pelanggaran ham

35
Data-Data Kasus Pelanggaran HAM Semasa Orde Baru Sebuah bahan refleksi bagi diriku pribadi, melihat perjalanan bangsa yang penuh luka dan darah. Catatan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 dan masa pemerintahan order baru yang ada dalam catatanku. Masih ada pelanggaran-pelanggaran HAM yang belum tercatat di sini, semoga cukup waktu untuk melengkapinya. 1965 Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jendral Angkatan Darat. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia . Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini. 1966 Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember. 1967 Koran-koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta . Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang. 1969 Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana . Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik. 1970 Pelarangan demo mahasiswa. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.

Upload: farkhan-raflesia

Post on 06-Aug-2015

176 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pelanggaran HAM

Data-Data Kasus Pelanggaran HAM Semasa Orde Baru

Sebuah bahan refleksi bagi diriku pribadi,  melihat perjalanan bangsa yang penuh luka dan darah. Catatan

berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 dan masa pemerintahan order baru yang ada

dalam catatanku. Masih ada pelanggaran-pelanggaran HAM yang belum tercatat di

sini, semoga cukup waktu untuk melengkapinya.

 1965

Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh Jendral Angkatan Darat.

Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga

sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia . Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif

dalam kejadian ini.

 1966

Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang

tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.

Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.

Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.

 1967

Koran-koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.

April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta .

Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.

 1969

Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana .

Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.

Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir

jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara

seluruh rakyat Papua.

Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik,

partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk

partai politik.

 1970

Pelarangan demo mahasiswa.

Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.

Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.

Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.

 1971

Usaha peleburan partai- partai.

Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.

Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.

Page 2: Pelanggaran HAM

Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga

masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah

Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.

 1972

Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.

 1973

Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung .

 1974

Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di

Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo

terbunuh.

Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar

Lubis.

 1975

Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.

Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.

 1977

Tuduhan subversi terhadap Suwito.

Kasus tanah Siria- ria.

Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim

perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari

si hakim.

Kasus subversi komando Jihad.

 1978

Pelarangan penggunaan karakter-karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di

Indonesia.

Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan,

beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.

Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.

 1980

Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang , Pekalongan

dan Kudus.

Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit,

dilarang ke luar negeri.

 1981

Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh

orang terbunuh dalam peristiwa ini.

 1982

Page 3: Pelanggaran HAM

Kasus Tanah Rawa Bilal.

Kasus Tanah Borobudur . Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan

pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.

Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh

orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta . Kampanye massa Golkar diserang oleh

massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.

 1983

Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara

misterius di muka umum.

Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.

 1984

Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.

Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.

Tuduhan subversi terhadap Dharsono.

Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur

 1985

Pengadilan terhadap aktivis-aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.

 1986

Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh

mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.

Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.

Kasus subversi terhadap Sanusi.

Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.

 1989

Kasus tanah Kedung Ombo.

Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.

Kasus tanah Kemayoran.

Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan

peristiwa Talang sari.

Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.

Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri

beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.

 1991

Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda-pemuda Timor

yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.

 1992

Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaan-nya Tommy Suharto.

Penangkapan Xanana Gusmao.

Page 4: Pelanggaran HAM

 1993

Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993

 1994

Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberita-an kapal perang

bekas oleh Habibie.

 1995

Kasus Tanah Koja.

Kerusuhan di Flores.

 1996

Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya.

Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 19962. Kasus tanah Balongan.

Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran

lingkungan.

- Sengketa tanah Manis Mata.

Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka

memprotes penggusuran tanah mereka.

Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamung-kas berkaitan dengan

demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkun-jung di sana.

Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.

Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.

Kerusuhan Sambas–Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.

 1997

Kasus tanah Kemayoran.

Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.

 1998

Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan.

Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15

Mei 1998.

Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta , dua hari sebelum kerusuhan

Mei.3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang

Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi

Semanggi I.

 1999

Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli

1999. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi.

Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.

Page 5: Pelanggaran HAM

Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi

penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa

Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.

MalariDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Peristiwa Malari di Senen

Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan

sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17

Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan

Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk

pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan

mobil, tetapi diantar PresidenSoeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronkdijadikan momentum untuk

demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan

kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto

memberhentikan Soemitrosebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten

Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin,Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo.

[sunting]Ali Moertopo dan Peristiwa Malari

Page 6: Pelanggaran HAM

Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah

dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman

Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang

terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari JenderalSoemitro (almarhum) dalam buku Heru

Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru

malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari [1].

Peristiwa 27 JuliDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi

Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.

Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi(Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta

dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.{{

Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan

Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.

Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian

memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat,

yakni 13 tahun penjara.

Daftar isi

  [sembunyikan]

1     Istilah   

2     Laporan Komnas HAM   

3     Latar belakang   

4     Pasca Orde Baru   

5     Garis waktu   

6     Buku dan penelitian   

7     Peringatan   

8     Referensi   

9     Pranala luar   

[sunting]Istilah

Page 7: Pelanggaran HAM

Ada dua istilah untuk Peristiwa 27 Juli ini, yaitu:

Kudatuli . Akronim dari Kerusuhan 27 Juli. Pertama kali dimuat di Tabloid Swadesi dan kemudian luas

digunakan oleh berbagai media massa. Mayjen TNI (Purn.) Prof. Dr. Soehardiman, SE juga pernah

menggunakannya dalam bukunya.

Sabtu Kelabu . Merujuk pada hari saat terjadinya peristiwa ini yaitu hari Sabtu, kata "kelabu" untuk

menggambarkan "suasana gelap" yang melanda panggung perpolitikan Indonesia saat itu. Tidak diketahui

pencetusnya, namun diduga semula beredar dalam forum-forum di Internet.

[sunting]Laporan Komnas HAM

Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun

aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak

asasi manusia.

Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996

di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah

Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat

itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam

Jaya.

Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan

Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya,

yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan

penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion

Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta

serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan

II DPR RI, 26 Juni 2000.[1]

[sunting]Latar belakang

Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan mendudukkan kembali Soerjadi

sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan

pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI.

Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu

membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan

secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi.

[sunting]Pasca Orde Baru

Page 8: Pelanggaran HAM

Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh

bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Ia

dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi Purnama (mantan

Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C

Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.

[sunting]Garis waktu

Pukul 01.00

Di Markas PDI ada sekitar 300 orang yang berjaga -- suatu kebiasaan dilakukan sejak Kongres Medan lalu. Di

luar pagar, ada sekitar 50 orang. Satgas dan simpatisan Megawati mulai terlelap dan sebagian ada yang main

catur di pinggir pelataran kantor dan juga di Jalan Diponegoro dengan beralaskan terpal.

Pukul 03.00

Para pendukung Mega mulai mencium sesuatu bakal terjadi, setelah patroli mobil polisi berkali-kali melintas.

Sebagian dari mereka mencoba memantau keadaan dari jembatan kereta api Cikini.

Pukul 05.00

Serombongan pasukan berbaju merah, kaus PDI, bergerak menuju Diponegoro 58. Konon mereka diangkut

dengan delapan truk.

Pukul 06.15

Pasukan berkaus merah tadi akhirnya sampai di depan Kantor PDI dan kedatangan mereka disambut para

pendukung Mega dengan lemparan batu. Pasukan merah tadi pun membalas dengan batu dan lontaran api.

Maka, spanduk yang menutupi hampir semua bagian depan Kantor PDI terbakar ludes. Bentrok fisik pun tak

terhindarkan. Sebuah sumber mengatakan ada empat orang tewas, tapi angka ini belum dikonfirmasi.

Semua jalan menuju ke arah Diponegoro sudah diblokir oleh kesatuan polisi. Perempatan Matraman menuju

ke Jalan Proklamasi ditutup dengan seng-seng Dinas Pekerjaan Umum yang sedang dipakai dalam

pembangunan jembatan layang Pramuka-Jalan Tambak.

Massa sudah berkumpul di depan Bank BII Megaria. Sedang di samping pos polisi sudah bersiap dua mobil

anti huru-hara dan empat mobil pemadam kebakaran persis di depan DPP PDI. Polisi anti huru-hara terlihat

ketat di belakang mobil anti huru-hara dan di depan Kantor PDI.

Pukul 09.15

Page 9: Pelanggaran HAM

Di samping Kantor PDI (dan PPP) terlihat massa -- yang tampaknya bukan dari PDI -- sedang baku lempar

batu dengan ABRI yang bertameng dan bersenjatakan pentungan. Massa terus melawan dengan melempar

batu.

Pukul 09. 24

Massa di belakang Gedung SMP 8 dan 9, di samping Kantor PDI dan PPP, mulai terdesak mundur ketika ada

bantuan pasukan yang tadinya hanya berjaga-jaga di bawah jembatan kereta api. Mereka dipukul mundur

sampai di belakang Gedung Proklamasi. Tiga wartawan foto mulai membidik massa yang lari tunggang

langgang, Sedang salah seorang wartawan foto mendekati pasukan loreng dan berusaha mengambil gambar.

Tiba-tiba seorang wartawan foto -- yang belakangan diketahui bernama Sukma dari majalah Ummat -- terlihat

dipukuli pasukan loreng dan diseret bajunya (Lihat berita KOMPAS, 29 Juli 1996). Dari sana Sukma -- dengan

menarik bajunya -- dibawa ke belakang Gedung SMP 8 dan 9 Jakarta, tempat pasukan loreng berkumpul yang

berjarak 300 meter dari tempat pertama pemukulan.

