bab ii kajian pustaka, kerangka pemikiran, dan...
Post on 13-Jan-2020
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1 Teori Agensifikasi Organisasi Publik
UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun
2004 Tentang Perbendaharaan Negara memungkinkan dialakukanya analisis
terhadap Badan Layanan Umum (BLU) dengan menggunakan teori agensi
(agensifikasi). Peraturan tersebut mengatur secara tegas peran pemerintah selaku
regulator dan peran pemerintah sebagai manajer. Pemerintah (principel) betindak
untuk menyusun regulasi dan bagian dari pemerintah (agen) berperan untuk
merencanakan, mengelola dan menggunakan sumber daya operasionalnya. PP 23
Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan BLU mempertegas peran dan fungsi
BLU sebagai satuan kerja (satker) yang bertindak atas nama pemerintah untuk focus
merencanakan, mengelola dan menggunakan sumber daya secara efektif dan
efisien.
Pada saat satker pemerintah ditetapkan sebagai satker BLU maka satker
BLU bertindak atas nama pemerintah sebagai agen. Dan pemerintah sebagai
prinsipel. Pemerintah (instnasi induk/pembina/kementerian keuangan selaku
BUN/prinsipel) dan agen nya adalah universitas negeri di bawah kementerian
agama dan di bawah kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi yang telah
ditetapkan oleh kementerian keuangan melalui DJPB sebagai satker BLU. Sebagai
22
pembina BLU di bawah DJPB Direktorat PK BLU. Sebagai agent, BLU tidak dapat
dilepaskan dari masalah keagenan yaitu asimetri informasi. BLU memiliki
informasi yang komperhensif mengenai operasionalnya yang mendorong perilaku
opurtunistik BLU akibatnya konflik keagenen akan terjadi.
Agensifikasi pada BLU berhubungan dengan pemecahan dua masalah
keagenan. Pertama adalah bagaimana pemerintah mengetahui dan memverifikasi
tindakan BLU dalam hal perencanaan dan pengendalian anggaran akibat adanya
asimetri informasi antara pemerintah dan BLU. Kedua adalah bagaimana
menselaraskan tujuan pemerintah dengan tujuan BLU, Bisa terjadi BLU mengambil
tindakan yang berbeda dengan pemerintah. Untuk memverifikasi tindakan BLU
maka BLU harus menyusun RBA sebagai dokumen perencanaan yang disyahkan
oleh pemerintah. Setiap tahun RBA BLU akan dievaluasi oleh pemerintah. Pada
saat proses verifikasi RBA komunikasi, negosiasi dan kesepakatan akan terjadi
antara pemerintah dan BLU sehingga asimetri informasi bisa diminimalisasi.
Selain itu, pemerintah memberikan kewenangan kepada BLU untuk
menyusun remunerasi yang diikuti dengan rule of the game atas hak dan kewajiban
setiap BLU. Kriteria kinerja yang dipersyaratkan pemerintah untuk evaluasi serta
pay-off yang akan diterima oleh BLU. Tujuan dari remunerasi ini adalah untuk
mengendalikan perilaku BLU agar tetap sesuai dengan tujuan yang telah ditetapka
oleh pemerintah yaitu tersedianya layanan yang standard dan terjangkau oleh
masyarakat. Akibatnya, manajer BLU akan terjamin kepentinganya melalui skema
remunerasi sehingga kecil kemungkinan memasukan kepentingan pribadi yang
lebih bnayak terhadap perencanaan anggaran.
23
Dalam konteks kinerja, kinerja yang terjadi atas dasar rasionalisasi
pemenuhan kebutuhan dapat mengarah pada perilaku yang disfungsional.
Manajemen akan menseting kinerja yang kemungkinan besar akan dapat mencapai
standar atau melampaui standar yang ditetapkan. Berdasarkan pertimbangan
rasional manajemen apabila standar kinerja dapat dicapai atau dapat dilampaui
maka hal ini mengidikasikan apa yang diupayakan manajemen telah tercapai.
Upaya ini dimotivasi oleh kompensasi yang telah dapat dipastikan dan telebih
dahulu diketahuinya dan resiko yang akan diterima telah terukur. Kinerja organisasi
yang diukur berdasarkan ketercapaian anggaran teori ini berlaku, anggaran akan
diseting oleh manajemen yang lebih banyak menggunakan estimasi rasionalnya
yang bukan didasarkan kepada data atau informasi akuntansi. Akibatnya anggaran
yang disusun beradsarkan estimasi tidak akurat. Tentu dalam setting ini tersirat
perilaku untuk memastikan terlebih dahulu apakah angka itu telah mengandung
kepastian kompensasinya akibatmya yang terjadi adalah anggaran pendapatan akan
disusun di bawah standar yang terjadi dan belanja disusun di atas standar.
Selain itu, perilaku ini menunjukan sikap kehati-hatian terhadap resiko yang
akan dihadapi apabila anggaran tidak tercapai. Pengestimasian anggaran
pendapatan yang rendah akan menghasilkan sumber dana yang dapat digunakan
oleh manajemen untuk deskresi dalam situasi ketidakpastian. Untuk mengatasi
permasalahan ini maka perilaku agent harus dikendalikan. Pengendalian yang
dilakukan secara formal dan menitikberatkan kepada reward dan punishment.
Pengendalian ini memiliki kelemahan karena secara psikologis dianggap sebagai
tekanan atasan terhadap bawahan. Keadaan yang berulang berakibat kejenuhan dan
24
konflik hubungan organisasional tidak dapat dihindari yang ujungnya kinerja
menjadi akan sangat sulit tercapai.
Rasionalitas manajemen didalamnya ada rasionalitas manusia dalam
bekerja, rasionalitas manusia ini tidak dapat dipandang sebagai rasional yang tetap.
Ia akan mengalami perkembangan seiring dengan keadaan dan situasi yang
dihadapinya, misalnya seseorang yang diberikan kepercayaan akan tumbuh
kesadaran di dalam dirinya untuk berbuat dengan sebaik-baiknya dan lebih
bertanggungjawab dari pada mereka yang tidak diberikan kepercayaan. Manusia
tidak bekerja hanya dengan motif mencari keuntungan pribadi sebagai motif akhir,
tetapi ada pertimbangan lain yang masih sangat mungkin terjadi seiring dengan
perkembangan kesadaran manusia itu sendiri. Weber (1968), Parsons (1968), dan
Herzberg (1966), dalam Donaldson (1995), bahwa mereka harus melakukan
pekerjaan dengan baik lewat beberapa klasifikasi motivasi individual yaitu
keinginan melakukan pekerjaan dengan baik (compulsive behaviour), manusia
seharusnya melakukan pekerjaan yang baik (normatively governed behaviour),
dan manusia enjoy dengan pekerjaannya (intrinsic motivation).
Hal yang sama juga dilihat oleh Parsons (1951), yang menemukan adanya
sifat altruistis orientasi kolektif. Sementara Hersberg (1966), melalui teori X dan Y,
menyatakan bahwa pada dasarnya termotivasi bekerja sepenuhnya dan baik.
Terdapat perbedaan kinerja yang sangat signikan antara organisasi yang diberikan
kepercayaan untuk mengambil keputusan dengan organisasi yang tidak diberikan
keprcayaan dalam pengambilan keputusan. Situasi kepercayaan akan mengaktifkan
rasa tanggungjawab yang lebih dari yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya.
25
Dari sisi perilaku tanggugjawab ini diikuti dengan sikap komitmen untuk
melakukan perilaku yang terbaik untuk organisasinya. Komitmen akan tumbuh
seiring dengan keadaan dan situasi psikologis yang diciptakan oleh organisasi dan
lebih banyak ditentukan oleh motivasi intrinsic misalnya merasa enjoy bekerja dan
merasa nilai-nilai yang ada di dalam organisasi selaras dengan nilai-nilai yang
diyakini di dalam dirinya. Pola hubungan manajerial secara implisit mengalami
pergeseran yang tadinya pola hubungan yang terjadi antara atasan dan bawahan
menjadi pola hubungan kemitraan. Gejala ini dapat diamati dengan perilaku
manajemen yang lebih banyak menggunakan kesempatan kolektif untuk saling
berkomunikasi untuk mencapai tujuan organisasi. Berfokus pada hubungan
interpersonal, peningkatan pengambilan keputusan partisipatif, khususnya
pemberdayaan dan umpan balik.
2.1.2 Stakeholder Theory
Akuntabilitas BLU selaku agen berakar pada stakeholder theory
(Freeman, 1994). Secara luas stakeholder merupakan kelompok/orang yang berada
disekeliling organisasi yang mengitarinya yang terdampak secara langsung karena
keberadaanya dan pengguna manfaat secara langsung. Stakeholder BLU
Universitas meliputi pemerintah (shareholder), masyarakat kampus; perwakilan
masyarakat biasa, guru besar, dosen, ikatan lulusan/alumni, tenaga kependidikan,
pemerintah daerah, masyarakat umum, perusahaan/industry (pengguna lulusan),
mitra kampus, komunitas, organisasi professional, Negara donor, NGO, media,
masyarakat Indonesia dan dunia. Akibatnya, BLU Universitas harus dikelola untuk
kebermanfaatan stakeholder konsekuensinya stakeholder harus berpartisipasi
26
dalam keputusan yang secara substansi mempengaruhi kepentinganya. Partisipasi
stakeholder dalam keputusan BLU Universitas akan menghasilkan informasi yang
lebih akurat dan tidak bias sehingga meningkatkan efisiensi BLU Universitas.
2.1.3 Lingkungan Eksternal Organisasi
2.1.3.1 Pengertian
Lingkungan organisasi merupakan kondisi/keadaan lingkungan
internasional, nasional (Negara) dan lingkungan organisasi tempat organisasi
menjalankan operasionalnya yang harus diamati dan direspon secara terus menerus
agar organisasi dapat mempertahankan kinerjanya (Wagner dan
Hollenbeck,2010:271). Untuk memudahkan identifikasi, Wheelen dan Hunger
(2012: 16) mengelompokan lingkungan organisasi menjadi lingkungan internal dan
lingkungan eksternal. Keadaan lingkungan internal merupakan factor-faktor yang
dapat diidentifikasi dan berada dalam kendali manajemen diantaranya sumber daya,
keuangan, system operasional, system informasi. Keadaan lingkungan eksternal
merupakan sejumlah faktor yang mempengaruhi organisasi yang berasal dari
tekanan luar organisasi, sulit diidentifikasi dan tidak dalam kendali manajemen.
Organisasi publik beroperasi dalam lingkungan (internal dan eksternal)
yang sama dengan organisasi bukan publik. Lingkungan organisasi berupa
organisasi, individu, dan entitas lain. Societal Environment meliputi lembaga
sosial-budaya, hukum, demokrasi dan politik, kondisi ekonomi, dan teknologi.
Mereka memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung pada kegiatan sehari-hari
dan pengelolaan organisasi. Task Environment terdiri dari keadaan dan kondisi
27
yang mengelilingi organisasi. Ini terdiri dari keadaan nasional dan sosial-politik dan
budaya di mana semua organisasi beroperasi. Organisasi yang beroperasi dalam
budaya dan iklim yang sama mengalami kekuatan lingkungan eksternal yang sama
(Wheelen dan Hunger, 2012: 16). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa lingkungan eksternal merupakan keadaan limgkungan luar yang
mengelilinginya ketika menjalankan operasionalnya. Semakin dekat sesuatu
terhadap lingkungan organisasi maka akan semakin kuat pengaruhnya (Wagner dan
Hollenbeck, 2010:271; Wheelen dan Hunger 2012: 16).
Gambar 2.1 Variabel Lingkungan
Sumber : Wheelen dan Hunger (2012: 16) dan Peneliti (2019)
Gambar tersebut membantu memudahkan manajer untuk mengidentifikasi
dan merespon keadaan yang dihadapinya. Untuk beberapa peroalan seringkali tidak
dapat dipandang sebagai sesuatu yang harus segera direspon tentu menyesuaikan
dengan kesiapan kondisi internal. Semua factor saling terkait satu dengan yang
28
lainnya. Akibatnya, menjelaskan keberhasilan atau kegagalan organisasi publik
tidak dapat dijelaskan di luar lingkungan tempat di mana mereka beroperasi. Hasil
penelitian () menunjukan bahwa kinerja departemen pelayanan pemerintah secara
positif dipengaruhi oleh keadaan social politik yang dirasakan. Kaeadaan social
pilitik ini berupa lembaga formal; terdiri dari konstitusi, undang-undang, kebijakan,
dan perjanjian formal. Dan bisa juga lembaga bukan formal; norma-norma perilaku.
Hasil penelitian () menyatakan bahwa strategi organisasi secara substansial
dipengaruhi oleh pengaturan yang lebih besar dari lembaga lingkungan operasi,
budaya, sejarah dan institusi yang mencerminkan pemerintahan negara. Dalam
konteks Indonesia, organisasi public keadaanya dipengaruhi oleh pemerintahan
yang ada. Tujuan pemerintahan menjadikan organisasi public sebagai organisasi
pemerintahan dimaknai sebagai suatu bentuk pengendalian agar tidak hilang sifat
kepublikanya. Pemerintahan mempunyai peran dalam menjamin tetap ada dan
terselenggaranya layanan public yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Manajemen pemerintahan yang dioperasionalkan the ruler dan the ruled
selanjutnya dikenal dengan birokrasi, yang ditandai dengan kehidupan organisasi
yang rutin (routines of workday life) kemudian menunjukan kecenderungan-
kecenderungan perilaku boros, sentralistik, top-down dan sangat hirarkis. Interaksi
antara organisasi public dan lingkungan eksternalnya ini telah menurunkan
efektivitas manajemen organisasi publik (Madueke 2010: 34-35). Kenderungan-
kecenderungan yang dirasakan berdampak terhadap peran dan fungsi manajer
terutama terkait fungsi perencanaan dan evaluasi kinerja. Perencanaan dan evaluasi
kinerja disusun secara berulang berdampak terhadap keadaan psikologis
29
manajemen yang ditandai dengan menurunya kinerja manajemen dengan kata lain
kinerja organisasi menjadi sangat sulit tercapai.
Tabel 2.1
Dampak Lingkungan Eksternal Terhadap Perilaku Manajer
Karakteristik Lingkungan Eksternal yang dirasakan
oleh organisasi public
Analisis Peneliti
(2019)
Keadaan yang dirasakan Keadaan yang seharusnya
Perencanaan dan evaluasi
kinerja dijalankan
berdasarkan prosedur
kepatuhan dari pada
sebagai proses untuk
membahas solusi yang
diusulkan untuk
meningkatkan hasi
Perencanaan dan evaluasi
kinerja dijalankan
berdasarkan dengan
melibatkan secara bersama
sama unsur unsur yang
terkait untuk membahas
sehingga menjawab
permasalahan yang
dihadapi
Keadaan yang
dirasakan oleh
manajer organisasi
public akan
mempengaruhi
bagaimana sikap
dan perilaku nya
dalam pengambilan
keputusan. Suasana
yang dirasakan
sebelumnya menjadi
sangat rutin dan
berulang akibatnya
proses perencanaan
dan evaluasi kinerja
berulang dan
karenanya masalah
terjadi secara
berulang.
Pembuatan kebijakan
otoritatif tidak transparan,
tidak akuntabel, dan
bergantung pada otoritas
tertinggi (Presiden)
Pembuatan kebijakan
menjadi lebih transparan,
lebih akuntabel, tetapi juga
lebih menantang, lebih
berisik, dan lebih memakan
waktu
Perencanaan dan evaluasi
kinerja lebih ditentukan
oleh data subjektif dari
pada data objektif
Perencanaan dan evaluasi
kinerja lebih ditentukan
oleh data objektif yaitu
informasi eksternal dan
informasi internal
Sumber : Understanding Policymaking in Indonesia (2017)
Table diatas menunjukan analisis keadaan lingkungan yang dirasakan oleh
manajemen organisasi public yang berasal dari keadaan lingkungan eksternal
terdekatnya yaitu pemerintahan maka dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku
manajemen organisasi public menjadi sangat tergantung kepada apa yang
30
diperlakukan oleh pemerintahan yang berlaku kepadanya. Para pembuat kebijakan
telah mengklaim bahwa dampak dinamika lingkungan dapat dikurangi melalui
perbaikan perencanaan dan koordinasi (Office of Public Services reformasi, 2002).
Kemampuan manajemen strategis organisasi publik harus diarahkan untuk
memperkuat kesesuaian antara organisasi dan pemangku kepentingan eksternal
(poister dan Streib, 1999).
Ketidakpastian yang lebih tinggi mengarahkan manajer organisasi public
untuk lebih memperhatikan strategi, struktur, dan proses dalam mejalankan peran
dan fungsinya terutama fungsi perencanaan dan pengendalian untuk meningkatkan
kinerja organisasi. Manajemen strategis organisasi public diadopsi dari teori
manajemen strategis Hunger dan Wheelen (2012) menyatakan bahwa strategi
merupakan langkah-langkah terencana dan sistematis dalam mengelola sumber
daya internal organisasi dalam merespon pengaruh kekuatan lingkungan eksternal.
Proses manajemen strategis menjadi empat elemen dasar yaitu (1) pemindaian
lingkungan, (2) formulasi strategi, (3) implementasi strategi, dan (4) evaluasi dan
pengawasan.
Gambar 2.2
Manajemen Proses Organisasi Publik
Sumber : Wheelen dan Hunger (2012: 16) dan Peneliti (2019)
31
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hoglun et.all, (2018) studi kasus
kualitatif tentang bagaimana manajer administrasi transportasi Swedia
mengimplementasikan manajemen strategis. Hasilnya adalah badan pemerintah
pusat di Swedia tersebut telah mengimplementasikan manajemen strategis
sebagaimana tahapan yang dimodelkan oleh Wheelen dan Hunger (2012:16)
Menggambarkan bagaimana keempat elemen ini berinteraksi. Model perencanaan
yang menyajikan apa yang harus dilakukan organisasi dalam hal proses manajemen
strategis, bukan apa yang sebenarnya dilakukan oleh organisasi. Model
perencanaan rasional memprediksi bahwa ketika ketidakpastian lingkungan
meningkat, perusahaan yang bekerja lebih rajin untuk menganalisis dan
memprediksi lebih akurat situasi perubahan di mana mereka beroperasi akan
mengungguli mereka yang tidak.
Pengamatan lingkungan eksternal dilakukan untuk mengindentifikasi
peluang-peluang dan ancaman-ancaman yang dihadapi oleh organisasi. salah satu
alat yang digunakan adalah analisis SWOT merupakan suatu cara sistematik untuk
mengidentifikasi factor-faktor kekuatan (STRENGHT), kelemahan (WEAKNESS)
intern perusahaan lalu peluang (OPPORTUNITY) dan ancaman (THREAT) didalam
lingkungan yang dihadapi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa
strategi yang efektif akan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta
meminimalkan kelemahan dan ancaman.
Analisis SWOT meliputi:
Strength (kekuatan)
32
Sumber daya (keuangan atau financial, manusia, energi, mesin, bangunan dan
sebagainya) keterampilan atau keunggulan khas yang dimiliki oleh individu
atau organisasi lain. Strenght atau kekuatan disebut juga core distinctive atau
kompetensi inti.
Weakness (kelemahan)
Keterbatasan atau kekurangan sumber daya, keterampilan, kapabilitas yang
menghambat kemajuan perusahaan, baik secara kinerja (competency), profits
income, improvement managerial & product.
Opportunity ( peluang)
Situasi penting yang menguntungkan bagi perusahaan. Kemungkinan peluang
tersebut tidak datang dua kali, akan tetapi perusahaan yang mampu melihat
berbagai peluang dengan baik dari kacamata bisnis, sangat berperan besar
dalam pencapaian targets dan goals perusahaan.
Threat (ancaman)
Situasi yang penting yang tidak menguntungkan, dapat dihilangkan, dapat
diperbaiki, bagaimanapun cara perusahaan mengatasinya. Hambatan tersebut
tentu memiliki kapabilitas untuk menghambat dan merupakan sesuatu yang
tidak menguntungkan.
