bab ii hasil penelitian dan pembahasan -...
Post on 02-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
21
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Suatu Perspektif Perbandingan Kebiri Kimia
Suatu artikel ilmiah menguraikan, bahwa setiap tahun sekitar 100.000
sampai 500.000 anak-anak dilecehkan secara seksual di Amerika Serikat.1 Hal ini
menyebabkan 10-25% anak-anak dilecehkan secara seksual pada usia delapan
belas tahun, dimana 30-40% adalah perempuan dan 10-15% adalah laki-laki.
Dengan tingginya angka tersebut pelecehan seksual terhadap anak dapat
diklasifikasikan sebagai wabah di seluruh negeri. Para pelaku bisa merupakan
teman, anggota keluarga, dan orang asing yang melakukan kejahatan ini. Terdapat
orang-orang yang hanya tertarik kepada anak-anak dan tertarik pada orang dewasa
namun juga menyerang anak-anak. Sementara sejumlah perlakuan dan hukuman
yang tidak bisa mengatasi tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak-anak,
masyarakat bertanya-tanya apa yang harus dilakukan, bagaimana cara
menghentikan pelanggaran ini, dan bagaimana mereka bisa menjaga agar anak-
anak mereka selamat dari para pelaku.
Telah diambil langkah untuk mengatasi masalah di atas, termasuk
pengebirian secara fisik. Kejahatan memperkosa seorang anak sangat dibenci
1 Artikel ini terdapat dalam Jurnal Chemical Castraction for Child Predators: Practical,
Effective, and Constitutional, Chapman Law Review, Volume 13, No. 1, Fall 2009, halaman 191
sampai dengan halaman 220. Dipergunakan sebagai perspektif, disamping Teori Keadilan
Bermartabat sebagai perspektif utama pada Bab ini.
22
sehingga banyak negara mengadopsi undang-undang yang menyerukan hukuman
mati atas tindakan kejahatan tersebut. Namun menjatuhkan hukuman tersebut
kepada pelaku sampai mati tidak lagi bersifat konstitusional dan mereka yang
dilepaskan sering kali kembali melakukan kekerasan seksual kepada anak-anak
dan akhirnya kembali ke penjara. Kenyataannya, tidak pernah ada penegakan
hukum yang dapat digambarkan efektif dan manusiawi dalam merawat pedofil
dan penganiaya anak. Namun sejak pertengahan abad ke-20, penanganan tertentu
telah digunakan dan bersifat manusiawi serta sangat efektif dalam mengobati para
pelaku. Langkah yang diambil adalah perawatan dalam terapi pelanggaran seks
sebagai pilihan terbaik untuk setiap anak penganiaya atau pedofil. Penanganan
hukum itu adalah pengebirian kimia.
Pengebirian kimia memang terdengar kejam. Terdapat pandangan bahwa
hal tersebut adalah salah satu bentuk perlakuan yang lebih beradab yang dapat
digunakan kepada pemangsa seksual. Pengebirian kimia hanyalah jenis terapi
hormon yang menghilangkan hasrat seksual pelaku. Ada beberapa efek samping
yang tidak menyenangkan namun secara keseluruhan hanya ada sedikit rasa sakit
dan penderitaan yang terkait dengan prosedur tersebut. Bahkan ada yang
sepenuhnya mendukung prosedur tersebut dan mendirikan lembaga khusus di
Amerika Serikat pada tahun 1985. Para pedofilia menjalani sebuah penanganan
berbentuk kombinasi antara konseling dan pengebirian kimiawi untuk pedofilia.
Selain efektivitas pengebirian kimiawi, secara angka lebih murah daripada biaya
menjaga para pelakumaupun pedofil di penjara dan rumah sakit.
23
Masalah konstitusional muncul dengan penggunaan prosedur pengebirian
kimia, komentar ini mengusulkan agar pengebirian kimia tidak melanggar
Konstitusi. Negara bagian yang memerlukan pelaku untuk menjalani prosedur
memerhatikan kesehatan dan keselamatan pelaku. Karena pengamanan prosedural
ini, sulit untuk memikirkan prosedur tersebut sebagai tindakan yang kejam. Selain
itu, ada hak mendasar untuk berkembang biak dan juga hak untuk menolak
perlakuan yang harus dipertimbangkan. Namun, pengebirian kimia tidak
melanggar hak karena tidak mengganggu seseorang dari kemampuan reproduksi.
Selanjutnya, menjaga agar anak-anak tetap aman dari predator seksual harus
mendapat perhatian yang cukup besar dari negara. Oleh karena itu, pengebirian
kimiawi dibutuhkan sebagai syarat pembebasan bersyarat atau masa percobaan
untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Bagian selanjutnya adalah menjelaskan siapa sebenarnya seorang
penganiaya seksual anak dan bagaimana dia adalah jenis pelaku seks yang
berbeda. Selain itu akan membahas perlunya melakukan lebih dari sekadar
memenjarakan pelaku karena tingkat residivisme yang sangat tinggi.
1. Pengertian Pelaku Tindak Pidana Seks Anak
Pelecehan anak dan pedofil berbeda dari pelaku seks lainnya. Seorang
pedofil biasanya adalah orang yang lebih tua "yang hasrat dan respons seksualnya
disengaja, setidaknya sebagian, terhadap anak-anak dan remaja yang tidak
dewasa". Sebenarnya, mereka yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak-
anak, yang biasa disebut pedofil, dikenali sebagai penyandang cacat.
24
Edisi terbaru dari Diagnostic and Stastitical Manual of Mental Disorders
IV atau selanjutnya disebut DSM-IV mencirikan seorang pedofil sebagai orang
yang telah menderita khayalan, dorongan seksual, atau perilaku seksual yang
berulang berulang, yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak-anak yang akan
memasuki masa puber. Individu tersebut bertindak berdasarkan dorongan seksual
atau dorongan dan fantasi semacam itu yang menyebabkan kesulitan atau
kesusahan yang luar biasa pada kehidupan mereka. Pedofilia adalah salah satu
paraphilas yang paling umum yang tercantum dalam DSM-IV. Paraphilias
adalah kata biomedis untuk mendefinisikan gairah seksual oleh benda, orang, atau
situasi yang tidak normal. Paraphilias memiliki perasaan senang dengan situasi
yang tidak biasa atau ekstrem. Selain itu, Paraphilias menyukai kenikmatan atau
kepuasan seksual melalui cara-cara adaptasi yang salah dan tidak biasa.2
Terdapat pedofil laki-laki dan perempuan. Namun, tingkat pedofilia wanita
sangat rendah dan hanya sedikit penelitian mengenai masalah ini yang meragukan
keberadaan mereka. Tidak setiap pedofil benar-benar bertindak atas kemauan
mereka, juga tidak setiap orang melakukan penyimpangan semacam itu. Tindakan
seksual memenuhi syarat sebagai pedofil di bawah DSM-IV.3
2 Sayed Hassan Saadat, A Review on Paraphilias, International Journal of Medical
Reviews, Vol. 1, Issue 4, Autumn 2014, hal. 158. 3 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), diterbitkan oleh
American Psychiatric Association (APA), merupakan organisasi psikiater yang membuat kriteria
standar untuk klasifikasi gangguan mental. Buku ini digunakan oleh dokter, peneliti, lembaga
regulasi obat kejiwaan, perusahaan asuransi kesehatan, perusahaan farmasi, sistem hukum, dan
pembuat kebijakan. Diproduksi oleh World Health Organization (WHO). DSM terdapat lima
edisi. Buku ini mengevaluasi pasien pada lima dimensi, terdapat aspek yang luas mengenai
'gangguan jiwa'. Dimensi ini berhubungan dengan aspek biologis, psikologis, sosial dan aspek
lainnya. DSM berevolusi dari sistem mengumpulkan sensus dan statistik rumah sakit jiwa,serta
para pasukan Angkatan Darat Amerika Serikat. Sejak publikasi pertamanya pada tahun 1952 telah
secara bertahap menambahkan jumlah gangguan mental juga menghapus yang tidak lagi dianggap
sebagai gangguan mental.