Pukul 09. 35

Massa di depan Megaria yang diblokade pasukan polisi anti huru-hara, melempar batu ketika mobil ambulans

dari Sub Dinas Kebakaran Jakarta yang meluncur dari kantor DPP PDI mencoba menerobos kerumanan

massa dan polisi di depan Bank BII di pertigaan Megaria. Massa yang berada di depan gedung bioskop

Megaria dan Bank BII, berteriak-teriak dan bernyanyi, "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang".

Pukul 09. 45

Wartawan dalam dan luar negeri, yang sedari pagi berkumpul di depan pos polisi, mulai dihalau oleh pasukan

anti huru-hara menuju kerumunan massa di depan Bank BII.

Saat itu juga terlihat kepulan asap hitam membubung dari DPP PDI. Salah seorang satgas PDI pro Mega

mengatakan bahwa sebagian Kantor PDI sempat dibakar dan arsip-arsip di dalam kantor sudah dimusnahkan.

Korban tewas dari PDI pro Megawati yang berada di DPP diperkirakan empat orang. Sekitar 300 orang luka

parah, 50 orang diantaranya dari cabang-cabang Jawa Timur yang tengah berjaga-jaga di Kantor PDI.

Jalan Diponegoro di depan DPP PDI mulai dibersihkan dari batu-batu dan bekas kebakaran. Seonggok

bangkai mobil dan motor yang terbakar juga disiram dan berada persis di depan pintu masuk Kantor PDI.

Pukul 11. 30

Ribuan massa terus bertambah dan terpisah letaknya di tiga tempat. Yaitu di depan Bioskop Megaria, di depan

BII, serta di depan Telkom, persis di depan jalan tempat Proyek Apartemen Menteng. Mereka menjadi satu

kerumunan besar di pos polisi di bawah jembatan kereta api layang. Belum lagi massa dari arah Selatan di

Page 10: Pelanggaran HAM

bawah jembatan layang kereta api yang sebelumnya dipukul mundur, sudah mulai bergerak maju dan menjadi

satu kembali dengan massa besar tadi.

Mimbar bebas pun digelar. Helikopter polisi terus memantau massa yang mulai mengadakan mimbar bebas.

Dipandu aktivis pemuda, mimbar bebas menjadi ajang umpatan pada aparat keamanan, dan sanjungan untuk

Mega. "Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang.....," terus terdengar. Massa yang masih di dalam

pagar lintasan kereta api mulai merobohkan pagar besi, lantas menyatu dengan massa peserta mimbar bebas.

Pukul 11. 40

Massa yang berada di dalam pagar lintasan kereta api mulai melempar batu ke arah aparat yang sudah

berjaga-jaga di depan SMP 8 dan 9 Jakarta. Terdengar dari kejauhan massa di mimbar bebas terus berteriak

mengecam aparat berseragam loreng. Batu-batu yang beterbangan membuat wartawan berlindung di

belakang blokade polisi dan sebagian lagi menyelamatkan diri dengan berlindung di mobil anti huru-hara.

Pihak kepolisian Jakarta Pusat berusaha menenangkan massa yang melempari pasukan dari Yon Kavaleri VII

dan Yon Armed 7 Jayakarta. Massa yang terus bergerak membuat pasukan berseragam loreng bertahan di

sekitar Jalan Pegangsaan Timur.

Di depan pos polisi, massa yang terus bertambah jumlahnya memenuhi pentas mimbar bebas. Massa di depan

bioskop Megaria merobohkan pagar besi pembatas jalan dan bergabung menyaksikan mimbar bebas. Salah

seorang tampak berdiri di tengah lingkaran massa dengan membawa tongkat berbendera Merah Putih yang

dikibarkan setengah tinggi tongkat. Dia berteriak, "Kita di sini menjadi saksi sejarah. Kawan-kawan kita mati di

dalam Kantor PDI. Kita harus menunggu komando langsung dari Ibu Mega," teriaknya lantang. Yang lain

menyanyikan, "Satu komando..... satu tindakan." Kemudian ada doa bersama untuk mereka yang tewas.

Pukul 12. 40

Pihak keamanan meminta utusan mimbar bebas untuk bersama-sama pihak keamanan masuk melihat situasi

di dalam Kantor PDI. Lima orang akhirnya dipilih, sementara mimbar bebas terus berjalan.

Pukul 12. 45

Bantuan polisi dari satuan Sabhara Polda Metro Jaya mulai berdatangan memenuhi jalan depan Kantor PDI.

Sedang lima orang utusan di bawah pimpinan Drs. Abdurrahman Saleh, bekas pengurus Yayasan Lembaga

Bantuan Hukum Indonesia, masuk ke dalam kantor DPP yang porak poranda. Sekitar lima menit berada di

dalam Kantor PDI, lima utusan tadi ke luar. Salah seorang wakil utusan, ketika ditanya TEMPO Interaktif

tentang bagaimana kondisi di dalam kantor DPP, mengatakan, "Di dalam tidak ada apa-apa; darah berceceran

di semua ruangan." Orang ini bercerita sambil menahan tangis; matanya sarat air mata, sambil membawa jaket

merah PDI bernama dada Nico Daryanto, mantan Sekretaris Jenderal PDI, dan satu spanduk merah.

Page 11: Pelanggaran HAM

Kelima utusan tersebut didaulat naik ke atas mobil anti huru-hara untuk melaporkan keadaan di dalam gedung.

Baru beberapa kata terucap dari utusan tadi, sebuah batu melayang entah darimana dan mengenai tangan

seorang utusan yang berdiri di atas mobil anti huru-hara. Akhirnya, laporan keadaan Kantor PDI berhenti

sampai di situ.

Pukul 13. 52

Pengacara Megawati, RO Tambunan, berpidato di depan Kantor PDI. Dia mengatakan, "Kita menduduki

Kantor DPP karena Megawati adalah pimpinan yang syah. Negara ini adalah negara hukum, jadi tunggu

proses hukum selesai," katanya keras. Yang dimaksud Tambunan adalah proses hukum berupa tuntutan

Megawati ke alamat Soerjadi dan sejumlah pejabat pemerintah di pengadilan yang sampai kini masih

disidangkan, sehingga status Kantor PDI belum diputuskan.

Menurut RO Tambunan, Kapolres Jakarta Pusat sudah berjanji tidak seorang pun diperkenankan masuk,

termasuk kubu Soerjadi. Barang-barang tak satu pun boleh keluar dari dalam kantor; pihak pengacara akan

mendaftar barang-barang DPP. "Ini negara hukum, kita harus turuti perintah hukum," ujar Tambunan.

Pukul 14. 05

Soetardjo Soerjogoeritno, salah satu pimpinan DPP PDI yang pro Megawati, tiba-tiba terlihat berjalan

mendekati Kantor PDI. Sesaat kemudian Soerjogoeritno bicara dengan Kapolres Jakarta Pusat soal status

Kantor PDI.

Massa yang mencoba mendekati Soerjogoeritno dihalau anggota Brimob yang bersiaga dengan anjing

pelacak. Tapi, melihat ribuan orang, dua anjing herder itu tak berani bergerak mengejar massa. Massa makin

berani. "Kami ini manusia, kok dikasih anjing," kata seseorang marah. Siang itu pula setumpuk koran Terbit

yang memberitakan Kantor DPP PDI Diserbu, ramai-ramai dirobek-robek.

Pukul 14. 29

Hujan batu terjadi. Massa yang di berada depan pos polisi melempari barikade polisi anti huru-hara. Satuan

anti kerusuhan itu terpaksa mundur dan berlindung dari hujan batu. Mobil anti huru-hara yang tetap nongkrong

di bawah jembatan layang dilempari batu bertubi-tubi. Dua lapis barisan polisi dan tentara bergerak maju.

Dengan tameng dan tongkat mereka merangsek maju menghalau massa. Maka, ribuan orang itu beringsut

mundur ke arah Salemba.

Ada sekitar seratus orang yang berlindung di dalam gedung Kedutaan Besar Palestina, persis di depan Kantor

PDI. Di samping Kantor PDI, di Kantor PPP, terlihat puluhan wartawan berkumpul. Sementara itu, polisi dan

tentara mengejar massa sampai di depan Rumah Sakit Cipto (RSCM). Beberapa orang terlihat dipentung

dengan rotan. Seorang siswa STM 1 Jakarta, menangis di depan bioskop Megaria -- lengannya patah ketika

Page 12: Pelanggaran HAM

menangkis pukulan dan pentungan petugas. Di depan Megaria itu suasananya gaduh, ambulans meraung-

raung terus menerus. Korban-korban yang bocor kepalanya dan luka-luka diseret ke depan Kantor PDI dan

menjadi bidikan foto wartawan.

Pukul 15. 00

Enam buah panser mulai berdatangan di depan pos polisi Megaria. Persis di depan Rumah Sakit Cipto

(RSCM), sebuah bus tingkat dibakar massa. Tak jauh dari bus yang terbakar, satu lagi bus PPD nomor trayek

40, disiram bensin dan dibakar dengan sebuah korek api. Terbakarlah bus jurusan Kampung Rambutan-Kota

itu.

Pukul 15. 37

Persis di depan Fakultas Kedokteran UI Salemba, sebuah bus Patas PPD nomor trayek 2, habis terbakar.

Ribuan massa mulai mencabuti rambu-rambu lalu lintas dan menghancurkan lampu lalu-lintas di pertigaan

Salemba. Asrama Kowad -- yaitu gedung Persit Kartika Candra Kirana -- merupakan gedung pertama yang

diamuk massa. Pertama-tama dengan lemparan batu dari luar, kemudian massa masuk ke halaman, dan

membakar gedung tersebut. Sebuah kendaraan jip yang diparkir di halaman dibakar massa, menimbulkan api

yang besar.

