ii. kajian pustaka 2.1 kajian pustaka 2.1.1 pengertian ...digilib.unila.ac.id/15208/5/bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Pengertian Teknologi Pembelajaran
Association for Educational Communications and Technology (AECT) dengan
paradigma 1994 mendefinisikan bahwa “Instructional Technology is the theory
and practice of design, development, utilization, management and evaluation of
process and resources for learning”. (Seels and Richey, 1994 : 1) Definisi
tersebut didasarkan atas lima kawasan yang menjadi pemanfaatan, kawasan
pengelolaan, dan kawasan evaluasi. Lima kawasan teknologi pembelajaran secara
lengkap terdapat pada gambar 1. Kelima kajian tersebut merupakan kawasan
bidang studi teknologi pembelajaran. Hubungan kelima kawasan tersebut adalah
sinergis, terlihat pada gambar 2.
Gambar 2.1. Kawasan Teknologi Pembelajaran (Seels dan Richey, 1994 : 26)
PENGEMBANGAN
Teknologi Cetak
Teknologi Audiovisual
Teknologi Berbasis Komputer
Teknologi Terpadu
PEMANFAATAN
Pemanfaatan Media
Difusi Innovasi
Implementasi dan Institusionalisasi
Kebijakan dan Regulasi
DESAIN
Desain Sistem Pembelajaran
Desain Pesan
Strategi Pembelajaran
Karakteristik Pembelajar
PENILAIAN
Analisis Masalah
Pengukuran Acuan Patokan
Evaluasi Sumatif
PENGELOLAAN
Manajemen Proyek
Manajemen Sumber
Manajemen Sistem Penyampaian
Manajemen Informasi
TEORI
PRAKTIK
13
Gambar 2.2. Hubungan Antar Kawasan Bidang Studi Teknologi Pembelajaran
(Seels dan Richey, 1994 : 27)
2.1.2 Kawasan Desain Pembelajaran
Desain pembelajaran dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang, misalnya
sebagai disiplin, sebagai ilmu, sebagai sistem, dan sebagai proses. Sebagai
disiplin, desain pembelajaran membahas berbagai penelitian dan teori tentang
strategi serta proses pengembangan pembelajaran dan pelaksanaannya. Sebagai
ilmu, desain pembelajaran merupakan ilmu untuk menciptakan spesifikasi
pengembangan, pelaksanaan, penilaian, serta pengelolaan situasi yang
memberikan fasilitas pelayanan pembelajaran dalam skala makro dan mikro untuk
berbagai mata pelajaran pada berbagai tingkatan kompleksitas. Sebagai sistem,
desain pembelajaran merupakan pengembangan sistem pembelajaran dan sistem
pelaksanaannya termasuk sarana serta prosedur untuk meningkatkan dan sistem
pelaksanaannya termasuk sarana serta prosedur untuk meningkatkan mutu belajar.
Dalam desain pembelajaran dikenal beberapa model yang dikemukakan oleh para
ahli. Secara umum, model desain pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam
model berorientasi kelas, model berorientasi sistem, model berorientasi produk,
model prosedural dan model melingkar. Model berorientasi kelas biasanya
ditujukan untuk mendesain pembelajaran level mikro (kelas) yang hanya
DEVELOPMENT
UTILIZATION DESIGN
MANAGEMENT EVALUATION
THEORY
PRACTICE
14
dilakukan setiap dua jam pelajaran atau lebih. Contohnya adalah model ASSURE.
Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran untuk menghasilkan
suatu produk, biasanya media pembelajaran, misalnya video pembelajaran,
multimedia pembelajaran, atau modul. Contoh modelnya adalah model hannafin
and peck. Satu lagi adalah model berorientasi sistem yaitu model desain
pembelajaran untuk menghasilkan suatu sistem pembelajaran yang cakupannya
luas seperti desain sistem suatu pelatihan, kurikulum sekolah. Salah satu model
desain pembelajaran adalah model Dick and Carey. Model ini termasuk ke dalam
model prosedural. Langkah-langkah desain pembelajaran menurut Dick and Carey
adalah:
a. Mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran.
b. Melaksanakan analisis pembelajaran.
c. Mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik siswa.
d. Merumuskan tujuan performasi.
e. Mengembangkan butir-butir tes acuan patokan.
f. Mengembangkan strategi pembelajaran.
g. Mengembangkan dan memilih materi pembelajaran.
h. Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif.
i. Merevisi bahan pembelajaran.
j. Mendesain dan melaksanakan evaluasi sumatif.
Model Dick and Carey terdiri dari 10 langkah. Setiap langkah sangat jelas maksud
dan tujuannya sehingga bagi perancang pemula sangat cocok sebagai dasar untuk
mempelajari model desain yang lain. Kesepuluh langkah pada model Dick and
Carey menunjukkan hubungan yang sangat jelas, sistem yang terdapat pada Dick
15
and Carey sangat ringkas, namun isinya padat dan jelas dari satu urutan ke urutan
berikutnya.
Langkah awal pada model Dick and Carey adalah mengidentifikasi tujuan
pembelajaran. Langkah ini sangat sesuai dengan kurikulum perguruan tinggi
maupun sekolah menengah dan sekolah dasar, khususnya dalam mata pelajaran
tertentu di mana tujuan pembelajaran pada kurikulum agar melahirkan suatu
rancangan pembangunan.
Penggunaan Model Dick and Carey dalam pengembangan suatu mata pelajaran
dimaksudkan agar (1) pada awal proses pembelajaran anak didik atau siswa dapat
mengetahui dan mampu melakukan hal-hal yang berkaitan dengan materi pada
akhir pembelajaran, (2) adanya pertautan antara tiap komponen khususnya strategi
pembelajaran dan hasil pembelajaran yang dikehendaki, (3) menerangkan
langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan perencanaan desain
pembelajaran.
Komponen utama dari desain pembelajaran adalah :
1. Pembelajar (pihak yang menjadi fokus) yang perlu diketahui meliputi,
karakteristik mereka, kemampuan awal dan pra syarat.
2. Tujuan pembelajaran (umum dan khusus) adalah penjabaran kompetensi yang
akan dikuasai oleh pembelajaran.
3. Analisis pembelajar, merupakan proses menganalisis topik serta materi yang
akan dipelajari.
4. Strategi Pembelajaran, dapat dilakukan secara makro dalam kurun satu tahun
atau mikro dalam kurun satu kegiatan belajar mengajar.
16
5. Bahan ajar, adalah format materi yang akan diberikan kepada pembelajar.
6. Penilaian belajar, tentang pengukuran kemampuan atau kompetensi yang
sudah dikuasai atau belum.
Guru sebagai pengembang media pembelajaran harus mengetahui perbedaan
pendekatan-pendekatan dalam belajar agar dapat memilih strategi pembelajaran
yang tepat. Strategi pembelajaran harus dipilih untuk memotivasi para pembelajar,
memfasilitasi proses belajar, membentuk manusia seutuhnya, melayani perbedaan
individu, mengangkat belajar bermakna, mendorong terjadinya interaksi, dan
memfasilitasi belajar kontekstual, terdapat beberapa teori belajar yang melandasi
dalam pembelajaran yaitu teori kognitivisme dan behaviorisme pada perubahan
aktivitas siswa.
2.1.3 Belajar dan Pembelajaran
1. Belajar
Pengertian belajar dalam arti sehari-hari adalah sebagai penambahan
pengetahuan, namun ada yang mengartikan bahwa belajar sama dengan
penghafal karena orang belajar akan menghafal. Pengertian belajar ini masih
sangat sempit, karena belajar bukan hanya membaca dan menghafal tapi juga
penalaran.
Belajar adalah perubahan tingkah laku yang disengaja. Perubahan tersebut berupa
dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan dari tidak
dapat mengerjakan sesuatu menjadi dapat mengerjakan sesuatu, dari memberikan
respon yang salah atas stimulus-stimulus kearah memberikan respons yang benar.
Belajar adalah suatu aktivitas yang dirancang, atau sebagai akibat interaksi antara
17
individu dengan lingkungannya. Secara umum yaitu mengumpulkan sejumlah
pengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh dari yang seseorang lebih tahu atau
guru. Pandangan para penulis buku psikologi belajar menyatakan bahwa belajar
sebagai suatu perubahan tingkah laku dalam diri seseorang yang relatif menetap
sebagai hasil dari sebuah pengalaman.
Belajar pada hakikatnya adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan
tingkah laku (behavioral change) pada individu yang belajar. Dari berbagai
pandangan para ahli mencoba memberikan definisi belajar sehingga diambil
kesimpulan bahwa belajar selalu melibatkan tiga hal pokok yaitu 1) adanya
perubahan tingkah laku; 2) sifat perubahannya relatif permanen; dan 3) perubahan
tersebut disebabkan oleh interaksi dengan lingkungan, bukan oleh proses
kedewasaan ataupun perubahan- perubahan kondisi fisik temporer sifatnya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Skiner dalam Sutikno (2009: 3) bahwa
belajar adalah sebagai suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang
berlangsung secara progresif. Menurut Juhri (2006: 81) belajar adalah suatu
proses yang memerlukan aktivitas, artinya orang yang belajar harus ikut serta
dalam proses pembelajaran yang dilakukan secara aktif. Lebih lanjut Morgan
dalam Sutikno (2009: 4) mengartikan belajar sebagai suatu perubahan yang relatif
menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang lalu.
