bladder)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya ditemukan adanya penurunan

volume pengeluaran urine, yang berhubungan dengan penurunan perfusi dan

penurunan curah jantung ke ginjal.

3.2.5 B5 (Bowel)

Adanya mual dan muntah sebagai akibat peningkatan produksi asam

lambung. Pemenuhan nutrisi pada kien dengan myastenia mengalami penurunan

karena ketidakmampuan menelan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan.

3.2.6 B6 (Bone)

Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada mobilitas

dan mengganggu aktivitas perawatan diri.

3.3 Diagnosa Keperawatan

3.3.1 Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot

pernafasan.

3.3.2 Jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan akumulasi sekret,

kemampuan batuk menurun.

3.3.3 Resiko tinggi aspirasi yang berhubungan dengan penurunan kontrol

tersedak dan batuk efektif.

3.3.4 Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan

ketidakmampuan menelan.

20

Page 21: BAB ISI

3.3.5 Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot

volunter.

3.3.6 Intoleransi aktifitas

3.3.7 Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia,

gangguan berbicara.

3.3.8 Gangguan citra diri yang berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan

komunikasi verbal.

Aplikasi Nanda, NOC, dan NIC pada klien Myastenia Gravis

1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan otot

pernafasan.

Tujuan :

Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola pernapasan klien

kembali efektif

Kriteria Hasil :

Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalambatas normal, bunyi nafas

terdengar jelas, respiratorterpasang dengan optimal

Intervensi Rasional

a. Kaji kemampuan ventilasi Untuk klien dengan penurunan

kapasitas ventilasi, perawat

mengkaji frekuensi pernapasan,

kedalaman, dna bunyi nafas,

pantau hasil tes fungsi paru-paru

(volume

tidal, kapasitas vital, kekuatan

inspirasi), dengan interval yang

sering dalam mendeteksi

masalah pau-paru, sebelum

perubahan kadar gas darah arteri

dan sebelum tampak gejala

klinik.

b. Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman

pernapasan, laporkan setiap perubahan

Dengan mengkaji kualitas,

frekuensi, dan kedalaman

21

Page 22: BAB ISI

yang terjadi. pernapasan, kita dapat

mengetahui sejauh mana

perubahan kondisi klien.

c. Baringkan klien dalam posisi yang

nyaman dalam posisi duduk

Penurunan diafragma

memperluas daerah dada

sehingga ekspansi paru

bisa maksimal.

d. Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR). Peningkatan RR dan takikardi

merupakan indikasi adanya

penurunan fungsi paru.

2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot

volunter

Tujuan :

Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan edema

inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi

pernapasan minor yang tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki

paru-paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.

Kriteria Hasil :

Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit, dan kemampuan

batuk efektif dapat optimal,tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.

Intervensi Rasional

a. Kaji kemampuan klien dalam

melakukan aktivitas

Menjadi data dasar dalam

melakukan intervensi

selanjutnya.

b. Atur cara beraktivitas klien sesuai

kemampuan.

Sasaran klien adalah

memperbaiki kekuatan dan daya

tahan. Menjadi partisipan dalam

pengobatan, klien harus belajar

tentang fakta-faakta dasar

mengenai agen-agen

antikolinesterase-kerja, waktu,

penyesuaian dosis, gejala-gejala

22

Page 23: BAB ISI

kelebihan dosis, dan efek toksik.

Dan yang penting pada

pengguaan medikasi dengan

tepat waktu adalah ketegasan.

c. Evaluasi kemampuan aktivitas motorik Menilai singkat keberhasilan

dari terapi yang boleh diberikan

3. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan disfonia,

gangguan berbicara

Tujuan :

Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu meng

ekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.

Kriteria Hasil :

Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi, klien

mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

Intervensi Rasional

a. Kaji komunikasi verbal klien Kelemahan otot-otot bicara klien

krisis miastenia gravis dapat

berakibat pada komunikasi.

b. Lakukan metode komunikasi yang

ideal sesuai dengan kondisi klien.

Teknik untuk meningkatkan

komunikasi meliputi

mendengarkan klien,

mengulangi apa yang mereka coba

komunikasikan dengan jelas dan

membuktikan yang

diinformasikan, berbicara

dengan klien terhadap kedipan

mata mereka dan atau

goyangkan jari-jari tangan atau

kaki untuk menjawab ya/tidak.

Setelah periode krisis klien

selalu mampu mengenal

kebutuhan mereka.

23

Page 24: BAB ISI

c. Beri peringatan bahwa klien di ruang

ini mengalami gangguan berbicara,

sediakan bel khusus bila perlu.

Untuk kenyamanan yang berhubungan

dengan ketidakmampuan

komunikasi.

d. Antisipasi dan bantu kebutuhan klien Membantu menurunkan frustasi

oleh karena ketergantungan atau

ketidakmampuan

berkomunikasi.

e. Ucapkan langsung kepada klien dengan

berbicara pelan dan tenang, gunakan

pertanyaan dengan jawaban ”ya” atau”tidak”

dan perhatikan respon klien

Mengurangi kebingungan atau

kecemasan terhadap banyaknya

informasi. Memajukan stimulasi

komunikasi ingatan dan kata-

kata.

f. Kolaborasi: konsultasi ke ahli terapi

bicara.

