bab ii tinjauan pustaka 2.1 kajian pustaka 2.1.1 konsep...
Post on 04-Jun-2020
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Konsep Strategi Pemberdayaan
Strategi pemberdayaan adalah suatu rencana pemberdayaan dengan
memperhatikan banyak faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor
eksternal (peluang dan ancaman) dengan waktu yang telah ditentukan (Martina,
2016:2)
Morris dan Binstock (1966) menjelaskan tiga strategi perencanaan dan aksi
pengembangan masyarakat, yaitu: modifikasi pola sikap dan perilaku dengan
pendidikan atau lainnya, mengubah kondisi sosial dengan mengubah kebijakan-
kebijakan organisasi formal, reformasi peraturan dan sistem fungsional suatu
masyarakat.
Terdapat tiga strategi pemberdayaan yang umum dilaksanakan (Wrihatnolo,
dan Riant, 2007:119-120), yakni:
Pertama, pemberdayaan yang hanya berkutat di “daun” dan “ranting” atau
pemberdayaan konformis. Yaitu pemberdayaan hanya dilihat sebagai upaya
peningkatan daya adaptasi terhadap struktur sosial-kemasyarakatan yang ada.
Bentuk strateginya adalah mengubah sikap mental masyarakat yang tidak berdaya
dan pemberian bantuan. Program-program berjenis karitatif dan sinterklas
termasuk dalam kategori ini.
Kedua, pemberdayaan yang berkutat di “batang” atau pemberdayaan
reformis. Konsep ini tidak mempermasalahkan tatanan sosial, ekonomi, politik,
dan budaya yang ada, yang terpenting adalah kebijakan operasional.
19
Pemberdayaan difokuskan pada upaya peningkatan kinerja operasional dengan
membenahi pola kebijakan, peningkatan kualitas SDM, penguatan kelembagaan,
dsb.
Ketiga, pemberdayaan yang berkutat di “akar” atau pemberdayaan
struktural. Strategi ini melihat bahwa ketidakberdayaan masyarakat adalah karena
struktur sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang kurang memberikan peluang
bagi kaum yang lemah, dengan demikian pemberdayaan ini menempuh strategi
melalui transformasi struktural secara mendasar.
Pendekatan yang dipergunakan dalam strategi pemberdayaan menurut
Soetomo (2011:72-85), yaitu:
1. Sentralisasi menjadi desentralisasi
2. Top down menjadi bottom up
3. Uniformity menjadi variasi lokal
4. System komando menjadi proses belajar
5. Ketergantungan menjadi keberlanjutan
6. Social exclusion menjadi social inclution
7. Improvement menjadi transformation
2.1.2 Konsep Pemberdayaan Perempuan
1. Definisi Pemberdayaan Perempuan
Undang-Undang Dasar 1945 yang dijabarkan dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah pada asasnya mengandung prinsip
persamaan hak dan kewajiban bagi laki-laki maupun perempuan tanpa ada
perbedaan dalam segala bidang. Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.
20
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu tertuang dalam Undang-
Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pergeseran Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, dinyatakan bahwa tujuan
untuk mencapai kedudukan setara (equal status) perempuan sebagai peserta,
pengambil keputusan, dan penikmat di dalam kehidupan politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Dan dinyatakan untuk memberdayakan (empower)
perempuan dan laki-laki perlu kerjasama sebagai mitra sejajar dan memberi
inspirasi kepada generasi baru kaum perempuan dan laki-laki untuk bekerja
sama demi kesetaraan, pembangunan berkelanjutan dan perdamaian
(Priyono, 198-229 dalam Roesmidi H., dan Riza Risyanti. 2006).
Menurut Peraturan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2015,
pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan mempercepat
tercapainya kualitas hidup dan mitra kesejajaran laki-laki dan perempuan,
dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi/advokasi pendidikan dan latihan
bagi kaum perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang atau sektor.
Pemberdayaan perempuan sebagai mitrasejajar laki-laki adalah
kondisi dimana laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak dan
kewajiban yang terwujud dalam kesempatan kedudukan peranaan yang
dilandasi sikap dan perilaku saling membantu dan mengisi di semua bidang
kehidupan. Perwujudan kemitrasejajaran yang harmonis merupakan
tanggungjawab bersama. Untuk mencapai kesetaraan laki-laki dan
perempuan diperlukan transformasi nilai yang berkenaan dengan perubahan
21
hubungan gender dan keseimbangan kekuasaaan antara laki-laki dan
perempuan. (Triwijati, 1996 : 356 dalam Onny S. Priyono, 1996 : 201-202).