Sedangkan menurut Sanjaya (2006: 91) belajar adalah proses perubahan tingkah
laku. Adapun Sutikno (2009: 4) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu
proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang
baru, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
18
Beberapa pendapat di atas menekankan pada adanya perubahan tingkah laku
sebagai hasil pengalamannya sendiri. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalamannya dalam interaksi dengan lingkungannya dalam
memenuhi kehidupannya.
Menurut Gagne (1979:21) belajar didefinisikan “sebagai suatu proses dimana suatu
organisme berubah perilakunya akibat suatu pengalaman”. Belajar merupakan
suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi,
emosi dan faktor-faktor lain berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Suatu kegiatan dikatakan belajar apabila memiliki tiga ciri bahwa belajar
adalah perubahan tingkah laku, perubahan terjadi karena latihan dan
pengalaman, bukan karena pertumbuhan, serta perubahan tersebut harus bersifat
permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama.
Berbicara tentang belajar pada dasarnya berbicara tentang bagaimana tingkah laku
seseorang berubah sebagai akibat pengalaman. Dari penjelasan di atas dapat
dibuat kesimpulan bahwa agar terjadi proses belajar atau terjadinya perubahan
tingkah laku sebelum kegiatan belajar mengajar di kelas seorang guru perlu
menyiapkan atau merencanakan berbagai pengalaman belajar yang akan
diberikan pada siswa dan pengalaman belajar tersebut harus sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Proses belajar itu terjadi secara internal dan
bersifat pribadi dalam diri siswa, agar proses belajar tersebut mengarah pada
tercapainya tujuan dalam kurikulum maka guru harus merencanakan dengan
seksama dan sistematis berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan
perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan apa yang diharapkan. Aktivitas
19
guru untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan proses belajar siswa
berlangsung optimal disebut dengan kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain
pembelajaran adalah proses membuat orang belajar. Guru bertugas membantu
orang belajar dengan cara memanipulasi lingkungan sehingga siswa dapat
belajar dengan mudah, artinya guru harus mengadakan pemilihan terhadap
berbagai starategi pembelajaran yang ada, yang paling memungkinkan proses
belajar siswa berlangsung optimal. Pada bagian lain bahwa dalam pembelajaran
proses belajar tersebut terjadi secara bertujuan dan terkontrol. Tujuan-tujuan
pembelajaran telah dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku. Peran guru di
sini adalah sebagai pengelola proses belajar mengajar tersebut
Oleh karena itu pada prinsipnya belajar adalah proses perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari interaksi antara siswa dengan sumber - sumber atau objek
belajar, baik yang secara sengaja dirancang ( by design ) maupun yang tidak
secara sengaja dirancang namun dimanfaatkan ( by utilization ).
2. Pembelajaran
Istilah pembelajaran berarti proses membuat orang belajar. Tujuannya ialah
membantu orang belajar, atau memanipulasi (merekayasa) lingkungan sehingga
memberi kemudahan bagi orang yang belajar. Gagne dan Briggs (1979)
mendefinisikan “pembelajaran sebagai suatu rangkaian events ( kejadian, peristiwa,
kondisi, dan sebagainya) yang secara sengaja dirancang untuk mempengaruhi
siswa (pembelajar), sehingga proses belajarnya dapat berlangsung dengan mudah”.
Pembelajaran bukan hanya terbatas pada kejadian yang dilakukan oleh guru saja,
melainkan mencakup semua kejadian maupun kegiatan yang mungkin mempunyai
20
pengaruh langsung pada proses belajar manusia. Gagne ( 1985 : 2 ) dalam bukunya
The Conditions Of Learning and Theory of Instruction berpendapat:
Learning is a change in human disposition or capability that persist
over a period of time and is not simply ascribable to processes of
growth. The kind of change called learning exhibits itself as a change in
behavior, and the inference of learning is made by comparing what
behavior was possible before the individual was placed in a learning
situation and what behavior can be exhibit after such treatment. The
change may be, and often is, an increased capability for of some
type of performance.
Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah
sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan
informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-
kondisi eksternal individu. Istilah pembelajaran banyak dipengaruhi oleh aliran
psikologi kognitif - holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan.
Selain itu, istilah pembelajaran dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang
diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat
berbagai macam media. Hal tersebut bahwa “media seperti bahan-bahan cetak,
program televisi, gambar, audio dan lain sebagainya, semua itu mendorong
terjadinya perubahan peranan guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran”
(Sanjaya, 2005 : 78). Sementara itu pembelajaran adalah suatu usaha yang
sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki
guru untuk mencapai tujuan kurikulum. Jadi pembelajaran adalah suatu aktivitas
yang dengan sengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan
untuk tercapainya suatu tujuan yaitu tercapainya tujuan kurikulum.
Pembelajaran adalah upaya menciptakan iklim dan pelayanan terhadap
kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan siswa yang beragam agar
21
terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa
(Suyitno, 2004: 2).
Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Sedangkan menurut Winkel dalam Sutikno (2009: 6) mengartikan pembelajaran
sebagai seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar
peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang
berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian internal yang berlangsung di
dalam diri siswa.
Lebih lanjut Sanjaya (2006: 79) menyatakan terdapat beberapa karakteristik
penting dari istilah pembelajaran yaitu:
1) pembelajaran berarti membelajarkan siswa,
2) proses pembelajaran berlangsung di mana saja, dan
3) pembelajaran berorientasi pada pencapaian tujuan.
Beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah
segala upaya yang dilakukan pendidik dalam proses interaksi terhadap peserta
didik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk mencapai suatu
tujuan.
2.1.4 Teori Belajar dan Pembelajaran
1. Teori Belajar Behavioristik
Teori behavioristik merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan
Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Kemudian
teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap
22
pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Aliran ini diperkenalkan oleh beberapa ahli seperti Jhon B
Watson, Ivan Pavlov, BF Skinner, El Thorndike, Bandura dan Tolman.
Behaviorisme menganggap bahwa belajar merupakan akibat adanya interaksi
antara stimulus dan respon (Slavin, 2000: 143). Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini
dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak
penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus
dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik
adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/ dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin lemah
(Darmansyah, 2010: 131).
Maka dapat diketahui bahwa teori behavioristik memandang individu hanya dari
sisi jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
23
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih siswa
sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori
behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks,
sebab banyak hal yang berkaitan dengan pembelajaran tidak dapat dilihat oleh
hanya hubungan stimulus dan respons. Teori ini cenderung mengarahkan siswa
untuk berpikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori
ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa
siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik
untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
Menurut Jhon Locke pengalaman adalah salah satunya jalan memiliki
pengetahuan. Ide dan pengetahuan adalah produk dari pengalaman. Secara
psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan
oleh pengalaman indrawi. Pikiran dan perasaan disebabkan oleh perilaku masa
lalu.
Menurut Edward L Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. teori belajar
ini disebut teori connectionism. Eksperimen yang dilakukannya menghasilkan
teori trial dan error. Ciri-ciri belajarnya adalah adanya aktivitas, dan respon
terhadap berbagai situasi, ada eliminasi terhadap berbagai respon yang salah, ada
kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan. Kemudian Thorndike mengeluarkan
hukum-hukum yaitu (Sneelbeeker, 1974: 215-216)
1) Hukum kesiapan “Law of Readiness”
Dalam belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang
yang belajar harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang
24
hendak belajar agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka seseorang
dituntut untuk memiliki kesiapan, baik fisik dan psikis, Disamping sesorang
harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam kematangan dalam
penguasaan pengetahuan serta kecakapan-kecakapan yang mendasarinya.
2) Hukum Latihan”Law of Exercise”
Untuk menghasilkan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk merespon
suatu stimulus maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang
berulang-ulang.
3) Hukum Akibat “Law of Effect”
Setiap organisme memiliki respon sendiri-sendiri dalam menghadapi stimulus
dan situasi yang baru, apabila suatu organisme telah menetukan respon atau
tindakan yang melahirkan kepuasan dan kecocokan dengan situasi maka hal
ini pasti akan di pegang dan dilakukan sewaktu-waktu ia di hadapakan dengan
situasi yang sama. Sedangkan tingkah laku yang tidak melahirkan kepuasaan
dalam menghadapi situasi dan stimulus maka respon yang seperti ini akan
ditinggalkan selama-lamanya oleh pelaku.
Ivan Petrovich Pavlov dengan teori pelaziman klasik menyatakan bahwa individu
dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang
tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara
individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini
adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang
menimbulkan reaksi. Belajar itu adalah adanya latihan dan pengulangan yang
terjadi secara otomatis.
25
Selanjutnya Skinner mengeluarkan sebuah teori yang dinamakan dengan operant
conditioning yang merupakan suatu proses penguatan perilaku operan yang dapat
mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai
dengan keinginan (Hergenhahn & Olson, 2008: 84). Operant conditioning
menjamin respon terhadap stimulli, bila tidak menunjukkan stimuli maka guru
tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru
memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses
pembelajaran sehingga tercapai tujuan yang diinginkan.
Selanjutnya Albert Bandura yang mengeluarkan teori belajar sosial. Teori ini
menerima sebagian besar prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih
banyak penekanan pada efek-efek perilaku dan proses mental (Ratna Willis, 2011:
22). Jadi teori ini menunjukkan pentingnya proses mengamati dan meniru
perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori ini menjelaskan perilaku manusia
dalam konteks interaksi tingkah laku timbal balik yang berkesinambungan antara
kognitif perilaku dan lingkungan.