Ptaszynski (1989) meneliti pengaruh pemindaian lingkungan di organisasi
pendidikan. Studi ini menemukan pemindaian lingkungan memiliki efek positif
pada organisasi. Efek paling signifikan adalah bahwa pemindaian menyediakan a
proses terstruktur yang mendorong orang untuk secara teratur berpartisipasi dalam
diskusi tatap muka tentang masalah perencanaan. Alhasil, organisasi pun mampu
33
mengembangkan sejumlah strategi opsi yang dapat digunakan secara proaktif untuk
mengatasi perubahan eksternal. Membangun strategi untuk mencapai visi berkaitan
dengan bagaimana organisasi mampu Membangun perencanaan jangka menengah
dan tata kelola organisasi yang dapat mendukung upaya perubahan transformatif
dari organisasi.
Perencanaan jangka menengah atau yang sering disebut dengan
perencanaan strategis merupakan langkah kunci dalam mencapai visi organisasi.
Suatu visi akan kehilangan arah jika tidak memiliki peta mengenai peta bagaimana
kita akan mencapai tujuan yang kita inginkan, sehingga perencanaan strategis
merupakan pemikiran mengenai masa depan, mengendalikan masa depan dan
memutuskan akan seperti apa masa depan dari organisasi (Mintzberg, 1995).
Penerapan perencanaan strategis akan berhasil jika dikuti dengan komitmen dari
pimpinan dan dukungan dari seluruh jajaran manajemen dan staf. Komitmen
pimpinan dan dukungan manajemen dan staf dapat terbentuk jika adanya
keselarasan antara strategi, proses bisnis, kemampuan pegawai dan kebutuhan dari
pemangku kepentingan (Labovitz and Rosansky, 2000) atau dengan kata lain
adanya tata kelola organisasi yang baik (Riyanto, 2012).
Keberhasilan pencapaian visi dimulai dari keberadaan seorang pemimpin
yang tidak hanya mampu menciptakan visi tetapi juga mampu mengkomunikasikan
visi kepada seluruh anggota organisasi dan memiliki keahlian dalam
mengorganisasikan dan mengelola proses perubahan, sehingga mampu
menginspirasi mereka untuk mampu bekerja dalam mencapai tujuan organisasi.
Perubahan harus direncanakan dan dikelola dengan baik, tetapi tanpa adanya
34
seorang pimpinan, setiap upaya yang dibutuhkan tidak akan dapat dimulai dan
bahkan tidak akan mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan (Kotter, 1996).
Mengomunikasikan visi dapat mengarahkan pada pengintegrasian dari visi ke
dalam perilaku kerja dan keputusan-keputusan dari para manajer dan pegawai
melalui hirarki organisasi (Kohles. 2000). Peran pimpinan dalam
mengkomunikasikan visi dapat dilakukan dengan pendekatan komunikasi dua arah
dengan bawahan (two-way communication), memberikan pemahaman yang
sebenarnya mengenai visi kepada bawahan (vision knowledge) dan pengintegrasian
visi (vision integration) (Kotter, 1996).
2.1.3.2 Dimensi dan Pengukuran Lingkungan Eksternal Organisasi
Aldrich (1979:63-69) mengidentifikasi 6 (enam) dimensi lingkungan
eksternal, yaitu : environment capacity (rich/lean), environment homogeneity-
heterogenity, environment stability-instability, environment concentration-
dispersion, domain concensus-dissensus, dan environmental turbulence. Secara
ringkas, keenam dimensi itu dijelaskan sebagai berikut :
1. The environment capacity : tingkat sumber daya relatif yang tersedia bagi
organisasi di lingkungannya. Dimensi ini juga dapat dikonseptualisasikan
sejauh mana organisasi harus memperluas wilayah operasinya untuk mengatasi
sumber daya yang dibutuhkannya, baik untuk mencapai stabilitas atau
pertumbuhan.
35
2. The environment homogeneity-heterogenity : tingkat kesamaan atau perbedaan
antara unsur-unsur penduduk yang ditangani, termasuk organisasi, individu dan
kekuatan sosial yang mempengaruhi sumber daya.
3. The environment stability-instability : tingkat omset di elemen lingkungan.
4. The environment concentration-dispersion : sejauh mana sumber daya,
termasuk populasi yang dilayani dan elemen lainnya, didistribusikan secara
evolusioner ke berbagai lingkungan atau terkonsentrasi di lokasi tertentu.
5. The domain concensus-dissensus : sejauh mana sebuah organisasi mengklaim
domain khusus adalah perselisihan atau diakui oleh organisasi lain, termasuk
lembaga pemerintah.
6. The environment turbulence : sejauh mana lingkungan terganggu dengan
meningkatkan interkoneksi lingkungan, dan tingkat interkoneksi yang
meningkat.
Duncan (1972) sebagaimana dinyatakan Daft (2010:145) membagi
lingkungan eksternal menjadi 2 dimensi yaitu : simple-complex dimension dan
static-dynamic dimension. Kedua dimensi itu dijelaskan sebagai berikut :
1. The simple-complex dimension concerns environment complexity, Dimensi
kompleks menyangkut kompleksitas lingkungan, yang mengacu pada
heterogenitas atau jumlah atau ketidaksamaan unsur eksternal yang relevan
dengan operasi organisasi. Semakin banyak faktor eksternal yang secara teratur
mempengaruhi organisasi dan semakin banyak perusahaan lain dalam suatu
domain organisasi, semakin besar kompleksitasnya. Lingkungan yang
kompleks adalah lingkungan dimana organisasi berinteraksi dan dipengaruhi
36
oleh berbagai elemen eksternal yang beragam. Dalam lingkungan yang
sederhana, organisasi berinteraksi dengan dan dipengaruhi oleh hanya beberapa
lingkungan eksternal yang serupa.
2. The stable-unstable dimension refers to whether elements in the environment
are dynamic. Dimensi stabil-tidak stabil mengacu pada apakah unsur-unsur di
lingkungan itu dinamis. Lingkungan domin stabil jika tetap sama selama
periode bulan atau tahun. Dalam kondisi tidak stabil, elemen lingkungan
bergeser secara tiba-tiba.
Robbins & Judge (2013, hal. 499) mengidentifikasikan 3 dimensi
lingkungan eksternal, yaitu : capacity, volatility dan complexity. Hal ini
dijelaskannya sebagai berikut :
1. Capacity refers to the degree to which the environment can support growth.
Kapasitas mengacu pada sejauh mana lingkungan dapat mendukung
pertumbuhan. Lingkungan yang kaya dan berkembang menghasilkan kelebihan
sumber daya, yang dapat menyangga organisasi pada saat kelangkaan relatif.
2. Volatility describes the degree of instability in the environment. Volatilitas
menggambarkan tingkat ketidakstabilan di lingkungan. Lingkungan dinamis
dengan tingkat perubahan tak terduga yang tinggi membuat manajemen sulit
membuat prediksi yang akurat. Karena perubahan teknologi informasi di tempat
yang begitu cepat, misalnya, lingkungan organisasi lebih menjadi tidak stabil.
3. Complexity is the degree of heterogeneity and concentration among
environmental elements. Lingkungan sederhana-seperti industri tembakau-
homogen dan terkonsentrasi. Lingkungan yang dicirikan oleh heterogenitas dan
37
dispersi - seperti industri broadband - rumit dan beragam, dengan banyak
pesaing.
Andrews (2008) mengukur ketidakpastian lingkungan (perceived
environmental uncertainty) dalam sektor publik dengan mengkombinasikan
dimensi-dimensi dari beberapa penelitian sebelumnya (seperti Duncan, 1972;
Jurkovich, 1974; Terreberry, 1968). Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan
bahwa persepsi manajerial atas dimensi kompleksitas dan dinamisme merupakan
penentu paling penting dari ketidakpastian lingkungan eksternal. Kompleksitas,
ketidakstabilan, dan ketidakpastian lingkungan yang dihadapi oleh organisasi
sektor publik dapat mendefinisikan karakteristik publisitas mereka (Boyne, 2002).
Kompleksitas dan dinamisme dari ketidakpastian lingkungan eksternal diuraikan
sebagai berikut:
1. Kompleksitas
Kompleksitas lingkungan menggambarkan tingkat perkembangan dan
heterogenitas faktor-faktor relevan di lingkungan organisasi (Duncan, 1972).
Kompleksitas lingkungan yang tinggi tercermin dari tingginya jumlah faktor
dan besarnya perbedaan antar organisasi. Fuentes-Fuentes et al. (2004)
menyatakan bahwa kompleksitas lingkungan menunjukkan tingkat kerumitan
pengetahuan mengenai lingkungan yang dibutuhkan oleh sebuah organisasi.
Organisasi dengan lingkungan yang kompleks membutuhkan diferensiasi
internal yang lebih tinggi. Kompleksitas dalam hal ini mengacu pada variasi dan
pengetahuan yang perlu dimiliki terkait dengan jasa yang diberikan oleh
38
organisasi. Klijn (2008) menjelaskan bahwa teori dan praktik administrasi
publik telah mengalami pergeseran. Pada awalnya, administrasi publik sangat
berfokus pada elemen stabilisasi pemerintah, terutama pada struktur organisasi
formal, seperti birokrasi. Tetapi secara bertahap, para peneliti mulai
memperhatikan bahwa dalam praktiknya, pemerintahan tidak hanya focus pada
peraturan karena faktanya komunikasi dan implementasi kebijakan publik
menjadi upaya yang kompleks. Andrews (2008) menyatakan bahwa pada sektor
publik, kompleksitas mencerminkan penilaian manajer tentang homogenitas
dan penyebaran pengguna layanan, warga negara, dan lembaga eksternal
dengan siapa mereka berinteraksi.
2. Dinamisme
Dinamisme lingkungan menggambarkan tingkat perubahan di lingkungan dan
adanya ketidakstabilan dari waktu ke waktu. Wijbenga dan Witteloostuijn
(2007) mendefinisikan dinamisme lingkungan sebagai tingkat di mana
preferensi konsumen dan produk organisasi berubah seiring waktu. Lingkungan
dinamis tidak dapat diprediksi, tanpa pola dan keteraturan (Dess dan Beard,
1984). Namun, untuk mengatasi gejolak dan ketidakstabilan lingkungan,
organisasi dapat melakukan manajemen strategis yang lebih baik.
Di sektor publik, pembuat kebijakan mengklaim bahwa dampak dinamisme
lingkungan dapat dikurangi melalui peningkatan perencanaan dan koordinasi
organisasi. Meskipun perubahan besar dalam lingkungan sosial ekonomi dan
politik eksternal organisasi publik sering diketahui sebelumnya (misalnya,
39
perubahan demografi dan inisiatif kebijakan baru), namun ketidakpastian
lingkungan masih cenderung memiliki pengaruh penting pada organisasi sektor
publik. Misalnya, adanya guncangan lingkungan, seperti bencana alam atau
krisis politik, dapat memberikan beban tambahan pada organisasi untuk lebih
memahami dan mengelola ketidakpastian (Meyer, 1982).
Dalam konteks penelitian ini yang mempengaruhi organisasi public untuk
mengimplementasikan strateginya awalnya terfokus terhadap regulasi, namun
seiring perkembangan maka organisasi public focus terhadap komunikasi dan
implementasi kebijakan (Ezzamel, M.,1990; Abernethy, M. A., dan Stoelwinder, J.
U.,1991; Yilmaz, E. dan Ozer, G., 201; Sharma, D. S, 2002) Agar variabel ini
dapat dioperasionalisasikan maka diuraikan kedalam 2 dimensi dan 6 indikator
sebagai berikut :
(a) Dimensi Kompleksitas (Andrews, 2008), adalah komunikasi dan
implementasi kebijakan publik menjadi upaya yang kompleks. Terdiri dari 3
indikator :
1. Responsive terhadap keadaan lingkungan eksternal (Perubahan
strategi) adalah sejauhmana strategi yang akan dilaksanakan telah
memotret dinamika lingkungan luar organisasi .
2. Strategi organisasi semakin terarah dan terukur serta memudahkan
untuk diimplementasikan adalah upaya yang konkret dari manajer untuk
tetap berfokus pada strategi yang telah dibuatnya.
40
3. Mengadopsi nilai-nilai profesionalitas dalam menyusun dan
menimplementasikan strategi adalah upaya manajer dalam menyusun
strategi yang akan dilaksankanya.
(b) Dimensi Dinamisme (Andrews, 2008) adalah sejauhmana upaya manajer
untuk menyesuaian perubahan dinamika lingkungan eksternal salah satunya
adalah kebiajkan pemotongan anggaran, perubahan naik atau turun APBN
dan daya beli masyarakat. Terdiri dari 3 indikator :
1. Strategi organisasi dikomunikasikan ke seluruh tingkatan
organisasional adalah upaya yang terstruktur untuk dapat
melaksanakan aktivitas, program dan kegiatan yang telah direncanakan.
Strategi organisasional meningkatkan motivasi kerja adalah secara
internal strategi ini mampu dilaksanakan dengan usaha yang maksimal
dari dalam.
2. Implementasi Remunerasi meningkatkan kinerja adalah salah satu
konsekuensi adanya perubahan lingkungan eksternal yang berdampak
terhadap motivasi pegawai mencapai tujuan.
2.1.4 Struktur Organisasi Terdesentralisasi
2.1.4.1. Pengertian Struktur Organisasi Terdesentralisasi
Robbins (2003:425), menambahkan bahwa struktur organisasi menentukan
bagaimana tugas dan pekerjaan secara formal dibagi, dikelompokkan, dan
dikoordinasikan McShane dan Glinow (2005:446) berpendapat bahwa struktur
organisasi mengacu pada pembagian kerja seperti pola koordinasi, komunikasi, alur
41
kerja dan kekuasaan formal yang mengarahkan aktivitas organisasi Sedangkan
menurut Hall (2008:16), Struktur organisasi mencerminkan distribusi tanggung
jawab, wewenang, dan akuntabilitas seluruh organisasi. Sementara itu, pengertian
struktur organisasi yang dikemukakan oleh Jones (2007:7) melihat struktur
organisasi dari tujuan pembentukannya yaitu sebagai sistem formal hubungan tugas
dan wewenang yang mengendalikan bagaimana orang mengkoordinasikan tindakan
mereka dan menggunakan sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi. Tujuan
utama struktur organisasi adalah pengendalian: mengendalikan cara orang
mengkoordinasikan tindakan mereka untuk mencapai tujuan organisasi dan
mengendalikan cara yang digunakan untuk memotivasi orang untuk mencapai
tujuan
Berdasarkan pengertian di atas dapat diartikan bahwa struktur organisasi
adalah sistem formal dari tugas dan wewenang yang mengontrol bagaimana orang
mengkoordinasikan tindakan mereka dan menggunakan sumber daya untuk
mencapai tujuan organisasi. Tujuan utama dari struktur organisasi: untuk
mengendalikan cara orang mengkoordinasikan tindakan mereka untuk mencapai
tujuan organisasi dan untuk mengontrol cara yang digunakan untuk memotivasi
orang untuk mencapai tujuan tersebut.
Pembentukan sebuah agensi didasarkan pada dua ide utama yaitu adanya
struktur yang dipisahkan (structural disoggregating) dan kontrak kinerja
(performance contracting). Struktur yang denya adaluh untuk memecahkan
organisasi kementeriar/departemen/satker yang besar merjadi lebih terfokus dan
terpisah dengan harapan dapat meningkatkan transparans publik lebih mudah,
42
sehingga dapat membantu principal dan membuat pelaksanaan akuntabilitas
(departemen/dinas) dalam meningkatkan kinerjanya. Sedangkan dengan dibuatnya
kontrak kiners, maka diharapkan hubungan tetap terjaga antara struktur
purchoser/provider atau policy/operotion dengan mensyaratkan penerapan a result-
oriented focus kepada agensinys (Talbot dan Polit, 2000)
Penerspan ide structural divopgregoting harus mempertimbangkan
beberspa hal sebagai benkut (Taltbol den Polit, 2000)
1. spesificaksi tugas, yoitu instansi pemerintah yong dijodikan agensi harus
memilid tugas yang spesifik dan fokus, terutama dalam hal pemberian layanan
jasa secara langsung kepada pemangku kepentingan, misalnya pelayanan dasar
pendidikan dan kesehatan;
2. Spesialisasi tuges, yaitu bahwa agensi harus memiliki spesialisasi dan keahlian
di bidang pelayanan tertentu, misalnya universitas memiliki spesialisasi dan
keahlian di bidang penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan rurnah sakit
memiliki spesialisasi dan keahilian di bidang penyelenggaraan pelayanan
kesehatan.
3. Unit akuntablitas, yaitu bahwa agensi harus mampu meningkatkan transparansi
dan meningkatkan akuntabilitas publik sehingga principal dapet memantau dan
menekan kepada agensi untuk selalu meningkatkan kinerjanya;
4. Otoncmi manajerial, yaitu bahwa Untuk dapat mencapai target kinerja yang
telah ditetapkan, maka agensi harus diberikan fleksabilitas dalam pengetolaan
sumber daya keuangan, dan sumber days maniusia serta fleksitulitas delam
pengaturan organises.
43
5. Dalam dokumen vontrak inerp, residt harus diartikan secara spesifik dalam
bentuk output atau bahkan outcomes, bikan input atau process. Untuk mencapal
result tersebut, principal harus memberikan keleluasaan kepado manajemen
untuk memaksimalkan diskresi untuk melakukan inovasi Oieh karena u. dalan
dzkumen kontrak inerjs diharapkan dapat mencakup beberape hal penting
sebagal berikut Taltot dan Polit, 2000)
6. Kontrak pengelolaan sumber daya, bahwa rnanajemen diberikan keletuasaan
untuk mengelola target kinerja yang telah disepakati antara manajemen dengan
prinspalnya
7. Loporan kinerja, bahwa seluruh hasil pelaksanaan pengelolaan organisas oleh
manajemen harus dilaporkan kepada prinsipal dalam bentuk Laporan Keuangan
dan Laporan Akuntabilitas Kinerja setelah dilakukan audit oleh aditor
independen
8. Perangkatan kinerja, bahwa manejamen diharapkan mampu meningkatkan
keekonomisan, keefisienan dan keefektifon (meningkatkan output, kualitas
layanan jasa dan outcomes) sehingga dapot memberikan rital tambah bogi
pemangku kepentingan;
9. Menerapkan model anggaran terbasis kinerja, bahwa dalam penentuan
kebutuhan sumber daya harus dapat dikaitkan antara kebutuhan anggaran per
program dengan hasil (result) yang dicapai sehingga dapat meningatkan kualitas
pengambilan keputusan bagi manajemen. Penyusunan anggaran berbasis
kinerja menggunakan pendekatan yang sistematik dan rasional yang memiliki
keterkaitan dengan perencanaan jangka menengah secara utuh dan
44
komprehensif sehingga informasi yang dhasilkan dari penerapen anggaran
berbasis kinerja dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan pengambilan
keputusas manajemen sektor public;
10. Menerapkan manajemen kinerja, bahwa prinsipal mensyaratkan kepada
manajernen) untuk neningkatkan strategic management process dalam
pengelolaan organisasinya.
Lebih lanjut Daft (2006:36) menyatakan bahwa untuk menanggapi
lingkungan yang tidak pasti yaitu dengan cara beradaptasi dengan lingkungan
dilakukan dengan mendesentralisasikan proses pengambilan keputusan dengan cara
membentuk atau mendisain struktur-struktur organisasi yang lebih fleksibel untuk
dapat mendesentralisasikan proses pengambilan keputusan tersebut. untuk
mendisain struktur organisasi yang efektif perlu diperhatikan tingkat formalisasi,
spesialisasi, tingkatan kewenangan, sentralisasi, profesionalisme, rasio karyawan
atau pekerja, ukuran perusahaan, tingkat teknologi yang digunakan, lingkungan,
tujuan dan strategi, serta budaya. Selanjutnya untuk menghadapi lingkungan yang
berbeda dan agar sebuah perusahaan dapat sukses dalam menghadapi lingkungan
yang berubah.