Wisma Honda yang terletak di sebelah Barat gedung Persit, tak luput dari lemparan batu. Tapi, beberapa jam

kemudian, gedung Honda itu pun habis dilalap si jago merah. Massa kemudian bergerak ke arah Selatan dan

membakar Gedung Departemen Pertanian yang berlantai delapan. Sebuah sedan Mercy juga dibakar habis.

Pukul 15. 55

Massa terus bergerak ke arah Matraman. Maka, beberapa gedung pun jadi korban amukan api yang disulut

massa. Pertama-tama gedung Bank Swansarindo Internasional. Api yang berasal dari karpet lantai dan korden

jendela kaca itu dengan cepat merambat ke atas gedung berlantai lima ini. Show room Auto 2000 yang berada

disebelahnya juga tidak luput dari amukan massa dan dibakar beserta mobil yang dipamerkan di dalamnya.

Selanjutnya Bank Mayapada juga dibakar massa.

Ribuan massa terus bergerak ke arah Matraman. Dengan tembakan ke udara, massa mulai tercerai-berai.

Sebagian ke arah Pramuka, sebagian lagi ke arah Proyek Perdagangan Senen. Sebelumnya, seorang polisi

kelihatan memegangi kepalanya yang bocor kena lemparan batu. Dia berkata kepada seorang rekannya yang

berseragam loreng, "Bapak yang bawa senjata ke depan saja Pak."

Pukul 16. 19

Page 13: Pelanggaran HAM

Massa rupanya melempari Bank BHS di Jalan Matraman. Kelihatan api mulai menyala di samping gedung

BHS, tetapi tidak sampai menyentuh gedung bank itu karena sepasukan tentara berbaret hitam dengan tronton

pengangkut pasukan segera tiba.

Sedangkan jalan Salemba Raya terlihat gelap. Asap hitam tebal dari gedung Bank Mayapada dan Auto 2000

membubung ke udara. Massa yang bergerak ke arah Salemba inilah yang kemudian membakar gedung

Darmex, Gedung Telkom, terus sampai ke arah Senen. Namun mereka dihalau panser tentara dan gagal

mencapai Senen.

Pukul 16. 33

Tiga panser didatangkan ke perempatan Matraman. Panser ini berhasil membubarkan massa yang merusak

semua rambu-rambu lalu lintas.

Pukul 19.00

Massa di Jalan Proklamasi mulai berkerumun. Tak lama kemudian mereka membakar toko Circle K, Studio SS

Foto, dan beberapa bangunan lagi. Aksi dikabarkan berlangsung sampai pukul 01.00 dinihari.[2]

[sunting]Buku dan penelitian

Peristiwa 27 Juli menghasilkan sejumlah buku dan sejumlah penelitian. Pejabat militer juga menulis buku untuk

menjelaskan posisinya dalam kasus itu. Benny S Butarbutar, yang menulis buku Soeyono Bukan Puntung

Rokok (2003), memaparkan Kasus 27 Juli dari perspektif Soeyono yang kala itu menjabat Kepala Staf

Umum ABRI. Ia membangun teori persaingan srikandi kembar antara Megawati dan Siti Hardijanti

Rukmana sebagai latar terjadinya Kasus 27 Juli. Ia juga memaparkan, rivalitas di tubuh tentara yang

membuatnya tersingkir dari militer. Soeyono menyebutnya sebagai Killing the Sitting Duck Game, rekayasa

untuk "Membunuh Bebek Lumpuh." Sehari sebelum kejadian, Soeyono mengalami kecelakaan di Bolaang

Mongondow.

Buku lain yang muncul adalah Membongkar Misteri Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 dengan editor Darmanto Jatman

(2001). Tim penelitiLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga membukukan hasil penelitian mengenai Militer

dan Politik Kekerasan Orde Baru-Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli? (2001).

[sunting]Peringatan

Pada Rabu 26 Juli 2006, Malam Dasawarsa Tragedi 27 Juli 1996 digelar di bekas Kantor Partai Demokrasi

Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat. Acara hanya dihadiri keluarga korban

dan saksi mata peristiwa ini. Petinggi partai yang sudah berubah nama menjadi PDI Perjuangan tidak terlihat

hadir. Begitu juga Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri. Walau begitu acara berjalan khidmat. Setelah

tahlilan, peringatan itu diteruskan pemotongan tumpeng kemudian ditutup dengan renungan. [3]

Page 14: Pelanggaran HAM

Peristiwa Talangsari 1989Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di Dusun

Talangsari III,Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten

Lampung Tengah). Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989.

Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan

Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus

pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.

Nurhidayat, dalam catatan, pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia)

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok sendiri di Jakarta. Di

Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan sebuah gerakan yang kemudian terkenal dengan

peristiwa Talangsari,Lampung .

Gerakan di Talangsari itu, tercium oleh aparat keamanan. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat

melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara)

merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Namun kedatangan Kapten Soetiman disambut

dengan hujan panah dan perlawanan golok. Kapten Soetiman pun tewas dan dikuburkan di Talangsari.

Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM

Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, terjadilah

penyerbuan Talangsari oleh aparat setempat yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan Talangsari

yang selama ini memendam antipati kepada komunitas Warsidi. Akibatnya korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak,

27 orang tewas di pihak kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Sekitar 173 ditangkap, namun yang sampai ke

pengadilan 23 orang.

Daftar isi

  [sembunyikan]

1     Hubungan ‘Genetis’ Talangsari dengan Jama’ah Islamiyah (JI)   

2     Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah   

o 2.1      Azwar Kaili   

o 2.2      Jayus alias Dayat bin Karmo   

o 2.3      Sugeng Yulianto   

o 2.4      Tardi Nurdiansyah   

Page 15: Pelanggaran HAM

o 2.5      Suroso dan Purwoko   

o 2.6      Fauzi Isman dan Islah   

3     Peradilan   

4     Kelanjutan   

[sunting]Hubungan ‘Genetis’ Talangsari dengan Jama’ah Islamiyah (JI)

Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, bila kasus Talangsari ini dipandang

dalam perspektif kekinian, nampak ada hubungan ‘genetis’ dengan gerakan JI (Jamaah Islamiyah). Dikatakan demikian,

karena keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar.

(http://riyantolampung.blog.com/2011/09/05/hello-world/)

Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak 1985. Kemudian di tahun 1993 ia memisahkan diri

dari NII dan membentuk Jama’ah Islamiyah (JI). Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar

masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun

komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.

Semasa masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif membina gerakan keagamaan

yang dinamakanUsroh. Sejumlah pelaku kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini.

Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984. Selain menjadi aktivis

gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.

Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal

gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih

kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.

Nama-nama lain yang juga terkait kasus Talangsari yang juga menjadi anggota gerakan Usroh pimpinan Abdullah

Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah, Margotugino, Suryadi, Alex alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan (mantan

aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).

Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu. Ia adalah

alumnusPondok Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang diutus untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-Islam di

Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Kala itu ia bersama Abadi Abdullah ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk

mengajar di ponpes Al-Islam, Way Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti pengajian yang

diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman dengan Warsidi. Ketika ditangkap aparat, dengan jujur dan

terus terang Mushonif mengakui dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat aksi kekerasan.

Nama lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR Singaraja alias Zainal, mantan aktivis gerakan

Usroh Abdullah Sungkar Ring Condet (sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam Taman Impian Jaya

Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nur Hidayat dalam masa pelarian, Wahidin menjadi semacam tempat singgah. Nur Hidayat

Page 16: Pelanggaran HAM

sesekali mengikuti pengajian yang dikelola Wahidin. Ketika kasus Talangsari meledak, Wahidin hilang bagai ditelan

bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan sebagainya, karena buron

hingga kini.

Wahidin AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering

Ulu, Palembang, merupakan anggota tertua dari empat sekawan yang disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta. Wahidin

lahir pada tanggal 24 Agustus 1948. Meski sempat merencanakan gerakan makar di Talangsari bersama-sama dengan Nur

Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin kesepakatan dengan anggota tim perunding Warsidi, kasus

Talangsari keburu meledak (6-7 Februari 1989), sebelum ia sempat menginjakkan kakinya untuk hijrah dan menetap di

dukuh Cihideung.

Nama lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris Amir Falah. Ia sempat menjadi bagian gerakan Usroh

Abdullah Sungkar sejak 1984, dan pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari kelompok Nur Hidayat yang di kemudian

hari merancang gerakan makar di Talangsari. Ketika itu Nur Hidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk

empat shaf yang dipimpin oleh empat orang. Pertama, shaf Ali dipimpin oleh Nur Hidayat (mengurusi masalah

kemiliteran). Kedua, shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan) Ketiga, shaf Abu Bakar

dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah). Keempat, shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule

(mengurusi masalah perhubungan).

Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari. Nama Haris Amir Falah kembali

mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris menjabat sebagai

Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur dari MMI dan mendirikan Jama’ah Ansharut

Tauhid, Haris Amir Falah merupakan salah satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan Al-

Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.

Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah Sungkar yang mengalir ke Lampung,

menghasilkan radikalisme ala Warsidi (1989). Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung Priok (kasus Tanjung Priok 1984).

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menafikan keberadaan gerakan radikal yang disandingkan dengan doktrin

agama, tidak ada alasan menafikan keberadaan JI, juga keberadaan jamaah NII yang tidak sekedar bercita-cita mendirikan

negara ideologisnya tetapi mengupayakan cita-citanya itu melalui sebuah upaya sistematis dan terencana yang berdarah-

darah sekalipun.

Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan

menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa

pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias

golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri

sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan Ritz Carltonpada 17 Juli 2009.

[sunting]Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah

Page 17: Pelanggaran HAM

Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, dari sejumlah nama yang terlibat

kasus Talangsari atau setidaknya ada keterkaitan dengan kasus Talangsari, beberapa di antaranya layak digolongkan

sebagai orang-orang yang bingung. Mereka antara lain Azwar Kaili dan Jayus alias Dayat bin Karmo serta Fauzi Isman.

Sedangkan saksi-saksi palsu, antara lain Suroso dan Purwoko. (http://riyantolampung.blog.com/2011/09/11/kasus-

talangsari-jama%E2%80%99ah-islamiyah-dan-komnas-ham-04/)

[sunting]Azwar Kaili

Keterkaitan Azwar Kaili dengan kasus Talangsari dapat dilihat dari dua hal. Pertama, ia merupakan simpatisan anggota

jama’ah pengajian yang diselengggarakan oleh Abdullah alias Dulah dan Pak Sediono. Abdullah alias Dulah merupakan

anak buah Warsidi, dan mantan aktivis Gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jawa Tengah. Tidak hanya Azwar Kaili yang

aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan Abdullah, juga Warsito (anak angkat Azwar), dan tiga anak

kandungnya masing-masing bernama Iwan, Haris, dan Ujang.

Kedua, melalui sosok Warsito yang tewas dalam kasus Talangsari (7 Februari 1989). Azwar mengeksploitasi almarhum

Warsito untuk ‘memeras’ Hendropriyono. Almarhum Warsito diposisikan sebagai korban. Padahal, meski usianya masih

belasan, Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon Mujahid. Akibat binaan Abdullah, Warsito dan beberapa

teman sebayanya menjadi sosok yang militan. Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon Mujahid, dan secara

resmi menjadi anggota jama’ah sekurangnya sejak tahun 1988.

Keberangkatan Warsito ke Cihideung bukan sekedar mau nyantri, tetapi memang untuk mati syahid, dalam sebuah

peperangan yang sudah direncanakan oleh komunitas Warsidi dan sejumlah muhajirin dari Jawa. Beberapa saat sebelum

pecah kasus Talangsari, Warsito bersama Zulkarnaen dan Zulfikar (anak Pak Sediono) serta Isrul Koto (anak Pak

Zamzuri), pamitan kepada orangtua masing-masing untuk berjihad ke Talangsari.

Menurut ingatan Zulfikar, sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad, Warsito menyampaikan sebuah pesan kepada

adiknya agar merawat ayam-ayam peliharaan miliknya. Pesan itu –yang kemudian menjadi pesan terakhir Warsito,

berbunyi: “… seandainya saya mati dik, tolong dirawat ayam-ayam ini…” Hal ini menunjukkan bahwa Warsito memang

sudah siap mati syahid, karena kepergiannya ke Talangsari semata-mata untuk berperang dalam rangka jihad.

Namun, oleh Azwar Kaili, kematian Warsito dimanfaatkan untuk menarik keuntungan materiel. Pada program Buser

Petang di SCTVyang mengudara sejak 17:30 wib, khususnya segmen B-File yang tayang 22 September 2003, Azwar Kaili

mengaku-ngaku sebagai korban kasus Talangsari. Padahal ia bukan korban. Azwar Kaili memang pernah ditangkap dan

ditahan, tapi bukan karena terlibat kasus Talangsari. Melainkan, untuk kasus semacam praktek ilegal sebagai mantri.

Kasus Azwar itu bersamaan dengan kasus penangkapan jama’ah Warsidi. Ketika itu, hampir seluruh anggota pengajian

yang diselenggarakan Abdullah dan Pak Sediono ditangkap dan ditahan, namun dilepaskan kembali setelah dipastikan

tidak ada keterkaitan dengan kasus Talangsari. Kepada Abdul Syukur (penulis buku Gerakan Usroh Di Indonesia:

Peristiwa Lampung 1989), Azwar mengaku ia ditahan selama tiga bulan pada tahun 1989 oleh aparat keamanan setempat

dengan tuduhan memberikan pendidikan kesehatan kepada anggota kelompok Warsidi di rumah Zamzuri.

Page 18: Pelanggaran HAM

Berkenaan dengan Warsito, Azwar Kaili mengatakan bahwa kepergian Warsito ke Talangsari adalah untuk nyantri,

dengan berbekal uang seribu rupiah dan seekor ayam. Padahal, sebagaimana anak Pak Sediono dan Pak Zamzuri,

keberangkatan Warsito ke Talangsari adalah untuk berjihad (mati syahid).

Azwar Kali juga mengatakan, rumah dan sejumlah harta bendanya yang dikumpulkannya sejak masih bujangan, musnah

dalam sekejap karena dibakar oleh aparat. Peristiwa pembakaran itu terjadi ketika ia sedang memenuhi panggilan

Danramil. Pernyataan tersebut, setahu kami tidak benar. Karena, meski terjadi penangkapan dan penahanan atas diri

Azwar Kaili, namun tidak ada pembakaran dan perampokan terhadap harta bendanya.

Pengakuan dusta Azwar Kaili di SCTV kala itu, karena ia merasa dikecewakan oleh Hendropriyono. Sekitar September

2002, Azwar Kaili menyampaikan maksudnya kepada Sukardi (salah seorang pelaku kasus Talangsari) untuk bertemu

dengan Hendropriyono, dengan maksud untuk mendapatkan kompensasi atas musibah yang selama ini ia derita berkenaan

dengan kasus Talangsari.

Permintaan itu tidak dapat terwujud, karena saat itu Hendropriyono sedang bertugas ke luar negeri. Maka, Azwar Kaili

pun memberi ultimatum kepada Sukardi, bahwa bila dalam waktu satu bulan tidak bisa dipertemukan

dengan Hendropriyono maka ia akan mengajukan tuntutan. Lalu muncullah testimoni dustanya di SCTV.

Dua anak Azwar Kaili yang dulu ikut pengajian Abdullah, Haris dan Ujang, belakangan hari tersandung tindak kriminal.

Keduanya ditangkap aparat kepolisian karena menjadi penadah sepeda motor curian di Lampung.

Meski cuma menempuh pendidikan sampai kelas tiga SMP, Azwar Kaili pada masa itu dikenal sebagai tenaga kesehatan

(mantri swasta) yang merangkap sebagai penjual obat. Keterampilan sebagai mantri kesehatan termasuk suntik-menyuntik

dan pengobatan, diperolehnya melalui seorang mantri kesehatan yang di desa Sidorejo.

Nasib baik rupanya berpihak kepada Azwar Kaili, sehingga kiprahnya sebagai mantri kesehatan kian berkembang. Apalagi

Azwar beristrikan seorag bidan, sehingga mendongkrak tingkat kepercayaan masyarakat sekitar terhadap kiprah Azwar

sebagai mantri kesehatan. Lebih jauh, Azwar dan istrinya mendirikan klinik kesehatan dan bersalin. Kiprah Azwar sebagai

mantri kesehatan semakin diterima masyarakat karena ia tidak pasang tarif resmi, tetapi disesuaikan dengan kemampuan

pasien.

Sebenarnya masyarakat sudah mulai tahu bahwa praktek Azwar Kaili sebagai mantri kesehatan tergolong ilegal. Namun

karena selama ini tidak terjadi masalah, dan tidak ada patokan tarif, maka terjadilah proses pembiaran yang berlangsung

lama. Apalagi Azwar bertutur kata lembut dan termasuk orang lama di Sidorejo.

Namun demikian, sejumlah mantri kesehatan di kawasan itu merasa bertanggung jawab terhadap etika profesi dan

keselamatan masyarakat khususnya di bidang kesehatan, karena Azwar Kaili bukan mantri kesehatan yang berlisensi.

Akhirnya, didorong oleh rasa tanggung jawab itu sejumlah tenaga kesehatan di sana melaporkan kiprah Azwar ke

Kecamatan.

Akhirnya, Azwar Kaili diperiksa pihak Kecamatan, kemudian dipersilakan pulang, setelah pemeriksaan dianggap cukup.

Ketika Azwar pulang, pecah kasus Sidorejo yang merupakan bagian dari kasus Talangsari (7 Februari 1989). Menurut

Page 19: Pelanggaran HAM

keterangan dari Zamzuri, ketika itu istri Azwar ikut aktif menangani korban luka yang tergeletak di depan rumah Zamzuri.

Oleh para mantri kesehatan yang sebelumnya sudah tidak berkenan dengan kiprah Azwar Kaili, maka peristiwa itu

dijadikan alasan untuk melaporkan keterlibatan Azwar di dalam kasus Sidorejo. Maka, Azwar pun akhirnya ikut dibawa

ke kantor Korem Garuda Hitam.

Setiba di kantor Korem Azwar Kaili mendapati sejumlah orang yang selama ini dikenalnya, seperti Sugeng Yulianto

(salah seorang jama’ah Warsidi) sedang diperiksa pihak aparat. Selain Sugeng, Azwar Kalili juga mendapati Zamzuri

sedang diperiksa aparat. Berdasarkan keterangan dari Zamzuri bahwa Azwar tidak tahu menahu dan tidak terlibat kasus

Sidorejo dan Talangsari, maka pihak aparat Korem pun membebaskannya.