2. Teori Elaborasi Reigeluth
Reigeluth pada tahun 1970-an memperkenalkan teori elaborasi. Menurut
Reigeluth (1998: 310) bahwa Teori Elaborasi adalah teori mengenai desain
pembelajaran dengan dasar argumen bahwa pelajaran harus diorganisasikan dari
materi yang sederhana menuju pada harapan yang kompleks dengan
mengembangkan pemahaman pada konteks yang lebih bermakna sehingga
berkembang menjadi ide-ide yang terintegrasi. Selanjutnya Reigeluth (1998: 342)
menjelaskan bahwa “The Elaboration Theory of instruction was developed to
provide holistic alternatives to the parts-to-whole sequencing and superficial
26
coverage of content that have been so typical of both education and training over
the past five to ten decades”.
Teori Elaborasi instruksi dikembangkan untuk menyediakan alternatif holistik
untuk urutan bagian keseluruhan dan cakupan dangkal konten yang telah begitu
khas dari pendidikan dan pelatihan selama lima sampai sepuluh dekade terakhir.
Teori Elaborasi mempreskripsikan cara pengorganisasian pengajaran dengan
mengikuti urutan umum ke rinci, seperti teori-teori sebelumnya. Urutan umum ke
rinci dimulai dengan menampilkan struktur isi bidang studi yang dipelajari
(Epitome), kemudian mengelaborasi bagian-bagian yang ada dalam epitome
secara lebih rinci.
Pembelajaran dimulai dari konsep sederhana dan pekerjaan yang mudah.
Bagaimana mengajarkan secara menyeluruh dan mendalam, serta menerapkan
prinsip agar menjadi lebih rinci. Prinsipnya harus menggunakan topik dengan
pendekatan spiral. Sejumlah konsep dan tahapan belajar harus dibagi dalam
“episode belajar”. Selanjutnya siswa memilih konsep, prinsip, atau versi pekerjaan
yang dielaborasi atau dipelajari.
Reigeluth (1983: 40-41) mengemukakan terdapat dua teori utama yang melandasi
kegiatan pembelajaran pada umumnya yakni; teori pembelajaran deskriptif dan
teori pembelajaran preskriptif. Teori pembelajaran deskriptif lebih berhubungan
dengan warga belajar dalam kegiatan pembelajaran. Teori ini menjelaskan tentang
bagaimana proses pembelajaran itu berlangsung. Sedangkan teori pembelajaran
preskriptif menjelaskan bagaimana kiat-kiat guru dalam membimbing siswa
selama proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Menurut Reigeluth (1983:19) pembelajaran sebaiknya didasarkan
27
pada teori pembelajaran yang bersifat preskriptif, yaitu teori yang memberikan
“resep” untuk mengatasi masalah belajar, dengan memperhatikan 3 variabel
kondisi, metode dan hasil.
Pendekatan elaborasi berkembang sejalan dengan tumbuhnya perubahan
paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa
sebagai kebutuhan baru dalam menerapkan langkah-langkah pembelajaran. Dari
pikiran Reigeluth lahirlah desain yang bertujuan membantu penyeleksian dan
pengurutan materi yang dapat meningkatkan pecapaian tujuan. Para pendukung
teori ini juga menekankan pentingnya fungsi-fungsi motivator, analogi, ringkasan,
dan sintesis yang membantu meningkatkan efektivitas belajar. Teori ini pun
memberikan perhatian pada aspek kognitif yang kompleks dan pembelajaran
psikomotor. Ide dasarnya adalah siswa perlu mengembangkan makna kontekstual
dalam urutan pengetahuan dan keterampilan yang berasimilasi.
Teori ini memulai pengajaran dengan memberikan penjelasan yang bersifat
umum, sederhana, mendasar tetapi tidak abstrak. Teori ini juga menggambarkan
penggunaan rangkaian prerequisit dari bagian yang sederhana menuju rangkaian
yang lebih kompleks, dan memberikan tinjauan serta kesimpulan dengan cara
sistimatis. Teori Elaborasi hanya berkaitan dengan strategi organisasional pada
macro level. Teori ini memulai pengajaran dengan memberikan penjelasan yang
bersifat umum, sederhana, mendasar tetapi tidak abstrak. Pembelajaran elaborasi
adalah pembelajaran yang menambahkan ide tambahan berdasarkan apa yang
seseorang sudah ketahui sebelumnya.
Menurut Reigeluth (1999), teori elaborasi mengandung beberapa nilai lebih,
seperti di bawah ini :
28
1. Terdapat urutan pembelajaran yang mencakup keseluruhan sehingga
memungkinkan untuk meningkatkan motivasi dan kebermaknaan.
2. Memberi kemungkinan kepada pelajar untuk mengarungi berbagai hal dan
memutuskan urutan proses belajar sesuai dengan keinginannya.
3. Memfasilitasi pelajar dalam mengembangkan proses pembelajaran dengan
cepat.
4. Mengintegrasikan berbagai variabel pendekatan sesuai dengan desain teori.
Proses pembelajaran melibatkan dan mengarahkan aktivitas warga belajar untuk
mencapai berbagai tujuan yang telah direncanakan secara sistematis. Variabel
pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi: (1) kondisi pembelajaran yaitu
faktor yang mempengaruhi efek metode dalam meningkatkan hasil pembelajaran;
(2) metode pembelajaran, yaitu cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil yang
berbeda pada kondisi yang berbeda; (3) hasil pembelajaran, yaitu semua efek yang
dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan metode
pembelajaran pada kondisi yang berbeda (Reigeluth, 1983 : 42-46).
Reigeluth (1983: 36-52) mengemukakan bahwa hasil pembelajaran secara umum
dapat dikategorikan menjadi tiga indikator, yaitu (1) efektivitas pembelajaran
yang biasanya diukur dari tingkat keberhasilan siswa dari berbagai sudut, (2)
efisiensi pembelajaran, yang biasanya diukur dari waktu belajar dan/atau biaya
pembelajaran, dan (3) daya tarik pembelajaran yang selalu diukur dari tendensi
siswa ingin belajar secara terus menerus. Menurut Bloom (1956: 17-18), hasil
belajar adalah perolehan warga belajar setelah mengikuti proses belajar dan
perolehan belajar meliputi tiga bidang kemampuan yaktu kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Kemampuan kognitif meliputi perolehan hasil belajar dengan
tingkat pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
29
Kemampuan afektif meliputi jenjang penerimaan, pemberian respon, penilaian,
pengorganisasian dan karakteristik. Sedangkan kemampuan psikomotorik
meliputi tingkat persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan biasa, dan
gerakan komplek, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas.
Reigeluth (1983: 4-8) mengatakan bahwa hasil belajar dirumuskan sebagai
perilaku yang dapat diamati yang menunjukkan kemampuan yang dimiliki
seseorang.
3. Teori Belajar Konstruktivis
Menurut teori konstruktivis yang menjadi dasar bahwa siswa memperoleh
pengetahuan adalah karena keaktifan siswa itu sendiri. Teori ini adalah
merupakan peningkatan dari teori yang dikemukakan oleh Piaget, Vigotsky, dan
Brunner. Konsep pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk melakukan
proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru
berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan
dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi
pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang lebih bermakna. Jadi, dalam
pandangan sangat penting peran siswa untuk dapat membangun constructive
habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berfikir, maka dibutuhkan
kebebasan dan sikap belajar (Sukardjo&Komarudin, 2009:5).
Penelitian ini dilandasi oleh pendekatan konstruktivis, menurut pandangan
konstruktivistik belajar adalah menekankan pada peran aktif si belajar (learner)
dalam membangun pemahaman dan memaknai suatu informasi. Teori belajar
konstruktivis berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan
informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin
30
dalam Nur, 2002:8). Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan siswa merupakan hasil
konstruksi (bentukan) siswa sendiri (Panenen,2001:3)
4. Hasil Belajar
Hasi belajar dan prestasi belajar merupakan akibat dari proses belajar mengajar.
Namun kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Hasil belajar adalah perubahan
tingkah laku sebagai akibat dari proses belajar mengajar. Hasil belajar merupakan
kemampuan menyatakan kembali suatu konsep atau prinsip yang telah dipelajari
yang diukur dalam prestasi belajar, sikap siswa, dan keterampilan siswa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(1989: 895)“Prestasi belajar adalah
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yangg dikembangkan melalui mata
pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai atau angka yg diberikan oleh guru”.
Saifuddin Azwar (2007: 8-9) menyatakan bahwa “Prestasi belajar merupakan
suatu pengukuran yang mengungkap keberhasilan seseorang dalam belajar”.
Prestasi belajar membawa keharusan dalam konstruksinya untuk selalu mengacu
pada perencanaan program belajar yang dituangkan dalam silabus masing-masing
materi pelajaran. Prestasi belajar ini dapat dilihat secara nyata berupa skor atau
nilai setelah mengerjakan suatu tes.Tes yang digunakan untuk menentukan
prestasi belajar merupakan suatu alat untuk mengukur aspek-aspek tertentu dari
siswa misalnya pengetahuan, pemahaman atau aplikasi suatu konsep.