Tingkat otonomi sebuah agensi secara umum dapat dilihat dari empat poros,
yaitu: poros personel, poros anggaran, poros pelanggan dan poros tata kelola
(Beblavy, 2001). Berdasarkan poros personel dapat dilihat tingkat otonomi suatu
agensi berdasarkan keberadaan personelnya, apakah personel seluruhnya pegawai
pemerintah atau sebagainya non pegawai pemerintah. Jika semakin banyak
pegawainya adalah pegawai non pemerintah, maka tingkat otonomi yang diperoleh
45
agensi semakin tinggi (Riyanto,2012). Berdasarkan poros anggaram, tingkat
otonomi suatu agensi dapat dilihat dari seberapa besar kontribusi anggaran
pemerintah (APBN/D) berbanding dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
yang dihasilkan oleh agensi serta seberapa besar kemampuan agensi untuk
menghasilkan penerimaan lainnya selain dari PNBP yang telah ditetapkan. Semakin
kecil kontribusi anggaran pemerintah melalui APBN/D dan semakin besarnya
kewenangan untuk penggunaan PNBP secara langsung serta kemampuan
menghasilkan penerimaan lainnya, maka tingkat otonomi dari agensi akan semakin
besar (Riyanto, 2012).
Berdasarkan poros pelanggan, tingkat otonomi agensi dapat dilihat dari
cakupan pelayanan yang dapat diberikan oleh agensi, apakah agensi hanya
melayani kepentingan internal kementerian atau pemerintah daerah atau juga
melayani masyarakat atau organisasi pemerintah lainnya. Semakin luas cakupan
pelayanannya, tidak hanya melayani internal kementerian atau pemerintah daerah,
maka tingkat otonomi dari agensi akan semakin besar (Riyanto, 2012). Berdasarkan
poros tata kelola, tingkat otonomi agensi dapat dilihat dari bagaimana keleluasaan
dalam pengaturan organisasi hingga pengawasannya dapat diselenggarakan oleh
agensi. Semakin luas keleluasaan agensi untuk mengatur organisasinya dan
pengawasannya sendiri, maka tingkat otonomi dari agensi semakin besar (Riyanto,
2012).
46
2.1.4.2 Pengukuran Struktur Organisasi Terdesentralisasi
Menurut Robbins dan Coulter (2002:256), di dalam perancangan maupun
modifikasi struktur organisasi, ada tujuh elemen penting yang harus diperhatikan,
yaitu work specialization, departmentalization, chain of command, span of control,
centralization and decentralization and formalization. Ditambahkan oleh
Vandeveer dan Menefee (2006:146) yang menjelaskan enam elemen yang
membentuk struktur organisasi, yaitu : division of labor, characterization of jobs,
autority, control, decision making, dan creativity. Senada dengan hal tersebut,
McShane dan Glinow (2005:449-455) menyatakan bahwa elemen dari struktur
organisasi adalah:
1. Span of control - mengacu pada jumlah orang langsung melaporkan ke tingkat
berikutnya dalam hirarki
2. Centralization and decentralization, sentralisasi adalah sejauh mana otoritas
keputusan resmi dipegang oleh sekelompok kecil orang, biasanya orang-orang
di bagian atas hirarki organisasi.
3. Formalization adalah sejauh mana organisasi meng standardisasi perilaku
melalui peraturan, prosedur, pelatihan formal dan mekanisme terkait. Dengan
kata lain, formalisasi merupakan pembentukan standardisasi sebagai
mekanisme koordinasi.
4. Departmentalization- menentukan bagaimana karyawan dan kegiatan mereka
dikelompokkan bersama.
47
Sementara itu, Ivancevich dan Matteson (2002:583-585) mengungkapkan
tiga dimensi yang membentuk struktur organisasi, yaitu formalization,
centralization and complexity .
1. Formalization - mengacu pada sejauh mana harapan mengenai sarana dan
tujuan kerja disebutkan, ditulis dan ditegakkan.
2. Centralization - sentralisasi mengacu pada lokasi otoritas pengambilan
keputusan dalam hirarki organisasi
3. Complexity - kompleksitas adalah membagi pekerjaan dan menciptakan
departemen
Sedangkan Boockholdt (1999:23) memaparkan beberapa karakteristik
penting yang harus diperhatikan dalam struktur organisasi, yaitu:
1. Organisasi membentuk struktur yang membedakan masing-masing segmen
tersebut
2. Mengeluarkan pernyataan yang jelas wewenang dan tanggung jawab manajer
3. Manajemen puncak harus secara jelas mendefinisikan semua hubungan atasan-
bawahan antara karyawan.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh Robbins dan
Coulter (2002:256); Vandeveer dan Menefee (2006:146); McShane dan Glinow
(2005:449-455); Ivancevich dan Matteson (2002:583-585); Scott (2001:6) dan
Boockholdt (1999:23), maka dapat dikatakan bahwa pengukuran struktur organisasi
pada penelitian/ ini menggunakan dimensi, sebagai berikut:
1. Spesalisasi Pekerjaan/Tugas
Pendistribusian Tugas
48
Pekerjaan sesuai dengan tugas dan fungsi
2. Rantai Komando
Kesatuan perintah
Otoritas
3. Rentang Manajemen
Hubungan atasan dan bawahan dalam organisasi
Posisi atasan dan bawahan dalam organisasi
Dimensi dalam penelitian ini adalah
(a) Dimensi Desentralisasi Anggaran (PP 23 Tahun 2005), adalah proses
pendelegasian pengambilan keputusan anggaran, terdiri dari 3 indikator:
1. Job description secara jelas dan terukur adalah BLU Universitas
memiliki arah yang jelas dalam melaksanakan aktivitas, kegiatan dan
program.
2. Tanggungjawab dan wewenang terdistribusi sesuai beban kerja adalah
mekanisme formal untuk melaksanakan aktivitas, program dan kegiatan
agar sesuai dengan rencana
3. Kewenangan yang telah diterima unit-unit memudahkan dalam mencapai
target dan tujuan adalah pemahaman yang sama mengenai aktivitas,
program dan kegiatan
(b) Dimensi Desentralisasi Administrasi Anggaran (PP 23 Tahun 2005), adalah
proses pendelegasian wewenang menyusun dan mengatur fleksibilitas yang
ada di BLU Universitas secara efektif, terdiri dari 2 indikator :
49
1. Komunikasi ke instansi induk dan ke dalam unit unit kerja secara
berkesinambungan terjadi adalah memperbarui atau memperbaiki
keterampilan komunikasi agen dan principle agan.
2. Pengambilan keputusan operasional memudahkan dalam mencapai target
adalah fleksibilitas yang diterima agen BLU harus digunakan
sebaikmungkin agar mencapai target yang telah disepakati dan
ditetapkan bersama.
3. Pengalokasian anggaran memudahkan pencapaian tujuan anggaran
dan meningkatkan disiplin anggaran adalah mekanisme otonomi yang
dimanfaatkan secara jelas dan pasti untuk memudahkan mencapai
target dan tujuan
2.1.5. Komitmen Organisasi
2.1.5.1. Pengertian Komitmen Organisasi
Brewer (1996) mengemukakan bahwa komitmen organisasional adalah
tingkat dimana para pekerja mengenal tujuan organisasi dan manajerialnya, yang
diwujudkan dengan sebuah kesediaan yang kuat untuk menginvestasikan usaha,
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan menginternalisasikan nilai-nilai
manajerial. Menurut Newstrom dan Davis (2002) komitmen organisasional
merupakan tingkat di mana individu memihak dan ingin secara kontinyu
berpartisipasi aktif dalam organisasi yang tercermin melalui karakteristin (a)
adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan atas nilai dan tujuan organisasi, (b)
kesediaan untuk mengusahakan yang terbaik bagi organisasi, dan (c) adanya
50
keinginan yang pasti untuk bertahan dalam organisasi. Luthans (2008:147)
mengemukakan bahwa komitmen organisasi adalah (1) keinginan kuat untuk
menjadi anggota dari organisasi (2) kemauan untuk mengerahkan usaha atas nama
organisasi, dan (3) keyakinan mendalam, dan penerimaan nilai dan tujuan
organisasi
Komitmen organisasi merupakan hasil pekerjaan penting yang terkait
dengan pekerjaan tingkat individu yang dikaitkan dengan sejumlah hasil pekerjaan
lainnya seperti ketidakhadiran karyawan, omset, usaha dan kinerja (Randall, 1990;
Mathieu dan Zajac, 1990). Mowday et al (1982) berpendapat bahwa pemahaman
tentang proses yang berhubungan dengan komitmen organisasi berimplikasi bagi
karyawan dan organisasi. Dari sudut pandang individu, komitmen terhadap sebuah
organisasi dapat membuat individu lebih berhak menerima penghargaan ekstrinsik
seperti bonus dan penghargaan, dan penghargaan intrinsik seperti kepuasan kerja
dan hubungan yang lebih baik dengan rekan kerja. Dari sudut pandang organisasi,
komitmen karyawan adalah penting karena terlihat berhubungan negatif dengan
keterlambatan pekerjaan, ketidakhadiran dan omset, yang, pada gilirannya,
memiliki implikasi untuk keseluruhan kinerja organisasi
Meskipun komitmen organisasional telah dikonseptualisasikan secara
multiple cara, setidaknya ada dua perspektif utama dari konsep ini: sebuah sikap
perspektif dan perspektif kalkulatif / normatif (Morrow, 1993). Sebuah Perspektif
sikap mengacu pada keterikatan psikologis atau afektif komitmen yang dibentuk
oleh seorang karyawan sehubungan dengan identifikasi dirinya dan keterlibatan
dengan organisasi (Porter et al., 1974; Allen dan Meyer, 1990). Perspektif kalkulatif
51
/ normative mengacu pada komitmen karyawan terhadap terus bekerja untuk
perusahaan berdasarkan gagasan menimbang manfaat biaya meninggalkan sebuah
organisasi (Herbiniak dan Alutto, 1972; Allen dan Meyer, 1990).
Kapasitas perguruan tinggi dalam menciptakan ilmu pengetahuan sangat
tergantung kepada sumber daya manusia yang dimilikinya. Sebagai suatu
organisasi perguruan tinggi berperan sebagai manufaktur pengetahuan
(manufacture of knowledge) tempat di mana pekerja pengetahuan (knowledge
worker) melahirkan inovasi dan ide-ide baru yang akan meningkatkan kualitas
hidup manusia. Istilah pekerja pengetahuan (knowledge worker) diperkenalkan oleh
Peter Drucker (1959) yang menyatakan bahwa knowledge workers adalah orang-
orang yang pekerjaan utamanya terkait dengan menghasilkan dan mengunakan
pengetahuan dalam lingkungan kerja. Dockel (2003) mengemukakan para pekerja
pengetahuan cenderung mempunyai komitmen organisasional yang rendah. Hal ini
ditandai dengan tingginya turn over para pekerjanya. Penguasaan ilmu pengetahuan
melalui pencapaian gelar akademik tertinggi menyebabkan dengan mudah mereka
dapat masuk dan keluar organisasi untuk bekerja apabila dirasakan kompensasinya
rendah, mereka cenderung dengan cepat beralih ke perusahaan lain yang
menawarkan kompensasi lebih baik.
Rencana kinerja (performance plan) merupakan dasar untuk membangun
komitmen organisasl dan individu untuk memanfaatkan sumber daya yang telah
disepakati dalam bentuk anggaran guna mencapal hasil tertentu sesuai dengan
tujuan (gools), sasaran (objective) dan strotegi dalam perencanaan strategic,
Sedangkan persetujuan capaian kinerja (performance agreement) merupakan
52
kesepakatan bersama antara principal dengan manajemen yang merefteksikan
harapan-harapan dari setlap pihak yang menandatanganinyo dan menyediakan
proses pengukuran serta akuntabilitas kinerjanya (Tim Studi Pengembangan Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, 2001).
Pengukuran dan pelaporan kinerja merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari keseluruhan proses manajemen publik, termasuk perencanaan,
monitoring, ovaluasi dan akuntabilitas publik Hasil kinerja yang terangkum dalam
laporan tahunan agensi (laporan keuangan dan laporan kinerja) menyediakan suatu
catatan-catatan penting dari progress atas pencopaian hasil yang diperoleh agensi
dan dengan dipublikasikannya laporan tersebut, maka pemangku kepentingan dapat
menekankan kepada agensi untuk selalu meningkatkan kinerjanya, Pelaporan yang
balk dapat membantu principal dan masyarakat untuk menilai seberapa baik
anggaran dimanfaatkan dan apa yang telah dicapai dengan anggaran yang
digunakan tersebut (National Auaht Office, 2000).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa komitmen organisasi tingkat dimana para pekerja mengenal
tujuan organisasi dan manajerialnya, yang diwujudkan dengan sebuah kesediaan
yang kuat untuk menginvestasikan usaha, berpartisipasi aktf dalam pembuatan
keputusan dan menginternalisasikan nilai-nilai manajerial. yang tercermin melalui
karakteristin (a) adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan atas nilai dan tujuan
organisasi, (b) kesediaan untuk mengusahakan yang terbaik bagi organisasi, dan (c)
adanya keinginan yang pasti untuk bertahan dalam organisasi.
53
2.1.5.2. Pengukuran Komitmen Organisasi
Menurut Luthans (2008:148), dimensi yang membentuk komitmen
organisasi terdiri dari:
1. affective commitment yaitu melibatkan emosional karyawan, identifikasi
dengan, dan keterlibatan dalam organisasi
2. Continuance commitment yaitu melibatkan komitmen didasarkan pada biaya
terkait dengan meninggalkan organisasi. Kemungkinan dikarenakan hilangnya
senioritas untuk promosi atau manfaat.
3. Normative commitment yaitu melibatkan karyawan perasaan kewajiban untuk
tinggal dengan organisasi karena mereka harus, itu adalah hal yang benar untuk
dilakukan
Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Luthans, Greenberg (2011:232-
233) memaparkan tiga jenis komitmen organisasi yaitu:
1. Continuance commitment yaitu mengacu pada keinginan kuat seseorang untuk
tetap bekerja untuk sebuah organisasi karena keyakinan bahwa itu akan menjadi
mahal untuk meninggalkan.
2. Affective commitment yaitu mengacu kepada perasaan kewajiban karyawan
untuk tinggal dengan organisasi karena tekanan dari orang lain.
3. Normative commitment yaitu mengacu pada keinginan kuat untuk terus bekerja
untuk sebuah organisasi karena mereka menganggapnya positif dan setuju
dengan tujuan dan nilai yang mendasarinya
54
Demikian halnya dengan apa yang dikemukakan Woods dan West
(2010:114), yang mengungkapkan ada tiga bentuk dari komitmen organisasi yakni:
1. Affective commitment yaitu ikatan emosional yang seseorang rasakan terhadap
organisasi mereka ketika tujuan dan nilai-nilai organisasi konsisten dengan
mereka dan ketika mereka merasa sesuai dengan misi dan filosofi organisasi
2. Continuance commitment yaitu ketika seorang individu tetap dalam suatu
organisasi hanya karena biaya meninggalkan terlalu besar, mereka akan
digambarkan memiliki continuance commitmen yang tinggi.
3. Normative commitment yaitu kadang-kadang seseorang mungkin merasa tidak
puas dengan pekerjaan mereka, atau mungkin berpikir bahwa organisasi mereka
bergerak ke arah yang salah, namun masih merasa berkewajiban untuk setia dan
berkomitmen, dan tinggal bersama organisasi.
Sementara itu, Meyer dan Allen (1997:11) memaparkan tiga komponen
untuk komitmen organisasi, sebagai berikut:
1. Affective commitment yaitu perasaan emosional karyawan, identifikasi dengan,
dan keterlibatan dalam organisasi. Karyawan dengan komitmen afektif yang
kuat melanjutkan pekerjaan dengan organisasi karena mereka ingin
melakukannya.
2. Continuance commitment yaitu komitmen kelanjutan mengacu pada kesadaran
akan biaya yang terkait dengan meninggalkan organisasi. Karyawan yang
terikat pada organisasi didasari komitmen berkelanjutan,merasa mereka perlu
melakukannya.
55
3. Normative commitment reflect yaitu mencerminkan perasaan kewajiban untuk
melanjutkan pekerjaan. Karyawan dengan tingkat komitmen normatif yang
tinggi merasa bahwa mereka harus tetap dengan organisasi.
Dimensi pertama komitmen menggunakan model tiga dimensi yang
dinamakan komitmen afektif yang mempresentasikan keterlibatan emosional
individu dengan organisasi. Menurut Meyer dan Allen (1991), komitmen afektif
adalah keterkaitan emosional pada, identifikasi dengan, dan keterlibatan pada
organisasi. Anggota organisasi yang berkomitmen dengan organisasinya
berdasarkan aspek afektif, melanjutkan, tau melakukan pekerjaannya karena
mereka memang menginginkannya. Anggota organisasi yang berkomitmen pada
tingkat afektif tetap bertahan dalam organisasi karena mereka memandang
hubungan personal yang terjalin dengan organisasi sejalan dengan tujuan dan nilai-
nilai mereka.
Komitmen afektif bekerja terkait sikap dengan perasaan positif terhadap
organisasi (Morrow, 1983). Sheldon dalam Cohen (2007) menjelaskan bahwa
komitmen afektif terkait dengan identitas individu dengan organisasi. Komitmen
afektif adalag kekuatan relatif pada identifikasi individu dan keterlibatannya dalam
organisasi (Mowday, Porter, dan Steers, 1982). Kekuatan komitmen afektif
dipengaruhi oleh perluasan kebutuhan dan harapan individu mengenai organisasi
yang disesuaikan dengan pengalaman aktual mereka (Storey, 1995 dalam WeiBo,
Kaur, dan Jun, 2010). Tektrik dalam WeiBo, Kaur, dan Jun (2010) juga
menggambarkan nilai rasionalitas yang mendasari komitmen organisasi yang
mengacu pada tingkatan kongruensi nilai antara anggota dengan organisasi.
56
Model komitmen organisasi Meyer dan Allen mengindikasikan bahwa
komitmen efektif dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu tantangan pekerjaan,
kejelasan peran, kesulitasn pencapaian tujuan, penerimaan oleh manajemen,
kohesivitas rekan sejawat, kesetaraan, kepentingan pribadi, umpan balik,
partisispasi, dan keteguhan.
Pengembangan komitmen afektif melibatkan identifikasi dan internalisasi
(Becker and Wilson, 2000). Dijelaskan bahwa keterkaitan efektif dengan organisasi
pertama kali didasarkan pada identifikasi dengan hasrat menegakkan hubungan
yang menguntungkan dengan organisasi. Kedua, melalui internalisasi mengacu
pada kongruensi tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang dianut oleh individu-individu
dan organisasi. Secara umum, dapat dikatakan komitmen organisasi memfokus
pada sejauh mana individu mengidentifikasi organisasi.
Dimensi kedua pada model tiga dimensi komitmen organisasi adalah
komitmen berkelanjutan. Komitmen berkelanjutan, menurut Meyer dan Allen,
adalah kesadaran perhitungan dihubungkan dengan jika meninggalkan organisasi.
Hal ini mensyaratkan adanya kalkulasi dari persepsi individu atau pertimbangan
biaya dan risiko terkait dengan situasi ketika harus meninggalkan organisasi.
Dijelaskan pula oleh Allen dan Meyer bahwa anggota organisasi yang tetap berada
dalam organisasi karena memang membutuhkan. Hal ini mnegindikasi perbedaan
antara komitmen berkelanjutan dan afektif, yaitu komitmen afektif lebih menekan
alasan saat individu tetap berada dalam organisasi, karena mereka memang
menginginkan.
57
Sebaliknya, komitmen berkelanjutan dikaitkan dengan keterkaitan
instrumental pada organisasi yang didasarkan pada pengukuran perolehan
keuntungan ekonomi (Becker dan Wilson, 2000). Anggota organisasi
mengembangkan komitmen pada organisasi karena imbalan positif bersifat
ekstrinsik yang didapatkan melalui usaha yang menghasilkan persetujuan tanpa
anggota mengidentifikasi dengan nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Kekuatan komitmen berkelanjutan yang mengimplikasikan kebutuhan
untuk tetap dalam organisasi ditentukan oleh kerugian yang sudah diperhitungkan
jika anggota meninggalkan organisasi (Meyer dan Allen, 1984). Best dalam WeiBo,
Kaur, dan Jun (2010) mengindikasikan bahwa komitmen berkelanjutan akan
menguat ketika ketersediaan pilihan pekerjaan terbatas atau sedikit dan investasi
yang diberikan pada organisasi sudah cukup tinggi. Argumen ini mendukung
pandangan bahwa ketika tersedia pilihan-pilihan yang lebih baik, anggota akan
meninggalkan organisasi. Meyer dan Allen (1984) juga menjelaskan bahwa
investasi yang sudah banyak ditanamkan pada organisasi dan terbatasnya pilihan-
pilihan cenderung memperkuat individu untuk mempertahankan aktivitas pekerjaan
merea dan tanggung jawab bagi individu yang tetap berkomitmen karena mereka
membutuhkan. Ini mengimplikasikan bahwa individu-individu yang bertahan
dalam organisasi karena mereka terpikat oleh akumulasi investasi yang semakin
lama akan semakin terbatas, diantaranya rencana pensiun, senioritas, atau
keterampilan khusus yang dimiliki.