Menurut Zamzuri kala itu, Azwar Kaili sama sekali tidak terlibat peristiwa Sidorejo dan Talangsari. Ketika peristiwa itu

terjadi, Azwar Kaili sedang menjalani pemeriksaan di kantor kecamatan sehubungan dengan pengaduan Dahlan (mantri

kesehatan setempat), yang melaporkan praktek ilegal yang dilakukan Azwar Kaili. Rumah Azwar Kaili juga tidak terbakar

atau dibakar, tetapi dijarah dan dirusak massa yang marah pasca terbunuhnya Lurah Arifin Santoso dan Kapospol Serma

Sudargo di rumah Zamzuri yang berdekatan dengan rumah Azwar Kaili.

Di era reformasi, ketika kebebasan berekepsresi terbuka lebar, maka sejumlah LSM seperti Kontras dan Komite Smalam,

memanfaatkan kondisi ini untuk mencari-cari celah berkiprah dengan cara mengungkap kasus masa lalu seperti kasus

Talangsari. Media massa ikut meramaikan kiprah Kontras dan Smalam. Azwar berada dalam putaran arus kebebasan

berekspresi ini. Maka, Azwar Kaili pun mendatangi Kontras dan SMALAM seraya membawa pernyataan bahwa dia

adalah salah satu korban kasus Talangsari.

Gayung pun bersambut. Kontras dan Komite Smalam menjadikan Azwar sebagai dasar berpijak mengajukan tuntutan.

Azwar ditampilkan seolah-olah merupakan korban kasus Talangsari yang telah mengalami penyiksaan luar biasa. Kontras

dan Komite Smalam telah menjadikan korban palsu sebagai dasar berpijak. Dasar berpijak yang rapuh, yang hanya

membuat Kontras dan Komite Smalam terperosok ke kubangan penuh dusta dan sandiwara.

Padahal, sebagaimana keterangan Jainal Muarif, putra dari almarhum Arifin Santoso (Lurah Sidorejo) yang gugur dalam

kasus Sidorejo, Azwar Kaili bukan pelaku dan tidak menjadi korban peristiwa Sidorejo. Ketika kasus Sidorejo terjadi,

Azwar Kaili tidak ada di rumah maupun di lokasi kejadian. Meski demikian Azwar beberapa kali menerima uang ‘duka’

dari Hendropriyono karena seorang anak angkatnya, Warsito, konon tewas di Talangsari.

[sunting]Jayus alias Dayat bin Karmo

Dalam kasus Talangsari, Jayus bukan orang sembarangan. Ia bahkan diposisikan sebagai orang kedua setelah Warsidi.

Berkat kedermawanan Jayus, maka Warsidi pun bisa memiliki lahan seluas satu setengah hektar. Tanah itu dihibahkan

Jayus kepada Warsidi dengan tujuan jelas, membangun komunitas Islami di Cihideung.

Semula, dukuh Cihideung hanya dihuni oleh keluarga Warsidi dan keluarga Jayus, serta beberapa kerabat dekat mereka.

Cihideung yang semula sepi kemudian berubah menjadi pedukuhan yang ramai, setelah dihuni para muhajirin

dari Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) yang sengaja hijrah ke cihideung dengan membawa anggota keluarga masing-masing.

Page 20: Pelanggaran HAM

Ketika itu, jilbab masih terlihat aneh di mata orang kebanyakan. Sedangkan muslimah yang datang dari Jakarta dan Solo

(Jawa Tengah) itu termasuk yang aktif mengenakan busana muslimah dengan gamis lebar dan kerudung lebar. Masyarakat

sekitar tidak hanya memandangnya dengan rasa aneh, tetapi juga memendam kecurigaan. Sejumput kecurigaan yang ada

di dalam benak masyarakat kian membesar ketika Warsidi sebagai pimpinan komunitas sama sekali tidak melaporkan

kedatangan para muhajirin dan keluarganya itu kepada aparat desa terdekat. Akhirnya, dilandasi kecurigaan yang kian

membuncah, masyarakat sekitar pun melaporkan keberadaan komunitas Warsidi kepada pihak aparat desa.

Kian hari masyarakat sekitar kian curiga. Bahkan beredar isu negatif tentang sepak-terjang komunitas Warsidi. Dalam

rangka merespon isu negatif itu, maka Jayus bersama sejumlah jama’ah Warsidi lainnya mendatangi rumah Sukidi

Haryono (Kepala Dusun Talangsari III). Jayus dan kawan-kawan mendatangi Sukidi dengan berbekal senjata berupa

parang, seraya mengancam Sukidi agar tidak bertindak yang dapat merugikan jama’ah Warsidi, misalnya melaporkan

keberadaan komunitas Warsidi kepada pihak aparat keamanan.

Menurut kesaksian Sukidi, beberapa hari sebelum peristiwa Talangsari meletus (awal Februari 1989) silam, sejumlah

anggota jama’ah Warsidi menebar ancaman akan membunuh dirinya yang dianggap telah membocorkan semua kegiatan

jama’ah Warsidi kepada pemerintah. Mereka, antara lain Jayus, Sukardi, Joko dan Tardi Nurdiansyah bin Yasak (yang

kala itu baru berusia 16 tahun).

Setelah peristiwa itu, menurut Sukidi, ia menerima laporan dari Supri warganya, bahwa ia akan dibunuh oleh Jama’ah

Warsidi. Isu itu sedemikian santer, sehingga warga meminta Sukidi dan keluarganya mengungsi ke rumah Kades Amir

Puspamega. Situasi kian memanas, karena jama’ah Warsidi melarang warga melakukan rodan dan menyalakan senter.

Warga pun resah. Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak dinginkan, Sukidi bersama Serma Dahlan dan Kopda

Abdurahman melakukan ronda malam untuk menenangkan masyarakat (tanggal tanggal 5 Februari 1989 malam).

Saat ronda, mereka memergoki lima orang tak dikenal sedang berjaga-jaga di pos masing-masing sambil membawa

senjata berupa pedang dan panah. Mengetahui itu mereka lalu meringkus kelima orang tersebut, yang ternyata anggota

Jama’ah Warsidi. Kelimanya kemudian dibawa ke Koramil Way Jepara.

Jayus selama ini dikenal sebagai sosok yang ikhlas berkorban dan berjuang untuk menegakkan negara Islam, dengan

menjadikan pedukuhan Cihideung sebagai basis perjuangan. Dihibahkannya tanah seluas satu setengah hektar merupakan

bukti kongkrit keseriusan Jayus dalam hal ini.

Di tahun 2001, berbagai media massa memberitakan keterlibatan Jayus bersama Kontras dan Komite Smalam untuk

mengungkap kembali kasus Talangasari. Jayus bersama enam orang yang diakunya sebagai mantan jamaah Warsidi

menghadap LBH Lampung untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Padahal, sebelumnya, di tahun 2000, pada

forum ishlah nasional yang berlangsung di Cibubur, Jayus dipercaya oleh pelaku, korban dan keluarga korban serta warga

dusun Talangsari sebagai koordinator umum Gerakan Islah Nasional (GIN). Islah nasional ini kemudian menjadi landasan

dan alasan yang kuat bagi pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun Talangsari untuk menutup dan tidak akan

pernah membuka kembali kasus Talangsari; disamping untuk menjalin perdamaian dan persaudaraan di antara para pelaku

dan aparat beserta keluarganya masing-masing.

Page 21: Pelanggaran HAM

Jayus sejak saat itu nampaknya sudah banyak berubah menjadi petualang politik yang punya motif komersial. Mungkin

karena terdesak oleh kebutuhan ekonominya yang meningkat. Dulu, Hendropriyono pernah memenuhi permintaan Jayus

untuk menguasai kembali sebidang tanah miliknya di lokasi bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir Puspa

Mega. Permintaan itu dipenuhi, dan Jayus sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser pun.

Di antara para elite kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang mendapat putusan paling ringan, ia hanya menjalani

masa penahanan selama satu tahun. Padahal, Jayus adalah orang kedua setelah almarhum Warsidi. Hal itu bisa terjadi

karena Jayus telah “berjasa” (baca: berkhianat) dengan menunjukkan semua jamaah Warsidi yang ketika itu sedang

berusaha melarikan diri ke Jakarta melalui Bakauheni. Berkat informasi dari Jayus, banyak jama’ah Warsidi yang berhasil

ditangkap aparat. Karena telah berjasa, maka aparat Korem memperlakukan Jayus sebagai tahanan sangat istimewa

dibandingkan dengan perlakuan aparat terhadap jama’ah Warsidi lainnya.

Karena menjalani hukuman paling ringan, maka Jayus sudah menghirup udara bebas ketika sebagian besar jama’ah

Warsidi yang tertangkap masih meringkuk di dalam tahanan. Para napol kasus Talangsari serendah-rendahnya divonis 10

tahun, sebagian lainnya bahkan divonis seumur hidup.

Karena bebas lebih dulu, Jayus mempunyai peluang untuk mengeksploitasi narapidana kasus Talangsari yang masih

mendekam di tahanan. Jayus menjual nama-nama korban dan narapidana kasus Talangsari ke berbagai organisasi atau

kepada perseorangan yang menaruh simpati. Dengan dalih mengumpulkan dana untuk membantu para jama’ah Warsidi

yang masih berada di dalam penjara. Jayus meraih keuntungan dari kasus Talangsari.

Begitu juga ketika sebagian narapidana kasus Talangsari masih berada di tahanan, Jayus termasuk yang merintis islah dan

memperoleh keuntungan finansial dengan adanya gerakan ishlah itu. Bahkan Jayus sempat diberi kepercayaan untuk

mengkoordinir gerakan islah bagi para jama’ah Warsidi di Talangsari Lampung. Padahal, jama’ah yang dimaksud itu

sebenarnya anggota keluarga dan kerabat Jayus sendiri yang belum tentu terlibat dalam kasus Talangsari. Ketika

menghadap LBH, yang dibawa Jayus juga anggota keluarga dan kerabatnya sendiri, yang diakui sebagai korban kasus

Talangsari. Sebagai mantan pelaku kriminal, naluri kriminal Jayus rupanya tetap hidup, meski ia bertahun-tahun menjadi

jama’ah Warsidi.