Gronlund (1977) dalam Saifuddin Azwar (2007 : 18-20) menyebutkan bahwa
“Tes prestasi harus berisi item – item dengan tipe yang paling cocok guna
mengukur hasil belajar yang diinginkan”. Hasil belajar yang hendak diukur akan
31
menentukan tipe perilaku yang harus diterima sebagai bukti tercapainya tujuan
instruksional yang telah ditetapkan. Apabila tujuan pengukuran adalah
pengungkapan proses mental atau kompetensi tingkat tinggi guna pemecahan
masalah maka dapat dipilih tipe aitem essai, atau tipe pilihan-ganda. Apabila
tujuan ukurnya adalah pengungkapan proses pengingatan fakta dan prinsip
sederhana terutama untuk level pendidikan rendah, maka dapat dipilih tipe benar-
salah atau tipe jawaban pendek.
Hasil belajar yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah aspek kognitif
siswa. Menurut Sudjana (2009: 22) ”Aspek kognitif berkenaan dengan hasil
belajar intelektual”. Menurut Saifuddin Azwar (2007 : 60) “Salah satu pedoman
dalam menentukan tingkat kompetensi item tes adalah taksonomi tujuan
pendidikan yang dirumuskan oleh Benjamin S. Bloom”.
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah
mengalami aktivitas belajar. Perolehan aspek-aspek perubahan perilaku tersebut
tergantung pada apa yang dipelajari oleh pembelajar (Anni, 2004: 4). Dalam
pembelajaran perubahan perilaku yang harus dicapai oleh pebelajar setelah
melaksanakan aktivitas belajar dirumuskan dalam tujuan pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, hasil belajar merupakan hal yang penting karena
dapat menjadi petunjuk untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan siswa dalam
kegiatan belajar yang sudah dilakukan. Hasil belajar dapat diketahui melalui
evaluasi untuk mengukur dan menilai apakah siswa sudah menguasai ilmu yang
dipelajari atas bimbingan guru sesuai dengan tujuan yang dirumuskan.
32
5. Evaluasi Hasil Beajar
Istilah evaluasi memiliki makna yang luas dan digunakan diberbagai ilmu
pengetahuan, namun pada awalnya pengertian evaluasi dikaitkan dengan prestasi
belajar. Arikunto (2005:3) menegaskan definisi evaluasi berdasarkan pendapat
Ralph Tyler yang mendefinisikan bahwa evaluasi adalah sebuah proses
pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana
tujuan pendidikan sudah tercapai. Dalam peraturan pemerintah nomor 19 tahun
2005 dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian,
penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk
pertanggung jawaban penyelenggaraan pendidikan.
Arikunto (2005:3) menjelaskan bahwa melakukan evaluasi berarti melakukan
pengukuran dan penilaian. Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan
satu ukuran yang bersifat kuantitatif. Pengukuran adalah proses pemberian angka
atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan pencapaian
kompetensi yang telah dicapai siswa. Sedangkan menilai adalah mengambil suatu
keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk yang bersifat kualitatif.
Dalam standar proses dijelaskan bahwa penilaian hasil belajar dapat
menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang
harus dikuasai.
Teknik penilaian dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, penugasan
perseorangan atau kelompok. Gagne dalam Dakir (2004:23) mengemukakan
bahwa hasil dari proses pembelajaran dalam kurikulum antara lain keterampilan
33
intelek, strategi kognitif, informasi verbal, keterampilan motorik, dan dimensi
produktif. Dengan kata lain evaluasi hasil belajar adalah sebuah proses untuk
menilai hasil belajar siswa.
Beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi hasil belajar adalah
kegiatan identifikasi melalui penilaian maupun pengukuran untuk melihat apakah
pembelajaran yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, baik, atau tidak,
dan untuk melihat tingkat efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pembelajaran
dalam meningkatkan prestasi belajarnya.
2.1.5 Pembelajaran IPS di Sekolah
IPS sekolah dimaksudkan sebagai bagian IPS yang diberikan untuk dipelajari
siswa sekolah (formal), yaitu siswa SD, SLTP, SLTA. Pada IPS sekolah, siswa
mempelajari IPS yang sifat materinya masih elementer tetapi merupakan konsep
esensial sebagai dasar untuk prasyarat konsep yang lebih tinggi, banyak
aplikasinya dalam kehidupan di masyarakat, dan pada umumnya dalam
mempelajari konsep-konsep tersebut bisa dipahami melalui pendekatan induktif.
(Suherman, 1993:134)
Ralp C. Preston dalam bukunya “Teaching Social Studies in The elementary School”
mengemukakan sebagai berikut : “the social sciences are the fields of knowledge
which deal with man’s social behavior, his social life, and his social institution”.
Implikasi dari pengertian tersebut menunjukan luasnya ruang lingkup ilmu sosial,
karena menyangkut pada tingkah laku sosial manusia, kehidupan bermasyarakat
serta kelembagaan dalam masyarakat (Sapriya, 2006: 4)
34
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan program pendidikan yang memiliki misi
khusus yaitu 1) membantu peserta didik mengembangkan kompetensi-kompetensi
dirinya dalam menggali dan mengembangkan sumber-sumber fisik dan sosial
yang ada dilingkungan sekitarnya, sehingga mereka dapat hidup selaras
dengannya; dan 2) mempersiapkan peserta didik menyongsong kehidupannya
di masa depan dengan penuh harapan dan kemampuan diri dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Pada hakekatnya tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang
terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala
ketimpangan yang terjadi dan melatih keterampilan untuk mengatasi setiap
masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa diri sendiri atau masyarakat.
Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata
pelajaran yang diberikan mulai dari tingkat SD/MI/SDLB sampai
SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan
generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Melalui mata pelajaran IPS,
peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang
demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Pada
jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah,
Sosiologi, dan Ekonomi. Ilmu Pengetahuan Sosial dalam konteks
kurikulum persekolahan mempunyai kedudukan yang sangat penting dan
strategis, sesuai dengan tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP
seperti tercantum dalam kurikulum 2006 yaitu Kurikulum Tingkat Satuan
35
Pendidikan (KTSP). Mata Pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan-kemampuan sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi
dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Hal senada dengan tujuan pembelajaran IPS dikemukakan oleh Sumaatmaja,
(1980 : 10) bahwa : Mata pelajaran IPS bertujuan mengembangkan potensi peserta
didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki
sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan
terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa
dirinya sendiri maupun yang menimpa kehidupan masyarakat
Mengembangkan potensi peserta didik bisa digambarkan bahwa potensi yang
dimuliki peserta didik harus dimanfaatkan untuk salah satu tujuan interaksi di
tengah-tengah masyarakat sebagai mahluk sosial. Memilik sikap mental positif
penting untuk perbaikan dari semua ketimpangan yang terjadi.
Terampil mengatasi masalah yang menimpa dirinya dan kehidupan masyarakat
akan berdampak kepada peserta didik itu sendiri sebagai wujud pengabdiannya
yang terbaik sebagai bagian dari anggota masyarakat.
36
Memandang pentingnya tujuan pembelajaran IPS tersebut, maka Ilmu
Pengetahuan Sosial bertugas membantu siswa untuk dapat mengembangkan
potensipotensi serta kompetensi yang dimilikinya baik yang menyangkut
potensi kognitif, afektif maupun psikomotor.
Kecakapan atau kemahiran IPS yang diharapkan tercapai dalam belajar IPS mulai
dari SD dan MI sampai SMA dan MA mencakup pemahaman konsep, penalaran
dan komunikasi serta pemecahan masalah. Adapun kriteria dari ketiga aspek
tersebut adalah:
a. Pemahaman Konsep
1) Menyatakan ulang suatu konsep.
2) Mengklarifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu.
3) Memberi contoh dan non-contoh dari konsep.
4) Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi IPS.
5) Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep.
6) Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu.
7) Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
b. Penalaran dan Komunikasi
1) Menyajikan pernyataan IPS secara lisan, tertulis, gambar dan diagram.
2) Mengajukan dugaan.
3) Melakukan manipulasi IPS.
4) Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti
terhadap kebenaran solusi.
5) Menarik kesimpulan dari pernyataan.
6) Memeriksa kesahihan suatu argumen.
37
7) Menentukan pola atau sifat dari gejala IPS untuk membuat generalisasi.
c. Pemecahan Masalah
1) Menunjukkan pemahaman masalah.
2) Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam
pemecahan masalah.
3) Menyajikan masalah secara IPS dalam berbagai bentuk.
4) Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat.
5) Mengembangkan strategi pemecahan masalah.
6) Membuat dan menafsirkan model IPS dari suatu masalah.
7) Menyelesaikan masalah yang tidak rutin. (Rahmah, 2006:19)
Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SK-KMP) pada Sekolah
Menengah Pertama terdiri atas kelompok-kelompok mata pelajaran ; 1) Agama
dan Akhlak Mulia; 2) Kewarganegaraan dan Kepribadian; 3) Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi; 4) Estetika; dan 5) Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan.
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada pembagian kelompok mata
pelajaran tersebut masuk kedalam kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi dan memiliki Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran
(SK-KMP) yang dikembangkan berdasarkan tujuan dan cakupan muatan dan/
atau kegiatan setiap kelompok mata pelajaran, yakni: mengembangkan logika,
kemampuan berpikir dan analisis peserta didik.