Kebutuhan untuk tetap bertahan adalah keuntungan yang dihubungkan
dengan partisipasi berlanjut dan pengehentian aktivitas atau berakhirnya komitmen
58
adalah biaya yang dihubungkan dengan meninggalkan organisasi. Keuntungan
yang diperoleh dengan menggambarkan konsep komitmen berkelanjutan sebagai
kerangka kerja pertukaran adalah unjuk kerja dan loyalitas didasarkan pada
kembalinya keuntungan-keuntungan materi dan imbalan. Oleh karena itu, dalam
rangka mempertahankan karyawan yang memiliki komitmen berkelanjutan,
organisasi perlu memberi perhatian lebih dan usaha-usaha mengenali elemen-
elemen yang memberikan keuntungan bagi anggota yang pada akhirnya akan
menumbuhkan moral anggota yang pada akhirnya akan menumbuhkan moral
anggota untuk menjadi berkomitmen secara afektif.
Dimensi terakhir pada model komitmen organisasi adalah komtmen
normatif. Meyer dan Allen (1991) mendefinisikan komitmen normatif sebagai
perasaan tanggung jawab untuk melakukan. Keyakinan normatif yang
terinternalisasi adalah tugas dan tanggung jawab membuat individu merasa
berkewajiban mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Menurut mereka,
anggota organisasi yang memiliki komitmen normatif berkewajiban untuk tetap
berada dalam organisasi. Dalam term dimensi normatif, anggota bertahan karena
dilandasi suatu kearusan.
Wiener dan Vardi dalam Weibo, Kaur, dan Jun (2010) menggambarkan
komitmen normatif sebagai perilaku kerja individu, yang dipandu oleh rasa
kewajiban (sense of duty), keharusan, dan loyalitas pada organisasi. Anggota
organisasi yang berkomitmen didasarkan pada alasan-alasan moral. Pertimbangan
anggota-anggota yang memiliki komitmen normatif adalah secara moral mereka
harus tetap dalam organisasi atau menampilkan aktivitas pekerjaan tanpa
59
mempertimbangkan seberapa besar kepuasan atau peningkatan status yang
diberikan organisasi pada mereka.
Kekuatan komitmen normatif dipengaruhi oleh aturan-aturan yang
dipahami mengenai tanggung jawab timbal balik antara organisasi dan anggotanya.
Tanggung jawab timbal balik didasarkan pada teori pertukaran sosial, yaitu individu
menerima keuntungan dibawah tanggung jawab normatif yang kuat atau aturan
untuk membayar kembali keuntugan dengan beberapa cara (McDonald & Makin,
2000 dalam Cohen 2007). Hal ini mengimplikasikan bahwa individu sering merasa
berkewajiban membayar kembali pada organisasi untuk investasi yang diberikan
kepada mereka, diantaranya melalui pelatihan dan program pengembangan. Meyer
dan Allen (1991) menjelaskan bahwa pencapaian tanggung jawab moral lainnya
diperoleh melalui proses sosalisasi dalam masyarakat atau organisasi. Pada kasus
lain, hal ini didasarkan pada norma timbal balik atau, dengan kata lain, jika anggota
atau karyawan menerima keuntungan, akan menempatkan mereka atau organisasi
di bawah kewajiban moral dan untuk berespons dalam kebaikan.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas,
maka dapat dikatakan bahwa pengukuran komitmen organisasi pada penelitian ini
menggunakan dimensi yang dipaparkan oleh Luthans (2008:148); Greenberg
(2011:232-233); Woods dan West (2010:114); Meyer dan Allen (1997:11);
Kusluvan (2003:525); dan Hellreigel dan Slocum (2009:57) sebagai berikut:
1. Continuance commitment dengan indikator:
Menerima nilai-nilai dan tujuan yang ditetapkan organisasi tanpa rasa
ragu
60
Meyakini nilai nilai dan tujuan organisasi layak untuk diperjuangkan
Merasa bangga terhadap organisasi
2. Affective commitment dengan indkator:
Keinginan untuk menerima tanggungjawab yang lebih besar demi
kemajuan organisasi
Meyakini perusahaan swebagai tempat bekerja yang paling sesuai
3. Normative commitment dengan indikator:
Keinginan untuk menerima tanggungjawab yang lebih besar demi
kemajuan organisasi
Meyakini perusahaan swebagai tempat bekerja yang paling sesuai untuk
mengaktualisasikan diri
Meyakini bekerja di perusahaan sekarang sebagai suatu keharusan
Berdasarkan kajian tersebut maka dimensi dalam penelitian ini sebagai
berikut :
(a) Dimensi Komitmen Afektif (Meyer dan Allen, 1991) adalah keterkaitan
emosional pada, identifikasi dengan, dan keterlibatan pada organisasi.
Anggota organisasi yang berkomitmen dengan organisasinya berdasarkan
aspek afektif, melanjutkan, tau melakukan pekerjaannya karena mereka
memang menginginkannya. Anggota organisasi yang berkomitmen pada
tingkat afektif tetap bertahan dalam organisasi karena mereka memandang
hubungan personal yang terjalin dengan organisasi sejalan dengan tujuan dan
nilai-nilai mereka.
61
1. Menerima secara sadar nilai-nilai dan tujuan yang telah disepakati dan
ditetapkan dalam RBA
2. Tidak merasa terbebani dengan apa yang telah disepakati dan
ditetapkan dalam RBA (tingkat penerimaan tujuan)
3. Memiliki kepuasaan dan kebahagiaan dalam diri apabila target dan
sasaran RBA dapat tercapai
(b) Dimensi Komitmen Berkelanjutan (Meyer dan Allen, 1991), adalah
keterkaitan instrumental pada organisasi yang didasarkan pada pengukuran
perolehan keuntungan ekonomi. Anggota organisasi mengembangkan
komitmen pada organisasi karena imbalan positif bersifat ekstrinsik yang
didapatkan melalui usaha yang menghasilkan persetujuan tanpa anggota
mengidentifikasi dengan nilai-nilai dan tujuan organisasi., terdiri dari 3
indikator :
1. Mengupayakan secara sadar dan terencana target dan sasaran yang
ditetapkan dalam RBA adalah upaya secara nyata dan sukrela untuk
mensukseskan tujuan organisasi
2. Bersedia menerima tanggungjawab yang lebih dari sebelumnya
adalah sikap yang diwujudkan dengan kesiapan apapun yang akan
dikerjakannya.
3. Kaitan antara pencapaian target dengan remunerasi adalah kerelaan
untuk melakukan aktivitas mencapai target
(c) Dimensi Komitmen Normatif (Meyer dan Allen, 1991), adalah perilaku
kerja individu, yang dipandu oleh rasa kewajiban (sense of duty), keharusan,
62
dan loyalitas pada organisasi. Anggota organisasi yang berkomitmen
didasarkan pada alasan-alasan moral. Pertimbangan anggota-anggota yang
memiliki komitmen normatif adalah secara moral mereka harus tetap dalam
organisasi atau menampilkan aktivitas pekerjaan tanpa mempertimbangkan
seberapa besar kepuasan atau peningkatan status yang diberikan organisasi
pada mereka., terdiri dari 3 indikator :
1. Upaya perbaikan untuk mencapai target BLU adalah komitmen untuk
mencapai sekuat tenaga apa yang telah disepakati bersama
2. Perhatian terhadap data ukuran kinerja adalah kewajiban moral
sebagai pegawai untuk terus mengupayakan maksimal dalam bekerja
3. Secara aktif dan sadar selalu memperhatikan dan mengevaluasi
pencapaian target adalah aktivita menunjukan kepedulian terhadap
organisasi.
2.1.6 Pengertian dan Filosofi Anggaran
2.1.6.1 Pengertian dan Filosofi Anggaran
Salah satu teknik akuntansi manajemen strategis yang dipraktikan di
organisasi dan mendapat perhatian yang cukup luas dalam penelitian bidang
akuntansi manajemen ialah anggaran (Hoque, 2004). Anggaran merupakan alat
bagi manajer tingkat atas untuk mengendalikan, mengkoordinasikan,
mengkomunikasikan, mengevaluasi kinerja, memotivasi manajer bagian
bawahanya (Kennis, 1979). Anggaran merupakan kegiatan mengenai apa yang
diharapkan, direncanakan atau diperkirakan terjadi dalam periode tertentu pada
masa yang akan datang (Brownell dan Mclnnes, 1986).. Anggaran yang disusun
63
memiliki peranan sebagai perencanaan yaitu anggaran berisi tentang ringkasan
rencana keuangan organisasi masa datang sedangkan anggaran dipandang sebagai
penilaian kinerja yaitu anggaran dipakai sebagai sistem pengendalian untuk
mengukur kinerja manajerial (Schiff dan Lewin, 1970).
Anggaran merupakan suatu pernyataan mengenai apa yang diharapkan,
direncanakan, diperkirakan terjadi dalam periode tertentu yang direncanakan di
masa yang akan datang (Brownell dan Mc Innes, 1986). Anthony dan Govindarajan
(2003) mempertegas pangertian anggaran sebagai suatu rencana yang disajikan
secara kuantitatif dan biasanya dinyatakan dalam satuan uang yang disusun untuk
periode yang akan datang. Apabila suatu organisasi telah menetapkan suatu
anggaran, maka pencapaian visi, misi dan tujuan tersebut hanya dapat dilakukan
melalui serangkaian aktivitas yang telah ditetapkan sebelumnya dalam anggaran
sehingga suatu organisasi yang baik pasti membutuhkan anggaran untuk
pengukuran strategi jangka pendek, jangka panjang dan sebagai salah satu alat
untuk menilai kinerja manajer (Hansen dan Mowen, 2005).
Berdasarkan drfinisi tersebut yang telah dikaji maka dapat disimpulkan
bahwa anggaran merupakan dokumen berisi rencana-rencana yang berkaitan
dengan aktivitas organisasi yang kemudian diproyeksikan kedalam laporan
keuangan yang diharapkan untuk jangka waktu tertentu yang mempedomani
perilaku manajer untuk beraktivitas yang dicerminkan oleh kemampuanya dalam
menggunakan dan memanfaatkan sumber-sumber ekonomi perusahaan. Anthony
dan Govindarajan (2003) memperinci rencana-rencana organisasi tersebut harus
dituangkan dalam perencanaan jangka panjang yang lebih dikenal dengan
64
perencanaan stratejik. Proses perencanaan ini dapat memberikan manfaat potensial
pada organisasi yang dituangkan dalam anggaran operasional; yaitu kerangka kerja
untuk pengembangan anggaran tahunan; alat pengendalian manajemen; suatu
mekanisme untuk mendorong manajer untuk berfikir jangka panjang, membantu
manajer ke arah penugasan organisasi jangka panjang, dan membantu berfikir
eksplisit tentang tindakan jangka pendek yang diinginkan untuk
mengimplementasikan stratgi jangka panjang
Kajian mengenai anggaran yang telah disintesa dan didukung penjelasan
oleh Anthony dan Govindarajan (2003) maka peneliti berkesimpulan bahwa kajian
mengenai anggaran tidak hanya meliputi aspek keuangan dan aspek akuntansi tetapi
juga mencakup aspek organisasi, aspek pembuatan keputusan, aspek perilaku dan
aspek strategi. Dalam konteks ini, anggaran berperan sangat strategis bagi suatu
organisasi karena perananya telah digunakan oleh organisasi secara lebih luas yaitu
untuk mengembangkan, mengkomunikasikan dan mengimplementasikan strategi
disamping untuk mengkoordinasikan berbagai keputusan tentang design produk,
proses produksi, dan pemasaran serta mengevaluasi kinerja (Horngren, et al.,
2012:26). Sehingga dapat dikatakan bahwa anggaran merupakan salah satu
komponen rencana manajemen yang penting yang ada di dalam suatu organisasi
yang digunakan sebagai pedoman organisasi untuk mengoperasionalkan agar
berjalan sesuai dengan tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan sebelumnya
dalam lingkungan bisnis yang cepat berubah seperti sekarang ini.
Meskipun anggaran berperan sangat penting dalam mewujudkan tujuan
manajemen, tetapi masih terdapat beberapa kelemahan yang membatasi anggaran.
65
Adapun kelemahan dari suatu anggaran yaitu anggaran disusun terlalu kaku atau
target yang ditetapkan dalam anggaran sulit untuk dicapai, sehingga anggaran
dirasakan terlalu menekan (Argyris, 1952; Brownell dan Mclnnes, 1986). Hal ini
merupakan dampak disfungsional anggaran, dimana anggaran yang terlalu
menekan akan menimbulkan sikap agresi karyawan (bawahan) terhadap
manajemen (atasan) yang mengakibatkan ketegangan dan bahkan menyebabkan
anggaran menjadi tidak efisien. Demikian pula pada saat seseorang atau manajer
memasukkan kepentingan pribadi dan mencoba hidup dengan anggaran, maka
memungkinkan anggaran disusun tidak berdasarkan kemampuan atau produktivitas
yang sebenamya (budgetary slack).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Davis et all, (2006) menyatakan
bahwa senjangan anggaran (budgetary slack) terjadi karena adanya perbedaan
kepentingan antara atasan dan bawahan. Anggaran di satu sisi dibuat sebagai alat
pengendalian sedangkan di sisi lain anggaran juga disususn agar mudah dicapai, hal
ini berkaitan dengan insentif yang akan diterima berdasarkan ketercapaian anggaran
dan berimplikasi terhadap aspek perilaku karyawan yang dibawah tekanan atasan
akan meningkatkan rekomendasi anggaran awal dan cenderung melanggar
kebijakan perusahaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dunk (1968)
berkesimpulan bahwa senjangan anggaran (budgetary slack) dapat dikurangi
dengan partisipasi yang diberikan oleh pimpinan kepada bawahan proses ini akan
menciptakan kesempatan untuk berkontribusi karena adanya komunikasi yang
positif antara pimpinan dan bawahan sehingga bawahan tidak mempunyai
kesempatan untuk menciptakan senjangan.
66
Dengan adanya partisipasi anggaran, bawahan memiliki kesempatan untuk
memberitahukan informasi yang mereka ketahui kepada atasan, sehingga atasan
nantinya dapat membuat keputusan terbaik untuk organisasinya (). Brownell (1983)
menyatakan partisipasi anggaran akan mengakibatkan terjadinya interaksi antara
anggota organisasi di berbagai tingkatan organisasi. Penganggaran yang melibatkan
berbagai anggota organisasi dari berbagai tingkatan, sering kali bekerja dalam tim
dimana para anggota organisasi dapat bertukar informasi dan ide untuk membuat
anggaran yang kemudian dikoordinasikan dan dikomunikasikan ke atas "bottom-
to-top", sehingga fungsi perencanaan, koordinasi dan pengendalian lebih efektif
(Poon et al, 2001). Akibatnya, pencapaian tujuan secara logis lebih mungkin terjadi
(Campbell, 1985).
Shields and Shields (1998) berpendapat bahwa kondisi dan proses
partisipasi anggaran merupakan konsekuensi sikap dan perilaku anggota organisasi
yang akan mempengaruhi tingkat sasaran yang akan dicapai pada akhirnya
mempengaruhi kinerja organisasi (Murray 1990). Partisipasi anggaran dapat
mengurangi senjangan anggaran (Soemantri). Namun, seringkali yang terjadi
adalah partisipasi semu, bawahan akan mencoba untuk mempengaruhi proses
penetapan anggaran dan menciptakan senjangan anggaran sehingga partisipasi
anggaran memberi peluang bagi bawahan untuk menciptakan senjangan anggaran
(Suharman, 2012). Partisipasi semu merupakan konsekusensi sikap dan perilaku
anggota organisasi terhadap organisasinya. Menurut teori psikologi social
partisipasi semu dapat diminimalisasi dengan mengurangi hambatan-hambatan
keterterimaan, pewngukuran-pemahaman-pengubahan sikap, pola-pola
67
komunikasi, membangun kepercayaan, hubungan aktivitas kelompok dengan
pemenuhan kebutuhan individual dan proses pembuatan keputusan kelompok.
2.1.6.2 Proses Penyusunan Anggaran
Proses penyusunan anggaran secara sederhana dapat diartikan sebagai
suatu proses yang dilakukan oleh manajer yaitu menyiapkan anggaran,
melaksanakan anggaran dan mempertanggungjawabkan anggaran (Garrison &
Noreen, 2003). Menurut Unesco (2006), terdapat tiga fase utama dalam prosedur
anggaran, yaitu (1) penyusunan anggaran (budget preparation) yang dikaitkan
dengan tujuan (objectives) dan rencana tahunan (annual plan), (2) adopsi anggaran
(budget adoption) yang meliputi pengusulan anggaran (proposed budgets), dan (3)
eksekusi anggaran (budget execution) atau implementasi anggaran yang di
dalamnya akan berkaitan dengan regulasi dan mekanisme anggaran. Ada
kemungkinan proses penyusunan anggaran mempunyai dampak fungsional dan
disfungsional terhadap sikap dan perilaku anggota organisasi (Argyris 1952 ;
Milani 1975). Dampak tersebut ditunjukkan ada tidaknya fungsi anggaran sebagai
alat pengendalian yang baik untuk memotivasi para anggota organisasi dalam
meningkatkan kinerjanya. Motivasi mengarah pada keputusan mengenai berapa
banyak usaha yang dihasilkan dalam suatu situasi tertentu. Motivasi pemimpin
berpartisipasi dalam penyusunan anggaran didasarkan pada suatu urutan harapan
dua tahap (usaha-prestasi dan prestasi pada hasil)(Vroom, 1964)
Proses penyusunan anggaran memerlukan banyak pertimbangan antara
lain struktur organisasi, karena biasanya manajemen puncak (pimpinan tertinggi)
68
pada organisasi adalah paling berwenang dan bertanggung jawab atas kegiatan-
kegiatan organisasi secara keseluruhan, namun tugas ini dapat didelegasikan pada
bagian lain dalam organisasi. Artinya pemimpin puncak atau pemimpin tingkat atas
mendelegasikan wewenangnya kepada pemimpin dibawahnya. Menurut Burn dan
Waterhouse (1975) struktur organisasi yang berbeda juga memberikan perbedaan
sikap para pemimpin terhadap anggaran. Sedangkan Chalos dan Poon (2000) lebih
melihat proses penyusunan anggaran dari ketidakpastian lingkungan yang stabil dan
beroperasi dengan teknologi yang rutin dapat mempertahankan pengendalian
efektivitas perusahaannya melalui spesifikasi prosedur dan pembuatan keputusan
terpusat. Dalam situasi seperti ini proses penyusunan anggaran dari atas ke bawah
(top-down) lebih tepat, sebalknya bagi organisasi dengan ketidakpastian
lingkungan yang tidak teknologi non-rutin lebih membutuhkan partisipasi pasti dan
beroperasi dengan bawah ke atas (bottom-up) lebih sesuai.
Proses penyusunan anggaran tidak teriepas dari unsur manusia yang
seperti faktor motivasi, keterlibatan dan komitmen organisasi, sikap, dan kinerja,
ketidak pastian tugas dan lain-lain (Brownell dan Mclnnes. 1986; Nour dan Parker,
1998). Semakin banyak faktor yang dipertimbangkan dalam proses penyusunan
anggaran, semakin sulit proses penyusunan tersebut disusun. Untuk mempermudah
proses penyusunan anggaran dan Govindarajan (2003) memberikan langkah-
langkah atau urutan kegiatan yang periu diperhatikan dalam proses penyusunan
anggaran, yaitu: penyebaran pedoman, pembuatan estimasi pertama, penyampaian
estimasi dari atas ke bawah, telaah terhadap estimasi, persetujuan dari manajemen
69
anggaran Anthony puncak, dan penyebaran kembali anggaran tersebut lewat
organisasi.