Terbukti, di kemudian hari ia berbalik arah melawan konsep islah yang ia rintis. Jayus nampak seperti orang bingung.

Faktanya, hanya Jayus seorang yang menolak ishlah, sementara itu hampir seluruh keluarga korban dan pelaku kasus

Talangsari sudah menerima ishlah, yaitu mereka yang berada di Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus satu-satunya

pelaku kasus Talangsari asal Lampung yang setelah menerima ishlah kemudian menolak kembali karena punya motif

komersial.

Sikap mencla-mencle Jayus ternyata juga dikhawatirkan oleh keluarganya seperti Joko alias Sadar, yang sampai saat ini

menyesali sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah kemudian mencabut dukungannya terhadap konsep ishlah,

sementara anggota keluarga lainnya yang dulu dilibatkan Jayus untuk ishlah sampai kini masih tetap memilih ishlah

sebagai solusi. Dengan demikian Jayus telah mengkhianati keluarga korban dan anggota keluarganya sendiri.

Page 22: Pelanggaran HAM

Meski Jayus bukan representasi dari keluarga korban pada umumnya. Namun ia mampu membujuk sejumlah orang untuk

mengaku sebagai mantan anggota Jamaah, untuk dibawa menghadap LBH Lampung. Padahal, orang-orang yang

dibawanya itu, tak lain merupakan anggota keluarga Jayus sendiri, yang pada waktu kejadian belum mengerti

permasalahan karena masih berusia sangat muda. Misalnya, Purwoko yang berusia 6 tahun ketika kasus Talangsari terjadi.

Mengapa Jayus mencla-mencle? Motifnya jelas urusan fulus. Ketika proses islah berada dalam proses awal, Jayus telah

mengajukan permintaan sejumlah uang kepada Hendropriyono, untuk dibagi-bagikan kepada (katanya) korban Talangsari.

Dana yang diminta Jayus sebesar sepuluh juta rupiah per orang, dengan alasan dana itu akan digunakan sebagai modal

usaha para korban dan keluarga korban Talangsari yang dipimpinnya. Hendropriyono yang sudah kenal latar belakng

Jayus, menolak permohon dana sebesar itu, karena beraroma pemerasan.

Rupanya Jayus kecewa karena permohonannya ditolak. Maka, ia pun mengkhianati kesepakatan islah yang sudah

disepakati sebelumnya. Di luaran, Jayus berdalih orang-orang Jakarta selalu menghalanginya bertemu dengan

Hendropriyono. Kemudian Jayus dimanfaatkan oleh Kontras dan Komite SMALAM dan dijadikan simbol perlawanan

mengungkap kembali kasus Talangsari.

Untuk meyakinkan Kontras, Jayus berusaha membujuk sejumlah warga Talangsari untuk bergabung bersamanya

mengajukan tuntutan ke Kantor Komnas HAM. Agar warga Talangsari tertarik, Jayus mengumbar janji akan memberikan

sejumlah uang kepada mereka yang bersedia ikut ke Jakarta. Tipu-muslihat Jayus ditolak karena masyarakat Talangsari

sudah enggan dan tak sudi mengenang masa lalu yang getir. Akibatnya, Jayus hanya berhasil membawa lima warga asli

Talangsari untuk dibawa menuju Jakarta.

Karena lima terlalu sedikit, maka Jayus ‘menyewa’ 14 warga di luar masyarakat Talangsari untuk ditenteng ke Kantor

Komnas HAM Jakarta, dan disuruh mengaku sebagai korban Talangsari. Tipu-daya licik Jayus itu ternyata membuat

marah warga asli Talangsari. Maka, mereka pun melayangkan sepucuk surat kepada pengurus GIN (Gerakan Islah

Nasional). Isinya, agar GIN mencegah Jayus yang membawa warga bukan asli Talangsari untuk menghadap Komnas

HAM di Jakarta.

Jayus tidak sekedar membawa korban Talangsari palsu, ia juga membawa Suroso yang domisilinya berdekatan dengan

tempat kejadian. Kelebihan Suroso, ia pandai bicara dan lebih cerdas dibanding para korban Talangsari palsu lainnya. Bila

Suroso bisa diperalat Jayus, Sukidi tidak demikian. Melalui Joko, Jayus berusaha membujuk Sukidi (mantan Kadus

Talangsari III) menjadi fasilitator pertemuan antara Jayus dan Hendropriyono, namun tidak berhasil.

Sayang, Pak Sukidi tidak sudi karena menilai Jayus hanya memperalat dirinya dan kasus Talangsari bagi kepentingan

Jayus pribadi. (Keterangan langsung dari Pak Sukidi mantan Kadus Talangsari).

Di tahun 2002, sekitar bulan September, salah seorang pelaku kasus Talangsari, Sukardi, berkunjung ke Lampung, antara

lain bersilarturahmi ke kediaman Azwar Kaili di Sidorejo. Tak berapa lama, datang pula Jayus dan Suroso. Karena

menganggap Sukardi orangnya pak Hendro, Jayus langsung menebar ancaman, bahwa pak Azwar akan diajaknya ke

kantor Komite Smalam dan kantor LBH Lampung untuk melaporkan penemuan barunya berkaitan dengan kasus

Page 23: Pelanggaran HAM

Talangsari. Ternyata, itu hanya sebuah gertak sambal. Sebab intinya, Jayus dan Azwar Kaili minta dipertemukan

dengan Hendropriyono. Apabila pertemuan itu bisa terjadi, maka mereka akan menghentikan segala tuntutan terhadap

kasus Lampung, mencabut pula tuntutan Kontras dan Komite Smalam. Sebaliknya, bila dalam waktu satu bulan tidak ada

konfirmasi positif, maka mereka akan terus melakukan tuntutan terhadap kasus Lampung bersama Kontras dan Komite

Smalam. Rupanya, bukan hanya Purwoko dan Suroso yang berhasil diperalat Jayus, juga Kontras dan Komite Smalam.

Pada kesempatan itu, Sukardi juga berusaha bertemu dengan sejumlah orang yang ditenteng-tenteng Jayus menghadap

LBH, dan diakui sebagai korban kasus Talangsari. Mereka adalah Gono, Sutris, Cipto, Paimun, Budi Santoso, Mardi,

Surip dan Kasman. Ternyata, tidak satu pun dari mereka yang dikenal Sukardi. Mereka memang bersedia dilibatkan dalam

“proyek” yang direkayasa Jayus, untuk mendapatkan sesuatu sesuai dengan janji yang pernah diumbar Jayus.

Begitulah kenyataannya. Watak kriminal Jayus tetap eksis. Padahal, dulu ia bercita-cita mendirikan negara Islam,

mendirikan Islamic Village di Cihideung.

[sunting]Sugeng Yulianto

Sugeng Yulianto merupakan salah satu anggota pasukan khusus yang terlibat di dalam episode pembajakan bus “Wasis”

dalam rangkaian kasus Talangsari-Sidorejo. Ia dituntut hukuman pidana seumur hidup. Lulusan STM ini, dalam drama

pembajakan bus “Wasis” bertindak sebagai sopir, dan merupakan salah satu dari 11 anggota pasukan khusus Jama’ah

Warsidi yang ditugaskan oleh imamnya untuk membuat kekacauan di Bandar Lampung, sebagai upaya mengalihkan

perhatian petugas.

Pria kelahiran Solo tahun 1959 ini, merupakan anggota Jama’ah Warsidi khususnya di cabang Sidorejo pimpinan Pak

Sediono. Ia menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi didorong oleh kesadarannya sendiri.

Sugeng Yulianto alias Sugiman Yulianto bin Marto Djoyo berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang No.

161/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 7 Nopember 1989, dijatuhi pidana penjara selama seumur hidup. Namun berkat

dorongan kawan-kawan dan perjuangan Hendropriyono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH,

maka Presiden Habibiememberikan grasi kepada napol kasus Talangsari melalui Kepres Nomor: 101/0 Tahun 1998

tanggal 31 Desember 1999.

Perjuangan Hendropriyono membebaskan napol kasus Talangsari bisa dilihat melalui surat no. R-028/Mentras/08/1998

tanggal 21 Agustus 1998. Isinya, Menteri Transmigrasi dan PPH memohonkan percepatan pembebasan Napol Korban

Peristiwa Lampung kepada Presiden Republik Indonesia.

Selain melalui surat, Hendropriyono juga melobi langsung Jaksa Agung RI, yang waktu itu jabat oleh Mayjen AM.

Ghalib, Menteri Kehakiman Muladi, Menhankam (Pangab) Wiranto dan Ketua MA, Sarwata. Hasilnya, Jaksa Agung RI

melalui suratnya Nomor: R-196/A/D/9/1998 Tanggal 23 September 1998 turut menyarankan kepada Presiden untuk

menyetujui permohonan Menteri Transmigrasi dan PPH perihal amnesti. Napol peristiwa Lampung atas nama Fauzi dkk.