Menurut Moser, pemberdayaan perempuan dapat di lakukan melalui
pemenuhan kebutuhan praktis, yaitu dengan pendidikan, kesehatan,
ekonomi baik perempuan maupun laki-laki dan melalui pemenuhan
kebutuhan strategis, yaitu dengan melibatkan perempuan dalam kegiatan
pembangunan. Pemenuhan kebutuhan praktis dapat dilakukan dengan cara
peningkatan sumber daya manusia (pendidikan, kesehatan, dan ekonomi).
Sedangkan pemenuhan kebutuhan strategis dapat dilakukan dengan cara
memperkuat kelembagaan ekonomi berbasis perempuan melalui
peningkatan kapasitas kader-kader perempuan (Sumarti, 2010:212).
Terdapat dua ciri dari pemberdayaan perempuan. Pertama, sebagai
refleksi kepentingan emansipatoris yang mendorong masyarakat
berpartisipasi secara kolektif dalam pembangunan. Kedua, sebagai proses
pelibatan diri individu atau masyarakat dalam proses pencerahan,
penyadaran dan pengorganisasian kolektif sehingga mereka dapat
berpartisipasi (Zakiyah, 2010:44).
Pendekatan pemberdayaan (empowerment) menginginkan
perempuan mempunyai kontrol terhadap beberapa sumber daya materi dan
nonmateri yang penting dan pembagian kembali kekuasaan di dalam
maupun diantara masyarakat (Moser dalam Daulay, 2006:10). Di Indonesia
keberadaan perempuan yang jumlahnya lebih besar dari laki – laki membuat
pendekatan pemberdayaan dianggap suatu strategi yang melihat perempuan
22
bukan sebagai beban pembangunan melaikan potensi yang harus
dimanfaatkan untuk menunjang proses pembangunan.
Menurut Moser (1993) dalam Daulay (2006:10) bahwa strategi
pemberdayaan bukan bermaksud menciptakan perempuan lebih unggul dari
laki – laki kendati menyadari pentingnya peningkatan kekuasaan, namun
pendekatan ini mengidentifikasikan kekuasaan bukan sebagai dominasi
yang satu terhadap yang lain, melainkan lebih condong dalam kapasitas
perempuan meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal.
Adapun pemberdayaan terhadap perempuan adalah salah satu cara
strategis untuk meningkatkan potensi perempuan dan meningkatkan peran
perempuan baik di domain publik maupun domestik. Hal tersebut dapat
dilakukan diantaranya dengan cara:
1. Membongkar mitos kaum perempuan sebagai pelengkap dalam
rumah tangga. Pada zaman dahulu, muncul anggapan yang kuat dalam
masyarakat bahwa kaum perempuan adalah konco wingking (teman di
belakang) bagi suami serta anggapan “swarga nunut neraka katut” (ke surga
ikut, ke neraka terbawa). Kata nunut dan katut dalam bahasa Jawa
berkonotasi pasif dan tidak memiliki inisiatif, sehingga nasibnya sangat
tergantung kepada suami.
2. Memberi beragam ketrampilan bagi kaum perempuan. Sehigga
kaum perempuan juga dapat produktif dan tidak menggantungkan nasibnya
terhadap kaum laki-laki. Berbagai ketrampilan bisa diajarkan, diantaranya:
ketrampilan menjahit, menyulam serta berwirausaha dengan membuat kain
batik dan berbagai jenis makanan.
23
3. Memberikan kesempatan seluas-luasnya terhadap kaum
perempuan untuk bisa mengikuti atau menempuh pendidikan seluas
mungkin. Hal ini diperlukan mengingat masih menguatnya paradigma
masyarakat bahwa setinggi-tinggi pendidikan perempuan toh nantinya akan
kembali ke dapur. Inilah yang mengakibatkan masih rendahnya (sebagian
besar) pendidikan bagi perempuan (Ismah Salman, 2005:181).
Kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak nasional tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut:
meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang
pembangunan, dengan strategi:
1) Peningkatan pemahaman dan komitmen tentang pentingnya
pengintegrasian perspektif gender dalam berbagai tahapan, proses, dan
bidang pembangunan, di tingkat nasional maupun di daerah.