25
Terdapat dua kelompok utama pelaku kekerasan seksual. Penyimpang seks
yang terutama tertarik secara seksual kepada anak-anak dikenal sebagai pelaku
yang biasanya tertarik pada orang dewasa namun juga menyerang anak-anak,
dikenal sebagai kemunduran perilaku. Pelaku lebih cenderung menyalahkan
situasi mereka terhadap anak-anak dengan menggunakan narkoba, alkohol, atau
faktor lainnya. Perilaku mereka impulsif dan setiap serangan biasanya dapat
dikaitkan dengan tingkat stres kehidupan yang signifikan. Pelaku akan melakukan
tindakan seksual dengan anak-anak seolah-olah anak tersebut adalah pengganti
orang dewasa. Terdapat pula pedofil yang menyerang anak-anak dengan
kekerasan karena kebutuhan untuk merasakan kekuatan dan kesenangan.
Beberapa pelaku yang mengalami kemunduran perilaku menyadari bahwa
apa yang mereka lakukan tidak benar dan membenci kecenderungan seksual
mereka terhadap anak-anak. Namun, banyak pelanggar tidak dapat berhenti dan
seolah-olah mereka kecanduan kepada anak-anak. Sebagai alternatif, sejumlah
pelaku tidak melihat ada yang salah dengan apa yang sedang mereka lakukan.
Beberapa orang berpikir bahwa si anakpun menginginkan pengalaman itu,
menikmatinya, dan mendidik anak tersebut. Pelaku tetap sering memandang anak-
anak sebagai orang yang menggoda dan menggodai pelaku. Ada banyak teori
mengapa seseorang mengembangkan ketertarikan seksual terhadap anak-anak,
namun tidak ada yang tahu persis mengapa hal ini terjadi. Hal ini disebabkan oleh
sejumlah faktor. Meliputi: kesulitan dalam membentuk hubungan intim, kelainan
otak, dilecehkan secara seksual saat kecil. Pada akhirnya tidak peduli apapun
26
kategori yang membuat seseorang menjadi pelaku kekerasan seksual, semua
pelaku sangat membahayakan dalam perspektif hukum.
Pemikiran tentang hukuman kebiri kimia didasari antara lain karena
penjara tidak akan menghentikan serangan para pelaku terhadap anak-anak.
Hukuman rata-rata untuk pelaku kekerasan seksual anak adalah sebelas tahun dan
setelah dilepaskan terdapat tingkat pelanggaran yang sangat tinggi. Penjara tidak
banyak menghalangi pelaku untuk kembali melakukan kekerasan seksual. Karena
banyak dari para pelaku ini kembali ke pola perilaku sebelumnya tanpa perawatan
lebih lanjut. Penjara mungkin menghentikan perilaku pelaku, namun sebagian
besar masih akan mengulangi kesalahannya terlepas dari hukumannya. Karena itu
dalam sejumlah kasus, anak yang dilecehkan secara seksual seringkali merupakan
satu-satunya individu yang mengetahui adanya kejahatan tersebut, risiko untuk
benar-benar tertangkap sangat rendah. Oleh karena itu sekalipun hukuman atas
kejahatan tersebut seringkali cukup keras namun hal itu tidak menghentikan
pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Studi kasus yang dilakukan terhadap pelaku pelecehan seksual anak yang
telah keluar dari penjara ditemukan hasil yang mengerikan, sekitar 50-70% dari
jumlah pelaku yang dikeluarkan pada akhirnya mengulangi kembali
perbuatannya. Sementara beberapa peneliti berpendapat bahwa tingkat kenaikan
ini jauh lebih rendah karena dikaitkan dengan data yang dikumpulkan dari sumber
yang tidak dapat dipercaya. Angka dalam penelitian ini semua didasarkan pada
laporan mandiri dan catatan polisi maupun tahanan, sebagian besar serangan tidak
dilaporkan. Studi di Amerika menemukan bahwa pelaku melakukan kejahatan dua
27
sampai lima kali lebih banyak daripada penindakan yang mereka dapatkan seperti
ditangkap atau dihukum. Sebelum pelaku dilepaskan, penilaian dilakukan untuk
menentukan apakah pelaku dapat berisiko kuat melakukan kejahatan seksual
kembali. Begitu banyak faktor pelaku dapat mengulangi kejahatan seksual
sehingga tidak mungkin mengetahui pelaku mana yang benar-benar memiliki
risiko melakukan kejahatan seksual kembali, sehingga menjadikan hukuman
penjara seumur hidup adalah satu-satunya cara untuk memastikan bahwa pelaku
tidak akan melakukan kesalahan kembali.
Hukuman seumur hidup untuk setiap pelaku kejahatan seksual atau bahkan
hanya untuk setiap penganiayaan kepada anak dan pedofil tidak masuk akal dan
tidak realistis. Negara telah mengambil langkah untuk menjaga agar masyarakat
tetap aman dari pelaku kekerasan seksual yang dilepaskan. Pada tahun 1947,
California adalah negara bagian pertama yang memiliki sistem registrasi untuk
pelaku kekerasan seksual kepada anak-anak dan sekarang telah terdaftar pelaku
kekerasan seksual yang lebih banyak daripada negara bagian lainnya. Saat ini
terdapat lebih dari 11.000 pelaku yang terdaftar tinggal di Los Angeles.
Sepanjang akhir abad ke-20, undang-undang mengenai pendaftaran pelaku
kekerasan seksual telah berevolusi. Sebagian besar disebabkan berbagai serangan
terhadap anak-anak. Baru pada tahun 1990an, setelah pemerkosaan brutal dan
pembunuhan Megan Kanka yang berusia tujuh tahun di New Jersey, sebuah
kecaman publik didengar untuk melakukan sesuatu yang lebih demi melindungi
anak-anak bangsa. Tanpa sepengetahuan Megan atau keluarganya, tetangga baru
mereka di seberang jalan adalah seorang pelaku kekerasan seksual yang baru saja
28
keluar dari penjara. Ketika Megan pergi ke rumah tetangganya untuk melihat anak
anjing, dia akhirnya diperkosa dan dicekik sampai mati dengan sabuk kulit. Tidak
seorang pun di sekitar rumah itu tahu bahwa mereka tinggal di dekat pemangsa
seksual.
Setelah kematian Megan, New Jersey mengeluarkan undang-undang
registrasi pelaku kekerasan seksual. Menjelang akhir 1990-an, menerapkan
undang-undang registrasi pelaku kekerasan seksual bukanlah sesuatu yang baru.
Terdapat 25 negara menerapkan undang-undang tersebut. Namun, terdapat
perbedaan besar antara undang-undang yang diberlakukan di New Jersey setelah
kematian Megan dan yang lainnya di seluruh negara bagian tersebut. New Jersey
menjadi negara bagian pertama yang mewajibkan pemberitahuan publik sebagai
tambahan kepada para pelaku kekerasan seksual yang telah mendaftar. Undang-
undang baru New Jersey menarik perhatian politis karena Federal Omnibus Crime
Bill pada waktu itu dibahas Kongres, untuk menjadi Jacob Wetterling Crimes
Against Childern and Sex Offender Registration Act (“Jacob Wetterling Act”).4
Presiden Clinton mengubah Jacob Wetterling Act dengan menandatangani
Megan’s Law sehingga mewajibkan setiap negara untuk menyusun sebuah daftar
bagi pelaku kekerasan seksual. Negara-negara diminta untuk membuka informasi
yang relevan kepada publik tentang para pelaku yang berada di negara bagian.
Kepatuhan terhadap tindakan tersebut dianggap sangat penting sehingga 10% dari
dana federal negara bagian dibuat bergantung pada hukum undang-undang serupa
di setiap negara bagian. Dikemukakan pula bahwa pelaku kekerasan seksual yang
4 Dilaporkan setahun sebelum Megan dibunuh, Jacob Wetterling diculik. Pelaku
penculikan maupun korban tidak pernah ditemukan.