Penyusunan SKL-SK-KD mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah
Menengah Pertama dilakukan dengan cara mempertimbangkan dan me-
review Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk satuan pendidikan dasar dan
38
menengah, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah terutama
pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada
Sekolah Menengah Pertama antara lain mencakup sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan keanekaragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan,
dan dampaknya terhadap kehidupan
2. Memahami proses interaksi dan sosialisasi dalam pembentukan kepribadian
manusia
3. Membuat sketsa dan peta wilayah serta menggunakan peta, atlas, dan globe
untuk mendapatkan informasi keruangan
4. Mendeskripsikan gejala-gejala yang terjadi di geosfer dan dampaknya
terhadap kehidupan
5. Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintahan
sejak Pra-Aksara, Hindu Budha, sampai masa Kolonial Eropa
6. Mengidentifikasikan upaya penanggulangan permasalahan kependudukan
dan lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan
7. Memahami proses kebangkitan nasional, usaha persiapan kemerdekaan,
mempertahankan kemerdekaan, dan mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia
8. Mendeskripsikan perubahan sosial-budaya dan tipe-tipe perilaku
masyarakat dalam menyikapi perubahan, serta mengidentifikasi berbagai
penyakit sosial sebagai akibat penyimpangan sosial dalam masyarakat,
dan upaya pencegahannya
39
9. Mengidentifikasi region-region di permukaan bumi berkenaan dengan
pembagian permukaan bumi atas benua dan samudera, keterkaitan unsur-unsur
geografi dan penduduk, serta ciri-ciri negara maju dan berkembang
10. Mendeskripsikan perkembangan lembaga internasional, kerja sama
internasional dan peran Indonesia dalam kerja sama dan perdagangan
internasional, serta dampaknya terhadap perekonomian Indonesia
11. Mendeskripsikan manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi
serta mengidentifikasi tindakan ekonomi berdasarkan motif dan prinsip
ekonomi dalam memenuhi kebutuhannya
12. Mengungkapkan gagasan kreatif dalam tindakan ekonomi berupa
kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi barang/jasa untuk mencapai
kemandirian dan kesejahteraan.
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial di Sekolah Menengah Pertama ini pada hakekatnya diharapkan bisa
dijadikan arah dalam proses pembelajaran yang tidak hanya sebatas
menekankan materi pelajaran, namun pembelajaran tersebut lebih diharapkan
pada penekanan pencapaian tujuan dengan melihat kemampuan yang dimiliki
peserta didik dalam penerannya kelak dapat hidup di masyarakat dengan baik
dan dapat memecahkan masalah-masalah pribadi maupun masalah-masalah
sosial. Dengan demikian diharapkan peserta didik memiliki kemampuan antara
lain mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya, memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis,
rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam
kehidupan sosial, memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial
40
dan kemanusiaan, serta memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan
global.
2.1.6 Pembelajaran Kooperatif
a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah
menemukan dan memahami suatu konsep yang sulit jika mereka berdiskusi
dengan temannya. Siswa bekerja dalam sebuah kelompok untuk saling membantu
memecahkan masalah untuk mencapai ketuntasan belajar. Karena itu,
“Pembelajaran kooperatif didasarkan pada teori kontruktivis” (Trianto, 2007: 41).
Menurut Isjoni (2010: 30) “Kontruktivisme adalah satu pandangan bahwa siswa
membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman yang ada”.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang mengutamakan
adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok dan diarahkan
untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan. Tujuannya adalah tidak
lainuntuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif
dalam proses berpikir dan kegiatan belajar. Sehingga sebagian besar aktivitas
pembelajaran berpusat pada siswa, yakni mempelajari materi pelajaran dengan
berdiskusi untuk memecahkan masalah. (Herdian: 2009)
Slavin (Isjoni, 2010:15) mengemukakan ’In cooperative learning methods,
students work together in four member teams to master material initially
41
presented by the teacher’, pernyataan tersebut mengandung arti dalam metode
pembelajaran kooperatif, siswa bekerjasama dalam empat anggota tim untuk
menguasai materi awal yang disajikan oleh guru. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa dalam metode pembelajaran cooperative siswa belajar dan
bekerja dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari empat orang untuk
menguasai materi yang diberikan oleh guru. Johnson (Isjoni, 2010:15)
mengemukakan bahwa
‘Cooperanon means working together to accomplish shared goals. Within
cooperative activities individuals seek outcomes that are beneficial to all
other groups members. Cooperative learning is the instructional use of
small groups that allows students to work together to maximize their own
and each other as learning’
Pernyataan tersebut mengandung arti cooperanon berarti bekerjasama untuk
mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kerjasama individu mencari hasil yang
bermanfaat bagi semua anggota kelompok lain. Pembelajaran kooperatif adalah
penggunaan pembelajaran kelompok kecil yang memungkinkan siswa
bekerjasama untuk memaksimalkan mereka sendiri dan satu sama lain sebagai
pembelajar.
Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran kooperatif mengandung arti bekerja
bersama-sama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, siswa
mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Pembelajaran
kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar
antar anggota dalam kelompok itu.
Menurut Saraswati (2003 : 1), “cooperetive learning adalah belajar dengan cara
berpartner (grouping) atau kerja tim yang produktif dalam menyelesaikan tugas
dan atau memecahkan masalah baik didalam kelas maupun tugas di rumah”.
42
Lie (2007 : 28) mengungkapkan bahwa, “pembelajaran Kooperatif yaitu
pembelajaran gotong royong/kerjasma. Kerja sama merupakan kebutuhan yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup, tanpa kerjasama tidak akan ada individu
keluarga, organisasi dan sekolah”.
Berdasarkan konsep di atas, dapat disimpulakan bahwa model pembelajaran
Kooperatif merupakan pembelajaran yang dilakukan dengan cara berkelompok
dan bekerja sama dalam mengerjakan kegiatan belajar dan pembelajaran.
Menurut Mohamad Nur (2005:1-2) pembelajaran kooperatif merupakan strategi
pembelajaran di mana siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang
beranggotakan siswa yang berbeda kemampuannya, jenis kelamin bahkan latar
belakangnya untuk membantu belajar satu sama lainnya sebagai sebuah tim.
Semua anggota kelompok saling membantu anggota yang lain dalam kelompok
yang sama dan bergantung satu sama lain untuk mencapai keberhasilan kelompok
dalam belajar.
Pembelajaran kooperatif dilakukan dengan membentuk kelompok kecil yang
anggotanya heterogen untuk bekerja sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan
masalah, tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama
b. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Menurut Muslimin Ibrahim, dkk (2000:7-10) terdapat tiga tujuan instruksional
penting yang dapat dicapai dengan pembelajaran kooperatif yaitu hasil belajar
akademik, penerimaan terhadap keragaman, pengembangan keterampilan sosial.
43
1) Hasil belajar akademik
Pembelajaran kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga
memperbaiki hasil siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa
ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami
konsep-konsep sulit.
Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur
penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar
akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar
pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa
kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan
tugas-tugas akademik (Ibrahim, 2000:7).
2) Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari
orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan,
dan ketidakmampuannya.
Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar
belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-
tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar
saling menghargai satu sama lain (Ibrahim, 2000:9)
3) Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran koperatif adalah mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan
sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih
kurang dalam keterampilan sosial (Ibrahim, 2007:9).
44
c. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif
Agar pembelajaran secara kooperatif atau kerja kelompok dapat mencapai hasil
yang baik maka diperlukan unsur-unsur sebagai berikut.
1) Siswa dalam kelompoknya harus beranggapan mereka “sehidup
sepenanggungan”.
2) Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya
seperti milik mereka sendiri.
3) Siswa harus melihat bahwa semua anggota kelompoknya mempunyai
tujuan yang sama.
4) Siswa harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama pada semua
anggota kelompok.
5) Siswa akan dikenakan evaluasi atau akan diberikan hadiah/penghargaan
yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
6) Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi
yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
7) Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan
untuk belajar bersama. (Ibrahim, 2000:6)
d. Landasan Teori dan Empirik Pembelajaran Kooperatif
Perkembangan model pembelajaran kooperatif pada masa kini dapat dilacak dari
karya para ahli psikologi pendidikan dan teori belajar pada awal abad ke-20,
diantaranya :
45
1) John Dewey, Herbert Thelan, dan Kelas Demokratis
John Dewey menetapkan sebuah konsep pendidikan yang menyatakan bahwa
kelas seharusnya cermin masyarakat yang lebih besar dan berfungsi sebagai
laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pedagogi Dewey
mengharuskan guru menciptakan di dalam lingkungan belajarnya suatu sistem
sosial yang bercirikan dengan prosedur demokrasi dan proses ilmiah.
Seperti halnya Dewey, Thelan berargumentasi bahwa kelas haruslah
merupakan laboratorium atau miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji
masalah-masalah sosial dan antar pribadi. (Ibrahim, 2000:12)
2) Gordon Allport dan Relasi Antar Kelompok
Ahli sosiologi Gordon Allport mengingatkan bahwa hukum saja tidak akan
mengurangi kecurigaan antar kelompok dan mendatangkan penerimaan serta
pemahaman yang lebih baik.
Gordon merumuskan 3 kondisi dasar untuk mencegah terjadinya kecurigaan
antar ras dan etnik, yaitu: a) kontak langsung antar etnik, b) sama-sama
berperan serta di dalam kondisi status yang sama antara anggota dari berbagai
kelompok dalam suatu setting tertentu, c) setting secara resmi mendapat
persetujuan kerjasama antar etnik.
3) Belajar Berdasarkan Pengalaman
Johnson&Johnson seorang pencetus teori-teori unggul tentang pembelajaran
kooperatif menyatakan bahwa belajar berdasarkan pengalaman didasarkan
atas tiga asumsi:
a) Bahwa belajar paling baik jika secara pribadi terlibat dalam pengalaman
belajar itu.