2.1.6.3 Pengertian Anggaran Partisipasi
Partispasi dalam suatu organisasi banyak dikaji dan diprediksi melalui
teori psikologi (), sosiologi (), Psikologi sosial (), antropologi () dan merupakan
bagian dari penelitian bidang akuntansi keprilakuan. Kotter dan Schlesinger (1979)
menekankan bahwa untuk meningkatkan penerimaan terhadap anggaran, pimpinan
harus mendengarkan saran dan masukan dari anggotanya. Bordia dkk (2004)
partisipasi yang sedang berlangsung dapat tercermin dari pola komunikasi yang
terjadi dan dukungan pimpinan secara langsung. Murray (1990) menyatakan bahwa
partisipasi sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di
dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan
pemikiran kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan dan sasaran serta turut
bertanggungjawab dalam pencapaiannya.
Partisipasi adalah konsep yang dapat mencerimkan suatu proses yang
sedang berlangsung secara terus menerus di dalam suatu organisasi (Milani, 1975)
jika dikaitkan dengan anggaran maka partisipasi dicerminkan oleh bagaimana
anggaran dikomunikasikan dan dibicarakan cukup penting untuk menentukan
keberjhasilan. Komunikasi dimaksudkan untuk memfasilitasi visi, meningkatkan
umpan balik, pemberian dukungan sosial, dan membantu memodifikasi perubahan,
terutama dalam menyusuan strategi perubahan. Davis et all (2006) menyatakan
bahwa partisipasi dapat mengendalikan perilaku tidak etis karyawan terhadap
70
senjangan anaggaran yang sebngaja dilakukannya agar dapat mencapai target
anggaran dengan menerapkan kebijakan yang ketat mengenai aturan dan sistem
anggaran hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Habson et all
() partisipasi anggaran akan meningkatkan tanggungjawab bawahan dengan
menumbuhkan sikap tanggungjawab kepada atasan, dan nilai-nilai yang mengikuti
komitmen yang tinggi maka bawahan akan memandang bahwa senjangan anggaran
adalah perilaku yang tidak etis.
Milani (1975) mendefnisikan anggaran partisipatif adalah proses yang
berkaitan dengan anggaran dengan melibatkan berbagai pihak di dalam organisasi
(atasan atau bawahan) untuk terlibat dalam proses anggaran. Siegel dan Marconi
(1989: 137) mendefinisikan anggaran partisipatif adalah proses pembuatan
keputusan bersama oleh dua atau lebih pihak yang berkepentingan dalam keputusan
yang berpengaruh pada keputusan yang dibuatnya. Hal senada dungkapkan
Greenberg, Greenberd dan Nouri (1994), Quirin, Donelly dan O'Bryan (200):
Partisipasi anggaran adalah proses di mana bawahan berpartisipasi dalam
menentukan tujuan anggaran dan memproses anggaran. Shields and Shields (1998):
partisipasi anggaran sebagai proses di mana manajer terlibat dan memiliki pengaruh
pada penentuan anggarannya. Berdasarkan pengertian tersebut maka anggaran
partisipatif dalam penelitian ini didefinisikan sebagai proses yang berkaitan dengan
anggaran dengan melibatkan berbagai pihak yang berpengaruh di dalam organisasi
(atasan atau bawahan) untuk terlibat dalam proses anggaran yang berdampak
terhadap keputusan yang dibuatnya.
71
Dalam hal fleksibilitas Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(PK-BLU) adalah: Pertama. Perencanaan dan Penganggaran. Untuk menyusun
rencana keuangan Universitas menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan
dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga
(Renstra-KL) dalam hal ini Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam atau Kemenristekdikti. Selanjutnya BLU Universitas menyusun
Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) tahunan dalam bentuk dokumen perencanaan
bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan
anggaran dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis yang telah ditetapkan.
RBA BLU Universitas yang disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan
pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, hibah dan
APBN.
Kedua. Tahap selanjutnya BLU Universitas mengajukan RBA kepada
menteri/pimpinan lembaga dalam hal ini Kementerian Agama untuk dibahas
sebagai bagian dari Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL)
disertai dengan usulan standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang
akan dihasilkan. Ketiga RBA BLU Universitas yang telah disetujui oleh
menteri/pimpinan lembaga selanjutnya diajukan kepada Menteri Keuangan sesuai
dengan kewenangannya, sebagai bagian Rencana Kerja Anggaran Kementerian
Lembaga (RKA-KL). Keempat Menteri Keuangan sesuai dengan kewenangannya
mengkaji kembali standar biaya dan anggaran RBA BLU Universitas Jakarta dalam
rangka pemrosesan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL)
BLU Universitas yang selanjutnya dijadikan sebagai bagian dari mekanisme
72
pengajuan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN). BLU
Universitas menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) yang telah
ditetapkan sebagai dasar penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif.
Kelima. Pelaksanaan Anggaran RBA BLU Universitas UIN Syarif
Hidayatullah definitif digunakan sebagai acuan dalam menyusun dokumen
pelaksanaan anggaran BLU Universitas untuk diajukan kepada Menteri Keuangan
sesuai dengan kewenangannya. Dokumen pelaksanaan anggaran BLU Universitas
mencakup seluruh pendapatan dan belanja, proyeksi arus kas, serta jumlah dan
kualitas jasa dan/atau barang yang akan dihasilkan oleh BLU Universitas Menteri
Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU Universitas paling
lambat tanggal 31 Desember menjelang awal tahun anggaran. Dalam hal dokumen
pelaksanaan anggaran BLU belum disahkan oleh Menteri Keuangan, BLU dapat
melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka dokumen pelaksanaan
anggaran tahun lalu. Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh
Menteri Keuangan menjadi lampiran dari perjanjian kinerja yang ditandatangani
oleh menteri/pimpinan lembara/gubernur/bupati/walikota dengan pimpinan BLU
yang bersangkutan. Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh
Menteri Keuangan menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN
oleh BLU Universitas selaku Kuasa pengguna anggaran.
2.1.6.4 Pengukuran Anggaran Partisipatif
Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa partisipasi mempunyai
pengaruh positif terhadap sikap karyawan, meningkatkan kualitas dan kuantitas
73
produktifitas, dan meningkatkan koordinasi antar karyawan. Keterlibatan
partisipasi sangat tergantung pada kedalaman (depth) yang menggambarkan siapa
yang seharusnya berpartisipas, cakupan (scope) jenis keputusan yang bagaimana
yang membutuhkan partisipasi, dan derajat kekuatan anggota pada keputusan akhir
yang menggambarkan bobot (weight) partisipasi Siegel dan Marconi (1989:138).
Salah satu manfaat keberhasilan partisipasi adalah anggota merasa terlibat
(involvement), sehingga dapat meningkatkan tanggungjawab moral dan inisiatif
yang lebih tinggi. Anggaran yang disusun berdasarkan partisipasi dapat
mengkomunikasikan rasa tanggung jawab manajer tingkat bawah serta mendorong
tingkat kreativitas bawahan. Memiliki kesempatan untuk menetukan anggaran dan
tujuan anggaran merefleksikan tujuan personal sehingga akan terjadi kesesuaian
tujuan (goals congruence). Manfaat lain adalah terhadap perilaku, yakni partisipasi
dalam penyusunan anggaran melibatkan orang yang paling mengetahui kondisi
bagian atau devisinya masing – masing sehingga dapat meningkatkan proses
perencanaan secara keseluruhan (Hansen, Mowen, dan Guan, 2006:207).
Partisipasi juga dapat meningkatkan keeratan kelompok (cohesiveness)
dan kepercayaan bawahan (Shield and Shield, 1998), dan menyebabkan terjadinya
pembagian informasi yang saling berkaitan dengan tugas atau pekerjaan (Parker
dan Kyj, 2006), mengurangi asymetric information (Kren, 1992), menghilangkan
role ambiguity (Chenhall dan Brownell, 1988), serta meningkatkan efektifitas
organisasi (Nouri dan Parker , 1988).
Menurut Milani (1975) partisipasi dalam penyusunan anggaran diukur
dengan 6 (enam) dimensi yaitu:
74
1) Porsi dari seorang terlibat dalam penyusunan anggaran;
2) Pertimbangan yang diberikan kepada bawahan oleh atasan ketika anggaran
di buat;
3) Seberapa banyak atasan berinisiatif mendiskusikan anggaran;
4) Jumlah dari pengaruh yang dimiliki bawahan pada anggaran final;
5) Pentingnya kontribusi bawahan terhadap anggaran;
6) pertimbangan yang diberikan kepada bawahan oleh atasan ketika anggaran
di revisi.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas Milani
(1975) Siegel dan Marconi (1989: 137) Greenberg, Greenberd dan Nouri (1994),
Quirin, Donelly dan O'Bryan (2000) Shields and Shields (1998), Milani (1975)
maka dimensi dan indikator yang digun akan dalam penelitian ini adalah:
1. Kedalaman (Deep)
Keterlibatan dalam aktivitas, kegiatan dan program
Keterlibatan dalam revisi, aktivitas, program dan kegiatan
2. Cakupan (Scope)
Frekuensi diskusi aktivitas, program dan kegiatan
Pengaruh terhadap output aktivitas, kegiatan dan program
3. Bobot (Weight)
Kontribusi dalam setiap aktivitas, kegiatan dan program
Banyaknya pendapat/ide, kreatifitas dalam implementasi aktivitas,
anggaran dan program.
75
Partisipasi anggaran adalah keterlibatan BLU Universitas dalam anggaran sebagai
agensifikasi pemerintah dan sejauhmana manajer menggunakan informasi dari
berbagai pihak yang berkepentingan untuk mencapai tujuan nya. Dimensi
partisipasi ini mengacu kepada partisipasi agensifikasi dengan kata lain otonomi
yang telah diterima BLU Univeritas manajer universitas terlibat keseluruhan proses
otonomi tersebut. (Subramaniam, N. dan Mia, L., 2001; Abernethy, M. A., dan
Stoelwinder, J. U., 1991; Yilmaz, E. dan Ozer, G., 2011; Haryanti, I dan Radiah,
O., N., 2012; Oyewo, B. dan Adyeye, G., 2018; Yahya,N.,M. Ahmad, N., N., N.,
dan Fatima, A.,H., 2008; ). Agar variabel ini dapat dioperasionalisasikan maka
diuraikan kedalam 4 dimensi dan 8 indikator sebagai berikut :
(a) Dimensi Partisipasi Personal (Oyewo, B. dan Adyeye, G., 2018; PP 23
Tahun 2005) adalah sejauhmana BLU Universitas merencanakan sumber
daya karena BLU Universitas berhak untuk mengangkat tenaga professional
untuk mempercepat kinerja, terdiri dari 2 indikator:
1. Penyusunan RBA melibatkan seluruh bagian/unit adalah untuk
mengetahui, menganalisis dan mengalokasikan kebutuhan personal
BLU Universitas.
2. Banyaknya kesempatan bagian/unit terlibat dalam penyusunan RBA
adalah parameter informasi yang didapatkan agar keputusan terkait
aktivitas, program dan kegiatan telah komperhensif didapatkan.
(b) Dimensi Partisipasi Anggaran (Oyewo, B. dan Adyeye, G., 2018; PP 23
Tahun 2005) adalah sejauhmana BLU Universitas mengikusertakan semua
76
pihak yang terkait dengan anaggaran untuk mengambil keputusan dengan
anggaran di semua proses anggaran terdiri dari 2 indikator:
1. Tersedianya informasikeungan dan non keauangan sebagai dasar
penyusunan RBA adalah semakin tersedianya informasi ini maka akan
semakin baik proses anggaran sehingga akan menghasilkan kinerja
yang baik.
2. Program dan kegiatan RBA telah selaras dengan Visi, Misi dan Tujuan
yang disepakati adalah BLU Universitas dalam menyusun anggaran
selalu memperhatikan keselarasan program agar tujuan anggaran dapat
tercapai
(c) Dimensi Partisipasi Stakeholder (Oyewo, B. dan Adyeye, G., 2018; PP 23
Tahun 2005), adalah sejauhmana BLU Univeritas menyerap berbagai
informasi untuk anggaran , terdiri dari 2 indikator:
1. RBA mencerminkan strategi organisasional yang terarah dan terukur
adalah sejauhmana BLU Univeritas menselaraskan perilakunya dengan
lingkungan yang mengitarinya.
2. RBA menceriminkan komitmen manajemen di berbagai tingkatan
organisasional adalah kesepakatan untuk dilaksanakan sebagai dasar
anggaran yang mengarah kepada disiplin anggaran sehingga revisi
kegiatan menjadi sangat jarang dilakukan.
77
(d) Dimensi Partisipasi Tata Kelola (Oyewo, B. dan Adyeye, G., 2018; PP 23
Tahun 2005), adalah sejauhmana BLU Univeritas secara proaktif untuk
menyusun dan mengembangkan tata kelola keunganmaupun non keuangan,
terdiri dari 2 indikator :
1. RBA merepresentasikan informasi di berbagai tingkatan adalah
sejauhmana RBA dapat dikomunikasikan secara efektif kepada selutruh
tingkatan organisasi
2. RBA mencerminkan komunikasi yang terjadi di berbagai tingkatan
manajerial adalah perilaku manajer yang mengambil keputusan
beradasrkan partisipasi
2.1.7 Kinerja Organisasi
2.1.7.1 Pengertian Kinerja Organisasi
Pengertian Performance atau kinerja menurut Collin (1992:309)
merupakan suatu pola tindakan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang
diukur berdasarkan perbandingan berbagai standar. Yudith Hale (2004)
mendefinisikan kinerja (performance) sebagai suatu perilaku yang ‘improses a
perspective that questions the worth and worthiness of the efforts, the results
achieved and the method used.’ (pola tindakan yang didasarkan kepada perspektif
yang memperlihatkan pentingnya kebermaknaan dan manfaat dari upaya, hasil
yang dicapai dan metode atau cara yang digunakan). John Campbell (1993)
menyatakan bahwa kinerja sebagai perilaku atau kegiatan yang relevan dengan
78
tujuan organisasi dan dapat diukur dari sisi tingkat kontribusinya terhadap
kesesuaian perilaku tertentu dan sejumlah perilaku.
Selanjutnya Michael Amstrong (2006) mendefinisiskan kinerja sebagai
‘the outcomes of work because they provide the strongest linkage to the strategic
goals of the organization, customer satisfaction and economic contibution (dampak
hasil dari pekerjaan karena dampak tersebut menunjukan keterkaitan yang kuat
dengan tujuan strategik perusahaan, kepuasan pelanggan dan sumbangan ekonomi.
Berdasarkan definisi tersebut terdapat atribut pokok dalam istilah kinerja yaitu, (i)
perilaku atau pekerjaan, (ii) keterkaitanya dengan tujuan organisasi, (iii) kandungan
nilai kebermaknaan bagi organisasi.
Berdasarkan definisi dan atribut pokok dalam istilah kinerja tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program atau kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam
perumusan rencana strategis suatu organisasi pada periode tertentu. Terdapat
beberapa faktor yang dapat memicu timbulnya kinerja menurut Michael Amstrong
(2006) yaitu:
1. Faktor Personal yang berkaitan dengan keahlian, komitmen dan motivasi
2. Faktor Kepemimpinan yang berkaitan dengan kualitas dukungan dan
pengarahan yang diberikan pimpinan, manajer atau kelompok kerja
3. Faktor kelompok/rekan kerja yang berkaitan dengan kualitas dukungan yang
diberikan rekan kerja
4. Faktor sistem yang berkaitan dengan sistem/metode kerja yang ada dan fasilitas
yang disediakan oleh organisasi
5. Faktor situasi yang berkaitan dengan tekanan dan perubahan lingkungan, baik
lingkungan internal maupun lingkungan eksternal.
79
2.1.7.2 Pengukuran Kinerja Organisasi
Penilaian kinerja organisasi atau perusahaan dapat dilakukan dengan cara
mengukur kinerja tersebut, pengukuran kinerja organisasi atau perusahaan dapat
dilakukan dengan menggunakan suatu metode atau pendekatan. Menurut Morse
dan Davis (1996:391) pengukuran kinerja organisasi atau perusahaan dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu pengukuran kinerja keuangan (financial
performance measurement) di mana informasi yang digunakan dalam mengukur
kinerja keuangan adalah informasi akuntansi manajemen dan informasi akuntansi
keuangan yang harus mengidentifikasi baik penghematan potensial maupun aktual
dan pengukuran kinerja non keuangan (non financial performance measurement)
di mana informasi yang digunakan dalam mengukur kinerja non keuangan adalah
informasi yang disajikan tidak dalam bentuk satuan uang (non financial
information) misalnya volume penjualan, unit produksi, dan informasi berdasarkan
jam kerja atau jam mesin.
Dalam literatur akuntansi manajemen kontemporer peneliti banyak
menggunakan konsep balance scorecard (BSC) yang dipopulerkan oleh Kaplan
dan Norton (1996). Mereka menyatakan bahwa pengukuran kinerja organisasi
dapat dilakukan dengan mengukur satu aspek keuangan dan tiga aspek non
keuangan, yaitu profitabilitas sebagai ukuran keuangan dan pelanggan, proses
bisnis internal dan pembelajaran dan pertumbuhan sebagai ukuran non keuangan.
Dalam literatur ilmu manajemen jika ditelisik bahwa pada tahun 1950-an General
Elektrik (GE) telah merekomendasikan bahwa kinerja divisi diukur dengan satu
ukuran keuangan dan tujuh ukuran non keuangan yaitu profitability untuk
80
mengukur kinerja keuangan dan market share (pelanggan), produktivity, produk
leadership, public responsibility, personnel development dan emloyee attitudes
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja organisasi atau
perusahaan dapat dilakukan dengan cara mengukur kinerja tersebut, terdapat dua
pendekatan atau metode dalam mengukur kinerja suatu organisasi atau
pwerusahaan yaitu pengukuran kinerja keuangan (financial performance
measurement) dan pengukuran kinerja non keuangan (non financial performance
measurement). Hanine Salem (2003) menjelaskan bahwa pengukuran kinerja harus
dipertimbangkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem kinerja dan dapat
dipandang sebagai proses kuantisasi dari efisiensi dan efektivitas suatu tindakan.
Menurutnya dalam sektor publik, literatur tentang kinerja selalu berbicara tentang
3E yaitu: ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Tujuan dilakukanya pengukuran kinerja
adalah untuk mengetahui sejauhmana organisasi atau perusahaan mencapai
goal/tujuannya (Firdaus, 2013:56).
Pengukuran kinerja adalah bagian penting dari perencanaan dan
pengawasan organisasi, hal itu ditunjukkan jika organisasi mencapai targetnya di
level strategis (unit) dan level operasional (Hoque, 2003). Kinerja dapat berfokus
pada produk, proses dan manusia (karyawan dan pelanggan). Kinerja terkait
(alligned) dengan misi, visi, dan tujuan organisasi. Misi perusahaan perbankan
berbeda dengan misi perusahaan manufaktur, perhotelan, pendidikan. Kenyataan
ini mengimplikasikan bahwa untuk menilai kinerja organisasi di sebuah perusahaan
diperlukan sejumlah bentuk indikator operasional yang berbeda-beda. Satu
indikator pengukuran yang tepat digunakan di sebuah perusahaan belum tentu dapat
81
diaplikasikan di perusahaan lain, selanjutnya semakin kompleks misi dan tujuan
organisasi yang harus dilakukannya akan menjadi semakin kompleks pula cara
menilai kinerjanya.
Menurut Mahmudi (2010) pengukuran kinerja paling tidak harus mencakup
tiga variabel penting yang harus dipertimbangkan, yaitu: perilaku (proses), output
(produk langsung suatu aktivitas/program), dan outcome (value added atau dampak
aktivitas/program).
Di sektor swasta, tujuan utama organisasi lebih jelas yaitu menghasilkan
laba sebagai bottom line yang dapat diukur dengan ukuran financial. Keberadaan
organisasi bisnis adalah untuk menjual barang dan jasa dalam rangka menciptakan
kekayaan dan kesejahteraan bagi pemiliknya, berbeda dengan organisasi sektor
publik kehadirannya adalah untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dengan cara
memberikan pelayanan terbaik, dimana hal itu seringkali sulit diukur dengan
ukuran finansial. Untuk menilai kinerja perguruan tinggi harus disesuaikan dengan
misi organisasinya yaitu tridharma. Menilai kinerja perguruan tinggi tidak bisa
dilihat dari sisi luarannya saja misalnya jumlah mahasiswa, padatnya jadual
perkuliahan dan banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh suatu perguruan tinggi
namun harus diperhatikan unsur latennya.