29
diwajibkan untuk terdaftar mengecam undang-undang tersebut karena dianggap
sebagai bentuk pelanggaran privasi. Mengingat bahwa tujuan undang-undang
adalah untuk melindungi masyarakat dan menjaga agar anak-anak tetap aman dari
pemangsa seksual, negara-negara bagian berpendapat bahwa peraturan tersebut
sah. Mahkamah Agung Amerika Serikat bahkan memutuskan bahwa undang-
undang yang memerlukan pendaftaran pelaku dan pemberitahuan kepada
masyarakat adalah konstitusional. Pengadilan menyatakan bahwa hanya kejatuhan
reputasi saja yang dapat ditimbulkan undang-undang tersebut. Meskipun undang-
undang ini adalah langkah ke arah yang benar, banyak yang harus dilakukan
untuk menjamin keamanan anak-anak. Bahkan dengan sistem pemberitahuan
publik, predator anak tetap berbahaya.
Sejumlah negara telah menyadari bahwa pelaku penganiayaan anak yang
dihukum tidak akan menjamin keamanan anak-anak. Faktanya mulai tahun 1993
sejumlah negara bagian memberlakukan undang-undang kejahatan memperkosa
anak di bawah usia dua belas tahun. Hampir dua puluh tahun sebelum negara-
negara ini mulai memberlakukan undang-undang perkosaan kepada anak-anak,
Mahkamah Agung Amerika Serikat yang diadakan di Coker v. Georgia5
mengeluarkan hukuman mati pemerkosaan wanita dewasa dinyatakan tidak
konstitusional karena merupakan hukuman yang tidak proporsional untuk
kejahatan yan g tidak memakan korban jiwa. Kennedy v. Louisiana6 pada tahun
2008 Mahkamah Agung Amerika Serikat menerapkan logika yang sama dalam
5Coker v. Georgia, 1977,https://supreme.justia.com/cases/federal/us/433/584/case.html,
diakses pada tanggal 23 September 2017 pukul 08.03. 6 Kennedy v. Louisiana, 2008, https://www.law.cornell.edu/supct/html/07-343.ZO.html,
diakses pada tanggal 23 September pukul 08.37.
30
menerapkan hukuman mati pada kasus pemerkosaan anak-anak adalah hukuman
yang sangat berlebihan karena melanggar Cruel and Unusual Punishment Clause
of the Eight Amendment. Pada saat keputusan tersebut diturunkan, Louisiana,
Carolina Selatan, Montana, Georgia, dan Oklahoma memiliki undang-undang
yang menganggap pemerkosaan anak menjadi pelanggaran berat.
Negara-negara bagian tersebut mengemukakan bahwa seorang pemerkosa
anak merupakan tindakan yang kejam meskipun pelaku tidak menghilangkan
nyawa seorang anak namun pelaku pantas untuk dihukum mati. Ada pandangan
bahwa keputusan Kennedy sebagai keputusan yang mengerikan. Namun terdapat
pula pandangan bahwa monster tersebut perlu dihentikan, jika ada kejahatan lain
selain mengambil nyawa manusia yang diteriakkan untuk hukuman mati adalah
para penjahat-penjahat yang merugikan anak-anak.
Keputusan Mahkamah Agung pada Kennedy v. Louisiana7 menerapkan
hukuman mati untuk pemerkosaan anak bertentangan dengan Konstitusi.
Kebencian masyarakat terhadap kejahatan semacam ini sudah jelas. Namun
terdapat dilema tentang apa yang harus dilakukan dengan orang-orang yang
melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak. Pemenjaraan membuat pedofil
menjauh dari anak-anak tetapi setelah kembali ke masyarakat pelaku sering
melakukan kejahatan yang sama. Menghukum pelaku tidak cukup, perlu
mengambil semua langkah untuk merehabilitasi mereka.
Pada kenyataannya, pedofil aktif yang telah ditangani dalam beberapa
program perawatan ternyata kurang berisiko daripada mereka yang dipenjara
7 Ibid.
31
untuk dilepaskan lagi. Para ilmuwan di tahun 1940-an menyadari bahwa
pemenjaraan adalah prosedur yang sia-sia dan tidak berguna untuk pelaku
kejahatan seksual anak. Waktu yang dihabiskan di penjara tidak mengobati
kecenderungan seksual pelaku terhadap anak-anak. Pelaku ini membutuhkan
bantuan serius dalam mengendalikan keinginan seksual mereka dan meninggalkan
anak-anak sendirian. Sejumlah perawatan telah digunakan pada pedofil dan
penganiaya anak, beberapa di antaranya janggal dan tampak tidak masuk akal.
Salah satunya adalah terapi penghambaan yang juga dikenal sebagai asosiasi
terselubung adalah perawatan perilaku kognitif umum yang telah digunakan untuk
mengobati penganiayaan anak. Di sini perilaku seksual atau fantasi yang
menyimpang dikaitkan dengan rangsangan yang tidak menyenangkan sehingga
pelaku mendapatkan rangsangan untuk tidak lagi berkeinginan untuk melakukan
kegiatan seksual kepada anak-anak.
Perawatan lainnya termasuk manajemen kemarahan, resolusi konflik,
pelatihan keterampilan sosial, dan empati korban juga telah diterapkan. Satu studi
kasus bahkan menggunakan terapi musik dan permainan drum untuk mengobati
pelaku penganiayaan anak. Pendukung terapi musik mengatakan bahwa hal itu
memungkinkan agar pelaku dapat mengekspresikan dirinya, mengembangkan
keterampilan mendengar, belajar mengendalikan diri, dan mengurangi perlawanan
pelaku terhadap terapi. Sementara studi kasus menunjukkan bahwa pelaku
menjadi lebih terbuka saat belajar bermain drum, tidak ada yang benar-benar
menunjukkan bahwa pelaku cenderung akan mengorbankan anak secara seksual.
32
Sayangnya, perawatan psikologis dan perilaku saja tidak efektif dalam
merawat semua pedofil dan predator anak. Sejumlah pedofil yang kembali ke
masyarakat tidak akan mencari pengobatan kecuali jika terdapat desakan yang
menyebabkan mereka sangat tertekan atau pengadilan memaksa mereka untuk
menjalani perawatan. Orang lain yang menginginkan pertolongan mungkin takut
untuk berbicara dengan seseorang tentang apa yang telah mereka lakukan. Pedofil
dan pemangsa seksual yang telah menyerang besar sejumlah anak-anak biasanya
tidak mengungkapkan kejahatan yang telah dilakukan. Mereka telah dilatih untuk
menolak pelanggaran karena dalam sistem hukum Amerika pengungkapan lebih
lanjut atas setiap pelanggaran yang tidak diketahui akan menyebabkan hukuman
penjara yang lebih lama. Kebencian masyarakat terhadap pelaku kejahatan seksual
kepada anak-anak membuat banyak pelanggar takut memberi tahu tentang
kejahatan mereka termasuk kepada terapis. Penelitian mengungkapkan bahwa
untuk sementara beberapa pelaku secara efektif terobati dengan psikoterapi,
namun dengan perawatan yang sama tidak bekerja efektif pada pelaku seksual
lainnya. Pelaku membutuhkan lebih dari sekedar beberapa sesi terapi untuk
mencegah melakukan kejahatan kembali.
Pengebirian fisik dan bedah saraf adalah dua pilihan yang telah
dipertimbangkan untuk pengobatan pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Bedah Saraf dapat mengurangi gairah seksual dan perilaku impulsif. Prosedurnya
lebih umum terjadi di Eropa daripada di Amerika Serikat. Namun, hal itu jarang
dilakukan dan kenyataannya belum pernah digunakan dalam beberapa dasawarsa.
