bab ii tinjauan pustaka a....
Post on 13-Mar-2019
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior)
(Notoatmodjo, 2007).
2. Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif
Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan.
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintepretasikan
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham tehadap objek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
9
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang real (sebenarnya). Aplikasi
di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang
lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi barudari
formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian- penilaian itu
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat
membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang
kekurangan gizi, dapat menafsirkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu tidak
mau ikut KB dan sebagainya. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman
pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan
dengan tingkatan-tingkatan di atas.
10
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Iqbal (2011) terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi
pengetahuan yaitu :
a. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang
lain agar dapat memahami sesuatu hal. Bahwa semakin tinggi pendidikan
seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada
akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak.
Sebaliknya, jika pendidikan yang rendah, maka akan menghambat
perkembangan orang tersebut terhadap penerimaan infomasi dan nilai-
nilai yang baru diperkenalkan.
b. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat membuat seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
c. Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek
fisik dan psikologi (mental). Pada aspek psikologis atau mental, taraf
berpikir seseorang menjadi semakin matang dan dewasa.
d. Minat
Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap
sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni
sesuatu hal, sehingga seseorang memperoleh pengetahuan yang lebih
mendalam.
e. Pengalaman
Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
f. Kebudayaan lingkungan sekitar
Lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau
sikap seseorang. Kebudayaan lingkungan tempat tinggal sangat
berpengaruh besar dalam pembentukan sikap.
11
g. Informasi
Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat mempercepat
seseorang memperoleh pengetahuan yang baru.
4. Kategori Tingkat Pengetahuan
Menurut Arikunto (2006), kategori pengetahuan dapat ditentukan dengan
kriteria sebagai berikut :
a. Baik bila nilai akumulasi 80% – 100%
b. Sedang bila nilai akumulasi 60% – 80%
c. Kurang bila nilai akumilasi <60%
B. Sikap
1. Pengertian
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari- hari merupakan
reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah
seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan
motif tertentu. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, akan tetapi
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan
reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku terbuka.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).
2. Komponen Pokok Sikap
Allort (1954) dalam Notoatmodjo (2007), menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai 3 komponen pokok, yaitu :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
12
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan dan emosi memegang peranan penting.
3. Berbagai Tingkatan Sikap
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap terdiri dari berbagai tingkatan antara
lain:
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan
suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti
bahwa orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu yang
mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya dan sebagainya) untuk
pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang
gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap
positif terhadap gizi anak.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
13
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap.
Menurut Azwar (2001), ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap,
yaitu :
a. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komoponen
sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang dianggap
penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak,
tingkah dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan
atau seseorang yang berarti khusus bagi kita akan mempengaruhi
pembentkan sikap kita terhadap sesuatu. Contoh : Orang tua, teman
sebaya, teman dekat, guru, istri, suami dan lain-lain.
c. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh
besar terhadap pembentukan sikap kita.
d. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar
dalam pembentukan opini dan kepercayaan. Adanya informasi baru
mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut.
e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu system
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam arti individu.
f. Pengaruh faktor emosional
Tidak semua bentuk sikap dipengaruhi oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang, kadang-kadang sesuatu bentuk sikap
14
merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai
penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
5. Pengukuran sikap
Menurut Azwar (2010), salah satu aspek yang sangat penting guna
memahami sikap dan perilaku manusia adalah pengungkapan (assesmant)
atau pengukuran (measurement) sikap. Sikap merupakan respons evaluatif
yang dapat berbentuk positif maupun negatif. Sikap mempunyai arah,
artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau
tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak
terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek. Orang yang setuju,
mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap berarti memiliki sikap
yang arahnya positif sebaiknya mereka yang tidak setuju atau tidak
mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap arahnya positif sebaiknya
mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki
sikap yang arahnya positif.
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap
seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan
sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap
mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap,
yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap.
Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya
pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap
yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap.
Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel.
Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan
favourable dan tidak favourable dalam jumlah yang seimbang. Dengan
demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua
negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama
sekali obyek sikap (Azwar, 2010 ).