2) Penerapan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif
Gender (PPRG) di berbagai bidang pembangunan, di tingkat nasional dan
daerah.
3) Pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil PUG,
termasuk PPRG
4) Peningkatan pemahaman masyarakat dan dunia usaha tentang
kesetaraan gender.
Perempuan dapat dikatakan berdaya apabila dapat menentukan
kehidupannya sendiri sesuai dengan keinginannya. Ini berarti, bebas dan
merdeka memilih jalan hidup. Perempuan memahami dirinya sendiri,
kekurangan dan kelebihannya, serta memahami struktur dirinya yang
24
merupakan hasil kontruksi sosial budaya. Kemudian ia mampu
menggunakan pertimbangan-pertimbangan sehingga mampu mengambil
keputusan secara bebas dan bertanggung jawab. (Murniati, 2004:215.
2. Tujuan Pemberdayaan Perempuan
Tujuan pemberdayaan perempuan adalah untuk menantang
ideologi patriarkhi yaitu dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan,
merubah struktur dan pranata yang memperkuat dan melestarikan
diskriminasi gender dan ketidakadilan sosial (termasuk keluarga, kasta,
kelas, agama, proses dan pranata pendidikan) pendekatan pemberdayaan
memberi kemungkinan bagi perempuan miskin untuk memperoleh akses
kepada dan penguasaan terhadap sumber-sumber material maupun
informasi maka proses pemberdayaan harus mempersoalkan semua struktur
dan sumber kekuasaan (Daulay, 2006:10).
Pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan
mempercepat tercapainya kualitas hidup dan mitra kesejajaran antara laki-
laki dan perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang atau sektor.
Keberhasilan pemberdayaan perempuan menjadi cita-cita semua orang.
Namun untuk mengetahui keberhasilan sebagai sebuah proses, dapat dilihat
dari indikator pencapaian keberhasilannya.
Adapun indikator pemberdayaan perempuan adalah sebagai
berikut:
1. Adanya sarana yang memadai guna mendukung perempuan
untuk menempuh pendidikan semaksimal mungkin.
25
2. Adanya peningkatan partisipasi dan semangat kaum perempuan
untuk berusaha memperoleh dan mendapatkan pendidikan dan pengajaran
bagi diri mereka (Suharto, 2003:35).
Pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan
mempercepat tercapainya kualitas hidup perempuan, dapat dilakukan
melalui kegiatan sosialisasi pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan bagi
kaum perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang/sektor kehidupan.
Untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan
relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan
sehingga mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global, khususnya peran perempuan sebagai
bagian dari pelaku pembangunan, maka perlu dilakukan pemberdayaan dan
peningkatan potensi perempuan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan (Salman, 2005:184).
2.1.3 Konsep Industri
1. Definisi Industri
Industri merupakan suatu kegiatan ekonomi yang mengolah barang
mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi untuk
dijadikan barang yang lebih tinggi kegunaannya (Sukirno, 1995:54).
Industri merupakan salah satu upaya yang dilakukan guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan peningkatan sumber daya masyarakat
dalam mengelola sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
Berikut ini beberapa macam definisi industri menurut Badan Pusat
Statistik:
26
a) Industri Pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan
kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau
dengan tangan sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi, dan atau
barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya,
dan sifatnya lebih dekatkepada pemakai akhir. Termasuk dalam
kegiatan ini adalah jasa industri/makloon dan pekerjaan
perakitan (assembling).
b) Jasa industri adalah kegiatan industri yang melayani keperluan pihak
lain. Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh pihak lain sedangkan
pihak pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan mendapat
imbalan sejumlah uang atau barang sebagai balas jasa (upah makloon),
misalnya perusahaan penggilingan padi yang melakukan kegiatan
menggiling padi/gabah petani dengan balas jasa tertentu.
c) Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang
melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau
jasa, terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai
catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya
serta ada seorang atau lebih yang bertanggung jawab atas usaha
tersebut.