Prosedur tersebut memiliki tingkat kegagalan dan konsekuensi yang tinggi. Selain
33
itu, melakukan bedah saraf menyimpang dari garis etis dan moral, hal tersebut
tidak bisa dijadikan perawatan yang serius bagi para pedofil dan predator anak
lainnya.
Pengebirian fisik merupakan tindakan yang drastis, meskipun bukan
merupakan suatu hal yang berbahaya, pengebirian fisik pun memiliki kelebihan,
walaupun sejumlah kekurangan tetap ada. Pengebirian fisik atau orchiectomy
adalah prosedur operasi di mana testis pria dikeluarkan. Hal ini menyebabkan
penurunan kadar testosteron dalam tubuh yang akan mengurangi dorongan
seksual pria. Studi telah menunjukkan bahwa pelaku akan merasa lebih tenang,
lebih bahagia, lebih pasif, dan kecil kemungkinannya untuk melakukan kejahatan
kembali. Pelaku lebih mampu menekan dorongan kekerasan dan agresif sehingga
memudahkan untuk tinggal di masyarakat. Sementara tingkat residivis pelaku
seksual yang tidak dikebiri sekitar 50% melakukan kejahatan yang sama, namun
untuk pedofil yang dikebiri biasanya tingkat melakukan kejahatan kembali hanya
1-5%.
Sementara pengebirian fisik terbukti sangat efektif tetapi terdapat sejumlah
masalah etika dan konstitusional yang terkait dengannya. Tidak ada masalah jika
seorang pasien secara sukarela menjalani perawatan tersebut sepenuhnya atas
kehendak bebas mereka sendiri, dilakukan oleh beberapa pasien untuk
menghentikan dorongan seksual mereka yang menyimpang dan untuk menjalani
kehidupan normal. Masalah pengebirian fisik adalah apabila perawatan ini
merupakan perintah dari Konstitusi kepada mereka yang melakukan kejahatan
seksual. Pengebirian fisik adalah prosedur permanen. Pengebirian fisik secara
34
harfiah adalah hukuman seumur hidup. Oleh karena itu seperti mengeksekusi
orang yang tidak bersalah, tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengembalikan
kondisi seseorang yang ternyata tidak melakukan kejahatan seksual. Selain itu,
terdapat sejumlah efek samping mental dan fisik yang merugikan termasuk
perubahan metabolisme, depresi, dan kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Beberapa negara mengizinkan pelaku secara sukarela menjalani pengebirian fisik
untuk menghindari hukuman yang lebih lama atau pengebirian kimia, tidak ada
negara yang mewajibkan pelaku untuk menjalani pengebirian fisik.
2. Kebiri Kimia dalam Pandangan Umum
Solusi yang hampir sempurna untuk menjaga anak-anak dari pedofil yang
melakukan kekerasan seksual kembali adalah perawatan dengan manfaat
pengebirian bedah, namun tanpa dilema etika dan moral. Solusi tersebut adalah
pengebirian kimiawi yang telah diimplementasikan oleh sejumlah negara.
Pengebirian kimia adalah salah satu cara yang paling efektif dan paling membantu
untuk mengobati predator anak dan menjaga agar anak tetap aman.
Pengebirian kimia telah dilakukan sejak tahun 1940-an dengan
penggunaan anti-androgen untuk menurunkan tingkat testosteron pria yang
berbahaya secara seksual. Sekitar dua dekade kemudian Dr. John Money menjadi
orang pertama di Amerika Serikat yang mengelola obat anti-androgen
Medroxyprogesterone Acetate atau selanjutnya disebut MPA terhadap pedofil.
Sementara agen kimia lainnya telah diberikan kepada pelaku kejahatan tersebut di
seluruh dunia, MPA adalah obat yang paling umum diberikan di Amerika Serikat
untuk tujuan pengebirian kimia.
35
Selain pemberian MPA, pengebirian kimia dapat pula diberikan melalui
suntikan obat Depo Provera yang digunakan oleh banyak wanita sebagai
kontrasepsi hormon. Alasan mengapa efek berbeda didapatkan pada pria yang
menjalani perawatan tersebut adalah bahwa wanita hanya menerima 150 mg obat
setiap 3 bulan. Pelaku seks menerima obat ini setiap minggu, biasanya dalam
dosis yang lebih tinggi. MPA dapat mengurangi tingkat hasrat seksual pelaku.
MPA diberikan melalui suntikan intramuskular mingguan 100 sampai dengan
1.000 miligram obat, tergantung pada kebutuhan pelaku. MPA menghambat
pelepasan hormon perangsang folikel dan hormon lutenizing dari kelenjar
hipofisis anterior otak. Kelenjar hipofisis merupakan kelenjar yang sangat penting
bagi tubuh manusia, berfungsi sebagai regulator dari pelepasan hormon-hormon.8
Pada dasarnya, obat tersebut menyebabkan otak meyakini bahwa tubuh memiliki
cukup testosteron sehingga tidak memungkinkan testikel diproduksi lagi.
Efeknya adalah pengurangan kadar testosteron dalam darah si pelaku
dalam satu sampai dua minggu, tingkat testosteron yang rendah ini sangat
menurunkan dorongan seksual pelaku. Pelaku kemudian sementara akan
mengalami impoten, ketika obat tersebut dalam efek penuh terjadi penurunan
orgasme, produksi sperma, frustrasi seksual, frekuensi serta kepuasan masturbasi.
Salah satu aspek yang paling menarik dari pengebirian kimia adalah bahwa pelaku
dibuat lebih tenang dan lebih responsif. Suntikan tersebut menekan dorongan
seksual dan hasrat seksual pelaku serta memudahkan pasien untuk berkonsentrasi
pada terapi, mengendalikan perilakunya, dan mencegah kambuh.
8Muhammad Hidayat, Adenoma Hipofisis, Jurnal Fakultas Kesehatan Universitas
Andalas, Vol. 38, No. 2, Agustus 2015, h. 131.
36
Obat tersebut memiliki efek yang luar biasa untuk menjaga pedofil dari
melakukan kejahatan kembali, namun ilmuwan tidak setuju apabila obat tersebut
diberikan untuk jangka waktu yang lama. Beberapa peneliti telah menyatakan
bahwa terapi hormon harus dilakukan selama beberapa bulan, peneliti lain
berpendapat pemberian obat diberikan sampai lima tahun, dan beberapa peneliti
berpendapat bahwa penggunaan obat-obatan diberikan seumur hidup. Argumen
utama untuk melanjutkan pengobatan bahwa efek obat-obatan terutama MPA
dapat terjadi berulang kali setelah suntikan mingguan berhenti. Dikatakan bahwa
untuk mengobati pelaku dengan benar, mereka harus menjalani terapi perilaku
serta perawatan hormon untuk mengatasi masalah tersebut secara keseluruhan.
Pemberian obat ini efektif dan menjaga para pedofil melakukan kekerasan seksual
kepada anak-anak. Seorang residivis pelaku kekerasan seksual yang telah
mendapat terapi berpendapat bahwa saat dia berjalan di antara masyarakat dan
melihat seorang anak laki-laki dia tidak merasas memiliki hasrat untuk
berhubungan seks dengan anak tersebut.
Sejumlah negara bagian telah memberlakukan undang-undang pengebirian
kimia untuk pelaku kekerasan seksual maupun pedofil. California adalah negara
bagian pertama yang menerapkan undang-undang pengebirian kimia pada tahun
1996, ketika membuat prosedur tersebut merupakan masa percobaan bagi para
pelaku. Saat ini, sejumlah negara bagian mengikuti California termasuk Montana,
Iowa, Wisconsin, Louisiana, Oregon, dan Florida. Sejumlah negara telah
melangkah lebih jauh dari California dalam mengadopsi undang-undang tersebut.
California mewajibkan pelaku untuk menjalani pengebirian kimia jika mereka
37
melakukan beberapa kali kejahatan seksual terhadap korban di bawah usia tiga
belas tahun.