15
C. Perilaku
1. Batasan Perilaku
Perilaku adalah segala bentuk tanggapan dari individu terhadap
lingkungannya (Budioro, 2007). Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo
(2007) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu
organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama
dengan sikap. Perilaku seseorang dibentuk melalui sesuatu proses dan
berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.
Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007), merumuskan bahwa perilaku
merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons. Skinner
(1938) membedakan adanya dua respons:
a. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Misalnya: makanan yang
lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan
mata tertutup, dan sebagainya.
b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul
dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang
tertentu. Misalnya: apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan
tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya) kemudian
memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas
kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.
2. Proses Adopsi Perilaku
Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007), mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam
diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu,
16
b. Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus,
c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi,
d. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru,
e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesedaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Perilaku pada manusia dipengaruhi beberapa faktor. Lawrence Green yang
dikutip oleh Soekidjo Notoatmojo (2007) membagi faktor-faktor tersebut
menjadi tiga bagian, yang meliputi faktor predisposisi (predisposing
factors), faktor pendukung (enabling factors), dan faktor pendorong
(reinforcing factors).
a. Faktor Predisposisi (predisposing factors)
Merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perilaku yang meliputi
pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan
kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan,
tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut
mempengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam perilaku kesehatan.
b. Faktor Pendukung (enabling factors)
Merupakan faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku. Faktor ini
meliputi ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan,
misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan
tinja dan sebagainya.
c. Faktor Pendorong (reinforcing factors)
Merupakan faktor yang memperkuat terjadinya perubahan perilaku.
Faktor ini meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan maupun tokoh
masyarakat. Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang
17
lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi
pendidikan membagi perilaku kedalam 3 domain (ranah atau kawasan),
meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyi batasan yang jelas
dan tegas. Ketiga domain itu adalah pengetahuan, sikap dan perilaku
(Notoatmodjo, 2007).
4. Perilaku Kesehatan
Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi 3
kelompok.
a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintenance)
Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau
menjaga kesehatan agar agar tidak sakit dan usaha untuk menyembuhkan
bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kasehatan terdiri 3 aspek yaitu:
perilaku pencegahan penyakit, perilaku peningkatan kesehatan, dan
perilaku gizi (makanan dan minuman).
b. Perilaku pencarian dan penggunaan system atau fasilitas pelayanan
kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health
seeking behavior). Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan
seseorang pada saat menderita penyakit. Perilaku ini dimulai dari
mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar
negeri.
c. Perilaku kesehatan lingkungan
Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan social budaya, dan
sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi
kesehatannya.
D. Perilaku Pencegahan
Menurut Noor (2006) Perilaku pencegahan adalah mengambil tindakan terlebih
dahulu sebelum kejadian. Dalam mengambil langkah-langkah untuk
pencegahan haruslah didasarkan pada data/keterangan yang bersumber dari
18
hasil analisis epidemiologi atau hasil pengamatan/penelitian epidemiologis.
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum,yakni:
1. Pencegahan tingkat pertama
Saran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada faktor penyebab,
lingkungan serta faktor pejamu.
a. Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk
mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah
mungkin dengan usaha antara lain: desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi,
yang bertujuan untuk menghilangkan mokro-organisme penyebab
penyakit, penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan
menghilangkan sumber penularan maupun memutuskan rantai penularan,
di samping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan
rantai penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi/menghilangkan
sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan penderita serta
pemusnahan sumber yang ada (biasanya pada binatang yang menderita),
serta mengurangi/menghindari perilaku yang dapat meningkatkan risiko
perorangan dan masyarakat.
b. Mengatasi/modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik
seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta
bentuk pemukiman lainya. Perbaikan dan peningkatan lingkungan
biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta
peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga,
hubungan antarindividu dan kehidupan sosial masyarakat.
c. Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi,
status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian
imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya, peningkatan
status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari
pengaruh faktor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui
peningkatan kualitas gizi, serta olah raga kesehatan.
19
2. Pencegahan tingkat kedua
Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan pada mereka yang menderita
atau dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa
tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya
penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta mencegah terjadinya
akibat samping atau komlpikasi.
a. pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha
surveilans penyakit tertentu, pemeriksaan berkala serta pemeriksaan
kelompok tertentu (calon pegawai, ABRI, mahasiswa dsb), penyaringan
(screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta
pengobatan dan perawatan yang efektif.
b. Pemberiann chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai
berada pada proses prepatogenesis dan patognesi penyakit tertentu.