Barulah sebulan kemudian, Menteri Sekretaris Negara, Akbar Tandjung, melalui suratnya No: R-311/ M. Sesneg/10/1998

Tanggal 26 Oktober 1998 berkirim surat kepada Menko Polkam, Menteri Kehakiman, Menteri Pertahanan dan

Page 24: Pelanggaran HAM

Keamanan/Panglima ABRI menyampaikan tentang petunjuk Presiden agar usul pemberian rehabilitasi kepada eks Napol

peristiwa lampung atas nama Fauzi dkk dibantu prosesnya.

Ketika kasus Talangsari terjadi (Februari 1989), usia Sugeng Yulianto sudah memasuki angka 30. Ia bukan anak-anak lagi.

Sehingga, keterlibatannya menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi merupakan keputusan yang dapat dipertanggung

jawabkannya.

Alasan yang mendasari Sugeng Yulianto hijrah ke Lampung, khususnya di Sidorejo, karena tertarik oleh bujukan Soleh,

kawannya, yang mengatakan bahwa di Lampung selain mudah mencari nafkah, juga dapat menjalankan ajaran Islam

dengan lebih baik. Namun di dalam persidangan, Sugeng Yulianto pernah mengatakan, bahwa keterlibatannya dengan

orang-orang yang melakukan huru-hara di Tanjungkarang karena dipaksa oleh kelompok Warsidi. Bila tidak mau, dirinya

akan dibunuh.

[sunting]Tardi Nurdiansyah

Meski usianya masih belasan ketika kasus Talangsari terjadi (1989), namun Tardi merupakan salah satu jama’ah Warsidi

yang tergolong militan. Ia juga ikut ke dalam rombongan yang melakukan ancaman dan teror kepada Sukidi Haryono

(Kadus Talangsari III). Tardi Nurdiansyah yang lahir di Karanganyar (Jawa Tengah) dan pernah menempuh pendidikan di

Pondok Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah ini, merupakan salah satu dari sebelas orang yang ditugaskan Warsidi

membebaskan kawan-kawan mereka yang ditangkap aparat Koramil.

Sejak masih di Jakarta, Tardi sudah berkenalan dengan tokoh-tokoh pelaku kasus Talangsari. Bahkan sosok Warsidi sudah

dikenalnya dengan baik sebelum pecah kasus Talangsari. Keakrabannya dengan Warsidi membuat Tardi memutuskan

untuk hijrah ke Lampung. Apalagi, di Cihideng ada kakaknya yang sudah lebih dulu berdiam di sana. Di Cihideng Tardi

merasakan suasana yang sama dengan Ponpes Ngruki tempat ia menempuh pendidikan. Berbekal pendidikan di ponpes

Ngruki, Tardi pun mengamalkan ilmunya, mengajar mengaji bagi orang-orang di sekitar itu.

Dalam pandangan Tardi, kegiatan keagamaan yang dilakukan Warsidi, adalah gerakan untuk membangun masyarakat

dengan suasana Islam, dan tidak ada maksud untuk melakukan pemberontakan. Menurut Tardi, aktivitas Warsidi dan

pengajiannya adalah untuk menapat ridho Allah (mardhatillah). Warsidi ingin menegakkan syari’at Islam, meski

pengetahuan agama Warsidi belum sehebat ulama di Solo yang pernah dikenalnya. Namun karena sifat pengajiannya yang

eksklusif mengakibatkan aparat menduga bahwa gerakan itu adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah.

Tardi juga berpendapat, kasus Talangsari bukan sesuatu yang direncanakan, tetapi hanya insiden atau musibah saja,

sebagai akibat dari adanya miskomunikasi antara Jama’ah Warsidi dengan aparat desa (pemerintah) dan warga sekitar.

Menurut pengakuan Tardi, pada saat kejadian, dia sedang berada di Rajabasalama dan dalam perjalanan pulang ke

Cihideung untuk menemui kakaknya. Namun ketika sampai di daerah Talangsari dia ditangkap oleh aparat keamanan.

Padahal sebenarnya, ia anggota pasukan khusus yang mengemban tugas membebaskan lima Jama’ah Warsidi yang ditahan

aparat. Namun misi itu gagal. Kelompok sebelas dipecah tiga. Tardi satu kelompok dengan Fadilah, berada di kelompok

kedua.

Page 25: Pelanggaran HAM

Sebagaimana Sugeng Yulianto, Tardi yang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor 1027

Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 21 Desember 1989 dijatuhi pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun, menghirup udara

bebas di masa Presiden Habibie, bersama sejumlah napol kasus Talangsari lainnya.

Pengakuan Tardi yang cenderung apologis itu ada kalanya dijadikan dasar bertindak bagi LSM tertentu untuk

memposisikan kasus Talangsari sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Sikap Tardi bisa dimaklumi, karena ketika

kasus Talangsari terjadi, ia masih berusia belasan, namun harus menerima vonis 17 tahun, di Nusakambangan pula.

Yang tidak bisa dimengerti adalah sikap Jayus alias Dayat bin Karmo, yang menjadi orang kedua setelah Warsidi di

komunitas Cihideung. Ia menerima vonis yang ringan, meski pernah terlibat mengancam aparat dusun. Bahkan ketika

sebagian besar jama’ah Warsidi dalam gundah gulana di dalam pelarian, Jayus justru sudah menjadi bagian dari aparat

yang ketika itu gencar menangkapi jama’ah Warsidi. Tentu aneh jika di masa-masa tenang, dan mereka yang terlibat kasus

Talangsari berusaha kuat melupakan masa lalunya yang getir, Jayus justru berusaha mengungkit kasus itu kembali, hanya

semata-mata untuk mendapatkan keutungan materiel.

Bahkan, lebih jauh, Jayus memanfaatkan korban dan saksi palsu untuk memenuhi hajat kriminalnya. Ia memperalat

Suroso, tetangganya, dan Purwoko, kemenakannya.

[sunting]Suroso dan Purwoko

Suroso sebenarnya sama sekali tidak terlibat kasus Talangsari maupun Sidorejo. Ketika kasus Talangsari terjadi, usia

Suroso baru sebelas tahun. Praktis, ia sama sekali tidak tahu menahu soal kasus Talangsari. Begitu juga dengan kedua

orangtuanya. Kebetulan, kediaman orangtua Suroso tidak jauh dari tempat kejadian. Meski berdekatan dengan lokasi

kejadian, Suroso dan orangtuanya sama sekali bukan Jama’ah Warsidi, dan tidak peduli dengan kiprah dan aktivitas

Jama’ah Warsidi. Namun demikian, orangtua Suroso tetap menjaga hubungan baik dengan Warsidi yang menjadi

tetangganya.

Karena bertetangga dengan Warsidi, maka pada saat terjadinya kasus Talangsari, rumah orangtua Suroso dirusak dan

dijarah oleh penduduk sekitar, akibat salah sangka. Warga sekitar menduga, keluarga orangtua Suroso merupakan salah

satu provokator terjadinya kasus Talangsari.

Terjadinya perusakan sekaligus penjarahan terhadap rumah orangtua Suroso, karena sepengetahuan warga, keluarga

Suroso dikenal sebagai mantan anggota parpol terlarang (PKI). Warga juga menilai, kedekatan keluarga orangtua Suroso

dengan Warsidi membuat mereka memposisikan keluarga orangtua Suroso sebagai musuh bersama. Apalagi, ketika itu,

emosi warga belum sepenuhnya terlampiaskan, sehingga pelampiasan disalurkan kepada keluarga orangtua Suroso.

Nama dan sosok Suroso yang selama ini tidak dikenal sehubungan dengan kasus Talangsari, tiba-tiba menyeruak begitu

saja berkat peran Jayus yang melibatkannya dalam sebuah aksi bersama Komite Smalam dan Kontras untuk mengungkap

kembali kasus Talangsari. Dalam momen ini, Suroso yang pandai bicara bahkan dinobatkan sebagai juru bicara oleh

Jayus. Suroso mau diperalat Jayus karena diiming-imingi imbalan (materi).

Page 26: Pelanggaran HAM

Selain Suroso, yang juga diperalat Jayus adalah Purwoko, kemenakannya sendiri. Ayah Purwoko bernama Supardi,

merupakan salah satu korban tewas pada kasus Talangsari (Februari 1989). Kepada Radar Solo beberapa tahun lalu, ia

pernah mengakui bahwa dirinya masih berusia 11 tahun ketika kasus itu terjadi. Sebenarnya Purwoko merupakan salah

seorang yang memposisikan dirinya sebagai korban (dan keluarga korban) yang menyepakati proses islah yang digagas

Fauzi Isman dan kawan-kawan. Ia ikut islah karena dibawa-bawa oleh Jayus, pamannya. Belakangan, Jayus pula yang

menenteng-nentengnya keluar dari proses islah, dan menjalin persekongkolan dengan Komite Smalam dan Kontras untuk

mengungkap kembali kasus Talangsari.

Pada tanggal 6 Februari 1989, saat Kapten Soetiman tewas dibacok mbah Marsudi, Purwoko sedang berada di lokasi

Cihideung. Namun pasca tewasnya Kapten Soetiman, Purwoko dibawa orangtuanya ngungsi ke rumah Jayus, pamannya.

Rumah Jayus berdekatan dengan pondok. Sementara itu, ayah Purwoko, Supardi, tetap siaga menyambut peperangan yang

sudah direncanakan.

Ketika aparat Korem Garuda Hitam menyerbu Cihideng (7 Februari 1989), Purwoko sedang bersiap-siap untuk shalat

Subuh. Ketika itu, Purwoko mendengar bunyi rentetan tembakan senapan tentara berkumandang dari arah selatan Dusun

Talangsari. Warga berhamburan ke luar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Keinhinan serupa juga ada di dalam hati

Purwoko, namun sang ibu (Saudah), menyuruh Purwoko dan kedua adiknya untuk bersembunyi di kolong tempat tidur.