2. Penggolongan pengolahan industri dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Industri Besar (banyaknya tenaga kerja 100 orang atau lebih)
b. Industri Sedang (banyaknya tenaga kerja 20-99 orang)
c. Industri Kecil (banyaknya tenaga kerja 5-19 orang)
d. Industri Rumah Tangga (banyaknya tenaga kerja 1-4 orang)
27
3. Macam-macam jenis industri dibagi menjadi 24, yaitu:
a. Makanan
b. Minuman
c. Pengolahan tembakau
d. Tekstil
e. Pakaian jadi
f. Kulit, barang dari kulit dan alas kaki
g. Kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang
anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya
h. Kertas dan barang dari kertas
i. Pencetakan dan reproduksi media rekaman
j. Produk dari batu bara dan pengilangan minyak bumi
k. Bahan kimia dan barang dari bahan kimia
l. Farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional
m. Karet, barang dari karet dan plastik
n. Barang galian bukan logam
o. Logam dasar
p. Barang logam, bukan mesin dan peralatannya
q. Komputer, barang elektronik dan dan optik
r. Peralatan listrik
s. Mesin dan perlengkapan ytdl
t. Kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer
u. Alat angkutan lainnya
v. Furnitur
28
w. Pengolahan lainnya
x. Jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan
4. Jenis Tenaga Kerja menurut Badan Pusat Statistik
a. Jumlah tenaga kerja adalah banyaknya pekerja/karyawan rata-rata
perhari kerja baik pekerja yang dibayar maupun pekerja yang tidak
dibayar.
b. Pekerja Produksi adalah pekerja yang langsung bekerja dalam proses
produksi atau berhubungan dengan itu, termasuk pekerja yang langsung
mengawasi proses produksi, mengoperasikan mesin, mencatat bahan
baku yang digunakan dan barang yang dihasilkan.
c. Pekerja lainnya adalah pekerja yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi, pekerja ini biasanya sebagai pekerja
pendukung perusahaan, seperti manager (bukan produksi), kepala
personalia, skretaris, tukang ketik, penjaga malam, sopir perusahaan,
dll.
5. Industri Rumah Tangga sebagai usaha pemberdayaan Perempuan
Industri rumah tangga atau home industry merupakan suatu peluang
usaha yang mulai bermunculan dalam era sekarang karena semakin
sempitnya lapangan kerja yang tersedia. Industri semacam ini dapat dikelola
di dalam rumah sehingga dapat dipantau setiap saat. Usaha kecil semacam
ini dikelola oleh orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Modal
yang dibutuhkan usaha ini sedikit dan alat-alat yang digunakan bersifat
manual.
29
Setiap individu mampu membentuk kelompok industri yang
memiliki tujuan yang sama yaitu sama-sama mau belajar berusaha guna
menciptakan sebuah produk yang mampu meningkatkan taraf kehidupan
dalam segi ekonomi dan meningkatkan potensi yang ada di setiap individu
(peningkatan SDM). Suatu kelompok industri biasanya memiliki visi dan
misi yang sama sehingga adanya kekompakan yang terdapat pada kelompok
tersebut.
Perempuan biasanya lebih banyak menciptakan lapangan pekerjaan
dalam sektor industri rumah tangga. Selain memiliki peran mengurus
keluarga, tetapi mereka juga mampu bekerja di sektor publik yakni dengan
menciptakan peluang usaha yang dapat membantu sesama perempuan.
Sering kita jumpai industri rumah tangga yang di anggotai oleh perempuan,
yakni industri rumah tangga dalam bidang makanan, minuman, kerajinan
dan lain-lain.
Pemberdayaan perempuan bisa melalui mengajak bergabung
dalam usaha yang ditekuninya. Secara tidak sadar mereka ikut berpartisipasi
dalam pembangunan. Pembangunan tidak hanya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat saja tetapi juga perlu meningkatkan SDM
sehingga mereka mampu hidup mandiri.
30
2.1.4 Penelitian Terdahulu
No. Judul Penelitian Temuan Relefansi
1. Pemberdayaan Perempuan
Melalui Program Usaha Sosial
Ekonomis Produktif Keluarga
Miskin (USEP-KM) Oleh Dinas
Sosial DIY Di Hargorejo Kokap
Kulonprogo. Dari Skripsi Evi
Alfianti, 10250057, Program
Studi Kesejahteraan Sosial,
Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Tahun 2014.
Pemberdayaan
perempuan
memiliki proses
yang sistematis
mulai dari
perencanaan,
peninjauan,
pembekalan,
pemberian
bantuan hingga
evaluasi dari
pihak Dinas Ssial
DIY.
Penelitian yang
akan dilakukan
berbeda karena
pada
pemberdayaan
perempuan yang
saya teliti tidak
menerima
bantuan hingga
tidak adanya
evaluasi dari
pemerintah.