Melihat unsur laten ini yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BAN-PT) untuk menilai kinerja perguruan tinggi. Unsur laten
adalah perilaku terpendam yang tidak kelihatan di permukaan sehingga untuk
mwengetahuinya BAN-PT harus melakukan kajian terhadap dokumen (desk
evaluation) dan amanatan langsung di lapangan (visit) dan wawancara. BAN-PT,
82
sebagaimana yang tercantum dalam borang Akreditasi tahun 2007 menentukan
tujuh indikator utama dalam menilai kinerja perguruan tinggi yang meliputi visi dan
misi, tata kelola, mahasiswa, dosen dan karyawan, kurikulum, infra struktur,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Fielden (2008) melakukan
penelitian kinerja perguruan tinggi dengan menggunakan 4 dimensi yaitu
mahasiswa, penelitian, staf/SDM dan keuangan/efisiensi.
Indrajit (2006:111) mengukur kinerja perguruan tinggi dengan 4 dimensi
berdasarkan pendekatan BSC yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan
inovasi (pertumbuhan) dan pembelajaran. Selanjutnya Kemenristekdikti setiap
tahun melakukan penilaian kinerja perguruan tinggi berdasarkan klaster yang terdiri
dari empat yaitu kualitas SDM, kualitas kelembagaan, kualitas kegiatan
kemahasiswaan dan kualitas penelitian dan publikasi ilmiah. Wijantno (2009:275)
menggunakan konsep Value for Money (VFM) yaitu ekonomi, efisiensi dan
efektivitas sebagai dimensi kinerja perguruan tinggi. Selanjutnya Muktiyanto et all
(2014) menggunakan 4 (empat) dimensi yang telah digunakan sebelumnya oleh
Fielden (2008) dan melengkapinya dengan 1 (satu) dimensi yang diambil dari
dimensi BAN-PT sehingga dimensi kinerja perguruan tinggi yang digunakan
muktiyanto dalam penelitianya yaitu mahasiswa, penelitian, staf/SDM,
keuangan/efisiensi dan layanan kepada mahasiswa.
Selanjutnya dalam penelitian ini digunakan dimensi yang telah digunakan
pada penelitian sebelumnya yaitu menurut Fielden (2008), Indrajit (2006:111),
Wijantno (2009:275), Muktiyanto et all (2014), Kemenristekdikti (2017), BAN-
PT (2007) sebagai berikut:
83
(a) Dimensi Kinerja Keuangan (PER-32/PB/2014), adalah kinerja keuangan
BLU Universitas sehubungan dengan pengelolaan keuangan dan fleksibilitas
keuangan yang telah diterimanya, terdiri dari 3 indikator:
1. Rasio Kas adalah sejauhmana BLU Universitas menghasilkan kas dari
sebelum menjadi BLU. Paramternya bisa lebih rendah atau lebih dari
tinggi dari sebelumnya
2. Periode Penagihan Piutang adalah sejauhmana BLU Universitas
mengelola piutang untuk menjadi Kas BLU. Paramternya bisa lebih
rendah atau lebih dari tinggi dari sebelumnya
3. Rasio Pendapatan PNBP BLU Universitas terhadap Biaya
Operasional adalah sejauhmana BLU Universitas mampu
menghasilkan pendapatan dengan memanfaatkan aspek akaemik dan
non akademik.
(b) Dimensi Kepatuhan Pengelolaan Keuangan BLU (PER-32/PB/2014),
adalah kepatuhan BLU terhadap administrasi keuangan sebagai konsekuensi
otonomi keuangan yang telah diterimanya, terdiri dari 5 indikator :
1. Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) definitive adalah dokumen
anggaran sebagai dasar melakukan aktivitas, program dan kegiatan
yang telah definitive (disyahkan oleh kementerian teknis)
2. Laporan Keuangan Berdasarkan SAK adalah laporan keuangan PNBP
BLU yang telah disusun dan diaudit oleh KAP
84
3. Tarif Layanan adalah dasar biaya layanan yang telah dihitung dengan
cermat dengan memperthatikan berbagai factor kondisional yang
dihadapi BLU
4. Sistem Akuntansi BLU adalah system yang menghasilkan informasi
yang akan digunakan sebagai dasar penyusunan laporan BLU
berdasarkan SAK
5. Persetujuan Rekening adalah rekening milik BLU yang telah disyahkan
oleh kementerian keuangan selaku instansi pembina BLU
(c) Dimensi Layanan BLU (PER-32/PB/2014), adalah terkait layanan BLU
terhadap pengguna sesuai dengan proses bisnisnya. BLU Universitas
mengacu kepada tridharma perguruan tinggi yang terdiri atas kinerja
pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Parameter ini ,mengacu
kepada peruntukan PNBP BLU Universitas yautu untuk dikembalikan ke
mahasiswa dalam bentuk layanan akademik terdiri dari 6 indikator :
1. Akreditasi Universitas Oleh BAN-PT atau Internasional adalah
parameter pemenuhan kinerja akademik universitas
2. Rasio Tenaga Kependidikan adalah tersedianya tenaga kependidikan
professional yang akan membantu terselenggaranya aktivitas akademik
yang baik
3. Rasio Mahasiswa Baru yang Mendaftar Ulang dibandingkan
Mahasiswa Baru Yang Diterima adalah untuk mengukur sejauhmana
minta mahasiswa masuk BLU Universitas yang mencerminkan naiknya
pangsa pasar.
85
4. Kenaikan Jumlah Mahasiswa berprestasi unggul dalam bidang
akademik dan non akademik adalah untuk mengetahui apakah
penggunaan PNBP Univeritsa efektif untuk kegiatan akademik,
5. Kenaikan Hibah Bersaing adalah untuk mengetahui apakah BLU
UNiversitas berhasil memanfaatkan fleksibitas keuangan yang telah
didelegasikan ke BLU Universitas.
6. Kepuasan Stakeholder adalah parameter yang penting untuk mengukur
sejauhmana BLU Univeritas dirasakan manfaatnya oleh lingkungan
yang mengitarinya.
2.2 Kerangka Pemikiran
2.2.1 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
01 Ezzamel,
M. (1990)
The impact of
environmenta
l uncertainty,
managerial
autonomy
and size on
budget
characteristic
s
Ketidakpastian
lingkungan (PEU)
berpengaruh positif
signifikan terhadap
anggaran partisipatif
Desentralisasi
(otonomi)
berpengaruh positif
signifikan terhadap
anggaran partisipatif
PEU tampaknya memiliki
dampak paling kuat pada
desain sistem penganggaran
Otonomi manajerial
tampaknya lebih kuat dalam
menjelaskan variasi
karakteristik anggaran
dibandingkan dengan ukuran
organisasi, terutama dalam
kasus perusahaan dengan
ukuran lebih besar.
86
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
Variabel penelitian
Ketidakpastian Lingkungan
(PEU), Anggaran
Partisipatif, Desentralisasi
Struktur Organisasi
(otonomi)
02 Subramani
am, N. dan
Mia, L.
(2001)
The relation
between
decentralised
structure,
budgetary
participation
and
organisation
al
commitment.
Desentralisasi
(otonomi) dan
anggaran partisipatif
dipengaruhi
komitmen organisasi
Partisipasi manajer dalam
pengaturan anggaran dan
otonomi pengambilan
keputusan yang tinggi
adalah dua faktor penting
yang akan meningkatkan
komitmen organisasi
manajer.
Variabel penelitian
Desentralisasi Struktur
Organisasi (otonomi),
Anggaran Partisipatif dan
Komitmen Organisasional
03 Kim, N.
dan Cho,
W. (2015)
Agencificatio
n and
Performance:
The Impact of
Autonomy
and Result-
Control on
the
Performance
of Executive
Agencies in
Korea
Tidak terdapat
hubungan yang
signifikan antara
kinerja dengan
desentralisasi
(otonomi) dalam
pengelolaan
keuangan dan SDM
agen-agen
pemerintah
Pertama, otonomi yang yang
disarankan oleh NPM
bukanlah obat mujarab atau
bahkan strategi yang efektif
untuk meningkatkan kinerja
organisasi publik.
Kedua, kontrol hasil dapat
menjadi strategi yang efektif
untuk kinerja organisasi
bahkan dalam konteks
dengan struktur dan budaya
birokrasi yang kuat. Oleh
87
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
Terdapat korelasi
yang erat antara
kinerja dengan
evaluasi kinerja
(reward)
karena itu, lembaga
eksekutif harus dirancang
dengan kontrol hasil yang
lebih kuat.
Ketiga, otonomi, kontrol
hasil, kepala lembaga,
ukuran lembaga, dan ukuran
pelayanan, daripada jenis
layanan dan sumber daya
organisasi, merupakan
faktor manajerial kunci
untuk kinerja lembaga
eksekutif. Ini harus
tercermin dalam desain
lembaga eksekutif.
Variabel penelitian
Desentralisasi (otonomi) dan
Kinerja Organisasional yang
dimotivasi oleh Reward
(Remunerasi)
Setting (latar) penelitian
BLU di Korea modifikasi
penelitian ini adalah seluruh
universitas yang telah
ditetapkan sebagai BLU di
Indonesia
04 Public Admin istration and Development
Yamamot
o, K.
(2006)
Performance
of semi‐
autonomous
public
Ada hubungan kausal
antara otonomi
operasional dan
efektivitas
Setting (latar) penelitian
BLU di Jepang modifikasi
penelitian ini adalah seluruh
universitas yang telah
88
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
bodies:
linkage
between
autonomy
and
performance
in Japanese
agencies
organisasi, efisiensi
dan kualitas layanan,
meskipun hubungan
hipotesis antara
otonomi dalam
manajemen sumber
daya, struktur
organisasi dan
kinerja hanya
didukung sebagian.
Lebih lanjut, faktor-
faktor ini tidak
berhasil dalam
menjelaskan kualitas
layanan.
ditetapkan sebagai BLU di
Indonesia
Variabel penelitian
Desentralisasi (otonomi) dan
Kinerja Organisasional
(Aspek Financial dan Non
Financial)
05 Kim, K.
(2008)
Agencificatio
n in Korea:
Governance
and
Performance
Pertama, pada
masalah tata kelola,
agencifikasi Korea
mengikuti garis tata
kelola pasar secara
struktural, tetapi
masih
mempertahankan
sifat tata kelola
hierarki yang kuat
dengan menerapkan
proses evaluasi dua
tingkat yang
tersentralisasi.
Kedua, Masalah
kinerja, agencifikasi
belum menunjukkan
banyak keuntungan
ekonomi dan
Gagasan utama agencifikasi
adalah otonomi manajerial
dan kontrak kinerja
Kontrak kinerja telah sangat
diadopsi, tetapi otonomi
manajerial telah diadopsi
dengan lemah
Variabel penelitian
Desentralisasi (otonomi) dan
kinerja (kualitas layanan)
organisasi public
Setting (latar) penelitian
BLU di Korea modifikasi
89
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
efisiensi. Pada proses
manajemen setelah
agencifikasi, evaluasi
keseluruhan
karyawan yang
bekerja di agensi
adalah netral.
Meskipun hasil dari
agencifikasi
meningkatkan
orientasi kinerja dan
meningkatkan
kepuasan pelanggan
Ketiga, karakteristik
organisasi agen ada
hubungannya dengan
kinerja. Lembaga
dengan karakteristik
ukuran besar,
kemandirian
finansial tinggi, dan
sensitivitas kebijakan
rendah memiliki
kinerja yang lebih
baik dalam evaluasi
keseluruhan
dibandingkan dengan
karakteristik yang
berlawanan.
Desentralisasi
(otonomi) tidak
berpengaruh
terhadap kinerja
penelitian ini adalah seluruh
universitas yang telah
ditetapkan sebagai BLU di
Indonesia
90
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
(kualitas layanan)
organisasi public
06 Waluyo,
B. (2018)
Balancing
financial
autonomy
and control in
agencificatio
n Issues
emerging
from the
Indonesian
higher
education
Ketidakstabilan
antara otonomi
keuangan dengan
system control yang
diciptakan
Praktik otonomi keuangan
dan mengendalikan isu
agencifikasi yang muncul di
sektor pendidikan tinggi
Setting (latar) penelitian
BLU sector pendidikan
tinggi modifikasi penelitian
ini adalah seluruh
universitas yang telah
ditetapkan sebagai BLU
07 Abernethy
, M. A.,
dan
Stoelwind
er, J. U.
(1991).
Budget use,
task
uncertainty,
system goal
orientation
and subunit
performance:
A test of the
‘fit’
hypothesis in
not-for-profit
hospitals
Kesesuaian antara
penganggaran,
ketidakpastian tugas
dan orientasi tujuan
sistem menghasilkan
peningkatan kinerja.
Penggunaan penganggaran
dalam organisasi yang
didominasi secara
profesional di mana individu
mungkin tidak berperilaku
'rasional' dan
mengidentifikasi dengan
organisasi sebagai suatu
system
Variabel penelitian
Ketidakpastian Lingkungan
(Ketidakpastian Tugas),
Anggaran Partisipatif dan
Kinerja organisasional
08 Yilmaz, E.
dan Ozer,
G. (2011)
The effects of
environmenta
l uncertainty
and
Ketidakpastian
lingkungan secara
statistik memiliki
dampak signifikan
Studi ini meneliti hubungan
antara ketidakpastian
lingkungan, efektivitas
kontrol anggaran dan
91
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
budgetary
control
effectiveness
on propensity
to create
budgetary
slack in
public sector
dan positif pada
kecenderungan untuk
menciptakan
senjangan anggaran.
kecenderungan untuk
menciptakan senjangan
anggaran di organisasi
publik. Untuk tujuan ini,
data dikumpulkan dari 460
manajer organisasi publik
melalui kuesioner.
Variabel penelitian
ketidakpastian lingkungan
dan Anggaran Partisipatif
09 Sharma,
D. S.
(2002)
The
differential
effect of
environmenta
l
dimensionalit
y, size, and
structure on
budget system
characteristic
s in hotels
PEU memiliki efek
pengaruh signifikan
terhadap Kinerja
Struktur organisasi
memiliki pengaruh
signifikan terhadap
Kinerja
Sifat operasi perusahaan jasa
sangat tergantung pada
lingkungan eksternal,
ketidakpastian lingkungan
yang dirasakan (PEU)
cenderung menjadi variabel
kontekstual kunci
Variabel penelitian PEU,
Struktur Organisasi dan
Kinerja Organisasional
10 Enders, J.,
de Boer,
H. dan
Weyer, E.
(2013)
Regulatory
autonomy
and
performance:
The reform of
higher
education re-
visited
Universitas yang
lebih otonom dengan
kebijaksanaan
manajerial yang
perlu bersaing untuk
sumber daya lebih
produktif universitas
yang lebih otonom
dengan
kebijaksanaan
Kebijakan otonomi untuk
memperkuat kebijaksanaan
manajerial dan kontrol
internal universitas yang
dikombinasikan dengan
kebijakan peraturan untuk
kontrol eksternal yang
mengarahkan pilihan
organisasi
92
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
manajerial yang
perlu bersaing untuk
sumber daya lebih
produktif
Variabel penelitian
desentralisasi (otonomi).
Lingkungan Eksternal
(regulasi) dan Kinerja
Organisasional
11 Haryanti, I
dan
Radiah,
O., N.
(2012)
Budgetary
Participation
: How It
Affects
Performance
And
Commitment
Anggaran partisipatif
memiliki pengaruh
signifikan terhadap
kinerja manajerial
dengan
meningkatkan
komitmen organisasi.
Sektor publik Malaysia telah
mengalami sejumlah
reformasi dalam dua dekade
terakhir. Mereka berfokus
pada desentralisasi untuk
meningkatkan kinerja dan
pengambilan keputusan
partisipatif. Modified
Budgeting System (MBS)
diadopsi untuk mendorong
lebih banyak partisipasi dari
karyawan.
Variabel penelitian
desentralisasi (otonomi).
Anggaran Partisipatif,
Komitmen Organisasional
dan Kinerja Organisasional
12 Oyewo, B.
dan
Adyeye,
G. (2018)
Budgetary
Participation
And
Managerial
Performance
In Public
Anggaran partisipatif
secara positif dan
signifikan
mempengaruhi
fungsi manajerial
Sangat diharapkan bahwa
organisasi sektor publik
berangkat dari pemahaman
dan permasalahan
inkremental penganggaran
untuk teknik penganggaran
93
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
Sector
Organisation
s: A Study
From Nigeria
seperti perencanaan,
investigasi,
koordinasi,
mengawasi,
mengevaluasi, dan
penempatan staf,
yang paling banyak
dilakukan dalam
perencanaan.
canggih seperti ABB, ZBB,
PPBS. Namun, melibatkan
karyawan dalam proses
penganggaran adalah
langkah, yang secara
bertahap bisa membuka
jalan bagi perbaikan dalam
penganggaran. Motivasi
para karyawan dan
keterlibatan yang lebih
dalam dalam masalah
anggaran di sektor publik
bisa jadi jalan keluar dari
penganggaran tradisional
yang bersifat khas dan
membingungkan
Variabel penelitian
Anggaran Partsisipatif dan
Kinerja Organisasional
13 Yahya,N.,
M.
Ahmad,
N., N., N.,
dan
Fatima,
A.,H.
(2008)
Budgetary
participation
and
performance:
some
Malaysian
evidence
Anggaran partisipatif
mempengaruhi
kinerja manajerial
melalui variabel
mediasi dari
komitmen organisasi
Mengeksplorasi hubungan
partisipasi dan kinerja
anggaran (BPP) dalam
organisasi sektor publik di
negara berkembang,
Malaysia.
Variabel penelitian
Anggaran Partsisipatif,
Kinerja Organisasional dan
Komitmen Organisasional
94
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
14 Chong, V.,
K.,dan
Chong.
K.,M.
(2002)
Budget Goal
Commitment
and
Informational
Effects of
Budget
Participation
on
Performance:
A Structural
Equation
Modeling
Approach
Dukungan
ditemukan untuk
efek komitmen
sasaran anggaran
dan peran informasi
anggaran partisipatif
pada kinerja
pekerjaan.
Pemeriksaan model
struktural yang melibatkan
peran anggaran partisipatif
pada kinerja
meningkatkan pemahaman
kita tentang keterkaitan.
partisipasi-kinerja anggaran
Kedua, penelitian kami
bergantung pada teori
penetapan tujuan untuk
kerangka teori
bekerja untuk menguji efek
motivasi dari anggaran
partisipatif
Variabel penelitian
Anggaran Partsisipatif,
Kinerja Organisasional dan
Komitmen Organisasional
15 Smeenk,
S. G. A.,
Eisinga, R.
N.,
Teelken, J.
C., dan
Doorewaa
rd, J. A. C.
M. (2006).
The effects of
HRM
practices and
antecedents
on
organization
al
commitment
among
university
employees
Desentralisasi
(otonomi)
dipengaruhi oleh
Komitmen
Organisasional
Desentralisasi fakultas
separatis, kompensasi,
pelatihan / pengembangan,
masa jabatan, dan mobilitas
karir memiliki efek yang
signifikan. Dalam usia
fakultas hegemonis, masa
jabatan organisasi, tingkat
otonomi, jam kerja,
keterlibatan sosial, dan
kepentingan pribadi secara
signifikan mempengaruhi
komitmen organisasi.
95
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
Partisipasi, interaksi sosial,
dan tingkat pekerjaan adalah
faktor yang penting di kedua
fakultas, meskipun di
fakultas separatis efek
partisipasi negatif,
sedangkan di fakultas
hegemonis efek partisipasi
positif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
komitmen organisasi
dipengaruhi secara berbeda
antara fakultas dengan
identitas yang berbeda
Variabel Penelitian
Desentralisasi (otonomi)
dipengaruhi oleh Komitmen
Organisasional
16 Abdul-
Nasiru, I.,
Mensah,
R.,
Amponsah
-Tawiah,
K.,
Simpeh,
K. N., dan
Kumasey,
A. S.
(2014)
Organisation
al
Commitment
in the Public
Service of
Ghana: An
Empirical
Study
Kinerja keseluruhan
organisasi
bergantung pada
komitmen
organisasi.