Louisiana, Wisconsin dan Iowa juga mengharuskan agar pelaku kekerasan
seksual kepada anak mendapat suntikan MPA, namun Florida, Oregon, dan
Montana tidak memiliki persyaratan umur bagi korban. Sementara beberapa
negara menyerahkannya pada keputusan pengadilan, California, Iowa, dan Florida
membuat injeksi MPA sebagai syarat pelepasan wajib bagi mereka residivis
kekerasan seksual. Sebagai tambahan, Iowa, Louisiana, California, dan Florida
mengizinkan pelaku untuk tidak melakukan injeksi MPA apabila mereka secara
sukarela menjalani pengebirian fisik. Sementara pada negara Texas memberi
putusan untuk menjlani pengebirian fisik sebagai syarat pembebasan serta tidak
menawarkan pengebirian kimia sebagai pilihan Negara-negara tersebut telah
menyadari bahwa lebih dari sekadar pemenjaraan diperlukan untuk mencegah
pelaku dan pedofil mengulangi kejahatan kembali, kebanyakan dari mereka
menyadari bahwa pengebirian kimia adalah cara yang paling tepat sebagai jalan
keluar.
Alasan lain kelebihan pengebirian kimia adalah pelaku dapat berjalan di
tengah masyarakat dengan normal dan menghemat biaya hidup pelaku di dalam
penjara. Pada tahun 1985 pemerintah negara bagian menghabiskan $ 9 miliar
untuk biaya penahanan. Pada tahun 1993 pemerintah negara bagian, lokal, dan
federal gabungan menghabiskan hampir $ 100 miliar untuk sistem peradilan dan
pada tahun 1996 negara telah menghabiskan sekitar $ 27 miliar untuk melakukan
penahanan. Biaya rata-rata perumahan dan merawat narapidana sekitar $ 20.000
38
per narapidana per tahun. Jumlah sebenarnya yang dikeluarkan untuk biaya
penahanan jauh lebih tinggi karena proyek seperti membangun penjara baru tidak
dimasukkan ke dalam anggaran. Dengan angka sebesar itu pada 1980 dan 1994
populasi pelaku atau pedofil yang dipenjara tumbuh sekitar 330%.
Bahkan ketika pelaku dilepaskan dari penjara banyak dari mereka harus
menjalankan perawatan di rumah sakit dan terus membebani uang negara. Sejak
tahun 1930an terdapat undang-undang yang berkaitan dengan psikopat seksual
atau pemangsa kekerasan seksual yang mengharuskan pelaku mengikuti lembaga
perawatan setelah menjalani masa hukuman di penjara. Ketika seorang pelaku
ditempatkan di salah satu institusi tersebut mereka dapat mengajukan permohonan
untuk dibebaskan dari perawatan. Namun pelaku harus mendapat persetujuan dari
psikolog maupun pegadilan yang telah menyatakan bahwa pelaku dapat secara
aman untuk dikembalikan ke masyarakat. Saat ini terdapat tujuh belas negara
bagian yang mendanai komitmen sukarela dari individu tersebut. Biaya program
bervariasi antara negara bagian dan biaya tahunan berkisar antara $ 500.000 - $ 45
juta.
Pada tahun 2002, suntikan MPA mingguan seharga $ 160 per bulan,
sementara biaya rata-rata satu penahanan narapidana lebih dari $ 1.600 per bulan.
Sebagai tambahan, Iowa dan Louisiana mewajibkan pelaku untuk membayar
perawatannya sendiri. Melaksanakan pengebirian kimia sebagai syarat
pembebasan dapat memungkinkan tahanan untuk keluar dari penjara lebih cepat,
membantu mereka mengendalikan gairah seksual mereka, mendapatkan
pekerjaan, dan mengurangi kepadatan dan pengeluaran penjara. Faktanya terdapat
39
0,5% sampai 0,7% produk domestik bruto hilang karena pelaku tidak bekerja
namun mereka masuk ke dalam penjara.
Ada pandangan bahwa alasan bagus untuk memberikan masa percobaan
bagi pelaku karena untuk mengurangi kepadatan penduduk di penjara, sementara
negara dapat memberikan cara lai selain penahanan. Pengebirian kimia diberikan
untuk pedofil adalah pilihan yang paling logis untuk menurunkan biaya dan
tingkat residivisme dalam hal kekerasan seksual pada anak-anak serta membantu
beberapa orang keluar dari penjara untuk menjadi anggota masyarakat
sepenuhnya.
3. Justifikasi Konstitusi atas Kebiri Kimia
Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak pernah secara langsung menilai
konstitusional pengebirian kimiawi. Terdapat anggapan bahwa daftar pemberian
suntukan MPA kepada pelaku dipertanyakan. Pengebirian kimiawi tidak cukup
keras untuk diklasifikasikan sebagai hukuman yang kejam dan tidak manusiawi,
karena pengebirian kimia efek hasrat melakukan aktivitas seksual kepada anak-
anak dapat kembali serta berkaitan dengan keselamatan anak-anak.
Menurut Amandemen Kedelapan Konstitusi Amerika Serikat, pemerintah
federal melarang hukuman yang dapat dikategorikan sebagai hukuman kejam dan
tidak manusiawi. Pada tahun 1972 di Furman v. Georgia, Mahkamah Agung
Amerika Serikat menyatakan bahwa hukuman yang berlebihan sangat tidak
40
proporsional dengan kejahatan yang dituduhkan.9 Oleh karena itu, pengenaan
hukuman yang terlalu berlebihan dilarang.
Satu-satunya pengadilan dalam sejarah yang menemukan pengebirian
kimia menjadi kalimat yang tidak proporsional adalah Mahkamah Agung
Michigan di People v. Gauntlett pada tahun 1984.10
Di Gauntlett MPA akan
diinjeksikan kepada Depo-Provera, seseorang yang dihukum karena memperkosa
anak tirinya yang berusia empat belas tahun dan menganiaya anak tiri lelakinya
yang berusia dua belas tahun. Pengadilan percaya bahwa pemberian suntikan ini
adalah ”masa percobaan yang tidak sah”. Hal ini karena Food and Drug
Administration (FDA) tidak menyetujui obat tersebut karena pada tahun 1984
suntikan MPA belum mendapatkan penerimaan pada komunitas medis sebgai
tindakan medis yang aman. Namun pada saat ini argumen tersebut tidak lagi
berlaku karena penggunaan suntikan MPA dianggap aman dan telah disetujui oleh
FDA pada bulan Oktober 1992.
Meskipun obat tersebut aman, tetapi terdapat beberapa efek samping dari
pengebirian kimia. Antara lain adalah hilangnya kepadatan tulang, bertambahnya
berat badan, kerontokan rambut, depresi, dan kelelahan tubuh. Ini termasuk,
namun tidak terbatas pada, kehilangan kepadatan tulang, penambahan berat
badan, kehilangan rambut, depresi, dan kelelahan tubuh. Mayoritas efek samping
ini dapat terus kembali dan yang paling arah jarang dialami.
9 Furman v. Georgia, 1972,
https://supreme.justia.com/cases/federal/us/408/238/case.html, diakses pada tanggal 23 September
2017 pukul 11.24. 10
People v. Gauntlett, 1986, https://law.justia.com/cases/federal/district-
courts/FSupp/658/1483/2362335/, diakses pada tanggal 23 September 2017 pukul 11.31.
41
Inilah salah satu alasan bahwa dosis MPA yang diberikan kepada pelaku
harus serendah mungkin. Meskipun perlu untuk menghentikan perilaku seksual
yang menyimpang, namun keselamatan pelaku tidak dikesampingkan. Beberapa
pelaku mungkin dapat menerima suntikan MPA selama sisa hidup mereka,
dosisnya pun dapat diturunkan dari waktu ke waktu jika dianggap perlu atau jika
pelaku menunjukkan perbaikan. Pengadilan mempertimbangkan efek samping ini
untuk memerintahkan individu menjalani terapi kimia tersebut. Jika pengadilan
hanya memaksa individu untuk menjalani atau melanjutkan perawatan yang akan
mengakibatkan bahaya serius, maka prosedur tersebut dapat dianggap sebagai
hukuman yang kejam dan tidak biasa.