3. Pencegahan tingkat ketiga
Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit tertentu
dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan
permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah
kematian akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam mencegah proses
penyakit lebih lanjut seperti pada penderita diabetes melitus (kencing
manis), penderita tuberkulosis paru yang berat, penderita penyakit measles
agar jangan terjadi komplikasi dan lain sebagainya. Pada tingkat ini juga
dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari
penyembuhan suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha
pengembangan fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin yang
meliputi rehabilitasi fisik/medis, rehabilitasi mental/psikologis serta
rahabilitasi sosial.
20
E. Hepatitis B
1. Pengertian
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) menyatakan bahwa hepatitis merupakan
inflamasi pada sel-sel hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis
biokimia serta seluler. Infeksi virus hepatitis B merupakan penyakit infeksi
disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) yang dapat menimbulkan
peradangan dan bahkan kerusakan sel-sel hati atau hepatitis (Cahyono,
2010).
2. Virus Hepatitis B
Dalam buku Brunner & Suddarth (2002), komponen virus hepatitis B
(VHB) merupakan virus DNA yang tersusun dari partikel antigen berikut
ini:
a. HBcAg : antigen inti (core) hepatitis B (material antigen terdapat di inti
sebelah dalam/ inner core)
b. HBsAg : antigen permukaan (surface) hepatitis B (material antigen pada
permukaan HBV)
c. HBeAg : protein independen yang beredar dalam darah
d. HBxAg : produk genetik dari gen X pada HBV/DNA.
Setiap antigen menimbulkan antibodi spesifiknya sebagai berikut :
a. Anti-HBc : antibodi terhadap antigen inti atau HBV, anti HBc akan
bertahan selama fase akut, dapat menunjukkan virus hepatitis B yang
berlanjut dalam hati.
b. Anti-HBs : antibodi terhadap permukaan tertentu pada HBV, terdeteksi
selama fase konvalesensi lanjut, biasanya menunjukkan pemulihan dan
pembentukan imunitas.
c. Anti-HBe : antibodi terhadap antigen e hepatitis B, biasanya menyatakan
penurunan infektifitas.
d. Anti-HBxAg : antibodi terhadap antigen x hepatitis B, dapat
menunjukkan replikasi HBV yang tengah berlangsung.
21
Diagnosis pasti hepatitis virus B dapat diketahui dengan pemeriksaan
HBsAg. Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk diagnosis hepatitis B, yaitu
serologi atau test darah dan biopsi liver atau pengambilan sempel jaringan
liver. Diagnosis virus hepatitis B dimulai dengan test darah (serology).
Serum darah pasien diperiksa dan mereka yang terkena HVB kronis ataupun
akut, pasti di dalam darahnya akan ditemukan hepatitis B surface antigen
(HBsAg). HBsAg pada penderita akut bisa dideteksi beberapa minggu
setelah infeksi dan munculnya bersama dengan timbulnya gejala hepatitis.
Untuk memastikan diagnosa yang ke dua, maka dilakukan biopsi pada liver.
Penderita kronis (tanpa gejala, HBsAg positif, dan terdapat aktifitas
aminotransparase serum yang normal) biasanya tidak mengalami atau
sedikit peradangan saat jaringannya diambil lewat biopsi. Pada pasien
tersebut yang terlihat adalah “sel kaca buram” yaitu sel liver yang
didalamnya terdapat sejumlah besar HBsAg yang sedang disintesa. HBsAg
muncul dalam sirkulasi darah pada 80% hingga 90% pasien yang terinfeksi
1 hingga 10 minggu setelah kontak dengan HBV dan 2 hingga 8 minggu
sebelum munculnya gejala atau meningkatnya kadar transferase
(transminase). Orang-orang dengan HBsAg yang bertahan selama 6 bulan
atau lebih sesudah mengalami infeksi akut dinyatakan sebagai karier HBsAg
(Bar, 2002).
HBcAg merupakan antigen HBV yang muncul berikutnya dalam serum.