2. Pemberdayaan Perempuan
Melalui Program Keterampilan
Menjahit Koperasi Wanita Wira
Usaha Bina Sejahtera Di Bulak
Timur-Depok. Dari Skripsi
Minarti, 106054002047,
Program Studi Pengembangan
Masyarakat Islam, Fakultas
Ilmu Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Tahun 2014.
Perempuan diberi
pelatihan
keterampilan agar
dapat
mengembangkan
potensi yang
dimiliki dan dapat
membua usaha
secara mandiri.
Penelitian yang
akan dilakukan
membahas hasil
yang didapat
setelah mengikuti
pelatihan
sehingga
menjadikan
perempuan
mandiri dalam
usaha batik tulis.
3. Pemberdayaan Perempuan
Melalui Kelompok Batik Tulis
Lanthing Pada Ibu Rumah
Tangga Di Gunting Gilangharjo
Pandak. Dari Skripsi Rizka
Wulandhani, 08102241018,
Program Studi Pendidikan Luar
Sekolah, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri
Yogyakarta. Tahun 2015.
Terdapat proses
sosialisasi
sebelum diadakan
kegiatan
membatik dan
setelah diadakan
kegiatan tersebut
terdapat
perubahan
aktivitas dari ibu
rumah tangga
yang tergabung
dalam kelompok
batik tersebut.
Penelitian yang
akan dilakukan
memiliki
perbedaan dengan
penelitian
sebelumnya yaitu
tidak adanya
kontrol dari
pemerintah
sehingga
masyarakat
sendiri yang
memiliki
motivasi untuk
mendirikan usaha
membatik.
Masyarakat
sendiri yang
31
mengajak ibu
rumah tangga
yang lain agar
bergabung dalam
usahanya.
2.2 Landasan Teori Sistem Komando menjadi Proses Belajar
Menurut Soetomo (2011:72-85), dalam proses pemberdayaan
masyarakat pendekatan yang dipergunakan yaitu:
1. Sentralisasi menjadi desentralisasi
Desentralisasi dalam hal ini diarahkan pada bentuk
kewenangan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap
pengambilan keputusan dan sumber daya. Desentralisasi ini berarti
mencakup lapisan masyarakat miskin akar rumput, bukan semata
berhenti pada elit lokal setempat.
2. Top down menjadi bottom up
Pendekatan pemberdayaan cenderung mengutamakan alur
dari bawah ke atas. Proses dan mekanismenya dapat melalui dua
kemungkinan; pertama, identifikasi masalah dan kebutuhan
masyarakat direspon sendiri oleh masyarakat bersangkutan dalam
bentuk program pembangunan yang direncanakan dan sekaligus
dilaksanakan oleh masyarakat. Kedua, identifikasi masalah dan
kebutuhan masyarakat diakomodir oleh pemerintah untuk
dimasukkan kedalam program pembangunan pemerintah.
3. Uniformity menjadi variasi lokal
Pendekatan pemberdayaan sangat memberikan toleransi
kepada variasi lokal/kearifan lokal, dengan demikian program-
32
program yang dirumuskan dan dilaksanakan sangat berorientasi
pada permasalahan dan kondisi serta potensi setempat.
4. Sistem komando menjadi proses belajar
Pendekatan pemberdayaan memosisikan masyarakat lebih
berkedudukan sebagai subyek atau aktor, dalam hal ini, proses
belajar yang dilakukan untuk meningkatkan inisiatif merupakan
rangkaian pemantapan kapasitas. Peningkatan kapasitas ini
bermakna pengakuan akan kemampuan masyarakat untuk
melakukan langkah-langkah menuju kemajuan.
5. Ketergantungan menjadi keberlanjutan
Pemberian kewenangan kepada masyarakat dalam
pengelolaan pembangunan akan lebih mendorong tumbuh
kembangnya inisiatif dan kreatifitas yang memacu keberlanjutan.
6. Social exclusion menjadi social inclution
Seluruh lapisan masyarakat terutama lapisan bawah,
mendapatkan peluang yang sama dalam berpartisipasi pada semua
proses kehidupan, dalam mengakses semua pelayanan, serta dalam
mengakses sumber daya dan informasi.