Mereka yang menentang pengobatan MPA berpendapat bahwa hal tersebut
tidak sepenuhnya efektif. Meskipun temuan sejauh ini mengesankan, belum ada
penelitian dengan hasil yang menunjukkan bahwa 100% dari mereka yang
menjalani prosedur tersebut tidak melakukan kejahatan kembali. Beberapa orang
yang menerima suntikan MPA tidak akan terpengaruh. Namun, obatnya sangat
efektif sehingga sebagian besar orang yang menerima suntikan akan diuntungkan.
Seperti yang dinyatakan oleh satu pelaku, “satu-satunya cara untuk kembali ke
masyarakat adalah dengan memberi saya suntikan MPA dimana saya bisa
mengontrol nafsu dan menghilangkannya”. Jika pelaku tertentu tidak menanggapi
pengobatan secara positif masih terdapat pengobatan yang bekerja untuk sebagian
besar pelaku. Pengobatan MPA dapat menyelamatkan banyak anak dari kengerian
kekerasan seksual.
42
Sebagai tambahan, mayoritas yurisdiksi yang menggunakan suntikan MPA
mengharuskan pelanggar untuk menerima obat tersebut sampai dianggap tidak
perlu. Apabila pelaku masih terdapat ketertarikan seksual kepada anak-anak
setelah pengobatan tersebut dihentikan, maka kemungkinan pelaku akan diberi
injeksi MPA selama sisa hidupnya. Seseorang yang salah dan telah dihukum harus
menjalani suntikan MPA sebagai bagian dari pembebasan bersyarat atau masa
percobaannya yang diambil dari penjara. Pelaku mungkin akan menerima
suntikan untuk sementara waktu, namun akan dihentikan jika diketahui bahwa
pelaku tidak lagi memerlukannya. Fungsi seksualnya akan kembali normal dan
efek samping lainnya akan membalikkan diri dari waktu ke waktu. Hal ini
bertentangan langsung dengan individu yang salah dihukum yang menerima
hukuman seumur hidup atau hukuman mati. Di sebagian besar yurisdiksi yang
mengelola suntikan MPA, pedofil yang salah dihukum keluar dari penjara dan
akan menjalani suntikan sampai pada akhirnya dia dikeluarkan.
Pengebirian kimia bukanlah hukuman yang proporsional untuk kejahatan
memperkosa atau menganiaya anak. Perlakuan tersebut sama sekali tidak sekejam
membunuh seseorang karena pemerkosaan anak yang mengharuskan seseorang
untuk menjalani pengebirian fisik. Memberikan suntikan mingguan untuk
mengurangi dorongan seks seseorang yang lebih manusiawi. Selain itu, salah satu
alasan utama Mahkamah Agung Amerika Serikat berpendapat bahwa hukuman
mati adalah hukuman yang berlebihan untuk kejahatan pemerkosaan anak-anak
karena kejahatan tersebut tidak melibatkan pengambilan nyawa. Satu-satunya hal
yang diambil dari pengebirian kimia adalah hasrat seksualnya. Oleh karena itu,
43
pengebriain kimia adalah hukuman yang sangat proporsional karena hasrat
seksual pelaku yang menyebabkan pelaku seksual menyerang anak-anak yang
tidak bersalah.
Pengebirian kimia adalah jawaban atas pertanyaan tentang apa yang harus
dilakukan dengan para pedofil.Tidak konstitusional jika mengeksekusi para
pedofil dan juga akan sangat memakan biaya untuk memenjarakan selama sisa
hidup mereka. Terdapat risiko yang sangat tinggi bahwa pelaku kejahatan seksual
akan kembali dipenjara, dan banyak perawatan yang telah dilakukan tidak
memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Di masyarakat dewasa ini,
undang-undang dan perlakuan yang gagal telah membawa kita pada pengebirian
kimia. Oleh karena itu, pengebirian kimiawi adalah jawabannya.
Amandemen Keempat belas menjamin bahwa negara tidak akan
"mencabut hak hidup, kebebasan atau hak milik seseorang tanpa proses hukum”.
Selain itu, Mahkamah Agung telah menafsirkan Amandemen Keempat Belas
untuk memasukkan hak kebebasan individu. Hal ini memberi sedikit masalah saat
akan menjatuhkan putusan individu untuk menjalani pengebirian kimia. Prosedur
tersebut melanggar hak fundamental mereka untuk memiliki anak, dan juga hak
untuk menolak perawatan medis, yang keduanya dilindungi berdasarkan hak
Amandemen Keempat belas untuk privasi. Namun karena pengebirian kimiawi
merupakan syarat wajib masa percobaan atau pembebasan bersyarat maka putusan
tersebut tidak membebani hak pelau. Negara memiliki kepentingan yang sah
dalam keselamatan anak-anaknya dan pengebirian kimia adalah cara yang paling
benar untuk membatasi ketertarikan seksual pelaku kepada anak-anak.
44
Pada Washington v. Harper, Mahkamah Agung secara resmi menyatakan
bahwa hak untuk menolak perlakuan medis adalah hak kebebasan yang dilindungi
hak privasi melalui Due Process Clause dari Amandemen Keempat belas.11
Mahkamah Agung menyatakan bahwa dalam menentukan apakah seseorang yang
dipenjara dapat diberi obat secara paksa perlu membuat peraturan tersebut
menjadi cukup relevan dengan penological interest. Penological Interest adalah
hubungan yang terkait dengan perlakuan (termasuk hukuman, penghindaran,
rehabilitasi, dan lainnya) terhadap orang-orang yang dihukum karena kejahatan.12
Di Skinner v. Oklahoma, Mahkamah Agung pertama-tama menyadari
bahwa setiap orang memiliki hak untuk memiliki anak. Pengadilan menyatakan
bahwa memiliki keturunan adalah salah satu hak sipil manusia yang paling
mendasar bagi eksistensi dan kelangsungan ras manusia. Beberapa tahun
kemudian di Griswold v. Connecticut, Pengadilan menyatakan bahwa terdapat hak
privasi bagi individu yang telah menikah yang dilindungi dalam Amandemen
Keempat Belas.13
Hak atas privasi ini diberikan kepada semua orang di Eisenstadt
v. Baird.14
Di Eisenstadt, Pengadilan memutuskan bahwa undang-undang negara
bagian mengizinkan distribusi kontrasepsi bagi pasangan suami istri untuk
mencegah kehamilan, namun tidak kepada individu yang belum menikah karena
11
Washington v. Harper, 1990,
https://supreme.justia.com/cases/federal/us/494/210/case.html, diakses pada tanggal 23 September
2017 pukul 11.40. 12
Bull v. City & County of San Fransisco, 2010, http://caselaw.findlaw.com/us-9th-
circuit/1336306.html, diakses pada tanggal 23 September 2017 pukul 14.27. 13
Griswold v. Connecticut, 1965,
https://supreme.justia.com/cases/federal/us/381/479/case.html, diakses pada tanggal 23 September
2017 pukul 14.33. 14
Eisenstadt v. Baird, 1972, https://supreme.justia.com/cases/federal/us/405/438/case.html, diakses pada tanggal 23 September
2017 pukul 14.49.
45
alasan yang sama telah melanggar Equal Protection Clause dari Amandemen
Keempat belas. Pengadilan menyatakan bahwa pasangan suami-istri bukan
merupakan entitas tersendiri, namun merupakan “asosiasi dua orang”. Pengadilan
menyatakan bahwa “menikah ataupun melaang adalah hak individu, mereka
terbebas dari gangguan Pemerintah yang tidak beralasan sehingga tidak
memengaruhi seseorang untuk memiliki keputusan akan mempunyai anak atau
tidak.
Hak privasi ini kembali berlaku pada tahun 1973 pada Roe v. Wade.15
Di
Roe, Pengadilan memutuskan bahwa hak dasar privasi cukup luas mencakup
keputusan seorang wanita untuk menghentikan kehamilannya atau tidak.