Kinerja organisasi public
dipengaruhi oleh komitmen
organisasi, Teori Psikologi
dapat meningkatkan
komitmen organisasi
Variabel Penelitian Kinerja
Organisasional dipengaruhi
oleh Komitmen
Organisasional
96
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
17 Camilleri,
E. (2006)
Towards
Developing
an
Organisation
al
Commitment
- Public
Service
Motivation
Model for the
Maltese
Public
Service
Employees
Kinerja Pelayanan
Publik organisasi
bergantung pada
komitmen pegawai
pelayanan publik
organisasi.
Komitmen organisasi
penting untuk keberhasilan
implementasi BLU,
Komitmen organisasi
memperkuat motivasi
pelayanan public dan
Komitmen organisasi afektif
memiliki efek langsung pada
semua dimensi motivasi
pelayanan public
Variabel Penelitian Kinerja
Organisasional dipengaruhi
oleh Komitmen
Organisasional
18 Moon, M..
Jae. (2005)
Organization
al
Commitment
Revisited in
New Public
Management:
Motivation,
Organization
al Culture,
Sector, and
Managerial
Level
Faktor motivasi
intrinsik lebih
signifikan terkait
dengan komitmen
organisasi daripada
faktor motivasi
ekstrinsik di sektor
publik.
Dibandingkan
dengan sektor
swasta, tingkat
manajerial di sektor
publik kurang
menonjol sebagai
penentu komitmen
organisasi
Faktor motivasi ekstrinsik
belum digunakan secara
efektif di sektor publik
sebagai sarana untuk
meningkatkan komitmen
organisasi dan
meningkatkan kinerja
organisasi. Reformasi terkait
kinerja terbaru (mis., Pay-
for-performance) proaktif
dan merupakan upaya
pemerintah yang disengaja
yang bertujuan untuk
menghubungkan jembatan
yang rusak antara faktor
motivasi ekstrinsik dan
komitmen dan kinerja
organisasi individu.
97
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
Variabel Penelitian Kinerja
Organisasional dipengaruhi
oleh Komitmen
Organisasional
19 Andrews,
R., et all
(2008)
Organization
al Strategy,
External
Regulation
And Public
Service
Performance
Implementasi
strategi berpengaruh
positif signifikan
terhadap kinerja
melalui regulasi
(peraturan) yang
dikeluarkan oleh
pemerintahan
setempat.
keadaan eksternal dan
karakteristik organisasi
cenderung memiliki
efek signifikan pada kinerja
organisasi di sektor public
Variabel Lingkungan
Eksternal (regulasi) dan
Kinerja Organisasi
20 Andreasse
n, T., W.
(1994)
Satisfaction,
Loyalty and
Reputation as
Indicators of
Customer
Orientation
in the Public
Sector
Kepuasan
masyarakat atas
layanan yang
diterima berpengaruh
positif signifikan
terhadap kinerja
organisasi
Kepuasan pelanggan
dipengaruhi oleh harapan
dan persepsi kualitas
layanan. Tingkat kepuasan
dan loyalitas pelanggan
menjadi indikasi orientasi
pelanggan. Laporan studi
empiris dari 100 manajer-
tingkat kepuasan dengan
pemerintah daerah - layanan
di ibukota Norwegia
Variabel Lingkungan
Eksternal (harapan
masyarakat) dan Kinerja
Organisasi
21 Anwar, S., The Impact
Of
Decentralisat
Desentralisasi
(sistem otonomi
politik, administrasi
Desentralisasi diharapkan
memiliki dampak positif
pada efisiensi dan kesetaraan
98
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
Thompson
, T., dan
Zou, H.
(2004)
ion On
Service
Delivery,
Corruption,F
iscal
Management
And Growth
In
Developing
And
Emerging
Market
Economies
dan fiska)
berpengaruh
terhadap kinerja
negara-negara
berkembang
penyediaan layanan publik,
dalam praktiknya, hasil ini
tergantung pada pengaturan
kelembagaan yang ada
(termasuk hubungan
kekuasaan) dan koherensi
kebijakan desentralisasi
untuk menciptakan
lingkungan insentif yang
tepat untuk akuntabilitas
bukti empiris yang disajikan
di sini secara luas
mendukung pengaruh positif
kebijakan desentralisasi
dalam mereformasi sektor
publik di negara-negara
berkembang.
22 Al
Zefeiti1,S.
, M., B.
dan
Mohamad,
N., A.
(2017)
The Influence
of
Organization
al
Commitment
on Omani
Public
Employees’
Work
Performance
Komitmen organisasi
(afektif, normatif,
dan keberlanjutan)
memiliki dampak
signifikan pada
dimensi kinerja,
kinerja kontekstual
dan tugas.
Komitmen organisasi ter-
hadap kinerja dalam konteks
organisasi pemerintah
Oman. Komitmen organisasi
melalui komitmen afektif,
komitmen normatif,
komitmen berkelanjutan,
memotivasi karyawan untuk
bekerja demi kebaikan
organisasi.
23 Oluwalope
, A., A.,
dan
Sunday.,S.
(2017)
Impact of
Budgetary
Participation
and
Organization
al
Commitment
on
Partisipasi dalam
kegiatan anggaran
dan komitmen untuk
pekerjaan yang
dilakukan oleh
individu dalam suatu
organisasi
berdampak positif
etidakpastian yang berlaku
di lingkungan bisnis Nigeria,
manajer dan pemangku
kepentingan membutuhkan
kebutuhan untuk siap,
disiapkan dan berencana
untuk bersaing secara
menguntungkan di bawah
99
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
Managerial
Performance
in Nigeria
terhadap kinerja
manajerial,
kondisi yang berubah
dengan cepat agar tetap
relevan dan menguntungkan.
Studi ini meneliti hubungan
antara partisipasi anggaran,
komitmen organisasi dan
kinerja manajerial di
Nigeria. Data primer
diperoleh dari salinan
kuesioner yang dibagikan
kepada anggota staf di
tingkat manajerial di Nestle
NIG-food, Nigerian
Breweries-drinks, Flour
mills-food, 7up Bottling
company-drinks, Cadbury-
food, Unilever-food,
Vitafoam NIG-others
24 Yılmaza,
E., Ozerb,
G.,
Gunlukc,
M. (2014)
Do
Organization
al Politics
and
Organization
al
Commitment
Affect
Budgetary
Slack
Creation in
Public
Organization
s.
Komitmen organisasi
memiliki dampak
yang signifikan
secara statistik dan
negatif pada perilaku
politik keputusan
anggaran
perilaku politik umum dan
terus maju untuk maju
umumnya dilakukan untuk
mendapatkan lebih banyak
kepentingan pribadi,
kekuasaan atau melindungi
posisi saat ini dan mereka
dianggap sebagai proses
negatif. Ini berarti bahwa
jika manajer memiliki
komitmen organisasi yang
kurang, mereka berperilaku
lebih politis untuk
mengambil keuntungan dari
situasi atau melindungi diri
mereka sendiri, dan mereka
dapat tetap diam terhadap
penciptaan anggaran yang
kendur. Akibatnya, persepsi
100
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
politik organisasi dan
komitmen organisasi adalah
faktor penting untuk
memahami mengapa
manajer memiliki
kecenderungan untuk
menciptakan senjangan
anggaran di sektor publik.
25 Emma
Blomkam
p, M. Nur
Sholikin,
Fajri
Nursyamsi
, Jenny M.
Lewis and
Tessa
Toumbour
ou
June 2017
Understandin
g
Policymaking
In Indonesia:
In Search Of
A Policy
Cycle
Proses umum
pembuatan kebijakan
di Indonesia tidak
dapat secara tepat
direpresentasikan
sebagai siklus yang
didukung oleh
pemecahan masalah
yang rasional
langkah-langkah siklus
kebijakan - dari penetapan
agenda hingga evaluasi
kebijakan - tidak sejalan
dengan praktik pembuatan
kebijakan di Indonesia.
Beberapa tahapan dalam
siklus kebijakan, seperti
konsultasi dan evaluasi oleh
negara, tidak menonjol
dalam praktiknya.
Sementara itu, kegiatan
seperti analisis kebijakan,
pengambilan keputusan dan
koordinasi tidak dilakukan
secara berurutan. • Proses
umum pembuatan kebijakan
di Indonesia tidak dapat
secara tepat
direpresentasikan sebagai
sebuah siklus, yang
didukung oleh rasionalitas
penyelesaian masalah yang
diterapkan. • Mendapatkan
pemahaman yang lebih baik
tentang jaringan kebijakan
dan praktik-praktik yang ada
di Indonesia dapat lebih jauh
mengungkap siapa yang
101
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
terlibat dalam proses, bukti
apa yang mereka gunakan,
dan bagaimana mereka dapat
membentuk debat tentang
isu-isu tertentu. •
Pemahaman yang lebih luas
tentang proses kebijakan di
Indonesia dapat membantu
KSI dan sektor pengetahuan
yang lebih luas di Indonesia
26 Demuzere,
S.,
Verhoest,
K., dan
Bouckaert.
G. (2008)
Quality
management
in public
sector
organizations
:
which factors
do make a
difference?
otonomi manajerial
berhubungan positif
dengan teknik
anggaran. otonomi
lebih manajerial,
semakin tinggi
sejauh mana
manajemen mutu
yang digunakan
neo-institusional teori
dilengkapi dengan teori
identitas social
teori principal-agent
hubungan antara
otonomi dan manajemen
ini teknik sebagian besar
telah diabaikan dalam
literatur NPM luas
data survei dari 124
organisasi sektor publik
Flemish
Manajer organisasi
otonom menggunakan
teknik manajemen mutu
untuk membatasi
masalah asimetri
informasi dan konflik
tujuan dalam organisasi
mereka. Semakin
otonom organisasi,
semakin manajer dapat
dianggap sebagai
pengadu sisa organisasi
mereka. Hal ini membuat
lebih penting bagi
mereka untuk memiliki
organisasi mereka
berkinerja baik. Oleh
karena itu, hal ini
102
No Peneliti
(Tahun) Judul
Hasil Penelitian
(Pengaruh
Variabel)
Konsep yang dirujuk
dalam penelitian ini
berguna untuk
menghindari kesulitan
dalam 'hubungan
principal-agent' dengan
menggunakan
mekanisme governance
seperti teknik
manajemen mutu
27 Verzulli,
R.,
Jacobs, R.,
dan
Goddard,
M. (2017)
Autonomy
and
performance
in the public
sector: the
experience
of English
NHS
hospitals
Terdapat perbedaan
kinerja organisasi
pemerintah yang
diberikan status
otonomi dan
organisasi
pemerintah yang
tidak diberikan,
semakin otonom
maka semakin
berkinerja
Peraturan
dan pembatasan atas
masalah keuangan,
manajemen, dan organisasi
dikurangi untuk
menciptakan insentif
untuk memberikan layanan
berkualitas tinggi dengan
cara yang paling efisien.
Sumber : Peneliti (2019)
2.2.2. Hubungan Antar Variabel Penelitian
1. Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan Terhadap Anggaran Partisipatif.
Ketidakpastian lingkungan sering menjadi faktor yang menyebabkan
organisasi melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Organisasi akan
mengalami ketidakpastian lingkungan yang tinggi jika merasa lingkungan mereka
tidak dapat diprediksi dan tidak dapat memahami bagaimana komponen lingkungan
akan berubah. Sebaliknya dalam ketidakpastian lingkungan yang rendah
(lingkungan relatif stabil), organisasi dapat memprediksi keadaan sehingga
103
langkah-langkah yang akan diambil dapat direncanakan dengan lebih akurat
(Duncan, 1972). Kemampuan untuk memprediksi keadaan di masa yang akan
datang pada kondisi ketidakpastian lingkungan rendah dapat juga terjadi pada
individu yang berpartisipasi dalam penyusunan anggaran. Informasi pribadi yang
dimiliki bawahan dapat digunakan untuk membantu menyusun anggaran yang lebih
akurat karena bawahan mampu mengatasi ketidakpastian di wilayah tanggung
jawabnya dan dapat memprediksi lingkungannya (Kartika, 2010).
Lingkungan eksternal di negara berkembang sangat tidak pasti jika
dibandingkan dengan negara maju. Enthoven (1977) mendokumentasikan adanya
pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap perencanaan dan penganggaran di
negara berkembang. Hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya juga menunjukkan
adanya hubungan antara desain, penggunaan anggaran, dan mekanisme akuntansi
terhadap tingkat ketidakpastian lingkungan yang dirasakan (Perceived
Environmental Uncertainty atau PEU) (Ezzamel, 1990). Hal ini didukung dengan
fakta bahwa karakteristik informasi yang dibutuhkan oleh pembuat keputusan
bergantung pada tingkat PEU tersebut. Besarnya PEU akan mempersulit pembuat
keputusan untuk memprediksi peristiwa masa depan dan dapat membuat kegiatan
perencanaan dan pengendalian lebih bermasalah. Misalnya PEU yang lebih besar
menyebabkan tingginya kemungkinan adanya revisi anggaran dan standar yang
berlaku.
Tingginya ketidakpastian yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang
dinamis dapat menyebabkan manajer merasa tertekan sehingga akan
memungkinkan manajer untuk berpartisipasi dalam rangka memperoleh informasi
104
agar menemukan cara terbaik mengatasi peristiwa yang tidak terduga (Wong-on-
wing et al., 2010). Kondisi lingkungan eksternal yang selalu berubah dan tidak pasti
menuntut organisasi untuk mampu mengantisipasi dan mencari cara agar mampu
beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Organisasi berbasis profit maupun
organisasi nirlaba memiliki cara tersendiri dalam menghadapi ketidakpastian
lingkungan. Ketidakpastian lingkungan eksternal pada organisasi profit biasanya
diantisipasi dengan penetapan strategi organisasi. Berbeda dengan organisasi non
profit, ketidakpastian lingkungan organisasi biasanya diantisipasi dengan
penyusunan anggaran yang dapat secara fleksibel dan partisipatif untuk merespon
kondisi ketidakpastian lingkungan eksternal (Zuriekat et al, 2009). Hubungan
ketidakpastian lingkungan eksternal terhadap partisipasi anggaran telah banyak
diteliti oleh peneliti terdahulu dan menunjukkan bahwa ketidakpastian lingkungan
eksternal memiliki pengaruh positif terhadap partisipasi penyusunan anggaran
(Siahaya, 2013). Hal ini berarti bahwa semakin besar ketidakpastian lingkungan
eksternal, maka semakin besar partisipasi bawahan dalam penyusunan anggaran.
2. Pengaruh Desentralisasi Struktur Organisasi Terhadap Anggaran
Partisipatif
Pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk sistem terdesentralisasi
yang dipengaruhi oleh transfer kewenangan atau tanggung jawab untuk
pengambilan keputusan, manajemen atau alokasi sumber daya dari tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi ke unit dibawahnya (Sarkar, 2003). Secara umum,
desentralisasi menggambarkan pengalihan kompetensi dan tanggung jawab untuk
melakukan kewajiban pelayanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah
105
daerah atau subnasional (Popik & Patel, 2011). Struktur organisasi desentralisasi
secara umum mengacu pada pengambilan keputusan yang terjadi dalam organisasi.
Dalam struktur sentralisasi yang tinggi, sebagian keputusan diambil pada tingkat
hirarki organisasi yang tertinggi, dan apabila sebagian otorisasi didelegasikan pada
level yang rendah, maka organisasi tersebut lebih terdesentralisasi (Bangun, 2009).
Desentralisasi juga dapat mengacu pada transfer fiskal secara vertikal, di mana
tingkat yang lebih tinggi menyerahkan wewenang atas anggaran dan keputusan
keuangan ke tingkat yang lebih rendah (UNDP, 1999).
Manajer dalam organisasi yang terdesentralisasi memiliki tanggung jawab
dan kekuasaan yang lebih besar atas kegiatan perencanaan, pengendalian dan akses
terhadap informasi yang tidak tersedia bagi kantor pusat. Untuk mencapai
pengelolaan keuangan pemerintah secara efektif dan efisien tidak hanya ditentukan
oleh faktor produksi dan keadilan saja namun banyak penelitian menunjukkan
bahwa faktor desentralisasi fiskal dan transparansi sangat menentukan kesuksesan
dalam pengelolaan keuangan pemerintah (Ahmad, 2007).
Bruns & Waterhouse (1975) menyatakan bahwa manajer dalam organisasi
yang terdesentralisasi cenderung memiliki tingkat partisipasi anggaran yang tinggi
dan merasa lebih puas dengan kegiatan yang berkaitan dengan anggaran.
Sebaliknya, dalam organisasi yang terpusat penekanan pada partisipasi anggaran
yang rendah dianggap lebih tepat. Merchant (1981) juga mendokuentasikan bahwa
manajer di perusahaan terdesentralisasi berpartisipasi lebih tinggi dalam pengaturan
anggaran. Partisipasi oleh manajer menengah dan manajer bawah dalam kegiatan
terkait anggaran konsisten dengan semangat desentralisasi. Dalam organisasi yang
106
memiliki struktur terdesentralisasi, manajer tingkat menengah dan bawah
cenderung memiliki informasi yang lebih baik. Sehingga, keterlibatan mereka
dalam penyusunan anggaran akan menghasilkan anggaran yang lebih realistis dan
memberikan motivasi positif.
3. Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Anggaran Partisipatif
Semua organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen
organisasi yang tinggi agar organisasi dapat terus sustainable serta meningkatkan
kinerjanya. Hal ini karena karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang
tinggi adalah karyawan yang lebih stabil, lebih produktif, memiliki motivasi yang
besar dan berusaha mencapai tujuan organisasi, sehingga akan lebih
menguntungkan bagi organisasi (Greenberg & Baron, 1993)
Wong-On-Wing et al. (2010) menyatakan bahwa komitmen organisasi
berpengaruh posistif penganggaran partisipatif. Diharapkan bahwa dengan
komitmen dan keterlibatan individu yang lebih tinggi dalam organisasi dapat
mencapai anggaran yang lebih baik. Komitmen organisasi mendorong para manajer
untuk berpartisipasi dalam proses penganggaran. Keyakinan kuat manajer terhadap
tujuan dan nilai-nilai organisasi, mendorong manajer bersedia berpartisipasi dalam
penyusunan anggaran. Manajer yang memiliki komitmen kuat terhadap organisasi
akan merasa bahwa mereka harus berpartisipasi dalam proses penganggaran.
Komitmen organisasi mendorong partisipasi dalam penyusunan anggaran karena
adanya partisipasi bawahan dengan cara mengusulkan kepada atasannya mengenai
upaya terbaik manajer yang bermanfaat bagi organisasi dan dapat digunakan untuk
mencapai tujuan organisasi (Supriyono, 2006).
107
Deci & Ryan (2010) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki
komitemen yang tinggi akan memiliki keterikatan emosional dengan organisasinya,
sehingga akan memotivasi karyawan tersebut untuk berpartisipasi dalam
penyusunan anggaran. Clinton (1999) menemukan adanya keterkaitan antara
komitmen organisasi dengan partisipasi anggaran yang mana bahwa karyawan yang
memiliki komitmen tinggi akan memiliki keterlibatan pada penyusunan anggaran
yang lebih besar.
4. Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan Terhadap Kinerja Organisasi.
Adanya ketidakpastian lingkungan dapat menyebabkan organisasi untuk
menetapkan tindakan-tindakan untuk menyesuaikan kondisi organisasi dengan
lingkungan. Ketidakpastian lingkungan juga dapat menyebabkan kegiatan
perencanaan dan pengendalian menjadi lebih sulit. Hal ini karena kondisi
lingkungan yang tidak menentu dan tidak dapat diprediksi sehingga kebijakan dan
strategi yang telah ditetapkan menjadi tidak sesuai dengan perkembangan kondisi
lingkungan. Sehingga organisasi perlu untuk merespon dengan cepat tantangan dari
perubahan lingkungan tersbebut.
Seorang manajer yang berada dalam organisasi dengan ketidakpastian
lingkungan atau khususnya komponen-komponen dalam lingkungannya tidak dapat
diprediksi, mereka akan merasa tidak pasti terhadap tindakan-tindakan yang
diambil. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa karyawan akan mengetahui
dengan jelas prestasi yang dicapai bila ia bekerja dalam kondisi stabil (Hariyanto
dan Pinasti 2002). Hal ini dikarenakan dalam kondisi yang tidak stabil karyawan
tidak memiliki informasi yang cukup untuk memprediksi masa depan. Dalam
108
kondisi ketidakpastian lingkungan yang rendah (kondisi relatif stabil) individu
dapat memprediksi keadaan di masa depan sehingga langkah-langkah yang akan
dilakukannya dapat direncanakan lebih akurat (Hapsari & Widyastuti, 2017). Hal
ini nantinya akan mempengaruh kinerja karyawan tersebut. Jika kinerja karyawan
menurun, maka dapat mengganggu kinerja organisasi.