Biasanya antigen ini muncul dalam waktu 1 minggu setelah munculnya
HBsAg dan sebelum terjadinya perubahan kadar aminotransferase untuk
kemudian menghilang dari serum dalam waktu 2 minggu. DNA HBV yang
terdeteksi lewat pemeriksaan reaksi rantai polymerase (PCR ; polymerase
chain reaction), muncul dalam serum pada saat kurang lebih HBcAg.
HBcAg tidak selalu terdeteksi dalam serum pada infeksi HBV . Sekitar 15%
dari orang-orang dewasa di Amerika menunjukkan hasil pemeriksaan anti-
HBs yang positif, yang menunjukkan bahwa meraka pernah menderita
22
hepatitis B. Anti-HBs positif pada 2/3 dari pemakai obat bius IV (Bar,
2002).
3. Penyebab Hepatitis
Menurut Sari (2008), penyebab hepatitis adalah infeksi virus, penyakit lain
yang mungkin timbul, alkohol, obat-obatan atau zat kimia dan penyakit
autoimun.
a. Infeksi Virus
Sebagian besar kasus hepatitis disebabkan oleh virus yang dibedakan
jenisnya menurut abjad, yakni virus hepatitis A, B, C, D, E, F, dan G.
diantara ketujuh jenis hepatitis tersebut, hepatitis A, B, C merupakan
jenis terbanyak yang sering dijumpai. Adapun hepatitis F masih jarang
ditemukan. Para ahli pun masih memperdebatkan apakah hepatitis F
merupakan jenis hepatitis yang terpisah. Hepatitis B merupakan tipe
hepatitis yang berbahaya. Penyakit ini lebih sering menular dibandingkan
hepatitis jenis lainnya. Virus hepatitis B 100 kali lebih infeksius, yakni
lebih berpotensi menyebabkan infeksi dibandingkan virus HIV karena
mas tunasnya cukup pendek, yaitu sekitar 3 bulan. Virus ini ditemukan di
dalam darah, air ludah, air susu ibu, cairan sperma, atau vagina penderita.
b. Penyakit lain yang mungkin timbul
Hati merupakan organ penting dengan fungsi yang beragam maka
beberapa penyakit atau gangguan metabolisme tubuh dapat menyebabkan
komplikasi pada hati. Diabetes melitus, hiperlipidemia (kadar lemak,
termasuk kolesterol dan trigliserida, dalam darah menjadi tinggi atau
berlabihan), dan obesitas sering terkait dengan penyakit hati. Ketiga
kelainan ini membebani kerja hati dalam metabolisme lemak. Akibatnya,
akan terjadi kebocoran sel-sel yang berlanjut dengan kerusakan sel dan
peradangan hati yang disebut steatohepatis. Kehidupan yang serba sibuk
terutama di kota besar, telah melahirkan budaya instan termasuk dalam
hal makanan. Saat ini tersedia banyak restoran cepat saji yang
menyediakan makanan dengan komposisi gizi tidak berimbang, yaitu
23
mengandung lemak sebagai komponen terbanyak. Hal ini turut
memberikan kontribusi meningkatnya kasus steatohepatis.
c. Alkohol
Minuman beralkohol dapat menyebabkan kerusakan sel-sel hati.
Hepatitis alkohol dapat terjadi akibat konsumsi alkohol yang berlebihan
atau dalam jangka waktu lama. Sejumlah zat tersebut dapat bersifat racun
sehingga menyebakan kerusakan sel hati.
d. Obat-obatan atau zat kimia
Sejumlah obat atau zat kimia dapat menyebabkan hepatitis. Sesuai
dengan fungsi hati yang berperan dalam metabolisme, penetralisir, atau
dalam detoksifikasi zat kimia, termasuk obat. Oleh karenanya, zat kimia
dapat menimbulkan reaksi yang sama seperti reaksi karena infeksi virus
hepatitis. Gejala dapat terasa kapan pun dalam waktu 2 minggu-6 bulan
setelah obat diberikan. Pada sebagian besar kasus, gejala hepatitis
sembuh atau menghilang setelah pemberian obat tersebut dihentikan.