Sementara seorang wanita memiliki hak dasar atas privasi termasuk hak untuk
memilih, negara dapat membatasi hak tersebut selama memiliki dasar yang cukup
kuat. Namun Pengadilan juga berpendapat bahwa perlu adanya aturan tentang hak
mengaborsi.
Beberapa dekade kemudian, Pengadilan menggunakan alasan yang sama
pada Gonzales v. Carhart dalam menegakkan larangan Kongres pada tahun 2003
tentang aborsi.16
Keputusan ini secara efektif melarang perempuan melakukan
aborsi pada trimester ketiga kehamilan mereka. Pengadilan sangat
mempertimbangkan kesehatan dan kehidupan anak yang belum lahir. Dalam
menerapkan larangan tersebut, Kongres menemukan bahwa sebagian aborsi
menjadi prosedur yang mengerikan dan tidak manusiawi sehingga harus dilarang.
15
Roe v. Wade, 1973, 70-18, http://caselaw.findlaw.com/us-supreme-
court/410/113.html, dikunjungi pada tanggal 24 September 2017 pukul 08.58. 16
Gonzales v. Carhart, 2007, 05-380, http://caselaw.findlaw.com/us-supreme-
court/550/124.html, dikunjungi pada tanggal 24 September pukul 09.23.
46
Pengadilan menemukan bahwa aborsi merupakan sebuah prosedur yang
memiliki kekuatan untuk menurunkan kehidupan manusia dan memerlukan
peraturan khusus karena masalah moral dan etika yang membenarkan ketentuan
tambahan tersebut. Pengadilan mendukung Kongres membuat aturan tentang
pengaborsian. Seorang wanita tetap memiliki hak kuntuk melakukan aborsi,
namun terkadang tidak sebanding dengan kehidupan anak yang belum
dilahirkannya. Dalam menghadapi aborsi pada trimester ketiga, keputusan
tersebut bukan lagi mengenai individu ibu atau haknya untuk memutuskan apakah
akan melahirkan anak atau tidak. Keputusan ini adalah tentang kehidupan anak
yang belum lahir.
Le Roy Carhart berpendapat bahwa pemberian suntikan MPA untuk
menghukum penganiaya anak dan pedofil sudah benar. Dalam menangani
perlakuan terhadap predator seksual anak, kita tidak begitu peduli dengan hak-hak
atau otonomi tubuh pelaku. Meskipun hak dan kebutuhan pelaku harus
dipertimbangkan, poin utama untuk mengobati pelaku ini adalah mengakhiri
ketertarikan seksual terhadap anak-anak. Pengebirian kimia sangat penting untuk
keselamatan anak-anak.
Seorang wanita berhak melakukan aborsi pada tahap awal kehamilannya.
Begitu memasuki bulan-bulan terakhir kehamilannya, negara telah mengambil
haknya untuk memilih memiliki anak atau tidak. Pada saat itulah kehidupan anak
menjadi prioritas utama. Demikian pulapedofil memiliki hak untuk berfantasi
tentang anak-anak. Tidak sampai benar-benar bertindak untuk menyerang anak-
47
anak. Pada saat itulah Pemerintah berkeyakinan untuk mengubah haknya karena
kehidupan, keselamatan seksual, dan otonomi tubuh seorang anak.
Pemberian suntikan MPA adalah tindakan paling ketat yang tersedia dari
negara untuk melindungi anak-anak. Suntikan MPA tidak mencabut hak individu
untuk memutuskan apakah akan memiliki anak atau tidak. Pengebirian Kimia
hanya akan mengurangi keinginan seksual pelaku. Jika telah diputuskan bahwa
pelaku dapat berhenti untuk melakukan perawatan, maka kadar testosteronnya
akan kembali. Untuk sementara ini masih mungkin bagi seseorang yang menjalani
perawatan MPA dapat mengalami ereksi dan bahkan melakukan ejakulasi dengan
bantuan pasangan. Dengan penyesuaian dosis dapat menghindari impotensi total
dan melawan efek samping yang tidak menyenangkan. Bahkan jika pelaku tidak
dapat melakukan aktivitas seksual, ia dapat memiliki sampel sperma yang
dibekukan sehingga ia masih bisa memiliki anak. Hanya karena pelaku menjalani
perawatan MPA sehingga mengalami kadar testosteron yang rendah dan memiliki
rasa apatis terhadap sensasi seksual tidak berarti mereka tidak lagi memiliki
kemampuan atau pilihan untuk memiliki anak.
Suntikan MPA benar-benar memungkinkan pelaku dilepaskan dari
penahanan dan bahkan menjadi anggota masyarakat. Seorang pelaku yang
menjalani suntikan MPA menyatakan bahwa dia tidak lagi memiliki dorongan
seks dalam dirinya. Pelaku sekarang mencoba untuk mengambil bagian dalam
banyak hal karena dia memiliki lebih banyak harapan bahwa pelaku tidak akan
masuk ke dalam masalah maupun kejahatan. Ketika membandingkan suntikan
MPA dengan semua perlakuan lain yang dilaksanakan atau eksperimen yang
48
dilakukan kepada pelaku, pengebirian kimiawi jelas merupakan cara yang paling
tidak membatasi untuk mencapai kepentingan negara yaitu melindungi anak-anak
dari serangan seksual. Oleh karena itu, peraturan yang mewajibkan penganiaya
anak yang dihukum dan pedofil untuk menjalani pengebirian kimia tidak
melanggar Amandemen Keempat belas.
Singkatnya, pengebirian kimiawi adalah langkah selanjutnya bagi bangsa
dalam menangani pedofilia dan pelecehan anak melalui tindakan menghukum dan
rehabilitasi. Prosedurnya adalah belajar mengendalikan dan mengatasi hasrat
seksual mereka yang menyimpang. Perundang-undangan baru-baru ini
membuktikan ketakutan masyarakat terhadap predator seksual, terutama mereka
yang mengejar anak-anak. Penahanan dan bentuk pengobatan lainnya tidak
banyak membantu dalam memecahkan masalah. Pengebirian kimiawi di sisi lain
adalah cara palin efektif, aman, dan manusiawi.
Pengebirian kimia juga sangat hemat biaya. Biaya perawatannya sangat
kecil bila dibandingkan dengan biaya penahanan atau perawatan di rumah sakit
negara. Terakhir dan yang terpenting, pengebirian kimia bersifat konstitusional.
Pengebrian kimia bukanlah hukuman yang terlalu berlebihan atas kejahatan yang
dituduhkan, terutama jika dibandingkan dengan hukuman dan perlakuan lain yang
telah digunakan untuk pelaku. Prosedur tersebut tidak melanggar hak untuk
memiliki anak atau hak untuk menolak perawatan karena kepentingan negara.
Pengebirian kimiawi adalah perawatan yang telah dilakukan setelah puluhan
tahun mengalami perawatan yang gagal untuk penganiaya anak dan pedofil.
49
Suntikan MPA dapat memberi pelaku kesempatan kedua dalam hidup, dan
memberi anak-anak perlindungan.
B. Perppu Kebiri Kimia Nomor 1 Tahun 2016
Dengan pertimbangan bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin
meningkat secara signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak,
merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa
kenyamanan, ketenteraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat, pemerintah
memandang sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual
terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara
komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.17
Pemerintah memandang perlu segera mengubah Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Di bawah ini gambaran hasil penelitian, yaitu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang saat ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
17
Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, http://setkab.go.id/inilah-materi-
pokok-perppu-nomor-1-tahun-2016-yang-sering-disebut-perppu-kebiri/, dikunjungi pada tanggal
24 September 2017 pukul 21:02.
50
Perppu ini sebagaimana dikemukakan dalam Pasal I mengubah beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5606).