46
b) Bahwa pengetahuan harus ditemukan sendiri apabila pengetahuan itu
hendak dijadikan pengetahuan yang bermakna atau membuat suatu
perbedaan tingkah laku.
c) Bahwa komitmen terhadap belajar paling tinggi apabila anda bebas
menetapkan tujuan pembelajaran sendiri dan secara aktif mempelajari
tujuan itu dalam suatu kerangka tertentu. (Ibrahim, 2000:15)
4) Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Terhadap Kemampuan Akademik
Satu aspek penting pembelajaran kooperatif ialah bahwa di samping
pembelajaran kooperatif membantu mengembangkan tingkah laku kooperatif
dan hubungan yang lebih baik antar siswa, pembelajaran kooperatif secara
bersamaan membantu siswa dalam bidang akademis mereka. Setelah
menelaah sejumlah penelitian, Slavin (Muslimin, 2000:16) mengatakan bahwa
kelas kooperatif menunjukkan hasil belajar akademik yang signifikan lebih
tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hasil lain penelitian juga
menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat
positif untuk siswa yang rendah hasil belajarnya.
Manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa dengan hasil belajar rendah
antara lain: a) meningkatkan pencurahan waktu pada tugas, b) rasa harga diri
menjadi lebih tinggi, c) memperbaiki sikap terhadap IPS dan sekolah, d)
penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi besar, e) pemahaman yang
lebih mendalam, f) motivasi lebih besar, g) hasil belajar lebih tinggi, h) retensi
lebih lama, i) meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi. (Ibrahim,
2000:16)
47
e. Prinsip dasar dan unsur-unsur pembelajaran Kooperatif
Ada empat prinsip dasar yang melatarbelakangi keberhasilan pembelajaran
Kooperatif, Kagan (Saraswati, 2003:2):
1) Saling ketergantungan yang positif (positive interdevedence)
2) Pengakuan terhadap kemampuan individu (Individual accountability)
3) Partisipasi yang sama (equal participation)
4) Interaksi belajar dan pembelajaran yang simultan (simultaneous Interaksi)
Agar Cooperative Learning dapat berjalan secara efektif, unsur-unsur dasar
pembelajaran Cooperative yang perlu ditanamkan kepada siswa menurut
Saraswati (2003 : 4) sebagai berikut:
1) Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang
bersama”.
2) Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya
disamping tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri, dalam mempelajari
materi yang dihadapi.
3) Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya harus memiliki
tujuan yang sama besarnya diantara para anggota kelompok.
4) Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama besarnya
diantara para anggota kelompok
5) Para siswa akan diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut
berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok
6) Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh
keterampilan bekerja sama selama belajar.
48
7) Para siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi
yang ditangani dalam kelompok Cooperative.
Sedangkan Roger dan david (Lie, 2007:31) menyatakan terdapat lima unsur
model pembelajaran Cooperative Learning untuk mencapai hasil yang optimal
yaitu :
1) Saling ketergantungan positif, keberhasilan suatu karya sangat tergantung
pada usaha setiap anggotanya.
2) Tanggung jawab perseorangan, unsur ini merupakan akibat langsung dari
unsur pertama. Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model
pembelajaran Cooperative Leraning, setiap siswa akan merasa bertanggung
jawab untuk melakukan yang terbaik.
3) Tatap muka, setiap kelompok harus diberi kesempatan untuk bertemu muka
dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota.
4) Komunikasi antar anggota kelompok, unsur ini menghendaki agar para
pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi.
5) Evaluasi proses kelompok, pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi
kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama
mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Jadi secara garis besar unsur-unsur pembelajaran Kooperatif meliputi :
tujuan yang sama, kebersamaan dalam bekerja, kepemimpinan bersama, tanggung
jawab secara individu pada kerja kelompok, tanggung jawab yang merata, dan
evaluasi atau penghargaan terhadap kelompok mempengaruhi evaluasi individu.
49
f. Kebaikan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan dari pembelajaran Kooperatif adalah menciptakan situasi di mana
keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan
kelompoknya. Beberapa kali penelitian menunjukkan bahwa teknik-teknik
pembelajaran Kooperatif lebih banyak meningkatkan basil belajar daripada
pengalaman pembelajaran individual. Menurut Saraswati (2003 : 7), “perbedaan
antara kelompok pembelajaran Kooperatif dan kelompok non Kooperatif adalah
sebagai berikut” :
Tabel 2. Perbedaan Model Pembelajaran Kooperatif dan Model Pembelajaran non
kooperatif
Kelompok Pembelajaran
Kooperatif
Kelompok Pembelajaran
non Kooperatif
Kepemimpinan bersama
Saling keterantungan positif
Keanggotaan yang heterogen
Mempelajari keterampilan
Cooperative
Tangguang jawab terhadap hasil
belajar seluruh anggota
kelompok
Menekan pada tugas dan
hubungan Cooperative
Ditunjang oleh guru
Satu hasil kelompok
Evaluasi kelompok
Satu pemimpin
Tidak saling ketergantungan
Keanggotaan yang homogen
Asumsi adanya keterampilan-
keterampilan sosial yang efektf
Tanggung jawab terhadap hasil
belajar sendiri
Hanya menekankan pada tugas
Diarahkan oleh guru
Beberapa hasil individu
Evaluasi individual
Selain mempunyai kelebihan, pembelajaran Kooperatif juga mempunyai
kekurangan penting yang harus dihindari yaitu adanya anggota kelompok yang
tidak aktif. Hal ini akan terjadi bila dalam satu kelompok hanya mempunyai satu
permasalahan. Kelemahan ini dapat dihindari dengan cara sebagai berikut :
1) Tiap-tiap anggota kelompok bertanggung jawab pada bagian bagian kecil dari
permasalahan kelompok.
50
2) Tiap-tiap anggota kelompok mempelajari materi secara keseluruhan. Hal ini
disebabkan karena hasil kelompok ditentukan pada hasil kuis dari anggota
kelompok yang ada, maka tiap-tiap anggota kelompok harus benar-benar
mempelajari isi permasalahan secara keseluruhan.
g. Tipe-tipe model pembelajaran Kooperatif
Adapun tipe-tipe model pembelajaran Kooperatif menurut Saraswati (2003 : 7),
yaitu : Numbered Head Together (NHT), Jigsaw, Learning Together, student
Team Achievment Devision (STAD), Teams Games Tournament(TGT), Group
Investigation (GI), Reunrobin, Rountable, Think Pair Share, One stay Two Stray
Adapun menurut Lie (2007:55), mengungkapkan bahwa model pembelajara
memiliki beberapa tipe diantaranya :
Tipe-tipe Model Pembelajaran Cooperative Learning yaitu : Mencari Pasangan,
Bertukar Pasangan, Berfikir Berpasangan Berempat (Think Pair Share), Berkirim
Salam dan Soal, Kepala Bernomor (Numbered Head together), Kepala Bernomer
Terstruktur, Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Stray), Keliling Kelompok,
Kencing Gemerincing, Keliling Kelas , Lingkaran Kecil Lingkaran Besar, Tari
Bambu, Jigsaw, Bercerita Berpasangan (Paired Storytelling).
Banyaknya tipe-tipe dari model Pembelajaran Kooperatif merupakan ragam yang
dapat digunakan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.
51
2.1.7 Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT)
Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Togerher (NHT) merupakan salah
satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk
meningkatkan penguasaan akademik. Tipe ini dikembangkan oleh Kagen dalam
Ibrahim (2000: 28) dengan melibatkan para siswa dalam menelaah bahan yang
tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi
pelajaran tersebut.
NHT pertama kali dikembangkan oleh Spencer Kagan (1993). Menurut Saraswati
(2003 : 8), “teknik ini menampilkan kegiatan belajar dan pembelajaran yang
menyenangkan dalam kegiatan ataupun sesudah pembelajaran. Misalnya pada saat
membahas suatu topik dengan teknik bertanya”.
Pada umumnya tipe NHT digunakan untuk melibatkan siswa dalam penguatan
pemahaman pembelajaran atau mengecek pemahaman siswa terhadap materi
pembelajaran, selain itu model ini dapat meningkatkan keahlian seperti bertukar
informasi, mendengarkan, menjawab pertanyaan dan menyimpulkan.
NHT merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri atas empat tahap yang
digunakan untuk mereview fakta-fakta dan informasi dasar yang berfungsi untuk
mengatur interaksi siswa. Model pembelajaran ini juga dapat digunakan untuk
memecahkan masalah yang tingkat kesulitannya terbatas.
Struktur NHT sering disebut berpikir secara kelompok. NHT digunakan untuk
melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu
pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
52
NHT sebagai model pembelajaran pada dasarnya merupakan sebuah variasi
diskusi kelompok. Adapun ciri khas dari NHT adalah guru hanya menunjuk
seorang siswa yang mewakili kelompoknya. Dalam menunjuk siswa tersebut,
guru tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok
tersebut. Menurut Muhammad Nur (2005:78), dengan cara tersebut akan
menjamin keterlibatan total semua siswa dan merupakan upaya yang sangat baik
untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok. Selain
itu model pembelajaran NHT memberi kesempatan kepada siswa untuk
membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
Dengan adanya keterlibatan total semua siswa tentunya akan berdampak positif
terhadap motivasi belajar siswa. Siswa akan berusaha memahami konsep-konsep
ataupun memecahkan permasalahan yang disajikan oleh guru seperti yang
diungkapkan oleh Ibrahim, dkk (2000:7) bahwa dengan belajar kooperatif akan
memperbaiki hasil siswa atau tugas-tugas akademik penting lainnya serta akan
memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas
yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademis.