Namun, ada juga yang berkembang menjadi penyakit hati serius, jika
penyakit hati terlanjur parah. Obat-obat yang cenderung berinteraksi
dengan sel-sel hati, antara lain halotan (sering digunakan sebagai obat
bius), isoniasid (antibiotik untuk TBC), metildopa (obat anti hipertensi),
fenitoin, dan asam valproat (obat anti epilepsi), serta parasetamol (pereda
demam). Parasetamol merupakan obat yang aman jika dikonsumsi sesuai
dosis yang dianjurkan. Namun, jika dosis berlebihan terlebih jika
dikonsumsi bersama alkohol, dapat menyebabkan kerusakan hati yang
cukup parah bahkan kematian. Demikian pula sejumlah zat-zat polutan
lainnya, saperti alfatoksin, arsen, karbon tetraklorida, tembaga, atau vinil
klorida dapat merusak sel-sel hati.
e. Penyakit autoimun
Hepatitis autoimun terjadi karena adanya gangguan pada sistem
kekebalan (imunitas) yang merupakan kelainan genetik. Pada kasus
autoimun, sitem kekabalan tubuh justru menyerang sel atau jaringan
tubuh itu sendiri (dalam hal ini adalah hati). Gangguan ini terjadi karena
24
ada faktor pencetus, yakni kemungkina suatu virus atau zat kimia
tertentu. Sekitar 30% kasus hepatitis autoimun mempunyai gangguan
autoimun pada organ tubuh lain.
4. Penularan Virus Hepatitis B
Penularan hepatitis B terjadi melalui kontak darah, cairan tubuh, maupun
material lain yang terinfeksi, seperti jarum suntik, alat-alat bedah, alat-alat
dokter gigi, jarum akupuntur, jarum tato, maupun jarum tindik telinga yang
tidak steril. Demikian juga penggunaan bersama alat-alat yang dapat
menimbulkan luka atau lecet milik individu yang terinfeksi, seperti pisau
cukur, gunting kuku, atau sikat gigi, dapat menjadi media penularan HVB.
Penularan hepatitis B juga terdapat pada bayi yang dilahirkan ibu yang
menderita hepatitis B. Mengingat HVB dapat ditemukan pada cairan sperma
ataupun vagina maka penularan juga dapat terjadi melalui hubungan seksual
maupun pada saat proses persalinan (Sari, 2008). Individu yang berada
dalam lingkungan tertentu atau mempunnyai kebiasaan tertentu, atau sedang
menderita penyakit tertentu berisiko tertular virus hepatitis B. mereka ini
adalah bayi yang terlahir dari ibu dengan HBsAg positif, mereka yang
tinggal di daerah endemis hepatitis B, indivudu yang sering berganti
pasangan seksual, suami/istri atau anggota keluarga penderita infeksi VHB
kronis, penderita yang sering mendapatkan transfusi darah (hemophilia,
anemia aplastik, thalasemia, dan sebagainya), penderita gagal ginjal yang
mengalami hemodialisis, petugas kesehatan (dokter, perawat, dan
sebagainya), pecandu narkotika (Cahyono, 2010).
5. Tanda dan gejala klinis
Menurut Baradero, Wilfrid dan Siswadi (2008) tanda-tanda hepatitis virus B
dikelompokkan dalam tiga tahap yaitu tahap pra-kiterik, ikterik dan pasca
ikterik:
a. Tahap pra-ikterik (tahap prodromal) yang berlangsung selama satu
minggu, seperti anoreksia(merupakan tanda utama), suhu tubuh
25
meningkat disertai menggigil, mual dan muntah, kesulitan mencerna
makanan (dispepsia), nyeri sendi (artralgia), nyeri tekan pada hepar,
cepat lelah, malaise, dan hilang minat, serta berat badan menurun.
b. Tahap ikterik dimulai dengan timbulnya ikterik yang berlangsung selama
46 minggu. Pada tahap ini, tanda tahap pre-ikterik akan berkurang,
kecuali anoreksia, mual, muntah, dispepsia, rasa lemah, dan malaise
makin bertambah. Ikterik timbul karena gangguan metabolisme bilirubin.
Urin penderita berwarna kuning tua, transminase serum (ALT dan AST)
dan alkalin fosfatase meningkat, serta masa protombin memanjang
c. Tahap pasca-ikterik atau tahap penyembuhan. Tahap ini dimulai ketika
ikterik telah hilang.