7. Improvement menjadi transformation. Improvement berarti
memfokuskan perbaikan hanya dalam cara kerja dan proses produksi
tanpa melakukan perubahan pada tataran struktur, sedangkan
pendekatan pemberdayaan lebih menekankan pada transformation,
dimana fokus perubahan adalah pada level sistem dan struktur
sosialnya.
33
Pengertian komando dalam KBBI diartikan sebagai aba-aba atau
perintah sedangkan proses belajar adalah runtunan perubahan (peristiwa)
dalam perkembangan dalam mempelajari sesuatu.Pelaksanaan
pembangunan masyarakat yang menggunakan pendekatan pemberdayaan,
bukan lagi menggunakan sistem instruktif dan komando, melainkan
mengedepanan pengambilan keputusan oleh masyarakat sendiri.
Kewenangan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan
pembangunan perlu diimbangi dengan kapasitas atau kemampuan untuk
melakukannya. Oleh sebab itu dalam proses pemberdayaan juga
terkandung unsur pengembangan kapasitas masyarakat. Hal itu
disebabkan karena dalam pendekatan pemberdayaan, masyarakat lebih
berkedudukan sebagai subyek atau sebagai aktor, berbeda dengan
sebelumnya yang lebih ditempatkan sebagai obyek. Pemberian
kewenangan dan pengembangan kapasitas mengandung makna pengakuan
akan kemampuan masyarakat untuk melakukannya. Berarti juga
mengandung perubahan sikap dan pandangan tentang masyarakat yang
semula under estimate menjadi adanya pengakuan akan kapasitasnya
(Soetomo,2013:79-80).
Pemberdayaan perempuan yang dilakukan di Desa Yosowilangun
Lor merupakan pembangunan yang menggunakan pendekatan
pemberdayaan sistem komando menjadi proses belajar, dimana
pemberdayaan tersebut bisa dilaksanakan karena adanya komando dari
pihak masyarakat yang ingin memberikan pembelajaran melalui proses
pemberdayaan. Pendekatan ini juga memberikan posisi kepada masyarakat
34
sebagai aktor dalam proses pemberdayaan, sehingga masyarakat bukan
sebagai obyek melainkan sudah diberikan peran sebagai aktor. Pemberian
kewenangan dan pengembangan kapasitas mengandung makna pengakuan
akan kemampuan masyarakat untuk melakukannya.
Pengembangan kapasitas masyarakat berlangsung melalui proses
belajar sosial secara kumulatif. Dari pengalaman bekerja sambil belajar
diperoleh gagasan kreatif, pola aktivitas bersama yang merupakan institusi
sosial dan pengetahuan lokal. Dalam pemberdayaan ini diperoleh adanya
peningkatan kreatifitas yang didapatkan oleh masyarakat.
Proses pemberdayaan sistem komando menjadi proses belajar bukan
berarti masyarakat mengabaikan gagasan dari luar, gagasan kreatif dari
luar merupakan sesuatu yang harus diterima dan dilaksanakan, maka
dalam perspektif pemberdayaan, masyarakatlah yang menyaring dan
menentukan apakah gagasan kreatif tersebut diterima atau tidak. Apabila
gagasan kreatif tersebut diterima, maka prosesnya melalui pemahaman
masyarakat, bahwa ide tersebut bermanfaat bagi mereka. Gagasan dari luar
diterima masyarakat melalui proses transformasi sehingga kemudian
sudah disadari dan dipahami sebagai kebutuhan masyarakat. Transformasi
gagasan, ide, stimuli dari luar ditempatkan sebagai bagian integral dari
proses belajar untuk meningkatkan kapasitas masyarakat (Soetomo,
2013:81).
Pemberdayaan yang menggunakan sistem komando menjadi proses
belajar dapat membuat masyarakat tahu akan potensi yang dimilikinya dan
35
apa yang dibutuhkan guna meningkatkan kualitas SDM di lingkungannya.
Dalam proses tersebut masyarakat masih menerima stimuli dari luar
termasuk gagasan kreatif dari luar. Apabila terdapat stimuli dari luar, maka
merekalah yang menentukan apakah stimuli yang didapatkan bisa diterima
atau tidak. Stimuli atau gagasan kreatif dari luar dapat diterima oleh
mereka jika gagasan tersebut memberikan manfaat untuk kelompok
mereka. Dalam sistem komando menjadi proses belajar memiliki
pemahaman bahwa mereka masih dalam proses belajar dalam
meningkatkan kapasitas masyarakat.
top related