NHT merupakan salah satu teknik pembelajaran Cooperative Learning yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling komunikasi secara aktif
dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka. Pembelajaran tipe ini mempunyai ciri
khas yaitu menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya, tanpa memberi
tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok itu. Cara ini menjamin
keterlibatan total semua siswa.
53
Menurut Rismayanti (2008 : 25), tahap-tahap pembelajaran NHT adalah sebagai
berikut :
1) Studens Numbered off
Setiap siwa dalam kelompok mendapat nomor. Untuk kelompok yang hanya
mempunyai 3 anggota, maka nomor 3 lah yang menjawab sekiranya nomor 3
atau nomor 4 dipanggil dan seterusnya. Guru membagi siswa menjadi
beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan tiga sampai lima orang dan
memberi siswa nomor sehingga setiap siswa dalam tim mempunyai nomor
berbeda-beda.
2) Teacher Ask a Question
Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi dari
yang spesifik hingga bersifat umum. Permasalahan yang diajukan seharusnya
bersifat arahan.
3) Heads Together
Setiap kelompok melakukan diskusi dan mengambil jawaban yang paling
tepat. Pastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban permasalahan
yang telah dikemukakan guru. Berpikir bersama untuk menemukan jawaban
dan menjelaskan jawaban kepada anggota dalam timnya sehingga semua
anggota mengetahui jawabannya.
4) Teacher calls a number
Kemudian guru memanggil salah satu nomor secara acak. Siswa dengan
nomor dipanggil mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan yang
diberikan guru. Guru menyebut salah satu nomor dan setiap siswa dari tiap
kelompok yang bernomor sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban
54
untuk seluruh kelas, kemudian guru secara random memilih kelompok yang
harus menjawab pertanyan tersebut, selanjutnya siswa yang nomornya disebut
guru dari kelompok tersebut mengangkat tangan dan berdiri untuk menjawab
pertanyaan. Kelompok lain yang bernomor sama menanggapi jawaban
tersebut.
Secara garis besar langkah-langkah pembelajaran NHT menurut Kagan (Saraswati
2003:8) itu sebagai berikut :
1) Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari
4-5 siswa, setiap anggota kelompok diberi nomor atau nama.
2) Guru mengajukan permasalahan atau pertanyaan untuk dipecahkan bersama
dalam kelompok
3) Tiap kelompok siswa masing-masing saling mendiskusikan pertanyaan-
pertanyaan tersebut.
4) Guru mengecek pemahaman siswa dengan cara menunjuk nomor dari salah
satu siswa untuk menjawab.
5) Kelompok dengan nilai tertinggi diberi penghargaan.
Lie (2007:60) mengungkapkan bahwa:
Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling
membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat
kerja sama mereka. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran
dan untuk semua tingkatan usia didik.
Sementara Ibrahim mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam
pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT yaitu :
a. Hasil belajar akademik stuktural
Bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
55
b. Pengakuan adanya keragaman
Bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai
berbagai latar belakang.
c. Pengembangan keterampilan sosial
Bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa.
Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya,
menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja
dalam kelompok dan sebagainya.
Model pembelajaran kooperatif tipe NHT memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan, di antaranya:
a. Kelebihan
1) Pembelajaran dalam kelas dinamis karena semua siswa terlibat.
2) Setiap siswa mendapat kesempatan untuk berekspresi dan mengemukakan
pendapatnya.
3) Mempengaruhi pola interaksi siswa untuk meningkatkan semangat bekerja
sama baik dalam kelompok maupun kelas.
4) Dapat meningkatkan penguasaan akademik siswa.
b. Kekurangan
1) Dibutuhkan alokasi waktu yang panjang.
2) Tidak semua anggota kelompok dipanggil guru untuk mendapat giliran
menjawab pertanyaan apabila waktu habis.
3) Siswa yang tidak mengerti pelaksanaan NHT akan merasa bosan dalam
pembelajaran.
56
NHT memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide
dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, teknik ini j
mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama mereka (Lie, 2010 :
59).
Dari pernyataan tersebut, semua pelajaran termasuk mata pelajaran IPS Perlu
menggunakan pembelajaran tipe NHT. Sesuai dengan fungsi pengajaran IPS yaitu
mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis terhadap masalah
kehidupan disekitarnya, dan melatih untuk cepat tanggap terhadap kondisi
lingkungan serta kehidupan dipermukaan bumi.
Adapun penerapan pembelajaran NHT dalam materi IPS, sebagai contohnya dapat
kita lakukan sebagai berikut :
1) Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari
3- 5 siswa, setiap anggota kelompok diberi nomor.
2) Guru mengajukan permasalahan atau pertanyaan (misalnya mengenai materi
Ekonomi : sebutkan dan jelaskan usaha manusia memenuhi kebutuhan), untuk
dipecahkan bersama dalam kelompok
3) Tiap kelompok siswa masing-masing saling mendiskusikan pertanyaan-
pertanyaan tersebut.
4) Guru mengecek pemahaman siswa dengan cara menunjuk nomor diri salah
satu siswa untuk menjawab.
5) Kelompok dengan nilai tertinggi diberi penghargaan.
Nurhadi (2004:57) menyebutkan langkah-langkah pelaksanaan NHT sebagai
pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh kelas. Dengan model NHT tiap
siswa dalam kelompok akan mendapat nomor dan hanya satu siswa dalam
57
kelompok tersebut yang akan menjawab atau menjelaskan hasil diskusi untuk tiap
nomor. Siswa membagi informasi yang diperolehnya sehingga tiap siswa tahu
jawabannya (Slavin, 1995:131).
Langkah-langkah pelaksanaan NHT meliputi:
Tahap 1: Penomoran
Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggotakan 3-5 orang dan
setiap anggota kelompok diberi nomor 1-5.
Tahap 2: Mengajukan pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat
bervariasi. Pertanyaan dapat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya
atau bentuk arahan.
Tahap 3: Berpikir bersama
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan
meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban itu.
Tahap 4: Menjawab
Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa yang
nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk
menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
Secara menyeluruh pelaksanaan pembelajaran NHT dengan LKS pada penelitian
ini menggunakan pendapat Rismayanti (2008:25) dapat di uraikan sebagai
berikut:
58
1) Pendahuluan
Fase 1 : Persiapan
a) guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat Skenario
Pembelajaran (SP), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT.
b) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
c) Guru memberikan motivasi pada siswa
d) Guru melakukan apersepsi
e) Guru menjelaskan tentang pembelajaran kooperatif tipe NHT
2) Kegiatan Inti
Fase 2 : Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Tahap pertama
a) Penomoran (Numbering)
Guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil, jumlah
kelompok sebaiknya mempertimbangkan jumlah konsep yang dipelajari.
Siswa dalam kelompok beranggotakan 6-8 orang dan kepada setiap
anggota kelompok diberi nomor 1 sampai 8.
b) Guru menjelaskan secara singkat tentang materi pembelajaran.
c) Siswa bergabung dengan tim atau anggotanya yang telah ditentukan.
Tahap kedua
Pengajuan pertanyaan : Setelah kelompok terbentuk guru mengajukan
beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap kelompok. Pertanyaan
dapat sangat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya ataupun pertanyaan
berupa tugas untuk mengerjakan soal-soal di LKS.
59
Tahap ketiga
Berpikir bersama : Siswa berpikir bersama menyatukan pendapatnya ”Heads
Together” berdiskusi memikirkan jawaban atas pertanyaan dari guru dan
meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban itu. Pada
penelitian ini siswa berpikir bersama dan menyatukan pendapatnya terhadap
jawaban pertanyaan dalam LKS tersebut dan meyakinkan tiap anggota dalam
timnya mengetahui jawaban tersebut.
Tahap keempat
a) Menjawab : Guru memanggil peserta didik yang memiliki nomor yang
sama dari tiap-tiap kelompok, kemudian siswa yang nomornya sesuai
mengacungkan tangannya dan mencoba menjawab pertanyaan untuk atau
mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk seluruh kelas.
Kelompok lain diberi kesempatan untuk berpendapat dan bertanya
terhadap hasil diskusi kelompok tersebut. Dilakukan terus hingga semua
peserta didik dengan nomor yang sama dari masing-masing kelompok
mendapatkan giliran memaparkan jawaban atas pertanyaan guru tersebut.
b) Guru mengembangkan diskusi lebih mendalam sehingga peserta didik
dapat menemukan jawaban pertanyaan itu sebagai pengetahuan yang utuh.
c) Guru mengamati hasil yang diperoleh oleh masing-masing kelompok yang
berhasil baik dan memberikan semangat bagi kelompok yang belum
berhasil dengan baik (jika ada). Guru memberikan soal latihan sebagai
pemantapan terhadap hasil dari pengerjaan LKS.
60
3) Penutup
Fase 3 : Evaluasi
a) Dengan bimbingan guru siswa membuat kesimpulan.
b) Guru memberikan evaluasi atau soal tertulis
c) Guru memberikan tugas rumah
d) Guru mengingatkan siswa untuk mempelajari kembali materi yang telah
diajarkan dan materi selanjutnya.