6. Komplikasi
Komplikasi hepatitis yang paling sering adalah sirosis. Sel hati yang normal
ketika mengalami kerusakan akan digantikan oleh sel-sel sehat yang baru.
Pada sirosis, kerusakan sel hati diganti oleh jarigan parut (sikatrik). Semakin
parah kerusakan, semakin besar jaringan parut yang terbentuk dan semakin
berkurang jumlah sel hati yang sehat. Pengurangan ini akan berdampak pada
penurunan sejumlah fungsi hati sehingga menimbulkan sejumlah gangguan
pada fungsi tubuh secara keseluruhan (Sari, 2008). Komplikasi lain menurut
Cahyono (2010), pada hepatitis B kronis yang tidak diatasi, dapat terjadi
perdarahan varises lambung, gangguan sistem saraf pusat berupa kejang,
serta penurunan kesadaran sampai koma.
F. Pencegahan Hepatitis B
Tujuan pencegahan adalah memutuskan rantai penularan, melindungi individu
yang berisiko tinggi melalui imunisasi aktif vaksin hepatitis B, imunisasi pasif
bagi individu yang tidak terlindung namun terpajan virus hepatitis B (Bar,
2002). Pencegahan terhadap penyakit hepatitis B dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu imunisasi, tidak menggunakan barang orang lain, lakukan
hubungan seks yang aman, jangan menjadi donor darah jika terinfeksi hepatitis,
26
bersihkan ceceran darah, membiasakan diri untuk mencuci tangan,
menganggap feses, urin, cairan tubuh lainnya potensial untuk infeksi dan
membuang secara benar barang-barang seperti jarum dan alat lain yang
terinfeksi.
1. Imunisasi
Imunisasi hepatitis B yang lengkap dapat mencegah infeksi virus hepatitis B
selama 15 tahun. Imunisasi hepatitis B yang lengkap untuk bayi diberikan 3
kali, imunisasi yang pertama dan kedua diberikan berturut-turut dengan
selang waktu 1 bulan. Sementara imunisasi ketiga diberikan setelah 5 bulan
sejak imunisasi kedua (Sari, 2008).
Pemberian imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin, umumnya pada
bayi, mulai diberikan saat usia 2 minggu. Saat ini ada himbauan agar bayi
diimunisasi hepatitis B pada saat akan pulang dari rumah sakit/rumah
bersalin. Tujuannya agar bayi sedini mungkin mendapat perlindungan dari
hepatitis B (Sari, 2008). Pemberian imunisasi pada orang dewasa, sebelum
imunisasi diberikan sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar anti-HBs, yakni
HBs-Ag. Jika HBSAg positif maka imunisasi hepatitis B tidak perlu
diberikan lagi. Imunisasi diberikan jika kekebalan tubuh kurang atau di
bawah standar. Kadar anti-HBs yang cukup untuk memberikan
perlindungan terhadap hepatitis B adalah 10 m IU/ml. namun kendalanya,
pemeriksaan laboratorium tersebut sering kali harganya jauh lebih mahal
dari biaya vaksin hepatitis B itu sendiri. Dengan demikian, jika memang
individu tersebut termasuk golongan yang berisiko tinggi tertular virus
hepatitis B maka imunisasi bisa langsung diberikan tanpa harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium (Sari, 2008).
2. Tidak menggunakan barang orang lain
Biasakanlah tidak menggunakan barang-barang pribadi milik orang lain. Hal
ini disebabkan kita tidak pernah tahu apakah seseorang itu terinfeksi virus
27
hepatitis B atau tidak. Pisau cukur, gunting rambut, gunting kuku, sikat gigi,
atau barang lain yang dapat menyebabkan luka dapat menjadi media
penularan (Sari, 2008).
3. Lakukan hubungan seks yang aman
Hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, terlebih jika dengan
pekerja seks, akan berisiko tinggi tertular hepatitis B. jika ternyata suami
atau istri terinfeksi hepatitis B maka sang suami wajib memakai kondom
saat berhubungan seksual (Sari, 2008).