Beberapa peneliti telah menguji pengaruh ketidakpastian lingkungan
dengan kinerja organisasi. McCabe (1990) meneliti pengaruh penilaian
ketidakpastian lingkungan pada kinerja ekonomi di 12 maskapai penerbangan dan
14 produsen kontainer pengiriman dengan total 84 responden. Responden maskapai
penerbangan mewakili lingkungan bisnis yang tidak stabil, sedangkan responden
produsen kontainer pengiriman mewakili lingkungan yang stabil. McCabe (1990)
menggunakan skala pengukuran ketidakpastian lingkungan yang dikembangkan
oleh Duncan (1972), ketidakpastian lingkungan diukur dengan menggunakan
pengukuran yang disarankan oleh Bourgeois (1985) yang dihubungkan dengan
volatilitas laba dan penjualan serta volatilitas teknologi. Hasil penelitiannya
menemukan bahwa perusahaan yang lebih baik dalam menilai ketidakpastian
lingkungan akan memberikan hasil kinerja ekonomi yang lebih baik dibandingkan
dengan perusahaan yang tidak menilai ketidakpastian lingkungan secara efektif.
Namun, Mia & Clarke (1999) mendokumentasikan hasil yang berlawanan yaitu
ketidakpastian lingkungan dapat meningkatan kinerja organisasi.
109
5. Pengaruh Desentralisasi Struktur Organisasi Terhadap Kinerja
Organisasi.
Pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk memberi wewenang yang luas,
nyata, dan bertanggung jawab kepada organisasi secara proporsional yang
diwujudkan dengan cara pengalokasian sumber daya yang adil (Abdullah, 2006).
Pemberian desentralisasi menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan, dan keadilan (Mardiasmo, 2000).
Struktur organisasi yang terdesentralisasi dapat menyebabkan manajer
memiliki peran yang lebih besar dalam pembuatan keputusan dan implementasinya,
lebih bertanggung jawab terhadap aktivitas unit kerja yang dipimpinnya, dan
membuat manajer perlu informasi yang berkualitas dan relevan guna mendukung
kualitas keputusan. Selain itu, desentralisasi juga membuat organisasi menjadi lebih
efektif dalam mendukung pengguna informasi untuk pengambilan keputusan.
Kesesuaian antara informasi dengan kebutuhan pembuat keputusan dapat
meningkatkan kualitas yang diambil sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan
kinerja manajerial (Abdullah, 2006). Struktur organisasi yang terdesentralisasi akan
meningkatkan independensi manajerial dalam berfikir dan bertindak dalam satu tim
tanpa mengorbankan kebutuhan organisasi (Hidayat, 2015). Davila et al. (2018)
mendokumentasikan bahwa desentralisasi berdampak positif terhadap kinerja
organisasi. Dampak positif tersebut akan lebih kuat jika berjalan secara beriringan
dengan tingkat pengendalian yang baik. Hal ini dikarenakan struktur organisasi
yang terdesentralisasi akan lebih efektif ketika mekanisme pengendalian internal
lebih ketat. Pengendalian internal yang ketat akan berdampak pada pengambilan
110
keputusan yang lebih baik sehingga akan menghasilkan kinerja organisasi menjadi
lebih baik.
Dalam proses pengambilan keputusan yang terdesentralisasi, karyawan
berusaha memberikan yang terbaik untuk meningkatkan kinerja mereka agar lebih
efisiensi dan efektivitas. Hak pengambilan keputusan yang terdesentralisasi
memiliki dampak yang sangat kuat terhadap kinerja organisasi karena memberikan
kesempatan kepada karyawan tingkat bawah untuk menyumbangkan saran dan
rekomendasi mereka dan menunjukkan kemampuan mereka dalam proses
pertumbuhan dan peningkatan laba (Bashir, 2015). Selain itu, desentralisasi struktur
organisasi diharapkan dapat membangun akomodasi aspirasi masyarakat, sehingga
akan mengurangi ketergantungan, meningkatkan profesionalisme, dan pada
akhirnya dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik yang diberikan.
6. Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Organisasi
Adanya komitmen yang kuat kepada organisasi dapat membuat semua pihak
dalam organisasi bekerja sama untuk menapai hasil yang lebih baik dari wakru ke
waktu (Abdul, 2008). Karyawan dengan komitmen organisasional yang tinggi akan
dapat kinerja manajerial maupun kinerja organisasi yang tinggi, tingkat absensi
berkurang, dan meningkatnya loyalitas karyawan terhadap organisasi (Sopiah,
2008:166). Praja et al. (2015) menyatakan bahwa komitmen organisasional dapat
menjadi alat bantu psikologi dalam menjalankan organisasi untuk mencapai kinerja
manajerial yang diharapkan. Pegawai pemerintah yang berkomitmen akan bekerja
semaksimal mungkin karena mereka menginginkan kesuksesan organisasi tempat
111
dimana mereka bekerja dan juga menunjang kinerja manajerial yang mereka
terapkan.
Tingginya kredibilitas mampu menghasilkan komitmen, dan hanya dengan
komitmen yang tinggi, suatu instansi pemerintahan mampu menghasilkan kinerja
yang baik (Rommy, 2011). Komitmen organisasi yang kuat akan mendorong
karyawan untuk berusaha lebih keras dalam mencapai tujuan organisasi. Sehingga
komitmen yang tinggi menjadikan individu memiliki sifat mementingkan
organisasi dibandingkan kepentingan pribadi dan berusaha membuat organisasi
menjadi lebih baik lagi. Sehingga antara pengaruh positif antara komitmen
organisasi dengan kinerja yang mana kinerja yang baik pastinya dilatar belakangi
oleh komitmen yang kuat. Komitmen organisasi yang buruk tidak akan
menghasilkan kinerja yang tinggi (Kurniawan, 2013). Hal senada juga disampaikan
oleh Warnipin (2015) yang menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen
yang tinggi akan melakukan segala usaha agar dapat mencapai tujuan organisasi.
Apabila tujuan organisasi tercapai maka kinerja organisasi akan menjadi lebih baik.
Dalam literature review yang dilakukan oleh Randall (1990) menyimpulkan
bahwa banyak peneliti telah mendokumentasikan adanya pengaruh positif antara
komitmen organisasi dengan hasil kerja seperti: kinerja, absensi karyawan, dll.
Metcalfe (2001) menguji peran komitmen organisasi pada sektor publik. Penelitian
tersebut dilakukan dengan menggunakan survei pada petugas polisi dan staf sipil,
dengan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komitmen organisasi berhubungan
erat dengan kinerja individu. Penelitian yang dilakukan oleh Putri (2010)
mendokumentasikan bahw komitmen organisasi berpengaruh terhadap kinerja
112
manajerial. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Hakim (2006) dan
Ivano (2009) yang menyatakan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif
terhadap kinerja organisasi publik. Sedangkan menurut penelitian Kurniawan
(2013) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu komitmen organisasi tidak
berpengaruh terhadapa kinerja.
7. Pengaruh Anggaran Partisipatif terhadap Kinerja Organisasi
Pada organisasi sektor publik, anggaran harus dilaporkan secara transparan
kepada publik. Anggaran pada sektor publik berkaitan dengan proses penentuan
alokasi untuk setiap program dan aktivitas dalam satuan moneter yang
menggunakan dana milik rakyat. Pendanaan organisasi di sektor publik berasal dari
pajak dan retribusi, laba perusahaan daerah atau milik negara, pinjaman pemerintah
dalam bentuk utang luar negeri dan obligasi pemerintah, serta sumber pendanaan
lainnya yang valid dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang telah
ditetapkan (Aprila dan Hidayani, 2012). Pelaksanaan penyusunan anggaran dapat
berjalan dengan baik jika didukung oleh partisipasi dari masing-masing pihak
terkait di dalamnya.
Partisipasi anggaran mengacu pada proses di mana manajer terlibat dalam
penyusunan dan memiliki kekuatan untuk menentukan anggaran. Partisipasi berarti
terdapat komunikasi di antara para partisipan. Manajer tingkat bawah akan
dilibatkan dalam penyusunan anggaran dan menyampaikan pendapatnya kepada
manajemen puncak. Partisipasi manajer tingkat menengah dan bawah dalam sistem
penganggaran dapat mengurangi asimetri informasi sehingga dapat membuat
manajer tingkat bawah memiliki komitmen tinggi untuk menyusun dan memenuhi
113
rencana anggaran (Abata, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa manajer memiliki
peran yang dinamis dalam penetapan anggaran dengan cara berpartisipasi dalam
kegiatan departemen, sehingga mereka memiliki pengetahuan mengenai
kemampuan dan kebutuhan organisasi dalam mengalokasikan sumber daya melalui
pembuatan anggaran (Amirul et al., 2017).
Partisipasi dalam penyusunan anggaran memiliki beberapa manfaat,
termasuk peningkatan penerimaan anggaran oleh budgetees, menjadi dasar untuk
sistem rewards dan sanksi, meminimalisasi target yang tidak dapat ditangani oleh
bawahan dan meningkatkan komunikasi antara bawahan dan atasan dalam
penyelesaian masalah (Tsamenyi, 2003). Beberapa peneliti (misalnya Brownell,
1982; Brownell & McIness, 1986; Dunk, 1990) telah mendokumentasikan
manfaat-manfaat tersebut mengarah pada peningkatan kinerja manajerial.
Partisipasi anggaran yang tidak dilakukan dengan benar dapat mendorong bawahan
untuk melakukan senjangan anggaran (Aprila & Hidayani, 2012). Amirul et al.,
(2017) menyatakan bahwa penelitian sebelumnya telah membuktikan partisipasi
anggaran berpengaruh positif terhadap kinerja manajer. Hal ini terlihat dari adanya
information sharing, peningkatan pengendalian dan kepercayaan, yang tercermin
dalam komitmen yang lebih tinggi. Virameteekul et al. (1995) menemukan adanya
hubungan positif antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial.
8. Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan Terhadap Kinerja Organisasi
Melalui Anggaran Partisipatif.
Penelitian sebelumnya telah mendokumentasikan bahwa ketidakpastian
lingkungan eksternal dapat mempengaruhi kinerja organisasi karena kondisi
114
lingkungan organisasi yang tidak pasti dapat menyebabkan aktivitas perusahaan
mulai dari perencanaan, pengendalian, maupun pengawasan menjadi terganggu.
Oleh karena itu, agar terus berkelanjutan (sustainable) dalam kondisi lingkungan
yang tidak menentu, organisasi dituntut untuk mempersiapkan strategi-strategi yang
dapat meminimalisir dampak negatif dari ketidakpastian lingkungan yang dapat
mengancam kinerja organisasi tersebut. Namun, apakah lingkungan yang tidak
pasti mempengaruhi kinerja organisasi secara langsung belum dapat dipastikan.
Syam (2001) menyatakan bahwa ketidakpastian lingkungan menyebabkan
adanya ketidakpastian tugas. Faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi
keberhasilan atau kegagalan karyawan dalam menjalankan fungsinya. Ketika salah
satu fungsi dari organisasi terganggu, maka akan mempengaruhi kinerja organisasi
secara keseluruhan. Sehingga untuk mempertahankan dan memperbaiki kinerja
organisasi, manajemen tingkat atas akan berupaya mengerahkan seluruh bagian
dalam organisasi untuk bersama-sama menghadapi ancaman dari ketidakpastian
lingkungan yang terjadi. Karyawan akan dituntut untuk melibatkan diri dalam
aktivitas organisasi termasuk didalamnya adalah proses penyusunan anggaran
karena ketidakpastian lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan tingginya
kemungkinan terjadinya revisi anggaran. Thoha (2002) menyatakan bahwa pada
praktiknya rotasi pekerjaan dalam pemerintahan memiliki nuansa politik yang
tinggi sehingga menyebabkan karyawan bekerja berdasarkan perintah dari atasan.
Oleh karena itu, kondisi tersebut memaksa karyawan untuk mematuhi perintah dari
atasan yaitu dengan cara melibatkan diri dalam aktivitas organisasi.
115
Tingginya tingkat keterlibatan karyawan dalam proses penyusunan
anggaran akan menghasilkan keputusan yang lebih baik dan lebih akurat karena
merupakan hasil dari banyak pemikiran yang berbeda dan lebih banyak masukan
dan rekomendasi dari karyawan di berbagai tingkatan. Selanjutnya, ketika proses
penyusunan anggaran terlaksana dengan baik maka diharapkan dapat meningkatkan
kualitas anggaran yang dihasilkan yang mana nantinya akan meningkatkan kinerja
menjadi lebih baik.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa diharapkan pengaruh
ketidakpastian lingkungan terhadap kinerja organisasi adalah secara tidak langsung
yang mana terdapat faktor lain yang memediasi hubungan keduanya yaitu
partisipasi karyawan dalam proses penyusunan anggaran. Dalam arti lain,
partisipasi karyawan memediasi pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap
kinerja organisasi.
9. Pengaruh Desentralisasi Terhadap Kinerja Organisasi Melalui Anggaran
Partisipatif.
Tujuan utama desentralisasi adalah berkaitan dengan alasan ekonomis yaitu
untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi program pembangunan, memperkuat
partisipasi dan demokrasi, serta mengurangi intervensi pemerintah dalam
mekanisme pasar. Banyak peneliti telah mendokumentasikan bahwa desentralisasi
dapat meningkatkan kinerja. Namun, setiap adanya peningkatan kinerja tentu
banyak faktor lain yang mempengaruhinya.
Desentralisasi dapat mendukung partisipasi karyawan dalam proses
penyusunan anggaran. Struktur organisasi yang terdesentralisasi memungkinkan
116
karyawan tingkat bawah untuk terlibat dalam proses penyusunan anggaran dan
menyampaikan pendapatnya. Desentralisasi membuat tanggung jawab manajerial
menajdi lebih besar dalam pelaksanaan tugas, dan memberikan kebebasan dalam
bertindak. Dengan adanya desentralisasi akan meningkatkan independensi
manajerial dalam berfikir dan bertindah dalam satu tim tanpa mengorbankan
kebutuhan organisasi. Desentralisasi membutuhkan keseimbangan manajerial
dengan timnya dalam organisasi (Hidayat, 2015).
Penyusunan anggaran pada tingkat satuan kerja juga akan melibatkan
bagian-bagian atau sub bagian yang ada dalam satuan kerja tersebut, karena bagian-
bagian atau sub bagian inilah yang akan melaksanakan semua program kerja dan
anggaran yang akan disusun. Oleh karena itu keterlibatan atau partisipasi aktif dari
masing-masing kepala bagian atau sub bagian sangat diperlukan agar anggaran
yang disusun mampu mengakomodir kebutuhan masing-masing bagian atau sub
bagian tersebut. Dalam implementasinya pada tahapan inilah selalu terjadi
keterlambatan dalam pengusulan program dan kegiatannya, akibatnya pimpinan
tertinggi dari satuan kerja tersebut menyusun anggaran untuk tahun yang akan
datang dengan berdasarkan realisasi anggaran tahun lalu dengan estimasi kenaikan-
kenaikan yang dianggap wajar. Dengan demikian diharapkan struktur organisasi
yang terdesentralisasi dapat meningkatkan partisipasi dalam proses penyusunan
anggaran yang nantinya akan menghasilkan kinerja yang lebih baik.
117
10. Pengaruh Komitmen Terhadap Kinerja Organisasi Melalui Anggaran
Partisipatif.
Komitmen karyawan terhadap organisasi dapat meningkatkan kinerja
organisasi. Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
Komitmen yang tinggi mengimplikasikan bahwa karyawan memiliki tujuan yang
sama dengan tujuan organisasi sehingga akan berupaya untuk memajukan
organisasi. Penilaian kinerja organisasi pemerintahan dapat dinilai salah satunya
adalah melalui anggaran yang disusun. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa
anggaran diperlukan karena adanya keinginan dan kebutuhan masyarakat yang tak
terbatas dan terus berkembang sehingga menjadikan anggaran sebagai instrument
pelaksanaan akuntabilitas publik oleh instansi atau lembaga pemerintah.
Semakin efektif dan efisien anggaran maka kinerjanya akan dinilai semakin
baik. Sehingga karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi akan berpartisipasi
dan berkontribusi dalam proses penyusunan anggaran. Hal ini dikarenakan dengan
cara inilah karyawan mencoba menyelaraskan tujuan pribadinya dengan tujuan
perusahaan (goal congruence). Jika seorang karyawan memiliki komitmen yang
tinggi tetapi tidak memberikan kontribusi apapun pada organisasi mereka maka
akan menjadi sia-sia karena komitmennya tidak banyak mendatangkan manfaat
bagi organisasi untuk meningkatkan kinerja dan memajukan organisasi tersebut.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa komitmen karyawan
yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan kinerja organisasi melalui partisipasi
mereka dalam proses penyusunan anggaran.
118
Gambar 2.3
Kerangka Konseptual Peneltian
(Daft, 2010; Robbins & Judge, 2012;
Wagner & Hollenbeck, 2010; Kefalas,
1981; Lawrence & Lord, 1967; Aldrich,
1979 ; Duncan, 1972 ; Miliken 1987 ;
CIMA, 2005 ; )
LINGKUNGAN EKSTERNAL
Robbins dan Coulter (2002:256);
Vandeveer dan Menefee (2006:146);
McShane dan Glinow (2005:449-455);
Ivancevich dan Matteson (2002:583-
585); Scott (2001:6) dan Boockholdt
(1999:23)
STRUKTUR ORGANISASI
TERDESENTRALISASI
Luthans (2008:148); Greenberg
(2011:232-233); Woods dan West
(2010:114); Meyer dan Allen
(1997:11); Kusluvan (2003:525); dan
Hellreigel dan Slocum (2009:5)
KOMITMEN ORGANISASIONAL
ANGGARAN PARTISIPATIF
(Milani, 1975; Frucot dan White, 2006;
Etemadi et all, 2009; Siegel
danMarconi;1989, Supriyono; 2016)
KINERJA ORGANISASI
Fielden (2008); Indrajit, (2006:111);
Wijantno, (2009:275); Muktiyanto et all
(2014), Kemenristekdikti (2017), BAN-PT
(2007)
119
2.3 Hipotesis Penelitian
Sekaran dan Bougie (2010) mendefinisikan hipotesis pernyataan tentatif,
namun dapat diuji, yang memprediksi apa yang diharapkan untuk ditemukan dalam
data empiris. Hipotesis berasal dari teori yang mana model konseptual didasarkan
dan sering bersifat relasional. Hipotesis dapat didefinisikan sebagai hubungan
konkret logis antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk
pernyataan yang dapat diuji. Dengan menguji hipotesis dan mengkonfirmasi
hubungan yang diduga, diharapkan dapat menemukan solusi untuk memperbaiki
masalah yang dihadapi.
Dengan kata lain, hipotesis merupakan kesimpulan sementara yang harus
diuji atau dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan masalah penelitian, dan kerangka
pemikiran yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H1 : Ketidakpastian Lingkungan Eksternal berpengaruh positif terhadap
Anggaran Partisipatif.
H2 : Desentralisasi Struktur Organisasi berpengaruh positif terhadap
Anggaran Partisipatif
H3 : Komitmen Organisasi berpengaruh positif terhadap Anggaran
Partisipatif
H4 : Ketidakpastian Lingkungan Eksternal berpengaruh positif terhadap
Kinerja Organisasi
120
H5 : Desentralisasi Struktur Organisasi berpengaruh positif terhadap Kinerja
Organisasi
H6 : Komitmen Organisasi berpengaruh positif terhadap Kinerja Organisasi
H7 : Anggaran Partisipatif berpengaruh positif terhadap Kinerja Organisasi
H8 : Ketidakpastian Lingkungan Eksternal berpengaruh positif terhadap
Kinerja Melalui Anggaran Partisipatif
H9 : Desentralisasi Struktur Organisasi berpengaruh positif terhadap Kinerja
Melalui Anggaran Partisipatif
H10 : Komitmen Organisasi berpengaruh positif terhadap Kinerja Melalui
Anggaran Partisipatif
top related