Saat itu, di rumah Jayus, ada sekitar 13 wanita dan anak-anak (termasuk Purwoko) yang bersembunyi. Tak berapa lama,

Purwoko mendengar suara Muhamad Ali alias Alex yang berteriak memanggil mereka yang sembunyi agar keluar, karena

rumah akan dibakar tentara. Dalam hitungan menit, Purwoko dan keluarganya keluar dari rumah Jayus. Setelah itu,

Purwoko dan keluarga digiring ke halaman sebuah rumah yang berjarak 100 meter arah timur pondok. Di tempat itu, telah

berkumpul puluhan wanita, anak-anak, serta orang tua.

Karena Jayus merupakan orang penting, maka ia dicari-cari tentara. Ketika itu, tentara menduga Jayus sudah mati

tertembak. Padahal, Jayus bersembunyi di suatu tempat. Karena Purwoko dianggap dapat mengenali sosok Jayus, tentara

pun membawa Purwoko untuk mengenali sejumlah jasad korban. Namun jasad Jayus tak ditemukan. Purwoko justru

menemukan jasad Supardi, ayah kandungnya.

Tak berapa lama kemudian, karena (jasad) Jayus tidak ditemukan, Purwoko dan keluarga dibawa ke Markas Komando

Resor Militer (Korem) 043 Garuda Hitam. Ternyata, di tempat itu ia bertemu Jayus, pamannya, yang ternyata masih

hidup. Selang sehari kemudian, Purwoko, adik-adiknya, dan ibunya dipindahkan ke Panti Jompo dan Anak-Anak Yatim

Piatu Lempasing Padang Cermai. Di tempat itu, ia kembali bertemu dengan teman-teman dan tetangganya yang

sebelumnya ikut digiring ke Makorem Garuda Hitam.

Pada awal 1990, ibunya membawa mereka kembali ke Solo. Di sana, Purwoko dipercaya merawat rumah kos milik

seorang temannya di bilangan Sriwedari, Solo. Sejak 1997, Purwoko ke Jakarta untuk menyelesaikan sekolah. Informasi

terakhir, Purwoko sempat bekerja di toko besi di daerah Cemani, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Page 27: Pelanggaran HAM

Kalau Jayus benar-benar mati tertembak peluru tentara pada peristiwa Talangsari waktu itu, sudah pasti Purwoko tidak

akan memainkan peran yang disodorkan Jayus sebagai korban kasus Talangsari dan tampil di media massa untuk

mengajukan tuntutan. Padahal, dulu, Jayus pula yang membawa-bawanya untuk ikut proses islah.

[sunting]Fauzi Isman dan Islah

Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, ISLAH sesungguhnya merupakan

pilihan yang Islami. Pada mulanya, Riyanto tidak paham mengapa islah menjadi kontroversi, bahkan ada kesan ditentang

oleh orang Islam sendiri. Belakangan, barulah ia tahu, kontroversi dan kesan penentangan itu bukan karena islah-nya itu

sendiri, tetapi tokoh di balik proses islah itu.

Sebagaimana diketahui kemudian, di dalam proses islah antara mantan jama’ah Warsidi (mantan napol kasus Talangsari)

dengan aparat keamanan (termasuk Hendropriyono), ada peranan Drs. AMF dan Drs. AYW yang sama sekali tidak terkait

kasus Talangsari. Kedua tokoh ini di mata umat Islam, terutama kalangan pergerakan Islam, dianggap bermasalah.

Sehingga, islah yang bergulir itu dinilai tidak serius sekaligus diduga lebih banyak muatan politis dan ekonomisnya.

Apalagi, dari pihak pelaku kasus Talangsari, yang awal mula terlibat proses islah adalah saudara Fauzi Isman. Sosok ini

terbukti juga bermasalah.

Pada mulanya, gagasan islah sama sekali belum muncul. Hendropriyono dalam kapasitasnya sebagai tokoh nasional yang

kebetulan menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH ketika itu, berinisiatif menjalin tali silaturahmi dengan para

napol kasus Talangsari, korban, dan keluarganya. Drs. AMF diminta bantuannya sebagai mediator. Belakangan, Drs. AMF

mengajak serta Drs. AYW yang sebelum pecah kongsi merupakan teman baik.

Undangan silaturahmi dari Hendropriyono yang dibawa oleh Drs. AMF kemudian disampaikan kepada Fauzi Isman.

Maka, terjadilah pertemuan (silaturahmi), antara Hendropriyono dengan sejumlah pelaku kasus Talangsari seperti Fauzi

Isman, Sudarsono, Sukardi, Maulana Abd Latif, dan sebagainya. Pertemuan (silaturahmi) yang berlangsung sekitar awal

Mei 1998 itu, berlangsung di kantor Departemen Transmigrasi dan PPH. Pada kesempatan ini, Drs. AMF sebagai mediator

turut hadir.

Ketika itu, Fauzi Isman memposisikan diri sebagai jurubicara. Salah satu usulannya adalah meminta bantuan

Hendropriyono untuk mengusahakan agar napol kasus Talangsari dibebaskan. Ketika itu, usulan Fauzi Isman disambut

baik oleh Hendropriyono. Namun demi memenuhi rasa keadilan, maka Hendropriyono kala itu juga berinisiatif untuk

mempertemukan antara pelaku kasus Talangsari, korban kasus Talangsari dan keluarganya di satu pihak dengan para

keluarga korban dari pihak aparat. Dari sinilah muncul gagasan islah yang dicetuskan oleh Fauzi Isman.

Bahkan ketika itu, Drs. AMF selaku mediator juga mengusulkan agar pada pertemuan berikutnya diundang juga KH Gani

Maskur dari Bima (NTB). Usul tersebut disetujui, dan Drs. AMF dipercaya mengatur kedatangan KH Gani Maskur dan

lain-lainnya. Maka, pada bulan Juni 1998, terjadilah pertemuan antara pelaku Talangsari, korban dan keluarganya baik

dari pihak aparat maupun dari pihak sipil.

Page 28: Pelanggaran HAM

Sukardi, yang sudah ikut silaturahmi sejak Mei 1998, belakangan berseberangan, dan bahkan bergabung dengan Kontras

untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Hal itu bisa terjadi, karena antara Sukardi dengan Fauzi Isman terjadi

perbedaan pendapat. Barulah di tahun 2002, Sukardi menyadari kekeliruannya, dan kembali berislah secara pribadi dengan

Hendropriyono, seraya meninggalkan Kontras.

Hendropriyono sebenarnya menaruh kepercayaan yang begitu tinggi terhadap Fauzi Isman, untuk mengurusi aspek

kesejahteraan para jamaah Warsidi. Sayangnya kepercayaan itu disalahgunakan oleh Fauzi. Ia menfaatkan itu untuk

kepentingan pribadinya. Antara lain, Fauzi merekayasa sebuah proposal yang ditujukannya kepada Hendropriyono, untuk

mendapat kucuran dana mendirikan sebuah perusahaan yang direncanakannya. Proposal itu dipenuhi Hendropriyono.

Dana tiga ratus juta rupiah pun mengalir ke kantong Fauzi Isman. Dana sebanyak itu bisa mengucur, berkat jaminan

sertifikat rumah Hendropriyono.

Namun, setelah dana mengucur dan perusahaan telah berdiri, ternyata Fauzi sama sekali tidak memperhatikan nasib para

jama’ah Warsidi. Beberapa orang jama’ah yang bekerja di perairan laut Banten pada sebuah perahu pencari ikan tidak

menerima gaji sebagaimana kesepakatan sebelumnya.

Arifin bin Karyam, yang bekerja di perahu ikan, tidak digaji selama tiga bulan oleh Fauzi, sementara itu Fauzi Isman sulit

sekali ditemui. Akhirnya Arifin bin Karyam meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke Brebes, Jawa Tengah meski tidak

membawa gaji yang menjadi haknya.

Bisnis Fauzi Isman di perairan laut Banten yang mempekerjakan beberapa orang jama’ah Warsidi (termasuk Arifin bin

Karyam), mengalami kerugian karena manajemen buruk dan Fauzi ingkar janji. Fauzi juga dinilai tidak memiliki itikad

baik untuk meningkatkan kesejahteraan jama’ah Warsidi seperti diamanahkan Hendropriyono. Karena tidak mendapat

keuntungan dari perusahaan yang didirikannya itu, Fauzi Isman pun berkelit. Bahkan ia lari dari tanggung-jawab. Lebih

jauh dari itu, Fauzi mengkhianati gerakan islah yang dicetuskannya sendiri. Fauzi kemudian meminta dukungan Kontras

dalam melakukan serangan terhadap Hendropriyono, dengan alasan mengungkap kasus Talangsari yang dikatakannya

sebagai pelanggaran HAM.

Sebelumnya, Fauzi bersama Nur Hidayat mendirikan Koramil (Korban Kekerasan Militer). Lembaga ini dibentuk lewat

sebuah jumpa pers di Kantor LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) di Jakarta.

[sunting]Peradilan

Peradilan di antarnya digelar di Tanjung Karang (Lampung), Jakarta, Jawa Tengah, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat).

Rata-rata Jema'ah ditahan di Tahanan Kodim Metro Lampung, Korem Garuda 043 Garuda Hitam Bandar Lampung, LP

Rajabasa, Kodam Diponegoro, Nusakambangan, dan tempat-tempat lainnya. Hukuman tertinggi adalah hukuman UNTUK

seumur hidup.

[sunting]