2.1.8 Lembar Kerja Siswa
a. Pengertian Lembar Kerja Siswa (LKS)
Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan salah satu jenis alat bantu pembelajaran,
bahkan ada yang menggolongkan dalam jenis alat peraga pembelajaran IPS
Ekonomi. Secara umum LKS merupakan perangkat pembelajaran sebagai
pelengkap/sarana pendukung pelaksanaan Rencana Pembelajaran (RP). Lembar
kerja siswa berupa lembaran kertas yang berupa informasi maupun soal-soal
(pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa) (Hidayah & Sugiarto,
2006).
Menurut Amin Suyitno (Lestari, 2006:19) LKS adalah media cetak yang berupa
lembaran kertas yang berisi informasi soal/pertanyaan yang harus dijawab siswa.
LKS ini sangat baik dipakai untuk menggalakkkan keterlibatan siswa dalam
belajar, baik dipergunakan dalam strategi heuristic maupun strategi ekspositorik.
Dalam strategi heuristik, LKS dipakai dalam penerapan metode penemuan
terbimbing sedangkan strategi ekspositorik LKS dipakai untuk memberikan
61
latihan pengembangan. LKS ini sebaiknya dirancang oleh guru sendiri sesuai
dengan pokok bahasan dan tujuan pembelajarannya.
b. Jenis-Jenis LKS
Menurut Sadiq (dalam Widiyanto, 2008:14) LKS dapat dikategorikan menjadi 2
macam yaitu sebagai berikut:
1) Lembar Kerja Siswa Tak Berstruktur
Lembar Kerja siswa tak berstruktur adalah lembaran yang berisi sarana untuk
materi pelajaran, sebagai alat bantu kegiatan peserta didik yang dipakai untuk
menyampaikan pelajaran. LKS merupakan alat bantu mengajar yang dapat
dipakai untuk mempercepat pembelajaran, memberi dorongan belajar tiap
individu, berisi sedikit petunjuk, tertulis atau lisan untuk mengarahkan kerja pada
peserta didik.
2) Lembar Kerja Siswa Berstruktur
Lembar Kerja siswa berstruktur memuat informasi, contoh dan tugas-tugas. LKS
ini dirancang untuk membimbing peserta didik dalam satu program kerja atau
mata pelajaran, dengan sedikit atau sama sekali tanpa bantuan pembimbing untuk
mencapai sasaran pembelajaran. Pada LKS telah disusun petunjuk dan
pengarahannya, LKS ini tidak dapat menggantikan peran guru dalam kelas. Guru
tetap mengawasi kelas, memberi semangat dan dorongan belajar dan memberi
bimbingan pada setiap siswa.
Dalam penelitian ini, LKS yang dipakai adalah tipe LKS berstruktur. LKS ini
diharapkan dapat dimanfaatkan siswa sebagai sumber belajar dengan atau tanpa
bimbingan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran tapi bukan berarti peran
62
guru digantikan melainkan guru sebagai pengawas dan motivator, dimana hal ini
sesuai dengan sifat LKS Berstruktur.
umum LKS merupakan seperangkat pembelajaran sebagai pelengkap / sarana
pendukung pelaksanaan Rencana Pembelajaran.
c. Kelebihan dan Kekurangan Lembar Kerja Siswa (LKS)
1) Kelebihan Penggunaan Lembar Kerja Siswa (LKS)
Menurut Pandoyo (Lestari, 2006:19-20), kelebihan dari penggunaan LKS
adalah:
a) Meningkatkan aktivitas belajar.
b) Mendorong siswa mampu bekerja sendiri.
c) Membimbing siswa secara baik ke arah pengembangan konsep.
2) Kekurangan penggunaan Lembar Kerja Siswa (LKS) Kekurangan dari
penggunaan LKS adalah.
a) Bisa disalahgunakan guru.
Sewaktu siswa mengerjakan LKS, guru yang seharusnya mengamati
bisa meninggalkannya. Hal tersebut terjadi bila guru tidak
bertanggungjawab atas proses belajar dan pembelajaran yang
dipimpinnya.
b) Memerlukan biaya yang belum tentu dianggap murah.
d. Kriteria LKS berkualitas baik
LKS termasuk media cetak hasil pengembangan teknologi cetak yang berupa
buku dan berisi materi visual, seperti yang diungkapkan oleh Arsyad (2004:29).
63
LKS harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar menjadi LKS yang berkualitas
baik. Syarat-syarat didaktik, konstruksi, dan teknis yang harus dipenuhi antara
lain : (Darmodjo dan Jenny R.E Kaligis 1992: 41-46)
1. Syarat-syarat didaktik.
Mengatur tentang penggunaan LKS yang bersifat universal dapat
digunakan dengan baik untuk siswa yang lamban atau yang pandai. LKS
lebih menekankan pada proses untuk menemukan konsep, dan yang
terpenting dalam LKS ada variasi stimulus melalui berbagai media dan
kegiatan siswa. LKS diharapkan mengutamakan pada pengembangan
kemampuan komunikasi sosial, emosional, moral, dan estetika.
Pengalaman belajar yang dialami siswa ditentukan oleh tujuan
pengembangan pribadi siswa
2. Syarat konstruksi berhubungan dengan penggunaan bahasa, susunan
kalimat, kosa kata, tingkat kesukaran, dan kejelasan dalam LKS
3. Syarat teknis menekankan pada tulisan, gambar, penampilan dalam LKS.
2.2 Kerangka Pemecahan Masalah
Pada kenyataannya IPS sering dianggap sebagai mata pelajaran yang susah untuk
dimengerti dan menjenuhkan. Indikasinya dapat dilihat dari prestasi belajar siswa
yang kurang memuaskan. Pembelajaran yang biasa diterapkan selama ini
menggunakan metode ekspositori, di mana pembelajaran berpusat pada guru,
siswa pasif, dan kurang terlibat dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan siswa
mengalami kejenuhan yang berakibat kurangnya minat belajar. Minat belajar akan
tumbuh dan terpelihara apabila kegiatan belajar dan pembelajaran
64
dilaksanakan secara bervariasi, baik melalui variasi model maupun media
pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif NHT merupakan sebuah variasi diskusi kelompok
yang ciri khasnya adalah guru hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili
kelompoknya tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili
kelompoknya tersebut. Sehingga cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa
dan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual
dalam diskusi kelompok. Dengan adanya keterlibatan total semua siswa tentunya
akan berdampak positif terhadap motivasi belajar siswa.
Pokok bahasan usaha manusia memenuhi kebutuhan merupakan materi yang
memerlukan keterampilan berhitung. Pada umumnya siswa menyelesaikan soal
yang berkaitan dengan materi tersebut dengan bermodal menghafal materi.
Melalui penggunaan LKS yang merupakan media pembelajaran IPS dengan
metode penemuan terbimbing dapat mengurangi ketergantungan siswa akan
materi yang mesti dihafalkan. LKS digunakan sebagai media dalam kerja
kelompok dalam pembelajaran kooperatif NHT.
Siswa-siswa dalam kelompok yang sama saling bekerjasama untuk mengerjakan
LKS, sehingga terjadi interaksi sosial antara siswa yang berkemampuan tinggi
dengan siswa yang berkemampuan rendah. Perpaduan model pembelajaran
kooperatif NHT dengan media pembelajaran LKS memiliki dampak positif
terhadap siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama
dalam satu tim. Siswa kelompok bawah akan mendapat transfer pengetahuan dari
siswa kelompok atas yang merupakan teman sebayanya yang memiliki orientasi
dan bahasa yang sama. Sedangkan siswa kelompok atas akan meningkat
65
kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor membutuhkan
pemikiran lebih mendalam tentang materi yang dijelaskan.
2.3 Hasil Penelitian yang Relevan
Terdapat beberapa hasil penelitian yang relevan dengan model pembelajaran
kooperatif pada penelitian ini;
1. Penelitian Fajar Warjianto (2010) tentang penerapan pembelajaran kooperatif
tipe NHT disertai media puzzle dapat meningkatkan partisipasi siswa terhadap
materi biologi, menyatakan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar siswa
sebesar 68,5% pada mata pelajaran Biologi setelah diterapkannya
pembelajaran kooperatif tipe NHT.
2. Penelitian Ferry Pietersz dan Horasdia Saragih (2010) tentang Pengaruh
Penggunaan Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together
Terhadap Pencapaian Matematika Siswa di SMP Negeri 1 Cisarua
disimpulkan bahwa penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe
numbered head together lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional.
3. Penelitian Mihaya (2010) tentang Meningkatkan Prestasi Belajar IPS Melalui
Pembelajaran Kooperatif Model Numbered Head Together Pada Siswa Kelas
VIII.A SMPN 1 Batanghari Lampung Timur Tahun Pelajaran 2010/2011
disimpulkan bahwa penggunaan metode pembelajaran kooperatif tipe
numbered head together lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional.
4. Penelitian Lailul Kusniah (2009). Implementasi Cooperative Learning Model
Numbered Heads Together dalam Pembelajaran IPS pada Siswa Kelas IV di
66
MIYaspuri kota Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi
cooperative learning model numbered heads together dalam pembelajaran
IPS dapat mengoptimalkan proses pembelajaran, ditunjukkan oleh adanya
perubahan pada antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran IPS, indikator
yang dicapai adalah: Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi, tampak
bersemangat dalam mengerjakan tugas-tugas, berusaha mengerjakan tugas
dalam waktu yang ditentukan, tampak gembira dan senang selama mengikuti
pembelajaran. Selain itu, implementasi cooperative learning model numberd
heads together dapat mempererat hubungan kerja sama antar siswa, saling
menghargai argumen/ pendapat anggota kelompoknya, dan melatih tanggung
jawab atas keputusan yang diambil.