Ketentuan Pasal 81 diubah menjadi “Pasal 81 (1) Setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain. Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan,
aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu
orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan
1/3 dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana
karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D. Dalam
51
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban
lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular,
terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,
pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun
dan paling lama 20 tahun.
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman
identitas pelaku. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi
elektronik. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan
bersamasama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan
tindakan. Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.”.
Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 disisipkan 1 pasal yakni Pasal 81A yang
berisi rumusan: “Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7)
dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dilaksanakan setelah
terpidana menjalani pidana pokok. Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur dengan Peraturan
Pemerintah.”
Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berisi rumusan: “Setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan
52
pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang
menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara
bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan
1/3 dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana
karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan
jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau
korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Selain dikenai pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Terhadap pelaku sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa
rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersamasama dengan pidana pokok dengan
memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Pidana tambahan dikecualikan bagi
pelaku Anak.”
53
Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 82A
yang berisi rumusan: “Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6)
dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok.
Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan
secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum, sosial, dan kesehatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Pasal II Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
C. Analisis
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak telah mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak
namun penjatuhan pidana tersebut belum memberikan efek jera dan belum
mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak. Untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek
jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak,
Pemerintah perlu menambah pidana pokok berupa pidana mati dan pidana seumur
hidup, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Selain itu,
54
perlu menambahkan ketentuan mengenai tindakan berupa kebiri kimia,
pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Pemerintah perlu segera menetapkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam perspektif Teori Keadilan Bermartabat yang mengatakan bahwa
hukum hanya ditemukan di jiwa bangsa. Teori keadilan bermartabat digali dari
dalam bumi Indonesia, yaitu dari dalam Pancasila, sebagai sumber dari segala
sumber hukum. Hukum dibangun dari filsafat yang mana dalam filsafat tersebut
terdapat nilai-nilai luhur suatu bangsa yang diyakini kebenarannya. Sehingga
keadilan dalam hukum tersebut juga didasari oleh falsafah tersebut. Dapat
disimpulkan konsep keadilan di Indonesia dilandasi oleh dua sila Pancasila yaitu
sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila kelima, yaitu keadilan
sosial.
Sistem Teori Keadilan Bermartabat memanifestasikan diri dalam bentuk
Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Memanifestasikan diri disini adalah Teori Keadilan
Bermartabat yang tujuannya adalah memanusiakan manusia, menghargai hak-hak
manusia, selain memberikan hukuman juga memberikan suatu terapi kepada
pelaku agar tidak mengulangi kekerasan seksual pada anak untuk seterusnya.
Terapi yang dimaksudkan adalah kebiri kimia.
Penulis menemukan sanksi hukum baru yang terdapat pada Pasal 81 ayat
(7), sebelumnya tidak terdapat dalam hukum pidana yang lama yaitu pada pasal
10 KUHP. Dalam hukum pidana lama sanksi pidana terdiri atas pidana pokok
55
yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda. Sementara
pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-
barang tertentu, serta pengumuman putusan hakim.
Dalam jenis sanksi pidana dalam pasal tersebut tidak dijumpai sanksi
pidana kebiri kimia, tetapi dengan arahan teori keadilan bermartabat yang
mengatakan bahwa untuk mencari dalam jiwa bangsa yakni salah satunya terdapat
dalam peraturan undang-undang yang belaku yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2016
yang terdapat sanksi pidana baru yakni sanksi kebiri kimia utuk residivis pelaku
kekerasan seksual kepada anak-anak.
Tujuan Teori Keadilan Bermartabat adlah tidam dipertentangkan dengan
kemanfaatan dan kepastian hukum. Hukum bagi Teori Keadilan Bermatabat selalu
adil, selalu bermanfaat, dan selalu pasti, serta sesuai dengan Pancasila. Di dalam
Pancasila haurs terdapat keseimbangan antara kepentingan umum dan
kepentingan pribadi.
Pengebirian kimia adalah pemberian injeksi berisi obat
Medroxyprogesterone Acetate (MPA) yang dapat mengurangi tingkat hasrat
seksual pelaku. MPA diberikan melalui suntikan intramuskular mingguan 100
sampai dengan 1.000 miligram obat, tergantung pada kebutuhan pelaku. MPA
menghambat pelepasan hormon perangsang folikel dan hormon lutenizing dari
kelenjar hipofisis anterior otak. Pada dasarnya, obat tersebut menyebabkan otak
meyakini bahwa tubuh memiliki cukup testosteron sehingga tidak memungkinkan
testikel diproduksi lagi.
56
Efeknya adalah pengurangan kadar testosteron dalam darah si pelaku
dalam satu sampai dua minggu, tingkat testosteron yang rendah ini sangat
menurunkan dorongan seksual pelaku. Pelaku kemudian sementara akan
mengalami impoten, ketika obat tersebut dalam efek penuh terjadi penurunan
orgasme, produksi sperma, frustrasi seksual, frekuensi serta kepuasan masturbasi.
Salah satu aspek yang paling menarik dari pengebirian kimia adalah bahwa pelaku
dibuat lebih tenang dan lebih responsif. Suntikan tersebut menekan dorongan
seksual dan hasrat seksual pelaku serta memudahkan pasien untuk berkonsentrasi
pada terapi, mengendalikan perilakunya, dan mencegah kambuh.
Obat tersebut memiliki efek yang luar biasa untuk menjaga pedofil dari
melakukan kejahatan kembali, namun ilmuwan tidak setuju apabila obat tersebut
diberikan untuk jangka waktu yang lama. Beberapa peneliti telah menyatakan
bahwa terapi hormon harus dilakukan selama beberapa bulan, peneliti lain
berpendapat pemberian obat diberikan sampai lima tahun, dan beberapa peneliti
berpendapat bahwa penggunaan obat-obatan diberikan seumur hidup. Argumen
utama untuk melanjutkan pengobatan bahwa efek obat-obatan terutama MPA
dapat terjadi berulang kali setelah suntikan mingguan berhenti. Dikatakan bahwa
untuk mengobati pelaku dengan benar, mereka harus menjalani terapi perilaku
serta perawatan hormon untuk mengatasi masalah tersebut secara keseluruhan.
Pemberian obat ini efektif dan menjaga para pedofil melakukan kekerasan seksual
kepada anak-anak. Seorang residivis pelaku kekerasan seksual yang telah
mendapat terapi berpendapat bahwa dia berjalan dan melihat seorang anak laki-
laki tanpa memiliki hasrat untuk berhubungan seks dengan anak tersebut.
57
Menurut Pasal 81 A ayat (4) menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia diatur dengan Peraturan
Pemerintah, melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap dilakukan oleh jaksa sesuai dengan Pasal 270 KUHAP. Jaksa akan meminta
bantuan dokter untuk melaksanakan putusan kebiri kimia, namun pada sampai
saat ini belum terdapat regulasi yang mengatur mengenai siapa dokter yang akan
ditunjuk, rumah sakit mana yang akan menyimpan obat kebiri kimia, dan berapa
besar anggaran untuk membeli obat-obatan tersebut
Selama ini para Dokter menggunakan Pasal 2 dan 3 KODEKI untuk
“menolak” sanksi kebiri kimia yang diatur dalam Pasal 81 ayat (7) Perppu Nomor
1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak yang telah disahkan menjadi Undang-Undang.
Karena telah menjadi Undang-Undang, maka hal tersebut mengikat termasuk
menuntut para Dokter untuk patuh dan tuduk melaksanakan Putusan Hakim dalam
bentuk sanksi kebiri kimia, para Dokter merasa profesi mereka diintervensi oleh
Pemerintah. Apabila pandangan para Dokter seperti itu tidak apa-apa tetapi
menurut pendapat Penulis, profesional adalah profesi apapun yang ada di dunia ini
adalah profesi yang tunduk dengan peraturan yang berlaku, di manapun
profesinya, mengkritik boleh berkeberatan boleh namun apabila peraturan tersebut
sudah disahkan maka Peraturan Perundang-Undangan tersebut harus ditaati.
top related