Mengkaji kemampuan verbal

individual, sensorik, dan

motorik, serta fungsi

kognitif untuk mengidentifikasi

defisit dan kebutuhan terapi.

4. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan

komunikasi verbal.

Tujuan :

Citra diri klien meningkat.

Kriteria Hasil :

Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang

situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri

terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri

dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.

Intervensi Rasional

a. Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan

hubungan dengan derajat

ketidakmampuan

Menentukan bantuan individual

dalam menyusun rencana perawatan

atau pemilihan intervensi.

24

Page 25: BAB ISI

b. Identifikasi arti dari kehilangan atau

disfungsi pada klien.

Beberapa klien dapat menerima

dan mengatur beberapa fungsi

secara efektif dengan sedikit

penyesuaian diri, sedangkan

yang lain mempunyai kesulitan

membandingkan mengenal dan

mengatur kekurangan.

c. Bantu dan anjurkan perawatan yang baik

dan memperbaiki kebiasaan.

Membantu meningkatkan

perasaan hargadiri dan

mengontrol lebih dari satu area

kehidupan.

d. Anjurkan orang yang terdekat untuk

mengizinkan klien

melakukan hal untuk dirinya sebanyak-

banyaknya.

Menghidupkan kembali

perasaan kemandirian dan

membantu perkembangan harga

diri serta mempengaruhi proses

rehabilitasi.

e. Kolaborasi : rujuk padaahli

neuropsikologi dankonseling bila ada

indikasi.

Dapat memfasilitasi perubahan

peran yang penting untuk

perkembangan perasaan.

5. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan

ketidakmampuan menelan.

Tujuan :

- Klien tidak kekurangan nutrisi

- Klien dapat mengunyah dan menelan

Kriteria Hasil :

- BB tidak turun

- 1 porsi habis dalam sekali makan dalam 3x sehari

Intervensi Rasional

a. Kaji kemampuan pasien untuk

mengunyah, menelan, batuk dan

mengatasi sekresi

menentukan pemilihan terhadap

jenis makanan sehingga klien

harus terlindungi dari aspirasi

b. Timbang berat badan sesuai indikasi mengevaluasi keefektifan atau

25

Page 26: BAB ISI

kebutuhan mengubah pemberian

nutrisi

c. Tinggikan kepala tempat tidur selama

makan atau selama pemberian makan

lewat selang NG

menurunkan resiko regurgitasi

dan waktu terjadinya aspirasi

.     d. Berikan makan dalam jumlah kecil dan

dalam waktu yang sering (3x sehari, 1

porsi) dengan teratur

meningkatkan proses

pencernaan dan toleransi klien

terhadap nutrisi yang diberikan

dan dapat meningkatkan

kerjasama pasien saat makan

6. Jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan akumulasi sekret,

kemampuan batuk menurun.

Tujuan :

Peningkatan dan mempertahankan keefektifan jalan nafas

Kriteria Hasil :

- Bunyi nafas terdengar bersih

- Trachea tube bebas hambatan

- Ronchi berkurang

Intervensi Rasional

a. auskultasi bunyi nafas tap 2-4 jam Mengevaluasi keefektifan jalan

nafas

b. Kaji suara nafas sebelum dan sesudah

penghisapan

Menentukan lokasi penumpukan

sekret dan mengevaluasi

keberhasilan tindakan

c. Lakukan fisiologi nafas / dada sesuai

indikasi dengan cara clapping,

vibrating, dan postural drainage

Untuk mengencerkan sekret

d. Lakukan penghisapan (suction) jika

terdengar ronchi

Untuk membersihkan sekret

e. Monitor status hidrosi klien Untuk mencegah sekrsesi mejadi

kental

26

Page 27: BAB ISI

f. Observasi tanda-tanda vital sebelum

dan sesudah melakukan tindakan

g. Kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian obat mukolitik

Untuk mengencerkan sekret dan

mempercepat proses

penyembuhan

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

27

Page 28: BAB ISI

Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi

neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang

(volunter). (Muttaqin, 2012 dalam Price dan Wilson, 1995).

Miastenia gravis merupakan penyakit langka, dan dapat terjadi pada setiap

rentang usia. Biasanya penyakit ini lebih sering terlihat pada usia 20-50 tahun.

Namun, kasusnya lebih banyak ditemukan pada wanita dengan rasio 6:4. Pada

wanita, penyakit ini biasanya muncul pada rentang usia 15-35 tahun, sedangkan

pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun-an. Karakteristik yang

biasanya muncul adalah berupa kelemahan yang berlebihan yang umumnya terjadi

pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh syaraf-syaraf kranial.

4.2 Saran

Dengan adanya makalah ini, semoga dapat digunakan sebagai pedoman bagi

pembaca baik tenaga kesehatan khususnya perawat dalam pemberian asuhan

keperawatan secara professional. Selain itu pembaca diharapkan dapat

mengaplikasikan tindakan pencegahan dan penanggulangan untuk menghindari

penyakit Miastenia gravis ini. Mungkin dalam penyusunan makalah ini masih

banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi

kesempurnaan penyusunan makalah ini.

28