4. Jangan menjadi donor darah jika terinfeksi hepatitis
Individu dengan terinfeksi hepatitis B jangan menjadi donor darah karena
akan menyebarkan penyakit tersebut. Palang Merah Indonesia akan
melakukan serangkaian pemeriksaan pada darah yang didonorkan. Jika
ternyata sejumlah darah pada bank darah terinfeksi virus hepatitis maka
darah tersebut akan dimusnahkan. hal ini bisa saja terjadi jika pendonor
tidak tahu bahwa dirinya carrier hepatitis B dan terlanjur mendonorkan
darahnya (Sari, 2008).
5. Bersihkan ceceran darah
Jika terdapat ceceran atau pun cipratan darah, sekecil apa pun, harus
langsung dibersihkan. Penggunaan larutan pemutih pakaian untuk
membersihkan cipratan darah tersebut diyakini dapat membunuh virus (Sari,
2008).
6. Membiasakan diri untuk mencuci tangan dengan cara yang benar
(Baradero, Dayrit dan Siswadi, 2008)
7. Feses, urin, cairan tubuh lainnya harus dianggap potensial untuk infeksi dan
harus ada cara yang tepat untuk pembuangannya. Kamar-kamar kecil harus
28
dilengkapi dengan septic tank untuk mencegah kontaminasi air dan
makanan (Baradero dkk, 2008).
8. Hepatitis B ditularkan secara parenteral (suntikan dan tusukan), hepatitis
non-A dan non-B, hepatitis delta, dan mungkin hepatitis A dapat ditularkan
melalui jarum atau alat-alat lain yang terinfeksi. Barang-barang ini harus
dibuang dengan cara yang benar. Perawat harus hati-hati jangan sampai
pasien atau orang lain tertusuk jarum yang telah digunakan. Sebaiknya
sebelum jarum, spuit, dan sebagainya dibuang, dimasukkan ke dalam
kantong yang diberi tanda “Barang Terkontaminasi (Baradero dkk, 2008).
G. Hubungan Pengetahuan, Sikap dengan Perilaku Pencegahan Hepatitis B
Berdasarkan pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan. Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima
atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap
(Notoatmodjo, 2007) yaitu pengetahuan, sikap dan praktik. Orang akan
melakukan pencegahan Hepatitis B apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya
bila tidak melakukan pencegahan hepatitis B. Setelah seseorang mengetahui
pencegahan hepatitis B, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap
pencegahan hepatitis B tersebut. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau
objek pencegahan hepatitis B, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat
terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melakukan
atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Inilah
yang disebut praktik (practice) pencegahan hepatitis B, atau dapat juga
dikatakan perilaku pencegahan hepatitis B.
29
H. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Skema 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007)
I. Kerangka Konsep
Variabel bebas Variabel terikat
Skema 2.2 Kerangka Konsep
J. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan oleh peneliti ada dua kategori, yaitu :
1. Variabel bebas (independent variable)
Variabel bebas atau independent merupakan suatu variabel yang menjadi
sebab perubahan atau timbulnya suatu variabel dependen (terikat) dan bebas
dalam mempengaruhi variabel lain. Variabel independen (bebas) dalam
penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap.
Faktor Predisposisi (predisposing factors):
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Tradisi dan kepercayaan
4. Nilai
5. Tingkat pendidikan dan sosial ekonomi
Perilaku Pencegahan
Hepatitis B
Pengetahuan
Perilaku Pencegahan
Hepatitis B
Faktor pendorong (reinforcing factors):
Perilaku petugas kesehatan maupun
tokoh masyarakat
Faktor pendukung (enabling factors):
Ketersediaan sumber atau fasilitas
Sikap
30
2. Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat atau dependen merupakan variabel yang dapat dipengaruhi
atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat tergantung
dari variabel bebas terhadap perubahan. Variabel terikat dalam penelitian ini
adalah perilaku pencegahan hepatitis B.
K. Hipotesis
Berdasarkan dari kerangka konsep penelitian di atas, maka hipotesis yang
dapat dirumuskan adalah :
1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan hepatitis B
pada mahasiswa Keperawatan FIKKES di UNIMUS.
2. Ada hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan hepatitis B pada
mahasiswa Keperawatan FIKKES di UNIMUS.
top related